SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  20
1
Kritisisme dan Kehidupan Bersama
Apa yang menyebabkan kehidupan bersama itu ada? atau dengan
pertanyaan lain, apakah dasar dari hidup bersama? Pertanyaan-
pertanyaan tersebut perlu dijawab agar kita memiliki dasar untuk hidup
bersama. Dengan memiliki pendasaran atas hidup bersama, maka kita
akan melihat hidup bersama sebagai sesuatu yang senantiasa harus
diperjuangkan untuk menjadi lebih baik.
Jawaban secara filosofis atas pertanyaan tersebut muncul dari
seorang filsuf Yunani yang bernama Aristoteles. Aristoteles berpendapat
bahwa manusia pada hakekatnya merupakan makhluk sosial (zoon
politicon). Zoon politicon dapat diartikan bahwa manusia tidak bisa hidup
tanpa orang lain. Dengan kata lain, di dalam hidupnya manusia selalu
membutuhkan orang lain. Inilah jawaban Aristoteles yang dapat
memberikan dasar untuk adanya hidup bersama.
Selain Aristoteles, ada juga filsuf lain yang dapat memberi jawaban
atas pertanyaan tersebut secara fenomenologis. Filsuf tersebut bernama
Martin Heidegger. Pertama-tama Heidegger berusaha mencari jawab
darimanakah manusia? Secara fenomenologis, Heidegger menjawab
bahwa adanya manusia disebabkan karena manusia mengalami
keterlemparan ke dunia. Dalam keterlemparannya, manusia ada bersama-
sama dengan manusia yang lain. Maka, mau tak mau;suka tak suka,
manusia ada di dunia bersama-sama dengan manusia yang lain. Inilah
jawaban Heidegger yang dapat menjadi dasar filosofis adanya kehidupan
bersama.
Tak dapat dipungkiri bahwa adanya manusia di dunia memiliki
berbagai dimensi yang kompleks (dimensi sosial-politik, budaya, spiritual,
dsb). Maka, kehidupan bersama pun mengait berbagai dimensi kehidupan
manusia. Manusia yang satu dengan yang lain saling berinteraksi di dalam
dimensi-dimensinya. Dimensi-dimensi yang saling terkait tersebut
membentuk pola dialektika yang dinamis. Dialektika yang dinamis dalam
2
arti, setiap dimensi mengalami interaksi antara tesis-antitesis yang
mengarah pada pembentukan sintesis (perkembangan tiap dimensi ke
tahap yang lebih tinggi).
Dalam pola dialektik, tesis selalu bertemu antithesis dan kemudian
menjadi sintesis. Sintesis yang dihasilkan menjadi tesis baru dan segera
akan mendapat antitesis baru. Tesis baru dan antithesis baru tersebut
keduanya melebur kembali menjadi sebuah sintesis baru. Begitu pula
seterusnya, antara tesis dan antithesis senantiasa berjalan dengan dinamis
membentuk sintesis-sintesis baru. Proses dialektik tersebut terjadi secara
terus-menerus dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Guna lebih
mendaratkan teori tersebut, berikut penulis akan memberikan contoh
konkrit dari pola perkembangan dimensi-dimensi kehidupan manusia
yang terkait hidup bersama yang terjadi secara dialektis.
Dalam sejarah terbentuknya negara Indonesia tak lepas dari adanya
pola tesis-antitesis. Penulis mengawalinya dengan masa penjajahan. Masa
penjajahan kita anggap sebagai tesis. Bangsa Indonesia yang merasa
terjajah melancarkan pertempuran-pertempuran terhadap kaum penjajah
guna memperoleh kemerdekaannya. Dengan kata lain, bangsa Indonesia
berjuang untuk merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Di sinilah
perjuangan bangsa Indonesia tersebut kita anggap sebagai antithesis
terhadap penjajahan. Perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh
kemerdekaannya memuncak pada proklamasi kemerdekaan negara
Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan sintesis atas
adanya penjajahan (tesis) dan perjuangan bangsa Indonesia (antithesis).
Dalam perkembangannya, negara Indonesia pun terus mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Dan proses dialektika pun senantiasa
terjadi. Orde Baru sebagai tesis baru mendapat antithesis dari rakyat
Indonesia yang tidak setuju dengan sistem yang totaliter. Sintesis baru lalu
muncul dengan adanya sistem pemerintahan yang lebih demokratis.
Namun demikian, proses dialektika belum berhenti sampai di sini. Bangsa
3
Indonesia akan tetap mengadakan proses dialektika untuk menuju pada
cita-cita negara demokrasi yang ideal.
Proses dialektika dalam memperjuangkan kemerdekaan tersebut
tidak hanya di Indonesia. Proses dialektika untuk memperoleh
kemerdekaan juga terjadi di berbagai penjuru dunia. Revolusi di Perancis,
Perjuangan rakyat Afrika Selatan melawan politik Apartheid, lalu
perjuangan rakyat di negara-negara Timur Tengah baru-baru ini yang
melawan rezim totaliter pemimpinnya sendiri, dsb, menunjukkan adanya
proses dialektika dalam sejarah kehidupan seluruh umat manusia. Dengan
demikian, proses dialektika merupakan proses sejarah yang terjadi
dialektis di berbagai penjuru dunia.
Proses dialektika tidak hanya terjadi dalam dimensi sosial-politis
suatu bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Proses dialektika
pun juga terjadi dalam dimensi sejarah pemikiran manusia (tradisi
filsafat). Tradisi berfilsafat mulai dikenal sejak masa Yunani kuno (abad 4
SM). Saat itu, muncullah pemikir-pemikir yang berusaha memahami
hakekat terdalam dari realitas dengan menggunakan akal budi. Para
pemikir tersebut melahirkan karya-karya yang kemudian hari menjadi
dasar dalam pemikiran filsafat. Munculnya tradisi berfilsafat di Yunani
dapat kita anggap sebagai tesis.
Seiring berjalannya waktu (abad 4-13 M), tradisi filsafat Yunani
digunakan untuk menjelaskan ajaran iman dalam tradisi Kristen. Di
sinilah kita tempatkan unsur iman sebagai antithesis. Pada masa itu, para
tokoh Gereja berusaha memadukan antara ajaran iman dengan filsafat.
Dengan kata lain, filsafat dipergunakan untuk menjelaskan ajaran iman
Kristen. Salah satu tokoh Gereja yang berhasil memadukan ajaran iman
dan filsafat adalah Thomas Aquinas. Ia menghasilkan karya yang
termasyur yang berjudul Summa Theologiae. Karya Thomas Aquinas
(Summa Theologiae) yang berusaha memadukan antara ajaran iman dan
filsafat merupakan sebuah contoh sintesis atas filsafat (tesis) dan iman
(antithesis).
4
Dalam perkembangannya, tradisi kekristenan yang begitu
mendominasi pada abad pertengahan (kita tempatkan sebagai tesis baru)
pun segera mendapat antithesis pada abad abad modern (abad 17).
Dimana para pemikir abad modern menggugat tradisi kekristenan yang
dianggap telah membelenggu kemampuan akal budi. Pada masa ini,
muncul banyak karya yang menentang ajaran Gereja. Konflik yang terjadi
antara Gereja dan para pemikir yang memperjuangkan kebebasan akal
budi memuncak pada sebuah masa yang dikenal dengan masa pencerahan
(Aufklarung). Masa pencerahan budi kita tempatkan sebagai sintesis
antara Tradisi Gereja (sebagai tesis) dan perjuangan para pemikir
kebebasan budi (antithesis) yang mengalami dialektika. Di sinilah kita
melihat bahwa sejarah pemikiran pun tak lepas dari adanya proses
dialektika.
Dari contoh-contoh konkrit yang dikemukakan oleh penulis
nampak bahwa segala dimensi hidup manusia mengalami suatu proses
dialektika. Demikian halnya dengan dimensi hidup bersama (dimensi
sosial-politis). Adanya perubahan tatanan masyarakat dariwaktu ke waktu
menunjukkan adanya proses dialektika dalam hidup bersama. Dalam hal
ini penulis melihat adanya unsur penting yang harus ada untuk suatu
perubahan sosial, yaitu unsur antithesis. Tanpa adanya antithesis niscaya
tidak akan terjadi proses dialektika dalam kehidupan bersama. Jika tidak
ada dialektika maka segala sesuatu hanya akan stagnan dan tidak terjadi
suatu perubahan dalam masyarakat. Dengan kata lain, antithesis
merupakan unsur yang harus ada untuk suatu perubahan. Dalam sejarah
kehidupan manusia, antithesis sering berupa kesadaran atas adanya
penindasan dan ketidakadilan.
Munculnya kesadaran atas penindasan dan ketidakadilan menjadi
mudah ketika penindasan dan ketidakadilan terjadi secara kasat mata.
Sebagaimana terjadi pada masa-masa penjajahan. Jika demikian adanya,
maka jelas perlu suatu perubahan. Namun, munculnya kesadaran atas
penindasan dan ketidakadilan menjadi begitu sulit ketika penindasan dan
5
ketidakadilan terjadi secara tidak kasat mata. Dengan kata lain,
penindasan dan ketidakadilan terjadi secara halus dan terselubung.
Inilah realitas yang terjadi pada zaman modern ini. Penindasan
memang tidak lagi menampakkan dirinya secara kasat mata, melainkan
secara halus dan terselubung. Inilah yang sesungguhnya sangat berbahaya.
Seringkali masyarakat modern cenderung tidak melihat (baca: tidak sadar)
akan adanya bentuk penindasan yang terselubung tersebut. Kebanyakan
orang malah tenang-tenang saja, seakan-akan hidup ini aman-aman saja
dan tidak ada masalah sama sekali. Padahal dibalik itu, terjadi
penindasan-penindasan yang sungguh sangat halus dan terselubung yang
semakin mengasingkan manusia dari dirinya.
Penindasan dan ketidakadilan dalam masyarakat modern muncul
dalam bentuk hegemoni dan ideologi yang ‘meninabobokkan’ masyarakat.
Usaha kritis sebagai bentuk antithesis dalam zaman ini jarang sekali
ditemukan. Malahan masyarakat cenderung kehilangan daya kritisnya dan
terhegemoni dalam penindasan-penindasan yang terselubung. Merasa
bahwa seakan-akan semuanya baik-baik saja. Maka dari itu, diperlukan
suatu bentuk antithesis baru yang mampu menjawabi permasalahan
masyarakat dewasa ini. Suatu bentuk antithesis yang super kritis untuk
membuka selubung-selubung penindasan tersebut. Dengan demikian,
proses dialektika akan terus berlangsung guna mewujudkan suatu tatanan
hidup bersama yang lebih baik.
Guna membongkar bentuk penindasan baru (penindasan yang
terlubung) yang terjadi pada zaman ini, dituntut pula suatu bentuk
antithesis dengan cara yang baru. Dalam tulisan ini, penulis menawarkan
suatu bentuk antithesis baru yang dapat digunakan secara efektif guna
memerangi penindasan terselubung yang terjadi dewasa ini. Antithesis
baru tersebut adalah dengan berpikir kritis terhadap segala hal yang
terkait modernitas. Dengan berpikir kritis, kita tidak mudah terjebak
dalam penindasan yang terselubung (hegemoni). Melainkan mampu
menemukan antithesis atas segala realitas yang terjadi sekarang ini.
6
Dalam tulisan ini, penulis hendak memperkenalkan para pemikir
super kritis mampu menjadi antithesis terhadap modernitas. Para pemikir
tersebut tergabung dalam sebuah Mazhab, yang dikenal dengan nama
Mazhab Frankfurt. Orang-orang yang tergabung dalam Mazhab ini
berusaha membongkar selubung-selubung penindasan dan ketidakadilan
yang terjadi secara tidak kasat mata. Selubung-selubung yang dimaksud
adalah selubung ideologi yang selama ini menindas masyarakat secara
begitu halus.
Dengan ‘menelanjangi’ ideologi-ideologi yang pada praxisnya telah
merampas kebebasan manusia sampai ke dasar-dasarnya, Mazhab
Frankfurt mampu menjadi antithesis aktual atas situasi zaman ini. Dengan
menjadi antithesis, maka Mazhab Frankfurt dapat mendorong perubahan-
perubahan dalam dimensi hidup bersama dalam masyarakat. Perubahan
tersebut diawali dengan membuka kesadaran masyarakat akan adanya
penindasan yang begitu halus tersebut. Dengan munculnya kesadaran
dalam masyarakat maka diharapkan terjadinya gerakan perubahan
tatanan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, pemikiran
kritis Mazhab Frankfurt mampu menjadi antithesis yang aktual pada
zaman ini.
Mazhab Frankfurt sendiri muncul sebagai gerakan antithesis
terhadap cara berpikir positivitis yang lahir dari semangat pencerahan.
Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt memang banyak diarahkan
untuk membongar selubung ideologi-ideologi. Maka dari itu kritik yang
mereka lontarkan sering disebut juga sebagai kritik ideologi. Pemikiran-
pemikiran Mazhab Frankfurt yang akan dipaparkan dalam tulisan ini
adalah pemikiran tokoh-tokoh generasi pertama Mazhab Frankfurt.
Mereka adalah orang-orang super kritis yang berusaha membuka kedok
penindasan dan ketidakadilan secara terselubung. Berikutnya penulis akan
memaparkan pemikiran dari Mazhab Frankfurt yang menjadi antithesis
atas cara pandang positivistis yang lahir dari semangat pencerahan.
7
Namun sebelum itu penulis akan terlebih dahulu memaparkan sedikit
latar belakang sejarah mengenai munculnya Mazhab Frankfurt.
Latar Belakang Sejarah Mazhab Frankfurt.1
“Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt disebut juga dengan
nama ‘Teori Kritis’ atau ‘Kritische Theorie’.”2 Istilah Mazhab Frankfurt
juga sering dikaitkan dengan suatu lembaga yang pernah menyokong
aliran ini, yaitu: Institut fur Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial)
yang didirikan di Frankfurt am Main pada tahun 1923.3 Tokoh-tokoh
perintisnya yang terkenal diantaranya adalah Max Horkheimer (filsuf,
sosiolog, psikolog, dan direktur sejak 1930), Theodor Wiesendrund-
Adorno (filsuf, sosiolog, musikolog), dan Herbert Marcuse (filsuf). Ketiga
tokoh tersebut sering disebut sebagai Generasi Pertama Teori Kritis.4
“Pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan pemikiran-
pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Karl Marx dan para
penerusnya”.5 Bagi Mazhab Franfurt, Karl Marx telah membuat teori
Hegel (filsuf Jerman) yang terlampau abstrak menjadi sangat konkrit.6
“Dalam pandangan Marx, kritik di dalam kritik di dalam filsafat hegel
masih kabur dan membingungkan karena ia memahami sejarah secara
abstrak”.7
Karl Marx, yang berusaha mengkonkritkan filsafat Hegel,
menyatakan bahwa sejarah manusia bukanlah sejarah abstrak melainkan
sejarah konkrit kehidupan manusia. Sejarah konkrit tersebut adalah
sejarah dimana kaum proletar/buruh berusaha membebaskan diri dari
penindasan kaum kapitalis. Pemikiran Karl Marx itulah yang kemudian
1 Pemaparan mengenai Teori Kritis didasarkan pada buku, Kritik Ideologi: Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan, terbitan Kanisius, Y ogyakarta, 1990, yang dikarang
oleh Francisco Budi Hardiman.
2 Budi Hardiman, Francisco, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan,
hal. 40.
3 Ibid.
4 Ibid., hal. 41.
5 Ibid., hal. 35.
6 Ibid., hal. 50.
7 Ibid.
8
menginspirasi Mazhab Frankfurt untuk merumuskan sebuah
teori/pemikiran yang bertujuan emansipatoris.
Teori Kritis disebut memiliki tujuan emansipatoris, lebih
disebabkan karena pemikiran-pemikiran Teori Kritis diarahkan untuk
membuka selubung-selubung ideologi yang selama ini menindas
masyarakat. Penindasan dalam cara ini disebut sebagai penindasan yang
terselubung karena seringkali masyarakat sendiri tidak sadar akan adanya
penindasan yang bersifat ideologis. Dalam hal ini Teori Kritis disebut juga
sebagai kritik ideologi.
Sebagai kritik ideologi, Teori Kritis memiliki tujuan emansipatoris.
Dimana mereka berusaha membuka kesadaran masyarakat akan
penindasan yang membelenggunya. Dengan munculnya kesadaran atas
penindasan tersebut diharapkan terwujud adanya praxis yang mendorong
perubahan ke arah yang lebih baik. Inilah tujuan dasar Teori Kritis
membangun pemikiran-pemikirannya. Pada bagian berikutnya, penulis
akan memaparkan mengenai pengertian ‘kritik’ yang digunakan dalam
Teori Kritis untuk membongkar selubung-selubung ideologi.
Pengertian ‘Kritik’ dalam Tradisi Teori Kritis.
‘Kritik’ yang dimaksudkan Mazhab ini berakar pada tradisi filsafat.8
Filsafat sendiri berarti pencarian akan kebenaran secara terus-menerus.
Tradisi berfilsafat telah dimulai pada zaman Yunani kuno. Pada saat itu,
muncul pemikir-pemikir yang berusaha memahami realitas dengan
menggunakan akal budinya. Penggunaan akal budi untuk memahami
realitas menandai dimulainya suatu perubahan cara pandang manusia
terhadap realitas. Dari yang semula manusia memahami realitas melalui
mitos-mitos, menjadi lebih rasional untuk memahami realitas.
Cara pandang yang rasional terhadap realitas pun mengalami
perkembangan dari zaman ke zaman. Dalam semangat modernitas, filsafat
lebih dimaknai sebagai sebuah sikap kritis. Sikap kritis yang mengarah
8 Ibid., hal. 46.
9
pada pencarian akan esensi-esensi dari realitas. Filsafat sebagai suatu
sikap kritis inilah yang dimaksudkan sebagai kritik dalam tradisi Teori
Kritis.
Sikap kritis Mazhab Franfurt lebih diarahkan pada ideologi-ideologi
yang menurut pandangan mereka telah mengasingkan manusia individual
di dalam masyarakatnya.9 Bagi para pemikir Mazhab Frankfurt berbagai
bidang kehidupan masyarakat modern, seperti: seni, ilmu pengetahuan,
ekonomi, politik dan kebudayaan pada umumnya telah menjadi rancu
karena diselubungi ideologi-ideologi yang hanya menguntungkan pihak-
pihak tertentu.1 0 Sadar akan kondisi ini, Teori Kritis lahir sebagai suatu
bentuk usaha yang bertujuan emansipatoris. Sebuah usaha yang bertujuan
untuk membuka kesadaran masyarakat akan penindasan dan
ketidakadilan yang terjadi secara terselubung melalui ideologi-ideologi.
Dalam membangun kerangka berpikir, Mazhab Frankfurt
menggunakan pemikiran-pemikiran Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx,
dan juga Sigmund Freud sebagai pisau bedah analisisnya.1 1 Bagi Mazhab
Frankfurt keempat tokoh tersebut dipandang sebagai filsuf-filsuf kritis.
Namun demikian, pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan
pemikiran-pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Marx.1 2
Bagi Mazhab Franfurt, Karl Marx telah membuat teori Hegel (filsuf
Jerman) yang terlampau abstrak menjadi sangat konkrit.1 3 “Dalam
pandangan Marx, kritik di dalam kritik di dalam filsafat hegel masih kabur
dan membingungkan karena ia memahami sejarah secara abstrak”.1 4 Karl
Marx, yang berusaha mengkonkritkan filsafat Hegel, menyatakan bahwa
sejarah manusia bukanlah sejarah abstrak melainkan sejarah konkrit
kehidupan manusia. Sejarah konkrit tersebut adalah sejarah dimana kaum
proletar/buruh berusaha membebaskan diri dari penindasan kaum
9 Ibid.
10 Ibid.
11 Ibid., hal. 47 .
12 Ibid., hal. 35.
13 Ibid., hal. 50.
14 Ibid.
10
kapitalis. Pemikiran Karl Marx itulah yang kemudian menginspirasi
Mazhab Frankfurt untuk merumuskan sebuah teori/pemikiran yang
bertujuan emansipatoris.
Teori Kritis disebut memiliki tujuan emansipatoris, lebih
disebabkan karena pemikiran-pemikiran Teori Kritis diarahkan untuk
membuka selubung-selubung ideologi yang selama ini menindas
masyarakat. Dalam hal inilah Teori Kritis disebut juga sebagai kritik
ideologi. Sebagai kritik ideologi, Teori Kritis berusaha membongkar
selubung-selubung ideologi yang dalam prakteknya banyak menindas
masyarakat. Masyarakat sendiri belum sadar akan adanya penindasan
yang bersifat ideologis tersebut. Maka dari itu, Teori Kritis berusaha
membuka kesadaran masyarakat akan penindasan yang membelenggunya.
Dengan munculnya kesadaran atas penindasan tersebut diharapkan
terwujud adanya praxis yang mendorong perubahan ke arah yang lebih
baik. Inilah tujuan emansipatoris Teori Kritis yaitu membuka kesadaran
yang mendorong praxis perubahan.
Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt memang banyak
diarahkan untuk mengkritik cara berpikir positivistis yang diterapkan
untuk menganalisis fenomena-fenomena sosial. Bagi Mazhab Frankfurt,
inilah ideologi dalam artinya yang sejati. Positivisme menjadi ideologi
karena ‘diambil’ begitu saja metodenya tanpa melihat/mempertanyakan:
Apakah sistem tersebut cocok untuk diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial?
Penulis menganalogikan bahwa positivisme telah menjadi dewa yang
disembah-sembah oleh ilmu sosial. Berikut penulis akan mulai
memaparkan kritik-kritik yang diajukan oleh Teori Kritis generasi pertama
guna membongkar selubung-selubung ideologi tersebut.
Kritik atas Metodologi: Membangun ‘Teori dengan
Maksud Praktis’ (Kritik diajukan oleh Horkheimer)
Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa Mazhab Frankfurt
mengkritik metode positivisme yang diterapkan untuk menganalisis
berbagai masalah/fenomena sosial. Horkheimer, salah seorang tokoh
11
Teori Kritis, memberi nama pengintegrasian metode positivisme ke dalam
ilmu sosial sebagai ‘Teori Tradisional’.1 5 Bagi Horkheimer, pengintegrasian
teori-teori ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial telah menjadikan teori-teori
ilmu alam tersebut bersifat ideologis dan cenderung menjaga status quo
masyarakat yang pada dasarnya menindas.1 6 Berikut penulis akan
memaparkan argumen-argumen Horkheimer yang ingin membuka
selubung ideologis dari teori-teori positivistis yang digunakan dalam ilmu-
ilmu sosial.
Argumen pertama Horkheimer berangkat dari klaim Teori
Tradisional yang menganggap dirinya sebagai teori yang asosial, mandiri,
mencukupi dirinya dan terlepas dari konteks kegiatan masyarakat sehari-
hari. Dengan kata lain, Teori Tradisional hendak memisahkan unsur-
unsur subjektif dari teori. Pemisahan tersebut mengarah pada klaim
bahwa Teori Tradisional merupakan bentuk pengetahuan yang bebas
kepentingan (disinterested).17 Maka dari itu, masyarakat yang ingin
diterangkan dalam teori harus dipandang sebagai fakta yang netral yang
dapat dipelajari secara obyektif.1 8
Bagi Horkheimer, Teori Tradisional yang menganggap dirinya
asosial telah mengabaikan proses-proses dinamika kehidupan konkrit di
dalam masyarakat. Dalam hal ini, Teori Tradisional telah menganggap
masyarakat sebagai obyek kajian yang sama dengan obyek kajian ilmu
alam. Masyarakat yang pada hakekatnya memiliki sifat dinamis hanya
dianggap sebagai benda mati sebagaimana benda-benda yang menjadi
obyek kajian ilmu alam. Selain itu, klaim bahwa Teori Tradisional
memiliki sifat universal, berlaku dimana saja, dan suprasosial dinilai tidak
tepat. Adanya dinamika yang begitu kompleks dalam masyarakat
mengandaikan bahwa teori ilmu alam tidak bisa diterapkan secara
sembarangan pada realitas sosial.
15 Ibid., hal. 54.
16 Ibid., hal. 56.
17 Ibid.
18 Ibid.
12
Argumen kedua Horkheimer diarahkan pada klaim Teori
Tradisional bahwa pengetahuan yang didapatkan bersifat netral. Klaim
tersebut didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat merupakan fakta
yang netral yang dapat dipelajari secara obyektif. Dengan demikian, Teori
Tradisional mengklaim bahwa teori mereka adalah deskripsi murni
tentang fakta yang obyektif.
Klaim bahwa Teori Tradisonal merupakan deskripsi murni tentang
fakta tidak dapat dibenarkan. Di sini Teori Tradisional telah mengabaikan
adanya unsur dinamika manusiawi dalam masyarakat. Kelemahan Teori
Tradisonal adalah membiarkan keadaan tanpa mempertanyakannya. Teori
Tradisional semacam telah mendirikan “tembok” bagi dirinya sendiri
dengan mengambil jarak pada dinamika manusiawi yang ada dalam
masyarakat. Padahal, unsur dinamika manusiawi tidak dapat dilepaskan
dari proses pembentukan Teori Tradisional.
Argumen ketiga dari Horkheimer diarahkan pada klaim Teori
Tradisional bahwa teori dapat dipisahkan dari praxis. Dengan kata lain,
Teori Tradisional mengejar pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
Teori Tradisional juga cenderung mengabaikan segi praxis guna
mendorong suatu perubahan sosial. Dalam hal ini, Teori Tradisional tidak
mendorong munculnya kesadaran kritis masyarakat untuk melakukan
perubahan. “Dengan jalan ini pula, Teori Tradisional tidak bertujuan
mengubah keadaan, malah melestarikan status quo masyarakat.”1 9
Dengan kritik-kritik ini, Horkheimer memandang Teori Tradisional
sebagai ideologi yang melestarikan kesalahan berpikir tersebut. Pada
bagian berikutnya penulis akan memaparkan kritik dari Mazhab Frankfurt
terhadap masyarakat modern yang menggunakan metode positivistis yang
kemudian melahirkan Teori Tradisional.
Kritik atas Rasionalitas Masyarakat Modern (Kritik
diajukan oleh Horkheimer, Adorno, dan Marcuse)
19 Ibid., hal. 57 .
13
Kritik yang diajukan oleh Mazhab Frankfurt terhadap masyarakat
modern dilakukan dalam dua cara.2 0 Pertama, dengan mencari dasar
ontologis munculnya cara berpikir positivistis. Dalam hal ini, mereka
merefleksikan sejarah proses rasionalisasi yang terjadi pada masyarakat
Barat.2 1 Kedua, dengan menunjukkan bahwa cara berpikir positivistis
sebagai ideologi yang menghasilkan sains dan tekhnologi, cenderung
diterima secara sukarela oleh masyarakat modern.2 2 Kritik dalam cara
yang pertama dikemukakan oleh Adorno dan Horkheimer dalam karya
mereka yang berjudul Dialektik der Aufklarung.2 3 Sedangkan kritik dalam
cara yang kedua dilontarkan oleh Herbert Marcuse dalam karyanya yang
berjudul One-Dimensional Man.2 4
Lahirnya Mitos Baru dan Rasional Instrumental
(Kritik Horkheimer dan Adorno Terhadap Proses
Rasionalisasi dalam Modernitas)
Berkaitan dengan kritik dalam cara pertama, Adorno Dan
Horkheimer pada akhirnya menyimpulkan bahwa munculnya cara
berpikir positivistis berakar pada ‘pencerahan budi’ (Aufklarung) yang
menjadi cita-cita pencerahan itu sendiri.2 5 Pencerahan yang terjadi pada
abad ke-18, menandai suatu perubahan radikal terhadap pola pikir
manusia. Dari yang sebelumnya rasio masih terkungkung dalam mitos dan
tradisi-tradisi, dalam pencerahan rasio mulai menjadi otonom. Otonomi
rasio dalam semangat pencerahan sangatlah dijunjung tinggi, diagung-
agungkan bahkan dipuja-puja. Maka tak heran jika manusia yang terbakar
semangat pencerahan menciptakan patung yang diberi nama sebagai dewi
rasio.
20 Ibid., hal. 60.
21 Ibid.
22 Ibid.
23 Ibid.
24 Ibid.
25 Ibid., hal. 61.
14
Semangat pencerahan melahirkan sebuah cara pandang yang
disebut dengan positivisme. Positivisme merupakan sebuah paham yang
mengedepankan adanya verifikasi untuk menentukan kesahihan obyek
yang dikaji. Dengan kata lain, ukuran kesahihan adalah sejauh mana
obyek kajian tersebut dapat diverifikasi kebenarannya. Obyek kajian yang
tidak bisa diverifikasi dianggap bukan sesuatu hal yang ilmiah dan hanya
omong kosong belaka. Maka tak heran jika pencerahan menolak cara-cara
berpikir lama yang bersifat mitis karena tak dapat diverifikasi
kebenarannya. Pada era pencerahan inilah mulai terjadi demitologisasi,
dimana cara berpikir mitis, mulai digantikan dengan cara berpikir
positivistis.
Adorno dan Horkheimer yang kritis terhadap dua pola berpikir
tersebut berpendapat bahwa antara cara berpikir mitis dan cara berpikir
positivistis hanya berbeda di dalam cara memahami kenyataan, bukan
berbeda secara hakikatnya.2 6 Dalam mitos, manusia berusaha memahami
realitas dengan cara mimesis (meniru) tokoh-tokoh yang dimunculkan
dalam ritus-ritus keramat.2 7 Dalam melakukan mimesis, manusia mitis
membekukan gambaran dunianya sehingga mereka terkungkung di
dalamnya.2 8 Dengan cara tersebut, manusia mitis mampu memahami
kenyataan dan kedudukannya di dalam semesta.2 9
Sedangkan dalam pencerahan, manusia berusaha memahami
realitas dengan mengambil jarak antara rasio dengan obyek yang ingin
dikendalikan.3 0 Dengan kata lain, rasio menjadi pengendali/penguasa atas
alam. Pengendalian rasio atas alam, yang menjadi ciri khas pencerahan,
berjalan dengan prosedur matematis sehingga dapat bekerja secara tepat
dan otomatis di bawah aturan-aturan yang pasti dan niscaya.3 1 “Dan
26 Ibid., hal. 63.
27 Ibid., hal. 62.
28 Ibid.
29 Ibid.
30 Ibid., hal. 63.
31 Ibid.
15
seperti pemikiran mitis, pemikiran yang tunduk pada hukum matematis
ini bersifat buta, tidak kritis dan dibatasi repetisi.”3 2
Adorno dan Horkheimer yang kritis melihat hal ini, menyatakan
bahwa keduanya memiliki sifat ideologis. Mitos disebut sebagai ideologi
karena manusia mitis membekukan gambaran dunianya sehingga mereka
terkungkung di dalamnya.3 3 Sedangkan cara berpikir positivistis disebut
ideologis karena mereka cenderung mempertahankan status quo cara
berpikirnya sehingga realitas dihadapi secara positivistis.3 4 Adorno dan
Horkheimer pada akhirnya berkesimpulan bahwa positivisme yang lahir
dalam masa pencerahan dinilai hanya melahirkan sebuah mitos baru yang
malah membawa banyak masalah sosial.
Kritik lain yang ditujukan pada cara berpikir positivistis,
dilontarkan oleh Horkheimer dalam bukunya yang berjudul: Eclipse of
Reason (Kemunduran Rasio, 1947).3 5 Bagi Horkheimer, rasio dalam cara
berpikir positivistis telah kehilangan tujuan pada dirinya sendiri. Rasio
tidak lagi menjadi kritis pada dirinya sendiri, melainkan rasio hanya
menjadi alat yang setia pada tujuan-tujuan di luar dirinya. Dengan kata
lain, rasio menjadi instrumental belaka.
Rasionalitas Tekhnologis (Kritik atas Tekhnologi dan
Sains dalam Masyarakat Modern)
Sebagaimana Horkheimer dan Adorno, Marcuse berpendapat
bahwa cara berpikir positivistis telah menjadi ideologi atau mitos dalam
masyarakat modern. Namun kritik yang diajukan oleh Marcuse lebih
diarahkan pada tekhnologi yang menjadi hasil dari cara berpikir
positivistis masyarakat modern. Bagi Marcuse, sains dan tekhnologi
modern yang dapat membebaskan manusia dari tuntutan untuk bekerja
keras ternyata menjadi sistem penguasaan yang total dalam masyarakat.3 6
32 Ibid.
33 Ibid., hal. 64.
34 Ibid.
35 Ibid.
36 Ibid., hal. 66.
16
Dengan bahasa yang lebih sederhana, tekhnologi seharusnya mengabdi
pada manusia. Namun bagi Marcuse yang terjadi justru kebalikannya.
Manusia menjadi hamba tekhnologi.
Penguasaan total terjadi karena tekhnologi telah mendominasi total
seluruh bidang kehidupan manusia modern. Dengan kata lain, seluruh
bidang kehidupan telah ditekhnologikan menjadi sistem birokrasi yang
total.3 7 Ukuran-ukuran kualitatif cenderung diabaikan dan segalanya
harus disesuaikan dengan sistem. Dalam hal ini penulis akan menjelaskan
‘dominasi sistem’ dengan menggunakan contoh konkrit dalam bidang
pendidikan. Dimana bidang pendidikan pun tak lepas dari cara pandang
positivistis.
Sebuah universitas A menilai kegiatan non akademis mahasiswanya
dengan menggunakan sistem point. Tujuan dari sistem point adalah agar
mahasiswa memiliki soft skills yang dapat dipergunakanya kelak dalam
dunia kerja. Point tersebut didapat dari mengikuti kegiatan-kegiatan atau
turut berpartisipasi aktif dalam lembaga kemahasiswaan. Point tersebut
juga digunakan sebagai syarat kelulusan. Setiap mahasiswa harus
memenuhi target 100 point untuk kelulusan.
Dari fenomena di atas, penulis akan mengajukan kritik
sebagaimana dimaksudkan oleh Marcuse. Adanya tuntutan 100 point
untuk lulus dapat menjadi beban psikis bagi mahasiswa. Akibatnya, para
mahasiswa dapat cenderung mendapatkan point secara asal-asalan.
Pertanyaannya: Apakah mahasiswa yang mencapai target point 100 ketika
akan wisuda sungguh mendapatkan soft skills sebagaimana diharapkan
pihak universitas? Dan sebaliknya, bagaimanakah jika mahasiswa yang
belum mencapai point 100 ketika akan wisuda namun dengan serius
mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan?
Dari contoh konkrit di atas nampak bahwa ukuran kualitatif
cenderung diabaikan dalam masyarakat modern. Segala-galanya harus
positif (terbukti secara empiris), untuk menentukan ukuran segala
37 Ibid., hal. 68.
17
sesuatu. Hal-hal yang kualitatif, sejauh itu tidak positif, dinilai tidak
bermakna sama sekali.
Tekhnologi sebagai buah positivisme menjadi sumber biang keladi
untuk mempositifkan realitas. Tekhnologi yang merupakan hasil dari
modernitas menuntut sistematisasi segalanya. Manusia mengadaptasikan
seluruh dirinya ke dalam sistem tersebut. Dalam hal inilah Marcuse
menyatakan bahwa manusia telah melakukan mimesis atau identifikasi
langsung dengan sistem.3 8 “Menolak menyesuaikan diri dengan sistem
tekhnologis itu akan menyebabkan neurosis bahkan tidak mungkin sama
sekali”.3 9 Dengan demikian, Positivisme telah nyata menjadi ideologi yang
beku dalam masyarakat modern karena segala unsur negasi dihilangkan.
Bagi Marcuse, tekhnologi yang menjadi hasil dari positivisme juga
menyerang hingga dimensi batiniah manusia. Tekhnologi telah
menciptakan kebutuhan palsu dengan adanya iklan-iklan. Disebut
kebutuhan palsu karena kebutuhan tersebut ditanamkan dari luar diri
manusia dan cenderung dibuat-buat. Dan bukan merupakan kebutuhan
alamiah yang berasal dari dalam diri manusia. Di sinilah kontrol
tekhnologi menyerang manusia hingga ke dalam dimensi batinnya.
Generasi Pertama Teori Kritis Mengalami jalan
Buntu
Jalan buntu yang dialami oleh Toeri Kritis dikarenakan sikap kritis
mereka terhadap dirinya sendiri. Dalam hal ini mereka menghadapi
sebuah dilema, antara menjadi ideologi di satu sisi dan menjadi praxis
emansipatoris yang menjadi dominasi baru di sisi lain. Teori Kritis dapat
menjadi ideologi karena terdapat kontradiksi internal di dalam paradigma
pemikiran mereka sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Teori
Kritis mengkritik Teori Tradisional sebagai ideologi yang dibekukan.
Namun, para tokoh Mazhab Frankfurt juga menyadari bahwa paradigma
yang mereka gunakan untuk mengkritik Teori Tradisional juga dapat
38 Ibid., hal 68.
39 Ibid., hal. 69
18
membeku menjadi ideologi. Terlebih lagi, para tokoh Mazhab Frakfurt
selalu menolak menjadi praxis. Alasan penolakan tersebut adalah
kesadaran mereka sendiri bahwa setiap praxis emansipatoris selalu
menghasilkan perbudakan baru, karena emansipasi berarti penguasaan
baru.4 0 Di sinilah generasi pertama Teori Kritis mengalami jalan buntu.
Selanjutnya, Habermas muncul sebagai generasi kedua Teori Kritis yang
berhasil memecah kebuntuan tersebut dengan teori paradigma
komunikasinya.
Demikianlah pemaparan mengenai Mazhab Frankfurt beserta
pemikiran-pemikirannya. Mazhab Frankfurt telah mampu menjadi
antithesis yang aktual dalam proses dialektika dalam konteks hidup
bersama zaman ini. Melalui pemikirannya, mereka berusaha membuka
selubung-selubung ideologi yang pada level praxis sangatlah meresahkan
bagi pembentukan hidup bersama yang lebih manusiawi.
Sekali lagi penulis menegaskan bahwa diperlukan suatu bentuk
antithesis baru agar proses dialektika tetap dapat berjalan di zaman
modern ini. Antithesis tersebut merupakan berpikir kritis sebagaimana
ditunjukkan oleh para tokoh yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt.
Antithesis baru (berpikir kritis) diperlukan karena penindasan-penindasan
yang terjadi sekarang ini menunjukkan dirinya dalam wujud yang lebih
halus dan tak kasat mata. Dibutuhkan usaha super kritis untuk
membongkar penindasan jenis ini. Maka dari itu, berpikir kritis
merupakan antithesis yang tepat untuk mengadakan proses dialektika
pada zaman ini. Pada bagian berikutnya, penulis akan menunjukkan
bahwa dengan berpikir kritis, kita mampu untuk mewujudkan kehidupan
bersama yang lebih manusiawi.
Fungsi dan Tujuan Berpikir Kritis dalam Hidup
Bersama
40 Ibid., hal. 7 3.
19
Pertama-tama, penulis akan terlebih dahulu membagi berpikir
kritis ke dalam dua dimensi hidup manusia. Dimensi kritis pertama adalah
kritis terhadap segala sesuatu di luar diri. Dimensi kritis kedua adalah
kritis terhadap diri sendiri. Pembagian berpikir kritis ke dalam dua
dimensi tersebut terinspirasi dari mempelajari/membaca pemikiran dari
para tokoh Mazhab Frankfut.
Dimensi pertama adalah kritis terhadap segala sesuatu di luar diri.
Dengan berpikir kritis terhadap segala sesuatu di luar diri, kita tidak akan
mudah terjebak dalam hegemoni (berbagai bentuk penindasan yang
tampak) yang terjadi dalam zaman ini. Dengan adanya sikap kritis keluar
diri, kita mampu menjadi antithesis yang relevan dalam perkembangan
zaman ini. Dengan demikian, mampu mendorong terjadinya sintesis-
sintesis baru, yaitu pembentukan tata kehidupan bersama yang lebih
manusiawi melalui kritik.
Dimensi kedua merupakan berpikir kritis terhadap diri sendiri.
Inilah dimensi berpikir kritis manusia dalam arti yang sesungguhnya.
Dengan kritis terhadap diri sendiri, kita tidak akan mudah jatuh pada
eksterm-ekstrem pemikiran yang kemudian memenjarakan kita dalam
ideologi. Selain itu, berpikir kritis terhadap diri sendiri merupakan suatu
bentuk proses dialektika untuk menemukan kebenaran. Dengan kata lain,
kritis terhadap diri sendiri mengarahkan kita untuk menjadi manusia yang
bijaksana melalui proses refleksi terus-menerus.
Kesimpulan:
Kehidupan bersama yang ada sekarang belum merupakan sebuah
bentuk tatanan yang ideal. Kehidupan bersama yang ideal mengandaikan
tidak adanya penindasan dan ketidakadilan dalam seluruh dimensi
kehidupan manusia. Namun kedengarannya hal tersebut terkesan bersifat
utopis (khayal). Selama manusia ada di dunia maka penindasan dan
ketidakadilan juga akan selalu ada. Maka yang diperlukan adalah sikap-
sikap kritis terhadap kehidupan bersama yang menyangkut berbagai
dimensi kehidupan manusia.
20
Suatu hal yang perlu diwaspadai adalah penindasan yang terjadi
sekarang ini seringkali muncul sebagai ‘tuhan’ yang menentramkan jiwa
manusia. Suatu bentuk penindasan yang mendamaikan hati. Sampai-
sampai manusia terlena dan merasa bahwa semuanya baik-baik saja dan
tidak ada masalah. Sikap super kritis adalah antithesis yang aktual dan
mujarab atas situasi zaman ini. Dengan sikap kritis, kita mampu
mengadakan dialektika yang aktual terhadap situasi zaman ini. Dengan
demikian, mendorong untuk terwujudnya suatu tata kehidupan yang lebih
baik dari hari ke hari.
Acuan Sumber:
 Budi Hardiman, Francisco, Kritik Ideologi: Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius, Yogyakarta, 1990.

Contenu connexe

Tendances

Makalah kelompok sosial
Makalah kelompok sosialMakalah kelompok sosial
Makalah kelompok sosialsatya arum
 
Kode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, Eropa
Kode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, EropaKode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, Eropa
Kode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, EropaErnita Mijil
 
Makalah manusia sebagai makhluk sosial dan individu
Makalah manusia sebagai makhluk sosial dan individuMakalah manusia sebagai makhluk sosial dan individu
Makalah manusia sebagai makhluk sosial dan individuFirman Putra Pratama
 
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)Irvan Berutu
 
Kodrat, Hakikat dan Watak
Kodrat, Hakikat dan WatakKodrat, Hakikat dan Watak
Kodrat, Hakikat dan WatakSiti Sahati
 
Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)
Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)
Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)Ria Widia
 
Fungsionalisme struktural emile durkheim dan Auguste Comte
Fungsionalisme struktural emile durkheim dan Auguste ComteFungsionalisme struktural emile durkheim dan Auguste Comte
Fungsionalisme struktural emile durkheim dan Auguste ComteAnissatul Mukhoiriyah
 
Bagaimana posisi manusia dalam lingkungan
Bagaimana posisi manusia dalam lingkunganBagaimana posisi manusia dalam lingkungan
Bagaimana posisi manusia dalam lingkunganardinmarL
 
ALIRAN ESENSIALISME
ALIRAN ESENSIALISMEALIRAN ESENSIALISME
ALIRAN ESENSIALISMEReni Nazta
 
Pancasila sebagai sistem filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafatPancasila sebagai sistem filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafatDavid Mandala Lubis
 
tatanan sosial dan pengendalian sosial
 tatanan sosial dan pengendalian sosial tatanan sosial dan pengendalian sosial
tatanan sosial dan pengendalian sosialsuher lambang
 
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)eka septarianda
 
Tugas filsafat 14 teori kebenran
Tugas filsafat 14 teori kebenranTugas filsafat 14 teori kebenran
Tugas filsafat 14 teori kebenranSusi Yanti
 
PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)
PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)
PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)AldiwaPandu
 

Tendances (20)

Makalah kelompok sosial
Makalah kelompok sosialMakalah kelompok sosial
Makalah kelompok sosial
 
Paradigma Sosiologi
Paradigma SosiologiParadigma Sosiologi
Paradigma Sosiologi
 
Kode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, Eropa
Kode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, EropaKode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, Eropa
Kode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, Eropa
 
Makalah manusia sebagai makhluk sosial dan individu
Makalah manusia sebagai makhluk sosial dan individuMakalah manusia sebagai makhluk sosial dan individu
Makalah manusia sebagai makhluk sosial dan individu
 
Filsafat Moderen
Filsafat Moderen Filsafat Moderen
Filsafat Moderen
 
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
 
Etika politik
Etika politikEtika politik
Etika politik
 
Kodrat, Hakikat dan Watak
Kodrat, Hakikat dan WatakKodrat, Hakikat dan Watak
Kodrat, Hakikat dan Watak
 
Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)
Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)
Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)
 
Fungsionalisme struktural emile durkheim dan Auguste Comte
Fungsionalisme struktural emile durkheim dan Auguste ComteFungsionalisme struktural emile durkheim dan Auguste Comte
Fungsionalisme struktural emile durkheim dan Auguste Comte
 
Bagaimana posisi manusia dalam lingkungan
Bagaimana posisi manusia dalam lingkunganBagaimana posisi manusia dalam lingkungan
Bagaimana posisi manusia dalam lingkungan
 
ALIRAN ESENSIALISME
ALIRAN ESENSIALISMEALIRAN ESENSIALISME
ALIRAN ESENSIALISME
 
Pancasila sebagai sistem filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafatPancasila sebagai sistem filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafat
 
Victor frankl
Victor franklVictor frankl
Victor frankl
 
Aliran-Aliran Filsafat
Aliran-Aliran Filsafat Aliran-Aliran Filsafat
Aliran-Aliran Filsafat
 
tatanan sosial dan pengendalian sosial
 tatanan sosial dan pengendalian sosial tatanan sosial dan pengendalian sosial
tatanan sosial dan pengendalian sosial
 
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
 
Tugas filsafat 14 teori kebenran
Tugas filsafat 14 teori kebenranTugas filsafat 14 teori kebenran
Tugas filsafat 14 teori kebenran
 
PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)
PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)
PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)
 
FILSAFAT PRA-SOCRATES
FILSAFAT PRA-SOCRATESFILSAFAT PRA-SOCRATES
FILSAFAT PRA-SOCRATES
 

Similaire à Kritisisme dan kehidupan bersama

Nilai-nilai Dari Macam-macam Ideologi di Dunia Yang Menjadi Dasar Berkesinamb...
Nilai-nilai Dari Macam-macam Ideologi di Dunia Yang Menjadi Dasar Berkesinamb...Nilai-nilai Dari Macam-macam Ideologi di Dunia Yang Menjadi Dasar Berkesinamb...
Nilai-nilai Dari Macam-macam Ideologi di Dunia Yang Menjadi Dasar Berkesinamb...norma 28
 
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Filsafat
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai FilsafatMacam-macam Ideologi Dunia Sebagai Filsafat
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Filsafatnorma 28
 
Apa itu hidup dan kehidupan bahagian pertama
Apa itu hidup dan kehidupan   bahagian pertamaApa itu hidup dan kehidupan   bahagian pertama
Apa itu hidup dan kehidupan bahagian pertamaYagi Mohamad
 
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika PolitikMacam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politiknorma 28
 
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafat
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara FilsafatPengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafat
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafatnorma 28
 
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Sistem Etika
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Sistem EtikaMacam-macam Ideologi Dunia Sebagai Sistem Etika
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Sistem Etikanorma 28
 
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika PolitikMacam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politiknorma 28
 
Sejarah Perumusan Macam-macam Ideologi di Dunia
Sejarah Perumusan Macam-macam Ideologi di Dunia  Sejarah Perumusan Macam-macam Ideologi di Dunia
Sejarah Perumusan Macam-macam Ideologi di Dunia norma 28
 
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafat
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara FilsafatPengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafat
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafatnorma 28
 
Pluralisme dan gender
Pluralisme dan genderPluralisme dan gender
Pluralisme dan genderIrwan Fauzi
 
Pert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdf
Pert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdfPert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdf
Pert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdfMThantawiJauhari
 
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaFilsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaAinina Sa'id
 
Makalah filsafat unum iman pasca modern
Makalah filsafat unum iman pasca modernMakalah filsafat unum iman pasca modern
Makalah filsafat unum iman pasca modernjuniska efendi
 
DISKURSUS TENTANG IDEOLOGI
DISKURSUS TENTANG IDEOLOGIDISKURSUS TENTANG IDEOLOGI
DISKURSUS TENTANG IDEOLOGIMira Veranita
 
SEJARAH SOSIOLOGI AGAMA.pptx
SEJARAH SOSIOLOGI AGAMA.pptxSEJARAH SOSIOLOGI AGAMA.pptx
SEJARAH SOSIOLOGI AGAMA.pptxanisa858131
 
AKSIOLOGI KEILMUAN DALAM NILAI NILAI PENGEMBANGAN KEILMUAN
AKSIOLOGI KEILMUAN DALAM NILAI NILAI PENGEMBANGAN KEILMUAN AKSIOLOGI KEILMUAN DALAM NILAI NILAI PENGEMBANGAN KEILMUAN
AKSIOLOGI KEILMUAN DALAM NILAI NILAI PENGEMBANGAN KEILMUAN noval pratama
 
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika PolitikMacam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politiknorma 28
 

Similaire à Kritisisme dan kehidupan bersama (20)

Nilai-nilai Dari Macam-macam Ideologi di Dunia Yang Menjadi Dasar Berkesinamb...
Nilai-nilai Dari Macam-macam Ideologi di Dunia Yang Menjadi Dasar Berkesinamb...Nilai-nilai Dari Macam-macam Ideologi di Dunia Yang Menjadi Dasar Berkesinamb...
Nilai-nilai Dari Macam-macam Ideologi di Dunia Yang Menjadi Dasar Berkesinamb...
 
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Filsafat
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai FilsafatMacam-macam Ideologi Dunia Sebagai Filsafat
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Filsafat
 
Apa itu hidup dan kehidupan bahagian pertama
Apa itu hidup dan kehidupan   bahagian pertamaApa itu hidup dan kehidupan   bahagian pertama
Apa itu hidup dan kehidupan bahagian pertama
 
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika PolitikMacam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
 
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafat
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara FilsafatPengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafat
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafat
 
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Sistem Etika
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Sistem EtikaMacam-macam Ideologi Dunia Sebagai Sistem Etika
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Sistem Etika
 
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika PolitikMacam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
 
Sejarah Perumusan Macam-macam Ideologi di Dunia
Sejarah Perumusan Macam-macam Ideologi di Dunia  Sejarah Perumusan Macam-macam Ideologi di Dunia
Sejarah Perumusan Macam-macam Ideologi di Dunia
 
Bab 8 ideologi
Bab 8 ideologiBab 8 ideologi
Bab 8 ideologi
 
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafat
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara FilsafatPengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafat
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafat
 
Pluralisme dan gender
Pluralisme dan genderPluralisme dan gender
Pluralisme dan gender
 
Pert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdf
Pert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdfPert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdf
Pert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdf
 
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaFilsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
 
Makalah filsafat unum iman pasca modern
Makalah filsafat unum iman pasca modernMakalah filsafat unum iman pasca modern
Makalah filsafat unum iman pasca modern
 
DISKURSUS TENTANG IDEOLOGI
DISKURSUS TENTANG IDEOLOGIDISKURSUS TENTANG IDEOLOGI
DISKURSUS TENTANG IDEOLOGI
 
Filsafat Pancasila
Filsafat PancasilaFilsafat Pancasila
Filsafat Pancasila
 
SEJARAH SOSIOLOGI AGAMA.pptx
SEJARAH SOSIOLOGI AGAMA.pptxSEJARAH SOSIOLOGI AGAMA.pptx
SEJARAH SOSIOLOGI AGAMA.pptx
 
Astina edisi 2
Astina edisi 2Astina edisi 2
Astina edisi 2
 
AKSIOLOGI KEILMUAN DALAM NILAI NILAI PENGEMBANGAN KEILMUAN
AKSIOLOGI KEILMUAN DALAM NILAI NILAI PENGEMBANGAN KEILMUAN AKSIOLOGI KEILMUAN DALAM NILAI NILAI PENGEMBANGAN KEILMUAN
AKSIOLOGI KEILMUAN DALAM NILAI NILAI PENGEMBANGAN KEILMUAN
 
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika PolitikMacam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
 

Plus de David Jones

KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS
KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMASKAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS
KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS JÜRGEN HABERMASDavid Jones
 
Many Child Many Livelihood
Many Child Many LivelihoodMany Child Many Livelihood
Many Child Many LivelihoodDavid Jones
 
Demokrasi pancasila perpaduan antara liberal dan komunis
Demokrasi pancasila perpaduan antara liberal dan komunisDemokrasi pancasila perpaduan antara liberal dan komunis
Demokrasi pancasila perpaduan antara liberal dan komunisDavid Jones
 
Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word
Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. wordStatus ontologis (eksistensi) kejahatan on. word
Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. wordDavid Jones
 
Ontological status of evil
Ontological status of evilOntological status of evil
Ontological status of evilDavid Jones
 
Teori dan praxis
Teori dan praxisTeori dan praxis
Teori dan praxisDavid Jones
 

Plus de David Jones (7)

KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS
KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMASKAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS
KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS
 
Many Child Many Livelihood
Many Child Many LivelihoodMany Child Many Livelihood
Many Child Many Livelihood
 
Demokrasi pancasila perpaduan antara liberal dan komunis
Demokrasi pancasila perpaduan antara liberal dan komunisDemokrasi pancasila perpaduan antara liberal dan komunis
Demokrasi pancasila perpaduan antara liberal dan komunis
 
Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word
Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. wordStatus ontologis (eksistensi) kejahatan on. word
Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word
 
Ontological status of evil
Ontological status of evilOntological status of evil
Ontological status of evil
 
Teori dan praxis
Teori dan praxisTeori dan praxis
Teori dan praxis
 
Pluralitas
PluralitasPluralitas
Pluralitas
 

Kritisisme dan kehidupan bersama

  • 1. 1 Kritisisme dan Kehidupan Bersama Apa yang menyebabkan kehidupan bersama itu ada? atau dengan pertanyaan lain, apakah dasar dari hidup bersama? Pertanyaan- pertanyaan tersebut perlu dijawab agar kita memiliki dasar untuk hidup bersama. Dengan memiliki pendasaran atas hidup bersama, maka kita akan melihat hidup bersama sebagai sesuatu yang senantiasa harus diperjuangkan untuk menjadi lebih baik. Jawaban secara filosofis atas pertanyaan tersebut muncul dari seorang filsuf Yunani yang bernama Aristoteles. Aristoteles berpendapat bahwa manusia pada hakekatnya merupakan makhluk sosial (zoon politicon). Zoon politicon dapat diartikan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Dengan kata lain, di dalam hidupnya manusia selalu membutuhkan orang lain. Inilah jawaban Aristoteles yang dapat memberikan dasar untuk adanya hidup bersama. Selain Aristoteles, ada juga filsuf lain yang dapat memberi jawaban atas pertanyaan tersebut secara fenomenologis. Filsuf tersebut bernama Martin Heidegger. Pertama-tama Heidegger berusaha mencari jawab darimanakah manusia? Secara fenomenologis, Heidegger menjawab bahwa adanya manusia disebabkan karena manusia mengalami keterlemparan ke dunia. Dalam keterlemparannya, manusia ada bersama- sama dengan manusia yang lain. Maka, mau tak mau;suka tak suka, manusia ada di dunia bersama-sama dengan manusia yang lain. Inilah jawaban Heidegger yang dapat menjadi dasar filosofis adanya kehidupan bersama. Tak dapat dipungkiri bahwa adanya manusia di dunia memiliki berbagai dimensi yang kompleks (dimensi sosial-politik, budaya, spiritual, dsb). Maka, kehidupan bersama pun mengait berbagai dimensi kehidupan manusia. Manusia yang satu dengan yang lain saling berinteraksi di dalam dimensi-dimensinya. Dimensi-dimensi yang saling terkait tersebut membentuk pola dialektika yang dinamis. Dialektika yang dinamis dalam
  • 2. 2 arti, setiap dimensi mengalami interaksi antara tesis-antitesis yang mengarah pada pembentukan sintesis (perkembangan tiap dimensi ke tahap yang lebih tinggi). Dalam pola dialektik, tesis selalu bertemu antithesis dan kemudian menjadi sintesis. Sintesis yang dihasilkan menjadi tesis baru dan segera akan mendapat antitesis baru. Tesis baru dan antithesis baru tersebut keduanya melebur kembali menjadi sebuah sintesis baru. Begitu pula seterusnya, antara tesis dan antithesis senantiasa berjalan dengan dinamis membentuk sintesis-sintesis baru. Proses dialektik tersebut terjadi secara terus-menerus dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Guna lebih mendaratkan teori tersebut, berikut penulis akan memberikan contoh konkrit dari pola perkembangan dimensi-dimensi kehidupan manusia yang terkait hidup bersama yang terjadi secara dialektis. Dalam sejarah terbentuknya negara Indonesia tak lepas dari adanya pola tesis-antitesis. Penulis mengawalinya dengan masa penjajahan. Masa penjajahan kita anggap sebagai tesis. Bangsa Indonesia yang merasa terjajah melancarkan pertempuran-pertempuran terhadap kaum penjajah guna memperoleh kemerdekaannya. Dengan kata lain, bangsa Indonesia berjuang untuk merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Di sinilah perjuangan bangsa Indonesia tersebut kita anggap sebagai antithesis terhadap penjajahan. Perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaannya memuncak pada proklamasi kemerdekaan negara Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan sintesis atas adanya penjajahan (tesis) dan perjuangan bangsa Indonesia (antithesis). Dalam perkembangannya, negara Indonesia pun terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dan proses dialektika pun senantiasa terjadi. Orde Baru sebagai tesis baru mendapat antithesis dari rakyat Indonesia yang tidak setuju dengan sistem yang totaliter. Sintesis baru lalu muncul dengan adanya sistem pemerintahan yang lebih demokratis. Namun demikian, proses dialektika belum berhenti sampai di sini. Bangsa
  • 3. 3 Indonesia akan tetap mengadakan proses dialektika untuk menuju pada cita-cita negara demokrasi yang ideal. Proses dialektika dalam memperjuangkan kemerdekaan tersebut tidak hanya di Indonesia. Proses dialektika untuk memperoleh kemerdekaan juga terjadi di berbagai penjuru dunia. Revolusi di Perancis, Perjuangan rakyat Afrika Selatan melawan politik Apartheid, lalu perjuangan rakyat di negara-negara Timur Tengah baru-baru ini yang melawan rezim totaliter pemimpinnya sendiri, dsb, menunjukkan adanya proses dialektika dalam sejarah kehidupan seluruh umat manusia. Dengan demikian, proses dialektika merupakan proses sejarah yang terjadi dialektis di berbagai penjuru dunia. Proses dialektika tidak hanya terjadi dalam dimensi sosial-politis suatu bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Proses dialektika pun juga terjadi dalam dimensi sejarah pemikiran manusia (tradisi filsafat). Tradisi berfilsafat mulai dikenal sejak masa Yunani kuno (abad 4 SM). Saat itu, muncullah pemikir-pemikir yang berusaha memahami hakekat terdalam dari realitas dengan menggunakan akal budi. Para pemikir tersebut melahirkan karya-karya yang kemudian hari menjadi dasar dalam pemikiran filsafat. Munculnya tradisi berfilsafat di Yunani dapat kita anggap sebagai tesis. Seiring berjalannya waktu (abad 4-13 M), tradisi filsafat Yunani digunakan untuk menjelaskan ajaran iman dalam tradisi Kristen. Di sinilah kita tempatkan unsur iman sebagai antithesis. Pada masa itu, para tokoh Gereja berusaha memadukan antara ajaran iman dengan filsafat. Dengan kata lain, filsafat dipergunakan untuk menjelaskan ajaran iman Kristen. Salah satu tokoh Gereja yang berhasil memadukan ajaran iman dan filsafat adalah Thomas Aquinas. Ia menghasilkan karya yang termasyur yang berjudul Summa Theologiae. Karya Thomas Aquinas (Summa Theologiae) yang berusaha memadukan antara ajaran iman dan filsafat merupakan sebuah contoh sintesis atas filsafat (tesis) dan iman (antithesis).
  • 4. 4 Dalam perkembangannya, tradisi kekristenan yang begitu mendominasi pada abad pertengahan (kita tempatkan sebagai tesis baru) pun segera mendapat antithesis pada abad abad modern (abad 17). Dimana para pemikir abad modern menggugat tradisi kekristenan yang dianggap telah membelenggu kemampuan akal budi. Pada masa ini, muncul banyak karya yang menentang ajaran Gereja. Konflik yang terjadi antara Gereja dan para pemikir yang memperjuangkan kebebasan akal budi memuncak pada sebuah masa yang dikenal dengan masa pencerahan (Aufklarung). Masa pencerahan budi kita tempatkan sebagai sintesis antara Tradisi Gereja (sebagai tesis) dan perjuangan para pemikir kebebasan budi (antithesis) yang mengalami dialektika. Di sinilah kita melihat bahwa sejarah pemikiran pun tak lepas dari adanya proses dialektika. Dari contoh-contoh konkrit yang dikemukakan oleh penulis nampak bahwa segala dimensi hidup manusia mengalami suatu proses dialektika. Demikian halnya dengan dimensi hidup bersama (dimensi sosial-politis). Adanya perubahan tatanan masyarakat dariwaktu ke waktu menunjukkan adanya proses dialektika dalam hidup bersama. Dalam hal ini penulis melihat adanya unsur penting yang harus ada untuk suatu perubahan sosial, yaitu unsur antithesis. Tanpa adanya antithesis niscaya tidak akan terjadi proses dialektika dalam kehidupan bersama. Jika tidak ada dialektika maka segala sesuatu hanya akan stagnan dan tidak terjadi suatu perubahan dalam masyarakat. Dengan kata lain, antithesis merupakan unsur yang harus ada untuk suatu perubahan. Dalam sejarah kehidupan manusia, antithesis sering berupa kesadaran atas adanya penindasan dan ketidakadilan. Munculnya kesadaran atas penindasan dan ketidakadilan menjadi mudah ketika penindasan dan ketidakadilan terjadi secara kasat mata. Sebagaimana terjadi pada masa-masa penjajahan. Jika demikian adanya, maka jelas perlu suatu perubahan. Namun, munculnya kesadaran atas penindasan dan ketidakadilan menjadi begitu sulit ketika penindasan dan
  • 5. 5 ketidakadilan terjadi secara tidak kasat mata. Dengan kata lain, penindasan dan ketidakadilan terjadi secara halus dan terselubung. Inilah realitas yang terjadi pada zaman modern ini. Penindasan memang tidak lagi menampakkan dirinya secara kasat mata, melainkan secara halus dan terselubung. Inilah yang sesungguhnya sangat berbahaya. Seringkali masyarakat modern cenderung tidak melihat (baca: tidak sadar) akan adanya bentuk penindasan yang terselubung tersebut. Kebanyakan orang malah tenang-tenang saja, seakan-akan hidup ini aman-aman saja dan tidak ada masalah sama sekali. Padahal dibalik itu, terjadi penindasan-penindasan yang sungguh sangat halus dan terselubung yang semakin mengasingkan manusia dari dirinya. Penindasan dan ketidakadilan dalam masyarakat modern muncul dalam bentuk hegemoni dan ideologi yang ‘meninabobokkan’ masyarakat. Usaha kritis sebagai bentuk antithesis dalam zaman ini jarang sekali ditemukan. Malahan masyarakat cenderung kehilangan daya kritisnya dan terhegemoni dalam penindasan-penindasan yang terselubung. Merasa bahwa seakan-akan semuanya baik-baik saja. Maka dari itu, diperlukan suatu bentuk antithesis baru yang mampu menjawabi permasalahan masyarakat dewasa ini. Suatu bentuk antithesis yang super kritis untuk membuka selubung-selubung penindasan tersebut. Dengan demikian, proses dialektika akan terus berlangsung guna mewujudkan suatu tatanan hidup bersama yang lebih baik. Guna membongkar bentuk penindasan baru (penindasan yang terlubung) yang terjadi pada zaman ini, dituntut pula suatu bentuk antithesis dengan cara yang baru. Dalam tulisan ini, penulis menawarkan suatu bentuk antithesis baru yang dapat digunakan secara efektif guna memerangi penindasan terselubung yang terjadi dewasa ini. Antithesis baru tersebut adalah dengan berpikir kritis terhadap segala hal yang terkait modernitas. Dengan berpikir kritis, kita tidak mudah terjebak dalam penindasan yang terselubung (hegemoni). Melainkan mampu menemukan antithesis atas segala realitas yang terjadi sekarang ini.
  • 6. 6 Dalam tulisan ini, penulis hendak memperkenalkan para pemikir super kritis mampu menjadi antithesis terhadap modernitas. Para pemikir tersebut tergabung dalam sebuah Mazhab, yang dikenal dengan nama Mazhab Frankfurt. Orang-orang yang tergabung dalam Mazhab ini berusaha membongkar selubung-selubung penindasan dan ketidakadilan yang terjadi secara tidak kasat mata. Selubung-selubung yang dimaksud adalah selubung ideologi yang selama ini menindas masyarakat secara begitu halus. Dengan ‘menelanjangi’ ideologi-ideologi yang pada praxisnya telah merampas kebebasan manusia sampai ke dasar-dasarnya, Mazhab Frankfurt mampu menjadi antithesis aktual atas situasi zaman ini. Dengan menjadi antithesis, maka Mazhab Frankfurt dapat mendorong perubahan- perubahan dalam dimensi hidup bersama dalam masyarakat. Perubahan tersebut diawali dengan membuka kesadaran masyarakat akan adanya penindasan yang begitu halus tersebut. Dengan munculnya kesadaran dalam masyarakat maka diharapkan terjadinya gerakan perubahan tatanan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, pemikiran kritis Mazhab Frankfurt mampu menjadi antithesis yang aktual pada zaman ini. Mazhab Frankfurt sendiri muncul sebagai gerakan antithesis terhadap cara berpikir positivitis yang lahir dari semangat pencerahan. Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt memang banyak diarahkan untuk membongar selubung ideologi-ideologi. Maka dari itu kritik yang mereka lontarkan sering disebut juga sebagai kritik ideologi. Pemikiran- pemikiran Mazhab Frankfurt yang akan dipaparkan dalam tulisan ini adalah pemikiran tokoh-tokoh generasi pertama Mazhab Frankfurt. Mereka adalah orang-orang super kritis yang berusaha membuka kedok penindasan dan ketidakadilan secara terselubung. Berikutnya penulis akan memaparkan pemikiran dari Mazhab Frankfurt yang menjadi antithesis atas cara pandang positivistis yang lahir dari semangat pencerahan.
  • 7. 7 Namun sebelum itu penulis akan terlebih dahulu memaparkan sedikit latar belakang sejarah mengenai munculnya Mazhab Frankfurt. Latar Belakang Sejarah Mazhab Frankfurt.1 “Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt disebut juga dengan nama ‘Teori Kritis’ atau ‘Kritische Theorie’.”2 Istilah Mazhab Frankfurt juga sering dikaitkan dengan suatu lembaga yang pernah menyokong aliran ini, yaitu: Institut fur Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) yang didirikan di Frankfurt am Main pada tahun 1923.3 Tokoh-tokoh perintisnya yang terkenal diantaranya adalah Max Horkheimer (filsuf, sosiolog, psikolog, dan direktur sejak 1930), Theodor Wiesendrund- Adorno (filsuf, sosiolog, musikolog), dan Herbert Marcuse (filsuf). Ketiga tokoh tersebut sering disebut sebagai Generasi Pertama Teori Kritis.4 “Pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan pemikiran- pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Karl Marx dan para penerusnya”.5 Bagi Mazhab Franfurt, Karl Marx telah membuat teori Hegel (filsuf Jerman) yang terlampau abstrak menjadi sangat konkrit.6 “Dalam pandangan Marx, kritik di dalam kritik di dalam filsafat hegel masih kabur dan membingungkan karena ia memahami sejarah secara abstrak”.7 Karl Marx, yang berusaha mengkonkritkan filsafat Hegel, menyatakan bahwa sejarah manusia bukanlah sejarah abstrak melainkan sejarah konkrit kehidupan manusia. Sejarah konkrit tersebut adalah sejarah dimana kaum proletar/buruh berusaha membebaskan diri dari penindasan kaum kapitalis. Pemikiran Karl Marx itulah yang kemudian 1 Pemaparan mengenai Teori Kritis didasarkan pada buku, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, terbitan Kanisius, Y ogyakarta, 1990, yang dikarang oleh Francisco Budi Hardiman. 2 Budi Hardiman, Francisco, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, hal. 40. 3 Ibid. 4 Ibid., hal. 41. 5 Ibid., hal. 35. 6 Ibid., hal. 50. 7 Ibid.
  • 8. 8 menginspirasi Mazhab Frankfurt untuk merumuskan sebuah teori/pemikiran yang bertujuan emansipatoris. Teori Kritis disebut memiliki tujuan emansipatoris, lebih disebabkan karena pemikiran-pemikiran Teori Kritis diarahkan untuk membuka selubung-selubung ideologi yang selama ini menindas masyarakat. Penindasan dalam cara ini disebut sebagai penindasan yang terselubung karena seringkali masyarakat sendiri tidak sadar akan adanya penindasan yang bersifat ideologis. Dalam hal ini Teori Kritis disebut juga sebagai kritik ideologi. Sebagai kritik ideologi, Teori Kritis memiliki tujuan emansipatoris. Dimana mereka berusaha membuka kesadaran masyarakat akan penindasan yang membelenggunya. Dengan munculnya kesadaran atas penindasan tersebut diharapkan terwujud adanya praxis yang mendorong perubahan ke arah yang lebih baik. Inilah tujuan dasar Teori Kritis membangun pemikiran-pemikirannya. Pada bagian berikutnya, penulis akan memaparkan mengenai pengertian ‘kritik’ yang digunakan dalam Teori Kritis untuk membongkar selubung-selubung ideologi. Pengertian ‘Kritik’ dalam Tradisi Teori Kritis. ‘Kritik’ yang dimaksudkan Mazhab ini berakar pada tradisi filsafat.8 Filsafat sendiri berarti pencarian akan kebenaran secara terus-menerus. Tradisi berfilsafat telah dimulai pada zaman Yunani kuno. Pada saat itu, muncul pemikir-pemikir yang berusaha memahami realitas dengan menggunakan akal budinya. Penggunaan akal budi untuk memahami realitas menandai dimulainya suatu perubahan cara pandang manusia terhadap realitas. Dari yang semula manusia memahami realitas melalui mitos-mitos, menjadi lebih rasional untuk memahami realitas. Cara pandang yang rasional terhadap realitas pun mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Dalam semangat modernitas, filsafat lebih dimaknai sebagai sebuah sikap kritis. Sikap kritis yang mengarah 8 Ibid., hal. 46.
  • 9. 9 pada pencarian akan esensi-esensi dari realitas. Filsafat sebagai suatu sikap kritis inilah yang dimaksudkan sebagai kritik dalam tradisi Teori Kritis. Sikap kritis Mazhab Franfurt lebih diarahkan pada ideologi-ideologi yang menurut pandangan mereka telah mengasingkan manusia individual di dalam masyarakatnya.9 Bagi para pemikir Mazhab Frankfurt berbagai bidang kehidupan masyarakat modern, seperti: seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan pada umumnya telah menjadi rancu karena diselubungi ideologi-ideologi yang hanya menguntungkan pihak- pihak tertentu.1 0 Sadar akan kondisi ini, Teori Kritis lahir sebagai suatu bentuk usaha yang bertujuan emansipatoris. Sebuah usaha yang bertujuan untuk membuka kesadaran masyarakat akan penindasan dan ketidakadilan yang terjadi secara terselubung melalui ideologi-ideologi. Dalam membangun kerangka berpikir, Mazhab Frankfurt menggunakan pemikiran-pemikiran Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx, dan juga Sigmund Freud sebagai pisau bedah analisisnya.1 1 Bagi Mazhab Frankfurt keempat tokoh tersebut dipandang sebagai filsuf-filsuf kritis. Namun demikian, pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan pemikiran-pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Marx.1 2 Bagi Mazhab Franfurt, Karl Marx telah membuat teori Hegel (filsuf Jerman) yang terlampau abstrak menjadi sangat konkrit.1 3 “Dalam pandangan Marx, kritik di dalam kritik di dalam filsafat hegel masih kabur dan membingungkan karena ia memahami sejarah secara abstrak”.1 4 Karl Marx, yang berusaha mengkonkritkan filsafat Hegel, menyatakan bahwa sejarah manusia bukanlah sejarah abstrak melainkan sejarah konkrit kehidupan manusia. Sejarah konkrit tersebut adalah sejarah dimana kaum proletar/buruh berusaha membebaskan diri dari penindasan kaum 9 Ibid. 10 Ibid. 11 Ibid., hal. 47 . 12 Ibid., hal. 35. 13 Ibid., hal. 50. 14 Ibid.
  • 10. 10 kapitalis. Pemikiran Karl Marx itulah yang kemudian menginspirasi Mazhab Frankfurt untuk merumuskan sebuah teori/pemikiran yang bertujuan emansipatoris. Teori Kritis disebut memiliki tujuan emansipatoris, lebih disebabkan karena pemikiran-pemikiran Teori Kritis diarahkan untuk membuka selubung-selubung ideologi yang selama ini menindas masyarakat. Dalam hal inilah Teori Kritis disebut juga sebagai kritik ideologi. Sebagai kritik ideologi, Teori Kritis berusaha membongkar selubung-selubung ideologi yang dalam prakteknya banyak menindas masyarakat. Masyarakat sendiri belum sadar akan adanya penindasan yang bersifat ideologis tersebut. Maka dari itu, Teori Kritis berusaha membuka kesadaran masyarakat akan penindasan yang membelenggunya. Dengan munculnya kesadaran atas penindasan tersebut diharapkan terwujud adanya praxis yang mendorong perubahan ke arah yang lebih baik. Inilah tujuan emansipatoris Teori Kritis yaitu membuka kesadaran yang mendorong praxis perubahan. Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt memang banyak diarahkan untuk mengkritik cara berpikir positivistis yang diterapkan untuk menganalisis fenomena-fenomena sosial. Bagi Mazhab Frankfurt, inilah ideologi dalam artinya yang sejati. Positivisme menjadi ideologi karena ‘diambil’ begitu saja metodenya tanpa melihat/mempertanyakan: Apakah sistem tersebut cocok untuk diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial? Penulis menganalogikan bahwa positivisme telah menjadi dewa yang disembah-sembah oleh ilmu sosial. Berikut penulis akan mulai memaparkan kritik-kritik yang diajukan oleh Teori Kritis generasi pertama guna membongkar selubung-selubung ideologi tersebut. Kritik atas Metodologi: Membangun ‘Teori dengan Maksud Praktis’ (Kritik diajukan oleh Horkheimer) Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa Mazhab Frankfurt mengkritik metode positivisme yang diterapkan untuk menganalisis berbagai masalah/fenomena sosial. Horkheimer, salah seorang tokoh
  • 11. 11 Teori Kritis, memberi nama pengintegrasian metode positivisme ke dalam ilmu sosial sebagai ‘Teori Tradisional’.1 5 Bagi Horkheimer, pengintegrasian teori-teori ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial telah menjadikan teori-teori ilmu alam tersebut bersifat ideologis dan cenderung menjaga status quo masyarakat yang pada dasarnya menindas.1 6 Berikut penulis akan memaparkan argumen-argumen Horkheimer yang ingin membuka selubung ideologis dari teori-teori positivistis yang digunakan dalam ilmu- ilmu sosial. Argumen pertama Horkheimer berangkat dari klaim Teori Tradisional yang menganggap dirinya sebagai teori yang asosial, mandiri, mencukupi dirinya dan terlepas dari konteks kegiatan masyarakat sehari- hari. Dengan kata lain, Teori Tradisional hendak memisahkan unsur- unsur subjektif dari teori. Pemisahan tersebut mengarah pada klaim bahwa Teori Tradisional merupakan bentuk pengetahuan yang bebas kepentingan (disinterested).17 Maka dari itu, masyarakat yang ingin diterangkan dalam teori harus dipandang sebagai fakta yang netral yang dapat dipelajari secara obyektif.1 8 Bagi Horkheimer, Teori Tradisional yang menganggap dirinya asosial telah mengabaikan proses-proses dinamika kehidupan konkrit di dalam masyarakat. Dalam hal ini, Teori Tradisional telah menganggap masyarakat sebagai obyek kajian yang sama dengan obyek kajian ilmu alam. Masyarakat yang pada hakekatnya memiliki sifat dinamis hanya dianggap sebagai benda mati sebagaimana benda-benda yang menjadi obyek kajian ilmu alam. Selain itu, klaim bahwa Teori Tradisional memiliki sifat universal, berlaku dimana saja, dan suprasosial dinilai tidak tepat. Adanya dinamika yang begitu kompleks dalam masyarakat mengandaikan bahwa teori ilmu alam tidak bisa diterapkan secara sembarangan pada realitas sosial. 15 Ibid., hal. 54. 16 Ibid., hal. 56. 17 Ibid. 18 Ibid.
  • 12. 12 Argumen kedua Horkheimer diarahkan pada klaim Teori Tradisional bahwa pengetahuan yang didapatkan bersifat netral. Klaim tersebut didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat merupakan fakta yang netral yang dapat dipelajari secara obyektif. Dengan demikian, Teori Tradisional mengklaim bahwa teori mereka adalah deskripsi murni tentang fakta yang obyektif. Klaim bahwa Teori Tradisonal merupakan deskripsi murni tentang fakta tidak dapat dibenarkan. Di sini Teori Tradisional telah mengabaikan adanya unsur dinamika manusiawi dalam masyarakat. Kelemahan Teori Tradisonal adalah membiarkan keadaan tanpa mempertanyakannya. Teori Tradisional semacam telah mendirikan “tembok” bagi dirinya sendiri dengan mengambil jarak pada dinamika manusiawi yang ada dalam masyarakat. Padahal, unsur dinamika manusiawi tidak dapat dilepaskan dari proses pembentukan Teori Tradisional. Argumen ketiga dari Horkheimer diarahkan pada klaim Teori Tradisional bahwa teori dapat dipisahkan dari praxis. Dengan kata lain, Teori Tradisional mengejar pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri. Teori Tradisional juga cenderung mengabaikan segi praxis guna mendorong suatu perubahan sosial. Dalam hal ini, Teori Tradisional tidak mendorong munculnya kesadaran kritis masyarakat untuk melakukan perubahan. “Dengan jalan ini pula, Teori Tradisional tidak bertujuan mengubah keadaan, malah melestarikan status quo masyarakat.”1 9 Dengan kritik-kritik ini, Horkheimer memandang Teori Tradisional sebagai ideologi yang melestarikan kesalahan berpikir tersebut. Pada bagian berikutnya penulis akan memaparkan kritik dari Mazhab Frankfurt terhadap masyarakat modern yang menggunakan metode positivistis yang kemudian melahirkan Teori Tradisional. Kritik atas Rasionalitas Masyarakat Modern (Kritik diajukan oleh Horkheimer, Adorno, dan Marcuse) 19 Ibid., hal. 57 .
  • 13. 13 Kritik yang diajukan oleh Mazhab Frankfurt terhadap masyarakat modern dilakukan dalam dua cara.2 0 Pertama, dengan mencari dasar ontologis munculnya cara berpikir positivistis. Dalam hal ini, mereka merefleksikan sejarah proses rasionalisasi yang terjadi pada masyarakat Barat.2 1 Kedua, dengan menunjukkan bahwa cara berpikir positivistis sebagai ideologi yang menghasilkan sains dan tekhnologi, cenderung diterima secara sukarela oleh masyarakat modern.2 2 Kritik dalam cara yang pertama dikemukakan oleh Adorno dan Horkheimer dalam karya mereka yang berjudul Dialektik der Aufklarung.2 3 Sedangkan kritik dalam cara yang kedua dilontarkan oleh Herbert Marcuse dalam karyanya yang berjudul One-Dimensional Man.2 4 Lahirnya Mitos Baru dan Rasional Instrumental (Kritik Horkheimer dan Adorno Terhadap Proses Rasionalisasi dalam Modernitas) Berkaitan dengan kritik dalam cara pertama, Adorno Dan Horkheimer pada akhirnya menyimpulkan bahwa munculnya cara berpikir positivistis berakar pada ‘pencerahan budi’ (Aufklarung) yang menjadi cita-cita pencerahan itu sendiri.2 5 Pencerahan yang terjadi pada abad ke-18, menandai suatu perubahan radikal terhadap pola pikir manusia. Dari yang sebelumnya rasio masih terkungkung dalam mitos dan tradisi-tradisi, dalam pencerahan rasio mulai menjadi otonom. Otonomi rasio dalam semangat pencerahan sangatlah dijunjung tinggi, diagung- agungkan bahkan dipuja-puja. Maka tak heran jika manusia yang terbakar semangat pencerahan menciptakan patung yang diberi nama sebagai dewi rasio. 20 Ibid., hal. 60. 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid., hal. 61.
  • 14. 14 Semangat pencerahan melahirkan sebuah cara pandang yang disebut dengan positivisme. Positivisme merupakan sebuah paham yang mengedepankan adanya verifikasi untuk menentukan kesahihan obyek yang dikaji. Dengan kata lain, ukuran kesahihan adalah sejauh mana obyek kajian tersebut dapat diverifikasi kebenarannya. Obyek kajian yang tidak bisa diverifikasi dianggap bukan sesuatu hal yang ilmiah dan hanya omong kosong belaka. Maka tak heran jika pencerahan menolak cara-cara berpikir lama yang bersifat mitis karena tak dapat diverifikasi kebenarannya. Pada era pencerahan inilah mulai terjadi demitologisasi, dimana cara berpikir mitis, mulai digantikan dengan cara berpikir positivistis. Adorno dan Horkheimer yang kritis terhadap dua pola berpikir tersebut berpendapat bahwa antara cara berpikir mitis dan cara berpikir positivistis hanya berbeda di dalam cara memahami kenyataan, bukan berbeda secara hakikatnya.2 6 Dalam mitos, manusia berusaha memahami realitas dengan cara mimesis (meniru) tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam ritus-ritus keramat.2 7 Dalam melakukan mimesis, manusia mitis membekukan gambaran dunianya sehingga mereka terkungkung di dalamnya.2 8 Dengan cara tersebut, manusia mitis mampu memahami kenyataan dan kedudukannya di dalam semesta.2 9 Sedangkan dalam pencerahan, manusia berusaha memahami realitas dengan mengambil jarak antara rasio dengan obyek yang ingin dikendalikan.3 0 Dengan kata lain, rasio menjadi pengendali/penguasa atas alam. Pengendalian rasio atas alam, yang menjadi ciri khas pencerahan, berjalan dengan prosedur matematis sehingga dapat bekerja secara tepat dan otomatis di bawah aturan-aturan yang pasti dan niscaya.3 1 “Dan 26 Ibid., hal. 63. 27 Ibid., hal. 62. 28 Ibid. 29 Ibid. 30 Ibid., hal. 63. 31 Ibid.
  • 15. 15 seperti pemikiran mitis, pemikiran yang tunduk pada hukum matematis ini bersifat buta, tidak kritis dan dibatasi repetisi.”3 2 Adorno dan Horkheimer yang kritis melihat hal ini, menyatakan bahwa keduanya memiliki sifat ideologis. Mitos disebut sebagai ideologi karena manusia mitis membekukan gambaran dunianya sehingga mereka terkungkung di dalamnya.3 3 Sedangkan cara berpikir positivistis disebut ideologis karena mereka cenderung mempertahankan status quo cara berpikirnya sehingga realitas dihadapi secara positivistis.3 4 Adorno dan Horkheimer pada akhirnya berkesimpulan bahwa positivisme yang lahir dalam masa pencerahan dinilai hanya melahirkan sebuah mitos baru yang malah membawa banyak masalah sosial. Kritik lain yang ditujukan pada cara berpikir positivistis, dilontarkan oleh Horkheimer dalam bukunya yang berjudul: Eclipse of Reason (Kemunduran Rasio, 1947).3 5 Bagi Horkheimer, rasio dalam cara berpikir positivistis telah kehilangan tujuan pada dirinya sendiri. Rasio tidak lagi menjadi kritis pada dirinya sendiri, melainkan rasio hanya menjadi alat yang setia pada tujuan-tujuan di luar dirinya. Dengan kata lain, rasio menjadi instrumental belaka. Rasionalitas Tekhnologis (Kritik atas Tekhnologi dan Sains dalam Masyarakat Modern) Sebagaimana Horkheimer dan Adorno, Marcuse berpendapat bahwa cara berpikir positivistis telah menjadi ideologi atau mitos dalam masyarakat modern. Namun kritik yang diajukan oleh Marcuse lebih diarahkan pada tekhnologi yang menjadi hasil dari cara berpikir positivistis masyarakat modern. Bagi Marcuse, sains dan tekhnologi modern yang dapat membebaskan manusia dari tuntutan untuk bekerja keras ternyata menjadi sistem penguasaan yang total dalam masyarakat.3 6 32 Ibid. 33 Ibid., hal. 64. 34 Ibid. 35 Ibid. 36 Ibid., hal. 66.
  • 16. 16 Dengan bahasa yang lebih sederhana, tekhnologi seharusnya mengabdi pada manusia. Namun bagi Marcuse yang terjadi justru kebalikannya. Manusia menjadi hamba tekhnologi. Penguasaan total terjadi karena tekhnologi telah mendominasi total seluruh bidang kehidupan manusia modern. Dengan kata lain, seluruh bidang kehidupan telah ditekhnologikan menjadi sistem birokrasi yang total.3 7 Ukuran-ukuran kualitatif cenderung diabaikan dan segalanya harus disesuaikan dengan sistem. Dalam hal ini penulis akan menjelaskan ‘dominasi sistem’ dengan menggunakan contoh konkrit dalam bidang pendidikan. Dimana bidang pendidikan pun tak lepas dari cara pandang positivistis. Sebuah universitas A menilai kegiatan non akademis mahasiswanya dengan menggunakan sistem point. Tujuan dari sistem point adalah agar mahasiswa memiliki soft skills yang dapat dipergunakanya kelak dalam dunia kerja. Point tersebut didapat dari mengikuti kegiatan-kegiatan atau turut berpartisipasi aktif dalam lembaga kemahasiswaan. Point tersebut juga digunakan sebagai syarat kelulusan. Setiap mahasiswa harus memenuhi target 100 point untuk kelulusan. Dari fenomena di atas, penulis akan mengajukan kritik sebagaimana dimaksudkan oleh Marcuse. Adanya tuntutan 100 point untuk lulus dapat menjadi beban psikis bagi mahasiswa. Akibatnya, para mahasiswa dapat cenderung mendapatkan point secara asal-asalan. Pertanyaannya: Apakah mahasiswa yang mencapai target point 100 ketika akan wisuda sungguh mendapatkan soft skills sebagaimana diharapkan pihak universitas? Dan sebaliknya, bagaimanakah jika mahasiswa yang belum mencapai point 100 ketika akan wisuda namun dengan serius mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan? Dari contoh konkrit di atas nampak bahwa ukuran kualitatif cenderung diabaikan dalam masyarakat modern. Segala-galanya harus positif (terbukti secara empiris), untuk menentukan ukuran segala 37 Ibid., hal. 68.
  • 17. 17 sesuatu. Hal-hal yang kualitatif, sejauh itu tidak positif, dinilai tidak bermakna sama sekali. Tekhnologi sebagai buah positivisme menjadi sumber biang keladi untuk mempositifkan realitas. Tekhnologi yang merupakan hasil dari modernitas menuntut sistematisasi segalanya. Manusia mengadaptasikan seluruh dirinya ke dalam sistem tersebut. Dalam hal inilah Marcuse menyatakan bahwa manusia telah melakukan mimesis atau identifikasi langsung dengan sistem.3 8 “Menolak menyesuaikan diri dengan sistem tekhnologis itu akan menyebabkan neurosis bahkan tidak mungkin sama sekali”.3 9 Dengan demikian, Positivisme telah nyata menjadi ideologi yang beku dalam masyarakat modern karena segala unsur negasi dihilangkan. Bagi Marcuse, tekhnologi yang menjadi hasil dari positivisme juga menyerang hingga dimensi batiniah manusia. Tekhnologi telah menciptakan kebutuhan palsu dengan adanya iklan-iklan. Disebut kebutuhan palsu karena kebutuhan tersebut ditanamkan dari luar diri manusia dan cenderung dibuat-buat. Dan bukan merupakan kebutuhan alamiah yang berasal dari dalam diri manusia. Di sinilah kontrol tekhnologi menyerang manusia hingga ke dalam dimensi batinnya. Generasi Pertama Teori Kritis Mengalami jalan Buntu Jalan buntu yang dialami oleh Toeri Kritis dikarenakan sikap kritis mereka terhadap dirinya sendiri. Dalam hal ini mereka menghadapi sebuah dilema, antara menjadi ideologi di satu sisi dan menjadi praxis emansipatoris yang menjadi dominasi baru di sisi lain. Teori Kritis dapat menjadi ideologi karena terdapat kontradiksi internal di dalam paradigma pemikiran mereka sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Teori Kritis mengkritik Teori Tradisional sebagai ideologi yang dibekukan. Namun, para tokoh Mazhab Frankfurt juga menyadari bahwa paradigma yang mereka gunakan untuk mengkritik Teori Tradisional juga dapat 38 Ibid., hal 68. 39 Ibid., hal. 69
  • 18. 18 membeku menjadi ideologi. Terlebih lagi, para tokoh Mazhab Frakfurt selalu menolak menjadi praxis. Alasan penolakan tersebut adalah kesadaran mereka sendiri bahwa setiap praxis emansipatoris selalu menghasilkan perbudakan baru, karena emansipasi berarti penguasaan baru.4 0 Di sinilah generasi pertama Teori Kritis mengalami jalan buntu. Selanjutnya, Habermas muncul sebagai generasi kedua Teori Kritis yang berhasil memecah kebuntuan tersebut dengan teori paradigma komunikasinya. Demikianlah pemaparan mengenai Mazhab Frankfurt beserta pemikiran-pemikirannya. Mazhab Frankfurt telah mampu menjadi antithesis yang aktual dalam proses dialektika dalam konteks hidup bersama zaman ini. Melalui pemikirannya, mereka berusaha membuka selubung-selubung ideologi yang pada level praxis sangatlah meresahkan bagi pembentukan hidup bersama yang lebih manusiawi. Sekali lagi penulis menegaskan bahwa diperlukan suatu bentuk antithesis baru agar proses dialektika tetap dapat berjalan di zaman modern ini. Antithesis tersebut merupakan berpikir kritis sebagaimana ditunjukkan oleh para tokoh yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt. Antithesis baru (berpikir kritis) diperlukan karena penindasan-penindasan yang terjadi sekarang ini menunjukkan dirinya dalam wujud yang lebih halus dan tak kasat mata. Dibutuhkan usaha super kritis untuk membongkar penindasan jenis ini. Maka dari itu, berpikir kritis merupakan antithesis yang tepat untuk mengadakan proses dialektika pada zaman ini. Pada bagian berikutnya, penulis akan menunjukkan bahwa dengan berpikir kritis, kita mampu untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih manusiawi. Fungsi dan Tujuan Berpikir Kritis dalam Hidup Bersama 40 Ibid., hal. 7 3.
  • 19. 19 Pertama-tama, penulis akan terlebih dahulu membagi berpikir kritis ke dalam dua dimensi hidup manusia. Dimensi kritis pertama adalah kritis terhadap segala sesuatu di luar diri. Dimensi kritis kedua adalah kritis terhadap diri sendiri. Pembagian berpikir kritis ke dalam dua dimensi tersebut terinspirasi dari mempelajari/membaca pemikiran dari para tokoh Mazhab Frankfut. Dimensi pertama adalah kritis terhadap segala sesuatu di luar diri. Dengan berpikir kritis terhadap segala sesuatu di luar diri, kita tidak akan mudah terjebak dalam hegemoni (berbagai bentuk penindasan yang tampak) yang terjadi dalam zaman ini. Dengan adanya sikap kritis keluar diri, kita mampu menjadi antithesis yang relevan dalam perkembangan zaman ini. Dengan demikian, mampu mendorong terjadinya sintesis- sintesis baru, yaitu pembentukan tata kehidupan bersama yang lebih manusiawi melalui kritik. Dimensi kedua merupakan berpikir kritis terhadap diri sendiri. Inilah dimensi berpikir kritis manusia dalam arti yang sesungguhnya. Dengan kritis terhadap diri sendiri, kita tidak akan mudah jatuh pada eksterm-ekstrem pemikiran yang kemudian memenjarakan kita dalam ideologi. Selain itu, berpikir kritis terhadap diri sendiri merupakan suatu bentuk proses dialektika untuk menemukan kebenaran. Dengan kata lain, kritis terhadap diri sendiri mengarahkan kita untuk menjadi manusia yang bijaksana melalui proses refleksi terus-menerus. Kesimpulan: Kehidupan bersama yang ada sekarang belum merupakan sebuah bentuk tatanan yang ideal. Kehidupan bersama yang ideal mengandaikan tidak adanya penindasan dan ketidakadilan dalam seluruh dimensi kehidupan manusia. Namun kedengarannya hal tersebut terkesan bersifat utopis (khayal). Selama manusia ada di dunia maka penindasan dan ketidakadilan juga akan selalu ada. Maka yang diperlukan adalah sikap- sikap kritis terhadap kehidupan bersama yang menyangkut berbagai dimensi kehidupan manusia.
  • 20. 20 Suatu hal yang perlu diwaspadai adalah penindasan yang terjadi sekarang ini seringkali muncul sebagai ‘tuhan’ yang menentramkan jiwa manusia. Suatu bentuk penindasan yang mendamaikan hati. Sampai- sampai manusia terlena dan merasa bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak ada masalah. Sikap super kritis adalah antithesis yang aktual dan mujarab atas situasi zaman ini. Dengan sikap kritis, kita mampu mengadakan dialektika yang aktual terhadap situasi zaman ini. Dengan demikian, mendorong untuk terwujudnya suatu tata kehidupan yang lebih baik dari hari ke hari. Acuan Sumber:  Budi Hardiman, Francisco, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius, Yogyakarta, 1990.