1. Relevankah Partai Islam ?
Joko Arizal Theofani
Reinkarnasi partai-partai islam merupakan sebuah euforia politik yang tak terelakkan
dari proses reformasi. Betapa tidak, 32 tahun berada di bawah kangkangan leviatan nan
absolut-sentralistik, ruang gerak kebebasan untuk menentukan arah-tujuan suatu tindakan
ditiadakan. Semuanya diatur oleh satu tangan. Demi kelanggengan kekuasaan, islam politik
dimarginalkan. Namun, ia tak mampu lagi bertahan. Karena hempasan badai waktu yang
semakin melaju, menjadi penentu berakhirnya sesuatu.
Itulah awal perubahan drastis iklim politik nasional. Reformasi 1998 menjadi angin
segar bagi warga negara untuk mengekspresikan diri dalam berserikat atau berkumpul,
bahkan ikut serta unjuk gigi di atas pentas perpolitikan nasional. Hal ini terbukti
menjamurnya berbagai partai politik, baik yang nasionalis maupun agama. Nah, sorotan kita
dalam tulisan ini adalah partai-partai Islam.
Memang, bahasan mengenai dinamika partai islam khususnya di Indonesia tetap
seksi untuk dikaji. Karena partai islam yang tampil tidak berdimensi monolitik, melainkan
pluralistik. Tentu kita akan bertanya-tanya, mengapa partai islam tidak satu? seandainya
partai islam satu, besar kemungkinan dengan mudah menggeruk suara umat Islam Indonesia.
Jawabnya, karena secara eksplisit partai-partai islam merupakan representasi pluralitas umat
Islam Indonesia. Di sanalah letak keseksiannya.
Tampilnya partai-partai islam tak bisa lepas dari pergolakan panjang suatu gerakan
(harakah) di atas kanvas hari-hari yang telah dilewatkan. Misalnya Gerakan Tarbiyah yang
terbentuk pada 1970-an merupakan embrio Partai Keadilan (PK). Gerakan Tarbiyah
diinisiasikan oleh Abu Ridho yang telah menyelesaikan studi di Madinah atas bantuan M.
Natsir melalui DDII. Abu Ridho lah secara militan menyebarkan doktrin-doktrin Ikhwanul
Muslimin (IM), seperti penerjemahan buku-buku Hassan Al-Banna dan Sayyid Qutb. Pola
gerakan pun ia adopsi dari IM. Kalau kita telusuri secara geneologis, IM juga mengadopsi
pola gerakannya dari ideologi fasisme di Italia.
Adalah suatu kepatutan bagi kita untuk mengacungkan jempol terhadap pola gerakan
yang mereka (kader Tarbiyah) terapkan untuk mengekspansi ideologinya. Karena kecakapan
mereka dalam mengorganisir dan menstrukturisasi gerakan secara rapi. Al hasil, lahirlah
Lembaga Dakwah kampus (LDK) yang menjadi kantong-kantong gerakan di perguruan
1
2. tinggi. Kemudian dari LDK dibentuklah FSLDK. Pasca reformasi, melalui konsesus mereka
mendirikan KAMMI di Malang (1999). Dua bulan kemudian, dari KAMMI lahirlah PK.
Begitu pula halnya dengan partai-partai islam lainnya juga tidak bisa lepas dari
kemasalaluan. Seperti romantis-historisnya PBB terhadap Masyumi, Seolah-olah ingin
melanjutkan cita-cita leluhur mereka. sehingga Yusril dengan gagahnya memproklamirkan
diri sebagai Natsir Muda.
Berbeda dengan PAN dan PKB, meskipun mereka mengklaim diri sebagai partai
nasionalis. Partai tersebut tetap dianggap sebagai partai Islam. Karena basis massa dan
dukungan sangatlah jelas, PAN dengan Muhammadiyah dan PKB dengan NU.
Lalu, bagaimanakah kondisi partai Islam pasca mengikuti pemilu 1999 ? Jika
dibandingkan dengan pada pemilu 1955, pemilu 1999 perolehan suara partai islam
mengalami kemerosotan, dari 43,7 % menjadi 36,8 %. Namun, secara taktis partai islam
dapat memenangkan pemilihan presiden melalui pembentukan poros tengah.
Pada pemilu 2004, partai islam dapat menggenjot suara sebanyak 38,1 %. Tapi pada
pemilu 2009, perolehan suara partai islam kembali mengecewakan kader dan simpatisannya
yaitu 23,1 %. Bahkan hasil berbagai lembaga survei memperkirakan, pada pemilu
mendatang perolehan suara partai islam akan semakin anjlok.
pertanyaannya, gerangan apa yang menyebabkan kondisi partai islam kian terpuruk,
terutama hasil pemilu 2009 dan perkiraan pemilu 2014? Berbagai faktor internal dan
eksternal yang menjadi penyebab partai islam semakin diujung tanduk, yaitu :
a. Faktor Internal
1. Tidak adanya figur kharismatik dan berintegritas yang menjadi panutan para kader.
2. Banyaknya kader yang tersandung berbagai kasus, seperti korupsi dan tindakan asusila.
3. Tergadainya idealisme partai, ulah prilaku kader yang berparadigma pragmatis.
4. Prestasi kader yang memangku jabatan kurang, bahkan tidak memuaskan publik.
5. Kualitas kader yang rendah, akibat pola pengkaderan yang tidak berjalan dengan baik.
6. Kurangnya perhatian terhadap problematika sosial, seperti konflik horizontal,
kemiskinan, pengangguran dan inkonsisten penegakan hukum. Justru lebih dominan
terhadap isu-isu anti-amerikanisme, anti-zionis dan pembelaan Palestina.
7. Tidak adanya nyali untuk beseberangan dengan pemerintah. Hal ini terbukti dengan
tidak adanya partai islam yang oposisi.
8. Dilema antara ideologi dan kepentingan. Karena terperangkap dalam hukum kurva
lonceng.
2
3. 9. Ketidakjelasan ideologi kepartaian. Partai islam hanya sebatas mengenakan antribut-
antribut agama. Sembari mengutip pandangan Bung Hatta, politik seperti itu adalah
politik gincu, kelihatan tapi tak terasa.
10. Kurangnya sumber dana.
b. Faktor Eksternal
1. Pemilih yang semakin cerdas dan rasional. Melihat kondisi partai islam yang tak jelas,
maka pemilih atau simpatisan akan beralih ke partai yang nasionalis.
2. Partai-partai nasionalis memiliki lembaga independen keagamaan yang berupaya
mengakomodir kelompok Islam, seperti PDIP yang memiliki Baitul Muslimin.
3. Adanya kecemasan di kalangan masyarakat atas pemberlakuan hukum legal-formal
Islam jika partai islam berkuasa.
Berdasarkan berbagai faktor di atas, kita dapat menilai bahwa partai-partai islam
tidak memiliki prospektif yang baik. Apalagi upaya untuk mengusung formalisme Islam,
pasti mendapat perlawanan dari umat Islam itu sendiri. Karena corak keber-Islaman di
Indonesia bersifat kultural-substansial, bukan formal sebagaimana berlaku di berbagai
negara Timur-Tengah.
Mengutip pendapat Kuntowijoyo, “Agama berdimensi plural, sedangkan politik
berdimensi tunggal. Menjadikan agama sebagai politik adalah sebuah reduksi besar-besaran
atas makna agama.” Selanjutnya ia menegaskan bahwa partai Islam lebih banyak mudarat
ketimbang manfaat.
Mampang, 24 Februari 2013
3