HdH diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi sarana informasi, komunikasi dan dialog antar komunitas yang kini tengah diberdayakan oleh LBH Masyarakat. Publikasi ini hendak menyasar pembaca utamanya di lingkungan orang yang hidup dengan HIV/AIDS, pemakai narkotika, pekerja seks dan waria/transjender. Publikasi ini juga bertujuan untuk memicu diskusi di antara anggota komunitas-komunitas tersebut. Tentu inisiatif ini tidak lepas sebagai bentuk upaya untuk melengkapi pemberdayaan hukum masyarakat yang tengah kami lakukan di empat komunitas tersebut.
Caveat - VOLUME 16/II, SEPTEMBER 2010 - LBH Masyarakat
Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat
1. hak asasi manusia dan hiv
Edisi: Nomor 04, September 2010
Kabar Komunitas
Mengupas kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat di empat komunitas yang
tengah diberdayakan yakni di komunitas Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pemakai narkotika, pekerja seks,
dan wanita-pria.
• Gambir: Saatnya Sadar Hak dan Melawan Ketidakadilan
• Blora: Menyebar Inspirasi, Membangun Semangat
• Komunitas ODHA: Momentum Kebangkitan untuk Melakukan Advokasi Mandiri
• Duri Selatan: Komunitas Baru, Sahabat Baru
Mari Bicara Hukum dan HAM
Pada edisi kali ini kita mencoba mengurai apa hubungan antara hak asasi manusia (HAM) dengan HIV. LBH
Masyarakat memandang bahwa HAM memiliki kaitan erat dengan penyebaran dan dampak HIV/AIDS bagi
individu maupun komunitas di seluruh dunia. Ketiadaan penghormatan terhadap HAM akan memicu
penyebaran dan memperburuk dampak penyakit tersebut, dan pada saat bersamaan infeksi HIV/AIDS akan
melemahkan upaya untuk perwujudan HAM.
Suara Komunitas
Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober, LBH Masyarakat
bertanya kepada teman-teman komunitas, apa yang dapat dilakukan oleh pemudi-pemuda dalam rangka
menegakkan hukum dan HAM di Indonesia.
2. HdH | 1
Daftar Isi
Dari Meja Redaksi
Kabar Komunitas
Gambir: Saatnya Sadar Hak dan Melawan Ketidakadilan
Blora: Menyebar Inspirasi, Membangun Semangat
Komunitas ODHA: Momentum Kebangkita untuk Melakukan Advokasi Mandiri
Duri Selatan: Komunitas Baru, Sahabat Baru
Mari Bicara Hukum dan HAM
Suara Komunitas
Galeria
1
2
2
3
4
5
7
9
10
Yang terhormat pembaca budiman,
Bulan Oktober menjadi bulan yang cukup padat bagi LBH Masyarakat. Menjelang pelatihan paralegal komunitas ODHA
dan populasi kunci di minggu pertama November, kegiatan pemberdayaan hukum masyarakat di komunitas tersebut
kami tingkatkan intensitasnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk dapat menemukan bibit‐bibit paralegal.
Penyuluhan demi penyuluhan kami lakukan, bahkan tidak jarang harus menembus hujan deras yang sering mengguyur
kota Jakarta. Beruntung kegigihan kami untuk melakukan penyuluhan terbayar dengan antusiasme yang tinggi di
kalangan komunitas. Bahkan terdapat satu‐dua komunitas yang anggotanya harus ‘bersaing ketat’ untuk dapat ikut
serta dalam pelatihan paralegal, mengingat tempat yang tersedia terbatas. Seperti biasa,
Kabar Komunitas akan menceritakan pengalaman kami ketika melakukan penyuluhan hukum di komunitas‐komunitas
tersebut. Pengalaman yang menurut kami layak dibagi dan patut diceritakan.
HdH kali ini juga menurunkan tulisan singkat yang hendak menjelaskan hubungan antara hak asasi manusia (HAM)
dengan HIV/AIDS. LBH Masyarakat memandang bahwa HAM memiliki kaitan erat dengan penyebaran dan dampak
HIV/AIDS bagi individu maupun komunitas di seluruh dunia. Ketiadaan penghormatan terhadap HAM akan memicu
penyebaran dan memperburuk dampak penyakit tersebut, dan pada saat bersamaan infeksi HIV/AIDS akan
melemahkan upaya untuk perwujudan HAM. Semoga tulisan ini dapat membantu rekan‐rekan pembaca memahami
kaitan antara keduanya.
Akhir kata, semoga tulisan yang kami sajikan dalam HdH dapat memicu diskusi hangat di antara anggota komunitas dan
pemerhati HAM dan HIV. Segala kritik dan saran yang membangun senantiasa kami tunggu untuk perbaikan HdH ke
depannya.
Terima kasih, dan salam hangat
Dari Meja Redaksi
Dewan Redaksi: Ricky Gunawan, Dhoho A. Sastro, Andri G.
Wibisana, Ajeng Larasati, Alex Argo Hernowo, Answer C.
Styannes, Pebri Rosmalina, Antonius Badar, Feri Sahputra,
Grandy Nadeak, Vina Fardhofa, Magdalena Blegur, dan Putri
Kusuma Amanda
Keuangan dan Sirkulasi: Fajriah Hidayati dan Zaki Wildan
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
Tebet Timur Dalam III B No. 10, Jakarta 12820
Telp. 021 830 54 50
Faks. 021 829 80 67
Email. contact@lbhmasyarakat.org
Website. http://www.lbhmasyarakat.org
HdH diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum
Masyarakat (LBH Masyarakat) dengan dukungan oleh
International Development Law Organization (IDLO) dan
OPEF Funds for International Development (OFID).
3. HdH | 2
Kabar Komunitas
Gambir: Saatnya Sadar Hak dan Melawan Ketidakadilan
Seperti biasa, LBH Masyarakat secara berkala menyelenggarakan penyuluhan hukum di komunitas pemakai narkotika.
Kesempatan kali ini, kami mengunjungki Komunitas Gambir. Komunitas merupakan kumpulan dari mereka yang pernah
menggunakan narkotika dan zat adiktif lainnya dan tengah menjalani program terapi metadon di Puskesmas Gambir.
Sebagai pemakai narkotika tentu mereka dikriminalisasi dan oleh karenanya sering berhadapan dengan hukum. Posisi
mereka yang terstigmakan membuat mereka rentan penyiksaan dari aparat penegak hukum. Tidak hanya itu, sebagai
pemakai narkotika yang berhadapan dengan hukum, tidak banyak advokat atau lembaga bantuan hukum yang bersedia
memberikan bantuan hukum. Melihat kenyataan ini LBH Masyarakat meningkatkan intensifitas penyuluhan hukum
sebagai bentuk upaya pendidikan hukum, agar ketika menjalani proses hukum, mereka akan lebih sadar hak. Akhirnya
upaya ini juga sebagai bentuk untuk mewujudkan advokasi mandiri bagi kelompok pemakai narkotika.
Penyuluhan di Puskesmas Gambir pertengahan bulan Oktober 2010 mengetengahkan topik upaya paksa dan proses
persidangan pidana. Hadir sebagai pemateri dari LBH Masyarakat, Grandy Nadeak, Peneliti Hukum dan Bahrul Ulum,
Relawan Bantuan Hukum. Selain kedua topik itu juga komunitas ini diberikan materi seputar hak tersangka maupun
terdakwa. “Teman‐teman harus mengetahui hak‐haknya ketika menjalani proses hukum supaya tahu dan tidak akan
dibodohi oleh polisi,” tegas Grandy. Hak‐hak tersebut di antaranya meliputi:
1. Mendapatkan penjelasan dari apa yang disangkakan/didakwakan terhadap diri kita.
2. Mendapat bantuan hukum dari Penasihat Hukum; aparat tidak boleh melarang seseorang untuk didampingi
penasihat hukum.
3. Berkomunikasi dengan keluarga dan orang‐orang yang berkepentingan lainnya.
4. Mengajukan saksi atau ahli‐ahli dalam suatu bidang yang dapat meringankan tersangka/terdakwa.
5. Menuntut ganti rugi dan sebagainya.
Selain dilanggar hak‐haknya di atas, pemakai narkotika yang
berhadapan dengan hukum seringkali mengalami penyiksaan atau “Saya sebenernya nggak mau ngambil tuh
perlakuan buruk lainnya. “Hal ini bisa dihindari jika teman‐teman barang bang, tapi saya dipukul terus ampe
mengetahui bagaimana proses hukum itu berjalan dan apa saja hak‐ mak ama bapak saya kaget dan ketakukan
hak yang teman‐teman miliki sebagai tersangka ataupun terdakwa,” soalnya tau‐tau saya digebukin polisi,”
demikian kata Freddy berapi‐api. Freddy pun
ujar Grandy. “Pada intinya kita harus mau dan berani
akhirnya memungut narkotika tersebut dan
memperjuangkan hak‐hak yang kita miliki. Kita juga harus mampu pada saat itulah dia ditangkap dan dibawa ke
mengadvokasi diri kita dan akan lebih baik tentunya jika kita juga kantor polisi. Ketika diperiksa oleh salah
mampu membantu teman‐teman yang tersangkut masalah pidana” seorang polisi, ia ditanya apakah benar dia
timpal Bahrul.
yang memiliki narkoba tersebut dari seorang
bandar. “Saya udah bilang saya ga beli tuh
Setelah sesi materi selesai, penyuluhan dilanjutkan dengan sesi tanya barang, saya disuruh ngambil ama tuh polisi
jawab. Seperti yang telah diprediksi sebelumnya bahwa banyak kisah yang nangkep” Freddy terus menjelaskan.
buruk yang dialami oleh mereka salah satunya dikemukakan oleh
Freddy (bukan nama sebenarnya) seorang mantan pemakai narkotika.
Ketika ia masih menjadi pemakai ia pernah ditangkap oleh kepolisian dengan tuduhan memiliki dan menyimpan
narkotika. Mulanya Freddy akan membeli narkotika pada seorang bandar di daerah Tanah Abang. Pada saat dia hendak
menemui bandar tersebut dia melihat bandar itu sedang ditangkap oleh kepolisian. Melihat sang bandar tertangkap, ia
pun tidak jadi membeli narkotika dan kembali ke rumah. Tetapi beberapa saat kemudian ada petugas polisi yang datang
ke rumahnya. Setelah bertemu dengan Freddy, kemudian polisi menjatuhkan narkotika di dekat kaki Freddy dan
menyuruh Freddy untuk mengambilnya. Pada awalnya Freddy menolak, tetapi para petugas polisi itu memukuli freddy
dan memaksanya mengambil narkotika tersebut. “Saya sebenernya nggak mau ngambil tuh barang bang, tapi saya
dipukul terus ampe mak ama bapak saya kaget dan ketakukan soalnya tau‐tau saya digebukin polisi,” demikian kata
Freddy berapi‐api. Freddy pun akhirnya memungut narkotika tersebut dan pada saat itulah dia ditangkap dan dibawa ke
kantor polisi. Ketika diperiksa oleh salah seorang polisi, ia ditanya apakah benar dia yang memiliki narkoba tersebut dari
seorang bandar. “Saya udah bilang saya ga beli tuh barang, saya disuruh ngambil ama tuh polisi yang nangkep” Freddy
terus menjelaskan, akan tetapi petugas polisi yang menangkap Freddy (kebetulan berada di dekat Freddy) itu malah
4. HdH | 3
menyiksa Freddy sampai akhirnya ia mengaku. Freddy disuruh menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang
isinya menyatakan bahwa ia telah membeli dan memiliki narkoba dari seorang bandar padahal kenyataanya tidak.
“Kalo udah kayak gitu gimana bang? Mau gak mau kita nandatanganin tuh BAP soalnya kalau nggak bisa tambah
bonyok saya”, tanya Freddy setengah marah. Akhirnya kasus tersebut berlanjut ke persidangan dan Freddy tidak dapat
membela diri karena saksi‐saksi yang dihadirkan adalah polisi yang menangkap Freddy, sehingga cenderung
memberatkan Freddy selama persidangan. BAP yang diberikan kepolisianpun menyatakan bahwa dia tertangkap saat
membeli narkotika. Hal‐hal yang demikian tentu saja memberatkan Freddy, dan pada akhirnya sesuai dengan Undang‐
Undang Narkotika Freddy diputus bersalah dan dihukum selama 5 (lima) tahun penjara.
Kisah Freddy tersebut juga dibenarkan oleh yang lain karena mereka kurang lebih juga pernah mengalami pengalaman
serupa. “Kalau kita ketemu polisi seperti begitu gimana bang?” tanya Fajri (juga bukan nama sebenarnya). “Kita bisa
melaporkan aparat polisi yang melanggar tindak pidana ke bagian Kriminal seperti layaknya kita melapor suatu tindak
pidana. Selain itu kita juga dapat melapor polisi yang bersangkutan ke Divisi Propam,” jawab Grandy. Divisi Propam
adalah Divisi yang menangani polisi‐polisi yang melanggar kode etik dan kedisplinan.
Belajar dari kasus yang dialami oleh Freddy tersebut, maka sangat penting bagi teman‐teman pemakai narkotika seperti
di komunitas Gambir untuk melengkapi diri dengan pengetahuan hukum dan HAM. Hal ini bertujuan agar dapat
melakukan advokasi bagi dirinya sendiri dan teman‐temannya ketika menghadapi masalah hukum. “Pada pokoknya,
kerjasama yang baik antara kita yang tersangkut dengan perkara hukum dengan komunitas maupun dengan Lembaga
Bantuan Hukum sangat berguna dalam membela diri kita,” ucap Bahrul di akhir sesi tanya jawab. “Betul, dan semua
yang kita lakukan bersama‐sama itu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum,
penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya,” demikian pernyataan Grandy ketika menutup penyuluhan hukum di
Puskesmas Gambir. (BU).
Blora: Menyebar Inspirasi, Membangun Semangat
Kamis 7 Oktober 2010 LBH Masyarakat berkunjung ke komunitas Blora untuk mengadakan penyuluhan hukum dan
HAM. Penyuluhan di komunitas ini memang telah dijadwalkan akan dilakukan setiap hari Kamis. Dengan bermodalkan
brosur kami pun berangkat menuju Blora. Belum terlintas bagaimana penyuluhan ini akan berjalan karena ini
merupakan penyuluhan hukum pertama LBH Masyarakat di komunitas ini. Rasa takut sempat hinggap di perasaan para
relawan yang juga baru pertama kali datang ke komunitas ini karena akan berhadapan langsung dengan waria yang
selama ini mendapat label negatif di masyarakat. “Nanti kira‐kira gimana ya penyuluhannya. Orangnya baik‐baik kan
ya?” tanya salah seorang relawan yang ikut terlibat dalam penyuluhan. Sesampainya di tempat komunitas perasaan
takut itu pun belum menghilang, praduga akan apa yang terjadi nanti kerap membayangi perasaan para relawan. Pun
demikian mereka tetap terlihat antusias untuk memberikan penyuluhan.
Materi pertama yang disampaikan kepada teman‐teman komunitas Blora adalah tentang upaya paksa, apa itu upaya
paksa dan apa saja jenisnya. Semua dijelaskan satu persatu. Respon dari teman‐teman pun sangat baik. Mereka
mendengarkan dengan serius dan menyimak dengan seksama. Walaupun materi yang diberikan adalah materi hukum
namun mereka tetap mencoba mengikutinya sekalipun topik hukum bukan topik yang disukai oleh kebanyakan dari
mereka. Sempat ada pertanyaan seperti misalnya, “apa kegunaan mengerti upaya paksa?” dan semacamnya. Namun,
pada akhirnya teman‐teman waria dapat mengerti bahwa dengan memahami upaya paksa akan memudahkan mereka
ketika berhadapan dengan hukum.
Setelah selesai sesi penyuluhan, tidak lupa kami beritahukan bahwa LBH Masyarakat akan mengadakan pelatihan
pararegal awal November. Istilah paralegal ini memang asing bagi mereka namun mereka tidak ragu untuk bertanya apa
itu pararegal dan keuntungannya buat mereka.
Kami pun menjelaskan pengertian mengenai paralegal. “Pararegal adalah orang awam yang tidak memiliki latar
belakang pendidikan hukum tetapi memiliki fungsi untuk turut memberikan bantuan hukum. Namun, berbeda dengan
pengacara, paralegal biasanya tidak membantu sampai membela di persidangan karena yang boleh bersidang itu hanya
pengacara. Paralegal mempunyai tugas memberikan apa yang kami sebut sebagai P3K, yaitu pertolongan pertama pada
kasus,” urai Vina Fardhofa, Peneliti Hukum LBH Masyarakat panjang lebar ketika itu. Pertolongan pertama pada kasus
itu diberikan dengan tujuan agar orang yang berhadapan hukum sedikit mengerti tentang hukum. Hal ini dilakukan juga
5. HdH | 4
agar dapat meminimalisir praktik mafia hukum selama proses hukum. Biasanya aparat penegak hukum dapat dengan
leluasa ‘membodohi’ orang yang tidak tahu hukum, sehingga terjebak dengan praktik suap ataupun juga penyiksaan.
Setelah mendapat penjelasan yang lengkap mengenai paralegal dan tugasnya, teman‐teman waria merasa bahwa
pelatihan pararegal itu akan memberi manfaat bagi mereka karena mereka sering mendapatkan perlakuan buruk tidak
hanya dari masyarakat tapi juga aparat penegak hukum. Beberapa dari mereka menyatakan diri untuk mengikuti
pelatihan pararegal tersebut. “Aku mau kok jadi paralegal. Bisa bantu teman‐temanku kalau lagi kena kasus,” kata salah
seorang waria kepada kami. Rupanya ketika pernyataan ini terucap, yang lainnya menimpali. Antusiasme dan semangat
ingin saling membantu sesama begitu terasa ketika itu.
Sebelum kami meninggalkan tempat, tentu kami bertanya kepada mereka tentang materi penyuluhan yang baru saja
dilakukan, apa saja catatan evaluasinya. Mereka meminta kami untuk menyampaikan materi dengan bahasa yang lebih
sederhana dan mudah dimengerti. Penggunaan bahasa hendaknya jangan terlalu teknis hukum seperti tertulis di
peraturan. Akan lebih mudah bagi mereka apabila materi disampaikan dengan bahasa yang tidak rumit dan dengan cara
yang fun, supaya tidak berkesan serius. “OK. Ini akan menjadi catatan kita untuk penyuluhan berikutnya ya,” kata Vina.
Ini tentu menjadi PR bagi kami untuk lebih baik lagi dalam mengadakan
Beberapa dari mereka menyatakan diri penyuluhan di kesempatan mendatang.
untuk mengikuti pelatihan pararegal
tersebut. “Aku mau kok jadi paralegal. Setelah selesai berbincang‐bincang santai akhirnya kami mengatur perjanjian
Bisa bantu teman‐temanku kalau lagi untuk pertemuan selanjutnya. Setelah sepakat menentukan hari dan
kena kasus,” kata salah seorang waria tanggalnya kami berpamitan karena hari sudah gelap. “Ga sabar deh
kepada kami. Rupanya ketika
penyuluhan lagi minggu depan,” kata salah seorang waria.
pernyataan ini terucap, yang lainnya
menimpali. Antusiasme dan semangat
ingin saling membantu sesama begitu Dari penyuluhan tersebut ada kesan mendalam yang dapat djadikan
pembelajaran. Pertemuan dengan teman‐teman waria telah memberi sebuah
terasa ketika itu.
pengalaman baru dan membuka mata tentang kehidupan waria yang
sesungguhnya. Citra bahwa waria itu amoral dan pendosa seperti ini yang telah tertanam dalam benak sebagian
masyarakat salah besar. Kehidupan sebagai waria itu keras. Pengusiran dari keluarga, penolakan dari masyarakat, dan
perlakuan buruk dari aparat penegak hukum adalah keseharian bagi mereka. Namun, mereka tetap bertahan. Mereka
tidak mau kalah dengan hal‐hal buruk itu. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bukan sampah masyarakat.
Mereka juga sama‐sama manusia seperti kita. Seperti manusia lainnya, waria pun memiliki hak yang sama. Pelanggaran
hak yang sering mereka alami tidak menyurutkan mereka untuk mundur, namun menguatkan mereka untuk tetap tegar
dan terus kuat melawan ketidakadilan. Semangat itulah yang memberikan inspirasi bagi kami. Ketegaran itulah yang
memberikan energi bagi kami untuk kembali datang di penyuluhan berikutnya untuk belajar bersama‐sama agar dapat
lebih baik, dan lebih baik lagi. (V/VF).
Komunitas ODHA: Momentum Kebangkitan untuk Melakukan Advokasi Mandiri
Sudah hampir 21 (dua puluh satu) tahun lamanya komunitas ini berdiri. Dua puluh satu tahun itu juga komunitas ini
sudah banyak memberikan arti. Sebagai sarana untuk menggapai sebuah mimpi sederhana, sebagai sarana kebangkitan
diri kawan‐kawan yang menderita penyakit HIV/AIDS. Komunitas ini adalah komunitas Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)
yang menjadi tempat untuk berbagi rasa dan cerita, dan juga tempat memberi motivasi untuk berusaha menjadi
pemenang dari pertarungan antara diri mereka dan penyakit yang mereka derita. Komunitas orang‐orang yang tanpa
kenal lelah terus melawan praktik stigma dan diskriminatif. Komunitas ini pula yang menjadi jalan bagi LBH Masyarakat
untuk menyuntikkan semangat pemberdayaan dan kesadaran hukum yang sering menjadi benturan bagi kawan‐kawan
ODHA.
Sebagaimana kita ketahui, kesadaran hukum yang belum juga merata menjadi sebuah fenomena umum di dalam
masyarakat, termasuk kawan‐kawan ODHA. Hal ini akan memberikan dampak buruk, terutama bagi ODHA yang tidak
mengetahui hak‐hak apa saja yang mereka miliki. Sehingga ketika berhadapan dengan hukum, atau setidaknya
mengalami sebuah konflik yang melibatkan aparat penegak hukum, mereka yang tidak mengetahui proses hukum hanya
dapat mengikuti alur yang dibuat oleh para penegak hukum tanpa tahu apakah alur tersebut telah sesuai dengan
prosedur atau tidak. Tidak jarang mereka akan mengalami diskriminasi dari aparat penegak hukum hanya karena
penyakit yang mereka derita. Diskriminasi terhadap kawan‐kawan ODHA juga sering terjadi ketika rekan‐rekan ODHA
harus berhadapan dengan stigma masyarakat dan keluarga, seperti pengusiran dari lingkungan masyarakat, perebutan
6. HdH | 5
hak asuh, hingga penghapusan nama dari hak waris keluarga. Tentu hal ini akan menjadi batu sandungan dalam
memperjuangkan hak‐hak ODHA untuk hidup seperti biasa, menjadi warga masyarakat seperti biasa, dan dapat bekerja
seperti biasa.
Kesadaran akan hak‐hak yang mereka miliki tentu akan menjadi sumber
kekuatan baru untuk memperjuangkan hak‐hak mereka dalam berbagai Untuk menjadi paralegal, perwakilan
dari komunitas ODHA akan mengikuti
ranah hukum. Atas dasar inilah, dengan dukungan aktif dari Yayasan Pelita
pelatihan
paralegal
yang
Ilmu (YPI), LBH Masyarakat telah mendapatkan begitu banyak kesempatan diselenggarakan oleh LBH Masyarakat
untuk melakukan penyuluhan hukum secara berkala. Materi‐materi yang pada awal November. Adanya
selama ini telah disampaikan antara lain adalah tentang ketenagakerjaan, pelatihan ini diharapkan dapat
upaya paksa, perdata umum, dan hukum keluarga. LBH Masyarakat pun memberikan bekal yang cukup bagi
telah banyak mendapatkan kesempatan mendampingi rekan‐rekan ODHA paralegal yang akan melakukan
dalam menghadapi berbagai kasus, seperti kisah Santi (bukan nama pendampingan hukum bagi komunitas
sebenarnya) yang melakukan mediasi dengan keluarga agar dapat ODHA dan juga menjadi tali
membawa anaknya, Junior (bukan nama sebenarnya), untuk dapat tinggal penghubung antara LBH Masyarakat
bersamanya. LBH Masyarakat juga sempat mendampingi proses dengan komunitas ODHA.
penyelesaian sengketa waris ODHA, dan juga masalah‐masalah yang
berkaitan dengan hukum kekeluargaan lainnya.
Begitu banyak ilmu yang LBH Masyarakat salurkan, begitu banyak pula ilmu yang LBH Masyarakat dapatkan dari rekan‐
rekan ODHA. Ilmu itu bernama kekuatan, kesabaran, dan semangat juang yang tak henti dalam berbagai aspek
kehidupan. Ilmu ini semakin memantapkan LBH Masyarakat untuk masuk ke dalam tahap kesadaran hukum berikutnya,
yaitu pemberdayaan hukum bagi komunitas ODHA. Pemberdayaan hukum yang akan menjadikan komunitas ini lebih
mandiri untuk memperjuangkan segala hak‐hak hukum bagi para anggotanya. Bagaimana bisa lebih mandiri? Karena
pemberdayaan hukum ini nantinya akan diwujudkan dalam bentuk pemilihan paralegal yang berasal dari kawan‐kawan
ODHA itu sendiri. Sehingga merekalah yang nantinya akan melakukan pendampingan ketika salah satu anggota
komunitas harus berhadapan dengan hukum. Untuk menjadi paralegal, perwakilan dari komunitas ODHA akan
mengikuti pelatihan paralegal yang diselenggarakan oleh LBH Masyarakat pada awal November. Adanya pelatihan ini
diharapkan dapat memberikan bekal yang cukup bagi paralegal yang akan melakukan pendampingan hukum bagi
komunitas ODHA dan juga menjadi tali penghubung antara LBH Masyarakat dengan komunitas ODHA.
Inilah langkah baru, inilah sebuah momentum. Momentum lanjutan yang berawal dari upaya sebuah komunitas dalam
mewujudkan kebangkitan individu kawan‐kawan ODHA. Kemudian dari kebangkitan individu itulah komunitas ini ikut
bangkit. Dengan adanya pemberdayaan hukum yang diselenggarakan oleh LBH Masyarakat ini, diharapkan dapat
menjadi sebuah momentum kebangkitan komunitas yang lebih mantap dan mandiri. Kita tidak akan pernah tahu, bisa
saja kebangkitan komunitas ini dapat menjadi salah satu momentum kebangkitan sebuah masyarakat yang sadar akan
hak‐hak dan keberadaan diri mereka di mata hukum. (PKA).
Duri Selatan: Komunitas Baru, Sahabat Baru
Siang itu matahari terlihat percaya diri menunjukkan dirinya. Panas teriknya tidak membuat sebagian besar warga
Ibukota enggan keluar dari rumah. Warga Jakarta sudah terlihat sibuk memadati jalanan, mencari sesuatu untuk dibawa
pulang ke rumah sore harinya. Susana padat itu sudah seperti bahasa sehari‐hari di Ibukota karena tidak ada waktu
untuk menunggu matahari beristirahat.
Suasana jalanan yang padat itu kontras sekali dengan suasana salah satu rumah petak berlantai dua di Pangkalan Bemo,
Duri Selatan, Jakarta Barat. Tempat itu terlihat lengang, padahal jam sudah menunjukan pukul 11 siang. Tidak ada
tanda‐tanda kehidupan di rumah berdinding kayu lapis tipis itu. Bahkan lampu pijar 5 watt yang menggantung di depan
pintu salah satu kamar juga belum dipadamkan.
Hari itu kami dari LBH Masyarakat, diwakili oleh Feri Sahputra dan Vina Fardhofa harusnya memberikan penyuluhan
hukum kepada mereka yang tinggal di rumah‐rumah petak itu. Hati mulai bimbang ketika Pupuh, panggilan akrab Vina,
berkali‐kali tidak bisa menghubungi salah satu penghuni rumah itu. Sampai akhirnya, seseorang menegur kami berdua
dan mempersilahkan untuk naik ke lantai atas dan masuk ke kamarnya.
7. HdH | 6
Mbak Stella, begitu kami memanggilnya. Ia adalah salah satu waria yang tinggal di rumah petak tersebut. Pertemuan itu
bukanlah yang pertama bagi kami dengannya, karena sebelumnya kami pernah bertemu dengan waria asal Palembang
ini di Yayasan Srikandi Sejati (YSS). Ia adalah waria yang bertugas untuk mengkoordinasi waria yang ada di Pangkalan
Bemo.
Sembari mempersilahkan kami duduk, tangannya sibuk mengetik pesan di telpon selulernya untuk mengabari rekan
yang lain bahwa kami sudah datang. Selang beberapa lama, satu per satu penghuni rumah petak itu keluar dari
kamarnya. Wajah lelah dan menahan kantuk tidak bisa disembunyikan oleh senyum mereka kepada kami.
Tidak seperti yang saya temui di Blora yang sudah terlihat seperti perempuan, waria di Duri Selatan ini masih terlihat
laki‐laki. Hampir semua dari mereka hanya akan berdandan ketika akan mengamen saja. “Kita‐kita ini waria bongkar
pasang, Kak. Kalo malam dipasang, tapi kalo siang dibongkar lagi.“ ujar salah satu waria yang berusaha menjawab
kebingungan saya tentang dandanan mereka. Tidak sulit untuk mengumpulkan mereka semua, karena sebelumnya
Pupuh telah berkoordinasi dengan Mbak Stella.
Penyuluhan pertama hanya diisi dengan saling berkenalan dan sharing
Waktu semakin siang dan tibalah jam‐jam
ngantuk. Wajah kantuk mereka semakin pengalaman mereka selama mereka mengamen dengan dandanan
menjadi. Akhirnya kami memutuskan untuk perempuan. Banyak kisah juga yang membuat kami tergelitik. Namun, tak
mengakhiri
bincang‐bincang
ringan sedikit juga cerita yang membuat saya tersenyum kecut karena merasa
tersebut. Kami berjanji kepada mereka heran dengan apa yang dilakukan oleh banyak orang kepada mereka yang
bahwa minggu depan kami akan datang sesungguhnya menurut saya tidak melakukan kejahatan tetapi dianggap
lagi untuk melakukan penyuluhan. Mereka pengganggu. “Kalau diledekin udah biasa, Kak. Malah pernah dijambak
terlihat antusias. Semoga antusiasme dan disiram air,” kata salah satu waria menceritakan pengalamannya.
mereka berlanjut ke minggu‐minggu dan
bulan‐bulan berikutnya. Karena mereka
Sama seperti waria lainnya yang menghabiskan harinya di jalanan, Satpol
akan menjadi komuitas baru yang
PP tetap menjadi ‘hantu’ yang menakutkan. Beberapa dari mereka pernah
diharapkan bisa menjadi tempat belajar
bagi mereka sendiri, warga sekitar dan ditangkap oleh Satpol PP dan kemudian ditahan dan baru dibebaskan jika
tentunya LBH Masyarakat. Bagi kami, membayar sejumlah uang. Mereka mengaku bahwa Rp 500.000,‐ (lima
ratus ribu) adalah rupiah yang wajib dikeluarkan jika ingin bebas dari
komunitas baru berarti sahabat baru.
terali besi. “Saya baru ketangkap Satpol PP. Saya harus bayar 500,000
baru dibebasin. Kalau waria kaya kita bayarannya lebih mahal, tapi kalau anak jalanan kemarin saya tanya mereka cuma
disuruh bayar 150.000 aja.” kata Alda, salah satu pengamen waria yang ditangkap Satpol PP tepat seminggu sebelum
Lebaran.
Sebenarnya sebagian dari mereka pernah bekerja di sektor formal sebagai buruh pabrik, namun akhirnya memilih
menjadi pengamen karena apa yang mereka dapatkan jauh dari penghasilan sebagai buruk pabrik. Terlebih, mereka bisa
mengekspresikan diri mereka.
Waktu semakin siang dan tibalah jam‐jam ngantuk. Wajah kantuk mereka semakin menjadi. Akhirnya kami memutuskan
untuk mengakhiri bincang‐bincang ringan tersebut. Kami berjanji kepada mereka bahwa minggu depan kami akan
datang lagi untuk melakukan penyuluhan. Mereka terlihat antusias. Semoga antusiasme mereka berlanjut ke minggu‐
minggu dan bulan‐bulan berikutnya. Karena mereka akan menjadi komuitas baru yang diharapkan bisa menjadi tempat
belajar bagi mereka sendiri, warga sekitar dan tentunya LBH Masyarakat. Bagi kami, komunitas baru berarti sahabat
baru. (FS).
8. HdH | 7
Mari Bicara Hukum dan HAM
Apa hubungan antara hak asasi manusia dan HIV/AIDS?
Hak asasi manusia (HAM) berkaitan erat dengan penyebaran dan dampak HIV/AIDS bagi individu maupun komunitas di
seluruh dunia. Ketiadaan penghormatan terhadap HAM akan memicu penyebaran dan memperburuk dampak penyakit
tersebut, dan pada saat bersamaan infeksi HIV/AIDS akan melemahkan upaya untuk perwujudan HAM.
Hubungan antara HAM dan HIV/AIDS sangat jelas terlihat dari tidak berimbangnya penyebaran dan dampak penyakit
tersebut kepada kelompok masyarakat tertentu. Ketidakberimbangan tersebut bergantung pada beberapa faktor
seperti misalnya karakter epidemik HIV/AIDS dan kondisi sosial, ekonomi dan hukum anggota masyarakat, termasuk di
antaranya perempuan dan anak, dan khususnya bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan. Secara nyata juga terlihat
fakta bahwa beban yang berlebih untuk memerangi epidemi AIDS ditanggung oleh negara‐negara berkembang, yang
mana keberadaan penyakit tersebut mengancam pencapaian pembangunan manusia di negara‐negara tersebut. AIDS
dan kemiskinan saat ini secara bersamaan mendorong dampak negatif di banyak negara berkembang.
Hubungan antara HAM dan HIV/AIDS dapat dilihat secara khusus di tiga area berikut:
Tingkat kerentanan yang semakin meningkat: kelompok masyarakat tertentu lebih rentan terinfeksi HIV karena mereka
pemenuhan hak asasi mereka di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya terhalangi. Sebagai contoh misalnya,
seseorang yang kebebasan berserikat atau berkumpulnya dan akses informasinya diabaikan dapat dikecualikan dari
proses diskusi mengenai HIV/AIDS, dan berpartisipasi dalam organisasi masyarakat yang menyediakan layanan
kesehatan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Perempuan dan khususnya perempuan muda lebih rentan terkena
infeksi HIV jika mereka tidak mendapatkan akses informasi, pendidikan dan layanan yang memadai untuk menjamin
kesehatan seksual dan reproduksinya terjaga. Ketidaksetaraan jender sebagai perempuan di masyarakat juga berarti
kapasitas mereka untuk bernegosiasi dalam konteks aktivitas seksual akan terhalangi. Orang yang hidup dalam
kemiskinan juga tidak akan mampu untuk mengakses layanan pengobatan dan perawatan HIV, termasuk akses untuk
antiretroviral dan obat‐obatan lainnya untuk infeksi oportunistiknya.
Stigma dan diskriminasi: Hak orang dengan HIV/AIDS (ODHA) seringkali dilanggar karena diasumsikan memiliki atau
status HIV mereka, yang menyebabkan mereka menderita baik beban karena penyakitnya maupun konsekuensi akan
kehilangan hak mereka. Stigmatisasi dan diskriminasi dapat menghalangi akses mereka mendapatkan pelayanan
kesehatan dan dapat berdampak kepada hak atas pekerjaan, perumahan dan hak lainnya. Hal ini pada akhirnya akan
berkontribusi pada kerentanan orang lain akan infeksi HIV mengingat stigma dan diskriminasi yang erat dengan HIV
akan mendorong ODHA dan orang yang hidup dengan HIV untuk tidak berhubungan dengan layanan kesehatan maupun
kontak sosial. Hasilnya adalah bahwa mereka yang sangat membutuhkan informasi, pendidikan dan layanan mengenai
HIV tidak akan dapat mendapatkan keuntungan apa‐apa dari layanan yang sudah tersedia.
Menghalangi respons yang efektif: Strategi untuk memerangi epidemi HIV/AIDS menemui tantangannya di dalam
lingkungan yang tidak menghargai hak asasi manusia. Sebagai contoh, praktik diskriminasi dan stigmatisasi terhadap
kelompok rentan seperti pemakai narkotika suntik, pekerja seks, dan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki
menggiring komunitas ini tersembunyi. Kondisi ini akan memperlambat akses populasi ini untuk mendapatkan layanan
pencegahan HIV sehingga dapat meningkatkan kerentanan mereka terhadap HIV/AIDS. Serupa dengan hal tersebut,
kegagalan memberikan informasi yang benar mengenai HIV/AIDS atau menyediakan layanan dan dukungan yang
memadai akan menyulut persebaran epidemik AIDS lebih luas. Elemen‐elemen tersebut adalah komponen penting
sebagai respon terhadap HIV/AIDS, dan akan terhalangi ketika hak asasi tidak dihormati.
Bagaimana pendekatan HAM terhadap HIV/AIDS?
Ketika individu dan komunitas dapat mewujudkan pemenuhan hak asasi mereka – misal hak atas pendidikan, kebebasan
berkumpul, informasi dan yang terpenting non‐diskriminasi – dampak terhadap personal dan sosial ke masyarakat dari
HIV/AIDS akan berkurang. Di lingkungan yang terbuka dan mendukung ODHA, di mana mereka terlindungi dari
diskriminasi, ODHA diperlakukan secara setara dan bermartarbat, dapat mengakses layanan pengobatan, perawatan
9. HdH | 8
dan dukungan tanpa stigma, di mana AIDS di‐destigmatisasi, individu akan lebih terdorong untuk dapat memeriksa
kesehatan mereka dan menguji status HIV mereka. Pada akhirnya, ODHA dapat menghadapi penyakitnya secara lebih
baik dan efektif, dengan mencari dan menerima pengobatan dan perawatan medis dan psikis, dan dengan mengambil
langkah‐langkah yang tepat guna mencegah penyebaran HIV terhadap orang lain, sehingga mengurangi dampak
HIV/AIDS bagi diri mereka sendiri dan orang lain di masyarakat.
Perlindungan dan pemajuan hak asasi oleh karenanya menjadi penting dilakukan untuk mencegah penyebaran HIV dan
mensiasati dampat epidemik HIV/AIDS secara sosial dan ekonomi. Alasan‐alasannya dapat diklasifikasikan ke dalam 3
(tiga) lapis. Pertama, perlindungan dan pemajuan HAM mengurangi kerentanan seseorang terhadap HIV dengan
menyasar pada akar permasalahan. Kedua, dampak yang buruk tersebut bagi ODHA dan OHIDA dengan sendirinya akan
berkurang. Ketiga, individu dan komunitas memiliki tanggung jawab lebih besar untuk merespons terhadap bahaya
epidemi HIV/AIDS. Respons internasional yang efektif terhadap penyakit tersebut oleh karenanya harus didasarkan pada
penghormatan terhadap hak asasi di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta hak atas pembangunan,
yang semuanya harus selaras dengan standar, norma dan prinsip HAM yang berlaku internasional.
Tanggungjawab negara untuk memajukan dan melindungi hak asasi yang berkaitan erat dengan HIV/AIDS telah banyak
didefinisikan dalam hukum internasional. Hak asasi yang bertalian dengan HIV/AIDS termasuk hak untuk hidup; hak
untuk kebebasan dan keamanan diri; hak atas kesehatan; hak untuk bebas dari diskriminasi; perlindungan dan
kesamaan di hadapan hukum; kebebasan berkumpul; hak untuk mendapatkan status sebagai pengungsi; hak atas
privasi; kebebasan berekspresi; hak untuk membentuk keluarga; hak atas jaminan sosial; dampingan dan kesejahteraan;
hak untuk memperoleh informasi mengenai pemajuan ilmu pengetahuan dan manfaatnya; hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan publik; dan hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya.
Disarikan dan diterjemahkan dari website Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights. (RG).
10. HdH | 9
Suara Komunitas
LBH Masyarakat bertanya: Apa yang dapat dilakukan oleh pemudi‐pemuda dalam rangka menegakkan hukum dan
HAM di Indonesia?
Kiefa Syakila Sumbar
“Jangan main hakim sendiri.”
Reva
“Kita harus mengerti peraturan undang‐undang di Indonesia. Cari kerja yang baik dan halal?? Hehehe..”
Karina Oya
“Menurut saya hukum dan HAM di Indonesia masih kurang karena kenapa? Yang saya lihat selaku orang/ rakyat kecilah yang
selalu tertindas dan terkucilkan. Dan saya sebagai waria ingin disamaratakan dengan masyarakat umumnya dalam keadilan.”
Ma Iyus
“Penegakan kepada waria, lebih diperhatikan waria. Terimakasih.”
Rendi
“Aku ingin kaum waria dihormati, dihargai karena waria bukan sampah. Waria juga manusia.”
Inayah
“Adanya perlindungan diri dari tindakan kekerasan yang biasa terjadi di jalan, dan memiliki pembelaan yang bisa membantu
kesulitan yang kita alami.”
Tina
“Menurut saya hukum dan HAM memang sepantasnya didirikan di negara ini, karena meskipun ada hukum setau saya tetap
ada yang namanya main hakin sendiri. Untuk membela diri walau kita punya HAM bagaimana dengan orang kecil sedangkan
orang yang bersangkutan lebih berwenang atau bisa nyogok kasarnya. Bukan hanya pemudi tapi masyarakat juga harus
berpartisipasi dalam hukum dan HAM.”
Daniela
“Jika kita melihat seseorang/teman yang lagi dicaci maki/dianiaya seharusnya kita menjadi penengah agar tidak kejadian yang
lebih fatal. Karena hukum bisa kita tegakkan dengan adanya saling menghargai.”
Alda
“Menurut hukum berlaku pada siapa atau pada orang miskin yang tidak mampu. Membela orang miskin itu sangat penting.”
Dita Zivana
“Menurut saya yang dapat dilakukan oleh pemuda/pemudi dalam menegakkan hukum dan HAM dapat kita terapkan dalam
hal‐hal kecil dalam kehidupan sehari‐hari, contohnya: Apabila kita melihat salah satu teman kita dihina atau dianiaya
sebaiknya kita sebagai pemuda/pemudi tidak dengan menggunakan emosional kita dalam menyelesaikan masalah.
Seharusnya kita berusaha menjadi penengah dalam menyelesaikan masalah. Saran saya adalah agar hukum dan HAM di
Indonesia dapat ditegakkan dengan cara kita saling menghargai dan menyayangi sesama dan juga mempunyai rasa kesadaran
untuk patuh dan menjalankan hukum dengan jujur dan adil.”
Usep
“Menurut saya penegakan HAM, intinya ada pada pemerintah. Bagaimana produk dan penegakkan hukum akan menjamin
pada penghargaan dan pemenuhan HAM pada setiap warga negara. Para pemuda dapat berperan sesuai dengan posisi
mereka pada saat ini misalkan mahasiswa dapat melakukan kajian dan kritikan terhadap penghargaan dan pemenuhan HAM
pada saat ini dan ke depan, sekaligus mempersiapkan diri untuk mampu berperan dalam pemenuhan dan penegakan HAM itu
sendiri secara profesi atau pun sebagai masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat pemuda dituntut untuk mampu
mempraktekkan penghargaan terhadap HAM dan mendorong pemenuhan atau pun penegakan HAM di masyarakat, saat di
keseharian atau pun terlibat dalam organisasi/gerakan yang memiliki misi untuk mendorong pemenuhan dan penegakan HAM
di masyarakat.”
11. HdH | 10
Galeria
Suasana penyuluhan hukum mengenai Upaya Paksa yang diadakan di Komunitas
Blora, Kamis, 21 Oktober 2010.
12. HdH | 11
Tentang LBH Masyarakat
Berangkat dari ide bahwa setiap anggota masyarakat memiliki potensi untuk turut berpartisipasi aktif mewujudkan
negara hukum yang demokratis, sekelompok Advokat, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi mendirikan
sebuah organisisasi masyarakat sipil nirlaba bernama Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH
Masyarakat).
Visi LBH Masyarakat adalah terwujudnya partisipasi aktif dan solidaritas masyarakat dalam melakukan pembelaan dan
bantuan hukum, penegakan keadilan serta pemenuhan HAM. Sementara misinya adalah mengembangkan potensi
hukum yang dimiliki oleh masyarakat untuk secara mandiri dapat melakukan gerakan bantuan hukum serta penyadaran
hak‐hak warga negara, dari dan untuk masyakarat.
Secara ringkas, visi dan misi LBH Masyarakat diimplementasikan melalui tiga program kerja utama, yakni:
(1) Pemberdayaan hukum masyarakat melalui pendidikan hukum, penyadaran hak‐hak masyarakat, pemberian
informasi mengenai hukum dan hak‐hak masyarakat serta pelatihan‐pelatihan bantuan hukum bagi masyarakat;
(2) Advokasi kasus dan kebijakan publik;
(3) Penelitian permasalahan publik dan kampanye hak asasi manusia baik di tingkat nasional maupun internasional.