SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  44
Télécharger pour lire hors ligne
2 3
Pengarah	 :	 Pimpinan KPK
Penanggung jawab	 :	 Deputi Pencegahan KPK
Koordinator	 :	 Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK
Tim peneliti dan penulis	 :	 Bariroh Barid
		 Didik Mulyanto
		Faisal
		 Wawan Wardiana
Kontributor	 :	 Tim pangan
		 Tim sumber daya alam
		 Tim infrastruktur
		 Tim pajak
		 Tim kesejahteraan sosial
		 Tim pencegahan korupsi berbasis
		keluarga
		 (Direktorat Penelitian dan
		 Pengembangan KPK)		
Penerbit	 :	 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
		
		 Juni 2014
Daftar Isi
Daftar Isi
Pendahuluan
Sasaran
Prawacana
Wacana
Agenda 1	 :	 Reformasi Birokrasi dan Perbaikan Administrasi 	
		 Kependudukan
Agenda 2	 :	 Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Penerimaan
			 Negara
Agenda 3	 :	 Ketahanan dan Kedaulatan Pangan
Agenda 4	 :	 Perbaikan Infrastruktur
Agenda 5	 :	 Penguatan Aparat Penegak Hukum
Agenda 6	 :	 Dukungan Pendidikan Nilai dan Keteladanan
Agenda 7	 :	 Perbaikan Kelembagaan Partai Politik
Agenda 8	 :	 Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penutup
3
6
14
16
28
29
36
49
58
63
66
72
78
84
Pendahuluan
6 7
DalamrangkapelaksanaanPemilihanUmumPresiden(Pilpres)2014,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berinisiatif menyampaikan
sejumlah gagasan kepada semua kandidat presiden Republik
Indonesia. Penyampaian sejumlah gagasan ini dilandasi cita-cita
sejati untuk membangun Indonesia yang berdaulat, memiliki
marwah, berkeadilan sejahtera, dan bebas dari korupsi.
Indonesia sejahtera bebas korupsi sesungguhnya bukanlah
impian yang utopis. Penyelenggaraan negara yang bebas dari
korupsi adalah sesuatu yang niscaya, selama kepentingan yang
menyelimuti para calon pemimpin bangsa ini ditujukan untuk
kepentingan rakyat, bukan intensi pribadi atau golongan.
Bagi KPK, sosok seorang presiden adalah dia yang bersikap layaknya
seorang pemimpin, bukan dia yang bertindak bagaikan seorang
penguasa. Pemimpin adalah dia yang mampu menciptakan visi
dan strategi, dan berfokus pada horizon kerakyatan. Penguasa
adalah dia yang semata menggunakan kewenangannya untuk
memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri dan kelompoknya
saja.
Di Indonesia, betapa mudah menemukan penguasa, namun betapa
sulit bertemu pemimpin. KPK tetap sangat berharap bahwa ajang
Pilpres 2014 kali ini akan menghasilkan seorang pemimpin bangsa.
Syaratnya, para kandidat presiden memiliki gagasan-gagasan dan
program-program yang jelas dan tegas dalam mengatasi persoalan
bangsa. Walhasil, dengan gagasan dan program seperti itu, rakyat
tentu akan mendukung sepenuhnya. Bila rakyat berkehendak,
tentu tiada aral sanggup menghalangi.
Realisasi pengembanan, pengejawantahan, dan pengamalan
tata kelola negara dan pemerintah dalam enam dekade ini telah
menimbulkan sejumlah problem besar. Di antaranya adalah tentang
krisis praktik kepemimpinan, ruh, dan ideologi kebangsaan (UUD
tahun 1945), negara hukum, kedaulatan rakyat dan demokrasi.
Problem besar ini telah lama mengakibatkan terjadinya praktik
korupsi sistemik dan tidak berjalannya pemberdaulatan tata kelola
perekonomian negara untuk kepentingan rakyat (demokratisasi
perekonomian negara).
Landasan ketatanegaraan menegaskan bahwa yang berdaulat
adalah rakyat (UUD pasal 1 ayat 2) sebagai “subyek hukum
permanen”. Kekuatan status hukum rakyat adalah terkuat dan
legitimasinya permanen. Sedangkan negara dalam pengertian
lembaga negara bersifat tidak permanen, dapat dibubarkan jika
pemimpinnya mengkhianati konstitusi. Dalam praktik, posisi
rakyat semakin dilemahkan dan posisi negara kian diperkuat
oleh negara. Artinya, demokrasi sekarang sedang menghadapi
tantangan yang mencemaskan, dan yang paling menderita:
“Rakyat”, sedangkan negara mengalami krisis martabat.
Sejalan dengan situasi ini, perembesan nilai-nilai materialisme-
pragmatisme-hedonisme yang tidak sesuai dengan konsep
“manusia otentik” dan menyimpang dari ideologi bangsa dengan
cepat merubah cara pandang para pejabat publik (pemerintah,
DPR, dan kehakiman, termasuk di dalamnya penegak hukum).
Penguasa, sebagiannya gagal memaknai aspirasi rakyat dan
secara simultan rendah keadabannya dalam memaknai ruh
ideologi bangsa. Strategi pembangunan gagal mengartikulasikan
hak-hak demokrasi rakyat dalam bidang sosial, politik, ekonomi,
dan mengakibatkan kemiskinan multi-dimensional.
Ruh dan komitmen nasional untuk mengedepankan kemerdekaan
(liberty) dan sekaligus menghadapkannya dengan penjajahan
(colonialism) tidak diserap sepenuhnya dalam perumusan
kebijakan nasional yang based on people empowering. Yang
terjadi, kemudian, adalah kolonialisasi sektor ekonomi oleh kaum
neo-liberalisme dari dalam negeri dan asing. Kebijakan sektor
migas, minerba, hutan, pangan, serta pengembangan kawasan
hunian, kawasan bisnis, dan pusat belanja super mewah, dan
internasionalisasi pendidikan adalah fakta sempurna terjadinya
krisis ideologi dalam ruang publik.
Apa yang menjadi tuntutan ruh dan ideologi negara Pancasila
dengan praktik kepemimpinan pascareformasi semakin
mengalami kesenjangan. Budaya “intransparansi dan monopoli
politik” yang menjadi ikon sistem rezim Orde Baru yang korup,
justru mengalami pewarisan lebih sistemik dan struktural. Korupsi
sistemik dalam bentuk corruption by design dengan dampak
kerugian perekonomian negara, lumpuhnya demokrasi ekonomi,
dan pelanggaran HAM adalah akibat semata krisis ideologi dan
komitmen kebangsaan. Proses-proses politik gagal melahirkan
sumber daya insani pemangku amanah rakyat, justru menciptakan
atmosfir politik yang terasa hipokrit.
Pendahuluan
KRISIS
IDEOLOGI
KEBANGSAAN
8 9
Pemimpin dan kepemimpinan semakin kehilangan makna
hakiki. Hubungan antara rakyat dengan negara bukan sebagai
hubungan yang menghadirkan suasana keteduhan perlindungan
rakyat dan hak-hak dasariahnya. Cita-cita negara “keadilan sosial
bagi seluruh rakyat” kian menjauh capaiannya. Perbaikan sistem
tata kelola negara dan pemerintah saatnya dinafasi oleh ruh dan
ideologi kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai relijiusitas,
kejujujuran, keadilan, dan transparansi. Kehadiran Presiden
dan Wakil Presiden tepat waktunya, di saat rakyat memerlukan
pemimpin yang, secara jujur dan ikhlas, mendedikasikan diri dan
jabatannya sebagai “tenda besar” peneduh dan pelindung rakyat,
agar rakyat terbebas dari praktik korupsi sistemik.
Keberadaan Negara Republik Indonesia bertujuan untuk melindungi
segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut menjaga ketertiban dunia. Tujuan yang termaktub dalam
pembukaan UUD 1945 tersebut hanya akan terwujud jika bangsa
Indonesia mampu memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya
secara maksimal1
.
Sayangnya, berbagai faktor menyebabkan upaya mewujudkan
tujuan mulia tersebut menghadapi kendala. Ada cukup banyak
survei dan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masyarakat
memandang korupsi sebagai permasalahan utama bangsa yang
perlu segera diatasi, jauh di atas faktor lain2
. Di satu sisi, survei dan
penelitian ini mengonfirmasi dugaan tentang parahnya tingkat
korupsi di Indonesia, tetapi di sisi lain hal tersebut perlu diapresiasi
karena paling tidak masyarakat telah memiliki kepedulian yang
tinggi terhadap isu korupsi.
Memberantas korupsi memerlukan partisipasi masyarakat, karena
ini bukan saja masalah penegakan hukum, tetapi juga tentang cara
berpikir dan tingkah laku. Dengan kata lain, korupsi juga merupakan
masalah sosial dan budaya. Jika dimanfaatkan dengan baik, maka
tingkat kepedulian dan kemarahan masyarakat tersebut merupakan
modal yang penting bagi upaya pemberantasan korupsi.
1	 Sistem Integritas Nasional Indonesia: konsep dan filosofi, KPK, 2013.
2	 Survei Kompas, 2010, menyebutkan bahwa 38,6% masyarakat menempatkan korupsi
sebagai permasalahan paling penting, jauh di atas masalah lain seperti krisis ekonomi
(15,1%), pengangguran (10,3%), terorisme (9,7%), dan lain-lain.
Korupsi di Indonesia bersifat sistemik dan mempunyai sejarah
yang panjang; bahkan lebih panjang dari sejarah Negara Kesatuan
Republik Indonesia itu sendiri. Pada tahun 1970, Bung Hatta dalam
kapasitasnya sebagai penasihat presiden mengatakan bahwa
korupsi sudah membudaya di Indonesia3
. Sejarah mencatat bahwa
sejak masa penjajahan Belanda, korupsi sudah merajalela; bahkan
VOC, sebuah BUMN milik pemerintah Belanda yang bertugas
mengeksploitasi Indonesia, terpaksa gulung tikar pada tahun
1779 karena masalah korupsi. VOC digantikan oleh Pemerintah
Kolonial Hindia-Belanda, dimana praktik korupsi tetap tumbuh
subur. Setelah masa kemerdekaan, masa orde baru, hingga masa
pascareformasi 1998, korupsi tetap subur.
Upaya memberantas korupsi bukanlah agenda baru di Indonesia.
Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, pemerintahan Presiden
Soekarno mengeluarkan berbagai peraturan dan mendirikan
beberapa institusi untuk memberantas korupsi termasuk korupsi
di lingkungan angkatan bersenjata. Lalu pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto, pemerintah membentuk Tim Empat yang
salah satunya bertugas memberantas Korupsi, diikuti dengan
berbagai institusi dan peraturan yang semuanya ditujukan untuk
menekan tingkat korupsi. Setelah reformasi 1998, pada tahun
2003 didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diikuti
dengan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
setahun kemudian. Ada beberapa Instruksi Presiden yang
ditetapkan oleh kepala pemerintahan selama periode reformasi.
Kehadiran KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
telah membuka lembaran baru bagi upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia. Pendekatan pemberantasan korupsi yang
terkesan formalitas dan basa-basi, yang terjadi sebelum KPK
dan pengadilan Tipikor terbentuk, pun diakhiri. Dampaknya,
cukup banyak koruptor, yang dikualifikasi sebagai High Ranking
Officials, yang tertangkap dan dipidanakan. Sebagai anak
kandung reformasi, KPK mendapatkan dukungan luar biasa dari
masyarakat. Dukungan tersebut sangat penting, tidak saja dalam
mengonsolidasikan upaya memberantas korupsi tetapi juga
untuk membangun gerakan sosial antikorupsi.
Terlepas dari berbagai upaya untuk memperbaiki keadaan, tingkat
korupsi di Indonesia masih jauh dari menggembirakan. Pada
tahun 2013, Indonesia berada pada urutan ke-114 dari 177 negara
3	 Indonesian Observer, 2 Juli 1970, dalam Korupsi Mengorupsi Indonesia, 2010.
Pendahuluan
PRAKTIK
KORUPSI
SISTEMIK
10 11
dalam peringkat Corruption Perception Index (CPI). Kondisi ini
tidak lebih baik dari keadaan tahun sebelumnya, dan lebih buruk
dari keadaan negara-negara lain di kawasan4
.
Negara lain yang memiliki skor sama dengan Indonesia adalah
Mesir (32). Skor Indonesia sedikit lebih baik dari Albania (31), Nepal
(31), Vietnam (31), dan sedikit lebih buruk dari Ethiopia (33), Kosovo
(33), dan Tanzania (33).
Meskipun skor CPI 2013 Indonesia tidak beranjak dari skor tahun
2012, yaitu 32, namun Indonesia meningkat empat peringkat.
Tahun 2012, Indonesia berada di peringkat 118 dari 176 negara,
dan di tahun 2013 peringkat Indonesia menjadi 114 dari 177 negara.
Stagnasi tersebut berlawanan dengan tren beberapa tahun
terakhir dimana peningkatan CPI Indonesia merupakan salah satu
yang paling tinggi di dunia. Bahkan, dalam periode 2003 hingga
2011, Indonesia merupakan salah satu di antara 11 negara yang
berhasil meningkatkan skor CPI sebanyak satu poin atau lebih5
.
Tanpa inovasi berarti, kemajuan tidak akan berlanjut di masa-masa
mendatang.
Maraknya korupsi politik di era demokrasi dan korupsi antarnegara
di era globalisasi merupakan tantangan nyata. Globalisasi
memungkinkan barang, jasa, orang, dan modal berpindah dari satu
negara ke negara lain dengan mudah. Sayangnya, kasus korupsi
pun ikut serta sebagai penumpang gelap proses globalisasi.
Ada kecenderungan bahwa korupsi lintas negara akan semakin
sering terjadi di masa mendatang. Pendekatan dan strategi baru
diperlukan agar upaya memberantas korupsi dapat tetap dilakukan
dengan optimal.
Upaya memberantas korupsi hanya akan berhasil jika ia menyentuh
akar permasalahan. Korupsi adalah simptom dari rendahnya
integritas institusi dan individu, serta adanya sistem yang tidak
akuntabel. Mengobati gejala saja tidak akan menyembuhkan.
Tanpa memperbaiki integritas suplai koruptor baru akan terjadi
dan berbagai kasus korupsi baru akan terus bermunculan.
Tanpa memperbaiki integritas, maka sebaik apa pun sistem yang
diterapkan akan tetap muncul kolusi. Perang melawan korupsi
4	 Diunduh dari cpi.transparency.org/cpi2013/results/, 23 Mei 2014.
5	 Wijayanto samirin, Fighting Corruption in Indonesia: the need of new approaches to
ensure that progress continues, 2012.
akan menjadi perang abadi yang menguras energi dan sulit untuk
dimenangkan. Kehadiran integritas di level individu, organisasi,
dan nasional merupakan pertahanan terbaik untuk mencegah
terjadinya korupsi. Sistem yang akuntabel juga menjadi kata kunci
utama lainnya untuk meminimalisir potensi korupsi. Integrasi antara
sistem dan integritas inilah yang akan menjadi faktor fundamental
pemberantasan korupsi.
Dalam merancang konsep yang berpijak dari sejumlah gagasan
ini, KPK melaksanakan dua kegiatan untuk mendapatkan informasi
dan pengetahuan, dan dari kegiatan dimaksud diperoleh dua
sumber informasi.
Pertama, mengumpulkan sejumlah hasil kajian dan studi yang
telah dikerjakan oleh KPK selama ini. Lansekap hasil kajian dan
studi KPK ini merentang pada beberapa bidang yang merupakan
isu-isu kepentingan nasional (national interests), mulai dari sistem
administrasi pemerintahan, infrastruktur, pajak, pangan, sumber
daya alam, sampai pendidikan dan kesehatan.
Kedua, menghimpun pendapat-pendapat masyarakat di beberapa
daerah di Indonesia. Dalam hal ini kami meminta pendapat dari
akademisi, tokoh masyarakat, dan LSM di beberapa daerah.
Masyarakat di daerah adalah mereka yang langsung merasakan
implementasi kebijakan pemerintah. Suara mereka adalah suara
yang aktual, jernih, dan jujur.
Lalu, dari dua sumber masukan di atas, disintesiskan dalam
sebuah konsep yang memuat gagasan-gagasan KPK. Paling tidak,
menurut KPK, dalam membangun bangsa di masa mendatang,
sejumlah gagasan dalam konsep ini yang patut menjadi perhatian
dan prioritas utama dari para calon presiden dalam Pilpres 2014.
Akhirnya, KPK harus terus menerus menaburkan optimisme seraya
membangun asa agar perhelatan Pilpres 2014 dapat menghasilkan
seorang presiden pilihan rakyat yang kepentingannya hanya
ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Untuk itu, KPK berharap
gagasan dalam proposal ini dapat dijadikan rujukan dan fundamen
kebijakan bagi presiden yang baru.
 
Pendahuluan
DUA SUMBER
INFORMASI
Sasaran
14
Ada dua sasaran yang ingin dicapai dalam penyampaian rumusan
gagasan ini.
Pertama, KPK mengajukan beberapa prasaran mengenai persoalan-
persoalan pokok bangsa.
Lewat pengajuan gagasan-gagasan yang dirumuskan, KPK tidak
berpretensi menyebut bahwa KPK adalah kanal suara rakyat, tetapi
sejumlah kajian, studi, dan analisis KPK beberapa tahun belakangan
menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah serta
implementasinya menggiring pada kesimpulan bahwa masyarakat
belum banyak merasakan dampak pembangunan.
Semoga persoalan-persoalan yang diajukan ini dapat menjadi
perhatian utama tiap kandidat presiden. Dengan begitu, kemudian,
diharapkan ide dan gagasan yang dirumuskan menjadi suatu
program dan menjadi fokus strateginya ketika kandidat presiden
ini, kelak secara definitif, menduduki kursi jabatan sebagai presiden.
Kedua, kandidat presiden dan KPK sejak awal sudah menciptakan
komunikasi konstruktif untuk kepentingan program pemberantasan
korupsi yang efektif dan efisien.
Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dan
KPK sebagai lembaga negara, pada hakikatnya, secara bersama,
mempunyai kepentingan yang sebangun: mewujudkan masyarakat
adil, makmur, dan sejahtera6
. Dua dari lima tugas utama KPK
adalah upaya pencegahan dan monitor7
. Upaya pencegahan
adalah sekumpulan usaha yang dilakukan untuk dapat menangkal
munculnya perilaku korupsi. Tugas monitor adalah melakukan
pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi semua
lembaga negara dan pemerintah, dan menyampaikan saran
perbaikan bila dari hasil pengkajian diketahui bahwa sistem tersebut
berpotensi korupsi8
.
Oleh sebab itu, bila dari mula telah disepakati pokok problem dan
tantangan pemberantasan korupsi, maka diharapkan ke depannya
akan terbuka peluang untuk bekerjasama secara lebih maksimal
dengan KPK. Dengan begitu, hubungan yang tercipta adalah
hubungan yang saling mendukung menuju perbaikan tata sistem
pemerintahan yang bebas dari perilaku korupsi.
6	 Pembukaan UUD 1945 dan salah satu pertimbangan (konsideran) dalam pembentukan
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
7	 Pasal 6 dan pasal 13 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
8	 Pasal 14 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Prawacana
16 17
Rasanya kita tak akan kaget membaca data di bawah ini. Semua
data itu adalah sesuatu yang lumrah. Bahkan, mungkin, kita sendiri
pun tiap hari menyaksikan langsung kenyataan tersebut.
Dalam lima tahun terakhir, penurunan tingkat kemiskinan di
Indonesia sangat rendah. Sejak 2009 sampai 2013, tingkat
kemiskinan hanya turun 3,98 juta. Lengkapnya, berdasarkan data
BPS, dapat terlihat bahwa pada 2009 jumlah orang miskin adalah
sebesar 32,53 juta; pada 2010 sebesar 31,03 juta; pada 2011
sebesar 30,02 juta; pada 2012 sebesar 28,59 juta; dan pada 2013
sebesar 28,55 juta.
Penurunan Tingkat Kemiskinan
Sumber: BPS (diolah)
Kondisi di atas diperburuk oleh penurunan tingkat pengangguran
terbuka di Indonesia yang cenderung statis. Tingkat pengangguran
hanyaturunsebesar700ribuorang,dari7,87jutapada2009menjadi
7,17 juta pada 2013. Lebih rinci, data dari BPS memperlihatkan
bahwa pada 2009 jumlah pengangguran adalah sebesar 7,87 juta;
pada 2010 sebesar 7,14 juta; pada 2011 sebesar 7,70 juta; pada
2012 sebesar 7,24 juta; dan, pada 2013 sebesar 7,17 juta.
Penurunan Tingkat Pengangguran
Sumber: BPS (diolah)
Pada tingkat kemiskinan dan pengangguran yang relatif tinggi
tersebut, sangat wajar bila sebagian masyarakat miskin dan para
penganggur bekerja di sektor-sektor informal. Penduduk miskin
dan penganggur, yang bekerja di sektor informal, umumnya
memiliki kemampuan dan modal yang minim, sehingga tidak
punya pilihan selain menekuni pekerjaan informal itu9
. Akibatnya,
mereka dituntut mengupayakan apa saja untuk mendapatkan
sedikit keuntungan atau imbalan, sekadar untuk menyambung
hidup. Sampai 2013, dari data BPS, sebanyak 60,02 persen atau
68,40 juta penduduk Indonesia, bekerja di sektor informal. Dan,
jelaslah bahwa kondisi ini bukanlah kenyataan ekonomi dan
realitas sosial yang menggembirakan.
Pada sisi lain, ketimpangan ekonomi dan sosial tampak jelas
terlihat. Koefisien Gini, yang merupakan indikator utama
ketimpangan ekonomi atau kesenjangan pendapatan penduduk,
menunjukkan hal tersebut. Berdasarkan data BPS, pada 2009,
rata-rata koefisien gini Indonesia adalah sebesar 0,37; pada 2010
sebesar 0,38; pada 2011 sebesar 0,39; pada 2012 sebesar 0,41;
dan, pada 2013, sebesar 0,41. Kian besar nilai koefisien, kian tinggi
tingkat kesenjangan.
9	 Faisal Basri dan Haris Munandar, Lanskap ekonomi Indonesia: kajian dan renungan
terhadap masalah-masalah struktural, transformasi baru, dan prospek perekonomian
Indonesia, Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2009.
Prawacana
32,53 juta
31,03 juta
30,02 juta
28,59 juta
28,55 juta
7,87 juta
7,14 juta
7,70 juta
7,24 juta
7,17 juta
2009
2010
2011
2012
2013
2009
2010
2011
2012
2013
18 19
Koefisien Gini
Sumber: BPS (diolah)
Di sisi lain, Standar Pembangunan Manusia (SPM) Indonesia relatif
rendah di tingkat ASEAN. Pada tahun 2013, misalnya, Indonesia
rangking 121 dari 187 negara, di bawah Singapura, Brunei, Malaysia,
Thailand, dan Philipina.
Lebih daripada itu, tidak dapat dibantah bahwa kualitas pelayanan
publik tidak kalah memprihatinkan. Pelayanan publik, sesuai UU
No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, adalah kegiatan
atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi
setiap warganegara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau
pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik.
Pada 2013, institusi pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI,
mengumumkan lima kementerian yang memperoleh penilaian
rendah dalam pelayanan publiknya, yakni Kementerian Pekerjaan
Umum, Pertanian, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Sosial, dan
Pendidikan dan Kebudayaan. Indikator utama survei adalah
terutama tidak transparan dalam memajang lama waktu pelayanan,
biaya pelayanan, dan maklumat pelayanan. Poin penting penunjang
pelaksanaan pelayanan publik adalah kemampuan birokrasi
mengelola dan menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang
ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel. Birokrasi layanan publik
tidak boleh memberikan pelayanan secara diskriminatif, yaitu
memandang penduduk atas dasar status, pangkat, dan golongan10
.
10	 Messi, 1999
Sulit dipungkiri, masalah-masalah di atas timbul karena masifnya
korupsi. Persoalan korupsi mengakibatkan tingkat kemiskinan
yang tinggi, tingkat pengangguran yang menaik, pekerjaan di
sektor informal membesar, kesenjangan kesejahteraan melebar,
dan menurunnya kualitas pelayanan publik.
Korupsi sungguh merenggut hak rakyat untuk hidup sejahtera.
Padahal, negara berkewajiban memajukan derajat kemakmuran
rakyatnya. Negara musti sanggup memuaskan tuntutan
kesejahteraan sosial rakyatnya. Hak konstitusi adalah hak yang
melekat pada tiap warganegara untuk meraih perlindungan,
kesetaraan, kehidupan layak, dan kesejahteraan11
. Kewajiban
dan tanggung jawab itu harus terpenuhi, apakah negara itu kaya
atau tidak, karena bila tidak negara tersebut patut dikategorikan
sebagai negara gagal, failed-state12
.
Dalam penjelasannya, UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan secara
terang bahwa tingkat korupsi yang masif di Indonesia membawa
bencana, tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional,
tetapi juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu,
korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.
Kewajiban negara menyejahterakan rakyatnya sesungguhnya
sudah tertuang secara tegas dan eksplisit dalam konstitusi.
Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa “tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.” Pasal 28H ayat 1 (perubahan kedua) tercetus
amar: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Lalu,
pasal 28H ayat 2 memberi mandat bahwa “setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan.” Dan, pasal 28H ayat 3 memerintahkan negara agar
“setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.”
11	 Bahari, Kompas, 26 September 2012.
12	 Sri-Edi Swasono, 2012.
KORUPSI
KONSTITUSI
2009
2010
2011
2012
2013
0,37
0,38
0,39
0,41
0,41
Prawacana
20 21
Lebih jauh, sejumlah pasal lain dalam konstitusi menguatkan
tanggung jawab negara untuk memajukan kesentosaan warganya.
Pasal 33 ayat 3 berbunyi, “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pasal 34 ayat 1
(amandemen keempat) mengamanatkan bahwa “fakir miskin
dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Kemudian,
pasal 34 ayat 2 mendesak negara untuk “mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.” Lalu, dalam pasal 34 ayat 3 disebutkan bahwa
“negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”
Pasal-pasal di atas memberi amanat agar tiap warganegara bisa
bebas dari ketakberdayaan. Pesan konstitusi ini sesungguhnya
sudah jauh lebih dahulu sebelum Amartya Sen, peraih Nobel
bidang ekonomi tahun 1998, mengatakan perlunya pembangunan
sebagai proses menuju kebebasan. Bila pembangunan adalah
sebuah proses menuju kebebasan, maka, bagi Sen, pembangunan
mensyaratkan sirnanya sumber-sumber utama ketidakbebasan.
Pangkal pokok ketakmandirian itu adalah kemiskinan, tirani, peluang
berusaha yang diisolasi oleh negara, penghirauan akan penyediaan
fasilitas-fasilitas yang bermanfaat bagi publik, pemerintahan yang
represif, negara yang otoriter, dan masyarakat yang intoleran13
.
Bila diperhatikan sejumlah fakta korupsi belakangan ini, kemudian
membandingkannya dengan amanat konstitusi (UUD 1945), maka
terlihat bahwa korupsi sesungguhnya adalah pelanggaran terhadap
konstitusi. Dalam konteks ini, muncul semacam korupsi konstitusi14
.
Maksudnya adalah bahwa ada kesengajaan untuk mengingkari
amanat konstitusi; mengabaikan pesan-pesan konstitusi.
Memerhatikan pelaku korupsi berdasarkan jabatan sejak tahun
2004-2013 cukup membuat miris, karena menunjukkan bahwa
semua lini penyelenggara negara baik legislatif, eksekutif, yudikatif,
maupun masyarakat atau dunia usaha telah terjerat dalam tindakan
dan perilaku yang korup. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik
tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di
berbagai bidang kehidupan, dengan pelaku yang berpendidikan
13	 Amartya Sen, Development as Freedom, 1999.
14	 Istilah “korupsi konstitusi” dipinjam dari Revrisond Baswir (paparan di depan forum diskusi
KPK, 21 Mei 2014).
tinggi, kekayaan yang sudah memadai, dan pemahaman
agama yang mumpuni. Perilaku korup oleh mereka yang sudah
berkecukupan secara materiil tersebut kita sebut corruption by
greed atau korupsi akibat keserakahan.
Grand corruption menyebabkan kerugian negara yang sangat
besar secara finansial maupun non-finansial, yang tidak hanya
menggerus keuangan negara tetapi juga telah merampas hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat. Korupsi yang dilakukan secara
tersembunyi banyak terjadi karena adanya kolusi antara kekuatan
ekonomi, kekuatan politik, dan para pengambil kebijakan publik.
Dengan pengaruh yang dimilikinya, kelompok kepentingan
tertentu memengaruhi pengambil kebijakan agar mengeluarkan
kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. Apabila pengaruh
kelompok tersebut begitu besar dan seolah dapat mengontrol
proses perumusan kebijakan publik, maka fenomena inilah yang
sering disebut dengan state capture atau elite capture.
Tabulasi Data Pelaku Korupsi Berdasarkan Jabatan Tahun 2004-
2014 (per 31 Maret 2014)
Sumber: KPK, 2014
Sebagai gambaran singkat, sejak berdiri sampai dengan tahun
2013, KPK telah menyelamatkan total kerugian negara sebesar Rp
248,89 Triliun. Uang negara sebesar itu terdiri atas perolehan dari
upaya penindakan dan upaya pencegahan melalui penyelamatan
kerugian negara sebesar Rp 197,39 Triliun. Juga, dari potensi
penyelamatan kerugian negara dengan program pencegahan
sebesar Rp 51,50 Triliun.
Prawacana
No Jabatan 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 Jumlah
1 Anggota DPR &
DPRD
0 0 0 2 7 8 27 5 16 8 0 73
2 Kepala Lembaga/
Kementerian
0 1 1 0 1 1 2 0 1 4 1 12
3 Duta Besar 0 0 0 2 1 0 1 0 0 0 0 4
4 Komisioner 0 3 2 1 1 0 0 0 0 0 0 7
5 Gubernur 1 0 2 0 2 2 1 0 0 2 0 10
6 Walikota/Bupati &
Wakil
0 0 3 7 5 5 4 4 4 3 0 35
7 Eselon I/II/III 2 9 15 10 22 14 12 15 8 7 1 115
8 Hakim 0 0 0 0 0 0 1 2 2 3 2 10
9 Swasta 1 4 5 3 12 11 8 10 16 24 1 95
10 Lainnya 0 6 1 2 4 4 9 3 3 8 1 41
Jumlah 4 23 29 27 55 45 65 39 50 59 6 402
22 23
Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara oleh KPK 2005-2013
Sumber: KPK, 2014
Dari uang yang dapat diselamatkan tersebut, bila dikonversikan,
maka sesungguhnya uang itu bisa digunakan bagi pembangunan
2,5 juta unit rumah sederhana gratis, atau memberikan susu
gratis kepada anak rawan gizi sebanyak 22,6 miliar liter, atau
memberikan sekolah gratis kepada 429 juta anak SD selama
setahun, atau memberikan 29,3 miliar kilogram beras gratis bagi
penduduk yang rawan pangan, atau membangun 1,9 juta unit
ruang kelas Sekolah Dasar, atau membangun 1,8 juta unit ruang
kelas Sekolah Menengah Pertama, atau memberikan 49 juta unit
komputer untuk sekolah-sekolah, atau memberikan bantuan
modal usaha untuk 25 juta sarjana baru, atau memberikan modal
pendirian 4,9 juta koperasi di tengah-tengah masyarakat.
Potensi Konversi Penyelamatan Uang Negara untuk Rakyat
Pembangunan rumah sederhana 2,5 juta unit rumah, atau
Pemberian susu gratis kepada anak rawan
gizi
22,6 miliar liter susu, atau
Menyediakan sekolah gratis pada anak SD 429 juta anak SD, atau
Pemberian beras bagi penduduk rawan
pangan
29,3 miliar kilogram beras, atau
Pembangunan ruang kelas Sekolah Dasar 1,9 juta unit ruang kelas SD, atau
Pembangunan ruang kelas SMP 1,8 juta unit ruang kelas SMP,
atau
Menyediakan komputer untuk sekolah 49 juta unit komputer, atau
Menyediakan bantuan modal usaha bagi
sarjana baru
25 juta sarjana baru, atau
Menyediakan modal bagi pendirian kope-
rasi
4,9 juta koperasi baru.
Semua data dan beberapa gambaran wajah bangsa di atas
sesungguhnya adalah fakta-fakta usang yang terus menghantui
negeri ini. Hal-hal di atas pasti akan menjadi pekerjaan rumah
bagi presiden baru, sehingga bagaimanapun inilah tanggung
jawab utama dan pertama buat presiden baru.
Seorang presiden merupakan pengemban amanat rakyat. Dan,
seorang pengemban amanat rakyat, pada hakikatnya, adalah
pengemban amanat konstitusi. Lalu, dalam amanat konstitusi
terkandung pesan bahwa kekayaan Indonesia dikuasai oleh
negara. Oleh karena itu, presiden adalah dia yang wajib menjaga
kekayaan negara. Presiden adalah representasi negara karena dia
adalah kepala negara.
Prawacana
PEKERJAAN
RUMAH BAGI
PRESIDEN
BARU
No. Penindakan RUPIAH U$D
Penindakan
1
Jumlah uang yang disetor ke Kas Negara
dari Tindak Pidana Korupsi
1,175,478,834,227.30
2
Jumlah uang yang disetor ke Kas Negara
dari Gratifikasi
18,194,957,229.00
Sub Jumlah 1,193,673,791,456.30
Pencegahan
1 Penyelamatan keuangan negara akibat
pengalihan hak milik negara (HMN) yang
dapat dicegah pada 25 Kementerian/
Lembaga 2009 s.d Oktober 2011
2,876,296,051,256.00
2 Penyelamatan keuangan dan kekayaan
negara dari sektor hulu migas
186,620,009,340,084.00
3 Penyelamatan dari alokasi gas bumi untuk
pupuk Tahun 2013
6,700,000,000,000.00
Sub Total 196,196,305,391,340.00
Total Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara
(Penindakan + Pencegahan)
197,389,979,182,796.00
Program Pencegahan
1
Potensi penerimaan negara bukan pajak
akibat pinjam pakai kawasan hutan oleh
pertambangan per Agustus 2013
15.900.000.000.000,00
2
Potensi royalti yang tidak dibayarkan oleh
perusahaan batubara dan mineral per
Agustus 2013
6.777.607.062.722,36
3
Potensi Kerugian Keuangan Negara
berdasarkan verifikasi Data Ekspor Mineral
(Laporan Surveyor) dari 180 Perusahaan
Pertambangan Mineral (2011)
24,661,547.49
4
Potensi Kerugian Keuangan Negara
berdasarkan verifikasi
Data Ekspor Batubara (Laporan Surveyor)
dari 198 Perusahaan Pertambangan
Batubara (2010-2012)
1,224,212,608.84
5
Potensi penerimaan pajak yang hilang akibat
perbedaan data produksi batubara antara
data Ditjen Minerba KemESDM dengan data
BPS (2012)
28,500,000,000,000.00
6
Piutang PNBP (iuran tetap dan royalti) pelaku
usaha pertambangan minerba di 8 Provinsi
(2011-2013)
331,275,179,147.00 546,111,426.00
Total Potensi Penyelamatan Kerugian Keuangan
Negara (Pencegahan)
51,508,882,241,869.40 1,794,985,582.33
Grand Total Penyelamatan Kerugian Keuangan
Negara
248,898,861,424,666.00 1,794,985,582.33
24 25
Apa yang dimaksud “dikuasai oleh negara”? Dalam Putusan Perkara
Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003 disebutkan bahwa
pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup
makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber
dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas
segala sumber kekayaan “bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber
kekayaan dimaksud.
Lebih lanjut, rakyat, secara kolektif, memberikan mandat kepada
negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan
pengurusan(bestuursdaad),pengaturan(regelendaad),pengelolaan
(beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk
tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Fungsi pengurusan oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan
kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas
perijinan, lisensi, dan konsesi.
Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui kewenangan
legislasi oleh DPR bersama pemerintah, dan regulasi oleh
pemerintah.
Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan
saham dan atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen
Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Daerah sebagai
instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. pemerintah,
mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan
itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara dilakukan
oleh negara, c.q. pemerintah, dalam rangka mengawasi dan
mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas
sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat15
.
15	 Putusan MK ini juga dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 01 Tahun 2005,
terbit Selasa, 4 Januari 2005, hal. 208-209.
Dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia, presiden
adalah salah satu ikon penting dalam upaya tersebut. Presiden
adalah simbol sekaligus cermin dalam ikhtiar pemberantasan
korupsi. Dalam kerangka berpikir seperti itu, beberapa langkah
yang harus dilakukan presiden mendatang adalah berkomitmen
untuk:
1.	 Menolak dan melaporkan segala bentuk gratifikasi.
2.	Menentang setiap usaha yang akan melemahkan upaya
pemberantasan korupsi.
3.	 Meningkatkan kepatuhan atas Konvensi International tentang
Antikorupsi (UNCAC).
4.	Mewajibkan pendirian Unit Pengendalian Gratifikasi dan
LHKPN di setiap Kementerian dan Lembaga.
5.	 Mewujudkan adanya tes integritas dalam proses rekrutmen
dan promosi di Kementerian dan Lembaga.
6.	Tidak memberikan ruang kepada keluarganya untuk dapat
mengakses dana yang berasal dari APBN.
7.	Menutup munculnya faktor nepotisme dan kolusi dalam
proses pelaksanaan kepemerintahan.
 
PERAN
PRESIDEN
DALAM
PEMBERAN-
TASAN
KORUPSI
Prawacana
Wacana
28 29
Berdasarkan prawacana di atas, beberapa gagasan yang akan
disampaikan di sini merupakan abstraksi atas persoalan-persoalan
aktual yang sudah diutarakan sebelumnya pada bagian prawacana.
KPK berkeyakinan bahwa korupsi dan kelemahan sistem
pemerintahan adalah akar dari semua masalah di atas. Semua
masalah tersebut merentang mulai dari penataan birokrasi,
perbaikan sistem administrasi kependudukan, pengelolaan
sumber daya alam, ketahanan dan kedaulatan pangan, penyediaan
infrastruktur, pembenahan aparat penegak hukum, penguatan
partai politik, sampai peningkatan kesejahteraan sosial.
Singkatnya, bagi KPK, seorang presiden harus mengenal aparat
birokrasinya, mengerti penduduknya (jumlah, struktur riil, dan data
penduduk), mengetahui berapa besar sumber daya alam dan aset
negara, memahami persoalan pangan, mengambil sikap untuk
menyediakan infrastruktur yang memadai, menyadari pentingnya
membangun aparat penegak hukum yang kuat (kepolisian
dan kejaksaan), memperkuat sistem politik, memerhatikan
kesejahteraan sosial, dan membangun pendidikan nilai dan
keteladanan bagi warganya.
Secara garis besar, upaya-upaya pemberantasan korupsi yang
disampaikan dalam buku ini meliputi delapan agenda yaitu:
1.	Agenda reformasi birokrasi dan perbaikan administrasi
kependudukan
2.	 Agenda pengelolaan sumber daya alam dan penerimaan negara
3.	 Agenda ketahanan dan kedaulatan pangan
4.	 Agenda perbaikan infrastruktur
5.	 Agenda penguatan aparat penegak hukum
6.	 Agenda dukungan pendidikan nilai dan keteladanan
7.	 Agenda perbaikan kelembagaan partai politik
8.	 Agenda dukungan pendidikan nilai integritas dan keteladanan.
Agenda-agenda di atas akan diuraikan lebih jauh dalam uraian
selanjutnya.
 
AGENDA 1:
REFORMASI BIROKRASI DAN
PERBAIKAN ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN
Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat
implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Perlu
usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar
dan berkelanjutan. Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 memaparkan lima
agendaperubahanbirokrasi.KelimaagendatersebutadalahSumber
Daya Manusia aparatur yang berintegritas, kompeten, profesional,
berkinerja tinggi, dan sejahtera; meningkatnya penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih dan bebas KKN; meningkatnya kapasitas
dan akuntabilitas kinerja birokrasi; pelayanan publik prima sesuai
kebutuhan dan harapan masyarakat; birokrasi dengan integritas
dan kinerja yang tinggi.
Namun, sejumlah agenda reformasi birokrasi tadi belum
menunjukkan hasil menggembirakan. Beberapa survei dan
penilaian memperlihatkan kondisi yang cukup suram mengenai
birokrasi pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Bila membandingkan Peraturan Presiden No 81 Tahun 2010
tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dengan
kondisi aktual, maka akan muncul beberapa kesenjangan.
Hal ini dapat terlihat pada tabel di bawah ini:
Wacana
“Jalan paling
mendasar
untuk menata
birokrasi
adalah melalui
reformasi
birokrasi.”
30 31
Kesenjangan Grand Design Reformasi Birokrasi dengan Kondisi
Aktual
Agenda Perubahan Hasil yang Diharapkan Kondisi Faktual
Sumber Daya
Manusia aparatur
Aparatur yang
berintegritas,
kompeten, profesional,
berkinerja tinggi, dan
sejahtera.
Hasil evaluasi Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah atau LAKIP
(2013), jumlah instansi yang
mendapatkan nilai A dan B
baru mencapai 32.2 persen.
Pengawasan Meningkatnya
penyelenggaraan
pemerintahan yang
bersih dan bebas KKN.
Transparensy International
(2013) mencatat indeks
korupsi Indonesia masih
rendah (skor 32 dari 100).
Akuntabilitas Meningkatnya kapasitas
dan akuntabilitas kinerja
keuangan birokrasi.
Berdasarkan hasil
pemeriksaan BPK atas
Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD)
tahun 2012, jumlah LKPD
yang memperoleh opini Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP)
baru 27 persen dari total 415
LKPD yang diaudit.
Pelayanan publik Pelayanan prima sesuai
kebutuhan dan harapan
masyarakat.
Survei Integritas KPK (2013)
menunjukkan kualitas pelay-
anan publik Indonesia baru
mencapai indeks 6,80 dari
skala 10.
Pola pikir dan budaya
kerja
Birokrasi dengan
integritas dan kinerja
yang tinggi.
Sumber: Perpres No. 81/2010, MenPAN-RB (2013), TI (2013), BPK (2012), KPK (2013),
KOMPAS (diolah).
Lebih jauh, berdasarkan hasil kajian Direktorat Penelitian dan
Pengembangan KPK di tahun 2011 terhadap pengadaan dan
pemberhentian PNS, ditemukan bahwa dalam proses manajemen
SDM PNS masih terindikasi beberapa potensi penyimpangan. Hal
tersebut diakibatkan oleh kelemahan dalam proses pada tahapan
pengadaan dan pemberhentian, yang terangkum dalam delapan
temuan, yaitu:
1.	 Tidak diterbitkannya pedoman pelaksanaan pengadaan CPNS
setelah tahun 2007.
2.	 Belum kredibelnya proses seleksi CPNS yang berasal dari tenaga
honorer.
3.	Belum diaturnya jadwal untuk setiap tahap pengadaan
CPNS yang bersumber dari pelamar umum dalam pedoman
pelaksanaan pengadaan CPNS.
4.	Tidak ditetapkannya nilai minimal kelulusan (passing grade)
untuk menentukan kelulusan tes pelamar CPNS.
5.	Tidak handalnya instrumen penilaian CPNS dalam masa
percobaan.
6.	Tidak adanya persyaratan yang terukur bagi PPK untuk
menetapkan perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS
tertentu.
7.	 Tidak jelasnya kriteria pelanggaran disiplin berat yang dapat
dikenai sanksi pemberhentian.
8.	Adanya potensi subyektifitas dalam PP No. 4 Tahun 1966
pasal 4 ayat 1 huruf b tentang penentuan gaji PNS yang
diberhentikan sementara.
Penataan birokrasi dilaksanakan melalui upaya reformasi
birokrasi. Reformasi birokrasi dimaksudkan mengubah paradigma
pengelolaan administrasi negara dari administrasi klasik
menuju sistem administrasi yang menerapkan prinsip-prinsip
good governance (akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi).
Paradigma administrasi negara yang harus dibangun adalah
yang berorientasi pada hasil, pendelegasian wewenang, dan
fokus pada kepuasan masyarakat pengguna. Adapun, dalam
penerapan paradigma tersebut, yang musti didorong presiden
dalam pelaksanaan reformasi birokrasi yakni:
1.	Reformasi pelayanan publik
Muara akhir yang ingin dicapai dari reformasi pelayanan
publik yaitu peningkatan kepuasan masyarakat pengguna
layanan. Oleh karenanya, spirit yang ditanamkan adalah
mengimplementasikankonsep one stop service,memudahkan
pengguna dan memberikan dukungan kenyamanan layanan
bagi semua lapisan.
Reformasi pelayanan publik perlu dijadikan fokus program
presiden mendatang. Hal ini mengingat masih buruknya kualitas
layanan publik yang ada. Kondisi ini bisa terlihat dari beberapa
indikator. Pengukuran Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
dari Transparency International selama kurun waktu 2004-2013
menunjukkan nilai IPK Indonesia masih berada di level angka 32
(dari maksimum 100). Tidak berbeda jauh, hasil Survei Integritas
Layanan Publik yang dilaksanakan KPK menunjukkan masih
rendahnya integritas layanan publik di tingkat pusat maupun
daerah. Rata-rata indeks integritas layanan publik di instansi
pusat adalah 7,37 (dari maksimal 10). Sementara, pada instansi
vertikal sebesar 6,71; dan pada pemerintah daerah sebesar 6,82
(KPK, 2013).
PENATAAN
BIROKRASI
Wacana
32 33
Dari dua indikator tersebut, reformasi pelayanan publik menjadi
penting untuk dilaksanakan. Rendahnya kualitas layanan publik
yang ada mengindikasikan masih tingginya korupsi di sektor
tersebut. Di sisi lain, buruknya kualitas layanan publik juga
mengurangi daya saing negara di tingkatan global.
2.	Reformasi kepegawaian
Reformasi kepegawaian merupakan keniscayaan di tengah
carut marutnya sistem kepegawaian. Hal ini sebagaimana
terlihat pada beberapa kondisi di bawah ini:
•	 Adanya dikotomi pegawai pusat dan daerah pasca-
penerapan otonomi daerah. Dikotomi pegawai pusat dan
daerah menyebabkan pengkotak-kotakkan pegawai negeri
sipil. Akibatnya, pola pembinaan karir pegawai (mutasi, rotasi,
promosi, demosi) menjadi terbatas.
•	 Beragamnya status kepegawaian dari individu yang bekerja
di lembaga-lembaga negara dan pemerintah. Status umum
pegawai di sektor publik adalah pegawai negeri sipil. Namun,
untuk lembaga-lembaga kuasi (contoh: KPK, KPPU), status
kepegawaian belum diatur dan belum terangkum dalam
peraturan kepegawaian nasional. Oleh karenanya, terdapat
ketidakjelasan dalam pengelolaan kepegawaian nasional.
•	 Struktur dan besaran penggajian pegawai negeri yang
tidak kompetitif. Struktur penggajian pegawai negeri belum
mampu menarik lulusan-lulusan terbaik untuk menjadi
bagian dari sistem birokrasi. Belum kompetitifnya struktur
dan penggajian pegawai negeri menjadikan sumber daya
manusia yang terbaik cenderung memilih sektor swasta.
•	 Pentingnya kriteria pejabat di Kementerian dan Lembaga
berbasis pada keunggulan kompetensi, profesionalitas, dan
independensi.
3.	Reformasi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah
Reformasi aparat pengawasan internal merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi. Reformasi ini terbagi
atas dua komponen, yakni reformasi kelembagaan aparat
pengawas internal pemerintah (APIP) dan reformasi metode
pengawasan APIP. Secara kelembagaan, struktur organisasi
APIP menyebabkan peran strategis yang diemban sulit untuk
terlaksana. APIP cenderung tidak berkutik apabila berhadapan
dengan pimpinan institusi. Hal ini alamiah mengingat secara
struktur organisasi APIP berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada pimpinan institusi. Selain itu, fokus kerja APIP
perlu direformasi.
Selama ini, sumber daya yang ada lebih diarahkan untuk
melakukan audit keuangan. Hal ini perlu dikembalikan pada
tugas pokok utama dari APIP. APIP merupakan unit kerja yang
memiliki fungsi untuk memastikan sumber daya yang ada
di institusi dimanfaatkan untuk mencapai tujuan organisasi.
Dengan kata lain, audit kinerja harus menjadi prioritas APIP
dalam melaksanakan fungsi pengawasannya.
4.	Reformasi pengelolaan APBN dan APBD
Reformasi pengelolaan APBN dan APBD bertujuan memastikan
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap pengelolaan
APBN dan APBD dilakukan secara akuntabel, transparan, dan
berkeadilan. Fenomena yang ada menunjukkan implementasi
prinsip-prinsip tersebut belum dilaksanakan secara
menyeluruh. Hal ini terlihat dari hasil pemeriksaan keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selain itu, Laporan Kinerja
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menunjukan masih
belum tertibnya pelaksanaan dan pencatatan aset. Kondisi
ini mengindikasikan program-program pemerintah guna
mengakselerasi pembangunan masih dipertanyakan ke-
efektif-an maupun ke-efisien-annya.
	
Banyak kebijakan pemerintah, yang ada hubungannya dengan
peningkatan kesejahteraan penduduk, menemui kendala dalam
penerapannya. Penduduk yang seharusnya berhak menerima
dana bantuan sosial, misalnya, dalam praktiknya di lapangan
tidak memperoleh dana tersebut. Para siswa sekolah dasar dan
menengah, yang seharusnya memperoleh dana bantuan siswa
miskin, contoh lainnya, tidak mendapatkan akses kepada dana
itu16
. Jumlah penduduk miskin dan rentan miskin belum secara
pasti dimiliki pemerintah. Dalam konteks ini adalah juga persoalan
jumlah riil wajib pajak yang masih kabur.
16	 Hasil Kajian Kebijakan Bantuan Sosial, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK,
2012.
Wacana
PERBAIKAN
SISTEM
ADMINISTRASI
KEPENDUDU-
KAN
34 35
Akar masalah di atas, salah satunya, adalah lemahnya pendataan
kependudukan. Di sinilah urgensi penerapan nomor identifikasi
tunggal atau Single Identification Number (SIN). Dengan adanya
SIN, pemerintah dapat dengan mudah memantau dan menentukan
kebijakan (baik itu kebijakan sosial, ekonomi, atau politik) apa yang
diperlukan secara nyata oleh penduduk.
Nomor Identifikasi Tunggal menjadi penting karena tiga hal.
Pertama, NIK adalah hak konstitusional bagi setiap penduduk.
Identitas kependudukan merupakan hak asasi setiap warganegara
Indonesia. Hak ini tertuang dalam pasal 28D ayat 4 UUD 1945,
bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Kedua,
administrasi kependudukan yang baik akan meningkatkan
pengendalian dan pengawasan terhadap program-program
pemerintah. Hal ini agar program-program pemerintah lebih tepat
sasaran dan efisien, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
penduduk Indonesia melalui peningkatan kualitas pelayanan di
bidang pendidikan, peningkatan derajat kesehatan, pengentasan
kemiskinan, dan peningkatan daya beli masyarakat, serta
peningkatkan kualitas dalam pelayanan publik.
Ketiga, NIK yang bersifat unik dan tunggal sangat diperlukan untuk
mencegah timbulnya identitas ganda dan penyalahgunaannya.
Contohnya, permasalahan NIK ganda pada Daftar Pemilih Tetap
(DPT) dalam Pemilu. Identitas ganda juga akan mempersulit
proses penegakan hukum, misalnya dalam pelacakan aset, dan
pencekalan tersangka atau terdakwa ke luar negeri.
	
Pada dasarnya falsafah SIN telah tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Di
sana disebutkan bahwa identitas tunggal penduduk Indonesia
dikenal sebagai Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK adalah
nomor identitas penduduk yang unik atau khas, tunggal, dan
melekat sepanjang masa pada seorang warganegara Indonesia.
Bersifat unik atau khas memiliki arti bahwa setiap warganegara
hanya mempunyai satu nomor identitas, yang tidak tergantikan
dan berlainan untuk tiap warganegara17
.
Namun, tentu saja, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
harus diimplementasikan dan dilaksanakan secara konkrit. SIN
atau NIK selanjutnya harus dikembangkan lewat Sistem Informasi
Administrasi Kependudukan (SIAK). SIAK adalah sistem informasi
17	 Laporan pemantauan SIN, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2011.
yang melakukan pengolahan dan penyimpanan data, yang
memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan
di tingkat penyelenggara dan instansi pelaksana sebagai satu
kesatuan.
Singkatnya, SIAK direncanakan sebagai suatu sistem yang
mengumpulkan, merekam, mengolah, menyimpan, dan
memutakhirkan data secara berkelanjutan, yang merupakan hasil
dari bentuk pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan
sipil18
.
Beberapa hal yang seharusnya menjadi perhatian presiden
mendatang terkait perbaikan SIN atau NIK adalah:
Pertama, evaluasi terhadap grand design pengembangan sistem
informasi kependudukan. Grand design memuat cetak biru
sistem informasi (IT blue print), yang menjelaskan secara detail
aspek teknologinya.
Evaluasi terhadap grand design dilakukan pada sejumlah
aspek, yang meliputi penetapan sasaran kegiatan, formulasi
kebutuhan, pemilihan teknologi, pendekatan dan metodologi,
serta perencanaan implementasi. Lalu, dalam grand design harus
ada penjelasan mengenai detail strategi implementasi yang
memuat project management kendali program (monitoring dan
evaluasi), migration plan, dan strategi sosialisasi dan kampanye.
Selain itu, grand design harus pula bisa menjelaskan detail proses
pembersihan database kependudukan untuk menghindari NIK
ganda.
Kedua, penggunaan teknologi biometrik. Dengan saran ini
diharapkan dapat dipastikan digunakannya teknologi biometrik
yang tepat dan handal. Dengan begitu dapat dijamin ketunggalan
identitas seorang warganegara melalui verifikasi tiap data
individual terhadap database dari seluruh penduduk Indonesia
(one to many).
Ketiga, pelaksanaan evaluasi e-KTP. Presiden mendatang
seharusnya bisa memastikan adanya evaluasi secara mendalam
terhadap pelaksanaan proyek e-KTP.
 
18	 Laporan pemantauan SIN, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2011
Wacana
36 37
AGENDA 2:
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
DAN PENERIMAAN NEGARA
Rakyat Indonesia memberi kepercayaan kepada negara untuk
mengelola sumber daya alam. Dengan sumber daya alam yang
dikuasainya, negara wajib mengelolanya demi menghasilkan
pendapatankeuangannegarayangoptimal.Negarajugaselanjutnya
wajib mendistribusikan uang negara kepada masyarakat, secara
adil dan merata. Hal ini agar tercipta masyarakat Indonesia yang
sejahtera.
Rakyat Indonesia memberi kepercayaan kepada negara untuk
mengelola sumber daya alam sebagaimana amanat UUD 1945.
Walaupun kepercayaan tersebut diwujudkan dalam berbagai
bentuk hak menguasai negara yang diatur secara khusus dalam
berbagai aturan perundang-undangan yang terkait dengan sektor
sumber daya alam, amanat pelaksanaannya tidak boleh lepas dari
semangat pasal 33 UUD 1945.
Terkait pengelolaan sumber daya alam, setidaknya terdapat tiga
hal yang harus mendapatkan perhatian besar presiden mendatang.
Ketiganya adalah pertambangan (khususnya mineral dan batubara),
kehutanan, serta perikanan dan kelautan.
Di sektor pertambangan, hasil kajian KPK menemukan sepuluh
aspek penting terkait pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara, yang diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, namun hingga
kini belum selesai dilaksanakan19
. Kesepuluh aspek tersebut adalah:
Satu, renegosiasi Kontrak (34 Kontrak Karya (KK) dan 78 Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)). Pasal 169
UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(UU Minerba) mewajibkan adanya penyesuaian ketentuan yang
tercantum dalam kontrak dengan UU Minerba paling lambat
satu tahun sejak 12 Januari 2009. Sejalan dengan hal tersebut,
dalam kerangka acuan pemerintah terkait dengan renegosasi,
setidaknya terdapat enam hal yang akan dinegosiasikan ulang
19	 Hasil kajian Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2013.
dengan pemegang kontrak. Hal tersebut mencakup: luas wilayah
kontrak, penerimaan negara, divestasi, penggunaan komponen
dalam negeri, tenaga kerja, dan pengolahan dan pemurnian.
Namun hingga saat ini, belum ada satupun kontrak baru (hasil
renegosasi) yang ditandatangani bersama antara pemerintah
dengan pemegang kontrak.
Dua, peningkatan Nilai Tambah dalam Bentuk Pengolahan dan
Pemurnian Hasil Tambang mineral dan batubara. UU Minerba
sesuai dengan pasal 170 mewajibkan adanya kegiatan pemurnian
hasil pertambangan mineral oleh pemegang kontrak karya yang
sudah berproduksi, paling lambat 12 Januari 2014. Kewajiban
pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan mineral oleh
pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha
Pertambangan Khusus) operasi produksi, paling lambat dilakukan
12 Januari 2014 sesuai dengan pasal 112 PP No. 23 tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara. Hingga saat ini pemerintah belum mengambil
sikap yang tegas terkait dengan kewajiban pemurnian oleh KK
dan pengolahan dan pemurnian oleh IUP dan IUPK. Bahkan
pemerintah memberikan kelonggaran (relaksasi) kepada KK dan
IUP/IUPK untuk mengekspor bahan mentah mineral (ore) hingga
12 Januari 2017.
Tiga, penataan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan.
UU Minerba mewajibkan adanya penyesuaian Kuasa
Pertambangan menjadi Izin Usaha Pertambangan. UU Minerba
juga memberikan kewenangan secara bertingkat dalam
pemberian izin kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
dan pemerintah kabupaten/kota. Namun, berdasarkan hasil
evaluasi Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian
ESDM, saat ini jumlah IUP yang belum berstatus clean and
clear sebesar 4.912 (44,99 persen) dari sebanyak 10.916 IUP.
Persentase tersebut baru mempertimbangkan aspek administrasi,
kewilayahan, serta keuangan (PNBP), dan belum memperhatikan
aspek lingkungan, pajak, kehutanan, pertanahan, tata ruang, dan
pertanahan.
Empat, peningkatan Kewajiban Pemenuhan Kebutuhan Dalam
Negeri (Domestic Market Obligation). UU Minerba mewajibkan
adanya pemenuhan kebutuhan dalam negeri sebelum hasil
tambang mineral dan batubara diekspor. Namun, hingga saat ini
belum ada upaya sistematis dari pemerintah untuk meningkatkan
MINERAL DAN
BATUBARA
Wacana
“Indonesia
dikaruniai
limpahan
tambang dan
mineral. Juga,
kekayaan hayati
dan beraneka
ragam sumber
energi. Sumber
daya alam ini
berada di atas
maupun di
bawah perut
bumi nusantara.
Anugerah
mulia yang
memayungi
bangsa
Indonesia.”
38 39
kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri antara lain melalui
sinergi dengan sektor hilir yang menyerap bahan tambang sebagai
bahan bakunya. Hal ini menyebabkan sebagian besar barang
tambang mineral dan batubara dieskpor ke luar negeri.
Lima, pelaksanaan kewajiban pelaporan secara reguler. UU
Minerba mewajibkan pemegang KK, PKP2B, IUP, dan IUPK
melaporkan secara reguler kegiatan pertambangannya kepada
pemberi izin. Demikian pula kewajiban pelaporan oleh pemda
kepada pemerintah pusat. Faktanya, pemegang IUP banyak yang
tidak melaporkan kegiatan pertambangannya kepada pemberi izin.
Hal yang sama juga terjadi pada pemerintah daerah, yang tidak
melaporkan kegiatan pertambangannya ke pemerintah pusat.
Enam, pelaksanaan Kewajiban Reklamasi dan Pascatambang.
UU Minerba mewajibkan dilaksanakannya kegiatan reklamasi
dan pascatambang oleh pelaku usaha pertambangan. Untuk
menjamin pelaksanaan tersebut, pemegang izin/KK/PKP2B wajib
menyerahkan jaminan reklamasi dan pascatambang sebesar yang
sudah ditetapkan oleh pemberi izin. Faktanya, sulit untuk menelusuri
pelaksanaan penempatan jaminan reklamasi dan epascatambang,
oleh karena tidak semua Pemda melaporkan keberadaan jaminan
tersebut kepada pemerintah pusat. Di lapangan, pelaksanaan
reklamasi dan pascatambang jauh dari yang seharusnya sehingga
menimbulkan dampak kerusakan lingkungan.
Tujuh, penerbitan Aturan Pelaksana UU Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sesuai amanat
pasal 174 UU Minerba, semua aturan pelaksana UU tersebut harus
diselesaikan paling lambat 12 Januari 2010. Namun PP pelaksana
UU tersebut ditetapkan setelah batas waktu 12 Januari 2010.
Sebanyak 15 Peraturan Menteri ESDM (dari 22 Peraturan Menteri
ESDM) sebagai pelaksana UU Minerba belum ditetapkan.
Delapan, pengembangan Sistem Data dan Informasi. Untuk
mendorong tata kelola pertambangan minerba yang lebih baik,
sistem pendataan dilakukan dengan menggunakan aplikasi
teknologi informasi. Hingga saat ini, data yang ada belum
dikelola secara terintegrasi dan belum bisa dimanfaatkan untuk
memonitoring kegiatan pertambangan secara real time. Hal ini
menyebabkan terdapat perbedaan pencatatan produksi mineral
dan batubara oleh berbagai instansi pemerintah. Sejalan dengan
perbedaan data antara Ditjen Minerba Kementerian ESDM dengan
Badan Pusat Statistik (BPS), negara diperkirakan kehilangan
pendapatan pajak sebesar Rp 28,5 Triliun di tahun 2012.
Sembilan, pelaksanaan Pengawasan. UU Minerba mewajibkan
dilaksanakannya pengawasan secara intesif kepada pelaku
usaha sejak dari perencanaan (eksplorasi), produksi, pengapalan/
penjualan, hingga reklamasi dan pascatambang. Namun, jumlah
pengawas (termasuk infrastruktur) di lapangan sangat terbatas
sehingga pengawasan tidak berjalan optimal.
Sepuluh, pengoptimalan penerimaan negara, pelaku usaha
diwajibkan untuk membayarkan penerimaan pajak dan bukan
pajak (royalti dan iuran tetap) kepada pemerintah. Kewajiban
tersebut tertuang dalam kontrak dan PP Nomor 9 Tahun 2012
tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berada di Kementerian
ESDM. Hasil temuan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (Tim
OPN) menunjukkan adanya kurang bayar PNBP oleh pelaku
usaha dari tahun 2003 sampai dengan 2011 sebesar Rp 6,7 Triliun.
Demikian juga dengan hasil perhitungan berdasarkan evaluasi
laporan surveyor, diperkirakan selisih pembayaran royalti oleh
pelaku usaha sebesar US$ 24,66 juta pada tahun 2011 untuk lima
mineral utama, dan sebesar US$ 1,22 miliar untuk batubara pada
kurun waktu tahun 2010 sampai dengan 2012. Hasil rekonsiliasi
Ditjen Minerba Kementerian ESDM dengan pemerintah daerah
di 8 (delapan) Provinsi menunjukkan adanya royalti sebesar US$
546,11 Juta dan iuran tetap yang belum disetorkan ke kas negara
sebesar Rp 331,2 Miliar.
Hutan sebagai kekayaan Indonesia merupakan kesatuan utuh
dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Di dalam
hutan yang berfungsi sebagai ruang publik dan penyangga
kehidupan tersebut, budaya dan peradaban lahir menjadi cara
pandang bangsa tentang bagaimana rahmat sumber daya alam
tersebut dimanfaatkan secara adil. Adil bagi sesama, maupun
untuk masa yang akan datang. Visi bangsa inilah yang dituangkan
dalam konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Dalam cita yang demikian,
hutan seharusnya dipandang sebagai kekayaan negara terbesar.
Kondisi yang ada saat ini, menjelaskan bahwa praktik penguasaan
hutan yang ada justru melupakan bagaimana hutan seharusnya
sebagai bagian dan membentuk sistem hidup bangsa Indonesia.
Ketimpangan pengelolaan dan watak kebijakan sumber daya alam
Wacana
KEHUTANAN
40 41
yang otoriter, kelemahan dalam tata kelola, dan ketidakpastian
hukum berkelindan dengan salah satu musuh bangsa terbesar
abad ini, yaitu korupsi.
Berbagai permasalahan yang terjadi dan terpapar saat ini seolah
memberikan hipotesis bahwa perwujudan pasal 33 UUD 1945 ini
di sektor kehutanan telah dikorupsi. Beberapa argumen di bawah
ini mengkonfirmasi adanya masalah tersebut20
:
1.	 Penguasaan ratusan juta hektar luas kawasan hutan, belum
sepenuhnya manfaat hutan dapat menjadi jalan kemakmuran
bangsa dengan cara yang adil dan bermartabat. Dari total 41,69
juta hektar lahan hutan yang dikelola, hanya 1 persen yang
diberikan kepada skala kecil dan masyarakat adat.
2.	 Sementara itu kerusakan hutan, deforestasi terus terjadi dari dari
tahun ketahun. Tidak hanya berdampak pada kerugian ekonomi,
tetapi juga menjadi beban langsung yang harus ditanggung oleh
80 juta masyarakat yang hidup dan menggantungkan hidupnya
dari hutan.
3.	 Buruknya pengawasan menyebabkan negara didera kerugian
hingga 35 trilyun rupiah per tahun akibat pembalakan liar.
4.	Kajian KPK tahun 2010 mengenai perencanaan kehutanan,
mengkonfirmasi persoalan dalam tata laksana pengawasan
pelaksanaan penggunaan kawasan hutan. Analisis kami
menemukan bahwa kelemahan pengawasan dalam izin pinjam
pakai menyebabkan terjadi potensi kehilangan penerimaan
negara bukan pajak akibat pertambangan di dalam kawasan
hutan sebesar Rp 15,9 trilyun per tahun. Ini karena (hanya
di Kalimantan, Sumatera, dan Papua saja) ditemukan 1.052
usaha pertambangan dalam kawasan hutan yang tidak melalui
prosedur pinjam pakai.
5.	Resiprokal dengan buruknya tata kelola tersebut, korupsi
menjadi penyakit yang tumbuh subur di dalamnya. Dalam
kajian perizinan sumber daya alam yang dilakukan oleh KPK di
tahun 2013, membuktikan ulang bahwa kebijakan pengelolaan
sumber daya alam sangat rentan dengan korupsi. Temuannya
mencatat bahwa dari 27 regulasi yang mengatur pemanfaatan
hasil hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan, 13 regulasi
20	 Hasil Kajian Direktorat Penelitaian dan Pengembangan KPK, 2012.
diantaranya mudah disalahgunakan dan menjadi peluang
bagi korupsi. Akibatnya, setiap bisnis proses perizinan tersebut
penuh dengan suap, konflik kepentingan, perdagangan
pengaruh, pemerasan, bahkan state capture. Temuan dalam
analisis potensi korupsi terhadap tatakelola sumber daya alam
tersebut seolah mengklarifikasi upaya penindakan yang KPK
lakukan. Termasuk ketika praktik korupsi tersebut berhadapan
dengan proses-proses politik di daerah.
Potensi Kerugian Keuangan Negara dari Sektor Kehutanan dan
Minerba
No DESKRIPSI RUPIAH U$D
1 Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) akibat pinjam pakai kawasan hutan
oleh pertambangan di Kalimantan (2010)
15,900,000,000,000.00
2 Potensi royalti yang tidak dibayarkan
oleh perusahaan batubara dan mineral
(Temuan Tim OPN 2003-2010)
6,777,607,062,722.36
3 Potensi Kerugian Keuangan Negara
berdasarkan verifikasi Data Ekspor Mineral
(Laporan Surveyor) dari 180 Perusahaan
Pertambangan Mineral (2011)
24,661,547.49
4 Potensi Kerugian Keuangan Negara
berdasarkan verifikasi Data Ekspor
Batubara (Laporan Surveyor) dari 198
Perusahaan Pertambangan Batubara
(2010-2012)
1,224,212,608.84
5 Potensi penerimaan pajak yang hilang
akibat perbedaan data produksi batubara
antara data Ditjen Minerba KemESDM
dengan data BPS (2012)
28,500,000,000,000.00
6 Piutang PNBP (iuran tetap dan royalti)
pelaku usaha pertambangan minerba di 8
Provinsi (2011-2013)
331,275,179,147.00 546,111,426.00
TOTAL 51,508,882,241,869.40 1,794,985,582.33
Masa depan kejayaan bangsa ini ditentukan oleh pengelolaan
sumber daya kelautan. Dengan luas perairan nusantara sebesar
2,8 juta km persegi, laut teritoral seluas 0,3 juta km persegi,
panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau
lebih dari 18.000 pulau, sudah sepantasnya jika pemerintahan
mendatang memberikan porsi yang besar bagi pembangunan di
sektor kelautan dan perikanan.
Wacana
KELAUTAN DAN
PERIKANAN
42 43
Hasil kajian yang sementara ini dilakukan oleh KPK, menunjukkan
bahwa sejumlah persoalan membelit pengelolaan pengelolaan
sumber daya laut, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil di
Indonesia. Pada tataran regulasi, undang-undang yang mengatur
aspek kelautan secara menyeluruh belum disusun hingga saat
ini. Sementara aturan perundang-undangan terkait pengelolaan
sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil belum sepenuhnya
bisa dijalankan oleh karena aturan pelaksana setingkat peraturan
pemerintah hingga peraturan menteri belum sepenuhnya
diterbitkan. Demikian pula dengan regulasi yang berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya perikanan belum sepenuhnya dapat
mendorong tata kelola yang berkeadilan, bahkan beberapa
diantaranya memiliki nafas yang tidak selaras dengan amanat pasal
33 UUD 1945.
Pada tataran implementasi, pengelolaan sumber daya kelautan dan
perikanan juga dihadapkan pada persoalan lemahnya pengawasan.
Dengan cakupan pengawasan dari sabang sampai merauke,
armada pengawasan yang ada hingga saat ini belum mencukupi
untuk menegakkan kedaulatan negara di sektor tersebut. Masih
terdapat banyak kasus illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing
di wilayah perairan nusantara hingga Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI). Hal ini berakibat pada hilangnya nilai ekonomi,
sosial dan lingkungan dari sektor tersebut. Bahkan dengan potensi
sumber daya perikanan yang besar dan volume produksi perikanan
tangkap yang mencapai 5,8 juta ton, penerimaan negara bukan
pajak dari sektor tersebut hanya mencapai Rp 227, 5 Miliar pada
tahun 2013. Hal ini dalam kacamata KPK, merupakan kebocoran
kekayaan negara yang harus ditutup oleh semua pihak secara
bersama-sama.
Memerhatikan kondisi pengelolaan sumber daya alam di atas,
sudah selayaknya pemerintahan baru tidak terbuai dengan
adagium bahwa negara ini memiliki kekayaan sumber daya alam
yang besar. Sebab yang terjadi adalah cadangan sumber daya alam
yang terbatas tersebut, dieksploitasi tanpa pernah memperhatikan
keberlanjutannya. Sudah saatnya pengelolaan sumber daya alam ini
dilandaskan pada semangat untuk mengedepankan kepentingan
rakyat banyak dan tidak hanya untuk kepentingan segelintir orang,
terintegrasi hulu dan hilir dengan menghilangkan ego sektoral,
memberikan porsi yang besar bagi kepentingan dalam negeri,
memperhatikan keberlanjutan sumber daya dan manfaatnya, dan
menempatkan penataan ruang dan lingkungan hidup sebagai
instrumen penting.
Semua hal di atas hanya dapat dilakukan jika pengambil
kebijakan di sektor sumber daya alam memiliki integritas untuk
mengelola sumber daya alam sesuai dengan amanat konstitusi.
KPK dalam hal ini percaya dengan pendapat bahwa persoalan
pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam bukan
semata-mata persoalan kerugian negara, namun juga merupakan
kegagalan negara dalam mengelola sumber daya alam untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Di Indonesia, penerimaan negara dari pajak merupakan yang
terbesar di antara beberapa sumber penerimaan negara lainnya.
Pada 2013 pajak memberikan kontribusi sebesar Rp 1.042,31
triliun atau 68,14 persen dari RAPBN tahun 2013 sebesar Rp
1.529,67 triliun. Sumber-sumber penerimaan negara lainnya,
yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kepabeanan dan
cukai, serta hibah, hanya menyumbangkan total 31,86 persen
dari RAPBN 2013.
Salah satu di antara beberapa sumber penerimaan pajak yang
tertinggi adalah sektor pertambangan. Berdasarkan laporan
realisasi pajak tahun 2012, sektor pertambangan menempati lima
besar sektor terbesar penerimaan pajak. Urutan peringkat teratas
sampai peringkat lima, berturut-turut, adalah sektor industri
pengolahan, perdagangan, perantara keuangan, pertambangan,
dan transportasi.
Sektor pertambangan memberikan kontribusi lebih kurang
9 persen terhadap total pajak dalam negeri. Dari 9 persen itu,
pertambangan batubara memberikan kontribusi lebih kurang 20
persen dari total pajak sektor pertambangan21
.
Pada dasarnya, potensi penerimaan pajak dari sektor
pertambangan dapat lebih besar dari 9 persen, termasuk potensi
penerimaan pajak yang bisa lebih tinggi dari yang diperoleh
sekarang dari pertambangan batubara. Ada sejumlah alasan yang
mendasarinya.
21	 Kajian Optimalisasi Penerimaan Pajak (Studi Kasus: Sektor Pertambangan Batu Bara),
Direktorat Penelitian dan Pengembangan, KPK, 2013-2014.
Wacana
PENERIMAAN
PAJAK DARI
SEKTOR
PERTAMBANGAN
BATUBARA
44 45
Pertama, salah satu permasalahan penerimaan negara sektor
pertambangan adalah ketidakpatuhan perusahaan. Dari hasil
temuan tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN), diketahui
adanya kekurangan bayar royalti sebesar Rp 6,7 triliun (dari tahun
2003-2011).
Kedua, pada 2010-2012, potensi kerugian keuangan negara dari 198
perusahaan pertambangan batubara di Indonesia adalah sebesar
US$ 1,224 miliar. Sementara, dari 180 perusahaan pertambangan
mineral di Indonesia, pada 2011, ada potensi kerugian negara
senilai US$ 24,661 juta.
Ketiga, dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada
tahun 2013, jumlah pajak yang tidak dibayarkan sebesar Rp 628
miliar. Nilai ini naik dari Rp 486 miliar di 2012, dan Rp 328 miliar
pada 2011. Sampel audit BPK ini adalah hanyalah 20 perusahaan
besar dan 60 perusahaan pertambangan kecil.
Keempat, kurang handalnya data pertambangan, seperti data
produksi, data ekspor, data penjualan. Kondisi ini membuat sulitnya
menghitung secara akurat potensi penerimaan pajak dari sektor
pertambangan.
Kelima, Direktorat Jenderal Pajak telah mencanangkan reformasi
perpajakan sejak 2002, tetapi sampai saat ini masih terjadi berbagai
penyimpangan dalam pelayanan dan pengawasan pajak. Beberapa
kasus korupsi di sektor pajak mengkonfirmasi pernyataan tadi.
Situasi-situasi di atas sebenarnya berakar pada sejumlah masalah.
Satu, belum akuratnya data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Terdapat 3.826 Izin Usaha Pertambangan (IUP) pertambangan
batubara yang dimiliki oleh 3.066 perusahaan. Lalu, sebesar 724
(23,61 persen) perusahaan di antaranya tidak tercatat pada data
NPWP yang disampaikan (22,03 persen) dari total IUP. Terhadap
IUP yang tidak tercatat pada data NPWP yang disampaikan, 53,5
persen atau 451 IUP di antaranya berstatus clean and clear (CNC).
Terdapat perusahaan yang memiliki NPWP induk lebih dari satu
atau tercatat pada beberapa Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Terdapat
perusahaan yang kurang patuh melaporkan SPT. Pada perusahaan
PKP2B, dari 74 perusahaan yang dicek pelaporan SPT-nya, hanya
51 perusahaan yang melaporkan SPT pada tahun 2011 (68,9
persen) dan 50 perusahaan yang melaporkan SPT pada tahun
2012 (67,6 persen).
Dua, kurangnya data pendukung perhitungan potensi pajak.
Tidak akuratnya perhitungan volume dan kualitas batubara yang
akan dijual oleh pelaku usaha sebagai dasar untuk perhitungan
kewajiban royalti maupun perhitungan pajak.
Perbedaan data produksi DJMB dengan data BPS, WCA dan US
EIA*
No
Produksi
Batubara
2011 (ton) 2012 (ton)
1 Data DJMB** 319,662,455.76 288,504,125.20
2 Data BPS (data produksi) 415,765,068.00 466,307,241.00
3 Data BPS (ekspor dan dalam negeri) 441,944,522.14 480,473,119.52
4 Data World Coal Association 376,000,000.00 443,000,000.00
5 Data US EIA 414,799,764.59 452,131,743.40
* DJMB	 :	 Ditjen Mineral dan Baru Bara
BPS	 :	 Badan Pusat Statistik
WCA	 :	 World Coal Association
US EIA	 :	 US Energy Information Administration
**	 Karena DJMB tidak menghimpun data produksi IUP maka total
produksi PKP2B diasumsikan 80 persen produksi nasional.
Apabila perbedaan data produksi tersebut di atas dihitung sebagai
penerimaan pajak yang hilang, maka besarnya potensi hilangnya
penerimaan pajak pada tahun 2012 dapat mencapai Rp 28,5
triliun dengan menggunakan data DJMB vs BPS (produksi); dan
secara berurutan atas data DJMB Vs WCI dan US EIA sebesar Rp
24,8 dan Rp 26,3 triliun.
Tiga, keterbatasan peraturan terkait perolehan data eksternal.
Kerahasiaan bank membatasi perolehan data. Prinsip kerahasiaan
bank diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Pasal 41 Undang-Undang tersebut mengatur bahwa untuk
kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas
permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan surat
perintah tertulis kepada bank agar memberikan bukti-bukti
tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah
Penyimpan kepada Pejabat Pajak.
Wacana
46 47
Pembukaan kerahasiaan data perbankan dalam undang-undang
tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor:
2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian
Perintah Atas Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Namun,
berdasarkan aturan di atas, ruang lingkup dan alasan diperlukannya
keterangan data perbankan terkait kepentingan perpajakan belum
cukup jelas. Dalam hal ini, perlu dipertegas sejauh mana konteks
kerahasiaan perbankan dapat diakses oleh Direktorat Jenderal
Pajak (DJP), misalnya DJP sudah dapat mengakses pada tahap
pemeriksaan. Ketentuan ini telah beralih kewenangannya kepada
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 69 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Masalah lain adalah ketidakselarasan aturan terkait akses data.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Restribusi Daerah. Undang-undang ini justru mereduksi kewajiban
Pemerintah Daerah dalam memberikan data perpajakan kepada
Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana tercantum dalam dalam
Pasal 172. Belum efektifnya surat jawaban Direktur Harmonisasi
Peraturan Perundang-undangan No. PP.3.PP.02.03-02 tanggal 23
Januari 2014 tentang pemberian dan penghimpunan data dan
informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
Kemudian, persoalan lain yang mengemuka terkait keterbatasan
perolehan data adalah belum dilaksanakannya peraturan terkait
reward and punishment. Belum diimplementasikannya pasal 41C
UU 28 Tahun 2007 mengenai pengenaan sanksi pidana atau denda
terkait data eksternal.
Empat, belum optimalnya permintaan, pengelolaan, dan
pemanfaatan data eksternal.
Masih terdapat pihak yang belum diwajibkan untuk menyampaikan
data dan informasi terkait perpajakan. Pada sektor pertambangan
batubara belum dimasukkan permintaan data ke Direktorat
Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, dan asosiasi-
asosiasi pertambangan batubara.
Belum optimalnya pengelolaan data eksternal yang telah diperoleh
DJP secara komprehensif dan terintegrasi pada sistem teknologi
informasi yang ada di DJP.
Belum terakomodirnya mekanisme pemanfaatan, pengelolaan
dan sistem keamanan data eksternal dari hulu ke hilir. Bila tidak
diatur mekanisme penggunaanya, data eksternal berpotensi
disalahgunakan oleh petugas pajak.
Lima, minimnya pengawasan pada Wajib Pajak (WP) oleh DJP.
Saat ini ada 6.285 Account Representatives (AR) yang tersebar
di 331 Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dengan jumlah Wajib Pajak
(WP) terdaftar sebanyak 24.812.569, maka rata-rata seorang AR
harus mengawasi hampir 4.000 WP.
Saat ini pun ada 4.309 fungsional pemeriksa, dengan prioritas
pemeriksaan rutin (pemeriksaan LB) sehingga pemeriksaan
Kurang Bayar (KB) dan pemeriksaan atas dasar adanya indikasi
penyimpangan yang dilakukan WP tidak menjadi prioritas.
Bila dibandingkan, maka rasio pegawai DJP terhadap WP Terdaftar
adalah 1 : 792 (2012), dan rasio Pemeriksa dibanding WP Terdaftar
adalah 1 : 5.758 (2012).
Kurangnya dukungan data yang akurat sebagai data pembanding
dan dasar bagi AR dan pemeriksa dalam melakukan pengawasan
dan penggalian potensi.
Dengan rentang waktu pemeriksaan yang cukup lama antara
3-6 bulan (pemeriksaan kantor) atau 4-8 bulan (pemeriksaan
lapangan), maka tidak banyak pemeriksaan yang dapat dilakukan
oleh pemeriksa.
Selain di KP DJP, pegawai DJP tersebar di 331 KPP (4 KPP Wajib
Pajak Besar, 28 KPP Madya, 299 KPP Pratama) dan 207 KP2KP.
Beban target penerimaan pajak antar KPP pun bervariasi.
Enam, belum optimalnya fungsi analisis potensi.
Fungsi analisis potensi saat ini dijalankan oleh Direktorat PKP,
SubditPotensiPerpajakan;bidangDukunganTeknisdanKonsultasi
di Kantor wilayah; Tenaga Pengkaji bidang Ekstensifikasi dan
Intensifikasi Perpajakan; dan AR. Sampai dengan Februari tahun
2014, Subdit Potensi Perpajakan terdiri dari tiga seksi (industri, jasa
dan perdagangan) dan 24 pelaksana (10 pelaksana analisis mikro).
Wacana
48 49
Diperlukan analis potensi pajak untuk dapat melihat peluang
peningkatan penerimaan pajak secara holistik di berbagai sektor
dan lintas wilayah kerja KPP. KPP Pajak dekat lokasi tambang
tidak dapat mengawasi langsung, karena merupakan target pajak
di kantor pajak lain, dan KPP tempat WP tercatat tidak dapat
mengawasi karena lokasinya yang jauh.
Selain itu, ada masalah pada tingginya beban dan keterbatasan
AR dalam melihat potensi pajak. Potensi penerimaan pajak dapat
dimaksimalkan apabila tersedia SDM yang kompeten yang dapat
melakukan analisis atas data-data eksternal.
Dari Kondisi-kondisi seperti di atas inilah diperlukan wujud nyata
untuk memperbaiki kelembagaan institusi yang mengurusi pajak,
serta penataan atas sektor pertambangan itu sendiri.
 
AGENDA 3:
KETAHANAN DAN KEDAULATAN
PANGAN
Hambatan dalam pencapaian ketahanan pangan, dalam jangka
panjang akan merupakan ancaman yang sangat serius bahkan
dapatmengancamkedaulatansuatubangsa.Situasiyangpotensial
ini muncul sebagai akibat peningkatan kebutuhan bahan pangan
dari meningkatnya penduduk dunia, serta konsumsi bahan baku
yang berlebihan di negara-negara tertentu (Garelli, 2008)22
.
Sebagai kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, pangan
mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan
suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan
kebutuhan dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai
gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan
terganggu. Kondisi kritis ini bahkan dapat membahayakan kondisi
stabilitas ekonomi dan politik nasional, yang dapat meruntuhkan
pemerintah yang sedang berkuasa.
Dalam kerangka konstitusional, ketahanan pangan menjadi
bagian pengejawantahan tujuan berbangsa. Pembukaan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa cita-cita
bangsa Indonesia adalah menuju negara yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur. Kemudian, dinyatakan juga bahwa
pemerintah negara Indonesia harus melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam batang tubuh UUD 1945, khususnya pada bab
Kesejahteraan Sosial, dinyatakan dalam pasal 33 ayat 1, bahwa
ekonomi sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan;
ayat 2, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
22	 Dikutip dari hasil kajian Tim Pangan, Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK,
2014.
Wacana
“Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Artinya, ketahanan
pangan merupakan hak sosial dan hak ekonomi masyarakat.”
50 51
dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan
ayat 3, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, sesuai dengan amanat UUD 1945, lebih dari
terwujudnya ketahanan pangan, kedaulatan pangan pun harus
menjadi prioritas pemerintah. Konsep kedaulatan pangan (food
sovereignty) lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan
oleh komunitas secara mandiri, berdaulat, dan berkelanjutan23
.
Dengan demikian, masyarakat mempunyai hak atas pangan yang
aman, cukup gizi, dan sesuai dengan kondisi budaya setempat
dan hak atas sumber-sumber daya untuk memproduksi pangan
serta kemampuan untuk menjaga keberlanjutan hidup mereka dan
masyarakatnya24
. Ketahanan pangan sendiri merupakan prasyarat
tercapainya kedaulatan pangan yang melalui tahap swasembada
yaitu kemampuan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi
dalam negeri; dan tahap kemandirian pangan yaitu kondisi
terpenuhinya pangan tanpa adanya ketergantungan dari pihak luar
dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap perkembangan dan
gejolak ekonomi dunia25
.
Dalam kerangka pembangunan nasional, ketahanan pangan
memegang peran penting. Undang-undang Nomor 18 Tahun
2012 tentang Pangan mengamanatkan bahwa penyelenggaraan
pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia
yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan
berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan
Ketahanan Pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini
menegaskan bahwa ketahanan pangan merupakan salah satu
pondasi utama pembangunan nasional.
Program aksi bidang pangan dijadikan prioritas kelima dari program
pembangunan nasional. Tujuan ketahanan pangan nasional yang
akan dicapai adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup,
bergizi seimbang, dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Guna
mencapai ketahanan pangan tersebut, pemerintah mencanangkan
program swasembada pangan yang meliputi swasembada beras,
jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Begitu pun hortikultura yang
juga menjadi prioritas dalam program aksi bidang pangan dalam
RPJMN.
23	FAO.
24	 Dalam Hines, 2005 (dari Khudori, 2008).
25	 Ronny Mudigdo dalam Round Table Discussion dengan KPK, 14 September 2012.
Sebagai salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk
mewujudkan ketahanan pangan adalah pencanangan Program
Swasembada pada komoditas strategis. Swasembada komoditas
strategis merupakan bagian dari prioritas ketahanan pangan
nasional yang dinyatakan pada Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014,
sedangkan untuk periode pembangunan jangka panjang telah
ditetapkan pula Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
2011-2025.
Keseriusan pemerintah dalam upaya swasembada pangan
tercermin dari besarnya anggaran swasembada pangan. Di
Tahun 2014 pemerintah menganggarkan swasembada pangan
untuk lima komoditas utama senilai Rp 8,28 Triliun. Besarnya
anggaran ini, bila tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi
potensi kerugian keuangan negara, baik dari aspek keuangan
maupun non keuangan.
Anggaran swasembada komoditas strategis tahun 2014
Komoditas Anggaran
Beras Rp 4.540,0 Miliar
Kedelai Rp 874,6 Miliar
Jagung Rp 398,2 Miliar
Gula Rp 80,6 Miliar
Daging sapi Rp 1.490,0 Miliar
Jumlah Rp 8.283,4 Miliar
Sumber: Kementerian Pertanian, 2014 (diolah)
Perbandingan luas lahan, produksi, dan impor komoditas
strategis
Sumber: Kementerian Pertanian, BPS, UN Comtrade, 2013 (diolah)
Wacana
Komoditas
Luas Lahan (ha) Produksi (ton) Impor (ton)
2011 2012 2011 2012 2011 2012
Beras 13,203,643 13,445,524 65,756,904.00 69,056,126.00 2,698,989.51 1,810,372.30
Kedelai 622,254.00 567,624 851,286.00 843,153.00 1,911,987.10 1,921,206.53
Jagung 3,864,692 3,957,595 17,643,250.00 19,387,022 2,889,173.77 1,692,994.50
Gula 192,500.00 198,800 2,267,887.00 2,580,000 2,305,032.28 494,130.74
Daging
Sapi
- - 292,450.00 399,330.00 156,850 91,740.00
52 53
Dari kedua tabel di atas terlihat bahwa anggaran yang dikeluarkan
oleh pemerintah dalam mencapai swasembada pangan cukup
besar dan meningkat setiap tahunnya. Namun faktanya kebutuhan
akan komoditas strategis belum bisa dipenuhi oleh produksi dalam
negeri. Impor masih menjadi andalan pemerintah dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat. Bahkan, impor sejumlah komoditas
strategis mengalami peningkatan yang signifikan. Kebijakan impor
tidak terlepas dari kebijakan liberalisasi perdagangan dalam era
globalisasi.
Liberalisasi perdagangan mewarnai perdagangan komoditas di
pasar internasional, begitu pun pangan tidak luput dari liberalisasi
perdagangan. Sebagai negara dengan sistem perdagangan terbuka,
Indonesia tentunya tidak terhindar dari liberalisasi dan bukan
tidak mungkin akan berbenturan dengan kebijakan dalam negeri
dan mengancam kepentingan nasional. Perspektif liberalisasi
perdagangan dalam konteks ketahanan pangan bercirikan adanya
kecenderungan meningkatnya pasokan pangan dari impor.
Impor merupakan intervensi pemerintah dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat ketika pasokan dalam negeri tidak
cukup, namun seringkali kebijakan tersebut tidak berpihak pada
kepentingan bangsa. Hal tersebut dapat dilihat dari kebijakan
pemerintah yang selalu melakukan impor besar-besaran jika
terjadi kelangkaan pangan. Kelangkaan pangan sengaja diciptakan
oleh para pemburu-rente guna mendapatkan keuntungan, salah
satunya dengan mendorong agar pemerintah membuka impor
secara besar-besaran.
Dalam kasus kelangkaan kedelai, contohnya, yang menyebabkan
kenaikan harga di pasaran, pemerintah justru membuka keran
impor dengan menghapuskan bea masuk impor kedelai, dari
yang awalnya sebesar 5 persen menjadi 0 persen. Penghapusan
ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor
133/PMK.011/2013. Kenaikan harga kedelai yang cukup besar
ini disinyalir oleh beberapa kalangan disebabkan oleh adanya
penguasaan beberapa perusahaan dalam importasi kedelai.
Penguasaan ini terlihat dari pembagian kuota impor kedelai dari
Menteri Perdagangan, yaitu terdapat hanya beberapa perusahaan
yang menguasai kuota impor kedelai. Perusahaan tersebut
masing-masing adalah PT FKS Multi Agro yang menguasai kuota
terbesar dengan 46,71 persen (210.600 ton), PT Gerbang Cahaya
Utama sebesar 10,31 persen (46.500 ton), dan PT Budi Semesta
Satria sebesar 9,31 persen (42.000 ton). Artinya, penguasaaan
tiga perusahaan tersebut menguasai 66,33 persen kuota impor,
sehingga cenderung membentuk kartel yang berdampak pada
terjadinya kelangkaan kedelai di pasar. Keanehan diperkuat ketika
pemerintah justru memberikan kuota hanya sebesar 20.000 ton
kepada Perum BULOG untuk menjalankan tugasnya sebagai
badan yang ditunjuk untuk menjaga kestabilan harga kedelai di
Indonesia. Kebijakan pembebasan impor yang terkesan reaktif
justru berdampak pada kerugian petani kedelai lokal karena
membanjirnya kedelai impor dengan harga yang lebih murah.
Sama halnya dalam kasus melonjaknya harga daging sapi
beberapa waktu lalu. Harga daging sapi yang melonjak tinggi
di pasaran disikapi reaktif oleh pemerintah dengan mengubah
kebijakan proteksi. Pemerintah mengubah sistem kuota menjadi
pembebasan impor apabila harga di pasar di atas Rp 75.000.
Hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa kenaikan harga
diakibatkan karena supply tidak bisa mengimbangi demand,
sehingga kebijakan menambah supply dari impor diharapkan
akan menurunkan harga di pasar. Namun, kenyataannya tidaklah
demikian. Harga daging di pasar tetap mahal dan cenderung
bertahan. Artinya, mekanisme pasar tidak berjalan sempurna,
hal ini mengindikasikan adanya distorsi yang mengganggu
mekanisme pasar dengan cara sistematis dan terstruktur untuk
kepentingan tertentu. Sistematis dan terstruktur artinya adalah
bahwa praktik ini lebih melibatkan seluruh komponen dalam
kebijakan, mulai dari pengambil kebijakan sampai praktik di
lapangan (memalsukan dokumen, penghindaran pajak dan bea
masuk) dan lain-lain, dengan tujuan untuk memperkaya diri
sendiri maupun orang lain dan merugikan negara.
Jika melihat permasalahan di atas, dapat kita simpulkan bahwa
kebijakan importasi komoditas pangan strategis masih sangat
lemah dalam melindungi petani lokal. Kelemahan pada kebijakan
tata niaga meliputi arah kebijakan yang tidak tepat yang dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingannya
sendiri dengan merugikan negara dan kepentingan publik. Beban
persoalan tersebut ikut memengaruhi tidak maksimalnya target
kebijakan pemerintah yang diatur selama ini, yang membawa
berbagai permasalahan dan menimbulkan konflik baik pada
tingkat regulasi maupun praktis dalam setiap kegiatan.
Wacana
54 55
Selainpermasalahantersebut,KPKjugamenerimasejumlah
aduan dari masyarakat terkait dengan tataniaga impor
pada komoditas pangan strategis. Pengaduan sejak tahun
2005 menunjukkan beragam modus penyelewengan
ditampilkan dalam tabel di bawah ini:
Data pengaduan masyarakat (2005-2012)
No
Modus Dugaan TPK terkait dengan importasi komoditas pangan
strategis
1 Penggelapan impor komoditas strategis
2 Impor salah satu komoditas strategis fiktif
3 Penyalahgunaan prosedur importasi komoditas strategis
4 Mark-up impor komoditas strategis
Sumber: Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK, 2012 (diolah)
Melihat kasus impor daging sapi, misalnya, kita bisa melihat
bahwa tujuan pemerintah dalam mendorong peternakan
lokal sebagai kunci dalam keberhasilan swasembada
menjadi tereduksi. Impor yang tidak terkendali tentunya
akan mematikan peternakan rakyat. Belum lagi persoalan
harga di pasar yang justru dipermainkan oleh kepentingan
tertentu. Bahkan sebagian orang menyebutnya
dengan istilah “mafia” seolah pemerintah tidak berdaya
menghadapinya. Praktik seperti ini bukan tidak mungkin
terjadi pada komoditas strategis lainnya seperti beras,
kedelai, gula, dan hotikultura. Seperti dikatakan oleh
Iwan Setiawan, SP., MSi., Lektor Kepala Fakultas Pertanian
Universitas Padjajaran, Bandung, bahwa eksistensi dan
keterlibatan mafia juga terlihat dalam tutup-buka keran
impor-ekspor dan distribusi pemainnya.
Jadi, munculnya keputusan apakah impor dan ekspor
komoditas pertanian perlu atau tidak perlu dilakukan,
berapa banyak atau sedikit volume impor atau ekspor,
apakah perlu cepat atau lambat, semuanya berada dalam
kendali para mafia. Kebijakan impor beras, gula, daging,
dan garam timbul bukan atas kebutuhan nyata, tetapi atas
desakan mafia. Tegasnya, dari mulai anggaran, transaksi
berjalan, sampai rantai pasokan input-output sudah
dikuasai para mafia. Bagi mereka, apapun yang akan
terjadi, tidak menjadi persoalan. Terpenting, semuanya
mendatangkan keuntungan. Persoalan-persoalan seperti
di ataslah yang pada akhirnya menghambat pencapaian
ketahanan pangan, bahkan semakin menjauhkan kita dari upaya
mencapai kedaulatan pangan.
Isu lain yang berpotensi menghambat tercapainya daulat pangan
yaitu berkaitan dengan alih fungsi lahan, kualitas SDM serta
dukungan infrastruktur. Intensitas alih fungsi lahan pertanian
menjadi non-pertanian cukup tinggi. Data Kementerian Pertanian
(Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 2011) menyatakan
sepanjang 2008-2010 laju konversi lahan sawah di Pulau Jawa
sebesar 600 ribu hektar atau jika dirata-rata sebesar 200 ribu
hektar per tahun. Dalam skala nasional saat ini konversi lahan
telah mencapai 100 ribu hektar per tahun.
Pembangunan pertanian dan ketahanan pangan 26
Persoalan kritikal yang kita hadapi saat ini adalah tingginya alih
fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian serta rata-rata luas
lahan petani yang sempit. Pada sisi yang lain, SDM pertanian juga
rata-rata berpendidikan sangat rendah dan berjumlah relatif sangat
banyak. Sebagai akibatnya produktivitas pertanian, yaitu rata-rata
produksi per hektar komoditi pertanian, relatif rendah. Masalah
selanjutnya ialah kendala ketersediaan infrastruktur pertanian/
pedesaan serta kualitasnya yang rendah. Resultante dari berbagai
persoalan ini adalah rendahnya tingkat kesejahteraan para petani.
Untuk mengatasi berbagai persoalan di atas maka dalam jangka
pendek kepada petani miskin maupun non-petani yang juga
miskin harus diberi perlindungan sehingga mereka memiliki
ketahanan pangan yang memadai. Dalam konteks ini berbagai
program seperti raskin memang diperlukan, akan tetapi efektivitas
dan tata kelola pelaksanaannya harus diperhatikan. Khusus untuk
petani, berbagai subsidi dan bantuan seperti subsidi pupuk,
benih dan bantuan sosial termasuk Pengembangan Usaha
Agribisnis Pedesaan (PUAP) dan Lembaga Mandiri Mengakar
pada Masyarakat (LM3) mungkin masih diperlukan, akan tetapi
pelaksanaannya harus benar-benar memenuhi persyaratan yang
disusun secara jelas serta tata kelola yang juga harus baik.
Untukmelindungilahanpertanianagartidakmudahdialihfungsikan
menjadi non-pertanian, penetapan kawasan lahan pangan
berkelanjutan (KLPB) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
harus dilaksanakan secara konsekuen. Kecenderungan yang
26	 Prasaran Institut Pertanian Bogor (IPB), 23 Mei 2014.
Wacana
PEMBANGUNAN
PERTANIAN DAN
KETAHANAN
PANGAN26
56 57
terjadi ialah oknum pemerintah daerah dan bahkan oknum anggota
DPRD relatif banyak yang merubah peraturan terkait kawasan dan
RTRW tersebut. Sehingga, lahan pertanian dialihfungsikan menjdi
non-pertanian dengan alasan mencari pendapatan asli daerah yang
lebih tinggi, yang mana hal ini sangat rawan dengan kebocoran.
Oleh sebab itu, ketetapan mengenai KLPB dan RTRW merupakan
suatu hal yang mutlak dalam arti tidak mudah untuk diubah-ubah.
Dalam jangka menengah dan panjang, upaya peningkatan areal
pertanian baik oleh pemerintah semata maupun pemerintah
bekerjasamadenganswastadalamskemaPublicPrivatePartnership
(PPP) merupakan suatu kebutuhan yang pelaksanaannya dilakukan
dalam suatu kebijakan reforma agraria. Upaya ke arah itu antara lain
dengan membangun atau mengembangkan food estate berskala
luas, dimana harus dipastikan kepemilikan lahan oleh rakyat tidak
dapat diambil alih oleh pihak-pihak lainnya. Dalam kaitan ini, yang
harus dihindari adalah penguasaan lahan oleh para elit atas nama
rakyat (seolah-olah dimiliki rakyat padahal pemilik sesungguhnya
adalah para elit pemerintah maupun swasta). Formula reforma
agraria ialah akses/kepemilikan petani terhadap lahan plus akses
petani terhadap berbagai hal lainnya termasuk sarana produksi
pertanian berkualitas, teknologi, pasar, dan informasi.
Tingkat kesejahteraan para petani yang jumlahnya relatif banyak itu
dapat dinaikkan manakala di kawasan pedesaan tersebut terdapat
usaha-usaha pengolahan hasil-hasil pertanian (agroindustri
pedesaan). Agroindustri akan memberikan nilai tambah terhadap
komoditas pertanian yang dihasilkan petani karena produk-
produk pangan yang dihasilkan dari agroindustri yang dihasilkan
petani memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan harga
komoditas pertanian yang relatif rendah dan cenderung fluktuatif.
Pengembangan agroindustri pedesaan maupun usaha tani terkait
membutuhkan investasi yang cukup besar baik untuk infrastruktur
maupun fasilitas serta unit-unit pengolahan yang dibutuhkan yang
harus ada. Manakala investasi tersebut berasal dari pemerintah
harus dipastikan bahwa pengadaannya dilaksanakan sesuai dengan
peraturan dan memang betul-betul dibutuhkan oleh petani dan
pelaku agroindustri.
Upaya untuk mengatasi rendahnya produktivitas maupun untuk
mengembangkan agroindustri pedesaan membutuhkan Research
and Development (R & D) dalam rangka mengembangkan teknologi
tepat guna yang harus dilaksanakan secara kontinu dan serius.
Pemerintah perlu mendorong pengembangan varietas bibit lokal
yang lebih sesuai dengan kondisi tiap-tiap daerah. Demikian
juga untuk sarana produksi pertanian lainnya termasuk pupuk
organik. Namun demikian, kegiatan-kegiatan R&D tersebut harus
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah
dan didukung oleh ahli/instansi penelitian yang berkompeten,
misalnya perguruan tinggi yang relevan.
Manakala hasil-hasil R & D yang sudah dilakukan akan
disebarluaskan, maka proses perizinan terkait haruslah
disederhanakan dan dipastikan tidak ada pungutan-pungutan
liar. Berbagai sarana produksi pertanian dan produk pangan
yang dihasilkan harus jelas standarnya, yang mana standar
tersebut haruslah ditetapkan secara ilmiah oleh ahli/instansi yang
berkompetensi. Proses perizinan lainnya juga harus ditetapkan
secara jelas dan tidak berbelit-belit, termasuk dalam proses
perizinan pembuatan rekomendasi bupati dan pembuatan SK
Menteri Kehutanan untuk areal pertanian baru.
Pembangunan pertanian dan penguatan ketahanan pangan
mutlak harus ditopang oleh sistem logistik pangan nasional,
yang mengintegrasikan sistem produksi dan sistem distribusi
dari tataran daerah hingga nasional secara efektif dan efisien.
Sekali sistem logistik pangan nasional ini sudah ditetapkan maka
pemerintah pusat dan pemerintah daerah maupun sesama
pemerintah daerah harus bersinergi untuk menerapkannya.
Penerapan sistem ini akan membutuhkan pembangunan berbagai
prasarana dan fasilitas di daerah produksi maupun prasarana dan
fasilitas distribusi termasuk pasar tani/terminal agribisnis sampai
kepada pelabuhan/bandara. Semua ini membutuhkan investasi
(pemerintah dan swasta) yang jumlahnya relatif besar sehingga
pengadaannya harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
 
Wacana
58 59
AGENDA 4:
PERBAIKAN INFRASTRUKTUR
Sebagai salah satu sektor dalam sistem ekonomi, sektor transportasi
dan perhubungan memberikan kontribusi yang cukup signifikan,
yaitu antara 4 sampai 6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Dari data tahun 2009, nilai sektor transportasi dan perhubungan
mencapai angka Rp 181,6 triliun27
.
Selain sebagai suatu sektor dalam perekonomian, transportasi
dan perhubungan memiliki peran lain yang justru lebih vital,
yaitu sebagai tulang punggung sistem logistik nasional. Logistik
merupakan sistem arus barang, energi, informasi dan sumber daya
lainnya, seperti produk, jasa dan manusia, dari sumber produksi ke
pasar. Lingkup logistik mencakup integrasi informasi, transportasi,
inventori dan pergudangan.
Tanpa dukungan logistik yang handal, proses produksi hingga
pemasaran bahkan keseluruhan perekonomian akan terganggu.
Besarnya dampak yang dapat timbul dari gangguan pada sektor
transportasi dan perhubungan dapat terlihat dari data Direktorat
Jenderal Perhubungan Darat tahun 2005. Pada tahun tersebut,
tercatat total perpindahan barang pada tiga matra transportasi,
mencapai 2,7 miliar ton.
Transportasi darat merupakan matra transportasi yang paling
dominan di Indonesia dibandingkan matra transportasi lainnya
(udara dan laut). Hal ini ditunjukkan dari data Nasional Tahun 2001
yang menggambarkan bahwa 95 persen perjalanan penumpang
dan barang menggunakan transportasi darat. Pada matra
transportasi darat, moda angkutan jalan raya mengambil posisi
yang paling dominan dibandingkan moda-moda lain (angkutan rel
atau kereta api dan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan -
ASDP). Dari data statistik BPS tahun 2009, porsi angkutan jalan raya
mencapai 93 persen dari total angkutan darat.
Arus logistik dengan matra transportasi darat mencapai 2,4 miliar
ton (97,3 persen) dari total angkutan barang dan 3,8 miliar trip (99
persen) dari total perjalanan penumpang. Besarnya ketergantungan
logistik pada moda angkutan jalan raya juga terlihat dari besarnya
jumlah armada. Dari data BPS 2008, tercatat sejumlah 5,1 juta truk
beroperasi di Indonesia.
27	 Hasil kajian penyelenggaraan perhubungan darat, Direktorat Penelitian & Pengembangan,
KPK, 2011.
Terganggunya logistik dengan matra transportasi darat akan
secara langsung berdampak pada aktivitas ekonomi dan
ketahanan nasional secara keseluruhan. Wajar bahwa lalu
lintas dan angkutan jalan dinilai mempunyai peran strategis
dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional
sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum
sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Hal tersebut menjadi
dasar terbitnya Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada pasal 5, disebutkan bahwa
negara bertanggung jawab atas lalu lintas dan angkutan jalan
dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah. Pembinaan
lalu lintas dan angkutan jalan tersebut meliputi perencanaan,
pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
Sistem logistik nasional Indonesia saat ini masih belum
menunjukkan kinerja yang memuaskan. Menurut hasil survei
Logistic Performance Index (LPI – Indeks Kinerja Logistik) yang
dilakukan Bank Dunia pada tahun 2007, LPI Indonesia berada pada
ranking 43 di bawah Thailand dan Malaysia. Pada tahun 2010,
Indonesia justru semakin turun ke ranking 75, di bawah Vietnam
dan Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa sistem angkutan
barang di Indonesia belum memenuhi indikator kinerja yang
memadai, meliputi kualitas infrastruktur terkait perdagangan dan
angkutan, kemudahan pengaturan pengiriman barang dengan
harga kompetitif, kompetensi dan kualitas pelayanan logistik,
kemampuan track and trace pengiriman, frekuensi sampainya
pengiriman kepada penerima tepat waktu.
Tidak memadainya infrastruktur terkait perdagangan dan
angkutan, sebagai akibat kondisi prasarana jalan yang buruk,
sangat menghambat kelancaran angkutan barang di Indonesia.
Tahun 2004, panjang jalan nasional yang rusak berat tercatat
3.774,5 km (10,9 persen) dari total panjang jalan nasional 34.629
km. Tahun 2010, panjang jalan nasional yang rusak berat justru
meningkat ke kisaran 5.760 km (15 persen) dari total 38.400 km.
Selain itu, dari total panjang jalan 437.759 km, tercatat hanya 59
persen yang diaspal. Buruknya permukaan jalan mengakibatkan
jarak tempuh rata-rata truk barang di Indonesia hanya mencapai
21.800 km/tahun (kurang dari separuh rata-rata Asia 57.000 km/
tahun).
Wacana
SISTEM
LOGISTIK
NASIONAL
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI
REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI

Contenu connexe

Tendances

Aura zahari 06_hubunganinternasional
Aura zahari 06_hubunganinternasionalAura zahari 06_hubunganinternasional
Aura zahari 06_hubunganinternasionalTania Azhari
 
BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...
BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...
BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...Eny Ardhika Putri
 
Makna & Arti Sila Keempat Pancasila
Makna & Arti Sila Keempat PancasilaMakna & Arti Sila Keempat Pancasila
Makna & Arti Sila Keempat PancasilaAgus Widiyanto
 
Analisa Tragedi Trisakti
Analisa Tragedi TrisaktiAnalisa Tragedi Trisakti
Analisa Tragedi Trisaktiviviokta3
 
Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)
Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)
Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)Liza Dayani
 
Makalah fungsi tanggung jawab warga negara dalam proses demokrasi
Makalah fungsi tanggung jawab warga negara dalam proses demokrasiMakalah fungsi tanggung jawab warga negara dalam proses demokrasi
Makalah fungsi tanggung jawab warga negara dalam proses demokrasiSyifa Lailatul
 
Materi pkn kelas 10
Materi pkn kelas 10Materi pkn kelas 10
Materi pkn kelas 10Aisyah Nisa
 
sikap separatisme sebagai dampak gagalnya implementasi sila ke 5 pancasila
sikap separatisme sebagai dampak gagalnya implementasi sila ke 5 pancasilasikap separatisme sebagai dampak gagalnya implementasi sila ke 5 pancasila
sikap separatisme sebagai dampak gagalnya implementasi sila ke 5 pancasilalunch lunch
 
Demokrasi indonesia
Demokrasi indonesiaDemokrasi indonesia
Demokrasi indonesiaChe Bintank
 
Pemikiran sistem ekonomi nasional
Pemikiran sistem ekonomi nasionalPemikiran sistem ekonomi nasional
Pemikiran sistem ekonomi nasionalArly Hidayat
 
Rpp ppkn sma xi bab 3 pertemuan 2
Rpp ppkn sma xi bab 3 pertemuan 2Rpp ppkn sma xi bab 3 pertemuan 2
Rpp ppkn sma xi bab 3 pertemuan 2eli priyatna laidan
 
Politik islam dan masyarakat madani
Politik islam dan masyarakat madaniPolitik islam dan masyarakat madani
Politik islam dan masyarakat madaniAndi Undu
 
Rabu materi bab 1 ppkn sma kelas xii smt 1 pelanggaran hak dan pengingkaran k...
Rabu materi bab 1 ppkn sma kelas xii smt 1 pelanggaran hak dan pengingkaran k...Rabu materi bab 1 ppkn sma kelas xii smt 1 pelanggaran hak dan pengingkaran k...
Rabu materi bab 1 ppkn sma kelas xii smt 1 pelanggaran hak dan pengingkaran k...RiyanAdita
 

Tendances (17)

Aura zahari 06_hubunganinternasional
Aura zahari 06_hubunganinternasionalAura zahari 06_hubunganinternasional
Aura zahari 06_hubunganinternasional
 
BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...
BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...
BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...
 
Makna & Arti Sila Keempat Pancasila
Makna & Arti Sila Keempat PancasilaMakna & Arti Sila Keempat Pancasila
Makna & Arti Sila Keempat Pancasila
 
Analisa Tragedi Trisakti
Analisa Tragedi TrisaktiAnalisa Tragedi Trisakti
Analisa Tragedi Trisakti
 
Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)
Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)
Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)
 
Makalah fungsi tanggung jawab warga negara dalam proses demokrasi
Makalah fungsi tanggung jawab warga negara dalam proses demokrasiMakalah fungsi tanggung jawab warga negara dalam proses demokrasi
Makalah fungsi tanggung jawab warga negara dalam proses demokrasi
 
Materi pkn kelas 10
Materi pkn kelas 10Materi pkn kelas 10
Materi pkn kelas 10
 
sikap separatisme sebagai dampak gagalnya implementasi sila ke 5 pancasila
sikap separatisme sebagai dampak gagalnya implementasi sila ke 5 pancasilasikap separatisme sebagai dampak gagalnya implementasi sila ke 5 pancasila
sikap separatisme sebagai dampak gagalnya implementasi sila ke 5 pancasila
 
Materi ppkn sma xii bab 1
Materi ppkn sma xii bab 1Materi ppkn sma xii bab 1
Materi ppkn sma xii bab 1
 
Ham makalah
Ham makalahHam makalah
Ham makalah
 
Demokrasi indonesia
Demokrasi indonesiaDemokrasi indonesia
Demokrasi indonesia
 
Pemikiran sistem ekonomi nasional
Pemikiran sistem ekonomi nasionalPemikiran sistem ekonomi nasional
Pemikiran sistem ekonomi nasional
 
Makalah korupsi STIP WUNA
Makalah korupsi STIP WUNA Makalah korupsi STIP WUNA
Makalah korupsi STIP WUNA
 
Rpp ppkn sma xi bab 3 pertemuan 2
Rpp ppkn sma xi bab 3 pertemuan 2Rpp ppkn sma xi bab 3 pertemuan 2
Rpp ppkn sma xi bab 3 pertemuan 2
 
Politik islam dan masyarakat madani
Politik islam dan masyarakat madaniPolitik islam dan masyarakat madani
Politik islam dan masyarakat madani
 
Soal lcc 3(kelas xi)
Soal lcc 3(kelas xi)Soal lcc 3(kelas xi)
Soal lcc 3(kelas xi)
 
Rabu materi bab 1 ppkn sma kelas xii smt 1 pelanggaran hak dan pengingkaran k...
Rabu materi bab 1 ppkn sma kelas xii smt 1 pelanggaran hak dan pengingkaran k...Rabu materi bab 1 ppkn sma kelas xii smt 1 pelanggaran hak dan pengingkaran k...
Rabu materi bab 1 ppkn sma kelas xii smt 1 pelanggaran hak dan pengingkaran k...
 

Similaire à REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI

Presentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
Presentasi Masalah Korupsi Di IndonesiaPresentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
Presentasi Masalah Korupsi Di IndonesiaARY SETIADI
 
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptorMakalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptorIka Nurrohmah
 
Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...
Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...
Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...FIkri Aulawi Rusmahafi
 
Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...
Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...
Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...FIkri Aulawi Rusmahafi
 
PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...
PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...
PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...Ariz Frends
 
Makalah pemerintahan yang baik
Makalah pemerintahan yang baikMakalah pemerintahan yang baik
Makalah pemerintahan yang baikWarnet Raha
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiSeptian Muna Barakati
 
wawancara kewarganegaraan.pptx
wawancara kewarganegaraan.pptxwawancara kewarganegaraan.pptx
wawancara kewarganegaraan.pptxYosSeliin1
 

Similaire à REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI (20)

Makalah pkn
Makalah pknMakalah pkn
Makalah pkn
 
Makalah pkn
Makalah pknMakalah pkn
Makalah pkn
 
Makalah pkn
Makalah pknMakalah pkn
Makalah pkn
 
Makalah korupsi
Makalah korupsiMakalah korupsi
Makalah korupsi
 
Makalah korupsi
Makalah korupsiMakalah korupsi
Makalah korupsi
 
Presentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
Presentasi Masalah Korupsi Di IndonesiaPresentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
Presentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
 
Ppkn
PpknPpkn
Ppkn
 
281669604 makalah-kasus-korupsi
281669604 makalah-kasus-korupsi281669604 makalah-kasus-korupsi
281669604 makalah-kasus-korupsi
 
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptorMakalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
 
Makalah pemerintahan yang baik
Makalah pemerintahan yang baikMakalah pemerintahan yang baik
Makalah pemerintahan yang baik
 
Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...
Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...
Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...
 
Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...
Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...
Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...
 
Makalah korupsi
Makalah korupsiMakalah korupsi
Makalah korupsi
 
PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...
PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...
PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...
 
Makalah pemerintahan yang baik
Makalah pemerintahan yang baikMakalah pemerintahan yang baik
Makalah pemerintahan yang baik
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
 
wawancara kewarganegaraan.pptx
wawancara kewarganegaraan.pptxwawancara kewarganegaraan.pptx
wawancara kewarganegaraan.pptx
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
 

Dernier

UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1RomaDoni5
 
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditPermen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditYOSUAGETMIRAJAGUKGUK1
 
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxBudyHermawan3
 
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAdministrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAnthonyThony5
 
MAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara Hukum
MAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara HukumMAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara Hukum
MAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara Hukumbrunojahur
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxAmandaJesica
 
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptMuhammadNorman9
 
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfINDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfNetraHartana
 

Dernier (8)

UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
 
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditPermen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
 
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
 
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAdministrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
 
MAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara Hukum
MAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara HukumMAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara Hukum
MAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara Hukum
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
 
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
 
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfINDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
 

REFORMASI IDEOLOGI UNTUK INDONESIA BEBAS KORUPSI

  • 1.
  • 2. 2 3 Pengarah : Pimpinan KPK Penanggung jawab : Deputi Pencegahan KPK Koordinator : Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Tim peneliti dan penulis : Bariroh Barid Didik Mulyanto Faisal Wawan Wardiana Kontributor : Tim pangan Tim sumber daya alam Tim infrastruktur Tim pajak Tim kesejahteraan sosial Tim pencegahan korupsi berbasis keluarga (Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK) Penerbit : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Juni 2014 Daftar Isi Daftar Isi Pendahuluan Sasaran Prawacana Wacana Agenda 1 : Reformasi Birokrasi dan Perbaikan Administrasi Kependudukan Agenda 2 : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Penerimaan Negara Agenda 3 : Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Agenda 4 : Perbaikan Infrastruktur Agenda 5 : Penguatan Aparat Penegak Hukum Agenda 6 : Dukungan Pendidikan Nilai dan Keteladanan Agenda 7 : Perbaikan Kelembagaan Partai Politik Agenda 8 : Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penutup 3 6 14 16 28 29 36 49 58 63 66 72 78 84
  • 4. 6 7 DalamrangkapelaksanaanPemilihanUmumPresiden(Pilpres)2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berinisiatif menyampaikan sejumlah gagasan kepada semua kandidat presiden Republik Indonesia. Penyampaian sejumlah gagasan ini dilandasi cita-cita sejati untuk membangun Indonesia yang berdaulat, memiliki marwah, berkeadilan sejahtera, dan bebas dari korupsi. Indonesia sejahtera bebas korupsi sesungguhnya bukanlah impian yang utopis. Penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi adalah sesuatu yang niscaya, selama kepentingan yang menyelimuti para calon pemimpin bangsa ini ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukan intensi pribadi atau golongan. Bagi KPK, sosok seorang presiden adalah dia yang bersikap layaknya seorang pemimpin, bukan dia yang bertindak bagaikan seorang penguasa. Pemimpin adalah dia yang mampu menciptakan visi dan strategi, dan berfokus pada horizon kerakyatan. Penguasa adalah dia yang semata menggunakan kewenangannya untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri dan kelompoknya saja. Di Indonesia, betapa mudah menemukan penguasa, namun betapa sulit bertemu pemimpin. KPK tetap sangat berharap bahwa ajang Pilpres 2014 kali ini akan menghasilkan seorang pemimpin bangsa. Syaratnya, para kandidat presiden memiliki gagasan-gagasan dan program-program yang jelas dan tegas dalam mengatasi persoalan bangsa. Walhasil, dengan gagasan dan program seperti itu, rakyat tentu akan mendukung sepenuhnya. Bila rakyat berkehendak, tentu tiada aral sanggup menghalangi. Realisasi pengembanan, pengejawantahan, dan pengamalan tata kelola negara dan pemerintah dalam enam dekade ini telah menimbulkan sejumlah problem besar. Di antaranya adalah tentang krisis praktik kepemimpinan, ruh, dan ideologi kebangsaan (UUD tahun 1945), negara hukum, kedaulatan rakyat dan demokrasi. Problem besar ini telah lama mengakibatkan terjadinya praktik korupsi sistemik dan tidak berjalannya pemberdaulatan tata kelola perekonomian negara untuk kepentingan rakyat (demokratisasi perekonomian negara). Landasan ketatanegaraan menegaskan bahwa yang berdaulat adalah rakyat (UUD pasal 1 ayat 2) sebagai “subyek hukum permanen”. Kekuatan status hukum rakyat adalah terkuat dan legitimasinya permanen. Sedangkan negara dalam pengertian lembaga negara bersifat tidak permanen, dapat dibubarkan jika pemimpinnya mengkhianati konstitusi. Dalam praktik, posisi rakyat semakin dilemahkan dan posisi negara kian diperkuat oleh negara. Artinya, demokrasi sekarang sedang menghadapi tantangan yang mencemaskan, dan yang paling menderita: “Rakyat”, sedangkan negara mengalami krisis martabat. Sejalan dengan situasi ini, perembesan nilai-nilai materialisme- pragmatisme-hedonisme yang tidak sesuai dengan konsep “manusia otentik” dan menyimpang dari ideologi bangsa dengan cepat merubah cara pandang para pejabat publik (pemerintah, DPR, dan kehakiman, termasuk di dalamnya penegak hukum). Penguasa, sebagiannya gagal memaknai aspirasi rakyat dan secara simultan rendah keadabannya dalam memaknai ruh ideologi bangsa. Strategi pembangunan gagal mengartikulasikan hak-hak demokrasi rakyat dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan mengakibatkan kemiskinan multi-dimensional. Ruh dan komitmen nasional untuk mengedepankan kemerdekaan (liberty) dan sekaligus menghadapkannya dengan penjajahan (colonialism) tidak diserap sepenuhnya dalam perumusan kebijakan nasional yang based on people empowering. Yang terjadi, kemudian, adalah kolonialisasi sektor ekonomi oleh kaum neo-liberalisme dari dalam negeri dan asing. Kebijakan sektor migas, minerba, hutan, pangan, serta pengembangan kawasan hunian, kawasan bisnis, dan pusat belanja super mewah, dan internasionalisasi pendidikan adalah fakta sempurna terjadinya krisis ideologi dalam ruang publik. Apa yang menjadi tuntutan ruh dan ideologi negara Pancasila dengan praktik kepemimpinan pascareformasi semakin mengalami kesenjangan. Budaya “intransparansi dan monopoli politik” yang menjadi ikon sistem rezim Orde Baru yang korup, justru mengalami pewarisan lebih sistemik dan struktural. Korupsi sistemik dalam bentuk corruption by design dengan dampak kerugian perekonomian negara, lumpuhnya demokrasi ekonomi, dan pelanggaran HAM adalah akibat semata krisis ideologi dan komitmen kebangsaan. Proses-proses politik gagal melahirkan sumber daya insani pemangku amanah rakyat, justru menciptakan atmosfir politik yang terasa hipokrit. Pendahuluan KRISIS IDEOLOGI KEBANGSAAN
  • 5. 8 9 Pemimpin dan kepemimpinan semakin kehilangan makna hakiki. Hubungan antara rakyat dengan negara bukan sebagai hubungan yang menghadirkan suasana keteduhan perlindungan rakyat dan hak-hak dasariahnya. Cita-cita negara “keadilan sosial bagi seluruh rakyat” kian menjauh capaiannya. Perbaikan sistem tata kelola negara dan pemerintah saatnya dinafasi oleh ruh dan ideologi kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai relijiusitas, kejujujuran, keadilan, dan transparansi. Kehadiran Presiden dan Wakil Presiden tepat waktunya, di saat rakyat memerlukan pemimpin yang, secara jujur dan ikhlas, mendedikasikan diri dan jabatannya sebagai “tenda besar” peneduh dan pelindung rakyat, agar rakyat terbebas dari praktik korupsi sistemik. Keberadaan Negara Republik Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menjaga ketertiban dunia. Tujuan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 tersebut hanya akan terwujud jika bangsa Indonesia mampu memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya secara maksimal1 . Sayangnya, berbagai faktor menyebabkan upaya mewujudkan tujuan mulia tersebut menghadapi kendala. Ada cukup banyak survei dan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masyarakat memandang korupsi sebagai permasalahan utama bangsa yang perlu segera diatasi, jauh di atas faktor lain2 . Di satu sisi, survei dan penelitian ini mengonfirmasi dugaan tentang parahnya tingkat korupsi di Indonesia, tetapi di sisi lain hal tersebut perlu diapresiasi karena paling tidak masyarakat telah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap isu korupsi. Memberantas korupsi memerlukan partisipasi masyarakat, karena ini bukan saja masalah penegakan hukum, tetapi juga tentang cara berpikir dan tingkah laku. Dengan kata lain, korupsi juga merupakan masalah sosial dan budaya. Jika dimanfaatkan dengan baik, maka tingkat kepedulian dan kemarahan masyarakat tersebut merupakan modal yang penting bagi upaya pemberantasan korupsi. 1 Sistem Integritas Nasional Indonesia: konsep dan filosofi, KPK, 2013. 2 Survei Kompas, 2010, menyebutkan bahwa 38,6% masyarakat menempatkan korupsi sebagai permasalahan paling penting, jauh di atas masalah lain seperti krisis ekonomi (15,1%), pengangguran (10,3%), terorisme (9,7%), dan lain-lain. Korupsi di Indonesia bersifat sistemik dan mempunyai sejarah yang panjang; bahkan lebih panjang dari sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri. Pada tahun 1970, Bung Hatta dalam kapasitasnya sebagai penasihat presiden mengatakan bahwa korupsi sudah membudaya di Indonesia3 . Sejarah mencatat bahwa sejak masa penjajahan Belanda, korupsi sudah merajalela; bahkan VOC, sebuah BUMN milik pemerintah Belanda yang bertugas mengeksploitasi Indonesia, terpaksa gulung tikar pada tahun 1779 karena masalah korupsi. VOC digantikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, dimana praktik korupsi tetap tumbuh subur. Setelah masa kemerdekaan, masa orde baru, hingga masa pascareformasi 1998, korupsi tetap subur. Upaya memberantas korupsi bukanlah agenda baru di Indonesia. Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, pemerintahan Presiden Soekarno mengeluarkan berbagai peraturan dan mendirikan beberapa institusi untuk memberantas korupsi termasuk korupsi di lingkungan angkatan bersenjata. Lalu pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah membentuk Tim Empat yang salah satunya bertugas memberantas Korupsi, diikuti dengan berbagai institusi dan peraturan yang semuanya ditujukan untuk menekan tingkat korupsi. Setelah reformasi 1998, pada tahun 2003 didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diikuti dengan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) setahun kemudian. Ada beberapa Instruksi Presiden yang ditetapkan oleh kepala pemerintahan selama periode reformasi. Kehadiran KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah membuka lembaran baru bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pendekatan pemberantasan korupsi yang terkesan formalitas dan basa-basi, yang terjadi sebelum KPK dan pengadilan Tipikor terbentuk, pun diakhiri. Dampaknya, cukup banyak koruptor, yang dikualifikasi sebagai High Ranking Officials, yang tertangkap dan dipidanakan. Sebagai anak kandung reformasi, KPK mendapatkan dukungan luar biasa dari masyarakat. Dukungan tersebut sangat penting, tidak saja dalam mengonsolidasikan upaya memberantas korupsi tetapi juga untuk membangun gerakan sosial antikorupsi. Terlepas dari berbagai upaya untuk memperbaiki keadaan, tingkat korupsi di Indonesia masih jauh dari menggembirakan. Pada tahun 2013, Indonesia berada pada urutan ke-114 dari 177 negara 3 Indonesian Observer, 2 Juli 1970, dalam Korupsi Mengorupsi Indonesia, 2010. Pendahuluan PRAKTIK KORUPSI SISTEMIK
  • 6. 10 11 dalam peringkat Corruption Perception Index (CPI). Kondisi ini tidak lebih baik dari keadaan tahun sebelumnya, dan lebih buruk dari keadaan negara-negara lain di kawasan4 . Negara lain yang memiliki skor sama dengan Indonesia adalah Mesir (32). Skor Indonesia sedikit lebih baik dari Albania (31), Nepal (31), Vietnam (31), dan sedikit lebih buruk dari Ethiopia (33), Kosovo (33), dan Tanzania (33). Meskipun skor CPI 2013 Indonesia tidak beranjak dari skor tahun 2012, yaitu 32, namun Indonesia meningkat empat peringkat. Tahun 2012, Indonesia berada di peringkat 118 dari 176 negara, dan di tahun 2013 peringkat Indonesia menjadi 114 dari 177 negara. Stagnasi tersebut berlawanan dengan tren beberapa tahun terakhir dimana peningkatan CPI Indonesia merupakan salah satu yang paling tinggi di dunia. Bahkan, dalam periode 2003 hingga 2011, Indonesia merupakan salah satu di antara 11 negara yang berhasil meningkatkan skor CPI sebanyak satu poin atau lebih5 . Tanpa inovasi berarti, kemajuan tidak akan berlanjut di masa-masa mendatang. Maraknya korupsi politik di era demokrasi dan korupsi antarnegara di era globalisasi merupakan tantangan nyata. Globalisasi memungkinkan barang, jasa, orang, dan modal berpindah dari satu negara ke negara lain dengan mudah. Sayangnya, kasus korupsi pun ikut serta sebagai penumpang gelap proses globalisasi. Ada kecenderungan bahwa korupsi lintas negara akan semakin sering terjadi di masa mendatang. Pendekatan dan strategi baru diperlukan agar upaya memberantas korupsi dapat tetap dilakukan dengan optimal. Upaya memberantas korupsi hanya akan berhasil jika ia menyentuh akar permasalahan. Korupsi adalah simptom dari rendahnya integritas institusi dan individu, serta adanya sistem yang tidak akuntabel. Mengobati gejala saja tidak akan menyembuhkan. Tanpa memperbaiki integritas suplai koruptor baru akan terjadi dan berbagai kasus korupsi baru akan terus bermunculan. Tanpa memperbaiki integritas, maka sebaik apa pun sistem yang diterapkan akan tetap muncul kolusi. Perang melawan korupsi 4 Diunduh dari cpi.transparency.org/cpi2013/results/, 23 Mei 2014. 5 Wijayanto samirin, Fighting Corruption in Indonesia: the need of new approaches to ensure that progress continues, 2012. akan menjadi perang abadi yang menguras energi dan sulit untuk dimenangkan. Kehadiran integritas di level individu, organisasi, dan nasional merupakan pertahanan terbaik untuk mencegah terjadinya korupsi. Sistem yang akuntabel juga menjadi kata kunci utama lainnya untuk meminimalisir potensi korupsi. Integrasi antara sistem dan integritas inilah yang akan menjadi faktor fundamental pemberantasan korupsi. Dalam merancang konsep yang berpijak dari sejumlah gagasan ini, KPK melaksanakan dua kegiatan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan, dan dari kegiatan dimaksud diperoleh dua sumber informasi. Pertama, mengumpulkan sejumlah hasil kajian dan studi yang telah dikerjakan oleh KPK selama ini. Lansekap hasil kajian dan studi KPK ini merentang pada beberapa bidang yang merupakan isu-isu kepentingan nasional (national interests), mulai dari sistem administrasi pemerintahan, infrastruktur, pajak, pangan, sumber daya alam, sampai pendidikan dan kesehatan. Kedua, menghimpun pendapat-pendapat masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Dalam hal ini kami meminta pendapat dari akademisi, tokoh masyarakat, dan LSM di beberapa daerah. Masyarakat di daerah adalah mereka yang langsung merasakan implementasi kebijakan pemerintah. Suara mereka adalah suara yang aktual, jernih, dan jujur. Lalu, dari dua sumber masukan di atas, disintesiskan dalam sebuah konsep yang memuat gagasan-gagasan KPK. Paling tidak, menurut KPK, dalam membangun bangsa di masa mendatang, sejumlah gagasan dalam konsep ini yang patut menjadi perhatian dan prioritas utama dari para calon presiden dalam Pilpres 2014. Akhirnya, KPK harus terus menerus menaburkan optimisme seraya membangun asa agar perhelatan Pilpres 2014 dapat menghasilkan seorang presiden pilihan rakyat yang kepentingannya hanya ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Untuk itu, KPK berharap gagasan dalam proposal ini dapat dijadikan rujukan dan fundamen kebijakan bagi presiden yang baru.   Pendahuluan DUA SUMBER INFORMASI
  • 8. 14 Ada dua sasaran yang ingin dicapai dalam penyampaian rumusan gagasan ini. Pertama, KPK mengajukan beberapa prasaran mengenai persoalan- persoalan pokok bangsa. Lewat pengajuan gagasan-gagasan yang dirumuskan, KPK tidak berpretensi menyebut bahwa KPK adalah kanal suara rakyat, tetapi sejumlah kajian, studi, dan analisis KPK beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah serta implementasinya menggiring pada kesimpulan bahwa masyarakat belum banyak merasakan dampak pembangunan. Semoga persoalan-persoalan yang diajukan ini dapat menjadi perhatian utama tiap kandidat presiden. Dengan begitu, kemudian, diharapkan ide dan gagasan yang dirumuskan menjadi suatu program dan menjadi fokus strateginya ketika kandidat presiden ini, kelak secara definitif, menduduki kursi jabatan sebagai presiden. Kedua, kandidat presiden dan KPK sejak awal sudah menciptakan komunikasi konstruktif untuk kepentingan program pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dan KPK sebagai lembaga negara, pada hakikatnya, secara bersama, mempunyai kepentingan yang sebangun: mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera6 . Dua dari lima tugas utama KPK adalah upaya pencegahan dan monitor7 . Upaya pencegahan adalah sekumpulan usaha yang dilakukan untuk dapat menangkal munculnya perilaku korupsi. Tugas monitor adalah melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi semua lembaga negara dan pemerintah, dan menyampaikan saran perbaikan bila dari hasil pengkajian diketahui bahwa sistem tersebut berpotensi korupsi8 . Oleh sebab itu, bila dari mula telah disepakati pokok problem dan tantangan pemberantasan korupsi, maka diharapkan ke depannya akan terbuka peluang untuk bekerjasama secara lebih maksimal dengan KPK. Dengan begitu, hubungan yang tercipta adalah hubungan yang saling mendukung menuju perbaikan tata sistem pemerintahan yang bebas dari perilaku korupsi. 6 Pembukaan UUD 1945 dan salah satu pertimbangan (konsideran) dalam pembentukan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). 7 Pasal 6 dan pasal 13 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. 8 Pasal 14 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Prawacana
  • 9. 16 17 Rasanya kita tak akan kaget membaca data di bawah ini. Semua data itu adalah sesuatu yang lumrah. Bahkan, mungkin, kita sendiri pun tiap hari menyaksikan langsung kenyataan tersebut. Dalam lima tahun terakhir, penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia sangat rendah. Sejak 2009 sampai 2013, tingkat kemiskinan hanya turun 3,98 juta. Lengkapnya, berdasarkan data BPS, dapat terlihat bahwa pada 2009 jumlah orang miskin adalah sebesar 32,53 juta; pada 2010 sebesar 31,03 juta; pada 2011 sebesar 30,02 juta; pada 2012 sebesar 28,59 juta; dan pada 2013 sebesar 28,55 juta. Penurunan Tingkat Kemiskinan Sumber: BPS (diolah) Kondisi di atas diperburuk oleh penurunan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia yang cenderung statis. Tingkat pengangguran hanyaturunsebesar700ribuorang,dari7,87jutapada2009menjadi 7,17 juta pada 2013. Lebih rinci, data dari BPS memperlihatkan bahwa pada 2009 jumlah pengangguran adalah sebesar 7,87 juta; pada 2010 sebesar 7,14 juta; pada 2011 sebesar 7,70 juta; pada 2012 sebesar 7,24 juta; dan, pada 2013 sebesar 7,17 juta. Penurunan Tingkat Pengangguran Sumber: BPS (diolah) Pada tingkat kemiskinan dan pengangguran yang relatif tinggi tersebut, sangat wajar bila sebagian masyarakat miskin dan para penganggur bekerja di sektor-sektor informal. Penduduk miskin dan penganggur, yang bekerja di sektor informal, umumnya memiliki kemampuan dan modal yang minim, sehingga tidak punya pilihan selain menekuni pekerjaan informal itu9 . Akibatnya, mereka dituntut mengupayakan apa saja untuk mendapatkan sedikit keuntungan atau imbalan, sekadar untuk menyambung hidup. Sampai 2013, dari data BPS, sebanyak 60,02 persen atau 68,40 juta penduduk Indonesia, bekerja di sektor informal. Dan, jelaslah bahwa kondisi ini bukanlah kenyataan ekonomi dan realitas sosial yang menggembirakan. Pada sisi lain, ketimpangan ekonomi dan sosial tampak jelas terlihat. Koefisien Gini, yang merupakan indikator utama ketimpangan ekonomi atau kesenjangan pendapatan penduduk, menunjukkan hal tersebut. Berdasarkan data BPS, pada 2009, rata-rata koefisien gini Indonesia adalah sebesar 0,37; pada 2010 sebesar 0,38; pada 2011 sebesar 0,39; pada 2012 sebesar 0,41; dan, pada 2013, sebesar 0,41. Kian besar nilai koefisien, kian tinggi tingkat kesenjangan. 9 Faisal Basri dan Haris Munandar, Lanskap ekonomi Indonesia: kajian dan renungan terhadap masalah-masalah struktural, transformasi baru, dan prospek perekonomian Indonesia, Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2009. Prawacana 32,53 juta 31,03 juta 30,02 juta 28,59 juta 28,55 juta 7,87 juta 7,14 juta 7,70 juta 7,24 juta 7,17 juta 2009 2010 2011 2012 2013 2009 2010 2011 2012 2013
  • 10. 18 19 Koefisien Gini Sumber: BPS (diolah) Di sisi lain, Standar Pembangunan Manusia (SPM) Indonesia relatif rendah di tingkat ASEAN. Pada tahun 2013, misalnya, Indonesia rangking 121 dari 187 negara, di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Philipina. Lebih daripada itu, tidak dapat dibantah bahwa kualitas pelayanan publik tidak kalah memprihatinkan. Pelayanan publik, sesuai UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warganegara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Pada 2013, institusi pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI, mengumumkan lima kementerian yang memperoleh penilaian rendah dalam pelayanan publiknya, yakni Kementerian Pekerjaan Umum, Pertanian, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Sosial, dan Pendidikan dan Kebudayaan. Indikator utama survei adalah terutama tidak transparan dalam memajang lama waktu pelayanan, biaya pelayanan, dan maklumat pelayanan. Poin penting penunjang pelaksanaan pelayanan publik adalah kemampuan birokrasi mengelola dan menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel. Birokrasi layanan publik tidak boleh memberikan pelayanan secara diskriminatif, yaitu memandang penduduk atas dasar status, pangkat, dan golongan10 . 10 Messi, 1999 Sulit dipungkiri, masalah-masalah di atas timbul karena masifnya korupsi. Persoalan korupsi mengakibatkan tingkat kemiskinan yang tinggi, tingkat pengangguran yang menaik, pekerjaan di sektor informal membesar, kesenjangan kesejahteraan melebar, dan menurunnya kualitas pelayanan publik. Korupsi sungguh merenggut hak rakyat untuk hidup sejahtera. Padahal, negara berkewajiban memajukan derajat kemakmuran rakyatnya. Negara musti sanggup memuaskan tuntutan kesejahteraan sosial rakyatnya. Hak konstitusi adalah hak yang melekat pada tiap warganegara untuk meraih perlindungan, kesetaraan, kehidupan layak, dan kesejahteraan11 . Kewajiban dan tanggung jawab itu harus terpenuhi, apakah negara itu kaya atau tidak, karena bila tidak negara tersebut patut dikategorikan sebagai negara gagal, failed-state12 . Dalam penjelasannya, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan secara terang bahwa tingkat korupsi yang masif di Indonesia membawa bencana, tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Kewajiban negara menyejahterakan rakyatnya sesungguhnya sudah tertuang secara tegas dan eksplisit dalam konstitusi. Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pasal 28H ayat 1 (perubahan kedua) tercetus amar: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Lalu, pasal 28H ayat 2 memberi mandat bahwa “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Dan, pasal 28H ayat 3 memerintahkan negara agar “setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” 11 Bahari, Kompas, 26 September 2012. 12 Sri-Edi Swasono, 2012. KORUPSI KONSTITUSI 2009 2010 2011 2012 2013 0,37 0,38 0,39 0,41 0,41 Prawacana
  • 11. 20 21 Lebih jauh, sejumlah pasal lain dalam konstitusi menguatkan tanggung jawab negara untuk memajukan kesentosaan warganya. Pasal 33 ayat 3 berbunyi, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pasal 34 ayat 1 (amandemen keempat) mengamanatkan bahwa “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Kemudian, pasal 34 ayat 2 mendesak negara untuk “mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Lalu, dalam pasal 34 ayat 3 disebutkan bahwa “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Pasal-pasal di atas memberi amanat agar tiap warganegara bisa bebas dari ketakberdayaan. Pesan konstitusi ini sesungguhnya sudah jauh lebih dahulu sebelum Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi tahun 1998, mengatakan perlunya pembangunan sebagai proses menuju kebebasan. Bila pembangunan adalah sebuah proses menuju kebebasan, maka, bagi Sen, pembangunan mensyaratkan sirnanya sumber-sumber utama ketidakbebasan. Pangkal pokok ketakmandirian itu adalah kemiskinan, tirani, peluang berusaha yang diisolasi oleh negara, penghirauan akan penyediaan fasilitas-fasilitas yang bermanfaat bagi publik, pemerintahan yang represif, negara yang otoriter, dan masyarakat yang intoleran13 . Bila diperhatikan sejumlah fakta korupsi belakangan ini, kemudian membandingkannya dengan amanat konstitusi (UUD 1945), maka terlihat bahwa korupsi sesungguhnya adalah pelanggaran terhadap konstitusi. Dalam konteks ini, muncul semacam korupsi konstitusi14 . Maksudnya adalah bahwa ada kesengajaan untuk mengingkari amanat konstitusi; mengabaikan pesan-pesan konstitusi. Memerhatikan pelaku korupsi berdasarkan jabatan sejak tahun 2004-2013 cukup membuat miris, karena menunjukkan bahwa semua lini penyelenggara negara baik legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun masyarakat atau dunia usaha telah terjerat dalam tindakan dan perilaku yang korup. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di berbagai bidang kehidupan, dengan pelaku yang berpendidikan 13 Amartya Sen, Development as Freedom, 1999. 14 Istilah “korupsi konstitusi” dipinjam dari Revrisond Baswir (paparan di depan forum diskusi KPK, 21 Mei 2014). tinggi, kekayaan yang sudah memadai, dan pemahaman agama yang mumpuni. Perilaku korup oleh mereka yang sudah berkecukupan secara materiil tersebut kita sebut corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan. Grand corruption menyebabkan kerugian negara yang sangat besar secara finansial maupun non-finansial, yang tidak hanya menggerus keuangan negara tetapi juga telah merampas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Korupsi yang dilakukan secara tersembunyi banyak terjadi karena adanya kolusi antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik, dan para pengambil kebijakan publik. Dengan pengaruh yang dimilikinya, kelompok kepentingan tertentu memengaruhi pengambil kebijakan agar mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. Apabila pengaruh kelompok tersebut begitu besar dan seolah dapat mengontrol proses perumusan kebijakan publik, maka fenomena inilah yang sering disebut dengan state capture atau elite capture. Tabulasi Data Pelaku Korupsi Berdasarkan Jabatan Tahun 2004- 2014 (per 31 Maret 2014) Sumber: KPK, 2014 Sebagai gambaran singkat, sejak berdiri sampai dengan tahun 2013, KPK telah menyelamatkan total kerugian negara sebesar Rp 248,89 Triliun. Uang negara sebesar itu terdiri atas perolehan dari upaya penindakan dan upaya pencegahan melalui penyelamatan kerugian negara sebesar Rp 197,39 Triliun. Juga, dari potensi penyelamatan kerugian negara dengan program pencegahan sebesar Rp 51,50 Triliun. Prawacana No Jabatan 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 Jumlah 1 Anggota DPR & DPRD 0 0 0 2 7 8 27 5 16 8 0 73 2 Kepala Lembaga/ Kementerian 0 1 1 0 1 1 2 0 1 4 1 12 3 Duta Besar 0 0 0 2 1 0 1 0 0 0 0 4 4 Komisioner 0 3 2 1 1 0 0 0 0 0 0 7 5 Gubernur 1 0 2 0 2 2 1 0 0 2 0 10 6 Walikota/Bupati & Wakil 0 0 3 7 5 5 4 4 4 3 0 35 7 Eselon I/II/III 2 9 15 10 22 14 12 15 8 7 1 115 8 Hakim 0 0 0 0 0 0 1 2 2 3 2 10 9 Swasta 1 4 5 3 12 11 8 10 16 24 1 95 10 Lainnya 0 6 1 2 4 4 9 3 3 8 1 41 Jumlah 4 23 29 27 55 45 65 39 50 59 6 402
  • 12. 22 23 Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara oleh KPK 2005-2013 Sumber: KPK, 2014 Dari uang yang dapat diselamatkan tersebut, bila dikonversikan, maka sesungguhnya uang itu bisa digunakan bagi pembangunan 2,5 juta unit rumah sederhana gratis, atau memberikan susu gratis kepada anak rawan gizi sebanyak 22,6 miliar liter, atau memberikan sekolah gratis kepada 429 juta anak SD selama setahun, atau memberikan 29,3 miliar kilogram beras gratis bagi penduduk yang rawan pangan, atau membangun 1,9 juta unit ruang kelas Sekolah Dasar, atau membangun 1,8 juta unit ruang kelas Sekolah Menengah Pertama, atau memberikan 49 juta unit komputer untuk sekolah-sekolah, atau memberikan bantuan modal usaha untuk 25 juta sarjana baru, atau memberikan modal pendirian 4,9 juta koperasi di tengah-tengah masyarakat. Potensi Konversi Penyelamatan Uang Negara untuk Rakyat Pembangunan rumah sederhana 2,5 juta unit rumah, atau Pemberian susu gratis kepada anak rawan gizi 22,6 miliar liter susu, atau Menyediakan sekolah gratis pada anak SD 429 juta anak SD, atau Pemberian beras bagi penduduk rawan pangan 29,3 miliar kilogram beras, atau Pembangunan ruang kelas Sekolah Dasar 1,9 juta unit ruang kelas SD, atau Pembangunan ruang kelas SMP 1,8 juta unit ruang kelas SMP, atau Menyediakan komputer untuk sekolah 49 juta unit komputer, atau Menyediakan bantuan modal usaha bagi sarjana baru 25 juta sarjana baru, atau Menyediakan modal bagi pendirian kope- rasi 4,9 juta koperasi baru. Semua data dan beberapa gambaran wajah bangsa di atas sesungguhnya adalah fakta-fakta usang yang terus menghantui negeri ini. Hal-hal di atas pasti akan menjadi pekerjaan rumah bagi presiden baru, sehingga bagaimanapun inilah tanggung jawab utama dan pertama buat presiden baru. Seorang presiden merupakan pengemban amanat rakyat. Dan, seorang pengemban amanat rakyat, pada hakikatnya, adalah pengemban amanat konstitusi. Lalu, dalam amanat konstitusi terkandung pesan bahwa kekayaan Indonesia dikuasai oleh negara. Oleh karena itu, presiden adalah dia yang wajib menjaga kekayaan negara. Presiden adalah representasi negara karena dia adalah kepala negara. Prawacana PEKERJAAN RUMAH BAGI PRESIDEN BARU No. Penindakan RUPIAH U$D Penindakan 1 Jumlah uang yang disetor ke Kas Negara dari Tindak Pidana Korupsi 1,175,478,834,227.30 2 Jumlah uang yang disetor ke Kas Negara dari Gratifikasi 18,194,957,229.00 Sub Jumlah 1,193,673,791,456.30 Pencegahan 1 Penyelamatan keuangan negara akibat pengalihan hak milik negara (HMN) yang dapat dicegah pada 25 Kementerian/ Lembaga 2009 s.d Oktober 2011 2,876,296,051,256.00 2 Penyelamatan keuangan dan kekayaan negara dari sektor hulu migas 186,620,009,340,084.00 3 Penyelamatan dari alokasi gas bumi untuk pupuk Tahun 2013 6,700,000,000,000.00 Sub Total 196,196,305,391,340.00 Total Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara (Penindakan + Pencegahan) 197,389,979,182,796.00 Program Pencegahan 1 Potensi penerimaan negara bukan pajak akibat pinjam pakai kawasan hutan oleh pertambangan per Agustus 2013 15.900.000.000.000,00 2 Potensi royalti yang tidak dibayarkan oleh perusahaan batubara dan mineral per Agustus 2013 6.777.607.062.722,36 3 Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Mineral (Laporan Surveyor) dari 180 Perusahaan Pertambangan Mineral (2011) 24,661,547.49 4 Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Batubara (Laporan Surveyor) dari 198 Perusahaan Pertambangan Batubara (2010-2012) 1,224,212,608.84 5 Potensi penerimaan pajak yang hilang akibat perbedaan data produksi batubara antara data Ditjen Minerba KemESDM dengan data BPS (2012) 28,500,000,000,000.00 6 Piutang PNBP (iuran tetap dan royalti) pelaku usaha pertambangan minerba di 8 Provinsi (2011-2013) 331,275,179,147.00 546,111,426.00 Total Potensi Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara (Pencegahan) 51,508,882,241,869.40 1,794,985,582.33 Grand Total Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara 248,898,861,424,666.00 1,794,985,582.33
  • 13. 24 25 Apa yang dimaksud “dikuasai oleh negara”? Dalam Putusan Perkara Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003 disebutkan bahwa pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Lebih lanjut, rakyat, secara kolektif, memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan(bestuursdaad),pengaturan(regelendaad),pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan, lisensi, dan konsesi. Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama pemerintah, dan regulasi oleh pemerintah. Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Daerah sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara, c.q. pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat15 . 15 Putusan MK ini juga dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 01 Tahun 2005, terbit Selasa, 4 Januari 2005, hal. 208-209. Dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia, presiden adalah salah satu ikon penting dalam upaya tersebut. Presiden adalah simbol sekaligus cermin dalam ikhtiar pemberantasan korupsi. Dalam kerangka berpikir seperti itu, beberapa langkah yang harus dilakukan presiden mendatang adalah berkomitmen untuk: 1. Menolak dan melaporkan segala bentuk gratifikasi. 2. Menentang setiap usaha yang akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. 3. Meningkatkan kepatuhan atas Konvensi International tentang Antikorupsi (UNCAC). 4. Mewajibkan pendirian Unit Pengendalian Gratifikasi dan LHKPN di setiap Kementerian dan Lembaga. 5. Mewujudkan adanya tes integritas dalam proses rekrutmen dan promosi di Kementerian dan Lembaga. 6. Tidak memberikan ruang kepada keluarganya untuk dapat mengakses dana yang berasal dari APBN. 7. Menutup munculnya faktor nepotisme dan kolusi dalam proses pelaksanaan kepemerintahan.   PERAN PRESIDEN DALAM PEMBERAN- TASAN KORUPSI Prawacana
  • 15. 28 29 Berdasarkan prawacana di atas, beberapa gagasan yang akan disampaikan di sini merupakan abstraksi atas persoalan-persoalan aktual yang sudah diutarakan sebelumnya pada bagian prawacana. KPK berkeyakinan bahwa korupsi dan kelemahan sistem pemerintahan adalah akar dari semua masalah di atas. Semua masalah tersebut merentang mulai dari penataan birokrasi, perbaikan sistem administrasi kependudukan, pengelolaan sumber daya alam, ketahanan dan kedaulatan pangan, penyediaan infrastruktur, pembenahan aparat penegak hukum, penguatan partai politik, sampai peningkatan kesejahteraan sosial. Singkatnya, bagi KPK, seorang presiden harus mengenal aparat birokrasinya, mengerti penduduknya (jumlah, struktur riil, dan data penduduk), mengetahui berapa besar sumber daya alam dan aset negara, memahami persoalan pangan, mengambil sikap untuk menyediakan infrastruktur yang memadai, menyadari pentingnya membangun aparat penegak hukum yang kuat (kepolisian dan kejaksaan), memperkuat sistem politik, memerhatikan kesejahteraan sosial, dan membangun pendidikan nilai dan keteladanan bagi warganya. Secara garis besar, upaya-upaya pemberantasan korupsi yang disampaikan dalam buku ini meliputi delapan agenda yaitu: 1. Agenda reformasi birokrasi dan perbaikan administrasi kependudukan 2. Agenda pengelolaan sumber daya alam dan penerimaan negara 3. Agenda ketahanan dan kedaulatan pangan 4. Agenda perbaikan infrastruktur 5. Agenda penguatan aparat penegak hukum 6. Agenda dukungan pendidikan nilai dan keteladanan 7. Agenda perbaikan kelembagaan partai politik 8. Agenda dukungan pendidikan nilai integritas dan keteladanan. Agenda-agenda di atas akan diuraikan lebih jauh dalam uraian selanjutnya.   AGENDA 1: REFORMASI BIROKRASI DAN PERBAIKAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 memaparkan lima agendaperubahanbirokrasi.KelimaagendatersebutadalahSumber Daya Manusia aparatur yang berintegritas, kompeten, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera; meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN; meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi; pelayanan publik prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat; birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi. Namun, sejumlah agenda reformasi birokrasi tadi belum menunjukkan hasil menggembirakan. Beberapa survei dan penilaian memperlihatkan kondisi yang cukup suram mengenai birokrasi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bila membandingkan Peraturan Presiden No 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dengan kondisi aktual, maka akan muncul beberapa kesenjangan. Hal ini dapat terlihat pada tabel di bawah ini: Wacana “Jalan paling mendasar untuk menata birokrasi adalah melalui reformasi birokrasi.”
  • 16. 30 31 Kesenjangan Grand Design Reformasi Birokrasi dengan Kondisi Aktual Agenda Perubahan Hasil yang Diharapkan Kondisi Faktual Sumber Daya Manusia aparatur Aparatur yang berintegritas, kompeten, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera. Hasil evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau LAKIP (2013), jumlah instansi yang mendapatkan nilai A dan B baru mencapai 32.2 persen. Pengawasan Meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Transparensy International (2013) mencatat indeks korupsi Indonesia masih rendah (skor 32 dari 100). Akuntabilitas Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja keuangan birokrasi. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2012, jumlah LKPD yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) baru 27 persen dari total 415 LKPD yang diaudit. Pelayanan publik Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. Survei Integritas KPK (2013) menunjukkan kualitas pelay- anan publik Indonesia baru mencapai indeks 6,80 dari skala 10. Pola pikir dan budaya kerja Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi. Sumber: Perpres No. 81/2010, MenPAN-RB (2013), TI (2013), BPK (2012), KPK (2013), KOMPAS (diolah). Lebih jauh, berdasarkan hasil kajian Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK di tahun 2011 terhadap pengadaan dan pemberhentian PNS, ditemukan bahwa dalam proses manajemen SDM PNS masih terindikasi beberapa potensi penyimpangan. Hal tersebut diakibatkan oleh kelemahan dalam proses pada tahapan pengadaan dan pemberhentian, yang terangkum dalam delapan temuan, yaitu: 1. Tidak diterbitkannya pedoman pelaksanaan pengadaan CPNS setelah tahun 2007. 2. Belum kredibelnya proses seleksi CPNS yang berasal dari tenaga honorer. 3. Belum diaturnya jadwal untuk setiap tahap pengadaan CPNS yang bersumber dari pelamar umum dalam pedoman pelaksanaan pengadaan CPNS. 4. Tidak ditetapkannya nilai minimal kelulusan (passing grade) untuk menentukan kelulusan tes pelamar CPNS. 5. Tidak handalnya instrumen penilaian CPNS dalam masa percobaan. 6. Tidak adanya persyaratan yang terukur bagi PPK untuk menetapkan perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS tertentu. 7. Tidak jelasnya kriteria pelanggaran disiplin berat yang dapat dikenai sanksi pemberhentian. 8. Adanya potensi subyektifitas dalam PP No. 4 Tahun 1966 pasal 4 ayat 1 huruf b tentang penentuan gaji PNS yang diberhentikan sementara. Penataan birokrasi dilaksanakan melalui upaya reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi dimaksudkan mengubah paradigma pengelolaan administrasi negara dari administrasi klasik menuju sistem administrasi yang menerapkan prinsip-prinsip good governance (akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi). Paradigma administrasi negara yang harus dibangun adalah yang berorientasi pada hasil, pendelegasian wewenang, dan fokus pada kepuasan masyarakat pengguna. Adapun, dalam penerapan paradigma tersebut, yang musti didorong presiden dalam pelaksanaan reformasi birokrasi yakni: 1. Reformasi pelayanan publik Muara akhir yang ingin dicapai dari reformasi pelayanan publik yaitu peningkatan kepuasan masyarakat pengguna layanan. Oleh karenanya, spirit yang ditanamkan adalah mengimplementasikankonsep one stop service,memudahkan pengguna dan memberikan dukungan kenyamanan layanan bagi semua lapisan. Reformasi pelayanan publik perlu dijadikan fokus program presiden mendatang. Hal ini mengingat masih buruknya kualitas layanan publik yang ada. Kondisi ini bisa terlihat dari beberapa indikator. Pengukuran Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari Transparency International selama kurun waktu 2004-2013 menunjukkan nilai IPK Indonesia masih berada di level angka 32 (dari maksimum 100). Tidak berbeda jauh, hasil Survei Integritas Layanan Publik yang dilaksanakan KPK menunjukkan masih rendahnya integritas layanan publik di tingkat pusat maupun daerah. Rata-rata indeks integritas layanan publik di instansi pusat adalah 7,37 (dari maksimal 10). Sementara, pada instansi vertikal sebesar 6,71; dan pada pemerintah daerah sebesar 6,82 (KPK, 2013). PENATAAN BIROKRASI Wacana
  • 17. 32 33 Dari dua indikator tersebut, reformasi pelayanan publik menjadi penting untuk dilaksanakan. Rendahnya kualitas layanan publik yang ada mengindikasikan masih tingginya korupsi di sektor tersebut. Di sisi lain, buruknya kualitas layanan publik juga mengurangi daya saing negara di tingkatan global. 2. Reformasi kepegawaian Reformasi kepegawaian merupakan keniscayaan di tengah carut marutnya sistem kepegawaian. Hal ini sebagaimana terlihat pada beberapa kondisi di bawah ini: • Adanya dikotomi pegawai pusat dan daerah pasca- penerapan otonomi daerah. Dikotomi pegawai pusat dan daerah menyebabkan pengkotak-kotakkan pegawai negeri sipil. Akibatnya, pola pembinaan karir pegawai (mutasi, rotasi, promosi, demosi) menjadi terbatas. • Beragamnya status kepegawaian dari individu yang bekerja di lembaga-lembaga negara dan pemerintah. Status umum pegawai di sektor publik adalah pegawai negeri sipil. Namun, untuk lembaga-lembaga kuasi (contoh: KPK, KPPU), status kepegawaian belum diatur dan belum terangkum dalam peraturan kepegawaian nasional. Oleh karenanya, terdapat ketidakjelasan dalam pengelolaan kepegawaian nasional. • Struktur dan besaran penggajian pegawai negeri yang tidak kompetitif. Struktur penggajian pegawai negeri belum mampu menarik lulusan-lulusan terbaik untuk menjadi bagian dari sistem birokrasi. Belum kompetitifnya struktur dan penggajian pegawai negeri menjadikan sumber daya manusia yang terbaik cenderung memilih sektor swasta. • Pentingnya kriteria pejabat di Kementerian dan Lembaga berbasis pada keunggulan kompetensi, profesionalitas, dan independensi. 3. Reformasi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah Reformasi aparat pengawasan internal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi. Reformasi ini terbagi atas dua komponen, yakni reformasi kelembagaan aparat pengawas internal pemerintah (APIP) dan reformasi metode pengawasan APIP. Secara kelembagaan, struktur organisasi APIP menyebabkan peran strategis yang diemban sulit untuk terlaksana. APIP cenderung tidak berkutik apabila berhadapan dengan pimpinan institusi. Hal ini alamiah mengingat secara struktur organisasi APIP berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan institusi. Selain itu, fokus kerja APIP perlu direformasi. Selama ini, sumber daya yang ada lebih diarahkan untuk melakukan audit keuangan. Hal ini perlu dikembalikan pada tugas pokok utama dari APIP. APIP merupakan unit kerja yang memiliki fungsi untuk memastikan sumber daya yang ada di institusi dimanfaatkan untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, audit kinerja harus menjadi prioritas APIP dalam melaksanakan fungsi pengawasannya. 4. Reformasi pengelolaan APBN dan APBD Reformasi pengelolaan APBN dan APBD bertujuan memastikan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap pengelolaan APBN dan APBD dilakukan secara akuntabel, transparan, dan berkeadilan. Fenomena yang ada menunjukkan implementasi prinsip-prinsip tersebut belum dilaksanakan secara menyeluruh. Hal ini terlihat dari hasil pemeriksaan keuangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selain itu, Laporan Kinerja Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menunjukan masih belum tertibnya pelaksanaan dan pencatatan aset. Kondisi ini mengindikasikan program-program pemerintah guna mengakselerasi pembangunan masih dipertanyakan ke- efektif-an maupun ke-efisien-annya. Banyak kebijakan pemerintah, yang ada hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan penduduk, menemui kendala dalam penerapannya. Penduduk yang seharusnya berhak menerima dana bantuan sosial, misalnya, dalam praktiknya di lapangan tidak memperoleh dana tersebut. Para siswa sekolah dasar dan menengah, yang seharusnya memperoleh dana bantuan siswa miskin, contoh lainnya, tidak mendapatkan akses kepada dana itu16 . Jumlah penduduk miskin dan rentan miskin belum secara pasti dimiliki pemerintah. Dalam konteks ini adalah juga persoalan jumlah riil wajib pajak yang masih kabur. 16 Hasil Kajian Kebijakan Bantuan Sosial, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2012. Wacana PERBAIKAN SISTEM ADMINISTRASI KEPENDUDU- KAN
  • 18. 34 35 Akar masalah di atas, salah satunya, adalah lemahnya pendataan kependudukan. Di sinilah urgensi penerapan nomor identifikasi tunggal atau Single Identification Number (SIN). Dengan adanya SIN, pemerintah dapat dengan mudah memantau dan menentukan kebijakan (baik itu kebijakan sosial, ekonomi, atau politik) apa yang diperlukan secara nyata oleh penduduk. Nomor Identifikasi Tunggal menjadi penting karena tiga hal. Pertama, NIK adalah hak konstitusional bagi setiap penduduk. Identitas kependudukan merupakan hak asasi setiap warganegara Indonesia. Hak ini tertuang dalam pasal 28D ayat 4 UUD 1945, bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Kedua, administrasi kependudukan yang baik akan meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap program-program pemerintah. Hal ini agar program-program pemerintah lebih tepat sasaran dan efisien, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penduduk Indonesia melalui peningkatan kualitas pelayanan di bidang pendidikan, peningkatan derajat kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan daya beli masyarakat, serta peningkatkan kualitas dalam pelayanan publik. Ketiga, NIK yang bersifat unik dan tunggal sangat diperlukan untuk mencegah timbulnya identitas ganda dan penyalahgunaannya. Contohnya, permasalahan NIK ganda pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu. Identitas ganda juga akan mempersulit proses penegakan hukum, misalnya dalam pelacakan aset, dan pencekalan tersangka atau terdakwa ke luar negeri. Pada dasarnya falsafah SIN telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Di sana disebutkan bahwa identitas tunggal penduduk Indonesia dikenal sebagai Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK adalah nomor identitas penduduk yang unik atau khas, tunggal, dan melekat sepanjang masa pada seorang warganegara Indonesia. Bersifat unik atau khas memiliki arti bahwa setiap warganegara hanya mempunyai satu nomor identitas, yang tidak tergantikan dan berlainan untuk tiap warganegara17 . Namun, tentu saja, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 harus diimplementasikan dan dilaksanakan secara konkrit. SIN atau NIK selanjutnya harus dikembangkan lewat Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). SIAK adalah sistem informasi 17 Laporan pemantauan SIN, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2011. yang melakukan pengolahan dan penyimpanan data, yang memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan di tingkat penyelenggara dan instansi pelaksana sebagai satu kesatuan. Singkatnya, SIAK direncanakan sebagai suatu sistem yang mengumpulkan, merekam, mengolah, menyimpan, dan memutakhirkan data secara berkelanjutan, yang merupakan hasil dari bentuk pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil18 . Beberapa hal yang seharusnya menjadi perhatian presiden mendatang terkait perbaikan SIN atau NIK adalah: Pertama, evaluasi terhadap grand design pengembangan sistem informasi kependudukan. Grand design memuat cetak biru sistem informasi (IT blue print), yang menjelaskan secara detail aspek teknologinya. Evaluasi terhadap grand design dilakukan pada sejumlah aspek, yang meliputi penetapan sasaran kegiatan, formulasi kebutuhan, pemilihan teknologi, pendekatan dan metodologi, serta perencanaan implementasi. Lalu, dalam grand design harus ada penjelasan mengenai detail strategi implementasi yang memuat project management kendali program (monitoring dan evaluasi), migration plan, dan strategi sosialisasi dan kampanye. Selain itu, grand design harus pula bisa menjelaskan detail proses pembersihan database kependudukan untuk menghindari NIK ganda. Kedua, penggunaan teknologi biometrik. Dengan saran ini diharapkan dapat dipastikan digunakannya teknologi biometrik yang tepat dan handal. Dengan begitu dapat dijamin ketunggalan identitas seorang warganegara melalui verifikasi tiap data individual terhadap database dari seluruh penduduk Indonesia (one to many). Ketiga, pelaksanaan evaluasi e-KTP. Presiden mendatang seharusnya bisa memastikan adanya evaluasi secara mendalam terhadap pelaksanaan proyek e-KTP.   18 Laporan pemantauan SIN, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2011 Wacana
  • 19. 36 37 AGENDA 2: PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN PENERIMAAN NEGARA Rakyat Indonesia memberi kepercayaan kepada negara untuk mengelola sumber daya alam. Dengan sumber daya alam yang dikuasainya, negara wajib mengelolanya demi menghasilkan pendapatankeuangannegarayangoptimal.Negarajugaselanjutnya wajib mendistribusikan uang negara kepada masyarakat, secara adil dan merata. Hal ini agar tercipta masyarakat Indonesia yang sejahtera. Rakyat Indonesia memberi kepercayaan kepada negara untuk mengelola sumber daya alam sebagaimana amanat UUD 1945. Walaupun kepercayaan tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk hak menguasai negara yang diatur secara khusus dalam berbagai aturan perundang-undangan yang terkait dengan sektor sumber daya alam, amanat pelaksanaannya tidak boleh lepas dari semangat pasal 33 UUD 1945. Terkait pengelolaan sumber daya alam, setidaknya terdapat tiga hal yang harus mendapatkan perhatian besar presiden mendatang. Ketiganya adalah pertambangan (khususnya mineral dan batubara), kehutanan, serta perikanan dan kelautan. Di sektor pertambangan, hasil kajian KPK menemukan sepuluh aspek penting terkait pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, yang diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, namun hingga kini belum selesai dilaksanakan19 . Kesepuluh aspek tersebut adalah: Satu, renegosiasi Kontrak (34 Kontrak Karya (KK) dan 78 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)). Pasal 169 UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) mewajibkan adanya penyesuaian ketentuan yang tercantum dalam kontrak dengan UU Minerba paling lambat satu tahun sejak 12 Januari 2009. Sejalan dengan hal tersebut, dalam kerangka acuan pemerintah terkait dengan renegosasi, setidaknya terdapat enam hal yang akan dinegosiasikan ulang 19 Hasil kajian Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2013. dengan pemegang kontrak. Hal tersebut mencakup: luas wilayah kontrak, penerimaan negara, divestasi, penggunaan komponen dalam negeri, tenaga kerja, dan pengolahan dan pemurnian. Namun hingga saat ini, belum ada satupun kontrak baru (hasil renegosasi) yang ditandatangani bersama antara pemerintah dengan pemegang kontrak. Dua, peningkatan Nilai Tambah dalam Bentuk Pengolahan dan Pemurnian Hasil Tambang mineral dan batubara. UU Minerba sesuai dengan pasal 170 mewajibkan adanya kegiatan pemurnian hasil pertambangan mineral oleh pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi, paling lambat 12 Januari 2014. Kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan mineral oleh pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) operasi produksi, paling lambat dilakukan 12 Januari 2014 sesuai dengan pasal 112 PP No. 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Hingga saat ini pemerintah belum mengambil sikap yang tegas terkait dengan kewajiban pemurnian oleh KK dan pengolahan dan pemurnian oleh IUP dan IUPK. Bahkan pemerintah memberikan kelonggaran (relaksasi) kepada KK dan IUP/IUPK untuk mengekspor bahan mentah mineral (ore) hingga 12 Januari 2017. Tiga, penataan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan. UU Minerba mewajibkan adanya penyesuaian Kuasa Pertambangan menjadi Izin Usaha Pertambangan. UU Minerba juga memberikan kewenangan secara bertingkat dalam pemberian izin kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Namun, berdasarkan hasil evaluasi Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, saat ini jumlah IUP yang belum berstatus clean and clear sebesar 4.912 (44,99 persen) dari sebanyak 10.916 IUP. Persentase tersebut baru mempertimbangkan aspek administrasi, kewilayahan, serta keuangan (PNBP), dan belum memperhatikan aspek lingkungan, pajak, kehutanan, pertanahan, tata ruang, dan pertanahan. Empat, peningkatan Kewajiban Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri (Domestic Market Obligation). UU Minerba mewajibkan adanya pemenuhan kebutuhan dalam negeri sebelum hasil tambang mineral dan batubara diekspor. Namun, hingga saat ini belum ada upaya sistematis dari pemerintah untuk meningkatkan MINERAL DAN BATUBARA Wacana “Indonesia dikaruniai limpahan tambang dan mineral. Juga, kekayaan hayati dan beraneka ragam sumber energi. Sumber daya alam ini berada di atas maupun di bawah perut bumi nusantara. Anugerah mulia yang memayungi bangsa Indonesia.”
  • 20. 38 39 kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri antara lain melalui sinergi dengan sektor hilir yang menyerap bahan tambang sebagai bahan bakunya. Hal ini menyebabkan sebagian besar barang tambang mineral dan batubara dieskpor ke luar negeri. Lima, pelaksanaan kewajiban pelaporan secara reguler. UU Minerba mewajibkan pemegang KK, PKP2B, IUP, dan IUPK melaporkan secara reguler kegiatan pertambangannya kepada pemberi izin. Demikian pula kewajiban pelaporan oleh pemda kepada pemerintah pusat. Faktanya, pemegang IUP banyak yang tidak melaporkan kegiatan pertambangannya kepada pemberi izin. Hal yang sama juga terjadi pada pemerintah daerah, yang tidak melaporkan kegiatan pertambangannya ke pemerintah pusat. Enam, pelaksanaan Kewajiban Reklamasi dan Pascatambang. UU Minerba mewajibkan dilaksanakannya kegiatan reklamasi dan pascatambang oleh pelaku usaha pertambangan. Untuk menjamin pelaksanaan tersebut, pemegang izin/KK/PKP2B wajib menyerahkan jaminan reklamasi dan pascatambang sebesar yang sudah ditetapkan oleh pemberi izin. Faktanya, sulit untuk menelusuri pelaksanaan penempatan jaminan reklamasi dan epascatambang, oleh karena tidak semua Pemda melaporkan keberadaan jaminan tersebut kepada pemerintah pusat. Di lapangan, pelaksanaan reklamasi dan pascatambang jauh dari yang seharusnya sehingga menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Tujuh, penerbitan Aturan Pelaksana UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sesuai amanat pasal 174 UU Minerba, semua aturan pelaksana UU tersebut harus diselesaikan paling lambat 12 Januari 2010. Namun PP pelaksana UU tersebut ditetapkan setelah batas waktu 12 Januari 2010. Sebanyak 15 Peraturan Menteri ESDM (dari 22 Peraturan Menteri ESDM) sebagai pelaksana UU Minerba belum ditetapkan. Delapan, pengembangan Sistem Data dan Informasi. Untuk mendorong tata kelola pertambangan minerba yang lebih baik, sistem pendataan dilakukan dengan menggunakan aplikasi teknologi informasi. Hingga saat ini, data yang ada belum dikelola secara terintegrasi dan belum bisa dimanfaatkan untuk memonitoring kegiatan pertambangan secara real time. Hal ini menyebabkan terdapat perbedaan pencatatan produksi mineral dan batubara oleh berbagai instansi pemerintah. Sejalan dengan perbedaan data antara Ditjen Minerba Kementerian ESDM dengan Badan Pusat Statistik (BPS), negara diperkirakan kehilangan pendapatan pajak sebesar Rp 28,5 Triliun di tahun 2012. Sembilan, pelaksanaan Pengawasan. UU Minerba mewajibkan dilaksanakannya pengawasan secara intesif kepada pelaku usaha sejak dari perencanaan (eksplorasi), produksi, pengapalan/ penjualan, hingga reklamasi dan pascatambang. Namun, jumlah pengawas (termasuk infrastruktur) di lapangan sangat terbatas sehingga pengawasan tidak berjalan optimal. Sepuluh, pengoptimalan penerimaan negara, pelaku usaha diwajibkan untuk membayarkan penerimaan pajak dan bukan pajak (royalti dan iuran tetap) kepada pemerintah. Kewajiban tersebut tertuang dalam kontrak dan PP Nomor 9 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berada di Kementerian ESDM. Hasil temuan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (Tim OPN) menunjukkan adanya kurang bayar PNBP oleh pelaku usaha dari tahun 2003 sampai dengan 2011 sebesar Rp 6,7 Triliun. Demikian juga dengan hasil perhitungan berdasarkan evaluasi laporan surveyor, diperkirakan selisih pembayaran royalti oleh pelaku usaha sebesar US$ 24,66 juta pada tahun 2011 untuk lima mineral utama, dan sebesar US$ 1,22 miliar untuk batubara pada kurun waktu tahun 2010 sampai dengan 2012. Hasil rekonsiliasi Ditjen Minerba Kementerian ESDM dengan pemerintah daerah di 8 (delapan) Provinsi menunjukkan adanya royalti sebesar US$ 546,11 Juta dan iuran tetap yang belum disetorkan ke kas negara sebesar Rp 331,2 Miliar. Hutan sebagai kekayaan Indonesia merupakan kesatuan utuh dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Di dalam hutan yang berfungsi sebagai ruang publik dan penyangga kehidupan tersebut, budaya dan peradaban lahir menjadi cara pandang bangsa tentang bagaimana rahmat sumber daya alam tersebut dimanfaatkan secara adil. Adil bagi sesama, maupun untuk masa yang akan datang. Visi bangsa inilah yang dituangkan dalam konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Dalam cita yang demikian, hutan seharusnya dipandang sebagai kekayaan negara terbesar. Kondisi yang ada saat ini, menjelaskan bahwa praktik penguasaan hutan yang ada justru melupakan bagaimana hutan seharusnya sebagai bagian dan membentuk sistem hidup bangsa Indonesia. Ketimpangan pengelolaan dan watak kebijakan sumber daya alam Wacana KEHUTANAN
  • 21. 40 41 yang otoriter, kelemahan dalam tata kelola, dan ketidakpastian hukum berkelindan dengan salah satu musuh bangsa terbesar abad ini, yaitu korupsi. Berbagai permasalahan yang terjadi dan terpapar saat ini seolah memberikan hipotesis bahwa perwujudan pasal 33 UUD 1945 ini di sektor kehutanan telah dikorupsi. Beberapa argumen di bawah ini mengkonfirmasi adanya masalah tersebut20 : 1. Penguasaan ratusan juta hektar luas kawasan hutan, belum sepenuhnya manfaat hutan dapat menjadi jalan kemakmuran bangsa dengan cara yang adil dan bermartabat. Dari total 41,69 juta hektar lahan hutan yang dikelola, hanya 1 persen yang diberikan kepada skala kecil dan masyarakat adat. 2. Sementara itu kerusakan hutan, deforestasi terus terjadi dari dari tahun ketahun. Tidak hanya berdampak pada kerugian ekonomi, tetapi juga menjadi beban langsung yang harus ditanggung oleh 80 juta masyarakat yang hidup dan menggantungkan hidupnya dari hutan. 3. Buruknya pengawasan menyebabkan negara didera kerugian hingga 35 trilyun rupiah per tahun akibat pembalakan liar. 4. Kajian KPK tahun 2010 mengenai perencanaan kehutanan, mengkonfirmasi persoalan dalam tata laksana pengawasan pelaksanaan penggunaan kawasan hutan. Analisis kami menemukan bahwa kelemahan pengawasan dalam izin pinjam pakai menyebabkan terjadi potensi kehilangan penerimaan negara bukan pajak akibat pertambangan di dalam kawasan hutan sebesar Rp 15,9 trilyun per tahun. Ini karena (hanya di Kalimantan, Sumatera, dan Papua saja) ditemukan 1.052 usaha pertambangan dalam kawasan hutan yang tidak melalui prosedur pinjam pakai. 5. Resiprokal dengan buruknya tata kelola tersebut, korupsi menjadi penyakit yang tumbuh subur di dalamnya. Dalam kajian perizinan sumber daya alam yang dilakukan oleh KPK di tahun 2013, membuktikan ulang bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam sangat rentan dengan korupsi. Temuannya mencatat bahwa dari 27 regulasi yang mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan, 13 regulasi 20 Hasil Kajian Direktorat Penelitaian dan Pengembangan KPK, 2012. diantaranya mudah disalahgunakan dan menjadi peluang bagi korupsi. Akibatnya, setiap bisnis proses perizinan tersebut penuh dengan suap, konflik kepentingan, perdagangan pengaruh, pemerasan, bahkan state capture. Temuan dalam analisis potensi korupsi terhadap tatakelola sumber daya alam tersebut seolah mengklarifikasi upaya penindakan yang KPK lakukan. Termasuk ketika praktik korupsi tersebut berhadapan dengan proses-proses politik di daerah. Potensi Kerugian Keuangan Negara dari Sektor Kehutanan dan Minerba No DESKRIPSI RUPIAH U$D 1 Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akibat pinjam pakai kawasan hutan oleh pertambangan di Kalimantan (2010) 15,900,000,000,000.00 2 Potensi royalti yang tidak dibayarkan oleh perusahaan batubara dan mineral (Temuan Tim OPN 2003-2010) 6,777,607,062,722.36 3 Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Mineral (Laporan Surveyor) dari 180 Perusahaan Pertambangan Mineral (2011) 24,661,547.49 4 Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Batubara (Laporan Surveyor) dari 198 Perusahaan Pertambangan Batubara (2010-2012) 1,224,212,608.84 5 Potensi penerimaan pajak yang hilang akibat perbedaan data produksi batubara antara data Ditjen Minerba KemESDM dengan data BPS (2012) 28,500,000,000,000.00 6 Piutang PNBP (iuran tetap dan royalti) pelaku usaha pertambangan minerba di 8 Provinsi (2011-2013) 331,275,179,147.00 546,111,426.00 TOTAL 51,508,882,241,869.40 1,794,985,582.33 Masa depan kejayaan bangsa ini ditentukan oleh pengelolaan sumber daya kelautan. Dengan luas perairan nusantara sebesar 2,8 juta km persegi, laut teritoral seluas 0,3 juta km persegi, panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau lebih dari 18.000 pulau, sudah sepantasnya jika pemerintahan mendatang memberikan porsi yang besar bagi pembangunan di sektor kelautan dan perikanan. Wacana KELAUTAN DAN PERIKANAN
  • 22. 42 43 Hasil kajian yang sementara ini dilakukan oleh KPK, menunjukkan bahwa sejumlah persoalan membelit pengelolaan pengelolaan sumber daya laut, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Pada tataran regulasi, undang-undang yang mengatur aspek kelautan secara menyeluruh belum disusun hingga saat ini. Sementara aturan perundang-undangan terkait pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil belum sepenuhnya bisa dijalankan oleh karena aturan pelaksana setingkat peraturan pemerintah hingga peraturan menteri belum sepenuhnya diterbitkan. Demikian pula dengan regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perikanan belum sepenuhnya dapat mendorong tata kelola yang berkeadilan, bahkan beberapa diantaranya memiliki nafas yang tidak selaras dengan amanat pasal 33 UUD 1945. Pada tataran implementasi, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan juga dihadapkan pada persoalan lemahnya pengawasan. Dengan cakupan pengawasan dari sabang sampai merauke, armada pengawasan yang ada hingga saat ini belum mencukupi untuk menegakkan kedaulatan negara di sektor tersebut. Masih terdapat banyak kasus illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing di wilayah perairan nusantara hingga Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Hal ini berakibat pada hilangnya nilai ekonomi, sosial dan lingkungan dari sektor tersebut. Bahkan dengan potensi sumber daya perikanan yang besar dan volume produksi perikanan tangkap yang mencapai 5,8 juta ton, penerimaan negara bukan pajak dari sektor tersebut hanya mencapai Rp 227, 5 Miliar pada tahun 2013. Hal ini dalam kacamata KPK, merupakan kebocoran kekayaan negara yang harus ditutup oleh semua pihak secara bersama-sama. Memerhatikan kondisi pengelolaan sumber daya alam di atas, sudah selayaknya pemerintahan baru tidak terbuai dengan adagium bahwa negara ini memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar. Sebab yang terjadi adalah cadangan sumber daya alam yang terbatas tersebut, dieksploitasi tanpa pernah memperhatikan keberlanjutannya. Sudah saatnya pengelolaan sumber daya alam ini dilandaskan pada semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat banyak dan tidak hanya untuk kepentingan segelintir orang, terintegrasi hulu dan hilir dengan menghilangkan ego sektoral, memberikan porsi yang besar bagi kepentingan dalam negeri, memperhatikan keberlanjutan sumber daya dan manfaatnya, dan menempatkan penataan ruang dan lingkungan hidup sebagai instrumen penting. Semua hal di atas hanya dapat dilakukan jika pengambil kebijakan di sektor sumber daya alam memiliki integritas untuk mengelola sumber daya alam sesuai dengan amanat konstitusi. KPK dalam hal ini percaya dengan pendapat bahwa persoalan pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam bukan semata-mata persoalan kerugian negara, namun juga merupakan kegagalan negara dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di Indonesia, penerimaan negara dari pajak merupakan yang terbesar di antara beberapa sumber penerimaan negara lainnya. Pada 2013 pajak memberikan kontribusi sebesar Rp 1.042,31 triliun atau 68,14 persen dari RAPBN tahun 2013 sebesar Rp 1.529,67 triliun. Sumber-sumber penerimaan negara lainnya, yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kepabeanan dan cukai, serta hibah, hanya menyumbangkan total 31,86 persen dari RAPBN 2013. Salah satu di antara beberapa sumber penerimaan pajak yang tertinggi adalah sektor pertambangan. Berdasarkan laporan realisasi pajak tahun 2012, sektor pertambangan menempati lima besar sektor terbesar penerimaan pajak. Urutan peringkat teratas sampai peringkat lima, berturut-turut, adalah sektor industri pengolahan, perdagangan, perantara keuangan, pertambangan, dan transportasi. Sektor pertambangan memberikan kontribusi lebih kurang 9 persen terhadap total pajak dalam negeri. Dari 9 persen itu, pertambangan batubara memberikan kontribusi lebih kurang 20 persen dari total pajak sektor pertambangan21 . Pada dasarnya, potensi penerimaan pajak dari sektor pertambangan dapat lebih besar dari 9 persen, termasuk potensi penerimaan pajak yang bisa lebih tinggi dari yang diperoleh sekarang dari pertambangan batubara. Ada sejumlah alasan yang mendasarinya. 21 Kajian Optimalisasi Penerimaan Pajak (Studi Kasus: Sektor Pertambangan Batu Bara), Direktorat Penelitian dan Pengembangan, KPK, 2013-2014. Wacana PENERIMAAN PAJAK DARI SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA
  • 23. 44 45 Pertama, salah satu permasalahan penerimaan negara sektor pertambangan adalah ketidakpatuhan perusahaan. Dari hasil temuan tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN), diketahui adanya kekurangan bayar royalti sebesar Rp 6,7 triliun (dari tahun 2003-2011). Kedua, pada 2010-2012, potensi kerugian keuangan negara dari 198 perusahaan pertambangan batubara di Indonesia adalah sebesar US$ 1,224 miliar. Sementara, dari 180 perusahaan pertambangan mineral di Indonesia, pada 2011, ada potensi kerugian negara senilai US$ 24,661 juta. Ketiga, dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada tahun 2013, jumlah pajak yang tidak dibayarkan sebesar Rp 628 miliar. Nilai ini naik dari Rp 486 miliar di 2012, dan Rp 328 miliar pada 2011. Sampel audit BPK ini adalah hanyalah 20 perusahaan besar dan 60 perusahaan pertambangan kecil. Keempat, kurang handalnya data pertambangan, seperti data produksi, data ekspor, data penjualan. Kondisi ini membuat sulitnya menghitung secara akurat potensi penerimaan pajak dari sektor pertambangan. Kelima, Direktorat Jenderal Pajak telah mencanangkan reformasi perpajakan sejak 2002, tetapi sampai saat ini masih terjadi berbagai penyimpangan dalam pelayanan dan pengawasan pajak. Beberapa kasus korupsi di sektor pajak mengkonfirmasi pernyataan tadi. Situasi-situasi di atas sebenarnya berakar pada sejumlah masalah. Satu, belum akuratnya data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Terdapat 3.826 Izin Usaha Pertambangan (IUP) pertambangan batubara yang dimiliki oleh 3.066 perusahaan. Lalu, sebesar 724 (23,61 persen) perusahaan di antaranya tidak tercatat pada data NPWP yang disampaikan (22,03 persen) dari total IUP. Terhadap IUP yang tidak tercatat pada data NPWP yang disampaikan, 53,5 persen atau 451 IUP di antaranya berstatus clean and clear (CNC). Terdapat perusahaan yang memiliki NPWP induk lebih dari satu atau tercatat pada beberapa Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Terdapat perusahaan yang kurang patuh melaporkan SPT. Pada perusahaan PKP2B, dari 74 perusahaan yang dicek pelaporan SPT-nya, hanya 51 perusahaan yang melaporkan SPT pada tahun 2011 (68,9 persen) dan 50 perusahaan yang melaporkan SPT pada tahun 2012 (67,6 persen). Dua, kurangnya data pendukung perhitungan potensi pajak. Tidak akuratnya perhitungan volume dan kualitas batubara yang akan dijual oleh pelaku usaha sebagai dasar untuk perhitungan kewajiban royalti maupun perhitungan pajak. Perbedaan data produksi DJMB dengan data BPS, WCA dan US EIA* No Produksi Batubara 2011 (ton) 2012 (ton) 1 Data DJMB** 319,662,455.76 288,504,125.20 2 Data BPS (data produksi) 415,765,068.00 466,307,241.00 3 Data BPS (ekspor dan dalam negeri) 441,944,522.14 480,473,119.52 4 Data World Coal Association 376,000,000.00 443,000,000.00 5 Data US EIA 414,799,764.59 452,131,743.40 * DJMB : Ditjen Mineral dan Baru Bara BPS : Badan Pusat Statistik WCA : World Coal Association US EIA : US Energy Information Administration ** Karena DJMB tidak menghimpun data produksi IUP maka total produksi PKP2B diasumsikan 80 persen produksi nasional. Apabila perbedaan data produksi tersebut di atas dihitung sebagai penerimaan pajak yang hilang, maka besarnya potensi hilangnya penerimaan pajak pada tahun 2012 dapat mencapai Rp 28,5 triliun dengan menggunakan data DJMB vs BPS (produksi); dan secara berurutan atas data DJMB Vs WCI dan US EIA sebesar Rp 24,8 dan Rp 26,3 triliun. Tiga, keterbatasan peraturan terkait perolehan data eksternal. Kerahasiaan bank membatasi perolehan data. Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal 41 Undang-Undang tersebut mengatur bahwa untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan surat perintah tertulis kepada bank agar memberikan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan kepada Pejabat Pajak. Wacana
  • 24. 46 47 Pembukaan kerahasiaan data perbankan dalam undang-undang tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Perintah Atas Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Namun, berdasarkan aturan di atas, ruang lingkup dan alasan diperlukannya keterangan data perbankan terkait kepentingan perpajakan belum cukup jelas. Dalam hal ini, perlu dipertegas sejauh mana konteks kerahasiaan perbankan dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), misalnya DJP sudah dapat mengakses pada tahap pemeriksaan. Ketentuan ini telah beralih kewenangannya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 69 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK. Masalah lain adalah ketidakselarasan aturan terkait akses data. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah. Undang-undang ini justru mereduksi kewajiban Pemerintah Daerah dalam memberikan data perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana tercantum dalam dalam Pasal 172. Belum efektifnya surat jawaban Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan No. PP.3.PP.02.03-02 tanggal 23 Januari 2014 tentang pemberian dan penghimpunan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Kemudian, persoalan lain yang mengemuka terkait keterbatasan perolehan data adalah belum dilaksanakannya peraturan terkait reward and punishment. Belum diimplementasikannya pasal 41C UU 28 Tahun 2007 mengenai pengenaan sanksi pidana atau denda terkait data eksternal. Empat, belum optimalnya permintaan, pengelolaan, dan pemanfaatan data eksternal. Masih terdapat pihak yang belum diwajibkan untuk menyampaikan data dan informasi terkait perpajakan. Pada sektor pertambangan batubara belum dimasukkan permintaan data ke Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, dan asosiasi- asosiasi pertambangan batubara. Belum optimalnya pengelolaan data eksternal yang telah diperoleh DJP secara komprehensif dan terintegrasi pada sistem teknologi informasi yang ada di DJP. Belum terakomodirnya mekanisme pemanfaatan, pengelolaan dan sistem keamanan data eksternal dari hulu ke hilir. Bila tidak diatur mekanisme penggunaanya, data eksternal berpotensi disalahgunakan oleh petugas pajak. Lima, minimnya pengawasan pada Wajib Pajak (WP) oleh DJP. Saat ini ada 6.285 Account Representatives (AR) yang tersebar di 331 Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dengan jumlah Wajib Pajak (WP) terdaftar sebanyak 24.812.569, maka rata-rata seorang AR harus mengawasi hampir 4.000 WP. Saat ini pun ada 4.309 fungsional pemeriksa, dengan prioritas pemeriksaan rutin (pemeriksaan LB) sehingga pemeriksaan Kurang Bayar (KB) dan pemeriksaan atas dasar adanya indikasi penyimpangan yang dilakukan WP tidak menjadi prioritas. Bila dibandingkan, maka rasio pegawai DJP terhadap WP Terdaftar adalah 1 : 792 (2012), dan rasio Pemeriksa dibanding WP Terdaftar adalah 1 : 5.758 (2012). Kurangnya dukungan data yang akurat sebagai data pembanding dan dasar bagi AR dan pemeriksa dalam melakukan pengawasan dan penggalian potensi. Dengan rentang waktu pemeriksaan yang cukup lama antara 3-6 bulan (pemeriksaan kantor) atau 4-8 bulan (pemeriksaan lapangan), maka tidak banyak pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh pemeriksa. Selain di KP DJP, pegawai DJP tersebar di 331 KPP (4 KPP Wajib Pajak Besar, 28 KPP Madya, 299 KPP Pratama) dan 207 KP2KP. Beban target penerimaan pajak antar KPP pun bervariasi. Enam, belum optimalnya fungsi analisis potensi. Fungsi analisis potensi saat ini dijalankan oleh Direktorat PKP, SubditPotensiPerpajakan;bidangDukunganTeknisdanKonsultasi di Kantor wilayah; Tenaga Pengkaji bidang Ekstensifikasi dan Intensifikasi Perpajakan; dan AR. Sampai dengan Februari tahun 2014, Subdit Potensi Perpajakan terdiri dari tiga seksi (industri, jasa dan perdagangan) dan 24 pelaksana (10 pelaksana analisis mikro). Wacana
  • 25. 48 49 Diperlukan analis potensi pajak untuk dapat melihat peluang peningkatan penerimaan pajak secara holistik di berbagai sektor dan lintas wilayah kerja KPP. KPP Pajak dekat lokasi tambang tidak dapat mengawasi langsung, karena merupakan target pajak di kantor pajak lain, dan KPP tempat WP tercatat tidak dapat mengawasi karena lokasinya yang jauh. Selain itu, ada masalah pada tingginya beban dan keterbatasan AR dalam melihat potensi pajak. Potensi penerimaan pajak dapat dimaksimalkan apabila tersedia SDM yang kompeten yang dapat melakukan analisis atas data-data eksternal. Dari Kondisi-kondisi seperti di atas inilah diperlukan wujud nyata untuk memperbaiki kelembagaan institusi yang mengurusi pajak, serta penataan atas sektor pertambangan itu sendiri.   AGENDA 3: KETAHANAN DAN KEDAULATAN PANGAN Hambatan dalam pencapaian ketahanan pangan, dalam jangka panjang akan merupakan ancaman yang sangat serius bahkan dapatmengancamkedaulatansuatubangsa.Situasiyangpotensial ini muncul sebagai akibat peningkatan kebutuhan bahan pangan dari meningkatnya penduduk dunia, serta konsumsi bahan baku yang berlebihan di negara-negara tertentu (Garelli, 2008)22 . Sebagai kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhan dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi kritis ini bahkan dapat membahayakan kondisi stabilitas ekonomi dan politik nasional, yang dapat meruntuhkan pemerintah yang sedang berkuasa. Dalam kerangka konstitusional, ketahanan pangan menjadi bagian pengejawantahan tujuan berbangsa. Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa cita-cita bangsa Indonesia adalah menuju negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Kemudian, dinyatakan juga bahwa pemerintah negara Indonesia harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam batang tubuh UUD 1945, khususnya pada bab Kesejahteraan Sosial, dinyatakan dalam pasal 33 ayat 1, bahwa ekonomi sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan; ayat 2, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara 22 Dikutip dari hasil kajian Tim Pangan, Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, 2014. Wacana “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Artinya, ketahanan pangan merupakan hak sosial dan hak ekonomi masyarakat.”
  • 26. 50 51 dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan ayat 3, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sesuai dengan amanat UUD 1945, lebih dari terwujudnya ketahanan pangan, kedaulatan pangan pun harus menjadi prioritas pemerintah. Konsep kedaulatan pangan (food sovereignty) lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan oleh komunitas secara mandiri, berdaulat, dan berkelanjutan23 . Dengan demikian, masyarakat mempunyai hak atas pangan yang aman, cukup gizi, dan sesuai dengan kondisi budaya setempat dan hak atas sumber-sumber daya untuk memproduksi pangan serta kemampuan untuk menjaga keberlanjutan hidup mereka dan masyarakatnya24 . Ketahanan pangan sendiri merupakan prasyarat tercapainya kedaulatan pangan yang melalui tahap swasembada yaitu kemampuan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri; dan tahap kemandirian pangan yaitu kondisi terpenuhinya pangan tanpa adanya ketergantungan dari pihak luar dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap perkembangan dan gejolak ekonomi dunia25 . Dalam kerangka pembangunan nasional, ketahanan pangan memegang peran penting. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini menegaskan bahwa ketahanan pangan merupakan salah satu pondasi utama pembangunan nasional. Program aksi bidang pangan dijadikan prioritas kelima dari program pembangunan nasional. Tujuan ketahanan pangan nasional yang akan dicapai adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup, bergizi seimbang, dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Guna mencapai ketahanan pangan tersebut, pemerintah mencanangkan program swasembada pangan yang meliputi swasembada beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Begitu pun hortikultura yang juga menjadi prioritas dalam program aksi bidang pangan dalam RPJMN. 23 FAO. 24 Dalam Hines, 2005 (dari Khudori, 2008). 25 Ronny Mudigdo dalam Round Table Discussion dengan KPK, 14 September 2012. Sebagai salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah pencanangan Program Swasembada pada komoditas strategis. Swasembada komoditas strategis merupakan bagian dari prioritas ketahanan pangan nasional yang dinyatakan pada Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, sedangkan untuk periode pembangunan jangka panjang telah ditetapkan pula Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Keseriusan pemerintah dalam upaya swasembada pangan tercermin dari besarnya anggaran swasembada pangan. Di Tahun 2014 pemerintah menganggarkan swasembada pangan untuk lima komoditas utama senilai Rp 8,28 Triliun. Besarnya anggaran ini, bila tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi potensi kerugian keuangan negara, baik dari aspek keuangan maupun non keuangan. Anggaran swasembada komoditas strategis tahun 2014 Komoditas Anggaran Beras Rp 4.540,0 Miliar Kedelai Rp 874,6 Miliar Jagung Rp 398,2 Miliar Gula Rp 80,6 Miliar Daging sapi Rp 1.490,0 Miliar Jumlah Rp 8.283,4 Miliar Sumber: Kementerian Pertanian, 2014 (diolah) Perbandingan luas lahan, produksi, dan impor komoditas strategis Sumber: Kementerian Pertanian, BPS, UN Comtrade, 2013 (diolah) Wacana Komoditas Luas Lahan (ha) Produksi (ton) Impor (ton) 2011 2012 2011 2012 2011 2012 Beras 13,203,643 13,445,524 65,756,904.00 69,056,126.00 2,698,989.51 1,810,372.30 Kedelai 622,254.00 567,624 851,286.00 843,153.00 1,911,987.10 1,921,206.53 Jagung 3,864,692 3,957,595 17,643,250.00 19,387,022 2,889,173.77 1,692,994.50 Gula 192,500.00 198,800 2,267,887.00 2,580,000 2,305,032.28 494,130.74 Daging Sapi - - 292,450.00 399,330.00 156,850 91,740.00
  • 27. 52 53 Dari kedua tabel di atas terlihat bahwa anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam mencapai swasembada pangan cukup besar dan meningkat setiap tahunnya. Namun faktanya kebutuhan akan komoditas strategis belum bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Impor masih menjadi andalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan, impor sejumlah komoditas strategis mengalami peningkatan yang signifikan. Kebijakan impor tidak terlepas dari kebijakan liberalisasi perdagangan dalam era globalisasi. Liberalisasi perdagangan mewarnai perdagangan komoditas di pasar internasional, begitu pun pangan tidak luput dari liberalisasi perdagangan. Sebagai negara dengan sistem perdagangan terbuka, Indonesia tentunya tidak terhindar dari liberalisasi dan bukan tidak mungkin akan berbenturan dengan kebijakan dalam negeri dan mengancam kepentingan nasional. Perspektif liberalisasi perdagangan dalam konteks ketahanan pangan bercirikan adanya kecenderungan meningkatnya pasokan pangan dari impor. Impor merupakan intervensi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat ketika pasokan dalam negeri tidak cukup, namun seringkali kebijakan tersebut tidak berpihak pada kepentingan bangsa. Hal tersebut dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang selalu melakukan impor besar-besaran jika terjadi kelangkaan pangan. Kelangkaan pangan sengaja diciptakan oleh para pemburu-rente guna mendapatkan keuntungan, salah satunya dengan mendorong agar pemerintah membuka impor secara besar-besaran. Dalam kasus kelangkaan kedelai, contohnya, yang menyebabkan kenaikan harga di pasaran, pemerintah justru membuka keran impor dengan menghapuskan bea masuk impor kedelai, dari yang awalnya sebesar 5 persen menjadi 0 persen. Penghapusan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 133/PMK.011/2013. Kenaikan harga kedelai yang cukup besar ini disinyalir oleh beberapa kalangan disebabkan oleh adanya penguasaan beberapa perusahaan dalam importasi kedelai. Penguasaan ini terlihat dari pembagian kuota impor kedelai dari Menteri Perdagangan, yaitu terdapat hanya beberapa perusahaan yang menguasai kuota impor kedelai. Perusahaan tersebut masing-masing adalah PT FKS Multi Agro yang menguasai kuota terbesar dengan 46,71 persen (210.600 ton), PT Gerbang Cahaya Utama sebesar 10,31 persen (46.500 ton), dan PT Budi Semesta Satria sebesar 9,31 persen (42.000 ton). Artinya, penguasaaan tiga perusahaan tersebut menguasai 66,33 persen kuota impor, sehingga cenderung membentuk kartel yang berdampak pada terjadinya kelangkaan kedelai di pasar. Keanehan diperkuat ketika pemerintah justru memberikan kuota hanya sebesar 20.000 ton kepada Perum BULOG untuk menjalankan tugasnya sebagai badan yang ditunjuk untuk menjaga kestabilan harga kedelai di Indonesia. Kebijakan pembebasan impor yang terkesan reaktif justru berdampak pada kerugian petani kedelai lokal karena membanjirnya kedelai impor dengan harga yang lebih murah. Sama halnya dalam kasus melonjaknya harga daging sapi beberapa waktu lalu. Harga daging sapi yang melonjak tinggi di pasaran disikapi reaktif oleh pemerintah dengan mengubah kebijakan proteksi. Pemerintah mengubah sistem kuota menjadi pembebasan impor apabila harga di pasar di atas Rp 75.000. Hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa kenaikan harga diakibatkan karena supply tidak bisa mengimbangi demand, sehingga kebijakan menambah supply dari impor diharapkan akan menurunkan harga di pasar. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Harga daging di pasar tetap mahal dan cenderung bertahan. Artinya, mekanisme pasar tidak berjalan sempurna, hal ini mengindikasikan adanya distorsi yang mengganggu mekanisme pasar dengan cara sistematis dan terstruktur untuk kepentingan tertentu. Sistematis dan terstruktur artinya adalah bahwa praktik ini lebih melibatkan seluruh komponen dalam kebijakan, mulai dari pengambil kebijakan sampai praktik di lapangan (memalsukan dokumen, penghindaran pajak dan bea masuk) dan lain-lain, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain dan merugikan negara. Jika melihat permasalahan di atas, dapat kita simpulkan bahwa kebijakan importasi komoditas pangan strategis masih sangat lemah dalam melindungi petani lokal. Kelemahan pada kebijakan tata niaga meliputi arah kebijakan yang tidak tepat yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan negara dan kepentingan publik. Beban persoalan tersebut ikut memengaruhi tidak maksimalnya target kebijakan pemerintah yang diatur selama ini, yang membawa berbagai permasalahan dan menimbulkan konflik baik pada tingkat regulasi maupun praktis dalam setiap kegiatan. Wacana
  • 28. 54 55 Selainpermasalahantersebut,KPKjugamenerimasejumlah aduan dari masyarakat terkait dengan tataniaga impor pada komoditas pangan strategis. Pengaduan sejak tahun 2005 menunjukkan beragam modus penyelewengan ditampilkan dalam tabel di bawah ini: Data pengaduan masyarakat (2005-2012) No Modus Dugaan TPK terkait dengan importasi komoditas pangan strategis 1 Penggelapan impor komoditas strategis 2 Impor salah satu komoditas strategis fiktif 3 Penyalahgunaan prosedur importasi komoditas strategis 4 Mark-up impor komoditas strategis Sumber: Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK, 2012 (diolah) Melihat kasus impor daging sapi, misalnya, kita bisa melihat bahwa tujuan pemerintah dalam mendorong peternakan lokal sebagai kunci dalam keberhasilan swasembada menjadi tereduksi. Impor yang tidak terkendali tentunya akan mematikan peternakan rakyat. Belum lagi persoalan harga di pasar yang justru dipermainkan oleh kepentingan tertentu. Bahkan sebagian orang menyebutnya dengan istilah “mafia” seolah pemerintah tidak berdaya menghadapinya. Praktik seperti ini bukan tidak mungkin terjadi pada komoditas strategis lainnya seperti beras, kedelai, gula, dan hotikultura. Seperti dikatakan oleh Iwan Setiawan, SP., MSi., Lektor Kepala Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, Bandung, bahwa eksistensi dan keterlibatan mafia juga terlihat dalam tutup-buka keran impor-ekspor dan distribusi pemainnya. Jadi, munculnya keputusan apakah impor dan ekspor komoditas pertanian perlu atau tidak perlu dilakukan, berapa banyak atau sedikit volume impor atau ekspor, apakah perlu cepat atau lambat, semuanya berada dalam kendali para mafia. Kebijakan impor beras, gula, daging, dan garam timbul bukan atas kebutuhan nyata, tetapi atas desakan mafia. Tegasnya, dari mulai anggaran, transaksi berjalan, sampai rantai pasokan input-output sudah dikuasai para mafia. Bagi mereka, apapun yang akan terjadi, tidak menjadi persoalan. Terpenting, semuanya mendatangkan keuntungan. Persoalan-persoalan seperti di ataslah yang pada akhirnya menghambat pencapaian ketahanan pangan, bahkan semakin menjauhkan kita dari upaya mencapai kedaulatan pangan. Isu lain yang berpotensi menghambat tercapainya daulat pangan yaitu berkaitan dengan alih fungsi lahan, kualitas SDM serta dukungan infrastruktur. Intensitas alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian cukup tinggi. Data Kementerian Pertanian (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 2011) menyatakan sepanjang 2008-2010 laju konversi lahan sawah di Pulau Jawa sebesar 600 ribu hektar atau jika dirata-rata sebesar 200 ribu hektar per tahun. Dalam skala nasional saat ini konversi lahan telah mencapai 100 ribu hektar per tahun. Pembangunan pertanian dan ketahanan pangan 26 Persoalan kritikal yang kita hadapi saat ini adalah tingginya alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian serta rata-rata luas lahan petani yang sempit. Pada sisi yang lain, SDM pertanian juga rata-rata berpendidikan sangat rendah dan berjumlah relatif sangat banyak. Sebagai akibatnya produktivitas pertanian, yaitu rata-rata produksi per hektar komoditi pertanian, relatif rendah. Masalah selanjutnya ialah kendala ketersediaan infrastruktur pertanian/ pedesaan serta kualitasnya yang rendah. Resultante dari berbagai persoalan ini adalah rendahnya tingkat kesejahteraan para petani. Untuk mengatasi berbagai persoalan di atas maka dalam jangka pendek kepada petani miskin maupun non-petani yang juga miskin harus diberi perlindungan sehingga mereka memiliki ketahanan pangan yang memadai. Dalam konteks ini berbagai program seperti raskin memang diperlukan, akan tetapi efektivitas dan tata kelola pelaksanaannya harus diperhatikan. Khusus untuk petani, berbagai subsidi dan bantuan seperti subsidi pupuk, benih dan bantuan sosial termasuk Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) dan Lembaga Mandiri Mengakar pada Masyarakat (LM3) mungkin masih diperlukan, akan tetapi pelaksanaannya harus benar-benar memenuhi persyaratan yang disusun secara jelas serta tata kelola yang juga harus baik. Untukmelindungilahanpertanianagartidakmudahdialihfungsikan menjadi non-pertanian, penetapan kawasan lahan pangan berkelanjutan (KLPB) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus dilaksanakan secara konsekuen. Kecenderungan yang 26 Prasaran Institut Pertanian Bogor (IPB), 23 Mei 2014. Wacana PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN26
  • 29. 56 57 terjadi ialah oknum pemerintah daerah dan bahkan oknum anggota DPRD relatif banyak yang merubah peraturan terkait kawasan dan RTRW tersebut. Sehingga, lahan pertanian dialihfungsikan menjdi non-pertanian dengan alasan mencari pendapatan asli daerah yang lebih tinggi, yang mana hal ini sangat rawan dengan kebocoran. Oleh sebab itu, ketetapan mengenai KLPB dan RTRW merupakan suatu hal yang mutlak dalam arti tidak mudah untuk diubah-ubah. Dalam jangka menengah dan panjang, upaya peningkatan areal pertanian baik oleh pemerintah semata maupun pemerintah bekerjasamadenganswastadalamskemaPublicPrivatePartnership (PPP) merupakan suatu kebutuhan yang pelaksanaannya dilakukan dalam suatu kebijakan reforma agraria. Upaya ke arah itu antara lain dengan membangun atau mengembangkan food estate berskala luas, dimana harus dipastikan kepemilikan lahan oleh rakyat tidak dapat diambil alih oleh pihak-pihak lainnya. Dalam kaitan ini, yang harus dihindari adalah penguasaan lahan oleh para elit atas nama rakyat (seolah-olah dimiliki rakyat padahal pemilik sesungguhnya adalah para elit pemerintah maupun swasta). Formula reforma agraria ialah akses/kepemilikan petani terhadap lahan plus akses petani terhadap berbagai hal lainnya termasuk sarana produksi pertanian berkualitas, teknologi, pasar, dan informasi. Tingkat kesejahteraan para petani yang jumlahnya relatif banyak itu dapat dinaikkan manakala di kawasan pedesaan tersebut terdapat usaha-usaha pengolahan hasil-hasil pertanian (agroindustri pedesaan). Agroindustri akan memberikan nilai tambah terhadap komoditas pertanian yang dihasilkan petani karena produk- produk pangan yang dihasilkan dari agroindustri yang dihasilkan petani memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan harga komoditas pertanian yang relatif rendah dan cenderung fluktuatif. Pengembangan agroindustri pedesaan maupun usaha tani terkait membutuhkan investasi yang cukup besar baik untuk infrastruktur maupun fasilitas serta unit-unit pengolahan yang dibutuhkan yang harus ada. Manakala investasi tersebut berasal dari pemerintah harus dipastikan bahwa pengadaannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan memang betul-betul dibutuhkan oleh petani dan pelaku agroindustri. Upaya untuk mengatasi rendahnya produktivitas maupun untuk mengembangkan agroindustri pedesaan membutuhkan Research and Development (R & D) dalam rangka mengembangkan teknologi tepat guna yang harus dilaksanakan secara kontinu dan serius. Pemerintah perlu mendorong pengembangan varietas bibit lokal yang lebih sesuai dengan kondisi tiap-tiap daerah. Demikian juga untuk sarana produksi pertanian lainnya termasuk pupuk organik. Namun demikian, kegiatan-kegiatan R&D tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah dan didukung oleh ahli/instansi penelitian yang berkompeten, misalnya perguruan tinggi yang relevan. Manakala hasil-hasil R & D yang sudah dilakukan akan disebarluaskan, maka proses perizinan terkait haruslah disederhanakan dan dipastikan tidak ada pungutan-pungutan liar. Berbagai sarana produksi pertanian dan produk pangan yang dihasilkan harus jelas standarnya, yang mana standar tersebut haruslah ditetapkan secara ilmiah oleh ahli/instansi yang berkompetensi. Proses perizinan lainnya juga harus ditetapkan secara jelas dan tidak berbelit-belit, termasuk dalam proses perizinan pembuatan rekomendasi bupati dan pembuatan SK Menteri Kehutanan untuk areal pertanian baru. Pembangunan pertanian dan penguatan ketahanan pangan mutlak harus ditopang oleh sistem logistik pangan nasional, yang mengintegrasikan sistem produksi dan sistem distribusi dari tataran daerah hingga nasional secara efektif dan efisien. Sekali sistem logistik pangan nasional ini sudah ditetapkan maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah maupun sesama pemerintah daerah harus bersinergi untuk menerapkannya. Penerapan sistem ini akan membutuhkan pembangunan berbagai prasarana dan fasilitas di daerah produksi maupun prasarana dan fasilitas distribusi termasuk pasar tani/terminal agribisnis sampai kepada pelabuhan/bandara. Semua ini membutuhkan investasi (pemerintah dan swasta) yang jumlahnya relatif besar sehingga pengadaannya harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.   Wacana
  • 30. 58 59 AGENDA 4: PERBAIKAN INFRASTRUKTUR Sebagai salah satu sektor dalam sistem ekonomi, sektor transportasi dan perhubungan memberikan kontribusi yang cukup signifikan, yaitu antara 4 sampai 6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dari data tahun 2009, nilai sektor transportasi dan perhubungan mencapai angka Rp 181,6 triliun27 . Selain sebagai suatu sektor dalam perekonomian, transportasi dan perhubungan memiliki peran lain yang justru lebih vital, yaitu sebagai tulang punggung sistem logistik nasional. Logistik merupakan sistem arus barang, energi, informasi dan sumber daya lainnya, seperti produk, jasa dan manusia, dari sumber produksi ke pasar. Lingkup logistik mencakup integrasi informasi, transportasi, inventori dan pergudangan. Tanpa dukungan logistik yang handal, proses produksi hingga pemasaran bahkan keseluruhan perekonomian akan terganggu. Besarnya dampak yang dapat timbul dari gangguan pada sektor transportasi dan perhubungan dapat terlihat dari data Direktorat Jenderal Perhubungan Darat tahun 2005. Pada tahun tersebut, tercatat total perpindahan barang pada tiga matra transportasi, mencapai 2,7 miliar ton. Transportasi darat merupakan matra transportasi yang paling dominan di Indonesia dibandingkan matra transportasi lainnya (udara dan laut). Hal ini ditunjukkan dari data Nasional Tahun 2001 yang menggambarkan bahwa 95 persen perjalanan penumpang dan barang menggunakan transportasi darat. Pada matra transportasi darat, moda angkutan jalan raya mengambil posisi yang paling dominan dibandingkan moda-moda lain (angkutan rel atau kereta api dan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan - ASDP). Dari data statistik BPS tahun 2009, porsi angkutan jalan raya mencapai 93 persen dari total angkutan darat. Arus logistik dengan matra transportasi darat mencapai 2,4 miliar ton (97,3 persen) dari total angkutan barang dan 3,8 miliar trip (99 persen) dari total perjalanan penumpang. Besarnya ketergantungan logistik pada moda angkutan jalan raya juga terlihat dari besarnya jumlah armada. Dari data BPS 2008, tercatat sejumlah 5,1 juta truk beroperasi di Indonesia. 27 Hasil kajian penyelenggaraan perhubungan darat, Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2011. Terganggunya logistik dengan matra transportasi darat akan secara langsung berdampak pada aktivitas ekonomi dan ketahanan nasional secara keseluruhan. Wajar bahwa lalu lintas dan angkutan jalan dinilai mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Hal tersebut menjadi dasar terbitnya Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada pasal 5, disebutkan bahwa negara bertanggung jawab atas lalu lintas dan angkutan jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah. Pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan tersebut meliputi perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Sistem logistik nasional Indonesia saat ini masih belum menunjukkan kinerja yang memuaskan. Menurut hasil survei Logistic Performance Index (LPI – Indeks Kinerja Logistik) yang dilakukan Bank Dunia pada tahun 2007, LPI Indonesia berada pada ranking 43 di bawah Thailand dan Malaysia. Pada tahun 2010, Indonesia justru semakin turun ke ranking 75, di bawah Vietnam dan Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa sistem angkutan barang di Indonesia belum memenuhi indikator kinerja yang memadai, meliputi kualitas infrastruktur terkait perdagangan dan angkutan, kemudahan pengaturan pengiriman barang dengan harga kompetitif, kompetensi dan kualitas pelayanan logistik, kemampuan track and trace pengiriman, frekuensi sampainya pengiriman kepada penerima tepat waktu. Tidak memadainya infrastruktur terkait perdagangan dan angkutan, sebagai akibat kondisi prasarana jalan yang buruk, sangat menghambat kelancaran angkutan barang di Indonesia. Tahun 2004, panjang jalan nasional yang rusak berat tercatat 3.774,5 km (10,9 persen) dari total panjang jalan nasional 34.629 km. Tahun 2010, panjang jalan nasional yang rusak berat justru meningkat ke kisaran 5.760 km (15 persen) dari total 38.400 km. Selain itu, dari total panjang jalan 437.759 km, tercatat hanya 59 persen yang diaspal. Buruknya permukaan jalan mengakibatkan jarak tempuh rata-rata truk barang di Indonesia hanya mencapai 21.800 km/tahun (kurang dari separuh rata-rata Asia 57.000 km/ tahun). Wacana SISTEM LOGISTIK NASIONAL