Buku ini membahas konsep penjelasan sejarah dan filsafat sejarah, dengan membedakan antara sejarah yang mendeskripsikan peristiwa masa lampau dengan filsafat sejarah yang menjelaskan hubungan antar peristiwa dan memprediksi masa depan. Buku ini mengajukan pertanyaan besar tentang hakikat penjelasan sejarah dan menjelaskan kesulitan untuk mendapatkan jawaban pasti karena berbagai gambaran yang mungkin membahayakan para
2. KATA PENGANTAR
Assalamu`alaikum Wr. Wb.
Buku yang anda hadapi sekarang adalah sebuah bacaan (reading) dalam bidang
pendidikan sejarah, ilmu sejarah maupun peristiwa-peristiwa sejarah, dan dimaksudkan
sebagai penunjang bagi mereka yang tengah memperdalam kajian sejarah, atau siapapun
yang tertarik pada kajian sejarah. Banyak perisrtiwa sejarah yang sering membingungkan,
terutama bagi mereka yang berkepentingan secara politik, pengajar sejarah, maupun
pemerhati sejarah. Dengan begitu buku ini bukan dimaksudkan sebagai buku teks bagi
mereka yang melakukan kajian sejarah.
Sebagai sebuah buku bacaan atau reading buku ini merupakan kumpulan tulisan
yang terserak, yang dalam media masa, bahan ceramah dalam forum pertemuan ilmiah,
maupun karya ilmiah dalam studi lanjut. Penyumbang tulisan ini dengan demikian dari
berbagai pihak sesuai dengan minat dan keahlian. Meskipun demikian sebagian besar
memang merupakan karya penulis yang merangkap sebagai penyunting (editor).
Terima kasih disampaikan kepada Patrick Gardner yang menulis buku Nature of
Historical Explanation. Buku tersebut telah dilaporkan oleh penulis buku yang anda
pegang ini sebagai bagian dari tugas perkuliahan SEJARAH 500 yang diampu oleh Prof.
DR. Sartono Kartodirdjo dalam Progra Doktor IKIP Bandung pada tahun 1981. Laporan
buku ini diolah kembali dalam buku ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bernard
Lewis , direktur Lembaga Riset Annenberg untuk kajian-kajian tentang masalah Yahudi
dan Timur Dekat. Semoga bermanfaat bagi pembaca.
Tidak lupa terima kasih disampaikan kepada para penulis di sekitar peranan Pangeran
Diponegoro, seperti Prof. DR. Djoko Surjo dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universiras Gajah Mada, Prof. DR. AM. Djuliati Surojo dari Jurusan Sejarah Fakultas
Sastra Universitas Diponegoro, Sagimun MD, penulis buku tentang Pangeran
Diponegoro, naupun Amen Budiman pengamat dan pecinta sejarah dari kota Semarang,
yang enggan disebut sejarawan. Terima kasih juga sudah sepatutnya disampaikan kepada
media masa yang telah menerbitkan tulisan-tulisan saya sebagai karya lepas, yang dimuat
sesuai dengan konteks tertentu.
2
3. Akhirnya kritik dan saran untuk penyempurnaan buku ini diharapkan dapat
disampaikan kepada penulis.
Selanjutnya last but not lease terima kasih saya sampaikan kepada Prof. DR. H. Sudijono
Sastroatmodjo, MSi selaku rektor Universitas Negeri Semarang yang atas kebijakannya
telah memberi ijin untuk menerbitkan buku ini berkenaan dengan Ulang Tahun saya ke
70 dalam memasuki purna tugas sebagai Guru Besar pendidikan sejarah pasa Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang pada awal Agustus 2008. Dan lebih dari
segalanya saya panjatkkan syukur pada Allah SWT yang senantiasa
memberikanb
berbagai kemudahan dalam hidup yang saya jalani ini. Semoga Allah SWR selalu
memberkati semua langkah yang sayalakukan. Amien.
Wassalamu`alaikum Wr. Wb.
marang, 27 Juli 2008
Penulis
3
4. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
KERANJANG PERTAMA : MEMAHAMI SEJARAH
A.KONSEPTUAL
1. PENJELASAN SEJARAH (Prof. Dr. Patrick Gardiner)
2.
TANTANGAN SEJARAH (Prof. Dr. Bernhard Lewis)
3. KONTROVERSI DALAM SEJARAH INDONESIA (Prof. Dr. Abu Su`ud)
4. LIMAPULUH TAHUN INDONESIA MERDEKA : TAHUN EMAS? (Prof. Dr.
Abu Su`ud)
5. SEJARAH DAN PATRIOTISME (Prof. Dr. Abu Su`ud)
6. SEJARAH DAN PELESTARIAN BUDAYA *Prof. Dr. Abu Su`ud)
7. REVITALISASI BANGUNAN MONUMENTAL (Prof. Dr. Abu Su`ud)
8. MENGUAK KEBENARAN SEJARAH BANGSA INDONESIA (Prof. Dr. Abu
Su`ud)
9. ETNO NASIONALISME (Ptof. Dr. Abu Su`ud)
10. UPAYA MENGESAMPINGKAN PERBEDAAN (Prof. Dr. Abu Su`ud)
11. MEMAKNAKAN HARI PAHLAWAN (Prof. Dr. Abu Su`ud)
12. HAKIKAT MAKNA PERISTIWA 10 NOPEMBER (Prof. Dr. Abu Su`ud)
KERANJANG KEDUA :
HISTORIOGRAFI
A. KONSEPTUAL
4
5. 1. PENULISAN HADIS SEBAGAI HASIL KAJIAN SEJARAH (Drs. Abu
Su`ud)
2. LEGENDARISASI TOKOH SEJARAH (Dr. Abu Su`ud)
3. KOMENTAR PERS
4. MITOS 3,5 ABAD TERJAJAH (Prof. Dr. Abu Su`ud)
B .MONOGRAFI TENTANG PERANG DIPONEGORO
1. DI SANA-SINI ADA MAKAM DIPONEGORO (Dr. Abu Su`ud)
2. PERANG DIPONEGORO (Ditinjau dari Segi Militer) (Drs. Abu Su`ud)
3. KEPEMIMPINAN
PENGERAN
DIPONEGORO
DALAM
PERSPEKTIF
SEJARAH (DR. Djoko Surjo)
4. KONFLIK-KONFLIK
YANG
MENDAHULUI DAN
MEMATANGKAN
PERANG DIPONEGORO (Sagimun MD)
5. MEWARISI SEMANGAT PANGERAN DIPONEGORO (Dr. Abu Su`ud)
6. PENGERAN DAN PETANI : SEBUAH ALIANSI KRATON-DESA DALAM
PERANG DIPONEGORO (Dr. AM Djuliati Surojo)
7. SOSOK PANGERAN DIPONEGORO DALAM NASKAH-NASKAH JAWA
(Amen Budiman)
KERANJANG KETIGA
PENGAJARAN SEJARAH
1. SEJARAH DAN PENDIDIKAN (Dr. Abu Su`ud)
2. BILA ISU KONTROVERSIAL MASUK KELAS SEJARAH (Prof. Dr. Abu
Su`ud)
3. KOMENTAR-KOMENTAR
4. MENCARI ALTERNATIF DALAM PENGAJARAN SEJARAH (Prof. Dr. Abu
Su`ud)
5
6. 5. POTRET KOTA SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH (Prof. Dr. Abu
Su`ud)
6. GURU SEJARAH DAN PERUIBAHAN SEJARAH (Prof. Dr. Abu Su`ud)
7. JASMERAH (Prof. Dr. Abu Su`ud)
8. FORMAT
METODOLOGI
PENDIDIKAN
SEJARAH
DALAN
TRANSFORMASI NILAI DAN PENGETAHUAN (Prof. Dr. Abu Su`ud)
9. KURIKULUM BARU TANPA PSPB (Prof. Dr. Abu Su`ud)
10. GURU SEJARAH DAN PERUBAHAN SOSIAL (Prof. Dr. Abu Su`ud)
11. GURU SEJARAH YANG KEBINGUNGAN (Prof. Dr. Abu Su`ud)
12. SEJARAH LEBUR DALAM PPKN : QUO VADIS? )Prof. Dr. Abu Su`ud)
13. POTENSI SEJARAH LOKAL DALM FRAME PENGAJARAN DI SEKOLAH
(Prof. Dr. Abu Su`ud)
@@@
PENDAHULUAN
Dengan berbekal pemahaman sejarah rasanya berbagai peristiwa sosial menjadi
menarik untuk dikaji dan kemudian disampaikan lewat media massa ataupun forumforum ilmiah. Bekal lain yang ada berupa potensi untuk menuliskan berbagai hasil
pengamatan sosial, karena terbiasa menjadi penulis artikel pada media massa, sangat
memperlancar komunikasi kepada masyarakat. Bekal ketiga yang kebetulan ada adalah
posisi sebagai dosen pendidikan sejarah pada Program Studi Pendidikan Sejarah pada
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universiras Negeri Semarang (Unnes). Naluri
sebagai guru telah mendorong untuk selalu mengkomunikasikan hasil kajian itu kepada
orang lain.
Buku ini berisi bacaan tentang masalah-masalah sejarah yang sudah disampaikan
lewat media massa maupun forum ilmiah. Buku ini tidak dimaksudkan sebagai ekspose
mengenai konsep-konsep ilmiah tentang masalah sejarah, melainkan kumpulan tulisan di
sekitar bagaimana memahami sejarah, tentang historiografi, maupun tentang pengajaran
sejarah, maupun berbagai analisis tentang peristiwa sejarah. Oleh karena itu kumpulan
6
7. tulisan ini
menjadi semacam bunga rampai tulisan-tulisan tentang sejarah yang telah
dimuat di beberapa media cetak selama beberapa tahun, yang ditulis berkaitan dengan
situasi maupun peristiwa tertentu dalam masyarakat.
Buku ini mencakup tiga bagian yang membicarakan segala sesuatu di seklitar
sejarah. Jadi layaknya setiap bagian itu sebagai keranjang atau pitaka, maka buku inipun
menjadi semacam Tripitaka Sejarah atau tiga keranjang berbagai tulisan tentang sejarah.
Keranjang pertama berisi pembahasan
tentang filsafat sejarah dalam rangka
memberikan penjelasan sejarah, atas peristiwa-peristiwa sejarah maupun bagaimana
memahami peristiwa-peristiwa sejarah. Tulisan-tulisan itu
merupakan penyajian
kembali karya tulis sebagai tugas laporan buku dalam studi lanjut dalam Pendidikan
Doktor IKIP Bandung tahun 1980 an maupun perkulihan dalam Jurusan Sejarah IKIP
Semarang tahun 1990 an. Masing-masing berjudul Penjelasan Sejarah, dan disusul
kemudian tulisan berjudul Tantangan Sejarah dan seterusnya.
Keranjang kedua berisi penyajian tulisan sekitar Historiografi. Dalam bagian ini
ditampilkan berbagai tulisan. Pertama misalnya dikemukakan tulisan tentang gejala
legitimasi pada banyak peristiwa suksesi kepemimpinan bangsa, sejak masa kuno sampai
masa modern. Karena tulisan itu merupakan penyajian ulang Pidato Ilmiah dalam upacara
Dies IKIP ke 24, pernah mengundang komentar dari sejumlah media massa cetak.
Komentar-komentar itu ditampilkan mengiringi tulisan utama. Kemudian disusul dengan
tulisan-tulisan tentang berbagai isu berkaitan dengan historiografi, termasuk Prosedur
Penulisan Hadits Sebagai Proses Penulisan Sejarah. Juga dikemukakan tulisan-tulisan
tentang Mitos 350 Tahun Terjajah maupun tentang HUT kemerdekaan RI yang disebut
Ulang Tahun Emas? oleh sebagian warga bangsa. Bagian kedua dari Keranjang kedua
ini berisi penulisan khusus mengenai tokoh Pangeran Diponegoro berkaitan dengan
peristiwa yang fenomenal, yairu Perang Diponegoro.
Keranjang ketiga diberi nama Pengajaran Sejarah. Dalam bagian ini
dikemukakan beberapa tulisan tentang
Alternatif-alternatif dalam pengajaran sejarah.
Antara lain dikemukakan penyajian ulang pidato pengukuhan sebagai guru besar
pendidikan sejarah, yang berjudul Bila Isu Kontroversial
Masuk Kelas Sejarah.
Disusul kemudian dengan berbagai tulisan untuk seminar-seminar pendidikan sejarah di
sekitar metode dan pendekatan dalam pengajaran sejarah. Terutama sikap yang harus
7
8. dihadapi oleh para guru sejarah ketika menghadapi pergantian Kurikulum Sejarah
sehubungan dengan pergantian rezim yang berkuasa.
Diharapkan kumpulan tulisan ini merupakan bacaan (reading) yang dapat memberi
manfaat bagi mahasiswa sejarah maupun siapapun yang berminat pada tinjauan sejarah.
KERANGJANG PERTAMA
MEMAHAMI SEJARAH
A. KONSEPTUAL
1. PENJELASAN SEJARAH
A. PENDAHULUAN
Mendengar istilah filsafat sejarah menimbulkan berbagai gambaran atau asosiasi
tentang hal-hal yang misterius yang bagaikan muncul dari kedalaman laut abad ke 19
yang diwarnai oleh filsafat Hegel dsb. Selanjutaya perkataan scjarah telah pula membuat
paling tidak dua asoeiasi. Terbayang di mata kita suatu gambaran atau rangkaian kejadian
di masa lampau manakala mendengar perkataan bahwa sejarah itu berulang. Sebaliknya
manakala mendengar bahwa seseorang sedang belajar sejarah, maka yang timbul ialah
gambaran berupa pembahasan-pembahasan dan tulisan-tulisan tentang masa lampau.
Berbeda dengan sejarah yang hanya mengungkapkan rangkaian peristiwa,
termasuk
kejadian-kejadian
di
masa
lampau,
naka
filsafat
sejarah
mampu
mengungkapkan penjelasan berbagai hubungan di antara kejadian-kejadian tsb, dan
memberikan gambaran tentang kemungkinan-kemungkinanyang bakal terjadi di masa
mendatang. Berbeda pula dengan sejarah yang membahas masalah dalam sejarah itu
sendiri, maka filsafat sejarah membahas sejarah itu sendiri, seperti tentang apakah sejarah
itu pengetahuan (knowledge) atau bukan? Bagaimanakah mengetahui fakta sejarah?
Berbedakah dengan yang disebut dengan sejarah yang obyektif? Juga apakah ada hukum
8
9. dalam sejarah ? Atau juga apakah hakekat teori-teori sejarah seperti adanya pendekatan
Marxis dsb,?
Pertanyaan-pertanyaan tsb. tidak segera memperoleh jawaban secara tegas dan
memuaskan. Pertanyaan besar yang dikemukakan dalam buku inl misalnya, yaitu
“Apakah gerangan hakekat penjelasan sejarah itu?” Jawabannya sulit diperoleh sebab
gambaran yang dikemukakan dan ditemukan dapat membahayakan para sejarawan.
Mereka menjadikan jawaban tsb. sebagai semacam peraturan yang mengarahkan semua
uraian sejarah yang dikemukan.
Buku inl mencoba mencari jalan untuk monemnukan jawab atas pertanyaan dasar
tadi dengan cara memberikan peta besar berupa peta sketsa permasalahan.Sebagai
konsekuensi maka secara bertahap buku ini memberikan uraian tentang persoalan
penjelasan dalam ilmu pengetahuan (alam) dan dalam kehidupan sehari-hari. Masalah
pokok bahasan dalam sejarah adalah hubungan kausal dalam sejarah dsb.
Laporan buku inl nencoba mcmberikan gambaran tentang filsafat sejarah, yaitu
masalah hubungan kausal dalam sejarah dan masalah penjelasan sejarah (historical
explanatory)
B. MASALAH SEBAB AKIBAT DALAM SEJARAH
(Causal Connexion in History)
Bagaiaana Penjelasan Sejarawan ?
Bagaimanakah prosedur yang digunakan para sejarawan dalam menghadapi fakta
untuk menjelaskan kejadian sejarah? Pada hakekatnya tak berbeda di antara para
sejarawan, hanya berbeda dalam jalan yang ditempuh, yang dianggap aneh. Berbagai
kesulitan yang dihadapi kita dapat terlihat dalam buku ini, dalam berbagai ilustrasi, dalam
menghadapi atau melihat hubungan sebab akibat dalam sejarah.
Dalam banyak hal para sejarawan jarang sekali menggunakan kata-kata
penghubung seperti : sebab, karena oleh sebab, dikarenakan oleh dsb. Sebaliknya mereka
sering menggunakan istilah seperti :
Dalam keadaan seperti itu, maka tak mengherankan kalau ...
Sesungguhnya dalam hal ini dia ..........
9
10. Tak dapat dielakkan lagi bahwa ..........
Juga sering digunakan beberapa kata benda seperti :
pengaruh,
dorongan
motif,
dorongan
hati
(impuls),
perkembangan,
konsekuensi,akibat dsb,
Kata-kata kerja seperti tersebut di bawah ini juga seringkali digunakan, seperti :
menuju ke ... menghasilkan dalam ... membuat ..., mengakibatkan ... ataupun merangsang
untuk ... Ini semua memang, nembuat kita menjadi tambah bingung bila dibanding kalau
digunakan kata penghubung sebab dan sebangsa- nya.
Seringkali para sejarawan membuat uraian yang tidak blak- blakan, tidak terus
terang, melainkan berselimut ataupun menggunakan selubung kalimat tartentu, sehingga
hanya nemberikan uraian dengan tersirat saja. Akibatnya hanya terasa mereka
mendongeng (narrating), padahal maksudnya ingin menjelaskan (explaining).Misalnya
mereka menulis sbb.:
“The growing benavalance of the age was moved to cope with
the appaling infant mortality”. (Travelyn: English Social History).
Padahal yang dimaksud ialah lebih dari itu, yaitu:
“ … people decided to deal with the appaling infant mortality”.
Terasa bahwa dalam sejarah masalah penjelasan merupakan sesuatu yang
mengejutkan,Uraian sejarah kebanyakan hanya bersifat kronik saja. Mereka gemar sekali
menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : inevitability, impossibility, necessaity
ataupun metafora-metafora, seperti lead to, force, compel, make dab, seolah-olah ada
sesuatu pengertian ‘takdir’ yang mempengaruhi jalan sejarah. Ada kesan bahwa sejarah
tidak lain adalah ‘dongeng’ tentang manusia tak berdaya dalan kungkungan sang takdir
yang
jahat dan irasional. Masalahnya sekarang ialah : tidakkah perlu dilakukan
perubahan makna, bahwa sejarah tidak lain adalah ceritera tentang manusia yang
berikhtiar dan berupaya? Dengan demikian maka uraian sejarah tidak lagi terlalu kering
tanpa bumbu.Ada ungkapan terkenal dari Taine yang berbunyi : “Apresia collection des
10
11. fails, la recherche des causes”, yang berarti ‘Setelah pengumpulan fakta, tinggal mencari
penyebabnya’.
Berbeda dongan Croce yang tidak menyetujui ungkapan tsb, sepertii tersebut
dalam bukunya The Theory and History of Historiography, Gardiner dapat menerima
ungkapan Taine tsb. Ini berarti dia menyetujui anggapan bahwa sejarah adalah suatu
rangkaian sebab akibat, meskipun pada dasamya orang sulit sekali menemukan faktor
yang dianggap sebagai penyebab yang paling utama.
Ungkapan semacam itu bisa disebut sebagai prosedur sejarah. Dengan kata lain,
sejarah adalah terdiri dari fakta. Dan rangkaian fakta tsb. dapatlah diketahui rangkaian
sebab akibat yang dapat memberikan kejelasan bagi rangkaian fakta tsb. Croce tetap
berpendapat bahva sejarah tidak dapat dijelaskan dengan rangkaian sebab akibat,
melainkan hanya dapat dijelaskan oleh kejadian itu sendiri.
Sementara itu pengertian fakta sendiri masih amat membingungkan (ambigu) dan
bersifat subyektif serta relatif. Misalnya ambilah contoh tentang ‘penyerangan Napoleon
ke Rusia’. Yaklnkah kita bahwa hal itu adaiah fakta sejarah? Bila kita terlibat atau
berkepentingan dengan ‘fakta’ tsb, maka interpretasi kita tentang fakta tsb. dapat lain.
Jadi dengan kata lain, fakta yang kita nyatakan sebagai fakta tak lain adalah fakta yang
telah diberikan interpretasi.
Menurut filsafat sejarah setiap kalimat atau pernyataan menunjuk ke arah fakta,
seperti :
Fakta matematik, seperti 2+2=4.
Fakta hipotetis, seperti bahva planet mengelilingi matahari dengan mengikuti jalur
elips, seperti disebutkan dalam hukum Kepler.
Fakta masa lampau, seperti : bahwa Caesar menyeberaag ke Rubicon.
Dalam hal ini tugas sejarawan ialah mengumpulkan fakta (collecting facts) dan
selanjutnya mencari penyebab (looking for causes). Dan tugas itu tidak dapat dengan
mudah dilaksanakan,antara lain karena karena tidak semua fakta dapat dipercaya
(reliable). Untuk itu harus dilakukan pengujian terhadap kebenaran dengan otoritas
ataupun persaksian. Yang dinaksud dengan otoritas dalam hal ini menyangkut dokumen,
pengetahuan yang ada dan pengalaman yang ada. Sementara itu seauatu kejadian tidak
11
12. mungkin berdiri sendiri yang terlepas dari ikatan yang disebut sebagai ‘social contact.’
Jadi ungkapan Taine dapat diterima kebenarannyadan tidak menyesatkan.
Sementara itu ada kritik terhadap teori Taine, yaitu :
1. Taine nengacaukan antara fakta dengan bukti. Kalimat ‘Sesuatu telah terjadi’,
tidaklah sama dengan kalimat ‘Terbukti bahwa sesuatu telah terjadi’.
2. Fakta pada dasarnya hanyalah teka-teki. Menurut Croce, fikiranlah yang
membentuk fakta. Jadi ada tidaknya fakta tergantung pada fikiran seseorang.
3. Sebab menghubungkan antara dua atau lebih fakta.
Apa yang dapat ditarik dari pembahaaan di atas ialah suatu kesimpulan bahwa
temyata menemukan fakta dan nenemukan sebab, keduanya merupakan ‘prosedural inter
connexion’ dalam sejarah. Dengan ini dapatlah diterima anggapan bahwa mencari sebab
dapat membcrikan penjelasan bagi sesuatu kejadian sejarah.
Masalah dalan Hubungan historis (historical connexion)
Menemukan hubungan sebab akibat tidak cuma merupakan hal penting dalam
penjelaean sejarah, melainkan juga penting bagi penemuan dan menegakkan fakta. Untuk
itu harus diperhatikan hal-hal sbb. :
1. Masalah apa yang diperbuat oleh sejarawan ketika berbicara tentang dua kejadian
yang berbubungan satu dengan yang lain.
2. Masalah kondisi yang bagaimana dapat dikatakan bahwa dua fakta itu sah untuk
disebut berhubungan.
Dengan sendirinya tugas semacam itu tidak mudah diselesaikan, misalnya dalam
hal menentukan hubungan antara ‘Calvinisme’ dengan ‘kapitalisme’,antara ‘liberalisme’
dengan ‘kebangkitan nasional’, antara ‘kebangkitan agama Kristen’ dengan ‘Sistem
perbudakan di Romawi’, antara ‘Perang Dunia I1’ dengan ‘persaingan bebas’.
Di sini para sejarawan sulit menemukan sebab yang utama. Sehingga timbullah
pertanyaan berupa : ‘Betulkah ada hubungan antara setiap pasangan di atas?’ Jawabannya
akan sangat tergantung pada isme apa yang mendasari penafsiran terhadap fakta tsb.,
idealisme-kah atau materialisme-kah?
12
13. Masalah penjelasan dalam sejarah tidak dapat dipersamakan dengan penjelasan
dalam peristiwa-peristiwa sehari-hari, seperti antara ‘kaca pecah’ dengan ‘lemparan
batu’, atau antara ‘bola bilyar menggelinding’ dengan ‘sodokan tongkat’. Dalam sejarah,
maka segala fakta harus ditafsirkan dan dijelasakan dalam kaitan dengan ikatan ruang,
waktu serta kondisi. Selain itu harus ditekankan bahwa kita tidak dapat nenemukan
‘hukun’ dalam sejarah, yang dapat dipergunakan untuk ‘neranalkan’ sesuatu kejadian
yang bakal terjadi. Sejarah adalah masalah
dimana, mengapa, bagainana dan bukan
tentang hubungan atau ramalan, dan bukan pula suatu masalah generalisasi.
Ini jelas merupakan ciri yang berbeda dengan yang berlaku dalam ilmu
pengetahuan alam, yang mengenal hukum sebab akibat. Masalah generalisasi sebagai
akibat pengambilan kesimpulan dari pengalaman empirik. Dalam sejarah hubungan
antara sebab akibat tidak begitu jelas. Hubungan sebab akibat sangat bersifat khusus.
Sementara itu orang sering melakukan analogi sedang kejadian itu sendiri sulit
didefinisikan.Hal ini juga disebabkan karena dalam sejarah tidak dikenal adanya
pengulangan kejadian maupun percobaan. Sesuatu kejadian sejarah hanya terjadi satu
kali saja. Oleh karenanya hanya kesimpulan khusus saja dapat ditarik dari sesuatu
kejadian.
Sebab dan Konteks dalam Sejarah
Seperti sudah dikatakan di muka artinya sulit sekali menemukan bahwa sesuatu
kejadian itu ditimbulkan atau disebabkan oleh kejadian terdahulu. Biasanya hal itu
melibatkan berbagai kondisi lain yang memberi pengaruh. Sebagai contoh dapat
dikemukakan sbb.:
Sesuatu pemberontakan disebabkan oleh sekelompok perusuh ataukah oleh
Moskow ?
Pemberontakan yang digerakkan oleh serikat buruh itu dilancarkan untuk apa,
untuk tujuan perdamaian ataukah untuk kepentingan kelas ?
Dalam sejarah biasanya yang dianggap sebagai sebab utama sesuatu kejadian atau
perubahan ialah : ideologi, semangat nasionalisme,kemauan manusia, ekonomi dab.
13
14. Fakta sejarah berupa penembakan yang terjadi di jalan raya Sarajevo dianggap sebagai
penyebab pecahnya PD I. Benarkah itu? Apakah ini berarti bahwa :
Tanpa kejadian itu PD I tidak akan terjadi ?
Atau bahwa PD I tak akan terjadi pada ‘saat’ itu dan dalam ‘bentuk’ seperti itu?
Ataukah bahwa tanpa kejadian itu tak akan ada peristiwa presis seperti itu pada
waktu itu?
Lalu manakah di antara kemungkinan tafsir yang diakui oleh Sejarawan? Ternyata
bahwa dalam menentukan mana-nana yang dianggap sebagai penyebab sesuatu kejadian
atau perubahan, sangat tergantung dari titik pandangan seseorang sejarawan. Selain itu
juga tergantung pula pada proses sejarah itu sendiri. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa
ada suatu “dinamika ajaib” yang
menggerakkan atau menjadi sebab utama yang
misterius. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa penafsiran sejarah sangat tergantung pada
tempat berpijak sejarawan itu sendiri, tergantung pula pada level dan jarak serta
tergantung pula pada tujuan dan kepentingan.
Tentang masalah sebab utama ada berbagai pandangan. Misalnya Hegel
beranggapan bahwa faktor ekonomi serta faktor tokoh besar sejarah merupakan sebab
utama itu. s Sedangkan J.B. Bury beranggapan bahwa yang menjadi sebab utana adalah
’chance’ dalam artian persaingan antara berbagai penyebab.
C. ASPEK LAIN DARI PENJELASAN SEJARAH
Pendahuluan
Dengan berbagai contoh di muka sudah dapat kita pahami betapa penjelasan
dalam sejarah tidak mengikuti logika penjelaaan yang unum. Sejarah sebagai gut
generalia mengikuti logika yang khas (unik). Uraiannya akan mengikuti prosedur sbb.:
Masalah sebab akibat dalam mencari penjelasan mental (mental causation).
14
15. Sejarah tidak terbatas dalam mencari penjelaaan melewati fakta-fakta yang
bersifat fisik atau kejadian alamiah yang dapat diamati seperti gempa
bumi, perang,
musim/cuaca, proklamasi kemerdekaan dsb. Sejarah juga banyak dijelaskan dengan
penjelasan yang bersifat mental. Dalam kehidupan sehari-hari dikenal berbagai pola
hubungan sebab akibat seperti :
Sesuatu melakukan tindakan sesuatu untuk mencapai sesuatu.
Untuk mencapai sesuatu seseorang telah melakukan sesuatu.
Seseorang melakukan sesuatu karena khawatir kalau-kalau tidak akan dikerjakan
oleh orang lain.
Dalam kenyataan sesungguhnya dalam sejarah penjelaaan-penjelasan sering dicari
pada maksud, keinginan, fikiran, rencana, kebijaksanaan dsb. dari yang berkepentingan.
Di sini mulai perbedaan itu dalam llmu pengetahuan alam, maka tidak dapat dikatakan
bahwa sesuatu terjadi karena dikehendaki atau dimotivasi oleh sesuatu keinginan. Klta
tahu bahwa gempa, banjir, bencana alam lain dsb. tidak dapat dikatakan datang karena
dikehendaki atau tidak dikehendaki.
Hanya kejadian-kejadian di sekitar manusia saja yang mempunyai latar betakang.
Dan latar belakang itu bersifat mental, seperti fikiran-fikiran yang nembangkitkan
seauatu perbuatan. Dalam keadaan seperti itu maka tugas sejarawan ialah dalam
menggambarkan betapa isi berbagai bentuk sebab atau penyebab dalam sejarah. Juga
mereka bertugas menentukan betapa sesungguhnya sejarawan mengetahui penyebab yang
menggerakkan sesuatu perbuatan sejarah.
Jawaban sejarawan Collingwood dapat dimukakan dalaa dua ccra mengenai halhal tsb., yaitu :
1) Penyebab sesuatu kejadian ialah suatu hakekat yang ada di ballk sesuatu kejadlan
dan disambut sabagai mental causation. Ini merupakan motif atau maksud yang
menggerakkan sesuatu perbuatan.
2)
Sulit sekali untuk mengetahui motif yang sesungguhnya yang menggerakkan
suatu perbuatan. Ini hanya dapat dijelaakan dengan sekedar analogi dengan
pengalaman manusia yang lain.
Ini memerlukan suatu proses yang disebut pengambilan kesimpulan, yaitu suatu
akibat dari proses ‘rethinking them within his own mind’ atau ‘by recreating the
15
16. experience of the agent’. Dalam kenyataan banyak sejarawan yang lebih menggunakan
imajinasi atau intuisi dalam memberikan penjelasan atau penilaian atas sesuatu kejadian,
tanpa melakukan pengambilan kesimpulan (inferensi) setelah melakukan perbandingan.
Dengan kata lain dapatlah dikemukakan sbb,:
1) Banyak ponjelaaan yang diberikan dengan mendasarkan pada pengetahuan
tentang maksud ( motif, iatar belakang dsb,dari sesuatu kejadian.
2)
Sejarah sebagai ilmu yang terlibat dengan kejadian dengan kejadian-kejadian
manusia di masa lampau mendasarkan proeedur penjelasannya pada zaman lalu.
3)
Penyebabnya amat khas, karena sebab-sebabnya tidak dapat diamati
(unobservable) merupakan bagian dari sebab-sebab fisik, dan pengambilan
kesimpulannya tidak dibandingkan dengan pengalaman masa lampau, melainkan
dengan apa-apa yang hidup dalam ftklran.
Jadi masalahnya memasuki bidang yang tidak kunjung dapat dipecahkan antara
materlalisme dan idealisme, dalam mencari sebab-sebab atau latar belakang sesuatu
kejadian,
Motif, Fikiran dan Understanding
Ada tiga hal yang harus ditegaskan dalam memberikan jawaban atas berbagai
masalah, yaitu :
1) Yang menyangkut analisis tipe-tipe penjelasan.
1.
Menyangkut hakekat pengetahuan kita tentang hal-hal yang terjadi dalan fikiran
manusia (orang lain).
2.
ang menyangkut permasalahan tentang ‘reliving’ atau ‘recreating’ yang terjadi
pada diri manusia.
1. Panjelasaa atas dasar sikap mental.
Pada diri manusia terdapat suatu mekanisme yang disebut ‘the making of the
nind’. Perbuatan-perbuatan manusia pada dasarnya merupakaa pencerminan dari suatu
sikap yang timbul oleh karena berbagai hal, seperti :
16
17. ‘Occupied by certain thoughts’.
‘Guided by certain considerations’.
‘Governed by cartnin desires’.
‘Driven by certain impulses’.
‘Doing what their reason tells them’.
‘Obeying their instincts’.
‘Searching their consciences’.
‘Fighting their temptations’
Dan dalam hal beberapa negarawan nelakukan berbagai kebijaksanaan sebagai akibat
dari khayalnya, mungkinkah ‘is he really the victim of delusio;
ns of grandeur’?
Dalam sejarah tindakan Napoleon dianggap dimotivasi oleh ‘the will of power’.
Dapatkah hal itu diamati? Lalu bagaimana proses pengaruh itu terjadi? Kapankah
pengaruh itu dimulai dan kapan pula diakhiri? Apakah ketika Napoleon tidur terjadi pula
pengaruh itu? Juga apakah pengaruh itu datang ketika Napoleon sedang beristirahat
kecapaian dan dsb. ?
Motivasi dan dorongan itu tentunya tidak dapat diamati seperti kalau kita
berbicara tcntang ‘power’ yang mendorong lokomotif. Untuk itu
kita baru dapat
memperoleh informasinya setelah melakukan angket atau wawancara, melalui buku
harian, surat pribadi maupun surat dinas, laporan memoir dsb.
Dalam kenyataan kita dapat membedakan antara ‘suatu perbuatan itu
direncanakan, dimaksudkan atau diprogramkan’
dsb, atau
‘suatu perbuatan itu
dimaksudkan untuk maksud tertentu’ ataupun dengan ‘suatu perbuatan itu dimotivasi
oleh’ dan juga ‘suatu pcrbuatan itu beralasan’ (were reasoned) dan ‘dianggap’ (were
concidered) atau ternyata ‘ada perbedaan dalam derajat’.
3. Apa yang dimaksud dengan ucapan bahwa kita nengetahui apa-apa yang
sedaag menjadi atau sudah terjadi, menurut fikiran oramg lain?
17
18. Flkirnn adalah sesuatu yang hanya diketahui oleh yang punya fikiran. Ini neliputi
motif, fikiran atau emosi. Orang lain hanya bisa menduga atau nengandaikan saja apaapa yang dalam fikiran orang lain. Jadi apa-apa yang diketahui oleh sejarah adalah hanya
hipotesis atau perkiraan. Meskipun demikian perkiraan itu dinilai sangat meyakinkan
(absolutely certain). Hi[ptesis atau perkitaan tadi tidak usah dipertentangkan dengan
‘'knowledge’.Sejarawan dianggap dapat nenghayati tokoh-tokoh sejarah, sehingga
dianggap dapat menerka fikiran yang ada pada tokoh aejarah.
Seaungguhnya pengetahuan tentang apa-apa yang difikirkan, dirasakan orang lain
itu mustahil ada, sebab fikiran atau perasaan orang lain Itu tidak dapat ditaati. Meski
dengan telepatipun hal itu tak dapat dilakukan. Sebaliknya terkaan atau hipotesis dapat
diperoleh dengan ‘ungkapan’ yang timbul sebagai informasi dari yang mengalami itu
sendiri (yaitu pelaku sejarah), yaitu lewat berbagai dokumen yang bersangkutan dengan
para pelaku sejarah.
D. Apa makna ungkapan-ungkapan seperti di bawah ini?
‘reliving the experience of other people’.
‘rethinking the thoughts of historical characters’
Sebagai alasan untuk membela kemampuan sejarawan melakukan berbagai
peranan itu ialah karena adanya kebenaran tentang ‘living them selfes into’ atau
‘historical inside’ pada mereka. Demikian juga karena adanya yang dikenal sebagai :
‘intuitive understanding’ pada diri mereka. Mereka dianggap mempunyai
kemampuan semacam
‘sinar tenbus psikologis’ untuk menembus batas waktu dan ‘fikiran’ manusia
untuk menangkap:
‘menial causes’ yang berada di balik setiap kejadian sejarah.
Tentu saja ini semua perlu diadakan pengkajian lebih dahulu, sbb.:
a.
Caranya bukan membayangkan dirinya seolah-olah pelaku sejarah itu sendiri,
melainkan membayangkan diri menghadapi persoalan yang sama itu (the same
experience dan bukan the similar experience).Lalu sejarawan itu membayangkan
18
19. apa-apa kira-kira sikap atau tindakan yang akan diambil dengan menggunakan
latar belakang pengalanan sendiri. Jawaban yang diperoleh ialah sebagai hipotesis
yang dapat salah. Contoh-contoh yang diperbuat oleh Max Weber dalam
menguraikan masyarakat Eropah dalam bukunya ’The Theory of Social and
Economic Organization’.
Kalau jawaban yang diperoleh membingungkan, maka digunakanlah cara kedua,
yaitu menempatkan diri dalam posisi si pelaku sejarah.
b. Sejarawan sering mengatakan bahwa mereka dapat memahami (understanding)
terhadap sesuatu tindakan (understanding an action). Ini berbeda dengan
‘understanding an event’ (mengerti sesuatu kejadian).
Orang dapat memahami (appreciate) sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh orang
lain, manakala orang tersebut memiliki pengalaman yang sejenis. Kita dapat contoh dari
seorang sopir yang dapat memahami sesuatu tindakan YAng diperbuat oleh sopir lain.
Kadangkala understanding diartikan dalam kaitan dengan kenampuan untuk
memahami perbuatan seseorang yang luar biasa dengan situasi yang tidak asing. Ini
disebut scbagai ‘imaginative understanding’. Ini sekali lagi tidak bcrart bahwa seseorang
telah menjadi orang lain atau pelaku sejarah tsb.
Dalam hal itu maka interpretasi mereka dapat meyakinkan atau bahkan ‘jauh
panggang dari api’. Keyakinan adanya sejenis pengetahuan semacam itu terlihat pada
ungkapan-ungkapan semacam ‘having the same thought’ (memiliki fikiran yang sama),
‘reachmg the same conclusion’ (sampai pada kesimpulan yang sama), ataupun ‘acting
with the same motives’ (bertindak dengan motif yang sama).
Mengkaji Kembali Permasalahan
Masalah yang segera timbul setelah pembahasan di muka ialah ; Bagaimana
pengaruh pandangan-pandaagan tsb, di atas terhadap permasalahan yang kita hadapi?
Masalah itu dapat diperinci menjadi dua bagian, yaitu :
1. Analisis mana yang benar dari penjelasan-ponjelaaan tsb.
2.
Pembenaran macam mana yang dikehendaki oleh sejarawan dengan penjelasanpenjelasan tsb.?
19
20. Para alili filsafat sejarah menyatakan banwa meski motif maupun maksud
merupakan “penyebab” sesuatu tindakan atau perbuatan, semuanya masih tetap unik.
Semuanya hanya dapat diketahui oleh pelaku sejarah itu sendiri, sedangkan orang lain
hanya dapat memahaminya dengan membayangkan bahwa pengalaman tsb. terjadi atau
menimpa kita. Meskipun demikian harus dipandang bahwa hubungan itu tidaklah bersifat
sebab akibat. Di sana terjadi sesuatu hubungan yang tidak langsung.
Ada tiga pengamatan yang perlu dilakukan dalam membicarakan motif yang
mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan, yaitu :
A
Tentang apa yang dimaksudkan dengan maksud atau tujuan yang dianggap
sebagai latar belakang sesuatu tindakan.
c. Dalam melakukan sesuatu kegiatan (tindakan), harus diingat bagaimana
menformulasikan masalah sebelum bertindak, atau dengan jalan mengingat-ingat
jenis alasan yang dipergunakan.
Di lain kesempatan harus dilakukan
tindakan dengan menyingkirkan alasan-alasan yang dibuat-buat atau dengan
mengesampingkan kemungkinan reaksi orang lain atau juga mengesampingkan
pengetahuan tentang karakter atau kepribadian sendiri.
d.
.Dalam melakukan sesuatu, maka kita mempertimbangkan kriteria berupa apaapa yang mungkin dikatakan orang lain,
Ketika kita memperkirakan motif orang lain jangan digunakan pengalaman diri
sendiri, sebab setiap orang akan berfikir lebih dahulu secara rasional, karena tidak
mengalami sendiri persoalan yang dialami orang lain.
Hal lain yang perlu disanggah ialah karena kebanyakan tokoh sejarah telah tiada,
maka sulit sekali mengikuti atau mengetahui tokoh tsb. Di sini hipotesis tentang motif
menjadi makin terasa menjadi penghalang. Dalam keadaan itu maka sangat diperlukan
pembacaan atas pengakuan, memoir naupun buku harian dari tokoh sejarah yang
bersangkutan.Akan tetapi pengakuan semacam itu dianggap tidak pula relevan, karena
biasanya pengakuan itu ditulis dengan secara berlebih-lebihan dan sering bersifat
membohongi diri sendiri. Untuk itu maka diperlukan proses pengujian dengan
membandingkan dengan tindakan-tindakan lain dalam suasana yang bersamaan, yang
juga kita ketahui.
20
21. Mamang diakui bahwa cara ini sulit dilakukan, bukan karena adanya pengalaman
empirik, melainkan menurut pertimbangan logika. Satu-satunya yang dapat diperbuat
ialah nengumpulkan perwatakan atau karakteristik sang pelaku sejarah.
Sementara itu terjadi pula perbenturan dalam memberikan penjelasan sejarah. Di
satu fihak kita berusaha memberikan penjelasan dengan nencari tahu dan menemukan
maksud dan tujuan’ yang telah dirancang, yang melatar belakangi sesuatu kejadian. Di
lain fihak kita mendasarkan pada kejadian fisik atau menemukan situasi yang menjadi
lantaran.
Kebingungan terjadi manakala membayangkan bahwa perbedaan jenis penjelasan
itu akan mengakibatkan perbedaan alasan atau sebab. Akan tetapi tidak berarti kita bakal
mengalami kesulitan dalam memberikan penjelasan dengan hukum sebab akibat tentang
mengapa seseorang nempunyai kemauan, maksud, rencana dsb. Yang jelas ialah bahwa
mempunyai keinginan tidak sama dengan mempunyai bisul, misalnya, atau gangguan
syaraf, meskipun semuanya merupakan alasan untuk sesuatu perbuatan. Denikian pula
sebuah tawaran hadiah dapat pula menjadi sebab terjadinya suatu perbuatan.
Dalam sejarah dikenal perbedaan dalam pendekatan antara kaum materialis dan
kaum idealis. Di satu fihak mereka beranggapan bahwa pendekatan kaum materialis
mempunyai status ilmiah. Di lam fihak mereka, kaum idealis beranggapan tentang
perlunya mempertahankan kebebasan dari jiwa manuaia.
Menurut Karl Marx, fikiran serta gagasan pada diri manusia hanya merupakan
“omong kosoag yang lahir dari landaaan materiil”. Sebaliknya Collingwood beranggapan
bahwa yang disebut “omong kosong” itu merupakan kekuatan dan hidup yang dapat
mengendalikan dunia dan mengubahnya. Dia menyebutkan suatu aktivitas manusia yang
pada dasamya merupakan alasan, fikiran, maksud dan rencana, Dunia serta manusia,
katanya, merupakan atau terdiri dari materi dan fikiran. Keduanya tidak dapat dipisahkan
satu sama lainnya. Dalam filsafat sejarah sesuatu penafsiran atas kejadian, sangat
tergantung pada interes sang peninjau. Selanjutnya tindakan manusia dipengaruhi oleh
lingkungan dan fikiran manusia itu. Mungkin benar bahwa fikiran, maksud, idea dsb. dari
manusia adalah hasil dari aktivitas tubuh yang bersifat materi, namun tidak berarti bahva
penjelasan atas dasar fikiran ataupun idea manusia menjadi mubazir. Sekali lagi ternyata
21
22. bahwa sesuatu kejadian tidak bisa hanya dapat dicarikan penjelasannya dari satu sebab
yang bersifat mutlak.
Jadi jelas sudah bahwa tidaklah benar bahwa seluruh perilaku manusia hanya
dapat diterangkan dengan hukum sebab akibat yang amat bersifat deterministis.
E. KOMENTAR
Para politisi sering berusaha mengambil manfaat dari sejarah dalam usaha mereka
menentukan berbagai kebijakan politik mereka, karena mereka beranggapan bahva
dengan mempelajari sejarah orang dapat meramalkan sesuatu kejadian yang bakal datang.
Ini merupakan contoh dari pengakuan terhadap kebenaran anggapan bahwa sejarah dapat
berulang, meski dalam situasi dan kondisi yang berlainan. Sebenarnya perbincangan
tentang benar tidaknya anggapan semacam itu masih tetap berjalan di kalangan ahli
filsatat sejarah.
Gardiner merupakan salah seorang di antara yang tidak cenderung membenarkan
kebenaran gagaaan itu, karena dia menolak penggunaan hukum sebab akibat dalam
menjelaskan kejadian-kejadian sejarah. Hukum sebab akibat itu hanya dapat barlaku
dalam masalah ilmu pengetahuan alam, di mana kejadian atau sesuatu gejala dapat
diulang kembali, termasuk dalam percobaan, karena kejadian-kejadian itu tidak
tergantung pada faktor ruang, waktu maupun situasi. Berbeda halnya dengan kejadiankejadian yang menyangkut manuaia dan yang terjadi di masa lampau.
Akan tetapi sementara itu seluruh kejadian sejarah bagainanapun harus dapat
dijelaskan. Dalam kaitan dengan ini para sejarawan mengambil peranan untuk dapat
memberikan penjelasan seluruh kejadian sejarah itu. Dalam buku The Nature of
Historical Explanation ini Gardiner telah menjelaskan bagaimana
perbedaan yang
terjadi di kalangan ahli filsafat sejarah, tentang usaha memberikan penjelasan terhadap
peristiwa- periatiwa sejarah. Gardiner sendiri beranggapan bahwa usaha menjelaskan
saling hubungan dalam peristiwa-peristiwa sejarah masih sulit. Hal itu sangat tergantung
pada kepentingan serta pandangan hidup yang dianut sejarawan.
Henry Pirenne beranggapan bahwa perbedaan penjelasan dapat timbul di
kalangan sejarawan, tergantung pada tingkat imajinasi, kreativitas dan konsepnya tentang
22
23. manusia. Meskipun demikian dia tidak dapat melepaskan manusia sebagai sejarawan dari
faktor sosial, budaya, lingkunsan nasionalnya dsb. Jadi tidak hanya tergantung pada
kepribadian setiap sejarawan itu sendiri. Nyatalah sudah bahwa tugas sejarawan ialah
menyampaikan fakta masa lampau serta memberikan penjelasan hubungan antar fakta,
sehingga membuat segalanya menjadi jelas. Semuanya menjadi semacam sintesis dan
hipotesis yang dllakukan oleh sejarawan itu sendiri.
Dengan penjelasan yang diberikan oleh sejarawan itu masyarakat dapat
menerimanya sebagai sebuah realitas. Dengan demikian beban yang diberikan oleh bapak
sejarah, Herodotus, dapat dilaksanakan oleh para sejarawan. Seperti kita ketahui
Herodotus beranggapan,bahwa tugas wan ialah menyampaikan apa-apa yang diperbuat
oleh orang-orang di masa lampau, agar tidak dilupakan oleh manusia pada generasi
sekarang dan yang akan datang. Oleh Herodotus ditegaskan bahwa “Historia Vitae
Magistra” yang berarti “Sejarah merupakan guru kehidupan”. Demlkian pentingnya
masalah penjelasan dalam sejarah bagi Gardiner, sehingga dia nengemukakannya dengan
cara berhati-hati.
@@@
Catatan :
Tulisan di atas merupakan karya tulis berbentuk Laporan Buku berjudul The Nature of
Historical Explanation yang ditulis oleh Patrick Gardiner, yang disusun sebagai salah satu
tugas dalam rangka perkuliahan Dimensi Sejarah (SEJARAH 500) yang diampu Prof.
DR. Sartono Kartodirjo, ketika menempuh studi pada Sekolah Pasca Sarjana (SPS) IKIP
Bandung pada tahun 1981.
@@@
23
24. 2. TANTANGAN SEJARAH
PENDAHULUAN
Orang kebanyakan di manapun di dunia, termasuk di Amerika, biasa mengatakan
agar kita menyampaikan apa adanya. Ungkapan tadi secara tidak sadar seperti
menyampaikan pendapat sejarawan terkenal dari Jerman, Leopold von Ranke. Untuk
menulis sejarah haruslah apa adanya. Menurut kalimat aslinya
"wie es eigentlich
gewesen", atau “how it really was”. Namun dalam kenyataannya ungkapan itu sulit
dilaksanakan.
24
25. Ternyata tidaklah sama antara pertanyaan “Apa yang terjadi (hapened?”, “Apa
yang kita ingat (recall)?”, “Apa yang dapat kita temukan kembali (recover)?”, “Apa
yang dapat kita susun (relate)?”.
Sama sulitnya juga bagi kita bagaiamana
menjawab
pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Seringkali kita sangat tergoda untuk menyampaikan berbagai peristiwa
sebagaimana kita harapkan terjadi, ketimbang apa yang sesungguhnya terjadi. Bernard
Lewis menawarkan tiga tipe batasan tentang sejarah, lengkap dengan ilustrasinya dengan
peristiwa yang terjadi dalam sejarah di Timur Tengah.
Ketiga tipe sejarah itu yaitu “sejarah sebagaimana diingat (history-remembered)”,
“sejarah sebagaimana ditemukan kembali (recovered)”, dan “sejarah sebagaimana
ditemukan yang belum dikenal sebelumnya (invented)”.
Lebih lanjut Lewis menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan :
remembered “sebagai salah satu tipe sejarah adalah kenangan kolektif yang diwarisi
tentang sesuatu komunitas di masa lampau, yang disampaikan lewat karya sastra, ritus,
maupun nyanyian yang telah digunakan oleh para pemimpin karena dipandang penting
untuk diingat” (the inherited collective memory of a community passed on through
literature, ritual, and song that leaders choose to remember as significant).
Kemudian yang dimasuk dengan recovered “adalah pengetahuan berkenaan
dengan peristiwa, manusia, dan pikiran yang telah terlupakan, kemudian
diperoleh
kembali, dan berhasil di susun kembali oleh para sarjana” (the knowledge of events,
persons, and ideas once forgotten and then retrieved and reconstxcructed by scholars).
Sedangkan yang dimaksud dengan
invented “adalah sejarah yang lengkap
dengan motif-motif yang tersembunyi. Tipe ini merupakan hasil penafsiran atas sejarah
yang ‘remembered’ maupun ‘recovered’, dan dirakit, kalau tidak – dan ini sering terjadi –
disusun agar sesuai dengan corak politis yang khusus, ideologis, ataupun tujuan nasional.
(history with an ulterior motive. Interpreted from remembered and recovered history—
and fabricated when not—it is often tailored to fit specific political, ideological, or
nationalistic goals.
@@@
25
26. Tentang penulis buku tersebut dapat dikemukakan, bahwa Bernard Lewis adalah
direktur Lembaga Riset Annenberg untuk kajian-kajian tentang masalah Yahudi dan
Timur Dekat. Beliau juga merupakan Guru Besar Kajian Timur Dekat pada Cleveland E.
Dodge, di samping sebagai Guru Besar Emiritus pada Princeton University. Beliau
banyak menulis buku-buku sejarah Islam maupun masalah Timur Tengah.
BAB 1 : MASADA DAN CYRUS
Pendahuluan
Peringatan peristiwa-peristiwa sejarah dengan menyelenggarakan festival
merupakan kebiasaan orang Timur Tengah kuno yang masih dilaksanakan sampai
sekarang. Perayaan semacam itu diselenggarakan juga sebagai upacara kenegaraan di
masa modern, sementara di masa-masa sebelumnya diselenggarakan dengan cara
perayaan keagamaan yang didahului dengan ritus puasa. Dalam masa-masa yang lebih
kemudian perayaan-perayaan itu ditambah dengan bentuk baru, yaitu perayaan hari
kemerdekaan negara baru di kawasan Timur Tengah maupun perayaan hari ulang tahun
atau peringatan kemenangan revolusi maupun pembebasan berupa rentetan kudeta yang
terjadi. Hari-hari itu kemudian dikenal sebagai “hari besar nasional”.
Salah satu hari nasional yang diperingati oleh bangsa Turki, misalnya, adalah
peristiwa kemenangan Turki atas Konstantinopel yang diperingati terjadi 500 tahun
silam. Peringatan ulang tahun ke 500 dirayakan pada tahun 1953. Di Kairo pemerintah
Mesir
pada tahun 1969 menyelenggarakan upacara peringatan yang ke 1000 tahun
berdirinya kota Kairo oleh Khalifah al-Mu'izz dari dinasti Fatimiyah. Pada tahun 1971
bangsa Turki juga memperingati peristiwa penaklukan
kaum Muslimin- Turki atas
Anatolia yang semula dikuasai kaum Nasrani-Yunani, yang ditandai oleh kemenangan
pasukan Turki di Manzikert 900 tahun silam. Di samping peringatan semacam itu masih
ada jenis peringatan atas
kalahiran, keberhasilan, atau kematian tokoh, baik lokal,
maupun nasional. Tokoh itu dipahlawankan oleh manusia, sehingga tempat kelahirannya
diperingati oleh mereka.
26
27. Peringatan yang ke 1000 tahun hari kelahiran
kawasan-kawasan Muslim seperti
Avicenna juga dirayakan di
Arab, Persia, maupun
Turki. Karena tokoh itu
dianggap sebagai pahlawan bersama, yang dilahirkan di Bukhara, Uzbekistan.
Di kawasan Timur Tengah peringatan
peristiwa-peristiwa historis itu
kebanyakan mulai jarang dirayakan. Kita melihat adanya dua kecenderungan dalam
bentuk peringatannya. Pada beberapa negeri memang masih diperringati secara besarbesaran sbagai peristiwa utama. Salah satunya adalah peringatan atas perjuangan matimatian kaum Yahudi menjelang kejatuhan Masada dalam pemberontakan kaum Yahudi
melawan penguasa
Romawi pada tahun 66 Masehi. Peristiwa yang lain berkenaan
peringatan yang diselenggarakan Shah Iran untuk merayakan dibangunnya kekaesaran
Persia 2500 tahun silam oleh Cyrus Agung. Keduanya memiliki kesamaan dalam motif
penyelenggaraannya. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa
diselenggarakan penuh bernuansa politik, dalam artian
perayaan itu
untuk membangun citra
kemegahan secara politik maupun kejayaan militer. Ini menjadi berbeda dengan motivasi
yang bersifat keagamaan seperti di masa-masa sebelumnya. Keduanya juga bersandar
pada dukungan resmi negara.
Peringatan atas kejayaan Cyrus dimaksudkan untuk kepentingan Shah sendiri
dalam membangun citra bahwa Shah Iran, Muhammad Riza Pahlevi adalah penerus
kejayaan Cyrus. Hal yang sama juga dilakukan oleh Saddam Hussein yang menempatkan
dirinya sebagai penerus kejayaan Kaesar Hammurabi di masa Babylonia. Sedangkan
peringatan Masada oleh pemerintah Israel dimaksud untuk membangun citra
kepahlawanan bangsa Israel dalam perjuangan melawan dominasi bangsa asing, yaitu
Romawi.
Tergugah oleh kisah sedih berupa kekalahan mereka oleh Romawi, mereka ingin
bangkit menemukan harga diri bangsa dalam kejayaan militer. Reruntuhan Masada yang
telah mengubur tulang belulang prajurit Yahudi di masa lampau, telah membangun
paratrop Israel modern yang bersemboyan sangat imajinatif :
“Masada tak akan
dikalahkan lagi”. Keduanya telah menjadi momentum strategis untuk diperingati sebagai
hari perayaan nasional.
Peristiwa yang diperingati oleh kedua bangsa itu memang bertolak belakang,
yang satu sebuah kekalahan dan kehancuran, dan yang lain sebuah kemenangan berupa
27
28. membangun kerajaan, namun telah menimbulkan sebuah semangat yang sama, yaitu
pengabdian dan kepahlawanan.
Kedua peristiwa sejarah tersebut, Masada maupun Cyrus, nyaris sudah dilupakan
oleh kedua bangsa itu, Israel maupun Iran, namun
peristiwa-peristiwa itu telah
ditemukan kembali (recovered) dari sumber lain dari luar tata nilai budaya mereka.
Pengalaman Istrael
Tradisi sistem Rabbi mereka maupun dalam tradisi agama Yahudi lainnya tidak
mengenal kata Masada. Dalam literatur kerabbian maupun bahasa Ibrani bahkan tidak
menemukan kata itu. Satu-satunya sumber informasi tentang kasus Masada hanyalah
sebuah kronik susunan Josephus, seorang Yahudi yang telah murtad. Kronik itu ditulis
dalam bahasa Yunani tentang warisan budaya tradisional Yahudi. Dari sebuah adaptasi
kronik Josephus yang dilakukan oleh seorang Yahudi Italia samar-samar diketahui cerita
tentang Masada. Adaptasi itu memang banyak dikutip dan dibaca masyarakat Yahudi
sejak abad 10 Masehi.
Kajian sudah dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu kajian
arkhaeologis dan kajian literer terhadap literatur keagamaan. Antara lain kajian terhadap
Kitab Taoret, yang dimulai dari cerita tentang perpindahan yang dilakukan nenek moyang
bangsa Israel, yaitu Nabi Ibrahim, dari Negeri Ur di Khaldea ke Mesir. Selanjutnya juga
dilakukan kajian mengikuti
‘exodus’ atau perpindahan besar-besaran dari Mesir ke
Tanah yang dijanjikan, yaitu Kanaan di Palestina. Di Bukit Tursina untuk menerima
‘Perintah Yang Sepuluh’.
Dalam kajian arkhaeologis ditemukan petunjuk penaklukan Kekaesaran Romawi atas
tanah orang Israel. Demikian juga mereka yang mati-matian mempertahankan Masada
juga telah dilupakan oleh bangsanya, namun dikenang oleh seorang Yahudi yang telah
murtad, dan menuliskannya dengan bahasa asing dan untuk orang asing. Namun kedua
peristiwa itu, Masada dan Cyrus, kemudian ditafsirkan, dan diberikan peranan baru dalam
sejarah modern dari bangsa yang terhormat.
28
29. Seperti sudah dikenukakan di depan pemerintah Israel modern telah memanfaatkan
peristiwa Masada itu dengan maksud untuk membangun citra kepahlawanan bangsa
Israel dalam perjuangan melawan dominasi bangsa asing, yaitu Romawi.
Pengalaman Persia
Apa yang terjadi dengan bangsa Persia tidak jauh berbeda dengan yang terjadi
dengan bangsa Israel. Mereka juga nyaris tidak mengenal tokoh bernama Cyrus yang
dikenal sebagai pendiri kekaesaran Persia itu, bahkan nama itupun asing bagi bangsa
Persia. Cyrus memang sudah tiada sejak dua setengah milenium silam, dan sudah
dilupakan oleh bangsa Persia, namun tetap dikenang dengan penuh hormat oleh bangsa
lain. Sumber informasi tentang Cyrus berasal dari literatur asing berbahasa Yunani,
sementara bangsa Persia memang bukan bangsa yang membaca literatur berbahasa
Yunani maupun Injil.
Di samping itu ternyata ada kesamaan dalam cara maupun jalannya mereka
menemukan kembali sejarah masa lampau yang nyaris tidak diketahui di antara dua
bangsa itu, bahkan elemen-elemen dari peristiwa itupun mitip. Yang jelas mereka
menggunakan kajian arkhaeologis maupun kajian kepustakaan. Mereka melakukan
penggalian atas berbagai situs yang diperkirakan berkaitan dengan pembantaian di
Masada. Di Persia para peneliti melakukan penggalian atas peninggalan yang berkaitan
dengan kegiatan Cyrus sebagai pendiri Persia. Para ahli sejarah dan linguistik yang
berebeda juga melakukan kajian atas literatur yang berkaitan dengan peristiwa terkait,
terutama yang ditulis oleh para pemimpin agama.
Dari kajian-kajian itu berhasil ditemukan (discovered) dan
sejarah masa lampau, setelah melakukan pendekatan
kajian
disusun (recovered)
sejarah kritis
yang
dikembangkan oleh ilmuan modern Eropa. Kajian semacam itu tidak pernah dilakukan
oleh para ilmuan lama sampai abad renaisanse. Temuan (invention) sejarah itu bukan
merupakan temuan sesungguhnya, sebab yang ditemukan (invented) hanyalah peristiwa
yang telah terjadi di masa lampau.
Nama Cyrus sebenarnya sudah sangat dikenal di Eropa Abad Pertengahan, dan
bahkan nama itu dikenal dalam kisah-kisah kuno di Eslandia. Dalam masyarakat Islam
29
30. nama itu tidak pernah dimunculkan dalam masyarakat Persia, Bahkan nyaris semua
peristiwa yang berkaitan dengan masa-masa sebelum Islam telah disingkirkan dan secara
harfiah dikuburkan dalam sejarah mereka.
Di Iran atau Persia situasi seperti yang terjadi di Mesir, dengan berbagai temuan
arkhaeologis yang spektrakuler, meskipun agak terlambat diketahui oleh bangsa Iran
sendiri. Berbeda halnya yang terjadi di banyak negeri berbahasa Arab, karena identitas
mereka telah tenggelam dalam bangsa Arab Islam. Sebaliknya
dari sekian banyak
bangsa-bangsa yang dibebaskan oleh Arab Islam, merekalah yang bisa tetap bertahan
dengan kondisi mereka. Bangsa Persia telah memeluk Islam, dan menggunakan huruf
Arab, meski tetap berbicara dengan bahasa Persia. Mereka tetap mempertahankan bahasa
asli mereka serta mempertahankan corak budaya asli secara terpisah. Kesadaran itu masih
sebatas corak budaya dan belum sampai menjadi gerakan politik.
Sekitar satu atau dua abad kemudian setelah pembebasan oleh Arab Islam, bangsa
Persia mulai berusaha untuk menghidupkan kembali tradisi penulisan sejarah nasional
mereka, namun tidak banyak yang diperoleh. Kejayaan bangsa Sasanid di masa lampau
hanya menjadi kenangan, namun hampir semua tokoh cikal bakalnya nyaris terlupakan.
Bangsa Persia nampaknya mulai jatuh kembali pada sebuah mitologi yang kemudian
berhasil membangun landasan bagai terbentuknya kisah kepahlawanan agung
tentang
Firdawsi, Sang Shahnama. Mereka juga berhasil menyusun penulisan sejarah Persia
Muslim sebagai sejarah
Iran kuno hingga masa kini. Agak bertentangan dengan
kecenderungan itu adalah, bahwa kenangan bersama itu hanya meninggalkan dua nama
tokoh besar dari kegelapan masa lampau, sementara nama-nama seperti Cyrus, Xerxes,
sama sekali terlupakan
Nama Darius memang diingat dalam sejarah mereka, namun posisinya masih
membingungkan, karena dirancukan
dengan nama tiga kerajaan. Tokoh yang paling
diakrabi oleh rakyat Iran justru Alexander, yang dianggap pahlawan dalam legenda
bangsa Persia. Tokoh itu lebih dikenal dengan nama Iskandar. Sebagai seorang penakluk
asing dari Makedonia tokoh itu justru diakui sebagai tokoh seorang pangeran pribumi
Persia yang datang untuk merebut kembali tahta yang telah direnggut orang.
Kebangkitangairah untuk mendambakan kehadiran masa lampau dalam alur
sejarah nasional Persia terlihat dalam karya-karya
sejarawan modern, para novelis
30
31. maupun para penyair yang berorientasi pada kepentingan sesuatu dinasti yang tengah
berkuasa. Langkah-langkah tersebut memiliki beberapa maksud. Pertama, untuk
mengokohkan
semangat perlunya kesinambungan Persia dan identitas nasional bagi
sebuah tanah air. Kedua, untuk menghubungkan hal di atas dengan institusi kerajaan
sebagai sebuah daya pengikat maupun pusat kesetiaan. Selanjutnya, dimaksudkan juga
untuk memperkuat kesadaran
nasional, dan dalam waktu bersamaan,
melemahnya
pengaruh keagamaan seseorang. Dan tidak bisa dilupakan sebagai upaya untuk membuat
bangsa Persia lebih dahulu merasa sebagai orang Persia, baru kemudian sebagai umat
Muslim.
Pengalaman Mesir
Keberhasilan dunia menemukan kembali sejarah masa lampau Persia tampaknya
merupakan hasil upaya yang tidak kenal lelah bangsa Eropa. Belakangan memang para
ilmuan Rusia maupun Amerika terlibat juga dalam upaya itu. Sedangkan dalam
masyarakat Muslim di Timur Tengah baru setapak demi setapak dimulai, termasuk yang
dialami oleh Mesir.
Proses penggalian dan pencarian akar sejarah Mesir itu diawali dengan penggalian
dan temuan Batu Rosetta. Setelah itu kajian juga dilakukan atas buku-buku sejarah masa
lampau. Di sana diketemukan sebuah ketegangan antara dua buah kepribadian dalam
masyarakat Mesir, antara yang Arab-Muslim dan yang Mesir asli. Di antara mereka
terdapat sejumlah perbedaan, baik aspek identitas diri, aspek
sejarah masa lampaunya. Ketegangan itu
dalam penceritaan tentang kisah
kenangan, maupun aspek
seperti didramatisasikan oleh versi Quran
‘exodus’ Bani Israil. Dalam versi Quran Firaun
digambarkan sebagai tokoh antagonis, sementara Bani Israil di bawah bimbingan Nabi
Musa digambarkan sebagai pahlawan, bahkan lebih dari itu digambarkan sebagai ‘bangsa
terpilih’ serta mendapat bimbingan Tuhan. Ketegangan itu berujung pada berkobarnya
peperangan antara para pewaris Firaun dengan pewaris Bani Israil.
Dalam masa modern seorang penulis perempuan bangsa Mesir, menggunakan
nama samaran Bint al- Shati’, yang berarti ‘Anak Perempuan Bengawan Nil’, telah
menulis sebuah artikel yang amat atraktif dan provokatif beberapa hari menjelang
31
32. Perang
Enam
Hari,
antara
Mesir
dengan
Israel.
Tulisan
itu
seolah-olah
menyalahkanversi Quran, dengan mengatakan bahwa Firaun (yang dimaksud adalah
pasukan Mesir) adalah benar, dan Bani Israil (yang dimaksud pasukan adalah pasukan
Israel) salah.
Pengalaman Negeri-Negeri Arab
Di negeri-negeri berbahasa Arab di Timur Tengah tanggapan atas temuan sejarah
masa lampau mereka agak lamban, bahkan agak tidak bersemangat, karena dianggap
kurang memiliki makna politik yang meyakinkan. Berbeda dengan yang lain adalah
penguasa Irak yang agak memberi sedikit perhatian pada Assyria maupun Babylonia,
meskipun tidak sampai mengidentikkan diri mereka dengan masa lampau yang penuh
kejayaan itu. Ketika karya Bernard Lewis ini diterbitkan pada tahun 1987 Saddam
Hussein belum berkuasa di Irak. Seperti halnya Shah Iran Muhammad Reza Shah Pahlevi
yang berkuasa di Iran dan mengklain dirinya sebagai penerus Kaesar Cyrus, Saddampun
pernah menyatakan dirinya sebagai penerus Kaesar Hammurabi dari Babylonia. Waktu
Presiden Saddam digulingkan oleh Presiden Bush dengan serangan militer bersama
sekutunya pada tahun 2003 masyarakat dunia menyaksikan patung-patung Saddam yang
digambarkan sebagai Hammurabi ditumbangkan dengan traktor sebagai lambang
penggulingan atas Saddam Hussein.
Di Lebanon lain lagi yang terjadi, yaitu kaum Maronit di sana merasa mereka
sebagai penerus bangsa
Phoenisia. Dengan sendirinya mereka dianggap oleh kaum
Muslimin sebagai kekuatan yang anti-Arab ataupun anti pan-Arab. Situasi yang sama
terjadi pula di Syria.
Di sana Partai Rakyat Syria yang tidak mendukung gagasan
‘nasionalisme Arab’, karena mereka mengaku sebagai keturunan bangsa Aram Purba dan
menghendaki pembangunan kembali peradaban Aram di Syria. Sayang sekali partai
tersebut kemudian dinyatakan sebagai partai terlarang.
Sepanjang masa berkobarnya semangat pan-Arabisme telah ditemukan cara untuk
mengatasi gejolak itu. Caranyta dengan melarang semua kecenderungan untuk kembali
pada semangat kejayaan masa lampau, kecuali yang berorientasi pada Arab. Nampaknya
ada beberapa jenis akibat yang terjadi pada beberapa daerah yang berbeda dengan
32
33. kebijakan itu. Pertama,
makin menguatnya penonjolan identitas ‘kearaban’, dan
sekaligus menolak semangat “firaunisme’ seperti yang berkembang di Mesir. Kedua,
semangat Arabisme yang telah berkembang sedemikian cepat, telah memberikan
sumbangan besar bagi kemanusiaan. Dunia Arab bahkan mengklaim bahwa semua
kemajuan yang dicapai merupakan hasil kerja keturunan Semitis di masa lampau.
Ketiga, munculnya tuntutan bahwa bangsa Kanaan merupakan bagian dari bangsa Arab
di Timur Tengah. Mereka menuntut Palestina sebagai milik bangsa Arab, sebelum Israel
membangun permukiman di sana. Bukti sejarah menunjukkan bahwa ekspansi bangsa
Arab sampai ke Afrika Utara bukan merupakan sebuah rangkaian penaklukan, melainkan
sebuah proses pembebasan atas tanah-tanah yang telah dikuasai bangsa-bangsa Persia,
Byzantium dan kaum penjajah lainnya.
Ketika semangat pan-Arabisme mulai menurun, mulai merebaklah gejala
perlawanan terhadap semangat itu.
Di Mesir misalnya, mulai menggeliat gerakan
revivalisme Mesir yang berbeda dengan identitas Arab. Bahkan di negeri-negeri yang
dikenal sebagai kawasan Bulan Sabit Sejahtera maupun di Afrika Utara pun, mereka
cenderung mendambakan kembalinya kejayaan masa kekuasaan Phoenisia, Armenia,
maupun Karthago di masa lampau. Meskipun demikian semangat itu hanya merupakan
gerakan budaya dan tidak mempunyai kekuatan sebagai gerakan politik. Hal itu
disebabkan karena pan-Arabisme tetap merupakan satu-satunya ideologi yang mapan
dam efektif di kalangan rakyat. Satu-satunya gerakan penolakan terbuka
semangat pan-Arabisme hanyalah
dari kelompok kaum penyair yang
terhadap
menamakan
dirinya sebagai ‘al-Rafidun’ atau kaum pembangkang. Syair-syair mereka menunjukkan
kerinduan mereka akan datangnya kembali kejayaan masa-masa sebelum ‘Penaklukan
Arab’, yang hendak dijadikan sebagai identitas bangsa. Gerakan itu mirip dengan gerakan
kaum “Kanaanisme” yang muncul dalam periode Israel modern. Mereka merindukan
kejayaan bangsa Israel yang dikenal sebagai ‘kaum jahiliah
Yahudi yang sekuler’,
sebelum kebangkitan “Yahudi yang bersejarah”.
Pengalaman Turki
33
34. Di Turki corak kerinduan pada masa lalu lebih unik lagi, karena bukan hanya dua
melainkan ada tiga macam kecenderungan. Pertama, kerinduan akan kembalinya
kejayaan masa Kekaesaran Turki di bawah Bani Usmani di abad pertengahan. Kerinduan
ini paling merata di kalangan rakyat Turki, yang terungkap dalam buku-buku sekolah,
syair-syair, maupun dalam kesadaran umum rakyat. Dari sejarah yang berhasil disusun
tentang negeri-negeri Muslim abad 19 dan 20 dapat dilacak adanya dua arah yang
berbeda, selain satu yang pertama di muka. Yaitu, yang menunjukkan sejarah Turki lokal
sebelum kedatangan bangsa Turki dari Asia Tengah. Sejarah yang tersusun menunjukkan
arah ke-kejayaan bangsa-bangsa dan peradaban kuno, seperti bangsa Anatolia, dan
menjurus ke masa Hitttte. Tentu saja mereka tidak memasukkan bangsa Yunani maupun
Armenia, yang tercatat bekerjasama dengan kaum Yahudi.
Yang ketiga, sejarah Turki yang mengarah pada uraian mengenai bangsa-bangsa
Turki sebelum menetap di negeri Turki sekarang, artinya ketika mereka masih menetap di
tanah leluhur mereka di Asia Tengah. Kembali kita menjumpai dua arah yang berbeda
dalam arah uraian sejarah. Di satu sisi sejarah mengarah ke semangat patriotisme bangsa
Turki yang senantiasa menunjukkan kesetiaan pada tanah yang mereka tinggali.
Sebagaimana kita ketahui bangsa Turki telah mengembangkan diri di negeri-negeri baru
dalam perjalanan hidup mereka, yang disebut sebagai ‘tanah air kedua’. Pada sisi lain
sejarah mengarah pada semangat pan-Turkisme sebagai doktrin kebangsaan mereka atas
dasar kesamaan identitas orang-orang dari berbagai negeri yang berbahasa Turki.
Di kalangan bangsa Arab semangat pencarian identitas diri mereka lebih
menyukai yang berbau pan-Arabisme ketimbang yang berbau patriotisme lokal. Namun
lama-kelamaan semangat yang lebih mementingkan lokalisme makin menonjol. Contoh
yang paling menonjol adalah yang terjadi di Turki. Kemal Ataturklah yang mengobarkan
semangat patriotisme lokal dan menolak membangkitkan semangat pan-Turkisme.
Semangatnya itu dituangkan dalam program ‘Partai Rakyat Republik’ yang dipimpinnya
pada tahun 1935. Dengan tegas semangatnya itu dinyatakan dalam penonjolan identitas
politik dalam penulisan sejarah Turki. Dalam program partai dinyatakan, bahwa “tanah
tumpah darah merupakan negeri yang suci dalam wadah batas-batas politik, tempat
bangsa Turki hidup dalam pasang surutnya sejarah masa lalu, serta kejayaan masa
lampau yang masih hidup di kedalaman tanah air.”
34
35. BAB 2 : MEDIA DAN PESAN
Ungkapan paling awal dari kenangan kolektif tentang masa lampau sesuatu
komunitas biasanya berbentuk tak tertulis. Di sejumlah tempat di Afrika misalnya,
nyanyian yang disenandungkan oleh suku-sukiu bangsa pada kesempatan pertemuan
tahunan hasil ternak mengandung sejarah suku bangsa yang mencakup sejumlah generasi,
dan kadangkala meliputi masa tiga abad lamanya. Biasanya secara kronologis kisah-kisah
tentang peristiwa yang terjadi tidak begitu jelas, namun seringkali berbagai persaksian
yang diceritakan oleh para musafir asing, seperti dari bangsa Arab maupun Portugis, bisa
lebih menjelaskannya yang mendekati akurasi kejadian yang sesungguhnya. Epos
tentang Homerus dari Yunani kuno, legenda dari penduduk Iceland, mitologi
pertempuran di kalangan bangsa Arab sebelum masa Islam dsb. mengandung maksud
yang sama.
Syair-syair kepahlawanan di kalangan bangsa primitif itu mengisahkan
perjuangan di antara para pahlawan dalam menegakkan kebenaran, yang mengokohkan
nilai moral cerita. Tentu saja hal itu tidak hanya berlaku pada kejadian historis yang
betul-betul terjadi, melainkan juga pada mitologi agama, maupun cerita yang murni
fiktif. Biasanya kisah-kisah itu berkenaan dengan konflik atau pertempuran antara tokohtokoh pahlawan yang melawan kekuatan dari luar. Tokoh musuh dari luar itu bisa
mewakili dunia manusia biasa, dewa maupun makhluk setengah dewa.
Yang menarik adalah bahwa dalam kisah-kisah kepahlawananitu nilai utama yang
ditonjolkan adalah hakekat perjuangan serta kualitas yang yang terkandung di dalamnya,
dan bukan hasil akhir perjuangan itu sendiri. Barangkali pahlawan dalam kisah itu justru
mengalami kekalahan. Peristiwa kepahlawananitu barangkali justru berakhir dengan
kekalahan atau kematia n tokoh pujaan mereka. Hal yang penting dari kisah itu justru
harga diri dan keberanian dari sesuatu suku bangsa. Barangkali pemujaan orang Yahudi
atas Masada termasuk peristiwa baru, karena mereka tidak mengalami langsung. Berbeda
halnya dengan bangsa Serbia yang langsung mengalami peristiwa pertempuran Kosovo
pada tahun 1389, yang dirasakan benar sebagai peristiwa heroik bagi bangsa Serbia.
35
36. Nyata sekali diceritakan dalam sejarah betapa Kosovo mengalami kekalahan oleh serbuan
pasukan Turki, yang telah berakibat pada penguasaan Turki atas bangsa Serbia.
Bagi para penyair Serbia akhir peristiwa itu tidak menjadi masalah, namun yang
lebih penting adalah kepahlawanan
para pejuang Serbia serta raja mereka. Kisah
mengenai pertempuran Kosovo itu telah berhasil mengobarkansemangat perlawanan
bangsa itu terhadap setiap penyerbuan atas negeri mereka selama berabad lamanya.
@@@
Kebanyakan masyarakat primitif memiliki kisah-kisah kepahlawanan yang telah
menjadi sebuah kenangan kolektif bagi sesuatu kelompok masyarakat, dan telah berhasil
mengarahkan terjadinya
kesetiaan-kesetiaan bagi anggota dalam sesuatu kelompok
tertentu, hingga mampu mendorong terjadinya sesuatu peperangan antar kelompok dan
berbagai macam konflik lain. Ternyata jenis kisah-kisah yang berfungsi seperti itu, baik
yang bersifat kesejarahan maupun tidak, sama sekali bukan hanya terbatas dimiliki oleh
masyarakat primitif. Tampaknya ada perbedaan yang penting yang membedakan antara
kisah-kisah yang lahir secara spontan dalam masyarakat, yang disebut ‘epos primer’,
maupun ‘epos sekunder’, yang sengaja disusun atas dasar peristiwa-peristiwa yang yang
sungguh terjadi dan yang dirayakan setiap saat. Kisah jenis yang kedua yang disebut
’epos sekunder’ itu merupakan jenis yang tersurat, tertulis, dan lebih tersusun sebagai
hasil peradaban yang lebih maju.
Kita bisa mengambil contoh dalam masyarakat yang lebih kuno, misalnya dalam
syair-syair dalam peradaban Yunani dan Romawi, yang mengandung perbedaan yang
nyata.
Syair-syair tentang pahlawan
Homerus terlihat lebih spontan dan primer
sementara epos tentang Aeneid dari Virgil dalam masyarakat Romawi terasa lebih
menggambarkan kesadaran diri serta bersifat rekaan ulang. Kisah-kisah itu merupakan
karya masyarakat kerajaan, dan bukan masyarakat pahlawan. Kisah-kisah itu bukan
merupakan tradisi yang hidup, melainkan sebuah temuan berujud sastra. Katya sastra itu
lebih merupakan rekaan yang disesuaikan dengan fantasi masa lampau.
Lebih dari itu semua karya-kartya sastra itu menjadi media yang berisi pesan
untuk mempromosikan kebijakan penguasa baru, yaitu Kaesar Agustus dari Romawi.
36
37. Perbedaan seperti tersebut di atas bisa kita samakan dengan yang terjadi antara kisahkisah yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama dengan peristiwa dalam masa terkini.
Kisah-kisah tentang Exodus yang dialami Bani Israil di bawah kepemimpinan Nabi Musa
dalam Perjanjian Lama masih selalu diperingati orang Yahudi di masa modern sekarang.
Dalam masyarakat Nasrani juga diperingati setiap tahun peristiwa-peristiwa utama yang
berkaitan dengan sejarah perkembangan agama. Lambang palang salib misalnya,
merupakan salah satu lambang yang senantiasa diyakini sebagai pengakuan akan
kebenaran peristiwa ‘penyaliban’ atas Yesus Kristus. Demikian juga peringatan Hari
Natal, yang merupakan hari kelahiran Nabi Isa, diyakini terjadi dalam bulan Desember
tanggal 25, meskipun sebenarnya di kalangan ahli sejarah masih diragukan kebenarannya.
Demikian juga yang terjadi dengan peringatan Paskah yang dilakukan berkaitan dengan
Hari Wafat dan Kenaikan Yesus Kristus atau Nabi Isa.
Peristiwa yang terakhir ini dianggap tidak diragukan kebenarannya dan
keasliannya, dan bukan rekayasa. Di samping itu penganut agama Nasrani masih juga
memperingati hari-hari besar yang berkaitan dengan hari wafatnya para orang suci
(santo) atau para martir (syuhada) yang meninggal sebagai tumbal. Sebagaimana dalam
agama Yahudi dalam agama Nasranipun kebaktian atau liturgi merupakan wujud
peringatan kepahlawanan yang terjadi di masa lampau.
Islam sebagai agama lebih memiliki sejarah yang terbuka, termasuk proses
kelahirannya di banding agama-agama serumpunnya, yaitu Yahudi maupun Nasrani.
Misalnya, kita tidak tahu secara jelas siapa pendiri agama Yahudi, demikian juga dengan
agama Nasrani. Yang jelas adalah bahwa pendiri agama Nasrani telah wafat di tiang
salib, dan pengikutnya mengalami nasib buruk selama awal perkembangan, yaitu menjadi
golongan minoritas dalam dominasi Romawi selama berabad-abad. Tidak demikian
halnya dengan agama Islam. Pendirinya, yaitu Nabi Muhammad, selama hidupnya
bergelut dengan penyebaran agama Islam. Lebih dari itu nabi pendiri itupun telah
menghabiskan umurnya untuk mempraktekkan ajaran agamanya dalam raranan
masyarakat, baik sebagai kepala negara, panglima tentara maupun sebagai hakim agung.
Sejarah tentang perkembangan agama Islam menyatu dengan sejarah hidup Nabi
Muhammad. Oleh karenanya barangkali peringatan-peringatan keagamaan yang utama
tidak berkaitan dengan peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan nabi, melainkan
37
38. berkaitan dengan hal lain, yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Ad-ha. Hari Raya
Idul Fitri dirayakan seusai melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan. Sedangkan
Hari Raya Idul Ad-ha merupakan upacara ritual yang dilaksanakan untuk mengenang
peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim, istrinya dan anaknya, Nabi Ismail. Peringatan
itu juga dilakukan oleh mereka yang melaksanakan ziarah ke dua tempat paling suci,
yaitu Mekah dan Medinah. Peringatan yang lebih kecil dilakukan untuk mengenang
kematian para orang suci atau wali.
Dalam masyarakat Yahudi kebiasaan menuliskan kalender sejarah dikenal dengan
nama ‘taqwim’, yang memasang
rangkaian ulang tahun peristiwa penting di masa
lampau. Adapun maksud peringatan-peringatan itu dipasang adalah untuk membantu
penyelenggaraan peringatan sekaligus untuk membantu melakukan prediksi masa depan.
Sampai masa modern sebagian besar peringatan-peringatan itu diselenggarakan dengan
cara keagamaan. Termasuk yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang sekuler, di
sana para pendeta memegang peranan besar dalam penyelenggaraannya, misalnya yang
berkaitan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Amerika maupun Hari Penjebolan
Penjara Bastille di Perancis.
Gerakan yang berbau romantisme, yang penuh gambaran kejayaan di masa
lampau, seperti tertera dalam novel-novel sejarah, telah melakukan sejumlah upaya yang
berhasil mempengaruhi bentuk citra masa lampau yang terkenal. Selama abad ke 19 dan
awal abad ke 20 para penulis novel sejarah bangsa Yahudi, Arab, Persia, maupun Turki
telah berhasil membangun citra diri pada masyarakat sebagai pembaca yang terdidik
secara sekuler, yang berguna bagi pencapaian konsekuensi politik.
BAB 3 : SEBAGAIMANA YANG SEHARUSNYA TELAH TERJADI
Orang kebanyakan di manapun di dunia, termasuk di Amerika, biasa mengatakan
agar kita menyampaikan apa adanya. Ungkapan tadi secara tidak sadar seperti
menyampaikan pendapat sejarawan terkenal dari Jerman, Leopold von Ranke. Untuk
menulis sejarah haruslah apa adanya. Sesuai dengan kalimat aslinya dikatakan "wie es
38
39. eigentlich gewesen", atau “how it really was”. Namun dalam kenyataannya ungkapan itu
sulit dilaksanakan.
Ternyata tidaklah sama antara pertanyaan “Apa yang terjadi (hapened?”, “Apa
yang kita ingat (recall)?”, “Apa yang dapat kita temukan kembali (recover)?”, “Apa
yang dapat kita susun (relate)?”.Sama sulitnya juga bagi kita bagaiamana menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Seringkali kita sangat tergoda untuk menyampaikan
berbagai peristiwa sebagaimana kita harapkan terjadi, ketimbang apa yang sesungguhnya
terjadi. Bernard Lewis menawarkan tiga tipe batasan tentang sejarah, lengkap dengan
ilustrasinya dengan peristiwa yang terjadi dalam sejarah di Timur Tengah. Ketiga tipe
sejarah itu yaitu
“sejarah sebagaimana diingat (history-remembered)”, “sejarah
sebagaimana ditemukan kembali (recovered)”, dan “sejarah sebagaimana ditemukan yang
belum dikenal sebelumnya
(invented)”. Dalam kesempatan ini
Bernard Lewis
melengkapi pandangannya tentang pengungkapan fakta sejarah dengan ilustrasi yang
tepat, yaitu sejarah yang terjadi di Timur Tengah, khususnya dunia Islam. Contoh yang
paling jelas adalah tentang penyusunan kembali sejarah hilangnya kejayaan Spanyol
Islam. Dengan jatuhnya Granada pada tahun 1492, benteng terakhir kekuatan kaum
Muslim di Semenanjung Iberia, berakhir sudah dominasi Muslim di sana. Kekuasaan
Muslim di sana telah berlangsung selama lebih dari delapan ratus tahun. Pada tahun yang
sama menyusul pengumuman dari para raja Katolik untuk mendirikan kerajaan-kerajaan
Kristen di bekas kekuasaan ‘bangsa Moor dan Yahudi’ di seluruh tanah raja-raja
Kristen di Spanyol.
Kaum Muslim Spanyol banyak yang melarikan diri ke Afrika Utara, dan sebagian
kecil saja dari mereka ke Timur Tengah. Dan untuk beberapa lama kenangan dan
nostalgia pada tanah Andalusia yang telah hilang, masih bertahan. Pada awal abad ke 17
seorang sejarawan bangsa Maroko bernama al-Maqqari berhasil menyusun sebuah karya
ensiklopedia yang cukup lengkap tentang riwayat perjalanan sejarah Spanyol Islam dari
awal hingga akhir kajayaannya.
Pada bagian terakhir sejarah kerajaan Muslim tersebut, tanah yang hilang tersebut
yang telah lama memerintah dengan peniuh kejayaan, telah dilupakan oleh dunia Islam.
Barangkali sedikit kenangan masa lampau yang penuh kejayaan itu masih tersisa di
kalangan katurunan kaum pelarian yang tinggal di Afrika Utara. Selebihnya semua masa
39
40. lampau yang jaya dari Spanyol Islam telah hilang dari kenangan. Dan penyusunan
kembali sejarah periode ini seluruhnya merupakan hasil kerja sejarawan Eropa, termasuk
bangsa Spanyol sendiri serta dari kebangsaan lain.
Karya Al-Maqqari tentang kejayaan Andalusia diterbitkan untuk pertama kalinya
di London pada 1840, yang merupakan hasil terjemahan ke bahasa Inggris yang tidak
begitu baik oleh ilmuan Spanyol bernama Pascual de Gayangos. Sejarah Spanyol Islam
sangat memikat perhatian orang Eropa di awal abad 19, karena menyimpan banyak sekali
kekhasan Spanyol yang menjadi salah satu komponen karya sastra yang
penuh
romantika. Dalam salah sebuah karya Washington Irving misalnya, ditulis tentang masa
tenggelamnya kejayaan
Alhambra dan tenggelamnya
kejayaan Spanyol Muslim.
Kemudian kita juga bisa membaca karya sejarawan Perancis bernama Louis Viardot,
buku berjudul ‘Essai sur I'histoire des arabes et des maures d'Espagne’, atau ‘Esei tentnag
sejarah bangsa Arab dan Moor di Spanyol’, yang terbit di Paris pada 1833.
Karya kaum Muslim tentang masa Spanyol Muslim yang pertama diterbitkan di
Istanbul, pada 1863- 1864. Buku itu merupakan terjemahan dalam bahasa Turki dari buku
berjudul ‘Bangsa Maghribi terakhir’ yang diterbitkan di Aljazair. Perhatian bangsabangsa Arab untuk menulis tentang masa lampau Spanyol Muslim tampaknya terangsang
oleh dua hal. Pertama dan terutama, adalah kehadiran utusan Muslim dalam sebuah
kongres kaum orientalis internasional. Di sana mereka berkenalan dengan kaum orientalis
Eropa yang banyak memaparkan sejarah masa-masa Spanyol Muslim. Yang kedua adalah
keputusan Sultan Abdulhamid II dari Kesultanan Turki Bani Usmani pada 1886 untuk
mengirim utusan ke Spanyol para ahli untuk mencari naskah-naskah berbahasa Arab di
sana. Maka segera beruntun datang para utusan dari Turki, Mesir, dan berbagai negeri
Muslim lainnya, bahkan dari India. Di sana mereka menekuni daerah-daerah penggalian
purba di masa Spanyol Muslim. Dan segera karya-karya tentang Spanyol diterjemahkan
ke dalam bahasa-bahasa Arab, Turki maupun bahasa penduduk Muslim lainnhya,
termasuk karya-karya sastra tentang romantika masa lampau di Spanyol Muslim, seperti
mislanya tentang legenda Cordoba di masa keemasan.
Kenangan akan Andalusia membangkitkan emosi yang mendalam yang
dibutuhkan oleh kaum intelektual Muslim. Sebagai salah satu pengaruh dari proses
pendidikan yang mereka peroleh dari Eropa, mereka makin menyadari betapa kelemahan
40
41. maupun kemunduran yang mereka alami. Selanjutnya mereka telah mendapatkan
dukungan dan kenyamanan dari kenangan akan kehadiran sebuah negeri Muslim di
Eropa yang besar, kaya beradab, dan kuat, Mereka meyakini bahwa negeri itu telah
menjadi pembimbing dan pemimpin bagi peradaban Eropa.
Pada saat-saat ketika dunia Islam mengalami kemunduran dan kekalahan mereka
justru mendapatkan peluang untuk menyamakan kondisi mereka dengan senjakala yang
semarak dari Alhambra. Kejayaan
Andalusia telah menjadi
mengungkapkan nostalgia.
tema yang digemari para pesyair maupun novelis dalam
Keberhasilan,yang sesungguhnya maupun yang hanya
diangan-angankan, tentang peradaban Arab-Spanyol yang besar digunakan sebagai dalih
dalam penulisan romantika sejarah peradaban Islam ketika menyaksikan kemunduran
Islam serta timbulnya perasaan kurang percaya diri yang disebabkan oleh pengaruh
tekanan Barat. Kenyataan bahwa sejarah maupun peradaban bangsa Spanyol Islam itu
diketahui oleh mereka karena jerih payah Barat tak ayal dirasakan bagaikan menelan pil
pahit. Itu sebabnya kenyataan sejarah itu pada umumnya tersembunyi dan sejumlah
“sejarawan” Muslim bersikap
agak berlebihan, dengan mengatakan bahwa semua
kejayaan masa lalu dalam sejarah Islam maupun sumbangan Spanyol Muslim bagi
peradaban Eropa telah sengaja disembunyikan karena rasa kedengkian dan penuh
prasangka dari sejarawan Eropa.
Bagi para
sejarawan Muslim dari bangsa Arab Spanyol, Spanyol Islam
merupakan sumber mata air kesenian dan ilmu pengetahuan yang menjadi sumber
perkembangan peradaban Eropa yang asli dan terbaik. Keyakinan seperti itu mempunyai
dua manfaat. Di satu sisi, membangkitkan kebanggaan yang telah hancur yang dialami
masyarakat Muslim yang telah ditaklukkan.
Pada sisi lainnya, lebih meyakinkan akan
kebenaran anggapan bahwa peradaban Islam yang berkembang di Spanyol Islam telah
diterima masyarakat Eropa sebagai sumber asli. Peradaban itu telah menganjarkan
semangat toleransi. Salah satu makna toleransi itu adalah hilangnya saling permusuhan di
antara komunitas yang berbeda. Itulah yang dikemukakan sebagai toleransi yang
diajarkan Islam. Pengertian lain dari toleransi adalah tidak adanya diskiminasi, serta
kesamaan hak dan kewajiban di antara sesama warga masyarakat, tanpa memandang
41
42. perbedaan suku bangsa, asal usul, keprcayaan. Bagi ahli hukum Islam toleransi dalam
Islam dimaknakan sebagai kesamaan setiap warga masyarakat di muka hukum.
BAB 4 : PENUTUP
Marilah kita kembali pada tema semula, yaitu Cyrus dan Masada. Perayaan ulang
tahun
Cyrus
di Persepolis menurut para pengamat luar negeri
dianggap sebagai
perbuatan yang boros, dan lebih dari itu tidak bermanfaat. Menurut Benhard Smith
barangkali memang memakan biaya besar, namun bukan tidak bermanfaat. Sebaliknya,
merupakan contoh klasik dari penggunaan sejarah secara baik.
Parade yang menawan dan upacara-upacara yang diselenggarakan di makam Raja
Cyrus maupun di reruntuhan kota kuno Persepolis telah mendramatisasikan peristiwa itu
sebagai sebuah upacara yang belum pernah berlangsung sebelumnya di masa Persia. Dan
apa-apa yang menjadi harapan utama penguasa di masa itu telah betul-betul menjadi
kenyataan, yaitu proses transformasi bangsa Persia, dari sebuah masyarakat religius
menjadi sebuah bangsa sekuler, lengkap dengan ciri utama, bukan lagi kesetiaan pada
Islam melainkan pada pada Iran. Proses itu belum lengkap, melainkan terus berjalan, dan
kadangkala diperlukan bantuan.
Tema utama perayaan-perayaan tersebut adalah kesinambungan selama masa
ribuan tahun dari tanah maupun rakyat Iran, melalui kebudayaan maupun agama , serta
peranan lembaga kerajaan yang menunjangnya. Hal yang sama kita saksikan pula dengan
upacara Masada yang berlangsung di Israel modern. Tak dapat disangkal bahwa upacara
itu memang dirancang untuk membangun kembali hubungan antara aspek politik dari ciri
bangsa Yahudi dengan kekuatan militer Israel. Namun sayang sekali pilihan itu
membawa malapetaka.
Cyrus, sesuai dengan hasil kejian sejarah, merupakan awal perkembangan sejarah,
sementara Masada merupakan akhir sebuah episode. Ketika kenangan kolektif bangsa
Yahudi telah melupakan peristiwa Masada dan sebaliknya menjadikan peristiwa larinya
Rabbi Yohanan ben Zakkai dari Jerusalem untuk memohon izin dari penakluk Romawi
untuk mendirikan sebuah seminari bagi calon sebagai simbol, tak ayal merupakan satu
pertanda sebuah firasat.
42
43. Masada tidak lain adalah sebuah titik akhir sejarah bangsa Yahudi. Di balik itu
semua terhampar sebuah kehampaan. Sesuatu yang dilupakan. Nampaknya langkah yang
dilakukan Ben Zakkai merupakan langkah kebijakan yang memedihkan.Langkah itu
sebenarnya menggambaran
suatu
kenyataan, bertahan hidup, maupun masa depan,
sambil menelan kebanggaan diri. Langkah itu juga menggambarkan upaya mendambakan
anugerah dari penguasa negeri, yaitu penguasa Romawi. Di samping itu juga merupakan
upaya untuk melestarikan warisan serta identitas Yahudi. Semua itu dilakukan dengan
melalui keyakinan hidup maupun hukum.
Sekarang
Masada telah ditemukan kembali, dalam artian yang sesungguhnya.
Temuan sejarah Masada itu bukan sekadar laporan dalam jurnal arkhaeologi, melainkan
betul-betul tumbuh dalam kesadaran Yahudi di kalangan bangsa Israel di manapun.
Meskipun demikian masih diperlukan kewaspadaanuntuk menanganinya di balik
tingkatan-tingkatan penyusunan sejarah yang diangkat dari kumpulan ilusi. Tidak bisa
dipungkiri
bahwa pengabdian maupun keberanian sama-sama dibutuhkan, namun
demikian mereka sebaiknya tidak kembali mengarah pada “bunuh diri” dalam ujung
sejarah.
@
Catatan :
Tulisan di atas merupakan saduran bebas untuk pemaparan dalam pertemuan dosen
Jurusan Sejarah IKIP Semarang pada tahun 2000, dari buku berjudul History :
Remembered, Recovered, Invented, karya Bernhard Lewis. Buku aslinya diterbitkan oleh
Simon and Schuster, Inc. New York, London, Toronto, Sidney, Tokyo 1987
43
44. B. KASUAL
1. KENDALA KRITIK SEJARAH
(Tanggapan atas Kuntowijoyo)
Yang paling menarik dari tulisan Kuntowijoyo berjudul MasalahKritik Sejarah
(Republika 3/] 1) adalah kalimat-kalimat penutupnya. Lengkapnya kalitnat itu berbunyi
"Masalah tersebut sebaiknya tidak dipandang sebagai masalah hukum, tapi masalah
sejarah.
Kapan lagi bangsa kita akan mendengarkan wacana ilmiah dari lembaga
pengetahuan dan bukan lagi wacana kekuasaan dari pemerintan, wacana keuntungan dari
bisnis, wacana persaingan dari parpol, dan wacana pemasaran dari media massa."
Pandangan semacam ini mewakili pandangan yang lugu dan konsisten sebagai
sejarawan yang memiliki integritas pada bidang ilmunya. Seorang etikus dan pengikut
teosofi tentu saja memiliki pandangan dan fatwa yang berbeda. Misalnya agar semua
pihak mau tenggang rasa dan memanfaatkan pihak lain, atas dasar prinsip menang tanpa
ngasorake". Bukan "becik ketitik, ala ketara" atau yang balk itu jelas terlihat, yang jelek
itu pun jelas.” Bukankah Tuhan Maha Tahu dan Maha Adil? Demikian juga politikus
mau pun kaum kerabat Bung Karno tetap akan memandang bahwa pandangannya yang
paling benar, yaitu agar dilakukan pendekatan hukum seperti lewat pengadilan, agar
diperoleh kebenaran. Bahkan bukanKebenaran barangkali yang dicapai, melainkan
kepuasan.
Dominasi Kepentingan
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam kehidupan ini yang paling berkuasa bukan
kaum etikus, moralis, mau pun ilmuwan bahkan juga bukan kaurn politisi maupun
militer, melainkan kepentingan. Dalarn masyarakat ideal menurut konsep Yunani Klasik,
India Kuno manpun Eropa Abad Pertengahan, memang secara formal kaum filsuf,
44
45. brahmana atau pun pendeta yang berkuasa karena merekalah yang memiliki
kebijaksanaan. Namun bukan kebijaksanaan (wisdom) yang berkuasa, melainkan
kepentingan. Tegasnya kepentingan untuk menguasai manusia lain agar mau mengikuti
kemauan the rulling class. atau pun the pressure group, yang selamanya saling
berhadapan. Itulah hakekat perjuangan kaum berkepentingan.
Harap jangan selalu memandang bahwa warga kepentingan yang dikembangkan
mesti bersifat negatif, meski pun hampir selalu pihak yang berbeda kepentingan
memandang negatif warga kepentingan lain tersebut dengan berbagai dalih. Banyak
bukti menunjukkan betapa warga kota yang sedang memilih Hari Jadi bagi sesuatu kota,
misalnya mengalami benturan kepentingan, Para ilmuwan sejarah akan selalu berangkat
dari prosedur ilmu sejarah dalam mendapatkan kebenaran. Di antara mereka bukan tidak
mungkin terjadi beda pandangan atas dasar data mau pun tafsir sejarah yang dipakai.
Dalam hal ini para sejarawan meneoba bertindak obyektif ketika menghadapi data dari
para responden atau pun sumber sejarah yang cenderung subjektif. Akibatnya diskusi itu
menjadi amat berkepanjangan. Dan tidak jarang menemui keadaan “jalan tak ada ujung”.
Kepentingan mereka jelas bisa difahami, yaitu kebenaran obyektif sejarah (history as a
fact).
Hampir selalu muncul sikap kaum ekskutif birokratyang ingin segera mendapat
hasil, tanpa prosedur ilmiah yang dianggap bertele-tele. Kepentingannya jelas berbeda.
Maka tidak mengherankan manakala kemudian keluar semacam dekrit untuk menentukan
Hari Jadi versi resmi. Prosedur yang lain adalah prosedur politik, yaltu lewat sidangsidang DPR, yang kalau perlu harus dicapai suara bulat. Akan tetapi jangan dipandang
bahwa DPR mengesampingkan acuan data historis. Oleh kerenanya prosedurnya dapat
dianggap ilmiah juga.
Yang menarik adalah perlunya diambil prosedur musyawarah, yang tidak dikenal
dalam dunia ilmu. Bagalmanapun itulah keputusan politik. Dalam hal ini memang tidak
pernah dilakukan prosedur pengadilan, yang nampalmya juga dapat dilalui. Tidak pennah
terjadi, misalnya, ahli waris keturunan tertentu yang merupakan pelaku sejarah dalam
proses awal pembangunan kota tersebut merasa dilecehkan karena tidak terlibat sebagai
cikal bakal kota.
Kemudian setiap HUT Hari Jadi kota warga kota pun memeriahkannya dengan
45
46. berbagai acara, tennasuk ceramah tentang Hari Jadi Kota tercinta. Namun satu hal sudah
jelas, bahwa ceramah-ceramah tidak boleh mempersoalkan kebenaran Had Jadi lagi,
karena pintu ijtihad telah tertutup rapat.
Apa yang kita saksikan kemudian adalah sebuah pernyataan sejarah yang kemudian
disebarluaskan, disosialisasikan, bahkan diajarkan dari generasi ke generasi. Inilah
kenyataan sejarah sebagai history as written, menurut versi pemerintah. Dan itulah juga
kebenaran sejarah menurut sesuatu versi.
Dalam hal kasus Bung Karno dalam kaitannya dengan kelahiran Orde Baru awal,
halnya semacam kasus penentuan Hari Jadi kota yang kira saksikan. Berbagai fihak
mengklaim paling berhak menentukan kebenaran, dan berbagai fihak mengaku bahwa
klaim tersebut tidak benar. Namun selalu history as written lah yang paling dominan,
karena didukung oleh kekuasaan politik dan kepentingan politik.
Kritik dan saran sejarawan Kuntowijoyo agar masyarakat memperhatikan juga
suara para ilmuan
sejarah tentu saja sangat bermanfaat, namun nampakmya hanya
mendapat pembenaran dari masyarakat ilmuan saja. Demikian juga kalau orang berbicara
tentang kebenaran sejarah masa-masa yang lebih lampau. Selalu saja ada history as a
fact, dan selalu saja ada history as written. Dan selalu saja para sejarawan cuma mampu
mengemukakan kritik-kritik dan saran. Dan selalu aaja yang dominan adalah hasil
prosedur politik mau pun pengadilan.
Sejarawan Peneliti dan Sejarawan Pendidik
Istilah sejarawan pendidik dimaksudkan bagi guru atau dosen sejarah profesional.
Tugas intelektual mereka bukan mencari, menemukan dan menuliskan kebenaran sejarah
seeperti yang dilakukan oleh sejarawan peneliti, melainkan menyajikan dan
menyampaikan kebenaran sejarah kepada generasi muda lewat proses pendidikan.
Namun harus diakui bahwa kebenaran sejarah yang disajikan mereka adalah history as
written, sesuai dengan kmikulum yang berlaku. Masalah segera muncul di hadapan para
guru sejarah manakala muncul kontroversi tentang kebenaran sejarah, misalnya tentang
keterlibatan Bung Karno dalam pemberontakan G3OS/PKI mau pun "keterlibatan CIA
dalam gerakan untuk mendongkel Bung Karno atau kebangkitan Angkatan `66, yang
46
47. kemudian diiukuti kelahiran Irde Baru.
Dalam peran mereka sebagai juru bicara pemerintah, maka tugas guru sejarah
tidak lain menampaikan kebenaran sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah versi
Orde Baru.Kadangkala mereka mendapat tugas sampiran dalam proses pendidikan
politik, yaitu mengobarkan semangat cinta tanah, semangat rela berkotban. Sebagai
konsekuensinya perubahan apapun yang terjadi dalam kurikulum sejatah para sejarawan
tidak mungkin berbuat lain kecuali mengikuti pendekatan yang ditawarkan dalam
kurikulum. Pengalaman dengan konsep "kompefisi manipolis" mau pun datang dan
perginya PSPB sebagai pendekatan pendidikan sejarah telah merupakan pengalaman tak
terlupakan bagi para sejarawan pendidik.
Yang lebih dipentingkan adalah memberikan peluang makin banyak kepada
warga masyarakat untuk mengemukakan data sebanyak mungkin untuk mendapat
informasi sejarah seakurat mungkin. Dengan begitu maka masyarakat akan mendapat
informasi sebanyak mungkin tentang sesuatu episode dalam sejarah. Kedewasaan
berpikir masyarakat dalam menanggapi banjirnya informasi jangan ditunggu, melainkan
dikondisi. Yang penting dijaga adalah bahwa kekebasan tidak menjurus pada suasana
fitnah. Timbulnya kebimbangan di kalangan warga masyarakat jangan dikhawatirkan
bakal mengarah pada khaos dalam informasi, melainkan akan membawa warga
masyaarakat yang "well-miormed".
Kasus “detik-detik menjelang proklamasi 17 Agustus 1945” telali menghasilkan
banyak sekali informasi yang datang dari berbagai pihak. Sejak dari Bung Karno dan
Bung Hatta yang dianggap sebagai “kolaborator penjajah dan boneka Jepang”, sampai
pada para tokoh pemuda, seeperti Sukarni, Chaerul Saleh maupun Adam Malik, yang
dituduh telah
menculik Bung Karno dan Bung Hattake Rengasdengklok, telah
memberikan informasi, yang bukan saja tidak sama, bahkan bertentangan hententangan.
Nyatanya warga masyarakat tidak khaos dalam menanggapi hal tersebut.
Akhirmya
Jadi simponi yang harus digelar mengenai kehenaran sejarah adalah, pelaku
sejarah menuliskan pengalaman mereka, betapapun subjektifnya, namun disertai bukti
47
48. memadai, sebagaimana pekanya alat perekam canggih. Lalu sejarawan peneliti
melakukan kritik sejarah. ekstern maupun intern, lalu menafsirkannya dan kemudian
menuliskannya, sebagaimana “kebijaksanaan dalam penulisan hadits”. Dan sejarawan
pendidik dengan penuh “kebijaksanaan seorang Batara Guru” akan selalu menyampaikan
kebenaran sejarah kepada generasi muda.
Dalam pada itu tidak dapat dipungkiri akan perlunya buku babon sejarah untuk
kepentingan pendidikan, dan kelengkapan informasi yang bervariasi sehagai sumber
sejarah. Dalain hal im prosedur politik maupun pengadilan hukan sesuata yang harus
dihindari, meskipun bukan merupakan kata akhir. Amerika Serkatpun mengenal
"informasi baku" siapa pembunuh Presiden John F. Kennedy, namun
beredar pula
berbagai versi lain dalam masyarakat.
Dalam kasus Bung Karno maupun CIA. yang jauh lebih penting bukan untuk
“mengadili tentang keterlibatannya”. Keterlibatan adalah kesimpulan, sedangkan yang
diperlukan adalah deskripsi kejadian sejarah yang akurat. Napoleon Bonapsrte tidak
dipungkiri pernah terlibat dalarn menyengsarakan rakyat Perancis, dan oleh karenanya
jenazahnya dikuburkan di Pulau Elba di luar wilayah Perancis. Namun kemudian rakyat
berkesimpulan lagi, sehingga makamnya dipindahkan di Perancis sebagai pahlawan.
HARIAN REPUBLIKA, 15 NOPEMBER 1994)
8@@@
48
50. 2. KONTROVERSI DALAM SEJARAH INDONESIA
Waktu persaksian Soekaedjo Wilarjito di sekitar proses terbitnya Surat Perintah
Sebelas Maret (Super Semar) mulai tersiar dalam media massa tanggal 26 Agustus barubaru ini, terpikir oleh saya bahwa nasibnya akan seperti isu tentang Supriyadi. Pernah
dinyatakan oleh seorang saksi mata bahwa pahlawan Peta Supriyadi masih hidup, jauh
hari setelah dinyatakan bahwa pahlawan itu telah tewas dalam suatu pertempuran.
Kemudian terjadi pelemik, dan kemudian musnah berita tentang kesaksian itu. Pahlawan
Supriyadi tetap diyakini sudah wafat, meski tidak dapat dijelaskan di mana makam
beliau.
Sekarang seorang saksi mata yang telah berumur 71 tahun menyatakan sesuatu
yang berbeda dengan yang tertulis dalam sejarah fomal (history as writen), yang selama
ini diyakini kebenarannya.
Paling tidak ada dua isu yang diungkapkan dalam persaksian itu. Pertama, bahwa
Super Semar itu diterbitkan oleh suatu tekanan dari luar, bahkan dengan todongan pistol
oleh Jendral Panggabean. Jadi bukan ditandatangani atas dasar
kerelaan Presiden
Sukarno, sebagaimana tertera dalam sejarah formal. Kedua, bahwa perwira tinggi yang
menjemput Super Semar itu bukan hanya tiga, sebagaimana tertulis dalam sejarah formal,
yaitu Jendral Basuki Rakhmat, Jendral M. Yusuf, dan Jendral Amir Mahmud. Ternyata
diberitakan oleh seorang saksi sejarah dan pelaku sejarah, bahwa Jendral Panggabean
hadir mengambil peranan dalam penjemputan Super Semar di Istana Bogor.
Persaksian kontroversial yang diberikan oleh Soekardjo amat memancing
komentar, karena memang benar-benar mengejutkan. Pertama, karena saksi mata itu
disebutkan sebagai orang yang secara fisik paling dekat dengan peristiwa itu. Yaitu
seorang anggota sekuriti Istana Bogor. Bahkan konon saksi itu menyebutkan
menyaksikan psristiuwa itu dari jarak amat dekat, sekitar tiga meter, dalam usia 39 tahun.
Usia yang masih segar bugar.
Kedua, karena yang bersangkutan termasuk bekas tapol G30S/PKI, yang tentu
saja menimbulkan kecurigaan atas keobyektifan pernyataannya. Kata Nurcholis Majid,
pastilah dilatarbelakangi motif tertentu. Entah apa.
50
51. Tak urung kesaksian itu mengundang kemungkinan polemik lebih besar, karena
kesaksian itu dapat diuji kebenarannya oleh paling tidak dua orang saksi mata yang juga
masih hidup. Yaitu Pak Panggabean maupun Pak M. Yusuf. Ini alasan ketiga mengapa
kesaksian itu amat menarik.
polemicus interuptus
Komentar yang muncul berbeda-beda. Pak Panggabean, yang paling merasa
ditugikan, dengan sigap membantah pernyataan Soekardjo itu. Anggota DPR RI Ny.
Aisah Amini menghimbau agar peristiwa masa lampau jangan diusik-usik lagi.
Sejarawan Onghokham sebaliknya memandang dengan skeptis kesaksian itu. Dia
melihat peluang untuk dilakukannya penelitian lebih serius, guna menemukan kebenaran.
Letjen (Pur TNI) Bambang Triantoro, yang entah dalam kapasitas sebagai apa,
menyangsikan kebenaran isu itu. Sebagai anggota keluarga mantan Presiden Suharto, Pak
Probosutejo dengan tegas menyatakan bahwa Maraden Panggabean tidak pergi ke Bogor
pada tanggal 11 Maret, meski masih dipertanyakan apakah pada saat itu Pak Probo sudah
berada di Jakarta untuk bergabung dengan keluarga besar Suharto.
Sementara itu ketua LBH Yogyakarta yang menjadi penasihat hukum saksi
sejarah menyatakan, bahwa siapapun berhak melakukan gugatan terhadap kliennya,
Soekardjo Wilarjito, bila merasa dirugikan oleh pernyataan kliennya itu. Dengan cara itu
bahkan kebenaran historis dapat ditemukan.
Yang paling mengejutkan adalah komentar Presiden Habibie, yang buru-buru
melarang untuk meneruskan polemik itu. Tentu saja pernyataan itu mengherankan,
karena dinyatakan oleh seorang ilmuan, yang tentunya amat mengandalkan data terbaru
bagi upaya menemukan sesuatu kebenaran. Tapi sayangnya beliau adalah orang dekat
mantan presiden Suharto, yang tak ayal akan mendapatkan dampak buruk kalau
kesaksian Wilarjito ternyata benar.
Apakah ini semua termasuk wujud dari sikap mental ‘mendhem jero, mikul
dhuwur’?
Bagaimanapun kecurigaan bakal terjadi keputusan politik berupa larangan
memperpanjang polemik tentang suatu fakta sejarah di sekitar Super Semar sudah
51
52. menjadi kenyataan. Sejarah betul-betul berulang, seperti yang terjadi dengan polemik
tentang kamatian pahlawan Peta Supriyadi yang kontroversial itu.
Keputusan Ilmiah
Kasus Letda (Purn. TNI) Soekardjo Wilarjito yang menyatakan kesaksian
peristiwa terbitnya Super Semar setelah selama 32 tahun tidak diganggu gugat, bukan
satu-satunya isu kontroversial dalam sejarah Indonesia.
Seperti dikemukakan di depan pernah muncul isu tentang kematian pahlawan
Peta Supriyadi yang misterius. Kita mengenal juga isu Hari Lahir Pancasila, tanggal 1
Juni 1945 atukah 18 Agustus 1945.Pernah juga dikedepankan isu Peristiwa
Rengasdengklok, yaitu terjadi atas kehendak Dwi Tunggal Sukarno-Hatta sendiri ataukah
sebagai penculikan oleh kelompok muda yang dipimpin Sukarni, Chairul Saleh dan
Adam Malik. Masih pula menjadi masalah tentang siapah tokoh yang memimpin
penyerangan atau penyerbuah ke Yogyakarta. Benarkah pelakunya adalah Suharto yang
kemudian menjadi presiden RI? Ataukah tokoh lain sebagaimana dituliskan dalam buku
sejarah sebelum era Suharto?
Belum lagi kalau dimasukkan juga isu-isu di sekitar sejarah lokal. Tentang Hari
Jadi sesuatu kota, misalnya.
Hampir semua isu kontroversial itu diselesaikan dengan keputusan politik.
Mungkin tidak berupa suatu SK yang secara formal menghentikan polemik, melainkan
berupa suatu terbitan resmi yang hanya menyebutkan satu versi.
Tentang Hari Lahir Pancasila, Kematian Supriyadi, Peristiwa Rengasdebngklok,
misalnya, polemik seolah-olah berhenti setelah ada penulisan versi pemerintah. Harijadi
sesuatu kota bahkan diputuskan dengan suatu SK Pemda setempat, setelah ada keputusan
DPRD. Dan setelah itu diharapkan warga masyarakat maupun ilmuan tidak boleh
mempersoalkan keputusan politik itu.
Pendapat Nurcholis Majid bahwa penulisan sejarah Indonesia campur aduk,
dengan mengambil contoh banyaknya versi dalam terbitan buku sejarah, kurang tepat.
Terbitnya berbagai versi dalam penulisan sejarah Indonesia bila dipandang dari sudut
keseragaman penulisan memang tidak menguntungkan. Dan bisa membingungkan anak-
52
53. anak sekolah. Namun bagi para ilmuan Sejarah yang menempatkan penulisan sejarah
dalam kerangka pencarian kebenaran ilmiah, munculnya berbagai versi dalam penulisan
sejarah amat menguntungkan perkembangan ilmu sejarah. Tentu saja harus selalu dijaga
obyektivitas prosedur ilmiah yang dilakukan. Inilah keputusan ilmiah, yang tentu saja
menjadi selalu terbuka untuk diuji.
Dengan cara ini versi-versi penulisan sejarah menjadi sesuatu yang mutlak
dibutuhkan. Dan hasilnya memperkaya kebenaran sejarah sebagai ‘history as writen’.
Lalu bagaimana kebenaran sejarah yang sesungguhnya terjadi sebagai suatu ‘history as a
fact’?Kebenaran sejarah masih bisa ditemukan dengan proses pengadilan, yang akan
menghasilkan keputusan hukum. Misalkan isu terbitnya Super Semar mendorong
Maraden Panggabean menuntut Wilarjito ke sedang pengadilan, karena merasa nama
baiknya tercemar, maka bakal ditemukan kebenaran lewat keputusan hakim.
Tentu saja semua keputusan itu tidak mutlak bakal menghentikan polemik atau
rasa penasaran di kalangan warga masyarakat. Terutama kalangan ilmuan. Sementara itu
masihkah lembaga peradilan kita terbebas dari pengarug dominasi atau tekanan
penguasa?
Buat Apa Sejarah ?
Timbulnya berbagai cara untuk mendapatkan kebenaran peristiwa sejarah banyak
tergantung dari persepsi mereka tentang fungsi sejarah. Bagi fihak penguasa yang
menghendaki agar tidak terjadi polemik berkepanjangan tentang sesuatu fakta sejarah,
didasari oleh anggapan bahwa sejarah merupakan sarana pendidikan politik. Dan karena
tujuan politik tidak lain untuk mencari pembenaran atas sesuatu kebijakan, tidaklah
berlebihan kalau dikatakan bahwa sejarah harus ditulis dengan menekankan pada fakta
yang mendukung proses pendidikan politik itu. Manakala muncul isu kontroversial yang
akan mengusik kebenaran sejarah yang sudah mapan, tentu saja harus diwaspadai.
Karena bisa mengganggu target pendidikan politik dari sesuatu rezim.
Sementara itu sejarah bisa dianggap sebagai suatu proses menemukan kebanggaan
diri, dengan merenungi kejayaan masa lampau. Untuk itu diperlukan pencarian fakta
sejarah secara
selektif pula. Tentu saja yang diutamakan fakta-fakta yang amat
53