Dokumen tersebut membahas tentang pajak di Indonesia, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Secara garis besar dibahas definisi pajak, objek yang dikenai ketiga jenis pajak tersebut, serta masalah-masalah yang muncul akibat penerapan ketiga jenis pajak.
1. BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak
merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib
Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban
perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai
falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya
merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk
ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan
pembangunan nasional.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam APBN yang dibuat oleh pemerintah
terdapat tiga sumber penerimaan yang menjadi pokok andalan salah satunya
yaitu penerimaan dari sektor pajak. Melihat sistematika dasar tata hukum di
atas, di mana letak Hukum Pajak berada dalam tata hukum nasional kita.
Dalam literatur ternyata Hukum Pajak merupakan bagian dari Hukum
Administrasi Negara, yang merupakan segenap peraturan hukum yang
mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-
lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas administrasi
negara.
Dari hal di atas maka penulis ingin mengungkapkan masalah perpajakan yang
ada di masyarakat tentang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penghasilan, dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah. hal ini dilakukan agar penerimaan
negara melalui sektor pajak dapat maksimal.
1
2. B Rumusan Masalah
Dalam rumusan masalah ini, penulis ingin mengetahui tentang:
1 Apakah yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai dan objek
dari PPN?
2 Apakah yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan dan objek dari
PPh?
3 Apakah yang dimaksud dengan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dan objek dari PPnBM?
4 Masalah-masalah yang muncul dari PPN, PPh, dan PPnBM?
C Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1 Menjabarkan tentang Pajak Pertambahan Nilai dan objeknya
beserta masalah-masalah yang muncul.
2 Menjabarkan tentang Pajak Penghasilan dan objeknya beserta
masalah-masalah yang muncul.
3 Menjabarkan tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan
objeknya beserta masalah-masalah yang muncul.
2
3. BAB II
PEMBAHASAN
A Pengertian Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara
langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum
untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk
mencapai kesejahteraan umum.
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang
dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada
negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat
kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut:
Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara
untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk
public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public
investment.
3
4. 1 Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak objektif di mana kondisi
objeknya merupakan pertimbangan utama untuk mengenakan jenis pajak
ini. Nah, salah satu kondisi objektif yang harus dilihat dalam
mengenakan PPN adalah apakah barang yang diserahkan adalah barang
yang kena pajak atau barang yang tidak kena pajak.
Barang yang dikenakan pajak ini lebih dikenal dengan istilah Barang
Kena Pajak atau disingkat BKP. Barang yang tidak dikenakan pajak tidak
memiliki istilah khusus, namun banyak orang lebih suka menyebutnya
Non BKP yang berarti bukan barang yang dikenakan PPN.
Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali ditentukan sebaliknya
oleh Undang-undang PPN. Dengan demikian, UU PPN ini menggunakan
metode negative list untuk menentukan apakah suatu barang digolongkan
sebagai BKP atau Non BKP.
Penentuan jenis barang yang tidak kena PPN ini diatur dalam Pasal 4A
ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang PPN. Dalam UU PPN lama, Pasal
4A ayat (1) dan (2) ini hanya mengatur kelompok jenis barang yang tidak
dikenakan PPN, sedangkan jenis barangnya sendiri diatur dalam
Peraturan Pemerintah. Sementara itu, dalam UU Nomor 42 Tahun 2009,
kelompok dan jenis barang yang tidak dikenakan PPN langsung diatur
oleh Pasal 4A ini dan penjelasannya sehingga nantinya tidak diperlukan
lagi Peraturan Pemerintah yang mengatur jenis barang yang tidak
dikenakan PPN ini.
Penerimaan Negara melalui PPN adalah sebesar 34% dari total sumber
penerimaan negara melalui pajak.
2 Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan sebagai salah satu sumber penerimaan negara dimana
pajak penghasilan ini diatur dalam pasal 21 Undang-Undang Pajak
4
5. Penghasilan. Pajak yang dikenakan atas penghasilan wajib pajak orang
pribadi dalam negeri yang berupa gaji, upah, honorium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa dan kegiatan seperti yang dinyatakan dalam pasal 21
UU Pajak Penghasilan (Mardiasmo, 1999).
Pajak penghasilan pasal 21 dipotong, disetor dan dilaporkan oleh
pemotong pajak, yaitu pemberi kerja, bendaharaan pemerintah, dana
pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggaraan kegiatan.
Pajak penghasilan pasal 21 yang telah di potong dan disetorkan secara
benar oleh pemberi kerja atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
sehubungan dengan pekerjaan dari suatu pemberi kerja merupakan
pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, sehingga
pada akhirnya tahun pajak terhadap pegawai atau orang tersebut tidak
diwajibkan untuk menyampaikan SPT Tahunan.
Keputusan Direktorat Jendral Pajak tentang jenis jasa lain dan
penghasilan neto dalam pasal 23 ayat (1) huruf C Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 berlaku sejak tanggal 28 April
2002 sebagai berikut :
“Dalam keputusan perubahan yang dimaksud dengan imbalan bruto
khusus untuk jasa konstruksi dan jasa katering adalah jumlah imbalan
yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan
material/barang. Dan yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk
jasa lain selain konstruksi dan katering adalah jumlah imbalan yang
dibayarkan hanya atas pemberian jasa saja, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasanya saja,
kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara
pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai
kontrak”.
5
6. 3 Pajak Penjualan atas Barang Mewah
PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme
pengenaan PPnBM ini sedikit berbeda dengan PPN. Berdasarkan Pasal 5
Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
dikenakan terhadap :
1 penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang
dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya;
2 impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP
Mewah oleh pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat
impor BKP Mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan
setelah itu. Adapun fihak yang memungut PPnBM tentu saja pabrikan
BKP Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan BKP
Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP mewah dilunasi oleh
importir berbarengan dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22
Impor.
B Objek Pajak
1 Objek Pajak PPN
Berdasarkan Pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2009 diatur bahwa objek pajak yang dikenakan PPN adalah:
6
7. a penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha
b impor Barang Kena Pajak
c penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh pengusaha
d pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
e pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
f ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
g ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena
Pajak; dan
h ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
2 Objek Pajak PPh
Objek Pajak PPh Final
1 bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya;
2 penghasilan berupa hadiah undian;
3 penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek;
4 penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan atau
bangunan, serta
5 penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
3 Objek Pajak PPnBM
7
8. Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan atas :
a Penyerahan BKP yang tergolong Barang Mewah yang dilakukan
oleh Pengusaha yang menghasilkan BKP yang tergolong Barang
Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya.
b Impor BKP yang tergolong Barang Mewah.
PPn.BM dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan BKP
yang tergolong Barang Mewah oleh Pengusaha yang menghasilkan
atau pada waktu impor.
C Masalah-Masalah yang Muncul dan Pemecahannya
Masalah-masalah yang muncul akibat pengenaan pajak adalah sebagai
berikut:
1 Dalam PPnBM.
Permasalahan permasalahan kecil sebenarnya sudah muncul beberapa kali
sejalan dengan munculnya inovasi-inovasi pabrikan mobil untuk merebut
pasar. Contohnya adalah saat beberapa pabrikan mengeluarkan ”sedan
hatchback” yang dipersamakan sebagai minibus. Tetapi permasalahan
tersebut masih bisa ditolerir dan bisa diterima masyarakat industri mobil
dikarenakan mereka sudah memiliki suatu peng-klasifikasi-an tersendiri.
Secara gentlement aggreement, di kalangan pelaku industri mobil telah ada
”definisi” tersendiri mengenai sedan dan minibus. Dimana sedan
merupakan kendaraan 3 kabin (mesin, penumpang dan bagasi) sedangkan
minibus/MPV memiliki 2 kabin (mesin dan penumpang).
Namun saat ini muncul permasalahan yang cukup ”mengganggu”, kala
suatu pabrikan mobil merilis suatu model yang secara awam berbentuk
”sedan” namun diklaim sebagai mobil minibus (secara pajak). Ini
dikarenakan jendela belakang berteknologi liftback seperti yang ada pada
mobil minibus lain. Para pelaku industri yang lain beranggapan bahwa
8
9. tindakan ini merupakan suatu jenis cheating untuk merebut pasar. Karena
telah melenceng dari gentlement aggreement yang ada.
Akibat dari tindakan ini, tipe mobil tersebut dapat dipasarkan dengan harga
yang lebih murah dikarenakan hanya dikenakan tarif 10% (=minibus)
dibandingkan jika dia digolongkan sebagai sedan yang akan dikenakan
tarif 20%. Secara ekonomi, ini tentu memberikan keuntungan bagi
masyarakat konsumen untuk mendapatkan mobil dengan harga yang lebih
murah. Namun jika dilihat secara fiskal, sudah jelas ada potensi
penerimaan PPn BM per unit yang hilang. Bahkan efek jangka panjangnya
akan memberi yurisprudensi bagi para pelaku industri lain untuk
berperilaku yang sama. Ini berarti secara fiskal akan timbul lagi suatu
potential loss.
Permasalahan semakin ruwet jika kita runut lagi bahwa penentuan
golongan suatu mobil bukan hanya menyangkut kewenangan Departemen
Keuangan (DJP) dalam hal fiskal, namun juga terkait dengan kewenangan
dari Departemen Perindustrian dalam hal teknis dan uji tipe. Sehingga
memerlukan koordinasi yang memadai antar lembaga.
Hal ini sebetulnya bukanlah kasus pertama, sebelumnya pernah ada kasus
serupa saat mobil double cabin masuk ke pasar mobil di Indonesia. Pada
saat itu kalangan industri juga gamang mengenai tipe ini. Ada yang
beranggapan menggolongkan sebagai kendaraan angkutan barang, ada
pula yang menggolongkan sebagai kendaraan angkutan penumpang.
Cara Pemecahannya :
karena menyangkut masalah bahasa hukum maka permasalahan tersebut
tidak mencapai suatu kepastian. Sampai akhirnya permasalahan tersebut
dapat teratasi dengan diakomodasinya mobill tipe ini dalam Keputusan
Menteri Keuangan nomor 355/KMK.04/2003 tentang Jenis Kendaraan
Bermotor yang Dikenakan PPn BM yang merupakan aturan terakhir
9
10. mengenai PPn BM kendaraan bermotor.
Analisa peraturan
Dalam KMK 355 tahun 2003 dapat disimpulkan bahwa tipe/jenis mobil yang
dikenakan PPn BM adalah :
1 Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai
dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi
2 Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 (sepuluh)
orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon.
3 Kendaraan bermotor dengan kabin ganda (Double Cabin)
4 Sedan atau station wagon
Dari keempat tipe yang ada dalam aturan tersebut, sekilas terlihat tidak ada
permasalahan akan pembagian tersebut. Namun jika kita teliti lebih lanjut,
ada tumpang tindih antara tipe nomor 2 dan nomor 4. Akan timbul
pertanyaan; Apa perbedan sedan dan selain sedan ? atau; Apakah perbedaan
minibus dan station wagon? Secara awam, pertanyaan tersebut sangat mudah
dijawab. Namun jika merujuk definisi, pertanyaan-pertanyaan tersebut sampai
saat ini masih belum memperoleh jawaban yang memadai. Hal ini semakin
penting jika dikaitkan dengan pengenaan PPn BM yang melibatkan nilai yang
sangat material.
Jika kita lihat esensi dari pembagian tarif yang berdasarkan kapasitas mesin
maka akan terlihat bahwa semakin banyak konsumsi BBM maka dianggap
semakin mewah. Bahkan bila dihubungkan dengan pengelompokkan tarif
yang dinyatakan dengan jumlah penumpang, maka terlihat bahwa rasio
konsumsi BBM per penumpang yang lebih banyak dianggap lebih mewah.
Dalam kenyataan dilapanganpun bisa kita lihat bahwa semakin mewah suatu
kendaraan maka jumlah penumpang yang diangkut pun semakin sedikit.
10
11. 5 Dalam PPN
Masyarakat saat ini mengenal pajak yang dikenakan di restoran maupun
rumah makan adalah PPN.
Cara Pemecahannya :
Melalui sosialisasi Pasal 4A dalam UU No. 42 Tahun 2009 tentang PPN
dan PPNBM.
6 Dalam PPh
Pasal 8 ayat 1 merupakan pasal yang mengatur tentang penghitungan pajak
bagi orang pribadi yang telah kawin. Semangat yang melandasi pasal ini
adalah bahwa keluarga dianggap sebgai satu kesatuan ekonomi. Hal ini
tercantum dalam penjelasan pasal 8 ayat 1 tersebut yang berbunyi sistem
pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga
sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari
seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai
pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.
masalah akan muncul jika kita melanjutkan membaca pasal 8 ayat 1
tersebut, yaitu: kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau
diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak
berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota
keluarga lainnya.
Jika kita cermati, pada dasarnya penghasilan istri harus digabung dengan
penghasilan suami, kecuali:
1. penghasilan tsb dari 1 pemberi kerja, dan
2. penghasilan tersebut tidak ada hubungan dengan usaha/ pekerjaan bebas
suami
11
12. masalah yang muncul dari hal tersebut adalah bagaimana jika penghasilan
istri tersebut diperoleh dari suaminya yg memiliki usaha/ melakukan
pekerjaan bebas? Apakah penghasilan tersebut digabung atau dipisah? Jika
digabung, bagaimana mekanisme penggabungannya? Apakah dilakukan
koreksi biaya (dianggap sebagai prive) (nondeductible) atau tetap dianggap
sebagai penghasilan istri (deductible), dan dijumlahkah dengan
penghasilan netto suami dan pph 21 yg telah dipotong dijadikan sebagai
kredit pajak?
Cara Pemecahannya :
Sebenarnya masalah tersebut tidak akan muncul jika OP tersebut
menggunakan norma penghitungan netto, karena biaya tidak
diperhitungkan. Maslaah baru muncul jika OP menggunakan pembukuan.
Penghasilan istri tersebut seharusnya tetap dianggap sebagai biaya
(deductible). Oleh karena itu, tetap dianggap sebagai beban gaji dan
dipotong PPh 21 (taxable). Hal ini karena Pasal 21 mewajibkan pemberi
kerja harus memotong PPh atas gaji karyawan. Dan dalam penjelasannya,
Pemberi kerja adalah termasuk orang pribadi. Oleh karena itu, suami wajib
memotong PPh pasal 21 atas gaji istri.
Mengapa tidak dilakukan koreksi fiskal sebagaimana dimaksudkan dalam
form SPT OP 1770 bagian A angka 2 huruf g (gaji untuk pemilik dan
tanggungannya)? Karena istri bukan merupakan tanggungan. Tanggungan
adalah keluarga yang memiliki hubungan sedarah dan semenda (pasal 18
ayat 4). Sedangkan istri adalah hubungan yang timbul karena adanya
perkawinan semata. Jadi, pemberian penghasilan kepada istri bukan
merupakan hubungan istimewa, sehingga tidak perlu dikoreksi fiskal atas
biaya tersebut.
Lalu bagaimana dengan semangat yang pasal 8 ayat (1) yang menyatakan
keluarga adalah satu kesatuan ekonomi? Semangat pasal ini dilaksanakan
dengan menggabungkan penghasilan netto istri dengan penghasilan netto
12
13. suami. Oleh karena itu, penghasilan istri tersebut dimasukkan dalam
lampiran I bagian C spt 1770 PPh OP dan nantinya akan dijumlahkan
dengan penghasilan suami. Jika perlakuan thd penghasilan istri ini adalah
dengan dilakukan koreksi fiskal (dimasukkan dalam lampiran 1 bagian A
angka 2 huruf g SPT PPh OP) hal tersebut justru menganggap istri menjadi
tidak punya penghasilan (buktinya penghasilan istri tsb tidak tdp dalam
lampiran I bagian C). selain itu, sebagaimana telah disebutkan di atas,
perlakuan ini juga tidak sesuai, karena sebenarnya istri bukanlah
tanggungan sehingga tidak termasuk dalam pengertian transaksi hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UU PPh dan pasal 9 ayat
(1) huruf f.
Lalu bagaimana dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong? PPh pasal 21
yang telah dipotong tersebut dijadikan sebagai kredit pajak atas PPh
terutang, yang dihitung dari gabungan penghasilan netto suami dan
penghasilan netto istri setelah dikalikan dengan tarif pasal 17 UU PPh
13
14. BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penerapan pajak
ditemui berbagai kendala. Pemerintah dan Ditjen pajak harus mensosialisasikan
setiap peraturan yang ditetapkan kepada masyarakat. dan juga harus melakukan
kontrol yang ketat kepada wajib pajak dan proses pemungutannya.
Pemerintah dan Ditjen pajak juga harus menjelaskan secara jelas objek dari pajak
tersebut agar tidak menimbulkan kebingungan dan kerancuan di masyarakat.
Agar dapat memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak pemerintah dapat
melanjutkan langkah-langkah reformasi perpajakan, antara lain melalui
peningkatan partisipasi masyarakat, perbaikan regulasi dan sistem perpajakan,
serta penegakan hukum:
1 Peningkatan kualitas pelayanan pajak kepada publik;
2 Pembenahan peraturan PPh & PPN;
3 Pemberian insentif perpajakan bagi masyarakat dan dunia usaha;
4 Penggalian potensi pajak, terutama pada sektor-sektor unggulan, seperti
sektor pertambangan;
5 Penguatan keberpihakan perpajakan pada kepentingan nasional dan
pencegahan penghindaran pajak;
6 Sinergi pertukaran data antar instansi untuk memperkuat basis data potensi
pajak;
7 Peningkatan pelaksanaan Sensus Pajak Nasional;
14
15. 8 Pengembangan jaminan kualitas (quality assurance) untuk perbaikan kualitas
pemeriksaan dan penyidikan pajak;
9 Penegakkan hukum yang lebih tegas dan adil (tanpa pandang bulu).
15