SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  23
LEGAL DRAFTING
• Secara harfiah legal dafting dapat diterjemahkan secara bebas, adalah penyusunan/perancangan
Peraturan Perundang-undangan. Dari pendekatan hukum, Legal drafting adalah kegiatan praktek
hukum yang menghasilkan peraturan, sebagai contoh; Pemerintah membuat Peraturan Perundang-
undangan; Hakim membuat keputusan Pengadilan yang mengikat publik; Swasta membuat
ketentuan atau peraturan privat seperti; perjanjian/kontrak, kerjasama dan lainnya yang mengikat
pihak-pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak.
• Dalam meteri kuliah ini legal drafting dipahami bukan sebagai perancangan hukum dalam arti
luas, melainkan hukum dalam arti sempit, yakni undang-undang atau perundang-undangan. Jadi
bukan perancangan hukum seperti perjanjian/kontrak, dll.
• Legal Drafting merupakan konsep dasar tentang penyusunan peraturan perundang-undangan yang
berisi tentang naskah akademik hasil kajian ilmiah beserta naskah awal peraturan perundang-
undangan yang diusulkan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses
pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan,
persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan
penyebarluasan.
• Dapat disimpulkan kegiatan legal drafting disini adalah dalam rangka pembentukan peraturan-
perundangan.
• Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-
undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan.
• Sesuai dengan bunyi pasal 1 angka 1 UU No. 12 tahun 2011 di atas, bahwa proses sebuah peraturan
menjadi legal dan mempunyai daya ikat atau kekuatan hukum tetap harus melewati beberapa tahap.
• Adanya legal drafting ada hubungannya dengan konsep negara hukum.
• Negara hukum (Wirjono Prodjodikoro) adalah “suatu negara yang di dalam wilayahnya semua alat
perlengkapan negara khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam setiap tindakannya
terhadap warganegara dan dalam berhubungan tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus
memperhatikan hukum, dan semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada
peraturan hukum yang berlaku”.
• Sedangkan menurut Hartono Mardjono, dikatakan negara hukum adalah “bilamana di negara
tersebut seluruh warganegara maupun alat-alat perlengkapan dan aparat negaranya, tanpa kecuali
dalam segala aktifitasnya tunduk kepada hukum”. (equity dan non-discrimination)
• Tujuan Negara Hukum S. Tasrif: 1) Kepastian hukum (tertib/order); 2) Kegunaan
(kemanfaatan/utility); dan 3) Keadilan (justice). Sedangkan menurut Ahmad Dimyati: 1) Pencapaian
keadilan, 2) Kepastian hukum, dan 3) Kegunaan (kemanfaatan).
Kesimpulan:
1. Pencapaian Keadilan, sesuai dengan asas Ius quia iustum (hukum adalah keadilan, dan Quid ius
sine justitia (apalah arti hukum tanpa keadilan).
2. Hukum adalah untuk mengatur hubungan, baik warga masyarakat maupun negara, The law is a
tool to “social control” and “social engineering”.
3. Hukum dilaksanakan untuk mencapai kepastian.
Unsur-unsur negara hukum :
1. Sistem pemerintahan negara yg berdasarkan atas kedaulatan rakyat
2. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau
peraturan PerUUan
3. Adanya jaminan terhadap HAM (warga negara)
4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara
5. Adanya pengawasan dari badan2 peradilan (rechterlijke controle) yg bebas dan mandiri dalam arti
lembaga peradilan tersebut benar2 tidak memihak dan tidak berada dibawah pengaruh eksekutif.
6. Adanya peran nyata dari anggota2 masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi
perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah
7. Adanya sistem perekonomian yg dapat menjamin pembagian yg merata sumber daya yang
diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
• Sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 45 maka segala aspek kehidupan dan
bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa
berdasarkan atas hukum (asas legalitas=legaliteits beginsel).
• Konsekuensinya adalah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tidak terlepas dari peraturan
PerUUan sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia.
• Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yg
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perUUan .(Pasal 1 angka 2 UU No.
12 tahun 2011).
• Untuk itu perlu adanya suatu pemahaman terhadap tatacara penyusunan peraturan PerUUan
mulai dari proses, prosedur, dan teknik dalam penyusunan dan pembuatan rancangan peraturan
PerUUan.
Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat pada:
1. Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah negara hukum;
2. Pembukaan dicantumkan kata-kata : Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia;
3. Bab X Pasal 27 ayat (1) disebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan itu dengan dengan tidak ada kecualinya;
4. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dihapus disebutkan dalam Sistem
Pemerintahan Negara, yang maknanya tetap bisa dipakai, yaitu Indonesia ialah negara yang
berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat);
5. Sumpah/janji Presiden/Wakil Presiden ada kata-kata ”memegang teguh Undang-Undang Dasar
dan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”;
6. Bab XA Hak Asasi Manusia Pasal 28i ayat (5), disebutkan bahwa ”Untuk penegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-
Undangan;
7. Sistem hukum yang bersifat nasional;
8. Hukum dasar yang tertulis (konstitusi), hukum dasar tak tertulis (konvensi);
9. Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
Undangan;
10. Adanya peradilan bebas.
Dasar-dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan :
1. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah NEGARA HUKUM”
2. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewenangan membentuk
UNDANG-UNDANG”
3. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGGANTI UNDANG-UNDANG”
4. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 “Presiden menetapkan PERATURAN PEMERINTAH untuk
menjalankan UNDANG-UNDANG sebagaimana mestinya”
5. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 “Pemerintah daerah berhak menetapkan PERATURAN DAERAH dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”
6. UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
• Untuk dapat menjadi seorang “Legal Drafter (perancang PerUUan) ” maka tidak terlepas dari
penguasaan ilmu perundang-undangan karena ilmu perundang-undangan adalah suatu ilmu yang
mempelajari segala seluk beluk proses atau tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan
dan isi atau subtansi suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pejabat yang
berwenang untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersifat atau mengikat secara umum.
• Sedangkan menurut B. Hestu Cipto Handoyo Ilmu Perundang-undangan merupakan cabang dari
ilmu hukum yang secara khusus objek kajiannya adalah meneliti tentang gejala peraturan peraturan
perundang-undangan yakni setiap keputusan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
untuk mengatu tingkah laku manusia yang bersifat dan berlaku mengikat umum.
• Dengan kata lain ilmu perundang-undangan berorientasi kepada melakukan perbuatan dala m hal
ini pembentukan peraturan PerUUan serta bersifat normatif (mata kuliah dasar)
Ilmu perundang-undangan terbagi :
1. Proses perundang-undangan (gezetsgebungsverfahren) : meliputi beberapa tahapan dalam
pemnbentukan perundang-undangan seperti tahap persiapan, penetapan, pelaksanaan, penilaian
dan pemaduan kembali produk yang sudah jadi.
2. Metode prundang-undangan (gezetsgebungsmethode) : ilmu tentang pembentukan inis norma
hukum yang teratur untuk dapat mencapai sasarnannya. Pengacuannya kepada hal-hal yang
berhubungan dengan perumusan unsur dan struktur suatu ketentuan dalam norma seperti objek
norma, subjek norma, operator norma dan kondisi norma.
3. Teknik perundang-undangan (gezetsgebungstechnic) : Teknik perundang-undangan mengkaji hal-
hal yg berkaitan dengan teks suatu perundang-undangan meliputi bentuk luar, bentuk dalam, dan
ragam bahasa dari peraturan perundang-undangan.
Kegunaan ilmu perundang-undangan yaitu :
• Selain dalam rangka merubah masyarakat, tentunya kearah yang lebih baik sesuai dengan doktrin
hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as tool of social enginering), kegunaan lain ilmu perundang-
undangan yaitu :
1. Memudahkan praktik hukum, terutama bagi kalangan akademisi, praktisi hukum maupun
pemerintah.
2. Memudahkan klasifikasi dan dokumentasi peraturan perundang-undangan
3. Memberikan kepastian hukum dalam pembentukan hukum nasional
4. Mendorong munculnya suatu produk peraturan perundang-undangan yang baik.
• Dalam ilmu hukum (rechtswetenschap) dibedakan antara UU dalam arti materiil (wet in materiele
zin) dan UU dlm arti formil
• UU dalam arti materil adalah Peraturan PerUUan sedangkan UU dalam arti formil adalah UU.
Beda Peraturan perundang-undangan dengan Undang-undang :
• Peraturan perundang-undangan yaitu setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yg
berwenang yg berisi aturan tingkah laku atau mengikat secara umum yang disebut juga undang-
undang dalam arti materil.
• Undang-undang yaitu keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara pemegang kekuasaan
eksekutif dan legislatif yg berisi aturan tingkah laku yg bersifat atau mengikat umum yang disebut
juga undang-undang dalam arti formil.
Kesimpulan :
• Untuk membedakan antara UU dalam arti materil dan formil tidak lain adalah menyangkut organ
pembentuk dan isinya.
• Jika organ yg membentuk itu adalah pejabat yg berwenang dan isi berlaku dan mengikat umum
maka disebut sbg UU dlm arti materiil.
• Hal ini berarti jikalah ada ketentuan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat yg berwenang namun
isinya tidak bersifat dan mengikat umu maka ketentuan tsb tidak dapat disebut sebagai UU dalam
arti materil atau perundang-undangan.
• Sedangkan jikalau yang membentuk itu adalah organ negara pemegang kekuasaan legislatif (dalam
kontek UUD 45 adalah kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekuti dan legislatif) yg isinya
berlaku dan mengikat umum, maka produk hukum itu disebut UU dalam arti formil atau cukup
disebut UU.
• Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan PerUUan.
Ciri-ciri peraturan perundang-undangan :
1. Peraturan perUUan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai bentuk atau format tertentu.
2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik ditingkat pusat maupun
di di tingkat daerah. Pejabat yang berwenang yang dimaksud adalah pejabat yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan yang berlaku baik berdasarkan atribusi maupun delegasi.
3. Perturan PerUUan tersebut berisi aturan pola tingkah laku.
4. Peraturan PerUUan mengikat secara umum umum, tidak ditujukan kepada seseorang atau
individu tertentu (tidak bersifat individual).
5. Peraturan perUUan berlaku secara terus menerus (dauerhafing) sampai diubah, dicabut atau
digantikan dengan peraturan perUUan yang baru.
Kelebihan dan kelemahan peraturan perundang-undangan :
• Kelebihan peraturan PerUUan (hukum tertulis) :
1. Mudah dikenali, diketemukan kembali maupun ditelusuri.
2. Lebih memberikan kepastian hukum
3. Memungkinkan untuk diperiksa dan diuji
4. Pembentukan dan pengembangannya dapat direncanakan.
• Kelemahan Peraturan PerUUan (hukum tertulis)
1. Terkesan kaku
2. Kurang lengkap.
• Selain itu juga dalam rangka menyusun dan membentuk peraturan perUUan selain perlunya
penguasaan ilmu perundang-undangan seorang legal drafter juga harus memperhatikan norma-
norma/kaidah hukum sebagai dasar pembentukan perUUan tersebut.
• Kaidah/norma hukum pada pokoknya dapat diartikan adalah pengambilan keputusan yang
ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subyek hukum dengan hak2 dan
kewajiban hukum yg berupa larangan, keharusan maupun kebolehan.
• Produk pengambilan keputusan tersebut dapat dibedakan dengan tiga istilah yaitu :
1. Pengaturan yg menghasilkan peraturan (regels)
2. Penetapan yg menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschickkings)
3. Penghakiman atau pengadilan yang menghasilkan putusan (vonis).
• Untuk itu hukum harus dimaknai sebagai sebuah ketentuan baik tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur kehidupan manusia dalam pergaulan hidup. Baik antara sesama maupun dengan
lingkungannya. Ketentuan tersebut sifatnya adalah mengikat dan berlaku umum dan apabila tidak
diindahkan akan dikenai sanksi yang berasal dari external power (kekuasaan diluar diri manusia).
• Kaidah/norma hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan (orde) maupun
ketentraman dan ketenangan (rust). Kaidah hukum daya lakunya dipaksakan dari luar diri manusia.
• Dapat juga diartikan norma hukum adalah suatu patokan yang didasarkan kepada ukuran nilai2
baik atau buruk yang berorientasi kepada asas keadilan dan bersifat : 1) suruhan (impare/gebod)
yang harus dilakukan orang (perintah), 2) larangan (prohibire/verbod) yang tidak boleh dilakukan,
3) kebolehan (permitted/mogen) sesuatu yang tidak dilarang dan tidak disuruh.
Contoh :
• Seorang wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun (346 KUHP)
• Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam karena melakukan penganiayaan berat
dengan pidana penjara paling lama 8 tahun (354 KUHP)
• Setiap orang yang akan mendirikan bangunan wajib mendapatkan izin dari pejabat yang
berwenang.
Fungsi, tujuan dan tugas norma hukum
• Fungsi : melindungi kepentingan manusia, kelompok manusia (masyarakat) dan negara.
• Tujuan, tercapainya ketertiban dalam masyarakat.
• Tugas, mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat dan kepastian hukum agar
tercapainya tujuan hukum.
Bentuk-bentuk norma hukum :
• Umum dan individual : norma ini dilihat dari sasaran atau subyek yang dituju. Individu, beberapa
orang atau sekelompok orang tertentu
• Abstrak dan konkrit : Abstrak atau konkritnya suatu norma ditentukan oleh bentuk perbuatan yang
diatur, mujarad (tak berwujud) atau nyata.
• Einmahlig dan dauerhaftig : Norma hukum ini dapat dilihat dari masa berlakunya. Einmahlig
(berlaku sekali selesai) dan dauerhafting (berlaku terus menerus)
Bentuk-bentuk norma hukum :
• Tunggal dan berpasangan : Norma hukum ini dilihat dari sifatnya apakah berdiri sendiri (tunggal)
atau diikuti oleh norma hukum lain (berpasangan).
• Isi norma hukum tunggal adalah suruhan (das sollen) untuk bertindak atau bertingkah laku.
Norma hukum berpasangan terdiri dari beberapa norma hukum yaitu norma hukum primer dan
sekunder. Norma hukum sekunder merupakan penanggulangan apabila norma primer tidak
terlaksana.
Tata urutan norma hukum :
• Teori jejang norma (stufentheorie) Hans Kelsen : norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi tersebut berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya sampai pada suatu
norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yang disebut dengan
norma dasar (grundnorm).
Menurut D.W.P. Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental yang dimaksud peraturan
perundang-undangan yaitu mengandung 3 unsur :
1. Norma hukum (rechtnorm)
2. Berlaku ke luar (naar buiten werken) dan
3. Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin)
Ad. 1 : Norma hukum
Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa :
a. Perintah (gebod)
b. Larangan (verbod)
c. Pengizinan (toestmming) dan
d. Pembebasan (vrijstelling)
Ad.2 : Norma berlaku orang
Ruiter berpendapat bahwa didalam peraturan perundang-undangan tradisi yang hendak membatasi
berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak termasuk dalam organisasi pemerintahan. Norma
hanya ditujukan kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesama maupun antara rakyat dan
pemerintah. Norma yang mengatur hubungan antar bagian-bagian organisasi pemerintahan
dianggap bukan norma yang sebenarnya dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena itu
norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut ”berlaku ke luar”
Ad. 3 : Norma bersifat umum dalam arti luas
Dalam hal ini terdapat perbedaan antara norma yang umum (algemeen) dan yang individual
(individueel), hal ini dilihat dari addressat (alamat) yang dituju, yaitu ditujukan kepada ”setiap
orang” atau kepada ”orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak (abstract) dan yang konkret
(concreet) jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang idak
tertentu atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu.
Menurut Ruiter sebuah norma (termasuk norma hukum) mengandung unsur-unsur berikut :
1. Cara keharusan berperilaku (modus van behoren) disebut operator norma.
2. Seorang atau kelompok orang adresat (normaadressaat) disebut subyek nomra
3. Perilaku yang dirumuskan (normgedrag) disebut objek norma
4. Syarat-syaratnya (normcondities), disebut kondisi norma
Contoh :
Setiap orang wajib membayar pajak pada akhir tahun.
Penjelasan :
Setiap orang : subyek norma
Wajib : operator norma
Membayar pajak : obyek norma
Pada akhir tahun : kondisi norma
LANDASAN-LANDASAN DAN ASAS-ASAS HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN.
Landasan pembentukan peraturan perundang-undangan :
1. Landasan filosofis (filosofische grondslag)
• Rumusan atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardging) jika dikaji secara
filosofis, dan
• Sesuai dengan ciata-cita kebenaran (idee der waarheid), cita keadilan (idee der gerechttigheid), dan
cita kesusilaan (idee der zedelijkheid).
2. Landasan sosiologis (sociologische grondslag)
• Dikatakan mempunyai landaan sosiologis bila ketentuan2nya sesuai dengan keyakinan umum atau
kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar UU ditaati dan berlaku efektif dimasyarakat.
3. Landasan yuridis (juridische grondslag)
• Landasan yuridis dimaksud meliputi arti formil dan materil. Secara formil adalah landasan yuridis
yang memberikan kewenangan (bevogdheid) bagi instansi tertentu untuk membentuk peraturan
perundang-undangan tertentu. Sedangkan secar materil adalah landasan yuridis untuk segi isi
(materi) yang harus diatur dalam dalam suatu peraturan perundang-undangan yang didasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
Contoh : dalam konsideran menimbang (grondslag) dikenal juga dengan istilah konsideran factual
yang berisikan pertimbangan-pertimbangan dan filosofis dan sosiologis. Selanjutnya konsideran
mengingat (rechtgrond) dikenal juga denagan istilah konsideran yuridis berisikan dasar-dasar
hukum tertinggi dan sederajat yang dipergunakan untuk pijakan legalitas.
LANDASAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Prinsip-Prinsip Peraturan Perundang-Undangan
1. Dasar Peraturan Perundang-Undangan Selalu Peraturan Perundang-Undangan
• Landasan atau dasar Peraturan Perundang-Undangan secara yuridis selalu Peraturan Perundang-
Undangan dan tidak ada hukum lain yang dijadikan dasar yuridis kecuali Peraturan Perundang-
Undangan. Dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan harus ada landasan yuridis secara
jelas. Walaupun ada hukum lain selain Peraturan Perundang-Undangan namun hanya sebatas
dijadikan sebagai bahan dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan. Contoh hukum lain
seperti hukum adat, yurisprudensi, dan sebagainya.
2. Hanya Peraturan Perundang-Undangan Tertentu Saja yang Dapat Dijadikan Landasan Yuridis
• Landasan yuridis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan yaitu hanya Peraturan Perundang-
Undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dan terkait langsung dengan Peraturan Perundang-
Undangan yang akan disusun. Oleh karena itu tidak dimungkinkan suatu Peraturan Perundang-
Undangan yang lebih rendah dijadikan dasar yuridis dalam menyusun Peraturan Perundang-
Undangan. Kemudian Peraturan Perundang-Undangan yang tidak terkait langsung juga tidak dapat
dijadikan dasar yuridis Peraturan Perundang-Undangan.
3. Peraturan Perundang-Undangan yang Masih Berlaku Hanya Dapat Dihapus, Dicabut, atau Diubah
Oleh Peraturan Perundang-Undangan yang Sederajat atau yang Lebih Tinggi
• Dengan prinsip tersebut, maka sangat penting peranan tata urutan atau hirarki Perundang-
Undangan dan dengan prinsip tersebut tidak akan mengurangi para pengambil keputusan untuk
melakukan penemuan hukum melalui penafsiran (interpretasi), pembangunan hukum maupun
penghalusan hukum terhadap Peraturan Perundang-Undangan.
4. Peraturan Perundang-Undangan Baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Lama
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat, maka yang
diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan yang terbaru. Dalam prakteknya pada prinsip
tersebut temyata tidak mudah diterapkan, karena banyak Peraturan perundang-Undangan yang
sederajat saling bertentangan materi muatannya namun malahan sering dilanggar oleh para pihak
yang memiliki kepentingan.
5. Peraturan Perundang-Undangan yang Lebih Tinggi Mengesampingkan Peraturan Perundang-
Undangan yang Lebih Rendah
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi
tingkatannya dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah, maka Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi yang diberlakukan, dan Peraturan Perundang-Undangan
yang lebih rendah dikesampingkan.
6. Peraturan Perundang-Undangan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Peraturan Perundang-
Undangan Yang Bersifat Umum
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum yang sederajat tingkatannya, maka yang
diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus (lex spesialis derogat lex
generalis).
7. Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan Materi Muatannya Berbeda
• Setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya harus saling berbeda satu sama
lain yang berarti bahwa materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi
(terdahulu) tidak boleh diatur kembali di dalam materi muatan Peraturan Perundang-Undangan
yang lebih rendah. Penentuan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah
tingkatannya tidak mengalami kesulitan apabila materi muatan tertentu dalam Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi tingkatannya jelas-jelas mendelegasikan kepada Peraturan
perundang-Undangan yang lebih rendah.
B. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
1. Asas Formil
Asas formil dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yaitu meliputi:
a. Kejelasan tujuan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai
tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis Peraturan Perundang-
undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk Peraturan Perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga atau organ yang tidak
berwenang;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu perumusan materi muatan dalam setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memiliki kesesuaian dengan jenis perundang-undangan;
d. Dapat dilaksanakan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundangundangan harus didasarkan
pada perhitungan bahwa Peraturan Perundangundangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku
secara efektif di masyarakat karena telah mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis; maupun
sosiologis sejak tahap penyusunannya;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap Peraturan Perundangundangan yang dibentuk
benar-benar mempunyai dayaguna dan hasil guna berlaku di dalam masyarakat, berfungsi secara
efektif dalam memberikan ketertiban, ketenteraman, dan kedamaian bagi masyarakat ;
f. Kejelasan rumusan, yaitu; bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundangundangan, sistematika, dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya;
g. Keterbukaan, yaitu tidak adanya muatan materi Peraturan Perundangundangan yang
disembunyikan atau bersifat semu, sehingga dapat menimbulkan berbagai penafsiran dalam
praktek/implementasinya.
2. Asas materil
Materi Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a. Pengayoman, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi mengayomi seluruh
masyarakat dan memberikan perlindungan hak asasi manusia yang hakiki;
b. Kemanusiaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus bersifat manusiawi dan
menghargai harkat dan martabat manusia serta tidak boleh membebani masyarakat di luar
kemampuan masyarakat itu sendiri;
c. Kebangsaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak
bangsa Indonesia yang berasaskan musyawarah dalam mengambil keputusan;
d. Kekeluargaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas
musyawarah mufakat dalam setiap penyelesaian masalah yang diatur dalam Peraturan Perundang-
undangan;
e. Kenusantaraan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila atau wilayah/daerah tertentu, sesuai dengan jenis
Peraturan Perundangundangan tersebut;
f. Kebhinnekatunggalikaan, yaitu setiap perencanaan, pembuatan, dan penyusunan serta materi
muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku,
dan golongan khususnya yang menyangkut masalah-masalah yang sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
g. Keadilan yang merata, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan
bagi setiap warga negara tanpa kecuali;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu setiap Peraturan Perundang-
undangan materi muatannya tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat diskriminatif;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; yaitu setiap Peraturan Perundangundangan harus dapat
menimbulkan kepastian hukum dan ketertiban dalam masyarakat;
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan materi
muatannya atau isinya harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara
kepentingan individu dan masyarakat, serta bangsa dan negara.
C. Asas Pemberlakukan Peraturan Perundang-undangan
• Secara umum ada beberapa asas atau dasar agar supaya Peraturan Perundangundangan berlaku
dengan baik dan efektif, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan tersebut berlaku dengan
baik (sempurna) dan efektif dalam teknik penyusunannya.
• Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-undangan yakni asas yuridis, asas filosofis,
asas sosiologis. Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan merupakan hal lain yang tidak
mempengaruhi keberlakuan Peraturan Perundangundangan, namun menyangkut baik atau tidaknya
rumusan suatu Peraturan Perundang-undangan.
• Asas yuridis tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan Peraturan Perundang-undangan,
yaitu yang berkaitan dengan :
1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat Peraturan perundangundangan, yang berarti bahwa
setiap Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.
2. Keharusan adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan.
Ketidaksesuaian jenis tersebut dapat menjadi alasan untuk membatalkan Peraturan Perundang-
undangan yang dibuat.
3. Keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Apabila prosedur/ tata cara tersebut tidak
ditaati, maka Peraturan Perundang-undangan tersebut batal demi hukum atau tidak/belum
mempunyai kekuatan mengikat.
4. Keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya.
a. Asas filosofis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan dasar
filosofis/ideologi negara, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan
secara sungguh-sungguh nilainilai (citra hukum) yang terkandung dalam Pancasila. Setiap
masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan keadilan, ketertiban, dan
kesejahteraan.
b. Asas sosiologis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan
kondisi/kenyataan yang hidup dalam masyarakat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi
oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu Peraturan Perundang-
undangan yang telah dibuat diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya-laku
secara efektif. Peraturan Perundang-undangan yang diterima oleh masyarakat secara wajar akan
mempunyai daya laku yang efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengarahan institusional
untuk melaksanakannya.
c. Soerjono Soekanto-Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis
berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu :
1. Teori Kekuasaan (Machttheorie) secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan
penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat;
2. Teori Pengakuan, (Annerkenungstheorie). Kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari
masyarakat tempat hukum itu berlaku
JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN LEMBAGA
PEMBENTUKNYA
1. JENIS HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPrS No.XX/MPRS/1966 jo TAP
MPR No. V/MPR/1973 sebagai berikut :
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan pelaksana lainnya yang meliputi Peraturan menteri, instruksi menteri dan lain-lain.
Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur dalam
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan. Berdasarkan TAP MPR tersebut, jenis Peraturan Perundang-Undangan
adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia;
3. Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.
Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis dan hirarki Peraturan
Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama
Gubernur;
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau
nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
4. Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan
keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan yang dikeluarkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia,
Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-
Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Propinsi, Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Selanjutnya setelah berlakunya UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
PerUUan, hirarki diatas mengalami perubahan sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
2. Ketetapan MPR (TAP MPR)
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi, dan
7. Peraturan Daerah kabupaten/kota .
Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki atau
tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, suatu Peraturan Perundang-
undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada Peraturan
Perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya. Konsekuensinya, setiap Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih stinggi.
Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai jenis-jenis Peraturan Perundangundangan
tersebut.
a. Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia,
yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
Berdasarkan Ketetapan MPR yang pernah ada yaitu Tap MPRS XX/MPRS/1966 tentang Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Tap MPRS No. III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Undang-Undang
Dasar 1945 pada posisi yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena Undang-Undang Dasar
1945 merupakan sumber hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia yang memuat dasar
dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan Negara.
Hal yang sama juga diterapkan ddalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana menempatkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan jenis Peraturan Perundang-
undangan yang tertinggi. Dengan demikian, materi muatan Peraturan Perundang-undangan
yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai hukum dasar tertulisi bagi bangsa Indonesia.
b. Tap MPR
Tap MPR ini merupakan putusan majelis yang yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar
dan ke dalam MPR. Dan memiliki arti penting di bidang hukum. Bentuk Tap MPR ini pertama kali
keluar pada 1960, yaitu Ketetapan MPRS RI No.1/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik RI sebagai
GBHN. Berdasarkan Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 (lampiran) bentuk putusan (peraturan) MPR
ini memuat:
a. Garis-garis besar dalam bidang legislatif yang dilaksanakan dengan UU.
b. Garis-garis besar dalam bidang eksekutif yang dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
Hal ini juga berarti, Ketetapan MPR di satu pihak dapat dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
c. ndang-Undang
Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Undang-
Undang Dasar 1945 dan TAP MPR. Yang berwenang membuat Undang-Undang adalah Dewan
Perwakilan Rakyat bersama Presiden. Ada beberapa kriteria agar suatu masalah diatur dengan
Undang-Undang, antara lain sebagai berikut :
1. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang dibentuk atas perintah Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang terdahulu;
4. Undang-Undang dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah Undang-
Undang yang sudah ada;
5. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan hak asasi manusia;
6. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak.
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Jenis Peraturan Perundang-undangan ini/PERPU setara undang-undang merupakan
kewenangan Presiden karena pembentukannya tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun pada akhirnya harus diajukan ke Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan ditetapkan menjadi undang-undang. Kewenangan
Presiden ini dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan:
1. Perpu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
2. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan
perubahan;
3. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Perpu tersebut harus dicabut.
Dengan demikian, Perpu hanya dikeluarkan “dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.
Dalam praktik “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” diartikan secara luas, tidak hanya
terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi juga
kebutuhan atau kepentingan yang dipandang mendesak.
Yang berwenang menentukan apakah suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai “kegentingan
yang memaksa” adalah Presiden.
Di samping itu, Perpu berlaku untuk jangka waktu terbatas, yaitu sampai dengan masa sidang
Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya. Terhadap Perpu yang diajukan tersebut, Dewan
Perwakilan Rakyat juga hanya dapat menyetujui atau menolak saja. Dewan Perwakilan Rakyat
tidak bisa, misalnya; menyetujui Perpu tersebut dengan melakukan perubahan.
e. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang.
Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada Undang-
Undangnya. Ada beberapa karakteristik Peraturan Pemerintah, yaitu:
o Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa ada Undang-Undang induknya.
o Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika Undang-Undang
induknya tidak mencantumkan sanksi pidana.
o Peraturan Pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan Undang-
Undang induknya.
o Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meskipun Undang-Undang yang bersangkutan
tidak menyebutkan secara tegas, asal Peraturan Pemerintah tersebut untuk melaksanakan
Undang-Undang.
o Tidak ada Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 atau
TAP MPR
f. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Presiden
berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945.
Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Peraturan Presiden disebutnya adalah Keputusan Presiden, karena
pada waktu itu Keputusan Presiden mempunyai dua sifat, yaitu Keputusan Presiden yang
bersifat sebagai pengaturan (regelling) dan Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan
(beschikking).
Namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan
disebutkan Keputusan Presiden, sedangkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur
disebut Peraturan Presiden.
g. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus dari daerah yang
bersangkutan.
Yang berwenang membuat Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Kepala Daerah.
Peraturan Daerah dibedakan antara Peraturan Daerah Provinsi, yang dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Gubernur serta Peraturan Daerah Kabupaten /Kota,
yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Bupati /Walikota.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Peraturan Daerah dapat merupakan pelaksanaan
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, maka
materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya tidak bertentangan dengan dan berdasarkan
pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat).
Sedangkan untuk Peraturan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, maka substansi
Peraturan Daerah tersebut tidak harus berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan
yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi harus menyesuaikan pada kondisi otonomi
(kemampuan) daerah masing-masing.
Peraturan Daerah adalah sebangun dengan Undang-Undang, karena itu tata cara
pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan Undang-Undang dengan
penyesuaian-penyesuaian.
Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Peraturan Daerah adalah adanya prosedur atau
mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi untuk
materi (substansi) Peraturan Daerah tertentu, misalnya materi mengenai retribusi.
g. Peraturan Perundang-Undangan Lain
Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam
Pasal 7 ayat (4) antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, atau Komisi
yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah undang-
undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Lebih lanjut disebutkan bahwa “hirarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
B. LEMBAGA PEMBENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-undangan adalah lembaga yang diberi kekuasaan
atau kewenangan untuk membentuk Peraturan Perundangundangan.
Sesuai dengan jenis Peraturan Perundang-undangan, Lembaga Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan terdiri dari:
1. Dewan Perwakilan Rakyat selaku Lembaga Pembentuk undang-undang.
2. Presiden selaku Lembaga Pembentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selaku Lembaga Pembentuk Perda.
4. Kepala Daerah selaku lembaga pembentuk Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan
Peraturan Walikota.
5. Majelis Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Konstitusi, Gubernur Bank Indonesia,
Menteri, Kepala Badan, Lembaga dan Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-
Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati, Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat.
Berikut penjelasan lembaga-lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan diatas yaitu :
a. Lembaga pembentuk undang-undang
Kekuasaan lembaga pembentuk UU diatur dalam UUD RI 45 dan UU No. 10 tahun 2004 pasal
1 ayat 3.
Sebelum amandemen UUD 45 kekuasaan membentuk UU dirumuskan dalam pasal 5 ayat 1
dan pasal 20 ayat 1 serta pasal 21 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 5 ayat 1 “Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dgn persetujuan DPR”
Pasal 20 ayat 1 “Tiap-tiap UU menghendaki persetujuan DPR”
Pasal 21 ayat 1 “Anggota-anggota DPR berhak memajukan rancangan UU”
Berdasarkan hal diatas presiden mempunyai kekuasaan membuat UU asal DPR
menyetujuinya. Sedangkan anggota DPR dapat memajukan RUU.
Kalau kita menganut prinsip negara hukum yaitu Trias Politica nampaklah jelas bahwa
kekuasaan membuat UU ada ditangan legislatif (DPR) bukan ditangan eksekutif (Presiden).
Dengan demikian jelas UUD 45 pra amandemen yg memberi wewenang membentuk UU
kepada Presiden tidak tepat dan menurut saya justru bertentangan dgn prinsip negara hukum
dalam rangka menghindari terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Setelah UUD 1945 di amandemen menjadi UUD Negara RI 1945 maka pasal 5, 20, 21 dihapuskan
sebagai berikut :
Pasal 5 “Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR”
Pasal 20 berbunyi :
1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk UU.
2) Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
3) Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu.
4) Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU.
5) Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam
waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib
diundangkan.
Pasal 21 (1) “Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU.
Pasal 22 D “DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yg berkaiatan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Berdasarkan pasal-pasal diatas, maka jelas dulunya kekuasaan membentuk UU ada ditangan
Presiden sekarang beralih kekuasaan ada ditangan DPR.
Dengan demikian, DPR lah yg berkuasa membentuk UU, sedangkan Presiden hanya berhak
mengajukan RUU.
Namun demikian kekuasaan tersebut dibatasi karena setiap RUU yang diinisiatifi oleh DPR
maupun presiden harus dibahas dulu dan disetujui bersama DPR dan Presiden.
Dengan adanya pembahasan bersama maka kekuasaan DPR dlm membentuk UU dapat
dihindari kesewenangan DPR.
Selanjutnya setelah RUU tsb disetujui bersama, maka disahkan oleh presiden (Pasal 20 ayat 4)
Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam
waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan
wajib diundangkan (Pasal 20 ayat 5). Contoh Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi
Riau Kepulauan, yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, sudah dibahas dan
disetujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, namun tidak disahkan oleh
Presiden, dan setelah batas waktu 30 hari diberlakukan. Disini nampaknya ada nuansa
politiknya.
Apapun alasannya hukum adalah produk politik berupa peraturan peraturan perundang-
undangan. Untuk itu pengaruh politik, ekonomi, sosial budaya, lingkungan lokal dan global,
birokrasi serta kepentingan keseimbangan kekuasaan.
Penjelasan: Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Riau Kepulauan
merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, dan dalam prosesnya terdapat perbedaan
pendapat dan pendekatan antara DPR, Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang
terkait, khususnya Kabupaten Natunayang menolak bergabung menjadi Provisni Riau
Kepulauan, bahkan memunculkan polemik di daerah dan penolakan dari Gubernur dan DPRD
Provinsi Riau. Dalam pembahasan di DPR, Pemerintah berpendapat bahwa inisiatif Dewan
Perwakilan Rakyat untuk membentuk Provinsi Riau Kepulauan prosesnya tidak mendasarkan
atau tidak sesuai dengan tata cara dan persyaratan pembentukan daerah otonom (PP 29/1999),
diantaranya tidak ada persetujuan dan usul tertulis dari Gubernur Riau dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi Riau. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat berpendapat usulan
tersebut sesuai dengan aspirasi masyarakat yang didasarkan usul Bupati dan Walikota terkait
bersama DPRDnya, diluar Kabuaten Natuna.
Disisi lain, DPR menyatakan bahwa usul pemebentukan Provinsi Riau Kepulauan adalah
merupakan INISIATIF DPR dan sesuai dengan UUD 45 bahwa kekuasaan membentuk
Undang-Undang ada ditangan DPR, dan ironisnya terbesit penegasan bahwa DPR tidak terikat
pada PP 29/1999. Dengan demikian, ada unsur kekuatan politik dan bias pemahaman terhadap
kekuasaan membentuk Undang-Undang, dan mempengaruhi proses dan prosedur
pembentukan Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi Riau Kepulauan. Dengan
pengertian lain, pendekatannya mengutamakan kepentingan politis (pemenuhan janji Dewan
Perwakilan Rakyat kepada masyarakat). Pembahasan berlanjut dengan menghasilkan
kesepakatan dan persetujuan bersama yang dilakukan berdasarkan kompromi atau bargaining
politik yang cenderung mengakomodir kepentingan politik.
b. Lembaga pembentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
Disini berkaitan dengan lembaga atau pejabat yg diberi kekuasaan atau kewenangan
menetapkan atau mengeluarkan peraturan sesuai dengan hirarki peraturan perUUan
Kekuasaan dan kewenangan dalam membentuk Perpu diatur pada pasal 22 ayat 1 UUD RI
1945)
Bunyi pasal tersebut sebagai berikuti “dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan Perpu (ayat 1).
Perpu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut (ayat 2).
Jika tidak mendapat persetujuan maka Perpu itu harus dicabut (ayat 3)
Batas waktu pemberlakuan Perpu singkat dan harus diajukan kepada DPR dalam bentuk RUU
untuk dibahas ssuai dengan mekanisme pembahasan RUU. Karena kebutuhan yang sangat
mendesak, proses pembahasan di DPR dilakukan sangat cepat, dalam hal ini DPR hanya
menolak dan menerima.
Sebagaimana diketahui bahwa syarat adanya Perpu adalah adanya situasi kegentingan
memaksa.
Dewasa ini belum ada kriteria atau ukuran baku untuk menetapkan kegentingan memaksa
seperti keadaan perang, bencana alam nasional terorisme dan pemberontakan yang berakibat
luas dan mengganggu kehidupan rakyat dan keutuhan NKRI.
Pengertian kegentingan memaksa sekarang ini tidak jelas dan ditafsirkan sangat luas dan
penetapannya dilakukan oleh presiden.
Contoh Perpu menjadi UU yaitu Perpu No. 1 tahun 2004 (Perpu pertambangan di hutan
lindung) kemudian disahkan menjadi UU No. 19 tahun 2004
c. Lembaga Pembentun Peraturan Pemerintah
Pasal 5 ayat (2) UUD RI 1945 memberikan kewenangan kepada presiden menetapkan PP untuk
menjalankan UU sebagaimana mestinya.
Yang dimaksud dgn sebagaimana mestinya adalah muatan materi yg diatur dlm PP tidak boleh
menyimpang dari materi yang diatur dalam UU yg bersangkutan.
Dalam kewenangan membentuk PP atas perintah UU presiden tidak memiliki diskresi untuk
mengatur muatan materi pelaksanaan diluar yg diperintahkan atau mengatur hal-hal yang
baru.
Mengingat jangkauan muatan materi Peraturan Pemerintah tidak mungkin mengatur hal-hal
teknis pelaksanaan yang harus dilaksanakan oleh Presiden di dalam menyelenggarakan
pemerintahan, maka sepanjang tidak bertentangan atau tidak mengatur hal-hal baru diluar
yang telah ditentukan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dimungkinkan dapat
memberikan perintah atau mendelegasikan materi muatan tertentu yang bersifat teknis
pelaksanaan untuk diatur dan ditetapkan dengan :
Peraturan Presiden atau Peraturan Perundang-undangan lain.
Kepada Menteri/ Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang, dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan, Peraturan Pemerintah
Juga dapat memberikan perintah atau mendelegasikan muatan materi tertentu kepada
Pemerintahan Daerah, untuk diatur dengan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah.
d. Lembaga Pembentuk Peraturan Presiden
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, menegaskan bahwa Peraturan Presiden 11 adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibuat dan ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan muatan
materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau melaksanakan Peraturan
Pemerintah. Peraturan Presiden berisi muatan materi yang mengatur pelaksanaan dan/atau
mengatur hal-hal teknis sebagai penjabaran dari Peraturan Perundangundangan yang
memerintahkan.
Peraturan Presiden juga dapat memerintahkan atau mendelegasikan muatan materi tertentu
yang bersifat teknis operasional kepada Menteri atau pejabat yang diberi wewenang dan/atau
kepada Pemerintahan Daerah. Contoh: Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2005 tentang
Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, menindaklanjuti atau
melaksanakan perintah langsung pasal 16 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
e. Lembaga Pembentuk Peraturan Daerah
Perda dibentuk oleh pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerahnya.
Hal ini datur dalam Pasal 18 ayat 6 UUD RI 1945
Bunyi Pasal tersebut sebagai berikut “pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan”
Rumusan Pemerintahan Daerah menurut pasal ini membingungkan, karena secara umum
pengertian pemerintahan daerah adalah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, bukan
lembaga.
Nampaknya, perumus Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memberikan
pengertian pemerintahan daerah sama dengan pengertian pemerintahan daerah menurut
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Pemerintahan
Daerah adalah Dewan Pewakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah.
Walapun pengertian pemerintahan daerah menjadi ganjalan, maka solusi untuk mengurangi
ganjalan dimaksud, pengertian pemerintahan daerah ditegaskan dalam pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa ”Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah…”.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa Peraturan Daerah adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
Secara eksplisit pasal 1 angka 7 ini menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
adalah lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membentuk Perda.
Dengan adanya kalimat dengan persetujuan bersama Kepala Daerah secara implisit
mengandung makna bahwa lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat
diartikanmemiliki fungsi legislasi yang sebangun dengan fungsi legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Yang harus dipahami bersama, bahwa pengertian sebangun disini harus dipahami tidak
mengandung makna bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah kepanjangan tangan atau
memiliki hirarki dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Dengan demikian dalam proses pembentukan Peraturan Daerah, tahapan proses dan
prosedurnya dapat dilakukan dengan mempedomani ketentuan Peraturan Perundang-
undangan yang mengatur tahapan proses dan prosedur pembentukan Undang-Undang
MATERI PERDA :
Diatur ndalam Pasal 12 UU No. 10 tahun 2004.
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, menjelaskan bahwa materi muatan
Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus (khas) daerah, serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 12 tersebut memberikan jawaban bahwa pada hakekatnya Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah melaksanakan fungsi legislasi di tingkat daerah, dan bukan lembaga
Legislasi sebagaimana konsep pembagian kekuasaan lembaga tinggi negara menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Namun demikian, apabila dikaji secara mendalam, tersirat bahwa perumus Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004, berkeinginan secara eksplisit memberikan landasan hukum kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk memiliki fungsi legislasi (kekuasaan membentuk
Perda) yang sebangun dengan fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di
dalam pembentukan Undang-Undang.
Kedudukan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebenarnya secara eksplisit
dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dan
Peraturan Perundang-undangan lain. Hal ini dapat dilihat dari :
1) Pasal 18 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang
dijabarkan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan
legalitas keberadaan DPRD.
2) Beberapa pasal yang berkait dengan DPRD dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, yaitu Pasal 22 A dijabarkan dengan Undang Undang Nomor 10 tahun 2004, dan
Khusus pasal 22 E ayat (2) dan ayat (3) dijabarkan dengan Undang-Undang Pemilu dan Undang
Undang Susduk.
f. Lembaga Pembentuk Peraturan Peraturan perundang-undangan Diluar Hirarki
Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, menjelaskan bahwa terdapat jenis
Peraturan Perundang-undangan lain diluar hirarki Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi
Peraturan peraturan perundang-undnagan yang dimaksud sebagai berikut :
1) Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat
2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
3) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah
4) Peraturan Mahkamah Agung,
5) Peraturan Mahkamah Konstitusi
6) Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan
7) Peraturan Gubernur Bank Indonesia,
8) Peraturan Menteri
9) Peraturan Kepala Badan
10) Peraturan Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
11) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
12) Peraturan Gubernur
13) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
14) Peraturan Bupati
15) Peraturan Walikota,
16) Peraturan Kepala Desa atau yang setingkat.
PENGUNDANGAN DAN DAYA IKAT SERTA PENYEBARLUASAN
A. Landasan dan tujuan pengundangan
Landasan bagi perlunya pengundangan :
Setiap orang dianggap mengetahui UU (teori fictie hukum = een ieder wordt geacht de wette
kennen, nemo ius ignorare consetur= in dubio proreo, latin). Alasannya adalah karena UU dibetuk
oleh atau dgn persetujuan wakil2 rakyat maka rakyat dianggap mengetahui UU
Pengundangan :
Ialah pemberitahuan secara formal suatu peraturan negara dgn penempatannya dlm suatu
penerbitan resmi yg khusus utk maksud itu sesuai dgn ketentuan yg berlaku.
Dengan pengundangan maka :
1. Peraturan negara itu telah memenuhi prinsip pemberitahuan formal,
2. Peraturan negara itu telah memenuhi ketentuan sbg peraturan negara,
3. Prosedur pembentukan yg disyaratkan bagi peraturan negara itu sudah dicukupi
4. Peraturan negara itu sudah dpt dikenali (kenbaar) sehingga dengan demikian peraturan negara
tersebut mempunyai kekuatan mengikat.
Tujuan pengundangan :
1. Agar secara formal setiap orang dapat dianggap mengenali peraturan negara,
2. Agar tidak seorangpun berdalih tidak mengetahuinya,
3. Agar ketidak tahuan seseorang akan peraturan hukum tsb tdk memaafkannya.
Pengumuman :
Adalah pemberitahuan secara material suatu peraturan negara kpd khalayak ramai dgn tujuan
utama mempermaklumkan isi peraturan tsb seluas-luasnya.
Pengumuman dpt dilakukan dgn berbagai cara, dengan menyebarluaskannya, dengan menguar-
uarkannya, dan dgn cara lain sbgnya.
Tujuan pengumuman adalah agar secara material sebanyak mungkin khlayak ramai mengetahui
peraturan negara tsb dan memahami isi serta maksud yg terkandung ddi dalamnya.
Dalam sejarah perUUan negara RI peralihan istilah “pengumuman” ke “pengundangan” terjadi pada
sekitar beralihnya negara RIS dengan konstitusi RIS kepada negara Indonesia kesatuan dengan UU
Dasar Sementara 1950. Lembaran negara tahun 1950 No. 62 yang memuat PP No. 24 tahun 1950 yg
ditetapkan tanggal 14 Agustus 1950 dan diundangkan tanggal 16 Agustus 1950 oleh Menteri
Kehakiman Lembaran Negara tahun 1950 No. 63 yg memuat UU Darurat No. 31 tahun 1950 yg
ditetapkan tanggal 23 Agustus 1950 dan diundangkan tanggal 25 Agustus 1950 oleh menteri
Kehakiman yang sama Supomo, sudah menggunakan istilah diundangkan. Perubahan istilah
tersbeut sudah berlaku sampai sekrang.
Begitu juga dengan berlakunya UU No 10 tahun 2004 maka juga menggunakan istilah diundangkan
dan pelaksanaan pengundangan beralih dari Menteri Sekretaris Negara menjadi Menteri yg bertugas
dibidang perundang-undangan dan tidak ada lagi mengenal istilah pengumuman
Tempat pengundangan dan jenis peraturan yg diundangkan menurut UU No. 10 atahun 2004 :
1. Lembaran negara RI
2. Berita Negara RI
3. BLembaran Daerah
4. Berita Daerah
5. Tempat pengundangan (lihat pasal 45)
Tempat pengundangan dan jenis peraturan yg diundangkan :
- Dalam Lembaran Negara RI :
1. UU/Perpu
2. PP
3. Perpres mengenai : a) ratifikasi perjanjian internasional, b) keadan bahaya
4. Peraturan perUUan lain yg menurut peraturan perUUan yg berlaku harus diundangkan dlm
lebaran negara RI dan peraturan perUUan lain yang menurut peraturan perundang-undangan
yg berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara RI.
Pasal 46 : Pengundangan dilakukan oleh menteri hukum dan HAM (Pasal 46)
Pasal 47 : Tambahan LN memuat penjelasan peraturan perUUan yang dimuat dalam lembaran
negara RI, sedangkan tambahan berita negara RI memuat penjelasan peraturan perUUan yg dimuat
dalam berita negara
Pasal 49 :
•Peraturan perUUan yg dindangkan dlm lembaran daerah adalah Perda
•Peraturan Gubernur, peraturan Bupati/Walikota atau peraturan lain dibawahnya dimuat dalam
Berita Daerah
•Pengundangan Perda dalam lembaran daerah dan berita daerah dilaksanakan oleh sekretaris
daerah
•Menurut penjelasan pasal 49 (2) peraturan perUUan yg diundangkan dlm berita daerah misalnya
peraturan nagari, perdes atau peraturan gampong dilingkungan daerah yg bersangkutan.
Hubungan pengundangan dan daya ikat :
Dengan adanya pengundangan bagi suatu peraturan perundang-undangan yaitu dengan
penempatannya di dalam lembaran negara RI, maka peraturan perundang-undangan tersebut
dianggap mempunyai daya laku serta daya ikat bagi setiap ora
Sehubungan dgn masalah pengundangan dan daya ikat tsb dapat dijumpai adanya tiga variasi yaitu :
1. Apabila dl suatu peraturan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan, maka dlm hal ini
peraturan tsb mempunyai daya ikat pada tanggal yang sama dengan tanggal
pengundangannya, Contoh, apabila suatu UU diundangkan pd tgl 10 Nop 2006 dan dinyatakan
berlaku pd tgl diundangkan maka pada tgl 10/11 2006 tsb UU ini mulai berdaya laku serta
berdaya ikat (mengikat umum )
2. Berlaku beberapa waktu setelah diundangkan
apabila dlm suatu peraturan dinyatakan berlaku beberapa waktu setelah diundangkan maka
dlm hal ini peraturan tsb mempunyai daya laku pada tgl diundangkan tsb, akan tetapi daya
ikatnya setelah tgl yang telah ditentukan tersebut. Contoh apabila suatu UU diundangkan pd
tgl 10 Nopember 2006 dan dinyatakan berlaku 30 hari kemudian, maka UU itu mempunyai
daya laku pada sejak tgl 10 Nop 2006 akan tetapi UU tsb baru berdaya ikat (mengikat umum)
pada tgl 10 Desember 2006.
3. Berlaku pada tanggal diudangkan dan berlaku surut sampai tanggal yang tertentu
Apabila suatu peraturan ditentukan demikian, maka hal ini berarti bahwa peraturan tsb
mempunyai daya laku sejak tgl diundangkan akan tetapi dalam hal2 tertentu ia mempunyai
daya ikat yg berlaku surut sampai tgl yg ditetapkan tadi.
Apabila suatu peraturan tersebut dinyatakan berlaku surut maka ketentuan saat/waktu berlaku
surutnya peraturan tsb hrs dinyatakan secara tepat/pasti, misalnya berlaku surut sampai dgn
tgl 1 Januari 2006, oleh karena ini berhubungan erat dgn adanya kepastian hukum. Contoh :
Apabila suatu UU diundangkan pd tgl 10 Nop 2006 dan dinyatakan berlaku pd tgl
diundangkan serta dinyatakan berlaku surut sampai pd tgl 1 Januari 2006 maka UU tsb
mempunyai daya laku dan daya ikat mulai tgl 10 Nop 2006 tsb serta berlaku surut sampai dgn
tgl 1 Januari 2006.
Proses pengundangan peraturan perUUan menurut Perpres No 1 tahun 2007
1. Naskah UU yg telah disahkan Presiden disampaikan oleh menteri sekretaris negara kepada
menteri utk diundangkan dlm LN RI
2. Naskah Perpu dan PP yg telah ditetapkanoleh presiden disampaikan oleh menteri sekretaris
negara kpd menteri utk diundangkan dlm LNRI
3. Naskah Perpres yg telah ditetapkan Presiden disampaikan oleh sekretaris kabinet kepada
menteri utk diundangkan dlm LNRI
4. Naskah peraturan perUUan lainnya yg telah ditetapkan oleh pimpinan lembaga (Psl 46 ayat 1)
disampaikan kpd menteri utk diundangkan dlm LN RI
5. Menteri yg tugas dasn tanggungnya dibidang perUUan (Menkumham) kemudian akan
membubuhkan tanda tangan pd naskah UU, Perpu, PP, Perpres serta peraturan lembaga tsb
dan menempatkannya dlm LNRI dgn membubuhkan nomor dan tahunnya serta menempatkan
penjelasannya serta nomor dlm tambahan LN
6. Naskah peraturan menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen dan perundang
lainnya yg telah ditetapkan diberi nomor dan tahunnya disampaikan kpd menteri utk
selanjutnya diundangkan dgn penempatannya dlm berita negara RI. Slide 16
Penyebarluasan peraturan perUUan menurut UU No. 10 tahun 2004
1. Diatur dlm Pasal 51 berbunyi pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perUUan yg telah
diundangkan dlm LN RI atau Berita Negara
2. Selanjutnya dlm penjelasan pasal 51 berbunyi, “yg dimaksud dgn menyebarluaskan adalah agar
khlayak ramai mengetahui peraturan perundang-undnagan tsb dan mengerti/memahami isi
serta maksud yg terkandung didalamnya, misalnya dilakukan dgn melalui media elektronik,
Televisi, radio dan media cetak
3. Didaerah (Perda) dilakukan oleh pemda baik yg sdh diundangkan dlm Lembaran daerah
maupun berita daera
Penyebarluasan peraturan perUUan menurut Perpres No. 1 tahun 2007
1. Diatur dlm pasal 29 berbunyi “pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perUUan yg telah
diundangkan dlm LN RI dan dalam berita negara RI, sedangkan pemda wajib
menyebarluaskan peraturan perUUan yg telah diundangkan dlm LD dan peraturan
dibawahnya yg telah diundangkan dlm berita daerah.
2. Misalnya dilakukan dgn melalui media elektronik, Televisi, radio dan media cetak.

Contenu connexe

Tendances

Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...Idik Saeful Bahri
 
4. proses pembuatan perundang undangan
4. proses pembuatan perundang undangan4. proses pembuatan perundang undangan
4. proses pembuatan perundang undanganHIMA KS FISIP UNPAD
 
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Idik Saeful Bahri
 
Pengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power pointPengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power pointPuspa Bunga
 
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional Fenti Anita Sari
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional  Fenti Anita SariTugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional  Fenti Anita Sari
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional Fenti Anita SariFenti Anita Sari
 
Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi secara umum (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi secara umum (Idik Saeful Bahri)Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi secara umum (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi secara umum (Idik Saeful Bahri)Idik Saeful Bahri
 
Contoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalContoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalEvirna Evirna
 
Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2villa kuta indah
 
8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negara8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negaranurul khaiva
 
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)Idik Saeful Bahri
 
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...Idik Saeful Bahri
 
Hukum perdata internasional - Sejarah perkembangan hukum perdata internasiona...
Hukum perdata internasional - Sejarah perkembangan hukum perdata internasiona...Hukum perdata internasional - Sejarah perkembangan hukum perdata internasiona...
Hukum perdata internasional - Sejarah perkembangan hukum perdata internasiona...Idik Saeful Bahri
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanayudikrismen1
 
Obyek Hukum Administrasi Negara
Obyek Hukum Administrasi  NegaraObyek Hukum Administrasi  Negara
Obyek Hukum Administrasi NegaraMuslimin B. Putra
 

Tendances (20)

Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
 
4. proses pembuatan perundang undangan
4. proses pembuatan perundang undangan4. proses pembuatan perundang undangan
4. proses pembuatan perundang undangan
 
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
 
Pengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power pointPengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power point
 
Hukum perdata
Hukum perdataHukum perdata
Hukum perdata
 
Hukum agraria
Hukum agraria   Hukum agraria
Hukum agraria
 
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional Fenti Anita Sari
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional  Fenti Anita SariTugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional  Fenti Anita Sari
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional Fenti Anita Sari
 
Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi secara umum (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi secara umum (Idik Saeful Bahri)Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi secara umum (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi secara umum (Idik Saeful Bahri)
 
Contoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalContoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasional
 
Hukum perdata
Hukum perdataHukum perdata
Hukum perdata
 
Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2
 
8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negara8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negara
 
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)
 
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...
Hukum acara perdata - Kompetensi dan tugas badan peradilan di Indonesia (Idik...
 
Perancangan kontrak
Perancangan kontrakPerancangan kontrak
Perancangan kontrak
 
Hukum perdata internasional - Sejarah perkembangan hukum perdata internasiona...
Hukum perdata internasional - Sejarah perkembangan hukum perdata internasiona...Hukum perdata internasional - Sejarah perkembangan hukum perdata internasiona...
Hukum perdata internasional - Sejarah perkembangan hukum perdata internasiona...
 
Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi NegaraHukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidana
 
Obyek Hukum Administrasi Negara
Obyek Hukum Administrasi  NegaraObyek Hukum Administrasi  Negara
Obyek Hukum Administrasi Negara
 
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARAHUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
 

En vedette

Legal opinion pemasaran yakult.
Legal opinion pemasaran yakult.Legal opinion pemasaran yakult.
Legal opinion pemasaran yakult.laurent panggabean
 
Legal Opinion tentang Permen Blokir Situs Negatif
Legal Opinion tentang Permen Blokir Situs NegatifLegal Opinion tentang Permen Blokir Situs Negatif
Legal Opinion tentang Permen Blokir Situs NegatifICT Watch
 
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...People Power
 
Diskusi tematik epistema dahniar andriani
Diskusi tematik epistema dahniar andrianiDiskusi tematik epistema dahniar andriani
Diskusi tematik epistema dahniar andrianiEpistema_Institute_5
 
How To Read A Legal Opinion
How To Read A Legal OpinionHow To Read A Legal Opinion
How To Read A Legal Opinionlegalcounsel
 
Politik hukum dan kebijakan publik
Politik hukum dan kebijakan publikPolitik hukum dan kebijakan publik
Politik hukum dan kebijakan publikBiati Ardiansyah
 
Peraturan perundang slide
Peraturan perundang slidePeraturan perundang slide
Peraturan perundang slideSomewhere
 
Deductive reasoning and irac
Deductive reasoning and iracDeductive reasoning and irac
Deductive reasoning and irackdouat
 
Materi presentasi sb brg sosialisasi sumsel
Materi presentasi sb brg sosialisasi sumselMateri presentasi sb brg sosialisasi sumsel
Materi presentasi sb brg sosialisasi sumselPanji Kharisma Jaya
 

En vedette (13)

Legal opinion
Legal opinionLegal opinion
Legal opinion
 
Legal opinion pemasaran yakult.
Legal opinion pemasaran yakult.Legal opinion pemasaran yakult.
Legal opinion pemasaran yakult.
 
Legal Opinion tentang Permen Blokir Situs Negatif
Legal Opinion tentang Permen Blokir Situs NegatifLegal Opinion tentang Permen Blokir Situs Negatif
Legal Opinion tentang Permen Blokir Situs Negatif
 
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
 
Legal opinion
Legal opinionLegal opinion
Legal opinion
 
Diskusi tematik epistema dahniar andriani
Diskusi tematik epistema dahniar andrianiDiskusi tematik epistema dahniar andriani
Diskusi tematik epistema dahniar andriani
 
How To Read A Legal Opinion
How To Read A Legal OpinionHow To Read A Legal Opinion
How To Read A Legal Opinion
 
Mekanisme penyusunan peraturan perundang undangan
Mekanisme penyusunan peraturan perundang undanganMekanisme penyusunan peraturan perundang undangan
Mekanisme penyusunan peraturan perundang undangan
 
Politik hukum dan kebijakan publik
Politik hukum dan kebijakan publikPolitik hukum dan kebijakan publik
Politik hukum dan kebijakan publik
 
Peraturan perundang slide
Peraturan perundang slidePeraturan perundang slide
Peraturan perundang slide
 
Deductive reasoning and irac
Deductive reasoning and iracDeductive reasoning and irac
Deductive reasoning and irac
 
Materi presentasi sb brg sosialisasi sumsel
Materi presentasi sb brg sosialisasi sumselMateri presentasi sb brg sosialisasi sumsel
Materi presentasi sb brg sosialisasi sumsel
 
Legal memorandum
Legal memorandumLegal memorandum
Legal memorandum
 

Similaire à Legal drafting

Ketika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOLKetika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOLatuulll
 
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOLKetika Hukum di Negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOLatuulll
 
Sumber sumber hukum tata negara
Sumber sumber hukum tata negaraSumber sumber hukum tata negara
Sumber sumber hukum tata negaraUzix Moch
 
ppkn tentang : Hukum di indonesia
ppkn tentang : Hukum di indonesia ppkn tentang : Hukum di indonesia
ppkn tentang : Hukum di indonesia Yogi andreansyah
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negaranurul khaiva
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negaranurul khaiva
 
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...Alorka 114114
 
Pembentukan per uu (nindya)
Pembentukan per uu (nindya)Pembentukan per uu (nindya)
Pembentukan per uu (nindya)Nandya Guvita
 
Tugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukumTugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukumAndrew Hutabarat
 
buku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.Utrechbuku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.UtrechPet-pet
 
Bab 2 kelas x sikap positif thd sistem & peradilan nas
Bab 2  kelas x sikap positif thd sistem & peradilan nasBab 2  kelas x sikap positif thd sistem & peradilan nas
Bab 2 kelas x sikap positif thd sistem & peradilan nasHendrastuti Retno
 
ppkn tentang : Hukum di indonesia
ppkn tentang : Hukum di indonesiappkn tentang : Hukum di indonesia
ppkn tentang : Hukum di indonesiaYogi andreansyah
 
KULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptx
KULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptxKULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptx
KULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptxprimakarya2
 

Similaire à Legal drafting (20)

Htn
HtnHtn
Htn
 
Ketika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOLKetika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOL
 
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOLKetika Hukum di Negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOL
 
Sumber sumber hukum tata negara
Sumber sumber hukum tata negaraSumber sumber hukum tata negara
Sumber sumber hukum tata negara
 
ppkn tentang : Hukum di indonesia
ppkn tentang : Hukum di indonesia ppkn tentang : Hukum di indonesia
ppkn tentang : Hukum di indonesia
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara
 
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...
 
Pembentukan per uu (nindya)
Pembentukan per uu (nindya)Pembentukan per uu (nindya)
Pembentukan per uu (nindya)
 
Tugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukumTugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukum
 
Konstitusi Kewarganegaraan
Konstitusi KewarganegaraanKonstitusi Kewarganegaraan
Konstitusi Kewarganegaraan
 
Pkn
Pkn Pkn
Pkn
 
buku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.Utrechbuku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.Utrech
 
Sistem hukum
Sistem hukumSistem hukum
Sistem hukum
 
Bab 2 kelas x sikap positif thd sistem & peradilan nas
Bab 2  kelas x sikap positif thd sistem & peradilan nasBab 2  kelas x sikap positif thd sistem & peradilan nas
Bab 2 kelas x sikap positif thd sistem & peradilan nas
 
ppkn tentang : Hukum di indonesia
ppkn tentang : Hukum di indonesiappkn tentang : Hukum di indonesia
ppkn tentang : Hukum di indonesia
 
KULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptx
KULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptxKULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptx
KULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptx
 
Hukum dan peradilan
Hukum dan peradilanHukum dan peradilan
Hukum dan peradilan
 
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negaraPeranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
 
Ipu
IpuIpu
Ipu
 

Dernier

Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...
Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...
Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...asepsaefudin2009
 
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNSLatsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNSdheaprs
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxadimulianta1
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7IwanSumantri7
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxIgitNuryana13
 
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdfDiskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdfHendroGunawan8
 
contoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan .pptx
contoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan  .pptxcontoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan  .pptx
contoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan .pptxHR MUSLIM
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BAbdiera
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..ikayogakinasih12
 
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptxPPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptxssuser8905b3
 
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfContoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfCandraMegawati
 
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...Kanaidi ken
 
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxSlasiWidasmara1
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxRizkyPratiwi19
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxssuser50800a
 
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk HidupUT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidupfamela161
 
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...MetalinaSimanjuntak1
 

Dernier (20)

Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...
Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...
Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...
 
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNSLatsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
 
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdfDiskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
 
contoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan .pptx
contoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan  .pptxcontoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan  .pptx
contoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan .pptx
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
 
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptxPPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
 
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfContoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
 
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
 
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
 
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk HidupUT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
 
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
 

Legal drafting

  • 1. LEGAL DRAFTING • Secara harfiah legal dafting dapat diterjemahkan secara bebas, adalah penyusunan/perancangan Peraturan Perundang-undangan. Dari pendekatan hukum, Legal drafting adalah kegiatan praktek hukum yang menghasilkan peraturan, sebagai contoh; Pemerintah membuat Peraturan Perundang- undangan; Hakim membuat keputusan Pengadilan yang mengikat publik; Swasta membuat ketentuan atau peraturan privat seperti; perjanjian/kontrak, kerjasama dan lainnya yang mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak. • Dalam meteri kuliah ini legal drafting dipahami bukan sebagai perancangan hukum dalam arti luas, melainkan hukum dalam arti sempit, yakni undang-undang atau perundang-undangan. Jadi bukan perancangan hukum seperti perjanjian/kontrak, dll. • Legal Drafting merupakan konsep dasar tentang penyusunan peraturan perundang-undangan yang berisi tentang naskah akademik hasil kajian ilmiah beserta naskah awal peraturan perundang- undangan yang diusulkan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. • Dapat disimpulkan kegiatan legal drafting disini adalah dalam rangka pembentukan peraturan- perundangan. • Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang- undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. • Sesuai dengan bunyi pasal 1 angka 1 UU No. 12 tahun 2011 di atas, bahwa proses sebuah peraturan menjadi legal dan mempunyai daya ikat atau kekuatan hukum tetap harus melewati beberapa tahap. • Adanya legal drafting ada hubungannya dengan konsep negara hukum. • Negara hukum (Wirjono Prodjodikoro) adalah “suatu negara yang di dalam wilayahnya semua alat perlengkapan negara khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam setiap tindakannya terhadap warganegara dan dalam berhubungan tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan hukum, dan semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan hukum yang berlaku”. • Sedangkan menurut Hartono Mardjono, dikatakan negara hukum adalah “bilamana di negara tersebut seluruh warganegara maupun alat-alat perlengkapan dan aparat negaranya, tanpa kecuali dalam segala aktifitasnya tunduk kepada hukum”. (equity dan non-discrimination) • Tujuan Negara Hukum S. Tasrif: 1) Kepastian hukum (tertib/order); 2) Kegunaan (kemanfaatan/utility); dan 3) Keadilan (justice). Sedangkan menurut Ahmad Dimyati: 1) Pencapaian keadilan, 2) Kepastian hukum, dan 3) Kegunaan (kemanfaatan). Kesimpulan: 1. Pencapaian Keadilan, sesuai dengan asas Ius quia iustum (hukum adalah keadilan, dan Quid ius sine justitia (apalah arti hukum tanpa keadilan). 2. Hukum adalah untuk mengatur hubungan, baik warga masyarakat maupun negara, The law is a tool to “social control” and “social engineering”. 3. Hukum dilaksanakan untuk mencapai kepastian.
  • 2. Unsur-unsur negara hukum : 1. Sistem pemerintahan negara yg berdasarkan atas kedaulatan rakyat 2. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau peraturan PerUUan 3. Adanya jaminan terhadap HAM (warga negara) 4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara 5. Adanya pengawasan dari badan2 peradilan (rechterlijke controle) yg bebas dan mandiri dalam arti lembaga peradilan tersebut benar2 tidak memihak dan tidak berada dibawah pengaruh eksekutif. 6. Adanya peran nyata dari anggota2 masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah 7. Adanya sistem perekonomian yg dapat menjamin pembagian yg merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara. • Sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 45 maka segala aspek kehidupan dan bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum (asas legalitas=legaliteits beginsel). • Konsekuensinya adalah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tidak terlepas dari peraturan PerUUan sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia. • Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yg berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perUUan .(Pasal 1 angka 2 UU No. 12 tahun 2011). • Untuk itu perlu adanya suatu pemahaman terhadap tatacara penyusunan peraturan PerUUan mulai dari proses, prosedur, dan teknik dalam penyusunan dan pembuatan rancangan peraturan PerUUan. Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat pada: 1. Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah negara hukum; 2. Pembukaan dicantumkan kata-kata : Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia; 3. Bab X Pasal 27 ayat (1) disebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan itu dengan dengan tidak ada kecualinya; 4. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dihapus disebutkan dalam Sistem Pemerintahan Negara, yang maknanya tetap bisa dipakai, yaitu Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat); 5. Sumpah/janji Presiden/Wakil Presiden ada kata-kata ”memegang teguh Undang-Undang Dasar dan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”; 6. Bab XA Hak Asasi Manusia Pasal 28i ayat (5), disebutkan bahwa ”Untuk penegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam Peraturan Perundang- Undangan; 7. Sistem hukum yang bersifat nasional; 8. Hukum dasar yang tertulis (konstitusi), hukum dasar tak tertulis (konvensi); 9. Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
  • 3. Undangan; 10. Adanya peradilan bebas. Dasar-dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan : 1. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah NEGARA HUKUM” 2. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewenangan membentuk UNDANG-UNDANG” 3. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGGANTI UNDANG-UNDANG” 4. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 “Presiden menetapkan PERATURAN PEMERINTAH untuk menjalankan UNDANG-UNDANG sebagaimana mestinya” 5. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 “Pemerintah daerah berhak menetapkan PERATURAN DAERAH dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan” 6. UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan • Untuk dapat menjadi seorang “Legal Drafter (perancang PerUUan) ” maka tidak terlepas dari penguasaan ilmu perundang-undangan karena ilmu perundang-undangan adalah suatu ilmu yang mempelajari segala seluk beluk proses atau tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dan isi atau subtansi suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersifat atau mengikat secara umum. • Sedangkan menurut B. Hestu Cipto Handoyo Ilmu Perundang-undangan merupakan cabang dari ilmu hukum yang secara khusus objek kajiannya adalah meneliti tentang gejala peraturan peraturan perundang-undangan yakni setiap keputusan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk mengatu tingkah laku manusia yang bersifat dan berlaku mengikat umum. • Dengan kata lain ilmu perundang-undangan berorientasi kepada melakukan perbuatan dala m hal ini pembentukan peraturan PerUUan serta bersifat normatif (mata kuliah dasar) Ilmu perundang-undangan terbagi : 1. Proses perundang-undangan (gezetsgebungsverfahren) : meliputi beberapa tahapan dalam pemnbentukan perundang-undangan seperti tahap persiapan, penetapan, pelaksanaan, penilaian dan pemaduan kembali produk yang sudah jadi. 2. Metode prundang-undangan (gezetsgebungsmethode) : ilmu tentang pembentukan inis norma hukum yang teratur untuk dapat mencapai sasarnannya. Pengacuannya kepada hal-hal yang berhubungan dengan perumusan unsur dan struktur suatu ketentuan dalam norma seperti objek norma, subjek norma, operator norma dan kondisi norma. 3. Teknik perundang-undangan (gezetsgebungstechnic) : Teknik perundang-undangan mengkaji hal- hal yg berkaitan dengan teks suatu perundang-undangan meliputi bentuk luar, bentuk dalam, dan ragam bahasa dari peraturan perundang-undangan. Kegunaan ilmu perundang-undangan yaitu : • Selain dalam rangka merubah masyarakat, tentunya kearah yang lebih baik sesuai dengan doktrin hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as tool of social enginering), kegunaan lain ilmu perundang- undangan yaitu : 1. Memudahkan praktik hukum, terutama bagi kalangan akademisi, praktisi hukum maupun pemerintah. 2. Memudahkan klasifikasi dan dokumentasi peraturan perundang-undangan 3. Memberikan kepastian hukum dalam pembentukan hukum nasional
  • 4. 4. Mendorong munculnya suatu produk peraturan perundang-undangan yang baik. • Dalam ilmu hukum (rechtswetenschap) dibedakan antara UU dalam arti materiil (wet in materiele zin) dan UU dlm arti formil • UU dalam arti materil adalah Peraturan PerUUan sedangkan UU dalam arti formil adalah UU. Beda Peraturan perundang-undangan dengan Undang-undang : • Peraturan perundang-undangan yaitu setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yg berwenang yg berisi aturan tingkah laku atau mengikat secara umum yang disebut juga undang- undang dalam arti materil. • Undang-undang yaitu keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yg berisi aturan tingkah laku yg bersifat atau mengikat umum yang disebut juga undang-undang dalam arti formil. Kesimpulan : • Untuk membedakan antara UU dalam arti materil dan formil tidak lain adalah menyangkut organ pembentuk dan isinya. • Jika organ yg membentuk itu adalah pejabat yg berwenang dan isi berlaku dan mengikat umum maka disebut sbg UU dlm arti materiil. • Hal ini berarti jikalah ada ketentuan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat yg berwenang namun isinya tidak bersifat dan mengikat umu maka ketentuan tsb tidak dapat disebut sebagai UU dalam arti materil atau perundang-undangan. • Sedangkan jikalau yang membentuk itu adalah organ negara pemegang kekuasaan legislatif (dalam kontek UUD 45 adalah kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekuti dan legislatif) yg isinya berlaku dan mengikat umum, maka produk hukum itu disebut UU dalam arti formil atau cukup disebut UU. • Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUUan. Ciri-ciri peraturan perundang-undangan : 1. Peraturan perUUan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai bentuk atau format tertentu. 2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik ditingkat pusat maupun di di tingkat daerah. Pejabat yang berwenang yang dimaksud adalah pejabat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku baik berdasarkan atribusi maupun delegasi. 3. Perturan PerUUan tersebut berisi aturan pola tingkah laku. 4. Peraturan PerUUan mengikat secara umum umum, tidak ditujukan kepada seseorang atau individu tertentu (tidak bersifat individual). 5. Peraturan perUUan berlaku secara terus menerus (dauerhafing) sampai diubah, dicabut atau digantikan dengan peraturan perUUan yang baru. Kelebihan dan kelemahan peraturan perundang-undangan : • Kelebihan peraturan PerUUan (hukum tertulis) : 1. Mudah dikenali, diketemukan kembali maupun ditelusuri. 2. Lebih memberikan kepastian hukum 3. Memungkinkan untuk diperiksa dan diuji 4. Pembentukan dan pengembangannya dapat direncanakan. • Kelemahan Peraturan PerUUan (hukum tertulis)
  • 5. 1. Terkesan kaku 2. Kurang lengkap. • Selain itu juga dalam rangka menyusun dan membentuk peraturan perUUan selain perlunya penguasaan ilmu perundang-undangan seorang legal drafter juga harus memperhatikan norma- norma/kaidah hukum sebagai dasar pembentukan perUUan tersebut. • Kaidah/norma hukum pada pokoknya dapat diartikan adalah pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subyek hukum dengan hak2 dan kewajiban hukum yg berupa larangan, keharusan maupun kebolehan. • Produk pengambilan keputusan tersebut dapat dibedakan dengan tiga istilah yaitu : 1. Pengaturan yg menghasilkan peraturan (regels) 2. Penetapan yg menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschickkings) 3. Penghakiman atau pengadilan yang menghasilkan putusan (vonis). • Untuk itu hukum harus dimaknai sebagai sebuah ketentuan baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan manusia dalam pergaulan hidup. Baik antara sesama maupun dengan lingkungannya. Ketentuan tersebut sifatnya adalah mengikat dan berlaku umum dan apabila tidak diindahkan akan dikenai sanksi yang berasal dari external power (kekuasaan diluar diri manusia). • Kaidah/norma hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan (orde) maupun ketentraman dan ketenangan (rust). Kaidah hukum daya lakunya dipaksakan dari luar diri manusia. • Dapat juga diartikan norma hukum adalah suatu patokan yang didasarkan kepada ukuran nilai2 baik atau buruk yang berorientasi kepada asas keadilan dan bersifat : 1) suruhan (impare/gebod) yang harus dilakukan orang (perintah), 2) larangan (prohibire/verbod) yang tidak boleh dilakukan, 3) kebolehan (permitted/mogen) sesuatu yang tidak dilarang dan tidak disuruh. Contoh : • Seorang wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun (346 KUHP) • Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun (354 KUHP) • Setiap orang yang akan mendirikan bangunan wajib mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang. Fungsi, tujuan dan tugas norma hukum • Fungsi : melindungi kepentingan manusia, kelompok manusia (masyarakat) dan negara. • Tujuan, tercapainya ketertiban dalam masyarakat. • Tugas, mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat dan kepastian hukum agar tercapainya tujuan hukum. Bentuk-bentuk norma hukum : • Umum dan individual : norma ini dilihat dari sasaran atau subyek yang dituju. Individu, beberapa orang atau sekelompok orang tertentu • Abstrak dan konkrit : Abstrak atau konkritnya suatu norma ditentukan oleh bentuk perbuatan yang diatur, mujarad (tak berwujud) atau nyata. • Einmahlig dan dauerhaftig : Norma hukum ini dapat dilihat dari masa berlakunya. Einmahlig (berlaku sekali selesai) dan dauerhafting (berlaku terus menerus) Bentuk-bentuk norma hukum : • Tunggal dan berpasangan : Norma hukum ini dilihat dari sifatnya apakah berdiri sendiri (tunggal)
  • 6. atau diikuti oleh norma hukum lain (berpasangan). • Isi norma hukum tunggal adalah suruhan (das sollen) untuk bertindak atau bertingkah laku. Norma hukum berpasangan terdiri dari beberapa norma hukum yaitu norma hukum primer dan sekunder. Norma hukum sekunder merupakan penanggulangan apabila norma primer tidak terlaksana. Tata urutan norma hukum : • Teori jejang norma (stufentheorie) Hans Kelsen : norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yang disebut dengan norma dasar (grundnorm). Menurut D.W.P. Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental yang dimaksud peraturan perundang-undangan yaitu mengandung 3 unsur : 1. Norma hukum (rechtnorm) 2. Berlaku ke luar (naar buiten werken) dan 3. Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin) Ad. 1 : Norma hukum Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa : a. Perintah (gebod) b. Larangan (verbod) c. Pengizinan (toestmming) dan d. Pembebasan (vrijstelling) Ad.2 : Norma berlaku orang Ruiter berpendapat bahwa didalam peraturan perundang-undangan tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak termasuk dalam organisasi pemerintahan. Norma hanya ditujukan kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesama maupun antara rakyat dan pemerintah. Norma yang mengatur hubungan antar bagian-bagian organisasi pemerintahan dianggap bukan norma yang sebenarnya dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena itu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut ”berlaku ke luar” Ad. 3 : Norma bersifat umum dalam arti luas Dalam hal ini terdapat perbedaan antara norma yang umum (algemeen) dan yang individual (individueel), hal ini dilihat dari addressat (alamat) yang dituju, yaitu ditujukan kepada ”setiap orang” atau kepada ”orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak (abstract) dan yang konkret (concreet) jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang idak tertentu atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu. Menurut Ruiter sebuah norma (termasuk norma hukum) mengandung unsur-unsur berikut : 1. Cara keharusan berperilaku (modus van behoren) disebut operator norma. 2. Seorang atau kelompok orang adresat (normaadressaat) disebut subyek nomra 3. Perilaku yang dirumuskan (normgedrag) disebut objek norma 4. Syarat-syaratnya (normcondities), disebut kondisi norma Contoh : Setiap orang wajib membayar pajak pada akhir tahun.
  • 7. Penjelasan : Setiap orang : subyek norma Wajib : operator norma Membayar pajak : obyek norma Pada akhir tahun : kondisi norma LANDASAN-LANDASAN DAN ASAS-ASAS HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN. Landasan pembentukan peraturan perundang-undangan : 1. Landasan filosofis (filosofische grondslag) • Rumusan atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardging) jika dikaji secara filosofis, dan • Sesuai dengan ciata-cita kebenaran (idee der waarheid), cita keadilan (idee der gerechttigheid), dan cita kesusilaan (idee der zedelijkheid). 2. Landasan sosiologis (sociologische grondslag) • Dikatakan mempunyai landaan sosiologis bila ketentuan2nya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar UU ditaati dan berlaku efektif dimasyarakat. 3. Landasan yuridis (juridische grondslag) • Landasan yuridis dimaksud meliputi arti formil dan materil. Secara formil adalah landasan yuridis yang memberikan kewenangan (bevogdheid) bagi instansi tertentu untuk membentuk peraturan perundang-undangan tertentu. Sedangkan secar materil adalah landasan yuridis untuk segi isi (materi) yang harus diatur dalam dalam suatu peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Contoh : dalam konsideran menimbang (grondslag) dikenal juga dengan istilah konsideran factual yang berisikan pertimbangan-pertimbangan dan filosofis dan sosiologis. Selanjutnya konsideran mengingat (rechtgrond) dikenal juga denagan istilah konsideran yuridis berisikan dasar-dasar hukum tertinggi dan sederajat yang dipergunakan untuk pijakan legalitas. LANDASAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Prinsip-Prinsip Peraturan Perundang-Undangan 1. Dasar Peraturan Perundang-Undangan Selalu Peraturan Perundang-Undangan • Landasan atau dasar Peraturan Perundang-Undangan secara yuridis selalu Peraturan Perundang- Undangan dan tidak ada hukum lain yang dijadikan dasar yuridis kecuali Peraturan Perundang- Undangan. Dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan harus ada landasan yuridis secara jelas. Walaupun ada hukum lain selain Peraturan Perundang-Undangan namun hanya sebatas dijadikan sebagai bahan dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan. Contoh hukum lain seperti hukum adat, yurisprudensi, dan sebagainya. 2. Hanya Peraturan Perundang-Undangan Tertentu Saja yang Dapat Dijadikan Landasan Yuridis • Landasan yuridis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan yaitu hanya Peraturan Perundang- Undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dan terkait langsung dengan Peraturan Perundang- Undangan yang akan disusun. Oleh karena itu tidak dimungkinkan suatu Peraturan Perundang- Undangan yang lebih rendah dijadikan dasar yuridis dalam menyusun Peraturan Perundang- Undangan. Kemudian Peraturan Perundang-Undangan yang tidak terkait langsung juga tidak dapat dijadikan dasar yuridis Peraturan Perundang-Undangan. 3. Peraturan Perundang-Undangan yang Masih Berlaku Hanya Dapat Dihapus, Dicabut, atau Diubah
  • 8. Oleh Peraturan Perundang-Undangan yang Sederajat atau yang Lebih Tinggi • Dengan prinsip tersebut, maka sangat penting peranan tata urutan atau hirarki Perundang- Undangan dan dengan prinsip tersebut tidak akan mengurangi para pengambil keputusan untuk melakukan penemuan hukum melalui penafsiran (interpretasi), pembangunan hukum maupun penghalusan hukum terhadap Peraturan Perundang-Undangan. 4. Peraturan Perundang-Undangan Baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Lama • Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat, maka yang diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan yang terbaru. Dalam prakteknya pada prinsip tersebut temyata tidak mudah diterapkan, karena banyak Peraturan perundang-Undangan yang sederajat saling bertentangan materi muatannya namun malahan sering dilanggar oleh para pihak yang memiliki kepentingan. 5. Peraturan Perundang-Undangan yang Lebih Tinggi Mengesampingkan Peraturan Perundang- Undangan yang Lebih Rendah • Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tingkatannya dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah, maka Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yang diberlakukan, dan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah dikesampingkan. 6. Peraturan Perundang-Undangan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Peraturan Perundang- Undangan Yang Bersifat Umum • Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus dengan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum yang sederajat tingkatannya, maka yang diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus (lex spesialis derogat lex generalis). 7. Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan Materi Muatannya Berbeda • Setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya harus saling berbeda satu sama lain yang berarti bahwa materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (terdahulu) tidak boleh diatur kembali di dalam materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah. Penentuan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mengalami kesulitan apabila materi muatan tertentu dalam Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tingkatannya jelas-jelas mendelegasikan kepada Peraturan perundang-Undangan yang lebih rendah. B. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 1. Asas Formil Asas formil dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yaitu meliputi: a. Kejelasan tujuan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat; b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis Peraturan Perundang- undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga atau organ yang tidak berwenang; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu perumusan materi muatan dalam setiap Peraturan Perundang-undangan harus memiliki kesesuaian dengan jenis perundang-undangan; d. Dapat dilaksanakan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundangundangan harus didasarkan
  • 9. pada perhitungan bahwa Peraturan Perundangundangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena telah mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis; maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya; e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap Peraturan Perundangundangan yang dibentuk benar-benar mempunyai dayaguna dan hasil guna berlaku di dalam masyarakat, berfungsi secara efektif dalam memberikan ketertiban, ketenteraman, dan kedamaian bagi masyarakat ; f. Kejelasan rumusan, yaitu; bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundangundangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya; g. Keterbukaan, yaitu tidak adanya muatan materi Peraturan Perundangundangan yang disembunyikan atau bersifat semu, sehingga dapat menimbulkan berbagai penafsiran dalam praktek/implementasinya. 2. Asas materil Materi Peraturan Perundang-undangan mengandung asas: a. Pengayoman, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi mengayomi seluruh masyarakat dan memberikan perlindungan hak asasi manusia yang hakiki; b. Kemanusiaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus bersifat manusiawi dan menghargai harkat dan martabat manusia serta tidak boleh membebani masyarakat di luar kemampuan masyarakat itu sendiri; c. Kebangsaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang berasaskan musyawarah dalam mengambil keputusan; d. Kekeluargaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas musyawarah mufakat dalam setiap penyelesaian masalah yang diatur dalam Peraturan Perundang- undangan; e. Kenusantaraan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila atau wilayah/daerah tertentu, sesuai dengan jenis Peraturan Perundangundangan tersebut; f. Kebhinnekatunggalikaan, yaitu setiap perencanaan, pembuatan, dan penyusunan serta materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan khususnya yang menyangkut masalah-masalah yang sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; g. Keadilan yang merata, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan bagi setiap warga negara tanpa kecuali; h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu setiap Peraturan Perundang- undangan materi muatannya tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat diskriminatif; i. Ketertiban dan kepastian hukum; yaitu setiap Peraturan Perundangundangan harus dapat menimbulkan kepastian hukum dan ketertiban dalam masyarakat; j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan materi muatannya atau isinya harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat, serta bangsa dan negara. C. Asas Pemberlakukan Peraturan Perundang-undangan • Secara umum ada beberapa asas atau dasar agar supaya Peraturan Perundangundangan berlaku
  • 10. dengan baik dan efektif, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan tersebut berlaku dengan baik (sempurna) dan efektif dalam teknik penyusunannya. • Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-undangan yakni asas yuridis, asas filosofis, asas sosiologis. Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan merupakan hal lain yang tidak mempengaruhi keberlakuan Peraturan Perundangundangan, namun menyangkut baik atau tidaknya rumusan suatu Peraturan Perundang-undangan. • Asas yuridis tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan Peraturan Perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan : 1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat Peraturan perundangundangan, yang berarti bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. 2. Keharusan adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan. Ketidaksesuaian jenis tersebut dapat menjadi alasan untuk membatalkan Peraturan Perundang- undangan yang dibuat. 3. Keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Apabila prosedur/ tata cara tersebut tidak ditaati, maka Peraturan Perundang-undangan tersebut batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan mengikat. 4. Keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. a. Asas filosofis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan dasar filosofis/ideologi negara, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan secara sungguh-sungguh nilainilai (citra hukum) yang terkandung dalam Pancasila. Setiap masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan. b. Asas sosiologis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan kondisi/kenyataan yang hidup dalam masyarakat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu Peraturan Perundang- undangan yang telah dibuat diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya-laku secara efektif. Peraturan Perundang-undangan yang diterima oleh masyarakat secara wajar akan mempunyai daya laku yang efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengarahan institusional untuk melaksanakannya. c. Soerjono Soekanto-Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu : 1. Teori Kekuasaan (Machttheorie) secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat; 2. Teori Pengakuan, (Annerkenungstheorie). Kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN LEMBAGA PEMBENTUKNYA 1. JENIS HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPrS No.XX/MPRS/1966 jo TAP MPR No. V/MPR/1973 sebagai berikut : 1. UUD 1945 2. TAP MPR
  • 11. 3. UU/PERPU 4. Peraturan Pemerintah 5. Keputusan Presiden 6. Peraturan pelaksana lainnya yang meliputi Peraturan menteri, instruksi menteri dan lain-lain. Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan TAP MPR tersebut, jenis Peraturan Perundang-Undangan adalah: 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia; 3. Undang-undang; 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; 7. Peraturan Daerah. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi: 1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur; 2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota; 3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya. 4. Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang- Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Selanjutnya setelah berlakunya UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUUan, hirarki diatas mengalami perubahan sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945; 2. Ketetapan MPR (TAP MPR) 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
  • 12. 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi, dan 7. Peraturan Daerah kabupaten/kota . Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, suatu Peraturan Perundang- undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada Peraturan Perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya. Konsekuensinya, setiap Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih stinggi. Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai jenis-jenis Peraturan Perundangundangan tersebut. a. Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Berdasarkan Ketetapan MPR yang pernah ada yaitu Tap MPRS XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Tap MPRS No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 pada posisi yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan Negara. Hal yang sama juga diterapkan ddalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana menempatkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan jenis Peraturan Perundang- undangan yang tertinggi. Dengan demikian, materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulisi bagi bangsa Indonesia. b. Tap MPR Tap MPR ini merupakan putusan majelis yang yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam MPR. Dan memiliki arti penting di bidang hukum. Bentuk Tap MPR ini pertama kali keluar pada 1960, yaitu Ketetapan MPRS RI No.1/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik RI sebagai GBHN. Berdasarkan Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 (lampiran) bentuk putusan (peraturan) MPR ini memuat: a. Garis-garis besar dalam bidang legislatif yang dilaksanakan dengan UU. b. Garis-garis besar dalam bidang eksekutif yang dilaksanakan dengan Keputusan Presiden. Hal ini juga berarti, Ketetapan MPR di satu pihak dapat dilaksanakan dengan Keputusan Presiden. c. ndang-Undang Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Undang- Undang Dasar 1945 dan TAP MPR. Yang berwenang membuat Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden. Ada beberapa kriteria agar suatu masalah diatur dengan Undang-Undang, antara lain sebagai berikut :
  • 13. 1. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-Undang dibentuk atas perintah Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang terdahulu; 4. Undang-Undang dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah Undang- Undang yang sudah ada; 5. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan hak asasi manusia; 6. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak. d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Jenis Peraturan Perundang-undangan ini/PERPU setara undang-undang merupakan kewenangan Presiden karena pembentukannya tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun pada akhirnya harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan ditetapkan menjadi undang-undang. Kewenangan Presiden ini dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan: 1. Perpu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. 2. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan; 3. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Perpu tersebut harus dicabut. Dengan demikian, Perpu hanya dikeluarkan “dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Dalam praktik “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” diartikan secara luas, tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi juga kebutuhan atau kepentingan yang dipandang mendesak. Yang berwenang menentukan apakah suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai “kegentingan yang memaksa” adalah Presiden. Di samping itu, Perpu berlaku untuk jangka waktu terbatas, yaitu sampai dengan masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya. Terhadap Perpu yang diajukan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat juga hanya dapat menyetujui atau menolak saja. Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa, misalnya; menyetujui Perpu tersebut dengan melakukan perubahan. e. Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada Undang- Undangnya. Ada beberapa karakteristik Peraturan Pemerintah, yaitu: o Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa ada Undang-Undang induknya. o Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika Undang-Undang induknya tidak mencantumkan sanksi pidana. o Peraturan Pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan Undang- Undang induknya. o Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meskipun Undang-Undang yang bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, asal Peraturan Pemerintah tersebut untuk melaksanakan Undang-Undang. o Tidak ada Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 atau TAP MPR f. Peraturan Presiden
  • 14. Peraturan Presiden merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945. Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Presiden disebutnya adalah Keputusan Presiden, karena pada waktu itu Keputusan Presiden mempunyai dua sifat, yaitu Keputusan Presiden yang bersifat sebagai pengaturan (regelling) dan Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan (beschikking). Namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan disebutkan Keputusan Presiden, sedangkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur disebut Peraturan Presiden. g. Peraturan Daerah Peraturan Daerah merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Yang berwenang membuat Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah. Peraturan Daerah dibedakan antara Peraturan Daerah Provinsi, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Gubernur serta Peraturan Daerah Kabupaten /Kota, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Bupati /Walikota. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Peraturan Daerah dapat merupakan pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, maka materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya tidak bertentangan dengan dan berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat). Sedangkan untuk Peraturan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, maka substansi Peraturan Daerah tersebut tidak harus berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi harus menyesuaikan pada kondisi otonomi (kemampuan) daerah masing-masing. Peraturan Daerah adalah sebangun dengan Undang-Undang, karena itu tata cara pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan Undang-Undang dengan penyesuaian-penyesuaian. Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Peraturan Daerah adalah adanya prosedur atau mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi untuk materi (substansi) Peraturan Daerah tertentu, misalnya materi mengenai retribusi. g. Peraturan Perundang-Undangan Lain Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 7 ayat (4) antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah undang-
  • 15. undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Lebih lanjut disebutkan bahwa “hirarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi. B. LEMBAGA PEMBENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-undangan adalah lembaga yang diberi kekuasaan atau kewenangan untuk membentuk Peraturan Perundangundangan. Sesuai dengan jenis Peraturan Perundang-undangan, Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-undangan terdiri dari: 1. Dewan Perwakilan Rakyat selaku Lembaga Pembentuk undang-undang. 2. Presiden selaku Lembaga Pembentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. 3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selaku Lembaga Pembentuk Perda. 4. Kepala Daerah selaku lembaga pembentuk Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. 5. Majelis Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Konstitusi, Gubernur Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga dan Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang- Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati, Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Berikut penjelasan lembaga-lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan diatas yaitu : a. Lembaga pembentuk undang-undang Kekuasaan lembaga pembentuk UU diatur dalam UUD RI 45 dan UU No. 10 tahun 2004 pasal 1 ayat 3. Sebelum amandemen UUD 45 kekuasaan membentuk UU dirumuskan dalam pasal 5 ayat 1 dan pasal 20 ayat 1 serta pasal 21 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 5 ayat 1 “Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dgn persetujuan DPR” Pasal 20 ayat 1 “Tiap-tiap UU menghendaki persetujuan DPR” Pasal 21 ayat 1 “Anggota-anggota DPR berhak memajukan rancangan UU” Berdasarkan hal diatas presiden mempunyai kekuasaan membuat UU asal DPR menyetujuinya. Sedangkan anggota DPR dapat memajukan RUU. Kalau kita menganut prinsip negara hukum yaitu Trias Politica nampaklah jelas bahwa kekuasaan membuat UU ada ditangan legislatif (DPR) bukan ditangan eksekutif (Presiden). Dengan demikian jelas UUD 45 pra amandemen yg memberi wewenang membentuk UU kepada Presiden tidak tepat dan menurut saya justru bertentangan dgn prinsip negara hukum dalam rangka menghindari terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Setelah UUD 1945 di amandemen menjadi UUD Negara RI 1945 maka pasal 5, 20, 21 dihapuskan sebagai berikut : Pasal 5 “Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR” Pasal 20 berbunyi : 1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk UU.
  • 16. 2) Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. 3) Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. 4) Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU. 5) Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Pasal 21 (1) “Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU. Pasal 22 D “DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yg berkaiatan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berdasarkan pasal-pasal diatas, maka jelas dulunya kekuasaan membentuk UU ada ditangan Presiden sekarang beralih kekuasaan ada ditangan DPR. Dengan demikian, DPR lah yg berkuasa membentuk UU, sedangkan Presiden hanya berhak mengajukan RUU. Namun demikian kekuasaan tersebut dibatasi karena setiap RUU yang diinisiatifi oleh DPR maupun presiden harus dibahas dulu dan disetujui bersama DPR dan Presiden. Dengan adanya pembahasan bersama maka kekuasaan DPR dlm membentuk UU dapat dihindari kesewenangan DPR. Selanjutnya setelah RUU tsb disetujui bersama, maka disahkan oleh presiden (Pasal 20 ayat 4) Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat 5). Contoh Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi Riau Kepulauan, yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, sudah dibahas dan disetujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, namun tidak disahkan oleh Presiden, dan setelah batas waktu 30 hari diberlakukan. Disini nampaknya ada nuansa politiknya. Apapun alasannya hukum adalah produk politik berupa peraturan peraturan perundang- undangan. Untuk itu pengaruh politik, ekonomi, sosial budaya, lingkungan lokal dan global, birokrasi serta kepentingan keseimbangan kekuasaan. Penjelasan: Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Riau Kepulauan merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, dan dalam prosesnya terdapat perbedaan pendapat dan pendekatan antara DPR, Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang terkait, khususnya Kabupaten Natunayang menolak bergabung menjadi Provisni Riau Kepulauan, bahkan memunculkan polemik di daerah dan penolakan dari Gubernur dan DPRD Provinsi Riau. Dalam pembahasan di DPR, Pemerintah berpendapat bahwa inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Provinsi Riau Kepulauan prosesnya tidak mendasarkan atau tidak sesuai dengan tata cara dan persyaratan pembentukan daerah otonom (PP 29/1999), diantaranya tidak ada persetujuan dan usul tertulis dari Gubernur Riau dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat berpendapat usulan tersebut sesuai dengan aspirasi masyarakat yang didasarkan usul Bupati dan Walikota terkait bersama DPRDnya, diluar Kabuaten Natuna.
  • 17. Disisi lain, DPR menyatakan bahwa usul pemebentukan Provinsi Riau Kepulauan adalah merupakan INISIATIF DPR dan sesuai dengan UUD 45 bahwa kekuasaan membentuk Undang-Undang ada ditangan DPR, dan ironisnya terbesit penegasan bahwa DPR tidak terikat pada PP 29/1999. Dengan demikian, ada unsur kekuatan politik dan bias pemahaman terhadap kekuasaan membentuk Undang-Undang, dan mempengaruhi proses dan prosedur pembentukan Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi Riau Kepulauan. Dengan pengertian lain, pendekatannya mengutamakan kepentingan politis (pemenuhan janji Dewan Perwakilan Rakyat kepada masyarakat). Pembahasan berlanjut dengan menghasilkan kesepakatan dan persetujuan bersama yang dilakukan berdasarkan kompromi atau bargaining politik yang cenderung mengakomodir kepentingan politik. b. Lembaga pembentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Disini berkaitan dengan lembaga atau pejabat yg diberi kekuasaan atau kewenangan menetapkan atau mengeluarkan peraturan sesuai dengan hirarki peraturan perUUan Kekuasaan dan kewenangan dalam membentuk Perpu diatur pada pasal 22 ayat 1 UUD RI 1945) Bunyi pasal tersebut sebagai berikuti “dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu (ayat 1). Perpu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut (ayat 2). Jika tidak mendapat persetujuan maka Perpu itu harus dicabut (ayat 3) Batas waktu pemberlakuan Perpu singkat dan harus diajukan kepada DPR dalam bentuk RUU untuk dibahas ssuai dengan mekanisme pembahasan RUU. Karena kebutuhan yang sangat mendesak, proses pembahasan di DPR dilakukan sangat cepat, dalam hal ini DPR hanya menolak dan menerima. Sebagaimana diketahui bahwa syarat adanya Perpu adalah adanya situasi kegentingan memaksa. Dewasa ini belum ada kriteria atau ukuran baku untuk menetapkan kegentingan memaksa seperti keadaan perang, bencana alam nasional terorisme dan pemberontakan yang berakibat luas dan mengganggu kehidupan rakyat dan keutuhan NKRI. Pengertian kegentingan memaksa sekarang ini tidak jelas dan ditafsirkan sangat luas dan penetapannya dilakukan oleh presiden. Contoh Perpu menjadi UU yaitu Perpu No. 1 tahun 2004 (Perpu pertambangan di hutan lindung) kemudian disahkan menjadi UU No. 19 tahun 2004 c. Lembaga Pembentun Peraturan Pemerintah Pasal 5 ayat (2) UUD RI 1945 memberikan kewenangan kepada presiden menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dgn sebagaimana mestinya adalah muatan materi yg diatur dlm PP tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam UU yg bersangkutan. Dalam kewenangan membentuk PP atas perintah UU presiden tidak memiliki diskresi untuk mengatur muatan materi pelaksanaan diluar yg diperintahkan atau mengatur hal-hal yang baru. Mengingat jangkauan muatan materi Peraturan Pemerintah tidak mungkin mengatur hal-hal teknis pelaksanaan yang harus dilaksanakan oleh Presiden di dalam menyelenggarakan pemerintahan, maka sepanjang tidak bertentangan atau tidak mengatur hal-hal baru diluar
  • 18. yang telah ditentukan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dimungkinkan dapat memberikan perintah atau mendelegasikan materi muatan tertentu yang bersifat teknis pelaksanaan untuk diatur dan ditetapkan dengan : Peraturan Presiden atau Peraturan Perundang-undangan lain. Kepada Menteri/ Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang, dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan, Peraturan Pemerintah Juga dapat memberikan perintah atau mendelegasikan muatan materi tertentu kepada Pemerintahan Daerah, untuk diatur dengan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah. d. Lembaga Pembentuk Peraturan Presiden Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, menegaskan bahwa Peraturan Presiden 11 adalah Peraturan Perundang- undangan yang dibuat dan ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan muatan materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau melaksanakan Peraturan Pemerintah. Peraturan Presiden berisi muatan materi yang mengatur pelaksanaan dan/atau mengatur hal-hal teknis sebagai penjabaran dari Peraturan Perundangundangan yang memerintahkan. Peraturan Presiden juga dapat memerintahkan atau mendelegasikan muatan materi tertentu yang bersifat teknis operasional kepada Menteri atau pejabat yang diberi wewenang dan/atau kepada Pemerintahan Daerah. Contoh: Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, menindaklanjuti atau melaksanakan perintah langsung pasal 16 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. e. Lembaga Pembentuk Peraturan Daerah Perda dibentuk oleh pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerahnya. Hal ini datur dalam Pasal 18 ayat 6 UUD RI 1945 Bunyi Pasal tersebut sebagai berikut “pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan” Rumusan Pemerintahan Daerah menurut pasal ini membingungkan, karena secara umum pengertian pemerintahan daerah adalah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, bukan lembaga. Nampaknya, perumus Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memberikan pengertian pemerintahan daerah sama dengan pengertian pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Pemerintahan Daerah adalah Dewan Pewakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah. Walapun pengertian pemerintahan daerah menjadi ganjalan, maka solusi untuk mengurangi ganjalan dimaksud, pengertian pemerintahan daerah ditegaskan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa ”Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah…”. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
  • 19. Secara eksplisit pasal 1 angka 7 ini menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membentuk Perda. Dengan adanya kalimat dengan persetujuan bersama Kepala Daerah secara implisit mengandung makna bahwa lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat diartikanmemiliki fungsi legislasi yang sebangun dengan fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Yang harus dipahami bersama, bahwa pengertian sebangun disini harus dipahami tidak mengandung makna bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah kepanjangan tangan atau memiliki hirarki dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dengan demikian dalam proses pembentukan Peraturan Daerah, tahapan proses dan prosedurnya dapat dilakukan dengan mempedomani ketentuan Peraturan Perundang- undangan yang mengatur tahapan proses dan prosedur pembentukan Undang-Undang MATERI PERDA : Diatur ndalam Pasal 12 UU No. 10 tahun 2004. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, menjelaskan bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus (khas) daerah, serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 12 tersebut memberikan jawaban bahwa pada hakekatnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melaksanakan fungsi legislasi di tingkat daerah, dan bukan lembaga Legislasi sebagaimana konsep pembagian kekuasaan lembaga tinggi negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Namun demikian, apabila dikaji secara mendalam, tersirat bahwa perumus Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, berkeinginan secara eksplisit memberikan landasan hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk memiliki fungsi legislasi (kekuasaan membentuk Perda) yang sebangun dengan fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di dalam pembentukan Undang-Undang. Kedudukan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebenarnya secara eksplisit dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dan Peraturan Perundang-undangan lain. Hal ini dapat dilihat dari : 1) Pasal 18 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang dijabarkan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan legalitas keberadaan DPRD. 2) Beberapa pasal yang berkait dengan DPRD dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 22 A dijabarkan dengan Undang Undang Nomor 10 tahun 2004, dan Khusus pasal 22 E ayat (2) dan ayat (3) dijabarkan dengan Undang-Undang Pemilu dan Undang Undang Susduk. f. Lembaga Pembentuk Peraturan Peraturan perundang-undangan Diluar Hirarki Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, menjelaskan bahwa terdapat jenis Peraturan Perundang-undangan lain diluar hirarki Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
  • 20. Peraturan peraturan perundang-undnagan yang dimaksud sebagai berikut : 1) Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat 2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat 3) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah 4) Peraturan Mahkamah Agung, 5) Peraturan Mahkamah Konstitusi 6) Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan 7) Peraturan Gubernur Bank Indonesia, 8) Peraturan Menteri 9) Peraturan Kepala Badan 10) Peraturan Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, 11) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi 12) Peraturan Gubernur 13) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, 14) Peraturan Bupati 15) Peraturan Walikota, 16) Peraturan Kepala Desa atau yang setingkat. PENGUNDANGAN DAN DAYA IKAT SERTA PENYEBARLUASAN A. Landasan dan tujuan pengundangan Landasan bagi perlunya pengundangan : Setiap orang dianggap mengetahui UU (teori fictie hukum = een ieder wordt geacht de wette kennen, nemo ius ignorare consetur= in dubio proreo, latin). Alasannya adalah karena UU dibetuk oleh atau dgn persetujuan wakil2 rakyat maka rakyat dianggap mengetahui UU Pengundangan : Ialah pemberitahuan secara formal suatu peraturan negara dgn penempatannya dlm suatu penerbitan resmi yg khusus utk maksud itu sesuai dgn ketentuan yg berlaku. Dengan pengundangan maka : 1. Peraturan negara itu telah memenuhi prinsip pemberitahuan formal, 2. Peraturan negara itu telah memenuhi ketentuan sbg peraturan negara, 3. Prosedur pembentukan yg disyaratkan bagi peraturan negara itu sudah dicukupi 4. Peraturan negara itu sudah dpt dikenali (kenbaar) sehingga dengan demikian peraturan negara tersebut mempunyai kekuatan mengikat. Tujuan pengundangan : 1. Agar secara formal setiap orang dapat dianggap mengenali peraturan negara, 2. Agar tidak seorangpun berdalih tidak mengetahuinya, 3. Agar ketidak tahuan seseorang akan peraturan hukum tsb tdk memaafkannya. Pengumuman : Adalah pemberitahuan secara material suatu peraturan negara kpd khalayak ramai dgn tujuan utama mempermaklumkan isi peraturan tsb seluas-luasnya. Pengumuman dpt dilakukan dgn berbagai cara, dengan menyebarluaskannya, dengan menguar- uarkannya, dan dgn cara lain sbgnya.
  • 21. Tujuan pengumuman adalah agar secara material sebanyak mungkin khlayak ramai mengetahui peraturan negara tsb dan memahami isi serta maksud yg terkandung ddi dalamnya. Dalam sejarah perUUan negara RI peralihan istilah “pengumuman” ke “pengundangan” terjadi pada sekitar beralihnya negara RIS dengan konstitusi RIS kepada negara Indonesia kesatuan dengan UU Dasar Sementara 1950. Lembaran negara tahun 1950 No. 62 yang memuat PP No. 24 tahun 1950 yg ditetapkan tanggal 14 Agustus 1950 dan diundangkan tanggal 16 Agustus 1950 oleh Menteri Kehakiman Lembaran Negara tahun 1950 No. 63 yg memuat UU Darurat No. 31 tahun 1950 yg ditetapkan tanggal 23 Agustus 1950 dan diundangkan tanggal 25 Agustus 1950 oleh menteri Kehakiman yang sama Supomo, sudah menggunakan istilah diundangkan. Perubahan istilah tersbeut sudah berlaku sampai sekrang. Begitu juga dengan berlakunya UU No 10 tahun 2004 maka juga menggunakan istilah diundangkan dan pelaksanaan pengundangan beralih dari Menteri Sekretaris Negara menjadi Menteri yg bertugas dibidang perundang-undangan dan tidak ada lagi mengenal istilah pengumuman Tempat pengundangan dan jenis peraturan yg diundangkan menurut UU No. 10 atahun 2004 : 1. Lembaran negara RI 2. Berita Negara RI 3. BLembaran Daerah 4. Berita Daerah 5. Tempat pengundangan (lihat pasal 45) Tempat pengundangan dan jenis peraturan yg diundangkan : - Dalam Lembaran Negara RI : 1. UU/Perpu 2. PP 3. Perpres mengenai : a) ratifikasi perjanjian internasional, b) keadan bahaya 4. Peraturan perUUan lain yg menurut peraturan perUUan yg berlaku harus diundangkan dlm lebaran negara RI dan peraturan perUUan lain yang menurut peraturan perundang-undangan yg berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara RI. Pasal 46 : Pengundangan dilakukan oleh menteri hukum dan HAM (Pasal 46) Pasal 47 : Tambahan LN memuat penjelasan peraturan perUUan yang dimuat dalam lembaran negara RI, sedangkan tambahan berita negara RI memuat penjelasan peraturan perUUan yg dimuat dalam berita negara Pasal 49 : •Peraturan perUUan yg dindangkan dlm lembaran daerah adalah Perda •Peraturan Gubernur, peraturan Bupati/Walikota atau peraturan lain dibawahnya dimuat dalam Berita Daerah •Pengundangan Perda dalam lembaran daerah dan berita daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah •Menurut penjelasan pasal 49 (2) peraturan perUUan yg diundangkan dlm berita daerah misalnya peraturan nagari, perdes atau peraturan gampong dilingkungan daerah yg bersangkutan. Hubungan pengundangan dan daya ikat : Dengan adanya pengundangan bagi suatu peraturan perundang-undangan yaitu dengan penempatannya di dalam lembaran negara RI, maka peraturan perundang-undangan tersebut dianggap mempunyai daya laku serta daya ikat bagi setiap ora
  • 22. Sehubungan dgn masalah pengundangan dan daya ikat tsb dapat dijumpai adanya tiga variasi yaitu : 1. Apabila dl suatu peraturan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan, maka dlm hal ini peraturan tsb mempunyai daya ikat pada tanggal yang sama dengan tanggal pengundangannya, Contoh, apabila suatu UU diundangkan pd tgl 10 Nop 2006 dan dinyatakan berlaku pd tgl diundangkan maka pada tgl 10/11 2006 tsb UU ini mulai berdaya laku serta berdaya ikat (mengikat umum ) 2. Berlaku beberapa waktu setelah diundangkan apabila dlm suatu peraturan dinyatakan berlaku beberapa waktu setelah diundangkan maka dlm hal ini peraturan tsb mempunyai daya laku pada tgl diundangkan tsb, akan tetapi daya ikatnya setelah tgl yang telah ditentukan tersebut. Contoh apabila suatu UU diundangkan pd tgl 10 Nopember 2006 dan dinyatakan berlaku 30 hari kemudian, maka UU itu mempunyai daya laku pada sejak tgl 10 Nop 2006 akan tetapi UU tsb baru berdaya ikat (mengikat umum) pada tgl 10 Desember 2006. 3. Berlaku pada tanggal diudangkan dan berlaku surut sampai tanggal yang tertentu Apabila suatu peraturan ditentukan demikian, maka hal ini berarti bahwa peraturan tsb mempunyai daya laku sejak tgl diundangkan akan tetapi dalam hal2 tertentu ia mempunyai daya ikat yg berlaku surut sampai tgl yg ditetapkan tadi. Apabila suatu peraturan tersebut dinyatakan berlaku surut maka ketentuan saat/waktu berlaku surutnya peraturan tsb hrs dinyatakan secara tepat/pasti, misalnya berlaku surut sampai dgn tgl 1 Januari 2006, oleh karena ini berhubungan erat dgn adanya kepastian hukum. Contoh : Apabila suatu UU diundangkan pd tgl 10 Nop 2006 dan dinyatakan berlaku pd tgl diundangkan serta dinyatakan berlaku surut sampai pd tgl 1 Januari 2006 maka UU tsb mempunyai daya laku dan daya ikat mulai tgl 10 Nop 2006 tsb serta berlaku surut sampai dgn tgl 1 Januari 2006. Proses pengundangan peraturan perUUan menurut Perpres No 1 tahun 2007 1. Naskah UU yg telah disahkan Presiden disampaikan oleh menteri sekretaris negara kepada menteri utk diundangkan dlm LN RI 2. Naskah Perpu dan PP yg telah ditetapkanoleh presiden disampaikan oleh menteri sekretaris negara kpd menteri utk diundangkan dlm LNRI 3. Naskah Perpres yg telah ditetapkan Presiden disampaikan oleh sekretaris kabinet kepada menteri utk diundangkan dlm LNRI 4. Naskah peraturan perUUan lainnya yg telah ditetapkan oleh pimpinan lembaga (Psl 46 ayat 1) disampaikan kpd menteri utk diundangkan dlm LN RI 5. Menteri yg tugas dasn tanggungnya dibidang perUUan (Menkumham) kemudian akan membubuhkan tanda tangan pd naskah UU, Perpu, PP, Perpres serta peraturan lembaga tsb dan menempatkannya dlm LNRI dgn membubuhkan nomor dan tahunnya serta menempatkan penjelasannya serta nomor dlm tambahan LN 6. Naskah peraturan menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen dan perundang lainnya yg telah ditetapkan diberi nomor dan tahunnya disampaikan kpd menteri utk selanjutnya diundangkan dgn penempatannya dlm berita negara RI. Slide 16 Penyebarluasan peraturan perUUan menurut UU No. 10 tahun 2004 1. Diatur dlm Pasal 51 berbunyi pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perUUan yg telah diundangkan dlm LN RI atau Berita Negara
  • 23. 2. Selanjutnya dlm penjelasan pasal 51 berbunyi, “yg dimaksud dgn menyebarluaskan adalah agar khlayak ramai mengetahui peraturan perundang-undnagan tsb dan mengerti/memahami isi serta maksud yg terkandung didalamnya, misalnya dilakukan dgn melalui media elektronik, Televisi, radio dan media cetak 3. Didaerah (Perda) dilakukan oleh pemda baik yg sdh diundangkan dlm Lembaran daerah maupun berita daera Penyebarluasan peraturan perUUan menurut Perpres No. 1 tahun 2007 1. Diatur dlm pasal 29 berbunyi “pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perUUan yg telah diundangkan dlm LN RI dan dalam berita negara RI, sedangkan pemda wajib menyebarluaskan peraturan perUUan yg telah diundangkan dlm LD dan peraturan dibawahnya yg telah diundangkan dlm berita daerah. 2. Misalnya dilakukan dgn melalui media elektronik, Televisi, radio dan media cetak.