1. Sekilas Tentang Partai Rakyat Demokratik
Pergerakan memang bukan tergantung dari
adanya seseorang pemimpin, bukan bikinannya
seseorang pemimpin, pergerakan adalah
bikinannya nasib kita yang sengsara. Ia pada
hakekatnya adalah usaha masyarakat sakit
yang mengobati diri sendiri.
(Sukarno, Mencapai Indonesia Merdeka)
Latar Belakang
Situasi perpolitikan di Indonesia saat ini disesaki oleh beragam partai politik yang
sebagian besar berfungsi sebagai kendaraan untuk meraih kursi dalam pemilihan umum.
Keseluruhan praktek politik seperti ini menghabiskan dana dan sumber daya yang besar
untuk transaksi politik, kampanye, dan lain sebagainya. Sedangkan, janji-janji atau
program yang ditawarkan partai politik dan kandidat mereka sering kali tidak diwujudkan
setelah terpilih.
Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari tidak adanya niat politik dan keseriusan
kandidat yang bersangkutan untuk mewujudkan janjinya, hingga ketidakmampuannya
dalam memperjuangkan janji-janji tersebut dalam parlemen atau posisi pemerintahan.
Akibat sering dikecewakan oleh politikus, mayoritas rakyat semakin tidak melihat adanya
hubungan antara pilihan politik dengan perbaikan kehidupan mereka. Proses pemilihan
akhirnya sekedar menjadi ajang jual-beli suara antara rakyat pemilih dengan para
kandidat partai-partai politik. Sementara kebijakan-kebijakan pemerintah sering kali
dihasilkan melalui tawar-menawar antara kelas penguasa tanpa menghiraukan kehendak
rakyat.
Apa beda PRD dari Partai Politik lainnya?
Alat pergerakan rakyat
PRD adalah alat pergerakan yang dengan konsisten dan sehari-harinya - bukan sekedar
menjelang pemilihan - memperjuangkan kepentingan rakyat. Tujuan PRD adalah
menggalang kekuatan rakyat dalam politik - yakni dalam mempengaruhi dan
menentukan kebijakan pemerintahan - dan mengarahkannya pada tujuan masyarakat adil
dan makmur tanpa penindasan. PRD juga menyadari bahwa cita-cita ini baru akan
tercapai bila masyarakat telah menghapus sistem kapitalisme yang didasarkan pada
penindasan manusia oleh manusia dan imperialisme yang didasarkan pada penjajahan
bangsa oleh bangsa.
Menggalang kekuatan rakyat
2. Berbeda dengan mayoritas partai lain, PRD bukan sekedar alat untuk meraih kursi di
parlemen atau pemerintahan. Perjuangan parlementer dan elektoral hanyalah salah satu
jalan yang ditempuh untuk menggalang kekuatan rakyat. Di luar arena parlementer
dijalankan perjuangan di bidang organisasi, pendidikan, budaya, dan ekonomi yang justru
sangat menentukan keberhasilan penggalangan kekuatan rakyat (machtsvorming).
Penggalangan kekuatan rakyat dilakukan dengan mengangkat kesadaran rakyat tentang
apa yang menjadi kepentingannya, perjuangannya dan tugas historisnya. Kekuatan rakyat
tidak akan tergalang sebelum rakyat bergerak dan berjuang secara bersama-sama dan
terorganisir, bukan secara pribadi dan tak terkoordinasi.
Oleh karenanya PRD melawan segala bentuk praktek politik uang karena akan
menggerogoti semangat senasib seperjuangan, melemahkan kesadaran, dan menghambat
kemajuan perjuangan. Kader dan simpatisan PRD harus menjadi aktivis-aktivis yang
berkomitmen terhadap tujuan PRD dan terlibat langsung dalam upaya berbagai sektor
masyarakat dalam memperbaiki kondisi hidupnya: rakyat miskin, buruh, tani, perempuan,
pelajar dan mahasiswa, pegawai perkantoran, seniman, dsb.
Persatuan nasional
Perubahan yang bermakna tidak dapat terwujud secara spontan dan terpisah-pisah. Oleh
karena itu, PRD mengupayakan terwujudnya suatu organisasi atau front persatuan
berskala nasional yang dapat menjadi wadah perjuangan bagi berbagai sektor masyarakat.
Dalam wadah persatuan ini, berbagai persoalan dan isu akan didiskusikan dan dijadikan
suatu agenda bersama yang ditentukan secara demokratis. Di bawah situasi penjajahan
neoliberal saat ini, pengembalian kedaulatan nasional adalah landasan persatuan yang
dibutuhkan untuk mengeluarkan nasion ini dari keterpurukan.
Pelopor
Sebagai perwujudan dari tujuan dan azasnya, PRD berperan sebagai obor yang akan
menerangkan rakyat siapa kawan dan lawannya, yang akan membimbing dan memimpin
rakyat menyusuri jalan berliku menuju masyarakat yang dicita-citakan. Melalui
perjuangan sehari-hari di tengah rakyat, PRD akan menunjukan pada momen-momen
yang tepat politikus mana, kebijakan mana, dan keputusan apa yang pro- atau anti-
terhadap rakyat, yang harus didukung, dipilih atau ditolak oleh rakyat.
Demokrasi sepenuhnya
Langkah-langkah PRD ditentukan melalui demokrasi (musyawarah) dan permufakatan
(konsensus) yang dilaksanakan secara transparan, berlandaskan tujuan dan azas PRD,
yang mana setiap orang memiliki hak yang sama. Demokrasi seperti ini memungkinkan
partisipasi yang lebih besar, dan merupakan proses yang penting dalam mengembangkan
kesadaran dan kapasitas kader dan anggota, maupun masyarakat pada umumnya.
Ini jauh berbeda dari demokrasi gadungan yang dipraktekan oleh kelas penguasa saat ini,
di mana keputusan akhir dan penting diambil oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan
uang. Demokrasi gadungan seperti ini merupakan rintangan terbesar bagi perwujudan
kekuatan rakyat dalam pemerintahan. Maka, sejalan dengan itu PRD juga berjuang untuk
3. mewujudkan demokrasi yang seutuhnya dalam membangun persatuan nasional.
Sejarah singkat PRD
Sejak awalnya, Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah partai yang tumbuh dan
dibangun sebagai alat pergerakan rakyat dalam melawan penindasan.Pembentukan PRD
yang ditandai dengan Kongres Pertama PRD pada 15 April 1996 di Sleman, Yogyakarta,
merupakan puncak dari proses penyatuan gerakan rakyat di masa kediktatoran Orde Baru.
Proses ini dapat ditelusuri dari pembangunan komite-komite aksi pada tahun 1980an;
pembangunan organisasi pergerakan di sektor mahasiswa, buruh, tani, rakyat miskin dan
seniman pada awal tahun 1990an; dan kemudian penggalangan persatuan lintas-wilayah
dan lintas-sektoral antara berbagai organisasi rakyat menjelang 1996.
Yang menjadi program utama saat itu adalah pembukaan ruang demokrasi dengan
mencabut dua tiang utama kediktatoran Suharto, yakni paket 5 UU Politik 1985 dan
Dwifungsi ABRI. Legislasi yang disebut pertama mengebiri hak politik rakyat dengan
melarang pendirian partai politik di luar tiga partai besar yang dikendalikan oleh
pemerintah. Sementara Dwifungsi ABRI memastikan dominasi militer dalam berbagai
aspek kehidupan - terutama politik dan ekonomi - tanpa melalui proses demokrasi atau
pemilihan oleh rakyat.
Dalam memperjuangkan ini PRD melancarkan aksi-aksi massa dan bekerjasama dengan
individu-individu dan kekuatan politik yang menghendaki Indonesia yang lebih
demokratis. Upaya ini berhasil semakin menggerakan kekuatan oposisi pada saat itu.
Mereka kemudian berhimpun di seputar seorang tokoh oposisi, Megawati Sukarnoputri.
Ketika Rezim Orde Baru merespon perkembangan ini dengan menyerbu Kantor PDI pro-
Megawati di Jl Diponegoro, Jakarta, pada 27 Juli 1996, amarah rakyat meluap
menyebabkan kerusuhan di ibukota. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh pemerintah untuk
melakukan penangkapan dan pemburuan terhadap pimpinan dan aktivis PRD. Belasan
aktivis dan pimpinan PRD ditangkap dan dihilangkan; sisanya terpaksa beraktivitas di
bawah tanah.
Namun ini terbukti tak mampu menghentikan keruntuhan rezim Orde Baru. Dalam
pemilu 1997, PRD mengupayakan persatuan oposisi dalam gerakan Mega-Bintang-
Rakyat yang merintis kerjasama antara unsur-unsur anti-Orde Baru dalam partai yang
ada, terutama PDI dan PPP. Dengan dilatari oleh krisis ekonomi Asia, perlawanan rakyat
dan mahasiswa semakin membesar sehingga akhirnya berhasil memaksa Suharto untuk
mundur dan mengharuskan pemerintah setelahnya untuk membuka ruang demokrasi
lebih lebar lagi.
Pada 1999 digelar pemilu pertama sejak 1955 yang dilangsungkan secara bebas. PRD
berhasil ikut serta namun tidak berhasil meraih kursi. Konsentrasi PRD diarahkan untuk
melancarkan aksi-aksi massa ekstra parlementer yang mendelegitimasi sisa-sisa Orde
Baru. PRD juga merupakan salah satu kelompok politik yang paling awal, yakni sejak
1999, dalam mengangkat persoalan neoliberalisme yang terwujud dalam kebijakan-
kebijakan yang menyengsarakan rakyat, seperti liberalisasi perdagangan, pencabutan
subsidi sosial, dan privatisasi aset-aset negara.
4. Pemerintahan Abdurrahman Wahid dan kemudian Megawati Sukarnoputri terbukti tidak
mampu membendung desakan kebijakan-kebijakan neoliberal yang diterapkan sebagai
persyaratan untuk memperoleh pinjaman luar negeri. Sementara di DPR, para wakil
rakyat justru mengesahkan Undang-Undang yang membuka jalan bagi dominasi modal
swasta dan asing dalam perekonomian,seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Migas,
UU Sumber Daya Air, dan UU BUMN. Penulisan dan pengesahan UU ini dilakukan
dengan intervensi konsultan asing seperti New Democratic Initiatives (NDI) dan United
States Agency for International Development (USAID) yang menyisipkan kepentingan
modal swasta asing.
Naiknya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke tampuk kekuasaan sejak 2004 dan
kenaikan partai pendukungnya, Partai Demokrat, merupakan pertanda semakin kuatnya
cengkraman neoliberalisme dalam politik. Bila pemerintahan sebelumnya meletakkan
landasan kebijakan dan legislasi neoliberal di bawah tekanan untuk melunasi utang luar
negeri; maka di bawah pemerintahan SBY kebijakan neoliberal dilanjutkan meskipun
secara resmi utang tersebut telah lunas sejak 2006. Lebih dari itu, pemerintah SBY justru
terus menambah utang sehingga semakin menjerat negeri ini dalam ketergantungan pada
kekuatan-kekuatan imperialis. Dana yang didapatkan dari utang itu banyak yang
digunakan untuk program-program sosial yang tidak berperspektif jangka panjang dan
berkelanjutan, seperti PNPM Mandiri, BLT, dan BOS.
Pemerintah sebenarnya dapat menegakkan kemandirian ekonomi antara lain dengan
mengupayakan pemotongan dan penghapusan utang menurut hukum internasional yang
berlaku, memaksimalkan pemasukan dari penguasaan sumber daya alam, dan melakukan
investasi dalam pembangunan infrastruktur, industri, transportasi, pendidikan, kesehatan,
dan jaminan sosial. Kebijakan seperti ini terbukti secara historis mampu meningkatkan
kesejahteraan dan produktifitas dalam jangka panjang. Pengalaman negeri-negeri dunia
ketiga lainnya seperti Tiongkok, India, Brasil, hingga negeri tetangga seperti Malaysia
dan Thailand juga mendemonstrasikan hal ini.
Sebaliknya, kebijakan ekonomi politik SBY yang melayani perusahaan-perusahaan
raksasa trans-nasional menyebabkan Indonesia mengalami perkembangan ekonomi yang
relatif tidak istimewa, dengan ketimpangan sosial yang cukup tinggi, dan infrastruktur
yang terbelakang. Padahal sumber daya alam kita sangat berlimpah dan jumlah
penduduknya terbesar ke-empat di dunia. Peningkatan Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) yang dibangga-banggakan oleh pemerintahan SBY lebih terkesan sebagai
penipuan karena angka tersebut didominasi oleh keuntungan perusahaan raksasa asing.
Bagi mayoritas rakyat Indonesia kehidupan semakin mahal, susah dan tidak aman.
Mengahadapi situasi dan tantangan ini PRD sejak 2006 mengangkat program yang
dinamakan Tripanji Persatuan Nasional, yaitu nasionalisasi pertambangan, penghapusan
utang, dan industrialisasi nasional. Program ini diperjuangkan dengan merintis suatu front
yang kemudian melahirkan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) pada tahun
yang sama. Dalam Pemilu 2009, aktivis-aktivis Papernas maju sebagai kandidat legislatif
dengan bekerjasama dengan partai-partai lain yang telah lolos pemilu untuk mengangkat
isu anti penjajahan/imperialisme neoliberal.
Upaya ini memang belum menghasilkan capaian yang berarti selain dua kursi DPRD II di
5. Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara hasil pemilu 2009 yang penuh dengan
kecurangan semakin mengukuhkan posisi SBY dan Partai Demokrat di pemerintahan.
Namun, di sisi lain dapat dikatakan bahwa persoalan penjajahan neoliberalisme dan
tuntutan kedaulatan nasional semakin mengemuka dalam wacana publik.
Kongres 7 PRD 2010
Pada tanggal 1-3 Maret 2010, PRD menggelar Kongres ke 7 di Salatiga, Jawa Tengah.
Kongres ini cukup penting karena menyadari bahwa perjuangan melawan penjajahan
neoliberal tidak dapat sekedar bergantung pada perumusan program-program ekonomi
dan politik, namun harus mewujudkan suatu transformasi budaya dalam masyarakat.
Semangat Kongres tersebut adalah menggali nilai-nilai tradisi, budaya, dan sejarah
progresif dalam masyarakat Indonesia untuk menuntaskan persoalan dan menciptakan
alternatif bagi rakyat. Ini menghasilkan suatu keputusan penting untuk mengadopsi
ideologi Pancasila sebagaimana yang dikonsepkan dan diperjuangkan oleh Bung Karno
dan para pendiri bangsa lainnya.
Disepakati juga kebutuhan untuk memadukan perjuangan ekstra-parlementer yang telah
mengakar di PRD dengan perjuangan parlementer yang semakin menjadi tuntutan saat
ini. Untuk itu PRD akan diorientasikan menjadi partai kader berbasis massa yang bersifat
terbuka. Strategi yang dijalankan adalah membangun massa pendukung melalui kerja-
kerja praktis di antara gerakan sosial dan organisasi massa, membangun front seluas
mungkin berdasarkan program-program anti-neoliberal, dan mengintervensi praktek
demokrasi dan pemilihan dari tingkat lokal hingga nasional. Ini dicapai dengan
mengangkat profil PRD lewat media partai maupun media mainstream, melaksanakan
pendidikan-pendidikan politik, dan menjalin hubungan dan kerjasama dengan kekuatan
politik lainnya.
Sesuai amanat Kongres tersebut, dibentuklah Presidium Nasional yang terdiri dari 13
pimpinan nasional dan 19 perwakilan pimpinan KPW sebagai pembuat keputusan
tertinggi setelah Kongres. Pemungutan suara dalam Kongres menetapkan Agus Priyono
"Jabo" dan Gede Sandra sebagai Ketua dan Sekretaris Jendral PRD, yang kemudian
diberikan tugas menunjuk anggota-anggota KPP. KPP yang terpilih diamanatkan untuk
menyusun manifesto dan AD/ART. Kedua dokumen ini kemudian disahkan dalam
pertemuan Presnas pada bulan Juli 2010.