Teks tersebut membahas peran pendidikan dalam membentuk moralitas. Ada 4 poin utama: (1) sebab timbulnya krisis moral seperti longgarnya agama dan pembinaan moral yang kurang efektif, (2) langkah mengatasinya seperti pendidikan agama di rumah, sekolah, dan masyarakat serta integrasi antara pendidikan dan pengajaran, (3) tanggung jawab seluruh guru dalam membina moral, dan (4) kerjasama orang tua, se
1. PERAN PENDIDIKAN
DALAM PEMBENTUKAN MORALITAS
Oleh: Triyana, M.Ag
A. Pendahuluan
Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS), Bab II Pasal 4, dijelaskan bahwa: ”Pendidikan Nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan bangsa”1. Ini merupakan salah satu dasar dan tujuan dari
pendidikan nasional yang seharusnya menjadi acuan bangsa Indonesia.
Fenomena yang kita saksikan bersama, pendidikan hingga kini masih
belum menunjukkan hasil yang diharapkan sesuai dengan landasan dan tujuan
dari pendidikan itu. Membentuk manusia yang cerdas yang diimbangi dengan nilai
keimanan, ketaqwaan dan berbudi pekerti luhur, belum dapat terwujud. Gejala
kemerosotan nilai-nilai akhlak dan moral dikalangan masyarakat sudah mulai
luntur dan meresahkan. Sikap saling tolong-menolong, kejujuran, keadilan dan
kasih sayang tinggal slogan belaka.
Krisis akhlak pada elite politik terlihat dengan adanya penyelewengan,
penindasan, saling menjegal atau adu domba, fitnah dan perbuatan maksiat
lainnya. Pada lapisan masyarakat, krisis akhlak juga terlihat pada sebagian sikap
mereka yang sangat mudah merampas hak orang lain, misalnya menjarah, main
1
Drs. Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal. 163.
1
2. hakim sendiri, melanggar peraturan tanpa merasa bersalah, mudah terpancing
emosi, mudah diombang-ambingkan dan perbuatan lain yang merugikan orang
lain atau diri sendiri. Kemerosotan nilai-nilai moral yang tadinya hanya menerpa
sebagian kecil elite politik dan sebagian masyarakat yang lebih tepatnya pada
orang dewasa yang mempunyai kedudukan, jabatan, profesi dan kepentingan, kini
telah menjalar pada masyarakat kalangan pelajar. Banyaknya keluhan orang tua,
guru, pendidik dan orang-orang yang berkecimpung dalam bidang keagamaan
serta pengaduan masyarakat sosial umumnya, yang berkenaan dengan ulah
sebagian pelajar yang sukar dikendalikan, nakal, sering bolos sekolah, tawuran,
merokok, mabuk-mabukan dan lebih pilu lagi sudah memasuki dunia pornografi.
Pada saat ini sudah menjadi kenyataan timbulnya kemerosotan nilai akhlak
generasi muda atau kalangan pelajar, yang pada prinsipnya adalah karena
mereka tidak mengenal agama, tidak diberikan pengertian agama yang cukup,
sehingga sikap dan tindakan serta perbuatannya menjadi liar2. Adanya sikap,
tindakan dan perbuatan yang tidak bertanggung jawab ini bila dibiarkan terus,
maka tak ayal lagi kalau generasi mendatang akan diliputi kegelapan dan
hancurnya tatanan perikehidupan umat manusia.
B. Pembahasan
1. Sebab Timbulnya Krisis Akhlak
Adapun yang menjadi akar masalah penyebab timbulnya krisis akhlak
dalam masyarakat cukup banyak, yang terpenting diantaranya adalah:
2
Drs. Moh. Saifulloh Al-Aziz, Milenium Menuju Masyarakat Madani, Terbit terang, Surabaya,
2000, hal. 303.
2
3. Pertama, krisis akhlak terjadi karena longgarnya pegangan terhadap
agama yang menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari dalam (self control)3.
Selanjutnya alat pengontrol perpindahan kepada hukum dan masyarakat. Namun
karena hukum dan masyarakat juga sudah lemah, maka hilanglah seluruh alat
kontrol. Akibatnya manusia dapat berbuat sesuka hati dalam melakukan
pelanggaran tanpa ada yang menegur.
Kedua, krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh
orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif. Bahwa penanggung
jawab pelaksanaan pendidikan di negara kita adalah keluarga, masyarakat dan
pemerintah4. Ketiga institusi pendidikan sudah terbawa oleh arus kehidupan yang
mengutamakan materi tanpa diimbangi dengan pembinaan mental spiritual.
Ketiga, krisis akhlak terjadi karena derasnya arus budaya hidup
materialistik, hedonistik dan sekularistik. Derasnya arus budaya yang demikian
didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan
material dengan memanfaatkan para remaja tanpa memperhatikan dampaknya
bagi kerusakan akhlak para generasi penerus bangsa.
Keempat, krisis akhlak terjadi karena belum adanya kemauan yang
sungguh-sungguh dari pemerintah. Kekuasaan, dana, tekhnologi, sumber daya
manusia, peluang dan sebagainya yang dimiliki pemerintah belum banyak
digunakan untuk melakukan pembinaan akhlak bangsa. Hal yang demikian
semakin diperparah dengan ulah sebagian elite politik penguasa yang semata-
mata mengejar kedudukan, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara yang
3
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., Manajemene Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan
Islam di Indonesia, Kencana, Bogor, 2003, hal. 221.
4
Drs. H.M. Arifin M.Ed., Kapita Selekta Pendidikan, Umum dan Agama, CV. Toha Putra,
Semarang, 1981, hal. 11.
3
4. tidak mendidik, sepeati adanya praktek korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal
yang demikian terjadi mengingat bangsa Indonesia masih menerapkan pola hidup
paternalistik.5
Fenomena yang kita saksikan memang benar, bahwa nilai-nilai akhlak dan
moral yang berkembang kini telah jauh dari harapan dan sangat
mengkhawatirkan. Sebagai kambing hitamnya sering kita menyalahkan dunia
pendidikan yang bertanggung-jawab atas semua yang terjadi. Rasanya memang
ada benarnya juga kalau dipikirkan secara mendalam, sebab kemerosotan nilai-
nilai itu tak terlepas dari peran dunia pendidikan yang tugas salah satunya adalah
mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mendidik nilai-nilai
moral bangsa6.
Belakangan ini, berbagai seminar digelar kalangan pendidik yang bertekad
mencari solusi untuk mengatasi krisis akhlak. Pera pemikir pendidikan
menyerukan agar kecerdasan akal diikuti dengan kecerdasan moral, pendidikan
agama. Pendidikan moral harus siap menghadapi tantangan global, pendidikan
harus memberikan kontribusi yang nyata dalam mewujudkan masyarakat yang
semakin berbudaya (masyarakat madani)7.
5
Paternalistime adalah sistem kepemimpinan yang berdasarkan hubungan antara pemimpin dengan
yang dipimpin, hubungan antara seorang ayah dengan anaknya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Balai Pustaka, Jakarta, 1997, hal. 736.
6
Undang-Undang No. 2/89 Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas merumuskan tujuannya pada
Bab II, Pasal 4, yaitu mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Maksudnya yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, disamping juga memiliki pengetahuan
dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yanng mantap dan mandiri sertarasa tanggunng
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Lihat, Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era
Otonomi Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 17.
7
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., Op. Cit, hal. 219-220.
4
5. 2. Langkah yang ditempuh untuk mengatasi krisis moral
Sejalan dengan sebab-sebab timbulnya krisis akhlak tersebut di atas, maka
cara untuk mengatasinya dapat ditempuh dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
Pertama, pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan menetapkan
pelaksanaan pendidikan agama, baik di rumah, sekolah maupun masyarakat. Hal
yang demikian diyakini, karena inti ajaran agama adalah akhlak yang mulia yang
bertumpu pada keimanan kepada Tuhan dan keadilan sosial. Pengajaran agama
hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup mendapat
perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-
golongan yang hendak mengikuti kepercayaan yang dianutnya. Madrasah-
madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya merupakan salah satu alat dan
sumber pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan beragama yang telah
berurat dalam masyarakat umumnya, maka hendaklah mendapat perhatian dan
bantuan baik material ataupun dorongan spiritual dari pemerintah8.
Kedua, dengan mengintegrasikan antara pendidikan dan pengajaran.
Hampir semua ahli pendidikan sepakat, bahwa pengajaran hanya berisikan
pengalihan pengetahuan (transfer of knowladge), keterampilan dan pengalaman
yang ditujukan untuk mencerdaskan akal dan memberikan keterampilan.9
Sedangkan pendidikan tertuju kepada upaya membantu kepribadian, sikap dan
pola hidup yang berdasarkan nilai-nilai yang luhur. Pada setiap pengajaran
sesungguhnya terdapat pendidikan dan secara logika keduanya telah terjadi
integrasi yang penting. Pendidikan yang merupakan satu cara yang mapan untuk
8
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 374
9
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Op.Cit., hal. 224
5
6. memperkenalkan pelajar (learners) melalui pembelajaran dan telah
memperlihatkan kemampuan yang meningkat untuk menerima dan
mengimplementasikan alternatif-alternatif baru untuk membimbing perkembangan
manusia10. Dengan integrasi antara pendidikan dan pengajaran diharapkan
memberikan kontribusi bagi perubahan nilai-nilai akhlak yang sesuai dengan
tujuan pendidikan dalam menyongsong hari esok yang lebih cerah.
Ketiga, bahwa pendidikan akhlak bukan hanya menjadi tanggung jawab
guru agama saja, melainkan tanggung-jawab seluruh guru bidang studi. Guru
bidang studi lainnya juga harus ikut serta dalam membina akhlak para siswa
melalui nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada seluruh bidang studi.
Melekatnya nilai-nilai ajaran agama pada setiap mata pelajaran atau bidang
studi umum lainnya yang bukan pelajaran agama mempunyai nilai yang sangat
penting dalam upaya mengembangkan nilai keagamaan pada anak didik. Melalui
mata pelajaran umum selain siswa dapat memperlajari substansi, prinsip-prinsip
dan konsep-konsep dari ilmu pengetahuan itu, diharapkan juga ada dimensi nilai
yang terkandung dalam pendidikan itu. Dalam pembelajaran siswa mempunyai
kewajiban agar mentaati peraturan tertulis, etika, adab sopan santun dan norma-
norma umum lainnya. Selain itu siwa dapat belajar untuk lebih mencintai
lingkungan, baik di sekolah, keluarga atau masyarakat.
Melalui pendidikan bidang studi lainnya, siswa juga dapat lebih memahami
betapa agung dan perkasanya Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan
alam semesta ini dengan segala isinya yang berjalan dengan tertib, sesuai
dengan hukum-hukum Allah (sunnatullah) yang juga disebut hukum alam. Siswa
10
Harold G. Shane, Arti Pendidikan Bagi Masa Depan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
hal. 39.
6
7. akan menyadari bahwa apa yang terjadi di alam semesta ini pada dasarnya
berasal dari Yang Maha Mencipta. Inilah pendidikan mata pelajaran bidang studi
umum sebagai contoh yang menjadi wahana untuk pendidikan nilai-nilai agama.
Keempat, pendidikan akhlak harus didukung oleh kerjasama yang kompak
dan usaha yang sungguh-sungguh dari orang tua (keluarga), sekolah dan
masyarakat. Orang tua di rumah harus meningkatkan perhatiannya terhadap
anak-anaknya dengan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,
keteladanan dan pembiasaan yang baik. Orang tua juga harus berupaya
menciptakan rumah tangga yang harmonis, tenang dan tenteram, sehingga anak
akan merasa tenang jiwanya dan dengan mudah dapat diarahkan kepada hal-hal
yang positif.
Tiga pusat pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat) secara bertahap
dan terpadu mengemban suatu tanggung jawab pendidikan bagi generasi
mudanya. Ketiga penanggung jawab pendidikan ini dituntut melakukan kerjasama
di antara mereka baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan saling
menopang kegiatan yang sama secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama11.
Dengan kata lain, perbuatan mendidik yang dilakukan oleh orang tua terhadap
anak juga dilakukan oleh sekolah dengan memperkuat serta dikontrol oleh
masyarakat sebagai lingkungan sosial anak.
Pendidikan keluarga adalah benteng utama tempat anak-anak dibesarkan
melalui pendidikan dan di sinilah peran utama orang tua sebagai pendidik yang
akan mendasari dan mengarahkan anak-anaknya pada pendidikan selanjutya.
Dalam Islam, rumah keluarga muslim adalah benteng utama tempat anak-anak
11
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 37
7
8. dibesarkan melalui pendidikan Islam12. Adapun yang menjadi tujuan pendidikan
dalam Islam adalah: mendirikan syariat Allah dalam segala permasalahan rumah
tangga; Mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologis; Mewujudkan
sunnah Rasulullah saw. Dengan melahirkan anak-anak saleh; Memenuhi
kebutuhan cinta kasih anak-anak; dan Menjaga fitrah anak agar tidak melakukan
penyimpangan-penyimpangan.13 Tanggung-jawab pendidikan keluarga ada di
pundak para orang tua, sehingga anak-anak terhindar dari kerugian, keburukan,
mengingat banyaknya sendi kehidupan sosial yang melenceng dari tujuan
pendidikan.
Pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diperoleh seseorang di
sekolah secara teratur, sistematis, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat yang
jelas dan ketat14. Pada dasarnya pendidikan sekolah merupakan bagian dari
pendidikan dalam keluarga, yang sekaligus juga merupakan kelanjutan dari
pendidikan keluarga. Sekolah merupakan jembatan bagi anak yang
menghubungkan kehidupan keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat kelak.
Pendidikan Masyarakat ditandai dengan adanya mosi Mangunsarkoro yang
ditujukan kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP),
yang mendesak pemerintah agar memberi perhatian lebih banyak pada
pendidikan masyarakat dan kemudian diterima, maka pada 1 Januari 1946
terbentuklah Bagian Pendidikan Masyarakat pada Kementerian Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan15. Adapun isinya menjelaskan dengan tegas: (1)
Memberantas buta huruf, (2) Menyelenggarakan kursus pengetahuan umum, dan
12
Abdurrahman An-Nawawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
Penerjemah: Shihabudin, Gema InsaniPress, 1995, hal. 139.
13
Ibid., hal 140-145
14
Hasbullah, Op.Cit., hal. 46.
15
Redja Mudyahardjo, Op. Cit, hal. 376-377.
8
9. (3) Mengembangkan perpustakaan rakyat. Dengan adanya pendidikan ini,
diharapkan pendidikan diharapkan sebagai proses pembudayaan kodrat alam
yang merupakan usaha memelihara dan memajukan serta mempertinggi dan
memperluas kemampuan-kemampuan kodrati untuk mempertahankan hidup.
Proses pembudayaan pendidikan yang bertujuan membangun kehidupan
individual dan sosial yang bercita-cita untuk membangun manusia yang merdeka
lahir dan batin. Manusia yang merdeka lahir dan batin maksudnya adalah
tertanamnya dalam diri setiap individu tiang-tiang kemerdekaan hidup, yang
memiliki kecakapan panca indera, ketajaman berpikir, kejernihan berperasaan,
kemantapan dan kuatnya kemauan serta keluhuran budi pekerti.
Kelima, pendidikan akhlak harus menggunakan seluruh kesempatan,
berbagai sarana termasuk tekhnologi modern. Kesempatan berekreasi, pameran,
kunjungan, berkemah dan kegiatan lainnya harus dilihat sebagai peluang untuk
membina akhlak. Demikian juga dengan sarana yang telah canggih pada masa
kini, seperti: siaran TV, Handphone (HP), surat kabar, majalah, internet dan
tekhnologi lainnya tidak disalahgunakan, sehingga sarana tersebut dapat
mempermudah proses pendidikan demi terwujudnya akhlak yang baik.
Diakui bahwa sistem pendidikan yang kita miliki dan dilaksanakan selama
ini masih belum mampu mengikuti dan mengendalikan kemajuan tekhnologi,
sehingga dunia pendidikaan belum dapat menghasilkan tenaga-tenaga
pembangunan yang terampil, kreatif dan aktif, yanng sesuai dengan tuntutan
mansyarakat luas. Bahaya dan masalah negatif yang ditimbulkan dengan
perkembangan ilmu dan tekhnologi, sebisa mungkin dijauhi dan dihilangkan atau
sekurangnya dapat di minimalisir. Bagaimanapun berkembangnya ilmu
9
10. pengetahuan modern menghendaki dasar-dasar pendidikan yang kokoh dan
penguasaan kemampuan yang terus menerus.
Pendapat Harold G. Shane dalam bukunya yang berjudul “Arti Pendidikan
Bagi Masa Depan”, ada beberapa karakteristik dari desain pendidikan yang akan
muncul untuk kehidupan di masa depan16, karakteristik itu adalah:
1. Tekanan perlu diberikan pada mendapatkan kembali, dalam bentuk yang
jelas, disiplin sosial yang telah menuntun orang Barat dan barangkali yang
telah menuntun sebagian besar umat manusia, sebelum timbulnya krisis
nilai sekarang ini. Krisis yang sifatnya relatifisme dan permisif ini
mengganggu keterikatan orang pada norma-norma yang ditetapkan
kebudayaan yang menuntun setiap individu agar berbuat menurut cara
tertentu. Kita harus bergerak maju menuju nilai-nilai dan tipe hidup yang
baru yang diperlukan dalam menyongsong masa depan.
2. Melalui pendidikan, serangan akan dilancarkan terhadap kubu materialisme
yang kuat, secara spesifik, terhadap kekeliruan yang telah meletakkan
kepercayaan besar pada nilai-nilai materialisme. Diharapkan melalui
pendidikan dapat mengubah nilai-nilai yang selama ini bersifat “cinta
benda” yaitu selera besar untuk memperoleh benda-benda konsumsi yang
tak terkendalikan.
3. Bahaya dan masalah penggunaan tekhnologi dalam menyongsong hidup di
masa depan. Dengan pendidikan diharapkan dapat meminimalisir bahaya
dan masalah tekhnologi, sehingga menjadikan tekhnologi itu sarana
16
Harold G. Shane, Op.Cit, hal. 103-108.
10
11. penting dalam memperbaiki kedudukan manusia dan perlunya dipikirkan
lagi agar pemanfaatan tekhnologi dapat diinjeksikan ke dalam kurikulum.
4. Kurikulum harus mulai responsif secara lebih memadai terhadap ancaman
kerusakan atau krisis nilai yang menimpa lingkungan sosialnya. Secara
paten, pendidikan akan mempunyai peranan penting saat keputusan-
keputusan sosial yang penting dicapai berkenaan dengan kebijakan
nasional dan dalam keadaan bagaimanapun juga terdapat banyak dasar
untuk memulainya di sekolah.
5. Pendidikan perlu terus mendidik pelajar supaya keluaran pendidikan yang
baru dapat membuat pelajar menghadapi potensi kekuatan media massa
dalam bentuk opini dan sikap publik.
Inilah sosok pendidikan yang berkembang kini, dan bagaimana sosok
masyarakat masa depan dengan nilai-nilainya yang dominan. Memang kita semua
mengetahui betapa sektor pendidikan selalu terbelakang dalam berbagai sektor
pembangunan lainnya, bukan karena sektor itu lebih di lihat sebagai sektor
konsumtif juga karena pendidikan adalah penjaga status quo masyarakat itu
sendiri17. Pendidikan merupakan sebagian dari kehidupan masyarakat dan juga
sebagai dinamisator masyarakat itu sendiri. Dalam aspek inilah peran pendidikan
memang sangat strategis karena menjadi tiang sanggah dari kesinambungan
masyarakat itu sendiri.
Proses perubahan tata nilai akan berjalan sesuai dengan dinamika
masyarakat dalam era tertentu. Selain itu nilai-nilai pada generasi yang
mendahului sebagian atau keseluruhan masih tetap hidup dalam generasi
17
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed., Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa
Depan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal. 80.
11
12. berikutnya. Nilai-nilai yang dominan pada setiap generasi ada yang bersifat positif
dan ada yang negatif, maka kita perlu mengidentifikasinya dan waspada sehingga
kita bisa menyaring mana yang perlu dihidari dan mana yang perlu diambil untuk
kemajuan di masa mendatang.
Salah satu tugas dari Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), yakni
menjaga, melestarikan dan membangun nilai-nilai luhur bangsa18. Dalam
perkembangannya, generasi nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia kita lihat
adanya nilai-nilai antar generasi. Pendidikan menjadikan nilai-nilai dasar akan
semakin kokoh dalam perjalanan kehidupan bangsa, seperti nasionalisme dan
patriotisme sebagai nilai-nilai generasi pertama dari perjalanan hidup bangsa.
Sudah tentu nilai-nilai luhur itu perlu ditempa, dihaluskan dan diasah terus
menerus sesuai dengan perubahan kehidupan
C. Penutup
Gejala kemerosotan nilai-nilai akhlak dan moral dikalangan masyarakat
sudah mulai luntur dan meresahkan. Sikap saling tolong-menolong, keujujuran,
keadilan dan kasih sayang tinggal slogan belaka. Bahkan krisis itu telah melanda
generasi muda sebagai penerus bangsa. Adanya sikap, tindakan dan perbuatan
yang tidak bertanggung jawab ini bila dibiarkan terus, maka tak ayal lagi kalau
generasi mendatang akan diliputi kegelapan dan hancurnya tatanan
perikehidupan umat manusia.
18
Ibid., hal. 80.
12
13. Sebab timbulnya krisis akhlak antara lain:
1. Krisis akhlak terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama yang
menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari dalam
2. Krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh orang
tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif. Bahwa penanggung
jawab pelaksanaan pendidikan di negara kita adalah keluarga, masyarakat
dan pemerintah.
3. Krisis akhlak terjadi karena derasnya arus budaya hidup materialistik,
hedonistik dan sekularistik.
4. Krisis akhlak terjadi karena belum adanya kemauan yang sungguh-
sungguh dari pemerintah. Kekuasaan, dana, tekhnologi, sumber daya
manusia, peluang dan sebagainya yang dimiliki pemerintah belum banyak
digunakan untuk melakukan pembinaan akhlak bangsa.
Kerisauan kita mengenai akhlak yang mengkhawatirkan bisa saja
diperpanjang dengan mencari siapapun yang disalahkan dan menjadi kambing
hitamnya, akan tetapi hal itu tidaklah arif dan bijaksana tanpa memusatkan
perhatian untuk mencari solusinya. Menyadari akan pentingnya akhlak, tentu kita
tidak bisa melepaskan diri dari dunia pendidikan itu sendiri. Pendidikan berusaha
mencetak kader-kader yang selain mempunyai wawasan dan ilmu pengetahuan
yang luas atau bersifat teoritis, juga harus bisa mengaktualisasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Pendidikan akhlak tidak sebatas pengetahuan tetapi lebih
berpijak pada perilaku yang dibiasakan.
Pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan menetapkan pelaksanaan
pendidikan agama, baik di rumah, sekolah maupun masyarakat. Hal yang
13
14. demikian diyakini, karena inti ajaran agama adalah akhlak yang mulia yang
bertumpu pada keimanan kepada Tuhan dan keadilan sosial. Pendidikan akhlak
merupakan konsep nilai-nilai yang terbungkus dalam tataran norma-norma, adat,
kebiasaan atau dalam bentuk seni dan berkebudayaan. Inilah arti penting
pendidikan dalam tataran mengatasi krisis akhlak yang berkembang dalam
kehidupan sehari-hari.
14
15. DAFTAR PUSTAKA
Drs. Moh. Saifulloh al-Aziz, Milenium Menuju Masyarakat Madani, Terbit terang,
Surabaya, 2000.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., Manajemenen Pendidikan: Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana, Bogor, 2003.
Drs. H.M. Arifin M.Ed., Kapita Selekta Pendidikan, Umum dan Agama, CV.
Toha Putra, Semarang.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT.
Balai Pustaka, Jakarta, 1997.
Aminuddin Rasyad, dalam Ahmad Tafsir, Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan
Islam, Bandung:Fak.Tarbiyah MIN Sunan Gunung Jati,1995
Warul Walidin AK, Strategi Peniheniukan Nilai, Upaya Pengembangan
Dimensi Afektif, Jurnal Didaktika, Vol 1, No.2, 2 September 2000
Hasan Langgulung, Asas-Avas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-
Husna, 1992
H. Un a K a rt a wisa st ra d kk, d a lam No e n g Mu h a d jir, Te k nol ogi
P e ndi di ka n, Yogyakarta,IAIN Sunan Kalijaga
H.M. Arifin , Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1994.
Nasir Budiman, Pendidikan Moral Qurani, Disertasi, Yo g yakarta : MIN
Sunan Kalijaga, 1996
Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus,1996.
M. Nasir Budiman, Pendidikan Dalam Perspektif Al Quran, Jakarta:
Madam Press,2001
Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-
Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Harold G. Shane, Arti Pendidikan Bagi Masa Depan, PT. Raja Grafindo
15
16. Persada, Jakarta, 2002.
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1997.
Abdurrahman An-Nawawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah
danMasyarakat, Penerjemah: Shihabudin, Gema Insani Press, 1995.
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed., Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian
Pendidikan Masa Depan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001.
------------------------------
16