2. KATA PENGANTAR
Puji syukur, Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini secara tepat waktu. Semoga Buku
ini bermanfaat bagi pembaca sekalian dan memberikan wawasan terutama dalam menunjang
proses belajar mengajar.
Penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan
buku yang berjudul, “Seni Rupa Modern Kontemporer Indonesia” ini.
Penulis menyadari dalam menulis buku ini, masih terdapat banyak sekali kekurangan-
kekurangan. Atas seizin pembaca maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar dapat memperbaiki karya sehingga menjadi lebih baik di masa-masa yang
akan datang.
Akhir kata penyusun mengucapkan semoga buku ini dapat diterima dan bermanfaat bagi
seluruh pembaca.
Salatiga, Juli 2012
Penulis
3. DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
A. Membandingkan Karya Seni Rupa Modern Kontemporer dan Tradisional
B. Pengertian Seni Rupa Modern Kontemporer
Bab II Sejarah dan Perkembangan Seni Rupa Modern Kontemporer Indonesia
A. Sejarah Perkembangan seni Rupa Modern Kontemporer Indonesia
B. Perkembangan Seni Rupa Modern Kontemporer Indonesia
C. Tokoh- tokoh dan Karyanya
Bab III Aliran Seni Rupa Modern Kontemporer Indonesia
A. Impresionisme
B. Ekspresionisme
C. Romantisisme
D. Luminisme
E. Abstrakisme
F. Kubisme
G. Realisme
H. Naturalisme
I. Simbolisme
J. Monumentalisme
K. Fauvisme
L. Kubisme
M. Futurisme
N. Absolutisme
O. Esensialisme
P. Elementarisme
Q. Surealisme
R. Dadaisme
S. Neo Realisme
T. Neo Klasisisme
U. Post-Modernisme
Bab IV Apresiasi Karya Seni Rupa Modern/Kontemporer Indonesia
A. Keunikan Gagasan Seni Rupa Modern Kontemporer Indonesia
B. Gagasan Seni Rupa Modern Kontemporer Indonesia
Bab V Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Isi
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Membandingkan Karya Seni Rupa Modern Kontemporer dan Tradisional
Karya seni rupa terus berkembang dan mengalami perubahan seiring waktu. Meskipun
pada puncak kreativitas seni rupa kontemporer ada kecenderungan kembali
mengkombinasikan karya seni rupa kepada nilai-nilai kuno, itu juga merupakan sebuah
perubahan seni rupa menuju ke arah yang lebih maju.
Karya suatu seni rupa terlahir dari suatu lingkungan masyarakat tertentu dengan
berbagai peran dan tujuan. Sebagaimana karya-karya seni yang lainnya, seni rupa pada
awalnya terlahir dari suatu sistem kepercayaan masyarakat lama yang menganut paganisme,
animisme, dan dinamisme. Mereka menciptakan karya-karya seni rupa, terutama patung,
sebagai alat komunikasi antara manusia dengan roh leluhur mereka.
Meskipun belum ditemukan bentuk tulisan pada masa prasejarah, para ahli
berkesimpulan bahwa peradaban manusia telah ada pada masa tersebut. Hal ini dapat
dibuktikan melalui peninggalan-peninggalan karya seni rupa yang ditemukan dan diyakini
berasal dari sejarah peradaban kuno.
Bangsa-bangsa di Nusantara pada zaman prasejarah dikenal sebagai penganut animisme,
yaitu penganut kepercayaan terhadap roh-roh leluhur dan nenek moyang serta benda-benda
yang dianggap keramat. Pada awalnya, bentuk-bentuk persemayaman roh nenek moyang
tersebut diwujudkan dalam bentuk-bentuk sederhana seperti bentuk Lingga dan Menhir,
yaitu tugu batu yang menjulang tinggi berbentuk lingga (tonggak batu berbentuk silinder
dengan ujung tumpul). Di beberapa tempat ditemukan guratan garis-garis pada menhir yang
menyerupai mata, hidung, mulut, tangan, lengan, dan kaki secara sederhana sekali. Menhir,
menurut dugaan para ahli, adalah tempat bersemayamnya roh-roh nenek moyang
masyarakat zaman purba.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Nusantara kuno membuat barang-barang dari
gerabah yang diberi perhiasan sederhana seperti bentuk menhir, bulatan-bulatan, dan
sejenisnya. Di beberapa tempat, seni rupa dan karya masyarakat yang belum modern, masih
5. terjaga budaya seni rupa yang sepenuhnya lain dengan karya seni yang dapat kita temui pada
masyarakat kita yang tentu saja lebih modern.
Kehidupan nusantara memang tidak sama. Perbedaan tempat dan lokasi dan situasi
menghasilkan orang dengan budaya yang berbeda. Tak jarang kita mengalami kejutan-
kejutan budaya pada waktu kita berkunjung ke suatu tempat yang lain dari yang biasa kita
tempati. Seni rupa dalam hal ini, mengalami kejutan yang sama. Di beberapa tempat ritual
keagamaan masih dipegang teguh, termasuk seni rupa dan medianya, namun di tempat lain
yang lebih maju, seni rupa sudah mengalami perubahan dan pengikisan.
Seni Rupa Tradisional
Istilah tradisional berasal dari kata “tradisi” yang menunjuk kepada suatu lembaga,
artefak, kebiasaan atau perilaku yang didasarkan pada tata aturan atau norma tertentu baik
secara tertulis maupun tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka secara singkat dapat
dikatakan bahwa karya seni rupa tradisional adalah karya seni rupa yang bentuk dan cara
pembuatannya nyaris tidak berubah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Seni rupa tradisional adalah segala hal yang berkaitan dengan nilai-nilai suatu komunitas
masyarakat tertentu yang dijaga secara turun temurun kemurnian dan keutuhannya.
Berdasarkan pengertian ini, karya seni rupa tradisional dapat diartikan sebagai karya-karya
seni rupa yang merupakan hasil budaya suatu masyarakat tertentu yang telah lama hidup dan
dijaga dengan baik secara turun-temurun.yang termasuk karya seni rupa jenis ini di antaranya
adalah batik tulis jenis keraton, ukuran Toraja, patung suku Asmat, dan sebagainya.
6. Sumber gambar: http://2.bp.blogspot.com
Gambar Patung Suku Asmat
Bukan hanya itu, nilai dan landasan filosofis yang berada dibalik bentuk karya seni rupa
tradisional tersebutpun umumnya relatif tidak berubah dari masa ke masa. Bentuk-bentuk
seni rupa tradisional ini dibuat dan diciptakan kembali mengikuti suatu aturan (pakem) yang
ketat berdasarkan sistem keyakinan atau otoritas tertentu yang hidup dan terpelihara di
masyarakatnya. Dalam konteks perkembangan seni rupa di Barat (Eropa), istilah seni rupa
tradisional ini menunjukkan pada otoritas penguasa agama (gereja), raja dan para bangsawan.
Para seniman tradisional menciptakan karya berdasarkan keinginan atau aturan yang telah
ditetapkan sesuai ”selera” institusi-institusi tersebut dan berlangsung dalam rentang waktu
yang panjang, sepanjang kekuasaan institusi-institusi tersebut.
Berdasarkan pengertian seni tradisional yang telah disebutkan di atas, kita menjumpai
berbagai karya seni rupa di Indonesia khususnya karya-karya seni kriya dapat dikategorikan
sebagai karya seni rupa tradisional. Banyak sekali benda-benda kriya yang tersebar
dikepulauan Nusantara, yang bentuk, bahan dan cara pembuatannya hingga saat ini tidak
mengalami perubahan yang berarti sejak pertama kali diciptakannya. Karya-karya seni tradisi
ini umumnya hidup di lingkungan masyarakat yang masih kuat memegang norma atau adat
istiadat yang diwariskan para leluhurnya. Perubahan umumnya terjadi pada fungsi dari
benda-benda kriya tersebut yang semula berfungsi sebagai benda pakai atau benda-benda
7. pusaka kini menjadi benda hias atau cindera mata. Perubahan sistem sosial dan budaya
masyarakat serta kemajuan teknologi berperan besar mempengaruhi perubahan fungsi
benda-benda tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya dalam konteks seni rupa dunia, istilah seni rupa
tradisional kerap ditujukan kepada karya seni rupa non-Barat. Sifatnya yang mentradisi dan
tidak berubah ini menjadi pembeda utama dengan karya seni rupa modern yang senantiasa
menuntut inovasi dan kebaruan. Ciri lain dari karya-karya seni rupa tradisional ini adalah latar
belakang penciptaan atau pembuatannya yang senantiasa terikat oleh fungsi atau konteks
tertentu. Pada karya-karya komunal seperti itu, peran ekspresi individu senimannya nyaris
tidak tampak. Hak penciptaan karya seni rupa bukan milik perorangan tetapi milik masyarakat
pendukungnya. Dengan demikian hampir tidak ada karya seni rupa tradisional yang
menggunakan inisial pembuatnya seperti yang umumnya terdapat pada karya-karya seni
Modern.
Karya seni rupa tradisional tersebar luas dari ujung Barat hingga ujung Timur kepulauan
Nusantara (Indonesia). Sejak masuknya kolonialisme Barat (penjajahan bangsa Eropa) ke
kepulauan Nusantara dan berkembangnya paham seni rupa Modern di Eropa, maka karya-
karya seni rupa Nusantara di luar kategori karya yang menggunakan konsep Modern tersebut
dikategorikan sebagai karya seni rupa tradisional. Pengkategorian ini dalam pandangan yang
sempit seringkali digunakan untuk menunjukkan karya seni rupa yang bermutu tinggi
(modern) dengan karya yang bermutu rendah (tradisional).
Pengaruh penjajahan bangsa Barat yang cukup lama di kepulauan Nusantara
menyebabkan pandangan semacam ini terus berkembang yang memandang karya-karya seni
kriya (seni rupa tradisional) lebih rendah dari karya seni lukis atau patung modern. Hal
tersebut tidak terlepas dari pandangan sebagian masyarakat yang memandang modern
identik dengan kemajuan dan perkembangan sedangkan tradisional identik dengan stagnasi,
kuno atau ketinggalan jaman. Sikap dan cara mengapresiasi yang keliru ini seringkali
menyebabkan karya-karya seni rupa tradisional yang sesungguhnya bernilai tinggi terabaikan
dan terlupakan. Padahal karya-karya seni rupa tradisional Nusantara ini memiliki peluang
yang sangat besar untuk dikembangkan dan menjadi gagasan dalam berkarya seni rupa.
8. Apresiasi yang tepat diharapkan dapat menghasilkan inovasi karya-karya seni rupa yang
memiliki ciri khas Indonesia.
B. Pengertian Seni Rupa Modern Kontemporer
Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa
ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan mengolah konsep
titik, garis, bidang, bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika.
Karya seni rupa modern kontemporer terlahir dari masyarakat modern yang berusaha
meelpaskan diri dari ikatan-ikatan baku dan mapan yang terdapat pada masyarakat
tradisional. Karya seni rupa modern adalah produk budaya kontemporer yang dinamis dan
selalu mencari sesuatu sebagai gagasan dan atau media yang diungkapkan. Kelahiran aliran
seni rupa kontemporer selalu merupakan reaksi penolakan atas kemapanan atau keberadaan
aliran yang berpengaruh pada periode sebelumnya.
a. Seni Rupa Modern
Seni rupa Modern yaitu istilah umum yang digunakan untuk kecenderungan karya seni
yang diproduksi sejak akhir abad ke-19 hingga sekitar tahun 1970-an. Seni rupa modern
menunjuk kepada suatu pendekatan baru dalam seni dimana tidak lagi mementingkan
representasi subjek secara realistik—penemuan fotografi menyebabkan fungsi
penggambaran di dalam seni menjadi absolut, para seniman modern bereksperimen
mengeksplorasi cara baru dalam melihat sesuatu, dengan ide segar tentang alam, material
dan fungsi ini, seringkali bergerak melaju ke arah abstraksi.
Modernisme adalah aliran atau mazhab estetika pembaruan yang mengiringi
perkembangan desain dan seni rupa pada umumnya menjelang abad ke-20. Pada
perkembangan akhir modernisme, cenderung mengagungkan fungsi menjadi nafas utama
paham ini, terbukti hanya menampilkan bentuk kaku, kering dan mengakui seniman sebagai
“Manusia Jenius”.
Setiap karya seni modern selalu disertakan nama senimannya tersebut. Karya seni
modern cenderung mengedepankan kesederhanaan dan bersifat universal. Seorang seniman
modern akan melihat dunia yang sedang dihadapinya sebagai objek lukisan seolah-olah
9. seperti baru saja objek itu diciptakan. Satu syarat yang masih dituntut oleh seni modern dan
bahkan menjadi ciri khasnya ialah “kreativitas”.
1) Ciri-ciri dan Unsur Modernisme (Desain dan Seni Rupa)
a. Ciri-ciri seni modern (Desain dan Seni Rupa)
Minimalis.
Rasionalitas/Rationality.
Dominant bentuk-bentuk geometris.
Tidak ada unsur ornament.
Universal.
Fungsionalitas diprioritaskan.
Orisinalitas/kemurnian/purity.
Penguatan dalam konsep.
Kreativitas .
Memutus hubungan dengan sejarah.
b. Unsur-unsur Modernisme
Eksperimen.
Pembaruan (Inovation).
Kebaruan (Novelty).
Orisinalitas.
2) Fungsi dan Tujuan Seni Modern
a) Memberi warna baru terhadap kebutuhan manusia baik secara fisik maupun
psikis.
Fisik :
Munculnya bentuk-bentuk desain arsitektur yang baru dan desain-desain lainnya
seperti alat-alat transportasi, fashion dll.
Psikis:
Mengurangi kejenuhan penikmat karya seni, karena muncul berbagai aliran
baru seperti pada seni lukis dan cabang seni lainnya.
10. b) Meningkatkan popularitas para seniman, karena seni modern selalu
menyertakan nama senimannya pada setiap karya yang diciptakan.
c) Memberikan kemudahan masyarakat, karena banyak penemuan-penemuan
baru dari hasil eksperimen para seniman modern.
Karya seni modern ditandai dengan munculnya kreativitas untuk menciptakan sesuatu
yang baru dan belum ada. Unsur kebaruan menjadi sangat penting dan harus ada dalam
penyebutan karya seni modern. Karya seni modern mengutamakan aspek kreativitas dalam
berkarya seni.Contoh karya seni rupa modern antara lain seni patung, seni lukis, seni kria, dan
seni grafis.
Sumber gambar: http://2.bp.blogspot.com
11. Pengertian “modern” dalam terminologi seni rupa tidak bisa dilepaskan dari prinsip
modernisme atau paham yang mendasari perkembangan seni rupa modern dunia sampai
pertengahan abad ke-20. Seni rupa modern dunia memiliki nilai-nilai yang bersifat universal.
Dari penafsiran seorang pelukis Jerman yang pindah ke Amerika Serikat sesudah Perang
Dunia ke II, Hans Hofmann menyatakan hanya seniman dan gerakan di Eropa dan Amerika
yang mampu melahirkan seni rupa modern, konsepsi poros Paris-New-York sebagai pusat
perkembangan seni rupa modern.
Seni modern lahir dari dorongan untuk menjaga standar nilai estetik yang kini
sedang terancam oleh metode permasalahan seni. Modernisme meyakini gagasan progres
karena selalu mementingkan norma kebaruan, keaslian dan kreativitas. Prinsip tersebut
melahirkan apa yang kita sebut dengan “Tradition of the new” atau tradisi “Avant-garde”,
pola lahirnya gaya seni baru pada awalnya ditolak, namun akhirnya diterima masyarakat
sebagai inovasi terbaru.
Seni modern dengan melahirkan Conceptual Art/ Seni Konseptual merupakan gerakan
dalam menempatkan ide, gagasan atau konsep sebagai masalah yang utama dalam seni.
Sedangkan bentuk, material dan objek seninya hanyalah merupakan akibat/efek samping dari
konsep seniman.
Walapun kita sering menggunakan istilah seni rupa modern prinsip modernisme tak
pernah sungguh-sungguh berakar. Polemik kebudayan di tahun 30-an sangat mempengaruhi
pemikiran perkembangan seni rupa Indonesia. Hal ini dipertegas oleh Jim Supangkat 1992
sebagai berikut:
1) Persentuhan seni rupa Indonesia dengan seni rupa modern sebenarnya hanya
terbatas pada corak, gaya, dan prinsip estetik tertentu. Nasionalisme sebagai sikap
dasar persepsi untuk menyusun sejarah perkembangan sejarah seni rupa Indonesia
adalah kenyataan yang tak bisa disangkal dan nasionalisme sangat mewarnai
pemikiran kesenian dihampir semua negara berkembang. Batas kenegaraan itulah
yang mengacu pada nasionalisme yang akhirnya diakui dalam seni rupa kontemporer
yang percaya pada pluralisme sejak zaman PERSAGI tidak pernah ragu menggariskan
12. perkembangan seni rupa Indonesia khas Indonesia (Jim Supangkat dalam Dharsono,
2004: 224).
2) Kendati seni rupa modern percaya pada eksplorasi dan kebebasan secara implisit
akhirnya hanyalah mempertahankan prinsip-prinsip seni rupa Barat (tradisi Barat).
Prinsip-prinsip modernisasi juga menetapkan tahap perkembangan yang didasarkan
pada perkembangan seni rupa modern Eropa Barat dan Amerika (lihat sejarah). Di
Indonesia prinsip-prinsip seperti itu tidak seluruhnya teradaptasi, akan tetapi muncul
secara terpotong-potong kadang dalam bentuk yang lebih ekstrim.
Catatan perkembangan pelukis Belanda yang diabaikan adalah catatan yang justru
secara mendasar memperlihatkan tanda-tanda perkembangan seni rupa modern. Kendati
tidak terlalu nyata pergeseran yang terjadi pada tahun 1940-an ini menandakan seniman
mulai mempersoalkan bahasa rupa dan cenderung meninggalkan representasi (menampilkan
realitas sebagai fenomena rupa). Pada tahun 50-an kecenderungan mempersoalkan bahasa
rupa itu menegaskan pada karya pelukis Ries Mulder yang waktu itu tinggal di Bandung.
Ketika Ries Mulder merintis pendidikan seni rupa di Bandung (ITB), perkembangan seni rupa
di alur ini memasuki era penjelajahan masalah bentuk rupa yang secara sadar meninggalkan
representasi. Ries Mulder memperkenalkan konsep-konsep seni lukis kubisme yang kemudian
sangat berpengaruh di kalangan pelukis pribumi yang belajar padanya. Di tempat lain, ruang
seni rupa di Jogjakarta pada saat itu dipenuhi dengan karya-karya realistis. Dari kenyataan
inilah maka lahir kubu Bandung yang disebut sebagai laboratorium Barat. Hal ini dipertegas
oleh A.D. Pirous bahwa:
“…perguruan tinggi dibentuk dengan gaya, konsep dan teori kesenian Barat
modern diajarkan pada mahasiswa, proses itu berjalan sedemikian sehingga
pada tahun 50 dan 60-an , karya-karya mahasiswa seni rupa Bandung pernah
dicap sebagai hasil laboratorium Barat (A.D. Pirous, 2003:56)”
Akibat dari perkembangan ini, kemudian terjadi ketidaksetujuan antara kubu
Bandung-Jogja yang memperlihatkan pertentangan dua tradisi besar seni rupa modern,
yaitu kontradiksi tradisi realis dan modernis.
Karya seni modern yaitu karya seni rupa yang ditandai dengan munculnya kreativitas
untuk menciptakan sesuatu yang baru dan belum ada. Unsur kebaruan menjadi sangat
13. penting dan harus ada dalam penyebutan karya seni modern. Karya seni modern
mengutamakan aspek kreativitas dalam berkarya seni. Contoh karya seni rupa modern antara
lain seni patung, seni lukis, seni kria, dan seni grafis.
Corak karya seni rupa modern antara lain realis, naturalis, dekoratif, ekspresif, dan
abstrak. Jenis karya seni rupa modern Nusantara berupa karya seni lukis, patung, seni grafis,
seni kria. Karya seni rupa modern yang bercorak realis adalah karya seni rupa modern yang
menampilkan bentuk yang menyerupai bentuk alam. Contohnya karya-karya seni lukis,
patung, dan topeng yang meniru bentuk manusia, binatang, atau tumbuh- tumbuhan yang
dibentuk mirip dengan bentuk aslinya. Bentuk realis dalam penciptaannya mengacu pada
bentuk alam dan berusaha meniru objek sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga
bentuk yang dihasilkan sama persis bentuk yang ada dialam.
Karya seni rupa modern yang bercorak dekoratif sama dengan corak dekoratif pada seni
rupa tradisi, yakni berusaha menyederhanakan bentuk dengan cara distilasi atau diubah
sesuai dengan cara-cara tersendiri oleh penciptanya.
Seni rupa modern bercorak abstrak adalah karya seni rupa modern yang bentuknya tidak
meniru dan mengacu bentuk yang ada di alam. Bentuk yang ditampilkan adalah bentuk-
bentuk imajinasi yakni bentuk hasil kreasi seniman sendiri. Bentuknya bermacam- macam ada
yang berupa karya seni patung, lukis, kria.
Penciptaan karya seni rupa modern sedikit berbeda dengan penciptaan karya seni tradisi.
Dalam proses penciptaan karya seni modern lebih bebas dalam menuagkan iide atau gagasan
dan tidak terikat oleh aturan- aturan. Oleh karena itu, karya seni rupa modern banyak
berfungsi sebagai media ekspresi. Di samping itu, karya seni rupa modern berfungsi sebagai
media kritik sosial dan sebagai benda estetis.
Istilah Modernisme sendiri menunjukkan ideologi yang mempengaruhi gerakan budaya,
politik dan seni yang menyertai perubahan masyarakat di Barat pada akhir abad 19 dan awal
abad 20. Secara meluas, modernisme dideskripsikan sebagai satu seri pergerakan budaya
progresif dalam seni rupa, arsitektur dan musik, literatur dan seni pakai yang muncul dalam
dekade sebelum tahun 1914.
14. Tercakup di dalam perubahan dan kehadirannya, modernisme menjadi arah karya
seniman, pemikir, penulis dan perancang yang memberikan label baru tradisi akademi dan
sejarah seni pada akhir abad 19 serta mengkonfrontasi aspek ekonomi, sosial dan politik baru
yang dimunculkan dunia modern.
Memahami seni rupa modern dapat juga dengan melakukan analisis terhadap istilah
pembentuknya yaitu ”seni” dan ”modern”. Istilah seni umumnya merujuk pada segala
kegiatan dan hasil karya manusia yang mengutarakan pengalaman batinnya yang karena
disajikan secara unik dan menarik memungkinkan timbulnya pengalaman atau kegiatan batin
pula pada diri orang lain yang melihat dan menghayatinya. Hasil karya ini lahir bukan karena
didorong oleh hasrat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang paling pokok, melainkan
oleh kebutuhan spiritualnya, untuk melengkapi dan menyempurnakan derajat
kemanusiaannya.
Dengan batasan seperti ini kita dapat mencoba untuk menunjukkan benda apa saja yang
layak untuk disebut seni dapat masuk ke dalamnya. Adapun istilah “modern” dalam hal ini
tidak selalu harus dihubungkan dengan waktu. Sarah Newmeyer misalnya, walaupun terasa
agak absurd, menulis dalam bukunya bahwa seni modern itu boleh jadi berupa gambar bison
yang digoreskan 20.000 tahun yang lalu dan boleh jadi juga karya Picasso yang baru saja
diselesaikan pagi ini.‟ Berdasarkan pendapat ini jelaslah bahwa ia menggunakan istilah
modern tidak dalam hubungannya dengan kronologi melainkan dimaksudkan untuk
menunjukkan sesuatu kelompok karya yang memifiki sifat-sifat tertentu. Maka sifat-sifat
tertentu itulah yang dapat dipandang sebagal ciri khas seni modem sehingga dengan mudah
akan dapat dikenali mana yang bisa digolongkan dalam seni modern dan mana yang tidak.
Dengan ungkapan itu sesungguhnya artian modern tersebut diperluas tetapi sekaligus
juga dipersempit. Diperluas, karena istilah itu menyangkut juga seni prasejarah dan
dipersempit karena sebaliknya, belum tentu apa yang dilukiskan sekarang dapat masuk di
dalamnya. Apabila kita ingin membenarkan kata-kata Newmeyer tersebut, dapatlah
dikatakan bahwa setidaknya pada saat diciptakan, seni prasejarah ini memang memifiki sifat-
sifat modern. Kalaupun secara kronologis kita akan membatasi daerah seni modern ini dan
menyempitkan pada karya-karya yang diciptakan pada apa yang biasa kita sebut sebagai
15. jaman modern, kita akan juga mengalami kesukaran, yaitu di mana menarik garis batasnya;
kapan dan di manakah mulainya seni rupa modern itu. “Modern art begins nowhere because
it begins everywhere. It is fed by a thousand roots, from cave paintings 30,000 years old to the
spectacular novelties in the last week’s exhibitions,” kata Canaday yang kurang lebih
menunjang ungkapan Newmeyer di atas.
Semua pencapaian dari masa ke masa di banyak tempat di dunia ini memberikan
andilnya pada pembentukan seni modern, sehingga susahlah untuk menentukan kapan dan
di mana periode seni rupa modern itu sebenarnya mulai. Maka untuk itu, sekali lagi, kita
harus mempunyai pegangan, kualitas apakah yang paling berharga dalam seni modern
tersebut dan dengan itu mencoba untuk mencari kapan kualitas tadi mulai ada atau
berkembang biak dengan baik (Soedarso, 2000).
Kalau kita mengacu periodisasi sejarah umum di Eropa—dimana sebagian besar kejadian
dalam panggung sejarah seni rupa modern ini berlangsung—maka babakan sejarah modern
Eropa dianggap mulai sejak zaman Renesans pada abad ke-15 sedangkan sejarah seni rupa
modern di Eropa baru pada abad ke-19, dengan munculnya tokoh pelukis J.L. David di
Perancis yang dianggap memiliki sesuatu yang dapat disejajarkan dengan kualitas modern
tadi. Bahkan ada pula yang menganggap seni modern Eropa dimulai pada massa yang lebih
akhir lagi.
Seperti telah diuraikan di atas, seni modern pada dasarnya tidak terbatas oleh hal-hal
yang kasatmata seperti objek-objek lukisan tertentu ataupun corak dan gaya tertentu,
melainkan ditentukan oleh sikap batin senimannya. Seni modern pun, berkat perkembangan
komunikasi modern yang menyertai kemajuan teknologi, tidak kenal lagi akan batas-batas
daerah dengan kekhasan tradisinya masing-masing.
Seni modern menjadi universal sifatnya. Walaupun di sana-sini ada pula terdapat cap-
cap daerah atau ada kalanya seni tradisi secara sadar atau tidak dimunculkan oleh seseorang
pelukis modern ke dalam hasil karyanya, namun kenyataannya kita akan kesulitan untuk
dapat menebak dari mana asal sesuatu lukisan yang dihadapkan kepada kita. “Today the
boundaries are vague Horizons are infinite; the artist is tempted to explore in a hundred
directions at once.” Tulis Canaday pula.
16. Mengenai yang terakhir ini, yaitu bahwa para seniman modern terangsang untuk
menjelajah ke segala arah, kebenarannya tidak hanya sebatas arah di peta bumi saja, bahwa
misalnya banyak seniman Eropa meninggalkan negerinya untuk mencari objek lukisan yang
lain, tetapi juga karena daerah perhatian mereka itu meluas ke mana-mana. Bukan hanya
pemandangan yang indah dan wanita cantik saja yang ingin dilukisnya, tetapi juga toilet bekas
yang sudah tidak terpakai lagi atau kulit pokok kayu yang memiliki jenis permukaan atau
texture yang unik, atau bahkan jaringan sel-sel yang hanya dapat diamati melalui mikroskop
yang dulu sama sekali tidak terjamah oleh perhatian seniman, kini menjadi lahan yang subur
bagi objek lukisan para seniman modern. Dengan ini jelaslah bahwa bagi mereka itu seni
modern tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, bahkan di sana-sini juga tidak terikat oleh
tatabahasa maupun kaidah-kaidah seni yang sudah mapan. Mereka sanggup menerima
segala macam bentuk seni hampir dengan tiada bersyarat. Batasan-batasan yang dulu ada
seperti ikatan tradisi (spirit of the race) atau ikatan zaman (spirit of the age), demikian juga
ketentuan-ketentuan tentang isi ataupun tema telah disisihkan semuanya.
Satu syarat yang masih dituntut oleh seni modern yang bahkan merupakan ciri khasnya,
ialah “kreativitas”. Dan sebuah perkataan ini tercantumlah beberapa sifat yang merupakan
gejala-gejalanya. Oleh karena itu untuk menghindarkan istilah „modern‟ yang bermuka
banyak itu ada pula yang menamai seni modern tersebut dengan istilah “seni kreatif”.
Seorang seniman modern akan melihat dunia atau bagian daripadanya yang sedang dihadapi
sebagai objek dari lukisannya seolah-olah seperti baru saja objek itu diciptakan. Artinya,
seakan-akan baru sekali itu saja ia menghayatinya dan baru kali itu pula mencoba untuk
melukisnya, walaupun kenyataannya sudah berkali-kali Ia melukiskan objek tersebut, dan
entah telah berapa kali ia melihatnya.
17. Sumber gambar: http://widia.webuda.com
Kita tidak tahu sudah berapa kali pelukis kita yang terkenal, Affandi, melukis potret diriya.
Namun setiap kali kita menatapnya, sekian kali pula kita menemukan sesuatu yang baru pada
karya-karya itu, karena sang pelukis setiap kali selalu menghayati kembali dan mendapatkan
pengalaman baru dalam objeknya, walaupun objek itu adalah dirinya sendiri.
Seorang pelukis lain harus melupakan kuda atau gambar kuda yang telah seribu kali
dilihatnya apabila ia akan melukis seekor kuda. Ia harus melihat kuda itu dengan mata
kepalanya sendiri— atau mata hatinya—dan memperoleh impresi pertama dari pengalaman
tersebut. Sebagaimana kita ketahui, hasil pengamatan itu amat dipengaruhi oleh pengalaman,
pengetahuan serta kesan si pengamat atas objek pengalaman yang sudah dimiliki
sebelumnya yang tentunya berbeda dari tiap pengamat yang lain, dan kiranya juga
dipengaruhi oleh suasana hati Si pengamat itu sendiri ketika Ia sedang mengamatinya. Yang
teràkhir inilah yang menuntut pengamatan itu harus selalu dilakukan setiap saat seseorang
akan berkarya. Dalam hubungannya dengan keadaan tersebut, kira-kira 100 tahun yang lalu
Gustave Courbet, Si pelopor realisme dari Perancis itu, pernah berharap agar museum-
museum ditutup saja sekurang-kurangnya 20 tahun lamanya agar para seniman muda tidak
18. sempat berdialog dengan karya-karya yang ada di dalamnya yang semuanya merupakan hasil
pengamatan orang lain. Ia berkeinginan agar apa yang pernah diciptakan orang tidak
mempengaruhi pengamatan pelukis berikutnya. Mungkinkah itu dan perlukah itu, adalah
soal-soal lain yang harus dijawab lewat ilmu pendidikan seni rupa.
Sikap batin yang demikian itulah yang membedakan seniman modern dan golongan
tradisional ataupun akademik—yang sekarang juqa sudah menjadi tradisional. Sikap batin
yang tidak stereotype (prasangka), yang selalu ingin akan yang baru dan yang lain dari pada
yang lain. Kreativitas: sangat penting dalam seni modern, dan dalam kretivitas ini
berkembanglah sifat-sifat originalitas, kepribadian, kesegaran, dan sebagainya. Dengan
bayaran apapun (yang kadangkala sangat tinggi, dengan mengorbankan nilai-nilai yang
sesungguhnya masih baik dan masih diperlukan oleh seni yang manapun juga), para seniman
modern amat menghargai dan mengejar-ngejar nilai-nilai tersebut yang singkat kata dapat
disebut sebagai nilai kebaruan atau novelty.
Apabila seorang anak menunjukkan coreng moreng dan mengatakan bahwa itu adalah
gambar anjing atau kucing, maka kiranya itulah konsepnya atas hewan-hewan tersebut yang
belum sempat “diperbaiki” oleh hubungan anak itu dengan tradisi dan masyarakat
disekitarnya. Karya-karya itu adalah ekspresi anak tersebut yang masih murni.
Seorang-seniman dewasa tidak mungkin berada dalam keadaan semurni itu karena ia
tidak dapat melepaskan diri dari ikatan sosial yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu seorang
seniman modern dengan sadar berusaha untuk membebaskan dirinya dari ikatan tersebut
dalam hubungannya dengan tanggapannya terhadap objek. Berhasil atau tidaknya usaha ini
tidak selalu identik dengan keberhasilan karya seninya. Maka usaha dan sikap batin itulah
yang harus menjadi ukuran, bukan semata-mata hasil usahanya.
Sekalipun tidak sedikit yang mendiskreditkan seni lukis yang realistik dan lingkungan seni
modern, namun bertolak dari pendapat di atas tentunya ada juga lukisan yang bergaya
realistik itu yang dapat digolongkan dalam seni modern, yaitu apabila sikap batin si seniman
dalam melukisnya dapat dikembalikan kepada watak seni modern di atas; yaitu apabila si
seniman tidak bertindak stereotype dan selalu mengadakan pengamatan dahulu sebelum
19. melahirkan karya realistiknya. Perlu ditekankan bahwa bagaimanapun juga lukisan atau hasil
seni yang lain itu selalu merupakan interpretasi si seniman dalam menanggapi objeknya.
Baik hasil seni itu merupakan suatu taferil yang secara perspektif dapat
dipertanggungjawabkan ataukah bercorak dekoratif ala Mesir kuna, keduanya adalah
interpretasi juga. Pada suatu saat seorang seniman menggunakan imajinasi atau visinya untuk
menangkap objek lukisannya sehingga terjadilah “perspektif susun timbun” seperti yang ada
di Mesir kuna itu, tetapi pada saat lain ia menggunakan ketajaman matanya yang kemudian
ternyata menjadi pendorong diketemukannya perspektif di zaman Renaisance.
Namun keduanya jelas tidak berhasil dalam memberikan kepada kita “realitas” objeknya
secara total; yang satu mengikuti ide atau pengertiannya tentang objek itu dan dengan
demikian terjadilah karya yang ideoplastik yang secara visual tampak tidak wajar, dan yang
lain menganak-emaskan matanya membentuk suatu lukisan yang lebih “enak” dipandang
mata (visioplastik) walaupun masih belum terhindar dari “kesalahan”. Dapat disaksikan
misalnya, meja yang bujur sangkar menjadi tidak sama lagi panjang sisi-sisinya, sudut-
sudutnya tidak 90° tetapi ada yang tumpul dan ada yang runcing, dan kakinya yang empat
seringkali hanya kelihatan tiga.
Dalam sebuah gambar pemandangan sering terlihat tiang-tiang listrik yang sama
tingginya tergambar tidak sama tinggi; makin jauh jaraknya dan ukurannya menjadi makin
pendek. Akibat luasnya daerah seni modern itu maka variasi yang terdapat di dalamnya pun
tak terhingga pula jumlahnya, sehingga tidak mungkin untuk memasukkannya ke dalam suatu
definisi yang formal.
Pada saat semua objek yang kasatmata ini mulai mengering dan makin susah
menawarkan hal-hal baru yang menarik, kreatif, dan lain dan pada yang lain, maka
perkembangan ilmu jiwa dalam ala Freud (Sigmund Freud) menampilkan lahan baru yang
tidak kering-keringnya, yaitu dunia imajinasi manusia. Dunia baru ini tidak ada batasnya,
kecuali batas kemampuan manusia untuk menyadarinya atau batas kreativitas seniman untuk
menemukan inovasinya.
Sementara itu, penemuan teknik fotografi dalam satu hal telah mengurangi daerah
gerak seni lukis, karena fotografi yang dengan cepat dan tepat mampu merekam objek itu
20. menggantikan sebagian fungsi seni lukis yaitu fungsi dokumentatif dan fungsi menyajikan
presentasi realistik bagi objek-objeknya. Sejak berkembangnya fotografi tersebut seni lukis
tidak lagi dibebani dengan fungsi sosial berupa penggambaran secara visual ataupun
pembuatan gambar-gambar ilustratif untuk bermacam tujuan. Namun perlu juga diingat
bahwa di lain pihak fotografi telah sempat pula memperluas daerah jelajah seni lukis.
Banyak teknik-teknik melukis di zaman teknologi tinggi ini yang menggunakan
pertolongan fotografi. Ilustrasi – ilustrasi tertentu sekarang ini memang masih ada yang
dikerjakan dengan tangan, tetapi itupun sudah diadaptasi dengan seni modern, artinya,
kekreatifan diperlukan juga di dalamnya, sedangkan yang betul-betul memerlukan ketepatan
presentasi objek lebih baik disajikan saja dengan menggunakan kamera. Maka oleh karena itu
timbullah kemudian perbedaan antara “representasi” dengan “interpretasi”, antara citra dan
lambang, yang merupakan fondasi yang kuat untuk menelaah perkembangan seni modern.
Dari masa lampau kita mengenal adanya patronage (patron) dalam seni, yaitu
perlindungan terhadap seni yang diberikan oleh tokoh-tokoh penguasa atau gereja demi
kelangsungan perkembangannya. Pasang surutnya kemampuan pelindung atau penunjang
seni ini dalam melakukan fungsinya besar sekali pengaruhnya dalam perkembangan seni
modern. Misalnya, apabila pada masa kejayaannya patron-patron seni tersebut adalah
diktator-diktator seni yang bisa memaksakan arah perkembangan seni karena merekalah
yang membiayainya, maka kini sebaliknyalah yang terjadi; mereka itu yang harus tunduk pada
kemauan para seniman.
Pada zaman modern ini seniman tidak lagi menunggu uluran tangan mereka yang
memiliki uang untuk menciptakan karyanya. Mereka mampu membiayai sendiri ciptaan-
ciptaannya. Hal ini dimungkinkan pula antara lain oleh makna populernya seni-seni kecil
semacam lukisan ukuran esel (easel-painting) atau patung dada ukuran sebenarnya (life size),
yang biayanya relatif murah dan dapat diusahakan sendiri oleh para seniman penciptanya,
sehingga karenanya mereka dapat melepaskan diri dari ketergantungannya pada seorang
pelindung. Sebagaimana diketahui di masa lampau, pada saat keemasan agama atau di waktu
kejayaan kekaisaran yang absolut, yang berkembang sangat menonjol adalah jenis kesenian
kolosal, lukisan dinding yang besar-besar, arsitektur istana dan gereja, maupun patung-
21. patung besar yang disejajarkan dengan kebesaran para pendukungnya yang tidak mungkin di
usahakan sendiri oleh senimannya. Dengan demikian si sponsor ini menjadi penentu kemana
seniman atau karya seni akan di arahkan.
Pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789 merupakan titik akhir dan kekuasaan
feodalisme di Perancis yang pengaruhnya terasa juga pada bagian-bagian dunia lainnya.
Demikian pula revolusi ini ternyata tidak hanya merupakan perubahan tata politik dan tata
sosial saja, tetapi juga menyangkut kehidupan seni, karena dengan ini berarti berakhir pulalah
pengaruh raja atas kehidupan dan perkembangan seni. Jauh sebelum itu antara gereja dan
seniman telah pula terjadi keretakan hubungan yang di satu fihak disebabkan oleh
kemunduran fungsi dan daya tarik gereja di masyarakat sejak zaman Renaisance dan di lain
fihak karena dunia seni telah menemukan tuannya yang baru, yaltu raja dan para bangsawan
yang merupakan penguasa-penguasa dan pemilik harta sejak kemerosotan fungsi gereja.
tersebut.
Oleh karena itu, kini para seniman modern menjadi tokoh-tokoh yang bebas, melayang-
layang tanpa tambatan. Mereka tidak punya lagi fungsi yang terang dalam tatà sosial yang
baru itu. Maka lambat laun terbentuklah kelompok baru dalam masyarakat, ialah kelompok
seniman. Sedikit demi sedikit mereka mulai mencipta semata-mata memperturutkan
panggilan hati masing-masing, melukis bukan karena ada yang meminta atau memberi tugas,
melainkan semata-mata karena ingin melukis saja. Maka dengan demikian mulailah riwayat
seni lukis modern dalam sejarah yang ditandai dengan individualisasi dan isolasi diri ini.
b. Seni Rupa Kontemporer
Karya seni rupa kontemporer adalah karya seni rupa masa kini. Karya seni rupa
kontemporer lebih dipengaruhi oleh waktu dimana karya seni tersebut diciptakan.
Umumnya tema yang diangkat dalam karya seni kontemporer adalah masalah-masalah
yang berkaitan dengan situasi dan kondisi saat karya tersebut.
Istilah kontemporer sendiri berasal dari kata contemporary yang berarti apa-apa atau
mereka yang hidup pada masa yang bersamaan (D. Maryanto, 2000). Walaupun
demikian istilah “seni rupa kontemporer” ternyata tidak dapat begitu saja dapat
diterjemahkan sebagai seni dengan sifat kekinian seperti dijelaskan di atas. Istilah seni
22. rupa kontemporer di Barat pada kenyatannya masih menimbulkan perdebatan,
terutama karena tidak ada ciri dominan yang dapat dirujuk untuk menunjuk kepada
suatu praktek atau bentuk seni yang baku.
Di Barat, wacana kontemporer dimulai dengan menunjukkan pada berakhirnya era
modernisme dalam seni rupa (modern art). Berakhirnya era ini memunculkan
terminologi baru yang kemudian dipakai dalam praktek seni rupa di Barat yaitu
kecenderungan seni rupa beraliran posmodern (post-modernisme). Istilah posmodern
sendiri ternyata menyimpan persoalan—karena terlalu rumit pengertian yang
dibawanya—sehingga lebih banyak digunakan istilah seni rupa kontemporer
(contemporary art). Walaupun demikian, istilah ini masih mendatangkan masalah karena
tidak mengarah pada pengertian seni rupa tertentu. Kerumitan ini ditambah dengan
pengertian contemporary yang secara leksikal sama dengan pengertian modern yang
berarti juga ”masa kini” (A. Irianto, 2000).
Seni rupa kontemporer dapat dikatakan sebagai sebuah wacana dalam praktek seni
rupa di Barat yaitu praktek seni rupa yang menunjuk kepada kecenderungan posmodern.
Kecenderungan ini menyiratkan wacana dalam praktek seni rupa yang “anti modern”.
Hal ini disebabkan karena salah satu paradigma kemunculan posmodern adalah
paradigma yang menolak modernisme.
Sifat-sifat modern yang ditolak diantaranya adalah semangat universalisme,
kolektivitas, membelakangi tradisi, mengedepankan teknologi, individualitas (I. M. Pirous,
2000) serta penolakan (pelecehan) non-Barat. Sifat-sifat modern ini pada
perkembangannya seolah-olah mengesampingkan berbagai produksi kesenian non-Barat
yang dianggap lebih rendah dari seni modern karena bersifat tradisional. Sifat inilah yang
ditentang oleh penganut seni rupa posmodern karena sifat-sifat modern tadi tidak
mengakui karya seni rupa tradisonal yang dihasilkan oleh budaya komunal sebagai karya
seni rupa yang sejajar dengan karya seni rupa modern.
23. Sumber gambar: http://art-burger.com
Andy Warhol Portrait in pop art
Ciri kontemporer dalam wacana seni rupa kemudian dikukuhkan dengan semangat
pluralisme (keberagaman), berorientasi bebas serta menghilangkan batasan-batasan
kaku yang dianggap baku (konvensional) dalam seni rupa selama ini.
Dalam seni rupa kontemporer batasan medium dan pengkotak-kotakan seni seperti
“seni lukis”, “seni patung” dan “seni grafis” nyaris diabaikan. Orientasi bebas dan
medium yang tidak terbatas memunculkan karya-karya dengan media-media
inkonvensional serta lebih berani menggunakan konteks sosial, ekonomi serta politik
(Sumartono, 2000)..
Walaupun ada pemaknaan khusus dalam wacana seni rupa kontemporer seperti telah
disebutkan di atas, tetapi arti leksikal yang menunjukkan konteks kekinian tidak dapat
diabaikan begitu saja. Berdasarkan konteks kekinian, seni rupa kontemporer dapat
24. dipandang sebagai karya seni yang ide dan pembahasannya dibentuk serta dipengaruhi
sekaligus merefleksi kondisi yang mewarnai keadaan zaman ini tempat “budaya global”
menyeruak, yang menebarkan banyak pengaruh yang menjadi penyebab berbagai
perubahan dan perkembangan.
Dengan demikian konsep seni rupa kontemporer yang dimaksud dalam tulisan ini
dapat dipakai untuk menunjukkan wacana seni anti-modern yang mengagung-agungkan
universalitas, menggunakan medium inkonvensional, berorientasi bebas, tidak terikat
pada konvensi-konvensi yang baku, meniadakan pengkotak-kotakan serta lebih berani
menyentuh persoalan sosial, ekonomi serta politik. Persoalan sosial, ekonomi dan politik
ini diwarnai dengan keadaan zaman di mana budaya global banyak memberikan
pengaruh terhadap perubahan dan perkembangan yang bersifat kultural.
Corak karya seni kontemporer ada bermacam-macam antara lain bercorak realis,
abstrak, dekoratif, dan ekspresif. Contoh karya seni kontemporer antara lain seni lukis,
seni patung, dan seni instalasi. Karya instalasi lebih bervariasi, baik menyakut temanya
media yang dipakai maupun teknik penciptaan. Karya seni rupa instalasi umumnya lebih
mengedepankan pemikiran-pemikiran atau konsep penciptaan karya daripada bentuk
visualnya.
Karya seni rupa kontemporer diciptakan sebagai media ekspresi bagi penciptanya
untuk menuangkan gagasan, hal-hal yang dicita-citakan, pikiran, perasaan, atau
pandangan hidup dari penciptanya. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa fungsi karya seni rupa baik tradisi, modern, maupun kontemporer yaitu sebagai
media ekspresi, sebagai hiasan (dekorasi) untuk mengungkapkan kenyataan (realitas)
untuk mengabdikan sesuatu, untuk mengungkapkan nilai-nilai keagamaan (religi),untuk
mengungkapkan fantasi (daya imajinasi), untuk menciptakan keharmonisan untuk kritik
sosial. Disamping itu karya seni berfungsi sosial atau untuk kepentingan sosial. Misalnya
dapat dipakai sebagai penerangan, informasi, dan pendidikan yang menyangkut
kepentingan umum dan dapat dinikmati oleh masyarakat.
Seni Kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak
modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah
25. sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini; jadi seni kontemporer
adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai
zaman sekarang. Lukisan kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan
situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat pada
Rennaissance. Begitu pula dengan tarian, lebih kreatif dan modern.
Kata “kontemporer” yang berasal dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu).
Sehingga menegaskan bahwa seni kontemporer adalah karya yang secara tematik
merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Atau pendapat yang mengatakan bahwa
“seni rupa kontemporer adalah seni yang melawan tradisi modernisme Barat”. Ini
sebagai pengembangan dari wacana pascamodern (postmodern art) dan
pascakolonialisme yang berusaha membangkitkan wacana pemunculan indigenous art
(seni pribumi). Atau khasanah seni lokal yang menjadi tempat tinggal (negara) para
seniman.
Dalam pengertian lain, menurut kamus umum bahasa Indonesia susunan J.S Badudu
dan Muhammad Zaid, terdapat tiga leksikal tentang kata kontemporer, yaitu pertama
“semasa atau sezaman”, kedua “bersamaan waktu”, dan yang ketiga adalah “masa kini
atau dewasa ini”. Untuk menjelaskan lebih jauh, Badudu memberikan satu contoh
kalimat, yakni “seni kontemporer tidak dapat bertahan lama” (Badudu Zain : 1994 : 714).
Dengan contoh ini Badudu ingin menegaskan bahwa seni kontemporer adalah seni yang
bertahan sezaman saja. Dengan denikian, kata masa kini juga berarti sezaman, masa saat
sekarang. Sementara itu, Oxford dictionaty (1994:253) memberikan pengertian yang
kurang lebih sama, yakni living or occurring at the same time, dating from the same
times.
Dari makna leksikal diatas nampak bahwa masalah waktu kesezamanan atau kekinian
merupakan batasan tegas dalam konsep itu. Dengan demikian, seni rupa kontemporer
bisa diartikan sebagai seni rupa atau aktifitas kesenian pada saat ini. Pengertian ini jelas
masih sangat umum, bahkan bisa dikatakan ambigu. Bersifat umum sebab tidak merujuk
pada satu genre, paham, ideologi dan lain-lain sehingga bisa dikatakan bahwa seni rupa
masa kini adalah seni rupa yang berciri tertentu.
26. Sementara itu, batasan waktu masa kini sebagai pengertian kontemporer juga
bersifat ambigu. Ia akan sangat tergantung pada zaman seseorang itu menggunakannya.
Dengan demikian dekali lagi bisa ditegaskan bahwa kontemporer yang dilekatkan pada
frase seni rupa bukan merupakan istilah yang merujuk pada sebuah aliran atau gaya
berkesenian, melainkan hanya sebuah aktifitas berkesenian yang dianggap terkini pada
setiap zaman bersangkutan. Dibarat sendiri, yang nota bene sebagai pihak pertamayang
memunculkan istilah contemporary art, pengertian yang sama juga terjadi. Arthur Danto
mengatakan bahwa belum terbentuk definisi seni kontemporer dalam konteks “gaya
kontemporer”.
Sejauh ini, penyebutan istilah seni rupa kontemporer tidak problematik. Persoalan-
persoalan baru muncul ketika istilah tersebut dikaitkan dengan wacana yang
berkembang dalam dunia kesenian secara umum dan seni rupa itu sendiri secara khusus.
Dalam ranah ini istilah seni rupa kontemporer sering dihubungkan dengan sebuah gejala
senirupa yang membedakan dirinya dari seni rupa sebelumnya, yakni seni rupa modern..
seni rupa kontemporer di kategorikan sebagai karya yang dihasilkan oleh paradigma
postmodern. Sehingga beberapa pihak acap menyulih istilah kontemporer dengan
postmodernisme. Danto(1995:10) mengatakan istilah seni rupa kontemporer bisa di
gantikan dengan seni rupa postmodern, dan menurutnya, istilah yang terakhir ini bisa
dianggap yang lebih mendasar.
jadi, kontemporer sendiri adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak
modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah
sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini; jadi seni kontemporer
adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai
zaman sekarang.
27. Sumber gambar: http://arijose.tumblr.com
Menurut pendapat lain justru berbanding terbalik Paham postmodern atau
kontemporer menyuarakan penentangannya terhadap kemapanan paham modern yang
telah membawa manusia kehilangan jati dirinya, sehingga mengakibatkan masyarakat
yang seragam, serba kaku, mengabaikan keanekaragaman budaya bangsa-bangsa di
dunia, sedangkan postmodern memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap
tumbuhnya kebudayaan bangsa-bangsa yang begitu bervariasi.
Berbagai kebingungan dengan istilah pasti akan di temukan disini. Seni rupa
cenderung bisa di definisikan dengan terlebih dahulu menjelaskan apa yang dimaksud
postmodern itu sendiri. Tapi istilah ini akan sulit dipahami tanpa memperbandingkan
dengan paradigma yang mendahuluinya, yakni modern. Dengan menjelaskan hubungan-
hubungan ini orang sering menumpangtindihkan beberapa istilah, yakni modern,
modernitas, modernisme, postmodern, dan postmodernisme.untuk itu sebelunmya
istilah-istilah ini perlu didefinisikan dengan jelas. Yasraf amir piliang (2006:75)
menjelaskan istilah-istilah tersebut dengan menunjukkan perbedaan-perbedaannya.
28. 1. Modern-posmodern
Istilah ini mengacu pada watu, era, zaman, dan semangat zaman. Postmodern
bisa dikatakan sebagai waktu, era, zaman, dan semangat setelah modern.
2. Modernitas-posmodernitas
Istilah ini mengacu pada kondisi, keadaan, situasi umum, realitas, dan dunia
kehidupan. Modernitas adalah sebuah kondisi, keadaan, situasiumum, realitas, dan
dunia kehidupan yang memiliki ciri kemajuan, intregrasi, keterpusatan, kontinuitas,
dan kebaharuan. Sedangkan posmodernitas adalah kondisi, keadaan, situasi umum,
realitas, dan dunia kehidupan yang memiliki ciri nostalgia, pastiche, disintregrasi,
fragmentasi, heterogenitas, dan decentering.
3. Modernisme-posmodernisme
Istilah ini mengacu pada gerakan, gaya, ideologi, kecenderungan, metode, cara
hidup dan keyakinan.
Modernisme adalah gerakan, gaya, ideologi, kecenderungan, metode, cara hidup,
dan keyakinan yang mengacu pada universalisme, internasionalisme, imperalisme,
etnosetrisme, dan rasisme.
Postmodernisme adalah gerakan, gaya, ideologi, kecenderungan, metode, cara
hidup, dan keyakinan yang mengacu pada pluralisme, dekonstruksionisme,
multikulturalisme, pokolonialisme, dan fenimisme.
Tampak dari istilah diatas modern berbanding lurus dengan modernitas dan
modernisme. Istilah ini kemudian dapat dipahami berbanding terbalik dengan
pestmodern, postmodernitas dan postmodernisme. Mengacu pada istilah diatas, seni
rupa yang memiliki kecenderung pada postmodern adalah seni rupa yang bisa
dibedakan dengan deni rupa pada paradigma modern.
Pada penjelasan diatas pula dapat dipahami bahwa seni rupa kontemporer
adalah seni yang meminjam masa lalu untuk konteks baru, jadi dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam hal ini ornamen mampu masuk dalam senirupa
komtemporer, mengingat ornamen tidak terlepas dari seni rupa tradisi maupun
29. modern. Hanya saja dalam seni rupa kontemporer ornamen mengalami perubahan
sesuai dengan keadaan pada saat itu pula.
Dengan mengacu pada era atau zaman, seni rupa kontemporer juga mengangkat
sejarah lama kembali, dalam seni rupa kriya khususnya, seni ornamen menjadi ciri
khas dalam karya seninya, selain sebagai seni hias, seperti yang dijelaskan diatas tadi,
ornamen juga memegang peran dalam nilai simbolik sebuah karya seni, maka dari itu
ornamen dan dekorasi dianggap penting dala seni rupa komtemporer.
Secara lebih rinci, barret (1994:109-112) melalui sabana (2002:18) memberikan
rincian kembali tentang ciri seni rupa kontemporer. Selain yang dijelaskan diatas, seni
rupa kontemporer juga banyak menimba dari budaya populer, pendapat ini jelas akan
menjadikan peran ornamen yang menjadi ikon maupun simbol dari daerah tertentu
akan mendapatkan peran semula. Selain itu ciri yang lain adalajh eklektik, orientasi
tema dan medium bebas, kepedulian terhadap kejadian sosial dan juga politik, serta
sikap kritis dan skeptic seniman terhadap kesenian dan jamannya seta isu kelas sosial,
ras, gender, usia, bangsa, alam agama, lingkungan dan sebagainya.
Secara awam seni kontemporer bisa diartikan sebagai berikut:
1) Tiadanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara
seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, ocia, anarki, omong kosong, hingga
aksi politik.
2) Punya gairah dan nafsu “ ocial tic” yang berkaitan dengan matra ocial dan politik
sebagai tesis.
3) Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan komoditas
pewacanaan, sebagai aktualitas berita yang fashionable.
Antara modern dan kontemporer secara umum tidak dapat dipilah berdasarkan
waktu, hal ini mengakibatkan tidak jelasnya pemisah antara kedua istilah tersebut.
Instilah modern dan kontemporer dalam konteks seni rupa dijelaskan oleh Kramer
dalam Dharsono sebagai berikut:
1) Pengertian “kontemporer” dibandingkan dengan istilah modern hanya sekedar
sebagai sekat munculnya perkembangan seni rupa sekitar tahun 70-an dengan
30. menempatkan seniman-seniman Amerika seperti David Smith dan Jackson
Pollock sebagai tanda peralihan (Dharsono, 2004: 223).
2) Pengertian kontemporer dalam bidang arsitektur memiliki pengertian lain, hal ini
diungkapkan oleh Kultermann seorang pemikir asal Jerman, “berdasarkan teori
Udo pengertian kontemporer dekat dengan paham post-modern… menjelang
1970. Paham baru ini menentang kerasionalan paham modern yang dingin dan
berpihak pada simbolisme instink” (Dharsono, 2004: 223). Dalam istilah seni
pengertian ini ditafsirkan lebih lajut oleh Douglas Davis kontemporer sebagai
kembalinya upaya mencari dan mengangkat nilai-nilai budaya dan
kemasyarakatan atau dalam istilah seni kembali ke konteks.
3) Seperti telah kita ketahui, seni kontemporer dalam bahasa Indonesia padanannya
adalah “seni masa kini” atau juga “seni mutakhir”. Dalam khazanah seni modern
yang telah berusia ratusan tahun, kehadiran seni kontemporer cukup rumit dan
menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan.
4) Paradigma Seni Rupa Kontemporer
Pada seni klasik, dapat ditemukan komposisi bentuk dan isi cerita/legenda
seperti lukisan "Monalisa", dimana tendapat spiritual abad itu tentang
"perempuan" yang tidak akan ditemukan pada zaman sesudahnya. Karena
adanya evolusi/difusi kebudayaan, maka terjadi perubahan yang disebabkan
lingkungan dan waktu. Seni klasik jadi seni peralihan -- impressionisme. Pelukis
Renoir dan Manet kala itu berprinsip bahwa "manusia berjarak objektif dengan
barang fisik dan manusia berperasaan lebih unggul dari benda". Pada era
impresionisme terdapat jarak sebagai batas yang tak terjembatani antara subjek
dengan objek, antara manusia dengan alam.
Kreativitas seniman terus bergulir. Bermula ditinggalkannya paradigma klasik
Renaisance ke paradigma baru impressionisme (permulaan abad ke-20), lalu
ekspresionisme, abstrak, dadaisme, kubisme, abstrak ekspressionisme, abstrak
formalisme, pop-art, neo-dada, optic-art, minimalisme, hingga surealisme. Semua
gaya (isme) yang berasal dari Barat itu menyebar dan menguasai dunia serta
31. mengkokohkan sebagai seni modern dunia atau modernisme yang sering disebut
"seni tinggi" (advance guard).
Seni rupa modern Barat mengklaim dunia sebagai ruang lingkupnya yang
berakar pada internasionalisasi ide-ide Barat yang disebut westernisasi yang
kemudian membangkitkan reaksi negara-negara non-Barat. Munculnya
perkembangan arus utama (mainstream) di pusat-pusat seni rupa modern yang
menyudutkan seni rupa di luar Eropa-Amerika dan ditolaknya standar nilai serta
perkembangan periferi di luar arus utama, dimana seluruh museum dan galeri seni
rupa modern di Amerika menolak karya-karya modern Indonesia dan Thailand.
Sebagai reaksi kejadian ini maka muncullah pameran-pameran internasional (KIAS)
dari negara-negara nonblok (GNB).
Modernisme pada intinya merupakan suatu keyakinan akan kemandirian nilai
estetika yang harus ditingkatkan secara terus-menerus. Keyakinan tersebut
melahirkan norma-norma kebaruan, keaslian dan kreativitas. Seniman dituntut
untuk menciptakan keharuan dan keaslian, sehingga terjadi penolakan-penolakan
sejak tahun 1960-an serta makin memuncak pada masa berikutnya.
Pada pertengahan abad ke-20, modernisme dianggap sebagai suatu beban oleh
kaum muda dan mulai ditentang, yang setelah modernisme disebut post-modernism
atau post-mo, maka muncullah paradigma baru yakni seni kontemporer. Seni
kontemporer memberi terobosan baru yang sangat bebas dalam pengekspresian
emosi seniman dan terasa tanpa beban.
Seni kontemporer dapat dipandang secara apresiatif sebagai kegairahan
intelektual, setidak-tidaknya menjadi modal bagi tumbuhnya daya respons dalam
menyongsong era baru yaitu post-modern, yang dianggap positif mengimbangi
humanisme dan intelektual daripada kecenderungan dehumanisasi dan kedangkalan
budaya modern yang dimotori ekonomi kapitalis yang transnasional serta inovasi
teknologi yang makin canggih.
Di Barat pada 1970-an, muncul suatu reaksi terhadap idealisme high art
(advance guard) dan muncul era post-modern yang menampilkan multivariousness.
32. Pendekatan pluralistik yang menekankan unity -- kebersamaan dalam keragaman,
merupakan kesamaan reaksi di arus utama terhadap standar-standar senirupa
internasional sebagai arus baru perkembangan dan pemikiran seni rupa
kontemporer yang lepas dari universalisme dan kaburnya batasan seni rupa modern
dari seni rupa kontemporer. Pada seni kontemporer, seniman bebas menengok ke
masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Dapat pula memakai kekayaan budaya
tak terbatas banyaknya. Juga tiada lagi "kebenaran tunggal" dan muncul pluralisme.
Inilah paradigma baru seni kontemporer yang mengandung makna netral dari
pengertian seni masa kini. Walaupun situasinya modern disemangati Garde Depan
dengan merebaknya happening art, performance art dan seni instalasi. Juga atas
kehadiran isu-isu multikultural, gender, sosial, bangkitnya seni pinggiran dan lainnya.
Post-modernism atau pasca-modernisme yang bermula dari gerakan seni masa
kini telah bergeser menjadi gerakan budaya. Pergeseran ini dimungkinkan bukan
hanya disebabkan basis material kebudayaan (difusi kebudayaan) seperti dari
manufaktur ke reproduksi, tapi juga karena para filsuf mengumumkan "kematian
zaman modern" untuk menegakkan satu kesepakatan dalam kebersamaan sebagai
dasar pembenaran yang plural sebagai paradigma baru serta wacana seni
kontemporer.
Untuk memperoleh kejelasan tentang seni kontemporer, perlu dibahas mulai
dari seni modern, kemudian bagaimana seni modern akan keluar dari kepercayaan
yang menyatakan bahwa seni yang merupakan ekspresi dunia objektif (fisik)
tersebut kemudian masuk ke dalam seni kontemporer atau post-mo.
Kehidupan manusia punya dua pijakan dasar yang kuat -- dunia (world) dan sikap
dasar (basic attitude). Pada sikap dasar terdapat tiga jenis interest yaitu
pengobjektifan, ungkapan, dan penyesuaian norma. Dunia manusia pun terdiri dari
tiga; nyata, sosial dan pribadi.
Seni dalam modern hanya ditemukan dalam dunia objektif dan dunia subjektif.
Namun nilai keindahan dalam seni rupa modern sebagai ekspresi hanya akan
ditemukan dalam bidang yang amat khusus. Kesenian modern bukanlah produk
33. sosial, sikap atas rasionalitas ekspresif, sedangkan dunianya dalam dunia nyata/
objektif.
Sumber gambar: http://faariscar.blogspot.com
Card players by Paul Cezanne
Diawali oleh pelukis Cezanne, dimana jarak antara manusia dan alam dibatasi
dengan cara si subjek menguasai objek dengan mengekspresikannya. Dunia objektif
dan subjektif yang terpisah dicoba disatukan walaupun dengan cara menguasai
objek. Karena itu dalam seni modern, unsur yang sifatnya pribadi adalah sesuatu
yang kurang baik dan tidak alamiah, sehingga Cezanne bukan melukiskan
perasaannya tetapi melukis objek di luar dirinya. Objek ditangkap bentuk-bentuk
murninya atau menggambar motif dari satu struktur. Cezanne dengan ini bukan
mengekpresikan perasaannya, tetapi menganalisa sesuatu untuk diambil bentuk
dasarnya, lalu dikeluarkan lagi ke atas kanvasnya.
Seni modern adalah upaya menangkap gejala alam secara nyata dan di
ekspresikan adalah pewujud serta pengantara dari konsep yang nyata. Ini berarti,
bukan perasaan yang mau disampaikan, tapi konsep nyata mengenai sesuatu yang
alamiah, tanpa sudut pandang lain, tanpa efek cahaya, tapi struktur atau motif yang
menetap yang hendak ditangkap dan diungkapkan. Dalam seni modern, unsur
34. perasaan mulai ditinggalkan dan yang tersisa adalah analisa. Puncak seni modern
adalah penyimpangan dari bentuk atau mencari bentuk yang murni seperti lukisan
Pablo Picasso, Mondrian, dll. Dari sini muncul ilmu baru seni rupa yang disebut
"distorsi" atau perubahan bentuk.
Di Indonesia, pada tahun 1938, pikiran S. Soedjojono (masa Persagi), pada
intinya menyatakan seni adalah otonomi, dengan semboyannya "seni harus berjiwa
nampak". Gaya ekspresionisme waktu itu sangat diyakini memiliki nilai abadi.
Universalitas nilai keindahan, individualisme, keaslian, menekuni "satu gaya"
menjadi ciri utama seni rupa modern yang membawa pembaruan dengan istilah
humanisme universal. Modernisme di Indonesia kemudian dikembangkan oleh Seni
Rupa ITB dengan gaya kubistis, lalu berkembang ke arah abstrak formalisme yang
pada zaman Lekra ditentang dimana seni harus dapat dimanfaatkan sebagai sarana
sosial dan politik yang disebut "Seni Realisme Sosial". Prinsipnya, seni tidak otonom,
melainkan seni untuk manusia.
Istilah seni kontemporer dalam arti seni masa kini sepanjang yang telah saya
selusuri, sudah muncul sejak tahun 50-an. Pada waktu itu, karya seni masa kini
hanya menyangkut nama-nama Picasso, Matisse, Braque dan lain-lain yang tidak
bisa disebut satu persatu apakah tidak mengherankan jika pada tahun 1996 kita
harapkan kepada bentuk seni yang sama sekali berbeda dengan tokoh-tokoh yang
berbeda pula, namanya masih tetap sama yaitu seni kontemporer apa sebenarnya
yang mempertautkan seni kontemporer tahun 50-an yang diwakili Picasso dan
kawan-kawannya dengan seni kontemporer di tahun 1996 yang diwakili seni Pop,
Happening art dan seni instalasi, dan sebagainya. Dengan memakai istilah seni
kontemporer karena setiap ungkapan seni 10, 20, 50, seratus tahun yang lalu atau
yang akan datang, pada zamannya yang bersangkutan tetap merupakan seni
kontemporer.
Seperti juga waktu yang akan datang dan pergi, juga ungkapan seni dari waktu
ke waktu yang akan dan pergi masing-masing mempunyai bentuk, sifat dan
kecenderungan masing-masing yang saling berbeda satu sama lain. Periode
35. berikutnya adalah pendobrakan yang lengkap terhadap asas-asas seni rupa tradisi
Barat. Bahkan, akhirnya pendobrakan ini semakin beraneka ragam. Dipengaruhi oleh
semangat individualisme dengan jumlah pelukis yang semakin banyak maka seni
kontemporer ini semakin dipadati oleh seni individual di mana setiap seniman
berusaha untuk saling berbeda satu sama lain (Popo Iskandar, 2000:30).
Ditinjau dari sudut ini seni kontemporer bukanlah konsep tetap. Seni
kontemporer adalah dimensi waktu yang terus bergulir mengikuti perkembangan
masyarakat dengan zamannya.
Kiranya hanya satu indikasi yang bisa dijadikan titik terang istilah seni
kontemporer, yakni lahir dan berkembang dalam khazanah dan ruang lingkup seni
modern.
”Berlangsungnya perayaan ‘Boom seni lukis’ di akhir tahun 80-an dan awal akhir
90-an…seniman bergerak cepat menembus, melintas batas-batas tradisional
negara yang membatasi identitasnya. Kelangsungan seni rupa
kontemporer…tidak lagi mengusung semangat hebat, pemberontakan dan
penyangkalan seperti pendahulunya di tahun 70-an (seni modern) tetapi
melangsungkan negosiasi dengan berbagai senimanan baru, perubahan-
perubahan yang serba cepat, peluang dan tentunya juga gemerlapnya pasar
(Rizki A Zaelani, 1999:92).
Untuk melengkapi batasan antara modern dan kontemporer dalam seni rupa, penulis
(Senin, 17 Januari 2005) berhasil menghubungi Setiawan Sabana (pendidik, perupa,
dekan FSRD ITB). Ia mengungkapkan, sesuai dengan hasil penelitiannya mengenai “Seni
Rupa Kontemporer Asia Tenggara” yang dilakukannya selama 4 tahun, bahwa yang
membedakan antara seni rupa modern dan kontemporer sebagai berikut:
a) Seni rupa modern
i) Memutuskan rantai dengan tradisi masa lalu, pada masa ini tradisi tidak menjadi
perhatian yang signifikan dan itu dianggap sebagai seseuatu yang tidak perlu
diotak-atik lagi tapi cukup dalam musium saja,
ii) Adanya high art dan low art ( kesenian dianggap adiluhung),
36. iii) Tema-tema sosial cenderung ditolak, dan
iv) Kurang memperhatikan budaya lokal.
b) Seni rupa kontemporer
i) Tradisi dicoba untuk diangkat kembali misalnya tema lebih bebas dan media
lebih bebas,
ii) Tema-tema sosial dan politik menjadi hal yang lumrah dalam tema berkarya seni,
iii) Membaurnya karya seni adiluhung/high art dan low art,
iv) Masa seni rupa modern kesenian itu abadi maka masa kontemporer kesenian
dianggap kesementaraan,
v) Dulu ada istilah menara gading sekarang kesenian merakyat, jadi tidak lagi
menjadi sesuatu yang perlu/harus bertahan, dan
vi) Budaya lokal mulai bahkan menjadi perhatian.
Selanjutnya ia menyimpulkannya bahwa fenomena seni rupa kontemporer Indonesia
merupakan suatu refleksi, pencerminan evaluasi kembali, sikap evaluatif dan pencarian
akan potensi-potensi kultural yang baru di negeri ini dan merupakan bentuk kesadaran
baru dalam era global.
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN SENI RUPA
MODERN KONTEMPORER INDONESIA
A. Sejarah Perkembangan seni Rupa Modern Kontemporer Indonesia
1. Seni Rupa Modern
Pengertian “modern” dalam terminologi seni rupa tidak bisa dilepaskan dari prinsip
modernisme atau paham yang mendasari perkembangan seni rupa modern dunia sampai
pertengahan abad ke-20. Seni rupa modern dunia memiliki nilai-nilai yang bersifat
universal. Dari penafsiran seorang pelukis Jerman yang pindah ke Amerika Serikat sesudah
Perang Dunia ke II, Hans Hofmann menyatakan hanya seniman dan gerakan di Eropa dan
Amerika yang mampu melahirkan seni rupa modern, konsepsi poros Paris-New-York
sebagai pusat perkembangan seni rupa modern.
37. Seni modern lahir dari dorongan untuk menjaga standar nilai estetik yang kini sedang
terancam oleh metode permasalahan seni. Modernisme meyakini gagasan progres karena
selalu mementingkan norma kebaruan, keaslian dan kreativitas. Prinsip tersebut
melahirkan apa yang kita sebut dengan “Tradition of the new” atau tradisi “Avant-garde”,
pola lahirnya gaya seni baru pada awalnya ditolak, namun akhirnya diterima masyarakat
sebagai inovasi terbaru.
Seni modern dengan melahirkan Conceptual Art/ Seni Konseptual merupakan
gerakan dalam menempatkan ide, gagasan atau konsep sebagai masalah yang utama
dalam seni. Sedangkan bentuk, material dan objek seninya hanyalah merupakan
akibat/efek samping dari konsep seniman.
2. Seni Rupa kontemporer
Dalam seni rupa Indonesia, istilah kontemporer muncul awal 70-an, ketika Gregorius
Sidharta menggunakan istilah kontemporer untuk menamai pameran seni patung pada
waktu itu. Suwarno Wisetrotomo, seorang pengamat seni rupa, berpendapat bahwa seni
rupa kontemporer pada konsep dasar adalah upaya pembebasan dari kontrak-kontrak
penilaian yang sudah baku atau mungkin dianggap usang. Pendapat lain dari Yustiono, staf
pengajar FSRD ITB, melihat bahwa seni rupa kontemporer di Indonesia tidak lepas dari
pecahnya isu postmodernisme (akhir 1993 dan awal 1994), dimana sepanjang tahun 1993
menyulut perdebatan dan perbincangan luas baik di seminar-seminar maupun di media
massa pada waktu itu. Sedangkan kaitan seni kontemporer dan (seni) postmodern,
menurut pandangan Yasraf Amior Pilliang, pemerhati seni, pengertian seni kontemporer
adalah seni yang dibuat masa kini, jadi berkaitan dengan waktu, dengan catatan khusus
bahwa seni postmodern adalah seni yang mengumpulkan idiom-idiom baru. Lebih jelasnya
dikatakan bahwa tidak semua seni masa kini (kontemporer) itu bisa dikategorikan sebagai
seni postmodern, seni postmodern sendiri di satu sisi memberi pengertian, memungut
masa lalu tetapi di sisi lain juga melompat kedepan (bersifat futuris).
B. Perkembangan Seni Rupa Modern Kontemporer Indonesia
38. Seni Rupa Modern adalah suatu karya seni rupa yang merupakan hasil kreativitas untuk
menciptakan karya yang baru atau dengan kata lain karya seni rupa pembaruan. Kreativitas
dalam seni rupa di dalamnya terdapat estetika, karakter, inovasi, dan originalitas.
“Merapi” karya Raden Saleh
Peirode Perintis (1826-1880), perkembangannya diawali oleh pelukis Raden Saleh.
Berkat pengalamannya belajar menggambar dan melukis di luar negeri seperti di Belanda,
Jerman, Perancis, beliau dapat merintis kemunculan seni rupa Modern di Indonesia. Corak
lukisannya beraliran Romantis dan Naturalis. Aliran Romantisnya menampilkan karya-karya
yang berceritera dahsyat, penuh kegetiran seperti tentang perkelahian dengan binatang
buas. Gaya Naturalisnya sangat jelas nampak dalam melukis potret.
Peiode Indonesia Jelita, masa ini merupakan kelanjutan dari masa perintisan setelah
pakum beberapa saat karena meninggalnya Raden Saleh. Kemudian munculah seniman
Abdullah Surio Subroto dan diikuti oleh anak-anaknya, Sujono Abdullah, Basuki Abdullah dan
Trijoto Abdullah. Pelukis-pelukis Indonesia yang lain seperti Pirngadi, Henk Ngantung,
Suyono, Suharyo, Wakidi, dll. Masa ini disebut dengan masa Indonesia Jelita karena
pelukisnya melukiskan tentang kemolekan/keindahan obyek alam. Pelukis hanya
mengandalkan teknik dan bahan saja. Karya Abdullah SR. (Pemandangan di sekitar Gn.
39. Merapi, Pemandangan di Jawa Tengah, Dataran Tinggi di Bandung), karya Pirngadi
(Pelabuhan Ratu), karyaBasuki Abdullah (Telanjang, Pemandangan, Gadis sederhana, Pantai
Flores, Gadis Bali, dll.)
Sumber gambar: http://topmdi.net
Pemandangan di Jawa Tengah Abdullah Soerio Soebroto
Peiode Pendudukan Jepang, kegiatan melukis pada masa ini dilakukan dalam kelompok
Keimin Bunka Shidoso. Tujuannya adalah untuk propaganda pembentukan kekaisaran Asia
Timur Raya. Kelompok ini didirikan oleh tentara Dai Nippon dan diawasi oleh seniman
Indonesia, Agus Jayasuminta, Otto Jaya, Subanto, Trubus, Henk Ngantung, dll. Untuk
kelompok asli Indonesia berdiri kelompok PUTRA (Pusat Tenaga Rakyat), tokoh-tokoh yang
mendirikan kelompok ini adalah tokoh empat serangkai yaitu Ir. Sukarno, Moh. Hatta, KH.
Dewantara dan KH. Mas Mansyur. Khusus yang menangani bidang seni lukis adalah S.
Sudjojono dan Affandi. Pelukis yang ikut bergabung dalam Putra diantaranya Hendra
Gunawan, Sudarso, Barli, Wahdi, dll. Pada masa ini para seniman memiliki kesempatan untuk
berpameran, seperti pameran karya dari Basuki Abdullah, Affandi, Nyoman Ngedon, Hendra
Gunawan, Henk Ngantung, Otto Jaya, dll.
40. Jatuhnya kekuasaan Belanda ke tangan Jepang bukan hanya suatu kemenangan militer
saja, tetapi bangsa Indonesia lebih melihat peristiwa ini sebagai kemenangan kepercayaan
akan harga diri bangsa Asia terhadap bangsa Barat. Ini dipaparkan oleh A.D. Pirous bahwa:
Kedatangan Jepang ke Indonesia pada waktu itu dirasakan sebagai “saudara tua” yang
melepaskan kekuasaan penjajahan Belanda yang diterima dengan semangat persaudaraan
yang erat. Jepang yang juga unggul dalam kebudayaan, diharapkan dapat membantu
mengembangkan kebudayaan Indonesia, harapan ini jadi lebih diyakini, ketika pemerintah
Jepang menampakan perhatiannya yang besar terhadap persoalan-persoalan kebudayaan
(AD. Pirous 2003:3).
Pada masa pendudukan Jepang seni rupa Indonesia mendapatkan perhatian yaitu
dengan disediakannya alat-alat dan tempat untuk melukis sehingga terselenggara pameran
lukisan pertama pada bulan September 1942. Tapi sayangnya karya-karya yang dibuat hanya
sebagai propaganda pemerintahan Jepang yaitu dengan bertemakan kehebatan
pemerintahan Jepang.
Puncak campur tangan pemerintahan Jepang dapat dicatat pada bulan April tahun 1943
atau setahun setelah masa pendudukan. Jepang membentuk suatu badan kebudayaan yang
diberi nama “Keimin Bunka Sidosho” dengan kontrol di bawah seniman Jepang yaitu Saseo
Ono, di dalamnya tetap terdapat propaganda pemerintahan Jepang. Akan tetapi oleh para
seniman lokal “Keimin Bunka Sidosho” dimanfaatkannya sebagai kesempatan untuk berlatih
secara teratur dengan literatur dan peralatan yang ada, mereka mengadakan
ceramah/diskusi tentang seni rupa dengan sedikitnya memberikan pandangan-pandangan
baru tentang perkembangan kesenian (seni rupa) Indonesia. Di pihak lain Indonesia
mendirikan “Poetra” yang dalam bagian seni rupanya dipimpin oleh S. Sujoyono dan Affandi.
Selain mengabdi pada bidang seni, seniman-seniman lokal berjuang melawan
pemerintahan Jepang lewat lukisan dan poster, dengan jiwa nasionalisme pada saat itu
sebagai contoh lukisan Affandi menyindir pekerja romusha dengan badan kurus dan pakaian
compang-camping, demikian juga poster dengan model pelukis Dullah, teks oleh Khairil
Anwar “Boeng Ajo Boeng” direproduksi dan disebar lewat gerbong-gerbong kereta api.
41. Periode Pasca Kemerdekaan, Pertama kali yang harus dipahami dari sejak awal
adalah perkembangan seni rupa modern Indonesia merupakan proyek kebudayaan
Barat yang dibawa melalui Kolonialisme Eropa (Belanda). Perkembangan (seni rupa
modern) berbeda dengan seni rupa yang telah hidup lama (seni rupa lokal) di
Indonesia. Jim Supangkat menandai ini dengan pernyataannya:
“Indonesia Modern art grew out of western culture, it was not a continuity and
development of traditional arts, which have a different frame of reference” (Jim
Supangkat, dalam Khalid Zabidi 2003:23).
setelah Indonesia merdeka bermunculanlah kelompok-kelompok seniman lukis
Indonesia, diantaranya: (1) Sanggar Masyarakat (1946) dipimpin Affandi, kemudian diganti
nama menjadi SIM (Seniman Indonesia Muda) yang dipimpin oleh S. Sudjojono; (2) Pelukis
Rakyat (1947), Affandi dan Hendra Gunawan keluar dari SIM dan mendirikan Pelukis Rakyat
dipimpin oleh Affandi; (3) Perkumpulan Prabangkara (1948); (4) ASRI (Akademi Seni Rupa
(1948), tokoh-tokoh pendirinya RJ. Katamsi, S.Sudjojono,Hendra Gunawan, Jayengasmoro,
Kusnadi dan Sindusisworo; (5) Tahun 1950 di Bandung berdiri Balai Perguruan Tinggi Guru
Gambar yang dipelopori oleh Prof. Syafei Sumarya, Mochtar Apin, Ahmad Sadali, Sujoko, Edi
Karta Subarna; (6) Tahun 1955, berdiri Yin Hua oleh Lee Man Fong ( perkumoulan pelukis
Indonesia keturunan Tionghoa); (7) Tahun 1958, berdiri Yayasan seni dan desain Indonesia
oleh Gaos Harjasumantri dkk; (8) Tahun 1959, berdiri Organisasi Seniman Indonesia oleh
Nashar dkk.
Periode Akademi (1950), Pengembangan seni rupa melalui pendidikan formal. Lembaga
Pendidikan yang bernama ASRI yang berdiri tahun 1948 kemudiaan secara formal tahun 1950
Lembaga tersebut mulai membuat rumusan-rumusan untuk mencetak seniman-seniman dan
calon guru gambar. Pada tahun 1959 di Bandung dibuka jurusan Seni Rupa ITB, kemudian
dibuka jurusan seni rupa disemua IKIP diseluruh Indonesia.
Periode Seni Rupa Baru, pada sekitar tahun 1974 muncul kelompok baru dalam seni
lukis. Kelompok ini menampilkan corak baru dalam seni lukis Indonesia yang membebaskan
diri dari batasan-batasan seni rupa yang telah ada. Konsep kelompok ini adalah: (1) Tidak
42. membedakan disiplin seni; (2) Menghilangkan sikap seseorang dalam mengkhususkan
penciptaan seni; (3) Mendambakan kreatifitas baru; (4) Membebaskan diri dari batasan-
batasan yang sudah mapan; (5) Bersifat eksperimental.
Seniman muda yang mempelopori kelompok ini adalah Jim Supangkat, S. Prinka, Dee Eri
Supria, dll. Seni lukis modern Indonesia dimulai dengan masuknya penjajahan Belanda di
Indonesia. Kecenderungan seni rupa Eropa Barat pada zaman itu ke aliran romantisme
membuat banyak pelukis Indonesia ikut mengembangkan aliran ini.
Sumber gambar: http://opencontours.files.wordpress.com
Raden Saleh Syarif Bustaman adalah salah seorang asisten yang cukup beruntung bisa
mempelajari melukis gaya Eropa yang dipraktekkan pelukis Belanda. Raden Saleh kemudian
melanjutkan belajar melukis ke Belanda, sehingga berhasil menjadi seorang pelukis Indonesia
yang disegani dan menjadi pelukis istana di beberapa negera Eropa. Namun seni lukis
Indonesia tidak melalui perkembangan yang sama seperti zaman renaisans Eropa, sehingga
perkembangannya pun tidak melalui tahapan yang sama. Era revolusi di Indonesia membuat
banyak pelukis Indonesia beralih dari tema-tema romantisme menjadi cenderung ke arah
"kerakyatan". Objek yang berhubungan dengan keindahan alam Indonesia dianggap sebagai
tema yang mengkhianati bangsa, sebab dianggap menjilat kepada kaum kapitalis yang
menjadi musuh ideologi komunisme yang populer pada masa itu. Selain itu, alat lukis seperti
43. cat dan kanvas yang semakin sulit didapat membuat lukisan Indonesia cenderung ke bentuk-
bentuk yang lebih sederhana, sehingga melahirkan abstraksi.
Gerakan Manifesto Kebudayaan yang bertujuan untuk melawan pemaksaan ideologi
komunisme membuat pelukis pada masa 1950an lebih memilih membebaskan karya seni
mereka dari kepentingan politik tertentu, sehingga era ekspresionisme dimulai. Lukisan tidak
lagi dianggap sebagai penyampai pesan dan alat propaganda. Perjalanan seni lukis Indonesia
sejak perintisan R. Saleh sampai awal abad XXI ini, terasa masih terombang-ambing oleh
berbagai benturan konsepsi.
Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran keberhasilan sudah
diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang membuahkan seni alternatif atau seni
kontemporer, dengan munculnya seni konsep (conceptual art): “Installation Art”, dan
“Performance Art”, yang pernah menjamur di pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar
1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam “kolaborasi” sebagai mode
1996/1997. Bersama itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-
galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan
bisnis alternatif investasi.
Seni rupa di Indonesia dari awal abad ke-20 sampai sekarang dan menyebabkan seluruh
garis perkembangannya—pada era modern maupun contemporary—berbeda dengan
perkembangan seni rupa di Eropa dan Amerika Serikat yang bertumpu pada art in Western
sense.
Penelitian tentang karya seni bukan merupakan suatu hal yang mudah melainkan suatu
pekerjaan yang sangat pelik, dan membutuhkan kecerdasan dari sudut mana kita
memandang. Hal ini sangat memberikan pengaruh pada hasil penelitian yang penuh dengan
ketegangan antara sudut pandang ilmiah dan seni.
Seni rupa secara sederhana, didefinisikan sebagai seni yang dapat dilihat atau tampak
kasat mata. Dalam bahasa Inggris seni rupa disebut visual art, karena memang seni rupa
hanya dapat dirasakan lewat penglihatan. Ini ditegaskan oleh Humar Sahman dalam bukunya
“Mengenali Dunia Seni Rupa” sebagai berikut:
44. “…peranan mata sangat menentukan apakah dalam proses mencipta sejak dari
pengamatan sampai pada visualisasi, gagasan ataupun dalam proses apresiasi produk
visualisasi itu. Orang yang buta warna walaupun sepintas-lintas matanya nampak beres-
beres saja, tidak akan mampu menjadi perupa atau apresiator karya seni rupa yang
kompeten (Humar Sahman, 1993: 200).”
Banyak pendapat mengenai seni rupa selain visual art di antaranya spatial art yang
dalam kamus bahasa Inggris berarti mengenai ruang/tempat. Hal ini dijelaskan lebih lanjut
oleh Humar Sahman sebagai berikut:
“… disebut spasial art jika yang diaksentuasi adalah ruang (space) seperti bangunan
(arsitektur = seni mencipta ruang). Atau apabila karya yang diciptakan menempati ruang,
baik dalam arti faktual maupun virtual (Humar Sahman, 1993:200).”
Dalam artian terbatas seni rupa dapat diartikan “plastic” jika dalam konteks hanya
memanfaatkan teknik membentuk bahan-bahan plastis (lunak) (Herbert Read, 2000: 1).
Contoh dari pengertian ini adalah patung, keramik termasuk juga instalasi.
Pendapat Jim Supangkat dalam SanentoY., (2001: ix) mengenai seni rupa dalam
pengantar buku ‘Dua Seni Rupa” dapat dijadikan sebagai landasan dalam penelitian ini.
Menurutnya seni rupa bila diterjemahan secara harfiah ke dalam bahasa Inggris maka
terdapat dua istilah yang berbeda yaitu visual art dan fine art.
Visual art mengacu pada pengertian seni yang menekankan “rupa”. Istilah ini
mempunyai lingkup jauh lebih luas dari fine art. Seni rupa ini dapat dikatakan setua
kebudayaan umat manusia karena memang ada di semua kebudayaan di segala zaman sejak
zaman primitif. Sedangkan fine art mempunyai lingkup yang sangat sempit dan tradisinya
terikat pada kebudayaan Barat.
Membongkar persoalan seni rupa sedikit banyak mempersoalkan identifikasi melalui
modifikasi pemikiran-pemikiran dengan menangkap gejala seni rupa. Munculnya seni rupa
kontemporer mungkin dapat melahirkan persoalan rumit, sebab tidak semua seni yang dibuat
pada masa sekarang adalah kontemporer. Hal ini akhirnya menyebabkan kecenderungan
yang tidak bisa sepenuhnya dicerna dengan konsep, misalnya seni instalasi atau praktek-
praktek seni rupa lainnya yang dianggap ekstrim.
Setiap karya seni hendaknya memberikan manfaat pada masyarakat atau kehidupan
umat, karya seni seperti inilah disebut karya seni yang berkualitas artinya masyarakat bisa
menikmati dengan kepolosan apresiasi serta pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian
45. akan timbul keseimbangan antara seniman karya seni dengan apresiator. Di lain pihak karya
seni tidak harus selalu dapat dimengerti oleh masyarakat, akhirnya melahirkan gejala
kurangnya apresiasi, kampungan, ketinggalan zaman dan sebagainya.
Persoalan di atas merupakan permasalahan yang menyelesaikannya menuntut
kreativitas. Setiap seniman dalam proses penciptaan karya seni hendaknya memakai
pemikiran yang sangat matang. Berkaitan dengan proses penciptaan dalam hal ini Dharsono
(2004: 28) membaginya dalam tiga komponen proses penciptaan karya seni yaitu tema,
bentuk dan isi. Ketiga komponen ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-
pisahkan.
C. Tokoh- tokoh dan Karyanya
1. Seni rupa Modern
a. Affandi
Sumber ga mbar: http://www.artp aintings ss.com
Lukisan Affandi yang menampilkan sosok pengemis ini merupakan
manifestasi pencapaian gaya pribadinya yang kuat. Lewat ekpresionisme, ia luluh
dengan objek-objeknya bersama dengan empati yang tumbuh lewat proses
pengamatan dan pendalaman. Setelah empati itu menjadi energi yang masak, maka
terjadilah proses penuangan dalam lukisan seperti luapan gunung menuntaskan
gejolak lavanya. Dalam setiap ekspresi, selain garis-garis lukisanya memunculkan
energi yang meluap juga merekam penghayatan keharuan dunia bathinnya. Dalam
lukisan ini terlihat sesosok tubuh renta pengemis yang duduk menunggu pemberian
46. santunan dari orang yang lewat. Penggambaran tubuh renta lewat sulur-sulur garis
yang mengalir, menekankan ekspresi penderitaan pengemis itu. Warna coklat hitam
yang membangun sosok tubuh, serta aksentuasi warna-warna kuning kehijauan
sebagai latar belakang, semakin mempertajam suasana muram yang terbangun
dalam ekspresi keseluruhan.
Namun dibalik kemuraman itu, vitalitas hidup yang kuat tetap dapat dibaca
lewat goresan-goresan yang menggambarkan gerak sebagian figur lain. Dalam
konfigurasi objek-objek ini, komposisi yang dinamis. Dinamika itu juga diperkaya
dengan goresan spontan dan efek-efek tekstural yang kasar dari plototan tube cat
yang menghasilkan kekuatan ekspresi.
Pilihan sosok pengemis sebagai objek-objek dalam lukisan tidak lepas dari
empatinya pada kehidupan masyarakat bawah. Affandi adalah penghayat yang
mudah terharu, sekaligus petualang hidup yang penuh vitalitas.Objek-objek rongsok
dan jelata selalu menggugah empatinya. Oleh karenanya, ia sering disebut sebagai
seorang humanis dalam karya seninya. Dalam berbagai pernyataan dan lukisannya,
ia sering menggungkapkan bahwa matahari, tangan dan kaki merupakan simbol
kehidupannya. Matahari merupakan manifestasi dari semangat hidup. Tangan
menunjukkan sikap yang keras dalam berkarya dan merealisir segala idenya. Kaki
merupakan ungkapan simbolik dari motivasi untuk terus melangkah maju dalam
menjalani kehidupan. Simbol-simbol itu memang merupakan kristalisasi
pengalaman dan sikap hidup Affandi, maupun proses perjalanan keseniannya yang
keras dan panjang. Lewat sosok pengemis dalam lukisan ini, kristalisasi pengalaman
hidup yang keras dan empati terhadap penderitaan itu dapat terbaca.
b. Raden Saleh
47. Sumber gambar: http://www.artpaintingsss.com
Lukisan Raden Saleh yang berjudul “Badai” ini merupakan ungkapan khas
karya yang beraliran Romatisme. Dalam aliran ini seniman sebenarnya ingin
mengungkapkan gejolak jiwanya yang terombang-ambing antara keinginan
menghayati dan menyatakan dunia (imajinasi) ideal dan dunia nyata yang rumit dan
terpecah-pecah. Dari petualangan penghayatan itu, seniman cenderung
mengungkapkan hal-hal yang dramatis, emosional, misterius, dan imajiner. Namun
demikian para seniman romantisme sering kali berkarya berdasarkan pada
kenyataan aktual.
Dalam lukisan “Badai” ini, dapat dilihat bagaimana Raden Saleh
mengungkapkan perjuangan yang dramatis dua buah kapal dalam hempasan badai
dahsyat di tengah lautan. Suasana tampak lebih menekan oleh kegelapan awan
tebal dan terkaman ombak-ombak tinggi yang menghancurkan salah satu kapal.
Dari sudut atas secercah sinar matahari yang memantul ke gulungan ombak, lebih
memberikan tekanan suasana yang dramatis.
Walaupun Raden Saleh berada dalam bingkai romantisisme, tetapi tema-
tema lukisannya kaya variasi, dramatis dan mempunyai élan vital yang tinggi. Karya-
karya Raden Saleh tidak hanya sebatas pemandangan alam, tetapi juga kehidupan
manusia dan binatang yang bergulat dalam tragedi. Sebagai contoh adalah lukisan
48. “Een Boschbrand” (Kebakaran Hutan), dan “Een Overstrooming op Java” (Banjir di
Jawa), “Een Jagt op Java” (Berburu di Jawa) atau pada “Gevangenneming van
Diponegoro” (Penangkapan Diponegoro). Walaupun Raden Saleh belum sadar
berjuang menciptakan seni lukis Indonesia, tetapi dorongan hidup yang
diungkapkan tema-temanya sangat inspiratif bagi seluruh lapisan masyarakat, lebih-
lebih kaum terpelajar pribumi yang sedang bangkit nasionalismenya.
Noto Soeroto dalam tulisannya “Bi het100” Geboortejaar van Raden Saleh
(Peringatan ke 100 tahun kelahiran Raden Saleh), tahu 1913, mengungkapkan
bahwa dalam masa kebangkitan nasional, orang Jawa didorong untuk mengerahkan
kemampuannya sendiri. Akan tetapi, titik terang dalam bidang kebudayaan
(kesenian) tak banyak dijumpai. Untuk itu, keberhasilan Raden Saleh diharapkan
dapat membangkitkan perhatian orang Jawa pada kesenian nasional.
c. Kartono Yudhokusumo
Sumber gambar: http://www.artpaintingsss.com
Kartono merupakan pelopor untuk genre lukisan dekoratif di Indonesia.
Perkembangan itu dimulai dari lukisan-lukisan realismenya yang menggunakan
warna-warna bebas. Dalam karya “Melukis di Taman”, 1952 ini, terlihat bagaimana
corak dekoratif itu benar-benar menjadi jiwa. Semua objek dalam pemandangan itu
digambarkan dengan rincian detail, baik yang ada di depan maupun di latar
belakang yang jauh. Berbagai warna cerah pada objek juga lebih mencerminkan
49. intuisi pelukis dari pada kenyataan yang ada di alam. Hal lain sebagai ciri genre
lukisan ini adalah penggunaan perspektif udara (aerial perspective) yang
memungkinkan cakrawala terlihat ke atas dan bidang gambar menjadi lebih luas,
sehingga objek-objek lebih banyak dapat dilukiskan.
Dalam lukisan ini terungkap romantisme pelukis dengan membayangkan
dunia utuh dan ideal. Wanita-wanita berkebaya yang bercengkrama dan berkasihan,
menjadi bagian penting diantara pohon-pohon dan binatang dalam taman yang
penuh warna. Hal menarik lagi yaitu, pada sudut depan terlihat seorang laki-laki
melukis model wanita dengan pakaian lebih modern di antara kerumunan wanita
lain dalam pakaian kebaya. Selain hal itu menunjukkan setting sosial yang berkaitan
dengan gaya hidup, juga bisa menjelaskan romantisisme pada pelukisnya. Dalam
bawah sadarnya seorang romantis selalu menghadirkan dunia ideal dari kontradiksi
atau berbagai kenyataan yang terpecah-pecah. Besar kemungkinan tokoh sentral
dalam karya-karyanya adalah manifestasi dunia ide yang dimunculkan. Namun
demikian dalam kebanyakan genre corak dekoratif, ada kesadaran bahwa alam
adalah kosmos dan manusia hanya merupakan titik bagian dari padanya. Oleh
karena itu, dalam lukisan ini ego sang pelukis yang begitu ideal pun hanya
diletakkan dalam bagian kecil, dari sudut lukisan yang sarat dengan objek dan kaya
warna.
2. Seni Rupa Kontemporer
a. A.D Pirous
A.D. Pirous dikenal dengan karya-karyanya yang bernafaskan islami.
Pengungkapannya dalam lukisan lewat konstruksi struktur bidang-bidang dengan
latar belakang warna yang memancarkan berbagai karakter imajinatif. Dengan
prinsip penyusunan itu, pelukis ini sangat kuat sensibilitasnya terhadap komposisi
dan pemahaman yang dalam berbagai karakter warna. Nafas spiritual suatu ketika
muncul dalam imaji warna yang terang, saat yang lain bisa dalam warna redup yang
syahdu, sesuatu juga bisa muncul dalam kekayaan warna yang menggetarkan.
Sentuhan ragam hias etnis Aceh, yang memuat ornament-ornamen atau motif
50. Buraq, juga memberikan nafas sosiokultural yang islami dalam lukisannya. Sebagai
puncak kunci nafas spiritual itu, adalah aksentuasi kaligrafi Arab yang melafaskan
ayat-ayat Suci Al Qur’an.
Sumber gambar: http://www.artpaintingsss.com
Dalam lukisan “Beratapkan Langit dan Bumi Amparan” (QS. Al Baqarah: 22a),
1990 ini, Pirous juga menghadirkan spiritualitas yang menyentuh. Latar belakang
biru ultramarine membawa imaji tentang kedalaman kosmos yang tak terhingga. Di
atas, menyembul bagian dari potongan-potongan bidang oker yang mencitrakan
suatu massa langit. Di bawah, dua bidang putih dengan kaligrafi Al Qur’an tegak
menjadi pondasi yang kokoh untuk citra bumi. Di antara imaji antara langit dan
bumi itu suatu garis putih yang serupa cahaya membelah vertikal melewati
kedalaman kosmos. Dengan berbagai karakter yang dapat dibaca lewat fenomena
tekstual tersebut, maka garis yang serupa cahaya itu, dapat ditafsirkan sebagai
cahaya keilahian yang menghubungkan langit dan bumi. Dalam lukisan-lukisan yang
lain, pelukis ini sering membangun suasana alam untuk memberikan latar belakang
yang kuat yang berhubungan dengan ayat-ayat Al Qur’an dalam lukisannya. Lewat
penyusunan bidang-bidang, ruang, dan warna-warna tertentu, suasana dalam
lukisan dapat memantulkan senja yang temaram, pagi yang jernih, ataupun malam
yang syahdu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pirous juga berhasil
51. mengembangkan seni lukis abstrak yang simbolis. Semua eksploitasi ide, medium,
dan teknis tersebut akhirnya tidak hanya sekedar menempatkan Pirous sebagai
pelukis kaligrafi yang handal, tetapi lebih jauh lagi mempertegas pencapaiannya
sebagai pelukis spiritual islami
b. S. Sudjojono
Sumber gambar: http://www.artpaintingsss.com
Jika pada lukisan “Di depan Kelamboe Terbuka” ekspresi Sudjojono terlihat
sunyi tetapi mencekam, maka dalam karya “Tjap Go Meh”, 1940 ini, ia
mengungkapkan emosinya dengan meluap-luap. Dalam lukisan karnaval perayaan
keagamaan Cina tersebut, selain dihadirkan suasana hiruk pikuk muncul nuansa
ironi. Ironi itu bisa sebatas pada karnaval yang meluapkan berbagai emosi secara
absurd, namun lebih jauh lagi bisa mengandung komentar ketimpangan sosial. Hal
itu mengingat setting sosial tahun pembuatan karya, adalah pada masa depresi
ekonomi, tekanan pemerintah kolonial yang makin keras pada para nasionalis, dan
euphoria menjelang kedatangan Jepang.
Pada latar depan, terlihat seorang wanita dalam tarian dan gandengan
seorang bertopeng, diapit oleh seorang ambtenar yang berdasi dan seorang
pemusik bertopeng buaya. Di sisi lain ada seorang kerdil yang berdiri tegak
52. temangu-mangu, sedangkan di latar belakang berombak masa yang berarak dan
menari dalam kegembiraan. Walaupun lukisan ini berukuran kecil, namun Sudjojono
benar-benar telah mewujudkan kredo jiwo ketoknya dalam melukis. Dalam “Tjap Go
Meh” ini terlihat spontanitas yang meluap tinggi. Deformasi orang-orang dalam
arakan dan warna-warnanya yang kuat, mendukung seluruh ekspresi yang absurd
itu.
Sudjojono dalam masa Persagi dan masa Jepang berusaha merealisir seni
lukis Indonesia baru, seperti yang sangat kuat disuarakan lewat tulisan-tulisan dan
karyanya. Jiwa semangat itu adalah menolak estetika seni lukis Mooi Indie yang
hanya mengungkapkan keindahan dan eksotisme saja. Dengan semangat
nasionalisme, Sudjojono ingin membawa seni lukis Indonesia pada kesadaran
tentang realitas sosial yang dihadapi bangsa dalam penjajahan. Di samping itu, dia
ingin membawa nafas baru pengungkapan seni lukis yang jujur dan empati yang
dalam dari realitas kehidupan lewat ekpresionisme. Kedua masalah yang
diperjuangkan tersebut, menempatkan Sudjojono sebagai pemberontak estetika
“Mooi Indie” yang telah mapan dalam kultur kolonial feodal. Lukisan Sudjojono “Di
Depan Kelamboe Terbuka” dan “Tjap Go Meh” ini, merupakan implementasi dari
perjuangan estetika yang mengandung moral etik kontekstualime dan nasionalisme.
Dengan kapasitas kesadaran dan karya-karya yang diperjuangkan, banyak pengamat
yang menempatkan Sudjojono sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia
c. Fadjar Sidik
53. Sumber gambar: http://www.artpaintingsss.com
Dalam lukisan “Dinamika Keruangan”, 1969 ini, Fadjar Sidik menampilkan
ritme-ritme bentuk dari dua gugusan elemen visual dengan dominan warna hitam
dan warna kuning oker. Di sela-sela susunan bentuk terdapat bulatan-bulatan
merah yang memberikan aksentuasi seluruh ritme itu, sehingga timbul klimaks yang
menetaskan kelegaan. Jika dalam lukisan ini terdapat bentuk bulan dan sabit, hal itu
sama sekali bukan representasi religius yang berkaitan dengan nilai simbolik bulan
penuh dan bulan sabit. Demikian juga dengan gugusan bentuk-bentuk segi empat
dan geliat sulur garis hitam, bukan abstraksi bentuk ular dan sarangnya yang
mempunyai nilai magis simbolik. Pelukis ini lebih menekankan bagaimana dalam
kanvasnya hadir ekspresi visual yang membuat dinamika, ketegangan, ritme,
keseimbangan, atau karakter-karakter lain. Ungkapan dalam lukisan ini merupakan
salah satu dari manifestasi pencapaian abstrak murni yang telah melewati proses
panjang dalam kreativitasnya.
Pencapaian Fadjar Sidik sampai pada bentuk estetik ini menunjukkan
sikapnya sebagai seorang modernis. Hal itu justru dilatabelakangi oleh
kekecewaannya sebagai seorang romantis yang kehilangan dunia idealnya, yaitu
objek Bali yang telah berubah menjadi artifisial. Sebagai seorang yang mempunyai
bahan dasar modernis lewat lingkungan kultural keluarga dan pendidikan, Fadjar
tetap lebih dahulu melewati proses mengabstraksi bentuk-bentuk alam yang
disukainya. Keputusan utntuk menciptakan bentuk-bentuk sendiri (ia sering
menyebutnya sebagai desain ekspresif), tanpa merepresentasikan bentuk-bentuk
apapun di alam, merupakan sikap yang purna dari pencarian dan pemberontakan
estetiknya. Pemberontakan itu bisa lebih dilihat dengan makna sosial, karena Fadjar
pada waktu itu berjuang sebagai seorang modernis dalam lingkungan seni lukis
Yogyakarta yang masih kuat mengembangkan paradigma estetik kerakyatan. Sikap
sosial yang terkristal dalam konsep estetis itu, menempatkan Fadjar Sidik sebagai
agen perubahan dalam seni lukis modern Indonesia.
54. BAB III
ALIRAN SENI RUPA MODERN KONTEMPORER INDONESIA
Aliran atau ideologi dalam seni rupa ada banyak sekali. Penggolongan aliran dalam seni
rupa seringkali tidak dapat dibatasi oleh waktu tertentu apakah itu tradisional atau modern.
Karena seringkali kita temui, beberapa aliran klasik atau modern masih dipakai dan dianut oleh
seniman dan perupa kontemporer.
Aliran seni rupa modern kontemporer Indonesia sendiri sampai saat ini terus
berkembang dan mencari bentuk. Beberapa perupa dengan karyanya lahir mewakili aliran seni
yang mereka tekuni. Aliran senir upa secara umum masih banyak mengadaptasi bentuk dan jenis
aliran yang datang dari luar.
Di bawah ini akan kami jabarkan beberapa aliran dalam seni rupa yang ada dengan para
penganutnya maupun pencetusnya. Sebagai tambahan adalah perupa Indonesia yang menganut
aliran ini. hanya dengan pelacakan sederhana, mungkin beberapa aliran seni rupa yang ada itu,
tidak seluruhnya ada penganutnya di Indonesia. Pun begitu, beberapa nusantara yang sudah
teridentifikasi alirannya akan kami cantumkan berikut ini.
A. Impresionisme
Impresionisme adalah sebuah aliran yang berusaha menampilkan kesan-kesan
pencayaan yang kuat, dengan penekanan pada tampilan warna dan bukan bentuk. Namun
kalangan akademisi ada yang justru menampilkan kesan garis yang kuat dalam impresionisme
ini. Aliran Impresionisme muncul dari abad 19 yang dimulai dari Paris pada tahun 1860-an.
Nama ini awalnya dikutip dari lukisan Claude Monet, "Impression, Sunrise" ("Impression, soleil
levant"). Kritikus Louis Leroy menggunakan kata ini sebagai sindiran dalam artikelnya di Le
Charivari.
55. Sumber Gambar: http://senisman1sbw.wordpress.com/
Impressionisme merupakan corak seni rupa yang lahir pada tahun 1874. Aliran ini
mengutamakan kesan selintas dari suatu obyek yang dilukiskan. Kesan itu didapat dari
bantuan sinar matahari yang merefleksi ke mata mereka. Mereka melukiskan dengan cepat
karena perputaran matahari dari timur ke barat. Karena itulah dalam lukisan impressionisme
obyek yang dihasilkan agak kabur dan tidak mendetail.
Tokoh aliran ini : Claude Monet, Aguste Renoir, Casmile Pissaro, SIsley, Edward Degas dan
Mary Cassat.
Di Indonesia penganut aliran ini : Kusnadi, Solichin dan Afandi (sebelum Ekspresionisme).
Karakteristik utama lukisan impresionisme adalah kuatnya goresan kuas, warna-warna
cerah (bahkan banyak sekali pelukis impresionis yang mengharamkan warna hitam karena
dianggap bukan bagian dari cahaya), komposisi terbuka, penekanan pada kualitas
pencahayaan, subjek-subjek lukisan yang tidak terlalu menonjol, dan sudut pandang yang
tidak biasa. Pengaruh impresionisme dalam seni rupa juga merambah ke bidang musik dan
sastra.
Secara kebetulan, pada masa keemasan impresionisme, ditemukan pula penggunaan
teknik fotografi. Pada awalnya fotografi dianggap bisa memusnahkan keberadaan seni lukis.
Namun tujuan utama impresionisme yang menangkap kesan sesaat justru membuat fotografi