1. KREATIF MEMBELAJARKAN MATEMATIKA
A. Pendahuluan
Selalu lebih mudah menolong orang-orang yang dapat menolong dirinya sendiri dari pada menolong
mereka yang tak berdaya.
Salah satu kelemahan terbesar dari sifat alami manusia adalah dalam menanggapi suatu
ide baru. Bagaimanapun hal itu membuat anda berpikir bahwa gagasan yang anda gemari
mungkin salah, keyakinan anda yang paling kokoh bisa menjadi goyah,…. Karena itu, wajar
jika masyarakat membenci ide baru dan mereka cenderung untuk salah memperlakukan
orang pertama yang membawa ide baru tersebut (Rogers, 1983).
IMSTEP-JICA melaporkan bahwa rendahnya kualitas pemahaman matematika siswa
dikarenakan dalam proses pembelajaran guru umumnya terlalu berkonsentrasi pada latihan
menyelesaikan soal yang bersifat prosedural dan mekanistik daripada pengertian. Guru
biasanya menjelaskan konsep secara informatif, memberikan contoh soal, dan soal-soal
latihan (Herman, 2007). Kesulitan siswa dalam pelajaran matematika, disebabkan oleh
lemahnya penguasaan guru terhadap konsep dan metodologinya (Gozali, 2007). Sulastri dan
Jarnawi (2007) melaporkan bahwa banyaknya siswa yang tidak menyukai pelajaran
matematika di antaranya disebabkan oleh gurunya yang galak dan metode pelajaran yang
membosankan (monoton). Hasanudin (2007) juga menuliskan bahwa dalam pelaksanaan
pembelajaran matematika sekarang ini pada umumnya guru masih mendominasi kelas, siswa
pasif (datang, duduk, nonton, berlatih, …., dan lupa), guru memberitahu konsep, siswa
menerima barang jadi. Demikian juga dalam latihan dari tahun ke tahun soal yang diberikan
adalah soal yang itu-itu juga, tidak bervariasi, hanya berkisar pada pertanyaan apa, berapa,
tentukan, selesaikan, jarang sekali menggunakan kata-kata mengapa, bagaimana, darimana,
atau kapan.
Pendekatan dan metode yang dikuasai guru belum beranjak dari pola tradisional,
pilihan favorit guru dalam mengajar matematika adalah metode ceramah dan ekspositori,
guru asyik menerangkan materi baru di depan kelas dan murid mencatat, siswa jarang sekali
mengkomunikasikan secara lisan hasil dan pengalamannya, siswa mengikuti penjelasan atau
informasi yang diberikan guru tetapi mereka jarang mengajukan pertanyaan, siswa hanya
mencontoh apa-apa yang dikerjakan guru dan mengingat rumus-rumus atau aturan
matematika dengan tanpa makna dan pengertian (Wahyudin, 2008).
Kasus Lessons Study di Sumedang menemukan bahwa siswa sulit memahami variabel,
siswa tidak mengetahui kegunaan matematika, siswa tidak atau kurang mampu berfikir
tingkat tinggi (pemecahan masalah), siswa ingin segera mampu menyelesaikan masalah
matematika dengan meminta rumus/aturan/algoritma dari guru, dan siswa cepat jenuh dalam
belajar matematika, guru kesulitan memberikan pemaknaan simbol-simbol matematika,
waktu (jam pelajaran) makin sedikit sehingga sulit untuk berimprovisasi, guru merasa
pembelajaran dengan pemecahan masalah sangat menyita waktu.
Sementara itu rote learning cenderung menjadikan siswa berfikir pasif, mereka tidak
berfikir secara terstruktur, dan belajar menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna.
Pembelajaran yang procedural, seperti penerapan rumus cenderung menghilangkan
kemampuan siswa untuk melihat struktur masalah secara utuh. Padahal, pemahaman akan
struktur masalah merupakan bentuk dari pemikirian yang produktif.
Inilah gambaran sebuah situasi kelas tradisional yang dikritik oleh Ernest, bahwa
tugas-tugas kelas mengajarkan siswa untuk melakukan prosedur simbolik tertentu, bekerja
tetapi bukan untuk berfikir, hanya untuk menjadi automatons. Hal serupa disampaikan Silver
bahwa aktivitas siswa sehari-hari terdiri atas menonton gurunya menyelesaikan soal-soal di
papan tulis, kemudian meminta siswa bekerja sendiri dalam buku teks atau LKS yang
disediakan (Turmudi, 2008). Banyak sekali guru matematika yang menggunakan waktu
pelajaran 45 menit secara tidak efektif, rutinitas, hal ini dapat membosankan,
membahayakan, dan merusak seluruh minat siswa (Sobel dan Maletsky, 2004).
Realitas inilah yang terus mengukuhkan posisi pelajaran matematika sebagai
pelajaran yang menakutkan bagi sebagian siswa, dan menggejala baik di tingkat SD, SMP,
1
Wahidin, komunitas matematika kreatif UHAMKA
2. maupun SMA (Turmudi, 2008). Bagi banyak orang, nama matematika menimbulkan
kenangan masa sekolah yang merupakan beban berat, bahkan Piaget mengungkapkan bahwa,
siswa cerdas sekalipun secara sistematis menemui kegagalan dalam pelajaran matematika
(Maier, 1985). Rasa takut terhadap pelajaran matematika (fobia matematika) sering kali
menghinggapi perasaan siswa dari tingkat SD sampai dengan SMA bahkan hingga perguruan
tinggi. Ruseffendi (2006) menyatakan bahwa, “matematika (ilmu pasti) bagi anak-anak pada
umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi, kalau bukan mata pelajaran yang
paling dibenci”. Hal ini nampak dari rendahnya hasil belajar matematika yang diperoleh
siswa. Lebih dari itu suasana belajar menjadi tidak menarik, cenderung membosankan dan
rutinitas belaka (Asyhadi, 2005).
Guru maupun sarana dan prasarana menjadi sorotan utama berkenaan dengan kualitas
pendidikan nasional. Tentu saja hal ini akan berujung kepada pembelajaran di kelas yang
minim inovasi dan kreatifitas, juga minim penguasaan ragam metode dan penggunaan ragam
media. Akibatnya siswa sebagi pebelajar memperoleh pengetahuan minimalis, mereka tidak
banyak mengetahui isi pelajaran yang semestinya mereka terima (standard isi menjadi
persoalan). Proses pembelajaran pun menjadikurang menarik yang akan dapat melemahkan
standard proses pendidikan nasional. Kesemuanya ini akan menggerogoti standard
kompetensi lulusan.
Sementara Suydam dan Weaver mencatat, guru umumnya mempercayai bahwa siswa
belajar lebih efektif manakala mereka tertarik dengan apa yang dipelajarinya dan mereka
akan berprestasi baik kalau mereka menyukai matematika, karena itu sikap positif siswa
terhadap matematika menjadi penting untuk dipelihara (Turmudi, 2008). Logikanya, secara
kontraposisi, ketika sikap siswa tidak positif, mereka mulai tidak suka kepada matematika,
maka prestasi belajar mereka akan menurun. Senada dengan hal tersebut, ketakutan kepada
matematika akan berujung kepada rendahnya hasil belajar matematika.
Pembaharuan dalam pendidikan dan pembelajaran Matematika di negeri kita
tampaknya mengikuti kecenderungan inovasi negara-negara lain. Perhatian pemerintah dan
pakar pendidikan matematika diberbagai negara untuk meningkatkan kemampuan matematika
siswa mengarah kepada upaya mengatasi rendahnya aktivitas dan hasil belajar matematika.
Sekarang ini tengah diuji-cobakan penggunaan pembelajaran matematika secara kontekstual
dan humanistik seperti yang telah dikembangkan di negara-negara maju. Misalnya Belanda
dengan RME, dengan pendekatan ini diduga peningkatan hasil belajar dan aktivitas siswa
dapat dilakukan dengan menyajikan materi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Amerika Serikat dengan CTL, pendekatan ini dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas
siswa dalam menyelesaikan tugas matematika melalui pembelajaran yang dimulai dengan
masalah-masalah kontekstual. Pendekatan seperti ini diduga mampu mengantarkan siswa
dalam merespons setiap masalah dengan baik, karena dalam kehidupan sehari-hari, siswa
telah mengenal masalah tersebut. Jepang dengan open-ended, pendekatan ini, diduga
peningkatan hasil belajar dan aktivitas siswa dapat dilakukan dengan memberi soal-soal
terbuka yang memiliki banyak jawab benar. Singapura dengan concrete-victorial-abstract
approach, peningkatan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa diduga dapat dilakukan
melalui perantaraan benda-benda konkrik dan gambar-gambar yang menarik perhatian siswa.
Australia dengan mathematics in context. Sedangkan di Indonesia sendiri di tingkat SD tengah
dipopulerkan PMRI. Kesemuanya ini dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas
matematik siswa (Puskur, 2007).
Agar kesulitan yang dihadapi siswa dapat diatasi dan kemampuan matematik dapat
ditingkatkan, tentu dibutuhkan suatu metode pembelajaran yang mampu memberikan
kebermaknaan belajar bagi siswa, karena menurut Madnesen dan Sheal dalam Suherman
(2004) bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cara siswa belajar. Jika belajar
hanya dengan membaca kebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari
melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunikasi mencapai 70 %, dan
belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan bisa mencapai 90%. Dari uraian di atas
implikasi terhadap pembelajaran adalah bahwa kegiatan pembelajaran identik dengan
aktivitas siswa secara optimal, tidak cukup dengan mendengar dan melihat, tetapi harus
dengan hands-on activity, minds-on, konstruksivis, dan daily life. Oleh karena itu guru mesti
menghadirkan metode pembelajaran yang dapat mendukung cara belajar siswa secara aktif,
kreatif, efektif dan menyenangkan.
2
Wahidin, komunitas matematika kreatif UHAMKA
3. B. Pembelajaran Kreatif
Sementara ini pembelajaran kreatif dipopulerkan dengan PAKEM ataupun PAIKEM.
Proses belajar dapat dikatakan active learning apabila mengandung: 1) Komitmen
(Keterlekatan pada tugas), 2) Tanggung jawab (Responsibility), dan 3) Motivasi.
Dimaksudkan aktif di sini adalah bahwa peserta didik maupun guru berinteraksi untuk
menunjang pelajaran, siswa bertanya, memberi tanggapan, memecahkan masalah serta
mengungkapkan dan mendemonstrasikan ide atau gagasannya.
Inovatif artinya kecenderungan guru untuk mengadopsi pembelajaran baru,
kemampuan mencipta dan memvariasikan metode pembelajaran. Pembelajaran efektif
meliputi perencanaan, penyajian, dan penutupan. Maksudkan adalah bahwa tercapainya suatu
kompetensi merupakan dasar yang utama dalam membuat suatu rancangan pembelajaran.
Menyenangkan yang dimaksud adalah ketertarikan pada pembelajaran matematika,
sikap positif terhadap matematika, yang dapat berupa self believe, self concept, maupun selft
efficacy siswa. Menciptakan suatu suasana belajar yang hidup, semarak, terkondisi dan
ekpresip serta menarik perhatian peserta didik pada materi yang diajarkan. Tentu hal ini perlu
adanya motivasi yang baik, sehingga siswa akan lebih mudah dan senang belajar matematika,
motivasi dalam pembelajaran matematika adalah usaha-usaha untuk menyediakan kondisi-
kondisi sehingga seseorang terdorong untuk belajar lebih baik, dan mempengaruhi siswa
sehingga pada diri siswa timbul dorongan untuk belajar, sehingga diperoleh pengertian,
pengetahuan, sikap dan penguasaan kecakapan, agar lebih dapat mengatasi kesulitan-
kesulitan.
Sedangkan pembelajaran kreatif adalah kemampuan untuk menciptakan,
mengimajinasikan,melakukan inovasi, dan melakukan hal-hal yang kartistik lainnya.
Kreatifitas adalah sebagai kemampuan (berdasarkan data dan informasi yang tersedia) untuk
memberikan gagasan-gagasan baru dengan menemukan banyak kemungkinan jawaban
terhadap suatu masalah,yang menekankan pada segi kuantitas, ketergantungan dan
keragaman jawaban dan menerapkannya dalam pemecahan masalah. Pembelajaran kreatif
penekanannya bagaimana guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran matematika ini
mampu memfasilitasi proses belajar mengajar. Selain guru kreatif dalam variasi metode
menngajar dan membuat alat peraga, siswa juga diajak dan diberi kesempatan untuk
merancang/membuat sesuatu serta menuliskan ide atau gagasannya (Suhariyanto, 2006).
Perhatikan gambar di samping, ada
berapa tongkat yang anda lihat?
Pembelajaran matematika selain bertujuan yang menekankan pada penguasaan
konsep, juga: 1) melatih cara berfikir dalam menarik kesimpulan, 2) mengembangkan
aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan, 3) mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah, dan 4) mengembangkan kemampuan menyampaikan
informasi atau mengkomunikasikan gagasan.
Sesuatu yang baru atau original merupakan komponen yang sangat penting di dalam
menumbuhkan kreativitas. Guilford mengidentikkan atau mengistilahkan kreativitas dengan
produksi divergen (divergent production) atau sering juga disebut berpikir divergen, dengan
4 komponen: 1) kelancaran (fluency), 2) fleksibilitas (flexibility), 3) keaslian (originality),
dan 4) elaborasi (elaboration). Williams menambahkan aspek sikap afektif dalam komponen
kreativitas, yaitu aspek keterbukaan (opened), rasa ingin tahu (curiosity), imajinasi
(imagination), dan pengambilan risiko (risk-taking). Runco mendefinisikan kreativitas
sebagai kemampuan yang melibatkan kemampuan berpikir divergen dan berpikir konvergen,
pembuatan soal (problem finding), ekspresi diri, motivasi instrinsik, sikap mempertanyakan,
dan kepercayaan diri. Torrance mengaitkan kreativitas dengan komitmen moral, kepercayaan
diri, kemampuan melihat masalah dari sudut pandang berbeda, dan kemampuan menemukan
3
Wahidin, komunitas matematika kreatif UHAMKA
4. solusi berbeda. Harris mengaitkan kreativitas dengan kemampuan, sikap, dan proses: 1)
kreativitas sebagai kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru dengan cara
mengkombinasikan, mengubah, atau mengaplikasikan ulang ide-ide yang sudah ada
(kemampuan), 2) kemauan untuk menerima perubahan atau sesuatu yang baru (sikap), dan 3)
manusia kreatif senantiasa bekerja keras dan terus menerus membuktikan ide-ide kreatifnya
(proses) (Syaiful, 2009).
Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara optimal ada berbagai model yang sementara ini penulis
anggap sebagai pembelajaran yang kreatif. Dalam praktiknya, guru harus ingat bahwa tidak
ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu,
dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat
materi ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran kreatif adalah, memulai
pelajaran dengan sesuatu yang memotivasi dan menantang, dengan permainan dan cerita
sejarah para ilmuan matematika, kemudian isilah pelajaran dengan variasi metode,
penggunaan alat peraga matematika. Tutuplah pelajaran matematika dengan refleksi maupun
pertanyaan-pertanyaan yang probing-prompting.
C. Beberapa Pembelajaran Kreatif dalam Matematika
1. CTL
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau
tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan
siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang disajkan,
motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkrit, dan suasana menjadi
kondusif - nyaman dan menyenangkan. Prinsip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas
siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan
pengembangan kemampuan sosialisasi.
Tujuh indikator pembelajarn kontekstual, yaitu: a) modeling (pemusatan perhatian,
motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh),
b) questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan,
evaluasi, inkuiri, generalisasi), c) learning community (seluruh siswa partisipatif dalam
belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), d)
inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), e)
constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan,
analisis-sintesis), f) reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), g) authentic assessment
(penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-
usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya dari berbagai aspek
dengan berbagai cara) (Suherman, 2004).
Contoh untuk inkuiri: Siswa dihadapkan pada tiga buah kerucut yang diberi label
A, B, dan C. Panjang jari-jari ketiga kerucut tersebut sama tetapi tingginya berbeda.
Tinggi kerucut B dan C masing-masing adalah 2 dan 3 kali tinggi kerucut A. Sedangkan
untuk kerucut yang diberi label P, Q, dan R yang panjang jari-jarinya berbeda, dengan
tinggi sama. Jari-jari kerucut Q dan R masing-masing adalah 2 dan 3 kali jari-jari kerucut
P.
A B C P Q R
Apakah ada hubungan antara volum kerucut-kerucut tersebut?
4
Wahidin, komunitas matematika kreatif UHAMKA
5. 2. RME
Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam
pembelajaran di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna. Menurut Panhuizen
(2000), bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari maka anak
akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika
Realistic Mathematics Education (RME) pertama kali diperkenalkan dan
dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada
pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita
dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan
anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia
berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep
matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan
melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan. Realistik dalam hal ini
dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh
siswa. Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan
informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
RME dikembangkan dengan pola guided reinvention dalam mengkontruksi konsep-
aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep,
prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia
empirik) dan matematika vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio,
pengemabangan matematika).
Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-
aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke
formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran
sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).
Contoh:
Perhatikan gambar, berapa banyak yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan 1 buah O?
3. PBL
Problem Based Learning (PBL) hadir mengingat kehidupan manusia adalah identik
dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan
kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari
kehidupan aktual siswa maupun untuk merangsang kemamuan berpikir tingkat tinggi.
Kondisi yang harus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis,
suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat berpikir optimal.
Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi,
induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri
(Suherman, 2004).
Contoh:
Sebuah perusahaan ban mengeluarkan aturan bahwa setiap pemakaian ban yang
diproduksinya harus diganti setelah ban tersebut melakukan dua juta putaran. Bagaimana
seorang pengendara mengetahui bahwa ban tersebut sudah waktunya untuk diganti?
5
Wahidin, komunitas matematika kreatif UHAMKA
6. 4. Problem Solving
Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum
dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan cara
penyelesaian (menemukan pola, aturan, atau algoritma). Sintaksnya adalah: sajikan
permasalah yang memenuhi kriteria di atas, siswa berkelompok atau individual
mengidentifikasi pola atau aturan yang disajikan, siswa mengidentifkasi, mengeksplorasi,
menginvestigasi, menduga, dan akhirnya menemukan solusi (Suherman, 2004).
Contoh: Tentukan luas daerah yang diarsir
5. Problem Posing
Sebuah pemecahan masalah dengan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali
masalah menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana sehingga dapat dengan mudah
dipahami. Sintaksnya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, minimalisasi
tulisan-hitungan, cari alternatif, menyusun soal-pertanyaan. Perumusan atau pembentukan
soal dari situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, saat, atau setelah pecahan suatu
masalah. Sehubungan dengan hal ini Silver dalam Surtini (2003) memberikan istilah problem
posing diaplikasikan pada tiga bentuk aktivitas kognitif yang berbeda, yaitu: 1) presolution
posing, yaitu siswa membuat soal dari situasi yang diadakan, 2) within solution posing, siswa
merumuskan ulang soal yang telah diselesaikan, dan 3) post solution posing, yaitu siswa
memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang
baru.
Contoh: Perhatikan gambar kanguru yang sedang membilang sambil meloncat,
kemudian ajukan pertanyaan berkenaan dengan gambar tersebut.
6. Open Ended
Poppy (2003) menyatakan bahwa salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang
lebih berorientasi pada aktivitas serta kreativitas siswa yaitu pendekatan open-ended. Hal ini
didasari oleh pendapat Shimada yang menyatakan bahwa pendekatan open-ended adalah
pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu permasalahan yang memiliki metode atau
penyelesaian yang benar lebih dari satu, sehingga dapat memberi kesempatan kepada siswa
untuk memperoleh pengetahuan/pengalaman menemukan, mengenali, dan memecahkan
masalah dengan beberapa teknik.
Pembelajaran dengan masalah terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan
permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam
(multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide,
kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi.
Siswa dituntuk untuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang
bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjutnya siswa juga
diminta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Dengan demikian model
pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentuk pola
pikir, keterbukaan, dan ragam berpikir.
6
Wahidin, komunitas matematika kreatif UHAMKA
7. Sajian masalah haruslah kontekstual, kaya makna secara matematik (gunakan gambar,
diagram, dan tabel), kembangkan peremasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa,
kaitakkan dengan materi selanjutnya, siapkan rencana bimbingan (sedikit demi sedikit
dilepas mandiri). Sintaksnya adalah menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran,
perhatikan dan catat respon siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.
Berikut ini akan disajikan tiga tipe soal open-ended:
a. Diberikan titik koordinat A(-2, -3); B(7, 1); dan C(3, 4). Tentukan luas segitiga ABC.
Soal ini bisa dijawab dengan beberapa cara, di antaranya: dengan memanfaatkan konsep
vektor, integral, rumus jarak dan gradien, rumus keliling, phytagoras, luas
peersegipanjang kurang luas segitiga siku-siku, dan sebaginya. Namun hasilnya tetap
sama.
b. Tentukan dua bilangan yang jumlahnya 100
Soal ini dijawab dengan satu cara, namun memberikan beragam jawaban.
c. Apa yang bisa anda katakana dengan 21?
Soal ini dapat dijawab dengan beragam cara dan beragam jawaban.
7. CPS
Creative Problem Solving (CPS) merupakan variasi dari pembelajaran dengan
pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif
untuk menyelesaikan suatu permasalahan. CPS adalah suatu model pembelajaran yang
melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti
dengan penguatan ketrampilan. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat
melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan
tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan
masalah memperluas proses berpikir (Pepkin, 2004). Sintaksnya adalah: mulai dari fakta
aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan
dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan
solusi, presentasi dan diskusi.
Contoh: Pada suatu pantai terdapat 10 binatang yaitu berupa kura-kura dan pinguin.
Jika banyaknya kaki binantang tersebut adalah 32, maka tentukan banyaknya kura-kura dan
pinguin.
Kalau cara prosedural, kerjanya dengan menggunakan SPLDV. Tetapi secara kreatif dapat
dilakukan sebagai berikut:
Gambarkan 10 binantang tersebut dengan bentuk geometris berikut
Berikan kaki masing-masing dua, sehingga banyaknya ada 20 kaki.
Mengingat banyaknya keseluruhan kaki ada 32, maka tinggal 12 kaki lagi yang perlu
dibagikan kepada binatang-binatang tersebut.
Sehingga banyaknya binatang berkaki empat (kura-kura) adalah 6 dan penguin adalah 4.
8. LAPS-Heuristik
Heuristik adalah rangkaian pertanyaan yang bersifat tuntunan dalam rangka solusi
masalah. LAPS (Logan Avenue Problem Solving) dengan kata Tanya, apa masalahnya,
adakah alternatif, apakah bermanfaat, apakah solusinya, dan bagaimana sebaiknya
mengerjakannya. Sintaks: pemahaman masalah, rencana, solusi, dan pengecekan (Suherman,
2004).
7
Wahidin, komunitas matematika kreatif UHAMKA
8. 9. Probing-Prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan
serangkaian petanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir
yang mengaitkan pengetahuan siap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang
sedang dipelajari. Selanjutnya siswa memngkonstruksi konsep-prinsip-aturan menjadi
pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan oleh guru
(Suherman, 2004).
Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa
secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa
menghindar dari proses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya
jawab. Kemungkinan akan terjadi suasana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk
mngurang kondisi tersebut, guru hendaknya mengajukan serangkaian pertanyaan disertai
dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut. Ada canda, senyum, dan tertawa,
sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Jangan lupa, bahwa jawaban
siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah cirinya dia sedang belajar, ia telah
berpartisipasi.
Contoh pertanyaan kritis seperti Apakah kamu sudah mencoba ini? Apa yang akan
terjadi jika ada ini? Apakah kamu dapat? Bagaimana kalau begini? Kenapa kamu sampai
berpikir seperti ini? Coba jelaskan dari mana kamu memperoleh jawabannya? Kira-kira
adakah cara lain? dan sebagainya.
10. Discovery
Suatu pendekatan dalam belajar dimana siswa berinteraksi dengan lingkungannya
dengan jalan mengeksplor dan memanipulasi objek, bergulat dengan sejumlah pertanyaan
dan kontroversi atau melakukan percobaan (Suherman, 2004).
Contoh: Bagaimana memperoleh rumus volum kerucut dari volum tabung
11. Treffinger
Pembelajaran kreatif dengan basis kematangan dan pengetahuan siap. Sintaks:
keterbukaan-urun ide-penguatan, penggunaan ide kreatif-konflik internal-skill, proses rasa-
pikir kreatif dalam pemecahan masalah secara mandiri melalui pemanasan-minat-kuriositi-
tanya, kelompok-kerjasama, kebebasan-terbuka, reward (Suherman, 2004).
12. Creative Mind Mapping
Mind map ditemukan oleh Tony Buzan, yang memandang otak adalah bagaikan
raksasa yang tidur. Mind Map adalah salah satu sistem yang menggunakan prinsip
manajemen otak untuk membuka seluruh potensi dan kapasitas otak yang masih tersembunyi.
Ia merupakan salah satu sistem pembelajaran yang paling banyak dipakai dalam hal
membantu anak belajar secara lebih efektif, efisien dan menyenangkan serta terbukti dan
mendapat pengakuan di seluruh dunia. Mind Mapping setiap anak adalah unik, karena
pancaran pikiran setiap Individu berbeda-beda.
Pembelajaran ini sangat cocok untuk mereview pengetahuan awal siswa. Sintaksnya
adalah: informasi kompetensi, sajian permasalahan terbuka, siswa berkelompok untuk
menanggapi dan membuat berbagai alternatif jawaban, presentasi hasil diskusi kelompok,
siswa membuat ksimpulan dari hasil setiap kelompok, evaluasi dan refleksi.
8
Wahidin, komunitas matematika kreatif UHAMKA
9. Creative mind mapdipandang sebagai sebuah proses yang terjadi didalam otak
manusia dalam menemukan dan mengembangkan sebuah gagasan baru (produk) yang lebih
inovatif dan variatif. Dibandingkan dengan mind map biasa, creative mind map lebih
mengarahkan siswa untuk memenuhi kriteria berpikir kreatif yaitu kelancaran, keluwesan
(fleksibilitas), dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi
(mengembangkan, memperkaya, memperinci suatu gagasan) (Dahlan, 2010).
13. Quantum
Memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orkestra-simfoni.
Guru harus menciptakan suasana kondusif, kohesif, dinamis, interaktif, partisipatif, dan
saling menghargai. Prinsip quantum adalah semua berbicara-bermakna, semua mempunyai
tujuan, konsep harus dialami, tiap usaha siswa diberi penghargaan. Strategi quantum adalah
tumbuhkan minat dengan AMBak, alami-dengan dunia realitas siswa, namai-buat
generalisasi sampai konsep, demonstrasikan melalui presentasi-komunikasi, ulangi dengan
Tanya jawab-latihan-rangkuman, dan rayakan dengan penghargaan dengan senyum-tawa-
ramah-sejuk-nilai-harapan (Suherman, 2004).
D. Penutup
Kreativitas dalam pembelajaran matematika dapat diwujudkan dengan penguasaan
konsep matematika, penguasaan ragam metode, dan penggunaan ragam media. Meminjam
istilah Einstein, “kalau ingin maju, harus berani melakukan hal yang baru, berani melakukan
hal baru, harus siap disalahkan” Orang-orang yang kreatif, tidak dapat dibendung oleh
keadaan, kekuasaan, maupun kekuatan apa pun. Kreativitas bagaikan air bah yang akan siap
menerjang dinding-dinding konvensional (status quo) pembelajaran.
Untuk menjadi guru yang dapat membelajarkan matematika secara kreatif, tentu
menggudangkan ilmu menjadi keharusan bagi mereka yang telah memilih untuk menjadi
guru. Jika anda bisa mengajarlah, namun jika anda tidak bisa, maka belajarlah. Tidak elok
rasanya seorang guru ataupun calon guru yang akan mengajarkan matematika, sementara
keilmuan matematika itu sendiri tidak mereka kuasai dengan baik. Mereka lemah terhadap
penguasaan berbagai strategi pembelajaran. Hal ini sangat berbahaya, karena salah mengajar
sama saja dengan mengajarkan kesalahan.
9
Wahidin, komunitas matematika kreatif UHAMKA
10. REFERENSI
Asyhadi, Ahmad. 2005. Pengenalan Laboratorium Matematika di Sekolah. IHT Media Bagi Staf
LPMP Pengelola Laboratorium Matematika Tanggal 5 s.d. 11 September 2005 di PPPG
Matematika Yogyakarta.
Dahlan, Jarnawi Afagni. (2010). Tugas Creative Mind Map dalam Pembelajaran Matematika.
Makalah SPS UPI.
Gozali, Sofwan. (2007). Senang Belajar dan Mengajar Matematika melalui Lesson Study.
Bandung: Prosiding Seminar Nasional, 8 Desember 2007 Jurusan Pendidikan Matematika
FPMIPA UPI.
Gravemeijer. (1994). Developing Realistics Mathematics Education. Freudenthal Institute.
Utrecht.
Hasanudin, Deden. (2007). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa melalui
Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended dalam Implementasi Lesson Study.
Bandung: Prosiding Seminar Nasional, 8 Desember 2007 Jurusan Pendidikan Matematika
FPMIPA UPI.
Maier, Hermann. 1985. Kompendium Didaktik Matematika. Bandung: CV Remaja Karya.
Pepkin K. L. (2004). Creative Problem Solving In Math. Tersedia di:
http://www.uh.edu/hti/cu/2004/v02/04.
Poppy, R, Yaniawati. 2003. Pendekatan Open-ended: Salah satu Alternatif Model Pembelajaran
Matematika yang Berorientasi Pada Kompetensi Siswa. Makalah disajikan dalam
Seminar Nasional Pendidikan Matematika, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
Yogyakarta, tanggal 28 – 29 Maret 2003.
Puskur, (2007). Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Matematika. Balitbang Depdiknas.
Rogers, Everett M. (1983). Diffusion of Innovation. USA: The Free Prees.
Ruseffendi, ET. 2006. Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Sobel, Max A. dan Evan M. Maletsky, terj. Dr. Suyono, M.Sc. 2004. Mengajar Matematika. Ed.
3. Jakarta: Erlangga.
Suhariyanto. (2006). Membuat Siswa Senang Matematika. SMPN 4 Tulang Bawang Tengah.
Suherman, E. 2004. Model-Model Pembelajaran Matematika Berorientasi Kompetensi Siswa.
Makalah disajikan dalam acara Diklat Pembelajaran bagi Guru-guru Pengurus MGMP
Matematika di LPMP Jawa Barat tanggal 10 Desember 2004: Tidak Diterbitkan.
__________. 2010. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. EDUCARE:
Jurnal Pendidikan dan Budaya. http://educare.e-fkipunla.net
Sulastri, Susi dan Jarnawi Afgani D. 2007. Penerapan Model Pembelajaran Quantum Teaching
untuk Mengurangi Kecemasan Matematika Siswa pada Topik Bangun Datar. Bandung:
Prosiding Seminar Nasional, 8 Desember 2007 Jurdik Matematika FPMIPA UPI.
Surtini, Sri. Sri Rahadjo dan Badjuri. (2003). Implementasi Problem Posing pada Pembelajaran
Operasi Hitung Bilangan Cacah Siswa Kelas IV SD di Salatiga. Lembaga Penelitian UT.
Syaiful. (2009). Berfikir Kreatif Matematika dan Pemecahan Masalah. Makalah SPS UPI.
Herman, Tatang. (2007) Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP. Bandung: Prosiding Seminar
Nasional, 8 Desember 2007 Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.
Turmudi. 2008. Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (berparadigma
Eksploratif dan Investigasi). Jakarta: Leuser Cita Pustaka.
Van den Heuvel-Panhuizen. (2000). Mathematics Education in the Netherlands a Guided Tour.
http://www.fi.uu.nl/en/indexpulicaties.html.
Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran: Pelengkap untuk
Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon Guru Profesional. Bandung:
Diktat Perkuliahan UPI. Belum diterbitkan.
10
Wahidin, komunitas matematika kreatif UHAMKA