SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  3
Nyemarang Lewat Warak Ngendhog
Oleh: Fadhil Nugroho Adi, S.Hum
(saat ini penulis berperan sebagai sejarawan dan Duta Museum Jawa Tengah 2014)
ONTRAN-ONTRAN yang berkembang cukup luas di kalangan masyarakat umum Semarang
hingga budayawan, akhir-akhir ini, mendorong saya untuk kembali mengingat masa-masa
menjelang Ramadhan tahun-tahun terdahulu. Mengapa? Sebab, tiap tahun, untuk menyambut
bulan suci ini, warga Semarang selalu dihibur dengan perayaan Dugderan yang diakhiri dengan
upacara Megengan.
Upacara yang mulai berlangsung sejak tahun 1881 ini diwarnai dengan hadirnya ikon berupa
Warak Ngendhog sebagai wujud pemersatu ketiga etnis Jawa, Tionghoa, dan Arab.
Tak berlebihan rasanya jika Warak Ngendhog dijadikan sebagai simbol multikulturalisme.
Sebab, dalam lintasan sejarah Semarang, Semarang telah menjadi melting pot (tempat
perpaduan-RED) yang strategis. Majunya Semarang sebagai kota pelabuhan yang tumbuh dari
sektor perdagangan, turut mengundang pedagang dari berbagai negara untuk turut berpartisipasi
dalam perdagangan di pelabuhan Semarang. Tak heran apabila sampai saat ini, di Semarang
masih dijumpai beberapa nama wilayah seperti Pecinan, Kampung Melayu, Kampung Ndarat,
Kampung Ngilir, Kampung Kauman, hingga Kampung Pekojan. Etnis Arab, India, Tionghoa,
hingga Jawa itu sendiri, telah mengambil peran besar dalam keberlangsungan proses akulturasi
di ibukota Jawa Tengah ini.
Menimbang Kembali Warak Ngendhog
Kata “Warak” konon berasal dari bahasa Arab “Wara’i” yang berarti suci. Sementara
“Ngendhog” atau “bertelur”, dimaknai sebagai amal yang diperoleh setelah menjalani rangkaian
ibadah yang suci. Atau dalam kata lain, Warak Ngendhog juga menjadi simbol amal ibadah yang
diperoleh umat Islam setelah berakhirnya bulan Ramadhan. Makna ini juga menandaskan sisi
religiusitas warga Semarang. Meski begitu, tak ada kepastian siapa yang pertama kali
menciptakan sosok Warak Ngendhog.
Budayawan Semarang, Djawahir Muhammad, menyebut bahwa Warak Ngendhog merupakan
seni kriya produk asli masyarakat Semarang. Ini dibuktikan dengan tampilnya warak untuk
pertama kali pada Pasar Malam Sentiling di Mugas, tepatnya pada tahun 1936. Pasar malam itu
digelar untuk memperingati ulang tahun ke-100 Ratu Wilhelmina. Sementara, di kalangan
masyarakat umum, tersebar folklore Warak Ngendhog sebagai binatang mirip badak yang
ditemukan oleh warga. Konon, sosok itu ditemukan sejumlah warga yang tengah melakukan
babat alas yang kini menjadi Kampung Purwodinatan. Dari cerita tersebut, warga di kampung
Purwodinatan (selain juga Kampung Gendingan, Kelengan, Teriman) mulai memproduksi
kerajinan Warak Ngendhog dan dijual pada saat Dugderan.
Namun sayang, seiring berjalannya waktu, sosok Warak Ngendhog mengalami pergeseran
bentuk. Warak Ngendhog, menurut “pakem”nya, merupakan binatang rekaan yang tubuhnya
mirip killin (dari China), dengan leher jenjang seperti leher unta, dan bulu yang brintik-brintik
seperti bulu domba. Bahkan, bila mengacu pada konsep tradisional, Warak Ngendhog memiliki
sudut yang lurus dan berbulu keriting. Sebutir telur diletakkan di atas papan penyangga roda
yang terbuat dari kayu. Kadang, telur itu diletakkan di ujung ekornya. Bulu-bulu warak juga
didominasi warna merah, putih, kuning, hijau dan biru.
Proporsi Warak Ngendhog mengandung filosofi yang dalam tentang warga Semarang. Djawahir
Muhammad mengungkap dalam tulisannya,
“Sudut yang lurus itu analog dengan pencerminan sikap dan perilaku wong Semarang yang lurus
(tidak berbelit-belit), terbuka (apa adanya, tanpa basa-basi), dan egaliter (tidak mementingkan
kasta atau formalitas). Bentuk tubuh warak juga mencerminkan akulturasi budaya berbagai etnis
yang menghuni kota Semarang. Kepala bersudut lurus menyerupai kambing (Jawa), leher yang
jenjang menyerupai leher unta (Arab) dan badan dengan proporsi tubuh menyerupai killin China.
Bulu-bulunya keriting seperti gibas (wedus gembel), mulutnya menyeringai seperti singa atau
naga, kepala bertanduk seperti tanduk kambing….”
Malahan, munculnya inovasi warak yang tak mengindahkan nilai-nilai di dalamnya, justru
menggeser makna Warak Ngendhog itu sendiri. Tak jarang warak berubah dengan kepala seperti
Liong, sudut yang meliuk-liuk yang tak menggambarkan ketegasan, kemudian tubuh warak yang
lebih mirip anjing dan bersisik, dan imajinasi-imajinasi lain yang justru merusak estetika Warak
Ngendhog itu sendiri.
Memprihatinkan, pasti. Namun, terlepas dari inovasi yang memburamkan nilai filosofi, Warak
Ngendhog sudah semestinya hadir menjadi pemurni nilai-nilai multikulturalisme negeri. Di saat
etnosentris dan chauvinisme makin membelenggu jatidiri, sudah sepantasnya Warak Ngendhog
menjadi refleksi diri.

Contenu connexe

En vedette

IBM Commerce - Marketing pensado en relaciones LinkedIn
IBM Commerce - Marketing pensado en relaciones LinkedInIBM Commerce - Marketing pensado en relaciones LinkedIn
IBM Commerce - Marketing pensado en relaciones LinkedInAdrián Alanis
 
JURNAL SKRIPSI_DI BAWAH BAYANG-BAYANG KEKUASAAN_FADHIL NUGROHO ADI_SEJARAH
JURNAL SKRIPSI_DI BAWAH BAYANG-BAYANG KEKUASAAN_FADHIL   NUGROHO ADI_SEJARAHJURNAL SKRIPSI_DI BAWAH BAYANG-BAYANG KEKUASAAN_FADHIL   NUGROHO ADI_SEJARAH
JURNAL SKRIPSI_DI BAWAH BAYANG-BAYANG KEKUASAAN_FADHIL NUGROHO ADI_SEJARAHFadhil Nugroho Adi
 
COLELITIASIS , COLECISTITIS, GUIAS TOKYO
COLELITIASIS , COLECISTITIS, GUIAS TOKYOCOLELITIASIS , COLECISTITIS, GUIAS TOKYO
COLELITIASIS , COLECISTITIS, GUIAS TOKYORuben Renteria
 
Dubai_International_Convention_and_Exhibition_Centre_Brochure
Dubai_International_Convention_and_Exhibition_Centre_BrochureDubai_International_Convention_and_Exhibition_Centre_Brochure
Dubai_International_Convention_and_Exhibition_Centre_BrochureCarolyn Lewis
 

En vedette (6)

MotoCross
MotoCrossMotoCross
MotoCross
 
IBM Commerce - Marketing pensado en relaciones LinkedIn
IBM Commerce - Marketing pensado en relaciones LinkedInIBM Commerce - Marketing pensado en relaciones LinkedIn
IBM Commerce - Marketing pensado en relaciones LinkedIn
 
Utilisation of the Patent System
Utilisation of the Patent SystemUtilisation of the Patent System
Utilisation of the Patent System
 
JURNAL SKRIPSI_DI BAWAH BAYANG-BAYANG KEKUASAAN_FADHIL NUGROHO ADI_SEJARAH
JURNAL SKRIPSI_DI BAWAH BAYANG-BAYANG KEKUASAAN_FADHIL   NUGROHO ADI_SEJARAHJURNAL SKRIPSI_DI BAWAH BAYANG-BAYANG KEKUASAAN_FADHIL   NUGROHO ADI_SEJARAH
JURNAL SKRIPSI_DI BAWAH BAYANG-BAYANG KEKUASAAN_FADHIL NUGROHO ADI_SEJARAH
 
COLELITIASIS , COLECISTITIS, GUIAS TOKYO
COLELITIASIS , COLECISTITIS, GUIAS TOKYOCOLELITIASIS , COLECISTITIS, GUIAS TOKYO
COLELITIASIS , COLECISTITIS, GUIAS TOKYO
 
Dubai_International_Convention_and_Exhibition_Centre_Brochure
Dubai_International_Convention_and_Exhibition_Centre_BrochureDubai_International_Convention_and_Exhibition_Centre_Brochure
Dubai_International_Convention_and_Exhibition_Centre_Brochure
 

Similaire à Multikulturalisme Warak

Majalah Semarang Hebat
Majalah Semarang HebatMajalah Semarang Hebat
Majalah Semarang Hebatcondrokartiko2
 
Ilmu sosial dasar 1 ia04
Ilmu sosial dasar 1 ia04Ilmu sosial dasar 1 ia04
Ilmu sosial dasar 1 ia04Yoga Yps
 
Warak Ngendhog yang ada di Semarang..pptx
Warak Ngendhog  yang ada di Semarang..pptxWarak Ngendhog  yang ada di Semarang..pptx
Warak Ngendhog yang ada di Semarang..pptxAshhabilFirdha
 
Kearifan lokal kabupaten nganjuk
Kearifan lokal kabupaten nganjukKearifan lokal kabupaten nganjuk
Kearifan lokal kabupaten nganjukChoi Fatma
 
Kebudayaan dari indonesia bagian barat
Kebudayaan dari indonesia bagian baratKebudayaan dari indonesia bagian barat
Kebudayaan dari indonesia bagian baratYadhi Muqsith
 
Filosofi tari turangga yaksa
Filosofi tari turangga yaksa Filosofi tari turangga yaksa
Filosofi tari turangga yaksa Mellisaayu
 
sejarah pembuatan keris di sumenep.pptx
sejarah pembuatan keris di sumenep.pptxsejarah pembuatan keris di sumenep.pptx
sejarah pembuatan keris di sumenep.pptxdanwidan1
 
Makalah tambora
Makalah tamboraMakalah tambora
Makalah tamboraMas Fathir
 
Nama bebegig merupakan representasi penjaga lingkungan alam sekitar
Nama bebegig merupakan representasi penjaga lingkungan alam sekitarNama bebegig merupakan representasi penjaga lingkungan alam sekitar
Nama bebegig merupakan representasi penjaga lingkungan alam sekitarTiyaazNurMuhammadFai
 

Similaire à Multikulturalisme Warak (20)

Majalah Semarang Hebat
Majalah Semarang HebatMajalah Semarang Hebat
Majalah Semarang Hebat
 
Ilmu sosial dasar 1 ia04
Ilmu sosial dasar 1 ia04Ilmu sosial dasar 1 ia04
Ilmu sosial dasar 1 ia04
 
Warak Ngendhog yang ada di Semarang..pptx
Warak Ngendhog  yang ada di Semarang..pptxWarak Ngendhog  yang ada di Semarang..pptx
Warak Ngendhog yang ada di Semarang..pptx
 
Budaya sumedang
Budaya sumedangBudaya sumedang
Budaya sumedang
 
Daftar kebudayaan di kabupaten muna
Daftar kebudayaan di kabupaten munaDaftar kebudayaan di kabupaten muna
Daftar kebudayaan di kabupaten muna
 
Daftar kebudayaan di kabupaten muna
Daftar kebudayaan di kabupaten munaDaftar kebudayaan di kabupaten muna
Daftar kebudayaan di kabupaten muna
 
Daftar kebudayaan di kabupaten muna
Daftar kebudayaan di kabupaten munaDaftar kebudayaan di kabupaten muna
Daftar kebudayaan di kabupaten muna
 
Sisingaan
SisingaanSisingaan
Sisingaan
 
Tari topeng klana
Tari topeng klanaTari topeng klana
Tari topeng klana
 
Kearifan lokal kabupaten nganjuk
Kearifan lokal kabupaten nganjukKearifan lokal kabupaten nganjuk
Kearifan lokal kabupaten nganjuk
 
Kebudayaan dari indonesia bagian barat
Kebudayaan dari indonesia bagian baratKebudayaan dari indonesia bagian barat
Kebudayaan dari indonesia bagian barat
 
Tari primitif
Tari primitifTari primitif
Tari primitif
 
Tugas ica
Tugas icaTugas ica
Tugas ica
 
Filosofi tari turangga yaksa
Filosofi tari turangga yaksa Filosofi tari turangga yaksa
Filosofi tari turangga yaksa
 
sejarah pembuatan keris di sumenep.pptx
sejarah pembuatan keris di sumenep.pptxsejarah pembuatan keris di sumenep.pptx
sejarah pembuatan keris di sumenep.pptx
 
Wisata Solo
Wisata SoloWisata Solo
Wisata Solo
 
Reog ponorogo
Reog ponorogoReog ponorogo
Reog ponorogo
 
Makalah tambora
Makalah tamboraMakalah tambora
Makalah tambora
 
Nama bebegig merupakan representasi penjaga lingkungan alam sekitar
Nama bebegig merupakan representasi penjaga lingkungan alam sekitarNama bebegig merupakan representasi penjaga lingkungan alam sekitar
Nama bebegig merupakan representasi penjaga lingkungan alam sekitar
 
Kisah walisongo
Kisah walisongoKisah walisongo
Kisah walisongo
 

Multikulturalisme Warak

  • 1. Nyemarang Lewat Warak Ngendhog Oleh: Fadhil Nugroho Adi, S.Hum (saat ini penulis berperan sebagai sejarawan dan Duta Museum Jawa Tengah 2014) ONTRAN-ONTRAN yang berkembang cukup luas di kalangan masyarakat umum Semarang hingga budayawan, akhir-akhir ini, mendorong saya untuk kembali mengingat masa-masa menjelang Ramadhan tahun-tahun terdahulu. Mengapa? Sebab, tiap tahun, untuk menyambut bulan suci ini, warga Semarang selalu dihibur dengan perayaan Dugderan yang diakhiri dengan upacara Megengan. Upacara yang mulai berlangsung sejak tahun 1881 ini diwarnai dengan hadirnya ikon berupa Warak Ngendhog sebagai wujud pemersatu ketiga etnis Jawa, Tionghoa, dan Arab. Tak berlebihan rasanya jika Warak Ngendhog dijadikan sebagai simbol multikulturalisme. Sebab, dalam lintasan sejarah Semarang, Semarang telah menjadi melting pot (tempat perpaduan-RED) yang strategis. Majunya Semarang sebagai kota pelabuhan yang tumbuh dari sektor perdagangan, turut mengundang pedagang dari berbagai negara untuk turut berpartisipasi dalam perdagangan di pelabuhan Semarang. Tak heran apabila sampai saat ini, di Semarang masih dijumpai beberapa nama wilayah seperti Pecinan, Kampung Melayu, Kampung Ndarat,
  • 2. Kampung Ngilir, Kampung Kauman, hingga Kampung Pekojan. Etnis Arab, India, Tionghoa, hingga Jawa itu sendiri, telah mengambil peran besar dalam keberlangsungan proses akulturasi di ibukota Jawa Tengah ini. Menimbang Kembali Warak Ngendhog Kata “Warak” konon berasal dari bahasa Arab “Wara’i” yang berarti suci. Sementara “Ngendhog” atau “bertelur”, dimaknai sebagai amal yang diperoleh setelah menjalani rangkaian ibadah yang suci. Atau dalam kata lain, Warak Ngendhog juga menjadi simbol amal ibadah yang diperoleh umat Islam setelah berakhirnya bulan Ramadhan. Makna ini juga menandaskan sisi religiusitas warga Semarang. Meski begitu, tak ada kepastian siapa yang pertama kali menciptakan sosok Warak Ngendhog. Budayawan Semarang, Djawahir Muhammad, menyebut bahwa Warak Ngendhog merupakan seni kriya produk asli masyarakat Semarang. Ini dibuktikan dengan tampilnya warak untuk pertama kali pada Pasar Malam Sentiling di Mugas, tepatnya pada tahun 1936. Pasar malam itu digelar untuk memperingati ulang tahun ke-100 Ratu Wilhelmina. Sementara, di kalangan masyarakat umum, tersebar folklore Warak Ngendhog sebagai binatang mirip badak yang ditemukan oleh warga. Konon, sosok itu ditemukan sejumlah warga yang tengah melakukan babat alas yang kini menjadi Kampung Purwodinatan. Dari cerita tersebut, warga di kampung Purwodinatan (selain juga Kampung Gendingan, Kelengan, Teriman) mulai memproduksi kerajinan Warak Ngendhog dan dijual pada saat Dugderan. Namun sayang, seiring berjalannya waktu, sosok Warak Ngendhog mengalami pergeseran bentuk. Warak Ngendhog, menurut “pakem”nya, merupakan binatang rekaan yang tubuhnya mirip killin (dari China), dengan leher jenjang seperti leher unta, dan bulu yang brintik-brintik seperti bulu domba. Bahkan, bila mengacu pada konsep tradisional, Warak Ngendhog memiliki sudut yang lurus dan berbulu keriting. Sebutir telur diletakkan di atas papan penyangga roda yang terbuat dari kayu. Kadang, telur itu diletakkan di ujung ekornya. Bulu-bulu warak juga didominasi warna merah, putih, kuning, hijau dan biru. Proporsi Warak Ngendhog mengandung filosofi yang dalam tentang warga Semarang. Djawahir Muhammad mengungkap dalam tulisannya, “Sudut yang lurus itu analog dengan pencerminan sikap dan perilaku wong Semarang yang lurus (tidak berbelit-belit), terbuka (apa adanya, tanpa basa-basi), dan egaliter (tidak mementingkan kasta atau formalitas). Bentuk tubuh warak juga mencerminkan akulturasi budaya berbagai etnis yang menghuni kota Semarang. Kepala bersudut lurus menyerupai kambing (Jawa), leher yang jenjang menyerupai leher unta (Arab) dan badan dengan proporsi tubuh menyerupai killin China. Bulu-bulunya keriting seperti gibas (wedus gembel), mulutnya menyeringai seperti singa atau naga, kepala bertanduk seperti tanduk kambing….”
  • 3. Malahan, munculnya inovasi warak yang tak mengindahkan nilai-nilai di dalamnya, justru menggeser makna Warak Ngendhog itu sendiri. Tak jarang warak berubah dengan kepala seperti Liong, sudut yang meliuk-liuk yang tak menggambarkan ketegasan, kemudian tubuh warak yang lebih mirip anjing dan bersisik, dan imajinasi-imajinasi lain yang justru merusak estetika Warak Ngendhog itu sendiri. Memprihatinkan, pasti. Namun, terlepas dari inovasi yang memburamkan nilai filosofi, Warak Ngendhog sudah semestinya hadir menjadi pemurni nilai-nilai multikulturalisme negeri. Di saat etnosentris dan chauvinisme makin membelenggu jatidiri, sudah sepantasnya Warak Ngendhog menjadi refleksi diri.