1. Hak Asasi
Cacat. Mungkin itulah kata yang pas untuk mengungkapkan kekecewaan kita terhadap birokrasi dan
ketidakefektifan undang-undang dalam merangkul semua kalangan, khususnya anak-anak, dalam pemenuhan hak-
hak asasi mereka. Bagaimana kita tidak prihatin saat melihat masih banyak anak yang terlunta-lunta di jalanan,
mengamen di bus-bus, menantang matahari sambil mencari sesuap nasi.
Buktikan saja jika Anda berjalan-jalan di sekitar Kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), Jatinangor. Satu hal pasti
yang akan Anda lihat adalah tidak sedikit anak-anak usia sekolah yang mengharap sedikit recehan melalui gelas
minuman bekas. Tidak jarang mereka tertidur di pinggir jalan.
Sungguh ironis. Itu terjadi di depan sebuah lembaga pendidikan tinggi yang terkemuka. Sebuah potret buram
negeri kita terpampang di sana.
Apa yang salah dari anak-anak itu? Nasibkah? Sungguh beralasan jika kita menyalahkan nasib. Akan tetapi, lebih
beralasan jika kita menyalahkan kita sendiri, khususnya para pejabat tinggi yang katanya ada untuk menjunjung
hak asasi manusia. Hak asasi siapa yang mereka junjung?
Undang-undang juga sepertinya tidak bisa menjadi alat nyata yang bisa digunakan untuk tumpuan mendapatkan
hak sebagai warga negara Indonesia, khususnya anak-anak.
Undang-Undang Dasar 45 Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 31 menyatakan, (1) setiap warga
berhak mendapat pendidikan, (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
Pemerintah melanggar UUD 45. Jika setiap warga berhak mendapatkan pendidikan, mengapa masih banyak anak
yang tidak berpendidikan dan hidup di jalanan? Alasan anak-anak tersebut mungkin terletak pada biaya. Namun,
bukankah pemerintah sendiri mengatakan bahwa pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 Ayat 2)?
Sungguh menggelikan. Pemerintah memiliki kewajiban yang mereka lalaikan. Jika seperti ini, pemerintah berulang
kali menelan ludah sendiri.
Selain itu, Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan pada Pasal 49 Ayat 1
bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kenyataannya, anggaran pendidikan yang direalisasikan hanya 9,1 persen.
Bagaimana pemerintah bisa mengatasi masalah anak-anak jalanan jika sistem birokrasi pendidikannya seperti ini.
Restrukturisasi birokrasi yang bobrok perlu dilakukan. Jika tidak, banyak pihak yakin birokrasi kita akan terus
mengekang hak-hak asasi manusia Indonesia .
2. Jender Versus Media Televisi
Salah satu media massa yang memiliki pengaruh paling cepat adalah media televisi. Berbagai informasi dan
kebijakan pemerintah bisa diketahui hanya dalam sekejap mata. Jumlah pemirsa televisi pun tanpa harus ada data
statistik bisa dipastikan lebih besar daripada jumlah pemirsa media massa lain. Karena alasan inilah, media televisi
biasa dijadikan sebagai tempat promosi untuk mendapatkan keuntungan yang besar meskipun modal yang
dikeluarkan juga tidak sedikit.
Salah satu fungsi yang ada adalah fungsi hiburan. Namun, fungsi ini seolah meluas menuju celah yang
memperdebatkan isu jender. Telah menjadi rahasia umum, televisi menginginkan obyek yang memiliki batas ke
kesempurnaan yang jauh lebih dekat. Obyek di sini berarti pelaku-pelaku yang bekerja di depan layar televisi.
Seseorang harus memiliki wajah cantik, tampan, menarik, tubuh proporsional, dan pada beberapa kesempatan
harus memiliki tubuh yang aduhai. Hal ini memang tidak terlalu salah, tetapi akan menjadi polemik jika sosok
wanita lebih dikedepankan ketimbang pria.
Dikotomi jender yang telah mengakar di masyarakat kita seakan menjadi lebih kompleks ketika hal itu melebur ke
dalam media televisi. Meskipun tidak ada patokan yang jelas, dalam berbagai produk televisi, contohnya sinetron,
iklan, dan talk show, para pelaku televisi lebih menggunakan wanita cantik daripada pria ataupun wanita yang
kurang cantik.
Lihat saja sinetron-sinetron atau pembaca berita yang dibanjiri wanita-wanita-yang kata sebagian orang hampir
sempurna. Memang, hal ini tidak akan menjadi masalah jika berada dalam konteks yang wajar dan sesuai dengan
kapasitas atau kemampuan para pelaku tersebut. Namun, akan menjadi hal yang sungguh menyedihkan jika tujuan
dari hal tersebut adalah hanya untuk menarik massa. Menarik massa dengan menggunakan berbagai kelebihan
fisik wanita.
Terlepas dari kontroversi UU Antipornografi dan Pornoaksi, perlindungan terhadap eksploitasi tubuh manusia,
khususnya wanita, baik secara langsung maupun tidak langsung, menjadi hal yang penting. Media televisi tidak
dapat menjadikan tubuh wanita sebagai ujung tombak penarik massa. Pengaruh yang ditimbulkannya pasti akan
besar dan berdampak negatif.
Satu hal yang perlu ditekankan adalah kenyataan bahwa media massa memiliki fungsi lain yang lebih bermanfaat
dibandingkan fungsi hiburan yang mengarah pada tujuan yang negatif. Apakah jender bisa terlepas dari media
massa khususnya televisi? Tidak akan ada yang bisa menjawab sebelum kita sendiri yang berbuat. Ingatlah, kita
adalah apa yang kita lakukan.
3. Demokrasi Lewat Satire?
Lewat terminologi demokrasi setiap warga negara selama berada dalam ruang lingkup yang tidak bersinggungan
dengan konstitusi, bisa melakukan apa saja. Demokrasi dianggap sebagai pintu kebebasan untuk bertindak sesuai
dengan hak dan kewajiban. Salah satu bentuk ideal untuk melaksanakan demokrasi yang seringkali muncul akhir-
akhir ini adalah satire. Satire merupakan sindiran terhadap penguasa melalui karya sastra atau seni. Bentuknya bisa
berupa tulisan, pertunjukan drama, film, puisi, dan lain-lain.
Program televisi yang berupa satire selama beberapa waktu telah menjadi bentuk lain demokrasi di Indonesia.
Biasanya, program tersebut mengomedikan tokoh-tokoh pemerintah dan berbagai kebijakannya. Sebut saja
Republik BBM (dulu), News dot com, dan Ramadhan di Istana. Pertanyaannya sekarang mestinya efektifkah satire
menerapkan nilai-nilai demokrasi? Atau tercapaikah tujuan yang ingin dicapai lewat satire? Melihat program-
program tersebut sepertinya tidak akan begitu efektif. Kemasan program berbau satire tersebut lebih condong ke
arah komedi daripada contoh demokrasi itu sendiri. Penonton lebih sering diajak menertawakan sindiran terhadap
tokoh-tokoh penguasa ketimbang mengajak penonton untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah itu
sendiri. Pada akhirnya program tersebut lebih dikenal sebagai acara komedi.
Demokrasi lewat satire akan lebih efektif jika unsur komedinya diimbangi dengan unsur kritik membangun
terhadap kebijakan pemerintah. Acara satire semacam itu yang notabene disukai masyarakat, akan lebih mudah
dicerna dan alangkah lebih baik jika pesan demokrasi disisipkan dengan baik. Demokrasi itu sendiri adalah cara
yang keras. Bukan hanya untuk menegakkannya, tetapi juga untuk menjalankannya. Kita jarang melihat demokrasi
yang lembut, ramah, santun, dan bersahaja. Namun, seringkali kita melihat wajah demokrasi yang keras, garang
bahkan sampai baku hantam, baku suap, hingga baku senjata. Aktualisasi demokrasi yang paling umum terlihat
adalah demo-demo yang tidak jarang berubah menjadi ajang anarkisme massa.
Mengemas demokrasi lewat satire akan menjadi jalan lain yang jauh dari kekerasan yang berdimensi fisik meskipun
sangat dekat dengan kekerasan dalam bentuk verbal dan psikologis. Sindiran terhadap tokoh-tokoh pemerintahan
harus diarahkan ke konteks yang lebih real demokrasi daripada humor belaka. Mengingat massa dari acara yang
dikomunikasikan melalui media massa adalah anonim dan heterogen, maka penyampaian pesan moralnya harus
jelas, tidak boleh terselubung sehingga tidak akan menimbulkan interpretasi yang terlalu berbeda.
Selain itu, pelaku-pelaku acara satire harus bisa menempatkan diri pada posisi yang sesuai dengan norma-norma
yang berlaku di Indonesia. Penghinaan atau sindiran yang berlebihan dalam satire akan memunculkan persepsi
negatif bagi masyarakat kita. Apakah kita ingin menambah masalah lagi melalui tayangan televisi tidak berbobot?
Tentu saja tidak.
Demokrasi lewat satire merupakan salah satu cara untuk mengapresiasi berbagai hal yang nantinya akan berguna
bagi masyarakat luas. Cara yang mudah bukan? Hanya saja perlu ditekankan ke mana arah yang hendak dituju oleh
program satire tersebut. Apakah ke arah positif guna membangun bangsa ini? Ataukah ke arah negatif yang
nantinya malah membuat bangsa ini kehilangan arah.
4. Undang-Undang Anti Selingkuh?
Melihat realitas yang terjadi di masyarakat, selingkuh sepertinya sudah menjadi kebiasaan. Lihat saja tayangan
infotainment, banyak memberitakan perselingkuhan para artis. Satu hal yang pasti, peristiwa tersebut
menunjukkan bahwa manusia Indonesia kurang bisa berkomitmen pada diri sendiri, apalagi orang lain. Hal ini
mengingatkan kita pada para pejabat yang mengkhianati janji yang mereka ucapkan ketika berkampanye.
Kekuatan ucapan sepertinya tidak bisa diandalkan begitu saja. Seseorang yang berjanji lalu mengingkari tidak akan
mendapatkan hukuman apa-apa kecuali hukuman etika dan moral dari pihak yang terkhianati.
Untuk itu, diperlukan kekuatan hukum atau legalitas janji. Salah satunya melalui perjanjian pranikah. Perjanjian ini
jangan dianggap sebagai alat yang menunjukkan mereka yang membuatnya sudah bersiap-siap berpisah, tetapi
sebagai sebuah antisipasi dari berbagai permasalahan yang mungkin terjadi.
Selain itu, hal besar yang mungkin diperlukan adalah undang-undang antiselingkuh. Undang-undang Perkawinan
yang ada kurang efektif melindungi pihak-pihak yang menjadi korban.
Untuk itu, diperlukan alat hukum lain yang lebih tegas dan jelas dalam menangani kasus perselingkuhan. Selingkuh
bukan hak prerogatif manusia, karena kita telah melakukan ikatan dengan orang lain. Hal ini menjelaskan, dengan
selingkuh kita melakukan pelanggaran terhadap orang yang terikat tersebut. Hak pribadi sudah dikekang oleh hak
pribadi orang yang memiliki ikatan dengan kita.
Oleh karena itu, selingkuh bukan sesuatu hal yang pribadi, melainkan menyimpang dan mengkhianati. Undang-
undang antiselingkuh bisa saja berisi pasal-pasal patriarkal dan matriarkal yang menghormati pihak- pihak yang
memiliki hubungan, dan si pelanggar dapat disidangkan melalui persidangan terlembaga apabila melanggar janji.
Perselingkuhan kebanyakan merugikan kaum perempuan. Meskipun belum ada ukuran standar bahwa kaum pria
lebih banyak berselingkuh, bisa dipastikan, banyak pria mempunyai istri atau kekasih lebih dari satu. Tanpa
menyinggung para pelaku poligami, perselingkuhan mesti diturunkan kadarnya dan berusaha dihilangkan.
Satu hal yang sulit pastinya, karena sudah menjadi sifat abadi manusia yang selalu mencari sesuatu yang lebih
nikmat dan lebih memuaskan. Sifat-sifat seperti itu mendegradasi moral bangsa, terutama para orang dewasa, baik
pria maupun wanita.
Bukankah kita ingin memperbaiki moral bangsa? Mulailah perbaiki dari hal kecil, yaitu diri sendiri, mengakui bahwa
selingkuh adalah sifat yang mengamoralkan manusia. Cara yang lebih baik dan efektif, mungkin, undang-undang
anti selingkuh benar-benar diperlukan.
5. Mengenal Tuhan
"Biarkan aku mengenal Tuhan-ku dengan caraku sendiri,"
Setiap orang pasti pernah mengalami hal tersebut, pernah ada dalam titik paling dasar mengenai segala hal dan
bertanya. Tidak perlu secara radikal, tetapi cukup secara alamiah. Mengapa saya harus begini atau mengapa ini
seperti ini tidak seperti itu. Begitu pun juga saya. Ada satu hal yang menarik saya untuk bertanya, meskipun
sebenarnya pertanyaan ini telah saya lontarkan beberapa tahun yang lalu. Mengapa saya perlu mengenal Tuhan?
Biarkan aku hidup dengan caraku sendiri. Biarkan aku mengenal cinta melalui pengalamanku sendiri, dan biarkan
aku mengenal Tuhan-ku dengan caraku sendiri.Tidak bermaksud menitikberatkan ketiga opsi tersebut dari puisi,
namun ada satu persamaan yang bisa saya tarik: independen. Kemandirian dalam mengambil sikap bagi saya
adalah salah satu cara untuk merdeka dari keterikatan dengan ranah publik yang tidak perlu dan sia-sia.
Saya tumbuh dengan cara orang tua saya membesarkan saya, yaitu penuh dengan keimanan yang ditanamkan
secara naluriah dalam sebuah keluarga sehingga saya tergerak pada arus yang sama yang mengikuti apa kata
'mereka'. Saya ikut arus karena ketika itu saya merasa tidak perlu untuk bertanya, lebih tepatnya belum tahu untuk
bertanya. Apakah pikiran saya terbuka ketika pada akhirnya saya tahu kalau keyakinan atau keimanan atau apapun
terminologinya, yang saya punya selama ini adalah sebuah tradisi bukan keyakinan yang tulus yang saya dapatkan?
Saya tidak tahu. Mungkin juga saya tertutup untuk melihat sebagian pendapat orang bahwa keyakinan yang
ditradisikan adalah keyakinan yang benar. [benar menurut mereka]
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana saya mengenal Tuhan ketika saya [yang menurut pendapat saya]
'terbuka' pada kenyataan saya bahwa perkenalan saya dengan Tuhan saya adalah pertemuan yang ditradisikan,
bukan dijanjikan? Bagi saya, mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri. Mengenal apa yang kita pikirkan dan
apa yang kita lakukan, apakah benar menurut kita dan benar menurut 'kebaikan'. Tuhan adalah ada bagi kita,
bukian bagi orang lain karena mengenal Tuhan adalah tingkat spiritualitas tertinggi yang dimiliki oleh setiap
individu. Jadi, bagi saya mengenal Tuhan adalah sebuah pertemuan paling privat antara dua sosok, dalam lingkup
ini antara saya dan Tuhan. Jangan pikirkan pertemuan ini seperti pertemuan saya dengan sosok lain selain Tuhan,
seperti di sebuah meja makan restoran paling mahal di dunia atau di sebuah sore hari yang cerah dengan hidangan
teh hangat dan biskuit lemon. Tidak, tidak seperti itu. Bukan pertemuan fisik melainkan non-fisik yang jauh lebih
rumit. Rumit? Tidak, bukan rumit tetapi sederhana.
Pertemuan saya dengan Tuhan yang pertama kali adalah ketika saya mengerti kalau Tuhan itu 'ada', eksis, ajeg.
Bukan mempercayai Tuhan secara tradisi, melalui lantunan doa-doa yang tidak kita mengerti atau melalui ritual
keagamaan yan gsering kali kita lakukan tetapi hanya sebatas kebiasaan, bukan kewajiban. Melakukan ritual
keagamaan tetapi tetap melakukan hal-hal yang bertentangan. Mengerti Tuhan adalah meyakini dengan hati, tidak
selalu harus terucap melalui suara fisik yang terkadang lihai berbohong, tetapi melalui perasaan - keyakinan yang
nyata dalam diri kita. Saya percaya Tuhan.
Pertemuan kedua saya dengan Tuhan? - harus saya akui belum ada pertemuan lagi ketika saya melakukan
pertemuan yang pertama. Tetapi saya semakin bersemangat untuk mengetahui kapan dan di mana pertemuan
selanjutnya dengan Tuhan bisa terjadi. Tidak secara harafiah tentunya. Bagi saya mengenal Tuhan secara
sempurna adalah mencintai-Nya melebihi apapun yang bisa kita cintai, tetapi sayang, perkenalan saya belum
sampai di tempat itu.
6. Ber-Agama Kontra Ber-Tuhan
Pada sebuah kesempatan makan malam yang dingin di hari sabtu, seorang teman berkata pada saya, “Kamu
enggak shalat?”. Pertanyaan yang menurut saya tidak pantas dilontarkan dalam beberapa alasan. Pertanyaan yang
sebenarnya radikal dan telah mencapai ruang yang sangat pribadi. Persoalannya, saya adalah orang yang sekuler.
Dalam artian, saya memberi garis pemisah yang tegas antara mana yang publik dan mana yang pribadi. Saya
menempatkan urusan keagamaan, ke-Tuhanan, kebatinan yang sangat personal dalam suatu ruangan yang hanya
diurus oleh saya dan Tuhan saya. Tidak ada tangan lain yang bisa ikut campur atau sekedar bertanya kuncinya.
Sekarang, saya mencoba untuk sedikit memberikan ruangan itu kepada siapapun yang ingin membacanya. Sebuah
persoalan yang dapat saya katakan sebagai pemikiran individu yang subjektif tentang ranah pribadi saya.
Mengapa? Karena hal ini menjadi begitu krusial baik bagi saya maupun pemikiran yang saya terapkan. Dua hal yang
memang berjalan beriringan meski bagi saya “mampu” dipisahkan: Ber-Agama dan Ber-Tuhan.
Bagi kebanyakan orang, agama adalah apa yang diturunkan. Keyakinan adalah apa yang disalurkan. Diterapkan
sejak kecil dan tak bisa diubah meskipun kognisi manusia selalu bertambah atau berkurang seiring dengan
berjalannya pengetahuan yang dipelajari oleh individu. Bagi saya, agama sampai saat ini adalah sebuah pegangan
yang diturunkan terus menerus. Tanpa ada pemaksaan karena pemaksaan itu sendiri berjalan dengan cara yang
dibudayakan secara halus.
Ber-Agama dan Ber-Tuhan? Apakah “mampu” dipisahkan? Agama adalah aturan yang diberikan oleh Tuhan.
Aturan yang dogmatis tanpa mampu dibantahkan. Dengan kata lain, dogmatis di sini berarti mutlak – bagi mereka
yang mempercayai agama bersangkutan. Agama seakan menjadi wadah bagi mereka yang mempercayai
Tuhannya. Kumpulan aturan. Agama itu pegangan. Bagi para penganutnya, agama terkadang menjadi segala-
galanya. Menjadi senjata untuk mengetahui apa yang benar dan yang tidak benar. Ber-Agama menjadi Ber-Tuhan.
Begitukah? Bagi saya, Ber-Agama tidak berarti Ber-Tuhan. Ber-Tuhan belum tentu Ber-Agama. Agama dan Tuhan
terkadang perlu dibedakan.
Tuhan adalah causa prima yang ada tanpa diadakan ataupun ada tanpa ditiadakan. Mungkin begitu sederhananya.
Pikiran manusia yang sangat terbatas tidak akan pernah mampu mengetahui sang Causa Prima. Sang penyebab
utama. Tuhan adalah misterius dan tak terpecahkan. Sejauh apapun kita berusaha mempelajari-Nya, kita tidak
akan pernah sampai. Bahkan tak setengah jalanpun. Untuk mengumpamakan pikiran kita – manusia – yang begitu
terbatas tentang Tuhan, saya memetik cerita Nabi Sulaiman AS yang tengah menghadapi pertanyaan-pertanyaan
Ratu Bilqis. Berbagai pertanyaan yang dilemparkan oleh Sang Ratu mampu dijawab oleh Sang Nabi, satu
pertanyaan terakhir, “Apa itu Tuhan?” kengerian merambat di wajah Sang Nabi, Allah pun membisikan jawabannya
di telinga Nabi Sulaiman AS. Lalu, apa yang terjadi? Sang Nabi pingsan karena ternyata ia tak sanggup
menerimanya.
Percaya kepada Tuhan bagi saya adalah berawal dari percaya pada Dia bahwa Dia ada. Bahwa Dia yang
menyebabkan. Bahwa Dia yang Utama. Penyebab Utama. Sebatas itu menjadi percaya pada Tuhan yang netral.
Tuhan yang ada tanpa diadakan maupun ditiadakan. Tuhan dalam kondisi ini ada dalam pengertian Tuhan yang ada
tanpa kondisi agama. Berbagai pertanyaan akan dilemparkan dan berbagai jawaban akan dirangkaikan. Tanpa
memilah mana yang perlu dijawab dan mana yang tidak.
7. Mereka Bilang Saya Monyet* [Padahal Belum Tentu Monyet Ingin Dibilang Seperti Saya]
*["Mereka Bilang Saya Monyet" adalah judul kumpulan cerpen dan film Djenar Mahesa Ayu]
Seorang sahabat saya menitikkan air mata ketika ia habis bercinta. Menyesal, katanya. Meskipun kenyataannya
tetap ia lanjutkan. Suatu masa di SMA sahabat saya yang lain kelabakan mencari tempat aborsi. Ingin melarikan
diri katanya. Walaupun pada akhirnya ia putuskan untuk tetap menjaga jabang bayinya. Menutupi detik-detik
terakhir masanya di SMA dengan jilbab super lebar. Taubat, kilahnya. Dan akhir-akhir ini saya mendengar banyak
sekali terjadi aborsi.
Apa korelasinya dengan judul di atas? Begini, coba pikir, berapa kali 'monyet' dijadikan kata hinaan di lingkungan
kita? Padahal monyet tidak salah apa-apa. [mukanya soalnya jelek! Apa daya, monyet tidak bisa memilih]. Monyet
direndahkan. Didegradasikan oleh manusia yang selalu merasa lebih tinggi. Sementara kita tidak pernah
bercermin.
Pertanyaannya sekarang adalah ada apa dengan bercinta bebas dan aborsi? Manusia memiliki aturan yang
mengikat. Hukum yang konvensional dan inkonvensional. Norma-norma. Kenapa diikat? Kenapa diatur? Karena
manusia lebih pintar dan lebih tinggi daripada makhluk lain yang ada di bumi. Maka, kita pintar juga membuat
aturan untuk diri sendiri dan makhluk lain yang lebih rendah. Bahkan hantu sekalipun. Oleh sebab itu, gerak-gerik
manusia tidak bebas melainkan terbatas. Tidak tak teratur melainkan beraturan. Korelasinya dengan seks bebas
maka seks semacam itu tidak dibenarkan. Aturannya seperti itu. Norma agama, norma kesusilaan, bahkan norma
hukum. Sayangnya, peraturan-peraturan itu seakan melempem oleh hal yang katanya modernisasi. Pergaulan
bebas. Dan point inilah yang menunjukkan kita tidak lebih baik daripada monyet. Hah! Monyet ternyata punya nilai
positif juga!
Begini, otak monyet katanya lebih tinggi ketimbang otak hewan lainnya, tak lebih tinggi daripada manusia. Monyet
bukan hewan berpikir seperti kita. Jadi, kalau mereka melakukan seks bebas itu wajar dan lumrah. Mereka tidak
beraturan. Tidak seperti kita yang beraturan. Maka, kita? Wajar atau lumrah? Tentu saja tidak! Toh kita punya
aturan! Toh kita punya norma! Itu lah yang membedakan kita dengan monyet. Kita punya aturan, punya pikiran,
juga akal. Ketika kita melanggar pikiran kita, akal kita, maka kita pun melanggar derajat letak kita dengan hewan
lainnya. Berarti kita merendahkan diri kita daripada monyet. Mereka bilang saya monyet... Belum tentu monyet
ingin dibilang kayak saya!
Tetapi semuanya kembali pada pilihan masing-masing. Saya, kamu, mereka dan monyet memiliki pilihan yang
berbeda-beda. Maka, pilihan kitalah yang menunjukkan siapa diri kita sebenarnya, melebihi kemampuan kita.
...