power point tentang koperasi simpan pinjam di indonesia
Analisis Perilaku Masyarakat Terhadap Perbankan Syariah
1. 1
ANALISIS PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEINGINAN
MENABUNG DAN MEMPEROLEH PEMBIAYAAN PADA BANK SYARIAH
DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Aiyub
The research was conducted in Nanggroe Acheh Darussalam Province, it aimed to
indentify characteristic of society clasification and behaviour toward Islamic
banking, and also mapping potency of network developed Islamic banking in
research area. Research method was quantitative with logistic Regression Model and
Chow test. The result of the research indicated society behaviour mostly unknown
about system and islamic banking product. Society behaviour has two sides, namely
willingness to save and to get fund from Islamic Bank. It indicated mostly willingness
to save, was 462 person (92,4%) an addition, willingness to get fund was great also.,
it was 466 person (93,2%). Simoultaneously both funding side and saving side
indicated potency to develop Islamic Bank, it was at middle catagory. Although
patially it has the great potency. Chow Test indicated different among 7 research
areas, each area has differented characteristic. Therefore the developed Islamic Bank
in NAD Province need to searched partially.
Key word : Syariah Banking, Potence, Preference and behaviour
Aiyub adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh
1
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
2. 2 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
Pendahuluan
Banyak tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan
perbankan syariah di Indonesia dan juga di NAD. Permasalahan yang muncul antara
lain adalah rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap perbankan syariah terutama
disebabkan oleh dominasi perbankan konvensional. Disamping itu, struktur
pengetahuan dan persepsi masyarakat yang sudah terbangun sekian lama terhadap
bank konvesional, tentu saja tidak mudah untuk diarahkan kepada perbankan yang
berazaskan Syariah Islam. Dengan alasan itu, penelitian ini dirasa penting untuk
mengungkapkan bagaimana struktur persepsi masyarakat NAD saat ini, serta
bagaimana peluang dan strateginya untuk dirubah agar lebih menerima perbankan
syariah. Meskipun perbankan syariah dikenal belum lama, adalah menarik untuk
mempelajari bagaimana karakteristik masyarakat yang selama ini telah mengadopsi
bank syariah. Apakah karakter tersebut bersifat khas, dan apakah mereka merupakan
pasar yang potensial untuk kedepan? Lebih khusus lagi, perlu pula digali bagaimana
potensi perbankan secara umum, baik sektor usaha maupun segmen masyarakatnya,
serta dimana lokasi yang sesuai untuk pengembangannya.
Sejalan dengan pelaksanaan Syariat Islam di NAD yang telah berjalan selama
empat tahun lebih, berbagai upaya dan langkah terus ditempuh oleh pihak yang
mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan Syariat Islam secara kaffah dalam
segala aspek kehidupan termasuk aspek perbankan syariah. Seiring dengan itu
rehabilitasi dan rekontruksi di NAD dan Nias pasca gempa bumi dan tsunami perlu
dilakukan berbagai kegiatan yang dapat mendukung pelaksanaan Syariat Islam dan
kebijakan-kebijakan untuk masa yang akan datang khususnya dalam aspek perbankan
syariah, oleh sebab itu perbankan syariah perlu mengembangkan jaringan
perbankannya dengan berbagai upaya baik melalui peningkatan pemahaman
masyarakat mengenai produk, mekanisme, sistem dan seluk beluk perbankan syariah,
perkembangan jaringan perbankan syariah akan tergantung pada besarnya demand
masyarakat terhadap sistem perbankan ini.
Oleh karena itu, agar kegiatan sosialisasi dalam rangka peningkatan
pemahaman masyarakat terhadap Syariat Islam dalam sektor perbankan syariah agar
lebih efektif diperlukan informasi yang lengkap mengenai karakteristik dan perilaku
nasabah/calon nasabah terhadap perbankan syariah.
Penelitian yang bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan akurat
mengenai hal-hal tersebut diperlukan sejalan dengan keinginan agar kebijakan dalam
pelaksanaan Syariat Islam mengenai perbankan syariah dapat ditumbuh kembangkan
dalam masyarakat, begitu juga kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
terhadap perbankan syariah di NAD haruslah didasarkan pada hasil penelitian yang
dapat dipertanggungjawabkan (research-based policy making). Adapun yang menjadi
masalah dalam penelitian ini adalah :
(1) Bagaimana perilaku kelompok masyarakat di wilayah penelitian terhadap
perbankan Islam.
(2) Bagaimana peta potensi pengembangan jaringan perbankan Islam di wilayah
penelitian.
3. 3
Landasan Teoritis
Penelitian ini merupakan studi awal untuk mengetahui persepsi masyarakat di
Nanggroe Aceh Darussalam, karena keterbatasan dana dan waktu, penelitian ini
hanya dibatasai pada tujuh buah Kabupaten dan Kota, sementara masih terdapat 14
Kabupaten dan Kota lainnya yang tidak termasuk dalam wilayah penelitian untuk
studi awal ini. Populasi yang menjadi sampel hanya 500 orang untuk tujuh
Kabupaten. Namun demikian Kabupaten dan Kota serta sampel yang dipilih sudah
cukup mewakili daerah penelitian. Rencana pengembangan ke depan diharapkan
Kabupaten dan Kota yang dipilih serta masyarakat yang menjadi sampel jauh lebih
banyak dari studi awal ini. Yang terpenting dari rencana pengembangan hasil
penelitian ini adalah dapat dijadikan sebagai landasan yang kuat bagi pengembangan
bank syariah di Nanggroe Aceh Darussalam.
Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori preferensi dan
pilihan konsumen. Menurut teori preferensi dan pilihan konsumen, seorang
konsumen dalam membuat keputusan terhadap apa yang ingin dibelinya melalui
beberapa proses, yaitu proses pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi
alternatif, proses pembelian dan perilaku pascapembelian (Engel, Blackwell, Miniard,
1994). Dalam proses pengenalan kebutuhan seseorang akan mencari tentang manfaat
dari produk tersebut atau konsumen berusaha menemukan sumber motivasi yang
menyebabkan dia tertarik dan melibatkan diri dalam produk tersebut. Dalam proses
selanjutnya konsumen akan berusaha mendapatkan informasi yang lebih detail
mengenai produk tersebut dalam hal ini konsumen akan mencoba mencari media-
media informasi yang menginformasikan tentang produk tersebut, misalnya media
cetak atau media elektronik.
Tahap selanjutnya seorang konsumen akan melakukan evaluasi alternatif yang
menjadi pertimbangan awal bagi konsumen untuk mendapatkan produk tersebut.
Termasuk dalam pertimbangan pada tahap ini adalah mengenai harga, mutu atau
merk dan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh barang tersebut dibandingkan
dengan barang lainnya. Setelah semua selesai dan matang dalam pertimbangan
kemudian proses selanjutnya adalah proses pengambilan keputusan yaitu membeli
atau tidak barang tersebut. Seandainya konsumen akhirnya memutuskan untuk
membeli maka hal penting yang perlu diketahui adalah perilaku konsumen
pascapembelian. Dalam hal ini adalah sejauhmana konsumen merasa puas terhadap
apa yang dibelinya. Adakah membawa kepada imeg yang baik atau buruk bagi
pembuatan keputusan selanjutnya. (Dijelaskan berdasarkan Gambar 1)
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
4. 4 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
PENGENALAN
KEBUTUHAN
Manfaat yang dicari
Motivasi
Keterlibatan
PENCAIRAN
INFORMASI
Sumber Informasi
Media Berpengaruh
Fokus Perhatian
EVALUASI
ALTERNATIF
Pertimbangan Awal
Indikator Mutu
PROSES PEMBELIAN
Alasan Pemilihan
Jenis Tempat
Pengeluaran
PERILAKU
PASCAPEMBELIAN
Tingkat Kepuasan
Loyalitas
Gambar 1. Proses Keputusan Konsumen
Sumber : Engel, Blackwell, Minard (1994)
Pandangan dalam teori “Veblen Effects” juga menjadi sorotan dan
pertimbangan tersendiri dalam penelitian ini, menurut Veblen, konsumsi atraktif yang
dilakukan konsumen dipengaruhi oleh elemen sosiologi dan psikologi dimana hal ini
kemudian mempengaruhi terhadap fungsi permintaan. Elemen tersebut menjadi faktor
bahwa turunan utilitas dari suatu unit komoditi yang digunakan untuk konsumsi
atraktif tidak hanya tergantung dari tingkat kualitas sejenis dari barang tersebut tetapi
juga harga yang dibayarkan untuk unit barang tersebut. (Anny Ratnawati, dkk,
2001).
5. 5
Menurut Bentler dan Speckart (1997) mengatakan bahwa minat atau
keinginan seseorang untuk memperoleh atau mendapatkan (membeli) sesuatu produk
atau barang selain secara langsung dipengaruhi oleh faktor-faktor sikap dan norma
subjektif, juga dipengaruhi oleh faktor perilaku sebelumnya. Model Bentler dan
Speckart merupakan pengembangan dari reasoned action model Fishbein dan Ajzein
yang diformulasikan sebagai berikut :
B ~ BI = w1 AB + w2 SN
AB = E(bi) (ei)
SN = E(NBj) (MCj)
Dimana B adalah perilaku tertentu, BI adalah minat konsumen untuk
melaksanakan perilaku B, AB adalah sikap konsumen untuk melaksanakan perilaku
B, bi adalah kekuatan dari keyakinan penting (probabilitas subjektif yang dipegang
oleh seorang konsumen bahwa melaksanakan perilaku B cenderung menimbulkan
akibat i ("akibat" mencakup konsekuensi, upaya, biaya, karakteristik, dan atribut
lain), ei adalah evaluasi tentang akibat i, SN merupakan norma subjektif yang
berkaitan dengan apakah orang lain j (referen) menghendaki konsumen tersebut
melakukan perilaku B, NBj adalah keyakinan normatif dari konsumen bahwa orang
penting lain (referen) j berpendapat ia seyogyanya atau tidak seyogyanya
melaksanakan perilaku B, MCj adalah motivasi konsumen untuk menuruti pengaruh
dari referen j, w1 dan w2 merupakan bobot regresi yang ditentukan secara empiris, n
adalah banyaknya keyakinan penting yang dipegang oleh konsumen tersebut
berkenaan dengan pelaksanaan perilaku B dan M merupakan banyaknya referen yang
relevan.
Menurut Markoni Badri (2003) mengatakan bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi konsumen dalam memilih suatu produk atau jasa, seperti faktor
budaya (culture), sosial (social), pribadi (personal), dan faktor psikologis
(psychological factor). Faktor psikologis yang berhubungan dengan keyakinan
(agama) konsumen biasanya akan lebih sensitif dan lebih respon dibandingkan,
beberapa teori dan pandangan di atas menjadi landasan pembuatan kerangka pikir
dalam penelitian ini.
Penelitian tentang perilaku, karakteristik, dan persepsi masyarakat terhadap
Bank Islam khususnya di Indonesia masih sangat terbatas. Namun penelitian
pendahuluan yang dilakukan Wibisana dkk. (1999) di Jawa Timur secara sederhana
dapat memberikan gambaran awal tentang perilaku dan persepsi masyarakat terhadap
Bank Islam. Penelitian lain tentang masalah yang sama dilakukan di Jordan oleh Erol
dan El-Bdour (1989) dan El-Bdour (1984).
Penelitian yang lebih lengkap tentang potensi, preferensi dan perilaku
masyarakat terhadap Bank Syariah dilakukan oleh Bank Indonesia bekerja sama
dengan Pusat Penelitian Kajian Pembangunan Lembaga Penelitian Undip (2004),
penelitian ini mengambil lokasi di Jogyakarta. Hasil penelitian menemukan bahwa
preferensi masyarakat terhadap tingkat kompatibilitas menunjukkan tingkat
kecocokan terhadap System perbankan syariah dimana sebagian besar masyarakat
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
6. 6 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
tidak setuju terhadap tingkat kompatibilitas dari perbankan syariah. Tingkat
kompatibilitas terendah terlihat pada Kabupaten Demak,Kota Semarang dan
Kabupaten Kendal. Dari sisi perilaku masyarakat yang dilihat dari dua aspek masing-
masing keinginan masyarakat untuk menabung dan memperoleh pembiayaan dari
perbankan syariah, penelitian ini menemukan sekitar 59,00 persen yang
menginginkan menabung di perbankan syariah dan 55,11 persen yang menyatakan
menginginkan untuk memperoleh pembiayaan dari perbankan syariah. Ditinjau dari
pengembangan Bank Syariah di Jawa Tengah maupun DIY dapat dilihat bahwa
pengembangan perbankan syariah mempunyai prospek yang mengembirakan. Hal ini
tercemin dimana sebagian besar responden mempunyai respon yang positif meskipun
mereka belum mengenal tentang sistem dan produk-produk perbankan syariah.
Studi pendahuluan tentang Persepsi Masyarakat tentang Bank Perkreditan
Rakyat Islam di Jawa Timur (Wibisana dkk. 1999) menunjukkan adanya
keberagaman persepsi masyarakat terhadap B`ank Islam. Pemahaman tentang bunga,
misalnya, menunjukkan bahwa sebagian besar (yaitu 55%) masyarakat (responden)
mengatakan halal. Persepsi tersebut didukung oleh sebagian ulama dan santri yang
mengatakan bahwa bunga bank hukumnya halal. Dari seluruh responden yang
berjumlah 60 orang hanya 10% yang mengatakan haram, selebihnya mengatakan
subhat dan tidak tahu. Dari temuan tersebut dapat diketahui bahwa ada indikasi
bahwa masyarakat belum memahami keberadaan bank Islam secara lengkap.
(Wibisana dkk. 1999, 43-8; cf. Erol dan El-Bdour 1989; El- Bdour 1984).
Temuan di atas sebetulnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh
Erol dan El-Bdour (1989). Penelitian yang dilakukan di Jordan tersebut menunjukkan
bahwa masyarakat sebetulnya lebih berorientasi pada profit dari pada kepatuhan
mereka kepada perintah agama. Dengan kata lain, motivasi agama bukan merupakan
faktor dominan yang dipertimbangkan untuk memilih bank syariah, tetapi motivasi
yang kuat adalah berdasarkan pada motif profit oriented (Erol dan El-Bdour 1989,
33). Temuan ini juga memperkuat hasil penelitian El- Bdour (1984) sebelumnya.
Apa yang diungkapkan diatas merupakan sebuah potret tentang persepsi
masyarakat terhadap Bank Islam. Namun demikian, pemahaman masyarakat tentang
bunga hanya merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi preferensi
masyarakat terhadap Bank Islam. Penelitian yang lebih mendalam dan lengkap masih
sangat diperlukan untuk mengetahui preferensi dan perilaku masyarakat terhadap
Bank Islam.
Metodelogi Penelitian
Populasi dan Sampel
Penelitian ini dilakukan di Nanggroe Aceh Darussalam, untuk wilayah sampel
Utara/Timur dipilih Kabupaten Aceh Utara dan Lhokseumawe. Wilayah yang dekat
dengan ibukota Provinsi NAD dipilih Kabupaten Aceh Besar. Untuk wilayah tengah
(pegunungan) dipilih Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Dan,
wilayah kepulauan dipilih Kabupaten Sabang.
7. 7
Pengambilan sampel lokasi didasarkan atas pertimbangan (1) potensi agama
(Islam) dan (2) potensi ekonomi. Indikator yang digunakan untuk mendeteksi potensi
agama (Islam) meliputi: (a) jumlah masjid dan meunasah, (b) proporsi jamaah haji
terhadap penduduk muslim dan (c) proporsi penduduk muslim terhadap jumlah
penduduk secara keseluruhan. Sedangkan potensi ekonomi meliputi (1) tingkat
pertumbuhan ekonomi, (2) PDRB perkapita dan (3) proporsi PAD terhadap APBD,
jumlah penduduk menurut lapangan pekerjaan, aktivitas perdagangan, aktivitas
perbankan dan pertimbangan peneliti.
Jumlah responden yang dikumpulkan adalah minimal sebanyak 100
responden untuk setiap Kabupaten/kota, yang terdiri atas: 20 responden pengusaha
(produsen) dan 80 responden masyarakat (konsumen atau rumah tangga konsumsi).
Yang dimaksudkan pengusaha (produsen) adalah termasuk masyarakat atau rumah
tangga yang bergerak dalam kegiatan menghasilkan atau menjual barang atau jasa,
misalnya pedagang besar atau pedagang kecil. Sedangkan masyarakat (rumah tangga
konsumsi) adalah masyarakat sebagai konsumen, misalnya PNS, TNI/Polri,
Pelajar/Mahasiswa, karyawan swasta, dan lain-lain. Penentuan lokasi kecamatan
terpilih di setiap kabupaten/kota dengan mempertimbangkan kriteria yang sama
dalam pemilihan kabupaten/kota. Pengambilan responden dipilih secara accidental
dengan memperhatikan penyebaran antar kecamatan.
Metode Analisis Data
Sebelum melakukan analisis data terlebih dahulu dilakukan pengujian
terhadap alat ukur (kuisioner). Kuisioner yang akan digunakan sebagai alat
pengumpulan data perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas
dilakukan dengan menggunakan korelasi product moment (person) sedangkan uji
reliabilitas dilakukan dengan uji Crobach Alpha. Untuk mengetahui preferensi dan
perilaku masyarakat terhadap perbankan Islam digunakan metode skoring dan untuk
memperoleh gambaran tentang hubungan antar variabel digunakan Logistic
Regression. Pembentukan model dalam penelitian berdasarkan kerangka Pikir seperti
yang tercantum pada gambar 2.
POTENSI
1. Demografi
2. Ekonomi
3. Nilai Sosial PERILAKU THD
4. Sistem Sosial PRODUK SYARIAH
SIKAP
Menerima atau Menolak
Menerima atau Menolak
1. Tabungan
LOKASI
1. Prinsip Syariah
2. Produk Syariah 2. Pembiayaan
PREFERENSI
1. Keuntungan Relatif
2. Kompatibilitas
3. Kompleksitas
4. Triabilitas
Gambar 2. Model Kerangka Pikir
Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Perbankan Syariah
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
8. 8 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
Keterangan :
De = Demografi Ec = Ekonomi
De1 = Jenis Kelamin Ec1 = Pekerjaan
De2 = Umur Ec2 = Pendapatan
De3 = Pendidikan Ec3 = Aksebilitas Wilayah
Sv = Nilai Sosial Ss = Sistem Sosial
Sv1 = Keragamaan Ss1 = Toleransi Thd Penyimpangan Agama
Sv2 = Keterbukaan Terhadap Ss2 = Akses terhd Informasi
Hal baru
Pf= Preferensi D = Lokasi
Pf1 = Keuntungan Relatif (Aceh Utara, Lhokseumawe,
Pf2 = Kompatibilitas A.Tengah, Bener Meriah,
Pf3 = Kompleksitas Aceh Besar, Aceh Barat dan
Pf4 = Triabilitas/Observabilitas Sabang)
Sumber : dimodivikasi dari PPKP-LP Undip (2000)
Estimasi pengembangan bank Islam dari sisi tabungan dan pembiayaan akan
digunakan model logit dengan persamaan sebagai berikut : (Gujarati, 1995;555).
Pi
= e zi ..................................................................................................(1)
1 − Pi
k
Z i = β o + ∑ β i X ij .......................................................................................(2)
j =1
Jadi :
k
β o + ∑ β i X ij
Pi
= e j =1 .........................................................................................(3)
1 − Pi
Berdasarkan kerangka pemikiran teoritik maka persamaan (2) tersebut dapat
dioperasionalisasikan sebagai berikut :
Z i = α 0 + ∑ α i Deij + ∑ β i Ecij + ∑ χ i Svij + ∑ δ i Ss ij + ∑ φi Pf ij ...........................(4)
Dimana :
Zi = Sikap Masyarakat Bank Syariah
De = Demografi (jenis kelamin, umur dan pendidikan)
Ec = Ekonomi (jenis pekerjaan, pendapatan dan aksebilitas wilayah)
Sv = Nilai Sosial (keberagamaan dan sikap terbuka menerima hal yang
baru)
Ss = Sistem Sosial (toleransi terhadap penyimpangan agama, kemampuan
akses informasi)
Pf = Preferensi (keuntungan Relatif, Kompleksitas, Bagi Hasil, Triabilitas)
α = adalah Konstanta
αi,βi,χi,δi,Фi = Koefisien variabel yang diestimasi
9. 9
Untuk mencapai tujuan ke dua, akan digunakan model alternatif yaitu model
chow test (Gujarati, 1995; 263 – 264). Dengan menggunakan model tersebut akan
diuji apakah perbedaan persamaan regresi antar Kabupaten dan Kota berbeda atau
sama. Dengan menggunakan model tersebut dapat dibuat mapping mengenai potensi
pengembangan Bank Islam dan karakteristik kelompok masyarakat dan perilakunya
terhadap Bank Islam.
Hasil Penelitian
Pengetahuan masyarakat tentang Bank Syariah sangat terbatas, masih sebatas
pernah mendengar namanya saja dan tidak semua dari mereka yang mengaku pernah
mendengar mampu menyebutkan dengan baik nama Bank Syariah. Kebanyakan
masyarakat mendengar Bank Syariah dari media massa dan dari teman, di samping
dari media lainnya. Pengetahuan masyarakat tentang sistem pengelolaan Bank
Syariah juga masih sangat rendah, hanya 47 orang (9.4%) yang tahu tentang sistem
bagi hasil dan 1 orang saja (0,2%) yang tahu tentang wadiah. Demikian pula
pengetahuan masyarakat terhadap produk Bank Syariah, baik produk penghimpun
dana (3.2%), produk penyaluran dana (2.4%) dan produk jasa (0%) masih sangat
rendah sekali.
Rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap Bank Syariah melahirkan
persepsi atau pandangan yang keliru terhadap Bank Syariah dan ini akan membentuk
preferensi yang rendah pula yang berakhir dengan rendahnya keputusan masyarakat
untuk memilih Bank Syariah. Persepsi masyarakat terhadap bunga yang diberikan
oleh Bank Konvensional masih beragam, 80 orang (16%) mengatakan halal, 298
orang (59.60%) mengatakan haram, 114 orang (22.80%) menyebutkan subhat dan 8
orang (1,6%) mengatakan ragu-ragu.
Preferensi masyarakat terhadap keuntungan relatif (68%), Sistem bagi hasil
(71%), multi keuntungan (72.6%) dan kesungguhan mencari informasi (63.4%).
Dari keempat konstruk yang ditanyakan ternyata menunjukkan preferensi yang sangat
tinggi dan ini menunjukkan pengembangan Bank Syariah sangat berpotensi tinggi.
Keinginan menabung dan memperoleh pembiayaan pada Bank Syariah sangat tinggi
yaitu 462 orang (92.4%) dan 446 orang (93.2%) (hasil penambahan antara jawaban
sangat bersedia dan bersedia)
Tabel. 1
Perilaku Masyarakat Terhadap keinginan Menabung dan Memperoleh
Pembiayaan Pada Bank Syariah
Sangat
Katagori Sangat Ragu- Tidak Tidak Jlh
Bersedia Bersedia Ragu Bersedia Bersedia
Jumlah 77 385 36 1 1 500
Menabung
Persen 15.4 77 7.2 0.2 0.2 100
Jumlah 119 347 30 4 0 500
Pembiayaan
Persen 23.8 69.4 6 0.8 0 100
Sumber : Data Penelitian Lapangan (2006)
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
10. 10 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
Berdasarkan hasil regresi logistik seperti dalam Tabel 2 menunjukkan Jenis
Kelamin (De1), Pendapatan (Ec2), Keberagamaan (Sv1), Toleransi Terhadap
Penyimpangan Agama (Ss1), Akses Terhadap Informasi (Ss2), Kompatibilitas (Pf2),
Kompleksitas (Pf3) dan Triabilitas (Pf4) berpengaruh secara positif terhadap
keinginan menabung sedangkan variabel Umur (De2), Pendidikan (De3), Pekerjaan
(Ec1), Aksebilitas Wilayah (Ec3), Pendidikan (Sv2) dan Keuntungan Relatif
mempunyai pengaruh secara negatif terhadap keinginan menabung.
Tabel 2
Hasil Regresi Logistik Terhadap Keinginan Menabung
Pada Bank Syariah
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step
a
De1 1.139 .794 2.058 1 .151 3.122
1 De2 -1.001 1.115 .807 1 .369 .367
De3 -.508 .523 .944 1 .331 .601
Ec1 -.103 .100 1.059 1 .303 .902
Ec2 .146 .518 .080 1 .778 1.157
Ec3 -.703 .937 .564 1 .453 .495
Sv1 .481 1.163 .171 1 .679 1.617
Sv2 -.242 .683 .126 1 .723 .785
Ss1 .570 1.071 .283 1 .595 1.768
Ss2 .572 1.018 .315 1 .574 1.771
Pf1 -.866 .534 2.627 1 .105 .421
Pf2 .257 .575 .199 1 .655 1.293
Pf3 .524 .419 1.564 1 .211 1.689
Pf4 .959 .591 2.636 1 .104 2.609
Constant 1.872 1.987 .888 1 .346 6.502
a. Variable(s) entered on step 1: De1, De2, De3, Ec1, Ec2, Ec3, Sv1, Sv2, Ss1, Ss2, Pf1, Pf2,
Pf3, Pf4.
Sumber : Data diolah (2006)
Dari sisi keinginan memperoleh pembiayaan, hasil regresi logistik
menunjukkan bahwa variabel (De1), (Ec2), (Sv1), (Ss1), (Ss2), (Pf2) dan (Pf4)
memiliki hubungan positif dengan keinginan menabung sedangkan variabel (De2),
(De3), (Ec1), (Ec3), (Sv2), (Pf1) dan (Pf3) memiliki hubungan negatif dengan
keinginan menabung pada Bank Syariah.
Hasil uji Chow Test dari sisi tabungan ditemukan bahwa nilai Fhitung (104,63)
> dari nilai Ftabel (2,51), dan demikian pula dari sisi pembiayaan nilai Fhitug (95,68) >
nilai Ftabel (2,51) hal ini menunjukkan bahwa wujudnya perbedaan yang sangat
signifikan antar daerah penelitian. Masing-masing daerah menunjukkan karakteristik
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Untuk mengetahui bagaimana peta potensi pengembangan Bank Syariah di
wilayah penelitian, maka dilihat hubungan masing-masing faktor dengan cara
menggabungkan skor masing-masing variabel atau faktor yang telah dimasukkan ke
dalam model, yaitu faktor demografi, faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor sistem
sosial. Di mana faktor demografi dihitung dengan variabel umur dan jenis pendidikan
serta pertimbangan jumlah penduduk masing-masing wilayah penelitian, faktor
ekonomi diukur dengan variabel tingkat pendidikan dan kemampuan akses wilayah,
faktor sosial diukur melalui variabel keragamaan dan sikap keterbukaan terhadap hal
yang baru sedangkan faktor sistem sosial diukur melalui sikap toleransi terhadap
penyimpangan agama dan kemampuan akses terhadap informasi. Nilai atau range
11. 11
skor dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu katagori rendah (0-50,99 point), katagori
sedang (51-75,99 point) dan katagori tinggi (76-100 point)
Tabel 4
Pemetaan Daerah Yang Berpotensi Untuk Pengembangan Bank Syariah Dilihat dari
Sisi Tabungan
KATAGORI
No Kabupaten Nilai Sistem Karakteristik
Demografi Ekonomi
Sosial Sosial
1 2 3 4 5 6 7
1 Aceh Utara Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sangat Potensial
2 Sedang Sedang Tinggi Tinggi Potensial
Lokseumawe
Aceh
3 Sedang Sedang Sedang Rendah Sedang
Tengah
Bener
4 Rendah Tinggi Sedang Rendah Sedang
Meriah
5 Aceh Besar Sedang Rendah Sedang Tinggi Sedang
6 Aceh Barat Sedang Tinggi Rendah Rendah Sedang
7 Sabang Rendah Rendah Sedang Rendah Kurang Potensial
Jumlah Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
Sumber : Data Penelitian Lapangan diolah, 2006
Berdasarkan hasil pemetaan potensi pengembangan Bank Syariah dari sisi
tabungan di wilayah penelitian, maka terlihat bahwa Kabupaten Aceh Utara sangat
potensial untuk dikembangkan Bank Syariah karena memiliki potensi demografi,
nilai sosial dan sistem sosial yang tinggi walaupun memiliki nilai ekonomi yang
sedang. Lhokseumawe juga lahan yang potensial untuk dikembangkan Bank Syariah
karena Lhokseumawe memiliki penduduk yang relatif banyak (sedang), tingkat
ekonomi masyarakat yang relatif tinggi (sedang) serta memiliki nilai sosial serta
sistim sosial yang tinggi. Sedangkan Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh
Besar dan Aceh Barat memiliki potensi yang sedang untuk pengembangan bank
syariah karena umumnya daerah tersebut memiliki kemampuan akses informasi dan
aksebilitas wilayah yang masih agak rendah.
Namun dari sisi ekonomi terlihat Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Barat
memiliki potensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Sedangkan kota
Sabang hasil pemetaan menunjukkan bahwa daerah tersebut untuk sekarang ini
kurang potensial untuk dikembangkan Bank Syariah, hal ini disebabkan karena
Sabang dari segi demografi memiliki jumlah penduduk yang tergolong rendah,
kemudian tingkat ekonomi dan sistem sosial terutama kemampuan akses informasi
juga tergolong dalam katagori rendah, walaupun dari nilai sosial Sabang memiliki
nilai yang agak tinggi (sedang).
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
12. 12 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
Tabel 5
Pemetaan Daerah Yang Berpotensi Untuk Pengembangan Bank Syariah
Dari Sisi Pembiayaan
KATAGORI
Karakteri
No Kabupaten Sistem
Demografi Ekonomi Nilai Sosial stik
Sosial
1 2 3 4 5 6 7
Sangat
1 Aceh Utara Tinggi Sedang Tinggi Tinggi
Potensial
2 Sedang Sedang Tinggi Tinggi Potensial
Lhokseumawe
3 Aceh Tengah Sedang Sedang Sedang Rendah Sedang
4 Bener Meriah Rendah Tinggi Sedang Rendah Sedang
5 Aceh Besar Sedang Rendah Sedang Tinggi Sedang
6 Aceh Barat Sedang Tinggi Rendah Rendah Sedang
Kurang
7 Sabang Rendah Rendah Sedang Rendah
Potensial
Jumlah Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
Sumber : Data Penelitian Lapangan diolah, 2006
Kalau dilihat pemetaan potensi pengembangan Bank Syariah di wilayah
penelitian dari sisi pembiayaan, maka terlihat tidak ada perbedaan sama sekali dengan
pemetaan potensi pengembangan Bank Syariah dari sisi tabungan. Oleh karena semua
variabel dan faktor yang diuji memiliki nilai katagori yang sama seperti telah
dijelaskan pada sisi tabungan maka dari sisi pembiayaanpun memiliki kesimpulan
yang sama.
Kesimpulan akhir yang dapat digambarkan melalui pemetaan potensi di atas
adalah bahwa secara keseluruhan potensi pengembangan Bank Syariah ditujuh
wilayah penelitian adalah berada dalam katagori sedang. Hal ini disebakan secara
rata-rata indikator, demografi, ekonomi sistem sosial dan nilai sosial berada dalam
katagori sedang. Kesimpulan ini adalah kesimpulan awal yang diambil secara
menyeluruh (rata-rata) namun apabila dilihat secara terpisah untuk masing-masing
kabupaten/kota maka kesimpulannya adalah seperti yang telah dijelaskan di atas.
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil pembahasan terhadap potensi, preferensi, sikap dan perilaku
masyarakat terhadap Bank Syariah di Nanggroe Aceh Darussalam dapat disimpulkan
karakteristik dan perilaku kelompok masyarakat di wilayah penelitian dimana sikap
masyarakat terhadap sistem dan produk perbankan syariah menunjukkan bahwa
sebagian besar masyarakat tidak mengetahui tentang sistem maupun produk
perbankkan syariah, sehingga keadaan ini memberikan nilai potensi yang kurang
terhadap pengembangan Bank Syariah. Namun demikian keinginan menabung dan
memperoleh pembiayaan sangat tinggi sekali.
13. 13
Potensi nilai sosial, terutama potensi agama terlihat bahwa hampir semua
daerah memiki potensi yang tinggi, sementara itu respon masyarakat terhadap hal-hal
yang baru, terlihat Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe dan Kota Sabang memiliki
tingkat responsif yang tinggi. Sedangkan Kabupaten Aceh Barat termasuk dalam
katagori yang rendah dan Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Aceh Besar
tergolong dalam katagori yang sedang.
Pemetaan terhadap keinginan menabung dan memperoleh pembiayaan pada
Bank Syariah terlihat bahwa keseluruhan kabupaten dan kota memiliki nilai potensial
yang tinggi (diatas 85%) dan yang tertinggi adalah Kabupaten Aceh Barat (98%),
Aceh Besar (97%), Bener Meriah (96%), Lhokseumawe (95%), Aceh Utara (94%),
Aceh Tengah (86%) dan Sabang (84%).
Hasil pemetaan secara keseluruhan dengan menggabungkan semua faktor
untuk setiap daerah baik dari sisi pembiayaan maupun dari sisi tabungan maka dapat
disimpulkan bahwa secara umum potensi pengembangan bank syariah di wilayah
penelitian adalah berada dalam katagori sedang. Walaupun secara terpisah terlihat
beberapa daerah.
Rekomendasi
Penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi bagi pihak-pihak terkait,
pertama di Nanggroe Aceh Darussalam ada beberapa Bank Syariah yang telah
beroperasi namun selama ini Bank Syariah tersebut masih sangat rendah aktifitas
sosialisasi kepada masyarakat. Oleh karena itu ke depan diharapkan perlu dilakukan
sosialisasi yang lebih gencar dan efektif baik melalui media electronik maupun media
cetak. Hal ini adalah dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
masyarakat terhadap Bank Syariah. Kedua, sosialisasi yang efektif dan intensif perlu
ditekankan pada pengenalan sisi keunggulan komparatif yang dimiliki Bank Syariah
disamping tentang produk dan jasa yang dimiliki oleh Bank Syariah. Hal ini
dilakukan untuk menepis sikap keragu-raguan dikalagan masyarakat. Ketiga, bagi
masyarakat yang sudah bersedia bergabung dan menjadi nasabah Bank Syariah
supaya tetap dijaga kepercayaan dari mereka dengan tetap memberi imeg yang baik
yaitu melalui pelayanan dan profesionalisme kerja yang tinggi. Keempat, Bagi Bank
Syariah juga perlu meningkatkan kinerja yang baik, melengkapkan perangkat kerja
yang memadai, seperti aspek legalitas, prosedural, sumber daya baik finansial yang
kuat maupun sumber daya manusia yang handal,dan kelima, bagi daerah-daerah yang
belum memiliki Bank Syariah, supaya dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah
atau pengusaha untuk melihat potensi yang sangat besar bagi penggembagan Bank
Syariah. Rendahnya jumlah nasabah dan kurang berkembangnya perbankan syariah
di Nanggroe Aceh Darussalam tidak terlepas dari langkanya jumlah perbankan
syariah di Nanggroe Aceh Darussalam. Apabila perlu semua bank umum yang
beroperasi di Nanggroe Aceh Darussalam diharuskan untuk membuka konter syariah
(dual banking) dalam rangka mendukung pelaksanaan Syariat Islam.
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
14. 14 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
Referensi
Ancok, Djamaludin,1995. Teknik Penyusunan Skala Pengukur, Pusat Penelitian
Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Anonimus. 1999. Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah. Bank
Indonesia. Jakarta Al-Omar, Fuad , M.Abdel Haq. 1996. Islamic Banking :
Theory, Practice and Challenges. Oxford University Press. USA.
Anonimus. 2000. Perkembangan Ekonomi-Keuangan Daerah tahun 1999 Propinsi
Jawa Barat. Bank Indonesia. Bandung.
Anonimus. 2000. Keynote Speech : Deputi Gubernur Bank Indonesia Pada Seminar
Nasional :“Pengembangan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia dalam
Menyikapi Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas” , Bandung, 14 Oktober
2000
Anonimus. 1999. Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah. Bank
Indonesia. Jakarta
Antonio, M.Syafei, 1999, “Bank Syariah : Suatu Pengenalan Umum ”, Tazkia
Institute dan Bank Indonesia, Jakarta.
Antonio, M.Syafei, 1999, “Bank Syariah : Wacana Ulama dan Cendikiawan”, Tazkia
Institute dan Bank Indonesia, Jakarta.
Al-Omar, Fuad , M.Abdel Haq. 1996. Islamic Banking : Theory, Practice and
Challenges. Oxford University Press. USA.
Aunuddin. 1989. Analisis Data. PAU Ilmu Hayat IPB. Bogor.
Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah : Lingkup, Peluang, Tantangan dan
Prospek. AlvaBet. Jakarta
Aceh Tengah Dalam Angka, 2004, Kerjasama Bappeda dengan BPS Kabupaten Aceh
Tengah.
Aceh Utara Dalam Angka, 2004 Kerjasama Bappeda dengan BPS Kabupaten Aceh
Utara
Aceh Barat Dalam Angka, 2004 Kerjasama Bappeda dengan BPS Kabupaten Aceh
Barat
Aceh Besar Dalam Angka, 2004 Kerjasama Bappeda dengan BPS Kabupaten Aceh
Barat
Basri, Ikwan Abidin, MA. 2000. Perkembangan Umat Islam di Indonesia. Artikel.
www.tazkia.com. Jakarta.
____________________. 2000. Kendala Sosialisasi Perbankan Syariah di Indonesia.
Artikel. www.tazkia.com. Jakarta.
15. 15
Bank Indonesia, 2000, “Informasi Mengenai Peraturan Bank Indonesia Bagi Bank
Umum Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Bank Indonesia, 2000, “Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Bank Syariah “.
Bank Indonesia, 2000, “Potensi, Freferensi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Bank
Syariah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogyakarta.”
Bentler, P.M. dan G.Speckart, 1979, "Model of Attitude Behavior Relations",
Psychological Review, vol 86, pp. 448-465.
Bener Meriah Dalam Angka, 2004 Kerjasama Bappeda dengan BPS Kabupaten
Bener Meriah
Caragata, Warren. July 21, 2000. Shariah Lenders Make Headway in Indonesi+
a. Article. Asiaweek. Chapra, M. Umer. 1999. Why Has Islam Prohibited Interest ?
(Rationale behind The Prohibition of Interest). Pakistan.
Clark, C.T. dan L.L. Sckade. 1983. Statistical Analysis for Administrative Decisions.
South Western Publishing Co., Ohio.
Eiser, J.Richard, 1987, Social Psychology : Attitude, Cognition, and Social Behavior,
Cambrige, Cambrige University Press.
Elkington, John, et.al., 1991, The Green Business Guide : How to Take Up-and Profit
from-the Environmental Challenge, London, Victor Gollancz Ltd.
El-Bdour, R. 1984. The Islamic Economic System: a theoretical and empirical
analysis of money and banking in the Islamic economic framework.
Unpublished PhD Dissertation. Utah State University, Logan-Utah.
Erol, Cengiz and Radi El-Bdour. 1989. Attitudes, behavior, and patronage factors of
bank customers towards Islamic banks. International Banking & Marketing
Vol. 7, No.6: 31-7.
Engel, James F., Roger D. Blackwell & Paul W. Miniard. 1994. Perilaku Konsumen.
Jilid I. Edisi Keenam. Binarupa Aksara. Jakarta.
______________________________________________. 1995. Perilaku Konsumen.
Jilid II. Edisi Keenam. Binarupa Aksara. Jakarta.
Eryanto, Dian Eka Hendralesmana. 2000. Identifikasi Kepentingan Nasabah dalam
Memilih Bank. Jurusan Statistika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam IPB. Bogor.
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
16. 16 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
Fishbein, M, I. Ajzen, 1975, Belief, Attitude, Intention, and Behavior : An
Introduction to Theory and Research, Sydney, Addison-Wesley Publishing
Company.
Gibson L, James, Ivancevic, John M., Donelly, James H., 1987, “Organisasi:
Perilaku, Struktur dan Proses”, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Gujarati, Damodar N. 1995. Basic Econometric. Mc Graw-Hill International Edition.
Hosmer, D.W. dan S. Lemeshow. 1989. Applied Logistic Regression. John Wiley &
Sons, New York.
Kasmir. 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Edisi keenam, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Kotler, Philip & Gary Armstrong. 1993. Manajemen Pemasaran : Analisis,
Perencanaan, Implementasi & Pengendalian. Volume Satu & Dua. Edisi
Ketujuh. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
__________________________. 1994. Dasar-dasar Pemasaran. Jilid I. Edisi V.
Intermedia. Jakarta.
Kaynak, E and Yavas, 1985, “Segmenting The Banking Market by Account Usage :
An Empirical Investigation”, Journal of Profesional Services Marketing, Vol.1
No.1/2.
Loudon, David.L. and Bitta A.D.,1984. “Consumer Behaviour : Concepts and
Applications”, Mc Graw Hill, Singapore.
Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bank Syariah. Pedoman Sistem
Komputerisasi Pada Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Tehnik Bagi Hasil.
Modul Pelatihan.
Lhokseumawe Dalam Angka, 2004 Kerjasama Bappeda dengan BPS Kota
Lhokseumawe
Mudradjat Kuncoro dan Suharjono (2002) Manajemen Perbankan : Teori dan
Aplikasi, ed I, Jogjakarta : BPFE.
Muhammad (2000) Teknik Perhitungan Bagi Hasil Di Bank Syariah, Jogjakarta : UII
Press
McCullagh, P. and J.A. Nelder. 1983. Generalized Linear Models. Chapman,
London. Mirakhor, Abbas. 1995. Theory of an Islamic Financial System.
Encyclopedia of Islamic Banking and Insurance. London.
Pindick, Robert S., and Rubenfield, Daniel. 1981. Econometric Models and Economic
Forecast. International Student Edition, Mc Graw-Hill.
17. 17
Presley, John R and Hummayon Dar, 1999, “Attitudes Towards Islamic Finance : An
Update of Empirical Evidence”, 7th Intensive Orientation Courses : Islamic
Economic, Banking & Finance, Leicester, UK.
Siregar, Mulya. 2000. Makalah “Kajian Pengembangan Perbankan Syariah di
Indonesia. Jakarta
Sjahdeini, S. Remy. 1999. Perbankan Islam: Kedudukan dan Peranannya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia. Grafiti. Jakarta..
Swastha, D.Basu, 1992, "Riset Tentang Minat dan Perilaku Konsumen: Sebuah
Catatan dan Tantangan bagi Peneliti yang Mengacu pada Theory of
Reasoned Action", Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, No.1, Tahun VII.
Sabang Dalam Angka, 2004 Kerjasama Bappeda dengan BPS Kota Sabang
Wibisana, M. Jusuf, Iwan Triyuwono, Nurkholis, A. Erani Yustika. 1999. Studi
Pendahuluan Persepsi Masyarakat tentang Bank Perkreditan Rakyat
Syari’ah. Malang: Centre for Business & Islamic Economics Studies –
Faculty of Economics Brawijaya University dan Bank Indonesia Jakarta.
Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika, Ed.-3. Terjemahan Bambang Sumantri.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yasni, Muhammad Gunawan, SE. Ak., MM. 2000. Pembiayaan Syariah – Alternatif
Pengembangan Pembiayaan Modal Ventura Indonesia. Artikel.
www.tazkia.com. Jakarta
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Undang-Undang No. 11 Tahun 1967
http//www.wikipedia.org.
Harian Serambi Indonesia
Harian Pikiran Rakyat
Harian Kompas
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
18. 18 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
KUALITAS LAYANAN DAN HUBUNGAN KEPERCAYAAN
SEBAGAI PENGUAT RELATIONSHIP OUTCOMES
Damanhur dan Faisal Matriadi
This article focuses at the impact of relationship efforts (direct mail, personalization
preferential treatment, and tangible rewarding) and service quality made by a
retailer in retail business as the strengthening relationship marketing outcomes. At
Business-to-Consumer (BTC) relationships and develops a theoretical model of the
consumer's perspective. There are two different perspectives: psychological and
behavioral outcomes of relationship marketing. The psychological outcomes of
trust, commitment and satisfaction relationship are presented. The impact of
relationship effort and service quality has been suggested that a way of increasing
Sthrenghtening relationship outcomes in retail business through secure relationships
between buyers and sellers.
Keywords: customer relationship marketing, retail business, relationship effort,
service quality, relationship outcomes.
Damanhur adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh
Faisal Matriadi adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh
18
19. 19
Pendahuluan
Lima filosofi dasar mengenai studi manajemen pemasaran dalam
menjalankan praktek pemasaran. Ke lima filosofi tersebut, terdiri dari pemasaran
yang berorientasi pada (1) produsen (2) produksi (3) penjual (4) pasar (5)
pemasaran sosial (Kotler, 2003: 12). Pemasaran berorientasi pasar sebagai
artikulasi dari konsep pemasaran yang kini banyak dianut perusahaan. Namun
demikian, redefinisi konsep pemasaran masih terus berlangsung, untuk mencari
konsep yang sesuai dengan tuntutan lingkungan (Kotler, 2003:25).
Redefinisi konsep pemasaran tersebut dipicu oleh terjadinya pergeseran
paradigma orientasi pasar dari transaksional (transactional) menjadi relasional
(relationship). Kotler (2003: 34) menegaskan, perusahaan perlu melakukan
penyesuaian praktek pemasaran dari transactional marketing menuju relationship
marketing. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pawitra, (2005)
bahwa telah terjadi redefinisi disiplin pemasaran dengan menekankan hal-hal
sebagai berikut: (1) "Proses of planning and executing" bergeser menjadi "an
organizational function and a set of process.“ maknanya adalah peranan
pemasaran lebih difokuskan pada tataran strategik dalam suatu organisasi dan tidak
lagi terbatas pada pengambilan keputusan taktis.
Pemasaran bukan suatu fungsi manajemen yang berdiri sendiri tetapi
menjadi kegiatan dalam proses organisasi keseluruhan. (2) 4-P yang merupa-kan
taktik pemasaran bergeser menjadi "creating, communicating and delivering value
to customer." 4-P merupakan kelompok variabel yang dapat dikendalikan
organisasi yang dimaksudkan untuk meliput pasar sasaran sehingga dapat
memuaskan sebaik mungkin para pelanggan di pasar itu. Sebenarnya para
pelanggan menginginkan proporsi nilai (value proposition) berupa penawaran
total untuk memenuhi kebutuhan preferensi, dan ekspektasi mereka sehingga
tercapai kepuasan. 4-P tidak cukup untuk menentukan persepsi nilai pelanggan
yang merupakan perbandingan antara persepsi manfaat dan persepsi
pengorbanan.
Manfaat untuk pelanggan tidak hanya ditentukan oleh atribut produk,
promosi dan distribusi, namun turut berperan atribut servis dan atribut yang bersifat
"intangibles" lain seperti merek, reputasi, ekuitas pelanggan, ekuitas karyawan,
ekuitas pemasok dan lain-lain. Di lain sisi, pengorbanan tidak hanya ditentukan
oleh biaya transaksi yakni harga yang harus dibayar untuk suatu tawaran, tetapi
turut pula menentukan biaya. Teridentifikasi pula dengan jelas peluang maupun
persaingan bisnis ritel di Indonesia sangat terbuka. Konsumen mulai kritis untuk
memilih dan mengambil keputusan dalam menentukan toko dan jenis ritel dalam
memenuhi kebutuhannya dan telah terjadi perubahan pola berbelanja pada
masyarakat perkotaan dengan munculnya kecenderungan konsumen lebih
menyukai berbelanja pada ritel-ritel modern dibandingkan ritel tradisional.
Menurut hasil sigi konsumen yang dilakukan oleh AC Nielsen dan dikutip
pada Pilar Bisnis (Juli, 2003), terjadi peralihan pola belanja, di mana sekitar 24%
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
20. 20 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
konsumen kini cenderung untuk berbelanja di pasar modern (untuk diperkotaan
jumlahnya mencapai 41%). Pada 12 kota besar di Indonesia, konsumen memilih
pasar modern melebihi pasar tradisional yaitu sebesar 53%. Lebih lanjut, masih
berdasarkan hasil penelitian AC Nielsen dan dikutip dalam Tempo (Mei, 2003)
menunjukkan bahwa kontribusi pasar tradisional terhadap penjualan barang
konsumsi menurun dari 84,1% tahun 1999 menjadi 74,4% di tahun 2002.
Sebaliknya Supermarket mengalami kenaikan dari 3% tahun 1999 menjadi 20,1%
pada tahun 2002. Di sini terlihat bahwa pasar tradisional akan perlahan-lahan
tergeser oleh industri ritel modern.
Menurut Widjaja (2002) banyak faktor pendorong kesuksesan ritel modern
skala besar, beberapa diantaranya adalah pilihan lokasi yang tepat, dukungan
teknologi sistem informasi, harga murah, maupun kelengkapan produk. Semakin
terfragmentasinya pasar dan tidak jelasnya perbedaan antara satu format ritel
dengan format ritel yang lain. Maka keunggulan strategi format ritel yang hanya
berorientasi pada pilihan lokasi, sistem informasi handal, harga murah maupun
kelengkapan produk tidak akan cukup untuk dapat memenangkan persaingan.
Lebih jauh Meerzorg (2003) mengemukakan, bahwa salah satu kunci sukses
dalam bidang bisnis ritel modern adalah implementasi strategi customer
relationship, disamping tentunya penentuan lokasi, srategi harga, dan penggunaan
teknologi informasi. Pendapat ini dipertegas oleh Crosby et al., (1990), dengan
mengemukakan bahwa dalam lingkungan ritel dewasa ini, taktik relationship
marketing memainkan peranan penting dengan meningkatnya tuntutan konsumen
terhadap dibangunnya relasi yang harmonis antara pelanggan dan peritel.
Sedangkan Sweeney seperti dikutip dalam Suhata (2003), menegaskan bahwa
implementasi strategi relationship marketing memang sangat dibutuhkan dalam
bisnis ritel, dengan menyatakan pendapat sebagai berikut: "dibandingkan bisnis
manufaktur, peritel memiliki keunggulan dalam membina hubungan dengan
konsumen karena peritel memiliki posisi yang lebih baik dalam mendeteksi pola
pembelian konsumen dan menerapkan kemampuan tersebut dengan efisiensi biaya.
Sebagai contoh, dalam bisnis ritel memungkinkan menyapa dan memperlakukan
tamu dengan lebih baik, memberikan program loyalty dan perlakuan istimewa
(preferential treatment) dengan memberikan reward kepada pelanggan yang
berbelanja dalam jumlah tertentu."
Salah satu implementasi strategi relasional menurut Levy dan Weitz
(2004) adalah komunikasi, perlakuan istimewa (preferential treatment), perso-
nalisasi (personalisation) dan balas jasa (rewarding) yang dapat diistilahkan dengan
upaya relasional (relationship effort). Lebih jauh dijelaskan bahwa upaya relasional
(relationship effort) adalah aktivitas terintegrasi dengan tujuan membangun relasi
dengan pelanggan dalam jangka panjang.
Taruhan utama dalam meraih keberhasilan suatu strategi pemasaran adalah
menciptakan, mengkomunikasikan dan menyerahkan nilai unggul kepada
pelanggan. Maka fokus pada implementasi upaya relasional (relationship effort)
saja dianggap belumlah cukup. Garbarino dan Johnson, (1999); Gruen et al.,
21. 21
(2000); Gwinner et al., (1998); Pritchard et al., (1999) seperti dikutip dalam
Fulerton, (2004) mengemukakan pendapat sebagai berikut: "Recently, a number of
scholars have attempted to study the nature of service relationships thereby
merging two fields of study from the relationship marketing perspective, customer
commitment is seen as being the key determinant of customer retention and
loyalty. On the other hand, the services marketing literature generally views
service quality as the central construct that drives customer loyalty as a result of
this work, there is a significant opportunity to merge these two fields of study in
order to build a more comprehensive understanding of organization-consumer
relationships in services industries."
Maknanya : Saat ini, sejumlah peneliti sudah mencoba untuk melakukan
studi terhadap sifat alami service relationship dengan menggabungkan dua bidang
telaah dari perspektif relationship marketing, dimana komitmen pelanggan dilihat
sebagai kunci faktor penentu dari retensi pelanggan dan loyalitas. Sedang di sisi
lain, literatur pemasaran jasa pada umumnya melihat kualitas layanan sebagai
konstruk inti yang mendorong loyalitas pelanggan. Oleh sebab itu, merupakan
kesempatan yang signifikan untuk menggabungkan dua bidang telaah yaitu kualitas
layanan dan pemasaran relasional dalam penelitian dengan pemahaman
organization-consumer relationship yang lebih komprehensif dalam industri jasa.
Dengan demikian upaya relasional (relationship effort) dan kualitas layanan yang
unggul inilah yang dapat diistilahkan sebagai strategi penguat relationship
outcomes.
Artikel ini akan mencoba menelaah secara konseptual: (1) Implementasi
pemasaran relasional dalam bisnis ritel modern, (2) Dimensi upaya relasional
(relationship effort) sebagai strategi penguat relationship outcomes yang sesuai
dengan karakteristik bisnis ritel modern di Indonesia, (3) Dimensi dan atribut
kualitas layanan sebagai strategi penguat relationship outcomes yang sesuai dengan
karakteristik bisnis ritel modern di Indonesia. (4) Implikasi strategi penguat
relationship effort terhadap keluaran relasional (relationship outcomes) dalam
bisnis ritel modern di Indonesia.
Implementasi Pemasaran Relasional (Relationshipmarketing) dalam Bisnis Ritel
Modern
Bisnis ritel meliputi semua kegiatan yang melibatkan penjualan barang
atau jasa secara langsung pada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan
bukan bisnis (Berman, 2001:3). Sedangkan menurut Levy dan Weitz (2004:64)
bisnis ritel sebenarnya dapat dikategorikan sebagai bisnis jasa, namun dengan
kebutuhan layanan yang sangat rendah. Bisnis jasa dengan layanan tinggi dapat
dikatakan sebagai jasa dalam arti murni seperti restoran, jasa perbankan, jasa
konsultan manajemen, jasa asuransi. Lebih jauh, menurut Berry (1986) dalam
Subash et al., (2000), sangat membantu untuk mengklasifikasikan peritel dalam
"good" dan "services' retailer, di mana bisnis ritel termasuk dalam kategori jasa
namun dengan prosentase service atau layanan yang sangat kecil dibandingkan
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
22. 22 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
dengan bisnis jasa pelayanan penuh seperti restoran, salon maupun konsultan
manajemen. Dalam mengimplementasikan konsep relationship marketing dalam
bisnis ritel dibutuhkan pendekatan yang relatif sama dengan implementasi dalam
bisnis jasa khususnya jasa dengan keterlibatan layanan yang rendah (low contact
services).
Bisnis ritel sendiri telah mengalami evolusi dengan pergeseran dari bisnis
ritel tradisional menuju bisnis ritel modern. Di mana keberadaan bisnis ritel modern
ditandai dengan salah satu ciri, yaitu meningkatnya kebutuhan terhadap aplikasi
teknologi sistem informasi. Seperti misalnya penggunaan aplikasi sistem operasi
toko dengan komputer seperti: Point of Sales (POS), Elektronic Data Interchange
(EDI), dan EFT (Elektronic Fund Transfer), di mana aplikasi sistem tersebut
diharapkan menunjang peningkatan efisiensi (Maulana, 1999). Namun
demikian, bergesernya orientasi pada bisnis ritel modern ternyata belum diikuti
oleh pola orientasi terhadap konsumen. Seperti dikemukakan oleh Beatty et
al.,(1996) sebagai berikut: "However, retailer generally have little knowledge on
the types of value drivers that they should focus at".
Jadi, bagaimanapun peritel pada umunya memiliki sedikit pengetahuan
tentang tipe dan nilai yang mendorong pada fokus yang harus peritel lakukan.
Bendapudi dan Berry (1997) menambahkan bahwa; "Conceptualized what some of
these drivers might be, but no systematic, empirical investigation has been
reported. Especially research pertaining to relationship marketing in consumer
market has advanced little.” Perhatian peritel terhadap relationship marketing
dengan fokus konsumen masih dianggap kurang sistematik dan kurang didukung
oleh aktivitas investigasi empiris.
Beberapa ritel market dikatakan telah maturity (mengalami kedewasaan)
dan kesulitan dalam mendiferensiasikan diri hanya berdasarkan seleksi terhadap
merchandise (barang dagangan) saja (Berry, 1986). Peritel diharapkan melakukan
aktivitas dan usaha yang lebih keras melalui pembenahan proses, layanan dan
teknologi untuk meningkatkan customer value (Morgan dan Hunt, 1994) seperti
dikutip dalam Odekerken et al., (2003).
Menurut Odekerken et al., (2003), peningkatan usaha dalam bisnis ritel
dapat dilakukan dengan membangun relasi (relationship effort). Membangun relasi
menjadi hal penting sebagai landasan untuk membangun customer retention,
dengan alasan: (1) Harapan konsumen terhadap kualitas dari produk dan jasa yang
dikonsumsi semakin meningkat, (2) Persaingan diantara peritel juga semakin
meningkat, dengan marketing strategi dan taktik yang relatif sama, misalnya
dengan menawarkan jenis merchandise yang relatif sama, promosi harga,
melakukan share terhadap distribution channel System, dan memperlakukan
konsumen dengan lebih baik melalui layanan yang prima (Berry, 1986)) (3. Peritel
dihadapkan pada tuntutan baru tentang keterbatasan dan ketidakjelasan marketing
environment dalam bisnis ritel antara pasar dengan industri, dan meningkatnya
fragmentasi pasar maupun semakin pendeknya daur hidup produk. (Juttner dan
Wehrli, 1994) seperti dikutip dalam Odekerken etal., (2003).
23. 23
Program keanggotaan (membership) merupakan salah satu perwujudan dari
aktivitas relasional yang dilakukan oleh peritel, seperti dikemukakan oleh
Gummesson (1999:81) sebagai berikut:"Frequent flyer' loyalty programmes are
the technically most advanced attempts to create long term individual relationship
through membership."
Bisnis ritel membutuhkan strategi relationship dengan dukungan data base
yang lengkap melalui program keanggotaan sebagai kekuatan untuk mewujudkan
relationship outcome yang pada akhirnya akan menumbuhkan retensi konsumen
yang tinggi.
Menurut Oderkeken et al.,(2003) penelitian tentang relationship
marketing, tidak mungkin dilakukan tanpa pengetahuan atau pemahaman bahwa
variabel inti yang menjadi perhatian dari relationship adalah adanya suatu
interrelasi potensial pada saat lampau maupun akan datang bagi konsumen
dengan peritel. "One or more exchanges between a consumer and a retailer that are
perceived by the consumer as being interrelated to potential past and future
exchanges with the retailer"
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa bisnis ritel sebagai bisnis
yang sukar sekali melakukan diferensiasi membutuhkan upaya relationship
(relationship effort) untuk mewujudkan customer retention dan loyalitas pelanggan.
Menurut Odekerken et al., (2003) sebagai berikut; "A relationship effort as any
effort that is actively made by retailer towards a consumer, that is intended to
contribute to the consumer's perceived customer value above and beyond the core
product and or service efforts received, and that can only be perceived by the
consumer after continued exchange with the retailer."
Upaya relasional adalah usaha aktif peritel dalam memberikan kontribusi
terhadap harapan konsumen untuk mewujudkan customer retention melalui
penyampaian produk inti dan layanan yang membuat terjalinnya relasi yang
berkelanjutan. Menurut Oder-kerken et al., (2003) Relationship efforts mengacu
pada (1) usaha secara aktif yang dilakukan oleh peritel. Sebagai contoh:
"confinient benefit" diwujudkan dari kondisi bahwa konsumen secara rutin
belajar dari pengalaman belanja dengan mengingat lokasi produk pada display
supermarket. Confinient benefit akan lebih cepat terwujud, karena peran aktif
peritel untuk menginformasikan pada konsumen melalui signage (tanda-tanda
yang terpasang pada display ritel) ataupun komunikasi secara personal. (2) sejalan
dengan pendapat Gwinner et al., (1998) relationship effort didefinisikan mirip
dengan relationship benefit jika dilihat dari perspektif peritel, yaitu manfaat yang
didapatkan oleh konsumen dari relasi jangka panjang yang terjalin sesuai dengan
kinerja core service yang diberikan oleh produsen dalam hal ini peritel.
Menurut Levy dan Weitz (2004:348) dikemukakan pendapat sebagai
berikut:"Four approaches that retailers use to retain their best customers are (1)
frequent shopper programs, (2) special customer service, (3) personalization, (4)
community for building customer retention and loyalty is develop a sense for
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
24. 24 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
customers to exchange information using buletin boards and develop more
personal relationship with each other and the retailer by communication."
Terdapat empat pendekatan yang dapat dilakukan peritel untuk
mempertahankan pelanggan serta membuat pelanggan menjadi setia yaitu melalui
program belanja secara teratur, perlakuan istimewa bagi pelanggan, personalisasi
dan membangun komunitas melalui pertukaran informasi dengan buletin dan
mengembangkan relasional secara personal melalui komunikasi.
Dengan demikian, terdapat 4 (empat) aktivitas relationship effort yang
diharapkan dapat menjaga orientasi retensi pelanggan pada peritel, yaitu
komunikasi (communication), perlakukan istimewa (preferential treatment),
personalisasi (personalization), dan balas jasa (rewarding). Penjelasan untuk
masing-masing upaya relasional (relationship effort) dapat dirinci sebagai berikut:
Komunikasi (communication)
Komunikasi adalah persepsi konsumen terhadap sampai seberapa jauh
peritel memberikan informasi kepada konsumen secara terus menerus melalui
media komunikasi langsung, hal ini dikemukakan oleh Duncan dan Moriarty,
(1998) sebagai berikut: "Communication is a consumer perception of the extent to
which a retailer keeps its regular customer informed through direct communication
media "
Komunikasi merupakan kondisi utama yang harus ada untuk terciptanya
sebuah relasi (Duncan dan Moriaty, 1998). Dengan komunikasi, usaha-usaha
yang diarahkan untuk membangun relasi, yang dilakukan oleh peritel/produsen dapat
dipahami oleh konsumen.
Penyebaran katalog merupakan salah satu bentuk komunikasi efektif yang
dapat dilakukan oleh pihak peritel. Sebagai contoh, salah satu peritel besar yang
beroperasi di Indonesia, menyebarkan tidak kurang dari 1 juta katalog setiap kali
terbit (dua minggu sekali). Selain katalog besar yang mewakili seluruh toko, ada
juga katalog pendek yang di up date setiap lima hari sekali. Kemudian
ACTION SPOT bekerja sama dengan prinsipal produk yang dipromosikan dan
biaya promosi ditanggung bersama juga merupakan salah satu alternatif lain
dalam melakukan komunikasi dengan pelanggan. Di sisi lain, promosi melalui
media televisi maupun surat kabar juga menjadi pilihan bagi peritel, berdasarkan
data AC NIELSON menunjukkan periode Januari-Oktober 2004 sebuah peritel
besar di Indonesia menghabiskan anggaran iklan sebesar Rp 20,70 miliar dengan
persentasi terbesar di surat kabar, sebesar Rp 18,33 miliar.
Perlakuan Istimewa (preferential treatment)
Perlakuan istimewa (preferential treatment) menurut Gwinner et al., (1998)
adalah persepsi konsumen terhadap sampai sejauh mana perlakuan dan pelayanan
terhadap konsumen membership dilakukan lebih baik dibandingkan bukan
konsumen reguler. Terkait dengan relationship, tidak semua konsumen menyukai
diperlakukan dengan cara yang sama, diharapkan adanya konsumen yang fokus dan
25. 25
selektif untuk mendapatkan perlakukan istimewa (Peterson, 1995). Argumentasi
terhadap hal ini adalah perlakuan umum sebagai pemenuhan kebutuhan dasar dari
setiap konsumen memang penting untuk dipenuhi, namun perlakuan istimewa
terhadap konsumen selektif penting dilakukan dalam upaya sebagai retensi bagi
peritel. Hal ini juga merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam mengimple-
mentasikan strategi relasional.
Sedangkan preferential treatment menurut Sheth dan Parvatiyar (2002)
diartikan sebagai layanan kepada pelanggan berupa waktu belanja spesial atau
akses untuk produk baru. Diungkap pula bahwa konsumen mengharapkan tidak
ingin diperlakukan sama dengan konsumen lain. Beberapa pemasar memberikan
kritik kepada peritel yang memperlakukan konsumen secara sama dengan tidak
ada perbedaan yang mengakibatkan perusahaan akan kehilangan tidak hanya
sebagian keuntungan tetapi lebih jauh akan kehilangan kesetiaan pelanggan.
Peterson (1995) berpendapat bahwa perlakuan istimewa kepada pelanggan akan
memungkinkan penjual untuk memberikan sesuatu yang sangat mendasar bagi
pembeli yaitu perasaan dihargai, sehingga persepsi pelanggan yang lebih tinggi
terhadap perlakuan istimewa/preferential treatment akan meningkatkan tingkat
relationship outcomes secara keseluruhan.
Personalisasi (personalization)
Personalisasi (Personalization) menurut Metcalf et al.,(1992) adalah
persepsi konsumen terhadap sampai sejauh mana peritel berinteraksi dengan
konsumen reguler secara ramah dan dengan cara-cara personal. Pentingnya
pertukaran personal antara pembeli dan penjual dalam mempengaruhi relationship
outcomes bukan merupakan hal baru terkait dengan relationship dan proses
sosial (Beatty et al.,1996). Pentingnya hubungan personal antara pelanggan
dengan peritel akan berpengaruh pada hasil keluaran hubungan, sehingga tidaklah
mengherankan jika hubungan personal dapat dikatakan merupakan proses sosial
(Beatty et al., 1996). Sebagai contoh, Stone (1954) dalam Beatty et al.,(1996)
menekankan pentingnya hubungan personal dalam keberadaan suatu tempat
perbelanjaan.
Crosby dan Cowles, (1990) menerangkan bahwa interaksi sosial dihasilkan
oleh pusat perbelanjaan yang mampu memberikan motivasi kepada pelanggan
untuk terus berbelanja. Manfaat hubungan sosial antara lain adalah perasaan
sebagai keluarga, perasaan sebagai teman, dukungan sosial (Berry, 1995),
pengakuan personal, penyebutan nama konsumen, memahami pelanggan secara
pribadi, percakapan secara bersahabat, dan penampakan keakraban serta kehangat-
an antara peritel dengan pelanggannya.
Balas Jasa (rewarding)
Balas jasa (rewarding) menurut Peterson, (1995) adalah persepsi konsumen
terhadap sampai sejauh mana peritel menawarkan manfaat yang berwujud seperti
harga atau pemberian insentif kepada konsumen reguler untuk menumbuhkan
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
26. 26 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
loyalitas. Manfaat yang berwujud tersebut dapat berupa, pemberian hadiah cuma-
cuma, bonus belanja, kupon belanja, point untuk menginap di Hotel, maupun
pemberian tiket film. Balas jasa mengindikasikan adanya kerja sama atau hubungan
dengan pihak lain. Banyak pemasar yang berfokus bahwa penyediaan reward
bertujuan utama sebagai insentif harga dan investasi yang mampu menjaga
loyalitas pelanggan (Berry, (1995); Peterson, (1995)). Jadi reward ditetapkan
sebagai jaminan bahwa pelanggan mendapatkan sesuatu yang bersifat nyata
karena kesetiaan mereka.
Dimensi dan Atribut Kualitas Layanan sebagai Strategi Penguat
(Relationship Outcomes)
Perbedaan karakteristik jasa dan manufaktur mempunyai implikasi yang
sangat besar dalam menetapkan pemahaman dan penentuan kualitas layanan.
Demikian halnya dalam ritel dibutuhkan pendekatan yang tepat sesuai dengan
aspek-aspek yang dibutuhkan dalam operasional ritel tersebut untuk membangun
dimensi kualitas layanan yang dapat diimplementasikan dalam bisnis ritel.
Menurut Finn dan Lamb, (1991:489) sebagai berikut;"The service
categories that were used in the development of SERVQUAL are very different to
goods retailing (they fall closer to the pure service end of the pure service-pure
goods continuum than store retailing) and it may well be that consumers use
different criteria to evaluate competing goods retailers who sell a mix of goods
and services than they use to evaluate retailers that are primarily or exclusively
service firms.”
Kategori layanan yang digunakan untuk mengembangkan SERVQUAL
sangat berbeda pada goods retailing. Demikian pula konsumen, menggunakan
kriteria yang berbeda untuk mengevaluasi good retailer yang merupakan campuran
antara good dan service yang dapat disebut sebagai exclusively service firm.
Pemahaman terhadap konsep kualitas dengan dimensi dan atribut yang
sesuai dalam bisnis ritel tentunya membutuhkan telaah terhadap berbagai hasil
studi dan penelitian yang telah dilakukan terkait dengan kualitas layanan dalam
bisnis ritel. Beberapa penelitian tentang kualitas layanan dalam ritel bisnis diawali
oleh:
a) Carman (1990) dianggap sebagai pionner works in the field of retailing
melakukan penelitian pada tyre retailer (pengecer ban), dengan menggunakan
analisis faktor poros (axis factor analysis) yang diikuti oleh rotasi terhadap
lima dimensi dalam SERVQUAL dengan instrumen yang khusus.
b) Finn dan Lamb (1991) mengembangkan penelitian pada obyek departemen
store dan discount store (toko diskon), dengan menggunakan confirmatory
factor analysis menemukan instrumen yang khusus dalam SERVQUAL.
Tanpa melakukan modifikasi pada model SERVQUAL, model tersebut tidak
dapat digunakan secara valid dalam mengukur kualitas layanan dalam
perusahaan ritel.
c) Penelitian ketiga yang banyak menyumbang konsep kualitas dalam bisnis ritel
27. 27
dilakukan oleh Teas (1993). Mengembangkan penelitian pada discount store
dengan menggunakan penelitian conjoint untuk menetapkan ekspektasi dan
persepsi konsumen dalam skala SERVQUAL dan dibandingkan dengan
models attitudinal (model sikap) sebagai ideal point. Kesimpulan dari
penelitian ini mengindikasikan bahwa dengan menggunakan ideal point
dalam menetapkan ekspektasi konsumen akan memberikan hasil yang lebih
baik dalam pengukuran kualitas layanan.
d) Sedangkan penelitian keempat dilakukan oleh Bell et al., (1997)
menggunakan teknik insidental untuk mengidentifikasikan dan mengek-plorasi
dimensi dari kualitas layanan dalam food retail operation. Dikategorisasikan
dalam dua kelompok yaitu dalam positif dan negatif insidental dan
didapatkan enam kelompok yaitu physical environment, merchandise-related,
non core service, interpersonal, process and price. Temuan dalam riset Bell
ini adalah critical insident techniques sebagai komplemen metodologi
SERVQUAL (Koelemeijer, 1995). Sedangkan tiga penelitian berikutnya,
merupakan penelitian di bidang ritel yang benar-benar melakukan modifkasi
pada item atribut SERVQUAL, yaitu;
e) Penelitian yang dilakukan oleh Guiry et al., (1992) seperti dikutip dalam
Ioccobucci (1998) dengan analisis exploratory factor analysis menetapkan 51
atribut dengan 15 atribut yang diadopsi dari model SERVQUAL dan
tambahan 36 item.
f) Dabholkar et al., (1996) juga dengan menggunakan Confirmatory Factor
Analysis, menetapkan 28 atribut, dimana 17 atribut diadopsi dari SERVQUAL
ditambahkan 11 item baru. Dengan dimensi (a) Physical aspect (b)
Reliability, (c) personal interaction, (d) problem solving, (e) Policy.
g) Vasquez dan Ruiz (1995) seperti dikutip dalam Vasquez et al., (2001) dengan
menggunakan metode analisis Principal Component Factor Analysis.
Menetapkan 24 atribut di mana 12 item berasal dari SERVQUAL dan
tambahan 12 item yang baru.
h) Subhash C. Mehta et al., (2000) dengan menggunakan lima dimensi yaitu;
service personneal, physical aspect, merchandise, confidence, parking dan
menetapkan 22 item yang berbeda dengan SERVQUAL.
i) Brady dan Cronin (2001) dengan dimensi (a) Interaction Quality - Kualitas
interaksi (b) Outcome Quality Kualitas keluaran (c) Environment Quality-
kualitas lingkungan.
Kesembilan penelitian yang terkait dengan kualitas layanan tersebut
menetapkan atribut yang dianggap sesuai dengan aspek operasional bisnis ritel,
meliputi; physical environment, policy dalam hal ini terkait dengan harga maupun
jaminan pengembalian produk), keanekaragam barang dagangan (high variation
of merchandise), lay out (tata letak) yang memudahkan konsumen menemukan
barang-barang kebutuhan mereka, maupun kesigapan-kecepatan karyawan dalam
memberikan layanan. Berikut pada Tabel 1 kesembilan penelitian dalam bidang ritel
akan dirinci dengan lebih jelas berdasarkan dimensi kualitas layanan.
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
28. 28 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
Dimensi dan atribut pada Tabel 1 dapat digunakan sebagai dasar
pengembangan dimensi dan atribut yang sesuai untuk menilai kualitas layanan
dalam bisnis ritel. Tentunya akan lebih sempurna dengan tetap mempertimbangkan
faktor sosial, nilai, norma dan budaya masyarakat yang terkait dengan
terbentuknya pola perilaku belanja konsumen pada suatu wilayah geografis dan
demografis tertentu.
Tinjauan Konseptual: Implikasi Strategi Penguat Relationship Effort
Menurut Callaghan et al., (1995), terdapat beberapa hal yang perlu
mendapatkan perhatian dalam membangun relationship marketing yakni: (1
konsumen menghargai satu pertukaran sebagai sesuatu kondisi yang penting dan
sufficient dari suatu keberadaan relasi, ditandai dengan terbentuknya sebuah
continuum relationship. (2) terinspirasi oleh postulat Barnes (1997) yang
menyatakan bahwa tidak ada relationship yang akan tetap ada, tanpa perasaan
konsumen bahwa relasi tersebut memang benar-benar ada. Pemahaman postulat ini
terfokus pada perspektif konsumen. (3) eksistensi relationship terjadi jika pembeli
menerima pertukaran dengan penjual sebagai interaksi yang potensial pada masa
lalu maupun masa akan datang. Dengan tiga dasar pertimbangan di atas
diharapkan akan terwujud relationship outcomes yaitu: relationship satisfaction,
trust, relationship commitment serta buying behavior (Oderkerkenetal.,2003).
Tabel 1. Studi Kualitas Layanan pada Perusahaan Ritel
No Studi Instrumen Analisis Dimensi Kualitas
1 Carman (1990) 5 dimensi dalam Axis factor Tangible, reliability,
SERVQUAL analysis responsiveness, Emphaty,
assurance
2 Finn dan Lamb 5 dimensi dalam Confirmatory Tangible, reliability,
(1991) SERVQUAL factor anaylis responsiveness, Emphaty,
assurance (dengan
modifikasi)
3 Teas (1993) 5 dimensi dalam Conjoint research Tangible, reliability,
SERVQUAL of expectation and responsiveness, Emphaty,
perception assurance (dengan
modifikasi)
4 Bell (1997) 5 dimensi Critical incident Physical Environment,
technique merchandise-related, non
core service, interpersonal,
process and price
5 Guiry, 51 atribut, 17 dari Exploratory factor 1. Personal service and
Hutchinson dan 5 analysis employee interaction
Weitz (1992) SERVQUAL dan 2. Product assortment
ada tambahan 11 3. Reliability of retailer
item transaction procedures
4. Employee availability
prior to transaction
5. Tangible
6. Reliability of retail
service policy
7. Price
29. 29
6 Vazquez, 24 atribut, 12 dari Principal 1. Product presentation and
Rodriguez dan SERVQUAL component shopping convinience
Ruiz (1995) ditambah 12 item. factor analysis 2. Awareness of promotion
3. Quality of assortment and
of personal interaction
4. Pricing policy
5. Retailers’ recognition and
prestide
7 Dabholkar, 28 atribut, 17 dari Confirmatory 1. Physical aspects
Thorpe SERVQUAL factor analysis 2. Reliability, promises , do
dan Rentz (1996) ditambah 11 item. it right
3. Personal interaction,
trust, kindness
4. Problem resolving
5. Retailers’ policies
8 Brady dan Cronin 22 item Confirmatory 1. Interaction Quality
(2001) Factor 2. Outcome Quality
Analysis 3. Environment Quality
9 Subhash C. 22 atribut Confirmatory 1. Service Personnel
Mehta, factor 2. Physical Aspect
Ashok K. Lalwani analysis 3. Merchandise
and Soon Li Han, 4. Confidence
2000. 5. Parking
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Pada saat peritel mengimplementasikan relationship marketing effort untuk
membangun relationship outcomes seperti yang mereka harapkan dengan berbagai
cara, aktivitas tersebut akan memberikan kesan yang baik kepada pelanggan.
Adanya investasi waktu, usaha dan sumber lain menciptakan hubungan dengan
pelanggan, maka akan tercipta efek psikologis yang akan membuat pelanggan
bertahan dan mempertahankan hubungan tersebut dan memberikan suatu balasan
timbal balik (Smiths dan Barclay, 1997) seperti dikutip dalam Berry (1995).
Menurut Gruen (1995), seperti dirinci pada Gambar 1 di bawah ini.
Implementasi pemasaran relasional (relationship marketing) dalam konteks
Business to Customer (BTC) mengembangkan dua pendekatan terkait dengan
relationship outcomes yaitu pendekatan psychological outcomes dan behavioral
outcomes. Di mana dalam psychological outcomes meliputi tiga konstruk yaitu
commitment, trust dan relationship satisfaction, sedangkan dalam behavioral
outcomes meliputi propensity to terminate relationship, opportunistic behavior,
citizenship behavior dan allocated purchase share.
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
30. 30 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
Sumber: Gruen T., 1995. The Outcome Set of Relationship Marketing in Consumer Markets,
International Business Review, Vol.4, No.4, pp. 447-469.
Merujuk pada apa yang menjadi inti dari postulat Barnes (1997) yang
menyatakan bahwa tidak ada relationship yang akan tetap ada, tanpa perasaan
konsumen bahwa relasi tersebut memang benar-benar ada. Pemahaman postulat
ini terfokus pada perspektif konsumen dengan demikian pendekatan psychological
outcomes meliputi tiga konstruk yaitu commitment, trust dan relationship
satisfaction dipandang mempunyai andil yang besar dalam mengevaluasi
keberhasilan implementasi relationship effort dalam bisnis ritel modern.
Berikut akan diperjelas masing-masing dimensi dari relationship outcomes
menurut perspektif psychological.
Kepercayaan (trust)
Dalam konteks relationship marketing, kepercayaan merupakan salah satu
dimensi untuk menentukan seberapa jauh suatu pihak merasakan integritas dan
janji yang ditawarkan oleh pihak lain. Trust diartikan sebagai kesediaan
mengandalkan kemampuan, integritas dan motivasi pihak lain untuk bertindak
dalam rangka memuaskan kebutuhan dan kepentingan seseorang sebagaimana
disepakati bersama secara implisit maupun eksplisit. (Sheth dan Mittal, 2004 seperti
dikutip dalam Tjiptono (2005: 415)).
Sedangkan menurut Callaghan et al., (1995), kepercayaan didefinisikan
sebagai keinginan untuk menggantungkan diri pada mitra bertukar yang
dipercayai. Penelitian Morgan dan Hunt (1994) mengungkapkan bahwa perilaku
hubungan yang terjadi antara perusahaan dengan mitra-mitranya banyak
ditentukan oleh kepercayaan, ternyata akan mempunyai hubungan yang positif
dengan niat ulang melakukan pembelian maupun loyalitas. Dalam studi ini, trust
dikonseptualisasikan sebagai komponen dari business relationship yang
menentukan tingkat dimana peserta/anggota/parties merasakan perasaan
31. 31
kebersamaan (integrity) dari perjanjian yang ditawarkan oleh pihak lain dalam
organisasi. (Callaghan et al., 1995).
Lebih jauh, menurut Callaghan et al., (1995) pengertian kepercayaan dalam
pemasaran ritel lebih menekankan pada sikap individu yang mengacu pada
keyakinan konsumen atas kualitas dan keandalan layanan peritel yang diterimanya.
Secara operasional, kepercayaan mengacu pada pendapat Gwinner et al., (1998)
yang lebih menekankan pada keuntungan psikologis dari pada perlakuan istimewa
terhadap pelanggan atau manfaat sosial dalam hubungan pelanggan dengan
peritel.
Sedangkan menurut Gwinner et al., (1998), kepercayaan konsumen
adalah semua pengetahuan yang dimiliki oleh konsumen dan semua kesimpulan
yang dibuat konsumen tentang obyek, atribut dan manfaatnya. Obyek dapat berupa
produk, orang, perusahaan dan segala sesuatu dimana seseorang memiliki keper-
cayaan sedangkan sikap atribut adalah karakteristik atau fitur yang mungkin
dimiliki atau tidak dimiliki oleh obyek. Pada akhirnya, Morgan dan Hunt (1999)
mendifinisikan trust sebagai konstruk kunci dari model relationship marketing.
Sejalan dengan teori bahwa semakin tinggi level kepercayaan antara pembeli dan
penjual, semakin besar peluang untuk melanjutkan relasi dalam jangka panjang dan
berkesinambungan.
Komitmen (commitment)
Menurut Tjiptono (2005: 415), sejumlah riset menunjukkan bahwa dua pilar
utama pemasaran relasional adalah trust dan commitment. Dengan kata lain
pelanggan harus mempercayai pemasar dan selanjutnya berkomitmen pada pemasar
sebelum bisa terjalin relasi yang saling menguntungkan dalam jangka panjang.
Trust merupakan faktor yang paling krusial dalam setiap relasi, pada umumnya trust
akan terbentuk lebih dahulu sebelum komitmen tersebut muncul. Menurut Tjiptono
(2005: 415) komitmen merupakan hasrat atau keinginan kuat untuk mem-
pertahankan dan melanjutkan relasi yang dipandang penting dan bernilai jangka
panjang. Komitmen biasanya tercermin pada perilaku kooperatif dan tindakan aktif
untuk tetap mempertahankan relasi yang telah terbina.
Kepuasan Relasional (relationship satisfaction)
Sheth dan Parvatiyar (1995) menggunakan kognitif konsistensi teori yang
mengkaitkan kekerapan perilaku positif pelanggan dalam pasar relasional yang
disebabkan oleh pengalaman pelanggan merasakan kepuasan. Kepuasan
pelanggan telah diteliti secara ekstensif dan ditemukan bahwa peningkatan
kepuasan akan mengarahkan pada peningkatan perilaku pembelian ulang (Yi,
1990 seperti dikutip dalam Gruen, 1995). Berangkat dari pemikiran inilah,
tidaklah mengherankan jika kepuasan menjadi konstruk yang digunakan dalam
banyak penelitian pemasaran relasional.
Howard dan Sheth (1969) seperti dikutip dalam Gruen (1995)
mendefinisikan kepuasan relasional sebagai berikut: "A party's affective state of
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
32. 32 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
feeling adequately or inadequately rewarded for the sacrifice undergone in
facilitating an exchange relationship." Kepuasan relasional adalah suatu
kecenderungan satu pihak untuk merasakan kecukupan atau ketidakcukupan
reward/balas jasa terhadap pengorbanan yang terjadi dalam memfasilitasi suatu
pertukaran relasional.
Dengan demikian, definisi ini mengarahkan pada dua hal sebagai kunci
yang membedakan dengan kepuasan transaksional yaitu ; (1) kepuasan relasional
lebih didasari oleh equity theory sehingga kepuasan yang terjadi lebih pada tataran
behaviora / perilaku. (Scholl, 1981) (2). Williams dan Hazer (1986) seperti dikutip
dalam Gruen (1995) dikemukakan sebagai berikut: "Transactional satisfaction will
be more volatile than relationship satisfaction." Kepuasan transaksional lebih
bersifat mudah berubah diban-dingkan kepuasan relasional.
Melalui relationship outcomes meliputi keeper-cayaan (trust), komitmen
(commitment) dan kepuasan relasional(relationship satisfaction) tentunya dapat
digunakan sebagai satandar dalam mengevaluasi keberhasilan dari strategi
penguat relationship outcomes meliputi upaya relasional (relationship effort) dan
kualitas layanan.
Kesimpulan
Redefinisi konsep pemasaran dipicu pergeseran paradigma orientasi pasar
dari berbasis transaksional menjadi berbasis relasional. Tujuan dari bisnis saat ini
adalah menciptakan kepuasan konsumen. Profit bukanlah tujuan tetapi reward
(hasil). Pendapat ini didasari oleh opini bahwa apabila konsumen merasa puas,
maka mereka mendapatkan "value" yang akan menciptakan keuntungan bagi
shareholders dalam jangka panjang melalui aktivitas rebuying dari relasi yang
terjalin dengan lebih baik. Dalam konteks tersebut pergeseran paradigma dari
transactional menjadi relationship merupakan keharusan.
Pemahaman Relationship marketing, baik dalam perspektif sejarah
munculnya, maupun dilihat dari perspektif sempit dan luas, dapat ditemukan
satu esensi dari pemasaran relasional yaitu aktivitas pemasaran yang ditujukan
untuk membangun dan mempertahankan hubungan jangka panjang dengan
stakeholder kunci, dilandasi prinsip manfaat saling menguntungkan.
Peningkatan usaha dalam bisnis ritel dapat dilakukan dengan membangun
relasi (relationship effort). Membangun relasi menjadi hal penting sebagai
landasan untuk membangun customer value, dengan alasan: (1) Harapan konsumen
terhadap kualitas dari produk dan jasa yang dikonsumsi semakin meningkat, (2)
Persaingan diantara riteler meningkat, dengan marketing strategi dan taktik yang
relatif sama misalnya dengan menawarkan jenis merchandise yang relatif sama,
promosi harga, melakukan share terhadap distribution channel system, dan
memperlakukan konsumen dengan lebih baik melalui layanan yang prima (3)
Riteler dihadapkan pada klaim baru tentang keterbatasan dan ketidak jelasan
marketing environment dalam bisnis ritel antara pasar dengan industri, dan
meningkatnya fragmentasi pasar maupun semakin pendeknya daur hidup produk
33. 33
Strategi penguatan relationship outcomes melalui aktivitas preferential
treatment, komunikasi, personalisasi, rewarding serta penentuan kualitas layanan
dengan dimensi yang sesuai dengan operasional ritel diharapkan mampu
menciptakan relasi yang terbangun dengan orientasi jangka panjang dan
berkelanjutan.
Referensi
B Beatty, Sharon E., James EC, Kristy ER, and Jungki Lee, 1996. Customer-
Sales Associate Retail Relationship. Journal of Retailing, Vol. 72, No. 3, pp.
223-47.
Bell J., Gilbert D., Lockwood A., 1997, Service Quality in Food Retailing
Operations : Critical Incident Analysis. The International Review of Retail,
Journal of Distribution and Consumer Research, Vol. 7, No. 4, pp. 405-423.
Bendapudi N., and Berry L., 1997. Costumer Motivations for Maintaining
Relationship with Service Provider, Journal of Retailing, Vol. 773, No. 1,pp
15-37.
Berman B., and Evans J.R, 2001. Retail Management A Strategic Approach. Eight
Edition, Prentice Hall., Inc., New Jersey, USA.
Berry, Leonard L, 1986. Retail Business are Service Business, Journal of Retailing,
Vol 62, Spring, pp.3-6.
__, 1995. Relationship Marketing of Services-Growing Interest, Emerging
Perspectives. Journal of the Academy of Marketing Science, Vol 23 (4),
pp.236-45.
Brady M. and Cronin J., 2001. Some New Thoughts on Conceptualizing Perceived
Service Quality : A Hierarchical Approach. Journal of
Marketing,Vol65(3),pp..34-49.
__, Brand R., 2002. Performance Onl y Measurement of Service Quality: A
Replication and Axtension. Journal of Business Research, Vol. 55, pp. 17-
31.
Business News, 1996. Masyarakat Indonesia Gemar Berbelanja. Edisi 8 Maret.
Callaghan M., McPhail J. and Yau OHM, 1995. Dimensions of Relationship
Marketing Orientation: An Empirical Exposition, Proceeding of The Seventh
Biannual World Marketing Congress, Melbourne, Australia, July, Vol.
VII-II, pp. 10-65.
Carman M. James, 1990. Consumer Perceptions of Service Quality: An
Assessment of The SERVQUAL Dimensions, Journal of
Retailing,Vol.66,No.1,pp.33-55.
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)
34. 34 Jurnal E-Mabis FE-Unimal, Volume 8, Nomor 1, Januari 2007
Christopher M, Payne A, and Ballantyne, 2002. Relationship Marketing; Creating
Stockholder Value. First Edition, Oxford: Butterword-Heinemann.
Collier, A. David, 1992. Service, Please: The Malcolm Baldrige National
Quality Award Business Horizons, July-August, 1992.
Cronin, J. Joseph and Taylor A.Steven, 1992. Measuring Service Quality: A
Reexamination and Extension, Journal of Marketing, Vol. 62, pp.55-68.
Crosby L., Evans K., and Cowles D., 1990. Relationship Quality in Service
Selling: An Interpersonal Influences Perspective. Journal of Marketing, Vol.
54, pp. 68-81.
Dabholkar PA., 1995. Contingency Framework for Predicting Causallity Between
Customer Satisfaction and Service Quality. Advances in Customer Research,
Vol. 22, pp. 101-8.
_ _ , T h o r p e D . I. , R e n t z J . O . , 1 9 9 6 . A Measure of Service Quality For
Retail Stores: Scale Development and Validation. Journal of The Academy of
Marketing Science, Vol. 24, No. 1,pp3-16.
Davis, Ferd D., Bagozzi Ricard P. and Warshaw Paul R., 1989. User
Acceptance of Computer Technology: A Comparison of Two Theorical
Models. Management Science, Vol. 35, No. 8. pp. 982-1003.
Driver, Carrole and Johnston Robert, 2001. Understanding Service Customers
The Value of Hard and Soft Attributes, Journal of Service Research, Vol. 4,
No. 2, pp. 130-139.
Duncan T., and Moriaty S.C., 1998. Communication Based Marketing Model For
Managing Relationship. Journal of Marketing, Vol. 62, pp. 1-13.
Evan Jr. dan Lskin R.L., 1994. The Relationship Marketing Process : A
Conceptualiation and Aplication. Journal of Industrial Marketing
Management, Vol. 23, No. 4, pp. 439-52.
Fin D.W., Lamb C.W., 1991. An Evaluating of The SERVQUAL Scales in A
Retailing Setting.
Journal of Advances in Consumer Research, Vol. 18, Association for
Consumer Research, Provo, UT, pp.483-490.
Fullerton, Gordon, 2004. The Service Quality-Loyalty Relationship in Retail
Services: Does Comitment Matter?. Journal Of Retailing and Consumer
Service, Accepted 6 April 2004.
Ganesan, Shankar, 1994. Determinants of Long-Term Orientation in Buyer-
Seller Relationship. Journal of Marketing, Vol. 58, No.2, pp. 1-19.
Gronroos, 1990. Service Management and Marketing. Lexington, MA, Lexington
Books.
35. 35
Gruen T., 1995. The Outcome Set of Relationship Marketing in Consumer
Markets, International Business Review, Vol4, No.4, pp. 447-469.
_ _ , S u m m e r s J , a n d A c i t o F , 2 0 0 0 . Relationship Marketing Activities,
Commitment and Membership Behaviors in Professional Associations.
Journal of Marketing Vol. 64, No. 3, pp. 34-49.
Gwinner KP, Gremler DD, and Bitner MJ, 1998. Relational Benefit in Service
Industries: The Customer Perspektif. Journal Academic Marketing Science,
Vol. 26, pp. 101-114.
Huppert, John W. Sidney, J. Arenson, and Richard H. Evans, 1978. An
application of Equity Theory to Buyer-Seller Exchange Situation, Journal of
Marketing, Vol. 15, No.2, pp. 250-60.
Koelemeijer K., 1995, The Retail Service Encounter identifying Critical Service
Experiences, Journal Of Managing Service Quality, Chapman, London.
Kompas Harian, 1996. Perkembangan Bisnis Ritel di Indonesia, edisi 3 Januari.
____________, 2005, Pertumbuhan Ritel Indonesia,Edisi 8 April.
Kotler, Philip, 2003, Marketing Management Analysis, Planning,
Implememtation and Controll, International Edition, Uppersadle River,
Prentice Hall.Inc. New Jersey.
Levy M., and Weitz A. Barton, 2004. Retailing Management, Fifth Edition, Mc
Graw Hill, Irwin, New York. USA.
Levy S., and Zaltman G., 1975. Marketing Society and Conflict. Englewood Cliffs,
Prentice Hall, New York.
Looy, Van Bart, Gemmel Paul and Dierdonck Van R., 2003. Service Management
An Integrated Approach. Second Edition, Pearson Education-Prentice
Hall.Inc. Harlow-England
Maulana, Agus, 1999. Perilaku Konsumen Di Masa Krisis, Implikasinya
Terhadap Strategi Pemasaran. Usahawan No1 Th. XXVIII, edisi Januari.
Meerzorg H, 2003. Kunci Sukses Berbisnis Ritel. Majalah Manajemen, Edisi April.
Metcalf LE, Frear CR, Krishnan R,1992. Buyer -Seller Relationship an Aplication
of The IMP Interaction Model. Europian Journal of Marketing, Vol. 26, pp
27-46.
Morgan, Robert M. and Hunt Shelby D., 1999. The Commitment -Trust Theory of
Relationship Marketing. Journal of Marketing, Vol. 58, No.3, pp 20-38.
Mueller, O. Ralph, 1996. Basic Principles of Structural Equation Modeling, an
Introduction to LISREL and EQS. Springer-Verlag New York,Inc.
STRUKTUR PEMBELANJAAN DAN KINERJA PERUSAHAAN................................... (APRIDAR)