SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  39
Télécharger pour lire hors ligne
Masalah Ekonomi Indonesia*
Oey Hay Djoen
Dengan disahkannya Undang-Undang Pembatalan Perjanjian K.M.B.
terbuka lebarlah jalan raya menuju pembangunan Indonesia; jalan
raya yang kecuali mendekatkan kemakmuran dan kesejahteraan
bagi Rakyat Indonesia, juga menghadapkan kita pada bermacambahaya, kesulitan dan kemungkinan serta tak terpenuhinya
harapan-harapan karena penghalang-penghalang yang melintangrintangi perjalanan pada hari depan yang lebih baik itu.
Pembatalan perjanjian K.M.B. itu, –sekalipun di segi yuridis
(hukum) mempunyai arti vital,– tak akan mempunyai kekuatan
apapun apabila pembatalan itu hanya bersifat yuridis. Pembatalan
secara yuridis itu harus disertai tindakan-tindakan yang nyata di
lapangan ekonomi, karena perjanjian K.M.B. pertama-tama adalah
masalah ekonomi.
Masalah ekonomi Indonesia adalah masalah/soal pertentangan
antara kekuasaan ekonomi kolonial dan ekonomi nasional; masalah
pembatalan K.M.B. terutama adalah masalah/soal likuidasi
kekuasaan ekonomi kolonial itu dan pembangunan ekonomi
nasional.
Dari sebab itu, membicarakan masalah ekonomi Indonesia tidak
bisa terlepas dari pada membicarakan watak-watak dan ciri-ciri
kekuasaan ekonomi kolonial atas Indonesia; membicarakan arti
sebenarnya dari-pada perjanjian K.M.B. dan dari analisa ini merintis
jalan ke arah pembangunan ekonomi nasional Indonesia.
++++
Ciri-ciri pokok daripada politik dan kekuasaan ekonomi kolonial
adalah dijadikannya daerah jajahan sebagai:
*

Ceramah 27 Mei 1956, Lembaga Pengetahuan Progresif – Semarang.
a. daerah sumber bahan mentah,
b. daerah penanaman modal,
c. daerah pemasaran bagi barang jadi,
d. daerah tenaga buruh yang murah.
Dengan menganalisa keadaan pada sebelum perang dunia ke II,
dapatlah kita temukan dengan segera ciri-ciri pokok daripada
politik dan kekuasaan ekonomi kolonial itu di Indonesia.
I. Indonesia sebagai daerah sumber bahan mentah
Indonesia yang kaya raya akan hasil-hasil bumi, yang mempunyai
sumber-sumber kekayaan alam yang seolah-olah tiada batasnya
ini merupakan makanan yang empuk bagi kolonialisme Belanda.
Pengedukan yang dilakukan oleh kolonialisme atas kekayaan alam
Indonesia telah membawa dan menghasilkan kejayaan bagi
kuasakuasanya di negeri Belanda.
Seluruh politik ekonomi dan kekuasaan serta susunan ekonomi di
Indonesia diselaraskan dengan kepentingan eksploitasi Indonesia
dan kekayaan alamnya. Segala usaha di lapang pembangunan: jalan
raya, pelabuhan dan lain-lain komunikasi, pendidikan, perumahan
dan sebagainya ditujukan pada kepentingan eksploitasi kekayaan
alam Indonesia itu.
Untuk memperoleh gambaran yang agak jelas daripada pengedukan
kekayaan alam Indonesia, –dijadikannya Indonesia sebagai sumber
bahan mentah,– ini baiklah dan memang paling tepat bila kita
biarkan angka-angka berbicara.
Dengan menggunakan angka-angka yang terdapat dari tahun 1938
maka terjumpailah, bahwa pada tahun itu berat bahan-bahan
mentah yang diangkut ke luar negeri–diekspor–dari Indonesia
adalah sebesar: 10.994,43 ribu ton seharga (nilai ekspor) 687,
juta gulden (rupiah sebelum perang). Kalau kita teliti lagi dari
jumlah berat barang di atas ini, maka tahulah kita, bahwa jumlah
itu praktis merupakan jumlah mutlak daripada produksi Indonesia
pada tahun 1938 itu pula. Sebagai misal baiklah disebutkan

| 2 |
Masalah Ekonomi Indonesia
beberapa angka sebagai berikut:
Jenisnya
gula (tanaman
seluas 84.829 ha.)
karet perkebunan
teh
kopi perkebunan
kopi rakyat
kina (kulit kering)
minyak sawit
biji sawit
timah
minyak tanah
bauksit
batubara
serat keras

Produksi

ekspor

1.400.340 ton
175.066 ton
80.538 ton
45.572 ton 68.690 ton –
10.955 ton

1.175.300 ton
156.758 ton
71.921 ton
68.962 ton

6.957 ton (kulit kering)
182 ton (kenini)
226.668 ton
220.702 ton
48.036 ton
47.439 ton
29.728 long ton 13.699 long ton (biji timah)
7.207 long ton (logam timah)
7.398.000 ton 6.067.000 ton
245.000 ton
274.000 ton
1.456.000 ton 368.000 ton
+ 95.000 ton 90.079 ton

Atau kalau kita perinci macam-macam terpenting daripada hasil
bumi yang diekspor itu dalam persentase (%)-nja dari nilai ekspor–
yaitu seharga 687 juta gulden–maka tampaklah angka-angka seperti
berikut ini: (1938)
karet
minyak
gula
minyak sawit
timah

22,6%
23,8%
6,5%
2,8%
5,0%

tembakau
kopra
teh
lain-lain

3,9%
5,7%
8,5%
24,8%

Seperti telah disebutkan di atas: membiarkan angka-angka
berbicara agaknya sudah cukup membuktikan betapa pengedukan
yang dilakukan oleh kekuasaan kolonial atas kekayaan alam Indonesia guna kepentingan kolonialisme itu.
II. Indonesia sebagai daerah penanaman modal
Sudah tentu juga dalam hal ini politik ekonomi kolonial
menyelaraskan segala sesuatunya dengan kepentingan eksploitasi
kolonialnya.
Menurut catatan W. de Cook Buning, jumlah modal milik Belanda

| 3 |
yang ditanam di Indonesia pada tahun 1923 adalah sebesar ..... f.
1,9 milyar. Sedangkan menurut Prof. G. Gongrijp, modal Belanda
pada dekat sebelum perang dunia ke II adalah sebesar ..... f. 4,0
milyar, atau dalam perinciannya sebagai berikut:
perkebunan-perkebunan gula
perkebunan-perkebunan karet
perkebunan-perkebunan lain-lain
bank-bank pertanian besar
perusahaan timah
perusahaan minyak tanah
Pelayaran
jalan-jalan kereta api
perusahaan-perusahaan negara
Industri
lain-lain
jumlah hutang-hutang hamintehaminte [kota-praja] kepada
orang-orang Belanda
modal yang ditanam secara
tidak langsung

f. 400.000.000,“ 450.000.000,“ 350.000.000,“ 274.000.000,“ 10.000.000,“ 500.000.000,“ 100.000.000,“ 150.000.000,“ 100.000.000,“ 50.000.000,“ 250.000.000,- f. 2.634.000.000,-

f. 1.200.000.000,“ 200.000.000,- f.1.400.000.000,f. 4.034.000.000,-

Angka-angka di atas ini ternyata diperkuat juga oleh Prof. Dr.
J.D.N. Versluys dalam bukunya (tulisannya) Het Unistatuut de
financieleen en economische overeenkomst yang kini dijadikan
dokumen oleh Seksi Perekonomian D.P Republik Indonesia.
.R.
Di dalam memperhatikan angka-angka di atas ini adalah menarik
sekali untuk memperhatikan dan secara wajar haruslah disebutkan,
bahwa sifat modal Belanda yang ditanam di Indonesia itu sifatnya
amat monopoli. Modal Belanda itu menguasai kehidupan ekonomi
Indonesia sebagai suatu octopus raksasa yang mempunyai
tangannya mencengkeram kehidupan ekonomi.
Baikah disebutkan, betapa modal Belanda itu berpusat pada
beberapa golongan monopoli sebagai berikut:
Keluarga van Eeghen:
menguasai: Nederlands-Indishe Handelsbank
Incassobank
Nederlandse Handel Maatschappij

| 4 |
Masalah Ekonomi Indonesia
15 onderneming (cultuur-ondernemingen)
Stoomvaartmaatschappij Nederland
dan juga dalam perusahaan minyak tanah.
Keluarga Mees-Hintzen:
menguasai: Rotterdamsche Lloyd
K.P.M. dll.
Menarik sekali adalah:
10 anggota keluarga Mees-Hintzen ini
mempunyai 55 fungsi dalam 52 N.V.,
yaitu 20 bank besar, 5 perusahaan
asuransi dan 5 onderneming dagang.

Kemudian baiklah juga disebutkan kekuasaan modal monopoli
Belanda yang biasa disebut BIG FIVE di Indonesia sebagai berikut:
BORSUMIJ

a. mempunyai cabang di seluruh Indonesia
b. usaha: menjalankan dagang impor-ekspor dan

dagang
komisi, menjalankan perusahaan kasir, bankir,
perindustrian
dan perkebunan mengadakan eksploitasi atas
barang-barang yang tidak bergerak,
Mengeksploitasi konsesi-konsesi perkebunan,
tambang-tambang dll.
c. mengeksploitasi pabrik pers,
pabrik HIMA di Surabaya,
pabrik kulit “Djakarta” di Pasuruan,
Mempunyai andil 50% dalam “Oranje Brouwerij”
di Jakarta, dan Pabrik tekstil “Nebritex” di Plered.
Mempunyai andil besar dalam N.V. Maatschappij
tot Exploitatie van Book-, Blik- en Offset Drukkerij
“FUHRY” di Surabaya, N.V. Lak-Verf Fabriek
“Djakarta” di Jakarta dan dalam “Distributie Mij
voor Phillipe artikelen” di Indonesia,
Selanjutnya BORSUMIJ ini menguasai saham-saham
seluruhnya daripada perusahaan sabut kelapa
(vezelonderneming) “Kota Blater” di Ambulu.

| 5 |
N.V. GEO WEHRY: tersusun sebagai berikut:
N.V. Adm. Mij GEO WEHRY yang memiliki
perusahaan-perusahaan lokal di bawah pimpinan
konsern tersebut.
N.V. GEO WEHRY dilapangan impor dan merupakan
direksi dan menjadi serta bertindak sebagai
gedelegeerde dari 15 perkebunan.
N.V. Internationaal dsb.
Untuk lengkapnya perlulah disebutkan juga modal-modal raksasa
monopoli BIG FIVE lain seperti N.V. INTERNATIO, N.V. LINDETEVES
dan JACOBSON v.d. BERG N.V. yang dengan tak perlu disebut lagi
dapatlah dikenal daerah dan langan operasinya di berbagai
lapangan ekonomi vital di Indonesia.
III. Indonesia sebagai daerah pasaran bagi barang jadi
Dilihat secara strukturil dan dengan angka-angka pembukti, yang
menunjukkan kedudukan yang diberikan kepada Indonesia sebagai
tanah jajahan oleh kolonialisme Belanda: sebagai daerah sumber
bahan mentah dan lebih-lebih lagi dari lapangan-lapangan
penanaman modal sebetulnya sudah cukup terlihat politik ekonomi
kolonial di Indonesia.
Dengan memperhatikan lapangan-lapangan penanaman modal, yaitu
perkebunan-perkebunan, pertambangan, pelayaran, bank dsb. itu
jelaslah bahwa penanaman modal itu bersifat pelayanan
kepentingan kolonialisme dalam pengedukan kekayaan bumi
Indonesia.
Di lain pihak kenyataan ini secara keras terbukti dari
keterbelakangan Indonesia di dalam industri-industri dalam negeri.
Industri dalam negeri pada waktu sebelum perang, dan yang
jumlahnya atau yang menurut kedudukannya tidak berarti itu tidak
lain dan praktis adalah merupakan industri-industri pelayan
kepentingan modal Belanda sendiri.
Industri–kalau bisa dinamakan demikian dalam arti sebenarnya–
yang ada di Indonesia pada sebelum perang dunia ke II pada

| 6 |
Masalah Ekonomi Indonesia
garis besarnya ialah:
a. Industri-industri perkebunan dan pertanian berat yang
menghasilkan bahan-bahan ekspor,
b. Industri-industri pembantu atau bengkel-bengkel yang bekerja
untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang kecil di berbagai
pabrik besar dalam sub a di atas ini,
c. Industri barang-barang kebutuhan penduduk bangsa asing dan
golongan atasan lainnya terutama seperti pabrik-pabrik susu,
mentega, es, roti, limun, bir, sabun-wangi, sigaret, radio,
pirlampu, sepatu, ban-mobil, dsb. semacam itu.
Dengan lain perkataan, industri dalam negeri yang melayani
kebutuhan rakyat banyak praktis tidak ada atau tidak berarti sama
sekali sehingga bergantunglah pada pemasukkan barang-barang
kebutuhan itu dari luar negeri, yaitu barang jadi hasil pengolahan
kekayaan alam Indonesia sendiri yang telah diangkut ke luar negeri
dan dikerjakan oleh pabrik-pabrik di sana, ataupun yang memang
merupakan barang-barang jadi sisa kelebihan produksi
(overproduksi) yang mencari dan dibanjirkan pada pasaran-pasaran
daerah jajahan.
Sebagai bukti dapatlah hal ini dilihat dari angka-angka impor
pada sebelum perang dunia ke II (tahun 1938) yang menunjukkan
seperti berikut:
impor 1938:
barang-barang
konsumsi
barang (bahan)
baku/penolong
barang-barang
modal
jumlah:

banyaknya

harga

779,2 ribu ton

f. 206,7 juta

1056,9 ribu ton

f. 154,4 juta

166,7 ribu ton
f. 117,9 juta
2.002.8 ribu ton f.478,5 juta

Atau kalau dihitung menurut persentasenya dari seluruh nilai
impornya berarti:
untuk barang konsumsi

43,3%

| 7 |
untuk bahan baku/penolong
untuk barang modal

32,2%
24,5%

IV. Indonesia sebagai daerah tenaga buruh yang murah
Dengan tidak usah terlalu jauh mencari-cari bahan kenyataan
eksploitasi atas rakyat Indonesia sebagai tenaga buruh yang murah
adalah cukup dengan menunjukkan pada sejarah koeli-kontrak,
pemerasan yang tiada terhingga kejamnya seperti dengan dakwaan
yang sekeras-kerasnya merebut tempat dalam dunia kesusasteraan:
buku Multatuli Max Havelaar atau pada ejekan kurang ajar yang
berbunyi: “Orang Indonesia bisa hidup dengan segobang sehari
......”
Juga sejarah telah membuktikan, bahwa kaum buruh Indonesia–
baik di perkebunan, pertanian maupun perusahaan–sadar akan
pemerasan dan penindasan penjajahan itu. Adalah sebagai
perlawanan yang sadar apabila pada tahun 1926 terjadi
pemberontakan yang revolusioner dari rakyat Indonesia melawan
penjajahan itu. Dari sebab itu pula adalah khianat jika kejadian
bersejarah pada tahun 1926 itu disebut dalam ejekan–seperti juga
kaum kolonialis mengartikan kejadian bersejarah itu–sebagai
“huru-hara.”
+ + + +

Adalah tidak lengkap, apabila dalam menganalisa susunan dan
kekuasaan politik ekonomi kolonial itu kita hanya tinggal pada
penyebutan ciri-ciri pokoknya saja. Untuk melengkapi analisa ini
mau tidak mau dan secara tidak dapat dipisah-pisahkan harus
pula diterangkan betapa eksploitasi kolonial itu menguntungkan
pihak penjajah. Menyebutkan pengedukan kekayaan berupa
keuntungan-keuntungan bagi penjajah akan menenangkan pula
secara lebih jelas keuletan dan perlawanan yang sengit yang
dilakukan oleh penjajah terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat
Indonesia.

| 8 |
Masalah Ekonomi Indonesia
Sebagai hasil daripada pengurasan kekayaan alam Indonesia,
penanaman modal dan eksploitasinya atas rakyat Indonesia,
keuntungan-keuntungan yang luar biasa besarnya diangkut oleh
penjajah ke negerinya.
Menurut angka-angka yang dikumpulkan dan diumumkan oleh
Tinbergen dan Derksen, maka keuntungan di tahun 1938 yang
diperoleh penjajah Belanda merupakan tidak kurang daripada
kurang lebih 15% daripada pendapatan nasional negeri Belanda
pada tahun itu pula, yaitu yang sebesar tidak kurang dari f.
5.100.000.000,- sehingga berartilah bahwa keuntungan penjajah
pada tahun 1938 itu adalah kurang lebih f. 700.000.000,- setahun.
Keuntungan sebesar 700 juta gulden itu dapat dibagi dalam dua
kategori:
a. Pendapat-primer yang diperoleh dari ondernemingonderneming seperti gula, karet, kelapa-sawit, timah, minyaktanah, perusahaan-perusahaan dagang dsb. yang meliputi
jumlah f. 400.000.000,- kurang lebih.
b. Pendapat-sekunder yang diperoleh oleh orang-orang Belanda
yang berada di negeri Belanda dan orang-orang Belanda yang
bekerja di Indonesia yang berada dalam hubungan yang timbul
karena pekerjaan-pekerjaan dalam penanaman modal di
Indonesia, yang meliputi jumlah .... f. 300.000.000,- kurang
lebih.
Suatu contoh yang amat menyolok telah diberikan oleh Henriete
Roland Holst dalam bukunya Kapitaal en Arbeid in Nederland
yang membuktikan, bahwa pada tahun 1925 perusahaanperusahaan/pabrik gula sebanyak 27 buah dengan modal f.
85.000.000,- yang bekerja di Indonesia telah mencapai keuntungan
sebanyak tidak kurang dari f. 34.500.000,-!
Lain contoh lagi menyatakan, bahwa menurut angka-angka resmi,
selama 20 tahun sebelum perang dunia ke II Belanda mengalami
kekurangan dalam neraca perdagangannya dengan Amerika Serikat.
Menurut angka-angka itu dari tahun 1921 sampai dengan tahun
1940 negeri Belanda telah mengumpulkan kekurangan pada neraca

| 9 |
perdagangan dengan A.S. itu sejumlah seluruhnya 900 juta dollar.
Sebaliknya, dari tahun 1921 sampai dengan 1940 Indonesia telah
mengumpulkan kelebihan dollar pada neraca perdagangannya
dengan Amerika Serikat sejumlah seluruhnya 955 juta dollar. Dari
sini dapatlah dilihat dengan sejelas-jelasnya, bahwa kekurangan
dollar yang selama 20 tahun diderita oleh negeri Belanda itu
telah diperkecil, bahkan telah ditutup dengan pendapatan
(kelebihan) dari tanah jajahannya!
Untuk melihat contoh yang agak lebih menyolok lagi dapatlah
disebutkan pula di sini, bahwa rakyat Indonesia yang merupakan
98% dari penduduk kepulauan Indonesia pada tahun 1936 hanya
menerima 20% kurang lebih dari pendapatan nasional Indonesia
sedangkan penduduk Eropa di Indonesia yang merupakan hanya
0,5% dari penduduk kepulauan Indonesia menerima tidak kurang
dari 60% dari pendapatan nasional Indonesia itu!!
Keadaan-keadaan seperti diuraikan di atas ini tidak bisa lagi
ditolak sebagai bukti-bukti yang senyata-nyatanya daripada
pemerasan, penindasan dan kemelaratan yang dialami oleh Rakyat
Indonesia di bawah cengkeraman kolonialisme Belanda itu.
++++
Kekuasaan kolonialisme seperti diuraikan di atas itulah–yang
merupakan pertentangan pokok antara kolonialisme dan aspirasi
nasional Rakyat Indonesia–menjadikan perjuangan Rakyat Indonesia
yang paling pokok ialah melenyapkan kekuasaan yang
mencengkeram kehidupan Rakyat Indonesia.
Perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan ekonomi kolonial atas
kehidupan Rakyat ini tercermin dengan tegas dalam U.U.D.
proklamasi 1945, pasal 33 yang–secara langsung berhadap-hadapan
dengan kenyataan kekuasaan monopoli kolonial–menetapkan,
bahwa perekonomian nasional akan:
1) diorganisir sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan,
2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan

| 10 |
Masalah Ekonomi Indonesia
menguasai hayat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,
3) bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Dengan lain perkataan, perjuangan kemerdekaan dari Rakyat
Indonesia bertujuan melikuidasi kekuasaan kolonialisme atas
ekonomi dan kehidupan Rakyat banyak dan menciptakan suatu
ekonomi nasional yang terpimpin, yang sekalipun memungkinkan
adanya dan hidupnya modal perseorangan atau kapitalisme, namun
dalam batas-batas agar tidaklah ia berkembang menjadi monopoli.
Jadi suatu ekonomi nasional yang bertujuan mencapai dan
meningkatkan derajat hidup dan kemakmuran rakyat secara
maksimal.
Tetapi tujuan perjuangan Rakyat Indonesia ini belum tercapai
disebabkan kekalahan revolusi Agustus 1945. Kekalahan berturutturut dan secara pasti telah menjadi kenyataan dengan dibuatnya
Perjanjian K.M.B.
Perjanjian K.M.B. tidak lain ialah restorasi kekuasaan kolonialisme
sekalipun dalam bentuk-bentuk yang agak berlainan daripada
sebelum perang.
Betapa K.M.B. berarti pengembalian kekuasaan kolonialisme bisa
secara segera ditemukan pada kenyataan, bahwa di dalam
perundingan K.M.B. tidaklah dapat dimasukkan pasal-pasal yang
jiwanya termaksud dalam pasal 33 U.U.D. Proklamasi 1945 itu di
dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (R.I.S.) Terutama bab
mengenai pencegahan adanya organisasi-organisasi yang bersifat
monopoli di lapangan ekonomi.
Baru dengan diproklamasikannya Republik Indonesia Kesatuan pada
17 Agustus 1945 dan di dalam konstitusi sementara (U.U.D.–
Sementara) yang berlaku hingga sekarang dapatlah dicantumkan
bab-bab yang dimaksudkan itu sebagaimana terbukti dengan pasalpasal 37 dan 38 U.U.D.–Sementara.
Tetapi bagaimanakah kenyataannya yang sebenarnya? Adakah ia

| 11 |
sesuai dengan ketentuan yuridis yang sebenarna paling kuasa karena
ia tercantum di dalam konstitusi (sekalipun sementara)??
Kenyataan daripada K.M.B. dan segala konsekuensi yang harus
ditanggung karena K.M.B. itu sebenarnya menertawakan bab-bab
tersebut sekalipun sudah tercantum dalam U.U.D.–sementara.
Seperti sudah disebut di atas, perjanjian K.M.B. tidak lain daripada
restorasi kolonialisme atas Indonesia. Dengan K.M.B. itu Indonesia
tetap daerah jajahan.
Baiklah untuk membuktikan ini diberikan beberapa fakta yang
langsung tercantum di dalam perjanjian K.M.B. itu. Antara lain
ditentukan, bahwa Indonesia harus mengambil oper segala hutanghutang yang dilakukan oleh negeri Belanda dan sedianya
dibebankan kepada “Nederlands Indie,” yaitu:
Jumlah hutang yang harus dibayar pada negeri Belanda

f. 1.138.237.000,-

Hutang yang dilakukan oleh negeri Belanda dan harus
dibayar kepada Amerika Serikat

f. 420.424.000,-

Lain-lain hutang yang dilakukan oleh negeri Belanda
dan harus dibayar pada luar negeri

f. 2.800.000.000,-

Jumlah ..................................... f. 4.358.661.000,-

Selanjutnya bisalah juga disebut beberapa pasal daripada
perjanjian K.M.B. bagian FINEC (keuangan dan ekonomi), yang
secara langsung bertentangan juga dengan pasal-pasal 37 dan 38
U.U.D.– sementara kita, antara lain:
Pasal 16: “Tentang perubahan perbandingan harga (wisselkoors)
mata uang R.I. dan Nederland lebih jauh akan diadakan
permusyawaratan”
Pasal 17: “Selama keadaan luar atau dalam negeri memerlukan
“deviezen regiem” maka baik Republik Indonesia
maupun Nederland akan mempermusyawaratkan pasalpasal kebijaksanaan devisennya yang penting benar bagi
pihak yang lain”

| 12 |
Masalah Ekonomi Indonesia
Akibat langsung daripada pasal-pasal di atas ini dapatlah kita lihat
pada waktu gunting uang Sjafruddin [Prawiranegara] yang disiarkan
seolah-olah bocor, karena ternyata pengusaha-pengusaha monopoli
asing berhasil menyelamatkan diri dari gunting Sjafruddin itu,
tetapi sebenarnya kebocoran itu adalah sesuai dengan pasal-pasal
di atas, yaitu “dibocorkan” oleh pemerintah sendiri.
Atau baiklah diambil contoh-contoh lain daripada perjanjian picang
itu, yaitu
Pasal 3: “Tindakan mencabut hak, menasionalisir, menghapuskan,
menyuruh melepaskan atau memindahkan secara paksa
benda atau hak, hanya akan dijalankan untuk keperluan
umum menurut acara yang ditetapkan dengan peraturan
undang-undang dan–jika tidak dapat persetujuan antara
pihak-pihak yang berkepentingan–dengan mengganti
kerugian yang diterimakan atau dijamin lebih dahulu
dan yang ditetapkan hakim menurut harga sebenarnya
benda atau hak yang diambil itu, segala-galanya itu
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Syarat bahwa pengganti kerugian itu harus diterimakan
atau dijamin lebih dahulu tidaklah berlaku jika benda
atau hak itu perlu diambil dengan sesegeranya, karena
keadaan perang, bahaya perang, pemberontakan,
kebakaran, banjir, gempa bumi, gunung meletus atau
lain-lain kejadian yang mendesak.”
Atau
Pasal 18: “Pada pencabutan hak, nasionalisasi dan lain-lainnya
c.q. “naasting” Pemerintah Republik Indonesia
mengijinkan pemindahan uang pengganti kerugian c.q.
harga “naasting” itu dipindahkan di dalam tempo tiga
tahun, maka wajiblah Republik Indonesia menyatakan
sedemikian sebelum menjalankan pencabutan hak,
nasionalisasi dan lain-lainnya itu. Sebuah panitia
arbitrase yang anggotanya ialah seorang wakil Republik
Indonesia, seorang wakil yang berhak dan seorang

| 13 |
anggota lagi yang ditunjuk sesudah bermusyawarat oleh
kedua wakil teresbut tadi, akan memberikan keputusan
sesudah ikat tentang soal apakah dan sampai dimanakah
ketentuan tempo 3 tahun itu boleh dilaini - Jika
pemindahan uang tidak dijalankan segera, maka uang
mengganti kerugian c.q. “naasting” yang ditetapkan
dengan uang Indonesia akan dikreditir dengan valuta
negara modal itu berasal daripadanya menurut
perbandingan uang (wisselkoers) pada hari pencabutan
hak itu terjadi.”
Jelaslah, bahwa untuk mencabut hak milik ataupun hak
mengusahakan perusahaan dari perusahaan modal Belanda tidaklah
cukup dengan peraturan pemerintah, melainkan pada pokoknya
haruslah dengan undang-undang yang menyebutkan jumlah
pengganti kerugian, serta yang boleh segera ditransfer ke negeri
asal modal (negeri Belanda) dengan ketentuan pula mengenai nilai
tukar uang pengganti kerugian tersebut.
Lebih jauh baiklah juga disebut di sini mengenai hak-hak yang
diberikan kepada perusahaan-perusahaan minyak yang disebutkan
di dalam perjanjian-perjanjian kolonial dulu dan yang harus
diteruskan/diterima sebagai warisan oleh Republik Indonesia, yaitu
apa yang disebut “Let Alone Agreement.” Perjanjian itu
menentukan, bahwa kongsi-kongsi minyak diberikan kekuasaan
untuk menguasai devisen hasil ekspor minyak tanah dari Indonesia.
Hal ini akan diuraikan lebih jauh.
Sebagai gambaran tambahan baiklah juga disebut tentang
eksploitasi jalan-jalan kereta api di Indonesia. Perjanjian K.M.B.
menentukan, bahwa semua perusahaan kereta api di Jawa, Madura
dan
Sumatera
harus
dikembalikan
kepada
maatschappjmaatschappij kereta api (Belanda) partikelir.
Pada tahun 1946 pemerintah Belanda di daerah-daerah federal
mengadakan perjanjian dengan perusahaan-perusahaan kereta api
partikelir, yaitu dengan “Overeenkomst A” perusahaan perusahaan
kereta api partikelir itu disatukan dengan S.S. (Staats Spoorwegen)

| 14 |
Masalah Ekonomi Indonesia
dan diberi nama SS/VS. Pada tahun 1949 dengan adanya apa yang
dinamakan penyerahan kedaulatan, SS/VS disatukan dengan D.K.A.,
tetapi perjanjian K.M.B. menentukan lebih jauh, bahwa
pemerintah R.I. wajib:
a. membayar uang sewa setiap tahun kepada maatschappij
sebagai berikut:
kepada N.I.S.
f. 3.111.300,S.C.S.
“ 1.063.800,S.J.S.
“
429.100,O.J.S.
“
253.000,S.D.S.
“
184.500,Madura Stoomtram
“
208.200,Malang Stoomtram
“
153.200,Kediri Stoomtram
“
75.800,Modjokerto Stoomtram “
55.800,Pasuruan Stoomtram
“
279.090,Probolinggo Stoomtram “
47.500,Jumlah
f. 5.640.000,b. semua pegawai maatschappij digaji dan diberi hak-hak seperti
pegawai pemerintah
c. Pemerintah R.I. memberi sokongan pada fonds tunjangan
maatschappij setiap tahunnya sebesar f. 160.000,-.
Ondersteuningsfonds ini berada di negeri Belanda.
d. Pemerintah R.I. memberikan sokongan sebesar 25% dari gajiaji
(jumlah) ambtenar-ambtenar kepada Fonds Pensiun yang
berada di negeri Belanda.
Wajarlah bila diperhatikan juga, bahwa dari maatschappijmaatschappij itu yang terbesar modalnya ialah N.I.S., gabungan
maatschappij-maatschappij (SJS, CJS, SDS) dan Malang Stoomtram
sebesar masing-masing f. 40 juta, f. 6 juta dan f. 5 juta. Dihitung
dengan sewa yang sudah dibayar oleh pemerintah sejak tahun
1949 maka nampak keganjilan daripada “kerjasama” di atas ini.
Sekalipun sudah dibentuk panitia nasionalisasi pada tahun 1952,
tetapi sampai kini perusahaan-perusahaan tersebut di atas masih

| 15 |
tetap milik maatschappij-maatschappij itu.
Demikian inilah secara sekedarnya beberapa contoh tentang
konsekuensi-konsekuensi langsung sebagaimana ditetapkan oleh
K.M.B.
Adalah masalah ini terbatas sampai demikian ini saja?
Dalam uraian ini sudah disebutkan, bahwa perjanjian K.M.B. adalah
berarti restorasi daripada kekuasaan modal kolonial. Betapa tidak!
Ciri-ciri pokok yang kita temukan sebagai pembukti daripada
berlakunya ekonomi dan dikuasainya Indonesia oleh politik
ekonomi kolonial bukanlah semata-mata identik, sama dengan
keadaan pada sebelum perang dunia ke II. Dalam kenyataannya
penguasaan Indonesia oleh kolonialisme sebenarnya adalah lebih
intensif, lebih keras. Dengan lain perkataan: penghisapan kolonial
yang berlaku dengan perjanjian K.M.B. itu mencapai bentuk-bentuk
ekstrim.
Untuk bergerak pada sistematik penguraian masalah-masalahnya,–
bahwa Indonesia tetap daerah jajahan,– baiklah disebutkan
kedudukan Indonesia dengan K.M.B. itu sebagai daerah sumber
bahan mentah, tempat pengurasan bahan mentah untuk
kepentingan penjajahan, untuk kepentingan imperialisme.
Menurut Kantor Pusat Statistik, angka-angka ekspor (sesudah
K.M.B.) adalah sebagai berikut:
tahun
1950
1951
1952
1953
1954

beratnya ekspor
8.518.972 ribu ton
9.734.650 ribu ton
9.847.979 ribu ton
12.192.656 ribu ton
12.744.377 ribu ton

nilai ekspor
2.953,79 juta rupiah
4.779,52 juta rupiah –$1 = Rp 3,80
10.386,75 juta rupiah –$1 = Rp 11,40
9.343,00 juta rupiah
9.759,00 juta rupiah

Seperti juga halnya pada waktu sebelum perang, jumlah di atas
ini boleh disebutkan sebagai jumlah mutlak daripada penghasilan
terpenting Indonesia, seperti terbukti dengan angka-angka sebagai
berikut:

| 16 |
Masalah Ekonomi Indonesia
tahun
1954
“
“
“
“
“
“
“

jenisnya
gula (luas tanaman
49.256 ha.)
minyak sawit
biji sawit
serat keras
teh
kopi perkebunan
kopi rakyat
kina

“

timah dalam biji

“
“
1950
1951
1952
1953
1954

karet perkebunan
karet rakyat
minyak mentah
& hasil
-”-”-”-”-

produksi

ekspor

717.742 ton
168.636 ton
43.319 ton
30.733 ton
46.900 ton
14.196 ton –
42.800 ton –
1.770 ton

219.441 ton
140.062 ton
42.407 ton
23.723 ton
40.228 ton
37.336 ton

6.816.000 ton
8.093.000 ton
8.523.000 ton
10.225.000 ton
10.775.000 ton

6.160.000 ton
6.798.000 ton
7.883.000 ton
9.599.000 ton
9.887.000 ton

617 ton (kulit kering)
1 ton (kenini)
35.862 long ton 33.941 long ton
(dalam biji)
994 long ton (logam)
287.551 ton
237.975 ton
-tak tercatat- 471.639 ton

Dengan mengambil perbandingan pada keadaan sebelum perang
maka nampak juga, bahwa ekspor (baca: pengurasan) hasil-hasil/
kekayaan alam Indonesia yang terpenting telah meningkat sekali,
sebagaimana terlihat dari hitungan persentase daripada beberapa
hasil terpenting itu dalam nilai ekspornya dari nilai-ekspor
seluruhnya.
Dengan menggunakan angka tahun 1954 sebagai dasar, maka
terlihatlah, bahwa dari jumlah nilai ekspor yang sebesar 9.759
juta rupiah itu:
nilai ekspor:

karet
minyak
gula
minyak sawit
–

= 30,9% nilai ekspor: timah
= 26,4%
tembakau
= 2,6%
kopra
= 3,6%
teh
lain-lain

= 7,2%
= 3,8%
= 6,7%
= 4,6%
= 14,2%

Kalau kedudukan Indonesia dengan K.M.B. ternyata tidak berubah
dari keadaan sebelum perang dunia ke II, yaitu sebagai daerah

| 17 |
bahan mentah, maka keadaan serupa kita temukan juga dalam
keadaan modal dan kekuasaan modal kolonial di Indonesia sesudah
K.M.B. ini.
Memang, seperti sudah diuraikan di atas, justru K.M.B. inilah
yang memberikan jaminan-jaminan agar modal dan kekuasaan
modal kolonial tetap dapat menguasai perekonomian Indonesia,
tetap dapat bergerak dan menjalankan peranannya untuk
pengurasan dan pengedukan bahan mentah, eksploitasi dan
keuntungan.
Menurut perkiraan, maka modal Belanda sebagai akibat perang
dan selama revolusi, telah mengalami kerusakan kurang lebih 25%,
yang berarti, bahwa dari modal sebelum perang yang sebesar f. 4
milyar lebih itu masih utuh sebesar f. 3 milyar. Pihak resmi Belanda
sendiri telah menaksir, bahwa nilai modal yang ditanam di Indonesia adalah kira-kira f. 5 sampai f. 6 milyar (nilai gulden sebelum
perang = kurang lebih 2 kali nilai gulden sesudah perang). Dan
dengan kenyataan, bahwa nilai riil daripada f. 1,- sesudah perang
adalah kira-kira Rp. 8,= sampai Rp. 9,- maka modal monopoli
Belanda yang masih menguasai perekonomian Indonesia
berjumlahlah kira-kira Rp. 40 milyar sampai Rp. 50 milyar, bahkan
disebut Rp. 64 milyar.
Untuk bahan perbandingan baiklah disebutkan di sini, bahwa
kekuasaan modal kolonial yang bercokol di bumi Indonesia ini
sungguh-sungguh bersifat menguasai perekonomian Indonesia.
Tidak kurang daripada 70% daripada modal asing yang ditanam di
Indonesia adalah milik kolonialis Belanda.
Sebagai misal baiklah diambil, bahwa 7 bank asing di Indonesia
pada permulaan tahun 1955 mempunyai Rp. 2,8 milyar deposito,
sedangkan 20 bank nasional hanya mempunyai Rp. 75 juta. Di
lapangan pelayaran antar-pulau jelas kekuasaan dipegang oleh
K.P.M. dan serekannya sedangkan perhubungan laut dengan luar
negeri praktis seluruhnya dipegang oleh kongsi-kongsi asing dalam
mana modal Belanda menguasai 95%. Demikian juga halnya dengan
kade-kade di Indonesia yang untuk 85% dikuasai oleh kongsi-kongsi

| 18 |
Masalah Ekonomi Indonesia
Belanda, sedang instalasi-instalasi pelabuhan praktis diurus pula
oleh kongsi-kongsi Belanda.
Di lapang pertambangan dan perkebunan kiranya keadaan yang
serupa dengan di atas itu sudah cukup jelas. Demikan juga di
lapangan impor dan ekspor dsb.
Dan memang semuanya itu secara langsung dapat dilihat pada
keseretan dan tidak mungkinnya dicapainya perkembangan dan
pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat. Keterbelakangan di
lapangan pembangunan ekonomi nasional, bangkrutnya perusahaanperusahaan yang dibangun dengan susah payah sejak revolusi,
semuanya itu menjadi gambaran umum daripada ekonomi negeri.
Seperti halnya pada waktu sebelum perang juga pada Indonesia
dengan K.M.B. ini ditemukan ciri pokok daripada negeri jajahan:
menjadi daerah pasaran bagi barang jadi.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya praktis Indonesia harus
bergantung pada luar negeri. Pada impor barang-barang yang
sekaligus menggantungkan Indonesia pada sumber penghasilan
devisen yang keadaannya seninkemis.
Angka-angka impor menunjukkan, bahwa titik beratnya tetap
terletak pada pemasukan barang-barang konsumsi (barang jadi)
dan barang-barang/bahan-bahan baku penolong sedangkan untuk
pembangunan industri persentase impor barang modal tetap kecil,
sebagai berikut:
Jumlah impor

Nilai (dalam jutaan Rp.)

Persentase dari jumlah
nilai impor
1951 1952 1953 1954 1951 1952
1953 1954

jenis
barang-barang
pemakaian
1.701 5.377 3.740 2.699 51,3
bahan-bahan
baku/penolong 1.148 3.440 3.232 3.048 34,6
barang-barang
modal
469 1.989 1.612 1.425 14,1

49,8

43,6

37,6

31,8

37,6

42,5

18,4

18,8

19,9

Ketergantungan Indonesia pada impor barang-barang konsumsi dan
terapung-apungnya nasibnya pada hasil ekspor bahan-bahan

| 19 |
mentahnya itu mendudukkan Indonesia pada tempat yang amat
tidak enak dan berada di bawah pengaruh langsung daripada
pasaran dunia. Ini lebih-lebih lagi hebatnya karena dengan adanya
ikatan K.M.B. yang berarti dikuasakannya Indonesia pada Belanda
berartilah pula bahwa Indonesia masuk ke daerah pengaruh–ini
paling sedikitnya–dan kekuasaan modal imperialis Amerika Serikat,
pada siapa negeri Belanda menggantungkan nasibnya.
Juga disebabkan oleh politik yang dijalankan oleh pemerintah
Indonesia setelah perjanjian K.M.B. itu makin terjerumuslah Indonesia ke dalam lumpur permainan imperialisme dunia. Indonesia terseret masuk juga ke dalam perangkap yang dipasang oleh
imperialisme Amerika: dalam wujud embargo yang tidak sah
terhadap R.R.T.
Indonesia ternyata tunduk pada paksaan imperialisme untuk
meletakkan orientasi ekonomi dan pembangunan ekonominya
kepada hanya dunia barat dengan benteng imperialismenya:
Amerika Serikat.
Betapa langsung kedudukan itu mempengaruhi Indonesia dapatlah
dilihat pada kenyataan bahwa Indonesia sebagai negeri yang
hampir-hampir dikatakan nyawanya tergantung pada gerak ekspor
bahan-bahan mentahnya telah menjadi korban daripada politik
imperialis.
Contoh yang amat nyata sebagai akibat ketergantungan pada
pasaran barat, pada orientasi ke barat; sebagai akibat embargo,
dapatlah dibuktikan dari angka-angka harga bahan ekspor terutama
dari Indonesia pada waktu sebelum, selama perang di Korea dan
embargo terhadap R.R.T. sebagai berikut:
Pasar NEW YORK – dalam dollar sen per pon
KARET
1951 – Maret
1952 – Sept
1953 – Maret
Nop.
1954 – Maret

72,00 nom.
28,24
26,625
20,425
20,25

TIMAH
1951 – Maret 157,875
1952 – Maret 121,50
1953 – Juni
93,25
Des.
84,25
1954 – Jan.
85,25

| 20 |
Masalah Ekonomi Indonesia
Dengan segera terbuktilah, bahwa harga karet pada bulan
September 1952 (28,24 $sen) tidaklah lebih daripada hanya 39%
dari harga karet pada bulan Maret 1951 (72,00 $sen) untuk setiap
pon-nya.
Betapa besar kerugian yang diderita oleh Indonesia karena
kejatuhan harga itu sudahlah mudah untuk dibayangkan. Padahal
keadaan kejatuhan harga itu berjalan terus pada tahun-tahun
berikutnya dan sampai kini tercapai kembali harga tahun 1951
itu.
Baiklah dicoba memberikan angka-angka daripada kerugian yang
diderita oleh Indonesia pada tahun 1952 itu saja.
Pada tahun 1951 diekspor sebanyak 755.000.000 kg. karet dengan
nilai ekspor sebesar Rp. 2.483.000.000,- Sedang pada tahun 1952
diekspor sebanyak 745.000.000 kg. karet dengan nilai ekspor
sebesar Rp. 4.778.000.000,Melihat angka-angka di atas ini orang biasa untuk segera
bergembira, karena nampak bahwa untuk ekspor yang hampir
sama besarnya telah dihasilkan hampir 2 kali dalam harga.
Tetapi kegembiraan–kalau orang bergembira–adalah terburu-buru.
Keadaan sebenarnya ialah, bahwa pada tahun 1951 nilai tukar
dollar dan rupiah adalah $.1,- adalah Rp. 3,80. Sedangkan pada
tahun 1952 nilai tukar itu berubah (penilaian kembali rupiah)
menjadi $.1,- adalah Rp. 11,40.
Jadi kalau Rp 2.483 juta hasil ekspor karet tahun 1951 itu berarti
$. 656 juta maka Rp. 4.778 juta hasil ekspor karet tahun 1952
hanyalah berarti $. 419 juta kurang lebih. Jadi untuk jumlah kg.
yang hampir sama besarnya Indonesia telah mengalami kejatuhan
harga sebesar kurang lebih $. 230 juta. Atau dalam rupiah Indonesia berartilah kerugian sebesar 230.000.000 x Rp. 11,40 = Rp.
2.622.000.000,Kalau kita periksa, bahwa pada pertengahan tahun 1954 harga
karet bahkan telah turun menjadi hanya 20,25 $sen per pon, maka

| 21 |
bisalah secara kasar dikatakan, bahwa selama tahun-tahun 19521953-1954 saja Indonesia telah mengalami kerugian paling
sedikitnya 3 x Rp. 2,5 milyar. Ini hanya dalam ekspor karet.
Untuk lebih menegaskan lagi betapa Indonesia dieksploitasi sebagai
sumber/daerah bahan mentah dan daerah pasaran belaka: tanpa
kemungkinan untuk membangun tingkat hidup yang lebih tinggi
haruslah diberikan gambaran tentang kepincangan dalam tingkat
harga barang-barang yang diimpor ke dan barang-barang yang
diekspor dari Indonesia.
ANGKA-ANGKA INDEKS HARGA BARANG-BARANG EKSPOR DAN IMPOR
(1938 = 100)
Ekspor (harga-harga f.o.b.)

Impor (harga-harga perdagang
besar)
Angka-angka indeks tertimbang
Angka-angka indeks tertimbang
Diantaranya:
Diantaranya:
18 hasil 4 hasil 10 hasil 3 hasil 44 ba- 6 bahan
10 macam 13 ba
ekspor perke- pertani- hutan rang
makanan tekstil
han
bunan an
impor
kimia
& tiMah
1952-Desember 1.605
1.522 1.668
3.332 2.245 2.555
2.503
2.095
1953-Desember 1.208
1.195 1.188
3.391 2.402 3.157
2.574
2.265
1954-Desember 1.528
1.558 1.479
2.818 2.956 3.414
3.843
2.783
sumber: Kantor Pusat Statistik

Apakah yang kita dapati dari angka-angka di atas ini?
Ternyata, bahwa dibanding dengan tahun 1938 (memakai tahun
1938 sebagai ukuran 100) maka harga dari 18 hasil ekspor
(terpenting) dari Indonesia telah naik dengan 15 kali lebih pada
tahun 1954. Tetapi sebaliknya, harga dari 44 barang yang diimpor
ke Indonesia telah naik dengan hampir 30 kali. Jadi, kalau pada
tahun 1938 harga dari 18 hasil ekspor dan harga dari 44 barang
yang diimpor ke Indonesia perbandingannya adalah 1 : 1, maka
pada tahun 1954 perbandingan itu telah berubah menjadi 15 : 30
atau 1 : 2.
Dengan lain perkataan: untuk dapat mengimpor jumlah yang sama
dari 44 macam barang yang dibutuhkan oleh Indonesia, maka
Indonesia harus menghasilkan dua kali barang yang harus diekspor.

| 22 |
Masalah Ekonomi Indonesia
Jadi, untuk dapat memenuhi kebutuhannya akan barang-barang
impor seperti di tahun 1938 maka rakyat Indonesia harus bekerja
duakali lipat dalam menghasilkan barang untuk diekspor.
Dengan demikian tidaklah mungkin tercapai peningkatan taraf
hidup, bahkan sebaliknya rakyat hidup harus memeras keringatnya
lebih hebat lagi. Dan dengan demikian tidak mungkin juga tercapai
neraca yang menguntungkan secara riil.
Dan sampai di sini mengertilah juga kita, bahwa memang Indonesia
tetap merupakan daerah tenaga buruh yang murah.
Sebagai contoh baiklah sekedar disebutkan di sini, bahwa–misalnya
saja–kaum buruh di lapangan industri minyak sehari menerima
upah kira-kira Rp. 6,- atau setengah dollar Amerika Serikat.
Jauh melebihi itu adalah, bahwa seorang buruh Amerika yang
bekerja di lapangan yang sama (buruh minyak) menerima upah $.
8 (delapan dollar) sehari, atau sama dengan Rp 96,- sehari, yang
berarti: 16 kali lipat dari yang diterima oleh seorang buruh
Indonesia.
Dengan sekedar contoh ini saja kiranya sudah cukup tergambar
betapa keras berlakunya pemerasan dan penghisapan terhadap
kaum buruh Indonesia. Dan dari sini pula dapatlah dimengerti
betapa khianat orang-orang yang mengoper anjuran Dr. Her
Schacht–itu fasis Jerman–yang menggambarkan “mehr arbeit,”
“mehr arbeit” itu.
Adalah juga dengan sekedar contoh tadi itu kiranya cukup untuk
setiap orang mengerti betapa adil tuntutan dan perjuangan kaum
buruh yang menuntut hapusnya Undang-Undang Darurat
Tedjasukmana, yang membelenggu kaum buruh dan
mempenjarakan setiap penuntut yang menggunakan senjatanya
yang satu-satunya: mogok.
Di satu pihak kaum buruh Indonesia ditindas dalam perjuangannya
untuk menuntut penghidupan yang layak sebagai manusia di tanah
airnya sendiri, di lain pihak dengan K.M.B. itu kaum penjajah
diberi hak untuk menguras kekayaan dari penidasan itu.

| 23 |
Dari kesengsaraan dan penderitaan rakyat Indonesia itu, kaum
penjajah mengangkut keuntungan ke luar Indonesia yang berjumlah
bermilyar-milyar besarnya.
Prof. Romme dalam suatu Kongres Katholieke Volks Partij beberapa
tahun yang lalu menyatakan, bahwa jumlah uang berupa
keuntungan, bunga, pensiun, premi dll. yang ditransfer dari
Indonesia ke negeri Belanda pada tahun 1951 adalah sebesar kurang
lebih f. 500.000.000,Angka di atas ini jauh daripada kebenarannya. Sebab, menurut
laporan Bank Indonesia 1954-1955, uang yang ditransfer ke negeri
Belanda adalah sebagai berikut:
1952: Defisit neraca perdagangan:
Asuransi:
Keuntungan investasi modal:
Rupa-rupa:
1953: Asuransi:
Keuntungan investasi modal:
Rupa-rupa:
1954: Asuransi:
Keuntungan investasi modal:
Rupa-rupa:

Rp. 1.035.000.000,Rp. 139.000.000,Rp. 1.042.000.000,Rp. 357.000.000,- Rp. 2.286.000.000,Rp. 148.000.000,Rp. 1.249.000.000,Rp. 592.000.000,- Rp. 1.989.000.000,Rp. 111.000.000,Rp. 1.460.000.000,Rp. 715.000.000,- Rp. 2.573.000.000,-

Angka-angka di atas ini pun masih harus diragukan, karena belumlah
meliputi seluruhnya secara sebenarnya.
Uang bunga daripada hutang-hutang yang harus dibayar oleh
Indonesia menurut Laporan Bank Indonesia juga adalah:
Tahun 1952 : Rp. 115.000.000,Tahun 1953 : Rp. 132.600.000,Kalau kita ambil bagian kecil saja daripada keuntungan-keuntungan
yang diperoleh oleh kaum penjajah, baiklah disebutkan sebagai
misal, bahwa perusahaan-perusahaan perkapalan seperti K.P –
.M.
S.M.N. – K.R.L. – K.J.C.P.L. pada tahun 1952 saja telah
memperoleh keuntungan tidak kurang dari f. 250.000.000,- (gulden!) Pada tahun 1953, K.P.M. memperoleh untung f. 23.500.000,; K.J.C.P f. 2.450.000,- sedangkan K.R.L. sebesar f. 35.000.000,.L.

| 24 |
Masalah Ekonomi Indonesia
Angka-angka resmi tetap harus diragukan dan seperti di dalam
parlemen sudah pernah disebut, maka keuntungan Belanda setiap
tahunnya meliputi jumlah tidak kurang dari Rp. 10.000.000.000,(sepuluh milyar).
Baiklah secara agak terperinci diterangkan salah satu segi daripada
cara yang berlaku dalam pengedukan kekayaan dan keuntungan
oleh kaum penjajah.
Seperti telah disebut, dengan perjanjian K.M.B. telah
dilangsungkan apa yang dinamakan “let alone agreement” bagi
perusahaan-perusahaan minyak tanah di Indonesia. Yang diartikan
dengan perjanjian ini ialah, bahwa perusahaan-perusahaan itu
berhak menguasai sebagian besar devisen dari hasil ekspor minyak
tanah, dan sebagaimana sudah dapat ditangkap dari nama
perjanjian itu, berhak pula dalam lain-lain hal.
Menurut angka-angkanya, berat dan nilai minyak yang didapat
pada tahun-tahun yang lalu adalah sebagai berikut:
tahun 1952 – 7.883.000.000 kg. – Rp. 2.181.000.000,tahun 1953 – 9.599.000.000 kg. – Rp. 2.292.000.000,tahun 1954 – 9.887.000.000 kg. – Rp. 2.579.000.000,Dari hasil-hasil ekspor tersebut di atas ini, yang langsung diterima
oleh pemerintah sebagai penyetoran pada dana devisen dan bagian
keuangan pemerintah dalam NIAM adalah antara lain sebagai
berikut:
Tahun 1952
Penyetoran devisen kongsi
minyak pada Dana Devisen
Bagian keuntungan Pemerintah

Rp. 470.380.000,Rp. 57.900.000,Rp. 528.280.000,-

Tahun 1953
Rp. 579.234.000,Rp. 39.600.000,Rp. 618.834.000,-

Dihitung dari seluruh nilai ekspornya, maka penerimaan langsung
oleh pemerintah tidak lebih dari 25% pada tahun 1952 dan 27%
kurang lebih pada tahun 1953.
Bagian terbesar–kurang lebih 75%–dikuasai langsung oleh

| 25 |
perusahaan-perusahaan minyak raksasa asing, yaitu dalam
perincian sebagai berikut:
Penggunaan devisen oleh maskapaimaskapai asing sendiri:
a. untuk impor barang modal
b. untuk impor barang konsumsi
c. yang diangkut ke luar negeri

1952
Rp. 432.000.000,Rp. 38.400.000,Rp. 1.070.320.000,Rp. 1.540.720.000,-

1953
Rp. 295.000.000,Rp. 23.600.000,Rp. 1.354.566.000,Rp. 1.673.166.000,-

Dari angka-angka di atas ini sudah jelas betapa pincangnya
kedudukan pemerintah terhadap maskapai-maskapai minyak itu.
Namun, angka-angka di atas ini pun belum mewakili seluruh
keuntungan yang digondol oleh maskapai-maskapai minyak itu
setiap tahunnya.
Kalau kita cocokkan angka-angka berat ekspor dan nilai ekspor
minyak tanah pada tahun 1953, maka terlihatlah, bahwa harga
minyak tanah itu dinilai + Rp. 0,25 per kg. (yaitu: Rp.
2.292.000.000,- : 9.599.000.000 (kg.) -) padahal, menurut catatan
harga minyak internasional pada tahun 1953 adalah US.$. 4,45
per barrel (160 liter) atau kurang lebih Rp. 0,40 per kg. Dengan
ini ternyata, bahwa perbedaan penilaian harga (Rp. 0,25 per kg)
dan harga sesungguhnya di pasar dunia (Rp. 0,40 per kg)
memungkinkan maskapai-maskapai raksasa itu pada tahun 1953
itu saja memperoleh keuntungan lagi sebanyak 9.599.000.000 (kg)
kali Rp. 0,15 (Rp. 0,40 - Rp. 0,25) = Rp. 1.439.850.000,-......!!!
Melihat angka-angka di atas ini tidaklah mengherankan, bahwa
menurut perhitungan, maskapai-maskapai raksasa itu dalam tahun
1954 juga ternyata berhasil memperoleh keuntungan secara di
atas ini sampai berjumlah seluruhnya kurang lebih Rp.
6.600.000.000,-!! (berita ANTARA tanggal 16 Nopember 1954)
Betapa pincangnya keadaan di atas ini makin nampak kalau kita
ketahui, bahwa dalam keadaan kongsi-kongsi raksasa penjajah
itu bisa mengangkut keuntungan-keuntungan yang luar biasa
besarnya itu, pemerintah Indonesia selalu mengalami ketekoran
anggaran.

| 26 |
Masalah Ekonomi Indonesia
Ketekoran pada anggaran belanja yang dialami oleh pemerintah
ternyata pada tahun 1953 adalah sebesar Rp. 2.240 juta dan pada
tahun 1954 sebesar Rp. 3.602 juta. Sedang menurut taksiran, defisit
tahun 1955 adalah kira-kira Rp. 2.500 juta.
Memang ternyata, bahwa pembiayaan anggaran sebenarnya banyak
digantungkan pada hutang-hutang/pinjaman-pinjaman. Beberapa
angka di bawah ini menunjukkan perkembangan dan meningkatnya
jumlah hutang pemerintah; yaitu hutang jangka-panjang dalam
dan luar negeri serta hutang jangka-pendek dalam negeri:
1949: Rp. 6.894.000.000,1950: Rp. 8.634.000.000,1951: Rp. 7.646.000.000,1952: Rp. 11.876.000.000,1953: Rp. 13.385.000.000,1954: Rp. 16.834.000.000,Dari angka-angka di atas ini terlihatlah, bahwa dibandingkan
dengan jumlah hutang tahun 1949 jumlah hutang itu telah naik
dengan + 245% pada tahun 1954.
Dalam keadaan seperti itu, dan sebagai akibat langsung daripada
ketergantungannya maka Indonesia makin lama makin terjerumus
dalam lumpur hutang dan ketekoran anggaran.
Keadaan ini ternyata oleh pemerintah-pemerintah sesudah K.M.B.
tidak diselesaikan secara pokok, melainkan dalam prakteknya
memang susunan ekonomi kolonial yang berlangsung di Indonesia.
Yaitu, bahwa pemerintah-pemerintah sesudah K.M.B. meneruskan
pula sistem perekonomian kolonial itu dalam usaha mengatasi
kesulitan-kesulitan ketekoran dan sebagainya itu.
Hal ini dengan segera dapat kita temukan pada sumber-sumber
penghasilan negara yang tidak lepas dari sistem kolonial.
Pemerintah negara buat sebagian terbesar digantungkan pada
penerimaan pajak-pajak-langsung dan tidak-langsung sebagai

| 27 |
berikut:
1.a. Pajak langsung
b. Pajak taklangsung
2.- Saldo-saldo perusahaan negara
3.- Berbagai penerimaan (TPI/TPT)
4.-Lain-lain

1952
Rp. 1.832 juta
Rp. 5.132 juta

1953
Rp. 2.027 juta
Rp. 4.474 juta

1954
Rp. 2.439 juta
Rp. 3.957 juta

Rp. 293 juta

Rp. 205 juta

Rp. 61 juta

Rp. 2.082 juta
Rp. 354 juta
Rp. 9.684 juta

Rp. 1.914 juta
Rp. 1.087 juta
Rp. 9.707 juta

Rp. 1.179 juta
Rp. 815 juta
Rp. 8.451 juta

Ternyatalah, bahwa penerimaan negara pada hakekatnya
digantungkan pada pajak-pajak langsung dan tidak langsung sebagai
berikut: tahun:
1952 = + 75%
1953 = + 70%
1954 = + 76%
Lebih jauh haruslah pula diperhatikan, bahwa penerimaan berupa
hasil TPI/TPT - sertifikat devisen pada hakekatnya berarti juga
pajak tidak langsung, sehingga dengan demikian penerimaan
negara yang didasarkan pada penerimaan pajak langsung dan tidak
langsung adalah sebesar kurang lebih 95%.
Dengan politik fiskal seperti di atas ini sudahlah terang, bahwa
yang terutama harus menderita adalah rakyat banyak. Lebih-lebih
lagi dengan segala macam sertifikat devisen, maupun segala macam
bentuk T.P.I. (seperti B.I.T., B.I.S. dsb.), karena semuanya ini
merupakan pajak-pajak tidak langsung juga yang harus ditanggung—
pada akhirnya oleh konsumen pula.
Yaitu, sekalipun secara formal yang membayar T.P.I. itu adalah
kaum importir, namun ini berarti pula beban secara tidak langsung
bagi golongan-golongan rakyat miskin.
Dengan T.P dan semacamnya itu timbullah keadaan-keadaan yang
.I.
makin menjerumuskan perekonomian Indonesia ke dalam keadaan
bergantung.

| 28 |
Masalah Ekonomi Indonesia
Dengan T.P.I. itu kecuali membebankan tanggungan yang lebih
berat pada rakyat dan konsumen, juga mengakibatkan:
1) kian merosotnya kurs riil (nilai tukar sesungguhnya) daripada
mata-uang kita (rupiah),
2) kian merosotnya daya beli rakyat banyak, yang berarti
bertambah hebatnya kesengsaraan rakyat banyak itu,
3) naiknya harga bahan-bahan untuk industri yang dikerjakan di
dalam negeri, –ini terutama dalam hubungannya dengan usaha
kaum pengusaha nasional–; dan dengan naiknya bahanbahan
itu memaksa naiknya ongkos-ongkos pengusaha (kostprijs)
hasil-hasil industri dalam negeri itu,
4) beratnya persaingan yang–oleh karenanya–harus dihadapi oleh
pengusaha-pengusaha nasional terhadap barang-barang impor,
terutama juga barang-barang konsumsi yang membanjiri
pasaran Indonesia dari luar negeri itu,
5) bangkrutnya perusahaan-perusahaan dalam negeri karena tak
berdaya terhadap arus pemasukan barang-barang konsumsi,
dan dengan kian bergantungnya pengusaha-pengusaha nasional
dan dapatnya dilakukan impor secara leluasa itu diperkuat
sekaligus peranan bank-bank asing yang menurut catatan masih
melayani 70% dari kegiatan impor Indonesia (bank-bank nasional
tidak mampu melayani kebutuhan impor yang karena T.P.I.
membutuhkan modal besar. Bahkan menurut Tuan Suprapto,
Anggota Fraksi Masjumi dalam D.P
.R., kapasitas daripada kaum
importir nasional hanya merupakan 6% kurang lebih dari pada
kapasitas importir asing!!)
Dengan fakta-fakta di atas, maka selama politik fiskal dan politik
di lapangan impor seperti T.P dan sebagainya itu terus dijalankan,
.I.
tidak akan dapat diatasi keseretan dan bahkan kehancuran yang
kian menjadi-jadi yang harus dihadapi oleh ekonomi Indonesia
dewasa ini. Politik itu hanya menguntungkan modal raksasa asing
dan menguasakan hari depan perekonomian serta kehidupan rakyat
secara mentah-mentah pada penghisapan dan kesewenangan
modal raksasa asing.
Dari uraian di atas tadi, amatlah jelasnya, bahwa memang

| 29 |
kekuasaan kaum monopoli asing masih sepenuhnya dan
dimungkinkan mencengkeram semua lapangan perekonomian dan
keuangan. Dan kenyataan masih berkuasanya kolonialisme itu
mendakwa pada kita, bahwa tidaklah mungkin untuk merubah
susunan perekonomian kolonial itu menjadi perekonomian
nasional: untuk kesejahteraan rakyat dan tanah-air, tanpa
langkahlangkah yang riil dan tegas untuk melikuidasi atau sedikitnya
lebih mengeraskan pembatasan terhadap kekuasaan modal asing.
Dari pengertian di atas inilah–yang disandarkan pada
keadaankeadaan yang sebenarnya dan sekerasnya yang kita hadapi–
pembatalan perjanjian K.M.B. secara seluruhnya, mempunyai arti
yang bukan tambal sulam, melainkan harus dilaksanakan dengan
konsekuen dan tidak separuh-separuh.
Dalam hubungan ini baiklah disebutkan, bahwa Statement of Policy
dari pemerintah Burhanuddin Harahap mengenai investasi modal
asing di Indonesia, yang pada pokoknya menentukan, bahwa modal
asing diperbolehkan bergerak leluasa di segala lapangan
perekonomian, kecuali di lapangan perekonomian yang bersifat
sosial dan merupakan “public utilities” (karena ini hanya
disediakan untuk pemerintah) adalah contoh daripada tindakan
tidak konsekuen dan separuh-separuh.
Sebabnya ialah, karena dengan hanya pembatasan pada lapanganlapangan yang bersifat sosial dan merupakan “public utilities”
itu, modal asing masih secara leluasa boleh bergerak di lapangan
pertambangan, perindustrian, pertanian, perkebunan yang
berteknik modern, bank, impor dan ekspor serta perkapalan, dsb.
yang memang sejak dulu menjadi terutama lapangan gerak modal
monopoli asing.
Pembatalan perjanjian K.M.B. secara yuridis haruslah segera disusul
dengan langkah-langkah tegas untuk melumpuhkan dan kemudian
melikuidasi kekuasaan kolonial atas perekonomian dan kehidupan
rakyat Indonesia.
Langkah-langkah itu terutama haruslah berupa nasionalisasi atas

| 30 |
Masalah Ekonomi Indonesia
perusahaan-perusahaan yang sekarang dikuasai oleh modal
monopoli asing–terutama Belanda–, yang terpenting diantaranya
ialah nasionalisasi impor dan ekspor, komunikasi–daratan, lautan
maupun udara–, bank-bank serta di berbagai lapangan perkebunan,
pertambangan dan pertanian.
Dalam menjalankan nasionalisasi itu, bukanlah ditentukan caracara dan prosedur seperti telah ditentukan dalam perjanjian K.M.B.
atau yang senyawa dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian
K.M.B. itu, melainkan haruslah disandarkan pada perhitungan dan
kepentingan rakyat banyak, baik mengenai penggantian, jangka
waktu maupun syarat-syarat menghadapi pelaksanaan nasionalisasi.
Nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan vital yang masih dikuasai
oleh modal monopoli asing itu bukan hanya berarti langkah penting
dalam melikuidasi kekuasaan kolonialisme atas lapangan ekonomi
Indonesia, melainkan ia berarti pula merebut kembali kekuasaan
itu untuk dijadikan kekuatan diri sendiri dalam membangun
perekonomian nasional.
Selanjutnya langkah-langkah yang ditujukan untuk melemahkan
kedudukan kaum monopoli kolonial, dengan jalan antara lain sangat
membatasi keuntungan-keuntungan kaum modal monopoli/asing
dan bentuk-bentuk invisible seperti uang jasa dsb. itu yang biasa
ditransfer ke luar negeri, sedangkan terhadap perusahaanperusahaan minyak haruslah diambil tindakan mencabut hak-hak
istimewa atas devisen hasil ekspor minyak tanah seperti atau
yang senyawa dengan persetujuan-persetujuan “let alone agreement.”
Juga terhadap konsesi-konsesi–baik perusahaan industri,
perkebunan atau pertambangan dan komunikasi–yang tidak
dikerjakan lagi haruslah ditarik kembali ke bawah kekuasaan
pemerintah, sedangkan pemindahan konsesi maupun
perusahaanperusahaan monopoli Belanda kepada modal asing
lainnya haruslah dilarang.
Terhadap perusahaan-perusahaan lainnya dari modal asing harus

| 31 |
berlaku peraturan-peraturan yang menentukan adanya kekuasaan
pemerintah untuk melakukan kontrol atas jalannya perusahaan,
administrasi dsb. dan langkah-langkah ini harus diteruskan pada
penentuan politik produksi dan penjualan hasil-hasil
perusahaanperusahaan tersebut.
Semua langkah-langkah di atas ini harus pula dilengkapi oleh
politik impor dan ekspor: politik perdagangan dengan luar negeri
yang tegas. Orientasi yang berat sebelah, yaitu yang menundukkan
diri hanya pada kekuasaan dollar Amerika atau Poundsterling
Inggris tidak mungkin memberikan kesempatan-kesempatan dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang riil daripada pembangunan
ekonomi nasional Indonesia. politik perdagangan luar negeri harus
sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi
Indonesia itu: yaitu pasaran yang seluas-luasnya yang menghapuskan
ketergantungan pada hanya satu negeri sebagai seolah-olah
pembeli tunggal bahan-bahan hasil negeri dan di pihak lain
menggunakan sebaik mungkin penawaran-penawaran barangbarang
yang dibutuhkan oleh Indonesia oleh negeri mana pun. Dengan
sikap tegas di dalam politik perdagangan luar negeri seperti di
atas ini terjaminlah kebebasan sepenuhnya bagi Indonesia untuk
menjalankan prinsip perhubungan luar negeri–terutama di lapangan
perekonomian dan keuangan–yang disandarkan pada kebebasan,
saling menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan yang riil.
Sebab memang, membangun perekonomian nasional yang akan
mampu memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia dan meningkatkan
secara terus menerus taraf hidup rakyat Indonesia berarti pertamatama membangun, memperlengkapi dan memperluas industriindustri untuk produksi bahan makanan, pakaian dan lain-lain
kebutuhan sehari-hari rakyat banyak. Dan untuk ini dibutuhkanlah
barang-barang modal dan alat-alat perlengkapan yang pada taraf
sekarang harus didatangkan dari luar negeri secara bebas dari
ketergantungan dan ikatan-ikatan politik maupun ekonomis yang
hanya menjerat dan mengakibatkan bahwa Indonesia harus
membayarnya kembali dengan pelayanan kepentingan-kepentingan
pihak yang bersangkutan itu.

| 32 |
Masalah Ekonomi Indonesia
Dengan lain perkataan, pihak yang menentukan pada tingkat
terakhir dan tertinggi haruslah pihak Indonesia.
Selanjutnya, perlu ditegaskan pula, bahwa hari depan Indonesia
bukanlah terletak pada penitik-beratan usaha di lapangan ekspor
seperti keadaannya dewasa ini. Hari depan Indonesia terletak
pada kekuatan diri sendiri di dalam perindustrian dan lain-lain
lapangan usaha yang secara langsung melayani keperluan rakyat
Indonesia.
Dan ke luar dari pendirian ini, maka harus dikurangi intensivitas
kerja yang hanya ditujukan pada pengurasan dan penggunaan tanahtanah dan sumber-sumber alam untuk keperluan produksi bahan
mentah untuk diekspor.
Sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia, maka yang harus
dipergiat adalah penanaman dan perluasan tanaman-tanaman
bahan-bahan yang secara langsung memenuhi keperluan hidup
sehari-hari rakyat banyak dan keperluan industri-industri yang
memproduksi hasil-hasil yang diperlukan oleh rakyat banyak.
Dan guna memenuhi ini semua sudah tentu dibutuhkan aparataparat yang mengorganisir produksi (baik bahan mentah maupun
barang jadi yang langsung dibutuhkan oleh rakyat), bimbingan,
pimpinan dan perkreditan untuk usaha-usaha itu, serta aparataparat distribusi yang menjamin peredaran yang sempurna dan
seimbang antara kota dan desa.
Pelaksanaan segala sesuatu ini haruslah pula digenangi oleh suatu
pikiran pokok, suatu arah yang tertentu pula dalam membangun
perekonomian nasional kita. Pikiran pokok atau arah tertentu
tadi ialah, bahwa secara setapak demi setapak, sebagai rencana
jangka panjangnya, haruslah segala sesuatu pelaksanaan itu
menyertakan dirinya pada pembangunan industri basis, yaitu
pembangunan industri berat, industri baja, pengolahan logam,
bahan bakar, tenaga listrik, kimia, pengangkutan dan semacamnya.
Yaitu industri basis untuk perindustrian kita selanjutnya, baik
sebagai pelayanan akan keperluan mesin-mesin, alat maupun

| 33 |
perbengkelan, sehingga dengan demikian dicapailah keadaan
dalam mana Indonesia sungguh-sungguh bisa mendasarkan
perekonomiannya atas kekuatan dan kemampuannya sendiri.
Dengan lain perkataan jelaslah, bahwa pembangunan
perekonomian nasional yang dimaksudkan ialah perekonomian
nasional yang berencana serta meliputi seluruh lapangan dan cabang
perekonomian dalam satu keseluruhan, bukan pecah-pecah atau
satu-satu.
Adalah hal yang semestinya, bahwa melaksanakan pembangunan
ekonomi berencana itu membutuhkan pimpinan yang demokratis;
pimpinan yang kecuali menjauhkan diri dari segala bentuk birokrasi
dan korupsi–yang harus dicapai dengan jalan aparat kontrol yang
sekuat-kuatnya–, juga konsekuen menarik garis dalam melindungi
usaha-usaha nasional dan mempunyai sikap tegas tidak menyerah
terhadap segala bentuk usaha-usaha berkedok, yang pada
hakekatnya hanya ekor daripada modal asing.
Kecuali memberikan arah yang benar dalam usaha membangun
ekonomi nasional seperti telah dicoba dirumuskan di atas tadi,
usaha pembangunan ekonomi nasional kita ini harus juga
menggunakan dan menempatkan bentuk-bentuk perekonomian
yang sewajarnya dan pada tempatnya.
Yang terang adalah, bahwa perusahaan-perusahaan negara, yaitu
bentuk perekonomian negara–yang menguasai lapangan-lapangan
perekonomian yang pokok dan basis–harus dalam arti yang
sesungguhnya menjadi pimpinan dalam pembangunan ekonomi
kita.
Kemudian bentuk-bentuk perekonomian lainnya, seperti usaha
campuran antara modal pemerintah dan modal partikelir nasional,
usaha koperasi sebagai bentuk perekonomian bersama dari segenap
rakyat, dan usaha modal partikelir menempati tempat dan lapangan
masing-masing, sehingga dalam keseluruhannya bentuk-bentuk
perekonomian itu merupakan usaha-usaha yang saling mengisi dan
menjalankan fungsinya masing-masing secara merata-seimbang
(harmonis).

| 34 |
Masalah Ekonomi Indonesia
Dengan adanya bentuk perekonomian negara sebagai tenaga
pimpinan dan basis pembangunan perekonomian nasional itu, bukan
saja membawa pada pembebasan pada bentuk-bentuk
penghisapan dan penindasan secara lambat laum, melainkan juga
amat penting artinya untuk mencegah menjadinya modal dan usaha
partikelir warganegara berubah dan berkembang ke arah bentukbentuk dan sifat-sifat monopoli. Karena sekalipun menurut keadaan
obyektif dan sesuai dengan kebutuhannya masih harus
dikembangkan modal partikelir atau dengan lain sebutan:
kapitalisme, namun sesuai pula dengan tujuan yang tercermin
dalam U.U.D. Republik Indonesia Agustus 1945, perkembangan
modal kapitalis nasional itu harus dibatasi agar tidak menjadi
monopoli.
Kalau kita sudah berbicara tentang arah dan tenaga-tenaga/
bentukbentuk perekonomian yang mendukung dan melaksanakan
pembangunan ekonomi nasional itu, –dalam arti sebagaimana sudah
diuraikan di atas ini,– maka teranglah, bahwa semuanya itu bukan
saja bergantung pada kekuatan dan kebijaksanaan politik keuangan
dan ekonomi pemerintah saja.
Untuk bisa menjadikan pembangunan perekonomian itu suatu
realitas maka segenap potensi rakyat haruslah dikerahkan. Bagi
setiap warganegara ada tempat dan kewajiban untuk mencurahkan
tenaga, kekuatan materiil maupun pengalamannya di dalam usaha
besar ini.
Bukan saja ini, melainkan keadaan obyektif menuntut, bahwa
segenap kekuatan nasional yang ada harus dikerahkan untuk
memungkinkan dan mempercepat pelaksanaan pembangunan itu.
Dan dalam hubungan ini tidak ada tempat bagi bentuk diskriminasi
apa pun juga. Untuk bisa merealisir likuidasi kekuasaan modal
monopoli asing dan untuk mencapai pembangunan ekonomi
nasional itu, seluruh warganegara dikerahkan.
Membeda-bedakan sesama warganegara, menjadikan segolongan
warganegara anak-emas dan segolongan lainnya kambing-hitam;
membeda-bedakan sesama warganegara berdasarkan “keaslian”

| 35 |
dan bukan “keaslian” keturunannya, adalah bentuk-bentuk
diskriminasi berdasar asal keturunan (rasial) yang akan mengebiri
kekuatan/potensi nasional dalam membangun perekonomian hari
depan kita.
Sebab, adanya pembeda-bedaan antara sesama warganegara;
adanya hak-hak istimewa bagi segolongan warganegara secara
praktis memungkinkan dan membangkitkan timbulnya segala
macam bentuk birokrasi dan korupsi, yang pasti tidak akan disiasiakan oleh modal monopoli asing.
Sistem semacam itu bukan saja mengisolasi kekuatan–sebagian
kekuatan–yang ada pada warganegara Indonesia dari kesertaan
membangun perekonomian nasional, melainkan membuka
kemungkinan untuk digunakan oleh modal monopoli asing untuk
menginfiltrasi usaha pembangunan ekonomi nasional kita dengan
jalan usaha-usaha berkedok di belakang “keaslian” untuk
memperoleh juga prioritas-prioritas di lapangan perekonomian.
Apalagi kalau diingat, bahwa pada masa peralihan ini–di mana
secara yuridis sudah dibatalkan perjanjian-perjanjian
perekonomian dan keuangan berdasarkan K.M.B.–modal monopoli
asing akan menggunakan segala jalan dan kesempatan untuk
memecah belah potensi nasional kita, agar gagallah usaha
melikuidasi kekuasaan modal raksasa asing itu secara riil. Segala
jalan dan cara akan dilakukan oleh kekuasaan kolonial itu untuk
menyabotir pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional kita.
Dalam hubungan ini baiklah disebutkan juga apa yang telah
dikonstatir mengenai adanya sabotase pada Tambang Minyak
Sumatera Utara yang kini sudah berada di tangan pemerintah R.I.
Kemudian baiklah juga ditegaskan, bahwa kewaspadaan haruslah
tinggi, karena kecuali adanya sabotase-sabotase secara terangterangan itu ada pula usaha untuk membelokkan perhatian dari
persoalan-persoalan yang pokok dalam menghadapi dan
melaksanakan pembatalan perjanjian K.M.B.
Gejala-gejala dan tindakan-tindakan seperti diadakannya

| 36 |
Masalah Ekonomi Indonesia
diskriminasi rasial, pertentangan-pertentangan ekonomis,
pembongkaran-pembongkaran gubuk-gubuk rakyat dan
semacamnya tidak dapat dilihat dari sudut sosial-ekonomis melulu,
melainkan juga harus dilihat dari pengertian akan adanya usahausaha dan tindakan-tindakan pembelokkan perhatian dan
pengeroposan potensi nasional dalam menghadapi soal-soal pokok
tadi.
Jadi sekali lagi: pembangunan perekonomian nasional kita
membutuhkan segenap potensi nasional kita; tenaga, kekuatan
materiil maupun pengalaman yang ada pada segenap warganegaranya.
Dalam hubungan inilah, di satu pihak: harus disambut dengan
gembira bahwa untuk pertama kalinya pembangunan ekonomi
Indonesia secara berencana dan terpimpin akan dilaksanakan
dengan suatu Rencana Lima Tahun.
Sekalipun bahan-bahan mengenai Rencana Lima Tahun itu belum
lengkap diumumkan, namun sudahlah terang, bahwa syarat
pertama untuk bisa dicapainya hasil yang diharapkan adalah
menyesuaikannya dengan keadaan dewasa ini: pembatalan K.M.B.
Tanpa menyesuaikan Rencana Lima Tahun itu dengan kenyataan
dan kebutuhan yang timbul setelah perjanjian K.M.B. dibatalkan,
maka Rencana Lima Tahun itu akan ditertawakan oleh kenyataankenyataan, karena ia akan menjadi suatu usaha Don Quixote yang
mau memerangi kincir-angin.
Apabila benar keterangan-keterangan yang telah tersiar sampai
sekarang, maka nampaknya Rencana Lima Tahun kita pertama ini
adalah mengandung maksud, bahwa pemerintah akan
menginvestasikan (menanam) modal negara sebesar Rp. 11,5 milyar
dalam waktu lima tahun–atau berarti rata-rata Rp. 2,3 milyar
setiap tahunnya–dalam usaha-usaha dan lapangan-lapangan
perekonomian menurut perincian sebagai berikut:
a. untuk perindustrian dan pertambangan sebesar
b. untuk pembangunan tenaga listrik, irigasi dan proyekproyek gabungan

| 37 |

25%
25%
c. untuk pembangunan transpor dan perhubungan (komunikasi)
d. untuk keperluan pertanian, transmigrasi dan pembangunan
masyarakat desa
e. untuk keperluan sosial, kesehatan dan perumahan

25%
13%
12%

Jika kita meneliti lebih jauh–dengan tidak membicarakan
pembagian-pembagian dan perincian-perincian lebih jauh daripada
persentase-persentase dan proyek-proyeknya di atas, karena untuk
ini belum cukup bahan-bahan yang tersedia–maka nyatalah, -bahwa
secara segera amat menyolok adanya kenyataan, - bahwa modal
monopoli asing yang tertanam di Indonesia–seperti diuraikan
duluan–menurut taksiran adalah tidak kurang dari kurang lebih
Rp. 50 milyar. Sehingga rencana penanaman yang sebesar hanya
Rp. 2,3 milyar itu dalam arti sebenarnya akan tenggelam dalam
perbandingan kekuatannya, karena dalam persentase hanya
merupakan 4,6% saja dari modal monopoli yang sudah tertanam
dan berakar itu.
Juga dari sinilah nampak jelas, bahwa seluruh potensi nasional
harus dikerahkan, harus diberi jalan untuk ikut serta melaksanakan
Rencana Lima Tahun itu.
++++
Dengan uraian-uraian di atas tadi dalam mana tidak diusahakan
untuk mencari suatu resep baru melainkan dicoba untuk
mengumpulkan fakta-fakta secara agak historis, dan dari situ
menempuh jalan ke arah hari-depan yang gemilang bagi rakyat
dan tanah-air, karena betapapun juga, jalan ke luar bagi Indonesia–
bagi dan untuk menghadapi masalah ekonomi Indonesia, tidaklah
mungkin kita terlepas dari kenyataan-kenyataan yang berkembang
secara historis itu.
Hanya dengan mengetahui dan terus mencari fakta-fakta tentang
keadaan yang sebenarnya, tentang susunan, imbangan dan tenagatenaga yang terkandung dalam masyarakat sendiri, barulah bisa
disusun kekuatan dan dilaksanakan pekerjaan untuk melikuidasi
secara riil kekuasaan kolonialisme atas Indonesia dan untuk
membangun perekonomian nasional yang mengabdi kepada tanah-

| 38 |
Masalah Ekonomi Indonesia
air dan rakyat Indonesia.
+++++
+++
+
Catatan:
Bahan-bahan perbandingan, tabel dan angka-angka lain dikutip
dari:
[1]

Laporan Tahunan BANK INDONESIA 1953-1954 dan 1954-1955,

[2]

“Ruangan Ekonomi” HARIAN RAKJAT,

[3]

Pidato Ir. Sakirman dalam D.P.R.

[4]

Berita-berita ekonomi dari berbagai suratkabar.
+++++
+++
+

| 39 |

Contenu connexe

Tendances

perekonomian indonesia
perekonomian indonesiaperekonomian indonesia
perekonomian indonesiahasril ariel
 
pengertian, latar belakang, tujuan, proses, dampak Merkantilisme
pengertian, latar belakang, tujuan, proses, dampak Merkantilismepengertian, latar belakang, tujuan, proses, dampak Merkantilisme
pengertian, latar belakang, tujuan, proses, dampak Merkantilismemaranathatesa
 
Merkantilisme . Sejarah Peminatan Kelas XI
Merkantilisme . Sejarah Peminatan Kelas XI Merkantilisme . Sejarah Peminatan Kelas XI
Merkantilisme . Sejarah Peminatan Kelas XI afida syakiriyah
 
Sejarah perekonomian indonesia
Sejarah perekonomian indonesiaSejarah perekonomian indonesia
Sejarah perekonomian indonesiaHarry Hassan
 
Bahan Ajar Sistem Eko.Powerpoint.05
Bahan Ajar Sistem Eko.Powerpoint.05Bahan Ajar Sistem Eko.Powerpoint.05
Bahan Ajar Sistem Eko.Powerpoint.05Daryono Soebagiyo
 
Tugas 2. ppt sejarah perekonomian indonesia
Tugas 2. ppt sejarah perekonomian indonesiaTugas 2. ppt sejarah perekonomian indonesia
Tugas 2. ppt sejarah perekonomian indonesiasiti aisah
 
Sukma sejarah ekonomi indonesia
Sukma sejarah ekonomi indonesiaSukma sejarah ekonomi indonesia
Sukma sejarah ekonomi indonesiaSukma Wijaya
 
Gambaran umum perekonomian indonesia
Gambaran umum perekonomian indonesiaGambaran umum perekonomian indonesia
Gambaran umum perekonomian indonesiaifa_talita
 
2 sejarah perekonomian indonesia
2 sejarah perekonomian indonesia2 sejarah perekonomian indonesia
2 sejarah perekonomian indonesiaemi halimi
 

Tendances (11)

perekonomian indonesia
perekonomian indonesiaperekonomian indonesia
perekonomian indonesia
 
pengertian, latar belakang, tujuan, proses, dampak Merkantilisme
pengertian, latar belakang, tujuan, proses, dampak Merkantilismepengertian, latar belakang, tujuan, proses, dampak Merkantilisme
pengertian, latar belakang, tujuan, proses, dampak Merkantilisme
 
Merkantilisme . Sejarah Peminatan Kelas XI
Merkantilisme . Sejarah Peminatan Kelas XI Merkantilisme . Sejarah Peminatan Kelas XI
Merkantilisme . Sejarah Peminatan Kelas XI
 
1
11
1
 
Sejarah perekonomian indonesia
Sejarah perekonomian indonesiaSejarah perekonomian indonesia
Sejarah perekonomian indonesia
 
Bahan 2 mazhab
Bahan 2 mazhabBahan 2 mazhab
Bahan 2 mazhab
 
Bahan Ajar Sistem Eko.Powerpoint.05
Bahan Ajar Sistem Eko.Powerpoint.05Bahan Ajar Sistem Eko.Powerpoint.05
Bahan Ajar Sistem Eko.Powerpoint.05
 
Tugas 2. ppt sejarah perekonomian indonesia
Tugas 2. ppt sejarah perekonomian indonesiaTugas 2. ppt sejarah perekonomian indonesia
Tugas 2. ppt sejarah perekonomian indonesia
 
Sukma sejarah ekonomi indonesia
Sukma sejarah ekonomi indonesiaSukma sejarah ekonomi indonesia
Sukma sejarah ekonomi indonesia
 
Gambaran umum perekonomian indonesia
Gambaran umum perekonomian indonesiaGambaran umum perekonomian indonesia
Gambaran umum perekonomian indonesia
 
2 sejarah perekonomian indonesia
2 sejarah perekonomian indonesia2 sejarah perekonomian indonesia
2 sejarah perekonomian indonesia
 

Similaire à Masalah ekonomi - FISIP Undip

LKS KEHIDUPAN EKONOMI DAN POLITIK PADA MASA AWAL KEMRDEKAAN SAMPAI DEMOKRASI ...
LKS KEHIDUPAN EKONOMI DAN POLITIK PADA MASA AWAL KEMRDEKAAN SAMPAI DEMOKRASI ...LKS KEHIDUPAN EKONOMI DAN POLITIK PADA MASA AWAL KEMRDEKAAN SAMPAI DEMOKRASI ...
LKS KEHIDUPAN EKONOMI DAN POLITIK PADA MASA AWAL KEMRDEKAAN SAMPAI DEMOKRASI ...Kusmiati
 
2. sejarah perekonomian indonesia
2. sejarah perekonomian indonesia2. sejarah perekonomian indonesia
2. sejarah perekonomian indonesiaFindi Rifa'i
 
Presentation2.pptx sejarah perekonomian indonesia
Presentation2.pptx sejarah perekonomian indonesiaPresentation2.pptx sejarah perekonomian indonesia
Presentation2.pptx sejarah perekonomian indonesiaiswah yuni
 
Sejarah perekonomian indonesia
Sejarah perekonomian indonesiaSejarah perekonomian indonesia
Sejarah perekonomian indonesiaEnengNs
 
Belanda dan Dekolonisasi Indonesia – Revolusioner – Histori Bersama.pdf
Belanda dan Dekolonisasi Indonesia – Revolusioner – Histori Bersama.pdfBelanda dan Dekolonisasi Indonesia – Revolusioner – Histori Bersama.pdf
Belanda dan Dekolonisasi Indonesia – Revolusioner – Histori Bersama.pdfaureliagao
 
Dominasi belanda di indonesia
Dominasi belanda di indonesiaDominasi belanda di indonesia
Dominasi belanda di indonesiamonikayuli
 
Dominasi belanda di indonesia
Dominasi belanda di indonesiaDominasi belanda di indonesia
Dominasi belanda di indonesiamonikayuli
 
Sejarah perekonomian indonesia
Sejarah perekonomian indonesiaSejarah perekonomian indonesia
Sejarah perekonomian indonesiaLutfiyah Siti
 
Perkembangan bisnis di indonesia tugas awal pengbis - STEPHANIE AKUN A UNJ 2016
Perkembangan bisnis di indonesia tugas awal pengbis - STEPHANIE AKUN A UNJ 2016Perkembangan bisnis di indonesia tugas awal pengbis - STEPHANIE AKUN A UNJ 2016
Perkembangan bisnis di indonesia tugas awal pengbis - STEPHANIE AKUN A UNJ 2016stephaniejessey
 
Pts ips kls 8 genap 2021
Pts ips kls 8 genap 2021Pts ips kls 8 genap 2021
Pts ips kls 8 genap 2021SyaifulBahri103
 
Makalah perekonomian indonesia
Makalah perekonomian indonesiaMakalah perekonomian indonesia
Makalah perekonomian indonesiaRuri1139
 
PPT KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL DAN MASA GUBERNUR JENDERAL
PPT KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL DAN MASA GUBERNUR JENDERALPPT KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL DAN MASA GUBERNUR JENDERAL
PPT KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL DAN MASA GUBERNUR JENDERALDewi_Sejarah
 
Ppt sejarah perekonomian Masa Liberal
Ppt sejarah perekonomian Masa LiberalPpt sejarah perekonomian Masa Liberal
Ppt sejarah perekonomian Masa LiberalDewi_Sejarah
 
Makalah perjuangan bangsa indonesia sebelum dan sesudah kebangkitan nasional ...
Makalah perjuangan bangsa indonesia sebelum dan sesudah kebangkitan nasional ...Makalah perjuangan bangsa indonesia sebelum dan sesudah kebangkitan nasional ...
Makalah perjuangan bangsa indonesia sebelum dan sesudah kebangkitan nasional ...rahayu wullandari
 
3 sejarah perekonomian ido
3 sejarah perekonomian ido3 sejarah perekonomian ido
3 sejarah perekonomian idofirman sahari
 
3 sejarah perekonomian ido
3 sejarah perekonomian ido3 sejarah perekonomian ido
3 sejarah perekonomian idofirman sahari
 
Proses perkembangan kolonialisme dan imperialisme
Proses perkembangan kolonialisme dan imperialismeProses perkembangan kolonialisme dan imperialisme
Proses perkembangan kolonialisme dan imperialismeWidoyo Negoro
 

Similaire à Masalah ekonomi - FISIP Undip (20)

LKS KEHIDUPAN EKONOMI DAN POLITIK PADA MASA AWAL KEMRDEKAAN SAMPAI DEMOKRASI ...
LKS KEHIDUPAN EKONOMI DAN POLITIK PADA MASA AWAL KEMRDEKAAN SAMPAI DEMOKRASI ...LKS KEHIDUPAN EKONOMI DAN POLITIK PADA MASA AWAL KEMRDEKAAN SAMPAI DEMOKRASI ...
LKS KEHIDUPAN EKONOMI DAN POLITIK PADA MASA AWAL KEMRDEKAAN SAMPAI DEMOKRASI ...
 
2. sejarah perekonomian indonesia
2. sejarah perekonomian indonesia2. sejarah perekonomian indonesia
2. sejarah perekonomian indonesia
 
Presentation2.pptx sejarah perekonomian indonesia
Presentation2.pptx sejarah perekonomian indonesiaPresentation2.pptx sejarah perekonomian indonesia
Presentation2.pptx sejarah perekonomian indonesia
 
Sejarah perekonomian indonesia
Sejarah perekonomian indonesiaSejarah perekonomian indonesia
Sejarah perekonomian indonesia
 
Belanda dan Dekolonisasi Indonesia – Revolusioner – Histori Bersama.pdf
Belanda dan Dekolonisasi Indonesia – Revolusioner – Histori Bersama.pdfBelanda dan Dekolonisasi Indonesia – Revolusioner – Histori Bersama.pdf
Belanda dan Dekolonisasi Indonesia – Revolusioner – Histori Bersama.pdf
 
Dominasi belanda di indonesia
Dominasi belanda di indonesiaDominasi belanda di indonesia
Dominasi belanda di indonesia
 
Dominasi belanda di indonesia
Dominasi belanda di indonesiaDominasi belanda di indonesia
Dominasi belanda di indonesia
 
1. sejarah ekonomi indonesia
1. sejarah ekonomi indonesia1. sejarah ekonomi indonesia
1. sejarah ekonomi indonesia
 
Sejarah perekonomian indonesia
Sejarah perekonomian indonesiaSejarah perekonomian indonesia
Sejarah perekonomian indonesia
 
Sejarah pereokonomian indonesia
Sejarah pereokonomian indonesiaSejarah pereokonomian indonesia
Sejarah pereokonomian indonesia
 
Perkembangan bisnis di indonesia tugas awal pengbis - STEPHANIE AKUN A UNJ 2016
Perkembangan bisnis di indonesia tugas awal pengbis - STEPHANIE AKUN A UNJ 2016Perkembangan bisnis di indonesia tugas awal pengbis - STEPHANIE AKUN A UNJ 2016
Perkembangan bisnis di indonesia tugas awal pengbis - STEPHANIE AKUN A UNJ 2016
 
Pts ips kls 8 genap 2021
Pts ips kls 8 genap 2021Pts ips kls 8 genap 2021
Pts ips kls 8 genap 2021
 
Makalah perekonomian indonesia
Makalah perekonomian indonesiaMakalah perekonomian indonesia
Makalah perekonomian indonesia
 
PPT KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL DAN MASA GUBERNUR JENDERAL
PPT KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL DAN MASA GUBERNUR JENDERALPPT KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL DAN MASA GUBERNUR JENDERAL
PPT KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL DAN MASA GUBERNUR JENDERAL
 
Dependensi Klasik
Dependensi KlasikDependensi Klasik
Dependensi Klasik
 
Ppt sejarah perekonomian Masa Liberal
Ppt sejarah perekonomian Masa LiberalPpt sejarah perekonomian Masa Liberal
Ppt sejarah perekonomian Masa Liberal
 
Makalah perjuangan bangsa indonesia sebelum dan sesudah kebangkitan nasional ...
Makalah perjuangan bangsa indonesia sebelum dan sesudah kebangkitan nasional ...Makalah perjuangan bangsa indonesia sebelum dan sesudah kebangkitan nasional ...
Makalah perjuangan bangsa indonesia sebelum dan sesudah kebangkitan nasional ...
 
3 sejarah perekonomian ido
3 sejarah perekonomian ido3 sejarah perekonomian ido
3 sejarah perekonomian ido
 
3 sejarah perekonomian ido
3 sejarah perekonomian ido3 sejarah perekonomian ido
3 sejarah perekonomian ido
 
Proses perkembangan kolonialisme dan imperialisme
Proses perkembangan kolonialisme dan imperialismeProses perkembangan kolonialisme dan imperialisme
Proses perkembangan kolonialisme dan imperialisme
 

Plus de ardinmarL

Tipologi dan paradigma perencanaan
Tipologi dan paradigma perencanaanTipologi dan paradigma perencanaan
Tipologi dan paradigma perencanaanardinmarL
 
Perumusan isu strategis
Perumusan isu strategisPerumusan isu strategis
Perumusan isu strategisardinmarL
 
Permasalahan design program dalam perencanaan pembangunan
Permasalahan design program dalam perencanaan pembangunanPermasalahan design program dalam perencanaan pembangunan
Permasalahan design program dalam perencanaan pembangunanardinmarL
 
Paradigma perencanaan pembangunan_di_era_otonomi_daerah
Paradigma perencanaan pembangunan_di_era_otonomi_daerahParadigma perencanaan pembangunan_di_era_otonomi_daerah
Paradigma perencanaan pembangunan_di_era_otonomi_daerahardinmarL
 
Indikator kinerja daerah
Indikator kinerja daerahIndikator kinerja daerah
Indikator kinerja daerahardinmarL
 
Identifikasi dan kerangka isu strategis
Identifikasi dan kerangka isu strategisIdentifikasi dan kerangka isu strategis
Identifikasi dan kerangka isu strategisardinmarL
 
Manling fisip
Manling fisipManling fisip
Manling fisipardinmarL
 
Fisip manajemen lingkungan2
Fisip manajemen lingkungan2Fisip manajemen lingkungan2
Fisip manajemen lingkungan2ardinmarL
 
PAK - Nilai dan prinsip anti korupsi
PAK - Nilai dan prinsip anti korupsiPAK - Nilai dan prinsip anti korupsi
PAK - Nilai dan prinsip anti korupsiardinmarL
 
Ekologi manusia
Ekologi manusiaEkologi manusia
Ekologi manusiaardinmarL
 
PAK - pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
PAK - pengertian dan prinsip anti korupsi 2010PAK - pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
PAK - pengertian dan prinsip anti korupsi 2010ardinmarL
 
Bagaimana posisi manusia dalam lingkungan
Bagaimana posisi manusia dalam lingkunganBagaimana posisi manusia dalam lingkungan
Bagaimana posisi manusia dalam lingkunganardinmarL
 
Kebijakan publik
Kebijakan publikKebijakan publik
Kebijakan publikardinmarL
 
Masalah dominan otonomi daerah - FISIP Undip
Masalah dominan otonomi daerah - FISIP UndipMasalah dominan otonomi daerah - FISIP Undip
Masalah dominan otonomi daerah - FISIP UndipardinmarL
 
Grand design otda uu 32 - FISIP Undip
Grand design otda uu 32 - FISIP UndipGrand design otda uu 32 - FISIP Undip
Grand design otda uu 32 - FISIP UndipardinmarL
 
Apbd - FISIP Undip
Apbd - FISIP UndipApbd - FISIP Undip
Apbd - FISIP UndipardinmarL
 
Apbn - FISIP Undip
Apbn - FISIP UndipApbn - FISIP Undip
Apbn - FISIP UndipardinmarL
 
Bahan kuliah-alternatif-penyelesaian-sengketa-dagang-9 - FISIP Undip
Bahan kuliah-alternatif-penyelesaian-sengketa-dagang-9 - FISIP UndipBahan kuliah-alternatif-penyelesaian-sengketa-dagang-9 - FISIP Undip
Bahan kuliah-alternatif-penyelesaian-sengketa-dagang-9 - FISIP UndipardinmarL
 
Uang dan bank - FISIP Undip
Uang dan bank - FISIP UndipUang dan bank - FISIP Undip
Uang dan bank - FISIP UndipardinmarL
 
pengembangan sdm - FISIP Undip
pengembangan sdm - FISIP Undippengembangan sdm - FISIP Undip
pengembangan sdm - FISIP UndipardinmarL
 

Plus de ardinmarL (20)

Tipologi dan paradigma perencanaan
Tipologi dan paradigma perencanaanTipologi dan paradigma perencanaan
Tipologi dan paradigma perencanaan
 
Perumusan isu strategis
Perumusan isu strategisPerumusan isu strategis
Perumusan isu strategis
 
Permasalahan design program dalam perencanaan pembangunan
Permasalahan design program dalam perencanaan pembangunanPermasalahan design program dalam perencanaan pembangunan
Permasalahan design program dalam perencanaan pembangunan
 
Paradigma perencanaan pembangunan_di_era_otonomi_daerah
Paradigma perencanaan pembangunan_di_era_otonomi_daerahParadigma perencanaan pembangunan_di_era_otonomi_daerah
Paradigma perencanaan pembangunan_di_era_otonomi_daerah
 
Indikator kinerja daerah
Indikator kinerja daerahIndikator kinerja daerah
Indikator kinerja daerah
 
Identifikasi dan kerangka isu strategis
Identifikasi dan kerangka isu strategisIdentifikasi dan kerangka isu strategis
Identifikasi dan kerangka isu strategis
 
Manling fisip
Manling fisipManling fisip
Manling fisip
 
Fisip manajemen lingkungan2
Fisip manajemen lingkungan2Fisip manajemen lingkungan2
Fisip manajemen lingkungan2
 
PAK - Nilai dan prinsip anti korupsi
PAK - Nilai dan prinsip anti korupsiPAK - Nilai dan prinsip anti korupsi
PAK - Nilai dan prinsip anti korupsi
 
Ekologi manusia
Ekologi manusiaEkologi manusia
Ekologi manusia
 
PAK - pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
PAK - pengertian dan prinsip anti korupsi 2010PAK - pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
PAK - pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
 
Bagaimana posisi manusia dalam lingkungan
Bagaimana posisi manusia dalam lingkunganBagaimana posisi manusia dalam lingkungan
Bagaimana posisi manusia dalam lingkungan
 
Kebijakan publik
Kebijakan publikKebijakan publik
Kebijakan publik
 
Masalah dominan otonomi daerah - FISIP Undip
Masalah dominan otonomi daerah - FISIP UndipMasalah dominan otonomi daerah - FISIP Undip
Masalah dominan otonomi daerah - FISIP Undip
 
Grand design otda uu 32 - FISIP Undip
Grand design otda uu 32 - FISIP UndipGrand design otda uu 32 - FISIP Undip
Grand design otda uu 32 - FISIP Undip
 
Apbd - FISIP Undip
Apbd - FISIP UndipApbd - FISIP Undip
Apbd - FISIP Undip
 
Apbn - FISIP Undip
Apbn - FISIP UndipApbn - FISIP Undip
Apbn - FISIP Undip
 
Bahan kuliah-alternatif-penyelesaian-sengketa-dagang-9 - FISIP Undip
Bahan kuliah-alternatif-penyelesaian-sengketa-dagang-9 - FISIP UndipBahan kuliah-alternatif-penyelesaian-sengketa-dagang-9 - FISIP Undip
Bahan kuliah-alternatif-penyelesaian-sengketa-dagang-9 - FISIP Undip
 
Uang dan bank - FISIP Undip
Uang dan bank - FISIP UndipUang dan bank - FISIP Undip
Uang dan bank - FISIP Undip
 
pengembangan sdm - FISIP Undip
pengembangan sdm - FISIP Undippengembangan sdm - FISIP Undip
pengembangan sdm - FISIP Undip
 

Masalah ekonomi - FISIP Undip

  • 1. Masalah Ekonomi Indonesia* Oey Hay Djoen Dengan disahkannya Undang-Undang Pembatalan Perjanjian K.M.B. terbuka lebarlah jalan raya menuju pembangunan Indonesia; jalan raya yang kecuali mendekatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi Rakyat Indonesia, juga menghadapkan kita pada bermacambahaya, kesulitan dan kemungkinan serta tak terpenuhinya harapan-harapan karena penghalang-penghalang yang melintangrintangi perjalanan pada hari depan yang lebih baik itu. Pembatalan perjanjian K.M.B. itu, –sekalipun di segi yuridis (hukum) mempunyai arti vital,– tak akan mempunyai kekuatan apapun apabila pembatalan itu hanya bersifat yuridis. Pembatalan secara yuridis itu harus disertai tindakan-tindakan yang nyata di lapangan ekonomi, karena perjanjian K.M.B. pertama-tama adalah masalah ekonomi. Masalah ekonomi Indonesia adalah masalah/soal pertentangan antara kekuasaan ekonomi kolonial dan ekonomi nasional; masalah pembatalan K.M.B. terutama adalah masalah/soal likuidasi kekuasaan ekonomi kolonial itu dan pembangunan ekonomi nasional. Dari sebab itu, membicarakan masalah ekonomi Indonesia tidak bisa terlepas dari pada membicarakan watak-watak dan ciri-ciri kekuasaan ekonomi kolonial atas Indonesia; membicarakan arti sebenarnya dari-pada perjanjian K.M.B. dan dari analisa ini merintis jalan ke arah pembangunan ekonomi nasional Indonesia. ++++ Ciri-ciri pokok daripada politik dan kekuasaan ekonomi kolonial adalah dijadikannya daerah jajahan sebagai: * Ceramah 27 Mei 1956, Lembaga Pengetahuan Progresif – Semarang.
  • 2. a. daerah sumber bahan mentah, b. daerah penanaman modal, c. daerah pemasaran bagi barang jadi, d. daerah tenaga buruh yang murah. Dengan menganalisa keadaan pada sebelum perang dunia ke II, dapatlah kita temukan dengan segera ciri-ciri pokok daripada politik dan kekuasaan ekonomi kolonial itu di Indonesia. I. Indonesia sebagai daerah sumber bahan mentah Indonesia yang kaya raya akan hasil-hasil bumi, yang mempunyai sumber-sumber kekayaan alam yang seolah-olah tiada batasnya ini merupakan makanan yang empuk bagi kolonialisme Belanda. Pengedukan yang dilakukan oleh kolonialisme atas kekayaan alam Indonesia telah membawa dan menghasilkan kejayaan bagi kuasakuasanya di negeri Belanda. Seluruh politik ekonomi dan kekuasaan serta susunan ekonomi di Indonesia diselaraskan dengan kepentingan eksploitasi Indonesia dan kekayaan alamnya. Segala usaha di lapang pembangunan: jalan raya, pelabuhan dan lain-lain komunikasi, pendidikan, perumahan dan sebagainya ditujukan pada kepentingan eksploitasi kekayaan alam Indonesia itu. Untuk memperoleh gambaran yang agak jelas daripada pengedukan kekayaan alam Indonesia, –dijadikannya Indonesia sebagai sumber bahan mentah,– ini baiklah dan memang paling tepat bila kita biarkan angka-angka berbicara. Dengan menggunakan angka-angka yang terdapat dari tahun 1938 maka terjumpailah, bahwa pada tahun itu berat bahan-bahan mentah yang diangkut ke luar negeri–diekspor–dari Indonesia adalah sebesar: 10.994,43 ribu ton seharga (nilai ekspor) 687, juta gulden (rupiah sebelum perang). Kalau kita teliti lagi dari jumlah berat barang di atas ini, maka tahulah kita, bahwa jumlah itu praktis merupakan jumlah mutlak daripada produksi Indonesia pada tahun 1938 itu pula. Sebagai misal baiklah disebutkan | 2 |
  • 3. Masalah Ekonomi Indonesia beberapa angka sebagai berikut: Jenisnya gula (tanaman seluas 84.829 ha.) karet perkebunan teh kopi perkebunan kopi rakyat kina (kulit kering) minyak sawit biji sawit timah minyak tanah bauksit batubara serat keras Produksi ekspor 1.400.340 ton 175.066 ton 80.538 ton 45.572 ton 68.690 ton – 10.955 ton 1.175.300 ton 156.758 ton 71.921 ton 68.962 ton 6.957 ton (kulit kering) 182 ton (kenini) 226.668 ton 220.702 ton 48.036 ton 47.439 ton 29.728 long ton 13.699 long ton (biji timah) 7.207 long ton (logam timah) 7.398.000 ton 6.067.000 ton 245.000 ton 274.000 ton 1.456.000 ton 368.000 ton + 95.000 ton 90.079 ton Atau kalau kita perinci macam-macam terpenting daripada hasil bumi yang diekspor itu dalam persentase (%)-nja dari nilai ekspor– yaitu seharga 687 juta gulden–maka tampaklah angka-angka seperti berikut ini: (1938) karet minyak gula minyak sawit timah 22,6% 23,8% 6,5% 2,8% 5,0% tembakau kopra teh lain-lain 3,9% 5,7% 8,5% 24,8% Seperti telah disebutkan di atas: membiarkan angka-angka berbicara agaknya sudah cukup membuktikan betapa pengedukan yang dilakukan oleh kekuasaan kolonial atas kekayaan alam Indonesia guna kepentingan kolonialisme itu. II. Indonesia sebagai daerah penanaman modal Sudah tentu juga dalam hal ini politik ekonomi kolonial menyelaraskan segala sesuatunya dengan kepentingan eksploitasi kolonialnya. Menurut catatan W. de Cook Buning, jumlah modal milik Belanda | 3 |
  • 4. yang ditanam di Indonesia pada tahun 1923 adalah sebesar ..... f. 1,9 milyar. Sedangkan menurut Prof. G. Gongrijp, modal Belanda pada dekat sebelum perang dunia ke II adalah sebesar ..... f. 4,0 milyar, atau dalam perinciannya sebagai berikut: perkebunan-perkebunan gula perkebunan-perkebunan karet perkebunan-perkebunan lain-lain bank-bank pertanian besar perusahaan timah perusahaan minyak tanah Pelayaran jalan-jalan kereta api perusahaan-perusahaan negara Industri lain-lain jumlah hutang-hutang hamintehaminte [kota-praja] kepada orang-orang Belanda modal yang ditanam secara tidak langsung f. 400.000.000,“ 450.000.000,“ 350.000.000,“ 274.000.000,“ 10.000.000,“ 500.000.000,“ 100.000.000,“ 150.000.000,“ 100.000.000,“ 50.000.000,“ 250.000.000,- f. 2.634.000.000,- f. 1.200.000.000,“ 200.000.000,- f.1.400.000.000,f. 4.034.000.000,- Angka-angka di atas ini ternyata diperkuat juga oleh Prof. Dr. J.D.N. Versluys dalam bukunya (tulisannya) Het Unistatuut de financieleen en economische overeenkomst yang kini dijadikan dokumen oleh Seksi Perekonomian D.P Republik Indonesia. .R. Di dalam memperhatikan angka-angka di atas ini adalah menarik sekali untuk memperhatikan dan secara wajar haruslah disebutkan, bahwa sifat modal Belanda yang ditanam di Indonesia itu sifatnya amat monopoli. Modal Belanda itu menguasai kehidupan ekonomi Indonesia sebagai suatu octopus raksasa yang mempunyai tangannya mencengkeram kehidupan ekonomi. Baikah disebutkan, betapa modal Belanda itu berpusat pada beberapa golongan monopoli sebagai berikut: Keluarga van Eeghen: menguasai: Nederlands-Indishe Handelsbank Incassobank Nederlandse Handel Maatschappij | 4 |
  • 5. Masalah Ekonomi Indonesia 15 onderneming (cultuur-ondernemingen) Stoomvaartmaatschappij Nederland dan juga dalam perusahaan minyak tanah. Keluarga Mees-Hintzen: menguasai: Rotterdamsche Lloyd K.P.M. dll. Menarik sekali adalah: 10 anggota keluarga Mees-Hintzen ini mempunyai 55 fungsi dalam 52 N.V., yaitu 20 bank besar, 5 perusahaan asuransi dan 5 onderneming dagang. Kemudian baiklah juga disebutkan kekuasaan modal monopoli Belanda yang biasa disebut BIG FIVE di Indonesia sebagai berikut: BORSUMIJ a. mempunyai cabang di seluruh Indonesia b. usaha: menjalankan dagang impor-ekspor dan dagang komisi, menjalankan perusahaan kasir, bankir, perindustrian dan perkebunan mengadakan eksploitasi atas barang-barang yang tidak bergerak, Mengeksploitasi konsesi-konsesi perkebunan, tambang-tambang dll. c. mengeksploitasi pabrik pers, pabrik HIMA di Surabaya, pabrik kulit “Djakarta” di Pasuruan, Mempunyai andil 50% dalam “Oranje Brouwerij” di Jakarta, dan Pabrik tekstil “Nebritex” di Plered. Mempunyai andil besar dalam N.V. Maatschappij tot Exploitatie van Book-, Blik- en Offset Drukkerij “FUHRY” di Surabaya, N.V. Lak-Verf Fabriek “Djakarta” di Jakarta dan dalam “Distributie Mij voor Phillipe artikelen” di Indonesia, Selanjutnya BORSUMIJ ini menguasai saham-saham seluruhnya daripada perusahaan sabut kelapa (vezelonderneming) “Kota Blater” di Ambulu. | 5 |
  • 6. N.V. GEO WEHRY: tersusun sebagai berikut: N.V. Adm. Mij GEO WEHRY yang memiliki perusahaan-perusahaan lokal di bawah pimpinan konsern tersebut. N.V. GEO WEHRY dilapangan impor dan merupakan direksi dan menjadi serta bertindak sebagai gedelegeerde dari 15 perkebunan. N.V. Internationaal dsb. Untuk lengkapnya perlulah disebutkan juga modal-modal raksasa monopoli BIG FIVE lain seperti N.V. INTERNATIO, N.V. LINDETEVES dan JACOBSON v.d. BERG N.V. yang dengan tak perlu disebut lagi dapatlah dikenal daerah dan langan operasinya di berbagai lapangan ekonomi vital di Indonesia. III. Indonesia sebagai daerah pasaran bagi barang jadi Dilihat secara strukturil dan dengan angka-angka pembukti, yang menunjukkan kedudukan yang diberikan kepada Indonesia sebagai tanah jajahan oleh kolonialisme Belanda: sebagai daerah sumber bahan mentah dan lebih-lebih lagi dari lapangan-lapangan penanaman modal sebetulnya sudah cukup terlihat politik ekonomi kolonial di Indonesia. Dengan memperhatikan lapangan-lapangan penanaman modal, yaitu perkebunan-perkebunan, pertambangan, pelayaran, bank dsb. itu jelaslah bahwa penanaman modal itu bersifat pelayanan kepentingan kolonialisme dalam pengedukan kekayaan bumi Indonesia. Di lain pihak kenyataan ini secara keras terbukti dari keterbelakangan Indonesia di dalam industri-industri dalam negeri. Industri dalam negeri pada waktu sebelum perang, dan yang jumlahnya atau yang menurut kedudukannya tidak berarti itu tidak lain dan praktis adalah merupakan industri-industri pelayan kepentingan modal Belanda sendiri. Industri–kalau bisa dinamakan demikian dalam arti sebenarnya– yang ada di Indonesia pada sebelum perang dunia ke II pada | 6 |
  • 7. Masalah Ekonomi Indonesia garis besarnya ialah: a. Industri-industri perkebunan dan pertanian berat yang menghasilkan bahan-bahan ekspor, b. Industri-industri pembantu atau bengkel-bengkel yang bekerja untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang kecil di berbagai pabrik besar dalam sub a di atas ini, c. Industri barang-barang kebutuhan penduduk bangsa asing dan golongan atasan lainnya terutama seperti pabrik-pabrik susu, mentega, es, roti, limun, bir, sabun-wangi, sigaret, radio, pirlampu, sepatu, ban-mobil, dsb. semacam itu. Dengan lain perkataan, industri dalam negeri yang melayani kebutuhan rakyat banyak praktis tidak ada atau tidak berarti sama sekali sehingga bergantunglah pada pemasukkan barang-barang kebutuhan itu dari luar negeri, yaitu barang jadi hasil pengolahan kekayaan alam Indonesia sendiri yang telah diangkut ke luar negeri dan dikerjakan oleh pabrik-pabrik di sana, ataupun yang memang merupakan barang-barang jadi sisa kelebihan produksi (overproduksi) yang mencari dan dibanjirkan pada pasaran-pasaran daerah jajahan. Sebagai bukti dapatlah hal ini dilihat dari angka-angka impor pada sebelum perang dunia ke II (tahun 1938) yang menunjukkan seperti berikut: impor 1938: barang-barang konsumsi barang (bahan) baku/penolong barang-barang modal jumlah: banyaknya harga 779,2 ribu ton f. 206,7 juta 1056,9 ribu ton f. 154,4 juta 166,7 ribu ton f. 117,9 juta 2.002.8 ribu ton f.478,5 juta Atau kalau dihitung menurut persentasenya dari seluruh nilai impornya berarti: untuk barang konsumsi 43,3% | 7 |
  • 8. untuk bahan baku/penolong untuk barang modal 32,2% 24,5% IV. Indonesia sebagai daerah tenaga buruh yang murah Dengan tidak usah terlalu jauh mencari-cari bahan kenyataan eksploitasi atas rakyat Indonesia sebagai tenaga buruh yang murah adalah cukup dengan menunjukkan pada sejarah koeli-kontrak, pemerasan yang tiada terhingga kejamnya seperti dengan dakwaan yang sekeras-kerasnya merebut tempat dalam dunia kesusasteraan: buku Multatuli Max Havelaar atau pada ejekan kurang ajar yang berbunyi: “Orang Indonesia bisa hidup dengan segobang sehari ......” Juga sejarah telah membuktikan, bahwa kaum buruh Indonesia– baik di perkebunan, pertanian maupun perusahaan–sadar akan pemerasan dan penindasan penjajahan itu. Adalah sebagai perlawanan yang sadar apabila pada tahun 1926 terjadi pemberontakan yang revolusioner dari rakyat Indonesia melawan penjajahan itu. Dari sebab itu pula adalah khianat jika kejadian bersejarah pada tahun 1926 itu disebut dalam ejekan–seperti juga kaum kolonialis mengartikan kejadian bersejarah itu–sebagai “huru-hara.” + + + + Adalah tidak lengkap, apabila dalam menganalisa susunan dan kekuasaan politik ekonomi kolonial itu kita hanya tinggal pada penyebutan ciri-ciri pokoknya saja. Untuk melengkapi analisa ini mau tidak mau dan secara tidak dapat dipisah-pisahkan harus pula diterangkan betapa eksploitasi kolonial itu menguntungkan pihak penjajah. Menyebutkan pengedukan kekayaan berupa keuntungan-keuntungan bagi penjajah akan menenangkan pula secara lebih jelas keuletan dan perlawanan yang sengit yang dilakukan oleh penjajah terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia. | 8 |
  • 9. Masalah Ekonomi Indonesia Sebagai hasil daripada pengurasan kekayaan alam Indonesia, penanaman modal dan eksploitasinya atas rakyat Indonesia, keuntungan-keuntungan yang luar biasa besarnya diangkut oleh penjajah ke negerinya. Menurut angka-angka yang dikumpulkan dan diumumkan oleh Tinbergen dan Derksen, maka keuntungan di tahun 1938 yang diperoleh penjajah Belanda merupakan tidak kurang daripada kurang lebih 15% daripada pendapatan nasional negeri Belanda pada tahun itu pula, yaitu yang sebesar tidak kurang dari f. 5.100.000.000,- sehingga berartilah bahwa keuntungan penjajah pada tahun 1938 itu adalah kurang lebih f. 700.000.000,- setahun. Keuntungan sebesar 700 juta gulden itu dapat dibagi dalam dua kategori: a. Pendapat-primer yang diperoleh dari ondernemingonderneming seperti gula, karet, kelapa-sawit, timah, minyaktanah, perusahaan-perusahaan dagang dsb. yang meliputi jumlah f. 400.000.000,- kurang lebih. b. Pendapat-sekunder yang diperoleh oleh orang-orang Belanda yang berada di negeri Belanda dan orang-orang Belanda yang bekerja di Indonesia yang berada dalam hubungan yang timbul karena pekerjaan-pekerjaan dalam penanaman modal di Indonesia, yang meliputi jumlah .... f. 300.000.000,- kurang lebih. Suatu contoh yang amat menyolok telah diberikan oleh Henriete Roland Holst dalam bukunya Kapitaal en Arbeid in Nederland yang membuktikan, bahwa pada tahun 1925 perusahaanperusahaan/pabrik gula sebanyak 27 buah dengan modal f. 85.000.000,- yang bekerja di Indonesia telah mencapai keuntungan sebanyak tidak kurang dari f. 34.500.000,-! Lain contoh lagi menyatakan, bahwa menurut angka-angka resmi, selama 20 tahun sebelum perang dunia ke II Belanda mengalami kekurangan dalam neraca perdagangannya dengan Amerika Serikat. Menurut angka-angka itu dari tahun 1921 sampai dengan tahun 1940 negeri Belanda telah mengumpulkan kekurangan pada neraca | 9 |
  • 10. perdagangan dengan A.S. itu sejumlah seluruhnya 900 juta dollar. Sebaliknya, dari tahun 1921 sampai dengan 1940 Indonesia telah mengumpulkan kelebihan dollar pada neraca perdagangannya dengan Amerika Serikat sejumlah seluruhnya 955 juta dollar. Dari sini dapatlah dilihat dengan sejelas-jelasnya, bahwa kekurangan dollar yang selama 20 tahun diderita oleh negeri Belanda itu telah diperkecil, bahkan telah ditutup dengan pendapatan (kelebihan) dari tanah jajahannya! Untuk melihat contoh yang agak lebih menyolok lagi dapatlah disebutkan pula di sini, bahwa rakyat Indonesia yang merupakan 98% dari penduduk kepulauan Indonesia pada tahun 1936 hanya menerima 20% kurang lebih dari pendapatan nasional Indonesia sedangkan penduduk Eropa di Indonesia yang merupakan hanya 0,5% dari penduduk kepulauan Indonesia menerima tidak kurang dari 60% dari pendapatan nasional Indonesia itu!! Keadaan-keadaan seperti diuraikan di atas ini tidak bisa lagi ditolak sebagai bukti-bukti yang senyata-nyatanya daripada pemerasan, penindasan dan kemelaratan yang dialami oleh Rakyat Indonesia di bawah cengkeraman kolonialisme Belanda itu. ++++ Kekuasaan kolonialisme seperti diuraikan di atas itulah–yang merupakan pertentangan pokok antara kolonialisme dan aspirasi nasional Rakyat Indonesia–menjadikan perjuangan Rakyat Indonesia yang paling pokok ialah melenyapkan kekuasaan yang mencengkeram kehidupan Rakyat Indonesia. Perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan ekonomi kolonial atas kehidupan Rakyat ini tercermin dengan tegas dalam U.U.D. proklamasi 1945, pasal 33 yang–secara langsung berhadap-hadapan dengan kenyataan kekuasaan monopoli kolonial–menetapkan, bahwa perekonomian nasional akan: 1) diorganisir sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan, 2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan | 10 |
  • 11. Masalah Ekonomi Indonesia menguasai hayat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, 3) bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan lain perkataan, perjuangan kemerdekaan dari Rakyat Indonesia bertujuan melikuidasi kekuasaan kolonialisme atas ekonomi dan kehidupan Rakyat banyak dan menciptakan suatu ekonomi nasional yang terpimpin, yang sekalipun memungkinkan adanya dan hidupnya modal perseorangan atau kapitalisme, namun dalam batas-batas agar tidaklah ia berkembang menjadi monopoli. Jadi suatu ekonomi nasional yang bertujuan mencapai dan meningkatkan derajat hidup dan kemakmuran rakyat secara maksimal. Tetapi tujuan perjuangan Rakyat Indonesia ini belum tercapai disebabkan kekalahan revolusi Agustus 1945. Kekalahan berturutturut dan secara pasti telah menjadi kenyataan dengan dibuatnya Perjanjian K.M.B. Perjanjian K.M.B. tidak lain ialah restorasi kekuasaan kolonialisme sekalipun dalam bentuk-bentuk yang agak berlainan daripada sebelum perang. Betapa K.M.B. berarti pengembalian kekuasaan kolonialisme bisa secara segera ditemukan pada kenyataan, bahwa di dalam perundingan K.M.B. tidaklah dapat dimasukkan pasal-pasal yang jiwanya termaksud dalam pasal 33 U.U.D. Proklamasi 1945 itu di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (R.I.S.) Terutama bab mengenai pencegahan adanya organisasi-organisasi yang bersifat monopoli di lapangan ekonomi. Baru dengan diproklamasikannya Republik Indonesia Kesatuan pada 17 Agustus 1945 dan di dalam konstitusi sementara (U.U.D.– Sementara) yang berlaku hingga sekarang dapatlah dicantumkan bab-bab yang dimaksudkan itu sebagaimana terbukti dengan pasalpasal 37 dan 38 U.U.D.–Sementara. Tetapi bagaimanakah kenyataannya yang sebenarnya? Adakah ia | 11 |
  • 12. sesuai dengan ketentuan yuridis yang sebenarna paling kuasa karena ia tercantum di dalam konstitusi (sekalipun sementara)?? Kenyataan daripada K.M.B. dan segala konsekuensi yang harus ditanggung karena K.M.B. itu sebenarnya menertawakan bab-bab tersebut sekalipun sudah tercantum dalam U.U.D.–sementara. Seperti sudah disebut di atas, perjanjian K.M.B. tidak lain daripada restorasi kolonialisme atas Indonesia. Dengan K.M.B. itu Indonesia tetap daerah jajahan. Baiklah untuk membuktikan ini diberikan beberapa fakta yang langsung tercantum di dalam perjanjian K.M.B. itu. Antara lain ditentukan, bahwa Indonesia harus mengambil oper segala hutanghutang yang dilakukan oleh negeri Belanda dan sedianya dibebankan kepada “Nederlands Indie,” yaitu: Jumlah hutang yang harus dibayar pada negeri Belanda f. 1.138.237.000,- Hutang yang dilakukan oleh negeri Belanda dan harus dibayar kepada Amerika Serikat f. 420.424.000,- Lain-lain hutang yang dilakukan oleh negeri Belanda dan harus dibayar pada luar negeri f. 2.800.000.000,- Jumlah ..................................... f. 4.358.661.000,- Selanjutnya bisalah juga disebut beberapa pasal daripada perjanjian K.M.B. bagian FINEC (keuangan dan ekonomi), yang secara langsung bertentangan juga dengan pasal-pasal 37 dan 38 U.U.D.– sementara kita, antara lain: Pasal 16: “Tentang perubahan perbandingan harga (wisselkoors) mata uang R.I. dan Nederland lebih jauh akan diadakan permusyawaratan” Pasal 17: “Selama keadaan luar atau dalam negeri memerlukan “deviezen regiem” maka baik Republik Indonesia maupun Nederland akan mempermusyawaratkan pasalpasal kebijaksanaan devisennya yang penting benar bagi pihak yang lain” | 12 |
  • 13. Masalah Ekonomi Indonesia Akibat langsung daripada pasal-pasal di atas ini dapatlah kita lihat pada waktu gunting uang Sjafruddin [Prawiranegara] yang disiarkan seolah-olah bocor, karena ternyata pengusaha-pengusaha monopoli asing berhasil menyelamatkan diri dari gunting Sjafruddin itu, tetapi sebenarnya kebocoran itu adalah sesuai dengan pasal-pasal di atas, yaitu “dibocorkan” oleh pemerintah sendiri. Atau baiklah diambil contoh-contoh lain daripada perjanjian picang itu, yaitu Pasal 3: “Tindakan mencabut hak, menasionalisir, menghapuskan, menyuruh melepaskan atau memindahkan secara paksa benda atau hak, hanya akan dijalankan untuk keperluan umum menurut acara yang ditetapkan dengan peraturan undang-undang dan–jika tidak dapat persetujuan antara pihak-pihak yang berkepentingan–dengan mengganti kerugian yang diterimakan atau dijamin lebih dahulu dan yang ditetapkan hakim menurut harga sebenarnya benda atau hak yang diambil itu, segala-galanya itu menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Syarat bahwa pengganti kerugian itu harus diterimakan atau dijamin lebih dahulu tidaklah berlaku jika benda atau hak itu perlu diambil dengan sesegeranya, karena keadaan perang, bahaya perang, pemberontakan, kebakaran, banjir, gempa bumi, gunung meletus atau lain-lain kejadian yang mendesak.” Atau Pasal 18: “Pada pencabutan hak, nasionalisasi dan lain-lainnya c.q. “naasting” Pemerintah Republik Indonesia mengijinkan pemindahan uang pengganti kerugian c.q. harga “naasting” itu dipindahkan di dalam tempo tiga tahun, maka wajiblah Republik Indonesia menyatakan sedemikian sebelum menjalankan pencabutan hak, nasionalisasi dan lain-lainnya itu. Sebuah panitia arbitrase yang anggotanya ialah seorang wakil Republik Indonesia, seorang wakil yang berhak dan seorang | 13 |
  • 14. anggota lagi yang ditunjuk sesudah bermusyawarat oleh kedua wakil teresbut tadi, akan memberikan keputusan sesudah ikat tentang soal apakah dan sampai dimanakah ketentuan tempo 3 tahun itu boleh dilaini - Jika pemindahan uang tidak dijalankan segera, maka uang mengganti kerugian c.q. “naasting” yang ditetapkan dengan uang Indonesia akan dikreditir dengan valuta negara modal itu berasal daripadanya menurut perbandingan uang (wisselkoers) pada hari pencabutan hak itu terjadi.” Jelaslah, bahwa untuk mencabut hak milik ataupun hak mengusahakan perusahaan dari perusahaan modal Belanda tidaklah cukup dengan peraturan pemerintah, melainkan pada pokoknya haruslah dengan undang-undang yang menyebutkan jumlah pengganti kerugian, serta yang boleh segera ditransfer ke negeri asal modal (negeri Belanda) dengan ketentuan pula mengenai nilai tukar uang pengganti kerugian tersebut. Lebih jauh baiklah juga disebut di sini mengenai hak-hak yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan minyak yang disebutkan di dalam perjanjian-perjanjian kolonial dulu dan yang harus diteruskan/diterima sebagai warisan oleh Republik Indonesia, yaitu apa yang disebut “Let Alone Agreement.” Perjanjian itu menentukan, bahwa kongsi-kongsi minyak diberikan kekuasaan untuk menguasai devisen hasil ekspor minyak tanah dari Indonesia. Hal ini akan diuraikan lebih jauh. Sebagai gambaran tambahan baiklah juga disebut tentang eksploitasi jalan-jalan kereta api di Indonesia. Perjanjian K.M.B. menentukan, bahwa semua perusahaan kereta api di Jawa, Madura dan Sumatera harus dikembalikan kepada maatschappjmaatschappij kereta api (Belanda) partikelir. Pada tahun 1946 pemerintah Belanda di daerah-daerah federal mengadakan perjanjian dengan perusahaan-perusahaan kereta api partikelir, yaitu dengan “Overeenkomst A” perusahaan perusahaan kereta api partikelir itu disatukan dengan S.S. (Staats Spoorwegen) | 14 |
  • 15. Masalah Ekonomi Indonesia dan diberi nama SS/VS. Pada tahun 1949 dengan adanya apa yang dinamakan penyerahan kedaulatan, SS/VS disatukan dengan D.K.A., tetapi perjanjian K.M.B. menentukan lebih jauh, bahwa pemerintah R.I. wajib: a. membayar uang sewa setiap tahun kepada maatschappij sebagai berikut: kepada N.I.S. f. 3.111.300,S.C.S. “ 1.063.800,S.J.S. “ 429.100,O.J.S. “ 253.000,S.D.S. “ 184.500,Madura Stoomtram “ 208.200,Malang Stoomtram “ 153.200,Kediri Stoomtram “ 75.800,Modjokerto Stoomtram “ 55.800,Pasuruan Stoomtram “ 279.090,Probolinggo Stoomtram “ 47.500,Jumlah f. 5.640.000,b. semua pegawai maatschappij digaji dan diberi hak-hak seperti pegawai pemerintah c. Pemerintah R.I. memberi sokongan pada fonds tunjangan maatschappij setiap tahunnya sebesar f. 160.000,-. Ondersteuningsfonds ini berada di negeri Belanda. d. Pemerintah R.I. memberikan sokongan sebesar 25% dari gajiaji (jumlah) ambtenar-ambtenar kepada Fonds Pensiun yang berada di negeri Belanda. Wajarlah bila diperhatikan juga, bahwa dari maatschappijmaatschappij itu yang terbesar modalnya ialah N.I.S., gabungan maatschappij-maatschappij (SJS, CJS, SDS) dan Malang Stoomtram sebesar masing-masing f. 40 juta, f. 6 juta dan f. 5 juta. Dihitung dengan sewa yang sudah dibayar oleh pemerintah sejak tahun 1949 maka nampak keganjilan daripada “kerjasama” di atas ini. Sekalipun sudah dibentuk panitia nasionalisasi pada tahun 1952, tetapi sampai kini perusahaan-perusahaan tersebut di atas masih | 15 |
  • 16. tetap milik maatschappij-maatschappij itu. Demikian inilah secara sekedarnya beberapa contoh tentang konsekuensi-konsekuensi langsung sebagaimana ditetapkan oleh K.M.B. Adalah masalah ini terbatas sampai demikian ini saja? Dalam uraian ini sudah disebutkan, bahwa perjanjian K.M.B. adalah berarti restorasi daripada kekuasaan modal kolonial. Betapa tidak! Ciri-ciri pokok yang kita temukan sebagai pembukti daripada berlakunya ekonomi dan dikuasainya Indonesia oleh politik ekonomi kolonial bukanlah semata-mata identik, sama dengan keadaan pada sebelum perang dunia ke II. Dalam kenyataannya penguasaan Indonesia oleh kolonialisme sebenarnya adalah lebih intensif, lebih keras. Dengan lain perkataan: penghisapan kolonial yang berlaku dengan perjanjian K.M.B. itu mencapai bentuk-bentuk ekstrim. Untuk bergerak pada sistematik penguraian masalah-masalahnya,– bahwa Indonesia tetap daerah jajahan,– baiklah disebutkan kedudukan Indonesia dengan K.M.B. itu sebagai daerah sumber bahan mentah, tempat pengurasan bahan mentah untuk kepentingan penjajahan, untuk kepentingan imperialisme. Menurut Kantor Pusat Statistik, angka-angka ekspor (sesudah K.M.B.) adalah sebagai berikut: tahun 1950 1951 1952 1953 1954 beratnya ekspor 8.518.972 ribu ton 9.734.650 ribu ton 9.847.979 ribu ton 12.192.656 ribu ton 12.744.377 ribu ton nilai ekspor 2.953,79 juta rupiah 4.779,52 juta rupiah –$1 = Rp 3,80 10.386,75 juta rupiah –$1 = Rp 11,40 9.343,00 juta rupiah 9.759,00 juta rupiah Seperti juga halnya pada waktu sebelum perang, jumlah di atas ini boleh disebutkan sebagai jumlah mutlak daripada penghasilan terpenting Indonesia, seperti terbukti dengan angka-angka sebagai berikut: | 16 |
  • 17. Masalah Ekonomi Indonesia tahun 1954 “ “ “ “ “ “ “ jenisnya gula (luas tanaman 49.256 ha.) minyak sawit biji sawit serat keras teh kopi perkebunan kopi rakyat kina “ timah dalam biji “ “ 1950 1951 1952 1953 1954 karet perkebunan karet rakyat minyak mentah & hasil -”-”-”-”- produksi ekspor 717.742 ton 168.636 ton 43.319 ton 30.733 ton 46.900 ton 14.196 ton – 42.800 ton – 1.770 ton 219.441 ton 140.062 ton 42.407 ton 23.723 ton 40.228 ton 37.336 ton 6.816.000 ton 8.093.000 ton 8.523.000 ton 10.225.000 ton 10.775.000 ton 6.160.000 ton 6.798.000 ton 7.883.000 ton 9.599.000 ton 9.887.000 ton 617 ton (kulit kering) 1 ton (kenini) 35.862 long ton 33.941 long ton (dalam biji) 994 long ton (logam) 287.551 ton 237.975 ton -tak tercatat- 471.639 ton Dengan mengambil perbandingan pada keadaan sebelum perang maka nampak juga, bahwa ekspor (baca: pengurasan) hasil-hasil/ kekayaan alam Indonesia yang terpenting telah meningkat sekali, sebagaimana terlihat dari hitungan persentase daripada beberapa hasil terpenting itu dalam nilai ekspornya dari nilai-ekspor seluruhnya. Dengan menggunakan angka tahun 1954 sebagai dasar, maka terlihatlah, bahwa dari jumlah nilai ekspor yang sebesar 9.759 juta rupiah itu: nilai ekspor: karet minyak gula minyak sawit – = 30,9% nilai ekspor: timah = 26,4% tembakau = 2,6% kopra = 3,6% teh lain-lain = 7,2% = 3,8% = 6,7% = 4,6% = 14,2% Kalau kedudukan Indonesia dengan K.M.B. ternyata tidak berubah dari keadaan sebelum perang dunia ke II, yaitu sebagai daerah | 17 |
  • 18. bahan mentah, maka keadaan serupa kita temukan juga dalam keadaan modal dan kekuasaan modal kolonial di Indonesia sesudah K.M.B. ini. Memang, seperti sudah diuraikan di atas, justru K.M.B. inilah yang memberikan jaminan-jaminan agar modal dan kekuasaan modal kolonial tetap dapat menguasai perekonomian Indonesia, tetap dapat bergerak dan menjalankan peranannya untuk pengurasan dan pengedukan bahan mentah, eksploitasi dan keuntungan. Menurut perkiraan, maka modal Belanda sebagai akibat perang dan selama revolusi, telah mengalami kerusakan kurang lebih 25%, yang berarti, bahwa dari modal sebelum perang yang sebesar f. 4 milyar lebih itu masih utuh sebesar f. 3 milyar. Pihak resmi Belanda sendiri telah menaksir, bahwa nilai modal yang ditanam di Indonesia adalah kira-kira f. 5 sampai f. 6 milyar (nilai gulden sebelum perang = kurang lebih 2 kali nilai gulden sesudah perang). Dan dengan kenyataan, bahwa nilai riil daripada f. 1,- sesudah perang adalah kira-kira Rp. 8,= sampai Rp. 9,- maka modal monopoli Belanda yang masih menguasai perekonomian Indonesia berjumlahlah kira-kira Rp. 40 milyar sampai Rp. 50 milyar, bahkan disebut Rp. 64 milyar. Untuk bahan perbandingan baiklah disebutkan di sini, bahwa kekuasaan modal kolonial yang bercokol di bumi Indonesia ini sungguh-sungguh bersifat menguasai perekonomian Indonesia. Tidak kurang daripada 70% daripada modal asing yang ditanam di Indonesia adalah milik kolonialis Belanda. Sebagai misal baiklah diambil, bahwa 7 bank asing di Indonesia pada permulaan tahun 1955 mempunyai Rp. 2,8 milyar deposito, sedangkan 20 bank nasional hanya mempunyai Rp. 75 juta. Di lapangan pelayaran antar-pulau jelas kekuasaan dipegang oleh K.P.M. dan serekannya sedangkan perhubungan laut dengan luar negeri praktis seluruhnya dipegang oleh kongsi-kongsi asing dalam mana modal Belanda menguasai 95%. Demikian juga halnya dengan kade-kade di Indonesia yang untuk 85% dikuasai oleh kongsi-kongsi | 18 |
  • 19. Masalah Ekonomi Indonesia Belanda, sedang instalasi-instalasi pelabuhan praktis diurus pula oleh kongsi-kongsi Belanda. Di lapang pertambangan dan perkebunan kiranya keadaan yang serupa dengan di atas itu sudah cukup jelas. Demikan juga di lapangan impor dan ekspor dsb. Dan memang semuanya itu secara langsung dapat dilihat pada keseretan dan tidak mungkinnya dicapainya perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat. Keterbelakangan di lapangan pembangunan ekonomi nasional, bangkrutnya perusahaanperusahaan yang dibangun dengan susah payah sejak revolusi, semuanya itu menjadi gambaran umum daripada ekonomi negeri. Seperti halnya pada waktu sebelum perang juga pada Indonesia dengan K.M.B. ini ditemukan ciri pokok daripada negeri jajahan: menjadi daerah pasaran bagi barang jadi. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya praktis Indonesia harus bergantung pada luar negeri. Pada impor barang-barang yang sekaligus menggantungkan Indonesia pada sumber penghasilan devisen yang keadaannya seninkemis. Angka-angka impor menunjukkan, bahwa titik beratnya tetap terletak pada pemasukan barang-barang konsumsi (barang jadi) dan barang-barang/bahan-bahan baku penolong sedangkan untuk pembangunan industri persentase impor barang modal tetap kecil, sebagai berikut: Jumlah impor Nilai (dalam jutaan Rp.) Persentase dari jumlah nilai impor 1951 1952 1953 1954 1951 1952 1953 1954 jenis barang-barang pemakaian 1.701 5.377 3.740 2.699 51,3 bahan-bahan baku/penolong 1.148 3.440 3.232 3.048 34,6 barang-barang modal 469 1.989 1.612 1.425 14,1 49,8 43,6 37,6 31,8 37,6 42,5 18,4 18,8 19,9 Ketergantungan Indonesia pada impor barang-barang konsumsi dan terapung-apungnya nasibnya pada hasil ekspor bahan-bahan | 19 |
  • 20. mentahnya itu mendudukkan Indonesia pada tempat yang amat tidak enak dan berada di bawah pengaruh langsung daripada pasaran dunia. Ini lebih-lebih lagi hebatnya karena dengan adanya ikatan K.M.B. yang berarti dikuasakannya Indonesia pada Belanda berartilah pula bahwa Indonesia masuk ke daerah pengaruh–ini paling sedikitnya–dan kekuasaan modal imperialis Amerika Serikat, pada siapa negeri Belanda menggantungkan nasibnya. Juga disebabkan oleh politik yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia setelah perjanjian K.M.B. itu makin terjerumuslah Indonesia ke dalam lumpur permainan imperialisme dunia. Indonesia terseret masuk juga ke dalam perangkap yang dipasang oleh imperialisme Amerika: dalam wujud embargo yang tidak sah terhadap R.R.T. Indonesia ternyata tunduk pada paksaan imperialisme untuk meletakkan orientasi ekonomi dan pembangunan ekonominya kepada hanya dunia barat dengan benteng imperialismenya: Amerika Serikat. Betapa langsung kedudukan itu mempengaruhi Indonesia dapatlah dilihat pada kenyataan bahwa Indonesia sebagai negeri yang hampir-hampir dikatakan nyawanya tergantung pada gerak ekspor bahan-bahan mentahnya telah menjadi korban daripada politik imperialis. Contoh yang amat nyata sebagai akibat ketergantungan pada pasaran barat, pada orientasi ke barat; sebagai akibat embargo, dapatlah dibuktikan dari angka-angka harga bahan ekspor terutama dari Indonesia pada waktu sebelum, selama perang di Korea dan embargo terhadap R.R.T. sebagai berikut: Pasar NEW YORK – dalam dollar sen per pon KARET 1951 – Maret 1952 – Sept 1953 – Maret Nop. 1954 – Maret 72,00 nom. 28,24 26,625 20,425 20,25 TIMAH 1951 – Maret 157,875 1952 – Maret 121,50 1953 – Juni 93,25 Des. 84,25 1954 – Jan. 85,25 | 20 |
  • 21. Masalah Ekonomi Indonesia Dengan segera terbuktilah, bahwa harga karet pada bulan September 1952 (28,24 $sen) tidaklah lebih daripada hanya 39% dari harga karet pada bulan Maret 1951 (72,00 $sen) untuk setiap pon-nya. Betapa besar kerugian yang diderita oleh Indonesia karena kejatuhan harga itu sudahlah mudah untuk dibayangkan. Padahal keadaan kejatuhan harga itu berjalan terus pada tahun-tahun berikutnya dan sampai kini tercapai kembali harga tahun 1951 itu. Baiklah dicoba memberikan angka-angka daripada kerugian yang diderita oleh Indonesia pada tahun 1952 itu saja. Pada tahun 1951 diekspor sebanyak 755.000.000 kg. karet dengan nilai ekspor sebesar Rp. 2.483.000.000,- Sedang pada tahun 1952 diekspor sebanyak 745.000.000 kg. karet dengan nilai ekspor sebesar Rp. 4.778.000.000,Melihat angka-angka di atas ini orang biasa untuk segera bergembira, karena nampak bahwa untuk ekspor yang hampir sama besarnya telah dihasilkan hampir 2 kali dalam harga. Tetapi kegembiraan–kalau orang bergembira–adalah terburu-buru. Keadaan sebenarnya ialah, bahwa pada tahun 1951 nilai tukar dollar dan rupiah adalah $.1,- adalah Rp. 3,80. Sedangkan pada tahun 1952 nilai tukar itu berubah (penilaian kembali rupiah) menjadi $.1,- adalah Rp. 11,40. Jadi kalau Rp 2.483 juta hasil ekspor karet tahun 1951 itu berarti $. 656 juta maka Rp. 4.778 juta hasil ekspor karet tahun 1952 hanyalah berarti $. 419 juta kurang lebih. Jadi untuk jumlah kg. yang hampir sama besarnya Indonesia telah mengalami kejatuhan harga sebesar kurang lebih $. 230 juta. Atau dalam rupiah Indonesia berartilah kerugian sebesar 230.000.000 x Rp. 11,40 = Rp. 2.622.000.000,Kalau kita periksa, bahwa pada pertengahan tahun 1954 harga karet bahkan telah turun menjadi hanya 20,25 $sen per pon, maka | 21 |
  • 22. bisalah secara kasar dikatakan, bahwa selama tahun-tahun 19521953-1954 saja Indonesia telah mengalami kerugian paling sedikitnya 3 x Rp. 2,5 milyar. Ini hanya dalam ekspor karet. Untuk lebih menegaskan lagi betapa Indonesia dieksploitasi sebagai sumber/daerah bahan mentah dan daerah pasaran belaka: tanpa kemungkinan untuk membangun tingkat hidup yang lebih tinggi haruslah diberikan gambaran tentang kepincangan dalam tingkat harga barang-barang yang diimpor ke dan barang-barang yang diekspor dari Indonesia. ANGKA-ANGKA INDEKS HARGA BARANG-BARANG EKSPOR DAN IMPOR (1938 = 100) Ekspor (harga-harga f.o.b.) Impor (harga-harga perdagang besar) Angka-angka indeks tertimbang Angka-angka indeks tertimbang Diantaranya: Diantaranya: 18 hasil 4 hasil 10 hasil 3 hasil 44 ba- 6 bahan 10 macam 13 ba ekspor perke- pertani- hutan rang makanan tekstil han bunan an impor kimia & tiMah 1952-Desember 1.605 1.522 1.668 3.332 2.245 2.555 2.503 2.095 1953-Desember 1.208 1.195 1.188 3.391 2.402 3.157 2.574 2.265 1954-Desember 1.528 1.558 1.479 2.818 2.956 3.414 3.843 2.783 sumber: Kantor Pusat Statistik Apakah yang kita dapati dari angka-angka di atas ini? Ternyata, bahwa dibanding dengan tahun 1938 (memakai tahun 1938 sebagai ukuran 100) maka harga dari 18 hasil ekspor (terpenting) dari Indonesia telah naik dengan 15 kali lebih pada tahun 1954. Tetapi sebaliknya, harga dari 44 barang yang diimpor ke Indonesia telah naik dengan hampir 30 kali. Jadi, kalau pada tahun 1938 harga dari 18 hasil ekspor dan harga dari 44 barang yang diimpor ke Indonesia perbandingannya adalah 1 : 1, maka pada tahun 1954 perbandingan itu telah berubah menjadi 15 : 30 atau 1 : 2. Dengan lain perkataan: untuk dapat mengimpor jumlah yang sama dari 44 macam barang yang dibutuhkan oleh Indonesia, maka Indonesia harus menghasilkan dua kali barang yang harus diekspor. | 22 |
  • 23. Masalah Ekonomi Indonesia Jadi, untuk dapat memenuhi kebutuhannya akan barang-barang impor seperti di tahun 1938 maka rakyat Indonesia harus bekerja duakali lipat dalam menghasilkan barang untuk diekspor. Dengan demikian tidaklah mungkin tercapai peningkatan taraf hidup, bahkan sebaliknya rakyat hidup harus memeras keringatnya lebih hebat lagi. Dan dengan demikian tidak mungkin juga tercapai neraca yang menguntungkan secara riil. Dan sampai di sini mengertilah juga kita, bahwa memang Indonesia tetap merupakan daerah tenaga buruh yang murah. Sebagai contoh baiklah sekedar disebutkan di sini, bahwa–misalnya saja–kaum buruh di lapangan industri minyak sehari menerima upah kira-kira Rp. 6,- atau setengah dollar Amerika Serikat. Jauh melebihi itu adalah, bahwa seorang buruh Amerika yang bekerja di lapangan yang sama (buruh minyak) menerima upah $. 8 (delapan dollar) sehari, atau sama dengan Rp 96,- sehari, yang berarti: 16 kali lipat dari yang diterima oleh seorang buruh Indonesia. Dengan sekedar contoh ini saja kiranya sudah cukup tergambar betapa keras berlakunya pemerasan dan penghisapan terhadap kaum buruh Indonesia. Dan dari sini pula dapatlah dimengerti betapa khianat orang-orang yang mengoper anjuran Dr. Her Schacht–itu fasis Jerman–yang menggambarkan “mehr arbeit,” “mehr arbeit” itu. Adalah juga dengan sekedar contoh tadi itu kiranya cukup untuk setiap orang mengerti betapa adil tuntutan dan perjuangan kaum buruh yang menuntut hapusnya Undang-Undang Darurat Tedjasukmana, yang membelenggu kaum buruh dan mempenjarakan setiap penuntut yang menggunakan senjatanya yang satu-satunya: mogok. Di satu pihak kaum buruh Indonesia ditindas dalam perjuangannya untuk menuntut penghidupan yang layak sebagai manusia di tanah airnya sendiri, di lain pihak dengan K.M.B. itu kaum penjajah diberi hak untuk menguras kekayaan dari penidasan itu. | 23 |
  • 24. Dari kesengsaraan dan penderitaan rakyat Indonesia itu, kaum penjajah mengangkut keuntungan ke luar Indonesia yang berjumlah bermilyar-milyar besarnya. Prof. Romme dalam suatu Kongres Katholieke Volks Partij beberapa tahun yang lalu menyatakan, bahwa jumlah uang berupa keuntungan, bunga, pensiun, premi dll. yang ditransfer dari Indonesia ke negeri Belanda pada tahun 1951 adalah sebesar kurang lebih f. 500.000.000,Angka di atas ini jauh daripada kebenarannya. Sebab, menurut laporan Bank Indonesia 1954-1955, uang yang ditransfer ke negeri Belanda adalah sebagai berikut: 1952: Defisit neraca perdagangan: Asuransi: Keuntungan investasi modal: Rupa-rupa: 1953: Asuransi: Keuntungan investasi modal: Rupa-rupa: 1954: Asuransi: Keuntungan investasi modal: Rupa-rupa: Rp. 1.035.000.000,Rp. 139.000.000,Rp. 1.042.000.000,Rp. 357.000.000,- Rp. 2.286.000.000,Rp. 148.000.000,Rp. 1.249.000.000,Rp. 592.000.000,- Rp. 1.989.000.000,Rp. 111.000.000,Rp. 1.460.000.000,Rp. 715.000.000,- Rp. 2.573.000.000,- Angka-angka di atas ini pun masih harus diragukan, karena belumlah meliputi seluruhnya secara sebenarnya. Uang bunga daripada hutang-hutang yang harus dibayar oleh Indonesia menurut Laporan Bank Indonesia juga adalah: Tahun 1952 : Rp. 115.000.000,Tahun 1953 : Rp. 132.600.000,Kalau kita ambil bagian kecil saja daripada keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh kaum penjajah, baiklah disebutkan sebagai misal, bahwa perusahaan-perusahaan perkapalan seperti K.P – .M. S.M.N. – K.R.L. – K.J.C.P.L. pada tahun 1952 saja telah memperoleh keuntungan tidak kurang dari f. 250.000.000,- (gulden!) Pada tahun 1953, K.P.M. memperoleh untung f. 23.500.000,; K.J.C.P f. 2.450.000,- sedangkan K.R.L. sebesar f. 35.000.000,.L. | 24 |
  • 25. Masalah Ekonomi Indonesia Angka-angka resmi tetap harus diragukan dan seperti di dalam parlemen sudah pernah disebut, maka keuntungan Belanda setiap tahunnya meliputi jumlah tidak kurang dari Rp. 10.000.000.000,(sepuluh milyar). Baiklah secara agak terperinci diterangkan salah satu segi daripada cara yang berlaku dalam pengedukan kekayaan dan keuntungan oleh kaum penjajah. Seperti telah disebut, dengan perjanjian K.M.B. telah dilangsungkan apa yang dinamakan “let alone agreement” bagi perusahaan-perusahaan minyak tanah di Indonesia. Yang diartikan dengan perjanjian ini ialah, bahwa perusahaan-perusahaan itu berhak menguasai sebagian besar devisen dari hasil ekspor minyak tanah, dan sebagaimana sudah dapat ditangkap dari nama perjanjian itu, berhak pula dalam lain-lain hal. Menurut angka-angkanya, berat dan nilai minyak yang didapat pada tahun-tahun yang lalu adalah sebagai berikut: tahun 1952 – 7.883.000.000 kg. – Rp. 2.181.000.000,tahun 1953 – 9.599.000.000 kg. – Rp. 2.292.000.000,tahun 1954 – 9.887.000.000 kg. – Rp. 2.579.000.000,Dari hasil-hasil ekspor tersebut di atas ini, yang langsung diterima oleh pemerintah sebagai penyetoran pada dana devisen dan bagian keuangan pemerintah dalam NIAM adalah antara lain sebagai berikut: Tahun 1952 Penyetoran devisen kongsi minyak pada Dana Devisen Bagian keuntungan Pemerintah Rp. 470.380.000,Rp. 57.900.000,Rp. 528.280.000,- Tahun 1953 Rp. 579.234.000,Rp. 39.600.000,Rp. 618.834.000,- Dihitung dari seluruh nilai ekspornya, maka penerimaan langsung oleh pemerintah tidak lebih dari 25% pada tahun 1952 dan 27% kurang lebih pada tahun 1953. Bagian terbesar–kurang lebih 75%–dikuasai langsung oleh | 25 |
  • 26. perusahaan-perusahaan minyak raksasa asing, yaitu dalam perincian sebagai berikut: Penggunaan devisen oleh maskapaimaskapai asing sendiri: a. untuk impor barang modal b. untuk impor barang konsumsi c. yang diangkut ke luar negeri 1952 Rp. 432.000.000,Rp. 38.400.000,Rp. 1.070.320.000,Rp. 1.540.720.000,- 1953 Rp. 295.000.000,Rp. 23.600.000,Rp. 1.354.566.000,Rp. 1.673.166.000,- Dari angka-angka di atas ini sudah jelas betapa pincangnya kedudukan pemerintah terhadap maskapai-maskapai minyak itu. Namun, angka-angka di atas ini pun belum mewakili seluruh keuntungan yang digondol oleh maskapai-maskapai minyak itu setiap tahunnya. Kalau kita cocokkan angka-angka berat ekspor dan nilai ekspor minyak tanah pada tahun 1953, maka terlihatlah, bahwa harga minyak tanah itu dinilai + Rp. 0,25 per kg. (yaitu: Rp. 2.292.000.000,- : 9.599.000.000 (kg.) -) padahal, menurut catatan harga minyak internasional pada tahun 1953 adalah US.$. 4,45 per barrel (160 liter) atau kurang lebih Rp. 0,40 per kg. Dengan ini ternyata, bahwa perbedaan penilaian harga (Rp. 0,25 per kg) dan harga sesungguhnya di pasar dunia (Rp. 0,40 per kg) memungkinkan maskapai-maskapai raksasa itu pada tahun 1953 itu saja memperoleh keuntungan lagi sebanyak 9.599.000.000 (kg) kali Rp. 0,15 (Rp. 0,40 - Rp. 0,25) = Rp. 1.439.850.000,-......!!! Melihat angka-angka di atas ini tidaklah mengherankan, bahwa menurut perhitungan, maskapai-maskapai raksasa itu dalam tahun 1954 juga ternyata berhasil memperoleh keuntungan secara di atas ini sampai berjumlah seluruhnya kurang lebih Rp. 6.600.000.000,-!! (berita ANTARA tanggal 16 Nopember 1954) Betapa pincangnya keadaan di atas ini makin nampak kalau kita ketahui, bahwa dalam keadaan kongsi-kongsi raksasa penjajah itu bisa mengangkut keuntungan-keuntungan yang luar biasa besarnya itu, pemerintah Indonesia selalu mengalami ketekoran anggaran. | 26 |
  • 27. Masalah Ekonomi Indonesia Ketekoran pada anggaran belanja yang dialami oleh pemerintah ternyata pada tahun 1953 adalah sebesar Rp. 2.240 juta dan pada tahun 1954 sebesar Rp. 3.602 juta. Sedang menurut taksiran, defisit tahun 1955 adalah kira-kira Rp. 2.500 juta. Memang ternyata, bahwa pembiayaan anggaran sebenarnya banyak digantungkan pada hutang-hutang/pinjaman-pinjaman. Beberapa angka di bawah ini menunjukkan perkembangan dan meningkatnya jumlah hutang pemerintah; yaitu hutang jangka-panjang dalam dan luar negeri serta hutang jangka-pendek dalam negeri: 1949: Rp. 6.894.000.000,1950: Rp. 8.634.000.000,1951: Rp. 7.646.000.000,1952: Rp. 11.876.000.000,1953: Rp. 13.385.000.000,1954: Rp. 16.834.000.000,Dari angka-angka di atas ini terlihatlah, bahwa dibandingkan dengan jumlah hutang tahun 1949 jumlah hutang itu telah naik dengan + 245% pada tahun 1954. Dalam keadaan seperti itu, dan sebagai akibat langsung daripada ketergantungannya maka Indonesia makin lama makin terjerumus dalam lumpur hutang dan ketekoran anggaran. Keadaan ini ternyata oleh pemerintah-pemerintah sesudah K.M.B. tidak diselesaikan secara pokok, melainkan dalam prakteknya memang susunan ekonomi kolonial yang berlangsung di Indonesia. Yaitu, bahwa pemerintah-pemerintah sesudah K.M.B. meneruskan pula sistem perekonomian kolonial itu dalam usaha mengatasi kesulitan-kesulitan ketekoran dan sebagainya itu. Hal ini dengan segera dapat kita temukan pada sumber-sumber penghasilan negara yang tidak lepas dari sistem kolonial. Pemerintah negara buat sebagian terbesar digantungkan pada penerimaan pajak-pajak-langsung dan tidak-langsung sebagai | 27 |
  • 28. berikut: 1.a. Pajak langsung b. Pajak taklangsung 2.- Saldo-saldo perusahaan negara 3.- Berbagai penerimaan (TPI/TPT) 4.-Lain-lain 1952 Rp. 1.832 juta Rp. 5.132 juta 1953 Rp. 2.027 juta Rp. 4.474 juta 1954 Rp. 2.439 juta Rp. 3.957 juta Rp. 293 juta Rp. 205 juta Rp. 61 juta Rp. 2.082 juta Rp. 354 juta Rp. 9.684 juta Rp. 1.914 juta Rp. 1.087 juta Rp. 9.707 juta Rp. 1.179 juta Rp. 815 juta Rp. 8.451 juta Ternyatalah, bahwa penerimaan negara pada hakekatnya digantungkan pada pajak-pajak langsung dan tidak langsung sebagai berikut: tahun: 1952 = + 75% 1953 = + 70% 1954 = + 76% Lebih jauh haruslah pula diperhatikan, bahwa penerimaan berupa hasil TPI/TPT - sertifikat devisen pada hakekatnya berarti juga pajak tidak langsung, sehingga dengan demikian penerimaan negara yang didasarkan pada penerimaan pajak langsung dan tidak langsung adalah sebesar kurang lebih 95%. Dengan politik fiskal seperti di atas ini sudahlah terang, bahwa yang terutama harus menderita adalah rakyat banyak. Lebih-lebih lagi dengan segala macam sertifikat devisen, maupun segala macam bentuk T.P.I. (seperti B.I.T., B.I.S. dsb.), karena semuanya ini merupakan pajak-pajak tidak langsung juga yang harus ditanggung— pada akhirnya oleh konsumen pula. Yaitu, sekalipun secara formal yang membayar T.P.I. itu adalah kaum importir, namun ini berarti pula beban secara tidak langsung bagi golongan-golongan rakyat miskin. Dengan T.P dan semacamnya itu timbullah keadaan-keadaan yang .I. makin menjerumuskan perekonomian Indonesia ke dalam keadaan bergantung. | 28 |
  • 29. Masalah Ekonomi Indonesia Dengan T.P.I. itu kecuali membebankan tanggungan yang lebih berat pada rakyat dan konsumen, juga mengakibatkan: 1) kian merosotnya kurs riil (nilai tukar sesungguhnya) daripada mata-uang kita (rupiah), 2) kian merosotnya daya beli rakyat banyak, yang berarti bertambah hebatnya kesengsaraan rakyat banyak itu, 3) naiknya harga bahan-bahan untuk industri yang dikerjakan di dalam negeri, –ini terutama dalam hubungannya dengan usaha kaum pengusaha nasional–; dan dengan naiknya bahanbahan itu memaksa naiknya ongkos-ongkos pengusaha (kostprijs) hasil-hasil industri dalam negeri itu, 4) beratnya persaingan yang–oleh karenanya–harus dihadapi oleh pengusaha-pengusaha nasional terhadap barang-barang impor, terutama juga barang-barang konsumsi yang membanjiri pasaran Indonesia dari luar negeri itu, 5) bangkrutnya perusahaan-perusahaan dalam negeri karena tak berdaya terhadap arus pemasukan barang-barang konsumsi, dan dengan kian bergantungnya pengusaha-pengusaha nasional dan dapatnya dilakukan impor secara leluasa itu diperkuat sekaligus peranan bank-bank asing yang menurut catatan masih melayani 70% dari kegiatan impor Indonesia (bank-bank nasional tidak mampu melayani kebutuhan impor yang karena T.P.I. membutuhkan modal besar. Bahkan menurut Tuan Suprapto, Anggota Fraksi Masjumi dalam D.P .R., kapasitas daripada kaum importir nasional hanya merupakan 6% kurang lebih dari pada kapasitas importir asing!!) Dengan fakta-fakta di atas, maka selama politik fiskal dan politik di lapangan impor seperti T.P dan sebagainya itu terus dijalankan, .I. tidak akan dapat diatasi keseretan dan bahkan kehancuran yang kian menjadi-jadi yang harus dihadapi oleh ekonomi Indonesia dewasa ini. Politik itu hanya menguntungkan modal raksasa asing dan menguasakan hari depan perekonomian serta kehidupan rakyat secara mentah-mentah pada penghisapan dan kesewenangan modal raksasa asing. Dari uraian di atas tadi, amatlah jelasnya, bahwa memang | 29 |
  • 30. kekuasaan kaum monopoli asing masih sepenuhnya dan dimungkinkan mencengkeram semua lapangan perekonomian dan keuangan. Dan kenyataan masih berkuasanya kolonialisme itu mendakwa pada kita, bahwa tidaklah mungkin untuk merubah susunan perekonomian kolonial itu menjadi perekonomian nasional: untuk kesejahteraan rakyat dan tanah-air, tanpa langkahlangkah yang riil dan tegas untuk melikuidasi atau sedikitnya lebih mengeraskan pembatasan terhadap kekuasaan modal asing. Dari pengertian di atas inilah–yang disandarkan pada keadaankeadaan yang sebenarnya dan sekerasnya yang kita hadapi– pembatalan perjanjian K.M.B. secara seluruhnya, mempunyai arti yang bukan tambal sulam, melainkan harus dilaksanakan dengan konsekuen dan tidak separuh-separuh. Dalam hubungan ini baiklah disebutkan, bahwa Statement of Policy dari pemerintah Burhanuddin Harahap mengenai investasi modal asing di Indonesia, yang pada pokoknya menentukan, bahwa modal asing diperbolehkan bergerak leluasa di segala lapangan perekonomian, kecuali di lapangan perekonomian yang bersifat sosial dan merupakan “public utilities” (karena ini hanya disediakan untuk pemerintah) adalah contoh daripada tindakan tidak konsekuen dan separuh-separuh. Sebabnya ialah, karena dengan hanya pembatasan pada lapanganlapangan yang bersifat sosial dan merupakan “public utilities” itu, modal asing masih secara leluasa boleh bergerak di lapangan pertambangan, perindustrian, pertanian, perkebunan yang berteknik modern, bank, impor dan ekspor serta perkapalan, dsb. yang memang sejak dulu menjadi terutama lapangan gerak modal monopoli asing. Pembatalan perjanjian K.M.B. secara yuridis haruslah segera disusul dengan langkah-langkah tegas untuk melumpuhkan dan kemudian melikuidasi kekuasaan kolonial atas perekonomian dan kehidupan rakyat Indonesia. Langkah-langkah itu terutama haruslah berupa nasionalisasi atas | 30 |
  • 31. Masalah Ekonomi Indonesia perusahaan-perusahaan yang sekarang dikuasai oleh modal monopoli asing–terutama Belanda–, yang terpenting diantaranya ialah nasionalisasi impor dan ekspor, komunikasi–daratan, lautan maupun udara–, bank-bank serta di berbagai lapangan perkebunan, pertambangan dan pertanian. Dalam menjalankan nasionalisasi itu, bukanlah ditentukan caracara dan prosedur seperti telah ditentukan dalam perjanjian K.M.B. atau yang senyawa dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian K.M.B. itu, melainkan haruslah disandarkan pada perhitungan dan kepentingan rakyat banyak, baik mengenai penggantian, jangka waktu maupun syarat-syarat menghadapi pelaksanaan nasionalisasi. Nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan vital yang masih dikuasai oleh modal monopoli asing itu bukan hanya berarti langkah penting dalam melikuidasi kekuasaan kolonialisme atas lapangan ekonomi Indonesia, melainkan ia berarti pula merebut kembali kekuasaan itu untuk dijadikan kekuatan diri sendiri dalam membangun perekonomian nasional. Selanjutnya langkah-langkah yang ditujukan untuk melemahkan kedudukan kaum monopoli kolonial, dengan jalan antara lain sangat membatasi keuntungan-keuntungan kaum modal monopoli/asing dan bentuk-bentuk invisible seperti uang jasa dsb. itu yang biasa ditransfer ke luar negeri, sedangkan terhadap perusahaanperusahaan minyak haruslah diambil tindakan mencabut hak-hak istimewa atas devisen hasil ekspor minyak tanah seperti atau yang senyawa dengan persetujuan-persetujuan “let alone agreement.” Juga terhadap konsesi-konsesi–baik perusahaan industri, perkebunan atau pertambangan dan komunikasi–yang tidak dikerjakan lagi haruslah ditarik kembali ke bawah kekuasaan pemerintah, sedangkan pemindahan konsesi maupun perusahaanperusahaan monopoli Belanda kepada modal asing lainnya haruslah dilarang. Terhadap perusahaan-perusahaan lainnya dari modal asing harus | 31 |
  • 32. berlaku peraturan-peraturan yang menentukan adanya kekuasaan pemerintah untuk melakukan kontrol atas jalannya perusahaan, administrasi dsb. dan langkah-langkah ini harus diteruskan pada penentuan politik produksi dan penjualan hasil-hasil perusahaanperusahaan tersebut. Semua langkah-langkah di atas ini harus pula dilengkapi oleh politik impor dan ekspor: politik perdagangan dengan luar negeri yang tegas. Orientasi yang berat sebelah, yaitu yang menundukkan diri hanya pada kekuasaan dollar Amerika atau Poundsterling Inggris tidak mungkin memberikan kesempatan-kesempatan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang riil daripada pembangunan ekonomi nasional Indonesia. politik perdagangan luar negeri harus sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi Indonesia itu: yaitu pasaran yang seluas-luasnya yang menghapuskan ketergantungan pada hanya satu negeri sebagai seolah-olah pembeli tunggal bahan-bahan hasil negeri dan di pihak lain menggunakan sebaik mungkin penawaran-penawaran barangbarang yang dibutuhkan oleh Indonesia oleh negeri mana pun. Dengan sikap tegas di dalam politik perdagangan luar negeri seperti di atas ini terjaminlah kebebasan sepenuhnya bagi Indonesia untuk menjalankan prinsip perhubungan luar negeri–terutama di lapangan perekonomian dan keuangan–yang disandarkan pada kebebasan, saling menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan yang riil. Sebab memang, membangun perekonomian nasional yang akan mampu memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia dan meningkatkan secara terus menerus taraf hidup rakyat Indonesia berarti pertamatama membangun, memperlengkapi dan memperluas industriindustri untuk produksi bahan makanan, pakaian dan lain-lain kebutuhan sehari-hari rakyat banyak. Dan untuk ini dibutuhkanlah barang-barang modal dan alat-alat perlengkapan yang pada taraf sekarang harus didatangkan dari luar negeri secara bebas dari ketergantungan dan ikatan-ikatan politik maupun ekonomis yang hanya menjerat dan mengakibatkan bahwa Indonesia harus membayarnya kembali dengan pelayanan kepentingan-kepentingan pihak yang bersangkutan itu. | 32 |
  • 33. Masalah Ekonomi Indonesia Dengan lain perkataan, pihak yang menentukan pada tingkat terakhir dan tertinggi haruslah pihak Indonesia. Selanjutnya, perlu ditegaskan pula, bahwa hari depan Indonesia bukanlah terletak pada penitik-beratan usaha di lapangan ekspor seperti keadaannya dewasa ini. Hari depan Indonesia terletak pada kekuatan diri sendiri di dalam perindustrian dan lain-lain lapangan usaha yang secara langsung melayani keperluan rakyat Indonesia. Dan ke luar dari pendirian ini, maka harus dikurangi intensivitas kerja yang hanya ditujukan pada pengurasan dan penggunaan tanahtanah dan sumber-sumber alam untuk keperluan produksi bahan mentah untuk diekspor. Sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia, maka yang harus dipergiat adalah penanaman dan perluasan tanaman-tanaman bahan-bahan yang secara langsung memenuhi keperluan hidup sehari-hari rakyat banyak dan keperluan industri-industri yang memproduksi hasil-hasil yang diperlukan oleh rakyat banyak. Dan guna memenuhi ini semua sudah tentu dibutuhkan aparataparat yang mengorganisir produksi (baik bahan mentah maupun barang jadi yang langsung dibutuhkan oleh rakyat), bimbingan, pimpinan dan perkreditan untuk usaha-usaha itu, serta aparataparat distribusi yang menjamin peredaran yang sempurna dan seimbang antara kota dan desa. Pelaksanaan segala sesuatu ini haruslah pula digenangi oleh suatu pikiran pokok, suatu arah yang tertentu pula dalam membangun perekonomian nasional kita. Pikiran pokok atau arah tertentu tadi ialah, bahwa secara setapak demi setapak, sebagai rencana jangka panjangnya, haruslah segala sesuatu pelaksanaan itu menyertakan dirinya pada pembangunan industri basis, yaitu pembangunan industri berat, industri baja, pengolahan logam, bahan bakar, tenaga listrik, kimia, pengangkutan dan semacamnya. Yaitu industri basis untuk perindustrian kita selanjutnya, baik sebagai pelayanan akan keperluan mesin-mesin, alat maupun | 33 |
  • 34. perbengkelan, sehingga dengan demikian dicapailah keadaan dalam mana Indonesia sungguh-sungguh bisa mendasarkan perekonomiannya atas kekuatan dan kemampuannya sendiri. Dengan lain perkataan jelaslah, bahwa pembangunan perekonomian nasional yang dimaksudkan ialah perekonomian nasional yang berencana serta meliputi seluruh lapangan dan cabang perekonomian dalam satu keseluruhan, bukan pecah-pecah atau satu-satu. Adalah hal yang semestinya, bahwa melaksanakan pembangunan ekonomi berencana itu membutuhkan pimpinan yang demokratis; pimpinan yang kecuali menjauhkan diri dari segala bentuk birokrasi dan korupsi–yang harus dicapai dengan jalan aparat kontrol yang sekuat-kuatnya–, juga konsekuen menarik garis dalam melindungi usaha-usaha nasional dan mempunyai sikap tegas tidak menyerah terhadap segala bentuk usaha-usaha berkedok, yang pada hakekatnya hanya ekor daripada modal asing. Kecuali memberikan arah yang benar dalam usaha membangun ekonomi nasional seperti telah dicoba dirumuskan di atas tadi, usaha pembangunan ekonomi nasional kita ini harus juga menggunakan dan menempatkan bentuk-bentuk perekonomian yang sewajarnya dan pada tempatnya. Yang terang adalah, bahwa perusahaan-perusahaan negara, yaitu bentuk perekonomian negara–yang menguasai lapangan-lapangan perekonomian yang pokok dan basis–harus dalam arti yang sesungguhnya menjadi pimpinan dalam pembangunan ekonomi kita. Kemudian bentuk-bentuk perekonomian lainnya, seperti usaha campuran antara modal pemerintah dan modal partikelir nasional, usaha koperasi sebagai bentuk perekonomian bersama dari segenap rakyat, dan usaha modal partikelir menempati tempat dan lapangan masing-masing, sehingga dalam keseluruhannya bentuk-bentuk perekonomian itu merupakan usaha-usaha yang saling mengisi dan menjalankan fungsinya masing-masing secara merata-seimbang (harmonis). | 34 |
  • 35. Masalah Ekonomi Indonesia Dengan adanya bentuk perekonomian negara sebagai tenaga pimpinan dan basis pembangunan perekonomian nasional itu, bukan saja membawa pada pembebasan pada bentuk-bentuk penghisapan dan penindasan secara lambat laum, melainkan juga amat penting artinya untuk mencegah menjadinya modal dan usaha partikelir warganegara berubah dan berkembang ke arah bentukbentuk dan sifat-sifat monopoli. Karena sekalipun menurut keadaan obyektif dan sesuai dengan kebutuhannya masih harus dikembangkan modal partikelir atau dengan lain sebutan: kapitalisme, namun sesuai pula dengan tujuan yang tercermin dalam U.U.D. Republik Indonesia Agustus 1945, perkembangan modal kapitalis nasional itu harus dibatasi agar tidak menjadi monopoli. Kalau kita sudah berbicara tentang arah dan tenaga-tenaga/ bentukbentuk perekonomian yang mendukung dan melaksanakan pembangunan ekonomi nasional itu, –dalam arti sebagaimana sudah diuraikan di atas ini,– maka teranglah, bahwa semuanya itu bukan saja bergantung pada kekuatan dan kebijaksanaan politik keuangan dan ekonomi pemerintah saja. Untuk bisa menjadikan pembangunan perekonomian itu suatu realitas maka segenap potensi rakyat haruslah dikerahkan. Bagi setiap warganegara ada tempat dan kewajiban untuk mencurahkan tenaga, kekuatan materiil maupun pengalamannya di dalam usaha besar ini. Bukan saja ini, melainkan keadaan obyektif menuntut, bahwa segenap kekuatan nasional yang ada harus dikerahkan untuk memungkinkan dan mempercepat pelaksanaan pembangunan itu. Dan dalam hubungan ini tidak ada tempat bagi bentuk diskriminasi apa pun juga. Untuk bisa merealisir likuidasi kekuasaan modal monopoli asing dan untuk mencapai pembangunan ekonomi nasional itu, seluruh warganegara dikerahkan. Membeda-bedakan sesama warganegara, menjadikan segolongan warganegara anak-emas dan segolongan lainnya kambing-hitam; membeda-bedakan sesama warganegara berdasarkan “keaslian” | 35 |
  • 36. dan bukan “keaslian” keturunannya, adalah bentuk-bentuk diskriminasi berdasar asal keturunan (rasial) yang akan mengebiri kekuatan/potensi nasional dalam membangun perekonomian hari depan kita. Sebab, adanya pembeda-bedaan antara sesama warganegara; adanya hak-hak istimewa bagi segolongan warganegara secara praktis memungkinkan dan membangkitkan timbulnya segala macam bentuk birokrasi dan korupsi, yang pasti tidak akan disiasiakan oleh modal monopoli asing. Sistem semacam itu bukan saja mengisolasi kekuatan–sebagian kekuatan–yang ada pada warganegara Indonesia dari kesertaan membangun perekonomian nasional, melainkan membuka kemungkinan untuk digunakan oleh modal monopoli asing untuk menginfiltrasi usaha pembangunan ekonomi nasional kita dengan jalan usaha-usaha berkedok di belakang “keaslian” untuk memperoleh juga prioritas-prioritas di lapangan perekonomian. Apalagi kalau diingat, bahwa pada masa peralihan ini–di mana secara yuridis sudah dibatalkan perjanjian-perjanjian perekonomian dan keuangan berdasarkan K.M.B.–modal monopoli asing akan menggunakan segala jalan dan kesempatan untuk memecah belah potensi nasional kita, agar gagallah usaha melikuidasi kekuasaan modal raksasa asing itu secara riil. Segala jalan dan cara akan dilakukan oleh kekuasaan kolonial itu untuk menyabotir pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional kita. Dalam hubungan ini baiklah disebutkan juga apa yang telah dikonstatir mengenai adanya sabotase pada Tambang Minyak Sumatera Utara yang kini sudah berada di tangan pemerintah R.I. Kemudian baiklah juga ditegaskan, bahwa kewaspadaan haruslah tinggi, karena kecuali adanya sabotase-sabotase secara terangterangan itu ada pula usaha untuk membelokkan perhatian dari persoalan-persoalan yang pokok dalam menghadapi dan melaksanakan pembatalan perjanjian K.M.B. Gejala-gejala dan tindakan-tindakan seperti diadakannya | 36 |
  • 37. Masalah Ekonomi Indonesia diskriminasi rasial, pertentangan-pertentangan ekonomis, pembongkaran-pembongkaran gubuk-gubuk rakyat dan semacamnya tidak dapat dilihat dari sudut sosial-ekonomis melulu, melainkan juga harus dilihat dari pengertian akan adanya usahausaha dan tindakan-tindakan pembelokkan perhatian dan pengeroposan potensi nasional dalam menghadapi soal-soal pokok tadi. Jadi sekali lagi: pembangunan perekonomian nasional kita membutuhkan segenap potensi nasional kita; tenaga, kekuatan materiil maupun pengalaman yang ada pada segenap warganegaranya. Dalam hubungan inilah, di satu pihak: harus disambut dengan gembira bahwa untuk pertama kalinya pembangunan ekonomi Indonesia secara berencana dan terpimpin akan dilaksanakan dengan suatu Rencana Lima Tahun. Sekalipun bahan-bahan mengenai Rencana Lima Tahun itu belum lengkap diumumkan, namun sudahlah terang, bahwa syarat pertama untuk bisa dicapainya hasil yang diharapkan adalah menyesuaikannya dengan keadaan dewasa ini: pembatalan K.M.B. Tanpa menyesuaikan Rencana Lima Tahun itu dengan kenyataan dan kebutuhan yang timbul setelah perjanjian K.M.B. dibatalkan, maka Rencana Lima Tahun itu akan ditertawakan oleh kenyataankenyataan, karena ia akan menjadi suatu usaha Don Quixote yang mau memerangi kincir-angin. Apabila benar keterangan-keterangan yang telah tersiar sampai sekarang, maka nampaknya Rencana Lima Tahun kita pertama ini adalah mengandung maksud, bahwa pemerintah akan menginvestasikan (menanam) modal negara sebesar Rp. 11,5 milyar dalam waktu lima tahun–atau berarti rata-rata Rp. 2,3 milyar setiap tahunnya–dalam usaha-usaha dan lapangan-lapangan perekonomian menurut perincian sebagai berikut: a. untuk perindustrian dan pertambangan sebesar b. untuk pembangunan tenaga listrik, irigasi dan proyekproyek gabungan | 37 | 25% 25%
  • 38. c. untuk pembangunan transpor dan perhubungan (komunikasi) d. untuk keperluan pertanian, transmigrasi dan pembangunan masyarakat desa e. untuk keperluan sosial, kesehatan dan perumahan 25% 13% 12% Jika kita meneliti lebih jauh–dengan tidak membicarakan pembagian-pembagian dan perincian-perincian lebih jauh daripada persentase-persentase dan proyek-proyeknya di atas, karena untuk ini belum cukup bahan-bahan yang tersedia–maka nyatalah, -bahwa secara segera amat menyolok adanya kenyataan, - bahwa modal monopoli asing yang tertanam di Indonesia–seperti diuraikan duluan–menurut taksiran adalah tidak kurang dari kurang lebih Rp. 50 milyar. Sehingga rencana penanaman yang sebesar hanya Rp. 2,3 milyar itu dalam arti sebenarnya akan tenggelam dalam perbandingan kekuatannya, karena dalam persentase hanya merupakan 4,6% saja dari modal monopoli yang sudah tertanam dan berakar itu. Juga dari sinilah nampak jelas, bahwa seluruh potensi nasional harus dikerahkan, harus diberi jalan untuk ikut serta melaksanakan Rencana Lima Tahun itu. ++++ Dengan uraian-uraian di atas tadi dalam mana tidak diusahakan untuk mencari suatu resep baru melainkan dicoba untuk mengumpulkan fakta-fakta secara agak historis, dan dari situ menempuh jalan ke arah hari-depan yang gemilang bagi rakyat dan tanah-air, karena betapapun juga, jalan ke luar bagi Indonesia– bagi dan untuk menghadapi masalah ekonomi Indonesia, tidaklah mungkin kita terlepas dari kenyataan-kenyataan yang berkembang secara historis itu. Hanya dengan mengetahui dan terus mencari fakta-fakta tentang keadaan yang sebenarnya, tentang susunan, imbangan dan tenagatenaga yang terkandung dalam masyarakat sendiri, barulah bisa disusun kekuatan dan dilaksanakan pekerjaan untuk melikuidasi secara riil kekuasaan kolonialisme atas Indonesia dan untuk membangun perekonomian nasional yang mengabdi kepada tanah- | 38 |
  • 39. Masalah Ekonomi Indonesia air dan rakyat Indonesia. +++++ +++ + Catatan: Bahan-bahan perbandingan, tabel dan angka-angka lain dikutip dari: [1] Laporan Tahunan BANK INDONESIA 1953-1954 dan 1954-1955, [2] “Ruangan Ekonomi” HARIAN RAKJAT, [3] Pidato Ir. Sakirman dalam D.P.R. [4] Berita-berita ekonomi dari berbagai suratkabar. +++++ +++ + | 39 |