1. PERGESERAN KOMPETENSI DI DUNIA KERJA
Ir. Ahmad Syafiq, MSc, PhD
Dinamika hubungan antara pendidikan tinggi dan dunia kerja menjadi pusat
kepedulian global karena
Teichler (1997; 1999); Yorke dan Knight (2006) mengobservasi perubahan penting
dalam dinamika hubungan antara pendidikan tinggi dan dunia kerja, terutama terkait
dengan jurang antara outcome pendidikan tinggi dan tuntutan kompetensi di dunia
kerja. Beberapa pergeseran penting yang terjadi meliputi terjadinya peningkatan
pengangguran terdidik baik pengangguran terbuka maupun terselubung sebagai akibat
dari massifikasi pendidikan tinggi, perubahan struktur sosio-ekonomi dan politik
global, serta perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga
menyebabkan terjadinya berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam hal
kualifikasi, kompetensi, dan persyaratan untuk memasuki dunia kerja.
Saat ini kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja lebih menekankan pada kualitas
softskills yang baik dibandingkan dengan kemampuan ilmu pengetahuan spesifik yang
tinggi, sejalan dengan munculnya fenomena menarik seperti diungkap Teichler (1999)
berikut ini:
1. Kemampuan mengatasi ketidakpastian (uncertainty) merupakan kunci untuk
bertahan di dunia kerja
2. Pengetahuan yang spesifik memiliki kecenderungan cepat menjadi usang
(obsolete), di sisi lain keterampilan umum yang bisa digunakan untuk
mengatasi masalah dalam konteks professional dan ketidakpastian pasar kerja
2. harus menjadi dasar sistem belajar mengajar di pendidikan tinggi
3. Persyaratan dunia kerja dewasa ini menunjukkan harmoni antara ekonomi
neoliberal yang global dan peningkatan tanggung jawab sosial serta solidaritas
secara bersamaan
4. Bergesernya anggapan bahwa pendidikan tinggi mempersiapkan seseorang
untuk bekerja menjadi mempersiapkan seseorang untuk hidup lebih baik,
karena kompetensi yang dibutuhkan untuk bekerja saat ini begitu luas dan
kompleks sehingga mempunyai hubungan langsung dengan kebutuhan untuk
kehidupan itu sendiri
5. Persyaratan kerja yang baru tampak semakin universal
Sejalan dengan itu, Paul dan Murdoch (1992) menjelaskan bahwa dalam menghadapi
dunia kerja, seorang lulusan perguruan tinggi harus dilengkapi dengan kualifikasi
softskills berikut ini agar dapat bertahan dan unggul dalam kompetisi:
1. Pengetahuan umum dan penguasaan bahasa Inggris
2. Keterampilan komunikasi meliputi penguasaan komputer dan internet,
presentasi audiovisual, dan alat-alat komunikasi lain
3. Keterampilan personal meliputi kemandirian, kemampuan komunikasi dan
kemampuan mendengar, keberanian, semangat dan kemampuan kerjasama
dalam tim, inisiatif, dan keterbukaan
4. Fleksibilitas dan motivasi untuk maju yaitu kemampuan beradaptasi sesuai
perubahan waktu dan lingkungan serta keinginan untuk maju sebagai
pimpinan
Menarik untuk dikemukakan bahwa meskipun ada kecenderungan preferensi terhadap
3. spesifisitas dan monodisiplinaritas di kalangan mahasiswa dan lulusan, tetapi pada
saat lulusan ditanya mengenai kompetensi yang dibutuhkan dalam dunia kerja,
ternyata kompetensi terkait softskills merupakan kompetensi yang dipersepsi sebagai
sangat dibutuhkan oleh dunia kerja (Tabel 9). Enam kompetensi teratas yang menurut
lulusan dibutuhkan di dunia kerja adalah bahasa Inggris, komputer, keterampilan
komunikasi oral, kepemimpinan, ketrampilan komunikasi tertulis, dan kerjasama
lintas sektor. Sedangkan kompetensi yang terkait ilmu kesehatan masyarakat berada
di urutan berikutnya seperti pengetahuan praktis spesifik peminatan, perencanaan
program kesehatan, statistik, pengetahuan teoritis peminatan, metodologi penelitian,
manajemen organisasi kesehatan, dan proses pemberdayaan masyarakat.
Tabel 9. Persepsi terhadap penguasaan dan kebutuhan kompetensi
Kompetensi
Kebutuhan Penguasaan
Sangat
dibutuhkan
Dibutuhkan
Kurang
dibutuhkan
Sangat
dikuasai
Dikuasai
Kurang
dikuasai
Bahasa Inggris 86,3 13,7 0,0 6,9 52,3 40,8
Komputer 85,9 14,1 0,0 6,1 73,7 20,2
Ketrampilan komunikasi oral 79,0 21,0 0,0 10,7 60,3 29,0
Kepemimpinan/leadership 70,6 28,6 0,8 7,3 53,4 39,3
Ketrampilan komunikasi tertulis 63,0 35,1 1,9 5,0 64,1 30,9
Kerjasama lintas sektor 52,3 40,5 7,3 5,3 34,7 59,9
Penget. praktis spesifik 47,3 40,8 11,8 2,3 50,4 47,3
Perencanaan program kes. 46,6 41,2 12,2 2,3 43,1 54,6
Statistik 44,3 42,7 13,0 4,6 53,8 41,6
Pengetahuan teoritis 37,8 47,3 14,9 5,3 66,8 27,9
Metodologi penelitian 37,4 46,9 15,6 6,1 69,8 24,0
Manajemen organisasi kes. 37,0 50,0 13,0 2,7 40,1 57,3
Proses pemberdayaan masy. 30,2 55,0 14,9 2,7 32,4 64,9
Kellerman dan Sagmeister (2000) menyebutkan bahwa ketidakpuasan terkait dengan
kesenjangan antara substansi yang diperoleh dari kuliah dengan kompetensi yang
4. dibutuhkan di dunia kerja dapat disebabkan oleh pertama, kenyataan bahwa sistem
pendidikan tinggi memiliki jarak dengan dunia kerja sehingga indikator-indikator
keberhasilan studi tidak dapat mengantisipasi kompetensi lulusan yang diperlukan
untuk bekerja (under qualification), atau kedua, dunia kerja mungkin tidak
diorganisasikan dengan baik sehingga keterampilan lulusan tidak dapat dimanfaatkan
secara efisien (under utilization), atau kemungkinan ketiga adalah lulusan memiliki
kemampuan yang melebihi syarat kompetensi di dunia kerja (over qualification).
Pentingnya soft-skills
Baik hardskills maupun softskills merupakan prasyarat kesuksesan seorang sarjana
dalam menempuh kehidupan setelah selesai pendidikan. Hardskills terutama
menekankan aspek kognitif dan keahlian khusus menurut disiplin keilmuan tertentu,
sedangkan softskills merupakan perilaku personal dan interpersonal yang diperlukan
untuk mengembangkan dan mengoptimalkan kinerja seorang manusia.Pumphrey dan
Slatter (2002) menengarai bahwa soft skills memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Bersifat generik, dalam arti digunakan dalam berbagai penyelesaian tugas yang
berbeda.
• Dapat ditransfer dan diterapkan dalam berbagai aktivitas pelaksanaan tugas,
disebut juga sebagai keterampilan hidup (life skills).
• Merupakan keterampilan atau atribut yang terdapat dalam aktivitas seperti
pemecahan masalah, komunikasi, pemanfaatan teknologi, dan bekerja dalam
kelompok.
• Dapat dipromosikan sebagai keterampilan yang memberi kontribusi dalam
‘pembelajaran seumur hidup’ ('life long learning').
• Dapat dimiliki dan digunakan oleh pengusaha dan organisasi pemerintah.
5. • Dapat ditransfer dalam berbagai konteks yang berbeda oleh orang-orang yang
memiliki latar belakang disiplin ilmu, profesi dan jabatan yang berbeda-beda.
Soft-skills juga memainkan peranan penting sebagai faktor pembeda lulusan yang
dinilai memuaskan atau tidak oleh atasannya. Studi Tracer menemukan bahwa semua
atasan menyatakan puas atau sangat puas dengan bawahan lulusan FKMUI dan
lulusan FKMUI dianggap memiliki kompetensi yang baik dalam arti bisa diajak
diskusi, tidak perlu banyak pengarahan, daya tangkap cepat, hasil kerja
membanggakan, dan lebih fokus, kesemuanya adalah aspek yang lebih berdimensi
soft-skills daripada hard-skills. Meskipun jika dibandingkan dengan lulusan non
FKMUI hampir sama saja, tetapi atasan yang menilai bahwa lulusan FKMUI lebih
mudah berinteraksi dengan rekan kerja dari berbagai latar belakang dan juga lebih
mudah mengerti jika diberikan tugas. Dimensi soft-skills lulusan FKMUI yang dinilai
relatif tinggi oleh atasannya tersebut mungkin ada hubungannya dengan sifat
multidisiplinaritas dan karakteristik pembelajaran FKMUI yang masih generik pada
saat itu. Berikut pendapat atasan mengenai lulusan FKMUI terkait dengan kepuasan
dan penilaian atasan.
“........ di UI, mhs dididik untuk selalu diskusi, itu manfaat sekali...” (Atasan lulusan S1,
Instansi Pemerintah)
”.... lulusan FKMUI itu bisa langsung kerja tanpa perlu banyak pengarahan. Mereka cepat..”
(Atasan lulusan S1, Instansi Pemerintah)
“........ bagus, terutama yang saat di mhs nya aktif berorganisasi...” (Atasan lulusan S1, Instansi
Perguruan Tinggi)
6. ”.... lebih dari lulusan lain. Daya tangkap lebih cepat. Kalo yang lain disuruh agak harus
berkali-kali. ..” (Atasan lulusan S1, Instansi Perguruan Tinggi)
Di samping kelebihan dari lulusan FKMUI, informan atasan memberikan penilaian
juga mengenai aspek yang harus ditingkatkan oleh bawahan lulusan FKMUI termasuk
dari segi perencanaan, pengolahan data dan statistik, pengalaman riil di lapangan,
aspek kepribadian dan beberapa aspek soft-skills lainnya seperti keaktifan dan
inisiatif. Temuan ini semakin menegaskan pentingnya kemampuan yang bersifat
multidisiplin serta pentingnya soft-skill di dunia kerja. Berikut kutipan dari atasan
lulusan S1 mengenai usulan dan perbaikan bagi lulusan S1 FKMUI.
“........ Cuma kalau diminta masukan adalah, lebih ke aktif dan punya inisiatif
ya...” (Atasan lulusan S1, Instansi Swasta)
” ....Perbanyak riset yang membiasakan mhs terlibat di dunia kerja dan
tingkatkan bekerja sama dengan industri...” (Atasan lulusan S1, Instansi Swasta)
“…terus dibekali itu tadi, entrepreneurship itu penting. Dikasih banyak
kegiatan di luar kuliah, semakin banyak kegiatan semakin bagus…” (Atasan
lulusan S1, Instansi Perguruan Tinggi)
“....pengetahuannya harus bisa dia hubungkan dengan dunia praktek. Saya
sering menemukan teorinya begini, prakteknya begini tapi dia tidak bisa
mendapatkan korelasi.... Daya analisis kurang, tapi pengetahuan saya kira
cukup....” (Atasan lulusan S1, Instansi Swasta)
Teichler (1997; 1998) menyampaikan hasil survei di Eropa yang menunjukkan bahwa
terlepas dari spesialisasi pendidikannya, lulusan perguruan tinggi diharapkan dapat
7. fleksibel mampu dan mau memberikan kontribusi terhadap inovasi; mampu mengatasi
ketidakpastian; siap untuk belajar sepanjang hidup; memiliki sensitifitas sosial dan
keterampilan komunikasi; mampu bekerja dalam kelompok bertanggung jawab;
menyiapkan diri untuk menghadapi kompetisi internasional; memiliki pengetahuan di
luar wilayah spesifik keahliannya; mengerti bagaimana cara mengkombinasikan
berbagai disiplin; dan kreatif.