1. PERANAN KOMUNIKASI DALAM DIFUSI TEKNOLOGI
Oleh: Slamet Mulyana
Abstrak
Inovasi menjadi aspek yang teramat penting dalam kondisi persaingan yang semakin
kompetitif. Inovasi juga menjadi suatu hal yang strategis ketika kevakuman serta rutinitas
menjadi fenomena umum dalam sistem kerja. Inovasi sangat berati ketika tingkat
produktivitas usaha menjadi hal yang mendasar bagi terbangunnya kemampuan persaingan.
Inovasi akan terasakan maknanya ketika proses difusi absorpsi menjadi mekanisme rutin
terjadi dalam sistem inovasi. Dengan demikian difusi inovasi sebagai sustu proses transfer of
knowledge menjadi suatu hal yang esensi dalam mendorong percepatan tumbuhnya
perekonomian dan kesejahteraan nasional.
Kondisi tersebut menuntut partisipasi aktif seluruh pihak yang terlibat dalam pengembangan,
pengkajian dan difusi teknologi baik dari kalangan akademisi (perguruan tinggi), dunia
usaha, industriawan, maupun pemerintah untuk bersama-sama melakukan kajian terhadap
faktor-faktor determinan dalam difusi teknologi secara lebih intensif, dan komunikasi adalah
kata kuncinya
Kata Kunci: Inovasi, sistem inovasi, difusi teknologi, komunikasi
Pengantar
Kemampuan nasional suatu negara untuk mengembangkan kapabilitas teknologi
banyak ditentukan oleh upaya teknologis, perlengkapan modal, dana dan kualitas sumberdaya
manusia, serta keterampilan teknis dan organisatoris untuk menggunakan unsur-unsur di atas
secara efektif dan efesien. Upaya teknologis (technological effort) yang dimaksud adalah
usaha sungguh-sungguh untuk menggunakan informasi teknologi yang tersedia, serta
mengakumulasikan pengetahuan teknologi yang diperoleh untuk memilih, membaurkan dan
menyesuaikan teknologi yang ada, dan/atau menciptakan teknologi baru. Penguasaan
teknologi bukan mengacu hanya pada efisiensi teknis, tetapi juga kemampuan untuk
menyesuaikan teknologi sehingga lebih cocok dengan kondisi lokal, serta kemampuan untuk
menciptakan teknologi baru yang lebih baik.
Usaha negara-negara berkembang memacu proses industrialisasi pada dasarnya
dimaksudkan untuk meningkatkan kapabilitas teknologi, yang mampu menghasilkan produk-
produk berdaya saing tinggi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara nyata dan berarti. Untuk itu tidak ada pilihan lain bagi setiap negara
kecuali menyiasati berbagai wahana untuk meraih peluang-peluang yang terbuka dalam
rangka peningkatan kapabilitas teknologi.
2. Berbagai usaha yang dilakukan seringkali terbentur pada kendala faktor-faktor yang bersifat
struktural seperti penguasaan teknologi, kualitas sumber daya manusia, prasarana fisik, serta
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal, kemampuan suatu negara untuk
mengembangkan kapabilitas teknologi banyak ditentukan oleh upaya teknologis,
perlengkapan modal, dana, kualitas sumber daya manusia, serta keterampilan teknis dan
organisatoris, untuk menggunakan unsur-unsur tersebut secara efektif dan efisien (Call,
1992).
Kondisi tersebut menuntut partisipasi aktif seluruh pihak yang terlibat dalam pengembangan,
pengkajian dan alih teknologi baik dari kalangan akademisi (perguruan tinggi), dunia usaha,
industriawan, maupun pemerintah untuk bersama-sama melakukan kajian terhadap faktor-
faktor tersebut secara lebih intensif, sehingga dapat menghasilkan rancangan strategi
pengembangan industri dan teknologi yang memiliki daya saing tinggi baik secara nasional,
regional maupun global.
Konsep Alih Teknologi
Secara sederhana, konsep alih teknologi dapat diartikan sebagai salah satu cara untuk
memperoleh kemampuan teknologi, di mana saluran yang dapat dipakai juga bermacam-
macam. Sebagai contoh: alih teknologi dapat dilakukan dengan cara penanaman modal asing,
memalui berbagai perjanjian bantuan teknis dan manajerial, melalui tukar-menukar tenaga
ahli, melalui buku-buku, dan sebagainya.
Konsep alih teknologi dipahami secara berbeda-beda, seperti juga konsep kemampuan
teknologi. Santikar (1981) menunjukkan bahwa ada empat macam konsep alih teknologi, di
mana masing-masing konsep membutuhkan kemampuan teknologi dan pendalaman teknologi
yang berbeda-beda. Keempat konsep alih teknologi tersebut adalah:
1. Alih teknologi secara geografis. Konsep ini menganggap alih teknologi telah terjadi jika
teknologi tersebut telah dapat digunakan di tempat yang baru, sedangkan sumber-sumber
masukan sama sekali tidak diperhatikan.
2. Alih teknologi kepada tenaga kerja lokal. Dalam konsep ini, alih teknologi terjadi jika
tenaga kerja lokal sudah mampu menangani teknologi impor dengan efisien, yaitu jika
mereka telah dapat menjalankan mesin-mesin, menyiapkan skema masukan-keluaran, dan
merencanakan penjualan.
3. 3. Transmisi atau difusi teknologi. Dalam konsep ini, alih teknologi terjadi jika teknologi
menyebar ke unit-unit produktif lokal lainnya. Hal ini dapat terjadi melalui program sub-
contracting atau usaha-usaha diseminasi lainnya.
4. Pengembangan dan adaptasi teknologi. Dalam konsep ini, alih teknologi baru terjadi
jika tenaga kerja lokal yang telah memahami teknologi tersebut mulai mengadaptasinya
untuk kebutuhan-kebutuhan spesifik setempat ataupun dapat memodifikasinya untuk
berbagai kebutuhan. Pada kasus-kasus tertentu yang dianggap berhasil, tenaga kerja lokal
dapat mengembangkan teknik-teknik baru berdasarkan teknologi impor tadi.
Berdasarkan konsep-konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan teknologi
masyarakat mencapai taraf optimal, jika alih teknologi sudah sampai pada konsep yang
keempat, yang dikenal dengan istilah reverse engineering. Untuk kasus-kasus negara
berkembang, seperti Indonesia, dengan menyadari adanya berbagai keterbatasan maka alih
teknologi dapat dikatakan berhasil jika konsep yang ketiga bisa dicapai, yaitu adanya
transmisi atau difusi teknologi.
Jika dilihat prosesnya, alih teknologi dapat dilihat sebagai suatu proses yang dimulai
sejak dari kontak awal penerima dengan pemilik teknologi; dilanjutkan dengan negosiasi
terutama untuk mengatasi berbagai hambatan yang disebabkan oleh perbedaan sosial budaya
antara pemilik dan penerima teknologi; kemudian tahap implementasi; serta proses umpan
balik dan pertukaran yang terjadi terus-menerus, sampai hubungan antara pemilik dan
penerima teknologi baru terputus.
Oleh karena itu, diperlukan pula jaringan alih teknologi baik secara intrainstitusional
maupun interinstitusional. Jaringan tersebut dimaksudkan untuk membentuk dinamika belajar
(dynamic learning) melalui belajar sambil bekerja (learning by doing), belajar sambil
memakai (learning by using), dan belajar sambil saling berhubungan (learning by
interacting). Kesemuanya itu merupakan jalur cepat berikutnya untuk meningkatkan
produktivitas ke arah standar yang lebih tinggi secara terus-menerus.
Cara lain untuk alih teknologi adalah melalui inovasi terus-menerus (continious
innovation) dalam hal produk dan proses produksi. Namun yang menjadi persoalan adalah
bagaimana membentuk sistem intrainstitusi dan interinstitusi yang dibutuhkan sehingga dapat
tercipta learning by interacting dalam setiap kegiatan ekonomi yang mampu menghasilkan
4. perubahan inkremental dalam produk maupun proses produksi, betapapun kecilnya
perubahan tersebut.
Di lain pihak, permasalahan yang seringkali diangkat adalah bagaimana proses penerapan
temuan teknologi atau alih teknologi dilakukan ? Faktor-faktor apa saja yang perlu
dipertimbangkan dalam usaha penerapan temuan teknologi maupun upaya melakukan alih
teknologi ?
Saat ini, yang dimulai sejak sekali 1980-an, konsep prosedur pengkajian teknologi untuk
melihat faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam proses alih teknologi, yang
dianjurkan dan diminati lebih mengarah pada pengkajian yang sifatnya terpadu, yaitu
menyangkut tidak saja pada pengembangan teknologi (technology development), tetapi juga
penilaian/evaluasi teknologi (technology evaluation) serta penilaian dan pengolaan teknologi
(technology assessment and management) (Burge, 1993). Tahapan tersebut pada intinya
terdiri dari tiga tahapan pokok, yaitu:
Tahap 1. Pengembangan teknologi
a. Penilaian kebutuhan
b. Pengembangan rancangan teknis
Tahap 2. Penilaian teknologi
a. Ketepatan teknologi dari perspektif teknologi
b. Ketepatan teknologi dari perspektif sosial/institusional
Tahap 3. Penilaian dampak dan Pengelolaan teknologi
a. Penilaian dampak
b. Pemantauan dampak dan pengelolaannya
Berdasarkan tiga tahapan tersebut, pertimbangan yang selanjutnya dilakukan dalam
pengambilan keputusan baik untuk pengembangan, penerapan ataupun pengalihan teknologi
adalah keterpaduan antara pertimbangan teknis, ekonomi, sosial maupun lingkungan yang
melihat seberapa jauh pranata-pranata dalam masyarakat dapat menerima teknologi yang
dimaksud. Bahkan dalam tahap pertama pun diharapkan adanya pertimbangan mengenai
pandangan stakeholders dan masyarakat pada umumnya mengenai kebutuhan akan suatu
teknologi tertentu.
Permasalahan yang akan muncul adalah seberapa jauh ketentuan normatif tersebut, yang
dianjurkan oleh lembaga internasional, telah dan dapat dilaksanakan di dalam pertimbangan
penerapan maupun alih teknologi? Dalam hal ini diperlukan kerja sama dan koordinasi antara
5. berbagai institusi yang terkait, sehingga berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan dan
aspek-aspek yang akan mempengaruhi proses alih teknologi dapat dibicarakan dan dicarikan
solusinya secara sinergis, dan pada akhirnya alih teknologi dapat berjalan melalui proses
akselerasi secara efektif dan efisien sebagaimana yang diharapkan.
Peranan Teknologi dan Permasalahannya
Sebagai negara berkembang, Indonesia menghadapi dimensi baru dalam persaingan
internasional yang berkaitan erat dengan laju perkembangan teknologi yang makin pesat dan
persaingan industri yang makin tajam. Perkembangan teknologi (technological progress)
telah disadari mampu memberikan keuntungan ekonomi, sehingga negara-negara
berkembang berusaha untuk mengembangkan potensinya untuk menyerap, mengadakan dan
mengimplementasikan teknologi.
Betapa pentingnya peranan teknologi dalam perjalanan suatu bangsa ditunjukkan oleh
keberhasilan industrialisasi di negara-negara maju dan NIEs (Newly Industrializing
Economics). Dalam kasus NIEs seperti Korea Selatan, Taiwan atau Singapura, keberhasilan
mereka dalam beralih dari strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor dengan
mengandalkan pada produk akhir dan padat karya ke produk-produk yang lebih canggih,
berlangsung sejalan dengan peningkatan kapabilitas teknologi yang terarah serta dengan
landasan yang kokoh dan lebih merata (Pangestu dan Basri, 1995).
Pengalaman di beberapa negara juga menunjukkan bahwa peningkatan kapabilitas
teknologi berlangsung secara bertahap. Pengertian bertahap di sini lebih mengacu pada
kematangan dalam menjalani setiap tahap, yang sekaligus menjamin kesiapan dan landasan
yang kokoh untuk memasuki tahapan lebih lanjut. Salah satu yang terpenting adalah
bagaimana meningkatkan social absorption capacity dari suatu bangsa/masyarakat
menghadapi proses transformasi, yang meliputi antara lain: aspek sosiokultural, kesiapan
sumber daya manusia, aspek kelembagaan, dan kesiapan birokrasi (Pangestu dan Basri, 1995;
Sutrisno, 1994; Thee, Jusmaliani dan Indrawati, 1995). Faktor lainnya adalah kesiapan
infrastruktur dalam arti yang luas, meliputi tidak hanya infrastruktur fisik melainkan juga
infrastruktur pemasaran, infrastruktur kuangan, kapabilitas informasi, kapabilitas teknologi,
dan sebagainya.
6. Kebijakan pemerintah Indonesia juga mengindikasikan bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi sangat diperlukan untuk menumbuhkan daya saing bangsa dalam memproduksi
barang dan jasa, yang berbasis sumber daya lokal, yang pada gilirannya akan meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara nyata dan berkelanjutan (sustainable). Hal
tersebut antara lain tercermin dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, di mana pembangunan dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dilakukan melalui empat program nasional, yang
meliputi (1) Iptek dalam dunia usaha, (2) diseminasi informasi iptek, (3) peningkatan sumber
daya Iptek, serta (4) kemandirian dan keunggulan Iptek.
Komitmen tersebut diperkuat dengan disahkannya Undang-Undang No. 18 Tahun
2002, tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (Sisnas IPTEK). Undang-Undang ini mewajibkan pemerintah untuk
memperhatikan: (1) upaya penguatan dan penguasaan ilmu-ilmu dasar, ilmu pengetahuan dan
teknologi strategis, serta peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan; (2) penguatan
dan penguasaan ilmu-ilmu sosial dan budaya, yang mendukung perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi; (3) penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi, untuk
meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi; serta (4) penguatan
tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Persoalannya kemudian adalah sampai saat ini masih banyak kegiatan produktif
masyarakat yang memerlukan dukungan iptek, baik yang berskala kecil, menengah atau
besar, belum bisa dipenuhi secara optimal. Operasional lembaga penelitian dan
pengembangan pemerintah (seperti LIPI, BPPT, BATAN, LAPAN, LEN dan lain-lain),
perguruan tinggi (seperti ITB, UI, UGM, UNPAD,dan lain-lain), ataupun industri/perusahaan
swasta memang sudah lama berjalan, tetapi belum menunjukkan peran dan fungsi yang
optimal dalam mengembangkan dan memanfaatkan teknologi bagi aktivitas pemberdayaan
dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Beberapa kajian menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya kondisi seperti itu, antara lain:
Pertama, alih teknologi tidak berjalan lancar dan lebih terbatas pada kemampuan
operasional karena lemahnya pengembangan sumber daya manusia. Hal tersebut
7. menyebabkan terbatasnya: kemampuan memperoleh dan mengalihkan teknologi yang telah
dipilih, kemampuan menyesuaikan (mengadaptasi) teknologi tersebut sesuai dengan keadaan
setempat, dan kemampuan melatih masyarakat dalam penggunaan teknologi tersebut.
Kedua, kegiatan penelitian dan pengembangan dalam arti yang sebenarnya tidak atau
sangat sedikit dilakukan, yang disebabkan oleh rendahnya kemampuan inovatif berbagai
lembaga litbang baik pemerintah, perguruan tinggi maupun industri. Sebagai contoh, kegiatan
litbang industri (perusahaan manufaktur) pada umumnya terbatas pada kegiatan uji coba
bahan baku atau pengendalian mutu, dan tidak memperhatikan perubahan–perubahan pada
sisi permintaan/pasar.
Ketiga, kemampuan teknologi berbagai lembaga litbang sebagian besar baru terbatas
pada kemampuan investasi, produksi dan beberapa perubahan kecil, sedangkan kemampuan
pemasaran masih sangat lemah atau hampir tidak ada. Hal tersebut menyebabkan produk-
produk yang dihasilkan lembaga litbang tidak populer di masyarakat. Kondisi ini diperparah
dengan faktor keempat, yaitu tidak adanya keterkaitan yang jelas antara berbagai lembaga
litbang serta antara berbagai kelompok potensial dalam masyarakat dapat dimanfaatkan
sebagai unit antara (intermediate institution), yang dapat berperan dan berfungsi strategis
dalam menjembatani kebutuhan dan tuntutan konsumen/pasar dengan keberadaan dan
kemampuan lembaga litbang sebagai produsen iptek.
Dalam hal diseminasi iptek hasil litbang, keberadaan unit-unit antara (intermediate
institution), seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), suplier swasta, instansi teknis
terkait, ataupun konsorsium yang dibentuk oleh msyarakat, pemerintah dan swasta, sangat
penting dan berguna baik sebagai unit teknis praktis maupun sebagai fasilitator. Dengan kata
lain, unit-unit antara mempunyai peran dan fungsi yang strategis dan potensial dalam
membantu proses diseminasi iptek hasil litbang secara aktual dan berkelanjutan. Dengan
pendekatan matching programme antara simpul-simpul iptek dan unit-unit bisnis diharapkan
muncul sinergi baru, yang dapat meningkatkan akselerasi aliran (diseminasi) iptek, serta
terjadinya solusi terarah (focusing solution) kepada persoalan langsung kebutuhan pengguna
dan penghasil iptek.
Perlunya Intervensi Dalam Difusi Teknologi
8. Inovasi menjadi aspek yang teramat penting dalam kondisi persaingan yang semakin
kompetitif. Inovasi juga menjadi suatu hal yang strategis ketika kevakuman serta rutinitas
menjadi fenomena umum dalam sistem kerja. Inovasi sangat berati ketika tingkat
produktivitas usaha menjadi hal yang mendasar bagi terbangunnya kemampuan persaingan.
Inovasi akan terasakan maknanya ketika proses difusi absorpsi menjadi mekanisme rutin
terjadi dalam sistem inovasi. Dengan demikian difusi inovasi sebagai sustu proses transfer of
knowledge menjadi suatu hal yang esensi dalam mendorong percepatan tumbuhnya
perekonomian dan kesejahteraan nasional.
Berbagai insiatif program pemerintah telah banyak di dilakukan untuk melakukan
kegiatan difusi dimaksud. Inisiatif dan program dimaksud ditujukan untuk meningkatkan
kapasitas produksi dunia usaha dan industri didasarkan pada absorpsi produk litbang. Difusi
inovasi menjadi suatu yang sangat penting dan diperlukan keterlibatan pemerintah dalam
mendorong prosesnya.
Walaupun masalah difusi inovasi ini telah banyak dibahas diberbagai kesempatan,
baik dalam bentuk kajian maupun seminar, difusi inovasi tetap menjadi suatu tema yang
cukup aktual dibahas, terutama ketika ditengarai kondisi iklim inovasi masih belum
berkembang di negeri ini. Hal tersebut terlihat dari kondisi dunia usaha yang masih mencari
suatu instant teknologi dalam mendorong produktivitas usahanya dibandingkan dengan
kebutuhan mengembangkan litbangnya. Di sisi lain keberadaan produk litbang yang
dihasilkan oleh berbagai lembaga litbang dan perguruan tinggi belum dapat dijadikan andalan
dunia usaha mauapun industri dalam proses produksinya.
Alasan klasik mengapa pemerintah perlu melakukan intervensi dalam mendorong
terjadinya difusi inovasi adalah karena terjadinya kegagalan pasar (market failure).
Kegagalan pasar tersebut terkait dengan adanya ketidaksinkronan antara kebutuhan (need
requirement) inovasi dari pihak industri dan dunia usaha dengan produk yang dihasilkan oleh
berbagai lembaga litbang. Kondisi tersebut antara lain diakibatkan adanya kelemahan dalam
perilaku organisasi, kemampuan sumberdaya manusia maupun kapasitas manajerial. Akses
informasi terhadap teknologi juga menjadi alasan terjadinya kegagalan pasar ini. Akibat
kondisi tersebut memunculkan macetnya sistem transaksi dan ujungnya iklim inovasi menjadi
mandeg.
9. Alasan lain adalah perlunya intervensi kebijakan dalam prooses difusi adalah
kegagalan „sistemic‟ yang diakibatkan kelemahan dalam keterkaitan (linkage) serta interaksi
(interaction) antara berbagai aktor dalam sistem inovasi. Dengan kondisi tersebut
ketergantungan fungsional antar berbagai elemen/aktor sistem inovasi tidak terbangun
menjadi suatu proses sinergitas. Adanya kegagalan pasar dan kegagalan “sistemic” tersebut
dapat membatasi pengembangan kapasitas absorptif dunia usaha dan industri atau secara
umum mengurangi kemampuan industri dan dunia usaha dalam melakukan identifikasi, akses
dan penggunaan teknologi.
Alasan lain perlunya dukungan difusi inovasi produk litbang menjadi fokus kebijakan
pemerintah adalah untuk memaksimalkan investasi terutama melihat pengembalian investasi
(return of investmen/ROI) dari kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang). Berbagai
upaya untuk menunjukkan pengembalian pengeluaran biaya litbang juga merefleksikan
program yang dibutuhkan untuk mendukung proses pembiayaan yang sedang berjalan.
Adanya persaingan di bidang industri dan teknologi, pengembangan ekonomi regional,
stabilitas dalam percaturan bisnis dan “job creation” merupakan alasan lain perlunya
intervensi kebijakan di bidang difusi inovasi terutama dalam bentuk program disfusi
teknologi berorientasi pengguna (demand driven). Dengan memahami berbagai alasan tadi
sekaligus dalam rangka memperbaiki kegagalan pasar dalam mengakses informasi, intervensi
kebijakan dapat lebih ekstensif dan komperehensif.
Peranan Komunikasi dalam Difusi Teknologi
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa iptek belum secara optimal dimanfaatkan dalam
kegiatan perekonomian masyarakat, khususnya pada sektor usaha tradisional berskala kecil
dan menengah termasuk usaha-usaha yang dilakukan IKM/UKM.
Salah satu faktor yang menjadi kendala adalah belum terfokusnya pemanfaatan dan
penyebaran informasi (diseminasi) iptek pada sasarannya. Aspek penyebaran
informasi/komunikasi memegang peranan penting untuk tercapainya proses adopsi iptek pada
masyarakat. Proses adopsi tersebut terutama menyangkut pengemasan produk iptek yang
berorientasi kebutuhan masyarakat konsumen; metode diseminasi yang digunakan; dan
optimalisasi simpul-simpul iptek. Hal-hal tersebut dilakukan masih dalam kapasitas terbatas
oleh produsen iptek, yakni lembaga-lembaga penelitian (lemlitbang) dan perguruan tinggi.
10. Untuk melihat pemanfaatan iptek di masyarakat, terutama masyarakat IKM/UKM, dapat
dirujuk proyek percontohan kebijakan penyebaran iptek di daerah yang telah menerima
program iptekda. Namun demikian, pengaruh dari program tersebut sampai saat ini belum
menunjukkan adanya peningkatan produktivitas yang berbasis pada pemanfaatan iptek secara
optimal.
Aspek lain yang perlu dikaji secara mendalam adalah peran pemerintah daerah sebagai
fasilitator untuk memperlancar arus komunikasi dan penyebaran informasi iptek (diseminasi),
ternyata masih rendah. Hal ini disebabkan oleh tingkat kapabilitas lembaga tersebut kurang
memadai serta belum optimalnya intensitas komunikasi pada proses pendampingan dan
pembinaan program iptekda tersebut. Padahal pemerintah daerah dapat berperan dalam
menentukan sarana dan prasarana melalui berbagai kebijakan yang dibuatnya untuk
menciptakan arus komunikasi yang memadai.
Kendala lain dalam proses difusi inovasi iptek oleh masyarakat /IKM adalah: (1) rendahnya
tingkat kemampuan dan keterampilan SDM yang berperan dalam proses difusi inovasi; (2)
terbatasnya informasi pusat-pusat iptek akibat lemahnya pola dan jaringan komunikasi serta
penyebarannnya di masyarakat; serta (3) sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
mendukung proses diseminasi iptek belum memadai.
Dalam hal ini komunikasi memiliki peran yang sangat penting; tidak mungkin terjadi proses
inovasi tanpa komunikasi. Hadiat (2002) mengungkapkan fungsi komunikasi dalam sistem
inovasi nasional, bahwa sebuah sistem tidak bisa lepas dari aspek-aspek yang terkait dengan
pola interaksi, relationship dan linkage, di mana komunikasi menjadi instrumen proses
utamanya. Komunikasi dan informasi bukan saja berperan sebagai fungsi yang
memungkinkan proses internal sebuah elemen berjalan, tetapi juga mempersambungkan
jejaring yang dibentuk elemen-elemen sistem tersebut.
Ljunberg (1982 dalam Gogor Nurharyoko, 2002), melihat peran komunikasi dan inovasi
sebagai keseluruhan pada suatu rangkaian proses inovasi yang dianggap suatu jaringan yang
kompleks dari alur komunikasi yang menghubungkan tahap-tahap dari proses inovasi
tersebut. Kemudian Fischer et.al (1977) menyatakan bahwa komunikasi sebagai suatu proses
pengambilalihan (handling-over) dari paket informasi dari suatu pihak ke pihak lainnya.
Brown dan Eisenhardt (1995) juga menyatakan bahwa komunikasi terstruktur (structured
communication) merupakan satu prasyarat yang menentukan dalam komunikasi internal
maupun eksternal untuk keberhasilan suatu proses inovasi. Michael Gibbons et.al (1997)
menyatakan bahwa ada dua unsur penting dalam sistem komunikasi dalam proses inovasi,
yakni mobilitas dan selektivitas. Mobilitas adalah proses komunikasi antarpeneliti dalam
konteks di mana peneliti tersebut selalu berpindah dari satu situs penelitian ke situs penelitian
yang lain. Pada unsur ini, komunikasi yang dilakukan dapat memberikan suatu pembentukan
ide-ide baru yang sangat berguna dalam mengkreasikan inovasi baru. Intensitas komunikasi
selama mobilitas tersebut berbanding lurus dengan semakin besarnya kesempatan untuk
11. dihasilkannya inovasi-inovasi baru. Unsur selektivitas adalah diperlukannya suatu proses
dalam berkomunikasi, di mana para pelaku dapat menentukan dengan baik masalah yang
akan dipecahkan dalam suatu skala prioritas yang tepat ( Nurharyoko, 2002).
Selanjutnya, Ulijn (2000) menambahkan unsur ketiga, refleksivitas, yaitu perlunya
diperhatikan kompetensi dari para pelaku proses komunikasi dalam inovasi tersebut, dari
konteks refleksinya dengan kultur. Misalnya, satu kompetensi dalam bidang komunikasi
tertentu pada suatu kultur tertentu, bisa dianggap kurang kompeten pada kultur yang berbeda.
Pada transformasi informasi dari suatu proses inovasi, menurut Stuart Macdonald (1992)
dalam Nurharyoko (2002) menyatakan bahwa kondisi ketika informasi itu dibentuk
(generated) oleh satu sumber informasi, bisa jadi berbeda kondisinya (circumstance) dengan
kondisi ketika informasi tersebut diterima oleh penerima. Perbedaan ini merupakan kendala
besar dalam menerjemahkan secara tepat kandungan informasi tersebut, oleh karenanya
diperlukan suatu saluran komunikasi (communication channel) yang terstruktur sedemikian
rupa sehingga dapat mempermudah penerima informasi dalam menginterpretasikan
kandungan informasi yang disampaikan lewat proses komunikai tersebut.
Peran komunikasi dalam sistem inovasi amat penting karena inovasi secara hakiki
adalah jaringan kompleks dari sejumlah alur komunikasi yang menghubungkan tahap-tahap
dari proses inovasi (Ljunberg, 1982, dalam Gogor Nurharyoko, 2002: 1). Lebih dari itu,
komunikasi terstruktur (structured communication) merupakan sebuah prasyarat yang
menentukan dalam komunikasi internal dan eksternal untuk keberhasilan proses inovasi.
Sedemikian penting peran komunikasi dalam inovasi, “kepadatan komunikasi”
(communication-density) merupakan suatu variabel kunci dalam proses inovasi yang berhasil.
Peningkatan kerapatan/kepadatan komunikasi merupakan indikasi bagi peningkatan difusi isi
yang dikomunikasikan yang diyakini akan meningkatkan kondusivitas bagi terjadinya inovasi
baru.
Bahkan karakteristik dari jenis komunikasi yang terjadi diidentifikasi berbeda dalam
setiap tahapan inovasi (Butler, 1997, dalam Gogor, 2002: 2). Untuk tahapan spekulasi
(speculation research) karakteristik dari jenis komunikasi yang terjadi adalah:
(1) Komunikasi personal antarpeneliti yang sangat tergantung keberhasilannya dengan
keterampilan tak teraba (tacit) dari peneliti yang terlibat;
(2) Struktur komunikasi biasanya nonformal dan fleksibel. Untuk tahapan eksploitasi
(exploitative research) karakteristik dari jenis komunikasi yang terjadi biasanya lebih
spesifik, terjadi proses dimana keterampilan tak teraba mulai ditransformasikan ke
dalam bentuk yang lebih jelas dan spesifik, dan struktur komunikasi bergeser ke
bentuk yang lebih formal.
12. (3) Tahap eksploitasi (exploratory research) karakteristik dari jenis komunikasi yang terjadi
adalah komunikasi sudah sampai pada tahap sangat spesifik dan langsung berorientasi
pada pencapaian sasaran yang jelas, segala hal yang sifatnya tak teraba (tacit) sudah
seluruhnya bisa ditransformasikan ke bentuk yang spesifik dan bisa dialihkan
(transferable) ke seluruh pihak yang terlibat dalam proses inovasi, dan struktur
komunikasi sudah sangat formal, lebih terbatas, dan kaku (rigid)
Hal tersebut di atas akan terwujud jika terjadi kebersamaan dalam makna (the
commonness in meaning), maka komunikasi dalam proses inovasi harus memenuhi beberapa
persyaratan, terutama adanya “trust atau sikap percaya” dari khalayak. Para
komunikatornya pun harus melek huruf secara sosial – psikologis – kultural” (socially,
psychologically, and culturally literate).
Beberapa prinsip manajemen komunikasi dan inovasi yang penting guna
mempercepat pemapanan sistem inovasi nasional adalah sebagai berikut (Santoso S.
Hamijoyo, 2002: 4):
a. Lembaga riset-inovasi harus benar-benar menjadi salah satu pranata sosial yang memiliki
kewibawaan nasional, sama wibawanya dengan misalnya, pranata politik, keamanan,
keuangan, perdagangan.
b. Meraih posisi atau mereposisi diri sebagai prioritas nasional dengan fokus kegiatan
strategis yang spesifik (tegas) dengan menerapkan kriteria keberhasilan secara konsekuen.
c. Menentukan dan memelopori terobosan-terobosan baru iptek-inovasi dalam bidang-bidang
ekonomi, perdagangan, industri nasional, dengan tujuan selain meningkatkan pangsa
pasar (market share) juga menguasai pangsa peluang (opportunity share).
d. Secara jujur dan berani mengevaluasi diri menemukan landasan untuk mengadakan
reformasi manajemen guna mengantisipasi tugas-tugas menurut persyaratan-persyaratan
baru yang diperkirakan. Salah satu sasaran utama ialah penyegaran dan perbaikan SDM,
meningkatkan efisiensi dan kinerja dengan menekan “overhead cost” yang menekan
biaya pengembangan, organisasional dan rekayasa.
13. e. Mencegah apa yang dikalangan reformis manajemen bisnis sebagai “genetical
inbreeding”, yang mematikan keberanian berinovasi dengan mengganti para pengelola
dan pelaku riset yang sudah terlalu lama mangkal dalam bidang-bidang riset yang sama.
f. Membangun kemitraan antar lembaga riset inovasi untuk secara sinergis menghimpun
modal intelektual, mencegah berulang-ulangnya riset inovasi yang sudah pernah
dilakukan oleh orang lain sebelumnya, dan mempercepat transformasi industri, teknologi,
perdagangan, dan sektor-sektor lain.
g. Inovasi dan penyebarannya secara berhasil biasanya diprakarsai dan dikelola oleh
pimpinan yang kuat, berwibawa, imajinatif, dan bersemangat wira usaha.
Sejalan dengan perubahan tahapan dan kegiatan litbang yang disertai dengan
perubahan jenis komunikasi yang semula bersifat luwes dan informal ke arah komunikasi
yang lebih terstruktur, spesifik dan kaku maka persoalan yang kerap muncul adalah
berbedanya kondisi ketika informasi dihasilkan dan saat ia diterima khalayak. Perbedaan
kondisi tadi dapat menjadi kendala dalam menerjemahkan secara tepat kandungan informasi.
Untuk mengatasinya, demikian Mcdonald (1992, dalam Gogor, 2002) menyatakan
pentingnya suatu kanal komunikasi yang terstruktur sedemikian rupa sehingga dapat
mempermudah penerima informasi dalam menginterpretasikan kandungan informasi yang
disampaikan melalui proses komunikasi tersebut sehingga terciptanya kebersamaan dalam
makna.
Daftar Pustaka
Hadiat, 2002, Komersialisasi Produk Litbang, Sebuah Proses Pembelajaran, Lembaga
Pengembangan Inovasi, (LPI) Jakarta.
Krainz, Gerhard. 1997. “Managing the Integration of New Technology (MINT)” dalam
Diffusing Technology to Industry: Government Policies and Programmes. Paris.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Rogers, E.M. Shoemaker, F.F., 1971, Communication of Innovations, The Free Press,
London
Rogers, Everett M., 1983, Diffusion of Innovations, Free Press, London
_______________, 1995, Diffusions of Innovations Forth Edition, Tree Press, New York.
14. Tubbs, Stewart L, dan Sylvia Moss, 2000, Humman Coommunication, Konteks-konteks
Komunikasi, Remaja Rosda Karya, Bandung.
Twiss, Brian C., 1992, Managing Technological Innovation, Pitman, London.