Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dokumen tersebut membahas tentang kesalahan dalam mendidik anak generasi milenial di Indonesia yang mengakibatkan kecelakaan beruntun.
2. Orang tua kini terlalu fokus pada materi dan gaya hidup mewah tanpa memberikan fondasi hidup yang baik kepada anak-anak.
3. Anak-anak perlu dilatih keterampilan hidup seperti self-control, fleksib
1. OPINI
DUL
Rhenald Kasali.
KITA tentu tak menyangka bagaimana mungkin seorang bocah berusia 13 tahun
sudah dilepas membawa mobil sendiri pada tengah malam.
Memang ia ditemani seseorang, tetapi ia juga masih terbilang bocah. Bukan
mengemudi di dekat rumah dengan pengawasan orangtua, melainkan di jalan
tol, menempuh jarak yang terbilang jauh. Dan apesnya, enam orang tewas, dan
beberapa anak langsung menjadi yatim piatu.
Ini tentu sangat memprihatinkan. Namun setiap kali melihat bagaimana
masyarakat mendidik anak-anak, saya sebenarnya sangat khawatir. Tak dapat
dipungkiri, tumbuhnya kelas menengah telah menimbulkan gejolak perubahan
yang sangat besar.
Namun reaksinya sangat ekstrem: Yang satu mengekang habis anak-anak
dengan dogma, agama dan sekolah sehingga melahirkan anak-anak alim yang
amat konservatif, yang satunya memberi materi dan servis tiada batas, sehingga
menjadi amat liberal.
Di segmen atas anak-anak diberikan mobil, di bawah menuntut dibelikan sepeda
motor meski usianya belum 17 tahun. Kebut-kebutan menjadi biasa, korban pun
sudah sangat sering berjatuhan. Karena mereka bukan siapa-siapa maka
kecelakaan dan kematian yang ditimbulkan tidak masuk dalam orbit media
massa. Kematian yang ditimbulkan Dul mengirim sinyal penting bagi kita semua.
Business class
Di pesawat terbang, mungkin hanya di Indonesia, Anda bisa menyaksikan
keluarga-keluarga muda membawa anak-anaknya duduk di kelas bisnis. Dua
2. orang baby sitter, duduk sedikit di belakang, tak jauh dari batas kelas eksekutif
mengawal anak-anak yang sudah bukan bayi lagi itu. Di masa liburan, bukan hal
aneh menemukan keluarga menunggu di business lounge, dan naik pesawat
dengan tiket termahal.
Sayang sekali, cara makan anak-anak belum dididik layaknya kelas menengah.
Berteriak-teriak di antara kalangan bisnis, makan tercecer di jalan, dan di atas
pesawat memperlakukan pramugari seperti pembantunya di rumah. Sebentar-
sebentar bel dipijit, dan pramugari bolak-balik sibuk hanya melayani dua orang
kakak-beradik yang minta segala layanan. Menjelang tiba di tujuan, orangtua
baru mulai menyentuh anak-anaknya, dibantu baby sitter yang terlihat gelisah.
Orangtua mereka umumnya adalah pemilik areal pertambangan, pedagang, atau
ada juga seleb-seleb muda yang belakangan banyak bermunculan. Ayah dan ibu
memilih tidur.
Jarang ditemui percakapan yang memotivasi, atau mengajarkan sikap hidup.
Paling banter, mereka bermain video game, dari iPad yang dibawa anaknya.
Padahal di luar negeri, iPad adalah alat kerja eksekutif yang dianggap barang
mewah. Kesulitan orangtua tentu bukan hanya berlaku bagi kelas menengah
saja. Di taman kanak-kanak yang diasuh istri saya di Rumah Perubahan, di
tengah-tengah kampung di dekat Pondok Gede hal serupa juga kami temui.
Belum lama ini sepasang suami-istri menitipkan anaknya untuk sekolah di
tempat kami, dan setelah mengecek status sosial-ekonominya, anak itu pun
diputuskan untuk diterima.
Namun ada yang menarik, setelah diobservasi, anak berusia lima tahun itu
seperti belum tersentuh orangtuanya. Ia seperti rindu bermain, motorik halus dan
kasarnya belum terbentuk, jauh tertinggal dari teman-teman sebayanya. Setelah
dipelajari dan orangtua diajak dialog, kami menjadi benar-benar paham
pergolakan apa yang tengah terjadi dalam masyarakat kita. Orangtua selalu
mengatakan, “Saya bekerja keras untuk menyiapkan masa depan anak-anak.
Saya juga sering mengajak mereka berlibur”. Namun, anak-anaknya menyangkal
semua pemberian itu.
Faktanya, anak-anak tak terbentuk. Sikap sosialnya, termasuk modal dasar yang
disebut para ahli pengembangan anak sebagai executive function dan self
regulation tidak terbentuk. Orangtua hanya fokus pada kemampuan anak
berhitung dan membaca. Padahal, mereka juga harus pandai mengelola “air
traffic control” yang ada dalam pikiran anak-anaknya agar kelak mampu menjadi
insan mandiri yang bertanggung jawab.
Executive function
Anak-anak kita menghadapi dunia baru yang benar-benar berbeda dengan kita,
sehingga mudah sekali “berpaling” dari hal-hal rutin seperti sekolah dan belajar.
Mereka hidup dalam dunia yang penuh dengan “gangguan” (distraction) seperti
sosial media dan telekomunikasi yang saling bersahutan. Kita semua akan
3. sangat kesulitan menjaga dan membimbing anak-anak kita bila modal
dasar executive function tidak ditanam sejak dini. Apalagi bila sekolah hanya
fokus pada angka dan huruf, seakan-akan pengetahuan dan rumus adalah
segala-galanya.
Menurut berita yang saya baca, Dul ternyata sudah sejak Juni lalu tak sekolah.
Saya tak tahu tentang kebenaran berita ini. Tetapi Minggu dini hari dia masih
mengendarai mobil, mengantar pacar lewat jalan tol, tentu mengindikasikan anak
itu (ini juga bisa terjadi pada anak-anak kita, bukan?) telah hidup dalam
abad distraction, sulit untuk fokus sekolah dan belajar. Studi-studi
tentang executive function dalam child development antara lain banyak bisa kita
temui dalam buku dan video yang diberikan psikolog-psikolog terkemuka, seperti
Ellen Galinsky dan Debora Philip.
Mereka menemukan, di abad ini, anak-anak perlu mendapat fondasi hidup yang
jauh lebih penting dari sekadar tahu angka dan huruf. Anak-anak itu perlu dilatih
tiga hal: Working memory, Inhibitory control, dan Mental flexibility. Ketiga hal
itulah yang akan membentuk generasi emas yang bertanggung jawab dan
produktif. Mereka sedari dini perlu dibentuk cara bekerja yang efektif, fokus, tahu
dan bekerja dengan aturan, sikap positif terhadap orang lain, mengatasi
ketidaknyamanan, dan permintaan yang beragam, serta cara mengelola
informasi yang datang bertubi-tubi.
Pikiran mereka dapat diibaratkan menara Air Traffic Control di Bandara
Cengkareng dengan ratusan pesawat yang datang dan pergi, semua berebut
perhatian dengan sejuta masalah yang harus direspons cepat. Maka itu,
masalah Dul bukanlah sekadar masalah Ahmad Dhani yang menjadi seleb, atau
masalah keluarga broken home. Ini adalah masalah kita bersama, masalah yang
dihadapi anak-anak kita. Dari kita yang tidak fokus dan sibuk mencari uang atau
mengurus orang lain. Kita yang dibentuk oleh sistem pendidikan model revolusi
industri yang masih berpikir cara lama.
Ditambah guru-guru yang juga banyak tidak fokus, tidak paham problem yang
dihadapi generasi baru, yang punya ukuran kecerdasan menurut versi mereka
sendiri, dalam model persekolahan yang materialistis dan old fashion. Sekolah
yang menjenuhkan dan tidak membuka fondasi yang diperlukan anak-anak
sehingga mereka lari dari rutinitas.
Ini pun sama masalahnya dengan orangtua yang lari dari dunia nyata dan
berlindung dalam benteng-benteng dogma dengan menyembunyikan anak dari
dunia riil ke tangan kaum konservatif yang menjadikan anak hidup dalam dunia
yang gelap dan steril. Anak-anak kita perlu pendekatan baru untuk menjelajahi
dunia baru. Mereka perlu dilatih keterampilan-keterampilan hidup, fokus dan
selfregulations, menjelajahi hidup dalam aturan, yang ditanam sedari usia dini.
RHENALD KASALI