SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  29
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak merupakan anugerah dan amanah yang diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Oleh karena itu anak sebagai amanah dari Tuhan harus senantiasa
dijaga dan dilindungi oleh keluarga, masyarakat, negara karena didalam diri anak
melekat hak anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat
didalam UUD 1945 dan konvensi PBB tentang hak-hak anak. UU No. 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak,
pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak.
Anak adalah pewaris sekaligus penerus garis keturunan keluarga. Oleh
karena itu, apabila dalam suatu perkawinan belum atau tidak dikarunia anak, maka
diadakan pengangkatan anak atau adopsi. Pengertian tentang adopsi dapat dilihat
secara etimologi, terminologi, serta menurut para pakar hukum manusia sudah
dikodratkan untuk hidup berpasang-pasangan membentuk sebuah keluarga yang
terdiri dari suami istri dan pada umumnya juga menginginkan kehadiran anak atau
keturunan hasil dari perkawinannya. Mempunyai anak merupakan tujuan dari
adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta
kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Akan tetapi
terkadang semua itu terbentur pada takdir ilahi dimana kehendak memperoleh
anak meskipun telah bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai anak,
sedangkan keinginan untuk mempunyai anak sangatlah besar. Jika demikian,
penerus silsilah orang tua dan kerabat keluarga tersebut terancam putus atau
punah. (Soemitro, 2003: 169).
2
Dalam keadaan demikianlah kemudian para anggota kerabat dapat
mendesak agar si suami mencari wanita lain atau mengangkat anak kemenakan
dari anggota kerabat untuk menjadi penerus kehidupan keluarga bersangkutan,
atapun dengan pengangkatan anak (adopsi).
Dalam menentukan kriteria sah tidaknya suatu pengangkatan anak
termasuk akibat hukumnya pada masyarakat daerah tertentu, seperti di kalangan
masyarakat suku Jawa, Tionghoa, saat ini sudah ada beberapa jurisprudensi yang
dapat dijadikan sebagai pedoman. Pengangkatan anak bagi golongan Bumiputera
menurut tata cara hukum adatnya masih dianggap sah dan akibat hukumnya juga
tunduk kepada hukum adatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan dari
pengangkatan anak yaitu mengutamakan kesejahteraan anak. Meskipun
pengangkatan anak harus dilakukan berdasarkan hukum nasional yang berlaku.
Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang siapa saja yang boleh
mengangkakat anak, dan kriteria laki-laki atau perempuankah yang boleh
diangkat. Oleh karena itu, dengan dibuatnya makalah ini akan dibahas lebih lanjut
mengenai pengangkatan anak pada masyarakat di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pentingnya dari pengangkatan anak?
2. Apa saja macam-macam pengangkatan anak?
3. Bagaimana pengangkatan anak menurut hukum di Indonesia?
4. Bagaimana kedudukan pengangkatan anak dalam sistem hukum
Nasional?
1.3 Tujuan
1. Memahami pentingnya dari pengangkatan anak
2. Mengetahui macam-macam pengangkatan anak
3. Memahami pengangkatan anak menurut hukum di Indonesia
4. Memahami akibat hukum dari pengangkatan anak
3
BAB II
PERMASALAHAN
2.1 Hukum Adopsi Anak Di Indonesia
Pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut Adopsi.
Dalam kamus hukum kata adopsi yang bersasal dari bahasa latin adoption diberi
arti pengangkatan anak sebagai anak sendiri.
Adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah
pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan/ keluarga.
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan
seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua tersebut, kedalam lingkungan
keluarga orang tua angkat.Secara terminologi para ahli mengemukakan beberapa
rumusan tentang definisi adopsi antara lain:
Dalam ensiklopedia umum disebutkan Adopsi, suatu cara untuk
mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan
perundang-undangan. Biasanya adopsi dilakukan untuk mendapatkan pewaris atau
untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat adopsi yang
demikian itu ialah bahwa anak yang di adopsi kemudian memiliki status sebagai
anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan
adopsi itu calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat
menjamin kesejahteraan bagi anak. (Herlina, 1998: 69).
Selanjutnya dapat dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma, SH. :
anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua
angkat dengan resmi menurut hukum setempat, dikarenakan dengan tujuan untuk
kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
1
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Hlm, 6
4
Sedangkan pengangkatan (adopsi) tidak di kenal dalam kitab undang-
undang hukum perdata tetapi hanya dikenal dalam Stbl. 1917 no. 129 yo. 1924 no.
557. Menurut peraturan tersebut, pengangkatan anak atau adopsi adalah
pengangkatan seorang anak laki-laki sebagai anak oleh seorang laki-laki yang
telah beristri atau telah pernah beristri, yang tidak mempunyai keturunan laki-laki.
Jadi disini hanya anak laki-laki yang dapat di angkat, tetapi menurut
perkembangan yurisprudensi sekarang ini, anak perempuan pun boleh diangkat
sebagai anak oleh seorang ibu yang tidak mempunyai anak.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengasuhan adalah proses
perbuatan, atau cara mengasuh. Pengasuhan sering disebut pula sebagai child-
rearing yaitu pengalaman, keterampilan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai
orangtua dalam mendidik dan merawat anak. Pengasuhan atau disebut juga
parenting adalah proses menumbuhkan dan mendidik anak dan kelahiran anak
hingga memasuki usia dewasa.atau biasa disebut juga dengan melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau
yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan
kebaikannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri
menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
Adopsi anak adalah salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum
dikaruniai anak. Kehadiran anak adopsi diharapkan dapat mengisi hari-hari sepi
pasangan suami istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang
menjadikan anak adopsi sebagai “pancingan” agar kelak mereka memiliki
keturunan kandung mereka sendiri. Apapun alasannya, saat anda dan pasangan
memutuskan akan mengadopsi anak hendaknya didasari dengan niat baik dan
keikhlasan serta rasa kasih sayang yang tulus untuk merawat si anak dalam
perkembangan kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan
pengangkatan anak telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak.
2
Mahjudin,2003, Nasailul Fiqhiyah, Kalam Mulia. Hlm, 24
5
Hal ini tercantum pula dalam pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Republik
Indonesia No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang berbunyi:
“Pengangkatan anak menurut adat kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan
kepentingan kesejahteraan anak”.
Dalam pelaksanaan pengangkatan anak ternyata masih terdapat adanya
ketentuan hukumnya yang masih belum seragam. Ketentuan hukum mengenai
pengangkatan anak tersebar ke dalam beberapa peraturan hukum, baik yang
tertulis maupun tidak tertulis. Keadaan yang demikian tentu menimbulkan
permasalahan diantaranya mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak
terutama sekali bagi anak yang diangkat. Dalam perkembangan kemudian, setelah
diundangkannya Undang-Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
pada tanggal 23 Juli 1979 maka diharapkan pelaksanaan pengangkatan anak
diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak yang diangkat. Meskipun
sampai saat ini masih terdapat beragam peraturan yang mengatur mengenai
pengangkatan anak, sehingga di dalam pelaksanaannya timbul permasalahan-
permasalah dan hambatan-hambatan walaupun tujuan akhir pelaksanaan
pengangkatan anak adalah mewujudkan kesejahteraan anak.
Sedangkan pengangkatan anak perempuan adalah tidak sah. Sejalan
dengan perkembangan jaman dan budaya yang berkembang dalam masyarakat,
akhirnya pengangkatan anak bagi anak perempuan diperbolehkan berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 907/1963/P tanggal 29 Mei
1963 juncto nomor 588/1963/G tanggal 17 Oktober 1963. Sekarang ini
pengaturan mengenai pengangkatan anak diatur sebagian dalam beberapa
peraturan. Diantaranya adalah Undang-undang tentang Perlindungan Anak Nomor
23 Tahun 2002 yaitu diatur dalam pasal 39, 40 dan pasal 41. Dalam pasal-pasal
tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak
memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya.
3
Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo, Hlm 18
6
Dengan demikian pengaturan mengenai pengangkatan anak yang diatur
dalam Staatsblad Tahun 1917 Nomor 127 dan peraturan lain yang berkaitan
dengan pengangkatan anak dinyatakan tidak berlaku apabila bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut. Pengaturan serta syarat-syarat
mengenai Pengangkatan Anak lebih lanjut diatur dalam Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 6 Tahun 1983 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun
1989 tentang Pengangkatan anak dan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor
41/HUK/KEP/VII/1984.
2.2 Tata Cara Mengadopsi
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara
mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih
dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan
Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa
secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan
ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai
secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
2.3 Syarat-syarat Mengadopsi
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat
melaksanakan pengangkatan anak adalah:
1. Seorang laki-laki yang sudah atau pernah menikah, tetapi tidak
mempunyai anak laki-laki.
2. Suami istri bersama-sama.
3. Seorang wanita yang telah menjadi janda, dengan ketentuan tidak ada
larangan untuk melakukan pengangkatan anak oleh almarhum suaminya
dalam wasiat yang ditinggalkannya dan ia tidak telah kawin lagi.
4
Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo, Hlm 22
7
Selain syarat-syarat tersebut di atas maka diperlukan pula kata sepakat
(persetujuan) dari orang-orang yang bersangkutan:
1. Apabila yang diangkat itu seorang anak sah, maka ada kata sepakat dari
kedua orang tuanya.
2. Jika yang diangkat itu seorang anak diluar kawin, tetapi diakui oleh kedua
orang tuanya, maka diperlukan persetujuan dari kedua orang tua tersebut.
3. Bagi anak yang telah berumur 15 tahun, kata sepakat diperlukan juga dari
anak yang bersangkutan, apakah anak yang akan di angkat itu bersedia
atau tidak.
4. Bagi seorang wanita janda yang akan melakukan pengangkatan anak,
maka diperlukan kata sepakat dari para saudara laki-laki yang telah
dewasa dan bapak mendiang suaminya.
Apabila mereka tidak ada atau tidak berkediaman di Indonesia, cukup kata
sepakat dari dua orang tua diantara keluarga sedarah laki-laki yang terdekat dari
pihak bapak si suami yang telah meninggal dunia itu sampai dengan derajat ke
empat, yang telah dewasa dan bertempat tinggal di Indonesia.
2.4 Undang-undang Pengangkatan Anak Di Indonesia
Pengaturan tentang penangkatan anak di atur antara lain di KUHPerdata
(Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing) dan juga diatur dalam UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan PP No 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Selain dalam pengangkatan anak itu juga perlu
diperhatikan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) nomor 2 tahun 1979 jo
SEMA 6 tahun 1983 jo SEMA 4 tahun 1989;
UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak membedakan antara Anak
angakat dan anah asuh.
5
Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo, Hlm 25
8
Anak angkat (Pasal 1 angka 9) adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut,
ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan.
Pengertian anak angkat sama dengan pengertian anak angkat dalam PP No
54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dalam pasal 1 angka 1
Anak asuh(Pasal 1 angka 10) adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau
lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan
kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu
menjamin tumbuh kembang anak secara wajar
UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (pasal 14) dapat
diambil sebuah prinsip bahwa Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya
sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan
bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir.
Pihak Yang Dapat Mengajukan Pengangkatan Anak;
Pihak yang dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak
yaitu:
1. Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan
untuk tidak mempunyai anak;
2. Mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam
perkawinan. (Gosita Arif, 2000: 269).
Untuk pasangan suami istri Ketentuan mengenai adopsi anak diatur dalam SEMA
No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979
tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak.
6
Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,1990, Hlm. 25
9
Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa
syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan
pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya
sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat
yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
Undang undang No 27 Tahun 2002 Pasal 37 Tentang Pengasuhan dan
Pengangkatan anak
Pasal 37 dan 39
(1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual,
maupun sosial.
(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu.
(3) Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan
agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi
landasan lembaga yang bersangkutan.
(4) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan
agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang
dianut anak yang bersangkutan.
(5) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti
Sosial.
(6) Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
7
Herlina, Apong, dkk. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang, Hlm,33
10
Pasal 39
(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan
hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat.
(4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata /BW
Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), kita tidak menemukan
satu kesatuan yang mengatur masalah pengangkatan anak. Hanya mengenai
pengakuan terhadap anak-anak luar nikah mengenai pengakuan terhadap anak-
anak luar nikah dalam Buku 1BW bab XII bagian ketiga. Kita tidak menemukan
satu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat ini, yang ada
hanyalah ketentuan-ketentuan tentang pengakuan anak diluar kawin, yaitu seperti
yang diatur dalam buku 1BW bab XII bagian ketiga, pasal 280 sampai 289,
tentang pengakuan terhadap anak-anak luar kawin. Ketentuan ini boleh dikatakan
tidak ada sama sekali hubungan denagn masalah adopsi ini. Oleh karena kitab
undang-undang Hukum perdata tidak mengenal hal pengangkatan anak ini
2.5 Dasar Hukum Pengangkatan Anak Di Indonesia
Dasar hukum pengangkatan Anak di Indonesia adalah sebagai berikut :
8
Herlina, Apong, dkk. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang, Hlm.37
11
1. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan
Anak.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
3. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan
Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.
4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 Tentang Pengangkatan
Anak.
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan
Anak.
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak.
10. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 Tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak.
9
Herlina, Apong, dkk. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang, Hlm,38
12
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Pengangkatan anak (Adopsi)
Anak merupakan generasi dari suatu keluarga yang akan meneruskan
keturunannya. Oleh karena itu, anak haruslah dididik dengan segala kemampuan
yang dimiliki oleh orang tuanya, jangan sampai anak-anak tersebut ditelantarkan.
Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam somah/ dalam keluarga
yaitu:
1. Sebagai penerus generasi
2. Sebagai pusat harapan orang tuanya dikemudian hari
3. Sebagai pelindung orang tua kemudian hari dan lain sebagainya, apabila
orang tuanya sudah tidak mampu baik secara fisik ataupun orang tuanya
tidak mampu bekerja lagi. (Bewa Ragawino : 63).
Namun, seiring dengan meningkatnya krisis ekonomi di negara Indonesia ini
banyak anak yang ditelantarkan. Atas hal tersebut menimbulkan partisipasi dari
rakyat dengan mengangkat anak oleh keluarga yang ingin mengasuhnya untuk
meningkatkan kesejahteraan anak tersebut.
Pengangkatan anak adalah pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga
sendiri sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua
angkatnya timbul hubungan antara anak sebagai anak sendiri dan orang tua angkat
sebagai orang tua sendiri. Hubungan yang timbul ini berupa akibat hukum yang
timbul dari perbuatan hukum pengangkatan anak.Pengangkatan anak sering juga
diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari Adoptie (Belanda) atau adoption
(Inggris).
10
Zakaria Ahmad Al – Barry, 2004, Hukum Anak – Anak Dalam Islam, Bulan Bintang, Hlm 55
13
Adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan
pengangkatan anak disebut adoption of a child.
Alasan yang menjadi pertimbangan dalam pengangkatan anak bermacam-
macam. Ada yang karena untuk kepentingan pemeliharaan di hari tua, keadaan
ekonomi keluarga yang lemah dan ada yang karena kasihan terhadap anak yatim
piatu. Bahkan, ada kalanya pengangkatan anak dilakukan dengan pertimbangan
yang mirip dengan adopsi yang diatur oleh ketentuan adopsi ( Stb Nomor 129
tahun 1917 ) yaitu untuk menghindari punahnya suatu keluarga atau untuk
melestarikan keturunannya.
3.2 Pengertian Anak Dari Sisi Adat Indonesia
Mengapa keturunan sangat penting bagi masyarakat hukum adat? Menrut
Djojodigoeno adalah sebagai berikut:
“Keturunan adalah ketunggalan leluhur artinya ada perhubungan darah antara
orang yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai
hubungan darah. Jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang dari
yang lain.” (Susilawati, 2004: 114).
Jadi disini jelas bahwasannya keturunan adalah merupakan unsur yang
mutlak bagi suatu clan atau keluarga, suku dan kerabat yang menginginkan
supaya ada generasi penerus leluhurnya. Mengenai siapa saja yang boleh
mengangkat anak, dalam hukum adat tidak ditentukan. Tetapi menurut R.
Soeroso, dijumpai ketentuan minimal berbeda 15 tahun. Tentang siapa yang boleh
diadopsi juga tidak ada ketentuan harus laki-laki ataukah perempuan, serta tidak
ada batasan usia untuk anak yang akan diangkat. Tujuan dari pengangkatan ini
tentunya bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan material, tetapi
sifatnya lebih tertuju kepada tujuan kemanusiaan belaka yaitu untuk mencapai
kesejahteraan anak.
11
Zakaria Ahmad Al – Barry, 2004, Hukum Anak – Anak Dalam Islam, Bulan Bintang, Hlm 60
14
Dalam pengangkatan anak dalam hukum adat akan membawa anak dalam
kedudukan yang membawa dua kemungkinan:
1. Sebagai nak, sebagai anggota keluarga melanjutkan keturunan,
2. sebagai ahli waris (yuridis)
3. Sebagai anggota masyarakat (sosial) dan menurut tata cara adat. Perbuatan
adopsi pasti dilakukan dengan terang dan “tunai”
Hal ini diperkuat kembali oleh Tolib Setiady yang menyatakan, Kedudukan
hukum anak yang diangkat adalah sama halnya dengan anak kandung dan
hubungannya dengan orang tuanya sendiri menurut adat menjadi putus. Dan
proses adopsi harus terang, artinya wajib dilakukan dengna upacara adat serta
dengan bantuan kepala adat.
3.3. Macam-macam Pengangkatan Anak
Dilingkungan masyarakat hukum adat dikenal dua klafikasi kedudukan
anak angkat yaitu; pertama, kedududkan anak angkat sebagai anak kandung untuk
penerus keturunan orang tua angkatnya. Misalnya pada masyarakat Batak yang
sistem kekerabatanya patrilineal murni. Dimana kedudukan anak laki-laki sangat
penting sebagai penerus keturunan, jadi apabila tidak mempunyai anak laki-laki
harus mengangkat anak laki-laki yang status kedudukannya sebagai anak
kandung. Kedua, kedudukan anak angkat yang diambil tidak dengan maksud
sebagai penerus keturunan orang tua angkatnya.
Dalam makalahnya, Bewa Ragawino menyebutkan bahwa macam-macam
pengangkatan anak adalah:
1. Mengangkat anak bukan warga keluarga atau disebut dengan adopsi
dari anak asing.
12
Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm, 44
15
Anak yang hendak diangkat dilepaskan dari lingkungannya semula dan dipungut
masuk kedalam kerabat yang mengadopsinya, serentak dengan suatu pembayaran
berupa benda-benda magis sebagai taranya dan dilakukan dengan terang
disaksikan oleh para kepala adat. Hal ini dapat kita temukan pada masyarakat adat
daerah Gayo, Nias, Lampung, Kalimantan.
2. Mengangkat Anak dari kalangan keluarga atau dalam satu clan besar
kerabat adatnya.
Mengangkat anak dari kalangan keluarga atau masih dalam satu clan
kekerabatan ini banyak kita jumpai pada masyarakat adat di Bali. Perbuatan ini
sering disebut dengan “nyentanayang”. Biasanya anak selir-selir yang diangkat
menjadi anak angkat, karena istri utama tidak dapat memberikan keturunan. Jika
tidak terdapat wangsa laki-laki yang dijadikan anak angkat,maka dapat juga anak
perempuan diangkat sebagai setana, dan sering disebut dengan “setana rejeg”
Dengan mengikuti peraturan “Paswara” Pasal 11 ayat (1) menentukan sebagai
berikut. “Apabila orang-orang tergolong dalam kasta manapun djuga jang tidak
mempunjai anak-anak lelaki, berkehendak mengangkat seorang anak (memeras
sentana) maka mereka itu harus mendjatuhan pilihannja atas seorang dari anggota
keluarga sedarah jang terdekat dalam keturunan lelaki sampai deradjat
kedelapan”.
Pengangkatan dilakukan melalui upacara Paperasan yaitu upacara yan dihadiri
oleh kepala adat dan keluarga dalam satu pakraman. Upaca dilakukan dengan
membakar benang melambangkan hubungan dengan ibunya putus, dan
pembayaran adat berupa 1.000 (seribu) kepeng serta stel pakaian. Yangkemudian
diumumkan (siar) kepada warga desa, dan kemudian raja memeberikan izinnya
dengan membuatkan akta (surat”Peras).
13
Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm, 47
16
3. Mengangkat anak dari kalangan Keponakan atau sering disebut
dengan adopsi kemenakan
Dalam pengangkatan anak (adopsi) kemenakan ini selain dilatarbelakangi karena
alasan tidak/ belum dikaruniai anak, juga terdorong oleh rasa kasihan/iba.
Perbedaan antara adopsi kemenakan dan adopsi dengan satu clan/ kekerabatan
dalam perbedaan status dan tidak adanya pembayaran. Dijawa pengangkatan
seperti ini sering disebut dengan “pedot”
Sebab-sebab mengangkat anak dari keponakan adalah :
1. Tidak mempunyai anak sendiri sehingga dengan memungut keponakan
tersebut merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan
2. Belum dikaruniai anak sehingga dengan memungut anak tersebut
3. diharapkan akan mempercepat kemungkinannya akan medapatkan anak
(kandung)
3.4 Asas Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Adat
Dalam pengangkatan anak pada masyarakat adat kan memunculkan asas-asas
antara lain:
1. Asas mengangkat anak untuk meneruskan garis keturunan
2. Asas mengangkat anak laki-laki untuk meneruskangaris keturunannya
biasanya terjadi pada msyarakat Bali, dan Patrilineal.
3. Asas mengutamakan kesejahteraan anak angkat, (Tedong Ajis, 2006: 121).
Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma
(1987 : 144) dalam bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa :
“Selain pengurusan dan perwalian anak dimaksud bagi keluarga keluarga yang
mempunyai anak, apalagi tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi, yaitu
pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan dengan mengutamakan
kepentingan kesejahteraan anak, pengangkatan anak dimaksud tidak memutuskan
hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya berdasarkan hukum
17
berlaku bagi anak yang bersangkutan”. Untuk selanjutnya mengenai hak mewaris
anak angkat, meskipun anak angkat tersebut mempunyai hak mewaris, tetapi
menurut Keputusan Mahkamah Agung tidak semua harta peninggalan bisa
diwariskan kepada anak angkat. Hanya sebatas harta gono-gini orang tua angkat,
sedang terhadap harta asal orang.
4. Asas kekeluargaan
5. Asas kemanusiaan
Selain alasan belum/tidak mempunyai keturunan dalam pengangkatan anak
juga berlandaskan kemanusiaan. Namun untuk masyarakaat yang menganut
sistem kekerabatan Matrilineal, kedudukan anak tidak sama dengan anak
kandung, begitu juga pada masyarakat Parental. Pengangkatan anak pada
masyarakat Parental juga tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak angkat
dengan orang tua kandungnya. Anak angkat masuk dalam kehidupan rumah
tangga orang tua angkat sebagai anggota keluarga, tetapi tidak berkedudukan
sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya.
6. Asas persamaan hak
Anak angkat dalam masyarakat adat diterima secara biologis dan sosial,
sehingga kedudukannya sama dengan anak kandung begitupula dengan hak-
haknya sebagai anak.
7. Asas musyawarah dan mufakati
Seblum melakukan pengangkatan anak dalam keluarga, harus didahului
musyawarah dan mufakat keluarga besar.
14
Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm, 48
18
3.5 Kedudukan Anak Angkat dalam masyarakat adat
Dalam pengangkatan anak dalam masyarakat adat kedudukan anak angkat dapat
dibedakan
1. Anak angkat sebagai penerus keturunan
Di Lampung anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi diambil dari anak
yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya.
Di Bali anak angkat sebagai penerus keturunan dengan mengawinkan anak wanita
kandung bapak angkatnya, anak itu menjadi sentana rejeg yang mempunyai hak
yang sama dengan anak kandung.
2. Anak angkat adat karena perkawinan atau untuk penghormatan
Terjadi dikarenakan perkawinan campuran antara suku (adat) yang berbeda
(batak;marsileban).
Di batak jika suami yang diangkat itu orang luar maka ia diangkat sebagai
anak dari kerabat “namboru” (marga penerima dara) dan jika isteri yang diangkat
itu orang luar maka ia diangkat sebagai anak tiri kerabat “hula-hula” (Tulang,
marga pemberi darah)
Pengangkatan anak atau saudara (lampung; adat mewari) tertentu sebagai
tanda penghargaan, misalnya mengangkat seorang pejabat pemerintahan menjadi
saudara angkat
Pengangkatan anak karena penghormatan ini juga tidak berakibat menjadi
waris dari ayah angkat si anak, kecuali diadakan tambahan perikatan ketika
upacara adat dihadapan para pemuka adat dilaksanakan.
15
Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm 52
19
3.6 Akibat Hukum dari Pengangkatan Anak
Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak,
bukannya sebagai orang asing.[14] Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah
menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai
“anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik
pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua
orang tua yang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak
mendapat apa-apa dari barang asal daripada bapa atau ibu angkatnya- atas barang-
barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap mempunyai haknya yang tertentu, tapi
ia mendapat barang-barang (semua) yang diperoleh dalam perkawinan. Ambil
anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan.
Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam
pengangkatan antara anak dengan orang tua sebagai berikut :
1. Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk
memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.
2. Hubungan waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak
sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak
yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.
3. Hubungan perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus
hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang
tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh
pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua kandung berlaih kepada
orang tua angkat.
4. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan
mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua
angkat
16
Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm 53
20
Pendapat lain mengenai akibat hukum yang timbul dari pengangkatan anak:
A. Dengan orang tua kandung
Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang
tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau
tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua
kandung telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal seperti ini terdapat di daerah
Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah
memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak
memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandungnya. Hanya
hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan
orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan,
pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.
B.Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai
kedudukan sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas
hak mewaris dan keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa
daerah
Di Indonesia, seperti di pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah
perbuatan hukum melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta
memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak
tersebut berkedudukan sebagai anak kandung. Di Lampung perbuatan
pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak dengan orang tua
angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua kandung dan hubungan
dengan orangtua kandung-nya secara hukum menjadi terputus. Anak angkat
mewarisi dari orang tua angkatnya dan tidak dari orang tua kandungnya.
Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma dalam
bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa :
17
Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm 60
21
“Selain pengurusan dan perwalian anak dimaksud bagi keluarga keluarga
yang mempunyai anak, apalagi tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi,
yaitu pengangkatan anak.
3.7 Pedoman Pengangkatan anak Di Indonesia
Dalam pengangkatan anak di Indonesia, pedoman yang dipergunakan saat ini
adalah :
1. Staatsblad 1917 No. 129 mengenai adopsi yang berlaku bagi golongan
Tionghoa.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 (merupakan
penyempurnaan dari dan sekaligus menyatakan tidak berlaku lagi Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1979) jo Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 4 Tahun 1989 tentang pengangkatan Anak yang berlaku bagi
warga negara Indonesia.
3. Hukum adat (Hukum tidak tertulis).
4. Jurisprudens
18
Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm 62
22
BAB IV
TINJUAN PUSTAKA
4.1 Pengangkatan Anak Menurut Hukum Positif
Kamus umum Bahasa Indonesia mengartikan anak angkat sebagai anak
orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak
sendiri. Menurut Ensiklopedia Umum, anak angkat adalah suatu cara untuk
mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak. “Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut,
ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau
penetapan pengadilan”.
Selain itu terdapat pengertian Pengangkatan Anak menurut Peraturan
Pemerintah No. 54 Tahun 2007. “Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua,
wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang
tua angkat”.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga
memberikan pengertian Anak angkat. “Anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,dan membesarkan anak tersebut,
ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan”
19
Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,1990, Hlm 65
23
Menurut Muderis Zaini, anak angkat adalah penyatuan seseorang anak
yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam keluargannya. Ia
diperlakukan sebagai anak segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan
pelayanan dalam segala kebutuhannya, dan bukan diperlakukan sebagai anak
nashabnya sendiri. Muderis Zaini, dalam bukunya “Adopsi” menyebutkan bahwa
Mahmud Syaltut, membedakan dua macam arti anak angkat, yaitu:
Pertama, penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia
seorang anak orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak
dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala
kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.
Kedua, yakni yang dipahamkan dari perkataan ‘tabanni’ (mengangkat anak
secara mutlak). Menurut syariat adat dan kebiasaan yang berlaku pada manusia,
Tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam
keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai anak yang
sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak.
Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam
kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah
didasarkan pada faktor hubungan darah. Dari beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat anak
untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri yang menimbulkan akibat hukum
tertentu.
4.2 Tujuan Pengangkatan Anak
Dalam praktiknya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia
mempunyai beberapa macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain
untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh
keturunan.
20
Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,1990, Hlm 72
24
Mengenai tujuan dari pengangkatan anak, diatur di dalam Peraturan
Pemerintah No. 54 Tahun 2007:
“Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara
tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak
hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Praktik pengangkatan anak dengan motivasi komersial
perdagangan, komersial untuk pancingan dan kemudian setelah pasangan tersebut
memperoleh anak dari rahimnya sendiri atau anak kandung, si anak angkat yang
hanya sebagai pancingan tersebut disia-siakan atau diterlantarkan, hal tersebut
sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak.
Oleh karena itu pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat
untuk memberikan pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak
angkat akan lebih baik dan lebih maslahat. Ketentuan ini sangat memberikan
jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari
orang tuanya.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979 jo. No. 6
Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak menerangkan bahwa pasangan suami
istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai
anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak.
Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak
terikat dalam perkawinan.
21
Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,1990, Hlm 76
25
4.3 Status Anak Angkat Menurut BW
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Bugerlijk
Weetboek (BW) yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang
diatur dalam KUHPerdata adalah adopsi atau pengangkatan anak diluar kawin
yaitu yang terdapat dalam Bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai dengan Pasal
290 KUH Perdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak ada hubungannya
dengan adopsi, karena pada asasnya KUHPerdata tidak mengenal adopsi.
Menurut Ali Affandi dalam bukunya Hukum Keluarga, menurut
KUHPerdata, adopsi tidak mungkin diatur karena KUHPerdata memandang suatu
perkawinan sebagai bentuk hidup bersama, bukan untuk mengadakan keturunan.
Tidak diaturnya lembaga adopsi karena KUHPerdata merupakan produk
pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum (masyarakat) Belanda sendiri
tidak mengenal lembaga adopsi.
Diberlakukannya KUHPerdata bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi
hukum keluarga sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal
tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum
keluarga Tionghoa sebelum berlakunya KUHPerdata sangat kental dengan tradisi
adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak mempunyai anak atau keturunan laki-
laki demi meneruskan eksistensi margakeluarga dan pemujaan atau pemeliharaan
abu leluhur.
Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda
pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblaad No.129 yang didalam Pasal 5 sampai
dengan Pasal 15 memberi pengaturan tentang adopsi bagi masyarakat golongan
Tionghoa di Indonesia. Namun sehubungan dengan berkembangnya kebutuhan
adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun
1917 No.129 yang hanya mengatur pengangkatan anak laki-laki telah mulai
ditinggalkan karena kebutuhan adopsi tidak hanya terbatas pada anak laki-laki
saja tetapi juga terhadap anak perempuan.
22
Muhammad, Arif. Undang -Undang Perlindungan Anak Indonesi.,1998.Hlm, 44
26
Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan
telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak
perempuan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No.
907/1963/Pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri
Istimewa Jakarta No. 588/1963 tertanggal 17 Oktober 1963. Bahkan pada tahun
yang sama pada kasus lain mengenai perkara pengangkatan anak perempuan
Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu putusannya antara lain menetapkan bahwa
Pasal 5, 6 dan 15 ordonansi Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya
memperbolehkan pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi,
karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
23
Muhammad, Arif. Undang -Undang Perlindungan Anak Indonesi.,1998.Hlm, 44
27
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Memungut, mengasuh, memelihara, dan mendidik anak-anak yang
terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan
nasab orang tua kandungnya adalah perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh
ajaran Islam, bahkan dalam kondisi tertentu di mana tidak ada orang lain yang
memeliharanya, maka bagi orang yang mampu secara ekonomi dan psikis yang
menemukan anak terlantar tersebut hukumannya wajib untuk mengambil dan
memeliharanya tanpa harus memutuskan hubungan nasab dengan orang tua
kandungnya.
Bahwa memungut, mengasuh memelihara atau mengangkat anak
merupakan hal hal yang harus diperhatikan berdasarkan undang undang yang
berlaku di Indonesia, dengan mengacu pada perbuatan berbudi luhur dan tulus
dalam mengangkat dan mengurus anak angkat.
5.2 Saran
Diharapkan dengan makin meningkatnya kesadaran beragama masyarakat
muslim maka makin mendorong semangat untuk melakukan koreksi terhadap hal-
hal yang bertentangan dengan syariat Islam, antara lain masalah pengangkatan
anak. Hasil ikhtiar ini mulai tampak dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (
KHI ) sebagai pedoman hukum materiil peradilan agama mengakui eksistensi
lembaga pengangkatan anak dengan mengatur anak angkat dalam rumusan Pasal
171 huruf h dan Pasal 209. Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam secara konsisten
mengawal penerapan hukumnya sehingga berpengaruh positif terhadap kesadaran
masyarakat yang beragama Islam untuk melakukan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam.
28
Disarankan kepada instansi pemerintah khususnya instansi-instansi
pemerintah yang terkait dengan masalah pengangkatan anak yaitu Peradilan
Agama, Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil agar lebih
meningkatkan sumber daya manusia yang ada didalamnya untuk lebih
meningkatkan sosialisasi terhadap produk peraturan perundang-undangan yang
terbaru mengenai pengangkatan anak sehingga diharapkan dengan adanya
sosialisasi maka akan adanya pengusaan materi mengenai pengangkatan anak
dengan segala kompleksitas permasalahan yang ada didalamnya. Dengan adanya
penguasaan materi mengenai pengangkatan anak maka permasalahan yang akan
timbul akan dapat lebih diminimalisasi dan diberikan solusi yang cepat, terbaik
dan tepat.
Diharapkan kepada seluruh Warga Negara Indonesia bahwa harus ada
pengetahuan yang jelas dari calon orang tua angkat dan orang tua kandung yang
akan diangkat orang lain, perihal perbedaan prinsip Hukum Pengangkatan Anak
yang diajukan dan diputus Pengadilan Negeri, dengan pengangkatan anak yang
diajukan dan diputus Pengadilan Agama. Pengetahuan dan kesadaran hukum
tentang perbedaan hukum pengangkatan anak tersebut seharusnya sudah diketahui
dan disadari pada saat akan mengajukan perkara permohonan, sehingga mereka
dapat dengan tepat memilih pengadilan mana yang akan memberikan penetapan,
yang kemudian akan berdampak pada akibat hukum yang ditimbulkan.
29
DAFTAR PUSTAKA
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Mahjudin,2003, Nasailul Fiqhiyah, Kalam Mulia, Jakarta.
Muhyidin, Wawancara Pribadi, Pengurus Majelis Ulama Indonesia ( MUI )
Provinsi Jawa Tengah, Tanggal 1 Juni 2009.
QS. Al-Baqarah (2), ayat:256
Zakaria Ahmad Al – Barry, 2004, Hukum Anak – Anak Dalam Islam, Bulan
Bintang, Jakarta.
Kamus Munjid; Lihat juga Ibrahim Anis dan Abdul Halim Muntashir (et al). Al-
Mu’jam al-wasith, Mishr; Majma’ al-Lughah al-Arabiyah. 1392 H/1972 M, Cet.
II, Jilid I, hal. 72
Depdikbud, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo CV,
1984.
Herlina, Apong, dkk. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: UNICEF,
2005.
Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,
1990.
Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005.

Contenu connexe

Tendances

84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 384044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
Adi Nugraha
 
Contoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalContoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasional
Evirna Evirna
 
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan AgamaPembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Daniel_Alfaruqi
 
Paper Hukum Pembuktian (Hansel)
Paper Hukum Pembuktian (Hansel)Paper Hukum Pembuktian (Hansel)
Paper Hukum Pembuktian (Hansel)
Hansel Kalama
 
Alasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidana
Alasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidanaAlasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidana
Alasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidana
Sigit Riono
 
Pendewasaan (handlichting)
Pendewasaan (handlichting)Pendewasaan (handlichting)
Pendewasaan (handlichting)
Zainal Abidin
 

Tendances (20)

Ppt sekilas hukum kontrak
Ppt sekilas hukum kontrakPpt sekilas hukum kontrak
Ppt sekilas hukum kontrak
 
Hukum Keluarga
Hukum Keluarga Hukum Keluarga
Hukum Keluarga
 
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...
 
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 384044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
 
Hukum perdata internasional 1
Hukum perdata internasional 1Hukum perdata internasional 1
Hukum perdata internasional 1
 
praktik peradilan perdata
praktik peradilan perdatapraktik peradilan perdata
praktik peradilan perdata
 
Hukum Perdata Internasional
Hukum Perdata InternasionalHukum Perdata Internasional
Hukum Perdata Internasional
 
Contoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalContoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasional
 
Hukum perdata internasional - Sejarah perkembangan hukum perdata internasiona...
Hukum perdata internasional - Sejarah perkembangan hukum perdata internasiona...Hukum perdata internasional - Sejarah perkembangan hukum perdata internasiona...
Hukum perdata internasional - Sejarah perkembangan hukum perdata internasiona...
 
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
 
Hukum perdata internasional - Renvoi dan permasalahannya (Idik Saeful Bahri)
Hukum perdata internasional - Renvoi dan permasalahannya (Idik Saeful Bahri)Hukum perdata internasional - Renvoi dan permasalahannya (Idik Saeful Bahri)
Hukum perdata internasional - Renvoi dan permasalahannya (Idik Saeful Bahri)
 
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan AgamaPembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Agama
 
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
 
Paper Hukum Pembuktian (Hansel)
Paper Hukum Pembuktian (Hansel)Paper Hukum Pembuktian (Hansel)
Paper Hukum Pembuktian (Hansel)
 
Alasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidana
Alasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidanaAlasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidana
Alasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidana
 
Hukum Keluarga
Hukum KeluargaHukum Keluarga
Hukum Keluarga
 
Pendewasaan (handlichting)
Pendewasaan (handlichting)Pendewasaan (handlichting)
Pendewasaan (handlichting)
 
Khi dan waris islam
Khi dan waris islamKhi dan waris islam
Khi dan waris islam
 
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
 
Hukum perjanjian kuliah 2
Hukum perjanjian kuliah 2Hukum perjanjian kuliah 2
Hukum perjanjian kuliah 2
 

En vedette

Permensos no. 110 tahun 2009 idn journal
Permensos no. 110 tahun 2009 idn journalPermensos no. 110 tahun 2009 idn journal
Permensos no. 110 tahun 2009 idn journal
IdnJournal
 
Permensos adopsi 2009
Permensos adopsi 2009Permensos adopsi 2009
Permensos adopsi 2009
Dewi Kartika
 
Tugas permohonan pengangkatan anak
Tugas permohonan pengangkatan anakTugas permohonan pengangkatan anak
Tugas permohonan pengangkatan anak
Desy Fitrianty
 
Laporan kelompok praktikum Di Pengadilan Agama Kandangan
Laporan kelompok praktikum Di Pengadilan Agama Kandangan Laporan kelompok praktikum Di Pengadilan Agama Kandangan
Laporan kelompok praktikum Di Pengadilan Agama Kandangan
Taufik Rahman
 
Taklimat mbwn johor ppdjb_3.3.2011
Taklimat mbwn johor ppdjb_3.3.2011Taklimat mbwn johor ppdjb_3.3.2011
Taklimat mbwn johor ppdjb_3.3.2011
Sahmizawati Kamis
 
Makalah perlindungan anak (traficing child)
Makalah perlindungan anak (traficing child)Makalah perlindungan anak (traficing child)
Makalah perlindungan anak (traficing child)
Andy Susanto
 
Peranan, Tanggungjawab Dan Strategi Institusi Sosialisasi Di Malaysia Dalam ...
Peranan, Tanggungjawab Dan Strategi Institusi Sosialisasi Di Malaysia  Dalam ...Peranan, Tanggungjawab Dan Strategi Institusi Sosialisasi Di Malaysia  Dalam ...
Peranan, Tanggungjawab Dan Strategi Institusi Sosialisasi Di Malaysia Dalam ...
csdp123
 
Slide ceramah persaraan_jpa up gb sksl
Slide ceramah persaraan_jpa up gb skslSlide ceramah persaraan_jpa up gb sksl
Slide ceramah persaraan_jpa up gb sksl
Izuan Adnan
 

En vedette (17)

Etika pada kasus bayi adopsi
Etika pada kasus bayi adopsiEtika pada kasus bayi adopsi
Etika pada kasus bayi adopsi
 
Permensos no. 110 tahun 2009 idn journal
Permensos no. 110 tahun 2009 idn journalPermensos no. 110 tahun 2009 idn journal
Permensos no. 110 tahun 2009 idn journal
 
Makalah hukum agraria di indonesia
Makalah hukum agraria di indonesiaMakalah hukum agraria di indonesia
Makalah hukum agraria di indonesia
 
Jurnal penelitian Masyarakat Adat
Jurnal penelitian Masyarakat AdatJurnal penelitian Masyarakat Adat
Jurnal penelitian Masyarakat Adat
 
Makalah pkn MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENUR...
Makalah pkn  MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENUR...Makalah pkn  MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENUR...
Makalah pkn MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENUR...
 
Hukum islam dan kontribusi umat islam indonesia
Hukum islam dan kontribusi umat islam indonesiaHukum islam dan kontribusi umat islam indonesia
Hukum islam dan kontribusi umat islam indonesia
 
HUKUM PERDATA
HUKUM PERDATAHUKUM PERDATA
HUKUM PERDATA
 
Permensos adopsi 2009
Permensos adopsi 2009Permensos adopsi 2009
Permensos adopsi 2009
 
Tugas permohonan pengangkatan anak
Tugas permohonan pengangkatan anakTugas permohonan pengangkatan anak
Tugas permohonan pengangkatan anak
 
Laporan kelompok praktikum Di Pengadilan Agama Kandangan
Laporan kelompok praktikum Di Pengadilan Agama Kandangan Laporan kelompok praktikum Di Pengadilan Agama Kandangan
Laporan kelompok praktikum Di Pengadilan Agama Kandangan
 
Hukum Waris (Faraidh)
Hukum Waris (Faraidh)Hukum Waris (Faraidh)
Hukum Waris (Faraidh)
 
Taklimat mbwn johor ppdjb_3.3.2011
Taklimat mbwn johor ppdjb_3.3.2011Taklimat mbwn johor ppdjb_3.3.2011
Taklimat mbwn johor ppdjb_3.3.2011
 
Makalah perlindungan anak (traficing child)
Makalah perlindungan anak (traficing child)Makalah perlindungan anak (traficing child)
Makalah perlindungan anak (traficing child)
 
Peranan, Tanggungjawab Dan Strategi Institusi Sosialisasi Di Malaysia Dalam ...
Peranan, Tanggungjawab Dan Strategi Institusi Sosialisasi Di Malaysia  Dalam ...Peranan, Tanggungjawab Dan Strategi Institusi Sosialisasi Di Malaysia  Dalam ...
Peranan, Tanggungjawab Dan Strategi Institusi Sosialisasi Di Malaysia Dalam ...
 
Slide ceramah persaraan_jpa up gb sksl
Slide ceramah persaraan_jpa up gb skslSlide ceramah persaraan_jpa up gb sksl
Slide ceramah persaraan_jpa up gb sksl
 
Makalah nikah beda agama
Makalah nikah beda agamaMakalah nikah beda agama
Makalah nikah beda agama
 
Makalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agamaMakalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agama
 

Similaire à Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Skripsi hukum
Skripsi hukumSkripsi hukum
Skripsi hukum
moncos123
 
Adopsi Anak, Gimana Caranya?
Adopsi Anak, Gimana Caranya?Adopsi Anak, Gimana Caranya?
Adopsi Anak, Gimana Caranya?
24hourparenting
 
Pencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by aco
Pencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by acoPencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by aco
Pencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by aco
kristoforusacoindra fadlieagle
 
Makalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anak
Makalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anakMakalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anak
Makalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anak
Septian Muna Barakati
 
Makalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anak
Makalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anakMakalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anak
Makalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anak
Operator Warnet Vast Raha
 
HPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptx
HPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptxHPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptx
HPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptx
koko212591
 
BUKU AJAR NUR kespro.docx
BUKU AJAR NUR kespro.docxBUKU AJAR NUR kespro.docx
BUKU AJAR NUR kespro.docx
Hayati71
 
BUKU AJAR NUR kespro.docx
BUKU AJAR NUR kespro.docxBUKU AJAR NUR kespro.docx
BUKU AJAR NUR kespro.docx
Hayati71
 
Hak kewarisan anak luar nikah
Hak kewarisan anak luar nikah Hak kewarisan anak luar nikah
Hak kewarisan anak luar nikah
diktum2015
 

Similaire à Makalah adopsi (pegangkatan anak) (20)

Skripsi hukum
Skripsi hukumSkripsi hukum
Skripsi hukum
 
Pembekalan hukum pengangkatan anak a slideshare
Pembekalan hukum pengangkatan anak   a slidesharePembekalan hukum pengangkatan anak   a slideshare
Pembekalan hukum pengangkatan anak a slideshare
 
Pertemuan 1 sampai 3 PHAP.pdf
Pertemuan 1 sampai 3 PHAP.pdfPertemuan 1 sampai 3 PHAP.pdf
Pertemuan 1 sampai 3 PHAP.pdf
 
Adopsi Anak, Gimana Caranya?
Adopsi Anak, Gimana Caranya?Adopsi Anak, Gimana Caranya?
Adopsi Anak, Gimana Caranya?
 
Pencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by aco
Pencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by acoPencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by aco
Pencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by aco
 
Makalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anak
Makalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anakMakalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anak
Makalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anak
 
Hukum_Perlindungan_Anak.pdf
Hukum_Perlindungan_Anak.pdfHukum_Perlindungan_Anak.pdf
Hukum_Perlindungan_Anak.pdf
 
Makalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anak
Makalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anakMakalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anak
Makalah pandangan islam tehadap pemeliharaan dan pengasuhan anak
 
Makalah bayi tabung
Makalah bayi tabungMakalah bayi tabung
Makalah bayi tabung
 
HPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptx
HPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptxHPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptx
HPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptx
 
Perkawinan yang tidak dicatatkan
Perkawinan yang tidak dicatatkanPerkawinan yang tidak dicatatkan
Perkawinan yang tidak dicatatkan
 
Sistem perilndungana anak
Sistem perilndungana anakSistem perilndungana anak
Sistem perilndungana anak
 
BUKU AJAR NUR kespro.docx
BUKU AJAR NUR kespro.docxBUKU AJAR NUR kespro.docx
BUKU AJAR NUR kespro.docx
 
BUKU AJAR NUR kespro.docx
BUKU AJAR NUR kespro.docxBUKU AJAR NUR kespro.docx
BUKU AJAR NUR kespro.docx
 
Uu 23 2002
Uu 23 2002Uu 23 2002
Uu 23 2002
 
Hak kewarisan anak luar nikah
Hak kewarisan anak luar nikah Hak kewarisan anak luar nikah
Hak kewarisan anak luar nikah
 
Uu 04 1979
Uu 04 1979Uu 04 1979
Uu 04 1979
 
Tmk perlindungan dan pemberdayaan hak anak
Tmk perlindungan dan pemberdayaan hak anakTmk perlindungan dan pemberdayaan hak anak
Tmk perlindungan dan pemberdayaan hak anak
 
Hukum perdata internasional asas perkawinan dan kebendaan
Hukum perdata internasional asas perkawinan dan kebendaanHukum perdata internasional asas perkawinan dan kebendaan
Hukum perdata internasional asas perkawinan dan kebendaan
 
Analisis uu
Analisis uu Analisis uu
Analisis uu
 

Dernier

PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
dpp11tya
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
AtiAnggiSupriyati
 
aksi nyata penyebaran pemahaman merdeka belajar
aksi nyata penyebaran pemahaman merdeka belajaraksi nyata penyebaran pemahaman merdeka belajar
aksi nyata penyebaran pemahaman merdeka belajar
HafidRanggasi
 

Dernier (20)

PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING...
PELAKSANAAN  + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY &  WAREHOUSING...PELAKSANAAN  + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY &  WAREHOUSING...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING...
 
POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)
POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)
POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
 
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxvIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
 
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfContoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
 
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptxPPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
 
aksi nyata penyebaran pemahaman merdeka belajar
aksi nyata penyebaran pemahaman merdeka belajaraksi nyata penyebaran pemahaman merdeka belajar
aksi nyata penyebaran pemahaman merdeka belajar
 
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdfMAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
 
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMMAKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
 
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk HidupUT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
 
PPT Penjumlahan Bersusun Kelas 1 Sekolah Dasar
PPT Penjumlahan Bersusun Kelas 1 Sekolah DasarPPT Penjumlahan Bersusun Kelas 1 Sekolah Dasar
PPT Penjumlahan Bersusun Kelas 1 Sekolah Dasar
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
 

Makalah adopsi (pegangkatan anak)

  • 1. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan anugerah dan amanah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu anak sebagai amanah dari Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi oleh keluarga, masyarakat, negara karena didalam diri anak melekat hak anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat didalam UUD 1945 dan konvensi PBB tentang hak-hak anak. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Anak adalah pewaris sekaligus penerus garis keturunan keluarga. Oleh karena itu, apabila dalam suatu perkawinan belum atau tidak dikarunia anak, maka diadakan pengangkatan anak atau adopsi. Pengertian tentang adopsi dapat dilihat secara etimologi, terminologi, serta menurut para pakar hukum manusia sudah dikodratkan untuk hidup berpasang-pasangan membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari suami istri dan pada umumnya juga menginginkan kehadiran anak atau keturunan hasil dari perkawinannya. Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Akan tetapi terkadang semua itu terbentur pada takdir ilahi dimana kehendak memperoleh anak meskipun telah bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai anak, sedangkan keinginan untuk mempunyai anak sangatlah besar. Jika demikian, penerus silsilah orang tua dan kerabat keluarga tersebut terancam putus atau punah. (Soemitro, 2003: 169).
  • 2. 2 Dalam keadaan demikianlah kemudian para anggota kerabat dapat mendesak agar si suami mencari wanita lain atau mengangkat anak kemenakan dari anggota kerabat untuk menjadi penerus kehidupan keluarga bersangkutan, atapun dengan pengangkatan anak (adopsi). Dalam menentukan kriteria sah tidaknya suatu pengangkatan anak termasuk akibat hukumnya pada masyarakat daerah tertentu, seperti di kalangan masyarakat suku Jawa, Tionghoa, saat ini sudah ada beberapa jurisprudensi yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Pengangkatan anak bagi golongan Bumiputera menurut tata cara hukum adatnya masih dianggap sah dan akibat hukumnya juga tunduk kepada hukum adatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan dari pengangkatan anak yaitu mengutamakan kesejahteraan anak. Meskipun pengangkatan anak harus dilakukan berdasarkan hukum nasional yang berlaku. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang siapa saja yang boleh mengangkakat anak, dan kriteria laki-laki atau perempuankah yang boleh diangkat. Oleh karena itu, dengan dibuatnya makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengangkatan anak pada masyarakat di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pentingnya dari pengangkatan anak? 2. Apa saja macam-macam pengangkatan anak? 3. Bagaimana pengangkatan anak menurut hukum di Indonesia? 4. Bagaimana kedudukan pengangkatan anak dalam sistem hukum Nasional? 1.3 Tujuan 1. Memahami pentingnya dari pengangkatan anak 2. Mengetahui macam-macam pengangkatan anak 3. Memahami pengangkatan anak menurut hukum di Indonesia 4. Memahami akibat hukum dari pengangkatan anak
  • 3. 3 BAB II PERMASALAHAN 2.1 Hukum Adopsi Anak Di Indonesia Pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut Adopsi. Dalam kamus hukum kata adopsi yang bersasal dari bahasa latin adoption diberi arti pengangkatan anak sebagai anak sendiri. Adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan/ keluarga. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.Secara terminologi para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi antara lain: Dalam ensiklopedia umum disebutkan Adopsi, suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilakukan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat adopsi yang demikian itu ialah bahwa anak yang di adopsi kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi itu calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak. (Herlina, 1998: 69). Selanjutnya dapat dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma, SH. : anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum setempat, dikarenakan dengan tujuan untuk kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. 1 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Hlm, 6
  • 4. 4 Sedangkan pengangkatan (adopsi) tidak di kenal dalam kitab undang- undang hukum perdata tetapi hanya dikenal dalam Stbl. 1917 no. 129 yo. 1924 no. 557. Menurut peraturan tersebut, pengangkatan anak atau adopsi adalah pengangkatan seorang anak laki-laki sebagai anak oleh seorang laki-laki yang telah beristri atau telah pernah beristri, yang tidak mempunyai keturunan laki-laki. Jadi disini hanya anak laki-laki yang dapat di angkat, tetapi menurut perkembangan yurisprudensi sekarang ini, anak perempuan pun boleh diangkat sebagai anak oleh seorang ibu yang tidak mempunyai anak. Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengasuhan adalah proses perbuatan, atau cara mengasuh. Pengasuhan sering disebut pula sebagai child- rearing yaitu pengalaman, keterampilan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai orangtua dalam mendidik dan merawat anak. Pengasuhan atau disebut juga parenting adalah proses menumbuhkan dan mendidik anak dan kelahiran anak hingga memasuki usia dewasa.atau biasa disebut juga dengan melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Adopsi anak adalah salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum dikaruniai anak. Kehadiran anak adopsi diharapkan dapat mengisi hari-hari sepi pasangan suami istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang menjadikan anak adopsi sebagai “pancingan” agar kelak mereka memiliki keturunan kandung mereka sendiri. Apapun alasannya, saat anda dan pasangan memutuskan akan mengadopsi anak hendaknya didasari dengan niat baik dan keikhlasan serta rasa kasih sayang yang tulus untuk merawat si anak dalam perkembangan kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. 2 Mahjudin,2003, Nasailul Fiqhiyah, Kalam Mulia. Hlm, 24
  • 5. 5 Hal ini tercantum pula dalam pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang berbunyi: “Pengangkatan anak menurut adat kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”. Dalam pelaksanaan pengangkatan anak ternyata masih terdapat adanya ketentuan hukumnya yang masih belum seragam. Ketentuan hukum mengenai pengangkatan anak tersebar ke dalam beberapa peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Keadaan yang demikian tentu menimbulkan permasalahan diantaranya mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak terutama sekali bagi anak yang diangkat. Dalam perkembangan kemudian, setelah diundangkannya Undang-Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak pada tanggal 23 Juli 1979 maka diharapkan pelaksanaan pengangkatan anak diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak yang diangkat. Meskipun sampai saat ini masih terdapat beragam peraturan yang mengatur mengenai pengangkatan anak, sehingga di dalam pelaksanaannya timbul permasalahan- permasalah dan hambatan-hambatan walaupun tujuan akhir pelaksanaan pengangkatan anak adalah mewujudkan kesejahteraan anak. Sedangkan pengangkatan anak perempuan adalah tidak sah. Sejalan dengan perkembangan jaman dan budaya yang berkembang dalam masyarakat, akhirnya pengangkatan anak bagi anak perempuan diperbolehkan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 907/1963/P tanggal 29 Mei 1963 juncto nomor 588/1963/G tanggal 17 Oktober 1963. Sekarang ini pengaturan mengenai pengangkatan anak diatur sebagian dalam beberapa peraturan. Diantaranya adalah Undang-undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yaitu diatur dalam pasal 39, 40 dan pasal 41. Dalam pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya. 3 Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo, Hlm 18
  • 6. 6 Dengan demikian pengaturan mengenai pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad Tahun 1917 Nomor 127 dan peraturan lain yang berkaitan dengan pengangkatan anak dinyatakan tidak berlaku apabila bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut. Pengaturan serta syarat-syarat mengenai Pengangkatan Anak lebih lanjut diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan anak dan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984. 2.2 Tata Cara Mengadopsi Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat . 2.3 Syarat-syarat Mengadopsi Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melaksanakan pengangkatan anak adalah: 1. Seorang laki-laki yang sudah atau pernah menikah, tetapi tidak mempunyai anak laki-laki. 2. Suami istri bersama-sama. 3. Seorang wanita yang telah menjadi janda, dengan ketentuan tidak ada larangan untuk melakukan pengangkatan anak oleh almarhum suaminya dalam wasiat yang ditinggalkannya dan ia tidak telah kawin lagi. 4 Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo, Hlm 22
  • 7. 7 Selain syarat-syarat tersebut di atas maka diperlukan pula kata sepakat (persetujuan) dari orang-orang yang bersangkutan: 1. Apabila yang diangkat itu seorang anak sah, maka ada kata sepakat dari kedua orang tuanya. 2. Jika yang diangkat itu seorang anak diluar kawin, tetapi diakui oleh kedua orang tuanya, maka diperlukan persetujuan dari kedua orang tua tersebut. 3. Bagi anak yang telah berumur 15 tahun, kata sepakat diperlukan juga dari anak yang bersangkutan, apakah anak yang akan di angkat itu bersedia atau tidak. 4. Bagi seorang wanita janda yang akan melakukan pengangkatan anak, maka diperlukan kata sepakat dari para saudara laki-laki yang telah dewasa dan bapak mendiang suaminya. Apabila mereka tidak ada atau tidak berkediaman di Indonesia, cukup kata sepakat dari dua orang tua diantara keluarga sedarah laki-laki yang terdekat dari pihak bapak si suami yang telah meninggal dunia itu sampai dengan derajat ke empat, yang telah dewasa dan bertempat tinggal di Indonesia. 2.4 Undang-undang Pengangkatan Anak Di Indonesia Pengaturan tentang penangkatan anak di atur antara lain di KUHPerdata (Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing) dan juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Selain dalam pengangkatan anak itu juga perlu diperhatikan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) nomor 2 tahun 1979 jo SEMA 6 tahun 1983 jo SEMA 4 tahun 1989; UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak membedakan antara Anak angakat dan anah asuh. 5 Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo, Hlm 25
  • 8. 8 Anak angkat (Pasal 1 angka 9) adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Pengertian anak angkat sama dengan pengertian anak angkat dalam PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dalam pasal 1 angka 1 Anak asuh(Pasal 1 angka 10) adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (pasal 14) dapat diambil sebuah prinsip bahwa Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Pihak Yang Dapat Mengajukan Pengangkatan Anak; Pihak yang dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak yaitu: 1. Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak; 2. Mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. (Gosita Arif, 2000: 269). Untuk pasangan suami istri Ketentuan mengenai adopsi anak diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak. 6 Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,1990, Hlm. 25
  • 9. 9 Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial. Undang undang No 27 Tahun 2002 Pasal 37 Tentang Pengasuhan dan Pengangkatan anak Pasal 37 dan 39 (1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. (2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu. (3) Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan. (4) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan. (5) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial. (6) Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). 7 Herlina, Apong, dkk. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang, Hlm,33
  • 10. 10 Pasal 39 (1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. (3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. (4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. (5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata /BW Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), kita tidak menemukan satu kesatuan yang mengatur masalah pengangkatan anak. Hanya mengenai pengakuan terhadap anak-anak luar nikah mengenai pengakuan terhadap anak- anak luar nikah dalam Buku 1BW bab XII bagian ketiga. Kita tidak menemukan satu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat ini, yang ada hanyalah ketentuan-ketentuan tentang pengakuan anak diluar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam buku 1BW bab XII bagian ketiga, pasal 280 sampai 289, tentang pengakuan terhadap anak-anak luar kawin. Ketentuan ini boleh dikatakan tidak ada sama sekali hubungan denagn masalah adopsi ini. Oleh karena kitab undang-undang Hukum perdata tidak mengenal hal pengangkatan anak ini 2.5 Dasar Hukum Pengangkatan Anak Di Indonesia Dasar hukum pengangkatan Anak di Indonesia adalah sebagai berikut : 8 Herlina, Apong, dkk. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang, Hlm.37
  • 11. 11 1. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak. 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. 3. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979. 4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 Tentang Pengangkatan Anak. 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak. 6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak. 7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. 8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. 9. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. 10. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak. 9 Herlina, Apong, dkk. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang, Hlm,38
  • 12. 12 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pengertian Pengangkatan anak (Adopsi) Anak merupakan generasi dari suatu keluarga yang akan meneruskan keturunannya. Oleh karena itu, anak haruslah dididik dengan segala kemampuan yang dimiliki oleh orang tuanya, jangan sampai anak-anak tersebut ditelantarkan. Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam somah/ dalam keluarga yaitu: 1. Sebagai penerus generasi 2. Sebagai pusat harapan orang tuanya dikemudian hari 3. Sebagai pelindung orang tua kemudian hari dan lain sebagainya, apabila orang tuanya sudah tidak mampu baik secara fisik ataupun orang tuanya tidak mampu bekerja lagi. (Bewa Ragawino : 63). Namun, seiring dengan meningkatnya krisis ekonomi di negara Indonesia ini banyak anak yang ditelantarkan. Atas hal tersebut menimbulkan partisipasi dari rakyat dengan mengangkat anak oleh keluarga yang ingin mengasuhnya untuk meningkatkan kesejahteraan anak tersebut. Pengangkatan anak adalah pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya timbul hubungan antara anak sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai orang tua sendiri. Hubungan yang timbul ini berupa akibat hukum yang timbul dari perbuatan hukum pengangkatan anak.Pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari Adoptie (Belanda) atau adoption (Inggris). 10 Zakaria Ahmad Al – Barry, 2004, Hukum Anak – Anak Dalam Islam, Bulan Bintang, Hlm 55
  • 13. 13 Adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut adoption of a child. Alasan yang menjadi pertimbangan dalam pengangkatan anak bermacam- macam. Ada yang karena untuk kepentingan pemeliharaan di hari tua, keadaan ekonomi keluarga yang lemah dan ada yang karena kasihan terhadap anak yatim piatu. Bahkan, ada kalanya pengangkatan anak dilakukan dengan pertimbangan yang mirip dengan adopsi yang diatur oleh ketentuan adopsi ( Stb Nomor 129 tahun 1917 ) yaitu untuk menghindari punahnya suatu keluarga atau untuk melestarikan keturunannya. 3.2 Pengertian Anak Dari Sisi Adat Indonesia Mengapa keturunan sangat penting bagi masyarakat hukum adat? Menrut Djojodigoeno adalah sebagai berikut: “Keturunan adalah ketunggalan leluhur artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah. Jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang dari yang lain.” (Susilawati, 2004: 114). Jadi disini jelas bahwasannya keturunan adalah merupakan unsur yang mutlak bagi suatu clan atau keluarga, suku dan kerabat yang menginginkan supaya ada generasi penerus leluhurnya. Mengenai siapa saja yang boleh mengangkat anak, dalam hukum adat tidak ditentukan. Tetapi menurut R. Soeroso, dijumpai ketentuan minimal berbeda 15 tahun. Tentang siapa yang boleh diadopsi juga tidak ada ketentuan harus laki-laki ataukah perempuan, serta tidak ada batasan usia untuk anak yang akan diangkat. Tujuan dari pengangkatan ini tentunya bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan material, tetapi sifatnya lebih tertuju kepada tujuan kemanusiaan belaka yaitu untuk mencapai kesejahteraan anak. 11 Zakaria Ahmad Al – Barry, 2004, Hukum Anak – Anak Dalam Islam, Bulan Bintang, Hlm 60
  • 14. 14 Dalam pengangkatan anak dalam hukum adat akan membawa anak dalam kedudukan yang membawa dua kemungkinan: 1. Sebagai nak, sebagai anggota keluarga melanjutkan keturunan, 2. sebagai ahli waris (yuridis) 3. Sebagai anggota masyarakat (sosial) dan menurut tata cara adat. Perbuatan adopsi pasti dilakukan dengan terang dan “tunai” Hal ini diperkuat kembali oleh Tolib Setiady yang menyatakan, Kedudukan hukum anak yang diangkat adalah sama halnya dengan anak kandung dan hubungannya dengan orang tuanya sendiri menurut adat menjadi putus. Dan proses adopsi harus terang, artinya wajib dilakukan dengna upacara adat serta dengan bantuan kepala adat. 3.3. Macam-macam Pengangkatan Anak Dilingkungan masyarakat hukum adat dikenal dua klafikasi kedudukan anak angkat yaitu; pertama, kedududkan anak angkat sebagai anak kandung untuk penerus keturunan orang tua angkatnya. Misalnya pada masyarakat Batak yang sistem kekerabatanya patrilineal murni. Dimana kedudukan anak laki-laki sangat penting sebagai penerus keturunan, jadi apabila tidak mempunyai anak laki-laki harus mengangkat anak laki-laki yang status kedudukannya sebagai anak kandung. Kedua, kedudukan anak angkat yang diambil tidak dengan maksud sebagai penerus keturunan orang tua angkatnya. Dalam makalahnya, Bewa Ragawino menyebutkan bahwa macam-macam pengangkatan anak adalah: 1. Mengangkat anak bukan warga keluarga atau disebut dengan adopsi dari anak asing. 12 Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm, 44
  • 15. 15 Anak yang hendak diangkat dilepaskan dari lingkungannya semula dan dipungut masuk kedalam kerabat yang mengadopsinya, serentak dengan suatu pembayaran berupa benda-benda magis sebagai taranya dan dilakukan dengan terang disaksikan oleh para kepala adat. Hal ini dapat kita temukan pada masyarakat adat daerah Gayo, Nias, Lampung, Kalimantan. 2. Mengangkat Anak dari kalangan keluarga atau dalam satu clan besar kerabat adatnya. Mengangkat anak dari kalangan keluarga atau masih dalam satu clan kekerabatan ini banyak kita jumpai pada masyarakat adat di Bali. Perbuatan ini sering disebut dengan “nyentanayang”. Biasanya anak selir-selir yang diangkat menjadi anak angkat, karena istri utama tidak dapat memberikan keturunan. Jika tidak terdapat wangsa laki-laki yang dijadikan anak angkat,maka dapat juga anak perempuan diangkat sebagai setana, dan sering disebut dengan “setana rejeg” Dengan mengikuti peraturan “Paswara” Pasal 11 ayat (1) menentukan sebagai berikut. “Apabila orang-orang tergolong dalam kasta manapun djuga jang tidak mempunjai anak-anak lelaki, berkehendak mengangkat seorang anak (memeras sentana) maka mereka itu harus mendjatuhan pilihannja atas seorang dari anggota keluarga sedarah jang terdekat dalam keturunan lelaki sampai deradjat kedelapan”. Pengangkatan dilakukan melalui upacara Paperasan yaitu upacara yan dihadiri oleh kepala adat dan keluarga dalam satu pakraman. Upaca dilakukan dengan membakar benang melambangkan hubungan dengan ibunya putus, dan pembayaran adat berupa 1.000 (seribu) kepeng serta stel pakaian. Yangkemudian diumumkan (siar) kepada warga desa, dan kemudian raja memeberikan izinnya dengan membuatkan akta (surat”Peras). 13 Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm, 47
  • 16. 16 3. Mengangkat anak dari kalangan Keponakan atau sering disebut dengan adopsi kemenakan Dalam pengangkatan anak (adopsi) kemenakan ini selain dilatarbelakangi karena alasan tidak/ belum dikaruniai anak, juga terdorong oleh rasa kasihan/iba. Perbedaan antara adopsi kemenakan dan adopsi dengan satu clan/ kekerabatan dalam perbedaan status dan tidak adanya pembayaran. Dijawa pengangkatan seperti ini sering disebut dengan “pedot” Sebab-sebab mengangkat anak dari keponakan adalah : 1. Tidak mempunyai anak sendiri sehingga dengan memungut keponakan tersebut merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan 2. Belum dikaruniai anak sehingga dengan memungut anak tersebut 3. diharapkan akan mempercepat kemungkinannya akan medapatkan anak (kandung) 3.4 Asas Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Adat Dalam pengangkatan anak pada masyarakat adat kan memunculkan asas-asas antara lain: 1. Asas mengangkat anak untuk meneruskan garis keturunan 2. Asas mengangkat anak laki-laki untuk meneruskangaris keturunannya biasanya terjadi pada msyarakat Bali, dan Patrilineal. 3. Asas mengutamakan kesejahteraan anak angkat, (Tedong Ajis, 2006: 121). Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma (1987 : 144) dalam bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa : “Selain pengurusan dan perwalian anak dimaksud bagi keluarga keluarga yang mempunyai anak, apalagi tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi, yaitu pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak, pengangkatan anak dimaksud tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya berdasarkan hukum
  • 17. 17 berlaku bagi anak yang bersangkutan”. Untuk selanjutnya mengenai hak mewaris anak angkat, meskipun anak angkat tersebut mempunyai hak mewaris, tetapi menurut Keputusan Mahkamah Agung tidak semua harta peninggalan bisa diwariskan kepada anak angkat. Hanya sebatas harta gono-gini orang tua angkat, sedang terhadap harta asal orang. 4. Asas kekeluargaan 5. Asas kemanusiaan Selain alasan belum/tidak mempunyai keturunan dalam pengangkatan anak juga berlandaskan kemanusiaan. Namun untuk masyarakaat yang menganut sistem kekerabatan Matrilineal, kedudukan anak tidak sama dengan anak kandung, begitu juga pada masyarakat Parental. Pengangkatan anak pada masyarakat Parental juga tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Anak angkat masuk dalam kehidupan rumah tangga orang tua angkat sebagai anggota keluarga, tetapi tidak berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya. 6. Asas persamaan hak Anak angkat dalam masyarakat adat diterima secara biologis dan sosial, sehingga kedudukannya sama dengan anak kandung begitupula dengan hak- haknya sebagai anak. 7. Asas musyawarah dan mufakati Seblum melakukan pengangkatan anak dalam keluarga, harus didahului musyawarah dan mufakat keluarga besar. 14 Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm, 48
  • 18. 18 3.5 Kedudukan Anak Angkat dalam masyarakat adat Dalam pengangkatan anak dalam masyarakat adat kedudukan anak angkat dapat dibedakan 1. Anak angkat sebagai penerus keturunan Di Lampung anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi diambil dari anak yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya. Di Bali anak angkat sebagai penerus keturunan dengan mengawinkan anak wanita kandung bapak angkatnya, anak itu menjadi sentana rejeg yang mempunyai hak yang sama dengan anak kandung. 2. Anak angkat adat karena perkawinan atau untuk penghormatan Terjadi dikarenakan perkawinan campuran antara suku (adat) yang berbeda (batak;marsileban). Di batak jika suami yang diangkat itu orang luar maka ia diangkat sebagai anak dari kerabat “namboru” (marga penerima dara) dan jika isteri yang diangkat itu orang luar maka ia diangkat sebagai anak tiri kerabat “hula-hula” (Tulang, marga pemberi darah) Pengangkatan anak atau saudara (lampung; adat mewari) tertentu sebagai tanda penghargaan, misalnya mengangkat seorang pejabat pemerintahan menjadi saudara angkat Pengangkatan anak karena penghormatan ini juga tidak berakibat menjadi waris dari ayah angkat si anak, kecuali diadakan tambahan perikatan ketika upacara adat dihadapan para pemuka adat dilaksanakan. 15 Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm 52
  • 19. 19 3.6 Akibat Hukum dari Pengangkatan Anak Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing.[14] Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orang tua yang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal daripada bapa atau ibu angkatnya- atas barang- barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap mempunyai haknya yang tertentu, tapi ia mendapat barang-barang (semua) yang diperoleh dalam perkawinan. Ambil anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan. Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan antara anak dengan orang tua sebagai berikut : 1. Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung. 2. Hubungan waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat. 3. Hubungan perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua kandung berlaih kepada orang tua angkat. 4. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat 16 Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm 53
  • 20. 20 Pendapat lain mengenai akibat hukum yang timbul dari pengangkatan anak: A. Dengan orang tua kandung Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua kandung telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal seperti ini terdapat di daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandungnya. Hanya hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat. B.Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa daerah Di Indonesia, seperti di pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung. Di Lampung perbuatan pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak dengan orang tua angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua kandung dan hubungan dengan orangtua kandung-nya secara hukum menjadi terputus. Anak angkat mewarisi dari orang tua angkatnya dan tidak dari orang tua kandungnya. Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa : 17 Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm 60
  • 21. 21 “Selain pengurusan dan perwalian anak dimaksud bagi keluarga keluarga yang mempunyai anak, apalagi tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi, yaitu pengangkatan anak. 3.7 Pedoman Pengangkatan anak Di Indonesia Dalam pengangkatan anak di Indonesia, pedoman yang dipergunakan saat ini adalah : 1. Staatsblad 1917 No. 129 mengenai adopsi yang berlaku bagi golongan Tionghoa. 2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 (merupakan penyempurnaan dari dan sekaligus menyatakan tidak berlaku lagi Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1979) jo Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1989 tentang pengangkatan Anak yang berlaku bagi warga negara Indonesia. 3. Hukum adat (Hukum tidak tertulis). 4. Jurisprudens 18 Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm 62
  • 22. 22 BAB IV TINJUAN PUSTAKA 4.1 Pengangkatan Anak Menurut Hukum Positif Kamus umum Bahasa Indonesia mengartikan anak angkat sebagai anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri. Menurut Ensiklopedia Umum, anak angkat adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. “Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”. Selain itu terdapat pengertian Pengangkatan Anak menurut Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007. “Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat”. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga memberikan pengertian Anak angkat. “Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan” 19 Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,1990, Hlm 65
  • 23. 23 Menurut Muderis Zaini, anak angkat adalah penyatuan seseorang anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam keluargannya. Ia diperlakukan sebagai anak segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, dan bukan diperlakukan sebagai anak nashabnya sendiri. Muderis Zaini, dalam bukunya “Adopsi” menyebutkan bahwa Mahmud Syaltut, membedakan dua macam arti anak angkat, yaitu: Pertama, penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia seorang anak orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri. Kedua, yakni yang dipahamkan dari perkataan ‘tabanni’ (mengangkat anak secara mutlak). Menurut syariat adat dan kebiasaan yang berlaku pada manusia, Tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak. Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri yang menimbulkan akibat hukum tertentu. 4.2 Tujuan Pengangkatan Anak Dalam praktiknya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. 20 Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,1990, Hlm 72
  • 24. 24 Mengenai tujuan dari pengangkatan anak, diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007: “Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang- undangan. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Praktik pengangkatan anak dengan motivasi komersial perdagangan, komersial untuk pancingan dan kemudian setelah pasangan tersebut memperoleh anak dari rahimnya sendiri atau anak kandung, si anak angkat yang hanya sebagai pancingan tersebut disia-siakan atau diterlantarkan, hal tersebut sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak. Oleh karena itu pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih maslahat. Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari orang tuanya. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979 jo. No. 6 Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak menerangkan bahwa pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. 21 Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,1990, Hlm 76
  • 25. 25 4.3 Status Anak Angkat Menurut BW Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Bugerlijk Weetboek (BW) yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah adopsi atau pengangkatan anak diluar kawin yaitu yang terdapat dalam Bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai dengan Pasal 290 KUH Perdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak ada hubungannya dengan adopsi, karena pada asasnya KUHPerdata tidak mengenal adopsi. Menurut Ali Affandi dalam bukunya Hukum Keluarga, menurut KUHPerdata, adopsi tidak mungkin diatur karena KUHPerdata memandang suatu perkawinan sebagai bentuk hidup bersama, bukan untuk mengadakan keturunan. Tidak diaturnya lembaga adopsi karena KUHPerdata merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum (masyarakat) Belanda sendiri tidak mengenal lembaga adopsi. Diberlakukannya KUHPerdata bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi hukum keluarga sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum keluarga Tionghoa sebelum berlakunya KUHPerdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak mempunyai anak atau keturunan laki- laki demi meneruskan eksistensi margakeluarga dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblaad No.129 yang didalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 memberi pengaturan tentang adopsi bagi masyarakat golongan Tionghoa di Indonesia. Namun sehubungan dengan berkembangnya kebutuhan adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya mengatur pengangkatan anak laki-laki telah mulai ditinggalkan karena kebutuhan adopsi tidak hanya terbatas pada anak laki-laki saja tetapi juga terhadap anak perempuan. 22 Muhammad, Arif. Undang -Undang Perlindungan Anak Indonesi.,1998.Hlm, 44
  • 26. 26 Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak perempuan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963/Pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 588/1963 tertanggal 17 Oktober 1963. Bahkan pada tahun yang sama pada kasus lain mengenai perkara pengangkatan anak perempuan Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu putusannya antara lain menetapkan bahwa Pasal 5, 6 dan 15 ordonansi Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya memperbolehkan pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. 23 Muhammad, Arif. Undang -Undang Perlindungan Anak Indonesi.,1998.Hlm, 44
  • 27. 27 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Memungut, mengasuh, memelihara, dan mendidik anak-anak yang terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan nasab orang tua kandungnya adalah perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh ajaran Islam, bahkan dalam kondisi tertentu di mana tidak ada orang lain yang memeliharanya, maka bagi orang yang mampu secara ekonomi dan psikis yang menemukan anak terlantar tersebut hukumannya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Bahwa memungut, mengasuh memelihara atau mengangkat anak merupakan hal hal yang harus diperhatikan berdasarkan undang undang yang berlaku di Indonesia, dengan mengacu pada perbuatan berbudi luhur dan tulus dalam mengangkat dan mengurus anak angkat. 5.2 Saran Diharapkan dengan makin meningkatnya kesadaran beragama masyarakat muslim maka makin mendorong semangat untuk melakukan koreksi terhadap hal- hal yang bertentangan dengan syariat Islam, antara lain masalah pengangkatan anak. Hasil ikhtiar ini mulai tampak dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) sebagai pedoman hukum materiil peradilan agama mengakui eksistensi lembaga pengangkatan anak dengan mengatur anak angkat dalam rumusan Pasal 171 huruf h dan Pasal 209. Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam secara konsisten mengawal penerapan hukumnya sehingga berpengaruh positif terhadap kesadaran masyarakat yang beragama Islam untuk melakukan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
  • 28. 28 Disarankan kepada instansi pemerintah khususnya instansi-instansi pemerintah yang terkait dengan masalah pengangkatan anak yaitu Peradilan Agama, Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil agar lebih meningkatkan sumber daya manusia yang ada didalamnya untuk lebih meningkatkan sosialisasi terhadap produk peraturan perundang-undangan yang terbaru mengenai pengangkatan anak sehingga diharapkan dengan adanya sosialisasi maka akan adanya pengusaan materi mengenai pengangkatan anak dengan segala kompleksitas permasalahan yang ada didalamnya. Dengan adanya penguasaan materi mengenai pengangkatan anak maka permasalahan yang akan timbul akan dapat lebih diminimalisasi dan diberikan solusi yang cepat, terbaik dan tepat. Diharapkan kepada seluruh Warga Negara Indonesia bahwa harus ada pengetahuan yang jelas dari calon orang tua angkat dan orang tua kandung yang akan diangkat orang lain, perihal perbedaan prinsip Hukum Pengangkatan Anak yang diajukan dan diputus Pengadilan Negeri, dengan pengangkatan anak yang diajukan dan diputus Pengadilan Agama. Pengetahuan dan kesadaran hukum tentang perbedaan hukum pengangkatan anak tersebut seharusnya sudah diketahui dan disadari pada saat akan mengajukan perkara permohonan, sehingga mereka dapat dengan tepat memilih pengadilan mana yang akan memberikan penetapan, yang kemudian akan berdampak pada akibat hukum yang ditimbulkan.
  • 29. 29 DAFTAR PUSTAKA Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Mahjudin,2003, Nasailul Fiqhiyah, Kalam Mulia, Jakarta. Muhyidin, Wawancara Pribadi, Pengurus Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Provinsi Jawa Tengah, Tanggal 1 Juni 2009. QS. Al-Baqarah (2), ayat:256 Zakaria Ahmad Al – Barry, 2004, Hukum Anak – Anak Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Kamus Munjid; Lihat juga Ibrahim Anis dan Abdul Halim Muntashir (et al). Al- Mu’jam al-wasith, Mishr; Majma’ al-Lughah al-Arabiyah. 1392 H/1972 M, Cet. II, Jilid I, hal. 72 Depdikbud, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo CV, 1984. Herlina, Apong, dkk. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: UNICEF, 2005. Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara, 1990. Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005.