Dokumen tersebut memberikan panduan praktis tentang tata cara wudhu sesuai sunnah Nabi Muhammad SAW. Terdapat penjelasan mengenai syarat, wajib, dan cara melakukan wudhu secara rinci seperti membasuh wajah, tangan, kepala, dan kaki sebanyak tiga kali. Dokumen ini bertujuan untuk memastikan umat Islam melaksanakan wudhu dengan benar sesuai ajaran agama."
1. Panduan Praktis Tata Cara Wudhu
Kategori: Fiqh dan Muamalah
43 Komentar // 12 January 2010
Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa Ta‟ala, hidup kita, mati kita hanya
untuk menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari
hambanya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Muhammad
bin Abdillah Shollallahu „alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau
radhiyallahu „anhum.
Kedudukan wudhu dalam sholat
Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia telah
mengetahuinya bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita
lakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu telah benar sesuai dengan
apa yang diajarkan Nabi kita Muhammad shallallahu „alaihi was sallam? Karena suatu hal
yang telah menjadi konsekwensi dari dua kalimat syahadat bahwa ibadah harus ikhlas
mengharapkan ridho Allah dan sesuai sunnah Nabi shallallahu „alaihi was sallam. Demikian
juga telah masyhur bagi kita bahwa wudhu merupakan syarat sah sholat[1], yang mana jika
syarat tidak terpenuhi maka tidak akan teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari
syarat tersebut. Sebagaimana sabda Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu „alaihi was
sallam,
« »
“Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu”.[2]
Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa Ta‟ala perintahkan kepada kita dalam
KitabNya,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Maka marilah duduk bersama kami barang sejenak untuk mempelajari shifat/tata cara wudhu
Nabi shallallahu „alaihi was sallam.
Pengertian wudhu
Secara bahasa wudhu berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, wudhu untuk
sholat dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan anggota wudhu dan
memperindahnya[3]. Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syari‟at, wudhu adalah
peribadatan kepada Allah „azza wa jalla dengan mencuci empat anggota wudhu[4] dengan
2. tata cara tertentu. Jika pengertian ini telah dipahami maka kita akan mulai pembahasan
tentang syarat, hal-hal wajib dan sunnah dalam wudhu secara ringkas.
Tata Cara Wudhu secara Global
Adapun tata cara wudhu secara ringkas berdasarkan hadits Nabi shallallahu „alaihi was
sallam dari Humroon budak sahabat Utsman bin Affan rodhiyallahu „anhu[5],
Dari Humroon -bekas budak Utsman bin Affan-, suatu ketika „Utsman memintanya untuk
membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian ia tuangkan air dari wadah tersebut
ke kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia
memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu kemudian berkumur-kumur, lalu
beristinsyaq dan beristintsar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali,
(kemudian) membasuh kedua tangannya sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu
kepalanya (sekali sajapent.) kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali, kemudian
beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu „alaihi was sallam berwudhu dengan
wudhu yang semisal ini dan beliau shallallahu „alaihi was sallam mengatakan,
“Barangsiapa yang berwudhu dengan wudhu semisal ini kemudian sholat 2 roka‟at (dengan
khusyuked.)dan ia tidak berbicara di antara wudhu dan sholatnya[6] maka Allah akan ampuni
dosa-dosanya yang telah lalu”[7].
Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata cara
wudhu Nabi shallallahu „alaihi was sallam secara ringkas sebagai berikut[8],
1. Berniat wudhu (dalam hati) untuk menghilangkan hadats.
2. Mengucapkan basmalah (bacaan bismillah).
3. Membasuh dua telapak tangan sebanyak 3 kali.
4. Mengambil air dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan
hidung untuk berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung).
Kemudian beristintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak 3
kali.
5. Membasuh seluruh wajah dan menyela-nyelai jenggot sebanyak 3 kali.
6. Membasuh tangan kanan hingga siku bersamaan dengan menyela-nyelai jemari
sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan yang kiri.
7. Menyapu seluruh kepala dengan cara mengusap dari depan ditarik ke belakang, lalu
ditarik lagi ke depan, dilakukan sebanyak 1 kali, dilanjutkan menyapu bagian luar dan
dalam telinga sebanyak 1 kali.
8. Membasuh kaki kanan hingga mata kaki bersamaan dengan menyela-nyelai jemari
sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan kaki kiri.
Syarat-Syarat Wudhu[9]
3. Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan syarat
wudhu ada tujuh[10], yaitu
Islam,
Berakal,
Tamyiz[11],
Berniat[12], (letak niat ini ketika hendak akan melakukan ibadah tersebut[13],pent.)
Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air yang diperoleh dengan cara
yang haram,
Telah beristinja‟[14] & istijmar[15] lebih dulu (jika sebelumnya memiliki keharusan
untuk istinja‟ dan istijmar dari hadats),
Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit.
Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami menganggap hal ini telah
ma‟ruf dikalangan kaum muslimin.
Wajib Wudhu
Membaca bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu
„alaihi was sallam,
« »
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang
tidak menyebut nama Allah Ta’ala (bismillah) ketika hendak berwudhu”.[16]
Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalah berkumur-kumur,
istinsyaq dan istintsar[17]. Para „ulama mengatakan batasan bagian wajah yang
dibasuh adalah mulai dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai
bagian bawah jenggot dan batas kiri kanan adalah telinga[*][18].
Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq adalah sebagaimana yang dikatakan Al Hafidz
Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah, “Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya
sampai ke ujungnya, sedangkan istintsar adalah kebalikannya”[19]. Dalil tentang hal ini
sebagaimana yang firman Allah „azza wa jalla,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
wajah”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh[20] perintah dalam perkara ibadah memberikan
konsekwensi wajib. Maka membasuh wajah dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil
yang menunjukkan wajibnya berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di atas yang
memerintahkan kita untuk membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian
dari wajah. Demikian juga hadits Nabi shallallahu „alaihi was sallam,
« »
4. “Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka beristinsyaqlah di hidungnya
dengan air kemudian beristintsarlah”.[21]
Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadits Nabi shallallahu „alaihi was sallam,
« »
“Jika engkau hendak wudhu, maka berkumur-kumurlah”[22].
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah mengatakan, “Cara berkumur-
kumur, istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air
digunakan untuk berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyaq dan istintsar”.[23]
Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits Nabi shallallahu „alaihi
was sallam dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu „anhu,
»
“Merupakan kebiasaan (Nabi shallallahu „alaihi was sallampent. ) jika beliau akan berwudhu,
beliau mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnyapent) sampai
ketenggorokannya kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”. Kemudian beliau
mengatakan, “Demikianlah cara berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku”[24].
Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu „alaihi was
sallam di atas yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah[25].
Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah „azza wa jalla,
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Demikian juga hadits Nabi shallallahu „alaihi was sallam,
« »
“Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali,
kemudian membasuh tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali”[26].
Menyapu[27] kepala dengan air, kedua telinga termasuk dalam bagian
kepala[28]. Dalilnya adalah firman Allah „azza wa jalla,
“Dan sapulah kepalamu”. (QS Al Maidah [5] : 6).
5. Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini
diklaim ijma‟ oleh An Nawawi Asy Syafi‟i rohimahullah[29]. Demikian juga sabda Nabi
shallallahu „alaihi was sallam,
«
»
“Kemudian beliau membasuh mengusap kepala dengan tangannya,(dengan carapent.)
menyapunya ke depan dan ke belakang. Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya
ditarik ke belakang sampai ke tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan
kepalanya”[30].
Hadits ini menunjukkan bagaimana cara mengusap kepala[31] yang Allah perintahkan
dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang bagian
kepala yang dihusap dalam ayat di atas adalah seluruh kepala/rambut[32] dan inilah
pendapat Al Imam Malik rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Imam
Al Bukhori rohimahullah sebagaimana dalam kitab shahihnya. Jadi mengusap kepala
bukanlah hanya sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang.
Sedangkan dalil bahwa menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala adalah sabda
Nabi ‟alaihish sholatu was salam,
« »
“Kedua telinga merupakan bagian dari kepala”.[33]
Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu „alaihi was
sallam,
« »
“kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi
luarnya dengan kedua jempolnya”.[34]
Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua telinga dengan air, untuk perempuan
sama seperti untuk laki-laki sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi‟i
rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi‟i rohimahullah sendiri
dan dinukil oleh Al Bukhori rohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa‟id bin Musayyib
rohimahullah [35].
Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta‟ala,
“(basuh) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”.
(QS Al Maidah [5] : 6).
6. Demikian juga hadits Nabi shallallahu „alaihi was sallam,
« »
“Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki”[36].
Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah sebutkan dengan lafadz/bentuk
perintah, dan hukum asal perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara
membasuhnya adalah sebagaimana yang disabdakan beliau alaihish sholatu was salam,
« »
“Jika beliau shallallahu „alaihi was sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua
kakinya dengan dengan jari kelingkingnya”[37].
Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah, namun beliau qiyaskan dengan cara
istinja‟, sebagaimana yang dinukilkan oleh Al „Amir Ash Shon‟ani rohimahullah[38].
Muwalah
Muwalah[39] adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian
membasuh anggota wudhu lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh
pent.
) mengering dalam kondisi/waktu normal[40].
Dalil wajibnya hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala,
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Sisi pendalilannya sebagai berikut, jawab syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam ayat
inipent.) merupakan suatu yang berurutan dan tidak boleh diakhirkan[41]. Adapun dalil dari
Sunnah adalah Nabi shallallahu „alaihi was sallam berwudhu dengan tidak memisahkan
membasuh anggota wudhu (yang satu dengan yang lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu
„alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu „anhu
».
“Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum
dibasuh sebesar kuku pada kakinya. Ketika Nabi shallallahu „alaihi was sallam melihatnya
maka Nabi shallallahu „alaihi was sallam mengatakan, “Kembalilah (berwudhupent.)
perbaguslah wudhumu”.[42]
Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi‟i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al
Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dar beliau[43].
7. Sunnah Wudhu
Bersiwak[44], hal sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu „alaihi was sallam,
« »
“Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk
bersiwak pada setiap hendak berwudhu”[45].
Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih
ditekankan ketika bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil
yang menunjukkan bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah
hadits Nabi shallallahu „alaihi was sallam,
–
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu
ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku
tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya
sebanyak tiga kali……kemudian beliau berkata, “Aku dahulu melihat Nabi shallallahu
„alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti yang aku peragakan ini”[46].
Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab Utsman rodhiyallahu „anhu
melakukannya karena melihat Nabi shallallahu „alaihi was sallam melakukannya. Semata-
mata perbuatan Nabi shallallahu „alaihi was sallam yang dicontoh para sahabat menunjukkan
hukum anjuran atau sunnah[47]. Kemudian dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci
tangan ketika bangun dari tidur adalah sabda Nabi shallallahu „alaihi was sallam,
«
»
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya
sebelum ia memasukkan tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya
bermalam”.
Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau
umum? Maka jawabannya adalah sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu „alaihi
was sallam di atas yaitu semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya
berada ketika ia tidur. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi‟i
rohimahullah, demikian juga mayoritas „ulama[48].
Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan berkumur-kumur ketika tidak
sedang berpuasa[49]. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu „alaihi was sallam,
« »
8. “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika kalian sedang berpuasa”[50].
Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan. Dalilnya adalah sabda
Nabi shollallahu „alaihi was sallam,
« »
“Adalah kebiasaan Nabi shollallahu „alaihi was sallam sangat menyukai mendahulukan
kanan dalam thoharoh (berwudhupent.)”[51].
Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali. Dalil bahwa Nabi
shallallahu „alaihi was sallam membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadits
yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Zaid,
“Sesungguhnya Nabi shallallahu „alaihi was sallam berwudhu (membasuh anggota
wudhunya sebanyakpent.) dua kali-dua kali.[52]”
Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah hadits yang
diriwayatkan Humroon dari tentang wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu „anhu ketika
melihat cara wudhu Nabi shollallahu „alaihi was sallam,
…
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu
ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku
tuangkan air dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak
3 kali…kemudian dia membasuh wajahnya sebanyak 3 kali….[53]
Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan
salah satu riwayat hadits Abdullah bin Zaid rodhiyallahu „anhu di atas yang juga dalam
shohihain,
“Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke
arah depan dan belakang sebanyak 1 kali”[54].
Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga kali[55], namun hal ini
dianjurkan dengan catatan tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat
hadits yang diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu
„anhu ketika beliau melihat cara wudhu Nabi shollallahu „alaihi was sallam,
9. Beliau (Utsman bin Affan pent.)menyapu kepalanya tiga kali kemudian membasuh kakinya tiga
kali, kemudian beliau berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu „alaihi was sallam
berwudhu dengan wudhu seperti ini”[56].
Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh anggota wudhu sesuai
tempatnya (urutan yang ada dalam ayat wudhupent.)[57]. Hal ini kami cantumkan di
sini sebagai sebuah sunnah bukan wajib dalam wudhu dengan alasan hadits Al
Miqdam bin Ma‟dikarib Al Kindiy rodhiyallahu „anhu,
“Rosulullah shallallahu „alaihi was sallam melakukan wudhu dengan membasuh tangannya
tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya
tiga kali, kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga
bagian luar maupun dalam”[58].
Berdo’a ketika telah selesai berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu
„alaihi was sallam,
« –
».
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian
membaca, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah,
dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu
surga yang jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau”[59].
At Tirmidzi menambahkan lafafdz,
“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk
orang-orang yang selalu mensucikan diri”[60].
Sholat dua raka‟at setelah wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu „alaihi
was sallam,
«
»
“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian sholat 2 raka‟at (dengan
khusyuked.) setelahnya dan ia tidak berbicara di antara keduanya[61], maka akan diampuni
seluruh dosanya yang telah lalu”[62].
10. Demikianlah akhir tulisan ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan
„amal dan sebagai tambahan ilmu bagi pembaca sekalian serta berbuah „amal bagi kita
semua. Allahu a‟lam bish showab
Ketika rintik-rintik hujan membasahi ranah pogung, 1 Dzul Hijjah 1430 H
Penulis: Aditya Budiman
Muroja‟ah: M. A. Tuasikal