SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  42
Télécharger pour lire hors ligne
STANDAR PELAYANAN PUBLIK DI DAERAH1
                                 oleh: Yogi S2 & M. Ikhsan3


I. Pelayanan Publik
a. Pengertian
        Dalam konteks ke-Indonesia-an, penggunaan istilah pelayanan publik (public
service) dianggap memiliki kesamaan arti dengan istilah pelayanan umum atau
pelayanan masyarakat. Oleh karenanya ketiga istilah tersebut dipergunakan secara
interchangeable, dan dianggap tidak memiliki perbedaan mendasar.
        Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan pengertian pelayanan bahwa
“pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang
diperlukan orang lain. Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000) didefinisikan
sebagai “a system that provides something that the public needs, organized by the
government or a private company”. Oleh karenanya, pelayanan berfungsi sebagai
sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
        Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public), terdapat
beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa Indonesia, yaitu umum,
masyarakat, dan negara. Public dalam pengertian umum atau masyarakat dapat kita
temukan dalam istilah public offering (penawaran umum), public ownership (milik
umum), dan public utility (perusahaan umum), public relations (hubungan masyarakat),
public service (pelayanan masyarakat), public interest (kepentingan umum) dll.
Sedangkan dalam pengertian negara salah satunya adalah public authorities (otoritas
negara), public building (bangunan negara), public revenue (penerimaan negara) dan
public sector (sektor negara) 4 . Dalam hal ini, pelayanan publik merujukkan istilah
publik lebih dekat pada pengertian masyarakat atau umum. Namun demikian pengertian
publik yang melekat pada pelayanan publik tidak sepenuhnya sama dan sebangun
dengan pengertian masyarakat. Nurcholish (2005: 178) memberikan pengertian publik
sebagai sejumlah orang yang mempunyai kebersamaa berfikir, perasaan, harapan, sikap
dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.


1
  Tulisan ini dimuat dalam salah satu Bab pada Handbook Manajemen Pemerintahan Daerah. terbitan
PKKOD-LAN, 2006.
2
  Dosen Tetap STIA-LAN untuk mata kuliah Difusi Inovasi dalam Pemerintahan, dan Peneliti pada Pusat
Kajian Administrasi Internasional
3
  Dosen STIA-LAN untuk mata kuliah Keuangan Daerah dan Manajemen BUMN & BUMD
4
  Lihat lebih detail di Nurcholis (2005) hal. 175.


                                                -1-
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN)
Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan publik yaitu segala
kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
             Selanjutnya dalam Oxford (2000) dijelaskan pengertian public service sebagai
“a service such as transport or health care that a government or an official
organization provides for people in general in a particular society”.
             Fungsi pelayanan publik adalah salah satu fungsi fundamental yang harus
diemban pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Fungsi ini juga diemban
oleh BUMN/BUMD dalam memberikan dan menyediakan layanan jasa dan atau barang
publik
             Dalam konsep pelayanan, dikenal dua jenis pelaku pelayanan, yaitu penyedia
layanan dan penerima layanan. Penyedia layanan atau service provider (Barata, 2003:
11) adalah pihak yang dapat memberikan suatu layanan tertentu kepada konsumen, baik
berupa layanan dalam bentuk penyediaan da penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa
(services). Penerima layanan atau service receiver adalah pelanggan (customer) atau
konsumen (consumer) yang menerima layanan dari para penyedia layanan.
             Adapun berdasarkan status               keterlibatannya dengan pihak yang melayani
                                                 5
terdapat 2 (dua) golongan pelanggan , yaitu:
(a) pelanggan internal, yaitu orang-orang yang terlibat dalam proses penyediaan jasa
       atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan, pencitaan jasa atau pembuatan
       barang, sampai dengan pemasaran barang, penjualan dan pengadministrasiannya.
       dan
(b) pelanggan eksternal, yaitu semua orang yang berada di luar organisasi yang
       menerima layanan penyerahan barang atau jasa.
             Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan swasta. Namun
demikian terdapat persamaan di antara keduanya, yaitu:
       a. keduanya        berusaha       memenuhi        harapan   pelanggan,   dan   mendapatkan
             kepercayaannya;
       b. Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup organisasi.



5
    Lihat lebih detail di Barata (2003). hal 11-13


                                                       -2-
Sementara karakteristik khusus dari pelayanan publik yang membedakannya
dari pelayanan swasta adalah:
   a. Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak nyata. Misalnya
       perijinan, sertifikat, peraturan, informasi keamanan, ketertiban, kebersihan,
       transportasi dan lain sebagainya.
   b. Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan membentuk
       sebuah jalinan sistem pelayanan yang bersaka regional, atau bahkan nasional.
       Contonya dalam hal pelayanan transportasi, pelayanan bis kota akan bergabung
       dengan pelayanan mikrolet, bajaj, ojek, taksi dan kereta api untuk membentuk
       sistem pelayanan angkutan umum di Jakarta.
   c. Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan organisasi
       pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia pelayanan berlaku prinsip
       utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal. Namun situasi
       nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokkan
       petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal.
   d. Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan peningkatan
       mutu pelayanan. Semakin tinggi mutu pelayanan bagi masyarakat, maka
       semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan
       demikian akan semakin tinggi pula peran serta masyarakat dalam kegiatan
       pelayanan.
   e. Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung,
       yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengembangan pelayanan.
       Desakan untuk memperbaiki pelayanan oleh polisi bukan dilakukan oleh hanya
       pelanggan langsung (mereka yang pernah mengalami gangguan keamanan saja),
       akan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat.
   f. Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan
       masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing.


b. Ruang Lingkup
       Secara umum, pelayanan dapat berbentuk barang yang nyata (tangible), barang
tidak nyata (intangible), dan juga dapat berupa jasa. Layanan barang tidak nyata dan
jasa adalah jenis layanan yang identik. Jenis-jenis pelayanan ini memiliki perbedaan
mendasar, misalnya bahwa pelayanan barang sangat mudah diamati dan dinilai
kualitasnya, sedangkan pelayanan jasa relatif lebih sulit untuk dinilai. Walaupun


                                           -3-
demikian dalam prakteknya keduanya sulit untuk dipisahkan. Suatu pelayanan jasa
biasanya diikuti dengan pelayanan barang, misalnya jasa pemasangan telepon berikut
pesawat teleponnya, demikian pula sebaliknya pelayanan barang selalui diikuti dengan
pelayanan jasanya.
           Namun demikian, secara garis besar, pelayanan dibedakan menjadi 2 (dua) jenis
saja, yaitu barang dan jasa. Berikut ini adalah karakteristik pelayanan dari Gronroos
(1990) yang menjelaskan perbedaan antara pelayanan barang dan jasa.
                                         Tabel 1
                      Perbedaan Karakteristik antara Barang dan Jasa

                      Barang                                   Jasa
    Sesuatu yang berwujud                    Sesuatu yang tidak berwujud
 Satu jenis barang dapat berlaku untuk Satu bentuk pelayanan kepada seseorang
 banyak orang (homogen)                  belum tentu sesuai/sama dengan bentuk
                                         jasa pelayanan kepada orang lain
                                         (heterogen)
 Proses produksi dan distribusinya Proses produksi dan distribusi pelayanan
 terpisah dengan proses konsumsi         berlangsung bersamaan pada saat
                                         dikonsumsi
 Berupa barang/benda                     Berupa proses/kegiatan
 Nilai utamanya dihasilkan di perusahaan Nilai utamanya dihasilkan dalam proses
                                         interaksi antara penjual dan pembeli.
 Pembeli pada umumnya tidak terlibat Pembeli terlibat dalam proses produksi
 dalam proses produksi
 Dapat disimpan sebagai persediaan       Tidak dapat disimpan
 Dapat terjadi perpindahan kepemilikan Tidak ada perpindahan kepemilikan
Sumber: Gronroos (1990)
           Lebih lanjut Savas6 (1987) mengelompokkan jenis-jenis barang dan jasa yang
dibutuhkan masyarakat dan individu ke dalam 4 (empat) kelompok berdasarkan konsep
exclusion dan consumption dalam hal pengelolaan penyedian pelayanan publik. Ciri dari
exclusion akan melekat pada barang/jasa jika pengguna potensialnya dapat ditolak
menggunakannya kecuali kalau yang bersangkutan dapat memenuhi persyaratan-
persyaratan yang ditentukan penyedianya. Barang/jasa tersebut hanya dapat dipindah
tangankan apabila terjadi kesepakatan antara pembeli dan pemasok. Sedangkan dari segi
consumption adalah bahwa barang konsumsi merupakan barang atau jasa yang dapat
dipergunakan secara bersama-sama atau kolektif oleh banyak orang tanpa ada
pengurangan kualitas maupun kuantitasnya.


6
    LAN. (2003). hal 10


                                            -4-
Tabel 2
                      Pengelompokan Barang dan Jasa
              berdasarkan Ciri Dasar Exclusion dan Consumption

                                                  Consumption
                    Exclusion              Konsumsi         Konsumsi
                                           Individual        Kolektif
           Mudah mencegah orang                            Barang semi
                                          Barang privat
           lain untuk ikut menikmati                         publik
           Sulit mencegah orang lain      Barang semi        Barang
           untuk ikut menikmati              privat          publik
         Sumber : Savas, (1987)
a. Barang privat
   Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual dan tidak dapat diperoleh
   oleh si pemakai tanpa persetujuan pemasoknya. Bentuk persetujuan biasanya
   dilakukan dengan penetapan dan negosiasi harga tertentu, serta transaksi
   pembelian. Contoh: makanan, pakaian.
b. Barang semi privat
   Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual, namun sulit mencegah
   siapapun untuk memperolehnya meskipun mereka tidak mau membayar, atau biasa
   disebut juga sebagai barang semiprivat. Contoh dari barang semiprivat ini adalah
   pembelian radio ketika dinyatakan, si pemilik tidak dapat mencegah orang lain
   untuk tidak ikut mendengarkan.
c. Barang semi publik
   Barang dan jasa jenis ini umumnya digunakan secara bersama-sama, namun si
   pengguna harus membayar dan mereka yang tidak dapat/mau membayar dapat
   dengan mudah dicegah dari kemungkinan menikmati barang tersebut. Semakin
   sulit atau mahal mencegah seseorang konsumen potensial dari pemanfaatan toll
   goods semakin serupa barang tersebut dangan ciri barang publik (Collective
   Goods). Atau biasa disebut juga dengan barang semi publik. Misal: jalan Toll,
   Jembatan Timbang
d. Barang publik
   Barang dan jasa ini umumnya digunakan secara bersama-sama dan tidak mungkin
   mencegah siapapun untuk menggunakannya, sehingga masyarakat (pengguna)


                                        -5-
pada umumnya tidak bersedia membayar berapapun tanpa dipaksa untuk
   memperoleh barang ini. Misal: jalan raya, taman
       Dari keempat pengelompokan barang tersebut, penyediaan jenis barang privat
dan semi privat, dapat murni dilakukan oleh swasta. Sedangkan penyediaan barang semi
publik dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Khusus untuk penyediaan
jenis barang publik haruslah oleh pemerintah.
       Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan
publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut:
a. Pendidikan.
b. Kesehatan.
c. Keagamaan.
d. Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan.
e. Rekreasi: taman, teater, musium, turisme.
f. Sosial.
g. Perumahan.
h. Pemakaman/krematorium.
i. Registrasi penduduk: kelahiran, kematian.
j. Air minum.
k. Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll.
       Dalam Kep. Menpan        No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan publik secara garis besar
adalah sebagai berikut:
1. Pelayanan administratif
2. Pelayanan barang
3. Pelayanan jasa
       Dari berbagai jenis pengelolaan pelayanan publik yang disediakan oleh
pemerintah tersebut, timbul beberapa persoalan dalam hal penyediaan pelayanan
publik. Persoalan-persoalan tersebut diidentifikasi Wright (dalam LAN, 2003: 16)
sebagai berikut:
1. Kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output maupun
   kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.
2. Pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian tinggi dalam hal
   teknologi produksi sehingga hubungan antara output dan        input tidak dapat
   ditentukan dengan jelas.


                                           -6-
3. Pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun
   kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut.
4. Berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan
   masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah
   berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah
   pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum
   masyarakat yang seharusnya dilayaninya.
       Di sisi lain, sektor swasta berperan dalam hal penyediaan barang dan jasa yang
bersifat privat. Situasi persaingan selalu timbul dalam penyelenggaraan penyediaan
barang dan jasa oleh sektor swasta. Ada kalanya pemerintah juga menyediakan layanan
barang privat. Untuk menghindari crowding out effect, dimana pemerintah lebih
berperan sebagai kompetitor pemain pasar lainnya, perlu diatur secara jelas, mana
barang dan jasa yang harus diserahkan ke swasta, mana yang dapat dikerjakan secara
bersama-sama, dan mana ang murni dikerjakan oleh pemerintah.


c. Paradigma Pelayanan
       Pelayanan publik adalah identik dengan representasi dari eksistensi birokrasi
pemerintahan, karena berkenaan langsung dengan salah satu fungsi pemerintah yaitu
memberikan pelayanan. Oleh karenanya sebuah kualitas pelayanan publik merupakan
cerminan dari sebuah kualitas birokrasi pemerintah. Di masa lalu, paradigma pelayanan
publik lebih memberi peran yang sangat besar kepada pemerintah sebagai sole provider.
Peran pihak di luar pemerintah tidak pernah mendapat tempat atau termarjinalkan.
Masyarakat dan dunia swasta hanya memiliki sedikit peran dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
       Pada tahun 1990-an terjadi reformasi di sektor publik. Hal ini terjadi karena
terjadi kesalahan dalam memahami (mitos) upaya perbaikan kinerja pemerintah.
Berkenaan dengan hal tersebut, Osborne & Plastrik (1996: 13) menjelaskan 5 mitos di
seputar reformasi sektor publik, yaitu:
   1. Mitos Liberal, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan yang
       lebih dan bekerja lebih banyak (spending more and doing more). Dalam
       kenyataannya, menganggarkan banyak uang kepada sistem yang disfuingsional
       tidak menghasilkan hasil yang signifikan.
   2. Mitos Konservatif, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan
       yang dikurangi dan bekerja lebih sedikit (spending less and doing less). Dalam


                                          -7-
kenyataannya, penghematan yang dilakukan pemerintah terhadap anggarannya
       tiak menolong kinerja pemerintah menjadi lebih baik.
   3. Mitos Bisnis, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalu penyelenggaraan
       pemeritahan yang meniru teknik penyelenggaraan bisnis. Dalam kenyataannya,
       walaupun metafora bisnis dan teknik manajemen seringkali menolong, namun
       ada perbedaan kritis antara realitas sektor publik dan bisnis.
   4. Mitos Pekerja, bahwa kinerja pegawai pemerintah dapat meningkat apabila
       mempunyai uang yang cukup. Dalam kenyataannya kita harus mengubah cara
       sumber daya dimanfaatkan jika kita ingin mengubah hasil.
   5. Mitos Rakyat, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui perekrutan sumber
       daya manusia yang lebih baik. Dalam kenyataannya, masalahnya bukan terletak
       pada sumber daya, akan tetapi sistemlah yang menjebak mereka.
       Oleh karenanya berkenaan dengan reformasi di sektor publik, salah satu prinsip
penting yang merubah paradigma pelayanan publik adalah prinsip streering rather than
rowing. Berkenaan dengan prinsip ini, pemerintah diharapkan untuk lebih berperan
sebagai pengarah daripada sekedar pengayuh. Fungsi pengayuh bisa dilakukan secara
lebih efisien oleh pihak lain yang profesional. Prinsip ini menjelaskan bahwa
pemerintah tidak dapat secara terus menerus bekerja sendirian, dan harus mulai
mengubah paradigma pelayanan agar tujuan dari penyelenggaraan pelayanan dapat
tercapai lebih baik lagi. Masih banyak prinsip-prinsip yang dikenalkan dalam konsep ini,
namun intinya adalah semuanya mengubah cara pandang kita terhadap cara kerja
pemerintahan.
       Semangat entrepreneurial government ini lebih didasarkan pada pengalaman
yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Amerika Serikat. Konsep lain
yang sebenarnya telah lebih dulu eksis dan memiliki kemiripan dengannya adalah New
Public Management (NPM) yang dipelopori oleh Inggris dengan gerakan privatisasi
pada masa kepemimpinan Margaret Thatcher. Pada masa Thatcher, privatisasi untuk
pertama kalinya diselenggarakan terhadap perusahaan milik negara dengan tujuan untuk
menyehatkan perusahaan negara. Gerakan ini menjadi tren di dunia manajemen BUMN.
Banyak negara yang kemudian meniru pola privatisasi Inggris ini, termasuk juga New
Zealand, dan menyebar ke seluruh dunia.
       Dengan paradigma baru di bidang pelayanan yang dilandasi oleh filosofi
entrepreneurial government dan new public management inilah maka cara pandang
tradisional terhadap peran pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik


                                           -8-
haruslah diubah. Osborne dan Plastrik (1996) menjelaskan 5 strategi penting untuk
mewujudkannya, yaitu:
      1. Strategi inti: menciptakan kejelasan tujuan
      2. Strategi konsekuensi: menciptakan konsekuensi untuk kinerja
      3. Strategi pelanggan: menempatkan pelanggan di posisi penentu
      4. Strategi pengendalian: memindahkan pengendalian dari puncak dan pusat
      5. Strategi budaya: menciptakan budaya wira usaha
           Dalam perspektif lain, secara umum pergeseran paradigma pelayanan adalah
pergeseran dari birokrasi yang “dilayani” menjadi birokrasi yang “melayani”. Fungsi
pelayanan yang diemban dan melekat pada birokrasi, tidak serta merta menempatkan
warga masyarakat sebagai kelompok pasif. Dalam hal ini partisipasi masyarakat dalam
pelayanan harus ditingkatkan, karena sejalan dengan misi pemberdayaan yang harus
lebih diutamakan (empowering rather than serving). Pemberdayaan ini akan menuntun
pada adanya peningkatan partisipasi warga masyarakat dalam pelayanan publik.
           Partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik dikenal dengan konsep co-
production. Konsep ini dikenal pertama kali dan dikembangkan sejak tahun 1980-an,
ketika pakar administrasi publik dan politik urban membangun teori yang menjelaskan
kegiatan kolektif dan peran kritis dari keterlibatan warga masyarakat dalam penyediaan
pelayanan barang dan jasa. Pada dasarnya teori co-production mengkonseptualisasi
pemberian layanan baik sebagai sebuah penataan maupun proses, di mana pemerintah
dan masyarakat membagi tanggung jawab (conjoint responsibility) dalam menyediakan
pelayanan publik 7 . Sehingga di sini kita tidak lagi membedakan warga masyarakat
sebagai pelanggan tradisional dengan pemerintah sebagai penyedia layanan. Kedua
pihak dapat bertindak sebagai bagian dari pemberi layanan.
           Secara singkat, teori co-production dalam pelayanan publik dapat dipahami
dengan memahami konsep-konsep pelanggan dan produksi di sektor publik, yaitu
consumer produser, regular producer dan co-production. Menurut Parks 8 consumer
producers adalah pihak yang berhubungan dengan produksi yang pada akhirnya akan
mengkonsumsi akhir dari produk yang dibuatnya. Di sisi lain, regular producers adalah
yang menyelenggarakan proses produksi, yang akan merubah output menjadi
pembayaran, yang pada akhirnya akan membelanjakannya untuk barang dasn jasa
lainnya. Dalam hal ini co-production memerlukan kedua pihak berkontribusi input pada

7
    Marschall. (2004). hal.232
8
    Kiser. 1980. hal.2.


                                            -9-
proses produksi untuk barang dan jasa tertentu. Dengan kata lain, dalam banyak
pelayanan, proses produksi output dan outcome memerlukan partisipasi aktif dari
penerima layanan barang dan jasa.
         Menurut Cooper sebagaimana dikutip oleh McLaverty (2002: 15) menjelaskan
bahwa partisipasi publik—terutama dalam proses pengambilan keputusan—adalah
sarana untuk memenuhi hak dasar sebagai warga. Pada akhirnya tujuan dari partisipasi
publik adalah untuk mendidik dan memberdayakan warga. Sedangkan menurut
Marschall (2004: 231), tujuan dari partisipasi publik adalah pada dasarnya untuk
mengkomunikasikan dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan sebagaimana
juga membantu dalam pelaksanaan pelayanan.
         Heller dalam Rich (1995: 660) menjelaskan dua bentuk dasar partisipasi, yaitu
partisipasi akar rumput (grass-root participation) yang mengacu pada organisasi dan
gerakan sosial yang didasarkan pada inisiatif warga yang memilih tujuan dan metoda
mereka     sendiri,   dan   partisipasi    mandat      pemerintah    (government-mandated
participation) yang melibatkan persyaratan hukum di mana akan ada kesempatan bagi
masukan warga terhadap pengambilan keputusan (kebijakan) atau pelaksanaan sebuah
lembaga.
         Secara sederhana Cooper (Lynch, 1983: 14-15) membedakan partisipasi ke
dalam partisipasi tidak langsung (indirect participation) dan partisipasi langsung (direct
participation).   Partisipasi    tidak    langsung,    misalnya,    partisipasi   dalam    hal
penyelenggaraan negara dengan memilih wakilnya untuk duduk di kursi parlemen.
Sama halnya ketika menyuarakan pendapat untuk kepentingan penyelenggaraan
pemerintah melalui media massa dan sebagainya. Sementara partisipasi langsung bisa
berupa keterlibatan secara langsung warga dalam penyelenggaraan pemerintah, seperti
menjadi komisi penasihat, aktivitas dengar pendapat, keterlibatan di kelompok-
kelompok      kepentingan       dan   partisipasi     dalam   lembaga     pemerintah      yang
menyelenggarakan kegiatan pemberian pelayanan umum.
         Oleh karenanya penyelenggaraan pelayanan umum haruslah mendapat dukungan
partisipasi dari masyarakat. Konsep partisipasi masyarakat terhadap fungsi pelayanan
yang diberikan pemerintah dapat berupa partisipasi dalam hal mentaati pemerintah,
membangun kesadaran hukum, kepedulian terhadap peraturan yang berlaku, dan dapat
juga berupa dukungan nyata dengan membantu secara langsung proses penyelenggaraan
pelayanan umum.



                                             - 10 -
Gambar berikut menjelaskan konsep dasar peran pemerintah sebagai penyedia
layanan umum dan peran warga masyarakat sebagai pengguna atau penerima layanan
sekaligus peran dalam membantu penyelenggaraan pelayanan publik (co-produser).


                                        Gambar 1
                           Partisipasi dalam Pelayanan Publik



                                       Service




            Government               co-producer                  Citizenry




                                       Participation


       Sumber: Suwarno, Yogi. (2005: 5).

       Dalam gambar di atas dikenal istilah co-produser, yang berarti penghasil jasa
atau layanan. Co-produser ini adalah warga atau sebagian dari warga masyarakat yang
terlibat dalam penyelenggaraan pemberian layanan umum, sebagai bentuk partisipasi.
Ini berangkat dari konsep ko-produksi yang dijelaskan oleh Ostrom. Dalam definisinya
Ostrom (1996: 86) menjelaskan bahwa “coproduction as the process through which
inputs used to produce a good or service are contributed by individuals who are not
“in” the same organization“ , yaitu bahwa co-production adalah proses di mana input
yang digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa diberikan oleh individu yang
bukan berasal dari organisasi yang sama. Keterlibatan warga dalam memproduksi
layanan—yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah—adalah termasuk kegiatan ko-
produksi dalam pelayanan umum.
       Sejalan dengan itu, Bjur dan Siegel dalam Lynch (1983: 41) telah meneliti
bahwa kegiatan co-produksi sebenarnya dapat dirancang untuk melayani berbagai jenis
tujuan dari partisipasi warga. Hal ini menunjukkan hubungan yang kuat antara
partisipasi warga dengan kegiatan pelayanan umum.




                                        - 11 -
Pentingnya peran aktif kedua belah pihak dalam menyelenggarakan pelayanan
publik dapat dijelaskan dalam konteks partisipasi. Partisipasi publik berhubungan erat
dengan kedua belah pihak; pemerintah dan masyarakat. Melalui sisi pemerintah, kita
bisa melihat penerapan kebijakan dan pengunaan teknik-teknik manajemen dalam
pemberian pelayanan kepada masyarakat sekaligus dalam rangka penegakkan peraturan,
sedangkan pada sisi masyarakat adalah keterlibatan dalam berdisiplin dan menaati
aturan, serta dukungan langsung dalam proses pemberian pelayanan publik.
       Peran pada sisi pemerintah, penggunaan teknik-teknik manajerial dalam
pemberian pelayanan kepada masyarakat dilakukan dengan cara menyiapkan dan
memanfaatkan seluruh sumber daya organisasi yang dimiliki untuk mencapai tujuan.
Sedangkan peran pada sisi masyarakat adalah partisipasi aktif baik dalam hal ketaatan,
maupun dukungan langsung dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik.


d. Kualitas Pelayanan
       Kualitas pelayanan telah menjadi salah satu isu penting dalam penyediaan
layanan publik di Indonesia. Kesan buruknya pelayanan publik selama ini selalu
menjadi citra yang melekat pada institusi penyedia layanan di Indonesia. Selama ini
pelayanan publik selalu identik dengan kelambanan, ketidak adilan, dan biaya tinggi.
Belum lagi dalam hal etika pelayanan di mana perilaku aparat penyedia layanan yang
tidak ekspresif dan mencerminkan jiwa pelayanan yang baik.
       Kualitas pelayanan sendiri didefinisikan sebagai suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau
melebihi harapan (Goetsch & Davis, 2002). Oleh karenanya kualitas pelayanan
berhubungan dengan pemenuhan harapan atau kebutuhan pelanggan.
       Penilaian terhadap kualitas pelayanan ini dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang yang berbeda (Evans & Lindsay, 1997), misalnya dari segi:
   1. Product Based, di mana kualitas pelayanan didefinisikan sebagai suatu fungsi
       yang spesifik, dengan variabel pengukuran yang berbeda terhadap karakteristik
       produknya.
   2. User Based, di mana kualitas pelayanan adalah tingkatan kesesuaian pelayanan
       dengan yang diinginkan oleh pelanggan.
   3. Value Based, berhubungan dengan kegunaan atau kepuasan atas harga.




                                         - 12 -
Kualitas pelayanan ini dapat diketahui ketika dilakukan mengenai beberapa jenis
kesenjangan yang berhubungan dengan harapan pelanggan, persepsi manajemen,
kualitas pelayanan, penyediaan layanan, komunikasi eksternal, dan apa yang dirasakan
oleh pelanggan.
        Secara mendetail, kesenjangan-kesenjangan tersebut dapat diidentifikasi pada
gambar berikut ini:
                                        Gambar 2
                         Model Kesenjangan dari Kualitas Pelayanan

   Marketing Research
       Orientation

 Upward Communication              GAP 1

  Levels of Management

Management Commitment to
     Service Quality                                                       Tangibles

       Goal Setting
                                   GAP 2
  Task Standardization
                                                                           Reliability
 Perception of Feasibility

                                                         GAP 5
       Teamwork
                                                    (Service Quality)    Responsiveness
    Employee-Job Fit
   Technology-Job Fit
    Perceived Control              GAP 3                                  Assurance
   Supervisory Control
        System

      Role Conflict                                                        Empathy

     Role Ambiguity

Horizontal Communication
                                   GAP 4
Propensity to Overpromise


Sumber: Delivering Quality Service, Zeithaml, et. al., (1990), hal.131


        Penjelasan terhadap kelima kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kesenjangan antara harapan pelanggan (Expected Service) dengan persepsi
   manajemen (Management Perception of Customer Expectation).
   Hal ini terjadi disebabkan karena kurang dilakukannya survey akan kebutuhan pasar
   atau kurang dimanfaatkannya hasil penelitian secara tepat serta kurang terjadinya



                                           - 13 -
interaksi antara penyedia pelayanan dan pelanggan. Penyebab lainnya adalah kurang
   terjadinya komunikasi antara pihak manajemen dengan petugas penyedia pelayanan
   (customer contact personel), padahal dari merekalah paling banyak diperoleh
   informasi tentang hal-hal yang menjadi harapan pelanggan. Terakhir adalah faktor
   klasik dari terlalu banyaknya jenjang birokrasi dalam unit pelayanan juga
   merupakan salah satu faktor munculnya kesenjangan ini.
2. Kesenjangan antara persepsi manajemen (Management Perception of Customer
   Expectation) dengan spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification).
   Kesenjangan ini terjadi ketika komitmen manajemen kurang dalam mewujudkan
   kualitas pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi manajemen terhadap kualitas
   pelayanan yang diinginkan pelanggan, demiian pula dengan tidak adanya
   standarisasi dalam penyediaan pelayanan, dan tidak adanya penetapan tujuan yang
   jelas dalam penyediaan pelayanan.
3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification)
   dengan penyampaian pelayanan (Service Delivery).
   Kesenjangan ini terjadi karena muncul konflik peran dalam diri pegawai dalam hal
   keinginan untuk memenuhi harapan pelanggan dengan keinginan untuk memenuhi
   harapan pimpinan. Selain itu juga adalah teknoloi yang tidak sesuai dalam
   mendukung pelayanan, tidak ada evaluasi dan penghargaan, serta kurang kerjasama
   internal.
4. Kesenjangan    antara    komunikasi    eksternal   kepada     pelanggan    (External
   Communication to Customers) dengan proses penyampaian pelayanan (Service
   Delivery).
   Penyebab kesenjangan ini adalah tidak adanya komunikasi horizontal dalam
   organisasi.
5. Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service)
   dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service).
   Kesenjangan kelima ini menunjukkan dan menggambarkan ukuran dari tingkat
   kepuasan masyarakat terjadap kinerja organisasi pelayanan. Berbeda dengan a
   kesenjangan sebelumnya, kesenjagan kelima ini menitikberatkan pada sisi
   pelanggan.




                                         - 14 -
II. Standar Pelayanan Publik
a. Prinsip-prinsip Dasar
       Dalam upaya mencapai kualitas pelayanan yang diuraikan di atas, diperlukan
penyusunan standar pelayanan publik, yang menjadi tolok ukur pelayanan yang
berkualitas. Penetapan standar pelayanan publik merupakan fenomena yang berlaku
baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya,
ditandai dengan dikeluarkannya executive order 12863 pada era pemerintahan Clinton,
yang mengharuskan semua instansi pemerintah untuk menetapkan standar pelayanan
konsumen (setting customer service standard). Isi dari executive order tersebut adalah
sebagai berikut
     Identify customer who are, or should be, served by the agency, survey the
     customers to determine the kind and quality of service they want and their level of
     satisfaction with existing service, post service standards and measure result
     against the best bussiness, provide the customers with choice in both sources of
     services, and complaint system easily accesible, and provide means to adress
     customer complaints.

      Inti isi executive order tersebut di atas adalah adanya upaya identifikasi pelanggan
yang (harus) dilayani oleh instansi, mensurvei pelanggan untuk menentukan jenis dan
kualitas pelayanan yang mereka inginkan dan untuk menentukan tingkat kepuasan
pelanggan dengan pelayanan yang sedang berjalan, termasuk standar pelayanan pos
serta mengukur hasil dengan yang terbaik, menyediakan berbagai pilihan sumber-
sumber pelayanan kepada pelanggan dan sistem pengaduan yang mudah diakses, serta
menyediakan sarana untuk menampung dan menyelesaikan keluhan/pengaduan.
      Di Inggris juga diperkenalkan Service First the New Charter Programme, yang
berisi 9 prinsip penyediaan pelayanan publik yang merupakan wujud dari visi
pemerintah yang dilaksanakan oleh setiap pegawai negeri. Prinsip-prinsip tersebut
adalah :
   a. Menentukan standar pelayanan;
   b. Bersikap terbuka dan menyediakan informasi selengkap-lengkapnya;
   c. Berkonsultasi dan terlibat;
   d. Mendorong akses dan pilihan;
   e. Memperlakukan semua secara adil;
   f. Mengembalikan ke jalan yang benar ketika terjadi kesalahan;
   g. Memanfaatkan sumber daya secara efektif;


                                          - 15 -
h. Inovatif dan memperbaiki; dan
   i. Bekerjasama dengan penyedia layanan lainnya.
       Di Indonesia, upaya untuk menetapkan standar pelayanan publik dalam
kerangka peningkatan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah lama dilakukan.
Upaya tersebut antara lain ditunjukan dengan terbitnya berbagai kebijakan seperti:
   1. Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian
       Perijinan di Bidang Usaha,
   2. Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993
       tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.
   3. Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan
       Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.
   4. Surat Edaran Menko Wasbangpan No. 56/Wasbangpan/6/98 tentang Langkah-
       langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat. Instruksi Mendagri No.
       20/1996;
   5. Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56/MK. Wasbangpan/6/98; Surat
       Menkowasbangpan No. 145/MK. Waspan/3/1999; hingga Surat Edaran
       Mendagri No. 503/125/PUOD/1999, yang kesemuanya itu bermuara pada
       peningkatan kualitas pelayanan.
   6. Kep. Menpan No 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum
   7. Surat Edaran Depdagri No. 100/757/OTDA tetang Pelaksanaan Kewenangan
       Wajib dan Standar Pelayanan Minimum, pada tahun 2002
   8. Kep.    Menpan     No:    63/KEP/M.PAN/7/2003        tentang   Pedoman     Umum
       Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
       Namun sejauh ini standar pelayanan publik sebagaimana yang dimaksud masih
lebih banyak berada pada tingkat konseptual, sedangkan implementasinya masih jauh
dari harapan. Hal ini terbukti dari masih buruknya kualitas pelayanan yang diberikan
oleh berbagai instansi pemerintah sebagai penyelenggara layanan publik.
       Adapun yang dimaksud dengan standar pelayanan (LAN, 2003) adalah suatu
tolok ukur yang dipergunakan untuk acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai
komitmen atau janji dari pihak penyedia pelayanan kepada pelanggan untuk
memberikan pelayanan yang berkualitas. Sedangkan yag dimaksud dengan pelayanan
berkualitas adalah pelayanan yang cepat, menyenangkan, tidak mengandung kesalahan,
serta mengikuti proses dan prosedur yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Jadi



                                          - 16 -
pelayanan yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh pihak yang melayani, tetapi
juga pihak yang ingin dipuaskan ataupun dipenuhi kebutuhannya.
       Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya standar pelayanan (LAN, 2003)
antara lain adalah:
1. memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka mendapat pelayanan dalam
   kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan fokus pelayanan kepada
   pelanggan/masyarakat, menjadi alat komunikasi antara pelanggan dengan penyedia
   pelayanan dalam upaya meningkatkan pelayanan, menjadi alat untuk mengukur
   kinerja pelayanan serta menjadi alat monitoring dan evaluasi kinerja pelayanan.
2. melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan kinerja pelayanan publik
   mutlak harus dilakukan, dikarenakan dalam kehidupan bernegara pelayanan publik
   menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi
   utama pemerintah adalah memberikan dan memfasilitasi berbagai pelayanan publik
   yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan
   ataupun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat
   dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, sosial dan lainnya.
3. meningkatkan mutu pelayanan. Adanya standar pelayanan dapat membantu unit-unit
   penyedia jasa pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi
   masyarakat pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini dapat terlihat dengan jelas
   dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya
   serta proses pengaduan, sehingga petugas pelayanan memahami apa yang
   seharusnya mereka lakukan dalam memberikan pelayanan. Masyarakat sebagai
   pengguna jasa pelayanan juga dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban
   apa yang harus mereka dapatkan dan lakukan untuk mendapatkan suatu jasa
   pelayanan. Standar pelayanan juga dapat membantu meningkatkan transparansi dan
   akuntabilitas kinerja suatu unit pelayanan. Dengan demikian, masyarakat dapat
   terbantu dalam membuat suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila tidak
   mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
      Berdasarkan uraian di atas, maka standar pelayanan menjadi faktor kunci dalam
upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Upaya penyediaan pelayanan yang
berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan memperhatikan ukuran-ukuran apa saja
yang menjadi kriteria kinerja pelayanan. Menurut LAN (2003), kriteria-kriteria
pelayanan tersebut antara lain:



                                          - 17 -
a. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan secara
   mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan
   oleh pelanggan.
b. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan
   menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia
   pelayanan, seperti menjaga keakuratan perhitungan keuangan, teliti dalam
   pencatatan data dan tepat waktu.
c. Tanggungjawab dari para petugas pelayanan, yang meliputi pelayanan sesuai
   dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya apabla terjadi
   sesuatu yang perlu segera diberitahukan.
d. Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan
   menguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan.
e. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan
   petugas. Petugas      pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak
   hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau
   internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga harus
   diperhatikan.
f. Keramahan,       meliputi kesabaran, perhatian dan persahabatan dalam kontak
   antara petugas pelayanan dan pelanggan. Keramahan hanya diperlukan jika
   pelanggan termasuk dalam konsumen konkret. Sebaliknya, pihak penyedia
   layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika layanan yang
   diberikan tidak dikonsumsi para pelanggan melalui kontak langsung.
g. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi yang
   mereka butuhkan secara mudah dan gambling, meliputi informasi mengenai tata
   cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain.
h. Komunikasi antara petugas dan pelanggan.         Komunikasi yang baik dengan
   pelanggan adalah bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang berhak
   diperolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka mengerti.
i. Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan dan penyedia
   pelayanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan tetap layak
   dipercayai,     adanya kejujuran kepada pelanggan dan kemampuan penyedia
   pelayanan untuk menjaga pelanggan tetap setia.
j. Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan dan
   tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut. Hal ini


                                      - 18 -
sangat penting karena pelanggan tidak boleh ragu-ragu terhadap pelayanan yang
       diberikan.
   k. Keamanan,           yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas            pada
       pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan keamanan
       yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, finansial dan kepercayaan pada
       diri sendiri.
   l. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan. Hal ini dapat dilakukan dengan
       berusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pelanggan. Mengerti apa yang
       diinginkan pelanggan sebenarnya tidaklah sukar. Dapat dimulai dengan
       mempelajari kebutuhan-kebutuhan khusus yang diinginkan pelanggan dan
       memberikan perhatian secara personal.
   m. Kenyataan,       meliputi bukti-bukti      atau wujud nyata dari pelayanan, berupa
       fasilitas fisik,     adanya petugas yang melayani pelanggan, peralatan yang
       digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas penunjang
       lainnya.
   n. Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang
       berkaitan langsung dengan pencapai sasaran pelayanan dengan tetap
       memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.
   o. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar
       dengan memperhatikan         nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk
       membayar.
           Penyusunan sebuah standar pelayanan minimal atau SPM di daerah mengikuti
prinsip-prinsip antara lain:
   1. diterapkan pada kewenangan wajib daerah dan kewenangan yang lain
   2. ditetapkan pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh daerah kabupaten/kota
   3. menjalin hak individu dan akses masyarakat mendapat pelayanan dasar dari
       pemerintah daerah
   4. bersifat      dinamis    sesuai   dengan     perubahan   kebutuhan   nasional   dan
       perkembangan kapasitas daerah
   5. berbeda dengan standar teknis yang merupakan faktor pendukung alat mengukur
       pencapaian SPM.
       Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam
menyusun sebuah standar pelayanan adalah sebagaimana yang tergambar dalam bagan
berikut:


                                              - 19 -
Gambar 3
                         Langkah Penyusunan Standar Pelayanan


          Identifikasi         Perumusan                  Analisis



    • Jenis pelayanan                               • Proses & Prosedur
                                   Visi                                       Mekanisme
    • Pelanggan                                     • Sarana & Prasarana      Pengaduan/
                                   Misi
    • Harapan pelanggan                             • Waktu                    keluhan
                                                    • Biaya

      Sumber: diolah dari LAN (2003)


1. Identifikasi Jenis Pelayanan
   Kegiatan identifikasi ini dilakukan dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut:
      •    Pelayanan-pelayanan apa yang diselenggarakan sesuai dengan tugas pokok
           dan fungsi, baik yang langsung diberikan kepada masyarakat, kepada
           instansi lainnya, maupun kepada unit lain secara internal dalam instansi?
      •    Pelayanan apa yang sifatnya core (menjadi utama) dan sifatnya supporting
           (pendukung)?
      •    Apa dasar hukum yang menjadi acuan?
2. Identifikasi Pelanggan
   Kegiatan identifikasi dilakukan dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut:
      •    Siapa pelanggan atau pengguna pelayanan atau target pelayanan yang
           langsung merasakan hasil pelayanan?
      •    Siapa pelanggan yang secara tidak langsung merasakan hasil pelayanan?
      •    Dalam kaitan dengan pelayanan internal, siapa pelanggan internal yang
           dilayani?
      •    Dalam kaitan dengan instansi lain, instansi mana yang menjadi pelanggan?
      Untuk memudahkan proses identifikasi tentang jenis pelayanan dan pelanggan
      dapat digunakan lembar kerja (worksheet) berikut ini:
3. Identifikasi Harapan Pelanggan
   Kegiatannya adalah mengidentifikasi harapan pelanggan akan pelayanan yang



                                           - 20 -
diberikan. Harapan pelanggan ini meliputi harapan terhadap kualitas, biaya dan
   waktu pelayanan.
   Kegiatan identifikasi dapat dilakukan dengan mengadakan survey kepada pelanggan
   ataupun dengan identifikasi internal yang dilakukan melalui penggalian informasi
   kepada pegawai yang terlibat langsung dalam kegiatan pelayanan.
4. Perumusan Visi dan Misi Pelayanan
   a. Kegiatan merumuskan visi dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai
      berikut:
        •   Membentuk beberapa kelompok sebagai perwakilan seluruh staf yang ada
            dalam unit penyedia pelayanan;
        •   Pimpinan menjelaskan harapan-harapan yang ingin dicapai oleh organisasi
            melalui pelayanan yang diberikan;
        •   Kelompok bekerja secara mandiri merumuskan visi pelayanan. Kegiatan
            merumuskan harus melihat dan mempertimbangkan nilai-nilai yang
            berlaku pada lingkungan internal dan eksternal, yang meliputi kekuatan
            dan kelemahan internal unit penyedia pelayanan, peluang dan tantangan,
            serta harapan-harapan masyarakat pelanggan;
        •   Rumusan visi pelayanan dari beberapa kelompok dipresentasikan bersama
            dan dipilih atau dimodifikasi/dirumuskan kembali menjadi visi pelayanan
            yang disepakati semua kelompok.
   b. Kegiatan merumuskan misi dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai
      berikut:
        •   Menggunakan kelompok yang sama ketika menyusun visi untuk menyusun
            misi pelayanan;
        •   Memberi kepada kelompok tersebut untuk bekerja secara mandiri
            merumuskan misi pelayanan. Kegiatan merumuskan harus mencakup
            pelayanan yang akan diberikan dan ditawarkan kepada pelanggan internal
            dan eksternal;
        •   Rumusan misi pelayanan dari beberapa kelompok dipresentasikan bersama
            dan dipilih atau dimodifikasi/dirumuskan kembali menjadi misi pelayanan
            yang disepakati semua kelompok.
5. Analisis Proses dan Prosedur, Prasyarat, Sarana dan Prasarana, Waktu, dan
   Biaya Pelayanan.



                                       - 21 -
a. Analisis Proses dan Prosedur
   Kegiatannya adalah mengidentifikasi keseluruhan aktivitas dalam pemberian
   pelayanan mulai saat pelanggan datang sampai pada pelanggan selesai menerima
   pelayanan.
   Untuk menyusun proses dan prosedur pelayanan dapat dilakukan dengan
   langkah-langkah sebagai berikut:
   •   Identifikasi langkah-langkah aktivitas dalam memberikan satu jenis
       pelayanan, mulai dari awal sampai dengan selesai pelayanan dilaksanakan.
   •   Identifikasi dimulai dari aktivitas yang dilakukan oleh pelanggan ketika akan
       mengajukan suatu jenis pelayanan tertentu kepada unit penyedia pelayanan.
   •   Identifikasi aktivitas proses pengolahan pelayanan dimulai dari ketika
       petugas menerima pelanggan yang akan mengajukan pelayanan, sampai
       dengan aktivitas penyampaian produk pelayanan setelah selesai diproses
       oleh pihak unit penyedia pelayanan.
   •   Jika terdapat lebih dari satu jenis pelayanan yang dilaksanakan, maka
       lakukan identifikasi langkah-langkah aktivitas untuk semua jenis pelayanan
       tersebut. Makin sedikit aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam rangka
       pelayanan, makin pendek prosedur yang dilalui, makin cepat pelayanan akan
       diberikan;
   •   Membuat alur proses setiap aktivitas tersebut secara sekuens. Alur proses ini
       nantinya akan merupakan alur yang harus dilalui oleh seorang pelanggan dan
       alur untuk proses pengolahan pelayanan.
b. Analisis Persyaratan Pelayanan
   Kegiatannya mengidentifikasi persyaratan yang dibutuhkan pada setiap tahapan
   aktivitas dalam pemberian pelayanan.
   Langkah mengidentifikasi persyaratan pelayanan sangat tergantung pada
   rumusan yang dihasilkan pada identifikasi proses dan prosedur. Hasil
   identifikasi diatas digunakan untuk menentukan persyaratan pada tiap-tiap
   aktivitas. Perlu dicermati bahwa persyaratan pelayanan tidak hanya berupa
   dokumen (surat-surat) tetapi termasuk pula persyaratan dalam bentuk barang
   maupun biaya.
c. Analisis Sarana dan Prasarana Pelayanan
   Kegiatannya adalah mengidentifikasi sarana dan prasarana yang diperlukan



                                      - 22 -
dalam memberikan pelayanan.
       Langkah mengidentifikasi sarana dan parasana dilakukan dengan melihat hasil
       analisis proses dan prosedur pelayanan diatas. Gunakan hasil identifikasi proses
       dan prosedur untuk dilanjutkan identifikasi sarana dan prasarana yang
       diperlukan pada tiap-tiap aktivitas pemberian pelayanan. Tidak setiap aktivitas
       memerlukan sarana yang sama tergantung pada jenis aktivitas yang dilakukan.
   d. Analisis Waktu dan Biaya Pelayanan
       Kegiatannya adalah menentukan waktu dan biaya pelayanan. Langkah
       menentukan waktu dan biaya pelayanan sangat tergantung pada hasil analisis
       proses dan prosedur yang harus dilakukan, hasil analisis sarana dan prasarana
       yang dimiliki oleh organisasi pelayanan serta hasil analisis harapan pelanggan.
       Hasil analisis digunakan sebelumnya untuk menentukan total waktu dan biaya
       pelayanan.
6. Mekanisme pengaduan/keluhan
   Langkah dalam melakukan penyusunan mekanisme pengelolaan keluhan/pengaduan
   ini dapat ditempuh dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut:
   •   Sarana apa yang disediakan untuk menampung keluhan pelanggan (kotak surat,
       telepon bebas pulsa, unit khusus pengaduan dll)?
   •   Prosedur apa yang harus dilalui oleh pengaduan untuk mendapatkan respon
       terhadap pengaduannya? Berapa lama respon akan diterima pelanggan?
   •   Siapa yang berwenang mengambil keputusan dalam menangani pengaduan?


b. Standar Pelayanan Publik di Daerah
         Dalam konteks pelayanan publik di daerah, kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah, kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu pemerintah
daerah harus menyediakan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sesuai dengan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
pemerintah menyelenggarakan urusan pemerintahanan yang meliputi politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Pada ayat (5)
dinyatakan pula bahwa pemerintah juga menyelenggarakan urusan pemerintahan di
luar enam urusan pemerintahan tersebut. Pada pasal 11 dinyatakan bahwa
penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas,



                                         - 23 -
akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan
pemerintahan.

       Eksternalitas adalah dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan
suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria
eksternalitas ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul
akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria eksternalitas
maka semakin langsung dampak penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan kepada
masyarakat, maka urusan tersebut paling tepat untuk diselenggarakan oleh pemerintah
daerah kabupaten/kota.

      Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pemerintah, pemerintahan daerah
propinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
berdasarkan kriteria akuntabilitas ditentukan berdasarkan kedekatan suatu tingkatan
pemerintahan dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria akuntabillitas maka
semakin dekat pemberi layanan dan penggunanya, dan semakin banyak jumlah
pengguna layanan maka layanan tersebut lebih tepat diselenggarakan oleh pemerintahan
daerah kabupaten/kota.

     Efisiensi adalah tingkat daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
berdasarkan kriteria efisiensi ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna
yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. Berdasarkan kriteria efisiensi maka penyelenggaraan urusan lebih tepat
pada tingkat pemerintahan dimana terdapat perbandingan terbaik antara cost
penyelenggaraan urusan dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dengan
penyelenggaraan urusan. Penggunaan kriteria kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dalam pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan
dilaksanakan secara kumulatif sebagai satu kesatuan.

     Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang
diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi terdiri dari
urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib didefinisikan sebagai urusan daerah
otonom yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh pemerintah. Hal ini berarti



                                           - 24 -
pemerintah menetapkan urusan mana yang merupakan urusan dasar yang menjadi
prioritas penyelenggaraan dan mana yang merupakan urusan pilihan. Urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi merupakan urusan dalam skala
propinsi, sedangkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota. Penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang bersifat wajib, baik untuk pemerintahan propinsi maupun
untuk pemerintahan kabupaten dan kota sebagaimana disebutkan di atas harus
berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM).

       Urusan yang bersifat pilihan adalah urusan-urusan yang dapat dipilih untuk
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan sebagaimana disebutkan di atas. Urusan yang bersifat pilihan tersebut
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan urusan pilihan tersebut,
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat memilih
bagian urusan pemerintahan pada bidang-bidang tertentu seperti pertanian, kelautan,
pertambangan dan energi, kebutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan,
perkoperasian, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan berbagai bidang lainnya.

       Adanya pembagian urusan pemerintahan memberi petunjuk bahwa terdapat
urusan-urusan pemerintahan tertentu yang penyelenggaraannya dibagi-bagi antara
pemerintah, pemerintahan daerah propinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Dengan    demikian   penyelenggaraan    urusan    pemerintahan   tersebut   melibatkan
pemerintah, pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota
secara bersama-sama. Pembagian dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut
merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan
daerah propinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait,
tergantung dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.

         Sesuai dengan deskripsi di atas, UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan
bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan dengan
berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dilaksanakan secara
bertahap. Hingga saat ini pemerintah sedang menyusun RPP tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Bila sudah diterapkan, maka
SPM akan dijabarkan oleh masing-masing kementrian/lembaga terkait untuk menyusun


                                         - 25 -
SPM masing-masing. Standar pelayanan minimal didefinisikan sebagai tolok ukur
untuk mengukur kinerja penyelenggaraan urusan wajib daerah yang berkaitan dengan
pelayanan dasar kepada masyarakat. Dalam pelaksanaannya, SPM menganut beberpa
prinsip, yakni:
1. SPM merupakan standar yang dikenakan pada urusan wajib, sedangkan untuk
   urusan lainnya pemerintah daerah boleh menetapkan standar sendiri sesuai dengan
   kondisi daerah masing-masing.
2. SPM berlaku secara nasional, yang berarti harus diberlakukan di seluruh daerah
   Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia.
3. SPM harus dapat menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan tertentu yang
   harus disediakan oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan urusan
   wajibnya.
4. SPM bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang dan diperbaiki sesuai dengan perubahan
   kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah secara merata.
5. SPM ditetapkan pada tingkat minimal yang diharapkan secara nasional untuk
   pelayanan jenis tertentu. Yang dianggap minimal dapat merupakan rata-rata kondisi
   daerah-daerah, merupakan konsensus nasional, dan lain-lain.
6. SPM harus diacu dalam perencanaan daerah, penganggaran daerah, pengawasan,
   pelaporan,     dan   merupakan    salah   satu   alat   untuk    menilai   Laporan
   Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah serta menilai kapasitas daerah.
          Sesuai dengan PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban
Kepala Daerah, yang mengarut mengenai evaluasi kinerja pemerintah daerah, secara
spesifik menetapkan kriteria SPM harus memperhatikan unsur input (tingkat atau
besaran sumber daya yang digunakan), output (keluaran), outcome (hasil atau wujud
pencapaian kinerja), benefit (tingkat manfaat yang dirasakan sebagai nilai tambah), dan
impact (dampak atau pengaruh pelayanan terhadap kondisi secara makro berdasarkan
manfaat yang dihasilkan). Kriteria penentuan biaya dengan metode SPM sangat
mendukung konsep anggaran berbasis kinerja yang juga mengacu kepada input, output,
outcome, benefit dan impact.
          SPM merupakan alat untuk mengukur kinerja pemerintahan daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan dasar. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat
tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. SPM
sangat diperlukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai konsumen pelayanan
itu sendiri. Bagi pemerintah daerah suatu SPM dapat dijadikan sebagai tolok ukur


                                         - 26 -
(benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan
tertentu. Sedangkan bagi masyarakat SPM akan menjadi acuan dalam menilai kinerja
pelayanan publik, yakni kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan
oleh pemerintah daerah.
         Penerapan SPM akan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Dengan SPM akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang disediakan oleh
   pemerintah daerah kepada masyarakat.
2. SPM akan bermanfaat untuk menentukan Standar Analisis Biaya (SAB) yang sangat
   dibutuhkan pemerintah daerah untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan
   untuk menyediakan suatu pelayanan publik.
3. SPM akan menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang lebih
   adil dan transparan (baik DAU maupun DAK).
4. SPM akan dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan membantu
   pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih berimbang.
5. SPM akan dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara lebih
   akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam menilai
   kinerja pemerintah daerah.
6. SPM akan dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah
   kepada masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat keterkaitan antara
   pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat disediakan pemerintah daerah.
7. SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasai kelembagaan
   pemerintah daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan
   masyarakat.

       Dalam penyelenggaraannya, SPM dibuat berdasarkan sejumlah peraturan
perundang-undangan, yakni:

1. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
   dan Pemerintahan Daerah;

3. PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
   Sebagai Daerah Otonom;

4. PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan;

5. PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Keuangan Daerah;


                                        - 27 -
6. PP No. 20 Tahun 2001 mengenai Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan
   Pemerintahan Daerah;

7. PP No. 56 Tahun 2001 mengenai Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
   dan

8. PP No. 65 Tahun 2005 mengenai Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
   Pelayanan Minimal.

         Sesuai dengan PP No. 65 Tahun 2005 pasal 5 ayat (1), penyusunan SPM oleh
masing-masing     Menteri/Pimpinan    LPND        dilakukan   melalui   konsultasi   yang
dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri. Konsultasi tersebut dilakukan dengan tim
konsultasi yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Dalam Negeri, Kementrian Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Departemen Keuangan,
Kementrian      Negara   Pemberdayaan     Aparatur       Negara,   dengan     melibatkan
Menteri/Pimpinan LPND terkait, yang dibentuk dengan Kepmendagri. Hasil konsultasi
tersebut dikeluarkan oleh masing-masing departemen/LPND sebagai Peraturan Menteri
yang bersangkutan.

         Sebelum PP No. 65 Tahun 2005 dikeluarkan, untuk mengatasi kelangkaan
peraturan perundangan mengenai SPM, sedangkan SPM harus sudah dilaksanakan,
dikeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 100/756/OTDA Tahun 2002
tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal. Berdasarkan
SE Mendagri tersebut, beberapa departemen telah mengeluarkan Pedoman Standar
Pelayanan Minimal. Pedoman tersebut digunakan untuk menjabarkan SPM ke dalam
aturan yang lebih spesifik, seperti penjabaran definisi operasional, cara perhitungan
pencapaian kinerja, rumus indikator, sumber data, target, maupun langkah-langkah
kegiatan yang harus dilakukan.

         Kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah di Indonesia
saat ini sangat beragam dari satu daerah ke daerah lainnya, baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya. Misalnya, dalam hal penyediaan Puskesmas di setiap Kecamatan
sebagai standar pelayanan minimal di bidang kesehatan masih belum dapat dipenuhi
oleh banyak pemerintah daerah. Demikian pula dengan dengan pelayanan di bidang
lainnya, seperti pelayanan KTP, akses jalan dari kecamatan ke ibukota Kabupaten, dan
sebagainya masih berada dalam kondisi di bawah standar pelayanan minimal yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat (departemen terkait). Selain itu, tingkat kesiapan



                                         - 28 -
masing-masing departemen dalam memberikan acuan mengenai standar pelayanan
minimal untuk diterapkan di daerah juga cukup beragam. Dari sebanyak 11 (sebelas)
sektor yang dalam UU ditetapkan untuk didesentralisasikan kewenangannya ke
pemerintah daerah, baru Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional
yang telah siap melaksanakannya dengan menyediakan acuan SPM yang ditetapkan,
yakni dengan SK Menteri Kesehatan No. 1457/2003 dan SK Menteri Pendidikan
Nasional No. 1299/V/2004. Hingga saat ini terdapat 10 (sepuluh) departemen terkait
yang telah mengeluarkan acuan SPM untuk diterapkan ke seluruh daerah di Indonesia.
Namun penerapan di daerah masih belum seragam/sama, karena pemerintah daerah
menginterpretasikannya secara berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing. Hal ini
karena terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan SPM. Kegagalan dalam mengatasi
kendala-kendala tersebut mengakibatkan ketidakakuratan pengukuran, sehingga SPM
tidak akan mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Kendala-kendala tersebut antara
lain adalah sebagai berikut:

1. Data yang tidak akurat dan dapat dipercaya, sedangkan data BPS yang ada, bila
   dapat dipercaya, terlambat beberapa tahun.

2. Data keuangan tidak disajikan dalam bentuk yang dapat dianalisa dengan baik.

3. Data statistik yang ada seringkali tidak sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan.
   Misalnya, data BPS yang tersedia adalah jumlah penduduk usia 0-14 tahun,
   sedangkan jenis data yang dibutuhkan adalah jumlah penduduk usia 7-16 tahun.

4. Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk mengumpulkan dan
   mengelolola data secara sistematis.

5. Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk melakukan analisa dan
   perencanaan strategis.

6. Indikator-indikator SPM yang ada tidak mencerminkan problem sebenarnya yang
   terjadi di daerah/desa; dan

7. Dalam mengevaluasi pelaksanaan SPM, satuan kerja perangkat daerah tidak
   menjelaskan kondisi yang ada secara objektif. Misalnya, bila dinas melakukan
   evaluasi, hasil evaluasi bias untuk kepentingan dinas. Sedangkan Bawasda maupun
   Bappeda tidak dapat melakukan evaluasi karena kemampuan teknikal yang rendah.




                                         - 29 -
Kendala-kendala tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan
SPM. Beberapa alternatif cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala
tersebut antara lain adalah:

1. Dinas kesehatan memperbaiki sistem pendataan dan pelaporan sektor kesehatan.

2. BPS memperbaiki sistem pendataannya dengan membentuk sistem informasi
   pupulasi.

3. Melakukan survey untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat atas pelayanan
   publik yang berdasarkan SPM. Survey tersebut dilakukan setiap tahun sekali.

4. Evaluasi atas penyelenggaraan SPM hendaknya dilakukan oleh sebuah tim yang
   terdiri dari Bappeda, Bagian Penyusunan Program, dan Bawasda, serta auditor
   independen untuk kasus-kasus tertentu. Pemerintah Propinsi juga harus melakukan
   evaluasi terhadap penyelenggaraan SPM di Kabupaten/Kota di wilayahnya.



III. Dinamika dan Problematika Pelayanan Publik Pada Era Otonomi Daerah

        Sudah sejak lama banyak kesan buruk yang disandang aparat pemerintah (sektor
publik) dalam hal pelayanan. Hal ini antara lain dapat diindikasikan dari besarnya dana
yang digunakan untuk membiayai aparatur pemerintah, namun hal itu ternyata tidak
diimbangi dengan kualitas pelayanan kepada masyarakat yang maksimal. Bahkan
sebaliknya, kualitas pelayanan yang diberikan instansi pemerintah dapat dinilai sangat
buruk. Padahal masyarakat telah bersedia mengorbankan (sacrifice) sebagian sumber
dayanya untuk negara dengan membayar berbagai macam pungutan, baik pajak, retibusi
dan sebagainya. Sudah sewajarnya jika masyarakat mengharapkan kepuasan
(satisfaction) yang maksimal atas pelayanan yang diberikan oleh negara. Namun apa
yang diperoleh masyarakat adalah buruknya kualitas pelayanan instansi pemerintah.
Salah satu keluhan masyarakat yang sering terungkapkan adalah lambatnya waktu
pelayanan dan tidak jelasnya prosedur dan biaya pelayanan. Ungkapan-ungkapan yang
berkembang selama ini, seperti “kalau bisa dilakukan besok kenapa harus sekarang?
“kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?” menunjukkan bahwa budaya
pelayanan pada instansi pemerintahan masih belum berorientasi pada kepuasan
masyarakat selaku pelanggannya. Hal yang demikian bukan saja mengakibatkan
pemborosan sumberdaya tetapi juga kualitas jasa yang dihasilkan menjadi sangat buruk.



                                         - 30 -
Sektor publik (pemerintahan) pada dasarnya adalah perusahaan yang
menghasilkan produk berupa jasa pelayanan publik, baik pelayanan yang bersifat
langsung dinikmati oleh masyarakat maupun pelayanan yang dinikmati masyarakat
secara tidak langsung. Namun demikian, pemerintah tidak bermaksud mengambil
keuntungan dari operasionalnya. Salah satu prinsip dalam pelaksanaan tugas instansi
pemerintah adalah transparansi dan pertanggungjawaban kepada publik atas apa yang
telah dilakukan. Hal ini sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance), yang terdiri dari tiga prinsip utama, yaitu transparansi, partisipasi dan
akuntabilitas. Namun demikian tampaknya pemerintah belum sepenuhnya mampu
menerapkan ketiga pilar utama tersebut dalam pelayanan. Dengan kondisi demikian,
seandainya negara sebagai penyedia layanan harus bersaing dengan swasta dengan
produk pelayanan yang sama, dapat diperkirakan bahwa secara perlahan namun pasti
negara akan bangkrut karena biaya produksi sangat tinggi, sedang pendapatan akan
berkurang drastis akibat ditinggalkan oleh para pelanggan yang tidak puas dengan
pelayanan yang diberikan.

       Bergulirnya era reformasi sebagai dampak krisis multidimensi yang melanda
negara kita telah melahirkan tuntutan perubahan yang juga bersifat multidimensional.
Krisis multidimensi tersebut berpengaruh terhadap kemampuan negara dalam aspek
keuangan. Pada sisi lain kompleksitas pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat
baik secara kuantitatif maupun kualitatif meningkat secara tajam tanpa diimbangi
dengan peningkatan keuangan daerah untuk membiayainya. Akibatnya pelayanan
publik menjadi terbengkalai seperti rusaknya sarana dan prasarana transportasi, saluran
irigasi, pendidikan serta kesehatan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

       Menurunnya kinerja ekonomi secara keseluruhan akan sangat berpengaruh
terhadap penerimaan daerah baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
maupun yang berasal dari Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) maupun
Dana Alokasi Khusus (DAK). Kondisi tersebut memunculkan kebutuhan yang sangat
mendesak bagi sektor publik di daerah (Pemda) untuk melibatkan sektor swasta dan
masyarakat dalam pemenuhan pelayanan publik yang meningkat dalam kondisi
keuangan daerah yang terpuruk. Hal ini seiring dengan argumen Osborne dan Gabler
yang menganjurkan pemerintah untuk lebih berperan dalam mengendalikan (steering)
dibandingkan menangani langsung (rowing). Dalam hal ini, pemerintah harus mampu
menjadi katalisator bagi keterlibatan pihak swasta dan masyarakat untuk ikut


                                           - 31 -
berpartisipasi dalam menyediakan pelayanan publik. Implementasi pelibatan swasta dan
masyarakat dalam pelayanan publik kemudian mendapatkan legitimasi dengan
penerapan otonomi daerah.

       Salah satu perubahan signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan pasca
krisis multidimensi adalah penerapan otonomi daerah dengan lahirnya UU No. 22
Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penerapan
demokratisasi pemerintahan melalui otonomi daerah membawa perubahan mendasar
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni berkurangnya secara signifikan
patronasi dan kooptasi pusat terhadap daerah. Dengan diterapkannya otonomi daerah,
daerah memiliki diskresi yang sangat tinggi -- bahkan oleh berbagai pihak sering
dikatakan “kebablasan” -- dalam berbagai aspek pemerintahan daerah, yaitu diskresi
dalam aspek kewenangan atau urusan pemerintahan, diskresi dalam aspek kelembagaan
dan personil, serta diskresi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah.

       Pada era reformasi yang bersendikan demokratisasi, pemerintah daerah dituntut
untuk mampu menggalang partisipasi, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Esensi dari “good governance” sebagai
proses pelibatan sektor publik, swasta dan masyarakat menemukan bentuknya dalam
menangani persoalan-persoalan publik yang tidak mungkin lagi ditangani oleh Pemda.
Melalui mekanisme good governance kemudian terjadi proses “co-guiding, co-steering
dan co-managing” dari ketiga stakeholders utama yaitu Pemda, sektor swasta dan
masyarakat. Ketiga aktor akan terlibat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan
Pengawasan dalam manajemen pemerintahan daerah. Dengan cara tersebut akan
terbentuk “sense of belongingness” dari masyarakat atas kebijakan-kebijakan publik di
lingkungannya.

       Pada dasarnya kebijakan desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada
masyarakat daerah ditujukan, agar masyarakat mampu mengorganisir dirinya
sedemikian   rupa   dalam    menyelenggarakan     rumah    tangga   daerahnya   untuk
meningkatkan kesejahteraan atau kemakmuran warga daerah tersebut. Untuk tujuan itu
maka Pemda harus mampu menyediakan pelayanan-pelayanan publik (public service)
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya




                                         - 32 -
diperlukan adanya analisis kebutuhkan masyarakat untuk mengidentifikasi pelayanan-
pelayanan apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dearah yang bersangkutan.

       Secara akademik, terdapat dua jenis kebutuhan masyarakat. Pertama,
masyarakat membutuhkan penyediaan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan pokok
(basic services) seperti air, kesehatan, pendidikan, transportasi, kebersihan lingkungan,
pasar, terminal, dan sebagainya. Kedua, masyarakat membutuhkan pelayanan yang
terkait dengan pengembangan sektor unggulan (core competency) yang ada di daerah
tersebut. Dengan demikian maka isi otonomi daerah harus terkait dengan kebutuhan
masyarakat yaitu, kewenangan yang memungkinkan daerah menyediakan pelayanan
kebutuhan pokok dan pelayanan yang memungkinkan daerah mengembangkan sektor
unggulan. Dan betapapun luasnya otonomi, maka otonomi daerah harus diwujudkan
dalam bentuk pelayanan yang sesuai kebutuhan masyarakat.

       Dilihat dari jenis output yang dihasilkan Pemda, maka hasil akhir pelayanan
Pemda adalah tersedianya barang dan jasa (public good and public regulation). Public
good tercermin dari diadakannya barang-barang untuk memenuhi kebutuhan publik
seperti jalan, jembatan, rumah sakit, sekolah, irigasi, pasar, terminal dsb. Sedangkan
public regulation akan terwujud dalam bentuk mewajibkan penduduk untuk memiliki
kartu tanda penduduk (KTP), Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, IMB, HO (bila akan
membuka usaha) dan bentuk-bentuk pengaturan lainnya yang pada dasarnya ditujukan
untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Untuk itu setiap
pemda seharusnya memiliki agenda pelayanan yang jelas, jenis-jenis pelayanan publik
apa   yang   akan   diberikan   sesuai     dengan   kebutuhan   masyarkat,    bagaimana
memberikannya, siapa yang perlu dilibatkan, dan sebagainya. Dalam penyusunan
agenda pelayanan tersebut, keterlibatan masyarakat dan swasta menjadi suatu kebutuhan
yang tak terhindarkan, kalau kita mau menghasilkan Pemda yang berorientasi pada
penciptaan kesejahteraan serta kemakmuran rakyatnya. Hal ini sejalan dengan
peringatan terkenal yang diberikan oleh Lord Acton bahwa “power tends of corrupt and
absolute power will corrupt absolutely”.

       Setelah berjalan selama lebih kurang lima tahun, terdapat begitu banyak
fenomena menarik dibidang pelayanan yang dilakukan Pemda dalam pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Pertama, kisah menyedihkan, dimana
banyak daerah yang belum mampu meningkatkan pelayanan publiknya pada era
desentralisasi. Bahkan, banyak daerah yang pimpinannya sampai saat ini masih


                                           - 33 -
berurusan dengan pengadilan karena kasus-kasus korupsi dalam penyalahgunaan dana-
dana public yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat. Kedua, pada saat yang sama di daerah-daerah lain terdapat pula kisah yang
menggembirakan, dimana terdapat kisah mengenai kerja keras para pemimpin daerah
dalam mengoptimalkan dana APBD yang terbatas untuk memberikan pelayanan publik
secara optimal bagi masyarakatnya. Kedua kondisi yang bertentangan tersebut
menunjukkan bahwa terdapat berbagai variabel yang mempengaruhi pelaksanaan
desentralisasi tersebut, namun salah satu yang kelihatannya paling penting adalah
political will dari pemimpin daerah untuk menggunakan kewenangannya bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.

       Substansi dari pelaksanaan desentralisasi adalah pemberian kewenangan kepada
daerah untuk secara aktif mengupayakan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya
berdasarkan aspirasi dan potensi lokal. Dengan demikian keberhasilan suatu daerah
dalam menjalankan otonomi daerah dapat dilihat dari indikator sejauhmana
keberhasilan pemerintah daerah (bersama DPRD dan masyarakatnya) dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai bentuk pelayanan yang
diberikan bagi pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat seperti pendidikan,
kesehatan, infrastruktur, pengurangan angka kemiskinan, dan sebagainya secara
berkesinambungan. Dalam kerangka inilah diperlukan political will dari Kepala Daerah
untuk mengoptimalkan alokasi belanja publik pada kegiatan-kegiatan yang secara
langsung terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakatnya secara
berkesinambungan yang disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah
(khususnya kelembagaan pemerintahan daerah) dalam memberikan pelayanan public
yang berkualitas.

       Kisah sedih mengenai pelayanan publik di era otonomi daerah kelihatannya
memang menjadi suatu ironi. Hingga saat ini pelayanan publik yang berkualitas sebagai
dampak dari desentralisasi pemerintahan kelihatannya masih jauh dari harapan.
Jangankan pelayanan publik yang lebih cepat, lebih murah dan lebih baik (faster,
cheaper, and better), standar pelayanan publik yang ada saja seringkali tidak mampu
dipertahankan keberadaannya. Sebaliknya, di bidang pelayanan publik, biaya ekstra atau
pungutan liar merupakan gambaran sehari-hari yang umum terlihat pada kantor-kantor
pelayanan masyarakat. Masyarakat dapat melihat dengan kasat mata dan merasakan
praktik korupsi yang semakin marak dan meluas. Lihat saja pada saat masyarakat


                                         - 34 -
mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran, Izin
Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), sertifikat tanah,
dan sebagainya. Laporan dan pengaduan pun banyak mengalir dari masyarakat. Melalui
survei yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pembangunan Kebijakan dan Masyarakat
pada tahun 1999/2000, ditemukan bahwa terdapat 4 (empat) sektor pelayanan publik
yang memungut biaya tidak resmi yaitu sektor perumahan, industri dan perdagangan,
kependudukan dan pertanahan. Dalam sektor-sektor tersebut, antara 56–70 persen
pegawainya dituding menerima suap oleh para responden yang merupakan rekan
kerjanya sendiri. Namun sayangnya berbagai praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat
pelayanan publik seringkali tidak ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi bagi oknum
pelakunya.

       Kinerja pelayanan umum oleh birokrasi pemerintah daerah selama era otonomi
daerah yang masih banyak yang belum mengalami perubahan berarti juga dicatat oleh
Amiruddin (2002). Pada penelitiannya di 9 (sembilan) kota di Indonesia, Amiruddin
(2002) mencatat beberapa sektor layanan publik yang bermasalah menurut warga,
diantaranya air minum yang belum layak untuk diminum, listrik masih sering padam,
pemasangan telepon baru butuh waktu yang lama dan biaya besar, kontainer yang
kurang sehingga sampah berserakan, prosedur pembuatan KTP berbelit-belit dan
biayanya mahal, angkutan kota yang tidak layak dan tarifnya yang tidak pasti,
puskesmas yang belum optimal dan adanya diskriminasi di rumah sakit, biaya sekolah
yang mahal namun guru masih kurang banyak dan kurang berkualitas, dan pedagang
kaki lima yang menjamur dimana-mana. Kondisi rendahnya kinerja pelayanan pemda
tersebut tentu saja disebabkan karena berbagai faktor, diantaranya karena cakupan
wilayah pelayanan yang sangat luas, banyaknya jenis pelayanan yang harus disediakan,
terbatasnya dana bagi penyediaan pelayanan umum, kurangnya supervisi maupun
ketiadaan pedoman dari pemerintah, serta beragamnya kondisi sosial ekonomi, budaya,
pendidikan, dan sebagainya dari para pengguna pelayanan umum sendiri. Kondisi
demikian kemudian menyebabkan munculnya persepsi yang berbeda dari pengguna
layanan terhadap pelayanan yang diterimanya. YLKI (1999) sebelumnya telah mencatat
beberapa hal yang menjadi kendala mengapa pelayanan umum yang baik sulit
direalisasikan, yakni tidak adanya standar pelayanan, kondisi sosial budaya masyarakat,
rendahnya kesadaran konsumen layanan, peraturan pemerintah, dan ketidaksiapan
aparat pemerintah sebagai penyedia pelayanan umum menghadapi tuntutan masyarakat.



                                         - 35 -
Dalam konteks itu, kata kunci dari upaya untuk mengatasi kegagalan menuju
keberhasilan adalah inovasi dan atau perubahan. Hal ini sesuai dengan jargon, we have
to change, if we don’t change we die. Pemerintah daerah mesti memiliki kemampuan
untuk melakukan inovasi dan perubahan guna menjalankan fungsinya secara lebih baik.
Terkait dengan itu, penggerak utama (driving force) dari inovasi dan perubahan tersebut
adalah kemauan politik (political will) dari kepala daerah sebagai mesin penggerak
sistem kerja birokrasi pemerintahan di daerah untuk melakukan upaya-upaya inovasi
dan perubahan secara riil menuju kearah yang lebih baik. Kepala daerah yang memiliki
political will akan membuka ruang yang luas dan terbuka bagi dilakukannya inovasi dan
perubahan dalam pengelolaan sumber daya pemerintahan dan pembangunan daerah
sedemikian rupa untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel,
transparan dan bertanggungjawab, serta pelayanan masyarakat yang cepat, murah, baik,
dan mampu memenuhi kebutuhan riil masyarakat.

       Inovasi   bagi   pemerintah    daerah      merupakan   suatu   keharusan   guna
mengimplementasikan substansi desentralisasi, yaitu mengupayakan peningkatan
kesejahteraan bagi masyarakatnya berdasarkan aspirasi dan potensi lokal serta
pengentasan kemiskinan secara berkesinambungan. Kisah menyenangkan dari
pelaksanaan otonomi daerah justru diperolah dari penerapan inovasi dan perubahan
yang dilakukan pemerintahan daerah. Pengalaman inovasi pemerintahan yang berhasil
diantaranya dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Prefektur Oita di Jepang yang
melakukan inovasi program pembangunan daerah pada tahun 1979 melalui gerakan One
Village One Product (OVOP). Gerakan OVOP terbukti mampu mengubah Oita yang
sebelumnya terbelakang secara ekonomi menjadi sebuah daerah yang sukses secara
ekonomi (CCLAD, 2000). Untuk kasus Indonesia, telah banyak daerah yang melakukan
inovasi program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Misalnya, Kabupaten
Jembrana dalam peningkatan pelayanan publik dan perekonomian daerah, Kabupaten
Banjarnegara melalui Pembenahan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Banjarnegara, Kabupaten Deliserdang melalui pembentukan LEPP-M3 sebagai upaya
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, Kabupaten Gianyar melalui program
Gianyar Sejahtera (Tifa, 2004), maupun Kabupaten Sumba Timur melalui pelatihan
aparatur pemerintah desa (Apkasi, 2003 dalam Tifa, 2004).

       Pengalaman menarik yang dapat dijadikan pelajaran penting untuk dikaji dalam
kasus inovasi pemerintahan daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan


                                         - 36 -
masyarakat (diantaranya melalui pelayanan) adalah Kabupaten Jembrana. Pemerintah
kabupaten Jembrana memiliki pengalaman dalam mendesain dan melaksanakan
program inovasi pemerintahan yang terbukti sukses sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya secara signifikan. Hasil studi yang dilakukan PPKSD
FISIP UI dan Yayasan TIFA (2004) menemukan bahwa dalam kurun waktu 3-4 tahun,
Kabupaten Jembrana dapat mengurangi persentase keluarga miskin sebesar 44% (Tahun
2001 19,4% berkurang menjadi hanya 10,9% pada tahun 2003). Prestasi lainya adalah
kematian bayi per seribu lahir hidup pada tahun 2001 sebesar 15,25% berkurang
menjadi 8,39% atau berkurang 45 %. Tingkat drop out (DO) siswa Sekolah Dasar (SD)
pada tahun 2001 mencapai 0,08% menjadi 0,02% pada tahun 2003 atau berkurang 75 %.

       Hasil kajian di atas mencatat bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan
kabupaten Jembrana sukses dalam melakukan inovasi pemerintahan. Pada bidang
pendidikan, yang dilakukan oleh pemda Kabupaten Jembrana adalah membebaskan
semua SPP bagi seluruh sekolah negeri (SD, SLTP, SMU/SMK) serta pemberian
beasiswa bagi siswa sekolah swasta. Sedangkan pada bidang kesehatan, pemda
Kabupaten Jembrana mengeluarkan Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) dalam bentuk
asuransi yang diperoleh bagi setiap warga yang memiliki KTP. Dengan demikian
penduduk kabupaten Jembrana bebas biaya obat dan dokter serta bebas biaya rumah
sakit bagi warga miskin. Sedangkan pada bidang ekonomi pemda memprogramkan dana
talangan untuk menjaga harga hasil panen serta dana bergulir bagi kelompok tani.
Padahal APBD Jembrana hanya Rp193,1 miliar pada tahun 2003 dengan PAD hanya
Rp9,2 miliar. Bandingkan misalnya dengan Kota Makassar yang mencapai Rp500
miliar ataupun daerah lain yang lebih besar dari itu.

       Daerah lain seperti Enrekang juga sudah mulai akan mengimplementasikan
program inovasi dalam hal pengentasan kemiskinan dengan merumuskan indikator lokal
kemiskinan dan pemasaran hasil pertanian (Corner Makassar dan Yayasan TIFA, 2005).
Indikator lokal kemiskinan adalah merupakan upaya pemda dalam menyusun data untuk
kepentingan poverty targeting yang tidak bisa didapatkan dengan mengandalkan data
yang ada pada BPS dan BKKBN. Dengan adanya indikator lokal ini maka data orang
miskin menjadi lebih akurat serta dapat didesain program yang tepat berdasarkan
kebutuhan dari masyarakat miskin. Sedangkan program inovasi yang akan
diimplentasikan Pemda Enrekang dalam bidang pertanian adalah penangangan secara
mapping dalam proses pertanian mulai dari input, permodalan dan output. Pada


                                           - 37 -
permodalan akan dibentuk lembaga penjamin untuk memberikan kemudahan dan
dukungan modal bagi petani serta dalam bidang penanganan hasil pertanian adanya
badan pemasaran yang dilengkapi dengan terminal agro serta kendaraan angkut yang
tentu sangat membantu petani yang tersebar di wilayah Enrekang yang luas dan
topografinya didominasi pegunungan.

          Kisah menyenangkan mengenai daerah yang bekerja keras untuk kemakmuran
rakyatnya mungkin juga banyak ditemukan di daerah-daerah lain. Hanya saja karena
keterbatasan informasi maka mungkin keberhasilan-keberhasilan tersebut tidak banyak
diketahui publik. Namun yang terpenting adalah bahwa seharusnya daerah berlomba
untuk memikirkan dan melaksanakan program inovasi bagi kepentingan kesejahteraan
warganya. Program inovasi yang telah diimplementasikan oleh berbagai pemerintah
daerah diharapkan dapat menjadi inspirasi, pelajaran atau contoh bagi daerah lain yang
belum menerapkannya. Pengalaman dari daerah-daerah yang telah menerapkannya
menunjukkan bahwa inovasi merupakan suatu proses yang dimulai dengan keinginan
untuk menjadi lebih baik yang kemudian dilanjutkan dengan usaha untuk
mewujudkanya dan membuatnya berjalan dengan baik. Inovasi sangat terkait dengan
penemuan di mana secara umum inovasi muncul dari sebuah proses trial and error dan
bukan dari sebuah perencanaan yang besar. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam
menyusun program inovasi faktor-faktor yang mejadi pertimbangan dasar diantaranya
adalah adanya komitmen kepala daerah dan aparat birokrasi, keterlibatan semua
stakeholder dalam masyarakat, komitmen untuk melakukan efisiensi di semua sektor
dan pemilihan prioritas program yang akan dilakukan disesuaikan dengan kondisi lokal
walaupun terdapan pula beberapa hal yang merupakan kondisi umum.

          Kisah    sukses    lainnya   di   mana      pemerintah   daerah   berhasil   dalam
mengembangkan pelayanan publik yang lebih baik telah mulai mendapatkan
pengakuan, bahkan pada level internasional. Dalam proyek The World Bank’s Making
Services Work for the Poor (MSWP) pada tahun 2005 9 , diidentifikasi 9 jenis kasus
pelayanan di daerah yang dikategorikan sangat inovatif dan berhasil. Semua kasus ini
dinyatakan mempunyai dampak yang sangat positif terhadap perbaikan pelayanan
publik, dengan meliputi sedikitnya 500.000 penduduk miskin. Dalam laporannya,
pelayanan-pelayanan inovatif terjadi di bidang pendidikan, kesehatan, tranparansi
anggaran serta kinerja pemerintah dan akuntabilitas.

9
    Leisher & Nachuk, 2006


                                             - 38 -
Di bidang pendidikan, seperti di. Tanah Datar, di mana dilakukan reformasi di
bidang pendidikan dengan pemberian insentif kepada guru. Bentuknya adalah dengan
pemberian kesempatan kepada 4 persen dari jumlah guru yang bekerja di daerah serta
10 persen kepala sekolah untuk melakukan kunjungan ke luar negeri dengan tujuan
untuk menguasai metodologi pengajaran yang lebih baik. Selain itu jumlah sekolah dan
kelas dikurangi secara signifikan untuk mencapai rasio jumlah murid per kelas yang
proporsional. Daerah lain yang mencatatkan prestasi di bidang pendidikan adalah
Sulawesi Barat melalui proyek pendidikan CLCC (Creating Learning Communities for
Children) yang mendorong pengajaran aktif serta metode pembelajaran dan kualitas
guru yang lebih memadai. Proyek ini berhasil menciptakan metode pembelajaran yang
aktif dengan lebih melibatkan orang tua dan murid. Proyek ini telah mengalami
perluasan (scaling-up) mencapai 35% pada sekolah-sekolah negeri.

       Di bidang pelayanan kesehatan, selain kasus Jembrana yang telah diungkap
sebelumnya, kasus di Pemalang menjadi salah satu best practice, di mana pemerintah
daerah menyediakan voucher kepada ibu hamil dari kelompok masyarakat miskin agar
mendapatkan pelayanan bersalin. Selama proyek berlangsung, tercatat jumlah pelayanan
bersalin meningkat dua kali lipat, dan luas wilayah pelayanan di tingkat desa-desa
mencapai 95 persen. Sementara itu, proyek WSLIC-2 (Second Water and Sanitation for
Low-Income Communities Project) di Jawa Timur uga mendapat perhatian, karena
keberhasilannya dalam meningkatkan akses warga terhadap air bersih 50 persen dari
seluruh target. Warga di bangun kesadarannya untuk memiliki perilaku yang sehat dan
rasa memiliki terhadap sistem supply air

       Dalam hal transparansi anggaran, kasus Bandung adalah contoh yang diangkat
dalam laporan ini. Dalam rangka pembangunan transparansi anggaran ini, lembaga
swadaya masyarakat BIGS (Bandung Institute of Goverance Studies) memegang peran
penting dengan menyebarkan informasi anggaran pemerintah kota melalui penerbitan
buku-buku, poster, majalah, dan melatih sekitar 100 orang termasuk wartawan/jurnalis,
politisi dan yang lainnya untuk dapat memanfaatkan informasi tersebut, sekaligus
membangun kesadaran warga mengenai pentingnya transparansi anggaran. Beberapa
kota dan LSM di luar Bandung mulai meniru pola pemberdayaan seperti ini.

       Selain itu, salah satu inovasi yang juga banyak dilakukan pemda dalam upaya
peningkatan pelayanan adalah dengan menerapkan pelayanan yang berbasis teknologi
(internet), yang sering dinamakan dengan e-government. Pelayanan berbasis e-


                                           - 39 -
government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan
yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan publik secara efektif dan efisien. Pelayanan berbasis e-government pada saat
ini diperlukan karena pada saat ini Indonesia tengah mengalami perubahan kehidupan
berbangsa dan bernegara secara fundamental, dari sistem kepemerintahan yang otoriter
dan sentralistik menuju ke sistem kepemerintahan yang demokratis, dan menerapkan
perimbangan kewenangan pusat dan daerah otonom. Perubahan yang tengah terjadi
tersebut menuntut terbentuknya kepemerintahan yang bersih, transparan, dan mampu
menjawab tuntutan perubahan secara efektif. Sistem manajemen pemerintah yang
selama ini merupakan sistem hirarki kewenangan dan komando sektoral yang
mengerucut dan panjang, dirubah menjadi sistem manajemen organisasi jaringan yang
dapat memperpendek lini pengambilan keputusan serta memperluas rentang kendali.

       Penerapan e-government dapat menjadi jawaban dari tuntutan masyarakat yang
berbeda namun berkaitan erat terhadap Pemerintah daerah, yaitu: Pertama, tuntutan
masyarakat terhadap pelayanan publik yang memenuhi kepentingan masyarakat luas di
seluruh wilayah Indonesia, dapat diandalkan dan terpercaya, serta mudah dijangkau
secara interaktif; dan kedua, tuntutan masyarakat agar aspirasi mereka didengar,
sehingga pemerintah harus memfasilitasi partisipasi dan dialog publik dalam perumusan
kebijakan publik. Melalui pengembangan e-government, dilakukan penataan sistem
manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah daerah otonom. Hal itu
dilakukan dengan cara: Pertama, mengoptimasikan pemanfaatan kemajuan teknologi
informasi untuk mengeliminasi sekat-sekat organisasi dan birokrasi; dan Kedua,
membentuk jaringan sistem manajemen dan proses kerja yang memungkinkan instansi-
instansi pemerintah bekerja secara terpadu, untuk menyederhanakan akses ke semua
informasi dan pelayanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah daerah.

       Melalui pengembangan e-government, dilakukan penataan sistem manajemen
dan proses kerja di lingkungan pemerintah daerah otonom dengan mengoptimasikan
pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi tersebut mencakup
dua aktivitas yang saling berkaitan, yaitu: Pertama, pengolahan data, pengelolaan
informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara elektronis; dan Kedua,
pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara
mudah dan murah oleh masyarakat di seluruh wilayah negara. Untuk melaksanakan
maksud tersebut, pengembangan e-government diarahkan untuk mencapai empat tujuan,


                                         - 40 -
yaitu; Pertama, pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik yang
memiliki kualitas dan lingkup yang dapat memuaskan masyarakat luas serta dapat
terjangkau di seluruh wilayah setiap saat tanpa dibatasi oleh sekat waktu dan biaya yang
terjangkau oleh masyarakat; Kedua, pembentukan hubungan interaktif dengan dunia
usaha untuk meningkatkan perkem-bangan perekonomian nasional dan memperkuat
kemampuan menghadapi perubahan dan persaingan perdagangan internasional; Ketiga,
pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan lembaga-lembaga negara dan
daerah lain serta penyediaan fasilitas dialog publik bagi masyarakat agar dapat
berpartisipasi dalam perumusan kebijakan negara; dan Keempat, pembentukan sistem
manajemen dan proses kerja yang transparan dan efisien serta memperlancar transaksi
dan layanan antar lembaga pemerintah dan pemerintah daerah otonom.

       Hingga saat ini telah banyak instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah
otonom yang berinisiatif mengembangkan pelayanan publik melalui jaringan
komunikasi dan informasi dalam bentuk situs web. Namun berdasarkan hasil
pengamatan yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, mayoritas
situs web Pemerintah Daerah Otonom masih berada pada tingkat pertama (persiapan)
dan hanya sebagian kecil yang telah mencapai tingkat dua (pematangan), sedangkan
tingkat tiga (pemantapan) dan empat (pemanfaatan) masih belum tercapai. Untuk itu
maka agar pelaksanaan kebijakan pengembangan e-government dapat dilaksanakan
secara sistematik dan terpadu, maka penyusunan kebijakan, peraturan dan perundang-
undangan, standarisasi, dan panduan yang diperlukan harus konsisten dan saling
mendukung. Perumusan yang dibuat perlu mengacu pada kerangka yang utuh, serta
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pembentukan pelayanan publik, dan penguatan
jaringan pengelolaan dan pengolahan informasi yang handal dan tepercaya.




Referensi:
   •   Atep Adya Barata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Gramedia. Jakarta.
   •   Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
       PT. Grasindo. Jakarta
   •   Joshi, Anuradha and Mick Moore. 2003. Institutionalised Co-production:
       Unorthodox Public Service Delivery in Challenging Environments. The Institute
       of Development Studies. Brighton.


                                          - 41 -
•   Kiser, Larry L. & Stephen L. Percy. 1980. The Concept of Coproduction and Its
    Implication for Public Service Delivery. Paper presented at the 1980 Annual
    Meetings of the American Society for Public Administration, on April 13-16.
    Indiana University. Bloomington.
•   Leisher, Susannah Hopkins & Stefan Nachuk. 2006. Making Services Work for
    the Poor: A Syinthesis of Nine Case Studies from Indonesia. Available online at
    http://www.innovations.harvard.edu/
•   Lembaga Administrasi Negara. 2003. Penyusunan Standar Pelayanan Publik.
    LAN. Jakarta.
•   Marschall, Melissa J. 2004. Citizen Participation and the Neighborhood Context:
    A New Look at the Coproduction of Local Public Goods. Political Research
    Quarterly. Academic Research Library.
•   McLaverty, Peter. 2002. Public Participation and Innovations in Community
    Governance. Ashgate. England.
•   Osborne, David & Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-
    Wesley Publishing Company. Massachusetts.
•   Osborne, David & Peter Plastrik, 1996. Banishing Bureaucracy: The Five
    Strategies for Reinventing Government, Addison-Wesley Publishing Company.
    Massachusetts.
•   Ostrom, Elinor. 1996. Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy, and
    Development." World Development, Vol. 24, No. 6 (June 1996), 1073-87.
•   Salamon, Leister M. (1995) Partners in Public Service. Baltimore. The John
    Hopkins University Press.
•   Suwarno, Yogi. 2005. The Emergence of Public Participation in Contemporary
    Indonesia: Coproduction Role of Neighborhood Association in delivering Public
    Service. Master Thesis at GSPA-ICU, Tokyo.
•   Zeithaml, Valerie A. et. al. 1990. Delivering Quality Service. The Free Press.
    New York




                                       - 42 -

Contenu connexe

Tendances

Pendekatan analisis kebijakan
Pendekatan analisis kebijakanPendekatan analisis kebijakan
Pendekatan analisis kebijakanNuzulul Putri
 
Kebijakan pelayanan publik slide
Kebijakan pelayanan publik  slideKebijakan pelayanan publik  slide
Kebijakan pelayanan publik slideMuhammad Khamdan
 
Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan NasionalJaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan NasionalMuh Saleh
 
Evaluasi ZI WBK WBBM Tahun 2022
Evaluasi ZI WBK WBBM Tahun 2022Evaluasi ZI WBK WBBM Tahun 2022
Evaluasi ZI WBK WBBM Tahun 2022Sujatmiko Wibowo
 
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik Dadang Solihin
 
2 sistem kesehatan nasional
2 sistem kesehatan nasional2 sistem kesehatan nasional
2 sistem kesehatan nasionalnoe irredenta
 
Visi, Misi, Strategi, Kebijakan, Program dan Kegiatan
Visi, Misi, Strategi, Kebijakan,  Program dan KegiatanVisi, Misi, Strategi, Kebijakan,  Program dan Kegiatan
Visi, Misi, Strategi, Kebijakan, Program dan KegiatanDadang Solihin
 
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan DesaPengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan DesaFormasi Org
 
Kebijakan Penyusunan Renstra K/L dan SKPD
Kebijakan Penyusunan Renstra K/L dan SKPDKebijakan Penyusunan Renstra K/L dan SKPD
Kebijakan Penyusunan Renstra K/L dan SKPDDadang Solihin
 
Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)Joy Irman
 
Model Formulasi Kebijakan
Model Formulasi KebijakanModel Formulasi Kebijakan
Model Formulasi KebijakanZakiah dr
 
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikAgenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikTri Widodo W. UTOMO
 

Tendances (20)

Analisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publikAnalisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publik
 
Ppt rs
Ppt rsPpt rs
Ppt rs
 
Pendekatan analisis kebijakan
Pendekatan analisis kebijakanPendekatan analisis kebijakan
Pendekatan analisis kebijakan
 
Kebijakan pelayanan publik slide
Kebijakan pelayanan publik  slideKebijakan pelayanan publik  slide
Kebijakan pelayanan publik slide
 
Hukum kesehatan
Hukum kesehatanHukum kesehatan
Hukum kesehatan
 
Model implementasi
Model implementasi Model implementasi
Model implementasi
 
Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan NasionalJaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional
 
Evaluasi ZI WBK WBBM Tahun 2022
Evaluasi ZI WBK WBBM Tahun 2022Evaluasi ZI WBK WBBM Tahun 2022
Evaluasi ZI WBK WBBM Tahun 2022
 
Anatomi kontrak
Anatomi kontrakAnatomi kontrak
Anatomi kontrak
 
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik
 
2 sistem kesehatan nasional
2 sistem kesehatan nasional2 sistem kesehatan nasional
2 sistem kesehatan nasional
 
Visi, Misi, Strategi, Kebijakan, Program dan Kegiatan
Visi, Misi, Strategi, Kebijakan,  Program dan KegiatanVisi, Misi, Strategi, Kebijakan,  Program dan Kegiatan
Visi, Misi, Strategi, Kebijakan, Program dan Kegiatan
 
Formulasi kebijakan
Formulasi kebijakanFormulasi kebijakan
Formulasi kebijakan
 
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan DesaPengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
 
Organisasi Pemerintahan
Organisasi PemerintahanOrganisasi Pemerintahan
Organisasi Pemerintahan
 
materi BPKP
materi BPKPmateri BPKP
materi BPKP
 
Kebijakan Penyusunan Renstra K/L dan SKPD
Kebijakan Penyusunan Renstra K/L dan SKPDKebijakan Penyusunan Renstra K/L dan SKPD
Kebijakan Penyusunan Renstra K/L dan SKPD
 
Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
 
Model Formulasi Kebijakan
Model Formulasi KebijakanModel Formulasi Kebijakan
Model Formulasi Kebijakan
 
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikAgenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
 

En vedette

Standar pelayanan publik
Standar pelayanan publikStandar pelayanan publik
Standar pelayanan publikherlambangdiaz
 
PERAN KEPEMIMPINAN DALAM INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Sebuah Aktualisasi Revolus...
PERAN KEPEMIMPINAN DALAM INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Sebuah Aktualisasi Revolus...PERAN KEPEMIMPINAN DALAM INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Sebuah Aktualisasi Revolus...
PERAN KEPEMIMPINAN DALAM INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Sebuah Aktualisasi Revolus...Tri Widodo W. UTOMO
 
RB, Pelayanan Publik, dan Inovasi
RB, Pelayanan Publik, dan InovasiRB, Pelayanan Publik, dan Inovasi
RB, Pelayanan Publik, dan InovasiTri Widodo W. UTOMO
 
Standar pelayanan publik kemenpan-revised2
Standar pelayanan publik kemenpan-revised2Standar pelayanan publik kemenpan-revised2
Standar pelayanan publik kemenpan-revised2Agus Dwiyanto
 
Bahan Konsep Kelembagaan PI UMKM oleh Tatang Taufik
Bahan Konsep Kelembagaan PI UMKM   oleh Tatang TaufikBahan Konsep Kelembagaan PI UMKM   oleh Tatang Taufik
Bahan Konsep Kelembagaan PI UMKM oleh Tatang TaufikTatang Taufik
 
Pelayanan publik drs. hatam tafsir, mm
Pelayanan publik   drs. hatam tafsir, mmPelayanan publik   drs. hatam tafsir, mm
Pelayanan publik drs. hatam tafsir, mmTata Tarmidi
 
Modul Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Desa karya Bayu Setyo Nugroho
Modul Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Desa karya Bayu Setyo NugrohoModul Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Desa karya Bayu Setyo Nugroho
Modul Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Desa karya Bayu Setyo NugrohoGedhe Foundation
 
Standar Operasional Prosedur, Standar Pelayanan dan Percepatan Reformasi Biro...
Standar Operasional Prosedur, Standar Pelayanan dan Percepatan Reformasi Biro...Standar Operasional Prosedur, Standar Pelayanan dan Percepatan Reformasi Biro...
Standar Operasional Prosedur, Standar Pelayanan dan Percepatan Reformasi Biro...Tiwi Pratiwi
 
Budaya Inovasi dan Pengembangan Teknoprener 2013 Tatang A. Taufik
Budaya Inovasi dan Pengembangan Teknoprener 2013   Tatang A. TaufikBudaya Inovasi dan Pengembangan Teknoprener 2013   Tatang A. Taufik
Budaya Inovasi dan Pengembangan Teknoprener 2013 Tatang A. TaufikTatang Taufik
 
Penguatan Sistem Inovasi Daerah
Penguatan Sistem Inovasi DaerahPenguatan Sistem Inovasi Daerah
Penguatan Sistem Inovasi DaerahMuh Saleh
 
Issu-Issu Umum Dalam Pengembangan Inovasi Pemerintahan Daerah
Issu-Issu Umum Dalam Pengembangan Inovasi Pemerintahan DaerahIssu-Issu Umum Dalam Pengembangan Inovasi Pemerintahan Daerah
Issu-Issu Umum Dalam Pengembangan Inovasi Pemerintahan DaerahTri Widodo W. UTOMO
 
Barang publik dan klasifikasi barang
Barang publik dan klasifikasi barangBarang publik dan klasifikasi barang
Barang publik dan klasifikasi barangBasuki Rahmat
 
Memprakarsai Pengembangan Sistem Inovasi Daerah
Memprakarsai Pengembangan Sistem Inovasi DaerahMemprakarsai Pengembangan Sistem Inovasi Daerah
Memprakarsai Pengembangan Sistem Inovasi DaerahTatang Taufik
 
Isi makalah Standar pelayanan
Isi makalah Standar pelayanan Isi makalah Standar pelayanan
Isi makalah Standar pelayanan Wawan Wan
 

En vedette (19)

Standar pelayanan publik
Standar pelayanan publikStandar pelayanan publik
Standar pelayanan publik
 
PERAN KEPEMIMPINAN DALAM INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Sebuah Aktualisasi Revolus...
PERAN KEPEMIMPINAN DALAM INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Sebuah Aktualisasi Revolus...PERAN KEPEMIMPINAN DALAM INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Sebuah Aktualisasi Revolus...
PERAN KEPEMIMPINAN DALAM INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Sebuah Aktualisasi Revolus...
 
RB, Pelayanan Publik, dan Inovasi
RB, Pelayanan Publik, dan InovasiRB, Pelayanan Publik, dan Inovasi
RB, Pelayanan Publik, dan Inovasi
 
Standar pelayanan publik kemenpan-revised2
Standar pelayanan publik kemenpan-revised2Standar pelayanan publik kemenpan-revised2
Standar pelayanan publik kemenpan-revised2
 
Reformasi Pelayanan Publik
Reformasi Pelayanan PublikReformasi Pelayanan Publik
Reformasi Pelayanan Publik
 
Janji / Maklumat Pelayanan
Janji / Maklumat PelayananJanji / Maklumat Pelayanan
Janji / Maklumat Pelayanan
 
Bahan Konsep Kelembagaan PI UMKM oleh Tatang Taufik
Bahan Konsep Kelembagaan PI UMKM   oleh Tatang TaufikBahan Konsep Kelembagaan PI UMKM   oleh Tatang Taufik
Bahan Konsep Kelembagaan PI UMKM oleh Tatang Taufik
 
Pelayanan publik drs. hatam tafsir, mm
Pelayanan publik   drs. hatam tafsir, mmPelayanan publik   drs. hatam tafsir, mm
Pelayanan publik drs. hatam tafsir, mm
 
Makalah sistem pemerintahan daerah
Makalah sistem pemerintahan daerahMakalah sistem pemerintahan daerah
Makalah sistem pemerintahan daerah
 
Modul Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Desa karya Bayu Setyo Nugroho
Modul Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Desa karya Bayu Setyo NugrohoModul Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Desa karya Bayu Setyo Nugroho
Modul Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Desa karya Bayu Setyo Nugroho
 
Standar Operasional Prosedur, Standar Pelayanan dan Percepatan Reformasi Biro...
Standar Operasional Prosedur, Standar Pelayanan dan Percepatan Reformasi Biro...Standar Operasional Prosedur, Standar Pelayanan dan Percepatan Reformasi Biro...
Standar Operasional Prosedur, Standar Pelayanan dan Percepatan Reformasi Biro...
 
Budaya Inovasi dan Pengembangan Teknoprener 2013 Tatang A. Taufik
Budaya Inovasi dan Pengembangan Teknoprener 2013   Tatang A. TaufikBudaya Inovasi dan Pengembangan Teknoprener 2013   Tatang A. Taufik
Budaya Inovasi dan Pengembangan Teknoprener 2013 Tatang A. Taufik
 
Penguatan Sistem Inovasi Daerah
Penguatan Sistem Inovasi DaerahPenguatan Sistem Inovasi Daerah
Penguatan Sistem Inovasi Daerah
 
Issu-Issu Umum Dalam Pengembangan Inovasi Pemerintahan Daerah
Issu-Issu Umum Dalam Pengembangan Inovasi Pemerintahan DaerahIssu-Issu Umum Dalam Pengembangan Inovasi Pemerintahan Daerah
Issu-Issu Umum Dalam Pengembangan Inovasi Pemerintahan Daerah
 
Barang publik dan klasifikasi barang
Barang publik dan klasifikasi barangBarang publik dan klasifikasi barang
Barang publik dan klasifikasi barang
 
Makalah sistem pemerintahan daerah
Makalah sistem pemerintahan daerahMakalah sistem pemerintahan daerah
Makalah sistem pemerintahan daerah
 
Memprakarsai Pengembangan Sistem Inovasi Daerah
Memprakarsai Pengembangan Sistem Inovasi DaerahMemprakarsai Pengembangan Sistem Inovasi Daerah
Memprakarsai Pengembangan Sistem Inovasi Daerah
 
Inovasi Pelayanan Publik
Inovasi Pelayanan PublikInovasi Pelayanan Publik
Inovasi Pelayanan Publik
 
Isi makalah Standar pelayanan
Isi makalah Standar pelayanan Isi makalah Standar pelayanan
Isi makalah Standar pelayanan
 

Similaire à STANDAR PELAYANAN

pelayanan sektor publik (otofianus.docx
pelayanan sektor publik (otofianus.docxpelayanan sektor publik (otofianus.docx
pelayanan sektor publik (otofianus.docxJulianBastenRumbobia
 
52384 id-reformasi-manajemen-pelayanan-publik-men (1)
52384 id-reformasi-manajemen-pelayanan-publik-men (1)52384 id-reformasi-manajemen-pelayanan-publik-men (1)
52384 id-reformasi-manajemen-pelayanan-publik-men (1)Mhd Habib
 
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.doc
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.docMASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.doc
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.docsyakurabdul2
 
1. Produksi barang dan Jasa.pptx
1. Produksi barang dan Jasa.pptx1. Produksi barang dan Jasa.pptx
1. Produksi barang dan Jasa.pptxarzax24
 
inovasi birokrasi
inovasi birokrasiinovasi birokrasi
inovasi birokrasinumbelz
 
Manajemen publik
Manajemen publikManajemen publik
Manajemen publikAlfajar A
 
Manajemen publik
Manajemen publikManajemen publik
Manajemen publikAlfajar A
 
Manajemen pelayanan publikedit
Manajemen pelayanan publikeditManajemen pelayanan publikedit
Manajemen pelayanan publikeditSLAMET SUGIHARTO
 

Similaire à STANDAR PELAYANAN (20)

Standar pelayanan publik daerah
Standar pelayanan publik daerahStandar pelayanan publik daerah
Standar pelayanan publik daerah
 
Standar pelayanan publik daerah
Standar pelayanan publik daerahStandar pelayanan publik daerah
Standar pelayanan publik daerah
 
Standar pelayanan publik daerah
Standar pelayanan publik daerahStandar pelayanan publik daerah
Standar pelayanan publik daerah
 
Standar pelayanan publik daerah STIP WUNA
Standar pelayanan publik daerah STIP WUNA Standar pelayanan publik daerah STIP WUNA
Standar pelayanan publik daerah STIP WUNA
 
pelayanan sektor publik (otofianus.docx
pelayanan sektor publik (otofianus.docxpelayanan sektor publik (otofianus.docx
pelayanan sektor publik (otofianus.docx
 
52384 id-reformasi-manajemen-pelayanan-publik-men (1)
52384 id-reformasi-manajemen-pelayanan-publik-men (1)52384 id-reformasi-manajemen-pelayanan-publik-men (1)
52384 id-reformasi-manajemen-pelayanan-publik-men (1)
 
Bab II
Bab IIBab II
Bab II
 
Pelayanan publik
Pelayanan publikPelayanan publik
Pelayanan publik
 
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.doc
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.docMASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.doc
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.doc
 
Prinsip prinsip-pelayanan-publik2
Prinsip prinsip-pelayanan-publik2Prinsip prinsip-pelayanan-publik2
Prinsip prinsip-pelayanan-publik2
 
Makalah pelayanan publik STIP WUNA
Makalah pelayanan publik STIP WUNA Makalah pelayanan publik STIP WUNA
Makalah pelayanan publik STIP WUNA
 
Makalah pelayanan publik
Makalah pelayanan publikMakalah pelayanan publik
Makalah pelayanan publik
 
1. Produksi barang dan Jasa.pptx
1. Produksi barang dan Jasa.pptx1. Produksi barang dan Jasa.pptx
1. Produksi barang dan Jasa.pptx
 
Makalah pelayanan publik
Makalah pelayanan publikMakalah pelayanan publik
Makalah pelayanan publik
 
inovasi birokrasi
inovasi birokrasiinovasi birokrasi
inovasi birokrasi
 
Manajemen publik
Manajemen publikManajemen publik
Manajemen publik
 
Manajemen publik
Manajemen publikManajemen publik
Manajemen publik
 
Makalah kualitas pelayanan publik di indonesia
Makalah kualitas pelayanan publik di indonesiaMakalah kualitas pelayanan publik di indonesia
Makalah kualitas pelayanan publik di indonesia
 
Manajemen pelayanan publikedit
Manajemen pelayanan publikeditManajemen pelayanan publikedit
Manajemen pelayanan publikedit
 
PPP-01.pdf
PPP-01.pdfPPP-01.pdf
PPP-01.pdf
 

Plus de Dickdick Maulana

Uu no. 44_th_2009_ttg_rumah_sakit
Uu no. 44_th_2009_ttg_rumah_sakit Uu no. 44_th_2009_ttg_rumah_sakit
Uu no. 44_th_2009_ttg_rumah_sakit Dickdick Maulana
 
Kepmenkes 1087-standar-k3-rs
Kepmenkes 1087-standar-k3-rs Kepmenkes 1087-standar-k3-rs
Kepmenkes 1087-standar-k3-rs Dickdick Maulana
 
Pmk no. 541_ttg_program_tugas_belajar_sdm_kesehatan_depkes_ri
Pmk no. 541_ttg_program_tugas_belajar_sdm_kesehatan_depkes_ri Pmk no. 541_ttg_program_tugas_belajar_sdm_kesehatan_depkes_ri
Pmk no. 541_ttg_program_tugas_belajar_sdm_kesehatan_depkes_ri Dickdick Maulana
 
Pmk no. 1199 ttg pedoman pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja
Pmk no. 1199 ttg pedoman pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerjaPmk no. 1199 ttg pedoman pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja
Pmk no. 1199 ttg pedoman pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerjaDickdick Maulana
 
Materi HSP Sanitarian RS 2014 Dinkes Jabar
Materi  HSP Sanitarian RS 2014 Dinkes JabarMateri  HSP Sanitarian RS 2014 Dinkes Jabar
Materi HSP Sanitarian RS 2014 Dinkes JabarDickdick Maulana
 
Perda no. 2 thn 2014 b3 final otentifikasi
Perda no. 2 thn 2014  b3 final otentifikasi Perda no. 2 thn 2014  b3 final otentifikasi
Perda no. 2 thn 2014 b3 final otentifikasi Dickdick Maulana
 
Pengelolaan Sampah Melalui Pengurangan
Pengelolaan Sampah Melalui PenguranganPengelolaan Sampah Melalui Pengurangan
Pengelolaan Sampah Melalui PenguranganDickdick Maulana
 
Pp no. 19_th_2003_ttg_pengamanan_rokok_bagi_kesehatan
Pp no. 19_th_2003_ttg_pengamanan_rokok_bagi_kesehatanPp no. 19_th_2003_ttg_pengamanan_rokok_bagi_kesehatan
Pp no. 19_th_2003_ttg_pengamanan_rokok_bagi_kesehatanDickdick Maulana
 
Sufg clean coal technologies report
Sufg clean coal technologies reportSufg clean coal technologies report
Sufg clean coal technologies reportDickdick Maulana
 
Pharmaceutical in drinking water
Pharmaceutical in drinking water Pharmaceutical in drinking water
Pharmaceutical in drinking water Dickdick Maulana
 
Sakit dan lingkungan hidup
Sakit dan lingkungan hidup Sakit dan lingkungan hidup
Sakit dan lingkungan hidup Dickdick Maulana
 
Lingkungan air (hidrosphere) lnjtn.
Lingkungan air (hidrosphere) lnjtn. Lingkungan air (hidrosphere) lnjtn.
Lingkungan air (hidrosphere) lnjtn. Dickdick Maulana
 
Lingkungan air (hidrosphere)
Lingkungan air (hidrosphere) Lingkungan air (hidrosphere)
Lingkungan air (hidrosphere) Dickdick Maulana
 
Metode penelitian survai editor masri singarimbun, sofian effendi
Metode penelitian survai   editor masri singarimbun, sofian effendiMetode penelitian survai   editor masri singarimbun, sofian effendi
Metode penelitian survai editor masri singarimbun, sofian effendiDickdick Maulana
 
Sni 6989.59 2008 metoda pengambilan contoh air limbah
Sni 6989.59 2008 metoda pengambilan contoh air limbahSni 6989.59 2008 metoda pengambilan contoh air limbah
Sni 6989.59 2008 metoda pengambilan contoh air limbahDickdick Maulana
 

Plus de Dickdick Maulana (20)

Uu no. 44_th_2009_ttg_rumah_sakit
Uu no. 44_th_2009_ttg_rumah_sakit Uu no. 44_th_2009_ttg_rumah_sakit
Uu no. 44_th_2009_ttg_rumah_sakit
 
Kepmenkes 1087-standar-k3-rs
Kepmenkes 1087-standar-k3-rs Kepmenkes 1087-standar-k3-rs
Kepmenkes 1087-standar-k3-rs
 
Pmk no. 541_ttg_program_tugas_belajar_sdm_kesehatan_depkes_ri
Pmk no. 541_ttg_program_tugas_belajar_sdm_kesehatan_depkes_ri Pmk no. 541_ttg_program_tugas_belajar_sdm_kesehatan_depkes_ri
Pmk no. 541_ttg_program_tugas_belajar_sdm_kesehatan_depkes_ri
 
Pmk no. 1199 ttg pedoman pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja
Pmk no. 1199 ttg pedoman pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerjaPmk no. 1199 ttg pedoman pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja
Pmk no. 1199 ttg pedoman pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja
 
Materi HSP Sanitarian RS 2014 Dinkes Jabar
Materi  HSP Sanitarian RS 2014 Dinkes JabarMateri  HSP Sanitarian RS 2014 Dinkes Jabar
Materi HSP Sanitarian RS 2014 Dinkes Jabar
 
Perda no. 2 thn 2014 b3 final otentifikasi
Perda no. 2 thn 2014  b3 final otentifikasi Perda no. 2 thn 2014  b3 final otentifikasi
Perda no. 2 thn 2014 b3 final otentifikasi
 
Pengelolaan Sampah
Pengelolaan SampahPengelolaan Sampah
Pengelolaan Sampah
 
Pengelolaan Sampah Melalui Pengurangan
Pengelolaan Sampah Melalui PenguranganPengelolaan Sampah Melalui Pengurangan
Pengelolaan Sampah Melalui Pengurangan
 
Pp no. 19_th_2003_ttg_pengamanan_rokok_bagi_kesehatan
Pp no. 19_th_2003_ttg_pengamanan_rokok_bagi_kesehatanPp no. 19_th_2003_ttg_pengamanan_rokok_bagi_kesehatan
Pp no. 19_th_2003_ttg_pengamanan_rokok_bagi_kesehatan
 
Sufg clean coal technologies report
Sufg clean coal technologies reportSufg clean coal technologies report
Sufg clean coal technologies report
 
Kesling 2
Kesling 2 Kesling 2
Kesling 2
 
Water quality strategy
Water quality strategy Water quality strategy
Water quality strategy
 
Pharmaceutical in drinking water
Pharmaceutical in drinking water Pharmaceutical in drinking water
Pharmaceutical in drinking water
 
Sakit dan lingkungan hidup
Sakit dan lingkungan hidup Sakit dan lingkungan hidup
Sakit dan lingkungan hidup
 
Kesehatan lingkungan
Kesehatan lingkungan Kesehatan lingkungan
Kesehatan lingkungan
 
Lingkungan air (hidrosphere) lnjtn.
Lingkungan air (hidrosphere) lnjtn. Lingkungan air (hidrosphere) lnjtn.
Lingkungan air (hidrosphere) lnjtn.
 
Lingkungan air (hidrosphere)
Lingkungan air (hidrosphere) Lingkungan air (hidrosphere)
Lingkungan air (hidrosphere)
 
Metode penelitian survai editor masri singarimbun, sofian effendi
Metode penelitian survai   editor masri singarimbun, sofian effendiMetode penelitian survai   editor masri singarimbun, sofian effendi
Metode penelitian survai editor masri singarimbun, sofian effendi
 
Tetraethyl orthosilicate
Tetraethyl orthosilicateTetraethyl orthosilicate
Tetraethyl orthosilicate
 
Sni 6989.59 2008 metoda pengambilan contoh air limbah
Sni 6989.59 2008 metoda pengambilan contoh air limbahSni 6989.59 2008 metoda pengambilan contoh air limbah
Sni 6989.59 2008 metoda pengambilan contoh air limbah
 

STANDAR PELAYANAN

  • 1. STANDAR PELAYANAN PUBLIK DI DAERAH1 oleh: Yogi S2 & M. Ikhsan3 I. Pelayanan Publik a. Pengertian Dalam konteks ke-Indonesia-an, penggunaan istilah pelayanan publik (public service) dianggap memiliki kesamaan arti dengan istilah pelayanan umum atau pelayanan masyarakat. Oleh karenanya ketiga istilah tersebut dipergunakan secara interchangeable, dan dianggap tidak memiliki perbedaan mendasar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan pengertian pelayanan bahwa “pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000) didefinisikan sebagai “a system that provides something that the public needs, organized by the government or a private company”. Oleh karenanya, pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public), terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan negara. Public dalam pengertian umum atau masyarakat dapat kita temukan dalam istilah public offering (penawaran umum), public ownership (milik umum), dan public utility (perusahaan umum), public relations (hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat), public interest (kepentingan umum) dll. Sedangkan dalam pengertian negara salah satunya adalah public authorities (otoritas negara), public building (bangunan negara), public revenue (penerimaan negara) dan public sector (sektor negara) 4 . Dalam hal ini, pelayanan publik merujukkan istilah publik lebih dekat pada pengertian masyarakat atau umum. Namun demikian pengertian publik yang melekat pada pelayanan publik tidak sepenuhnya sama dan sebangun dengan pengertian masyarakat. Nurcholish (2005: 178) memberikan pengertian publik sebagai sejumlah orang yang mempunyai kebersamaa berfikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki. 1 Tulisan ini dimuat dalam salah satu Bab pada Handbook Manajemen Pemerintahan Daerah. terbitan PKKOD-LAN, 2006. 2 Dosen Tetap STIA-LAN untuk mata kuliah Difusi Inovasi dalam Pemerintahan, dan Peneliti pada Pusat Kajian Administrasi Internasional 3 Dosen STIA-LAN untuk mata kuliah Keuangan Daerah dan Manajemen BUMN & BUMD 4 Lihat lebih detail di Nurcholis (2005) hal. 175. -1-
  • 2. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Oxford (2000) dijelaskan pengertian public service sebagai “a service such as transport or health care that a government or an official organization provides for people in general in a particular society”. Fungsi pelayanan publik adalah salah satu fungsi fundamental yang harus diemban pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Fungsi ini juga diemban oleh BUMN/BUMD dalam memberikan dan menyediakan layanan jasa dan atau barang publik Dalam konsep pelayanan, dikenal dua jenis pelaku pelayanan, yaitu penyedia layanan dan penerima layanan. Penyedia layanan atau service provider (Barata, 2003: 11) adalah pihak yang dapat memberikan suatu layanan tertentu kepada konsumen, baik berupa layanan dalam bentuk penyediaan da penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa (services). Penerima layanan atau service receiver adalah pelanggan (customer) atau konsumen (consumer) yang menerima layanan dari para penyedia layanan. Adapun berdasarkan status keterlibatannya dengan pihak yang melayani 5 terdapat 2 (dua) golongan pelanggan , yaitu: (a) pelanggan internal, yaitu orang-orang yang terlibat dalam proses penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan, pencitaan jasa atau pembuatan barang, sampai dengan pemasaran barang, penjualan dan pengadministrasiannya. dan (b) pelanggan eksternal, yaitu semua orang yang berada di luar organisasi yang menerima layanan penyerahan barang atau jasa. Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan swasta. Namun demikian terdapat persamaan di antara keduanya, yaitu: a. keduanya berusaha memenuhi harapan pelanggan, dan mendapatkan kepercayaannya; b. Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup organisasi. 5 Lihat lebih detail di Barata (2003). hal 11-13 -2-
  • 3. Sementara karakteristik khusus dari pelayanan publik yang membedakannya dari pelayanan swasta adalah: a. Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak nyata. Misalnya perijinan, sertifikat, peraturan, informasi keamanan, ketertiban, kebersihan, transportasi dan lain sebagainya. b. Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan membentuk sebuah jalinan sistem pelayanan yang bersaka regional, atau bahkan nasional. Contonya dalam hal pelayanan transportasi, pelayanan bis kota akan bergabung dengan pelayanan mikrolet, bajaj, ojek, taksi dan kereta api untuk membentuk sistem pelayanan angkutan umum di Jakarta. c. Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan organisasi pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia pelayanan berlaku prinsip utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal. Namun situasi nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokkan petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal. d. Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan peningkatan mutu pelayanan. Semakin tinggi mutu pelayanan bagi masyarakat, maka semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan demikian akan semakin tinggi pula peran serta masyarakat dalam kegiatan pelayanan. e. Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung, yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengembangan pelayanan. Desakan untuk memperbaiki pelayanan oleh polisi bukan dilakukan oleh hanya pelanggan langsung (mereka yang pernah mengalami gangguan keamanan saja), akan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat. f. Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing. b. Ruang Lingkup Secara umum, pelayanan dapat berbentuk barang yang nyata (tangible), barang tidak nyata (intangible), dan juga dapat berupa jasa. Layanan barang tidak nyata dan jasa adalah jenis layanan yang identik. Jenis-jenis pelayanan ini memiliki perbedaan mendasar, misalnya bahwa pelayanan barang sangat mudah diamati dan dinilai kualitasnya, sedangkan pelayanan jasa relatif lebih sulit untuk dinilai. Walaupun -3-
  • 4. demikian dalam prakteknya keduanya sulit untuk dipisahkan. Suatu pelayanan jasa biasanya diikuti dengan pelayanan barang, misalnya jasa pemasangan telepon berikut pesawat teleponnya, demikian pula sebaliknya pelayanan barang selalui diikuti dengan pelayanan jasanya. Namun demikian, secara garis besar, pelayanan dibedakan menjadi 2 (dua) jenis saja, yaitu barang dan jasa. Berikut ini adalah karakteristik pelayanan dari Gronroos (1990) yang menjelaskan perbedaan antara pelayanan barang dan jasa. Tabel 1 Perbedaan Karakteristik antara Barang dan Jasa Barang Jasa Sesuatu yang berwujud Sesuatu yang tidak berwujud Satu jenis barang dapat berlaku untuk Satu bentuk pelayanan kepada seseorang banyak orang (homogen) belum tentu sesuai/sama dengan bentuk jasa pelayanan kepada orang lain (heterogen) Proses produksi dan distribusinya Proses produksi dan distribusi pelayanan terpisah dengan proses konsumsi berlangsung bersamaan pada saat dikonsumsi Berupa barang/benda Berupa proses/kegiatan Nilai utamanya dihasilkan di perusahaan Nilai utamanya dihasilkan dalam proses interaksi antara penjual dan pembeli. Pembeli pada umumnya tidak terlibat Pembeli terlibat dalam proses produksi dalam proses produksi Dapat disimpan sebagai persediaan Tidak dapat disimpan Dapat terjadi perpindahan kepemilikan Tidak ada perpindahan kepemilikan Sumber: Gronroos (1990) Lebih lanjut Savas6 (1987) mengelompokkan jenis-jenis barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dan individu ke dalam 4 (empat) kelompok berdasarkan konsep exclusion dan consumption dalam hal pengelolaan penyedian pelayanan publik. Ciri dari exclusion akan melekat pada barang/jasa jika pengguna potensialnya dapat ditolak menggunakannya kecuali kalau yang bersangkutan dapat memenuhi persyaratan- persyaratan yang ditentukan penyedianya. Barang/jasa tersebut hanya dapat dipindah tangankan apabila terjadi kesepakatan antara pembeli dan pemasok. Sedangkan dari segi consumption adalah bahwa barang konsumsi merupakan barang atau jasa yang dapat dipergunakan secara bersama-sama atau kolektif oleh banyak orang tanpa ada pengurangan kualitas maupun kuantitasnya. 6 LAN. (2003). hal 10 -4-
  • 5. Tabel 2 Pengelompokan Barang dan Jasa berdasarkan Ciri Dasar Exclusion dan Consumption Consumption Exclusion Konsumsi Konsumsi Individual Kolektif Mudah mencegah orang Barang semi Barang privat lain untuk ikut menikmati publik Sulit mencegah orang lain Barang semi Barang untuk ikut menikmati privat publik Sumber : Savas, (1987) a. Barang privat Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual dan tidak dapat diperoleh oleh si pemakai tanpa persetujuan pemasoknya. Bentuk persetujuan biasanya dilakukan dengan penetapan dan negosiasi harga tertentu, serta transaksi pembelian. Contoh: makanan, pakaian. b. Barang semi privat Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual, namun sulit mencegah siapapun untuk memperolehnya meskipun mereka tidak mau membayar, atau biasa disebut juga sebagai barang semiprivat. Contoh dari barang semiprivat ini adalah pembelian radio ketika dinyatakan, si pemilik tidak dapat mencegah orang lain untuk tidak ikut mendengarkan. c. Barang semi publik Barang dan jasa jenis ini umumnya digunakan secara bersama-sama, namun si pengguna harus membayar dan mereka yang tidak dapat/mau membayar dapat dengan mudah dicegah dari kemungkinan menikmati barang tersebut. Semakin sulit atau mahal mencegah seseorang konsumen potensial dari pemanfaatan toll goods semakin serupa barang tersebut dangan ciri barang publik (Collective Goods). Atau biasa disebut juga dengan barang semi publik. Misal: jalan Toll, Jembatan Timbang d. Barang publik Barang dan jasa ini umumnya digunakan secara bersama-sama dan tidak mungkin mencegah siapapun untuk menggunakannya, sehingga masyarakat (pengguna) -5-
  • 6. pada umumnya tidak bersedia membayar berapapun tanpa dipaksa untuk memperoleh barang ini. Misal: jalan raya, taman Dari keempat pengelompokan barang tersebut, penyediaan jenis barang privat dan semi privat, dapat murni dilakukan oleh swasta. Sedangkan penyediaan barang semi publik dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Khusus untuk penyediaan jenis barang publik haruslah oleh pemerintah. Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut: a. Pendidikan. b. Kesehatan. c. Keagamaan. d. Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan. e. Rekreasi: taman, teater, musium, turisme. f. Sosial. g. Perumahan. h. Pemakaman/krematorium. i. Registrasi penduduk: kelahiran, kematian. j. Air minum. k. Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll. Dalam Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan publik secara garis besar adalah sebagai berikut: 1. Pelayanan administratif 2. Pelayanan barang 3. Pelayanan jasa Dari berbagai jenis pengelolaan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut, timbul beberapa persoalan dalam hal penyediaan pelayanan publik. Persoalan-persoalan tersebut diidentifikasi Wright (dalam LAN, 2003: 16) sebagai berikut: 1. Kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. 2. Pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian tinggi dalam hal teknologi produksi sehingga hubungan antara output dan input tidak dapat ditentukan dengan jelas. -6-
  • 7. 3. Pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. 4. Berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya. Di sisi lain, sektor swasta berperan dalam hal penyediaan barang dan jasa yang bersifat privat. Situasi persaingan selalu timbul dalam penyelenggaraan penyediaan barang dan jasa oleh sektor swasta. Ada kalanya pemerintah juga menyediakan layanan barang privat. Untuk menghindari crowding out effect, dimana pemerintah lebih berperan sebagai kompetitor pemain pasar lainnya, perlu diatur secara jelas, mana barang dan jasa yang harus diserahkan ke swasta, mana yang dapat dikerjakan secara bersama-sama, dan mana ang murni dikerjakan oleh pemerintah. c. Paradigma Pelayanan Pelayanan publik adalah identik dengan representasi dari eksistensi birokrasi pemerintahan, karena berkenaan langsung dengan salah satu fungsi pemerintah yaitu memberikan pelayanan. Oleh karenanya sebuah kualitas pelayanan publik merupakan cerminan dari sebuah kualitas birokrasi pemerintah. Di masa lalu, paradigma pelayanan publik lebih memberi peran yang sangat besar kepada pemerintah sebagai sole provider. Peran pihak di luar pemerintah tidak pernah mendapat tempat atau termarjinalkan. Masyarakat dan dunia swasta hanya memiliki sedikit peran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pada tahun 1990-an terjadi reformasi di sektor publik. Hal ini terjadi karena terjadi kesalahan dalam memahami (mitos) upaya perbaikan kinerja pemerintah. Berkenaan dengan hal tersebut, Osborne & Plastrik (1996: 13) menjelaskan 5 mitos di seputar reformasi sektor publik, yaitu: 1. Mitos Liberal, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan yang lebih dan bekerja lebih banyak (spending more and doing more). Dalam kenyataannya, menganggarkan banyak uang kepada sistem yang disfuingsional tidak menghasilkan hasil yang signifikan. 2. Mitos Konservatif, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan yang dikurangi dan bekerja lebih sedikit (spending less and doing less). Dalam -7-
  • 8. kenyataannya, penghematan yang dilakukan pemerintah terhadap anggarannya tiak menolong kinerja pemerintah menjadi lebih baik. 3. Mitos Bisnis, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalu penyelenggaraan pemeritahan yang meniru teknik penyelenggaraan bisnis. Dalam kenyataannya, walaupun metafora bisnis dan teknik manajemen seringkali menolong, namun ada perbedaan kritis antara realitas sektor publik dan bisnis. 4. Mitos Pekerja, bahwa kinerja pegawai pemerintah dapat meningkat apabila mempunyai uang yang cukup. Dalam kenyataannya kita harus mengubah cara sumber daya dimanfaatkan jika kita ingin mengubah hasil. 5. Mitos Rakyat, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui perekrutan sumber daya manusia yang lebih baik. Dalam kenyataannya, masalahnya bukan terletak pada sumber daya, akan tetapi sistemlah yang menjebak mereka. Oleh karenanya berkenaan dengan reformasi di sektor publik, salah satu prinsip penting yang merubah paradigma pelayanan publik adalah prinsip streering rather than rowing. Berkenaan dengan prinsip ini, pemerintah diharapkan untuk lebih berperan sebagai pengarah daripada sekedar pengayuh. Fungsi pengayuh bisa dilakukan secara lebih efisien oleh pihak lain yang profesional. Prinsip ini menjelaskan bahwa pemerintah tidak dapat secara terus menerus bekerja sendirian, dan harus mulai mengubah paradigma pelayanan agar tujuan dari penyelenggaraan pelayanan dapat tercapai lebih baik lagi. Masih banyak prinsip-prinsip yang dikenalkan dalam konsep ini, namun intinya adalah semuanya mengubah cara pandang kita terhadap cara kerja pemerintahan. Semangat entrepreneurial government ini lebih didasarkan pada pengalaman yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Amerika Serikat. Konsep lain yang sebenarnya telah lebih dulu eksis dan memiliki kemiripan dengannya adalah New Public Management (NPM) yang dipelopori oleh Inggris dengan gerakan privatisasi pada masa kepemimpinan Margaret Thatcher. Pada masa Thatcher, privatisasi untuk pertama kalinya diselenggarakan terhadap perusahaan milik negara dengan tujuan untuk menyehatkan perusahaan negara. Gerakan ini menjadi tren di dunia manajemen BUMN. Banyak negara yang kemudian meniru pola privatisasi Inggris ini, termasuk juga New Zealand, dan menyebar ke seluruh dunia. Dengan paradigma baru di bidang pelayanan yang dilandasi oleh filosofi entrepreneurial government dan new public management inilah maka cara pandang tradisional terhadap peran pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik -8-
  • 9. haruslah diubah. Osborne dan Plastrik (1996) menjelaskan 5 strategi penting untuk mewujudkannya, yaitu: 1. Strategi inti: menciptakan kejelasan tujuan 2. Strategi konsekuensi: menciptakan konsekuensi untuk kinerja 3. Strategi pelanggan: menempatkan pelanggan di posisi penentu 4. Strategi pengendalian: memindahkan pengendalian dari puncak dan pusat 5. Strategi budaya: menciptakan budaya wira usaha Dalam perspektif lain, secara umum pergeseran paradigma pelayanan adalah pergeseran dari birokrasi yang “dilayani” menjadi birokrasi yang “melayani”. Fungsi pelayanan yang diemban dan melekat pada birokrasi, tidak serta merta menempatkan warga masyarakat sebagai kelompok pasif. Dalam hal ini partisipasi masyarakat dalam pelayanan harus ditingkatkan, karena sejalan dengan misi pemberdayaan yang harus lebih diutamakan (empowering rather than serving). Pemberdayaan ini akan menuntun pada adanya peningkatan partisipasi warga masyarakat dalam pelayanan publik. Partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik dikenal dengan konsep co- production. Konsep ini dikenal pertama kali dan dikembangkan sejak tahun 1980-an, ketika pakar administrasi publik dan politik urban membangun teori yang menjelaskan kegiatan kolektif dan peran kritis dari keterlibatan warga masyarakat dalam penyediaan pelayanan barang dan jasa. Pada dasarnya teori co-production mengkonseptualisasi pemberian layanan baik sebagai sebuah penataan maupun proses, di mana pemerintah dan masyarakat membagi tanggung jawab (conjoint responsibility) dalam menyediakan pelayanan publik 7 . Sehingga di sini kita tidak lagi membedakan warga masyarakat sebagai pelanggan tradisional dengan pemerintah sebagai penyedia layanan. Kedua pihak dapat bertindak sebagai bagian dari pemberi layanan. Secara singkat, teori co-production dalam pelayanan publik dapat dipahami dengan memahami konsep-konsep pelanggan dan produksi di sektor publik, yaitu consumer produser, regular producer dan co-production. Menurut Parks 8 consumer producers adalah pihak yang berhubungan dengan produksi yang pada akhirnya akan mengkonsumsi akhir dari produk yang dibuatnya. Di sisi lain, regular producers adalah yang menyelenggarakan proses produksi, yang akan merubah output menjadi pembayaran, yang pada akhirnya akan membelanjakannya untuk barang dasn jasa lainnya. Dalam hal ini co-production memerlukan kedua pihak berkontribusi input pada 7 Marschall. (2004). hal.232 8 Kiser. 1980. hal.2. -9-
  • 10. proses produksi untuk barang dan jasa tertentu. Dengan kata lain, dalam banyak pelayanan, proses produksi output dan outcome memerlukan partisipasi aktif dari penerima layanan barang dan jasa. Menurut Cooper sebagaimana dikutip oleh McLaverty (2002: 15) menjelaskan bahwa partisipasi publik—terutama dalam proses pengambilan keputusan—adalah sarana untuk memenuhi hak dasar sebagai warga. Pada akhirnya tujuan dari partisipasi publik adalah untuk mendidik dan memberdayakan warga. Sedangkan menurut Marschall (2004: 231), tujuan dari partisipasi publik adalah pada dasarnya untuk mengkomunikasikan dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan sebagaimana juga membantu dalam pelaksanaan pelayanan. Heller dalam Rich (1995: 660) menjelaskan dua bentuk dasar partisipasi, yaitu partisipasi akar rumput (grass-root participation) yang mengacu pada organisasi dan gerakan sosial yang didasarkan pada inisiatif warga yang memilih tujuan dan metoda mereka sendiri, dan partisipasi mandat pemerintah (government-mandated participation) yang melibatkan persyaratan hukum di mana akan ada kesempatan bagi masukan warga terhadap pengambilan keputusan (kebijakan) atau pelaksanaan sebuah lembaga. Secara sederhana Cooper (Lynch, 1983: 14-15) membedakan partisipasi ke dalam partisipasi tidak langsung (indirect participation) dan partisipasi langsung (direct participation). Partisipasi tidak langsung, misalnya, partisipasi dalam hal penyelenggaraan negara dengan memilih wakilnya untuk duduk di kursi parlemen. Sama halnya ketika menyuarakan pendapat untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintah melalui media massa dan sebagainya. Sementara partisipasi langsung bisa berupa keterlibatan secara langsung warga dalam penyelenggaraan pemerintah, seperti menjadi komisi penasihat, aktivitas dengar pendapat, keterlibatan di kelompok- kelompok kepentingan dan partisipasi dalam lembaga pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan pemberian pelayanan umum. Oleh karenanya penyelenggaraan pelayanan umum haruslah mendapat dukungan partisipasi dari masyarakat. Konsep partisipasi masyarakat terhadap fungsi pelayanan yang diberikan pemerintah dapat berupa partisipasi dalam hal mentaati pemerintah, membangun kesadaran hukum, kepedulian terhadap peraturan yang berlaku, dan dapat juga berupa dukungan nyata dengan membantu secara langsung proses penyelenggaraan pelayanan umum. - 10 -
  • 11. Gambar berikut menjelaskan konsep dasar peran pemerintah sebagai penyedia layanan umum dan peran warga masyarakat sebagai pengguna atau penerima layanan sekaligus peran dalam membantu penyelenggaraan pelayanan publik (co-produser). Gambar 1 Partisipasi dalam Pelayanan Publik Service Government co-producer Citizenry Participation Sumber: Suwarno, Yogi. (2005: 5). Dalam gambar di atas dikenal istilah co-produser, yang berarti penghasil jasa atau layanan. Co-produser ini adalah warga atau sebagian dari warga masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan pemberian layanan umum, sebagai bentuk partisipasi. Ini berangkat dari konsep ko-produksi yang dijelaskan oleh Ostrom. Dalam definisinya Ostrom (1996: 86) menjelaskan bahwa “coproduction as the process through which inputs used to produce a good or service are contributed by individuals who are not “in” the same organization“ , yaitu bahwa co-production adalah proses di mana input yang digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa diberikan oleh individu yang bukan berasal dari organisasi yang sama. Keterlibatan warga dalam memproduksi layanan—yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah—adalah termasuk kegiatan ko- produksi dalam pelayanan umum. Sejalan dengan itu, Bjur dan Siegel dalam Lynch (1983: 41) telah meneliti bahwa kegiatan co-produksi sebenarnya dapat dirancang untuk melayani berbagai jenis tujuan dari partisipasi warga. Hal ini menunjukkan hubungan yang kuat antara partisipasi warga dengan kegiatan pelayanan umum. - 11 -
  • 12. Pentingnya peran aktif kedua belah pihak dalam menyelenggarakan pelayanan publik dapat dijelaskan dalam konteks partisipasi. Partisipasi publik berhubungan erat dengan kedua belah pihak; pemerintah dan masyarakat. Melalui sisi pemerintah, kita bisa melihat penerapan kebijakan dan pengunaan teknik-teknik manajemen dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat sekaligus dalam rangka penegakkan peraturan, sedangkan pada sisi masyarakat adalah keterlibatan dalam berdisiplin dan menaati aturan, serta dukungan langsung dalam proses pemberian pelayanan publik. Peran pada sisi pemerintah, penggunaan teknik-teknik manajerial dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dilakukan dengan cara menyiapkan dan memanfaatkan seluruh sumber daya organisasi yang dimiliki untuk mencapai tujuan. Sedangkan peran pada sisi masyarakat adalah partisipasi aktif baik dalam hal ketaatan, maupun dukungan langsung dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. d. Kualitas Pelayanan Kualitas pelayanan telah menjadi salah satu isu penting dalam penyediaan layanan publik di Indonesia. Kesan buruknya pelayanan publik selama ini selalu menjadi citra yang melekat pada institusi penyedia layanan di Indonesia. Selama ini pelayanan publik selalu identik dengan kelambanan, ketidak adilan, dan biaya tinggi. Belum lagi dalam hal etika pelayanan di mana perilaku aparat penyedia layanan yang tidak ekspresif dan mencerminkan jiwa pelayanan yang baik. Kualitas pelayanan sendiri didefinisikan sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Goetsch & Davis, 2002). Oleh karenanya kualitas pelayanan berhubungan dengan pemenuhan harapan atau kebutuhan pelanggan. Penilaian terhadap kualitas pelayanan ini dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yang berbeda (Evans & Lindsay, 1997), misalnya dari segi: 1. Product Based, di mana kualitas pelayanan didefinisikan sebagai suatu fungsi yang spesifik, dengan variabel pengukuran yang berbeda terhadap karakteristik produknya. 2. User Based, di mana kualitas pelayanan adalah tingkatan kesesuaian pelayanan dengan yang diinginkan oleh pelanggan. 3. Value Based, berhubungan dengan kegunaan atau kepuasan atas harga. - 12 -
  • 13. Kualitas pelayanan ini dapat diketahui ketika dilakukan mengenai beberapa jenis kesenjangan yang berhubungan dengan harapan pelanggan, persepsi manajemen, kualitas pelayanan, penyediaan layanan, komunikasi eksternal, dan apa yang dirasakan oleh pelanggan. Secara mendetail, kesenjangan-kesenjangan tersebut dapat diidentifikasi pada gambar berikut ini: Gambar 2 Model Kesenjangan dari Kualitas Pelayanan Marketing Research Orientation Upward Communication GAP 1 Levels of Management Management Commitment to Service Quality Tangibles Goal Setting GAP 2 Task Standardization Reliability Perception of Feasibility GAP 5 Teamwork (Service Quality) Responsiveness Employee-Job Fit Technology-Job Fit Perceived Control GAP 3 Assurance Supervisory Control System Role Conflict Empathy Role Ambiguity Horizontal Communication GAP 4 Propensity to Overpromise Sumber: Delivering Quality Service, Zeithaml, et. al., (1990), hal.131 Penjelasan terhadap kelima kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kesenjangan antara harapan pelanggan (Expected Service) dengan persepsi manajemen (Management Perception of Customer Expectation). Hal ini terjadi disebabkan karena kurang dilakukannya survey akan kebutuhan pasar atau kurang dimanfaatkannya hasil penelitian secara tepat serta kurang terjadinya - 13 -
  • 14. interaksi antara penyedia pelayanan dan pelanggan. Penyebab lainnya adalah kurang terjadinya komunikasi antara pihak manajemen dengan petugas penyedia pelayanan (customer contact personel), padahal dari merekalah paling banyak diperoleh informasi tentang hal-hal yang menjadi harapan pelanggan. Terakhir adalah faktor klasik dari terlalu banyaknya jenjang birokrasi dalam unit pelayanan juga merupakan salah satu faktor munculnya kesenjangan ini. 2. Kesenjangan antara persepsi manajemen (Management Perception of Customer Expectation) dengan spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification). Kesenjangan ini terjadi ketika komitmen manajemen kurang dalam mewujudkan kualitas pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi manajemen terhadap kualitas pelayanan yang diinginkan pelanggan, demiian pula dengan tidak adanya standarisasi dalam penyediaan pelayanan, dan tidak adanya penetapan tujuan yang jelas dalam penyediaan pelayanan. 3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification) dengan penyampaian pelayanan (Service Delivery). Kesenjangan ini terjadi karena muncul konflik peran dalam diri pegawai dalam hal keinginan untuk memenuhi harapan pelanggan dengan keinginan untuk memenuhi harapan pimpinan. Selain itu juga adalah teknoloi yang tidak sesuai dalam mendukung pelayanan, tidak ada evaluasi dan penghargaan, serta kurang kerjasama internal. 4. Kesenjangan antara komunikasi eksternal kepada pelanggan (External Communication to Customers) dengan proses penyampaian pelayanan (Service Delivery). Penyebab kesenjangan ini adalah tidak adanya komunikasi horizontal dalam organisasi. 5. Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service) dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service). Kesenjangan kelima ini menunjukkan dan menggambarkan ukuran dari tingkat kepuasan masyarakat terjadap kinerja organisasi pelayanan. Berbeda dengan a kesenjangan sebelumnya, kesenjagan kelima ini menitikberatkan pada sisi pelanggan. - 14 -
  • 15. II. Standar Pelayanan Publik a. Prinsip-prinsip Dasar Dalam upaya mencapai kualitas pelayanan yang diuraikan di atas, diperlukan penyusunan standar pelayanan publik, yang menjadi tolok ukur pelayanan yang berkualitas. Penetapan standar pelayanan publik merupakan fenomena yang berlaku baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya, ditandai dengan dikeluarkannya executive order 12863 pada era pemerintahan Clinton, yang mengharuskan semua instansi pemerintah untuk menetapkan standar pelayanan konsumen (setting customer service standard). Isi dari executive order tersebut adalah sebagai berikut Identify customer who are, or should be, served by the agency, survey the customers to determine the kind and quality of service they want and their level of satisfaction with existing service, post service standards and measure result against the best bussiness, provide the customers with choice in both sources of services, and complaint system easily accesible, and provide means to adress customer complaints. Inti isi executive order tersebut di atas adalah adanya upaya identifikasi pelanggan yang (harus) dilayani oleh instansi, mensurvei pelanggan untuk menentukan jenis dan kualitas pelayanan yang mereka inginkan dan untuk menentukan tingkat kepuasan pelanggan dengan pelayanan yang sedang berjalan, termasuk standar pelayanan pos serta mengukur hasil dengan yang terbaik, menyediakan berbagai pilihan sumber- sumber pelayanan kepada pelanggan dan sistem pengaduan yang mudah diakses, serta menyediakan sarana untuk menampung dan menyelesaikan keluhan/pengaduan. Di Inggris juga diperkenalkan Service First the New Charter Programme, yang berisi 9 prinsip penyediaan pelayanan publik yang merupakan wujud dari visi pemerintah yang dilaksanakan oleh setiap pegawai negeri. Prinsip-prinsip tersebut adalah : a. Menentukan standar pelayanan; b. Bersikap terbuka dan menyediakan informasi selengkap-lengkapnya; c. Berkonsultasi dan terlibat; d. Mendorong akses dan pilihan; e. Memperlakukan semua secara adil; f. Mengembalikan ke jalan yang benar ketika terjadi kesalahan; g. Memanfaatkan sumber daya secara efektif; - 15 -
  • 16. h. Inovatif dan memperbaiki; dan i. Bekerjasama dengan penyedia layanan lainnya. Di Indonesia, upaya untuk menetapkan standar pelayanan publik dalam kerangka peningkatan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah lama dilakukan. Upaya tersebut antara lain ditunjukan dengan terbitnya berbagai kebijakan seperti: 1. Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha, 2. Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. 3. Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. 4. Surat Edaran Menko Wasbangpan No. 56/Wasbangpan/6/98 tentang Langkah- langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat. Instruksi Mendagri No. 20/1996; 5. Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56/MK. Wasbangpan/6/98; Surat Menkowasbangpan No. 145/MK. Waspan/3/1999; hingga Surat Edaran Mendagri No. 503/125/PUOD/1999, yang kesemuanya itu bermuara pada peningkatan kualitas pelayanan. 6. Kep. Menpan No 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum 7. Surat Edaran Depdagri No. 100/757/OTDA tetang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimum, pada tahun 2002 8. Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Namun sejauh ini standar pelayanan publik sebagaimana yang dimaksud masih lebih banyak berada pada tingkat konseptual, sedangkan implementasinya masih jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari masih buruknya kualitas pelayanan yang diberikan oleh berbagai instansi pemerintah sebagai penyelenggara layanan publik. Adapun yang dimaksud dengan standar pelayanan (LAN, 2003) adalah suatu tolok ukur yang dipergunakan untuk acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari pihak penyedia pelayanan kepada pelanggan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Sedangkan yag dimaksud dengan pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang cepat, menyenangkan, tidak mengandung kesalahan, serta mengikuti proses dan prosedur yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Jadi - 16 -
  • 17. pelayanan yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan ataupun dipenuhi kebutuhannya. Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya standar pelayanan (LAN, 2003) antara lain adalah: 1. memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka mendapat pelayanan dalam kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan fokus pelayanan kepada pelanggan/masyarakat, menjadi alat komunikasi antara pelanggan dengan penyedia pelayanan dalam upaya meningkatkan pelayanan, menjadi alat untuk mengukur kinerja pelayanan serta menjadi alat monitoring dan evaluasi kinerja pelayanan. 2. melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan kinerja pelayanan publik mutlak harus dilakukan, dikarenakan dalam kehidupan bernegara pelayanan publik menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi utama pemerintah adalah memberikan dan memfasilitasi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, sosial dan lainnya. 3. meningkatkan mutu pelayanan. Adanya standar pelayanan dapat membantu unit-unit penyedia jasa pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini dapat terlihat dengan jelas dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya serta proses pengaduan, sehingga petugas pelayanan memahami apa yang seharusnya mereka lakukan dalam memberikan pelayanan. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan juga dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban apa yang harus mereka dapatkan dan lakukan untuk mendapatkan suatu jasa pelayanan. Standar pelayanan juga dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja suatu unit pelayanan. Dengan demikian, masyarakat dapat terbantu dalam membuat suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian di atas, maka standar pelayanan menjadi faktor kunci dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Upaya penyediaan pelayanan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan memperhatikan ukuran-ukuran apa saja yang menjadi kriteria kinerja pelayanan. Menurut LAN (2003), kriteria-kriteria pelayanan tersebut antara lain: - 17 -
  • 18. a. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh pelanggan. b. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia pelayanan, seperti menjaga keakuratan perhitungan keuangan, teliti dalam pencatatan data dan tepat waktu. c. Tanggungjawab dari para petugas pelayanan, yang meliputi pelayanan sesuai dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya apabla terjadi sesuatu yang perlu segera diberitahukan. d. Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan menguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan. e. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan petugas. Petugas pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga harus diperhatikan. f. Keramahan, meliputi kesabaran, perhatian dan persahabatan dalam kontak antara petugas pelayanan dan pelanggan. Keramahan hanya diperlukan jika pelanggan termasuk dalam konsumen konkret. Sebaliknya, pihak penyedia layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika layanan yang diberikan tidak dikonsumsi para pelanggan melalui kontak langsung. g. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan gambling, meliputi informasi mengenai tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain. h. Komunikasi antara petugas dan pelanggan. Komunikasi yang baik dengan pelanggan adalah bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang berhak diperolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka mengerti. i. Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan dan penyedia pelayanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan tetap layak dipercayai, adanya kejujuran kepada pelanggan dan kemampuan penyedia pelayanan untuk menjaga pelanggan tetap setia. j. Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut. Hal ini - 18 -
  • 19. sangat penting karena pelanggan tidak boleh ragu-ragu terhadap pelayanan yang diberikan. k. Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan keamanan yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, finansial dan kepercayaan pada diri sendiri. l. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan. Hal ini dapat dilakukan dengan berusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pelanggan. Mengerti apa yang diinginkan pelanggan sebenarnya tidaklah sukar. Dapat dimulai dengan mempelajari kebutuhan-kebutuhan khusus yang diinginkan pelanggan dan memberikan perhatian secara personal. m. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud nyata dari pelayanan, berupa fasilitas fisik, adanya petugas yang melayani pelanggan, peralatan yang digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas penunjang lainnya. n. Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapai sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan. o. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk membayar. Penyusunan sebuah standar pelayanan minimal atau SPM di daerah mengikuti prinsip-prinsip antara lain: 1. diterapkan pada kewenangan wajib daerah dan kewenangan yang lain 2. ditetapkan pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh daerah kabupaten/kota 3. menjalin hak individu dan akses masyarakat mendapat pelayanan dasar dari pemerintah daerah 4. bersifat dinamis sesuai dengan perubahan kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah 5. berbeda dengan standar teknis yang merupakan faktor pendukung alat mengukur pencapaian SPM. Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menyusun sebuah standar pelayanan adalah sebagaimana yang tergambar dalam bagan berikut: - 19 -
  • 20. Gambar 3 Langkah Penyusunan Standar Pelayanan Identifikasi Perumusan Analisis • Jenis pelayanan • Proses & Prosedur Visi Mekanisme • Pelanggan • Sarana & Prasarana Pengaduan/ Misi • Harapan pelanggan • Waktu keluhan • Biaya Sumber: diolah dari LAN (2003) 1. Identifikasi Jenis Pelayanan Kegiatan identifikasi ini dilakukan dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: • Pelayanan-pelayanan apa yang diselenggarakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi, baik yang langsung diberikan kepada masyarakat, kepada instansi lainnya, maupun kepada unit lain secara internal dalam instansi? • Pelayanan apa yang sifatnya core (menjadi utama) dan sifatnya supporting (pendukung)? • Apa dasar hukum yang menjadi acuan? 2. Identifikasi Pelanggan Kegiatan identifikasi dilakukan dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: • Siapa pelanggan atau pengguna pelayanan atau target pelayanan yang langsung merasakan hasil pelayanan? • Siapa pelanggan yang secara tidak langsung merasakan hasil pelayanan? • Dalam kaitan dengan pelayanan internal, siapa pelanggan internal yang dilayani? • Dalam kaitan dengan instansi lain, instansi mana yang menjadi pelanggan? Untuk memudahkan proses identifikasi tentang jenis pelayanan dan pelanggan dapat digunakan lembar kerja (worksheet) berikut ini: 3. Identifikasi Harapan Pelanggan Kegiatannya adalah mengidentifikasi harapan pelanggan akan pelayanan yang - 20 -
  • 21. diberikan. Harapan pelanggan ini meliputi harapan terhadap kualitas, biaya dan waktu pelayanan. Kegiatan identifikasi dapat dilakukan dengan mengadakan survey kepada pelanggan ataupun dengan identifikasi internal yang dilakukan melalui penggalian informasi kepada pegawai yang terlibat langsung dalam kegiatan pelayanan. 4. Perumusan Visi dan Misi Pelayanan a. Kegiatan merumuskan visi dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: • Membentuk beberapa kelompok sebagai perwakilan seluruh staf yang ada dalam unit penyedia pelayanan; • Pimpinan menjelaskan harapan-harapan yang ingin dicapai oleh organisasi melalui pelayanan yang diberikan; • Kelompok bekerja secara mandiri merumuskan visi pelayanan. Kegiatan merumuskan harus melihat dan mempertimbangkan nilai-nilai yang berlaku pada lingkungan internal dan eksternal, yang meliputi kekuatan dan kelemahan internal unit penyedia pelayanan, peluang dan tantangan, serta harapan-harapan masyarakat pelanggan; • Rumusan visi pelayanan dari beberapa kelompok dipresentasikan bersama dan dipilih atau dimodifikasi/dirumuskan kembali menjadi visi pelayanan yang disepakati semua kelompok. b. Kegiatan merumuskan misi dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: • Menggunakan kelompok yang sama ketika menyusun visi untuk menyusun misi pelayanan; • Memberi kepada kelompok tersebut untuk bekerja secara mandiri merumuskan misi pelayanan. Kegiatan merumuskan harus mencakup pelayanan yang akan diberikan dan ditawarkan kepada pelanggan internal dan eksternal; • Rumusan misi pelayanan dari beberapa kelompok dipresentasikan bersama dan dipilih atau dimodifikasi/dirumuskan kembali menjadi misi pelayanan yang disepakati semua kelompok. 5. Analisis Proses dan Prosedur, Prasyarat, Sarana dan Prasarana, Waktu, dan Biaya Pelayanan. - 21 -
  • 22. a. Analisis Proses dan Prosedur Kegiatannya adalah mengidentifikasi keseluruhan aktivitas dalam pemberian pelayanan mulai saat pelanggan datang sampai pada pelanggan selesai menerima pelayanan. Untuk menyusun proses dan prosedur pelayanan dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: • Identifikasi langkah-langkah aktivitas dalam memberikan satu jenis pelayanan, mulai dari awal sampai dengan selesai pelayanan dilaksanakan. • Identifikasi dimulai dari aktivitas yang dilakukan oleh pelanggan ketika akan mengajukan suatu jenis pelayanan tertentu kepada unit penyedia pelayanan. • Identifikasi aktivitas proses pengolahan pelayanan dimulai dari ketika petugas menerima pelanggan yang akan mengajukan pelayanan, sampai dengan aktivitas penyampaian produk pelayanan setelah selesai diproses oleh pihak unit penyedia pelayanan. • Jika terdapat lebih dari satu jenis pelayanan yang dilaksanakan, maka lakukan identifikasi langkah-langkah aktivitas untuk semua jenis pelayanan tersebut. Makin sedikit aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam rangka pelayanan, makin pendek prosedur yang dilalui, makin cepat pelayanan akan diberikan; • Membuat alur proses setiap aktivitas tersebut secara sekuens. Alur proses ini nantinya akan merupakan alur yang harus dilalui oleh seorang pelanggan dan alur untuk proses pengolahan pelayanan. b. Analisis Persyaratan Pelayanan Kegiatannya mengidentifikasi persyaratan yang dibutuhkan pada setiap tahapan aktivitas dalam pemberian pelayanan. Langkah mengidentifikasi persyaratan pelayanan sangat tergantung pada rumusan yang dihasilkan pada identifikasi proses dan prosedur. Hasil identifikasi diatas digunakan untuk menentukan persyaratan pada tiap-tiap aktivitas. Perlu dicermati bahwa persyaratan pelayanan tidak hanya berupa dokumen (surat-surat) tetapi termasuk pula persyaratan dalam bentuk barang maupun biaya. c. Analisis Sarana dan Prasarana Pelayanan Kegiatannya adalah mengidentifikasi sarana dan prasarana yang diperlukan - 22 -
  • 23. dalam memberikan pelayanan. Langkah mengidentifikasi sarana dan parasana dilakukan dengan melihat hasil analisis proses dan prosedur pelayanan diatas. Gunakan hasil identifikasi proses dan prosedur untuk dilanjutkan identifikasi sarana dan prasarana yang diperlukan pada tiap-tiap aktivitas pemberian pelayanan. Tidak setiap aktivitas memerlukan sarana yang sama tergantung pada jenis aktivitas yang dilakukan. d. Analisis Waktu dan Biaya Pelayanan Kegiatannya adalah menentukan waktu dan biaya pelayanan. Langkah menentukan waktu dan biaya pelayanan sangat tergantung pada hasil analisis proses dan prosedur yang harus dilakukan, hasil analisis sarana dan prasarana yang dimiliki oleh organisasi pelayanan serta hasil analisis harapan pelanggan. Hasil analisis digunakan sebelumnya untuk menentukan total waktu dan biaya pelayanan. 6. Mekanisme pengaduan/keluhan Langkah dalam melakukan penyusunan mekanisme pengelolaan keluhan/pengaduan ini dapat ditempuh dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: • Sarana apa yang disediakan untuk menampung keluhan pelanggan (kotak surat, telepon bebas pulsa, unit khusus pengaduan dll)? • Prosedur apa yang harus dilalui oleh pengaduan untuk mendapatkan respon terhadap pengaduannya? Berapa lama respon akan diterima pelanggan? • Siapa yang berwenang mengambil keputusan dalam menangani pengaduan? b. Standar Pelayanan Publik di Daerah Dalam konteks pelayanan publik di daerah, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu pemerintah daerah harus menyediakan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah menyelenggarakan urusan pemerintahanan yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Pada ayat (5) dinyatakan pula bahwa pemerintah juga menyelenggarakan urusan pemerintahan di luar enam urusan pemerintahan tersebut. Pada pasal 11 dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, - 23 -
  • 24. akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Eksternalitas adalah dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria eksternalitas ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria eksternalitas maka semakin langsung dampak penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan kepada masyarakat, maka urusan tersebut paling tepat untuk diselenggarakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pemerintah, pemerintahan daerah propinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria akuntabilitas ditentukan berdasarkan kedekatan suatu tingkatan pemerintahan dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria akuntabillitas maka semakin dekat pemberi layanan dan penggunanya, dan semakin banyak jumlah pengguna layanan maka layanan tersebut lebih tepat diselenggarakan oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota. Efisiensi adalah tingkat daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria efisiensi ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria efisiensi maka penyelenggaraan urusan lebih tepat pada tingkat pemerintahan dimana terdapat perbandingan terbaik antara cost penyelenggaraan urusan dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dengan penyelenggaraan urusan. Penggunaan kriteria kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan dilaksanakan secara kumulatif sebagai satu kesatuan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib didefinisikan sebagai urusan daerah otonom yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh pemerintah. Hal ini berarti - 24 -
  • 25. pemerintah menetapkan urusan mana yang merupakan urusan dasar yang menjadi prioritas penyelenggaraan dan mana yang merupakan urusan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi merupakan urusan dalam skala propinsi, sedangkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, baik untuk pemerintahan propinsi maupun untuk pemerintahan kabupaten dan kota sebagaimana disebutkan di atas harus berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). Urusan yang bersifat pilihan adalah urusan-urusan yang dapat dipilih untuk diselenggarakan oleh pemerintahan daerah berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan sebagaimana disebutkan di atas. Urusan yang bersifat pilihan tersebut meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan urusan pilihan tersebut, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat memilih bagian urusan pemerintahan pada bidang-bidang tertentu seperti pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kebutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan berbagai bidang lainnya. Adanya pembagian urusan pemerintahan memberi petunjuk bahwa terdapat urusan-urusan pemerintahan tertentu yang penyelenggaraannya dibagi-bagi antara pemerintah, pemerintahan daerah propinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dengan demikian penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut melibatkan pemerintah, pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota secara bersama-sama. Pembagian dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Sesuai dengan deskripsi di atas, UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan dengan berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dilaksanakan secara bertahap. Hingga saat ini pemerintah sedang menyusun RPP tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Bila sudah diterapkan, maka SPM akan dijabarkan oleh masing-masing kementrian/lembaga terkait untuk menyusun - 25 -
  • 26. SPM masing-masing. Standar pelayanan minimal didefinisikan sebagai tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan urusan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Dalam pelaksanaannya, SPM menganut beberpa prinsip, yakni: 1. SPM merupakan standar yang dikenakan pada urusan wajib, sedangkan untuk urusan lainnya pemerintah daerah boleh menetapkan standar sendiri sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. 2. SPM berlaku secara nasional, yang berarti harus diberlakukan di seluruh daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia. 3. SPM harus dapat menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan tertentu yang harus disediakan oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan urusan wajibnya. 4. SPM bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang dan diperbaiki sesuai dengan perubahan kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah secara merata. 5. SPM ditetapkan pada tingkat minimal yang diharapkan secara nasional untuk pelayanan jenis tertentu. Yang dianggap minimal dapat merupakan rata-rata kondisi daerah-daerah, merupakan konsensus nasional, dan lain-lain. 6. SPM harus diacu dalam perencanaan daerah, penganggaran daerah, pengawasan, pelaporan, dan merupakan salah satu alat untuk menilai Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah serta menilai kapasitas daerah. Sesuai dengan PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, yang mengarut mengenai evaluasi kinerja pemerintah daerah, secara spesifik menetapkan kriteria SPM harus memperhatikan unsur input (tingkat atau besaran sumber daya yang digunakan), output (keluaran), outcome (hasil atau wujud pencapaian kinerja), benefit (tingkat manfaat yang dirasakan sebagai nilai tambah), dan impact (dampak atau pengaruh pelayanan terhadap kondisi secara makro berdasarkan manfaat yang dihasilkan). Kriteria penentuan biaya dengan metode SPM sangat mendukung konsep anggaran berbasis kinerja yang juga mengacu kepada input, output, outcome, benefit dan impact. SPM merupakan alat untuk mengukur kinerja pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. SPM sangat diperlukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai konsumen pelayanan itu sendiri. Bagi pemerintah daerah suatu SPM dapat dijadikan sebagai tolok ukur - 26 -
  • 27. (benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan tertentu. Sedangkan bagi masyarakat SPM akan menjadi acuan dalam menilai kinerja pelayanan publik, yakni kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Penerapan SPM akan memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Dengan SPM akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. 2. SPM akan bermanfaat untuk menentukan Standar Analisis Biaya (SAB) yang sangat dibutuhkan pemerintah daerah untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik. 3. SPM akan menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang lebih adil dan transparan (baik DAU maupun DAK). 4. SPM akan dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan membantu pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih berimbang. 5. SPM akan dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam menilai kinerja pemerintah daerah. 6. SPM akan dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah kepada masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat keterkaitan antara pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat disediakan pemerintah daerah. 7. SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasai kelembagaan pemerintah daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan masyarakat. Dalam penyelenggaraannya, SPM dibuat berdasarkan sejumlah peraturan perundang-undangan, yakni: 1. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 3. PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom; 4. PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; 5. PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Keuangan Daerah; - 27 -
  • 28. 6. PP No. 20 Tahun 2001 mengenai Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 7. PP No. 56 Tahun 2001 mengenai Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; dan 8. PP No. 65 Tahun 2005 mengenai Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Sesuai dengan PP No. 65 Tahun 2005 pasal 5 ayat (1), penyusunan SPM oleh masing-masing Menteri/Pimpinan LPND dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri. Konsultasi tersebut dilakukan dengan tim konsultasi yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Dalam Negeri, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Departemen Keuangan, Kementrian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara, dengan melibatkan Menteri/Pimpinan LPND terkait, yang dibentuk dengan Kepmendagri. Hasil konsultasi tersebut dikeluarkan oleh masing-masing departemen/LPND sebagai Peraturan Menteri yang bersangkutan. Sebelum PP No. 65 Tahun 2005 dikeluarkan, untuk mengatasi kelangkaan peraturan perundangan mengenai SPM, sedangkan SPM harus sudah dilaksanakan, dikeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 100/756/OTDA Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal. Berdasarkan SE Mendagri tersebut, beberapa departemen telah mengeluarkan Pedoman Standar Pelayanan Minimal. Pedoman tersebut digunakan untuk menjabarkan SPM ke dalam aturan yang lebih spesifik, seperti penjabaran definisi operasional, cara perhitungan pencapaian kinerja, rumus indikator, sumber data, target, maupun langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan. Kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah di Indonesia saat ini sangat beragam dari satu daerah ke daerah lainnya, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Misalnya, dalam hal penyediaan Puskesmas di setiap Kecamatan sebagai standar pelayanan minimal di bidang kesehatan masih belum dapat dipenuhi oleh banyak pemerintah daerah. Demikian pula dengan dengan pelayanan di bidang lainnya, seperti pelayanan KTP, akses jalan dari kecamatan ke ibukota Kabupaten, dan sebagainya masih berada dalam kondisi di bawah standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat (departemen terkait). Selain itu, tingkat kesiapan - 28 -
  • 29. masing-masing departemen dalam memberikan acuan mengenai standar pelayanan minimal untuk diterapkan di daerah juga cukup beragam. Dari sebanyak 11 (sebelas) sektor yang dalam UU ditetapkan untuk didesentralisasikan kewenangannya ke pemerintah daerah, baru Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional yang telah siap melaksanakannya dengan menyediakan acuan SPM yang ditetapkan, yakni dengan SK Menteri Kesehatan No. 1457/2003 dan SK Menteri Pendidikan Nasional No. 1299/V/2004. Hingga saat ini terdapat 10 (sepuluh) departemen terkait yang telah mengeluarkan acuan SPM untuk diterapkan ke seluruh daerah di Indonesia. Namun penerapan di daerah masih belum seragam/sama, karena pemerintah daerah menginterpretasikannya secara berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing. Hal ini karena terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan SPM. Kegagalan dalam mengatasi kendala-kendala tersebut mengakibatkan ketidakakuratan pengukuran, sehingga SPM tidak akan mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Kendala-kendala tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Data yang tidak akurat dan dapat dipercaya, sedangkan data BPS yang ada, bila dapat dipercaya, terlambat beberapa tahun. 2. Data keuangan tidak disajikan dalam bentuk yang dapat dianalisa dengan baik. 3. Data statistik yang ada seringkali tidak sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan. Misalnya, data BPS yang tersedia adalah jumlah penduduk usia 0-14 tahun, sedangkan jenis data yang dibutuhkan adalah jumlah penduduk usia 7-16 tahun. 4. Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk mengumpulkan dan mengelolola data secara sistematis. 5. Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk melakukan analisa dan perencanaan strategis. 6. Indikator-indikator SPM yang ada tidak mencerminkan problem sebenarnya yang terjadi di daerah/desa; dan 7. Dalam mengevaluasi pelaksanaan SPM, satuan kerja perangkat daerah tidak menjelaskan kondisi yang ada secara objektif. Misalnya, bila dinas melakukan evaluasi, hasil evaluasi bias untuk kepentingan dinas. Sedangkan Bawasda maupun Bappeda tidak dapat melakukan evaluasi karena kemampuan teknikal yang rendah. - 29 -
  • 30. Kendala-kendala tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan SPM. Beberapa alternatif cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut antara lain adalah: 1. Dinas kesehatan memperbaiki sistem pendataan dan pelaporan sektor kesehatan. 2. BPS memperbaiki sistem pendataannya dengan membentuk sistem informasi pupulasi. 3. Melakukan survey untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat atas pelayanan publik yang berdasarkan SPM. Survey tersebut dilakukan setiap tahun sekali. 4. Evaluasi atas penyelenggaraan SPM hendaknya dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari Bappeda, Bagian Penyusunan Program, dan Bawasda, serta auditor independen untuk kasus-kasus tertentu. Pemerintah Propinsi juga harus melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan SPM di Kabupaten/Kota di wilayahnya. III. Dinamika dan Problematika Pelayanan Publik Pada Era Otonomi Daerah Sudah sejak lama banyak kesan buruk yang disandang aparat pemerintah (sektor publik) dalam hal pelayanan. Hal ini antara lain dapat diindikasikan dari besarnya dana yang digunakan untuk membiayai aparatur pemerintah, namun hal itu ternyata tidak diimbangi dengan kualitas pelayanan kepada masyarakat yang maksimal. Bahkan sebaliknya, kualitas pelayanan yang diberikan instansi pemerintah dapat dinilai sangat buruk. Padahal masyarakat telah bersedia mengorbankan (sacrifice) sebagian sumber dayanya untuk negara dengan membayar berbagai macam pungutan, baik pajak, retibusi dan sebagainya. Sudah sewajarnya jika masyarakat mengharapkan kepuasan (satisfaction) yang maksimal atas pelayanan yang diberikan oleh negara. Namun apa yang diperoleh masyarakat adalah buruknya kualitas pelayanan instansi pemerintah. Salah satu keluhan masyarakat yang sering terungkapkan adalah lambatnya waktu pelayanan dan tidak jelasnya prosedur dan biaya pelayanan. Ungkapan-ungkapan yang berkembang selama ini, seperti “kalau bisa dilakukan besok kenapa harus sekarang? “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?” menunjukkan bahwa budaya pelayanan pada instansi pemerintahan masih belum berorientasi pada kepuasan masyarakat selaku pelanggannya. Hal yang demikian bukan saja mengakibatkan pemborosan sumberdaya tetapi juga kualitas jasa yang dihasilkan menjadi sangat buruk. - 30 -
  • 31. Sektor publik (pemerintahan) pada dasarnya adalah perusahaan yang menghasilkan produk berupa jasa pelayanan publik, baik pelayanan yang bersifat langsung dinikmati oleh masyarakat maupun pelayanan yang dinikmati masyarakat secara tidak langsung. Namun demikian, pemerintah tidak bermaksud mengambil keuntungan dari operasionalnya. Salah satu prinsip dalam pelaksanaan tugas instansi pemerintah adalah transparansi dan pertanggungjawaban kepada publik atas apa yang telah dilakukan. Hal ini sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yang terdiri dari tiga prinsip utama, yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Namun demikian tampaknya pemerintah belum sepenuhnya mampu menerapkan ketiga pilar utama tersebut dalam pelayanan. Dengan kondisi demikian, seandainya negara sebagai penyedia layanan harus bersaing dengan swasta dengan produk pelayanan yang sama, dapat diperkirakan bahwa secara perlahan namun pasti negara akan bangkrut karena biaya produksi sangat tinggi, sedang pendapatan akan berkurang drastis akibat ditinggalkan oleh para pelanggan yang tidak puas dengan pelayanan yang diberikan. Bergulirnya era reformasi sebagai dampak krisis multidimensi yang melanda negara kita telah melahirkan tuntutan perubahan yang juga bersifat multidimensional. Krisis multidimensi tersebut berpengaruh terhadap kemampuan negara dalam aspek keuangan. Pada sisi lain kompleksitas pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat baik secara kuantitatif maupun kualitatif meningkat secara tajam tanpa diimbangi dengan peningkatan keuangan daerah untuk membiayainya. Akibatnya pelayanan publik menjadi terbengkalai seperti rusaknya sarana dan prasarana transportasi, saluran irigasi, pendidikan serta kesehatan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Menurunnya kinerja ekonomi secara keseluruhan akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan daerah baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun yang berasal dari Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Kondisi tersebut memunculkan kebutuhan yang sangat mendesak bagi sektor publik di daerah (Pemda) untuk melibatkan sektor swasta dan masyarakat dalam pemenuhan pelayanan publik yang meningkat dalam kondisi keuangan daerah yang terpuruk. Hal ini seiring dengan argumen Osborne dan Gabler yang menganjurkan pemerintah untuk lebih berperan dalam mengendalikan (steering) dibandingkan menangani langsung (rowing). Dalam hal ini, pemerintah harus mampu menjadi katalisator bagi keterlibatan pihak swasta dan masyarakat untuk ikut - 31 -
  • 32. berpartisipasi dalam menyediakan pelayanan publik. Implementasi pelibatan swasta dan masyarakat dalam pelayanan publik kemudian mendapatkan legitimasi dengan penerapan otonomi daerah. Salah satu perubahan signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan pasca krisis multidimensi adalah penerapan otonomi daerah dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penerapan demokratisasi pemerintahan melalui otonomi daerah membawa perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni berkurangnya secara signifikan patronasi dan kooptasi pusat terhadap daerah. Dengan diterapkannya otonomi daerah, daerah memiliki diskresi yang sangat tinggi -- bahkan oleh berbagai pihak sering dikatakan “kebablasan” -- dalam berbagai aspek pemerintahan daerah, yaitu diskresi dalam aspek kewenangan atau urusan pemerintahan, diskresi dalam aspek kelembagaan dan personil, serta diskresi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah. Pada era reformasi yang bersendikan demokratisasi, pemerintah daerah dituntut untuk mampu menggalang partisipasi, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Esensi dari “good governance” sebagai proses pelibatan sektor publik, swasta dan masyarakat menemukan bentuknya dalam menangani persoalan-persoalan publik yang tidak mungkin lagi ditangani oleh Pemda. Melalui mekanisme good governance kemudian terjadi proses “co-guiding, co-steering dan co-managing” dari ketiga stakeholders utama yaitu Pemda, sektor swasta dan masyarakat. Ketiga aktor akan terlibat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan Pengawasan dalam manajemen pemerintahan daerah. Dengan cara tersebut akan terbentuk “sense of belongingness” dari masyarakat atas kebijakan-kebijakan publik di lingkungannya. Pada dasarnya kebijakan desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada masyarakat daerah ditujukan, agar masyarakat mampu mengorganisir dirinya sedemikian rupa dalam menyelenggarakan rumah tangga daerahnya untuk meningkatkan kesejahteraan atau kemakmuran warga daerah tersebut. Untuk tujuan itu maka Pemda harus mampu menyediakan pelayanan-pelayanan publik (public service) yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya - 32 -
  • 33. diperlukan adanya analisis kebutuhkan masyarakat untuk mengidentifikasi pelayanan- pelayanan apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dearah yang bersangkutan. Secara akademik, terdapat dua jenis kebutuhan masyarakat. Pertama, masyarakat membutuhkan penyediaan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan pokok (basic services) seperti air, kesehatan, pendidikan, transportasi, kebersihan lingkungan, pasar, terminal, dan sebagainya. Kedua, masyarakat membutuhkan pelayanan yang terkait dengan pengembangan sektor unggulan (core competency) yang ada di daerah tersebut. Dengan demikian maka isi otonomi daerah harus terkait dengan kebutuhan masyarakat yaitu, kewenangan yang memungkinkan daerah menyediakan pelayanan kebutuhan pokok dan pelayanan yang memungkinkan daerah mengembangkan sektor unggulan. Dan betapapun luasnya otonomi, maka otonomi daerah harus diwujudkan dalam bentuk pelayanan yang sesuai kebutuhan masyarakat. Dilihat dari jenis output yang dihasilkan Pemda, maka hasil akhir pelayanan Pemda adalah tersedianya barang dan jasa (public good and public regulation). Public good tercermin dari diadakannya barang-barang untuk memenuhi kebutuhan publik seperti jalan, jembatan, rumah sakit, sekolah, irigasi, pasar, terminal dsb. Sedangkan public regulation akan terwujud dalam bentuk mewajibkan penduduk untuk memiliki kartu tanda penduduk (KTP), Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, IMB, HO (bila akan membuka usaha) dan bentuk-bentuk pengaturan lainnya yang pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Untuk itu setiap pemda seharusnya memiliki agenda pelayanan yang jelas, jenis-jenis pelayanan publik apa yang akan diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarkat, bagaimana memberikannya, siapa yang perlu dilibatkan, dan sebagainya. Dalam penyusunan agenda pelayanan tersebut, keterlibatan masyarakat dan swasta menjadi suatu kebutuhan yang tak terhindarkan, kalau kita mau menghasilkan Pemda yang berorientasi pada penciptaan kesejahteraan serta kemakmuran rakyatnya. Hal ini sejalan dengan peringatan terkenal yang diberikan oleh Lord Acton bahwa “power tends of corrupt and absolute power will corrupt absolutely”. Setelah berjalan selama lebih kurang lima tahun, terdapat begitu banyak fenomena menarik dibidang pelayanan yang dilakukan Pemda dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Pertama, kisah menyedihkan, dimana banyak daerah yang belum mampu meningkatkan pelayanan publiknya pada era desentralisasi. Bahkan, banyak daerah yang pimpinannya sampai saat ini masih - 33 -
  • 34. berurusan dengan pengadilan karena kasus-kasus korupsi dalam penyalahgunaan dana- dana public yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kedua, pada saat yang sama di daerah-daerah lain terdapat pula kisah yang menggembirakan, dimana terdapat kisah mengenai kerja keras para pemimpin daerah dalam mengoptimalkan dana APBD yang terbatas untuk memberikan pelayanan publik secara optimal bagi masyarakatnya. Kedua kondisi yang bertentangan tersebut menunjukkan bahwa terdapat berbagai variabel yang mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi tersebut, namun salah satu yang kelihatannya paling penting adalah political will dari pemimpin daerah untuk menggunakan kewenangannya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Substansi dari pelaksanaan desentralisasi adalah pemberian kewenangan kepada daerah untuk secara aktif mengupayakan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya berdasarkan aspirasi dan potensi lokal. Dengan demikian keberhasilan suatu daerah dalam menjalankan otonomi daerah dapat dilihat dari indikator sejauhmana keberhasilan pemerintah daerah (bersama DPRD dan masyarakatnya) dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai bentuk pelayanan yang diberikan bagi pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengurangan angka kemiskinan, dan sebagainya secara berkesinambungan. Dalam kerangka inilah diperlukan political will dari Kepala Daerah untuk mengoptimalkan alokasi belanja publik pada kegiatan-kegiatan yang secara langsung terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakatnya secara berkesinambungan yang disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah (khususnya kelembagaan pemerintahan daerah) dalam memberikan pelayanan public yang berkualitas. Kisah sedih mengenai pelayanan publik di era otonomi daerah kelihatannya memang menjadi suatu ironi. Hingga saat ini pelayanan publik yang berkualitas sebagai dampak dari desentralisasi pemerintahan kelihatannya masih jauh dari harapan. Jangankan pelayanan publik yang lebih cepat, lebih murah dan lebih baik (faster, cheaper, and better), standar pelayanan publik yang ada saja seringkali tidak mampu dipertahankan keberadaannya. Sebaliknya, di bidang pelayanan publik, biaya ekstra atau pungutan liar merupakan gambaran sehari-hari yang umum terlihat pada kantor-kantor pelayanan masyarakat. Masyarakat dapat melihat dengan kasat mata dan merasakan praktik korupsi yang semakin marak dan meluas. Lihat saja pada saat masyarakat - 34 -
  • 35. mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), sertifikat tanah, dan sebagainya. Laporan dan pengaduan pun banyak mengalir dari masyarakat. Melalui survei yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pembangunan Kebijakan dan Masyarakat pada tahun 1999/2000, ditemukan bahwa terdapat 4 (empat) sektor pelayanan publik yang memungut biaya tidak resmi yaitu sektor perumahan, industri dan perdagangan, kependudukan dan pertanahan. Dalam sektor-sektor tersebut, antara 56–70 persen pegawainya dituding menerima suap oleh para responden yang merupakan rekan kerjanya sendiri. Namun sayangnya berbagai praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik seringkali tidak ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi bagi oknum pelakunya. Kinerja pelayanan umum oleh birokrasi pemerintah daerah selama era otonomi daerah yang masih banyak yang belum mengalami perubahan berarti juga dicatat oleh Amiruddin (2002). Pada penelitiannya di 9 (sembilan) kota di Indonesia, Amiruddin (2002) mencatat beberapa sektor layanan publik yang bermasalah menurut warga, diantaranya air minum yang belum layak untuk diminum, listrik masih sering padam, pemasangan telepon baru butuh waktu yang lama dan biaya besar, kontainer yang kurang sehingga sampah berserakan, prosedur pembuatan KTP berbelit-belit dan biayanya mahal, angkutan kota yang tidak layak dan tarifnya yang tidak pasti, puskesmas yang belum optimal dan adanya diskriminasi di rumah sakit, biaya sekolah yang mahal namun guru masih kurang banyak dan kurang berkualitas, dan pedagang kaki lima yang menjamur dimana-mana. Kondisi rendahnya kinerja pelayanan pemda tersebut tentu saja disebabkan karena berbagai faktor, diantaranya karena cakupan wilayah pelayanan yang sangat luas, banyaknya jenis pelayanan yang harus disediakan, terbatasnya dana bagi penyediaan pelayanan umum, kurangnya supervisi maupun ketiadaan pedoman dari pemerintah, serta beragamnya kondisi sosial ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya dari para pengguna pelayanan umum sendiri. Kondisi demikian kemudian menyebabkan munculnya persepsi yang berbeda dari pengguna layanan terhadap pelayanan yang diterimanya. YLKI (1999) sebelumnya telah mencatat beberapa hal yang menjadi kendala mengapa pelayanan umum yang baik sulit direalisasikan, yakni tidak adanya standar pelayanan, kondisi sosial budaya masyarakat, rendahnya kesadaran konsumen layanan, peraturan pemerintah, dan ketidaksiapan aparat pemerintah sebagai penyedia pelayanan umum menghadapi tuntutan masyarakat. - 35 -
  • 36. Dalam konteks itu, kata kunci dari upaya untuk mengatasi kegagalan menuju keberhasilan adalah inovasi dan atau perubahan. Hal ini sesuai dengan jargon, we have to change, if we don’t change we die. Pemerintah daerah mesti memiliki kemampuan untuk melakukan inovasi dan perubahan guna menjalankan fungsinya secara lebih baik. Terkait dengan itu, penggerak utama (driving force) dari inovasi dan perubahan tersebut adalah kemauan politik (political will) dari kepala daerah sebagai mesin penggerak sistem kerja birokrasi pemerintahan di daerah untuk melakukan upaya-upaya inovasi dan perubahan secara riil menuju kearah yang lebih baik. Kepala daerah yang memiliki political will akan membuka ruang yang luas dan terbuka bagi dilakukannya inovasi dan perubahan dalam pengelolaan sumber daya pemerintahan dan pembangunan daerah sedemikian rupa untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel, transparan dan bertanggungjawab, serta pelayanan masyarakat yang cepat, murah, baik, dan mampu memenuhi kebutuhan riil masyarakat. Inovasi bagi pemerintah daerah merupakan suatu keharusan guna mengimplementasikan substansi desentralisasi, yaitu mengupayakan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya berdasarkan aspirasi dan potensi lokal serta pengentasan kemiskinan secara berkesinambungan. Kisah menyenangkan dari pelaksanaan otonomi daerah justru diperolah dari penerapan inovasi dan perubahan yang dilakukan pemerintahan daerah. Pengalaman inovasi pemerintahan yang berhasil diantaranya dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Prefektur Oita di Jepang yang melakukan inovasi program pembangunan daerah pada tahun 1979 melalui gerakan One Village One Product (OVOP). Gerakan OVOP terbukti mampu mengubah Oita yang sebelumnya terbelakang secara ekonomi menjadi sebuah daerah yang sukses secara ekonomi (CCLAD, 2000). Untuk kasus Indonesia, telah banyak daerah yang melakukan inovasi program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Misalnya, Kabupaten Jembrana dalam peningkatan pelayanan publik dan perekonomian daerah, Kabupaten Banjarnegara melalui Pembenahan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjarnegara, Kabupaten Deliserdang melalui pembentukan LEPP-M3 sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, Kabupaten Gianyar melalui program Gianyar Sejahtera (Tifa, 2004), maupun Kabupaten Sumba Timur melalui pelatihan aparatur pemerintah desa (Apkasi, 2003 dalam Tifa, 2004). Pengalaman menarik yang dapat dijadikan pelajaran penting untuk dikaji dalam kasus inovasi pemerintahan daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan - 36 -
  • 37. masyarakat (diantaranya melalui pelayanan) adalah Kabupaten Jembrana. Pemerintah kabupaten Jembrana memiliki pengalaman dalam mendesain dan melaksanakan program inovasi pemerintahan yang terbukti sukses sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya secara signifikan. Hasil studi yang dilakukan PPKSD FISIP UI dan Yayasan TIFA (2004) menemukan bahwa dalam kurun waktu 3-4 tahun, Kabupaten Jembrana dapat mengurangi persentase keluarga miskin sebesar 44% (Tahun 2001 19,4% berkurang menjadi hanya 10,9% pada tahun 2003). Prestasi lainya adalah kematian bayi per seribu lahir hidup pada tahun 2001 sebesar 15,25% berkurang menjadi 8,39% atau berkurang 45 %. Tingkat drop out (DO) siswa Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2001 mencapai 0,08% menjadi 0,02% pada tahun 2003 atau berkurang 75 %. Hasil kajian di atas mencatat bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan kabupaten Jembrana sukses dalam melakukan inovasi pemerintahan. Pada bidang pendidikan, yang dilakukan oleh pemda Kabupaten Jembrana adalah membebaskan semua SPP bagi seluruh sekolah negeri (SD, SLTP, SMU/SMK) serta pemberian beasiswa bagi siswa sekolah swasta. Sedangkan pada bidang kesehatan, pemda Kabupaten Jembrana mengeluarkan Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) dalam bentuk asuransi yang diperoleh bagi setiap warga yang memiliki KTP. Dengan demikian penduduk kabupaten Jembrana bebas biaya obat dan dokter serta bebas biaya rumah sakit bagi warga miskin. Sedangkan pada bidang ekonomi pemda memprogramkan dana talangan untuk menjaga harga hasil panen serta dana bergulir bagi kelompok tani. Padahal APBD Jembrana hanya Rp193,1 miliar pada tahun 2003 dengan PAD hanya Rp9,2 miliar. Bandingkan misalnya dengan Kota Makassar yang mencapai Rp500 miliar ataupun daerah lain yang lebih besar dari itu. Daerah lain seperti Enrekang juga sudah mulai akan mengimplementasikan program inovasi dalam hal pengentasan kemiskinan dengan merumuskan indikator lokal kemiskinan dan pemasaran hasil pertanian (Corner Makassar dan Yayasan TIFA, 2005). Indikator lokal kemiskinan adalah merupakan upaya pemda dalam menyusun data untuk kepentingan poverty targeting yang tidak bisa didapatkan dengan mengandalkan data yang ada pada BPS dan BKKBN. Dengan adanya indikator lokal ini maka data orang miskin menjadi lebih akurat serta dapat didesain program yang tepat berdasarkan kebutuhan dari masyarakat miskin. Sedangkan program inovasi yang akan diimplentasikan Pemda Enrekang dalam bidang pertanian adalah penangangan secara mapping dalam proses pertanian mulai dari input, permodalan dan output. Pada - 37 -
  • 38. permodalan akan dibentuk lembaga penjamin untuk memberikan kemudahan dan dukungan modal bagi petani serta dalam bidang penanganan hasil pertanian adanya badan pemasaran yang dilengkapi dengan terminal agro serta kendaraan angkut yang tentu sangat membantu petani yang tersebar di wilayah Enrekang yang luas dan topografinya didominasi pegunungan. Kisah menyenangkan mengenai daerah yang bekerja keras untuk kemakmuran rakyatnya mungkin juga banyak ditemukan di daerah-daerah lain. Hanya saja karena keterbatasan informasi maka mungkin keberhasilan-keberhasilan tersebut tidak banyak diketahui publik. Namun yang terpenting adalah bahwa seharusnya daerah berlomba untuk memikirkan dan melaksanakan program inovasi bagi kepentingan kesejahteraan warganya. Program inovasi yang telah diimplementasikan oleh berbagai pemerintah daerah diharapkan dapat menjadi inspirasi, pelajaran atau contoh bagi daerah lain yang belum menerapkannya. Pengalaman dari daerah-daerah yang telah menerapkannya menunjukkan bahwa inovasi merupakan suatu proses yang dimulai dengan keinginan untuk menjadi lebih baik yang kemudian dilanjutkan dengan usaha untuk mewujudkanya dan membuatnya berjalan dengan baik. Inovasi sangat terkait dengan penemuan di mana secara umum inovasi muncul dari sebuah proses trial and error dan bukan dari sebuah perencanaan yang besar. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam menyusun program inovasi faktor-faktor yang mejadi pertimbangan dasar diantaranya adalah adanya komitmen kepala daerah dan aparat birokrasi, keterlibatan semua stakeholder dalam masyarakat, komitmen untuk melakukan efisiensi di semua sektor dan pemilihan prioritas program yang akan dilakukan disesuaikan dengan kondisi lokal walaupun terdapan pula beberapa hal yang merupakan kondisi umum. Kisah sukses lainnya di mana pemerintah daerah berhasil dalam mengembangkan pelayanan publik yang lebih baik telah mulai mendapatkan pengakuan, bahkan pada level internasional. Dalam proyek The World Bank’s Making Services Work for the Poor (MSWP) pada tahun 2005 9 , diidentifikasi 9 jenis kasus pelayanan di daerah yang dikategorikan sangat inovatif dan berhasil. Semua kasus ini dinyatakan mempunyai dampak yang sangat positif terhadap perbaikan pelayanan publik, dengan meliputi sedikitnya 500.000 penduduk miskin. Dalam laporannya, pelayanan-pelayanan inovatif terjadi di bidang pendidikan, kesehatan, tranparansi anggaran serta kinerja pemerintah dan akuntabilitas. 9 Leisher & Nachuk, 2006 - 38 -
  • 39. Di bidang pendidikan, seperti di. Tanah Datar, di mana dilakukan reformasi di bidang pendidikan dengan pemberian insentif kepada guru. Bentuknya adalah dengan pemberian kesempatan kepada 4 persen dari jumlah guru yang bekerja di daerah serta 10 persen kepala sekolah untuk melakukan kunjungan ke luar negeri dengan tujuan untuk menguasai metodologi pengajaran yang lebih baik. Selain itu jumlah sekolah dan kelas dikurangi secara signifikan untuk mencapai rasio jumlah murid per kelas yang proporsional. Daerah lain yang mencatatkan prestasi di bidang pendidikan adalah Sulawesi Barat melalui proyek pendidikan CLCC (Creating Learning Communities for Children) yang mendorong pengajaran aktif serta metode pembelajaran dan kualitas guru yang lebih memadai. Proyek ini berhasil menciptakan metode pembelajaran yang aktif dengan lebih melibatkan orang tua dan murid. Proyek ini telah mengalami perluasan (scaling-up) mencapai 35% pada sekolah-sekolah negeri. Di bidang pelayanan kesehatan, selain kasus Jembrana yang telah diungkap sebelumnya, kasus di Pemalang menjadi salah satu best practice, di mana pemerintah daerah menyediakan voucher kepada ibu hamil dari kelompok masyarakat miskin agar mendapatkan pelayanan bersalin. Selama proyek berlangsung, tercatat jumlah pelayanan bersalin meningkat dua kali lipat, dan luas wilayah pelayanan di tingkat desa-desa mencapai 95 persen. Sementara itu, proyek WSLIC-2 (Second Water and Sanitation for Low-Income Communities Project) di Jawa Timur uga mendapat perhatian, karena keberhasilannya dalam meningkatkan akses warga terhadap air bersih 50 persen dari seluruh target. Warga di bangun kesadarannya untuk memiliki perilaku yang sehat dan rasa memiliki terhadap sistem supply air Dalam hal transparansi anggaran, kasus Bandung adalah contoh yang diangkat dalam laporan ini. Dalam rangka pembangunan transparansi anggaran ini, lembaga swadaya masyarakat BIGS (Bandung Institute of Goverance Studies) memegang peran penting dengan menyebarkan informasi anggaran pemerintah kota melalui penerbitan buku-buku, poster, majalah, dan melatih sekitar 100 orang termasuk wartawan/jurnalis, politisi dan yang lainnya untuk dapat memanfaatkan informasi tersebut, sekaligus membangun kesadaran warga mengenai pentingnya transparansi anggaran. Beberapa kota dan LSM di luar Bandung mulai meniru pola pemberdayaan seperti ini. Selain itu, salah satu inovasi yang juga banyak dilakukan pemda dalam upaya peningkatan pelayanan adalah dengan menerapkan pelayanan yang berbasis teknologi (internet), yang sering dinamakan dengan e-government. Pelayanan berbasis e- - 39 -
  • 40. government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik secara efektif dan efisien. Pelayanan berbasis e-government pada saat ini diperlukan karena pada saat ini Indonesia tengah mengalami perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara secara fundamental, dari sistem kepemerintahan yang otoriter dan sentralistik menuju ke sistem kepemerintahan yang demokratis, dan menerapkan perimbangan kewenangan pusat dan daerah otonom. Perubahan yang tengah terjadi tersebut menuntut terbentuknya kepemerintahan yang bersih, transparan, dan mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif. Sistem manajemen pemerintah yang selama ini merupakan sistem hirarki kewenangan dan komando sektoral yang mengerucut dan panjang, dirubah menjadi sistem manajemen organisasi jaringan yang dapat memperpendek lini pengambilan keputusan serta memperluas rentang kendali. Penerapan e-government dapat menjadi jawaban dari tuntutan masyarakat yang berbeda namun berkaitan erat terhadap Pemerintah daerah, yaitu: Pertama, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik yang memenuhi kepentingan masyarakat luas di seluruh wilayah Indonesia, dapat diandalkan dan terpercaya, serta mudah dijangkau secara interaktif; dan kedua, tuntutan masyarakat agar aspirasi mereka didengar, sehingga pemerintah harus memfasilitasi partisipasi dan dialog publik dalam perumusan kebijakan publik. Melalui pengembangan e-government, dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah daerah otonom. Hal itu dilakukan dengan cara: Pertama, mengoptimasikan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi untuk mengeliminasi sekat-sekat organisasi dan birokrasi; dan Kedua, membentuk jaringan sistem manajemen dan proses kerja yang memungkinkan instansi- instansi pemerintah bekerja secara terpadu, untuk menyederhanakan akses ke semua informasi dan pelayanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah daerah. Melalui pengembangan e-government, dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah daerah otonom dengan mengoptimasikan pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi tersebut mencakup dua aktivitas yang saling berkaitan, yaitu: Pertama, pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara elektronis; dan Kedua, pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara mudah dan murah oleh masyarakat di seluruh wilayah negara. Untuk melaksanakan maksud tersebut, pengembangan e-government diarahkan untuk mencapai empat tujuan, - 40 -
  • 41. yaitu; Pertama, pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik yang memiliki kualitas dan lingkup yang dapat memuaskan masyarakat luas serta dapat terjangkau di seluruh wilayah setiap saat tanpa dibatasi oleh sekat waktu dan biaya yang terjangkau oleh masyarakat; Kedua, pembentukan hubungan interaktif dengan dunia usaha untuk meningkatkan perkem-bangan perekonomian nasional dan memperkuat kemampuan menghadapi perubahan dan persaingan perdagangan internasional; Ketiga, pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan lembaga-lembaga negara dan daerah lain serta penyediaan fasilitas dialog publik bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan negara; dan Keempat, pembentukan sistem manajemen dan proses kerja yang transparan dan efisien serta memperlancar transaksi dan layanan antar lembaga pemerintah dan pemerintah daerah otonom. Hingga saat ini telah banyak instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom yang berinisiatif mengembangkan pelayanan publik melalui jaringan komunikasi dan informasi dalam bentuk situs web. Namun berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, mayoritas situs web Pemerintah Daerah Otonom masih berada pada tingkat pertama (persiapan) dan hanya sebagian kecil yang telah mencapai tingkat dua (pematangan), sedangkan tingkat tiga (pemantapan) dan empat (pemanfaatan) masih belum tercapai. Untuk itu maka agar pelaksanaan kebijakan pengembangan e-government dapat dilaksanakan secara sistematik dan terpadu, maka penyusunan kebijakan, peraturan dan perundang- undangan, standarisasi, dan panduan yang diperlukan harus konsisten dan saling mendukung. Perumusan yang dibuat perlu mengacu pada kerangka yang utuh, serta diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pembentukan pelayanan publik, dan penguatan jaringan pengelolaan dan pengolahan informasi yang handal dan tepercaya. Referensi: • Atep Adya Barata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Gramedia. Jakarta. • Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. PT. Grasindo. Jakarta • Joshi, Anuradha and Mick Moore. 2003. Institutionalised Co-production: Unorthodox Public Service Delivery in Challenging Environments. The Institute of Development Studies. Brighton. - 41 -
  • 42. Kiser, Larry L. & Stephen L. Percy. 1980. The Concept of Coproduction and Its Implication for Public Service Delivery. Paper presented at the 1980 Annual Meetings of the American Society for Public Administration, on April 13-16. Indiana University. Bloomington. • Leisher, Susannah Hopkins & Stefan Nachuk. 2006. Making Services Work for the Poor: A Syinthesis of Nine Case Studies from Indonesia. Available online at http://www.innovations.harvard.edu/ • Lembaga Administrasi Negara. 2003. Penyusunan Standar Pelayanan Publik. LAN. Jakarta. • Marschall, Melissa J. 2004. Citizen Participation and the Neighborhood Context: A New Look at the Coproduction of Local Public Goods. Political Research Quarterly. Academic Research Library. • McLaverty, Peter. 2002. Public Participation and Innovations in Community Governance. Ashgate. England. • Osborne, David & Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison- Wesley Publishing Company. Massachusetts. • Osborne, David & Peter Plastrik, 1996. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, Addison-Wesley Publishing Company. Massachusetts. • Ostrom, Elinor. 1996. Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy, and Development." World Development, Vol. 24, No. 6 (June 1996), 1073-87. • Salamon, Leister M. (1995) Partners in Public Service. Baltimore. The John Hopkins University Press. • Suwarno, Yogi. 2005. The Emergence of Public Participation in Contemporary Indonesia: Coproduction Role of Neighborhood Association in delivering Public Service. Master Thesis at GSPA-ICU, Tokyo. • Zeithaml, Valerie A. et. al. 1990. Delivering Quality Service. The Free Press. New York - 42 -