Dimensi Politis Adgi ini merupakan satu dari tiga usulan program yang muncul pada saat Kongres Nasional Adgi 2012 yang diselenggarakan di Dia.Lo.Gue Art Space tanggal 9 Desember 2012, di mana usulan ini merupakan gagasan dari Hastjarjo B. Wibowo.
Sm, ari prayogo, hapzi ali, business ethic, csr, and risk management, univers...
POLITIK ADGI
1. DIMENSI POLITIS
ASOSIASI DESAINER GRAFIS INDONESIA (ADGI)
DALAM PEMBERDAYAAN DESAIN GRAFIS
SEBAGAI PROFESI (INDUSTRI) DAN
DISIPLIN KEILMUAN (AKADEMIS)
PENDAHULUAN
Pengertian Politik dan Profesi
Kata “politik” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani politea, yang akar katanya
adalah polis, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara dan teia,
berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai
kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan suatu rangkaian asas,
prinsip, keadaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu
yang kita kehendaki. Politics dan policy memiliki hubungan yang erat dan timbal balik.
Politics memberikan asas, jalan, arah dan medannya, sedangkan policy memberikan
pertimbangan cara pelaksanaan asas, jalan dan arah tersebut sebaik-baiknya (Sumarsono,
2001:137).
Politik lahir ketika manusia mengenal hidup bermasyarakat, bersosialisasi, berinteraksi satu
sama lain, serta ketika sekelompok manusia mampu mempengaruhi kelompok atau elemen
manusia lainnya. Jika demikian adanya, maka politik adalah kodrat, politik merupakan sifat
manusia yang terbawa akibat entitas sosialnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) po·li·tik n 1 (pengetahuan) mengenai
ketatanegaraan atau kenegaraan (spt tt sistem pemerintahan, dasar pemerintahan): bersekolah
di akademi --; 2 segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan
negara atau thd negara lain: -- dl dan luar negeri; kedua negara itu bekerja sama dl bidang --
, ekonomi, dan kebudayaan; partai --; organisasi --; 3 cara bertindak (dl menghadapi atau
menangani suatu masalah); kebijaksanaan: -- dagang; -- bahasa nasional. (Depdiknas,
2005:886). Sedangkan pengertian dari po·li·tis a bersifat politik; bersangkutan dengan
politik. (Depdiknas, 2005:887)
Selanjutkan akan dijelaskan pengertian profesi, orang profesional dan profesionalisme.
Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan
mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen
pribadi (moral) yang mendalam. Dengan demikian orang profesional adalah orang yang
melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan
keahlian dan keterampilan yang tinggi serta punya komitmen pribadi yang mendalam atas
pekerjaan itu. Dengan kata lain, orang profesional adalah orang yang melakukan suatu
pekerjaan karena ahli di bidang tersebut dan meluangkan seluruh waktu, tenaga dan
perhatiannya untuk pekerjaan tersebut. Namun ini saja tidak cukup, orang profesional adalah
orang yang mempunyai komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaan itu. Ia melibatkan
seluruh dirinya dan dengan giat, tekun dan serius menjalankan pekerjaannya itu. (Keraf,
1998:35-36)
2. Profesi dalam prakteknya mempunyai ciri-ciri (Keraf, 1998:39-43), sebagai berikut:
Pertama, adanya keahlian dan ketrampilan khusus.
Pengetahuan atau keahlian dan keterampilan ini memungkinkan orang yang profesional itu
mengenali dengan cukup cepat dan tepat persoalan yang dihadapi serta solusi yang tepat
untuk itu. Dengan kata lain, pengetahuan dan keterampilan ini memungkinkan orang
profesional itu menjalankan tugasnya dengan tingkat keberhasilan dan mutu yang paling baik.
Kedua, adanya komitmen moral yang tinggi.
Bentuk komitmen moral ini biasanya dituangkan dalam bentuk kode etik sebagai syarat
minimal yang harus dipenuhi bagi orang-orang dengan profesi tertentu. Kode etik ini ikut
menentukan identitas dan perilaku, khususnya perilaku moral dari para profesional tersebut.
Ketiga, orang profesional adalah orang yang hidup dari profesinya.
Profesional hidup sepenuhnya dari profesinya, biasanya ia dibayar mahal dengan gaji yang
sangat tinggi sebagai konsekwensi dari pengerahan seluruh tenaga, pikiran, keahlian, dan
keterampilannya.
Keempat, pengabdian kepada masyarakat.
Adalah komitmen moral yang tertuang dalam kode etik profesi ataupun sumpah jabatan
menyiratkan bahwa orang-orang yang mengemban profesi tertentu lebih mendahulukan
kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadinya. Orang-orang yang profesional
akan melayani, mengabdi dan membantu masyarakat dengan keahlian dan keterampilannya
sampai tuntas, yaitu sampai ada hasil yang memuaskan, baik bagi orang yang dilayani
maupun bagi orang profesional itu sendiri.
Kelima, profesi biasanya ada izin khusus untuk menjalankan profesi tersebut.
Karena setiap profesi menyangkut kepentingan orang banyak dan terkait dengan nilai-nilai
luhur kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup, kesehatan dan
sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi yang berkaitan dengan kepentingan orang
banyak itu diperlukan izin. Izin khusus ini dibertujuan untuk melindungi masyarakat dari
pelaksanaan profesi yang tidak becus.
Keenam, kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi.
Tujuan dari organisasi profesi tersebut terutama untuk menjaga dan melindungi keluhuran
profesi. Tugas pokoknya adalah menjaga agar standar keahlian dann keterampilan tidak
dilanggar, kode etik tidak dilanggar dan berarti menjaga kepentingan masyarakat agar tidak
dirugikan oleh pelasanaan profesi tersebut oleh anggota mana pun. Dalam konteks ini
organisasi profesi akan mengeluarkan izin praktek (atau memberikan rekomendasi untuk
mendapatkannya) bagi anggota baru serta menindak anggota yang melanggar baik kode etik
profesinya maupun standar keahlian dan ketrampilan yang dituntut secara minimal oleh
profesi terebut. Terkait dengan hal tersebut yaitu sertifikasi profesi yang dilakukan oleh
Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang dibentuk oleh asosiasi profesi.
Selanjutnya kita tengok terlebih dahulu pengertian desain grafis adalah pengertian umum
untuk aktivitas dari kegiatan membuat komposisi tipografi, ilustrasi, fotografi dan pencetakan
yang digunakan untuk membujuk, memberikan informasi atau petunjuk. Orang yang
melakukan pekerjaan itu disebut desainer grafis, di mana istilah tersebut pertama kali
digunakan oleh William Addison Dwiggins pada tahun 1922 (Livingston, 2003:101).
Jika dicermati dari ciri-ciri suatu profesi tersebut di atas, terlihat bahwa tidak semua pekerjaan
dapat disebut profesi karena ada ciri-ciri yang harus dipenuhi. Desainer grafis di Indonesia
apa mau dikata belum dapat disebut sebagai profesi karena belum memenuhi semua kriteria
tersebut di atas, yaitu bersertifikasi profesi. Sedangkan kriteria bersertifikat belum terpenuhi
karena sertifikasi profesi masih dalam tahap persiapan dengan telah ditetapkannya Standar
3. Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Keahlian Desain Grafis oleh Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI melalui Keputusan Menteri Nomor KEP.
109/MEN/VI/2010 tertanggal 11 Juni 2010. Saat ini ADGI harus mempersiapkan Lembaga
Sertifikasi Profesi (LSP) Desain Grafis maupun Lembaga Diklat Desain Grafis untuk
penerapan sertifikasi. Desain grafis dapat disebut sebagai profesi secara penuh ketika
sertifikasi dapat dijalankan.
Kembali kepada bahasan semula, jika dilihat dari kepentingan ADGI sebagai organisasi
keprofesian, politik dapat diartikan suatu cara bertindak ADGI dalam mencapai tujuannya
membawa desain grafis sebagai profesi (industri) dan disiplin ilmu (akademis) yang
bermartabat. Apakah ADGI sudah menjalankan politik organisasinya dengan efektif selama
ini?
PEMBAHASAN
Dimensi Politis ADGI
Sebelum membahas mengenai dimensi politis dari ADGI, perlu diketahui terlebih dahulu
fungsi atau peran dari asosiasi profesi, di antaranya sebagai berikut:
• Sebagai lembaga yang merepresentasikan eksistensi dari profesi.
• Sebagai sarana bagi profesi dalam memperjuangkan kepentingan profesi, misalnya dalam
mempengaruhi atau memberikan masukan terhadap kebijakan pemerintah sehingga
berpihak bagi profesi.
• Menjalankan fungsi kontrol terhadap profesi untuk menjaga kualitas dari sumber daya
insani misalnya melalui keterlibatan dalam proses akreditasi pendidikan, sertifikasi profesi,
penerapan etika profesi (kode etik) dan etika perilaku berusaha (bisnis).
• Menjalankan fungsi advokasi profesi dalam konteks HKI, perlindungan konsumen, mediasi
perselisihan antar anggota maupun dengan dengan pihak-pihak lain dan masalah-masalah
hukum terkait lainnya.
• Sebagai medium pengembangan kapasitas antar anggota asosiasi melalui tukar
pengalaman, tutoring, mentoring dan bentuk-bentuk program lainnya.
• Sebagai medium untuk membangun jejaring internal dalam lingkup profesi sehingga
menciptakan kerjasama kolaboratif yang produktif dan membangun jejaring eksternal lintas
profesi dalam kesetaraan, saling menguntungkan dan saling menghormati antar profesi
secara nasional maupun internasional.
Secara umum dimensi politis dari ADGI sebagai organisasi profesi memiliki dua sisi, yang
pertama sisi politik internal yaitu bagaimana cara bertindak ADGI dalam menangani masalah-
masalah pemangku kepentingan internalnya yaitu pengurus dan anggota. Yang kedua yaitu
sisi politik eksternal di mana ADGI harus mampu menjangkau pemangku kepentingan
eksternalnya sebagai mitra kolaborasi dalam mencapai tujuan organisasi. Pemangku
kepentingan eksternal dari ADGI meliputi pemerintah, institusi pendidikan, industri terkait,
asosiasi industri, asosiasi perdagangan, asosiasi profesi lainnya, komunitas sosial dan
masyarakat
Dengan dinyatakan bahwa ADGI mempunyai visi menjadi asosiasi desainer grafis yang
memiliki kredibilitas dan bereputasi dalam melindungi, melayani dan memajukan karir dan
usaha anggotanya di seluruh Indonesia. Tanpa melakukan aktivitas politis mustahil ADGI
dapat mewujudkan visinya.
Sehebat apapun program yang dibuat ADGI tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada
kemauan dan tindakan politis dari pengurusnya maupun angotanya. Pengurus harus
mempunyai langkah politis agar membawa ADGI menjadi asosiasi profesi yang menjadi
kebutuhan bagi setiap desainer grafis di Indonesia. Demikian juga setiap anggota ADGI harus
dapat memanfaatkan keberadaannya sebagai anggota asosiasi profesi dalam menjalankan
profesi maupun usahanya.
4. Dalam perkembangannya ADGI sebagai organisasi profesi dapat dipaparkan secara singkat
dalam garis waktu sebagai berikut:
1980 – 1993
Masa Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) yang dibentuk pada tanggal 25 April 1980
oleh beberapa desainer, antara lain: Wagiono Sunarto, Karnadi, Didit Chris Purnomo, FX
Harsono, S. Prinka (Alm), Tjahjono Abdi (Alm), Agus Dermawan T., Helmi Sophiaan (Alm),
Hanny Kardinata, Sadjirun (perancang logotype IPGI) dan beberapa lainnya. IPGI diresmikan
24 September 1980 bersamaan dengan pembukaan pameran IPGI yang pertama Grafis ’80.
Pada masa ini merupakan masa di mana desain grafis diperkenalkan dan dipromosikan
sebagai profesi di Indonesia. IPGI sempat diterima sebagai anggota International Council of
Graphic Design (ICOGRADA) yaitu badan dunia desain grafis. IPGI mendaftarkan diri di
sekretariat ICOGRADA yang pada waktu itu berada di London. Momentum tersebut
bertepatan dengan penyelenggaraan International Design Conference “Design Renaissance”
di Glasgow Skotlandia pada tahun 1993.
1994 – 2004
IPGI berubah menjadi Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) pada Kongres IPGI di
Jakarta Design Center tanggal 7 Mei 1994. Dalam Kongres ini pula disepakati program kerja
utama ADGI yaitu Kode Etik Profesi, Sertifikasi Profesi dan Akreditasi Pendidikan Tinggi
Desain Grafis. Pada masa ini hampir tidak ada kegiatan ADGI yang memberikan pengaruh
berarti bagi perkembangan desain grafis di Indonesia. Program kerja juga tinggal program
kerja tanpa implementasi. Kode Etik Profesi hanya menjadi konsep saja belum direalisasikan.
Bahkan pada saat ini pun Kode Etik Profesi yang disempurnakan oleh ADGI hasil revitalisasi
2006 belum juga dipublikasikan. Program Sertifikasi Profesi dan Akreditasi Perguruan
Tinggi masih jauh dari jangkauan. Pada intinya pada masa ini keinginan untuk membuat
profesi desainer grafis menjadi lebih baik sudah ada dalam pemikiran para pengurus ADGI
namun tidak terlaksana.
ADGI kehilangan kesempatan berkembang selama 11 tahun di mana pada kurun waktu
tersebut industri desain grafis sempat mengalami masa kejayaan dan sekaligus masa suram
dengan munculnya krisis moneter tahun 1997.
2005 – 2006
Munculnya Memorandum ADGI 2005 yang menugaskan Danton Sihombing, Gauri Nasution,
Hastjarjo B. Wibowo dan Mendiola B. Wiryawan untuk melakukan revitalisasi ADGI
menjadikan titik terang bagi kemunculan “ADGI Baru.” Penerima Memorandum ini
membentuk Tim Revitalisasi yang bekerja selama 6 bulan untuk menyiapkan platform ADGI
Baru dan melaksanakan Kongres ADGI pada tanggal 19 April 2006 di Ballroom Le Meridien
Hotel Jakarta. Dalam Kongres ini disepakati kepemimpinan kolektif berupa Presidium yang
akan efektif berjalan selama 1 tahun sampai terpilihnya Ketua Umum ADGI pada Kongres
berikutnya pada tahun 2007. Presidium ADGI terdiri dari: Andi Surya Boediman, Danton
Sihombing, Hastjarjo B. Wibowo, Hermawan Tanzil dan Lans Brahmantyo. Pada masa
Presidium ADGI lebih banyak melakukan konsolidasi internal.
2007 – 2010
Diawali dengan Kongres ADGI ke-2 pada tanggal 19 April 2007 di Galeri Nasional yang
memilih Danton Sihombing sebagai Ketua Umum ADGI. Pada masa ini ADGI meletakkan
kembali pondasi organisasinya dengan Program Lokomotif nya dan memperluas jejaring
dengan membuka beberapa chapter di Jakarta, Bali, Yogyakarta dan Surabaya. Kegiatan-
kegiatan yang bersifat pelayanan kepada anggota dapat dijalankan dengan baik, namun
kegiatan yang strategis secara politis belum dapat secara optimal dijalankan. Pencapaian
penting dalam periode ini yaitu telah disahkannya Rancangan Standar Kompetensi Kerja
5. Nasional Indonesia (RSKKNI) Bidang Keahlian Desain Grafis bakuan hasil Konvensi
Nasional menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Keahlian
Desain Grafis oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI melalui Keputusan Menteri
Nomor KEP. 109/MEN/VI/2010 tertanggal 11 Juni 2010. SKKNI Bidang Keahlian Desain
Grafis ini akan menjadi parameter bagi sertifikasi profesi desainer grafis. Keberhasilan ADGI
dalam menyusun SKKNI yang diharapkan akan menjadi langkah positif untuk memajukan
profesi desain grafis di Indonesia (Adityawan, 2010:224). Bagaimanapun pondasi yang telah
diletakkan ADGI pada masa 2007-2010 dapat dijadikan modal penting kepengurusan
selanjutnya.
2010 – 2012
Kongres ADGI ke-3 baru selesai dilaksanakan tanggal 20 Mei 2010 yang telah memilih Arief
“Ayip” Budiman dari ADGI Bali Chapter sebagai Ketua Umum. Saat ini kepengurusan baru
terbentuk dalam ADGI Summit pada tanggal 26-27 Juni 2010 di Yogyakarta. Dalam
kepengurusan ini diharapkan dinding-dinding dari bangunan ADGI dapat segera didirikan
pada pondasi yang telah dibangun oleh kepengurusan sebelumnya. Namun kendala koordinasi
antar pengurus menyebabkan ADGI belum beranjak juga menjadi asosiasi profesi yang
berdaya. Tahun 2012 ini pada bulan September akan kembali diadakan Kongres ADGI ke-4
semoga dapat menghasilkan kepengurusan yang progresif sehingga mampu membawa ADGI
mewujudkan visi dan misinya.
Keberadaan ADGI selama 32 tahun belum mampu menjadi asosiasi profesi yang solid dan
bermanfaat disebabkan di antaranya oleh:
• Paradigma di kalangan desainer grafis Indonesia yang menganggap bahwa
berasosiasi tidaklah penting.
Cara pandang ini mengakibatkan posisi asosiasi tidak pernah terbangun dengan kuat karena
selalu diukur dari manfaat apa yang diberikan asosiasi terhadap anggotanya. Padahal
dibutuhkan suatu komitmen bersama untuk membangun asosiasi hingga pada akhirnya
manfaatnya dapat dipetik semua pihak. Kemauan membangun ini tidak ada pada sebagian
besar para desainer grafis Indonesia karena sikap egosentris bahkan masa bodoh,
berprasangka negatif dan berpikir pendek. Kondisi ini seharusnya dapat dicermati oleh
pengurus ADGI dengan memperbanyak sosialisasi pentingnya suatu asosiasi profesi,
merangkul komunitas-komunitas desain grafis yang ada, menciptakan benefit yang terukur
bagi anggotanya dan yang terpenting yaitu memperkuat posisi ADGI secara politis sehingga
menciptakan kebutuhan terhadap ADGI.
• Pengurus ADGI tidak mampu membangun benefit untuk dirinya sendiri sehingga
tidak dapat mendedikasikan dirinya sesuai komitmen.
Pengurus ADGI menjadi tidak dapat menempatkan kepentingan ADGI pada prioritasnya
dengan dalih tersirat tidak mendapatkan bayaran atau ADGI belum mampu membayar atas
jabatannya, sehingga tidak dapat dipaksa meskipun hanya untuk hadir dalam rapat rutin.
Pimpinan asosiasi pun merasa tidak mempunyai kekuatan untuk meminta pengurus
menjalankan kewajibannya dengan baik. Sikap seperti ini terjadi karena pengurus sendiri
tidak mampu melihat peluang yang ada sebagai pengurus asosiasi profesi. Pengurus ADGI
memang tidak dibayar saat ini, namun banyak intangible benefit yang dapat diperolehnya
dan hal tersebut tidak pernah dapat dimanfaatkan karena tidak pernah menyadarinya.
Pengurus merupakan jabatan yang terhormat sebagai ambassador yang mewakili profesi
desainer grafis Indonesia. Pengurus berada di garis terdepan dalam hubungannya dengan
semua pemangku kepentingan terkait untuk itu pengurus harus mampu membangun
eksistensi ADGI melintas disiplin profesinya tidak hanya dikenal di komunitasnya saja.
Ketika pengurus mampu membawa ADGI melintas batas baik profesi maupun geografis
semakin banyak benefit yang akan diperoleh pengurusnya. Menjadi pengurus ADGI tidak
sekedar menjadi selebriti desain grafis Indonesia, namun melekat kewajiban dan hak yang
telah diamanatkan oleh anggota ADGI melalui kongres.
6. • ADGI tidak ubahnya seperti Event Organizer (EO)
Sebagai organisasi profesi ADGI akhirnya terjebak hanya memikirkan bagaimana melayani
anggotanya karena kekuatiran ditinggalkan anggotanya. Kegiatan ADGI hanya dari acara
ke acara hampir tidak ada langkah politis untuk memperkuat posisi desainer grafis sebagai
profesi. Diperlukan paradigma baru di jajaran pengurus ADGI untuk dapat berpikir dan
bertindak secara politis. ADGI tidak bisa dijalankan dengan sekedar merekrut anggota dan
kemudian melayaninya.
Hampir semua kegiatan ADGI akhirnya bersifat keprofesian yang eksklusif, misalnya
pameran poster, seminar desain grafis, gathering anggota dan semacamnya. Kegiatan-
kegiatan seperti tersebut di atas hanya sebagai bentuk ekspresi menyenangkan diri sendiri.
Meskipun kegiatan-kegiatan tersebut penting namun ADGI tidak cukup hanya menjadi
fasilitator ruang ekspresi bagi anggotanya. Jaman sudah berubah sehingga diperlukan
pendekatan yang berbeda. Sebagai profesi, desainer grafis hidup di antara profesi yang
lainnya, hidup di antara industri lainnya, hidup dalam masyarakat dan hidup dalam lingkup
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara. ADGI harus mampu menjadi jembatan dalam
hubungannya dengan semua pemangku kepentingan tersebut.
• ADGI belum optimal dalam menjalin komunikasi dengan pemerintah, dunia
akademis, media, industri dan asosiasi industri terkait, asosiasi profesi lainnya,
komunitas kreatif bahkan dengan desainer grafis non ADGI untuk membangun saling
pengertian dan terutama untuk memperjuangkan kepentingan profesi desainer grafis.
ADGI dengan Pemerintah
Pemerintah di sini meliputi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (provinsi,
kota/kabupaten) yang terdiri dari kementerian, badan-badan pemerintah. Jika dicermati
banyak kementerian maupun lembaga-lembaga pemerintah yang berhubungan dengan
kepentingan ADGI. Sebagai contoh ADGI telah mencoba menjalin kerjasama dengan
Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam penyusunan RSKKNI bidang Desain
Grafis, dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai lembaga pemerintah
yang mengesahkan RSKKNI menjadi SKKNI, juga bekerja sama dengan Badan Nasional
Sertifikasi Profesi (BNSP) nantinya dalam pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi
(LSP). Sedikit langkah yang telah diambil tersebut telah membawa dampak pro maupun
kontra di kalangan desainer grafis. Hal ini menunjukkan dinamika bahwa langkah yang
diambil ADGI dirasakan akan membawa dampak terhadap kepentingan desainer grafis
hingga pada level akar rumput. Sebagai representasi yang mewakili profesi desainer grafis,
ADGI tentunya harus mengambil sikap yang berpihak pada kemartabatan profesi.
Langkah lain yang harus diambil yaitu dengan memetakan semua institusi pemerintah yang
berkaitan dengan kepentingan ADGI. Pada Inpres No. 6 tahun 2009 yang diterbitkan pada 5
Agustus 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif di mana desain grafis menjadi
bagian dari sub sektor industri desain, lembaga pemerintah yang terlibat sebagai berikut:
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Koordinator Perekonomian,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan,
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pertanian, Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Pendidikan Nasional,
Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kehutanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian
Perhubungan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS,
Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Kementerian Negara Riset dan Teknologi,
Kementerian Negara BUMN, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, BPPT, LIPI, Badan
Standarisasi Nasional, Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia. Di samping itu
masih banyak lembaga-lembaga terkait yang ada di bawah koordinasi kementerian maupun
7. lembaga independen misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Badan
Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-
PT), KPK dan sebagainya.
Lembaga-lembaga tersebut dapat ditelusuri keterkaitannya dengan ADGI dalam
pengembangan desain grafis baik sebagai profesi maupun akademis. Sebagai contoh
hubungan ADGI dengan Kementerian Pendidikan Nasional: Selama ini ADGI sebagai
asosiasi profesi tidak pernah dilibatkan dalam proses akreditasi perguruan tinggi desain
grafis baik sekedar memberikan masukan maupun secara langsung dilibatkan, juga ADGI
tidak pernah diminta rekomendasinya atas pembukaan suatu program studi pada suatu
perguruan tinggi padahal hal ini merupakan salah satu persyaratan yang diatur SK
Mendiknas. Hal ini mungkin disebabkan ketidaktahuan dari Kementerian Pendidikan
Nasional terhadap keberadaan ADGI. Agar ADGI dikenal oleh lembaga-lembaga
pemerintah tentunya ADGI harus memperkenalkan diri sebagai representasi dari profesi
desainer grafis. Sungguh ironis sebagai organisasi para ahli komunikasi visual namun
ADGI tidak mampu mengkomunikasikan dirinya. Kementerian Pendidikan Nasional
merupakan lembaga pemerintah yang strategis karena di dalamnya di antaranya terdapat
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) sebagai institusi yang bertangung jawab
terhadap seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah
Kejuruan (Dikmenjur) sebagai penanggung jawab pendidikan menengah kejuruan,
Direktorat Pendidikan Luar Sekolah (PLS) sebagai penanggung jawab pendidikan luar
sekolah seperti kursus-kursus. Selain itu BAN-PT juga berada di bawah koordinasi
Kementerian Diknas. ADGI harus dapat memberikan pengaruh positif terhadap lembaga-
lembaga terkait Kementerian Diknas yang berkaitan dengan desain grafis. ADGI tidak
mungkin berteriak-teriak sendirian menyatakan kemerosotan kualitas pendidikan di bidang
desain grafis (baca: DKV) di Indonesia. ADGI harus dengan cerdas menggandeng lembaga-
lembaga seperti Dikti, Dikmenjur, Direktorat Jenderal PLS dan BAN-PT sebagai mitra
untuk memperbaiki kualitas pendidikan desain grafis. Karena lembaga-lembaga tersebutlah
yang mempunyai otoritas dalam bidang pendidikan yang terkait dengan kepentingan ADGI.
Contoh lainnya terkait dengan kusutnya industri desain grafis yang marak dengan free
pitching, pitching massal, pitching fiktif, undertable dan sebagainya. Masalah-masalah
tersebut sebetulnya dapat diselesaikan dengan bekerjasama dengan misalnya Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ketika ADGI belum mampu membiayai riset industri
desain grafis secara mandiri. Hal itu dapat disiasati dengan bermitra dengan litbang
kementerian terkait, misalnya dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Profesi suatu
unit pada Badan Penelitian dan Pengembangan SDM Kementerian Komunikasi dan
Informatika untuk melakukan pemetaan profesi maupun industri desain grafis. Instrumen-
instrumen yang ada di pemerintahan dapat digunakan oleh ADGI dalam memberdayakan
profesi.
Hampir semua kementerian dan lembaga-lembaga pemerintah dapat dirangkul dalam
memperjuangkan kepentingan profesi desainer grafis. Cari titik temu antara kepentingan
ADGI dan kepentingan lembaga pemerintah sehingga dapat dikolaborasikan. ADGI sangat
mungkin bekerja sama dengan BAPPENAS dan asosiasi konsultan misalnya dalam
perumusan standar harga jasa desain grafis maupun mengusulkan persyaratan tertentu
dalam tender jasa desain grafis.
Melalui hubungan yang baik dengan penyelenggara negara, ADGI dapat mengoptimalkan
benefit berupa fasilitasi dari pemerintah untuk kepentingan pengembangan desain grafis,
misalnya fasilitasi kredit murah, pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas,
pengurangan pajak, fasilitasi promosi dan sebagainya. Manfaat seperti inilah yang pada
akhirnya membuat keberadaan ADGI dibutuhkan. Masih banyak produk hukum maupun
program dalam kementerian dan lembaga pemerintah yang dapat dimanfaatkan, untuk itu
sikap proaktif dari ADGI dibutuhkan dalam hubungannya dengan pemerintah.
8. ADGI dengan Dunia Akademis
Dunia Akademis sebagai produsen sumber daya insani industri desain grafis merupakan
pemangku kepentingan yang strategis bagi ADGI. Selama ini ADGI masih belum maksimal
dalam merangkul kalangan akademis, meskipun pada kenyataannya banyak praktisi industri
desain grafis yang juga meletakkan sebelah kakinya di dunia akademis. Jika dicermati
pendidikan desain grafis saat ini tidak hanya berkembang pada tingkat sarjana (S-1/D-4)
saja namun juga pada level Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), lembaga Pendidikan Luar
Sekolah (kursus). Pada tingkat SMK mengalami perkembangan yang sangat cepat.
Dikmenjur sangat progresif dalam mengembangkan sekolah-sekolah kejuruan desain grafis
bahkan gencar melakukan kampanye melalui televisi. Hal ini harus dicermati oleh semua
pemangku kepentingan dalam dunia akademis karena akan memperbesar suplai tenaga
kerja. Jika tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas, perluasan lapangan kerja dan
persebaran wilayah kerja akan menjadi masalah di kemudian hari. Sangat mungkin nantinya
lulusan S-1/D-4 harus bersaing dengan lulusan SMK secara frontal karena terjadi
overlapping dengan sempitnya lapangan kerja dan pemusatan wilayah kerja di kota-kota
besar. Meskipun secara konsep pendidikan berbeda, pada kenyataannya banyak pendidikan
S-1 yang mengingkari jatidirinya sebagai pendidikan berbasis academic stream namun
lebih menekankan pada kemampuan praktis bukan lagi akademis (knowledge). Sementara
dari sisi professional stream ada program diploma dan SMK. Akan terjadi suatu masa di
mana akan terjadi kekurangan pemikir desain grafis sementara di level pekerja suplai
berlebihan. Saat ini ribuan lulusan desain grafis dihasilkan industri pendidikan setiap tahun,
sementara kesenjangan kualitas pendidikan juga semakin lebar. Menjadi tugas berat bagi
ADGI untuk menjadi jembatan antara dunia akademis dengan dunia industri. Kondisi ini
sudah pernah saya tulis dalam “Mengkritik Pendidikan DKV di Indonesia”
ADGI dengan Media
Media merupakan saluran strategis yang harus dimanfaatkan secara optimal. Bekerja
dengan media merupakan salah satu keahlian yang dimiliki oleh desainer grafis. Dalam
bahasan di atas sudah saya sebutkan betapa ironisnya ADGI yang notabene merupakan
kumpulan desainer grafis tidak dapat memanfaatkan keahliannya untuk mempromosikan
profesi dirinya sendiri. Terbukti dengan sedikitnya tulisan-tulisan mengenai desain grafis di
media umum. Saat ini kalaupun menggunakan media selalu media yang mempunyai
relevansi langsung dengan bidang desain grafis semata, sehingga yang menjadi pintar dan
paham hanyalah komunitas desainer grafis itu sendiri sementara khalayak umum tidak
terjangkau. Padahal khalayak umum juga harus dipintarkan dan dipahamkan mengenai
desain grafis.
ADGI sebagai representasi profesi desainer grafis harus berperan aktif melakukan
“dakwah” melalui semua saluran media baik cetak maupun elektronik baik konvensional
maupun non konvensional dengan berbagai cara kreatif dalam mengemas pesan. ADGI
membutuhkan para penulis dan kreator desain grafis yang aktif menulis dan berkarya
dengan pesan kampanye profesi desain grafis secara positif. Keberagaman media yang ada
saat ini dapat menjadi peluang bagi ADGI dalam memperjuangkan aspirasinya.
ADGI dengan Industri dan Asosiasi Industri Terkait
Sebagai industri, desain grafis mempunyai rantai nilai (value chain) yang saling terkait
dengan industri lainnya. Industri desain grafis selayaknya industri kreatif lainnya
merupakan industri added value (pemberi nilai tambah) bahkan dapat mengambil posisi
sebagai industri value creation yang menciptakan nilai-nilai baru. Peranan penting desain
grafis sering kali tidak disadari oleh industri yang didukungnya. Untuk itu ADGI harus
dapat berfungsi sebagai jembatan dalam mengkomunikasikan peran industri desain grafis
terkait dengan industri lainnya. Esensinya yaitu ADGI harus dapat mengawal desain grafis
sebagai industri yang bermartabat dalam perannya sebagai penunjang industri terkait
maupun sebagai industri yang berdiri sendiri. Hal ini dilakukan agar industri desain grafis
9. tidak menjadi inferior sekedar menjadi pelengkap bagi industri lainnya. ADGI harus dapat
mendudukkan industri desain grafis setara dan penting dalam rantai nilai industri . Untuk
itu ADGI harus secara pro aktif dan intensif berkomunikasi membangun kesepahaman
dengan asosiasi perdagangan dan industri seperti KADIN Indonesia baik di tingkat pusat
maupun di daerah dan menjalin komunikasi dengan asosiasi-asosiasi industri spesifik
lainnya yang ada karena hampir semua industri berkepentingan dengan desain grafis baik
disadari maupun tidak.
ADGI dengan Asosiasi Profesi Lainnya
Sebagai profesi desainer grafis berada di antara profesi-profesi yang lain baik yang
bersinggungan secara langsung maupun tidak. Di era yang menuntut kolaborasi lintas
profesi, menjadi kebutuhan mutlak untuk menjalin hubungan dengan profesi-profesi
lainnya. Hubungan yang diharapkan tentunya dalam kesetaraan dan rasa saling menghargai
antar profesi. Untuk membangun kesepahaman ini ADGI perlu membuka hubungan lintas
profesi melalui asosiasi-asosiasi profesi yang ada.
Hampir semua profesi ada hubungannya dengan desain grafis karena semua profesi
membutuhkan media komunikasi visual. Di mana ada media komunikasi visual seharusnya
desainer grafis berada dalam proses penciptaannya. Profesi mulai dari insinyur, arsitek,
dokter, humas, fotografer, pedagang kelontong, guru, artis, politisi, pengacara, manajer,
militer dan sebagainya membutuhkan desain grafis. Namun apakah mereka menyadarinya?
Apakah mereka menganggap penting desain grafis? Apakah mereka menghargai desainer
grafis? ADGI harus menjadi ambassador profesi desainer grafis dalam hubungannya
dengan profesi-profesi lain melalui asosiasi-asosiasi profesinya.
ADGI dengan Komunitas Kreatif
Berkembangnya komunitas-komunitas di bidang kreatif yang sangat aktif dengan berbagai
inisiatif dan kegiatan pada masa sekarang harus dicermati oleh ADGI. Kondisi ini dapat
membantu ADGI dalam melaksanakan program-programnya. Komunitas-komunitas yang
berhubungan langsung dengan desain grafis baik yang masif seperti Forum Desain Grafis
Indonesia (FDGI) maupun yang maya (online) seperti DGI (Desain Grafis Indonesia) dapat
menjadi mitra yang saling menguntungkan dari ADGI. Sebagai contoh FDGI sejak awal
berdirinya mempunyai ikatan yang kuat dengan dunia pendidikan desain grafis. Di sini
ADGI dapat melakukan kolaborasi dengan FDGI untuk program-program yang dekat
dengan dunia pendidikan sehingga tidak perlu terjadi tumpang tindih antara kegiatan FDGI
dan ADGI. Di samping komunitas-komunitas yang berhubungan langsung dengan desain
grafis masih banyak komunitas-komunitas kreatif lainnya yang potensial untuk
berkolaborasi dengan ADGI. Diharapkan dapat terjadi hubungan yang harmonis antara
ADGI dengan komunitas-komunitas kreatif yang ada.
ADGI dengan Desainer Grafis Non ADGI
Bisa dikatakan ADGI merupakan custodian dari profesi desainer grafis di Indonesia oleh
karena itu secara moral ADGI mempunyai tanggung jawab terhadap pembinaan desainer
grafis di luar keanggotaan ADGI. Dengan itikad baik ADGI harus merangkul para desainer
grafis non ADGI untuk membangun industri desain grafis secara sehat. Sebagai profesi
yang terbuka menyebabkan desainer grafis secara populasi jumlahnya cukup besar dan
sebagian besar bukanlah berada dalam wadah ADGI. Hal ini menyebabkan diperlukan
suatu usaha keras bagi ADGI untuk mengajak komponen tersebut menuju pada suatu
pemahaman keprofesian yang bermartabat.
PENUTUP
Setelah dilakukan pembahasan secara panjang lebar di atas beberapa hal di bawah ini dapat
menjadi langkah-langkah bagi ADGI dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang
dihadapinya, diaantarnya:
10. • Secara internal ADGI harus melakukan perbaikan-perbaikan dalam organisasinya.
• Membuka jalur komunikasi dan kemitraan dengan pemerintah, lintas profesi, industri dan
asosiasi industri.
• Secara proaktif melakukan sosialisasi mengenai ADGI dengan segala aktivitasnya dalam
membangun dan mengembangkan desain grafis melalui semua saluran media yang tersedia.
• Fokus pada pengembangan program yang berdampak strategis terhadap desain grafis
sebagai profesi maupun disiplin keilmuan untuk menciptakan kebutuhan desainer grafis
terhadap ADGI dalam berbagai aspek.
• Pengurus ADGI harus mampu menciptakan benefit sebagai imbalan atas kontribusinya
pada organisasi sehingga dedikasinya dapat diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adityawan, Arief., Tim Litbang Concept, (2010).Tinjauan Desain Grafis.
Jakarta: Concept Media.
Livingston, Alan. Isabella Livingston, (2003). The Thames & Hudson Dictionary of Graphic
Design and Designers. London: Thames & Hudson Ltd.
Depdiknas, (2006). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: PT Balai Pustaka
Utama
Keraf, A. Sonny, (1998), Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius
Sumarsono,S., (2001). Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
RIWAYAT PENULIS
Hastjarjo Boedi Wibowo lahir di Kabupaten Kudus – Jawa Tengah pada 27 April 1969.
Penulis menamatkan pendidikan S1 di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam bidang ilmu
Desain Komunikasi Visual pada tahun 1993 dan saat ini sedang menempuh pendidikan pasca
sarjana di ISI Yogyakarta. Bekerja sebagai praktisi di bidang Desain Grafis sejak tahun 1993
dan sebagai Faculty Member - Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Komunikasi dan
Multimedia, BINUS University. Penulis merupakan salah satu aktivis pendiri dari Forum
Desain Grafis Indonesia (FDGI), Ketua Tim Revitalisasi Asosiasi Desainer Grafis Indonesia
(ADGI) tahun 2005. Anggota Tim Indonesia Design Power (IDP) Departemen Perdagangan
RI tahun 2006-2008 yang membantu Menteri Perdagangan menyusun Cetak Biru
Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia. Mantan Direktur Hubungan Pemerintah dan
Kebijakan Industri ADGI 2010-2011, Pernah menjabat sebagai Ketua Tim Penyusunan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Desain Grafis ADGI. Saat ini
menjabat sebagai Sekretaris Jenderal FGDforum yaitu suatu forum industri dalam bidang
printing, publishing, packaging dan promotion sekaligus sebagai Editor in Chief FGDmagz.