Dokumen ini membahas pengaruh penyuntikan hormon serotonin (5-HT) terhadap pematangan gonad dan pemijahan induk rajungan (Portunus pelagicus). Hormon 5-HT disuntikkan pada induk rajungan dengan dosis 50 μg/g berat tubuh. Hasilnya menunjukkan peningkatan persentase kematangan gonad, daya tetas telur, fototaksis, dan latency period larva dibandingkan perlakuan ablasi mata dan kontrol. Penyuntikan 5-HT juga mening
1. APLIKASI PENYUNTIKAN HORMON
SEROTONIN (5-HT) TERHADAP PEMATANGAN GONAD
INDUK RAJUNGAN Portunus pelagicus
Oleh:
Lisa Ruliaty, Kaemudin dan Retno Handayani
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU
JEPARA
2009
2. APLIKASI PENYUNTIKAN HORMON SEROTONIN (5-HT) TERHADAP
PEMATANGAN GONAD INDUK RAJUNGAN Portunus pelagicus
Oleh:
Lisa Ruliaty, Kaemudin dan Retno Handayani
Abstrak
Berdasarkan keberhasilan dan permasalahan yang dihadapi dalam pematangan gonad udang, akan
dicoba penggunaan hormon 5 HT melalui cara penyuntikan pada induk rajungan P. Pelagicus.
Dilakukan pencatatan data penampilan reproduksi induk yang meliputi laju kematangan gonad, frekuensi
pemijahan, fekunditas, daya tetas telur, tingkat kelangsungan hidup. Perlakuan yang dipergunakan yaitu:
(A) Perlakuan ablasi tangkai mata, (B) Perlakuan tanpa ablasi tangkai mata dan (C) Perlakuan
penyuntikan hormon serotonin (5 HT) dengan dosis 50 μg/g berat tubuh.
Penyuntikan induk rajungan Portunus pelagicus dengan hormon serotonin dengan dosis 50 πg/g
berat tubuh secara nyata meningkatkan persentase matang gonad, daya tetas telur, fototaksis, dan latency
period. Terjadi peningkatan ketahanan larva dari hasil uji starvasi dengan perlakuan penyuntikan hormon
serotonin. Selama 60 hari masa percobaan, terjadi kematian pada kelompok ablasi mata, non ablasi dan
penyuntikan 5 HT masing-masing 30,77%, 14,29% dan 20,0%.
Kata Kunci: penyuntikan, hormon serotonin 5-HT, matang gonad.
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara telah merintis budidaya rajungan
di tambak sejak tahun 1993 dan telah berhasil memproduksi benih massal pada tahun 2002.
Pengembangan usaha pembenihan yang meliputi manajemen induk, pemeliharaan larva hingga
menjadi benih terus disempurnakan. Teknologi tersebut kemudian berkembang tidak hanya
sampai pada benih stadia Crab 5 namun juga pada stadia juvenile (baby crab).
Dua (2) hormon antagonis mengatur perkembangan ovary pada krustase, gonad inhibiting
hormone (GIH) dari organ X sinus gland komplek pada tangkai mata (Panouse, ww1943 dalam
Kanokpan et.al, 2006) dan gonad stimulating hormone (GSH) pada otak dan ganglio thorac
(Otsu, 1963 dalam Kanokpan et.al, 2006). Sebagai GIH pada tangkai mata, ablasi mata
kemudian digunakan secara komersial untuk merangsang pematangan ovary, walaupun teknik
tersebut menurunkan kualitas telur dan terjadinya kematian induk (Benzie, 1998 dalam
Kanokpan et.al, 2006). Untuk menekan serendah mungkin permasalahan kualitas telur dan
terjadinya kematian induk selama proses produksi telur oleh perlakuan ablasi tangkai mata, telah
dikembangkan beberapa teknik alternatif seperti perlakuan manipulasi lingkungan pemeliharaan
dan penggunaan hormon perangsang perkembangan gonad. Salah satu teknik penggunaan
hormon adalah seretonin 5 HT pada udang P. semisulcatus (Aktas et.al., 2003) dan P. monodon
(Kanokpan et.al., 2006) dengan hasil yang memuaskan. Kemungkinan bahwa 5 HT dapat
berkerja dalam bola mata untuk menghambat sintesis/sekresi GIH, atau dalam otak dan ganglion
3. thorac untuk merangsang sintesis/sekresi GIH, atau berpengaruh tidak langsung pada ovary
(Sarojini et.al., 1995; Fingerman, 1997) dalam Kanokpan et.al. (2006). Berdasarkan
keberhasilan dan permasalahan yang dihadapi dalam pematangan gonad udang, akan dicoba
penggunaan hormon 5 HT melalui cara penyuntikan pada induk rajungan P. Pelagicus.
.
1.2. Tujuan
Mengetahui pengaruh seretonin 5 HT dalam pemasakan gonad/ovary dan pemijahan pada
rajungan dibandingkan dengan metode ablasi mata.
1.3. Sasaran
Induk perlakuan matang gonad dan memijah dengan HR >50%.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dua (2) hormon antagonis mengatur perkembangan pada ovary krustase, gonad inhibiting
hormone (GIH) dari organ X sinus gland komplek pada tangkai mata (Panouse, 1943) yang
menghambat perkembangan gonad dan gonad stimulating hormone (GSH) pada otak dan
ganglion thorac (Otsu, 1963) yang memacu perkembangan gonad. Pada bertelur di alam, GIH
pada tangkai mata menurun secara tetap dan vitellogenesis dimulai hingga ukuran ovary
meningkat lebih besar (Carlisle dan Bart, 1959 dalam Soleh, 2000). GIH terletak pada tangkai
mata, maka perangsangan maturasi ovary dan pemijahan udang penaeid betina terutama
dilakukan menggunakan teknik ablasi salah satu tangkai mata (Primavera, 1985; Browdy, 1992;
Ogle, 1992).
Akibat ablasi tangkai mata ini, GIH tidak diproduksi (Adiyodi dan Adiyodi, 1970 dalam
Soleh, 2000) sehingga perannya berkurang dan sebaliknya GSH leluasa berekspresi. Walaupun
teknik ini sudah umum digunakan hatchery di seluruh dunia, banyak masalah yang timbul seperti
buruknya pemijahan, kualitas dan kuantitas induk dan larva atau semuanya (Emmerson, 1980;
Chamberlain, 1985; Primavera, 1985; Makinouchi dan Primavera, 1987; Tsukimura dan
Kamemoto, 1991; Aktas dan Kumlu, 1999) dan menurunkan kualitas telur dan terjadinya
kematian induk (Benzie, 1998). Perlakuan ablasi mata dapat menimbulkan stress pada udang,
yang menurut Conn et.al. (1987) dalam Soleh (2000) dapat menimbulkan perubahan dalam
sintesa protein dan terjadi degradasi protein dan translokasinya (Flynn et.al., 1989 dalam Soleh,
2000). Bilamana kondisi tidak menguntungkan misalnya stress akan terjadi perubahan
komposisi protein (Subashini dan Ravindranath, 1982 dalam Soleh, 2000) dan kelainan
hormonal (Mc. Gregor, 1992 dalam Soleh, 2000). Pada udang yang langsung diablasi, komposisi
protein pada organ gonad kecil atau sedikit namun sebaliknya ukuran berat molekul dan
kadarnya cukup besar yang ditunjukkan pita tebal (Soleh, 2000). Sel-sel neurosekretori pada
organ-organ reproduksi menghasilkan hormon yang komposisinya adalah protein yang komplek
dan banyak jenisnya. Setiap sel dari organ mengandung puluhan ribu protein berbeda (Sutiman
dkk., 1996 dalam Soleh, 2000).
Selain metode ablasi mata terdapat beberapa teknik alternatif seperti manipulasi suhu
dan/atau photoperiod, suntikan hormon dan implantasi ganglion lobster yang telah dilakukan
4. pada jenis udang berbeda (Cripe, 1994), dengan Penaeus duorarum (Burkenroad, 1939) dan
Aktas et.al. (2003) dengan P. semisulcatus de Hann, 1844 yang mengkaji pengaruh fluktuasi
suhu pada perangsangan pemasakan dan pemijahan dengan tingkat keberhasilan yang tinggi.
Pengaruh penyuntikan progesteron diamati pada Metapenaus ensis (de Hann, 1844) dan
hasilnya menunjukkan bahwa cara itu memungkinkan untuk merangsang pematangan dan
pemijahan walau tanpa konfirmasi statistik (Yano, 1985). Penyuntikan 17-alfa
hydroxyprogesterone meningkatkan sekresi vitellogenin pada P. japonicus Bate, 1888 (Yano
et.al., 1988) dan kualitas sperma P. vannamei Boone, 1931 (Alfaro, 1996). Kajian Sarojoni
et.al. (1985) dengan Procambarus clarkii, (Girard, 1852) dan Vaca dan Alfaro (2000) dengan P.
vannamei menunjukkan bahwa seretonin nampak merangsang pematangan dan pemijahan. HCG
telah dilaporkan oleh Yano and Wyban (1993) terhadap keberhasilan rangsangan pematangan
dan pemijahan pada udang. Pengaruh HCG pada pertumbuhan dan komposisi tubuh P. indicus
H. Milne-Edward, 1837 telah dicoba oleh Jayaprakash dan Sambhu (1998) dan ditetapkan bahwa
HCG merangsang perkembangan gonad. Kajian dengan LH-RH pada pematangan dan
pemijahan terutama ditekankan pada reproduksi teleostei. Gonadotropin seperti FSH dan LH
dikaji pada udang pasir, Crangon crangon (Linnaeus, 1758) dan telah diperoleh bahwa jumlah
sel somatik meningkat dengan kedua hormon itu (Bomirski dan Klek-Kawinska, 1976;
Zukowska, 1981). Namun demikian kajian selanjutnya dibutuhkan untuk mengetahui peran
hormon-hormon tersebut yang lebih baik pada pematangan berbagai jenis udang sebelum
diperkenalkan penerapannya di sektor budidaya udang.
Seretonin (5 HT) didapatkan untuk merangsang pelepasan beberapa hormone krustase
termasuk hormone hyperglycemic (Keller et.al., 1985), penyebaran hormone-pigmen merah (Rao
dan Fingerman, 1975), hormone penekan syaraf (Arechiga et.al., 1985), hormone penghambat
ganti kulit (Mattson dan Spaziani, 1985) dan GSH (Kullkarni et.al., 1992). Ditunjukkan bahwa
penyuntikan 5 HT telah merangsang perkembangan ovary pada crayfish Procambarus clarkii
(Kullkarni et.al., 1992; Sarojini et.al., 1995) dan pada udang putih Pasifik Litopenaeus vannamei
(Vaca dan Alfaro, 2000), tetapi pada tingkat rendah dibandingkan ablasi satu tangkai mata.
Belakangan Alfaro et.al. (2003) melaporkan bahwa penyuntikan kombinasi 5 HT dan dopamine
antagonis, spiperone pada L. stylirostris dan L. vannamei, telah merangsang pemasakan ovary,
pemijahan dan melepaskan pheromone yang mendorong maturasi dalam 3 minggu selama 6
minggu percobaan. Penyuntikan dilakukan pada bagian ruas perut kedua sisi lateral dengan alat
suntik mikro syringe 1 ml (Aktas and Kumlu, 2004).
5 HT-like immunoreactivity telah dilaporkan terdapat pada tangkai mata (Rodriguez-Sosa
et.al., 1997) dan pada otak P. clarkii (Sullivan dan Beltz, 2001), pada otak P. lenhisculus
(Eloffson, 1983) dan lobster (Langworthy et.al., 1997), pada syaraf cord pusat dari crayfish
Cherax destructor (Harrison et.al., 1995) dan ganglion thorac crayfish P. clarkii dan udang air
tawar Macrobrachium rosenbergii (Sosa et.al., 2004). Kemungkinan bahwa 5 HT dapat berkerja
dalam bola mata untuk menghambat sintesis/sekresi GIH, atau dalam otak dan ganglion thorac
untuk merangsang sintesis/sekresi GIH, atau berpengaruh tidak langsung pada ovary (Sarojini
et.al., 1995; Fingerman, 1997).
5. III. METODE
3.1. Alat dan Bahan
Peralatan : - Bak pematangan gonad
- Bak inkubasi (pengeraman)
- Alat suntik mikro syringe 1 ml
- Gunting dan pisau
- Peralatan lapangan ( jaringan aerasi, perlengkapan bak, perlengkapan tagging
dan ablasi, ember, beaker glass,gayung dll)
- Peralatan monitoring (mikroskop, beaker glas, refraktometer, termometer dll)
Bahan - Induk rajungan bertelur
- Pakan segar (cumi-cumi, ikan rucah dan udang)
- Bahan kimia (kaporit)
- Hormon Serotonin (5-HT creatine sulfate) produksi Sigma, MO, USA.
3.2. Metode
Dilakukan pencatatan data penampilan reproduksi induk yang meliputi laju kematangan
gonad, frekuensi pemijahan, fekunditas, daya tetas telur, tingkat kelangsungan hidup. Perlakuan
yang dipergunakan yaitu:
A. Perlakuan ablasi tangkai mata.
B. Perlakuan tanpa ablasi tangkai mata
C. Perlakuan penyuntikan hormon serotonin (5 HT) dengan dosis 50 μg/g berat tubuh
Adapun prosedur ujicoba adalah sebagai berikut:
Induk rajungan yang akan digunakan berasal dari pedagang pengumpul di Jepara. Induk
rajungan yang dipergunakan adalah induk matang telur tk.III. Induk kemudian diukur karapasnya
(panjang dan lebar) dan diberi kode atau penandaan pada bagian karapasnya. Setelah telur
menetas sebagian induk dilakukan ablasi pada tangkai mata (perlakuan A) dan sebagian lagi
dilakukan penyuntikan dengan hormon serotonin (perlakuan B). Induk tersebut kemudian
dimasukkan kedalam bak pematangan induk. Setiap bak dilengkapi dengan aerasi serta diberi
substrat dasar berupa pasir setebal 10 cm. Air laut yang telah melalui penyaringan diisikan
kedalam bak sampai mencapai ketinggian 60 cm.
Selama uji coba induk di beri pakan segar campuran cumi-cumi, udang dan ikan
(perbandingan 2:1:1) secara bergantian setiap hari sebanyak 10 – 15% biomas per hari.
Pemberian pakan dilakukan 2 kali, pada pagi dan sore hari.
Selama ujicoba (60 hari pemeliharaan) suhu dan salinitas dipertahankan pada kisaran 27
o
± 1 C dan 32 ± 1 ppt. Penggantian dengan air laut baru dilakukan setiap hari sebanyak 100%
dan pada waktu yang bersamaan sisa pakan dan hewan uji yang mati dikeluarkan dari dalam bak.
Pengamatan perkembangan gonad dilakukan 7 hari setelah ablasi mata dan penyuntikan dengan
hormon serotonin, selanjutnya pengamatan kematangan gonad dan kelangsungan hidup
dilakukan setiap hari bersamaan dengan saat penggantian air laut. Penyuntikan ulang pada
6. perlakuan B dilakukan dengan interval 10 hari. Induk matang telur, segera dipindahkan ke
dalam bak fiber kapasitas 200 liter untuk proses inkubasi dan pengeraman. Penggantian air
didalam bak penetasan dilakukan setiap hari sebanyak 100%.
Fekunditas induk yang dihasilkan dari setiap induk perlakuan dihitung dengan cara
pengambilan sampel di bagian yang berbeda dari massa telur sebanyak 3 sampel, ditimbang
kemudian dihitung jumlahnya. Jumlah laarva rajungan yang menetas dari setiap induk, dihitung
dengan cara pengambilan sampel dengan menggunakan gelas beaker 100 ml sebanyak 3 kali
ulangan dari bak penetasan. Setiap 10 hari sekali, seluruh hewan uji dikeluarkan dari dalam bak
untuk penghitungan ulang jumlah induk yang masih hidup serta dilakukan penandaan ulang
individu bagi induk yang hampir hilang kodenya.
Tabel 1. Parameter yang diamati selama ujicoba.
Objek pengamatan Parameter Frekuensi pengamatan
Induk Rajungan -Berat dan lebar karapas -persiapan.
- Matang gonad, Fekunditas, HR, - Setiap hari
Latency period, Fototaksis larva,
SR.
Air Salinitas, suhu. Setiap hari, pagi/sore
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Selama 60 hari masa percobaan, terjadi kematian pada kelompok ablasi mata, non ablasi
dan penyuntikan 5 HT masing-masing 30,77%, 14,29% dan 20,0%. Sebelum mati, beberapa
dari hewan tersebut telah berada pada tingkatan tertentu kematangan gonadnya dan beberapa
telah memijah. Kelompok ablasi mata, non ablasi dan penyuntikan 5 HT memiliki penampilan
yang berbeda dalam kemampuan mengembangkan kematangan ovary. Ketiga kelompok tersebut
meningkat kematangan ovarynya masing-masing pada hari 11,14; 28,81 dan 7,75 setelah
perlakuan (Tabel 2). Beberapa hewan memijah lebih dari sekali dalam periode 60 hari kajian.
Persentase induk dengan perlakuan ablasi berhasil bertelur kembali sebesar 28,03%, diikuti
dengan perlakuan non ablasi 21,43% dan penyuntikan 5-HT sebesar 5,10%.
Jumlah telur yang dihasilkan oleh induk ablasi adalah sebanyak 958.529 butir dengan daya
tetas 50,51%, kemudian pada kelompok non ablasi menghasilkan 771.787 butir telur dengan
daya tetas telur 57,75%. Sedangkan pada keompok penyuntikan hormon 5-HT di dapatkan
jumlah telur yang dihasilkan sebanyak 786.764 butir dengan daya tetas telur sebesar 74,55%.
Pengaruh positif dari penyuntikan hormon 5-HT terhadap induk rajungan nampak dalam
beberapa parameter reproduksi nampak dalam kajian ini. Selain memperbaiki penampilan
beberapa parameter reproduksi secara nyata, tingkat daya tetas telur dari induk yang di suntik
hormon 5-HT, 20 -22% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ablasi maupun non ablasi.
7. Larva yang dihasilkan dari induk dengan perlakuan berbeda menunjukkan respon yang
berbeda selama uji starvasi (Tabel 3). Larva dari perlakuan penyuntikan hormon 5-HT
menampilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan
ablasi maupun non ablasi. Kematian tidak terjadi pada saat uji starvasi berlangsung 12 jam
pertama untuk semua perlakuan, hanya saja terjadi kematian secara perlahan-lahan hingga
pengamatan 60 jam dan kematian hingga 90% pada pengamatan 72 jam. Tingkat kelangsungan
hidup larva yang dicapai pada uji starvasi sampai dengan 72 jam berkisar antara 1,1 – 16,7%.
Tabel 2. Penampilan Reproduksi Induk Rajungan
No Parameter Perlakuan
Ablasi Non Ablasi Suntik Hormon
Serotonin
1. Lebar karapas (mm) 95,44 102,93 103,52
2. Panjang karapas (mm) 53,15 56,94 57,07
3. Berat induk Tk.I (g) 117,77 140,93 155,00
4. Berhasil matang gonad 80,77 64,29 90,00
(%)
5. Kelulushidupan induk 69.23 85,71 80,00
hingga akhir (%)
6. Fekunditas (butir) 958.529 771.787 786.764
7 Daya tetas telur (%) 50,51 57,75 74,55
8. Fototaksis larva (%) 80,38 85,80 93,66
9. Matang gonad kembali 23,08 21,43 5,10
(%)
10. Waktu inkubasi (hari) 5,75 8,50 6,75
11. Latency period (hari) 11,14 28.81 7,75
Tabel 3. Kelangsungan hidup (%) larva rajungan yang diamati setiap 12 jam pada uji
starvasi selama 72 jam.
Jenis Pakan Induk
Waktu Ablasi Non Ablasi Suntik Hormon
(Jam) Serotonin
0 100 100 100
12 91,7 96,2 98,9
24 70,6 89,0 96,7
36 63,9 88,1 91,1
48 47,8 60,5 53,3
60 18,9 49,5 32,2
72 1,1 6,2 16,7
Hasil kajian menunjukkan bahwa penyuntikan 5 HT pada 50 μg/g berat tubuh mampu
merangsang pematangan ovary dan pemijahan induk betina P. pelagicus, sama seperti pada
rangsangan ablasi mata. Dosis 5 HT yang disuntikkan kedalam P. pelagicus, sama efektifnya
seperti yang didapatkan pada pematangan ovary L. vannamei (Vaca and Alfaro, 2000).
8. Perolehan yang sama diamati pada udang air tawar Macrobrachium rosenbergii, dimana
penyuntikan 5 HT pada dosis lebih rendah 1 μg/g BW secara nyata meningkatkan indek ovary
(Meeratana et.al., 2006). Pada kajian ini, keuntungan injeksi 5 HT terhadap ablasi mata adalah
dalam daya tetas tinggi, menghasilkan produksi larva yang tinggi. Alasannya terkait dengan
kenyataan bahwa ablasi mata adalah suatu cara yang merusak bola mata dan dapat mengganggu
beberapa proses fisiologis selain reproduksi, dimana suntikan 5 HT kurang invasif dan lebih
spesifik prosedurnya.
Diperoleh bahwa induk P. pelagicus yang diinjeksi 5 HT menghasilkan lebih banyak larva
dibandingkan ablasi mata juga menunjukkan bahwa penyuntikan yang pertama dapat menjaga
kapabilitas reproduksi untuk periode yang lama dibandingkan ablasi. Selain itu, pada perlakuan
penyuntikan induk P. pelagicus dapat bertelur secara serempak dalam hari yang sama 2 hari
setelah penyuntikan yang ke-dua.
Pada dua perlakuan, ablasi mata dan injeksi 5 HT, aktifitas pemasakan ovary dan
pemijahan nampak rendah selama minggu akhir percobaan. Alasan ini tidak bisa diketahui dari
adanya data. Kemungkinan bahwa pada ablasi mata, GIH turun, menghasilkan ovary masak.
Dua (2) atau 3 minggu kemudian, bola mata yang sisa mulai menghasilkan lebih GIH untuk
mengganti yang hilang, menghasilkan penghambatan gonad. Untuk penyuntikan 5 HT, saat P.
pelagicus disuntik pada interval 1 minggu (hari 0, dan 7), karena itu kemungkinan bahwa
rangsangan bisa berakhir hanya untuk 1 minggu; dan dosis terakhir (hari 7) memiliki pengaruh
panjang hingga minggu ke -tiga. Agar supaya perangsangan diperpanjang hingga minggu ke 4,
dosis lain pada hari 21 mungkin dibutuhkan. Perolehan ini menambah keuntungan lain dari 5
HT terhadap ablasi mata, saat ablasi mata, perpanjang rangsangan ovary tidak memungkinkan.
Mekanisme 5 HT dalam merangsang pematangan ovary dan pemijahan P. pelagicus, dan
juga krustase lain, tidak diketahui. Kebanyakan pengamat menunjukkan bahwa 5 HT dapat
bekerja dalam bola mata untuk menghambat sintesis/sekresi GIH, atau dalam otak dan thoracic
ganglion untuk merangsang sintesis/sekresi GSH, dus secara tidak langsung mempengaruhi
kemasakan ovary (Sarojini et.al., 1995; Fingerman, 1997).
Terdapat garis hubungan yang menunjukkan peran langsung dari 5 HT dalam ovary
krustase lain dan invertebrata laut. 5 HT telah merangsang respon elektrofisiologi dari oocyte
individual crayfish (Skorupski and Melarange, 2000). Reseptor 5 HT diketahui dalam membran
sel gonad pada moluska (Khotimchenko and Deridovich, 1991). Sticker and Smythe (2001)
telah melakukan pada cacing laut memertean bahwa 5 HT telah meningkatkan cAMP pada
oocyte immature dan selanjutnya merangsang germinal vesicle breackdown selama pemasakan
ovary. Dilaporkan bahwa jalur sinar transduksi pada reseptor 5 HT melibatkan adenilate cyclase
system (Barbaccia et.al., 1983) dan phosphorilasi protein membran yang dimediasi oleh GTP
adalah kerja awal biokima pada rangsangan maturasi 5 HT dari oocyte surf clam Spisula (Haneji
and Koide, 1988). Fungsi dari 5 HT dalam oviduct invertebrata tidak teramati secara luas. Pada
invertebrata, 5 HT mempunyai fungsi berlawanan yang tergantung pada jenis hewannya. Pada
bivalve, 5 HT merangsang kontraksi oviduct dan memacu pemijahan (Khotimchenko and
Deridovich, 1991; Guerrier et.al., 1996) dimana seperti pada cuttle fish, 5 HT menghambat
kontraksi oviduct agar menjaga telur dalam oviduct (Zatylny et.al., 2000).
9. V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Penyuntikan induk rajungan Portunus pelagicus dengan hormon serotonin dengan dosis 50
πg/g berat tubuh secara nyata meningkatkan persentase matang gonad, daya tetas telur,
fototaksis, dan latency period.
2. Terjadi peningkatan ketahanan larva dari hasil uji starvasi dengan perlakuan penyuntikan
hormon serotonin
V.2. Saran
Penyuntikan dengan hormon serotonin dengan dosis 50 πg/g berat tubuh dapat di
aplikasikan di dalam proses pematangan gonad induk rajungan Portunus pelagicus
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada rekan-rekan di tim
rajungan atas kerjasama yang solid selama ini di dalam pengembangan teknologi pembenihan
rajungan.
Daftar Pustaka
Aktaß, M. dan Kumlu, M., 1999. Gonadal maturation and spawning ofPenaeus semisulcatus
(Penaeidae: Decapoda). Tr. J. of Zoology,23: 61-66.
Aktaß, M., Kumlu, M. dan EroldoÛan, O.T., 2003. Off-seasonmaturation and spawning of
Penaeus semisulcatus by eyestalk ablation and/or temperature-photoperiod regimes.
Aquaculture, 228: 361-370.
Alfaro, J., 1996. Effect of 17 alpha methyl testosterone and 17 alpha hydroxyprogesterone on the
quality of white shrimp Penaeus vannamei spermatophores. J. World Aquacult. Soc. 27:
487-492
Benzie, J.A.H. 1998. Penaeid genetics and biotechnology. Aquaculture 164, 23-47.
Browdy, C.L. dan Samocha, T.M., 1985. The effect of eyestalk ablationon spawning, moulting
and mating of Penaeus semisulcatus DeHaan. Aquaculture, 49: 19-29.
Browdy, C.L., 1992. A Review of the Reproductive Biology of Penaeid Species: Perspectives on
Controlled Shrimp Maturation Systems for High Quality Nauplii Production. In: J. Wyban,
(Ed.), Proceeding of the Special Session on Shrimp Farming. World Aquaculture Society,
Baton Rouge, LA, USA, pp. 22-51.
Chamberlain, C.W., 1985. Biology and Control of Shrimp Reproduction.In C.W. Chamberlain,
M.G. Haby, and R.J. Miget (Eds.), TexasShrimp Farming Manual an Update on Current
Technology. P.I.23. Texas Agricultural Extension Service. Texas A&M. UniversitySystem
Research and Extension Centre, Corpus Christi, Tx78410.
Fingerman, M., 1997. Roles of neurotransmitters in regulating reproductive hormone release and
gonadal maturation in Decapoda crustaceans. Invertebr. Reprod. Dev. 31: 47-54.
10. Jayaprakas, V. dan Sambhu, C., 1998. Impact of dietary human chorionic gonadotropin on
growth and body composition of white prawn, Penaeus indicus (M. Edwards). Mahasagar,
27: 131-138.
Kanokpan, W.; S. Asuvapongpatana; P. Poltana; M. Tiensuwan dan B. Withyachumnamkul.
2006. Seretonin stimulates ovarian maturation and spawning in the black tiger shrimp
Penaeus monodon. Aquaculture, Elsevier. 8 pp
Makinouchi, S. dan Primavera, J.H., 1987. Maturation and spawning of Penaeus indicus using
different ablation methods. Aquaculture,62: 73-81.
Menasveta, P.; S. Sangpradup, S. Piyatiratitivorakul dan Arlo W. Fast. 1998. Effect of
Broodstock Size and Source on Ovarian Maturation and Spawning of Penaeus monodon
Fabricius from the Gulf of Thailand.
Ogle, J.T., 1992. A review of the current state of our knowledge concerning reproduction in open
thelycum penaeid shrimp with emphasis on Penaeus vannamei. Invertebrate Reproduction
and Development, 22(1-3): 267-274.
Primavera, J.H., 1985. A Review of Maturation and Reproduction in Closed Thelycum Penaeids.
Proceedings of the International Conference on the Culture of Penaeid Prawns/Shrimps.
IIoilo City, Philippines, 1984.
Sarojini, R., Nagabhushanam, R. dan Fingerman, M., 1995. Mode of action of the
neurotransmitter 5- hydroxytryptamine in stimulating ovarian maturation in the red swamp
crayfish,Procambarus clarkii: An in vivo and in vitro study. J. Exp.Zoology. 271: 395-400.
Soleh, M. 2000. Pengaruh Ablasi Mata Terhadap Karakter Protein Hasil Isolasi Organ-organ
Reproduksi Pada Udang Windu (Penaeus monodon Fabricus) Betina Asal Laut dan
Tambak. Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya, Malang. 130 halaman.
Tsukimura, B. dan Kamemoto, F.I., 1991. In vitro stimulation of oocytes presumptive
mandibular organ secretions in the shrimp,Penaeus vannamei. Aquaculture. 92: 59-66.
Vaca, A. A. dan Alfaro, J., 2000. Ovarian maturation and spawning the white shrimp, Penaeus
vannamei, by serotonin Injection.Aquaculture, 182: 373-385.
Yano, I. dan Wyban, J.A., 1993. Induced ovarian maturation of Penaeus vannamei by injection
of lobster brain extract. Bull. Natl. Res.Inst. Aquacult. Japan Yoshokukenho, 21: 1-7.
Yano, I., 1985. Induced ovarian maturation and spawning in greasyback shrimp, Metapenaeus
ensis, by progestrone.Aquaculture, 47: 223-229.