1. KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN BIDANG
PERSAMPAHAN & DRAINASE
1. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Menurunnya kinerja pengelolaan persampahan dalam beberapa tahun terakhir
ini tidak lepas dari dampak perubahan tatanan pemerintahan di Indonesia
dalam era reformasi, otonomi daerah serta krisis ekonomi yang telah melanda
seluruh wilayah di Indonesia. Adanya perubahan kebijakan arah pembangunan
infrastruktur perkotaan, menguatnya ego otonomi, menurunnya kapasitas
pembiayaan daerah, menurunnya daya beli dan kepedulian masyarakat dalam
menjaga kebersihan lingkungan merupakan pemicu terjadinya degradasi
kualitas lingkungan perkotaan termasuk masalah kebersihan kota.
Penurunan kinerja tersebut ditunjukkan oleh berbagai hal seperti menurunnya
kapasitas SDM karena banyaknya pergantian personil yang sebelumnya pernah
terdidik dalam bidang persampahan melalui program training atau capacity
building, tidak jelasnya organisasi pengelola sampah karena adanya perubahan
kebijakan pola maksimal dan pola minimal suatu Dinas, menurunnya alokasi
APBD bagi pengelolaan sampah, menurunnya penerimaan retribusi (secara
nasional hanya dicapai 22 %), menurunnya tingkat pelayanan (tingkat
pelayanan dari data BPS tahun 2000 hanya 32 % yang sebelumnya pernah
mencapai 50 %), menurunnya kualitas TPA yang sebagian besar menjadi open
dumping dan timbulnya friksi antar daerah / sosial, bahkan korban jiwa dalam
kasus longsornya TPA Leuwigajah, tidak adanya penerapan sanksi atas
pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat yang membuang sampah
sembarangan dan lain-lain.
Timbulnya pencemaran lingkungan disekitar TPA disebabkan karena tidak
adanya proses pemilihan lokasi TPA yang layak dan tidak adanya alokasi lahan
TPA dalam Rencana Tata Ruang Wilayah sehingga lokasi TPA yang ada saat ini
tidak memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan standar nasional. Selain itu
fasilitas TPA yang sangat minim terutama berkaitan dengan terbatasnya
fasilitas perlindungan lingkungan (buffer zone, pengumpulan dan pengolahan
leachate, ventilasi gas dan penutupan tanah) dan pengoperasian TPA
cenderung dioperasikan secara open dumping. Larangan ijin mendirikan
bangunan disekitar TPA juga tidak dilakukan sehingga lokasi TPA yang semula
jauh dari permukiman menjadi sangat dekat. Masalah yang juga dilematis
adalah kehadiran para pemulung yang jumlahnya cukup banyak (di TPA Bantar
Gebang mencapai 5 ribu orang) sehingga menyulitkan pengoperasian TPA
secara benar.
Mengacu pada berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia
serta adanya tuntukan pemenuhan komitmen Internasional seperti Agenda 21
mengenai pengurangan volume sampah yang dibuang ke TPA (3 R), Prinsip
Dublin Rio, MDGs (millenium development goals) mengenai peningkatan separo
jumlah masyarakat yang belum mendapatkan akses pelayanan pada tahun
2015, Kyoto Protocol mengenai mekanisme pembangunan bersih (CDM) dan
lain-lain, menuntut adanya suatu kebijakan nasional yang tegas dan realistis
1
2. PENANGANAN SAMPAH B3 RUMAH TANGGA
I. PENDAHULUAN
Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga, dan mengandung bahan dan atau
bekas kemasan suatu jenis bahan berbahaya dan/atau beracun disebut sampah
bahan berbahaya beracun rumah tangga sampah (B3 RT), Jenis sampah ini
walaupun dalam kuantitas atau konsentrasi yang sangat kecil akan tetapi
mengandung bahan berbahaya beracun /B3 (PP No. 18 Tahun 1999 jo PP No. 85
Tahun 1999). Jenis sampah ini antara lain adalah batu baterai bekas, neon dan
bohlam bekas, kemasan cat, kosmetik atau pelumas kendaraan yang umumnya
mengandung bahan-bahan yang menyebabkan iritasi atau gangguan kesehatan
lainnya seperti logam merkuri yang terkandung di dalam batu baterai pada
umumnya.
Dalam aktifitas rumah tangga di setiap perkotaan, masyarakat umumnya membuang
sampah jenis ini secara tercampur dengan sampah rumahannya. Sampah B3 RT
yang terbuang banyak dipulung oleh para pelaku daur ulang, untuk diambil kembali
komponen-komponennya yang masih bernilai ekonomis.
Kehadiran sampah B3 RT ini di dalam timbulan sampah kota relatif sangat kecil,
namun sifat akumulatif sampah tersebut merupakan ancaman bagi lingkungan di
sekitar tempat pembuangan akhir sampah.
Bahaya yang ditimbulkannya adalah masuknya bahan-bahan yang berkatagori B3
tersebut ke dalam aliran air bawah tanah atau kontak langsung dengan manusia dan
mahiuk hidup lainnya. Tingkat bahaya terbesar sudah barang tentu diterima oleh
para pelaku daur ulang dan petugas sampah umumnya yang biasa bekerja tanpa
peralatan pelindung.
Pengelolaan secara terpadu dengan mengintegrasikan seluruh aspek pengelolaan
merupakan prinsip dasar pengelolaan sampah saat ini. Demikian halnya dengan
pengelolaan sampah B3 RT diperlukan pengembangan sistem terpadu dengan
mengintegrasikan kelima sub sistem, yaitu: organisasi, pembiayaan, hukum, teknik
operasi dan peran aktif masyarakat.
Peran perangkat hukum menjadi penting mengingat sampah B3 merupakan sampah
khusus yang memerlukan penanganan tersendiri. Faktor panting lainnya adalah
peran serta aktif masyarakat.
Di dalam pengelolaan sampah B3 RT kelompok strategis yang diperlukan peran
aktifnya adalah produsen barang dan atau bahan B3, masyarakat konsumen sebagai
penimbul sampah, pengelola sampah kota, dan pelaku daur ulang.
Peran aktif Perguruan Tinggi diperlukan sebagai lembaga strategi yang
berkemampuan untuk menjalankan fungsi pendukung sistem. Dukungan yang
diperlukan terutama dalam upaya penyebaran pengetahuan dan informasi juga
dalam pengembangan kajian dan atau penelitian teknologi tepat guna dalam upaya
pengelolaan sampah B3 RT.
II. PERMASALAHAN UTAMA
- Jumlah sampah B3 RT dalam timbulan sampah kota tidak lebih dari 2%.
Walaupun jumlahnya sangat kecil, dengan pola pembuangan akhir sampah saat
1
3. ini di Indonesia, yaitu dengan metode pembuangan akhir di suatu lahan
memungkinkan terjadinya akumulasi Bahan Berbahaya Beracun (B3).
- Akumulasi tersebut pada suatu saat akan mencapai tingkat konsentrasi tertentu.
Dampak negatif yang mungkin terjadi yaitu pencemaran tanah dan air tanah
yang berada di sekitar lahan pembuangan akhir.
III. KONSEP DASAR
1. Definisi Sampah Berbahaya, Beracun Rumah Tangga
- Limbah B3 adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan atau
beracun yang karena sifat atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat merusak atau mencemarkan lingkungan
hidup dan atau membahayakan kesehatan manusia.
- Peraturan tersebut menjelaskan, bahwa bekas kemasan bahan berbahaya dan
beracun juga dikategorikan sebagai limbah B3. Sampah sejenis barang bekas B3
tersebut banyak dihasilkan dari aktifitas rumah tangga dan umumnya bersatu
dengan sampah perkotaan Iainnya.
- ”Sampah yang berasal dari aktifitas rumah tangga, mengandung bahan dan/atau
bekas kemasan suatu jenis bahan berbahaya dan/atau beracun, karena sifat
kandungannya tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
merusak atau mencemarkan lingkungan hidup dan atau membahayakan
kesehatan manusia.”
2. Sumber, Jenis dan Karakteristik Sampah Bahan Berbahaya Beracun Rumah
Tangga
Sampah B3 RT dikelompokkan berdasarkan jenis aktifitas rumah tangga, yaitu bahan
dan/atau bekas kemasan produk dari :
1. Aktifitas dapur, seperti pembersih lantai, pengkilat logam dan pembersih oven.
2. Aktifitas kamar mandi, seperti pembersih kamar mandi, pembersih toilet dan obat
kadaluarsa.
3. Aktifitas garasi dan pembengkelan, seperti baterai, pembersih badan mobil dan
berbagai macam cat untuk mobil.
4. Aktifitas ruangan di dalam rumah, seperti cairan untuk mengkilapkan mebel,
cairan penghilang karat dan pengencer cat.
5. Aktifitas pertamanan, seperti cairan pembunuh jamur, cairan pembunuh gulma
dan racun tikus.
Jenis dan karakteristik sampah B3 RT dari masing-masing sumber aktifitas dijelaskan
dalam tabel berikut
2
4. Tabel 1
Sumber dan Jenis Karakteristik Sampah B3 RT
Sumber Jenis Karakteristik
Kaleng aerosol Racun, korosif
Pembersih Racun, karsinogen
Penyemprot hama Racun, mudah terbakar
Korosif
Pembersih saluran Racun , karsinogen
Dapur Pembersih lantai Racun, karsinogen
Pengkilat kayu Racun, korosif
Pengkilat logam Racun, mudah terbakar
Pembersih jendela Racun, karsinogen
Pembersih oven Racun, karsinogen
Pembersih mengandng alcohol Racun, rnudah terbakar
Pembersih kamar mandi Racun, korosif, karsinogen
Obat untuk menghilangkan Racun,"Ailergen"
rambut
Pernbersih permanen Racun, karsinogen
Kamar
Mandi Obat kadaluarsa I Racun
Pembersih toilet Racun, karsinogen
Pembersih lantai dan bak mandi Racun, karsinogen, korosif, mudah
terbakar
"Antifreeze" Racun, karsinogen, mudah terbakar
Oil perseneling Racun, mudah terbakar
Dempul, cat, tinner untuk Racun, korosif, mudah terbakar
reparasi badan mobil
Baterai Racun , korosif
Garasi Minyak rem Racun, korosif, mudah terbakar
Cairan pembersih mobil Racun
Solar, bensin, minyak tanah, Racun, mudah terbakar
pelumas
Pembersih badan mobil Racun
Cairan pembersih kaca mobil Racun
Bekas penyemprot Racun , karsinogen
Bengkel Cairan pelarut Racun, mudah terbakar
Lem Racun, mudah terbakar
Berbagai macam cat untuk mobil Racun, korosif, mudah terbakar
Cairan pelarut cat Racun., korosif,mudah terbakar
Cat dasar (meni) Racun, mudah terbakar
Cairan penghilang karat Racun , korosif
Dalam Pengencer cat Racun, korosif, mudah terbakar
Rumah Cairan untukmengkilapkan Racun, korosif, mudah terbakar
mebel
Cairan pembunuh jamur Racun , korosif, karsinogen
Cairan pembunuh gulma/rumput Racun, rnuclah meledak
Taman liar
Cairan pembunuh serangga Racun, mudah meledak, karsinogen.
Racun tikus Racun, mudah terbakar
3
5. Amunisi/bubuk amunisi Racun, mudah terbakar, mudah
meledak
Cat untuk melukis Racun
Cairan pembersih kering Racun
Minyak senjata Racun, mudah terbakar, mudah
meledak
Cairan untuk menyalakan rokok Racun, mudah terbakar, mudah
Lain-lain meledak
Baterai Racun, mudah terbakar, koros-
karsinogen
Kapur Barus Racun
Pemadam api untuk kebakaran Racun, mudah terbakar
yang telah tua
Bahan kimia untuk keperluan Racun, mudah terbakar,
fotografi
Asam pembersih kolam renang Racun, mudah terbakar
3. Dasar Hukum Pengelolaan Sampah Bahan Berbahaya Beracun Rumah
Tangga
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 tahun 1999 jo PP No.85 tahun
1999.
2. Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan limbah B3 yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Kepala Bappedal
3. Petunjuk Teknis Tata Cara Pengelolaan Sampah 3 M, yang dikeluarkan oleh
Puslitbang Teknologi Permukiman
4. Sistem Pengelolaan Sampah Bahan Berbahaya Beracun Rumah Tangga
a. Aspek Organisasi
- Diperlukan institusi yang bertanggung jawab atas pengelolaan sampah B3RT
(termasuk sampah kota)
- Struktur organisasi yang ada di lingkungan kebersihan
- Bekerjasama dengan pihak produsen
b. Sub Sistem Hukum
Ketentuan pengelolaan sampah B3 RT
Masyarakat wajib memisahkan sampah B3-RT di rumah-rumah, ke dalam
suatu wadah terpisah, dan selanjutnya diserahkan kepada petugas swakelola
masing-masing RW,
Petugas swakelola, wajib mengumpulkan sampah B3-RT ke dalam wadah
khusus di TPS terdekat atau di toko-toko tertentu yang ditunjuk sebagai
pengumpul B3 RT untuk dikembalikan kepihak produsen atau sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
c. Aspek Teknik
Pengelolaan sampah B3-RT pada dasarnya ditujukan untuk mengelola sampah
B3-RT yang masuk ke dalam timbulan sampah kota, karena itu di dalam
4
6. operasinya memerlukan pemilahan/pewadahan, pengumpulan, pengangkutan,
penyimpanan sementara dan pengolahan.
Pemilahan dan pewadahan adalah kegiatan memilah sampah B3 dari sampah
organik dan anorganik oleh masyarakat di rumah-rumah, kemudian
memasukkannya ke dalam kantong plastik atau wadah lain yang berbeda,
sebelum diangkut oleh petugas pengumpul. P
Pengumpulan adalah kegiatan mengumpulkan sampah B3 RT dari rumah ke
wadah penampungan sampah B3 RT di Tempat Penampungan Khusus.
Pengangkutan adalah kegiatan mengangkut sampah dari Tempat
Penampungan Khusus ke Tempat Penyimpanan Sementara.
Penyimpanan sementara adalah kegiatan menyimpan sampah B3 yang
diklasifikasikan berdasarkan jenisnya untuk sementara sebelum dikelola lebih
lanjut oleh instansi yang berwenang atau produsen penghasil sampah B3.
d. Aspek Pembiayaan
- Pelaksanaan operasional pengelolaan sampah B3-RT pada dasarnya memerlukan
biaya yang cukup besar.
- Untuk menetapkan biaya pengelolaan sampah B3 per satuan unit pengelolaan
masih diperlukan pengkajian yang lebih mendalam, mengingat adanya kewajiban
produsen dan konsumen untuk turut bertanggung jawab dalam pengelolaan
sampah B3-RT ini.
e. Aspek Peran Serta Masyarakat
Masyarakat konsumen, sebagai pemanfaat bahan dan atau barang,
menimbulkan kehadiran sampah B3 RT dalam timbunan sampah
Produsen, penghasil produk yang mengandung bahan berbahaya beracun
Instansi pengelola kebersihan kota, yang selama ini berfungsi sebagai
pengelola sampah perkotaan
Masyarakat pelaku daur ulang, mulai dari pemulung sampai pada tingkat
Bandar atau bahkan pabrik
Pemerintah (Propinsi dan Daerah Kota/Kabupaten ), sebagai penentu
kebijakan dan yang bertanggung jawab atas penataan hukum dan peraturan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang merniliki akses luas dalam upaya
penyertaan masyarakat
Perguruan Tinggi dan atau lembaga Penelitian dan Pengkajian ilmiah sampah
B3-RT, yang sampai saat ini masih belum banyak dilakukan
5. Peran Stakeholders
a. Masyarakat Konsumen
Mengurangi konsumsi produk yang mengandung bahan berbahaya beracun, dan
lebih memilih produk ramah lingkungan,
Memperpanjang umur pakai suatu produk,
Memahami, pentingnya upaya pengelolaan lingkungan yang disebabkan oleh
bahaya bahan-bahan berbahaya beracun. Hal ini dimaksudkan bahwa konsumen
5
7. harus menyadari bila biaya pengelolaan lingkungan akan dibebankan terhadap
harga jual suatu produk.
b. Produsen
Kewajiban produsen untuk senantiasa menyampaikan kandungan bahan
berbahaya beracun di dalam produknya
Kewajiban produsen untuk melakukan upaya pengolahan produk pasca pakai
baik secara mandiri atau berkelompok
Tanggung jawab produsen atas penanggulangan dan pemulihan lingkungan yang
diakibatkan oleh produk yang dihasilkannya
c. Pengelola Sampah
Instansi pengelola sampah kota, harus didorong agar memiliki kemampuan untuk
mengantisipasi bahaya yang disebabkan oleh terakumulasinya bahan berbahaya
beracun di tempat-tempat pembuangan akhir sampah. sebagai instansi pengelola
kebersihan kota, wajib mengupayakan tersedianya sarana-sarana khusus
pengelolaan sampah B3-RT, misalnya dengan menyediakan wadah-wadah
pengumpulan , sarana pengangkutan dan mengantisipasi kerjasama dengan pihak
swasta dalam upaya pengolahannya.
d. Pelaku Daur Ulang
Keterlibatan para pelaku daur ulang sektor informal, yaitu para pemulung yang
berada di tempat-ternpat pembuangan sementara dan akhir, perlu mendapat
perhatian besar. Selama ini mereka telah melakukan pengumpulan sampah B3-RT
dengan cara yang sangat membahayakan kesehatannya. Perlu dikembangkan
mekanisme yang mampu mengangkat keberadaan dan memberdayakan mereka.
e. LSM
Banyak aspek pengelolaan yang melibatkan masyarakat, memerlukan kehadiran
LSM. Diharapkan kehadiran LSM mampu menumbuhkembangkan kesadaran
masyarakat atas upaya pencegahan pengelolaan dan pengendalian serta pelestarian
lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah B3-RT. Disamping itu, LSM dapat
berfungsi sebagai kontrol terhadap kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan sampah
B3-RT.
f. Perguruan Tinggi
Bahaya sampah B3-RT sampai saat ini belum terbukti secara nyata bagi masyarakat
umumnya, untuk itu masih diperlukan pengkajian identifikasi jenis dan tingkat
bahaya dari setiap produk yang mengandung bahan berbahaya dan beracun. Oleh
karena itu partisipasi Perguruan Tinggi sangat diharapkan untuk menjalankan fungsi
tersebut. Demikian hal dalam upaya pengelolaannya, perguruan tinggi diharapkan
dapat mengembangkan penelitian dan penerapan teknologi tepat guna.
g. Pemerintah
Banyaknya kelompok strategis yang diharapkan akan mendukung terciptanya
pengelolaan sampah B3-RT, tentunya memerlukan kehadiran sebuah lembaga yang
6
8. berfungsi menginisiasi dan atau menjalankan fungsi koordinator yang akan
mendorong agar setiap kelompok strategis tersebut dapat berperan sebagaimana
harusnya. Fungsi ini sebaiknya dijalankan oleh Pemerintah Daerah setempat. Peran
aktif pemerintah daerah (kota/kabupaten) dalam pengelolaan sampah B3-RT perlu
dukungan kebijakan pemerintah. Penyerahan wewenang seutuhnya dari pusat ke
daerah dalam pengelolaan sampah B3-RT perlu terus diupayakan.
G. METODE-METODE YANG DITERAPKAN
Pelaksanaan uji coba pengelolaan sampah B3-RT dilaksanakan dengan metoda yang
disesuaikan dengan pola-pola pengelolaan sampah yang telah dijalankan di Kota
Bandung. Tahapan operasi pengelolaan terdiri dari pemilahan dan pewadahan,
pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan sementara.
1. Metode Pemilahan
Pemilahan dilakukan dengan mengelompokkan sampah dalam 3 jenis yaitu :
Sampah organik yaitu sampah yang mudah membusuk, terdiri dari sisa-sisa
makanan, sapuan halaman, sisa buah-buahan
Sampah anorganik, yaitu sampah yang sulit sekali membusuk misalnya plastik,
kaleng, karat, sisa bangunan, kertas pembungkus/kemasan.
Sampah berbahaya beracun, yaitu terdiri dari bekas kemasan pestisida, parfum,
batu baterai, bola, lampu, lampu neon
Pemilahan dapat dilakukan oleh :
Setiap penghasil sampah di rumah-rumah dan atau sumber
Pemulung di TPS ketika dilakukan proses pemilahan sampah bernilai ekonomis
Petugas menarik gerobak, dilakukan di sumber atau di TPS
Pemilahan dilakukan tanpa peralatan khusus. Wadah yang dipergunakan disesuaikan
dengan kemampuan masyarakat. PD Kebersihan dalam upaya merangsang
masyarakat, menyediakan sarana pewadahan berupa tong sampah yang diberi
warna:
Tong hijau, untuk sampah organik
Tong kuning, untuk sampah an organik
Adapun sampah B3-RT tidak disediakan tempat khusus, masyarakat dibina untuk
menyediakan wadah sendiri terpisah dengan kedua jenis sampah lainnya.
2. Metode Pengumpulan
Pengumpulan sampah B3-RT yaitu kegiatan pengumpulan sampah B3-RT dari
rumah-rumah ke dalam wadah sampah B3-RT di tempat pengumpulan sementara
sebelum diangkut ke tempat penyirnpanan sementara.
Pengumpulan sampah B3-RT dilakukan setelah adanya proses pemilahan sampah.
Sesuai dengan pola operasi pengelolaan sampah yang telah dilakukan, maka metoda
pengumpulan sampah B3 RT adalah sebagai berikut :
Metoda individual
Yaitu sampah B3 RT dari rumah-rumah dikumpulkan oleh petugas swakelola dan
RT/RW, ke tempat pengumpulan lokasi khusus
7
9. Metoda komunal
Yaitu sampah B3 RT dari rumah-rumah dikumpulkan masing-masing/individu ke
tempat pengumpulan tanpa melalui petugas pengumpul
Pada kedua metoda diatas tidak ada peralatan khusus yang disediakan. Metoda
pengumpulan yang diterapkan dapat dijelaskan pada gambar berikut
3. Metode Pengangkutan
Pengangkutan sampah B3 RT adalah proses pemindahan sampah B3 RT yang
terkumpul di tempat penampungan sementara B3 RT ke tempat penyimpanan
sementara B3 RT dengan menggunakan kendaraan pengangkutan khusus.
Proses pengangkutan sampah B3 RT dilakukan setelah sampah B3 RT terkumpul dari
sumbernya di dalam wadah-wadah yang berada di tempat penampungan sementara.
Didalam PP 18 Tahun 1999 dan didalam Keputusan Kepala Bapedal
No.Kep/01/Bapedal/09/1995 belum ada ketentuan khusus mengenai tata cara
pengangkutan sampah B3 RT, oleh karena itu pelaksanaan operasi pengangkutan
disesuaikan dengan kondisi yang ada. Operasi pengangkutan dilaksanakan setelah
terlebih dahulu dilakukan monitoring terhadap seluruh titik pengumpulan.
Monitoring dilakukan dengan maksud memantau kuantitas sampah terkumpul.
Armada pengangkutan dijalankan apabila berdasarkan hasil monitoring, terdapat
banyak titik pengumpulan yang telah penuh. Didalam ujicoba ini tidak dilakukan
pertimbangan ekonomis dalam proses pengangkutan.
Berdasarkan pertimbangan bahwasannya dalam sekali route pengangkutan maksimal
harus dapat terangkut seluruh wadah sampah yang ada di seluruli titik pengumpulan,
maka pada ujicoba pengangkutan dilakukan dengan menggunakan truk standar
ukuran 10 m3.
Didalam satu kali pengangkutan, diperlukan 3 orang personil yang terdiri dari :
1 (satu) orang pengemudi
2 (dua) orang kernet yang dilengkapi dengan masker, sarung tangan dan topi
4. Metode Penyimpanan
Penyimpanan sampah B3 RT yaitu kegiatan penyimpanan sementara pasca
pengumpulan. Sampah yang telah terkumpul, diangkut ke suatu tempat
penyimpanan sementara. Proses penyimpanan berawal dari proses bongkar muat
wadah-wadah sampah terangkut oleh kendaraan pengangkutan. Selanjutnya,
dilakukan pemilahan sampah terkumpul berdasarkan jenisnya. Setelah dilakukan
proses pencatan kuantitas terkumpul, sampah B3 RT di simpan dalam wadah dan
tempat/rak sejenis. Diharapkan, dengan mengembangkan kerjasama dengan pihak
produsen, maka tidak ada tindak lanjut pasca penyimpanan
Keputusan Bapedal No.kep-01/Bapedal/09/1995, tempat penyimpanan sementara
sampah B3 RT harus memiliki kriteria sebagai berikut :
Bangunan memiliki rancang bangun dan luas ruang penyimpanan yang sesuai
dengan jenis, karakteristik dan jumlah limbah B3 yang dihasilkan.
Terlindung dari masuknya air hujan baik secara langsung maupun tidak langsung
8
10. Dibuat tanpa plafon dan memiliki sistem ventilasi udara yang memadai untuk
mencegah terjadinya akumulasi gas didalam ruang penyimpanan serta
memasang kasa atau bahan lain
Untuk mencegah masuknya burung atau binatang kecil lainnya kedalam ruang
penyimpanan
Memiliki sistem penerangan (lampu/cahaya matahari) yang memadai untuk
operasional penggudangan atau insfeksi rutin, jika menggunakan lampu, maka
lampu penerangan harus dipasang minimal 1 meter diatas kemasan dengan
sakelar (stop contact) harus terpasang disisi luar bangunan Lantai bangunan
harus kedap air, tidak bergelombang, kuat dan tidak retak. Lantai bagian dalam
dibuat melandai turun kearah bagian penampungan dengan kemiringan
maksimum 1%.
5. Metode Pengolahan
Pengolahan yang dapat dilakukan adalah upaya perolehan kembali bahan-bahan
beracun berbahaya dari dalam barang dan atau kemasan. Sebagai contoh,
kandungan karbon di dalam batu baterai bekas banyak dimanfaatkan sebagai
suplemen bahan bakar, setelah kandungan logam merkuri dipisahkan. Logam
merkuri yang dikategorikan bahan berbahaya ini seharusnya dikumpulkan menjadi
satu dan dikelola sesual ketentuan pengolahan limbah B3. Partisipasi aktif para
produsen atau para pelaku daur ulang yang selama ini telah mengembangkan upaya
pemanfaatan sampah B3 RT sangat diharapkan pada pengolahan limbah tersebut.
Pemanfaatan dan perolehan kembali bahan yang bernilai ekonomis dari sampah B3
RT selama ini banyak dilakukan oleh para pelaku daur ulang. Pola penanganan
dilakukan secara tidak aman, sehingga membahayakan para pelakunya. Untuk itu
diperlukan Standar Operation Procedure pengelolaan sampah B3 RT, bagi setiap
pelaku pengelolaan.
6. Metode Monitoring
Monitoring adalah suatu kegiatan yang dimulai dari mengamati, mengawasi sampai
mencermati pelaksanaan operasi pengelolaan sampah B3 RT.
Monitoring dimaksudkan untuk mengetahui dan atau mengukur kinerja sistem yang
diujicobakan.
Kegiatan monitoring dilakukan secara berkala, setiap satu minggu sekali. Peralatan
dan sumber daya yang diperlukan adalah :
Petugas khusus yang telah mengetahui pola operasi pengelolaan, sebanyak 2
orang
Peralatan pencatat informasi yaitu : form monitoring
Dari format yang telah diisi dapat diketahui lokasi mana yang harus segera dilakukan
pengangkutan, apabila sudah diketahui lokasi mana yang harus segera diangkut
segera hubungi petugas pengangkut untuk segera mengangkut tempat pengumpulan
sampah B3 RT yang sudah penuh.
9
11. Selain monitoring jenis dan kuantitas sampah B3 RT dilakukan pula monitoring
terhadap program secara keseluruhan. Hal ini dimaksudkan sebagai pengumpulan
informasi kelayakan sistem yang diujicobakan.
Evaluasi dilaksanakan dengan maksud untuk melakukan penilaian terhadap kegiatan-
kegiatan pada sistem pengelolaan sampah B3 RT. Indikator pengukuran keberhasilan
adalah efektifitas dan efisiensi program.
Evaluasi program atau kegiatan dilaksanakan setelah diperoleh kesimpulan dan
keterangan yang ada pada format hasil monitoring. Dari hasil evaluasi ditentukan
parameter-parameter kegiatan yang perlu diperbaiki.
H. KESIMPULAN (Hasil Uji Coba di Bandung)
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil evaluasi terhadap tolok ukur tersebut diuraikan
sebagai berikut.
1. Kuantitas dan Kualitas Sampah Terkumpul
Sebagian besar wadah terisi sampah diluar kriteria sampah B3 RT dengan melakukan
pengujian terhadap tingkat pengetahuan masyarakat disekitar lokasi secara acak,
diperkirakan bahwa hal tersebut disebabkan karena masyarakat belum mengenal
jenis-jenis sampah B3 RT.
2. Program Sosialisasi
Sosialisasi melalui kelompok binaan belum mengenai sasaran. Hal ini terjadi
mengingat masaiah sampah B3 RT bukan rnerupakan pesan utama yang dibawa
dalam media-media kampanye di lokasi tersebut. Dalam kelompok binaan, sosialisasi
sampah B3 RT dilakukan secara khusus hanya di satu wilayah ujicoba yaitu di
Kelurahan Tegalega. Masyarakat binaan di dua wilayah ujicoba 1ainnya (Kelurahan
Merdeka dan Kelurahan Karang Pamulang) belum menunjukkan kesiapan menerima
pesan pengelolaan sampah B3 RT. Oleh karena itu, pesan diarahkan terhadap
pemaparan pengetahuan mengenal jenis-jenis sampah B3 RT.
Demikian halnya di dalam program kampanye kota melalui radio dan buletin serta
program sekolah, belum mampu meningkatkan efektifitas pengumpulan sampah B3
RT. Banyak faktor yang mungkin menjadi penyebab antara lain kejelasan informasi
tentang jenis sampah B3 RT, ketersediaan sarana dan prasarana serta sebaran dari
kelompok sasaran yang kurang terintegrasi dengan penempatan lokasi ujicoba.
Kurangnya fokus sosialisasi terhadap pengelolaan sampah B3 RT, merupakan
kelemahan utama dalam program ujicoba ini. Namun demikian, diperkirakan bahwa
masih sangat rendahnya efektifitas pengumpulan sampah B3 RT juga dipengaruhi
oleh kehadiran para pemulung yang secara langsung mengumpulkan sampah
tersebut untuk dijual kembali.
Wadah sampah yang dirancang sedemikian rupa dengan pintu terkunci, ternyata
masih memungkinkan terjadinya pembongkaran kembali sampah-sampah yang telah
terkumpul oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
10
12. 3. Kapasitas Sistem
Tinjauan terhadap aspek ketersediaan sarana dan prasarana, sistem pengelolaan
yang dikembangkan oleh PD. Kebersihan Bandung pada dasarnya sudah sangat
lengkap. Akan tetapi kurangnya referensi saat pengembangan desain menyebabkan
munculnya permasalahan saat operasi. Permasalahan yang muncul yaitu kurang
sesuainya bentuk wadah yang disediakan dengan jenis sampah B3 RT terkumpul.
Wadah pengumpulan tercampur bagi seluruh jenis sampah B3 RT, ternyata
menyebabkan pecahnya jenis sampah seperti neon dan bohlam. Desain wadah yang
disesuaikan dengan jenisnya merupakan alternatif pemecahan masalah.
Disamping masih rendahnya sosialisasi, faktor lain yang menyebabkan kuantitas
sampah terkumpul, yaitu faktor penempatan wadah. Kurang strategisnya
penempatan menyebabkan tidak adanya masyarakat yang membuang sampah B3 RT
kedalamnya.
Akumulasi sampah B3 RT di tempat penyimpanan menjadi kekhawatiran besar pihak
PD Kebersihan. Belum adanya hubungan kerjasama antar PD Kebersihan dan atau
dengan para pelaku daur ulang dan atau produsen merupakan kendala utama. Oleh
karena itu, kontrak dan bahkan hubungan kerjasama dengan pihak-pihak yang
mungkin mengolah sampah B3 RT harus dilakukan sebelum ujicoba dikembangkan.
Dalam hal inl pihak produsen dan para pelaku daur ulang harus dilibatkan sejak
perencanaan.
Keterlibatan seluruh kelompok strategis sejak awal perencanaan akan membuat
sistem lebih terpadu. Diharapkan akan mampu meningkatkan efisiensi biaya
pelaksanaan ujicoba, yaitu dari adanya bagi peran untuk mengantisipasi masalah
tersebut.
Terselenggaranya Lokakarya Pengelolaan sampah B3 RT yang dihadiri oleh seluruh
komponen Kelompok Strategis merupakan terobosan guna keberlanjutan program.
Lokakarya tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi dan berhasil merumuskan
kesepakatan bersama antar kelompok strategis namun demikian tidak lanjut
lokakarya tersebut belum terasa dampaknya hingga akhir tahun 2000. Akan lebih
terukur dampaknya apabila lokakarya atau bagi peran tersebut disusun sebelum
operasi pengelolaan diujicobakan.
4. Biaya Pengelolaan Sampah B3 RT
Efisiensi biaya pengelolaan menjadi faktor utama kesediaan sebuah instansi untuk
turut serta dalam pengelolaan sampah B3 RT. Dari ujicoba oleh PD. Kebersihan
terdapat indikasi adanya peningkatan biaya operasi pengelolaan sampah secara
keseluruhan bila pengelolaan sampah B3 RT harus sepenuhnya dilakukan PD.
Kebersihan. Hal ini tentunya menjadi kendala utama pihak pengelola kebersihan.
Pengkajian terhadap mekanisme pasar dalam pengelolaan sampah B3 RT harus
dilakukan guna terciptanya pengelolaan yang efektif dan efisien.
- Program ujicoba teknik pengelolaan dilakukan dengan menempatkan wadah-
wadah pengumpulan di 16 lokasi. Lokasi dipilih dengan kriteria khusus.
Pengumpulan dilakukan oleh masyarakat, pelaku daur ulang dan oleh para
petugas kebersihan kota. Sampah B3 RT terkumpul diangkut untuk disimpan
dalam sebuah gudang penyimpanan di TPA.
11
13. - Dari hasil ujicoba pengelolaan sampah B3 RT diperoleh hasil bahwa jenis sampah
B3 RT yang banyak terkumpul ketika ujicoba dilakukan adalah baterai bekas,
botol bekas kemasan obat, kemasan kosmetik, dan bekas kemasan pelumas.
Kuantitas sampah terkumpul masih relatif kecil.
- Satu wadah pengumpulan pada umumnya penuh dalam jangka waktu 1(satu)
minggu bahkan hingga 1(satu) bulan.
- Kendala yang dihadapi pada pelaksanaan ujicoba ini muncul tidak saja dari
dalam, kendala dari luar yang menjadi penentu keberhasilan dan keberlanjutan
ujicoba, juga muncul ketika program berjalan, yaitu belum adanya hukum yang
jelas.
- Aspek pembiayaan, merupakan kendala yang cukup penting an: diperhatikan.
Ujicoba ini memerlukan biaya yang sangat besar (pengadaan sarana
pengumpulan dan penyimpanan dan operasi pengelolaan).
- Secara teknis, efektifitas ujicoba yang diukur dengan indikator banyaknya
sampah B3 RT terkumpul, dapat dikatakan masih sangat rendah. Banyak faktor
yang menentukannya, berdasarkan evaluasi faktor sosialisasi dinilai merupakan
faktor utama.
- Sosialisasi perlu dilakukan lebih khusus dengan sasaran seluruh kelompok
strategis. Pelaksanaan ujicoba teknis operasi pengelolaan sebaiknya dilakukan
setelah program sosialisasi berjalan. Sosialisasi harus diarahkan agar terbentuk
kerjasama dan bagi peran yang tegas antar seluruh kelompok strategis. Dengan
demikian, sistem terpadu yang di mulai sejak pengumpulan, pengangkutan,
penyimpanan bahkan sampah pengolahan dapat dilakukan dengan lebih efisien.
- Nilai positif yang telah diperoleh dengan melakukan ujicoba ini antara lain:
Memperoleh data kuantitatif timbulan sampah B3 RT
Memperoleh informasi tentang jenis dan karakteristik sampah B3 yang
ditimbulkan dari aktifitas rumah tangga umumnya ,
Memperoleh dasar-dasar teknik pengembangan sistim pengelolaan sampah
B3 RT, mulai dari operasi pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan,
Mendapat gambaran secara kuantitatif, besarnya beban pengelola sampah
dalam melakukan pengelolaan, baik dari aspek teknis maupun dari aspek
ekonomis,
Data-data akurat yang diperoleh dapat menjadi informasi pendukung, untuk
mendorong agar pihak yang berwenang terhadap pengelolaan limbah B3
pada umumnya lebih memperhatikan masalah sampah B3 RT ini.
12
14. ASPEK PERAN SERTA MASYARAKAT
A. PENDAHULUAN
Pembinaan masyarakat dalam pengelolaan sampah adalah dengan melakukan
perubahan bentuk perilaku yang didasarkan pada kebutuhan atas kondisi
lingkungan yang bersih yang pada akhirnya dapat menumbuhkan dan
mengembangkan peran serta masyarakat dalam bidang kebersihan.
Perubahan bentuk perilaku masyarakat dapat terwujud perlu ada usaha
membangkitkan masyarakat dengan mengubah kebiasaan sikap dan perilaku
terhadap kebersihan/sampah tidak lagi didasarkan kepada keharusan atau
kewajibannya, tetapi Iebih didasarkan kepada nilai kebutuhan.
Untuk mengubah kebiasaan tersebut, maka diperlukan pembinaan terhadap
peran serta masyarakat yang dilakukan secara menyeluruh (kalangan
pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan masyarakat biasa) dan terpadu
(pengelola dan seluruh masyarakat).
Pembinaan terhadap peran serta masyarakat harus dilakukan secara terus
menerus, terarah, terencana dan berkesinambungan, serta dengan melibatkan
berbagai unsur terkait.
B. KONSEP DASAR
Peran serta masyarakat dan sistem pengelolaan formal membentuk
keseimbangan perilaku dalam sistem pengelolaan persampahan dan tidak
mencampur-adukkan peran serta masyarakat kedalam peran institusi formal
dalam aspek pengelolaan.
Kebutuhan peran serta masyarakat tidak berarti dalam rangka menutupi
kekurangan sistem formal. Peran serta masyarakat mempunyai proporsi peran
tersendiri, demikian pula sistem formal pengelolaan sampah (LKMD, RT, RW).
C. KRITERIA PENINGKATAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Kriteria yang perlu diperhatikan untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan
membina peran serta masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan membina peran serta
masyarakat secara terarah diperlukan program yang dilaksanakan secara
intensif dan berorientasi kepada penyebar luasan pengetahuan, penanaman
kesadaran, peneguhan sikap dan pembentukan perilaku.
2. Produk perancangan program diharapkan dapat membentuk perilaku sebagai
berikut:
− masyarakat mengerti dan memahami masalah kebersihan lingkungan
− masyarakat turut serta secara aktif dalam mewujudkan kebersihan
lingkungan
− masyarakat bersedia mengikuti prosedur / tata cara pemeliharaan
kebersihan
1
15. − masyarakat bersedia membiayai pengelolaan sampah
− masyarakat turut aktif menularkan kebiasaan hidup bersih pada anggota
masyarkat lainnya
− masyarakat aktif memberi masukan ( saran-saran ) yang membangun
D. STRATEGI PENINGKATAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Pengembangan peran serta masyarakat dibidang kebersihan diterapkan dengan
pendekatan secara edukatif dengan strategi 2 tahap, yaitu pengembangan
petugas dan pengambangan masyarakat.
Kunci pengembangan petugas ialah keterbukaan, dan pengembangan komunikasi
timbal balik ( unsur petugas sendiri, antara petugas dan atau masyarakat dan
atau anggota masyarakat ), horizontal maupun vertikal.
Kunci pengembangan masyarakat ialah pengembangan kesamaan persepsi,
antara masyarakat dan petugas. Suatu komunikasi dikatakan berhasil, bila
menimbulkan umpan balik dan pesan yang diberikan.
Isi adalah informasi, penjelasan dan penyuluhan, sedangkan umpan balik berupa
ketentuan masyarakat untuk memenuhi kewajiban (membayar retribusi,
memelihara kebersihan lingkungan dan dukungan moril kepada petugas
kebersihan).
Penjabaran strategi peningkatan peran serta masyarakat:
1. menyampaikan informasi, atau meneruskan informasi melalui media masa
2. membujuk dan menghukum, bertujuan untuk mempengaruhi (kepercayaan,
nilai, cara bertindak) pihak yang diajak berkomunikasi. Bila bujukan belum
berhasil, dilakukan hukuman yang merupakan senjata terakhir untuk
memaksa masyarakat berubah sikap.
3. mengadakan dialog.
E. ASPEK YANG MENENTUKAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Peningkatan peran serta masyarakat relatif akan berhasil bila memperhatikan
aspek
aspek berikut:
1. komunikasi, yang menumbuhkan pengertian yang berhasil
2. perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh
pengertian yang menumbuhkan kesadaran
3. kesadaran, yang didasarkan kepada perhitungan dan pertimbangan
4. antusiasme, yang menumbuhkan spontanitas
5. adanya rasa tanggung jawab, terhadap kepentingan bersama.
F. PROGRAM PENINGKATAN
Dalam penyusunan program peningkatan peran serta masyarakat dalam bidang
persampahan, harus memuat komponen-komponen sebagai berikut:
2
16. 1. Teknis
a. Individual
Peran serta masyarakat dapat dimulai dari skala individual rumah tangga
yaitu dengan mereduksi timbulan sampah rumah tangga. Teknik reduksi
sampah ini dikenal dengan nama metoda 3R (reduce, reuse, recycle).
Sebagai contoh penerapan metoda 3R dalam kehidupan sehari-hari ,
misalnya :
1) Reduce
− Untuk pembelian produk-produk, tidak perlu meminta bungkusan ganda,
sudah masuk kardus tidak perlu dibungkus lagi dengan kertas, kemudian
masuk ke dalam kantong plastik.
− Memilih produk yang kemasannya cenderung menimbulkan sampah
paling kecil / sedikit.
2) Reuse
− Menghindari pemakaian produk sekali pakai, misal dengan pemakaian
baterai yang dapat diisi kembali (recharge), penggunaan pena / ballpoint
yang dapat diisi lagi (refill).
− Menggunakan kembali botol-botol tempat minyak atau bahan makanan.
− Menggunakan wadah yang dapat dipakai berulang kali.
3) Recycle
− Memisahkan sampah basah ( organik, sampah dapur, sayur, sisa
makanan ) dengan sampah kering (anorganik, kertas, plastik, botol ).
− Menjual atau menyumbangkan barang-barang yang tidak dipakai, kepada
orang yang memerlukan.
− Pinjam meminjam atau sewa-menyewa barang-barang yang yang jarang
pemakaiannya, seperti meja kursi pesta.
b. Kelompok
Secara berkelompok (komunal), masyarakat dapat ikut berperan dalam
pengelolaan sampah pengolahan sampah skala lingkungan, misalnya :
1) Reduce
− Memberi kemasan hanya untuk produk yang benar-benar memerlukan
bungkus atau kemasan, dan menghindari pemberian bungkus sebagai
penghias.
− Menyediakan jaringan informasi dengan komputer, tanpa terlalu banyak
kertas yang setelah dibaca akan dibuang.
2) Reuse
− Memakai halaman belakang kertas untuk surat-surat di kantor.
− Membudayakan pemakaian kantong belanja yang dapat digunakan
berulang-ulang.
3) Recycle
− Pendirian UDPK ( Usaha Daur Ulang Dan Pembuatan Kompos ) , yang
akan sangat tinggi manfaatnya dalam mereduksi timbulan sampah.
− Mengadakan tempat jual beli barang bekas.
3
17. 2. Pembiayaan
Peran serta masyarakat dalam hal pembiayaan dipengaruhi oleh:
a. Kemampuan masyarakat untuk membayar
b. Kemauan untuk membayar tepat waktu
c. Penerapan Perda tentang tarif
3. Pemecahan masalah
Masalah menipisnya peran serta masyarakat dipecahkan melalui :
a. Penyuluhan: -memasyarakatkan Perda tentang kebersihan
-memasyarakatkan aset kebersihan
b. Insentif memberikan potongan iuran/retribusi bagi pemilahan sampah di
sumbernya
c. Desinsentif : mengenakan denda bagi yang terlambat membayar iuran.
G. PENYULUHAN DAN BIMBINGAN
Penyuluhan dan bimbingan masyarakat merupakan alternatif yang dapat
dipergunakan untuk mengajak masyarakat bersama pemerintah dalam upaya
kebersihan / menanggulangi persampahan yang merupakan salah satu aspek
dari pembangunan nasional.
1. Tujuan
Tujuan penyuluhan dan bimbingan masyarakat dalam bidang persampahan
adalah tercipta dan terbinanya suatu masyarakat dinamis yang berperan
serta secara aktif dalam menanggulangi masalah kebersihan dilingkungannya.
Dalam menentukan tujuan yang penting diketahui adalah:
a. jelas
b. realistis
c. bisa diukur
Tujuan penyuluhan terbagi kedalam tiga (3) bagian yaitu:
a. tujuan jangka pendek, terciptanya suatu masyarakat yang mengerti,
memahami akan masalah kebersihan
b. tujuan jangka menengah, terciptanya suatu masyarakar yang mempunyai
kesadaran akan kebersihan
c. tujuan jangka panjang, terciptanya suatu masyarakat yang menjadikan
kebersihan sebagai suatu kebutuhan.
2. Sasaran
Yang dimaksud dengan sasaran atau kelompok sasaran adalah individu
ataupun kelompok yang akan diberi penyuluhan dan bimbingan. Sasaran
yang diprioritaskan untuk dilakukan penyuluhan dan bimbingan masyarakat
dalam bidang kebersihan dan persampahan adalah:
a. Kelompok masyarakat yang kurang tanggap terhadap masalah
kebersihan.
b. Kelompok masyarakat yang masih memiliki dan mengikuti adat istiadat
yang kurang mendukung upaya penanggulangan persampahan.
c. Kelompok masyarakat yang masih keliru dalam praktek pelaksanaan
kegotong¬royongan dalam kebersihan.
d. Kelompok masyarakat yang secara sosiokultural bersifat menyendiri.
4
18. e. Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran kegiatan / program / proyek
bidang kebersihan.
f. Kelompok masyarakat yang telah melaksanakan peran serta.
3. Materi Penyuluhan
Materi penyuluhan kebersihan, adalah semua bahan topik yang akan
disampaikan kepada masyarakat penerima penyuluhan kebersihan.
Pemilihan materi hendaknya disesuaikan dengan waktu, tempat, bentuk
kegiatan, masyarakat yang dihadapi serta target/sasaran yang hendak
dicapai.
Topik atau materi yang disampaikan adalah :
a. Pengertian sampah, jenis- jenis sampah
b. Memberikan petunjuk tata cara pengelolaan berbagai jenis sampah
c. Cara membuang dan memusnahkan sampah
d. Dampak, ancaman bila sampah dibiarkan berserakan
e. Pentingnya membuang sampah pada tempatnya
f. Hubungan antara kebersihan dan kesehatan
g. Peraturan perundang-undangan yang berlaku
h. Menerangkan tentang kebersihan institusi kebersiha, keorganisasian dan
manajemen, bentuk, jumlah personalia, luas wiiayah operasi, dan
kapasitas pelayanannya
i. Masalah persampahan yang sering dijumpai oleh masyarakat
j. Pentingnya peran serta masyarakat dalam menanggulangi masalah
kebersihan
k. Jumlah biaya yang diperlukan dan sumber-sumbernya
l. Retribusi, struktur tarif, dasar penyusunan kelas
m. Alternatif peran serta masyarakat
n. Pengelolaan komunal, swakelola dan sampah umum
o. Saling mengingatkan antara sesama warga.
4. Metoda dan Teknik Penyuluhan
a. Metode Penyuluhan, metode yang dapat dipergunakan dalam penyuluhan
kebersihan:
1) Metode persuasif dan motivatif, adalah metoda dalam melaksanakan tugas
sebagai penyuluh kebersihan, memberikan pengertian dan ajakan serta
pesan-pesan, didasarkan atas kesadaran dan keinsyafan.
2) Metoda persuasif, selalu menjalin hubungan yang kuat atas dasar saling
mengerti dan sating memberi bantuan serta dukungan antara penyuluh dan
masyarakat sasaran
3) Metoda partisipatif, selalu menempatkan masyarakat sasaran sebagai
subyek/pelaku aktif.
b. Teknik Penyuluhan, adalah tata cara penyampaikan pesan-pesan penyuluhan
kepada masyarakat yang menjadi sasaran penyuluhan. Teknik yang
dipergunakan adalah penyuluhan lisan, tulisan dan penyuluhan peragaan.
1) Penyuluhan lisan, cara penyampaiannya dalam bahasa lisan, yang terdiri atas
penyuluhan lisan secara langsung dan lisan secara tidak langsung.
Penyuluhan lisan secara langsung :
• Penyuluh berhadapan langsung dengan kelompok penerima penyuluhan.
• Tempat berlangsungnya kegiatan penyuluhan dipersiapkan terlebih dahulu.
• Medianya adalah ceramah, khotbah, sarasehan / diskusi
5
19. Penyuluhan lisan secara tidak langsung
Penyuluh tidak berhadapan dengan kelompok penerima penyuluhan dalam
tempat yang sama.
Penerima penyuluhan tidak dipersiapkan terlebih dahulu pada suatu tempat
tertentu.
Medianya melalui siaraan radio (pidato, reportase, wawancara, sandiwara,
obrolan, majalah udara, quis), melalui siaran televisi (sandiwara, reportase,
wawancara, obrolan, slide).
2) Penyuluhan tulisan
Media penyuluhan dalam bahasa tulisan antara lain pembuatan brosur,
leaflet, poster / pamflet.
3) Penyuluhan peragaan kebersihan
Media yang dipergunakan pameran pembangunan bidang
kebersihan/persampahan. film, group kesenian tradisional (ludruk, lenong,
calung, wayang, randai dan lain-lain).
c. Teknik Bimbingan Masyarakat
Bimbingan masyarakat merupakan kegiatan lanjut dari penyuluhan kebersihan
untuk memberikan arah dan cara melaksanakan upaya kebersihan, dengan
kegiatan yang dapat dilakukan adalah :
1) Pemberian Contoh
Program percontohan dapat berupa pemberian contoh oleh pimpinan formal
dan informal dengan melakukan kegiatan kebersihan.
2) Pemberian hadiah
Pemberian hadiah atau penghargaan atas prestasi kebersihan lingkungan
dapat diberikan secara berjenjang mulai dari tingkat desa, kelurahan,
kecamatan, kabupaten/kotamadya, propinsi, dan penghargaan tertinggi pada
tingkat nasional (Adipura ).
3) Pemberian kemudahan
Penyediaan sarana dan prasarana yang memberikan kemudahan untuk
pembuang sampah secara baik dan benar.
4) Pendidikan
Masalah kebersihan ditanamkan sejak kecil melalui pendidikan formal
(disekolah) dan non formal (Pramuka, dirumah).
5) Memperluas daerah bebas sampah
6) Pemberian ancaman Pemberian ancaman dikaitkan dengan peraturan yang
diterapkan dalam bentuk sangsi terhadap pelanggaran dan peraturan.
6
20. ASPEK MANAJEMEN
(INSTITUSI, PERATURAN DAN PEMBIAYAAN)
A. KELEMBAGAAN
1. UMUM
Sejalan dengan perkembangan kondisi sosial perekonomian suatu kota,
kompleksitas permasalahan sampahpun akan meningkat, seperti meningkatnya
produksi sampah dari tahun ke tahun, menurunnya kualitas lingkungan
perkotaan karena penanganan sampah yang kurang memadai, kebutuhan biaya
operasi dan pemeliharaan yang terus meningkat tanpa diimbangi dengan
penerimaan retribusi yang memadai, kesulitan mendapatkan lahan TPA, teknis
pengoperasian prasarana dan sarana persampahan yang juga memadai dan lain-
lain
Keandalan institusi pengelola adalah hal penting dalam mengatasi permasalahan
tersebut di atas. Dengan demikian maka institusi pengelola persampahan
merupakan kunci pokok dalam suatu sistem pengelolaan persampahan, karena
melalui aspek ini aktifitas pengelolaan dapat diatur sedemikian rupa untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
Organisasi pengelola sampah tersebut mempunyai tugas tidak hanya
memberikan pelayanan kebersihan kota saja, tetapi juga mampu
mengembangkan kapasitas dan potensi yang ada dalam rangka menciptakan
kualitas lingkungan perkotaan yang bersih dan sehat.
Hal-hal yang mempengaruhi kebutuhan akan bentuk institusi yang mengelola
persampahan suatu kota adalah kategori kota, status kota dan jumlah penduduk.
Makin besar suatu kota maka besaran produksi sampah yang harus dikelola akan
makin banyak sehingga kebutuhan akan sarana prasarana persampahanpun akan
meningkat. Kebutuhan dana otomatis juga meningkat sejalan dengan itu.
Kompleksitas permasalahan akan semakin besar apabila tidak diimbangi dengan
profesionalisme penanganan sampah.
Mengacu pada kebijaksanaan dan strategi nasional pembangunan bidang
persampahan serta ketentuan kelembagaan yang ada, yaitu Kepmendagri No.
80/1994, bahwa institusi pengelola persampahan untuk kota metropolitan dan
kota besar pada prinsipnya diarahkan menjadi Perusahaan Daerah Kebersihan
atau Dinas Kebersihan Pola Maksimal atau Dinas Kebersihan Pola Minimal atau
Suku Dinas Kebersihan (Pola Maksimal) atau Suku Dinas Pekerjaan Umum (Pola
Minimal).
2. PERMASALAHAN
Secara umum permasalahan yang ada pada instansi pengelola persampahan
adalah sebagai berikut:
a. Bentuk organisasi yang ada pada umumnya masih belum sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, terlalu sederhana, belum sesuai dengan
1
21. kewenangan pelayanan yang dibutuhkan kecuali untuk beberapa kotamadya
saja masih belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku
b. Sebagian besar institusi pengelola persampahan adalah berbentuk Dinas,
Suku Dinas atau Seksi dengan kewenangan yang terbatas
c. Masih kurangnya kerjasama antara instansi terkait seperti dengan Dinas
Pasar dalam hal keterpaduan pengumpulan sampah pasar, Dinas PU dalam
hal pengangkutan sampah saluran/sungai, PLN/PDAM dalam hal penarikan
retribusi dan kerjasama dengan masyarakat dalam hal pengumpulan dan
pengolahan sampah yang dilaksanakan oleh RT/RW atau LKMD
d. Struktur Organisasi kebanyakan belum sesuai dengan kapasitas dan beban
kerja, belum menggambarkan siklus aktifitas tahapan pengelolaan, lingkup
tugas belum jelas dan fungsi pembinaan masyarakt belum optimal
e. Tata laksana kerja pada umumnya belum dinyatakan secara jelas, termasuk
prosedur penarikan retribusinya, demikian pula pencatatan administrasi rutin
sering tidak ada
f. Tenaga ahli terbatas, penempatan personil kurang terencana, pemanfaatan
kurang seimbang serta jenjang karir yang tidak jelas
g. Motivasi karyawan yang belum bersungguh, karena ada anggapan bahwa
pekerjaan yang berkaitan dengan sampah adalah hal yang kurang
bermanfaat dan kurang menarik.
Permasalahan yang lebih spesifik khususnya yang berkaitan dengan masalah
pengelolaan aset persampahan adalah sebagai berikut:
a. Ketidakberhasilan pengelolaan UDPK di beberapa kota disebabkan oleh tidak
adanya penugasan yang jelas terhadap upaya-upaya terobosan dalam
pengurangan atau pemanfaatan sampah. Apabila pelaksanaan UDPK
diserahkan kepada masyarakat, pada umumnya Pemda tidak melakukan
pembinaan dan pengawasan yang memadai khususnya yang berkaitan
dengan masalah pemasaran
b. Kendala dalam pengoperasian TPA pada umumnya lebih didominasi masalah
teknis dan biaya, kalaupun ada yang berkaitan dengan masalah organisasi
adalah kurangnya tenaga yang terampil dalam meningkatkan kondisi TPA
secara lebih memadai.
3. UPAYA PENINGKATAN
Dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan persampahan disuatu kota
ditinjau dari aspek organisasi, ada beberapa alternatif yang perlu
dipertimbangkan sebagai berikut:
a. Peningkatan institusi secara menyeluruh sesuai dengan ketentuan
Departemen Dalam Negeri (Keputusan Menteri Dalam Negeri No.80/1994
tentang Struktur Organisasi Daerah Tingkat II dan Surat Keputusan Dalam
Negeri No.52/1996 tentang Struktur Organisasi Pemerintah Kota
Administratif).
b. Peningkatan struktur organisasi Dinas/Suku Dinas yang ada sebagai upaya
transisi yang mengarah pada struktur organisasi yang sesuai dengan
ketentuan tersebut diatas sebelum melakukan perubahan institusi secara
2
22. menyeluruh. Peningkatan tersebut sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan
teknis operasionalnya.
c. Peningkatan kerja sama dengan instansi terkait dengan peran masing-masing
yang lebih proporsional, seperti dengan Dinas Pasar, Dinas PU, PLN / PDAM,
LKMD, Swasta dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan
d. Peningkatan tata laksana kerja dari masing-masing unit organisasi secara
lebih jelas, realistis dan terukur.
e. Peningkatan kualitas personil melalui pelatihan baik yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Pusat, maupun oleh Pemerintah Daerah Tingkat I dibidang
persampahan. Peningkatan kualitas personil ini sebaiknya dilakukan secara
terencana dengan konsekuensi orang yang telah mengikuti pelatihan tidak
dipindahkan ke bagian yang sama sekali tidak berhubungan dengan masalah
pengelolaan persampahan. Pelatihan yang dapat diikuti adalah pelatihan
untuk tingkat Kepala Dinas sampai kepada tingkat Pelaksana bahkan juga
pelatihan tingkat lanjutan khusus untuk meningkatkan kualitas TPA.
f. Peningkatan aspek organisasi yang berkaitan dengan pengelolaan aset
persampahan seperti pada fasilitas pengolahan persampahan skala
lingkungan (UDPK, Insinerator) adalah dengan memberikan kewenangan
khusus pada salah satu seksi (seperti Seksi Kebersihan) untuk melaksanakan
kegiatan operasional secara sungguh-sungguh (apabila UDPK dilaksanakan
sendiri oleh Pemda) atau melaksanakan pembinaan termasuk pelatihan
kepada masyarakat bila pengoperasian fasilitas tersebut dilakukan oleh
organisasi masyarakat, artinya Pemda bertanggung jawab juga dalam
masalah pengendaliannya.
B. PEMBIAYAAN
1. UMUM
Aspek Pembiayaan dalam Sistem Pengelolaan Persampahan mempunyai peran
penting dalam menjalankan roda operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana
persampahan. Berbagai masalah penanganan sampah yang timbul pada
umumnya disebabkan oleh adanya keterbatasan dana, seperti keterbatasan dana
investasi peralatan, dana operasi dan pemeliharaan sehingga kualitas pelayanan
sampah sangat ditentukan oleh harga satuan per meter 3 sampah. Besaran biaya
satuan ini bahkan dapat digunakan sebagai indikator tingkat efisiensi atau
keberhasilan pengelolaan sampah disuatu kota. Tanpa ditunjang dana yang
memadai, akan sulit mewujudkan kondisi kota yang bersih dan sehat.
Kebutuhan biaya pengelolaan sampah ini akan meningkat sejalan dengan tingkat
pelayanan atau volume sampah yang harus dikelola. Pihak institusi pengelola
persampahan dituntut untuk dapat merencanakan kebutuhan dana secara akurat
setiap tahunnya agar roda pengelolaan dapat terus berjalan sesuai dengan
tujuan utama, yaitu mewujudkan kota bersih dan sehat.
Meskipun tanggung jawab pengelolaan persampahan sebenarnya ada pada pihak
Pemda tingkat II (PP 14/1987), tetapi Pemerintah Pusat tetap memberikan
bantuan sebagai wujud pembinaan. Sesuai dengan Kebijaksanaan dan Strategi
Nasional Pembangunan bidang Persampahan, bahwa untuk mencapai target
tingkat pelayanan 60 % - 80 % pada Pelita VI, Pemerintah Pusat telah
3
23. memberikan bantuan proyek berupa peralatan pengumpulan, pemindahan,
pengangkutan dan alat berat untuk TPA. Bantuan ini bersifat stimulan sehingga
Pemda diminta untuk dapat mengoperasikan, memelihara dan
mengembangkannya. Selain itu Pemerintah Pusat juga memberikan bantuan
teknis berupa Studi/Perencanaan dan Pedoman Teknis serta bantuan Pelatihan.
Pada saat ini kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah dalam
mengembangkan sistem pengelolaan sampah adalah tidak saja dana investasi
yang terbatas tetapi juga keterbatasan biaya investasi, operasi dan pemeliharaan
sarana dan prasarana persampahan tersebut, sehingga optimalisasi penggunaan
peralatan yang ada kurang memadai.
2. PERMASALAHAN
Pada umumnya permasalahan yang berkaitan dengan aspek pembiayaan adalah
sebagai berikut :
a. Adanya keterbatasan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
yang dialokasikan untuk kegiatan pengelolaan persampahan baik untuk
investasi maupun biaya operasi dan pemeliharaan.
b. Realisasi penarikan retribusi masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh
metoda penarikan yang belum memadai, kurangnya kesadaran masyarakat,
serta kurangnya perhatian Pemerintah Daerah. Hasil penarikan retribusi tidak
seluruhnya dapat dialokasikan untuk biaya pengelolaan persampahan.
c. Kurang siapnya sistem penarikan retribusi termasuk kesiapan aparat
pelaksana dalam memberikan pelayanan yang memadai
d. Adanya kesan double retribusi yang sebenarnya adalah iuran pengumpulan
sampah dan retribusi pengangkutan sampah (dari TPS ke TPA). Hal tersebut
disebabkan karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat.
e. Besarnya tarif retribusi masih belum didasarkan pada tingkat kemampuan
membayar masyarakat maupun besaran volume sampah yang dihasilkan oleh
setiap penghasil sampah.
f. Sumber dana alternatif seperti dana masyarakat, hibah, pinjaman lunak
maupun peran serta swata belum digali secara optimal.
Selain hal-hal tersebut diatas, contoh permasalahan yang berkaitan dengan biaya
pengelolaan aset persampahan adalah sebagai berikut :
a. Keterbatasan biaya pemeliharaan gerobak sering mengakibatkan gerobak
rusak (tidak terpakai) sebelum umur teknisnya habis.
b. Pengoperasia truck yang tidak efisien seperti penggunaan secara door to
door, ritasi yang rendah ( < dari 3 rit / hari), tidak memiliki rute yang jelas,
volume angkutan yang tidak sesuai dengan kapasitas truck dan lain-lain
menyebabkan peningkatan biaya operasi dan pemeliharaan.Transfer Depo
yang ada tidak dimanfaatkan, sehingga pola pengumpulan sampahnya
menggunakan pola pengumpulan langsung dengan truk. Pola ini selain tidak
efisien juga sangat mahal.
c. Pihak pengelola UDPK menghadapi kesulitan dalam memasarkan produk
komposnya, sehingga pendapatannya tidak dapat menutupi biaya operasi dan
pemeliharaan.
4
24. d. Terbatashya biaya operasi dan pemeliharaan TPA, terutama dalam hal
penyediaan biaya untuk tanah penutup dan pengoperasian alat berat.
e. Besarnya biaya pengoperasian Insinerator disebabkan karena banyaknya
bahan bakar yang digunakan untuk membakar sampah (nilai kalor sampah
rendah dan kadar air sampah tinggi).
3. UPAYA PENINGKATAN
Dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan persampahan, diperlukan
langkah kongkrit terutama dari segi pembiayaannya, yaitu peningkatan alokasi
biaya operasi dan pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan serta menggali dana
dari masyarakat secara optimal melalui perbaikan sistem retribusi.
a. Kebutuhan Biaya Operasi dan Pemeliharaan (OIP) Aset
Persampahan
Untuk dapat menyusun rencana biaya operasi dan pemeliharaan Aset
Persampahan, perlu diketahui komponen pembiayaannya itu sendiri serta
perkiraan besarnya masing-masing komponen tersebut. Dengan perkiraan
tersebut serta adanya potensi dana masyarakat, dapat diperkirakan berapa
sebenarnya subsidi yang diperlukan guna penanganan operasi dan
pemeliharaan tersebut. Biaya operasi dan pemeliharaan adalah biaya yang
dibutuhkan untuk keperluan rutin, meliputi kebutuhab gaji upah, kebutuhan
biaya operasi kendaraan (bahan bakar, oli dan lain-lain), kebutuhan biaya
perawatan dan perbaikan (service, suku cadang dan lain-lain), pendidikan
dan latihan rutin, pengendalian serta administrasi kantor / lapangan.
Komponen struktur pembiayaan menurut tahap pengelolaan adalah sebagai
berikut :
1). Biaya O/P Pewadahan
Pada tahap pewadahan, biaya investasi dan pemeliharaannya disarankan
dilakukan oleh masyarakat sendiri sebagai bentuk peran serta
masyarakat.
2). Biaya O/P Pengumpulan
Biaya operasional dan pemeliharaan pengumpulan terdiri dari :
− Biaya upah penarik gerobak
− Biaya perlengkapan kerja seperti baju seragam, sepatu kerja dan lain-
lain
− Tunjangan kesehatan dan kesejahteraan
− Biaya penggantian ban dan perbaikan gerobak
3). Biaya O/P Pemindahan (Transfer Depo)
Biaya operasional dan pemeliharaan pemindahan sampah terdiri dari :
− Biaya upah personil
− Biaya listrik dan air
− Biaya peralatan penunjang
− Biaya perawatan bangunan
4). Biaya O/P Pengangkutan
Biaya operasional dan pemeliharaan pengangkutan adalah :
− Biaya personil (gaji / upah) untuk sopir dan crew
5
25. − Biaya operasi (bahan bakar, oil)
− Biaya peralatan bantu seperti baju seragam, sepatu kerja, sapu sekop
dan lain-lain
− Biaya perawatan kendaraan seperti pencucian, pelumasan,
penggantian ban, perbaikan dan lain-lain.
5). Biaya O/P UDPK
Biaya operasional dan pemeliharaan UDPK adalah :
− Biaya personil (gaji/upah)
− Biaya operasi (air, listrik dan lain-lain)
− Biaya perlengkapan kerja seperti baju seragam, sepatu kerja, sekop,
Biaya pengepakan kompos
− Biaya perawatan bangunan UDPK
6). Biaya O/P Insinerator
Biaya operasi dan pemeliharaan Insinerator terdiri dari :
− Biaya gaji/upah
− Biaya bahan bakar
− Listrik
− Biaya perwatan bangunan Insinerator
7). Biaya O/P TPA
Biaya operasional dan pemeliharaan TPA meliputi :
− Biaya personil (petugas TPA dan operator alat berat)
− Biaya bahan bakar alat berat
− Biaya perawatan alat berat seperti pelurasan, pergantian suku.
cadang, dan lain-lain
− Biaya penutupan tanah (tanah penutup)
− Biaya penyemprotan insektisida
− Biaya reklamasi lahan dan penghijauan di bekas TPA
− Biaya perawatan dan perbaikan fasilitas TPA (jalan masuk, kantor,
saluran drainase, ventilasi gas, pengolahan lindi dan lain-lain) Listrik,
air dan lain-lain
b. Peningkatan Retribusi
Dalam rangka melaksanakan pola pembiayaan cost recovery, upaya
peningkatan biaya operasi dan pemeliharaan harus diikuti dengan perbaikan
sistem penarikan retribusi. Perbaikan tersebut meliputi perbaikan tarif dan
pola penarikan retribusi. Kedua hal tersebut akan sangat mendukung dalam
penyediaan biaya pengelolaan persampahan suatu kota.
1). Tarif Retribusi.
Retribusi merupakan salah satu bentuk nyata partisipasi masyarakat didalam
membiayai program pengelolaan persampahan. Retribusi harus disiapkan
dengan seksama serta mempunyai landasan yang kokoh, agar masyarakat
dapat menerima kenyataan bahwa untuk hidup sehat diperlukan biaya dan
masyarakat dapat percaya bahwa uang yang dibayarnya benar-benar
digunakan untuk pengelolaan persampahan
Komponen yang perlu diperhatikan dalam menyiapkan penentuan tarif.
retribusi adalah sebagai berikut :
6
26. − Kebutuhan biaya pengelolaan per tahun
− Tingkat pelayanan / jumlah sampah yang dikelola
− Jumlah timbulan sampah masing-masing sumber
− Pengelompokan wajib retribusi
− Pola subsidi silang
− Kemampuan Pemda mensubsidi
− Kemampuan dan kemauan masyarakat membayar retribusi (ditinjau dari
tingkat penghasilan masyarakat berpendapatan tinggi, menengah dan
rendah serta urgensi pelayanan yang dituntut oleh masyarakat)
Pengelompokan wajib retribusi harus memperhatikan jenis aktifitas atau
usaha apakah bersifat komersial atau sosial, dapat juga dilakukan
pengelompokan kualitas seperti kelas atas, menengah dan rendah.
Pengelompokan tersebut terdiri dari :
− Kelompok Perumahan
− Kelompok Komersial (toko, pasar, salon, bioskop, hotel, restoran dan lain-
lain)
− Kelompok Fasilitas umum (perkantoran, sekolah, rumah sakit dan lain-
lain)
− Kelompok Fasilitas sosial (tempat ibadah, panti asuhan dan lain-lain)
Pembedaan kelompok dan kelas tersebut didasarkan pada keinginan
menerapkan konsep subsidi silang antar wajib retribusi, dengan prinsip
produsen mensubsidi konsumen ataupun status ekonomi kuat mensubsidi
yang lemah.
Konsep subsidi silang adalah :
− Mensubsidi, berarti tarif retribusi lebih besar dari rata-rata biaya satuan
− Netral, berarti retribusi sama dengan rata-rata biaya satuan Disubsidi,
berarti retribusi lebih kecil dari rata-rata biaya satuan
Langkah-Iangkah perhitungan retribusi :
− Tentukan jumlah penduduk kota
− Tentukan jumlah penduduk yang dilayani
− Tentukan pendapatan rata-rata rumah tangga per bulan (tinggi,
menengah dan rendah)
− Tentukan timbulan sampah tiap sumber yang dilayani
− Tentukan biaya pengelolaan per tahun
− Tentukan efisiensi retribusi tertagih
− Tentukan jumlah bobot pada masing-masing pelanggan (pembobotan
digunakan untuk subsidi silang). Pembobotan untuk pemukiman
didasarkan pada pendapatan per KK dan untuk non permukiman
didasarkan pada perperkiraan volume sampah per klasifikasi sumber.
Untuk kelompok komersil disetarakan dengan goVngan perumahan tinggi,
fasilitas umum setara dengan golongan menengah dan fasilitas sosial
setara dengan golongan perumahan rendah.
− Tentukan tarif dasar dengan cara :
Tarif dasar = Biaya penqelolaan per bulan x 100 % (atau 80 %)
Jumlah bobot retribusi
− Besarnya tarif retribusi dihitung dengan cara : tarif dasar dikaiikan
dengan masing-masing bobotnya.
7
27. 2). Pola Penarikan Retribusi
Metoda yang digunakan dalam penarikan retribusi adalah sebagai berkut:
− Penarikan retribusi secara mandiri
Penarikan retribusi dilakukan langsung oleh petugas dari organisasi
pengelola sampah.
− Bekerja sama dengan organisasi lain
Ada beberapa bentuk kerja sama, yaitu :
1. Kerja sama dengan RT/RW dan Kelurahan, caranya dikaitkan dengan
iuran keamanan
2. Kerja sama dengan PLN, dikaitkan dengan sistem pembayaran
rekening listrik. Pembayaran listrik dapat dilakukan setelah
mamperlihatkan tanda bukti pembayaran retribusi sampah. Loket
pembayaran dapat dilakukan di Bank, Kelurahan atau loket PLN.
3. Kerja sama dengan PDAM, dikaitkan dengan sistem pembayaran
rekening air sepert halnya dengan PLN.
8
28. PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU BERBASIS MASYARAKAT
1. Pendahuluan
Sampah pada dasarnya dihasilkan oleh atau merupakan konsekuensi dari adanya
aktifitas manusia. Hukum termodinamika kedua menyatakan bahwa hakikatnya
proses perubahan materi atau proses produksi apapun tidak ada yang berjalan
effisien 100 persen. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau
sampah yang jumlah dan volumenya sebanding dengan tingkat konsumsi kita
terhadap barang atau material yang kita gunakan sehari – hari. Demikian juga
dengan jenis sampah, sangat tergantung dari gaya hidup dan jenis material yang
kita konsumsi.
Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tercantum dalam buku infrastruktur
Indonasi (Bappenas, 2003), pada tahun 1995 perkiraan timbulan sampah di
Indonesia mencapai 22,5 juta ton, dan meningkat lebih dua kali lipat pada tahun
2020 menjadi 53,7 juta ton. Sementara di kota besar di Indonesia diperkirakan
timbulan sdampah perkapita berkisar antara 600 – 830 gram per hari. Sebagai
ilustrasi betapa besarnya timbulan sampah yang dihasilkan, data beberapa kota
besar di Indonesia dapat menjadi rujukan. Kota Jakarta setiap hari menghasilkan
timbulan sampah sebesar 6.2 ribu ton, kota Bandung sebesar 2.1 ribu ton, Kota
Surabaya sebeasar 1.7 ribu ton, dan kota Makasar 0.8 ribu ton (Damanhuri,
2002). Jumlah tersebut membutuhkan upaya yang tidak sedikit dalam
penanganannya.
Kompleksitas penanganan persampahan semakin meningkat seiring dengan
berkembangnya suatu kota, dalam hal ini sentralisasi kegiatan ekonomi maupun
meluasnya wilayah perkotaan.
Sentralisasi ini akan meningkatkan aktivitas ekonomi maupun meluasnya wilayah
perkotaan.sentralisasi ini akan meningkatkan aktivitas ekonomi, yang menarik
para pendatang lebih banyak dan menambah jumlah penduduk kota, sehingga
kota akan menghadapi problem volume dan jenis sampah yang semakin
meningkat. Perkembangan kota yang meluas akan menghadirkan tantangan
bagi Pemerintah Kota dalam menyelenggarakan pelayanan yang mampu
menjangkau seluruh lokasi permukiman secara efektif dan efisien.
Untuk kota-kota besar dan metropolitan, persoalan menjadi semakin serius bila
sudah menyentuh perencanaan lokasi bagi prasarana dan sarana pengolahan
sampah, berkait dengan kelangkaan tanah diperkotaan, penolakan warga
disekitar lokasi yang direncanakan, pembiayaan serta perlunya mekanisme
kerjasama antar kota. Berdasarkan data diatas diperkirakan kebutuhan lahan TPA
di Indonesia pada tahun 1995 adalah 675 Ha, dan meningkat menjadi 1.610 Ha
pada tahun 2020.
Berbeda dengan di daerah pedesaan dimana lahan yang tersedia masih luas dan
sampahnya kebanyakan bersifat degradable atau mudah terurai sehingga
persoalan sampah belum dipandang sebagai suatu problem, maka di perkotaan
masalah persampahan merupakan sebuah tantangan yang akan menentukan
sustainaibility lingkungan suatu kota. Kegagalan menangani problem
persampahan ini akan meningkatkan resiko warga kota berhadapan dengan
1
29. berbagai macam penyakit yang akan meningkatkan biaya sosisal untuk
kesehatan. Selain itu sampah yang dibuang ke sungai dan saluran pembuangan
berpotensi menimbulkan banjir. Kelompok pertama yang paling dirugikan adalah
masyarakat miskin. Alasan tersebut menyebabkan Pemerintah Kota berkewajiban
menyediakan sistem pengolahan sampah yang efektit, efisien dan terjangkau.
Dalam visi kota yang berkelanjutan, manajemen persampahan yang terintegrasi
akan mencakup klasifikasi limbah ke dalam organik dan non-organik, beracun
dan tidak beracun, limbah buangan, limbah daur ulang dan kompos, dengan
penekanan utama opersionalisasi prinsip-prinsip reduce, reuse, dan recycle (3R).
Pengomposan sudah banyak dilakukan atau banyak dibicarakan dan
direncanakan untuk dilakukan namun baru terlaksana dalam jumlah yang sangat
terbatas.
Di sisi lain dari manajemen sampah perkotaan, masyarakat telah melihat bahwa
TPA yang ada tidak dikelola dengan baik. Operasional TPA secara open dumping
masih dijalankan di hampir semua TPA di Indonesia. Disamping itu, masih terjadi
pembakaran sampah untuk mengurangi timbunan sampah, dan tidak
terkelolanya gas metan yang di hasilkan oleh timbunan sampah. Hal ini
sebenarnya sangat bertentangan dengan semangat Protokol Kyoto yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, dimana pengurangan gas metan menjadi
salah satu persyaratan . masalah lain yang timbul akibat pengelolaan TPA yang
tidak persyaratan diantaranya adalah timbulnya bau, menurunnya kualitas air
akibat pembuangan sampah ke sungai, merembesnya air lindi dari TPA ke air
tanah dangkal dan air permukaan, pencemaran udara serta merebaknya dioxin
yang bersifat karsinogen.
Kesadaran masyarakat akan kebersihan sudah baik, tetapi baru terbatas hanya
pada lingkungan kecil saja khususnya rumah. Rumah memang bebas dari
sampah tetapi sampah tersebut tidak dibuang pada tempatnya yang benar
seperti ke selokan, sungai, bahkan halaman kosong milik tetangga. Fenomena
peduli kebersihan dalam lingkungan sendiri semata yang tergambar dalam
fenomena NIMBY (Not In My Back Yard) sangat terasa disini.
Jaka dibandingkan dengan kesediaan membayar pelayanan air minum, maka
kesediaan membayar pengelolaan sampah relatif lebih rendah. Ini terjadi karena
masyarakat tidak mengetahui sebenarnya seperti apa pengelolaan sampah itu
berlangsung. Rendahnya tingkat pengorbanan masyarakat untuk memberikan
kontribusinya berbanding terbalik dengan jumlah timbunan sampah, karenanya
perlu dicari cara dan metoda yang tepat agar masyarakat tertarik dan mau
bertanggung jawab dalam memecahkan permasalahan sampah yang ada
disekitarnya salah satunya adalah dengan program pengelolaan sampah terpadu
berbasis masyarakat.
2. Pengertian
Pengelolaan Sampah Terpadu berbasis masyarakat adalah suatu pendekatan
pengelolaan sampah yang didasarkan pada kebutuhan dan permintaan
masyarakat, direncanakan, dilaksanakan (jika feasible), dikontrol dan dievaluasi
bersama masyarakat.
2
30. Dalam pengertian ini pemeran (penguasa, kekuatan) utama dalam pengelolaan
sampah adalah masyarakat. Bukan pemerintah atau lembaga lainnya seperti LSM
dan lain – lain. Pemerintah dan lembaga lainnya hanyalah sebagai motivator dan
fasilitator.
Fungsi motivator adalah memberikan dorongan agar masyarakat siap
memikirkan dan mencari jalan keluar terhadap persoalan sampah yang mereka
hadapi. Tetapi jika masyarakat belum siap, maka fungsi pemerintah atau
lembaga lain adalah menyiapkan terlebih dahulu. Misalnya dengan melakukan
pelatihan, study banding dan memperlihatkan contoh – contoh program yang
sukses dan lain – lain.
Fungsi fasilitator adalah memfasilitasi masyarakat untuk mencapai tujuan
pengelolaan sampah secara baik dan berkesinambungan. Jika masyarakat
mempunyai kelemahan dibidang teknik pemilahan dan pengomposan maka tugas
fasilitator adalah memberikan kemampuan masyarakat dengan berbagai cara
misalnya dengan memberikan pelatihan, begitu juga jika masyarakat lemah
dalam hal pendanaan, maka tugas fasilitator adalah membantu mencari jalan
keluar agar masyarakat mampu mendapat pendanaan yang dibutuhkan, tetapi
harus dilakukan secara hati – hati jangan sampai membuat masyarakat
tergantung.
3. Mengapa Berbasis Masyarakat
Produsen sampah utama adalah masyarakat, sehingga mereka harus
bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka produksi (poluters must pay).
Konsep penangan sampah yang baik adalah penanganan sampah yang dimulai di
sumber. Semakin dekat dengan sumbernya maka semakin besar rasa memiliki
(sense of belonging) dan rasa tanggung jawab orang untuk mengelola
sampahnya. Misalnya jika sampah desa A dibuang ke desa B, secara sosial pasti
akan ada penolakan oleh desa B, karena desa B tidak mempunyai sense of
belonging terhadap sampah dari desa A. Oleh karena itu lebih baik sampah desa
A dibuang dan dikelola sendiri oleh desa A.
Sumber sampah yang berasal dari masyarakat, sebaiknya dikelola oleh
masyarakat yang bersangkutan agar mereka bertanggung jawab terhadap
sampahya sendiri, karena jika dikelola oleh pihak lain biasanya mereka kurang
bertanggung jawab bahkan cenderung destruktif.
Intinya adalah bagaimana mengarahkan kekuatan masyarakat (social
capital) untuk memecahkan masalah sampah. Bukan untuk melawan
program pengelolaan sampah. Sebab tidak jarang ditemukan program
– program yang baik untuk masyarakat, karena tidak melibatkan
masyarakat dihalangi, ditolak dan dirusak sendiri oleh masyarakat.
Disamping itu kemampuan pemerintah baik dari sisi manajemen dan pendanaan
masih sangat terbatas, misalnya kemampuan pemda kabupaten Tangerang
dalam mengelola sampah hanya sebesar 30 persen. Jika tanggung jawab sampah
hanya diserahkan pada pemerintah maka mustahil permasalahan sampah dapat
terselesaikan secara baik dan berkelanjutan.
3
31. Berbasis masyarakat bukan berarti dalam pengoperasiannya selalu harus
dilakukan oleh masyarakat, tetapi boleh juga dilakukan oleh lembaga atau badan
profesional yang mampu dan diberi mandat oleh masyarakat. Yang penting
adalah apa yang layak dan realistis dilakukan untuk memecahkan masalah
sampah yang dihadapi oleh masyarakat trersebut. Misalnya kalau secara realistis
masyarakat tidak mampu dari sisi waktu dan manajemen untuk mengoperasikan
maka jangan diserahkan pengeoperasiannya pada masyarakat. Lebih baik
masyarakat didorong untuk mencari dan menunjuk lembaga profesional atau
perorangan yang mampu dan dipercaya untuk mengoperasikan.
4. Bagaimana Pelaksananaannya
Dalam pelaksanaannya, pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat
sangat beragam tergantung siapa yang mengambil inisistif, ditingkat mana kita
mulai dan siapa saja (stakeholders) yang dilibatkan.
Jika inisiatif datang dari LSM biasanya dimulai dari penentuan calon lokasi,
kemudian dilanjutkan dengan proses berikutnya. Namun jika inisiatif datang dari
pemerintah pusat, maka tahapannya tentu lebih panjang.
Misalnya, jika inisiatifnya datang dari pemerintah pusat biasanya, ada beberapa
tahapan yang biasa dilakukan antara lain: (1). Penentuan Calon Pemda
(longlist). (2). Sosialisasi dan promosi program kepada pemerintah daerah.
(3). Seleksi pemerintah daerah yang berminat (short list). (4). Penentuan calon
lokasi masyarakat (long list lokasi masyarakat), (5). Sosialisasi ke masyarakat,
(6). Seleksi masyarakat (short list masyarakat), (7). Pembentukan kelompok
masyarakat. (8) Pelatihan dan Penyusunan rencana kerja masyarakat. (9).
Pelaksanaan program, monitoring dan evaluasi program pada berbagai tingkatan
(ditingkat masyarakat, ditingkat pemda dan ditingkat nasional).
Penentuan calon pemda, biasanya didasarkan pada beberapa kriteria misalnya
urgensi persoalan sampah yang ada, kemampuan APBD serta kerjasama.
Sosialisasi kepada Pemda biasanya lebih ditekankan pada pemecahan masalah
persampahan yang ada dikota tersebut, serta memperkenalkan pendekatan
berbasis masyarakat, keuntungan dan kerugiannya, prosedur dan mekanisme
pendanaannya baik sumber maupun sistem pencairan dana. Disamping itu
diperkenalkan pula contoh – contoh praktek unggulan yang pernah dan sedang
dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan program berbasis masyarakat umumnya pemda terbentur
pada kepres no 80 atau yang sudah diperbaharui tentang sistem pengadaan
barang dan jasa pemerintah. Karena sampai saat ini belum ada pedoman umum
tentang pelaksanaan proyek yang berbasis masyarakat, terutama yang nilainya
diatas Rp 50 juta ke atas. Hal ini tentunya menjadi bahan diskusi dan pemikiran
semua pihak dimasa mendatang. Walaupun begitu, program – program
pembangunan yang berbasis masyarakat sudah banyak juga yang terlaksana,
misalnya saja program SANIMAS, sanitasi berbasis masyarakat.
Dalam seleksi pemda biasanya disusun suatu kriteria untuk menetapkan pemda
yang berhak ikut dalam program tersebut, biasanya dilihat dari urgensi,
4
32. permasalahan sampah yang dihadapi, kesediaan pemda untuk berkontribusi dan
keseriusan pemda untuk memecahkan masalah tersebut dan lain – lain.
Penentuan calon lokasi masyarakat biasanya ditentukan oleh pemda berdasarkan
pada kepadatan penduduk dan permasalahan sampah yang dihadapi, dan
kesediaan . Umumnya didaerah kumuh dan miskin.
Setelah ditentukan calon lokasi, maka beberapa pemimpin formal dan informal
dari calon lokasi tersebut diundang oleh pemda untuk diinformasikan tentang
rencana pemda dalam program penanganan sampah. Dalam kesempatan ini
diperkenalkan tentang kondisi persampahan yang ada. sistem penanganannya,
keuntungan dan kerugiannya, teknologi yang diterapkan, kriteria calon
masyarakat yang bisa ikut dalam program dan lain – lain.
Dalam seleksi masyarakat biasanya disusun suatu kriteria antara lain:
ketersediaan lahan untuk pengolahan sampah, adanya kelompok yang siap
bertanggung jawab, kesiapan masyarakat untuk berkontribusi (minimal pada
saat operasi dan maintenance) dan lain – lain.
Setelah masyarakat diseleksi maka dilakukan pembentukan kelompok yang
difasilitasi oleh fasilitator dari LSM dan atau Pemda. Ditetapkan pengurus (ketua,
sekretaris, bendahara) dan anggota, serta disusun anggaran dasar kelompok.
Didalam kelompok didiskusikan segala hal antara lain mengenai hak dan
kewajiban kelompok. Alternatif teknologi yang akan digunakan, alternatif
pengorganisasian, alternatif sumber dan pengelolaan keuangan, Alternatif
penyebaran informasi program dan lain – lain.
Semua hal yang didiskusikan didalam kelompok kemudian dituangkan dalam
rencana kerja kelompok masyarakat atau yang sering dikenal dengan rencana
kerja masyarakat.
Rencana kerja masyarakat biasanya terdiri dari DED (detail engineering desain),
RAB (rencana anggaran biaya) dan schedule pelaksanaan. Rencana kerja harus
disetujui dan ditandatangani oleh pihak pihak yang bekerjasama.
Setelah rencana kerja disusun maka dilaksanakan kegiatan konstruksi
pembangunan tempat pegolahan sampah terpadu (jika opsi ini dipilih). Sebagai
sarana pengurangan (reduce), penggunaan kembali (reuse) dan daur ulang
(recycleable).
Setelah dilaksanakan kontruksi dan pengoperasian maka dilakukan kontrol
(monitoring) dan evaluasi. Biasanya untuk 3 bulan pertama evaluasi dilakukan
secara intensif, minimal satu kali perminggu, namun setelah itu frekuensinya bisa
dikurangi bisa menjadi satu bulan sekali, tergantung pada kebutuhan lapangan.
Hal yang cukup penting dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah
melakukan survey kepuasan pengguna (user satisfactory survey), hal ini biasanya
dilakukan setahun sekali. Untuk melakukan survey dapat bekerjasama dengan
mahasiswa yang sedang dan akan membuat skripsi.
5
33. 5. Siapa saja yang dilibatkan
Program pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat perlu melibatkan
semua pihak yang terkait dan berkepentingan (stakeholders). Tetapi harus hati –
hati sebab jika terlalu banyak yang terlibat bisa terjadi lebih banyak diskusi
daripada bekerja. Perlu dilakukan analisa yang tepat mengenai fungsi dan peran
stakeholder.
Di Pemda perlu ada leading sektor yang bisa mengkoordinasikan dan memimpin
program.
Karena programnya berbasis masyarakat maka perlu ada fasilitator handal yang
mampu memfasilitasi baik secara teknik maupun sosial. Biasanya teman – teman
LSM mempunyai kemampuan dibidang ini.
6. Darimana Sumber Pembiayaannya
Sumber pembiayaan program pengelolaan sampah terpadu berasal dari patungan
(share) dari berbagai pihak terutama dari masyarakat dan pemerintah daerah.
Masyarakat biasanya hanya mapu berkontribusi antara 2 – 4 persen untuk
investasi, dan 100 persen pada tahap operasi dan perawatan. Selebihnya
merupakan dana pemda dan atau pemerintah pusat, swasta dan atau donor
(jika ada).
Program pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat merupakan sinergi
kekuatan dana dari pemerintah daerah dipadukan dengan kekuatan sosial
masyarakat (social capital) serta kekuatan teknologi dari para ahli (LSM,
Universitas, konsultan dll).
6
34. TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR
A. UMUM
1. Pengertian TPA
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai
tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber,
pengumpulan, pemindahan/pengangkutan, pengolahan dan pembuangan.
TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak
menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya. Karenanya diperlukan
penyediaan fasilitas dan perlakuan yang benar agar keamanan tersebut dapat
dicapai dengan baik.
Selama ini masih banyak persepsi keliru tentang TPA yang lebih sering dianggap
hanya merupakan tempat pembuangan sampah. Hal ini menyebabkan banyak
Pemerintah Daerah masih merasa saying untuk mengalokasikan pendanaan bagi
penyediaan fasilitas di TPA yang dirasakan kurang prioritas disbanding dengan
pembangunan sektor lainnya.
Di TPA, sampah masih mengalami proses penguraian secara alamiah dengan
jangka waktu panjang. Beberapa jenis sampah dapat terurai secara cepat,
sementara yang lain lebih lambat; bahkan ada beberapa jenis sampah yang tidak
berubah sampai puluhan tahun; misalnya plastik. Hal ini memberikan gambaran
bahwa setelah TPA selesai digunakanpun masih ada proses yang berlangsung
dan menghasilkan beberapa zat yang dapat mengganggu lingkungan. Karenanya
masih diperlukan pengawasan terhadap TPA yang telah ditutup.
2. Metoda Pembuangan Sampah
Pembuangan sampah mengenal beberapa metoda dalam pelaksanaannya yaitu:
a. Open Dumping
Open dumping atau pembuangan terbuka merupakan cara pembuangan
sederhana dimana sampah hanya dihamparkan pada suatu lokasi; dibiarkan
terbuka tanpa pengamanan dan ditinggalkan setelah lokasi tersebut penuh.
Masih ada Pemda yang menerapkan cara ini karena alasan keterbatasan
sumber daya (manusia, dana, dll).
Cara ini tidak direkomendasikan lagi mengingat banyaknya potensi
pencemaran lingkungan yang dapat ditimbulkannya seperti:
− Perkembangan vektor penyakit seperti lalat, tikus, dll
− Polusi udara oleh bau dan gas yang dihasilkan
− Polusi air akibat banyaknya lindi (cairan sampah) yang timbul
− Estetika lingkungan yang buruk karena pemandangan yang kotor
b. Control Landfill
Metoda ini merupakan peningkatan dari open dumping dimana secara
periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk
mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam
1
35. operasionalnya juga dilakukan perataan dan pemadatan sampah untuk
meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukaan TPA.
Di Indonesia, metode control landfill dianjurkan untuk diterapkan di kota
sedang dan kecil. Untuk dapat melaksanakan metoda ini diperlukan
penyediaan beberapa fasilitas diantaranya:
Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan
Saluran pengumpul lindi dan kolam penampungan
Pos pengendalian operasional
Fasilitas pengendalian gas metan
Alat berat
c. Sanitary Landfill
Metode ini merupakan metode standar yang dipakai secara internsional
dimana penutupan sampah dilakukan setiap hari sehingga potensi gangguan
yang timbul dapat diminimalkan. Namun demikian diperlukan penyediaan
prasarana dan sarana yang cukup mahal bagi penerapan metode ini sehingga
sampai saat ini baru dianjurkan untuk kota besar dan metropolitan.
3. Persyaratan Lokasi TPA
Mengingat besarnya potensi dalam menimbulkan gangguan terhadap lingkungan
maka pemilihan lokasi TPA harus dilakukan dengan seksama dan hati-hati. Hal ini
ditunjukkan dengan sangat rincinya persyaratan lokasi TPA seperti tercantum
dalam SNI tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir
Sampah; yang diantaranya dalam kriteria regional dicantumkan:
− Bukan daerah rawan geologi (daerah patahan, daerah rawan longsor, rawan
gempa, dll)
− Bukan daerah rawan hidrogeologis yaitu daerah dengan kondisi kedalaman
air tanah kurang dari 3 meter, jenis tanah mudah meresapkan air, dekat
dengan sumber air (dalam hal tidak terpenuhi harus dilakukan masukan
teknologi)
− Bukan daerah rawan topografis (kemiringan lahan lebih dari 20%)
− Bukan daerah rawan terhadap kegiatan penerbangan di Bandara (jarak
minimal 1,5 – 3 km)
− Bukan daerah/kawasan yang dilindungi
4. Jenis dan Fungsi Fasilitas TPA
Untuk dapat dioperasikan dengan baik maka TPA perlu dilengkapi dengan
prasarana dan sarana yang meliputi:
a. Prasarana Jalan
Prasarana dasar ini sangat menentukan keberhasilan pengoperasian TPA.
Semakin baik kondisi jalan ke TPA akan semakin lancar kegiatan
pengangkutan sehingga efisiensi keduanya menjadi tinggi.
Konstruksi jalan TPA cukup beragam disesuaikan dengan kondisi setempat
sehingga dikenal jalan TPA dengan konstruksi:
− Hotmix
− Beton
− Aspal
− Perkerasan situ
2
36. − Kayu
Dalam hal ini TPA perlu dilengkapi dengan:
− Jalan masuk/akses; yang menghubungkan TPA dengan jalan umum yang
telah tersedia
− Jalan penghubung; yang menghubungkan antara satu bagian dengan
bagian lain dalam wilayah TPA
− Jalan operasi/kerja; yang diperlukan oleh kendaraan pengangkut menuju
titik pembongkaran sampah
Pada TPA dengan luas dan kapasitas pembuangan yang terbatas biasanya
jalan penghubung dapat juga berfungsi sekaligus sebagai jalan kerja/operasi.
b. Prasarana Drainase
Drainase di TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan
dengan tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah.
Seperti diketahui, air hujan merupakan faktor utama terhadap debit lindi yang
dihasilkan. Semakin kecil rembesan air hujan yang masuk ke timbunan
sampah akan semakin kecil pula debit lindi yang dihasilkan yang pada
gilirannya akan memperkecil kebutuhan unit pengolahannya.
Secara teknis drainase TPA dimaksudkan untuk menahan aliran limpasan air
hujan dari luar TPA agar tidak masuk ke dalam area timbunan sampah.
Drainase penahan ini umumnya dibangun di sekeliling blok atau zona
penimbunan. Selain itu, untuk lahan yang telah ditutup tanah, drainase TPA
juga dapat berfungsi sebagai penangkap aliran limpasan air hujan yang jatuh
di atas timbunan sampah tersebut. Untuk itu permukaan tanah penutup
harus dijaga kemiringannya mengarah pada saluran drainase.
c. Fasilitas Penerimaan
Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat pemeriksaan sampah yang
datang, pencatatan data, dan pengaturan kedatangan truk sampah. Pada
umumnya fasilitas ini dibangun berupa pos pengendali di pintu masuk TPA.
Pada TPA besar dimana kapasitas pembuangan telah melampaui 50 ton/hari
maka dianjurkan penggunaan jembatan timbang untuk efisiensi dan
ketepatan pendataan. Sementara TPA kecil bahkan dapat memanfaatkan pos
tersebut sekaligus sebagai kantor TPA sederhana dimana kegiatan
administrasi ringan dapat dijalankan.
d. Lapisan Kedap Air
Lapisan kedap air berfungsi untuk mencegah rembesan air lindi yang
terbentuk di dasar TPA ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Untuk itu
lapisan ini harus dibentuk di seluruh permukaan dalam TPA baik dasar
maupun dinding.
Bila tersedia di tempat, tanah lempung setebal + 50 cm merupakan alternatif
yang baik sebagai lapisan kedap air. Namun bila tidak dimungkinkan, dapat
diganti dengan lapisan sintetis lainnya dengan konsekuensi biaya yang relatif
tinggi.
3
37. e. Fasilitas Pengamanan Gas
Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbon dioksida dan metan
dengan komposisi hampir sama; disamping gas-gas lain yang sangat sedikit
jumlahnya. Kedua gas tersebut memiliki potensi besar dalam proses
pemanasan global terutama gas metan; karenanya perlu dilakukan
pengendalian agar gas tersebut tidak dibiarkan lepas bebas ke atmosfer.
Untuk itu perlu dipasang pipa-pipa ventilasi agar gas dapat keluar dari
timbunan sampah pada titik-titik tertentu. Untuk ini perlu diperhatikan
kualitas dan kondisi tanah penutup TPA. Tanah penutup yang porous atau
banyak memiliki rekahan akan menyebabkan gas lebih mudah lepas ke udara
bebas. Pengolahan gas metan dengan cara pembakaran sederhana dapat
menurunkan potensinya dalam pemanasan global.
f. Fasilitas Pengamanan Lindi
Lindi merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang
melarutkan banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan
pencemar khususnya zat organik sangat tinggi. Lindi sangat berpotensi
menyebabkan pencemaran air baik air tanah maupun permukaan sehingga
perlu ditangani dengan baik.
Tahap pertama pengamanan adalah dengan membuat fasilitas pengumpul
lindi yang dapat terbuat dari: perpipaan berlubang-lubang, saluran
pengumpul maupun pengaturan kemiringan dasar TPA; sehingga lindi secara
otomatis begitu mencapai dasar TPA akan bergerak sesuai kemiringan yang
ada mengarah pada titik pengumpulan yang disediakan.
Tempat pengumpulan lindi umumnya berupa kolam penampung yang
ukurannya dihitung berdasarkan debit lindi dan kemampuan unit
pengolahannya. Aliran lindi ke dan dari kolam pengumpul secara gravitasi
sangat menguntungkan; namun bila topografi TPA tidak memungkinkan,
dapat dilakukan dengan cara pemompaan.
Pengolahan lindi dapat menerapkan beberapa metode diantaranya:
penguapan/evaporasi terutama untuk daerah dengan kondisi iklim kering,
sirkulasi lindi ke dalam timbunan TPA untuk menurunkan baik kuantitas
maupun kualitas pencemarnya, atau pengolahan biologis seperti halnya
pengolahan air limbah.
g. Alat Berat
Alat berat yang sering digunakan di TPA umumnya berupa: bulldozer,
excavator dan loader. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik
yang berbeda dalam operasionalnya.
Bulldozer sangat efisien dalam operasi perataan dan pemadatan tetapi
kurang dalam kemampuan penggalian. Excavator sangat efisien dalam
operasi penggalian tetapi kurang dalam perataan sampah. Sementara loader
sangat efisien dalam pemindahan baik tanah maupun sampah tetapi kurang
dalam kemampuan pemadatan.
Untuk TPA kecil disarankan dapat memiliki bulldozer atau excavator,
sementara TPA yang besar umumnya memiliki ketiga jenis alat berat
tersebut.
4
38. h. Penghijauan
Penghijauan lahan TPA diperlukan untuk beberapa maksud diantaranya
adalah: peningkatan estetika lingkungan, sebagai buffer zone untuk
pencegahan bau dan lalat yang berlebihan. Untuk itu perencancaan daerah
penghijauan ini perlu mempertimbangkan letak dan jarak kegiatan
masyarakat di sekitarnya (permukiman, jalan raya, dll)
i. Fasilitas Penunjang
Beberapa fasilitas penunjang masih diperlukan untuk membantu
pengoperasian TPA yang baik diantaranya: pemadam kebakaran, mesin
pengasap (mist blower), kesehatan/keselamatan kerja, toilet, dan lain lain.
B. TEKNIS OPERASIONAL TPA
1. Persiapan Lahan TPA
Sebelum lahan TPA diisi dengan sampah maka perlu dilakukan penyiapan lahan
agar kegiatan pembuangan berikutnya dapat berjalan dengan lancar. Beberapa
kegiatan penyiapan lahan tersebut akan meliputi:
− Penutupan lapisan kedap air dengan lapisan tanah setempat yang
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerusakan atas lapisan tersebut
akibat operasi alat berat di atasnya. Umumnya diperlukan lapisan tanah
setebal 50 cm yang dipadatkan di atas lapisan kedap air tersebut.
− Persediaan tanah penutup perlu disiapkan di dekat lahan yang akan
dioperasikan untuk membantu kelancaran penutupan sampah; terutama bila
operasional dilakukan secara sanitary landfill. Pelatakan tanah harus
memperhatikan kemampuan operasi alat berat yang ada.
2. Tahapan Operasi Pembuangan
Kegiatan operasi pembuangan sampah secara berurutan akan meliputi:
a. Penerimaan sampah di pos pengendalian; dimana sampah diperiksa, dicatat
dan diberi informasi mengenai lokasi pembongkaran.
b. Pengangkutan sampah dari pos penerimaan ke lokasi sel yang dioperasikan;
dilakukan sesuai rute yang diperintahkan.
c. Pembongkaran sampah dilakukan di titik bongkar yang telah ditentukan
dengan manuver kendaraan sesuai petunjuk pengawas.
d. Perataan sampah oleh alat berat yang dilakukan lapis demi lapis agar tercapai
kepadatan optimum yang diinginkan. Dengan proses pemadatan yang baik
dapat diharapkan kepadatan sampah meningkat hampir dua kali lipat.
e. Pemadatan sampah oleh alat berat untuk mendapatkan timbunan sampah
yang cukup padat sehingga stabilitas permukaannya dapat diharapkan untuk
menyangga lapisan berikutnya.
f. Penutupan sampah dengan tanah untuk mendapatkan kondisi operasi control
atau sanitary landfill.
5