SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  150
Télécharger pour lire hors ligne
UNDP BAPPENAS DSF
Pemekaran Daerah
dan
Kesejahteraan Rakyat
Mencari Jalan Alternatif
2 0 0 9
Pemekaran Daerah dan Kesejahteraan Rakyat:
Mencari Jalan Alternatif
Sebuah laporan studi oleh Harry Seldadyo
dengan dukungan
Deli Sopian, Denny Julian, Retno Handini,
Rullan Rinaldi, dan Wahyudi Romdhani.
BRIDGE Project
UNDP-BAPPENAS
Jl. Ki Mangunsarkoro 21
Menteng, Jakarta Pusat 10310
Indonesia
Telp : 6221 391 7284, 391 8554, 3193 5361
Fax : 6221 315 3461
Seri Publikasi BRIDGE Project—Juni 2009
c 2009 ISBN: 978-979-17554-2-9
Pernyataan: Analisis dan rekomendasi laporan ini bukan merupakan pandangan res-
mi BAPPENAS, UNDP, maupun DSF. Laporan dengan dukungan DSF ini disusun
melalui BRIDGE yang merupakan proyek pengembangan kapasitas tata pemerintahan
yang dikembangkan oleh BAPPENAS dan UNDP.
Kata Pengantar
Undang-Undang (UU) 22-1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi men-
jadi UU 32-2004 dan Peraturan Pemerintah (PP) 129-2000 tentang Tata Cara
Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang kemudian direvisi
menjadi PP 78-2007 merupakan landasan kebijakan yang memberi peluang bagi
pembentukan daerah otonom baru (DOB), atau lazim dikenal sebagai pemekaran
daerah. Pemekaran daerah sendiri bertujuan adalah untuk memeratakan pem-
bangunan, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan kese-
jahteraan masyarakat. Sejak 1999 hingga Februari 2009 telah terbentuk 205
DOB, yang terdiri dari tujuh provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Mencermati
laju pembentukan DOB yang relatif tinggi ini, pemerintah telah melakukan be-
berapa upaya pengendalian, di antaranya melalui moratorium atau penghentian
sementara proses pembentukan DOB, serta penyempurnaan peraturan perundang-
undangan tentang persyaratan dan tatacara pembentukan DOB, antara lain de-
ngan merevisi PP Nomor 129 Tahun 2000 menjadi PP Nomor 78 Tahun 2007.
Upaya pengendalian tersebut perlu dibarengi dengan upaya untuk mencari berba-
gai terobosan dan inovasi dalam peningkatan kualitas pelayanan publik dan kese-
jahteraan masyarakat yang menjadi tujuan pemekaran daerah itu sendiri, selain
melalui pemekaraan daerah. Salah satunya adalah dengan melakukan suatu ka-
jian alternatif pemekaran daerah seperti yang hasilnya disajikan dalam buku ini.
Evaluasi-evaluasi terdahulu mengenai dampak pemekaran daerah (Bappe-
nas, 2005 dan 2007; Departemen Dalam Negeri, 2005; dan Lembaga Administrasi
Negara, 2006), secara umum menyimpulkan bahwa pemekaran daerah belum me-
nunjukkan hasil yang optimal, baik dalam bidang ekonomi, keuangan daerah,
aparatur pemerintahan, maupun pelayanan publik. Studi ini, melalui serangkai-
an pengujian dan perbandingan empirik kinerja pembangunan DOB, memberi
konfirmasi bahwa kebijakan pemekaran daerah memang belum menghasilkan ak-
selerasi pembangunan yang signifikan, utamnya jika dibandingkan dengan ca-
paian daerah lain yang tidak mengambil opsi pemekaran. Hasil analisis juga
menunjukkan bahwa pemekaran bukanlah sebuah langkah yang efektif untuk
mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah. Selain itu, studi juga mengi-
dentifikasi isu-isu strategis dalam pembangunan daerah selama ini yang perlu
dipertimbangkan dalam pembangunan daerah ke depan. Mengacu pada isu-isu
strategis itu, studi ini merekomendasikan langkah-langkah alternatif atas wacana
pemekaran yang selama ini mendominasi kebijakan desentralisasi di Indonesia.
Ditilik dari lingkupnya, seluruh rekomendasi itu terbagi ke dalam tiga kelompok
yang sekaligus juga mencerminkan aktor-aktor mana yang dapat mengambil ini-
siatif atas setiap alternatif itu, yakni alternatif untuk tingkat kabupaten/kota,
lintas wilayah (alternatif kebijakan yang dapat dijalankan melalui peran provin-
si), dan pemerintah pusat.
Sebagaimana lazimnya sebuah studi, kajian ini memiliki beberapa keter-
batasan baik dalam hal data, asumsi-asumsi yang digunakan, maupun ruang
lingkup yang tidak memasukkan aspek politik (yang sering menjadi pertimbang-
an utama dalam pembentukan daerah otonom baru). Hasil studi ini juga belum
cukup mendalam untuk menguji beberapa usulan alternatif yang direkomen-
dasikan, sehingga ke depan masih dibutuhkan konfirmasi lebih lanjut atas usulan-
usulan itu. Namun demikian, sebagai bagian dari background study penyusunan
RPJMN 2010-2014, hasil studi ini tentunya menjadi salah satu masukan penting
bagi pemerintah, khususnya Bappenas, dalam rangka penyusunan arah kebijakan
dan program-program bidang desentralisasi dan otonomi daerah dalam RPJMN
2010-2014. Laporan studi ini dapat digunakan sebagai referensi yang menyajikan
wacana tambahan dalam pencarian alternatif bagi kebijakan pemekaran daerah
pada khususnya dan wacana pembangunan daerah pada umumnya.
Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kerjasama dari berba-
gai pihak yang telah memungkinkan terlaksananya studi ini dengan baik. Di
antaranya adalah United Nations Development Programme (UNDP) melalui pro-
gram Building and Reinventing Decentralized Governance (BRIDGE), Decentra-
lization Support Facility (DSF), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, De-
partemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Badan Pusat Statistik, peme-
rintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, serta pihak-pihak lain yang
telah berpartisipasi dalam studi ini. Kami juga mengharapkan masukan, kritik
maupun saran guna penyempurnaan laporan pelaksanaan studi ini.
Jakarta, 22 Juni 2009
Direktur Otonomi Daerah, Bappenas/
National Project Director Program BRIDGE,
Dr. Ir. Himawan Hariyoga, M.Sc.
Daftar Isi
Bab 1 Pemekaran Daerah Selayang Pandang . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
• Peta Umum Pemekaran 2
• Motif Pemekaran 7
• Konsekuensi Pemekaran 11
• Capaian Daerah 20
Bab 2 Membandingkan Capaian Daerah . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23
• Pemilihan Indikator 23
• Kesejahteraan Umum 25
• Pendidikan 26
• Kesehatan 27
• Infrastruktur 29
• Analisis “Counter-Factual” 34
Bab 3 Apa yang Menentukan Capaian Daerah? . . . . . . . . . . . . . . . . . . 43
• Determinan Capaian 43
• Kesejahteraan Umum 44
• Pendidikan 49
• Kesehatan 51
• Infrastruktur 53
Bab 4 Menemukan Kembali Pembangunan Daerah . . . . . . . . . . . . . . . . . . 57
• Mencari Alternatif Kebijakan:
Kerangka Dasar 57
• Lingkup Kabupaten-Kota
Revitalisasi Perencanaan Daerah 60
Penguatan Wilayah Kecamatan 64
Temu-Ulang Kebijakan Antikemiskinan 67
• Lingkup Antardaerah
Kompetisi Antardaerah 73
Kerjasama Antardaerah 76
• Lingkup Makro
Perimbangan Geografi Kependudukan 83
Teknokrasi Pembangunan 85
Penataan Pembentukan Yurisdiksi 86
Bab 5 Epilog . . . . . . . . . . . . . . . . . . 91
Lampiran Teknis . . . . . . . . . . . . . . . . . . 103
• Metode Evaluasi 103
• Mencari Kesebandingan Amatan 104
• Membandingkan Capaian 108
• Determinan Capaian Sosial-Ekonomi 110
• Model Spasial IPM 118
Daftar Tabel
Tabel 1.1.
Produksi Undang-Undang oleh DPR-RI 1999-2008 . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
Tabel 1.2.
Geografi Administrasi per Kabupaten-kota 1999-2006 . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
Tabel 2.1.
Indeks Pembangunan Manusia . . . . . . . . . . . . . . . . . . 30
Tabel 2.2.
Lama Sekolah dan Partisipasi Sekolah . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31
Tabel 2.3.
Vaksinasi dan Persalinan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32
Tabel 2.4.
Pembangunan Jalan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
Tabel 2.5.
IPM: “Counter-Factual Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 36
Tabel 2.6.
Partisipasi Sekolah: “Counter-Factual Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 38
Tabel 2.7.
Vaksinasi Bayi: “Counter-Factual Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39
Tabel 2.8.
Pembangunan Jalan: “Counter-Factual Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40
Daftar Gambar
Gambar 1.1.
Perkembangan Jumlah Kabupaten-Kota . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
Gambar 1.2.
Peta Daerah Pemekaran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
Gambar 1.3.
Implikasi Fiskal Pemekaran Daerah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
Gambar 3.1.
IPM dan Kemiskinan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 47
Gambar 3.2.
Partisipasi Sekolah dan Teknokrasi Fiskal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51
Gambar 3.3.
Vaksinasi Bayi dan Infrastruktur Kesehatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 54
Gambar 4.1.
Hubungan Spasial dalam IPM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 80
Gambar Lampiran Teknis 1.
Sebaran “Propensity Score” . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 107
Daftar Tabel Lampiran Teknis
Tabel Lampiran Teknis 1
Rentang Kendali: Hasil “Factor Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 105
Tabel Lampiran Teknis 2
Fungsi Probit Pembentukan Daerah Otonomi Baru . . . . . . . . . . . . . . . . . . 107
Tabel Lampiran Teknis 3
Blok Optimal dan Uji Keseimbangan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 109
Tabel Lampiran Teknis 4A
Determinan Indeks Pembangunan Manusia . . . . . . . . . . . . . . . . . . 113
Tabel Lampiran Teknis 4B
Determinan Indeks Pembangunan Manusia . . . . . . . . . . . . . . . . . . 114
Tabel Lampiran Teknis 5
Determinan Partisipasi Sekolah . . . . . . . . . . . . . . . . . . 115
Tabel Lampiran Teknis 6
Determinan Vaksinasi Bayi . . . . . . . . . . . . . . . . . . 116
Tabel Lampiran Teknis 7
Determinan Panjang Jalan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 117
Tabel Lampiran Teknis 8
Model Spasial IPM . . . . . . . . . . . . . . . . . . 118
Daftar Tabel Lampiran
Tabel Lampiran A.1
Penyusun IPM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 122
Tabel Lampiran A.2
Partisipasi Kasar SD, SMP, dan SMA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 123
Tabel Lampiran A.3
Partisipasi Murni SD, SMP, dan SMA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 124
Tabel Lampiran A.4
Ujian Nasional SD, SMP, dan SMA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 125
Tabel Lampiran A.5
Vaksinasi Bayi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 126
Tabel Lampiran B
Deskripsi Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 130
Sekapur Sirih dari M21
Laporan ini disusun di tengah hiruk-pikuk pemekaran daerah, di tengah pro dan
kontra apakah pemekaran merupakan langkah jitu untuk mencapai kesejahteraan
rakyat. Di dalam laporan ini seluruh pemangku kepentingan diajak untuk meli-
hat fakta-fakta yang ada tentang pemekaran, sebelum diajak untuk menimang-
nimang jalan apa yang bisa ditempuh mengatasi soal-soal yang masih tersisa.
Sudah barang tentu, gagasan-gagasan yang disampaikan di sini terbuka untuk
dipilih, dipilah, bahkan dinegasikan.
Jika laporan ini berbentuk seperti sekarang ini, jelas ia bukan merupakan
hasil kerja satu orang. Boleh disebut, laporan ini adalah resultante dari begitu
banyak helping hands —termasuk tentu, critical comments. Dari Jl. Mangun-
sarkoro 21 —‘M21’, begitu kami menyebutnya— kami ingin menulis sebuah daf-
tar panjang untuk nama-nama yang telah begitu berjasa. Di ‘lingkaran dalam’
ada Daan Pattinasarany, Jana Ferdinandus Hertz, dan Erita Nurhalim dari DSF
dengan segala support dan komentar yang mencerahkan. Juga ada Antonius
Tarigan, Daryll Ichwan Akmal, Taufiq H. Putra, dan —sudah barang tentu— Hi-
mawan Hariyoga dari Direktorat Otonomi Daerah Bappenas yang menyediakan
ruang dan masa interaksi produktif selama studi ini berlangsung. Tidak keting-
galan, Rizal Malik, Sofian Effendi, Leonard Simanjuntak, dan Budiati Prase-
tiamartati dari Governance Unit UNDP yang bersedia membuka diskusi-diskusi
menarik dan inspiring. Dari lingkaran yang lebih dalam lagi, ada kawan-kawan
di M21 —Brasukra Sudjana, Mellyana Frederika, Loui Thenu, Ari Prasutyawan,
dan Putri Maharani— yang harus ikut menanggung ‘dampak pemekaran’ untuk
menyiapkan rangkaian lokakarya bagi studi ini.
Daftar terima kasih ini akan lebih panjang lagi mengingat masih ada sederet
nama yang telah mengalokasikan waktu dan membagi pikiran dalam rapat-rapat
dan serial workshops yang diselenggarakan Hotel Cempaka, kantor Bappenas,
kantor UNDP, Wisma Bakrie, dan Hotel Bintang. Mereka yang telah berbaik
hati itu adalah Abdul Fattah (Dit. Penataan Daerah dan Otonomi Khusus, De-
pdagri), Adi Suryanto (LAN), Agung Djojosoekarto (Partnership), Anang Budi
Gunawan (Dit. Pembangunan Wilayah Bappenas), Aswicaksana (Dit. Tata Ru-
ang dan Pertanahan, Bappenas), Awan Diga A. (BAPPENAS), Bambang Juanda
(Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB), Bastian (Bappenas), Budi
Harsoyo (BAKD), Cecep Effendi (ASSD-GLG), Christian Dwi Prasetijaningsih
(Dit. Perkotaan dan Perdesaan, Bappenas), Cucu Suryaman (Kemitraan), En-
dang Turyana (YIPD), Endi Jaweng (KPPOD), Endi Rukmo (YIPD), Ervan
A. (Dit. Otda BAPPENAS), Fadhilla Izzaty (IPB), Frans H. (Ditjen PUM,
Depdagri), Guritno Soerjodibroto (GTZ), Hamka (Program Studi Manajemen
Kebijakan Pelayanan, STIA-LAN), Hasa (IGOR), Ig. Sigit Murwito (KPPOD),
Jayadi (BAPPENAS), J. Endi Rukmo (YIPD), Kadek Arta (LPEM-UI), Khairul
Rizal (Dit. TRP BAPPENAS), Kresnandi (Dana Perimbangan, Ditjen PK), La
Ode Ida (DPD), Mangara Tambunan (CESS), M. Badaruddin dan Agus Purnomo
(DPR RI), Maulina Cahyaningrum (DSF), Muh. Handry Irmansyah (ADB TA
7010-Preparation of Local Government Finance and Governance Reform), Niken
L. Wardhani (Programme Manager, Sub-National Governance), Novi Anggriani
(YIPD), Petang Sumarsono (Direktur Transportasi), Pheni Chalid (UNDP- Par-
liamentary Support Programme), Koswara Kertapradja (Program Doktor Ilmu
Manajemen Pemerintahan Universitas Satyagama), Rinaldi Rustam (Program
Studi Ekonomi Pembangunan FE Usakti), Raksaka Mahi (Ketua Program Magis-
ter Perencanaan dan Kebijakan Publik FE-UI), Robert S. H (Direktur Politik dan
Komunikasi), Rudy (Kemitraan), Saleh Thalib (Direktorat Pengembangan Kap-
asitas dan Evaluasi Kinerja Daerah, Ditjen Otda), Samsul Widodo (Direktorat
Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal), Sowwam (Direktorat Otonomi Daer-
ah), Suahasil Nazara (Kepala Lembaga Demografi FE-UI), Suharso Monoarfa
(Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI), Sukarso (Dit. Otda BAPPENAS), Sul-
ton Mawardi (SMERU Research Institute), Sumedi Andono Mulyo (Direktorat
Pengembangan Wilayah BAPPENAS) , Talitha Fauzia C. (Bappenas), Ubai-
di Socheh Hamidi (Sub-Direktorat DAK, Direktorat Dana Perimbangan, Ditjen
PK), Wildan Risanjaya (RED-GTZ), Yusman Syaukat (Program Magister Pem-
bangunan Daerah SPS IPB), dan Yusrizal Anur (Subdit Pembangunan Penataan
Daerah).
Kendati begitu banyak nama berada di belakangnya dan kendati tiga agen
pembangunan —UNDP, Bappenas, dan DSF— secara manajerial menaunginya,
laporan ini sama sekali tidak mencerminkan standing position orang-orang dan
lembaga-lembaga ini, apalagi untuk menyatakan ‘resmi mewakilinya’. Sepenuh-
nya, tanggung jawab substansial dan akademik ada di pundak penyusunnya.
Last but not least, tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan laporan
ini.
Jakarta, April 2009
Tim Penyusun
Ringkasan
Pemekaran yurisdiksi nyaris mendominasi wacana desentralisasi Indonesia secara
keseluruhan. Issu ini menggelinding dari satu titik ke titik lain, dari provinsi
hingga desa, dari Daerah ke Pusat, dan dari Pusat ke Daerah. Namun demikian,
sejumlah studi meragukan apakah pemekaran yurisdiksi telah mencapai tujuan-
nya untuk membangun kesejahteraan rakyat. Keraguan ini mendapat konfirmasi
empirik dalam Laporan ini. Pendekatan quasi experimental dan counter factual
analysis yang dikembangkan dalam studi ini menemukan bahwa pembentukan
yurisdiksi baru bukan merupakan jalan efektif ke arah pencapaian kesejahteraan
rakyat. Jika pemekaran bukan merupakan jalan efektif menuju kesejahteraan,
opsi alternatif apa yang bisa ditempuh agar kesejahteraan rakyat lebih efektif
tercapai?
Laporan ini merekomendasikan satu gugus kebijakan yang disebut reinvent-
ing regional development sebagai kebijakan alternatif. Kebijakan ini bersifat out-
ward looking karena ia lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik dari-
pada inward looking yang berorientasi melulu pada urusan-urusan administratif
yurisdiksi. ‘Temu ulang pembangunan daerah’ ini terbagi ke dalam tiga tingkatan
kebijakan: mikro, meso, dan makro. Di tingkat mikro kebijakan ini terbagi ke
dalam (1) kebijakan pembangunan manusia dengan konsentrasi pada persoalan
kemiskinan yang dikaitkan dengan pendidikan dan kesehatan, serta (2) kebijakan
pembangunan wilayah dengan konsentrasi pada pembangunan wilayah-wilayah
tertinggal dan distribusi fungsi wilayah. Di tingkat meso direkomendasikan kebi-
jakan penguatan hubungan antardaerah dengan basis kerjasama dan kompetisi.
Sementara itu, di tingkat makro diusulkan untuk membentuk kebijakan restruk-
turisasi daerah untuk menurunkan ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Bab 1
Pemekaran Daerah
Selayang Pandang
Pergantian regim politik-administrasi dari sentralisasi menjadi desentralisasi tidak
menjadikan persoalan-persoalan yang dihadapi Daerah terselesaikan dengan sen-
dirinya. Di tingkat daerah sejumlah kemajuan dapat dicatat, tetapi beberapa
issu masih persisten dan tersisa hingga masa kini (Hill et al., 2008 dan 2009;
del Granado, 2009). Pada saat yang bersamaan, meski membangkitkan banyak
harapan, desentralisasi juga melahirkan beberapa issu serius baru yang menyita
perhatian.
Salah satu di antara yang paling fenomenal sejak desentralisasi digulirkan
ialah pembentukan daerah baru, atau lazim dikenal sebagai pemekaran daerah,
khususnya pembentukan yurisdiksi tingkat kabupaten-kota. Pemekaran menjadi
fenomenal karena ini merupakan sebuah big bang —sebuah fenomena pemben-
tukan yurisdiksi terbesar dalam 30 tahun terakhir. Dinamika sosio-politik yang
menyertainya juga terhitung fenomenal. Mobilisasi massa, lobby politik, hing-
ga konflik terbuka mengiringi gerak usulan pemekaran daerah. Saat ini wacana
desentralisasi Indonesia bahkan hampir didominasi oleh wacana pembentukan
daerah baru. Issu-issu lain di seputar desentralisasi seolah-olah hanya merupakan
wacana turunan dari wacana pokoknya: pemekaran daerah.
Di dalam situasi seperti ini, pertanyaannya yang penting dikemukakan
adalah apakah tindakan politik-administrasi berupa pemekaran daerah itu mam-
pu mencapai tujuan pokoknya, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
Apakah pembentukan yurisdiksi baru merupakan jalan efektif untuk mengatasi
persoalan-persoalan yang bersifat persisten? Atau, adakah alternatif lain yang
lebih efektif?
Laporan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Menyajikan
gambaran mengenai kinerja daerah-daerah pemekaran yang terbentuk sejak de-
sentralisasi digulirkan, laporan ini menemukan bahwa tindakan politik-adminis-
1
2
trasi seperti pemekaran daerah bukan merupakan jaminan bagi pencapaian ke-
sejahteraan rakyat. Oleh karenanya, dibutuhkan upaya-upaya yang langsung
bergerak ke arah jantung persoalan pembangunan daerah. Pembangunan daerah
perlu ‘ditemukan ulang’ agar ia tidak melulu didominasi oleh issu-issu politik-
administrasi, dan agar ia dikembalikan pada tujuan pokok desentralisasi. ‘Temu-
ulang pembangunan daerah’ (reinventing regional development) mengembalikan
orientasi pembangunan daerah dari inward looking yang terkonsentrasi pada issu-
issu politik-administrasi, ke arah outward looking yang langsung ke arah issu-issu
perbaikan kesejahteraan rakyat.
Peta Umum Pemekaran
Secara khusus, laporan ini akan mencermati fenomena yang terjadi di lingkup
kabupaten-kota. Ada beberapa alasan mengapa kabupaten-kota mendapat per-
hatian dalam laporan ini. Pertama, yurisdiksi di lingkup ini adalah titik tumpu
desentralisasi dan otonomi daerah Indonesia. Di lingkup kabupaten-kota inilah
status ‘otonomi penuh’ diberikan —sementara di lingkup provinsi diberikan sta-
tus ‘otonomi terbatas’ (Rasyid, 2007).1 Kedua, fenomena pembentukan daerah
otonomi baru juga paling banyak ditemui di lingkup kabupaten-kota daripada di
lingkup provinsi. Hal ini kemudian mengubah total peta geografi administrasi In-
donesia jika dua masa —pradesentralisasi dan saat desentralisasi— dibandingkan.
Ketiga, perubahan geografi administrasi kabupaten-kota telah pula mengubah
arsitektur fiskal secara keseluruhan. Hill et al (2009) mengemukakan peneri-
maan pemerintah kabupaten-kota telah meningkat 300 persen sejak desentrali-
sasi digulirkan. Oleh del Granado (2009) fenomena ini dnyatakan sebagai big
bang desentralisasi fiskal. Bagaimana perubahan landscape geografi administrasi
kabupaten-kota itu terjadi dan dinamika apa yang menyertainya didiskusikan di
bagian berikut.
Kabupaten-Kota Lintas Waktu
Dalam lintasan sejarah politik-administrasi Indonesia, pembentukan yurisdik-
si lingkup kabupaten-kota sesungguhnya bukan hal baru. Yurisdiksi-yurisdiksi
1
‘Otonomi penuh’ merujuk pada absennya operasi Pemerintah Pusat di kabupaten-kota, ke-
cuali melalui sejumlah urusan yang diatur undang-undang. Sementara itu, ‘otonomi terbatas’
mengacu pada peluang yang terbuka bagi operasi Pemerintah Pusat di provinsi. Lihat Ryaas
Rasyid. 2007. ‘Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya.’ dalam Syamsuddin Har-
ris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas
Pemerintah Daerah. LIPI Press.
3
lingkup kabupaten-kota —bahkan juga provinsi2— yang ada sekarang ini pa-
da hakekatnya adalah juga hasil pemekaran dari yurisdiksi-yurisdiksi awal yang
dibentuk saat Republik Indonesia diproklamasikan tahun 1945. Ini berarti apa
yang mengemuka dalam 10 tahun terakhir ini dapat dikatakan sebagai fenomena
lama yang muncul kembali.
Gambar 1.1 menampilkan dinamika tahunan pembentukan yurisdiksi kabu-
paten-kota sejak 1950. Terlihat jelas lompatan-lompatan yang relatif besar dalam
jumlah kabupaten-kota hanya terjadi di dua sub-periode, yaitu masa-masa se-
belum Dekrit Presiden 1959 dan masa-masa setelah reformasi sistem politik dan
desentralisasi sistem administrasi 1999. Penggal waktu di antara dua periode ini
adalah masa-masa hampir nihil pembentukan kabupaten-kota.3
Dalam 10 tahun pertama sejak kemerdekaan, jumlah kabupaten-kota di In-
donesia terhitung baru sekitar 101 yurisdiksi. Antara tahun 1956-1959, jumlah
ini cepat membesar dari 149 (1956), 177 (1958), ke 254 kabupaten-kota (1959).
Tetapi sejak tahun 1960 hingga 33 tahun kemudian, kecepatan pertambahan jum-
lah kabupaten-kota praktis rendah. Tahun 1966, misalnya, hanya dibentuk enam
kabupaten-kota baru, sehingga secara keseluruhan ada 260 kabupaten-kota yang
mewarnai landscape administrasi Indonesia. Jumlah ini bertambah sembilan unit
saja untuk menjadi 269 kabupaten-kota di tahun 1970, lalu meningkat enam unit
2
Berbeda dengan yang terjadi di lingkup kabupaten-kota, di lingkup provinsi pemekaran
bergerak dengan laju yang lebih lamban. Dimulai dari enam provinsi di masa-masa awal ke-
merdekaan, hingga awal Pelita I ada tambahan 20 provinsi baru. Kemudian tercatat 27 provinsi
di era Orde Baru manakala Timor Timur masuk ke dalam wilayah Indonesia. Sebelum sam-
pai pada formasi 33 provinsi, dua keadaan menandai fenemona yurisdiksi provinsi. Pertama,
pemisahan (secession) satu provinsi untuk menjadi negara baru: Timor Timur. Kedua, pem-
bentukan tujuh provinsi baru: Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Banten, Sulawesi Barat,
Gorontalo, Maluku Utara, dan Papua Barat. Ketiga, pembatalan pembentukan satu provinsi
pemekaran: Irian Jaya Tengah. Melalui perubahan ini formasi total provinsi Indonesia kini ter-
diri dari 10 provinsi di Sumatera dengan satu daerah khusus (Aceh), enam di Jawa dengan dua
daerah khusus (DKI dan DIY), tiga di Nusa Tenggara, empat di Kalimantan, enam di Sulawesi,
dua di Maluku, dan dua provinsi di Papua yang keduanya adalah daerah khusus.
3
Apa yang menarik di sini adalah dua lompatan besar dalam pertambahan jumlah kabupaten-
kota itu terjadi manakala posisi tawar relatif parlemen menguat terhadap presiden. Masa se-
belum 1959 adalah era demokrasi parlementer di kala eksekutif praktis menjadi subordinat
parlemen (Lihat Miriam Budiarjo (2008) untuk pembagian kurun waktu politik Indonesia).
Sementara itu, masa setelah 1999 adalah era demokrasi presidensial yang didalamnya terja-
di reformasi hubungan politik antara parlemen dan presiden. Masa-masa di antaranya dapat
dikatakan sebagai otokrasi presidensial dengan kekuasaan yang tersentralisasi —kendati ad-
ministrasi Soekarno menyebutnya ‘demokrasi terpimpin’ (1959-1965) dan administrasi Soeharto
menyebutnya ‘demokrasi Pancasila’ (1965-1998)— yang di dalamnya posisi tawar relatif presiden
terhadap parlemen mengalami penguatan dengan amat berarti. Di saat posisi parlemen meng-
alami pelemahan dan, sebaliknya, posisi tawar relatif presiden mengalami pelemahan pemben-
tukan jumlah kabupaten-kota baru praktis tidak berarti. Tampaknya pasang-surut pemekaran
bergerak seirama dengan pasang-surut relasi politik parlemen dan eksekutif, sehingga dapatlah
dikatakan bahwa masa-masa naik-turunnya jumlah pembentukan kabupaten-kota baru adalah
masa-masa menguat-melemahnya posisi tawar parlemen terhadap eksekutif.
4
sehingga menjadi 275 kabupaten-kota sepuluh tahun kemudian. Di paruh akhir
1980-an terbentuk tak lebih dari dua unit kabupaten-kota baru untuk menjadi
277, sebelum ia naik menjadi 280 yurisdiksi memasuki tahun 1990-an. Secara
total 340 kabupaten-kota mewarnai awal reformasi politik Indonesia.
Di masa reformasi politik dan pengguliran kebijakan desentralisasi, jumlah
yurisdiksi kabupaten-kota menjadi lebih besar lagi. Tahun 2001 tak kurang dari
353 kabupaten-kota baru tersebar dari Weh ke Merauke dan dari Sangihe ke Rote.
Tahun 2002 menjadi 390, sebelum melonjak ke 440 (2003). Tahun 2007 tercatat
465 kabupaten-kota terhampar dari Sabang ke Pegunungan Bintang dan dari
Tahuna hingga Ba’a.4 Puncaknya terjadi di tahun 2008 tatkala 498 kabupaten-
kota di empat penjuru mata angin membentuk landscape baru Republik Indonesia
(Data hingga November 2008).
GAMBAR 1.1. Perkembangan Jumlah Kabupaten-Kota
Dalam dua kali siklus terakhir parlemen dan empat kali pergantian pe-
merintahan, paling sedikit 150 kabupaten-kota baru terbentuk. Pukul rata, 15
4
Angka-angka jumlah kabupaten-kota ini dihitung berdasarkan banyaknya kabupaten-kota
menurut tahun pembentukan kabupaten-kota itu.
5
kabupaten-kota baru setiap tahun di Indonesia sejak 1999.5 Angka-angka ini pun
belum termasuk kecamatan dan desa baru yang dibentuk di luar mekanisme pem-
bentukan UU, mengingat pemekaran terjadi juga di dua yurisdiksi terbawah ini
—yang merupakan konsekuensi langsung dari pembentukan yurisdiksi di tingkat
kabupaten-kota. Dalam bentang 10 tahun yang sama sejak desentralisasi di-
gelindingkan, jumlah kecamatan naik lebih dari 2000 unit (dari 4028 pada 1998
ke 6131 pada tahun 2007), sedangkan jumlah desa melonjak hampir 6000 unit
(dari 67.925 di 1998 menjadi 73.405 unit di tahun 2008). Secara rata-rata hampir
20 kecamatan dan 50 desa terbentuk setiap bulan dalam 10 tahun terakhir.
Undang-Undang Pembentukan Daerah
Utamanya pada masa kebijakan desentralisasi, deskripsi di atas jelas menun-
jukkan adanya big bang pembentukan yurisdiksi baru di Indonesia yang berlang-
sung dengan kecepatan tinggi. Big bang pembentukan yurisdiksi baru ini bersum-
ber dari big bang produksi undang-undang pembentukan daerah baru (UUPD)
oleh parlemen dengan kecepatan yang sama pula. Hubungan ini terjadi karena se-
tiap daerah bentukan baru memang harus ditetapkan oleh suatu undang-undang
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18, 18a, dan 18b UUD 1945.6 Dengan kata
lain, pembentukan daerah selain merupakan hasil dari suatu proses teknokratis
—sebagaimana terlihat dalam persyaratan teknis, administratif, dan fisik kewi-
layahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 78-2007— juga meru-
pakan hasil dari suatu proses politik di tingkat parlemen. Di dalam proses poli-
tik itu, parlemen mengajukan RUU insiatif pembentukan daerah yang menjadi
salah satu agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas).7 Tetapi, secara formal
pemerintah pun dapat mengajukan RUUPD.
Issu penting yang perlu diajukan mengenai proses politik dan proses tekno-
krasi adalah apakah proses politik ini merupakan fungsi dari proses teknokratik,
ataukah keduanya berjalan secara independen. Artinya, apakah proses politik
juga mempertimbangkan argumentasi-argumentasi teknis hasil evaluasi propo-
sal pembentukan DOB oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD),
5
Jika tanpa moratorium yang tegas dan efektif, jumlah ini secara potensial akan meningkat
mengingat beberapa pengusulan pemekaran daerah dan perancangan UU-nya masih terus ter-
jadi.
6
Penjelasan Soepomo mengenai Pasal 18 UUD 1945 menarik untuk dicatat, “. . . Oleh karena
Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam
lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi
dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang
bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi be-
laka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.”. Cetak miring
frasa terakhir oleh penyusun laporan ini.
7
Secara formal, fungsi ini juga dimiliki oleh Dewan Pertimbangan Daerah (DPD). Namun
secara empirik, fungsi ini kurang teraksentuasi.
6
ataukah proses politik itu memang terlepas-kait dari proses teknis.8 Pertanyaan-
pertanyaan ini menjadi penting, karena —sebagaimana didiskusikan lebih rinci
kelak dalam laporan ini— daerah-daerah yang secara formal telah dinyatakan
memiliki kapasitas untuk menyelenggarakan otonomi9, secara empiris justru me-
nampakkan kinerja yang berlawanan. Dengan kata lain, dalam proses pemben-
tukan daerah baru, apakah proses teknokratis yang dijalankan oleh DPOD dan
proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat memiliki sumbangan bermakna bagi
kesejahteraan rakyat seharusnya menjadi pertanyaan yang terus melekat.
Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa sepanjang dua masa bakti terakhir par-
lemen, yaitu 1999-2004 dan 2004-2009, UUPD hampir mendominasi produk-
produk hukum parlemen. Dalam masa bakti pertama, misalnya, sekitar 40 persen
UU yang dihasilkan oleh DPR-RI adalah UU pembentukan daerah baru. Secara
rata-rata, tak kurang dari 14 UUPD dihasilkan pada 1999-2004 —jika tahun 2004
dikeluarkan angka itu menjadi 16 UUPD per tahun. Selain di tahun 2004 dengan
jumlah UUPD hanya satu buah, jumlah UUPD yang mencolok dihasilkan selama
periode itu terjadi di tahun 2003 —tahun menjelang akhir masa bakti parlemen.
TABEL 1.1. Produksi Undang-Undang oleh DPR-RI 1999-2008
UUPD UU Lain Total Kab. Prov.
Terkait Bukan UU UU Kot. BaruTahun
Produksi Efektif
Otonomi ttg Daerah Baru
1999 19 19 5 32 56 27 1
2000 14 3 1 23 38 0 3
2001 12 12 2 8 22 12 1
2002 13 13 0 19 32 38 1
2003 24 23 1 15 40 49 0
20041]
1 1 1 28 30 0 0
1999-2004 83 71 10 125 218 126 6
20042]
0 0 2 9 11 0 1
2005 0 0 1 13 14 0 0
2006 0 0 2 21 23 0 0
2007 25 25 1 22 48 25 0
20083]
19 18 3 22 44 33 0
2004-2008 44 43 9 87 140 58 1
1999-2008 127 114 19 212 358 184 7
1] Hingga masa bakti 30 September 2004; 2] Dimulai dari masa bakti 1 Oktober 2004
3] Hingga UU 34-2008 untuk UU pembentukan daerah dan hingga UU 44-2008 untuk UU lain
8
Sayang sekali saat ini tidak ada statistik resmi yang menginformasikan rejection rate usulan
pemekaran melalui pemerintah dan DPR, bahkan DPD.
9
Berdasarkan UU 32-2004 dan PP 78-2007, daerah yang dimekarkan adalah daerah yang
dikategorikan sebagai ‘sangat mampu’ dan ‘mampu’ memenuhi syarat-syarat dasarnya.
7
Pada masa bakti berikutnya UU pembentukan daerah baru tetap menjadi
agenda legislasi yang penting, tetapi dengan variasi tahunan yang ekstrim. Dalam
tiga tahun pertama masa bakti 2004-2009, praktis tidak ada satupun UUPD di-
hasilkan. Sebaliknya, konsentrasi parlemen bergeser ke arah penyusunan undang-
undang lain. Namun demikian, seperti dalam periode sebelumnya, dalam tahun-
tahun terakhir masa bakti parlemen, keadaan ini berubah. Separuh perhatian
DPR dalam proses legislasi dibagi untuk pembentukan UUPD. Dengan demikian,
secara rata-rata lebih dari 30 persen UU yang diproduksi pada masa sidang 2004-
2009 adalah undang-undang tentang pembentukan daerah. Ini berarti pula seki-
tar 35 persen dari 358 UU yang diproduksi dalam satu dasa warsa terakhir adalah
UU tentang pembentukan daerah baru. Dari 127 UUPD yang dikeluarkan dalam
dua putaran siklus parlemen itu, 13 di antaranya mengalami revisi, sehingga
secara keseluruhan terdapat 114 UU yang berlaku efektif.10
Pertanyaan yang alamiah mengenai seluruh kecenderungan itu adalah apa
kekuatan penggerak pembentukan daerah? Mengapa suatu daerah memilih opsi
pemekaran, sedangkan daerah lain tidak. Bagian berikut akan mendiskusikan
motif-motif di balik pemekaran daerah itu.
Motif Pemekaran
Motif apa yang mendorong pembentukan daerah baru? Apakah pembentukan
daerah baru muncul begitu saja tanpa membentuk keteraturan? Atau, adakah
gejala yang lebih sistematis?
Motif di belakang aspirasi pembentukan daerah baru memang dapat bervari-
asi dari satu tempat ke tempat lain. Di suatu daerah suatu faktor dapat lebih
menonjol daripada di daerah lain, sedangkan di lokasi yang lain keadaan yang
sebaliknya mungkin terjadi.11 Namun demikian, pemekaran tampaknya bukan
fenomena yang bersifat acak, karena ada beberapa gejala sistematik yang da-
pat digeneralisasi. Gejala ini dapat dikategorisasi ke dalam tiga dimensi motif:
sosiologis, ekonomis, dan politis.
Motif Sosial
Bagaimana ujud motif sosial di belakang pemekaran daerah? Motif sosial dalam
pemekaran daerah berada dalam konteks latar belakang yang lebih luas, yakni
10
Jumlah UUPD ini tidak persis sama dengan jumlah daerah otonomi baru (DOB) sebab
sebuah UUPD dapat mencakup lebih dari satu pembentukan DOB.
11
Tetapi dimensi waktu juga mungkin berperan, karena waktu senantiasa memberikan konteks
terhadap suatu peristiwa.
8
desentralisasi —utamanya jika diingat bahwa kebijakan desentralisasi lahir di
tengah-tengah tantangan heterogenitas Indonesia dan ketidakpuasan Daerah atas
kebijakan sentralisasi dengan penyeragaman di banyak aspek pembangunan. Keti-
ka desentralisasi digelindingkan, gejala etnosentrisme, misalnya, ditengarai akan
banyak mewarnai perkembangan otonomi daerah. Etnosentrisme itu mengambil
beberapa bentuk seperti yang terlihat dalam penetapan dan pemilihan pemimpin
daerah baik di eksekutif maupun legislatif, dalam recruitment dan promosi biro-
krat lokal (Badjuri, 2007, Suyatno, 2007). Fenomena pemekaran daerah termasuk
yang berada dalam kategori ini (Djohan, 2007).
Khusus mengenai etnosentrisme dalam pemekaran daerah, Fitrani et al
(2005) menemukan bahwa pengelompokan menurut etnis (ethnic clustering) telah
memicu kecenderungan Daerah untuk memekarkan diri. Melalui model ekonome-
trik yang dibangun, Fitrani et al mendeteksi bahwa motif pengelompokan ini
merupakan salah satu determinan yang secara statistik signifikan untuk menje-
laskan mengapa banyak daerah mengambil opsi pemekaran. Hasrat untuk mem-
bentuk yurisdiksi baru dengan batas geografi-administrasi baru —yang terpisah
dari geografi-administrasi lama— mencuat sejalan dengan meningkatnya kecen-
derungan pengelompokan etnis. Fenomena ini lebih mencolok terdeteksi pada
masa setelah tahun 2001 —sebagai tahun patokan desentralisasi dalam analisis
Fitrani et al— daripada sebelum tahun itu.
Dari keadaan ini tampak bahwa identitas etnis cenderung dilekatkan pa-
da identitas teritorial, karena pada dasarnya fenomena pengelompokan etnis ini
adalah cermin dari homogenitas preferensi masyarakat, sedangkan pemekaran
dalam ujudnya adalah pembentukan teritori baru.12 Teritori baru ini lebih kecil,
baik dalam luasan geografi administrasi ataupun populasi dibandingkan dengan
sebelumnya. Dalam keadaan itu, heterogenitas preferensi masyarakat cenderung
minimum. Dengan kata lain, pembentukan daerah baru juga dipicu oleh motif
sosiologis ke arah homogenisasi etnis, yakni kehendak untuk hidup dalam suatu
ruang etnis yang homogen, dan bahkan bukan tidak mungkin jika motif ini ber-
gerak pula ke arah regionalisme —“a feeling of regional identity” (Schrijver, 2006,
p. 28); semangat kedaerahan. Semangat ini berbeda dengan spirit normatif yang
tertuang dalam simbol Bhinneka Tunggal Ika sebagai komitmen ideologi nasional.
12
Varian lain tentang relasi identitas teritorial dan identitas etnis ditemukan dalam kasus
imigran baru di Kanada. Uji ekonometrik McDonald (2004) menunjukkan bahwa adanya ethnic
enclave di suatu lokus tertentu secara signifikan menentukan pilihan lokasi di mana migran baru
akan berdiam. Dengan kata lain, imigran baru dari kelompok etnik tertentu cenderung memilih
lokasi yang didiami oleh penduduk dengan latar belakang etnik yang sama. Dalam konteks
negara, Collier and Hoeffler (2002) menyatakan akar persoalan pemisahan negara juga dapat
ditelusuri dari issu politik identitas yang mencuat dari perasaan kesamaan identitas etnis.
9
Motif Politik
Ekspresi pembentukan yuridiksi baru ternyata juga mendapat respons memadai
dari fraksi-fraksi politik di dalam parlemen untuk selanjutnya diteruskan ke dalam
proses legislasi. Seri penyusunan UU pembentukan daerah sebagaimana di-
ungkap di muka bisa menunjukkan adanya respons itu. Berbeda dengan relasi
pemerintah-DPR, tampaknya tidak ada kontroversi yang cukup berarti dalam
relasi antarfraksi di tingkat parlemen dalam proses legislasi UU pembentukan
daerah baru. Ini juga berbeda dengan proses legislasi UU lain yang tidak jarang
menciptakan polar-polar posisi politik fraksi yang bahkan terus berlanjut hingga
ke tingkat sidang paripurna.
Di tingkat normatif, pembentukan daerah baru bisa dipandang sebagai
upaya untuk mendekatkan pemimpin-pemimpin politik pada konstitutennya, se-
hingga aspirasi dan preferensi masyarakat dapat lebih efektif untuk ditangkap.
Namun demikian, di tingkat empiri, sudah barang tentu ada kalkulasi politik
yang dilakukan sehingga partai-partai memberi respons atas ekspresi yang bersi-
fat bottom-up ini.13 Beberapa di antaranya yang dapat disebut di sini adalah
terbukanya peluang baru bagi kompetisi jabatan-jabatan eksekutif dan legislatif
di yurisdiksi-yurisdiksi bentukan baru, termasuk juga ekspansi konstituensi. Di
posisi legislatif, misalnya, dua besaran yang paralel dapat dipakai untuk memberi
konfirmasi mengenai adanya kalkulasi politik itu. Pertama, fraksionalisasi poli-
tik14; dan, ke dua, jumlah partai di dalam parlemen. Fraksionalisasi politik di
yurisdiksi-yurisdiksi bentukan baru terhitung lebih besar daripada yang terjadi
di daerah bukan-DOB. Di daerah pemekaran kursi parlemen lebih terdistribusi
daripada di daerah non-pemekaran.15 Setara itu, dibandingkan dengan wilayah
non-pemekaran, lebih banyak partai masuk ke dalam DPRD di wilayah DOB.16
Keadaan ini memperlihatkan bahwa partai politik dan politisi mempunyai prefe-
rensi yang lebih besar pada pemekaran. Grossman (1994) menyatakan preferensi
seperti ini dapat terjadi karena adanya potensi return of votes relatif tinggi sejalan
dengan (lebih) kecilnya populasi di wilayah semacam ini sebagaimana terlihat di
daerah bentukan baru.
13
Patut dicatat pula ada sejumlah kecil kasus pemekaran yang bersifat top-down. Di Papua,
misalnya, pemekaran bersumber dari inisiatif pemerintah, tetapi justru sempat mendapat peno-
lakan dari komunitas dan elit setempat.
14
Fraksionalisasi politik mengukur tingkat fragmentasi kursi berdasarkan besarnya share kursi
setiap partai di DPRD. Semakin banyak partai masuk ke dalam parlemen, semakin terfragmen-
tasi pula kursi-kursi yang dikuasai partai.
15
Uji statistik-t dua-sisi terhadap sebaran kursi parlemen hasil Pemilu 2004 di 440 kabupaten-
kota menunjukkan bahwa perbedaan fraksionalisasi politik ini signifikan pada taraf satu persen
(nilai-t=4,31).
16
Uji dua-sisi atas jumlah partai di dalam parlemen lokal menunjukkan perbedaan jumlah par-
tai di dalam DPRD antara DOB dan non-DOB juga signifikan pada taraf satu persen (t=2.87).
10
Motif Ekonomi
Lebih lanjut, selain motif sosiologis dan politik, masih ada serangkaian motif
lain di belakang pengambilan opsi pemekaran wilayah. Yang lazim mengemuka
dalam wacana publik ialah motif ekonomi. Potensi perolehan insentif melalui
transfer Dana Alokasi Umum (DAU) biasanya menjadi latar belakang penting
dalam gagasan untuk memekarkan diri. Transfer ini bersifat otomatis. Sekali
sebuah yurisdiksi terbentuk, sejak itu pula DAU diterima sebagai hak Daerah. Ia
juga menjadi insentif otomatis karena secara empirik DAU merupakan fungsi dari
tiga karakteristik yang selalu melekat dalam suatu yurisdiksi: luas daerah, jumlah
penduduk, dan jumlah pegawai negeri sipil daerah (PNSD).17 Menariknya, tidak
ada satu pun “variabel pemerintah pusat” dalam penentuan DAU ini. Besar-
kecilnya DAU sepenuhnya “ditentukan oleh Daerah” melalui karakteristik yang
otomatis melekat padanya. Setara itu, Fane (2003) juga menyimpulkan DAU
telah menjadi insentif bagi terjadinya pemekaran.
Pada ranah motif ekonomi yang lain, ekspektasi pembagian hasil ekstraksi
sumber daya alam juga merupakan faktor pemicu yang tak kalah penting. Eks-
pektasi ini utamanya ada pada wilayah-wilayah yang secara alami kaya sumber
daya alam. Di wilayah-wilayah seperti ini, membangun yurisdiksi baru sama
artinya dengan membangun otoritas atas hak perolehan manfaat atas hasil-hasil
ekstraksi sumber daya alam sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.18
Laporan ini menemukan bahwa probabilitas untuk menemukan daerah hasil pe-
mekaran akan meningkat sejalan dengan besarnya kontribusi sektor ekstraktif ke
dalam perekonomian (lihat Lampiran Teknis). Sama seperti DAU, transfer Dana
Bagi Hasil ini pun bersifat otomatis. Selekas suatu yurisdiksi terbentuk, secepat
itu pula Dana Bagi Hasil dialirkan. Jelas bahwa pemekaran daerah datang pula
dari motif ini.
Argumentasi lain dalam kelompok motif ekonomi pemekaran adalah kehen-
dak untuk mengejar ketertinggalan. Ini sesungguhnya bertolak belakang dengan
syarat-syarat administratif pemekaran sebagaimana diatur oleh Peraturan Pe-
merintah (PP) 129 tahun 2000 maupun versi revisinya (PP 78 tahun 2007). Jika
syarat-syarat dalam PP itu dipenuhi, ketertinggalan praktis bukan merupakan
issu penting di balik pemekaran.19 Namun demikian, empiri memperlihatkan
17
Melalui regresi linier terlihat bahwa 84 persen variasi DAU dapat diterangkan oleh variasi
dalam tiga variabel itu secara sangat signifikan (Nilai t-statistik ketiga variabel itu berkisar pada
nilai 11-17).
18
Ini terlihat dengan jelas dalam relasi Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (DBHBP) dan nilai
tambah sektor ekstraktif yang diperoleh kabupaten-kota. Sekitar 74 persen variasi DBHBP
tingkat kabupaten-kota mampu dijelaskan oleh besarnya nilai tambah sektor kehutanan dan
sektor pertambangan (termasuk migas) dengan amat signifikan (t-statistik antara 12-17).
19
Patut dicatat, di samping proses legislasi, usulan pemekaran juga melewati proses evaluasi
teknis. Dalam proses evaluasi teknis, yurisdiksi pengusul akan dikategorisasi sebagai “sangat
mampu” dan “mampu” manakala ia memiliki kapasitas untuk melewati persyaratan adminis-
11
kenyataan yang sebaliknya. Model probit dalam laporan ini menyiratkan bah-
wa probabilitas untuk menemukan daerah pemekaran meningkat sejalan dengan
status ketertinggalannya (Lihat Lampiran Teknis). Ini artinya daerah-daerah
tertinggal cenderung memekarkan diri dibandingkan dengan yang tidak menda-
pat status ‘daerah tertinggal”.
Dekat dengan ketertinggalan adalah kemiskinan. Kehendak normatif untuk
mengejar ketertinggalan juga dapat dijelaskan melalui fakta kemiskinan yang di-
hadapi oleh Daerah. Laporan ini menemukan bahwa peluang untuk menemukan
ada-tidaknya peristiwa pemekaran akan menguat di daerah-daerah dengan jum-
lah penduduk miskin yang tinggi (Lihat Lampiran Teknis). Dengan kata lain,
kecenderungan untuk memekarkan daerah akan membesar manakala populasi
kemiskinan di daerah itu juga besar.
Melalui seluruh gambaran itu terlihat adanya motif-motif sosiologis, politis,
dan ekonomis di belakang pemekaran. Satu motif tertentu bisa lebih mengemuka
daripada yang lain. Bahkan, kombinasi ketiganya juga bukan hal yang tak la-
zim. Ini semua menunjukkan bahwa semesta pemekaran bukanlah semesta hampa
yang terisolasi, ataupun terjadi dengan sendirinya (exogenous), tetapi dibentuk
oleh serangkaian motif sehingga ia bersifat endogenous dan multidimensional.
Namun demikian, apapun motif di belakang pemekaran daerah, dua ukuran laik
dipakai sebagai acuan: konsekuensi dan efektivitas pencapaian tujuan. Dalam
hal pertama, setiap tindakan selalu mengandung konsekuensi, karena konsekuensi
melekat dengan tindakan. Kedua, setiap tindakan juga diarahkan untuk mencapai
tujuan pemekaran itu sendiri. Pemekaran daerah secara esensial menetapkan
kesejahteraan rakyat sebagai tujuannya. Oleh karena itu, pembentukan daerah
otonomi baru perlu dipandang dalam perspektif acuan ini.
Konsekuensi Pemekaran
Demokratisasi sistem politik yang digelindingkan sejak 1999 telah membuka ru-
ang yang amat lebar bagi berbagai ekspresi, termasuk keinginan untuk memben-
tuk yurisdiksi administratif baru.20 Pada saat yang sama dinamika demokratisasi
tratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam PP 78-2007. Di
bagian Penjelasan dinyatakan bahwa, “Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor ke-
mampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah,
pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah
... Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat tum-
buh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan
pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan
dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (Cetak miring oleh
penyusun laporan ini.)
20
Pada tingkat negara, Alesina dan Spolaore (1997) menunjukkan bahwa demokratisasi mem-
buka peluang bagi pemisahan yurisdiksi sehingga terjadi pembentukan lebih banyak negara.
12
Seribu Jurus Bercerai
Pembentukan Provinsi Gorontalo bisa dibilang mulus. “Cuma butuh 14 bulan,” kata
M. Nasser, bekas Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga Komite Pusat Pembentukan
Provinsi Gorontalo. Panitia menempuh semua jalur untuk melapangkan jalan. “Ya,
semacam gerilyalah.” Pembentukan provinsi itu berawal dari kongko-kongko beberapa
tokoh di Jakarta pada 1999. Ide ini dilempar ke daerah, yang ternyata bersambut.
Para penggagasnya membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Gorontalo
dan menggelar seminar di Gedung Bidakara pada 1999. Untuk melobi para pejabat
dan tokoh kunci di Jakarta, Komite Pusat dibentuk dan bermarkas di Jakarta. Dari
situ, gerilya politik dilancarkan untuk mengail dukungan dari Komisi Pemerintahan
DPR dan Depdagri. Panitia juga menggelar jamuan makan malam di Hotel Mulia.
Seusai acara, masing-masing anggota Dewan disodori bungkusan berisi baju kerawang
khas Gorontalo.
Komite Pusat juga melobi beberapa tokoh kunci DPR, seperti ketua fraksi dan ketua
komisi. Komite bahkan mendatangi rumah dinas atau rumah pribadi para pentolan
fraksi itu. Tak lupa pelobi membawakan oleh-oleh ikan bakar, ayam bakar rica-rica,
dan binthe biluhuta. Beres di Jakarta, Komite Pusat mengundang para anggota De-
wan meninjau lapangan pada 2000. Tiket pesawat Mandala Airlines dibayari panitia,
juga akomodasi dan transportasi selama tiga hari di Manado dan Gorontalo. Panitia
mendatangi kamar hotel tempat menginap anggota Dewan. Amplop-amplop segera
berpindah tangan. “Cuma Rp 1,8 juta per orang. Ini uang jalan karena mereka datang
ke Gorontalo,” kata Nasser. Uang jalan ini juga diberikan kepada tim Departemen
Dalam Negeri yang meninjau Gorontalo. Besarnya Rp 23 juta per orang. Lobi juga
dilakukan ke Gubernur E.E. Mangindaan. Total dana yang dihabiskan untuk proses
ini, menurut Nasser, sekitar Rp 1,3 miliar. Namun, menurut Abas Nusi, biayanya Rp
3 miliar lebih.
Sebaliknya, pembentukan Provinsi Kepulauan Riau pada 2002 tersendat-sendat.
“Prosesnya cukup panjang seperti rencana Provinsi Tapanuli yang rusuh itu,” kata
Huzrin Hood, bekas Bupati Kepulauan Riau, yang saat itu menjadi Ketua Badan
Pekerja Pembentukan Provinsi. Upaya penggagas provinsi itu terganjal seretnya
rekomendasi dari DPRD dan Gubernur Saleh Djasit. Itu sebabnya Badan Pekerja
membentuk tim khusus lobi di Jakarta. Suatu ketika, Huzrin harus datang ke rumah
Ketua DPR, Akbar Tandjung, menjelang tengah malam untuk melobi. Lobi di Jakar-
ta membuat pembahasan di Senayan bisa segera digelar. Namun, karena provinsi
induk tidak juga memberikan rekomendasi, pembahasan tersendat. Badan Pekerja
pun mengerahkan 3.000 orang untuk berdemonstrasi di Senayan. Di tengah proses
pembentukan provinsi, Huzrin dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara karena korupsi.
Padahal ia digadang-gadang untuk jadi gubernur.
Dicuplik dengan penyesuaian dari
Tempo 51/XXXVII 09 Februari 2009
13
ini juga diiringi dinamika yang serupa dalam desentralisasi di mana bandul sis-
tem pemerintahan bergeser jauh dari Pusat ke Daerah. Di dalam kombinasi
dua keadaan itu —demokrasi dan desentralisasi— gagasan tentang pembentukan
yurisdiksi baru menjadi lebih masif dikomunikasikan dari simpul ke simpul, dari
elit ke komunitas, dan sebaliknya, sebelum ia menjadi ide kolektif dan disalurkan
melalui kanal-kanal kelembagaan demokrasi yang ada. Oleh karenanya, tidak
mengherankan jika pembentukan kabupaten-kota bergerak amat ekspansif.
Geografi Administrasi
Akibat langsung dari ekspansi pembentukan daerah otonomi baru (DOB) ini
adalah perubahan geografi yurisdiksi Indonesia. Jawa di detik-detik pertama
desentralisasi masih mendominasi komposisi kabupaten-kota Indonesia dengan
porsi 32 persen. Di masa-masa berikutnya dominasi Jawa perlahan memudar.
Sejalan dengan maraknya pemekaran yurisdiksi di Luar Jawa, kabupaten-kota
di Sumatera sekarang mengambil 30 persen share —yang menyalip Jawa sejak
2003 dengan 26 persen share dari total kabupaten-kota. Maluku dan Papua ki-
ni mengambil porsi yang lebih besar pula. Dengan jumlah kabupaten-kota yang
naik dua lipat, porsi kabupaten-kota Maluku dan juga Papua dua kali lebih besar
saat ini dibandingkan dengan keadaan satu dasa warsa lalu. Di Kalimantan dan
Sulawesi kabupaten-kota baru menjamur pula. Di dua pulau besar yang berte-
tangga ini, jumlah kabupaten-kota sekarang satu-setengah kali lebih besar dari-
pada angka 10 tahun silam. Di Nusa Tenggara, kendati dengan angka yang lebih
rendah, pertumbuhan jumlah kabupaten-kota juga menandai landscape yurisdiksi
di wilayah ini. Gambar 1.2 memberi konfirmasi visual: pemekaran ialah fenome-
na Luar Jawa. Di Luar Jawa hampir tidak ada pulau besar atau gugusan pulau
yang tidak memiliki kabupaten-kota pemekaran. Di Luar Jawa pula hampir tidak
ditemui provinsi tanpa pemekaran kabupaten-kota.
Perubahan geografi yurisdiksi ini sudah barang tentu menyusutkan luas
wilayah yang berada di bawah wewenang administratif setiap yurisdiksi, bahkan
juga termasuk jumlah desa (Tabel 1.2) —kendatipun, sebagaimana diungkap,
secara total jumlah desa meningkat tajam. Di hampir seluruh kelompok pulau
kecuali Jawa, terjadi perubahan geografi administrasi yang amat kentara. Sudah
barang tentu pula hal ini membawa dampak pada penyusutan rentang kendali
pemerintahan. Utamanya pada daerah-daerah yang mengalami pemekaran, ini
berarti bahwa pemekaran memang telah mampu mencapai salah satu di an-
tara sejumlah tujuannya: penyempitan ruang kendali. Jika DOB dan non-DOB
diperbandingkan, misalnya, indeks rentang kendali yang dikonstruksi dalam studi
ini menunjukkan bahwa kabupaten-kota DOB secara konsisten memiliki rentang
kendali yang jauh lebih sempit daripada apa yang diperlihatkan oleh kabupaten
14
dan kota bukan-DOB.21
Namun demikian, agak disayangkan, penyempitan rentang kendali22 ini
tidak serta merta menciptakan perbaikan dalam kinerja ekonomi dan sosial. Pada
dataran normatif, secara sekuensial, penyempitan rentang kendali pemerintah-
an, peningkatan pelayanan aparat publik pada masyarakat, dan akhirnya pe-
ningkatan kesejahteraan rakyat seringkali disebut sebagai tujuan-tujuan yang
lumrah tertuang dalam proposal pemekaran wilayah, selain perbaikan keter-
tinggalan regional. Akan tetapi, efek keunggulan daerah pasca pemekaran karena
memiliki rentang kendali yang lebih sempit ini masih harus diuji lagi pada mutu
layanan publik, ketertinggalan regional, serta —yang jauh lebih penting— kese-
jahteraan masyarakat. Bagaimanapun, kesejahteraan masyarakat adalah tujuan
utama pemekaran, bukan sekedar pemuasan preferensi selapis tipis elit lokal.
Opsi memekarkan daerah akan kehilangan makna jika kesejahteraan rakyat tidak
menjadi batu penjurunya. Jadi, pemekaran jelas bukan tujuan. Ia hanyalah cara
untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, pertanyaan yang patut diajukan ialah apakah pemekaran
memang sungguh-sungguh memiliki efek pada kesejahteraan? Diekspresikan de-
ngan cara lain, apakah skenario pembentukan DOB merupakan skenario yang
efektif dalam pencapaian kesejahteraan? Adakah skenario alternatif yang lebih
efektif untuk pencapaian tujuan ini?23
Fiskal
Derasnya kecepatan pembentukan DOB seperti saat ini bukan tanpa resiko.
”There is no such thing as a free lunch,” demikian ungkapan Nobel-laureate,
Milton Friedman. Beberapa di antaranya dapat dicatat di sini. Yang pertama
terlihat jelas adalah konsekuensi fiskal dari fenomena pemekaran. Dalam hal ini,
setiap pembentukan yurisdiksi baru di tingkat daerah selalu membawa dampak
21
Indeks rentang kendali untuk DOB dan bukan-DOB, masing-masing, adalah −0, 38 dan
0,18. Perbedaan ini terhitung signifikan secara statistik. Lihat Lampiran Teknis.
22
Dalam konteks perkembangan teknologi saat ini, rentang kendali geografis dan pemerintahan
hingga derajat tertentu tampaknya tidak lagi relevan untuk dijadikan alasan sebagai kendala
pembangunan.
23
Pemekaran sendiri selalu menghasilkan perubahan size of jurisdiction. Literatur mencatat
daftar panjang mengenai manfaat dan mudarat besar-kecilnya yurisdiksi. Size yang besar —
yang bisa juga merupakan gabungan dari yurisdiksi-yurisdiksi yang lebih kecil— mendapat
manfaat dalam (1) skala ekonomi untuk produksi barang-jasa publik, (2) internalisasi eksternali-
tas melalui sentralisasi penyediaan barang-jasa publik, atau internalisasi eksternalitas karena
eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara independen oleh yurisdiksi yang kecil-kecil,
(3) redistribusi pendapatan antarregion yang tidak mungkin dilakukan oleh setiap yurisdiksi
secara independen, dan (4) market size. Sedangkan mudaratnya terlihat dalam heterogeneity
of preferences anggota masyarakatnya. Semakin besar size, kian beragam “selera masyarakat”.
Lihat Alberto Alesina, et al.. 2005. ‘Growth and the Size of Countries.’ dalam Philippe Aghion
and Steven Durlauf (eds.). Handbook of Economic Growth. Elsevie.
15
GAMBAR1.2.PetaDaerahPemekaran
16
TABEL 1.2. Geografi Administrasi per Kabupaten-kota 1999-2006
Kel. Pulau 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Luas Wilayah (km2
)
Jawa 1.169 1.146 1.099 1.079 1.079 1.051 1.051 1.053
Sumatera 5.938 5.244 5.080 4.757 4.204 3.713 3.628 3.664
Nusa Tenggara 2.522 2.522 2.438 2.395 2.285 1.975 2.151 2.151
Kalimantan 17.814 14.456 14.456 12.405 11.659 10.314 10.314 10.306
Sulawesi 4.332 4.355 4.357 4.240 3.671 3.163 3.163 3.154
Maluku 9.377 10.938 10.938 10.938 10.938 5.665 5.665 5.469
Papua 37.229 30.142 30.142 30.142 15.050 14.938 14.711 14.757
Indonesia 5.942 5.762 5.679 5.302 4.925 4.403 4.371 4.375
Jumlah Kecamatan (unit)
Jawa 17 17 18 18 17 18 18 18
Sumatera 11 11 12 12 12 11 12 12
Nusa Tenggara 9 9 11 11 11 11 11 11
Kalimantan 13 11 11 10 10 9 10 10
Sulawesi 11 11 12 12 12 11 12 13
Maluku 7 8 7 11 12 6 7 9
Papua 15 12 12 13 8 8 12 14
Indonesia 13 13 14 14 13 12 13 14
Jumlah Desa (unit)
Jawa 227 226 227 222 217 218 218 214
Sumatera 5.938 5.244 5.080 4.757 4.204 3.713 3.628 3.664
Nusa Tenggara 129 132 131 130 123 124 125 122
Kalimantan 200 166 160 135 122 118 121 123
Sulawesi 181 160 172 160 138 131 134 137
Maluku 196 194 194 197 201 102 100 117
Papua 243 233 240 268 140 134 134 160
Indonesia 220 209 203 190 173 161 163 164
Diukur sebagai rata-rata per kabupaten-kota
anggaran di tingkat nasional. Untuk memeriksanya, dua ukuran dapat dipakai:
[1] total aliran dana APBN ke APBD melalui komponen anggaran belanja daerah
(BD, Belanja Daerah); dan [2] rasio belanja daerah terhadap belanja total (RB,
rasio belanja). Ukuran pertama memotret beban anggaran dari besaran absolut,
sedangkan yang ke dua dari besaran relatif.24
Memang sejauh ini penerimaan dan belanja APBN memperlihatkan trend
yang menaik. Namun demikian, beban pengalokasian dana ke daerah jelas tetap
besar tatkala diingat bahwa selalu ada potensi penurunan di dua sisi APBN:
penerimaan dan belanja. Akibatnya, bukan hanya tambahan aliran dana ke
daerah berpotensi menurun. Lebih daripada itu, total aliran dana ke daerah
juga potensial menyusut jika terjadi shock serius dalam APBN. Walhasil, resiko
fiskal selalu tetap ada.
Gambar 1.3 memberi potret tegas tentang konsekuensi anggaran yang ditim-
bulkan akibat pemekaran. Pada Panel 1.3a pergerakan ke arah kanan jum-
24
Beban ini belum termasuk pembiayaan instansi Pusat di daerah. Hal ini sejalan dengan UU
desentralisasi yang memerintahkan beberapa urusan tetap di bawah kendali Pusat.
17
lah kabupaten-kota di sumbu horisontal diikuti oleh pergerakan ke atas beban
anggaran di sumbu vertikal. Jelas terpampang, aliran dana APBN ke APBD, baik
secara absolut maupun relatif, sangat sensitif terhadap banyaknya kabupaten-
kota yang harus mendapat injeksi dana dari pemerintah pusat. Ini artinya, sam-
pai batas tertentu, makin banyak jumlah yurisdiksi yang terbentuk, makin besar
pula belanja daerah yang harus dialokasikan, utamanya apabila constraint dari
sisi penerimaan APBN tidak diperhitungkan.25
Panel 1.3b memberi konfirmasi dari sudut lain mengenai potret itu. Benar
bahwa transfer Pusat ke Daerah meningkat setiap tahun. Akan tetapi, jelas pula
terlihat bahwa dari waktu ke waktu kemampuan pemerintah untuk menambah
jumlah transfer itu terus menurun. Garis merah menunjukkan bahwa ekspan-
si belanja daerah yang dapat diambil dari penerimaan APBN hanya terjadi
dalam paruh pertama dasa warsa 1999-2008, manakala jumlah kabupaten-kota
masih 440 dan provinsi masih 30. Lepas masa itu dengan sempat diselingi oleh
dua tahun penurunan tajam (2003-2005) kemampuan pemerintah pusat untuk
meningkatkan porsi belanja daerah melalui penerimaan APBN tahunan berku-
rang. Bahkan, andaipun penurunan tajam itu tidak terjadi, data menunjukkan
bahwa kecenderungan marginal diminishing tetap tak terhindarkan. Dalam dua
tahun terakhir, garis kecenderungan itu mendatar lalu menekuk turun.
Pola tambahan belanja daerah yang semakin menurun ini juga terjadi pada
alokasi dana belanja daerah per yurisdiksi dari tahun ke tahun, sebagaimana di-
pantulkan oleh garis biru. Ada pola marginal diminishing dalam belanja daerah
per yurisdiksi. Belanja daerah per yurisdiksi menaik perlahan sejak 2001, tiba
di masa puncak 2006, lalu melambat. Lagi pula, mengingat setiap tahun jumlah
yurisdiksi, khususnya kabupaten-kota, cenderung meningkat akibat pemekaran,
kemampuan pemerintah secara potensial akan mencapai titik limitasinya. Ini
makin tegas terlihat manakala ada pagu tertentu untuk belanja daerah yang dipa-
tok berdasarkan besar penerimaan dalam negeri atau berdasarkan rujukan lain.26
Dibaca dengan cara berbeda, di satu pihak tambahan dana per tahun yang dite-
rima oleh setiap pemerintah daerah akan menurun sejalan dengan membesarnya
jumlah yurisdiksi penerima. Di lain pihak, kebutuhan dana setiap pemerintah
daerah dari waktu ke waktu justru memiliki kecenderungan yang meningkat.
Dengan kata lain, akan ada trade-off antara dana yang diterima oleh setiap yuris-
diksi di satu sisi dengan pertumbuhan jumlah yurisdiksi di lain sisi. Terobosan
untuk melawan kecenderungan ini hanya dapat dilakukan jika terjadi pertum-
buhan belanja daerah agresif yang bersumber dari ekspansi penerimaan dalam
negeri; atau bila dilakukan pengendalian atas pertumbuhan DOB.
25
Data berdasarkan harga berlaku, sehingga belum ada koreksi inflasi.
26
Undang-undang 33, 2004.
18
(a) Sumbu vertikal kiri: belanja daerah (BD, trilyun ripuah). Sumbu vertikal kanan: rasio
belanja daerah (RB) terhadap total belanja APBN. Sumbu horisontal: jumlah yurisdiksi
(provinsi, kabupaten, dan kota (PKK). Garis merah: garis estimasi hubungan antara
belanja daerah dan jumlah yurisdiksi untuk data plot biru. Garis biru: garis estimasi
hubungan antara rasio belanja daerah terhadap total belanja APBN dan jumlah yurisdiksi
untuk data plot merah. Garis merah: Ln BD = -29,56 + 5,62 Ln PKK; R2
=0,88. Garis
biru: Ln RB = -15,44 + 2,31 Ln PKK; R2
=0,74
(b) Sumbu vertikal kiri: rasio belanja daerah terhadap total penerimaan APBN (RB).
Sumbu vertikal kanan: belanja daerah per yurisdiksi (BDY , trilyun rupiah). Sumbu
horisontal: tahun. Garis biru: garis pemeta hubungan RB dan tahun. Garis merah: garis
pemeta hubungan BDY dan tahun
GAMBAR 1.3. Implikasi Fiskal Pemekaran Daerah
19
Penundaan Kebijakan
Dalam keadaan lain, utamanya di yurisdiksi-yurisdiksi hasil pemekaran, aliran
dana Pusat ke Daerah ini tidak serta merta dapat diubah-ujudkan menjadi ke-
bijakan pembangunan yang mempunyai efek kesejahteraan yang langsung dan
segera pada masyarakat.27 Issu ini sekarang menjadi keprihatinan publik. Di
tahun-tahun awal pemekaran, sebuah yurisdiksi mau tak mau harus lebih du-
lu mengambil fokus pada issu-issu administrasi-birokrasi. Penyiapan institusi-
institusi eksekutif dan legislatif di tingkat lokal, recruitment and staffing, pem-
bangunan infrastuktur pemerintahan, serta issu-issu lain yang berkenaan dengan
penggelindingan roda pemerintahan adalah rangkaian prioritas yang harus diam-
bil di muka. Sudah barang tentu prioritas ini akan melekat kuat dengan prioritas
alokasi sumber daya yang akan digunakan untuk itu semua. Ini berarti ada
pergeseran pembiayaan untuk mengikuti ‘urutan prioritas’ yang tertuang dalam
norma kegiatan dan pembiayaan. Keadaan ini memperlihatkan bahwa start-up
costs yang diperlukan di daerah bentukan baru dengan infrastruktur eksekutif
dan legislatif yang juga baru cenderung lebih besar daripada di daerah bukan
bentukan baru.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah policy delay. Kebijakan-kebijakan
yang lebih substansial ke arah kesejahteraan masyarakat harus ditunda karena
prioritas kebijakan terletak pada pembangunan perangkat lunak dan keras untuk
penyelenggaraan pemerintahan. Tatkala kebijakan-kebijakan substansial ini ter-
tunda, tertunda pula pencapaian kesejahteraan masyarakat. Jadi, ada senjang
waktu yang cukup berarti antara kebijakan yang bersifat administratif dengan ke-
bijakan yang lebih substansial. Percepatan pembangunan yang ada dalam asumsi
justru menjadi penundaan pembangunan dalam realisasi. Policy delay ini mem-
buat pemekaran terasa mahal mengingat (lebih) panjangnya rute pembangunan
yang harus ditempuh. Policy delay ini pula menjadikan otoritas lokal tertinggal
di belakang issu-issu pembangunan.
Sebagai ringkasan, paling sedikit ada tiga konsekuensi yang ditimbulkan
oleh policy delay. Kesatu, yang paling mencolok, adalah masyarakat kehilangan
kesempatan untuk mencapai kesejahteraan dalam tempo yang (seharusnya) lebih
cepat. Kedua, pembuat kebijakan kehilangan timing untuk merespon issu-issu
dalam masyarakat, apalagi jika terjadi perubahan sosial dan ekonomi yang cepat.
Ketiga, seluruh aktor pembangunan kehilangan sumber daya karena adanya (mis)-
alokasi yang bersifat prioritas: mengedepankan pembangunan infrastruktur biro-
krasi pemerintahan, mengebelakangkan pembangunan masyarakat.
27
Bersamaan dengan itu, sepanjang 2007-2008 media secara intensif melaporkan bahwa
banyak Daerah tidak membelanjakan dana-dana ini, tetapi justru menyimpannya dalam Serifikat
Bank Indonesia. Ini menegaskan bahwa transfer Pusat tidak otomatis menginjeksi perekonomian
lokal atau diterjemahkan menjadi kegiatan yang menghela pergerakan ekonomi lokal.
20
Capaian Daerah
Efektivitas Pemekaran
Kecenderungan tinggi pembentukan yurisdiksi baru tidak serta merta diikuti oleh
kinerja yurisdiksi itu dalam peningkatan pelayanan dan pencapaian kesejahteraan
rakyat sebagai ide-ide pokok yang mendasari pembentukan yurisdiksi. Bahkan,
sejumlah studi cenderung melaporkan hasil negatif pemekaran: biaya pemekaran
terhitung mahal, sedangkan manfaatnya relatif terbatas (DSF, 2007),28 kiner-
ja yurisdiksi bentukan baru di beberapa sektor yang terkait langsung dengan
masyarakat tidak selalu lebih baik daripada kinerja sektoral daerah lain (BAP-
PENAS dan UNDP, 2007; Qibthiyyah, 2008), sebagaimana juga ditemukan dalam
kinerja aparatur (BAPPENAS, 2004).29
Mengamati empat sektor pembangunan —kesejahteraan umum, pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur— keraguan akan efektivitas pemekaran ini menda-
pat konfirmasi empiris dalam laporan ini. Pendekatan quasi experimental dan
counter factual analysis yang dikembangkan dalam studi ini menemukan bah-
wa pembentukan yurisdiksi baru bukan merupakan jalan efektif ke arah pen-
capaian kesejahteraan rakyat. Seluruh indikator yang dievaluasi dan disimulasi
— Indeks Pembangunan Manusia (IPM), lama sekolah dan partisipasi sekolah,
vaksinasi bayi dan persalinan medis, serta pembangunan jalan distrik— tidak
mendukung argumentasi mengenai manfaat pemekaran. Mutu pembangunan
manusia tidak terangkat, sementara anak-anak juga tidak lebih banyak dikirim
ke sekolah-sekolah. Bayi-balita pun lebih sedikit yang mendapatkan vaksinasi.
Tidak kalah pentingnya, pembangunan infrastruktur daerah juga tidak menam-
pakkan kemajuan yang berarti.
Gambaran ini memancing pertanyaan yang sangat mendasar tentang efek-
tivitas pemekaran terhadap kesejahteraan rakyat umumnya, bahkan juga ten-
tang ke arah mana gerakan desentralisasi akan menuju. Berdasarkan perspek-
tif itu tidaklah mengherankan apabila, dari sisi capaian pembangunan, secara
umum, yurisdiksi bentukan baru tidak mampu menampilkan kinerja yang lebih
baik daripada yurisdiksi induk maupun yurisdiksi lain yang tidak mengambil
opsi pemekaran. Di bagian berikut laporan ini ditunjukkan bahwa opsi pe-
mekaran bukanlah tindakan efektif untuk mencapai kesejahteraan. Dalam em-
pat sektor yang dianalisis —kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan
28
‘Biaya’ di sini didefinisikan sebagai penurunan dalam belanja pembangunan akibat pe-
mekaran. Sementara itu, ‘manfaat’ dinyatakan sebagai perbandingan produktivitas belanja
pembangunan DOB dan daerah induk dengan daerah lain yang tidak mengalami perubahan
yurisdiksional. Lihat, DSF (2007), Costs and Benefits of New Region Creation in Indonesia.
Final Report, 2 November 2007.
29
Dalam keadaan yang lain, menarik untuk diperiksa apakah fenomena flypaper effect terja-
di dalam relasi fiskal Pusat-Daerah melalui dana transfer Pusat, utamanya apabila dikaitkan
dengan kinerja perekonomian masyarakat di daerah yang menerima dana transfer itu.
21
infrastruktur— tanda-tanda bahwa opsi pemekaran jauh dari tujuannya diper-
lihatkan. Skenario counter factual juga menunjukkan bahwa tindakan tidak
memekarkan yurisdiksi, tapi langsung menjawab persoalan-persoalan riil masyara-
kat, terhitung lebih efektif.
Argumen umum untuk menjelaskan keadaan ini biasanya menyatakan bah-
wa, untuk menampakkan kinerjanya, pemerintahan hasil pemekaran membu-
tuhkan waktu dan kesempatan untuk menggerakkan seluruh potensi yang ada.
Argumen ini sahih dari sudut pandang pembangunan administrasi-birokrasi, kare-
na memang diperlukan akumulasi pengetahuan dan pengalaman bagi birokrasi
untuk membentuk learning curve-nya sendiri. Namun demikian, dari sudut ca-
paian pembangunan —capaian yang ditunggu oleh rakyat banyak— argumentasi
itu jelas dapat diperdebatkan,30 mengingat banyak soal-soal genting dan akut
di masyarakat yang membutuhkan respons cepat. Sebagaimana disebut, policy
delay yang terjadi akibat pemekaran memiliki resiko serius pada kesejahteraan
rakyat.
Penentu Capaian
Laporan ini menemukan bahwa issu-issu dasar pembangunan daerah —kemiskinan
dan ketertinggalan— menjadi variabel penjelas penting atas capaian daerah. Se-
mentara itu, simulasi yang dikembangkan dalam laporan ini menunjukkan bah-
wa kebijakan untuk menangani masalah-masalah dasar seperti ini justru jauh
lebih efektif jika dijalankan tanpa melalui skenario pemekaran. Oleh karenanya,
tindakan-tindakan yang langsung menjawab persoalan-persoalan semacam ini di-
rasakan sebagai sebuah kebutuhan.
Saat ini kebijakan desentralisasi sebagai koreksi atas kebijakan sentralisasi
masa lalu tampaknya perlu dikembalikan kepada tujuan esensialnya, yakni pen-
capaian kesejahteraan rakyat. Ini dimaksudkan agar kebijakan desentralisasi
tidak melulu didominasi oleh issu-issu pembentukan daerah otonomi baru. Im-
plikasinya ialah suatu wacana alternatif untuk pencapaian kesejahteraan rakyat
penting untuk digaungkan, yang tidak semata-mata ditempuh melalui jalan pem-
bentukan daerah otonomi baru. Wacana ini adalah upaya untuk memetakan
kembali persoalan-persoalan pembangunan daerah dan cara-cara penyelesaian-
nya —suatu upaya reinventing regional development (Kant et al, 2004) yang
30
Lagi pula, empirik memperlihatkan, tidak ada hubungan yang tegas antara ‘pengalaman
suatu yurisdiksi’ (berapa lama suatu yurisdiksi telah dibangun) dengan capaian sosial-ekonomi
yang mampu ditunjukkannya. Korelasi antara IPM, partisipasi sekolah, vaksinasi bayi, dan
panjang jalan di satu sisi dengan tahun pembentukan yurisdiksi di lain sisi sebagai proksi pe-
ngalaman pemerintahan, misalnya, terhitung rendah. Untuk kabupaten-kota DOB, koefisien
korelasi bergerak antara −0, 05 sampai −0, 26, sedangkan untuk non-DOB antara −0, 03 hingga
−0, 11. Sementara itu, untuk keseluruhan yurisdiksi kabupaten-kota koefisien itu berada di
antara −0, 14 hingga −0, 20.
22
mencakup dimensi-dimensi pembangunan manusia dan pembangunan wilayah di
daerah, serta perbaikan ketimpangan antardaerah. Reinventing regional deve-
lopment dalam laporan ini dijadikan wacana alternatif atas pemekaran karena
sifatnya yang lebih luas daripada sekedar issu politik-administrasi yurisdiksi seba-
gaimana halnya pemekaran. Inisiatif-inisiatif perlu digulirkan untuk membangun
wacana ini tanpa perlu dilimitasi oleh issu politik-administrasi pemerintahan se-
mata.
Laporan ini akan bermuara pada penggelindingan wacana ini. Di dalam bab
awal dan bab antara pada laporan ini, sejumlah issu terkait akan didiskusikan du-
lu sebelum ia sampai pada diskusi mengenai pilihan-pilihan kebijakan untuk pen-
capaian kesejahteraan rakyat selain melalui jalan pemekaran. Issu-issu itu berta-
lian potret empiris pemekaran yang ditilik dari perspektif kesejahteraan rakyat.
Perspektif kesejahteraan rakyat ini dipakai sebab ia selalu ditetapkan sebagai tu-
juan yang hendak dicapai oleh pembentukan yurisdiksi baru. Berdasarkan per-
spektif ini pula wacana ‘temu-ulang pembangunan daerah’ digelindingkan sebagai
wacana alternatif.
Pemekaran kini berada di persimpangan jalan. Laporan ini sama sekali
tidak menafikkan kenyataan bahwa, dalam jumlah terbatas, ada kasus-kasus pe-
mekaran yang mendulang sukses. Pada saat yang bersamaan, studi ini juga
mencatat arus besar hasrat untuk melakukan pemekaran masih terus mengalir.
Tetapi, efek kesejahteraan yang ditimbulkan oleh pemekaran juga masih sangat
laik dipertanyakan. Di persimpangan ini pilihan ditentukan.
Bab 2
Membandingkan Capaian Daerah
Apakah pemekaran sudah mencapai tujuannya, membawa masyarakat ke tingkat
kesejahteraan yang lebih tinggi? Kini, setelah satu dasa warsa desentralisasi
bergulir, pertanyaan sejenis ini laik diajukan. Ia bukan hanya penting untuk
dijadikan pijakan ketika Indonesia menoleh balik ke belakang, mengevaluasi apa
yang telah terjadi; tetapi juga manakala Republik ini harus menatap ke muka
sejalan dengan gerakan pengusulan pemekaran yurisdiksi yang belum berhenti
menggelinding. Pertanyaan semacam ini menguak esensi pemekaran yang paling
dalam: kesejahteraan rakyat.
Pemilihan Indikator
Bab ini meninjau capaian pembangunan sosial dan ekonomi yang langsung di-
rasakan oleh masyarakat di daerah pemekaran dan bukan pemekaran. Pemba-
ngunan sektor sosial sendiri tidaklah terisolasi. Ia (seharusnya) merupakan buah
pembangunan ekonomi. Kemajuan sektor ekonomi menjadi kurang bermakna
tanpa perbaikan sektor sosial. Upaya pembangunan ekonomi yang tidak mem-
beri dampak positif pada sektor sosial dapat dikatakan sebagai upaya yang “tidak
berbuah”. Peningkatan pendapatan per kapita, misalnya, tidak memberi banyak
arti jika tidak terjadi perbaikan dalam pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Sebaliknya, perbaikan pendidikan dan kesehatan menjadi fondasi penting bagi
peningkatan produktivitas dan efisiensi. Tidaklah mengherankan, sebagaimana
dinyatakan Hill (1996), jika sektor sosial bisa dijadikan sebagai the most tangible
yardstick —tongkat pengukur paling kentara— bagi pembangunan ekonomi.
Dengan spirit yang sama, pemekaran juga seharusnya berbuah kesejahte-
raan rakyat. Sukses atau tidaknya pemekaran —bahkan gagasan pemekaran itu
sendiri— justru harus ditilik dari cara pandang ini. Lebih luas lagi, Indonesia
harus dipandang dari kacamata kesejahteraan rakyat. Berbasis pada pertimbang-
an itu, bab ini akan terkonsentrasi pada variabel-variabel yang mengarah lang-
23
24
sung pada kesejahteraan rakyat. Di bab ini pula dilaporkan perbedaan capaian
antara DOB sebagai kelompok perlakuan dan non-DOB sebagai kelompok kon-
trol. Diskusi rinci tentang metodologi dalam bab ini disajikan dalam Lampiran
Teknis.
Capaian-capaian pembangunan kabupaten-kota yang didiskusikan dalam
bab ini yang merujuk pada outcomes di empat sektor, yaitu kesejahteraan umum,
pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ini untuk menggambarkan capaian
yang lebih komprehensif karena mencakup capaian-capaian ekonomi dan sosial
sekaligus. Selain dirujuk untuk mendapatkan makna substantifnya, pilihan atas
indikator-indikator ini dibatasi juga oleh ketersediaan data yang dapat meliput
440 kabupaten-kota amatan. Secara khusus beberapa indikator kunci didiskusikan
untuk menggambarkan capaian di empat sektor itu.
• Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini untuk menggam-
barkan capaian di sektor kesejahteraan masyarakat secara agregat, karena
indeks ini menangkap perkembangan di sektor ekonomi dan sektor sosial
sekaligus.
• Partisipasi Sekolah Siswa. Berbeda dengan observasi atas IPM yang
tidak terbatas pada suatu cohort demografi tertentu, partisipasi sekolah
merujuk pada cohort demografi yang spesifik.
• Vaksinasi Bayi. Representasi sektor kesehatan ini memotret cohort de-
mografi yang lebih spesifik lagi. Dua indikator di sektor pendidikan dan ke-
sehatan ini dapat menggambarkan ‘mutu manusia’ dalam cohort demografi
yang ditelaah, sehingga penilaian atas capaian Daerah menangkap lebih
lengkap cohort demografi yang ada.
• Panjang Jalan. Capaian pembangunan panjang jalan untuk merepresen-
tasi sektor infrastruktur juga didiskusikan dalam bab ini. Sebagaimana
luas diketahui, jalan raya adalah urat nadi arus barang dan jasa untuk
pergerakan ekonomi suatu wilayah.
Selain indikator-indikator itu, padanan indikator sektor pendidikan dan ke-
sehatan juga dilengkapi dengan indikator lama sekolah (schooling year) dan per-
salinan dengan bantuan tenaga paramedik. Hingga derajat tertentu, indikator-
indikator itu bisa menjelaskan apa yang terjadi dalam infrastruktur dan kelemba-
gaan di sektor pendidikan dan kesehatan. Selain itu, untuk mendapatkan gam-
baran capaian Daerah dalam sektor ekonomi dan sosial, indikator-indikator lain
yang relevan —kendati tidak didiskusikan secara khusus di bab ini— disajikan
dalam Lampiran A.
25
Kesejahteraan Umum:
Indeks Pembangunan Manusia
Bagaimana mengukur tingkat kesejahteraan umum mengingat ini adalah term
dengan cakupan yang luas? Di antara pelbagai indikator yang ada, Indeks Pem-
bangunan Manusia (IPM) paling tepat dipakai untuk mengukur profil kesejahte-
raan umum. Di dalam indeks ini, kesejahteraan tidak hanya ditilik melalui per-
spektif ekonomi semata sebagaimana lazim terekam dalam Produk Domestik Re-
gional Bruto (PDRB) per kapita, tetapi juga diteropong via capaian di sektor
sosial, yakni pendidikan dan kesehatan. Dalam hal yang terakhir, Tingkat Melek
Huruf (TMH) dan Tingkat Harapan Hidup (THH) adalah dua indikator yang
lazim termaktub dalam konstruksi IPM.
Tabel 2.1 melaporkan perbedaan capaian IPM antara daerah perlakuan
dengan daerah kontrol. Untuk keseluruhan Indonesia, melalui pasangan amatan
yang sepadan (macthed pair), dapat dinyatakan bahwa capaian daerah perlakuan
dalam IPM lebih buruk daripada capaian IPM oleh daerah kontrol, sebagaimana
dicirikan oleh tanda negatif ATET (Average Treatement Effect for the Treated).31
Ketiga teknik yang dipakai —stratification, nearest neighbor, dan kernel match-
ing— memberikan hasil yang secara kualitatif senada, bahkan dua di antaranya
melaporkan gambaran kuantitatif yang sangat dekat. Dengan standard error
yang relatif kecil —kurang-lebih separuh dari nilai ATET— perbedaan capaian
IPM antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan secara statistik terhitung
signifikan.
Fakta ini menjelaskan bahwa, kecuali Jawa-Bali dan Sulawesi, yurisdik-
si yang tidak mengambil opsi pemekaran menunjukkan kinerja yang lebih baik
dibandingkan yurisdiksi counterpart-nya. Ketiga teknik yang dipakai memberikan
gambaran yang secara umum konsisten dalam urutan perbedaan capaian. Perbe-
daan capaian yang terbesar terjadi di Papua, di mana yurisdiksi DOB jauh
tertinggal di belakang yurisdiksi bukan-DOB, lalu disusul Sumatera dan Kali-
mantan. Di Maluku dan Nusa Tenggara, meski tak terlalu besar, yurisidiksi
non-pemekaran masih lebih baik daripada yurisdiksi hasil pemekaran.
Gambaran IPM yang lebih buruk di kelompok DOB juga didukung oleh
komponen-komponen penyusunnya, walaupun secara statistik tidak selalu sig-
nifikan. Masyarakat yang tinggal di DOB umumnya memiliki usia harapan hidup
yang lebih pendek. Dibandingkan dengan di daerah lain, di yurisdiksi DOB lebih
sedikit orang yang mampu “membaca, menulis, dan mengerti kalimat sederhana”.
Pada saat yang sama, pendapatan per kapita (non-migas) di wilayah pemekaran
juga terhitung lebih kecil. Ringkas kata, jika IPM boleh dibaca sebagai potret
31
Nilai ATET adalah nilai perbedaan capaian indikator sosial-ekonomi antara kelompok per-
lakuan dan kelompok kontrol sebagai suatu matched pair. Tanda negatif menunjukkan capaian
di kelompok perlakuan lebih rendah daripada capaian di kelompok kontrol.
26
tentang mutu pembangunan manusia, yurisdiksi hasil pemekaran belum mampu
menunjukkan kemampuan untuk membangun mutu kehidupan masyarakatnya.
Pendidikan:
Lama Sekolah dan Partisipasi Sekolah
Untuk menjadikan masyarakat lebih terdidik, jelas dibutuhkan partisipasi pen-
didikan yang lebih baik. Ini tentu dimulai dengan mengirim anak-anak lebih
banyak ke sekolah. Harus lebih banyak siswa berada di kelas tatkala lonceng seko-
lah berbunyi. Harus lebih banyak anak usia sekolah berpartisipasi di jenjangnya
masing-masing. Pendidikan juga menentukan mutu pembangunan manusia.
Di sektor pendidikan dua indikator dipakai sebagai variabel evaluasi: lama
sekolah (schooling year) dan partisipasi sekolah. Lama sekolah menjelaskan be-
rapa lama suatu komunitas mengecap pendidikan di dalam lembaga-lembaga
pendidikan formal. Mengingat “lama pendidikan” hingga derajat tertentu juga
memantulkan makna sebagai “tingkat pendidikan”, lama sekolah juga bisa mem-
berikan gambaran kasar tentang “seberapa tinggi” suatu komunitas dapat dididik
oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Sementara itu, partisipasi sekolah
mengacu pada berapa banyak anak usia sekolah terserap dalam sistem pendidikan
menurut jenjangnya masing-masing. Di Lampiran A juga disajikan disagregasi
partisipasi sekolah menurut jenjang pendidikan. Selain itu, ditampilkan pula
tingkat kompetensi siswa sebagai variabel yang menangkap kemampuan siswa
sekolah dari pelbagai jenis dan tingkat untuk melampaui ujian tingkat nasional
dan tingkat sekolah.
Tabel 2.2 merekam potret kinerja dunia pendidikan yang lebih buram di
daerah pemekaran dibandingkan dengan daerah pembandingnya. Pertama, un-
tuk keseluruhan Indonesia, penduduk di daerah pemekaran mengenyam masa
pendidikan 4,5-6 bulan lebih pendek daripada penduduk di daerah pembanding.
Secara substansial perbedaan ini boleh jadi tidak bermakna, tetapi pengujian
secara statistik melaporkan bahwa perbedaan ini signifikan. Artinya, temuan
ini bersifat sistematik, bukan “kebetulan” semata. Dalam ekspresi lain, peluang
untuk menemukan kinerja DOB yang seperti ini lebih tinggi daripada sebaliknya.
Kedua, lebih sedikit anak pergi ke sekolah di yurisdiksi perlakuan daripada
yurisdiksi kontrol. Pada tingkat sekolah dasar perbedaan partisipasi sekolah an-
tara yurisdiksi perlakuan dan kontrol ini masih relatif kecil, antara 1-3 persen.
Tetapi pada tingkat SLTP, selisih itu melebar dua kali, hingga 3-5 persen. Se-
makin tinggi lagi jenjang pendidikan, senjang partisipasi sekolah itu semakin
menganga. Partisipasi sekolah pada jenjang SLTA untuk yurisdiksi perlakuan
lebih rendah 10-17 persen dibandingkan dengan yurisdiksi kontrol. Mengingat
27
piramida penduduk kabupaten-kota Indonesia membengkak di bagian tengah-
bawah, angka 10-17 persen ini merupakan issu yang sangat serius.
Kisah ketertinggalan berulang kembali pada kompetensi siswa. Lampiran
A menunjukkan prestasi siswa-siswa di daerah pemekaran tampaknya tertinggal.
Nilai ujian nasional dan ujian sekolah di setiap jenjang selalu lebih rendah di dae-
rah pemekaran daripada nilai-nilai ujian siswa di daerah non-pemekaran. Serupa
pula seperti dalam tingkat partisipasi sekolah, perbedaan kompetensi siswa ini
menajam sejalan dengan menaiknya tingkat pendidikan. Keadaan ini masih di-
tambah lagi dengan fakta bahwa nilai terburuk untuk semua jenjang ujian justru
ditemui di daerah pemekaran, tetapi nilai tertinggi ditemui di daerah bukan-
pemekaran —kecuali pada nilai ujian tertinggi SD. Siswa-siswa di wilayah per-
lakuan masih harus belajar lebih keras untuk mengejar prestasi teman-temannya
di wilayah kontrol.
Singkat cerita, untuk keseluruhan Indonesia, wajah sektor pendidikan di
daerah pemekaran masih kurang rupawan dibandingkan wajah sektor pendidikan
di daerah non-pemekaran. Dalam kalimat lain, agak disayangkan, pilihan pe-
mekaran bukan pilihan yang berdayaguna bagi dunia pendidikan. Namun demi-
kian, mengingat di beberapa daerah pemekaran kemajuan itu tetap terjadi, se-
bagaimana ditunjukkan juga oleh Tabel itu, tampaknya perlu dicari cara agar
terjadi policy mimicking dari daerah pemekaran yang lebih maju oleh daerah
hasil pemekaran lain yang masih tertinggal.
Kesehatan:
Vaksinasi dan Persalinan
Sektor kesehatan jelas merupakan sektor penting dalam pembangunan. Perha-
tian pada cohort demografi yang lebih khusus di sektor kesehatan, yakni balita,
juga tak kalah pentingnya, karena dalam jangka panjang cohort demografi ini
akan menjadi generasi baru yang amat menentukan. Pada saat yang sama, ibu-
ibu yang melahirkan generasi baru ini juga tidak mungkin dapat disisihkan dari
perhatian, apalagi ibu-ibu yang menghadapi masa persalinan. Saat-saat persalin-
an adalah masa-masa yang amat menentukan bagi ibu-ibu dan bayi-bayi mere-
ka. Oleh karenanya, dukungan-dukungan medis pada saat persalinan merupakan
tindakan-tindakan yang juga perlu mendapat perhatian.
Daerah Otonomi Baru kembali gagal menunjukkan capaiannya di sektor
kesehatan. Daya jangkau vaksinasi bayi daerah ini masih lebih kecil daripada
daya jangkau daerah bukan-pemekaran. Kendati dalam jumlah terbatas beberapa
yurisdiksi mampu menampilkan citra mengesankan, daerah pemekaran secara
keseluruhan tertinggal 3-4 persen di belakang daerah non-pemekaran.
28
Maluku dan Papua perlu mendapat perhatian khusus yang amat serius un-
tuk capaian vaksinasi bayi. Di timur kaki langit Indonesia ini, daerah pemekaran
tertinggal amat jauh. Dampak atas pilihan pemekaran sama sekali tidak terasa
bagi bayi-bayi untuk mendapatkan vaksinasi. Bayi-bayi di wilayah pemekaran
tidak lebih banyak mendapatkan vaksinasi dibandingkan dengan bayi-bayi yang
dilahirkan di wilayah bukan-pemekaran.
Di Maluku, jangkauan vaksinasi yurisdiksi pemekaran tertinggal 10-12 per-
sen. Di kabupaten-kota pemekaran Papua, bayi-bayi masih harus menangis lebih
nyaring, karena tenaga medis kalah sigap 11-15 persen dalam menjangkau bayi-
bayi untuk divaksin. Tetapi yurisdiksi pemekaran di Sulawesi menampilkan citra
yang sebaliknya. Di Sulawesi, jarum suntik vaksinasi daerah pemekaran lebih
banyak menjangkau bayi-bayi. Senafas dengan IPM dan indikator di sektor pen-
didikan, daerah pemekaran di Sulawesi berada di depan daerah bukan pemekaran.
Dalam hal persalinan, jangkauan tenaga medis untuk menolong persalinan
di daerah pemekaran lebih terbatas. Di sini persalinan dengan bantuan tenaga
medis terhitung 8-9 persen lebih rendah dibandingkan persalinan di yurisdiksi
kontrol. Gambaran ini tampaknya konsisten dari nusa ke nusa. Sejauh timur
dari barat Indonesia, sejauh itu pula ketertinggalan yurisdiksi pemekaran dalam
menolong ibu-ibu menghadapi detik-detik kehidupan yang menentukan: persalin-
an.
Yurisdiksi pemekaran di Sulawesi yang dalam indikator-indikator sebelum-
nya tampil meyakinkan, kali ini harus terpuruk jatuh. Sumatera dan Kaliman-
tan setali tiga uang. Yurisdiksi pemekaran di sana tertinggal 10 persen di be-
lakang yurisdiksi bukan-pemekaran dalam menolong ibu-ibu membawa jiwa baru
ke dunia. Di Jawa kejutan juga terjadi. Daerah pemekaran di Jawa rupanya
masih membiarkan ibu-ibu berjuang sendiri dalam melahirkan bayi. Sementara
itu, Papua kembali gagal membawa berita baik, karena pemekaran tidak meng-
hasilkan dampak yang positif. Wilayah pemekaran di sana hanya mampu meno-
long 24-30 persen lebih rendah ibu-ibu untuk bersalin dibandingkan yurisdiksi
counterpart-nya.
Keadaan di atas belum merupakan potret keseluruhan, sebab ia masih
harus dilengkapi pula dengan kondisi sanitasi yang lebih buruk di DOB. Pen-
duduk di kelompok perlakuan tidak mampu melampaui penduduk di kelompok
kontrol dalam pemilikan jamban sendiri. Selisih keduanya antara 2,5 hingga 6,5
persen dari populasi. Pemilikan jamban sendiri terasa bukan issu serius bagi
sejumlah lapisan masyarakat. Tapi temuan ini seperti mencengangkan, kare-
na banyak penduduk daerah pemekaran yang gagal memenuhi kebutuhan ini.
Keadaan ini tentu makin serius ketika pemilikan jamban sendiri dibidik dalam
perspektif mutu sanitasi. Mutu sanitasi, hingga derajat tertentu, menentukan
mutu pembangunan manusia.
29
Akses pada air bersih juga tak berbeda, malah lebih buruk lagi. Persentase
penduduk yang memiliki akses pada air bersih di yurisdiksi DOB lebih rendah
13-15 persen dibandingkan dengan porsi penduduk yang mampu mengakses air
bersih di daerah kontrol (Lampiran A). Air bersih tampaknya belum bisa mengalir
lancar ke huma-huma penduduk di daerah pemekaran. Bagi penduduk di sana,
masih dibutuhkan upaya tak ringan untuk memperoleh air bagi kehidupan harian.
Singkat kata, kesehatan dan sanitasi masih menjadi persoalan serius bagi wilayah-
wilayah hasil pemekaran. Perlu kerja yang lebih keras lagi untuk membuktikan
bahwa pemekaran adalah opsi yang bermanfaat bagi rakyat banyak, agar cita-cita
kesejahteraan menjadi nyata, bukan wacana semata.
Infrastruktur:
Pembangunan Jalan
Jalan raya bukan hanya penting untuk menghubungkan satu lokus dengan lain
lokus perekonomian. Lebih daripada itu, ia juga menghidupkan dan mengge-
rakkan pelbagai aktivitas tautannya. Pembangunan jalan yang membuka keter-
kuncian dan keterkulican wilayah memiliki sumbangan berarti pada penyempitan
disparitas harga antar-wilayah. Telah menjadi fakta bahwa tingkat harga berbeda
dari satu titik ke titik geografi lain. Perbedaan ini semakin tajam mencolok
tatkala ketika jalan menjadi bottleneck pergerakan barang dan jasa antar-wilayah.
Dalam hal kemampuan pembangunan jalan, baik dalam ukuran kilometer
absolut maupun dalam ukuran relatif terhadap luas wilayah, kelompok perlakuan
tidak mampu menandingi kelompok kontrol. Yurisdiksi di kelompok perlakuan
tertinggal antara 240-250 km dalam pembangunan jalan dibandingkan dengan
yurisdiksi di kelompok kontrol. Di semua kelompok pulau, tak satu pun yurisdiksi
pemekaran mampu membangun jalan yang lebih panjang.
Diukur secara relatif terhadap luas wilayah, kemampuan kabupaten-kota
pemekaran untuk membangun jalan juga tak lebih baik. Hanya di Kaliman-
tan dan Nusa Tenggara, relatif terhadap luas wilayahnya, yurisdiksi pemekaran
mampu mengungguli yurisdiksi non-pemekaran. Dari Sumatera hingga Papua,
bahkan juga di Jawa, tak ada jalan yang lebih panjang di kabupaten-kota pe-
mekaran dibandingkan dengan kabupaten-kota bukan-pemekaran.
Situasi ini setali tiga uang dengan kemampuan distrik-distrik di wilayah
pemekaran dalam menghasilkan energi listrik. Sekali lagi, DOB tidak mampu
memperlihatkan kinerja yang lebih baik. Di wilayah perlakuan, produksi listrik
terhitung jauh lebih rendah daripada produksi listrik di wilayah counterpart-
nya. Perbedaan capaian ini bersifat sistematik sebagaimana ditunjukkan oleh
signifikansi statistiknya.
30
TABEL2.1.IndeksPembangunanManusia
NearestKernel
RegioPerlakuanKontrolStratificationPerlakuanKontrol
Neighbor
PerlakuanKontrol
Matching
Sumatera5659-2,4435627-1,2055659-2,346
Jawa-Bali6281,307661,7506281,148
NusaTenggara43-0,77552-0,28052-0,927
Kalimantan1714-2,205227-1,595229-1,761
Sulawesi15371,24322100,77722300,701
Maluku77-1,514113-1,182113-1,024
Papua1610-6,678175-5,353179-5,972
Indonesia139175-1,53713965-1,252139175-1,561
(-2,466)(-1,835)(-2,854)
Keterangan:Angkadalamkurungadalaht-statistikperbedaanantaracapaianDOBdanNon-DOB.
31
TABEL2.2.LamaSekolahdanPartisipasiSekolah
NearestKernel
RegioPerlakuanKontrolStratificationPerlakuanKontrol
Neighbor
PerlakuanKontrol
Matching
•LamaSekolah
Sumatera5659-0,8775627-0,5115659-0,830
Jawa-Bali6280,813660,9676280,769
NusaTenggara430,07552-0,020520,122
Kalimantan1714-0,453227-0,445229-0,491
Sulawesi15370,51722100,35922300,315
Maluku77-0,486113-0,336113-0,301
Papua1610-1,814175-0,959179-1,666
Indonesia139175-0,53013965-0,376139175-0,495
(-2,352)(-1,609)(-2,622)
•PartisipasiSekolah
Sumatera5659-1,10156271,8435659-0,644
Jawa-Bali628-1,759662,065628-1,788
NusaTenggara430,487524,53652-0,573
Kalimantan1714-0,556227-0,956229-0,900
Sulawesi15371,58022105,95022304,193
Maluku77-11,763113-10,172113-10,85
Papua1610-12,144175-14,991179-11,039
Indonesia139175-3,25913965-4,029139175-2,894
(-2,319)(-2,342)(-2,058)
Keterangan:Angkadalamkurungadalaht-statistikperbedaanantaracapaianDOBdanNon-DOB.
32
TABEL2.3.VaksinasidanPersalinan
NearestKernel
RegioPerlakuanKontrolStratificationPerlakuanKontrol
Neighbor
PerlakuanKontrol
Matching
•VaksinasiBayi
Sumatera5659-1,10156271,8435659-0,644
Jawa-Bali628-1,759662,065628-1,788
NusaTenggara430,487524,53652-0,573
Kalimantan1714-0,556227-0,956229-0,900
Sulawesi15371,58022105,95022304,193
Maluku77-11,763113-10,172113-10,850
Papua1610-12,144175-14,991179-11,039
Indonesia139175-3,25913965-4,029139175-2,894
(-2,319)(-2,342)(-2,058)
•Persalinan
Sumatera5659-10,2485627-5,1455659-9,273
Jawa-Bali628-8,08266-0,340628-7,784
NusaTenggara43-9,930520,47652-9,598
Kalimantan1714-9,869227-4,701229-6,501
Sulawesi1537-5,0712210-11,2732230-7,532
Maluku77-7,744113-11,652113-11,751
Papua1610-23,691173-27,870179-29,504
Indonesia139175-9,92613965-7,825139175-9,332
(-2,462)(-2,232)(-3,034)
Keterangan:Angkadalamkurungadalaht-statistikperbedaanantaracapaianDOBdanNon-DOB.
33
TABEL2.4.PembangunanJalan
NearestKernel
RegioPerlakuanKontrolStratificationPerlakuanKontrol
Neighbor
PerlakuanKontrol
Matching
•JalanAbsolut(km)
Sumatera5659-237,4715624-264,3955659-217,66
Jawa-Bali628-95,12363-169,032628-97,589
NusaTenggara43-609,25051-609,25052-609,250
Kalimantan1714-82,297227-96,224229-84,584
Sulawesi1537-209,363228-342,0432230-308,739
Maluku77-186,563112-198,978113-200,426
Papua1610175-505,517179-193,067
Indonesia139175-249,96813965-237,109139175-255,074
(-2,975)(-2,325)(-2,873)
•JalanRelatif
Sumatera5659-1,1405624-0,5645659-1,141
Jawa-Bali628-0,35763-1,050628-0,564
NusaTenggara430,080510,080520,080
Kalimantan17140,0152270,0052290,001
Sulawesi1537-0,442228-0,3502230-0,561
Maluku77-0,032112-0,041113-0,045
Papua175-0,199179-0,118
Indonesia139175-0,60913965-0,328139175-0,600
(-2,575)(-1,542)(-2,781)
•ProduksiListrik(mw)
Indonesia139175-8.65E+0713940-4.48E+07139175-6.78E+07
(-2.099)(-1.247)(-2.501)
Keterangan:Angkadalamkurungadalaht-statistikperbedaanantaracapaianDOBdanNon-DOB.
34
Analisis “Counter-Factual”
Sejauh ini telah dipaparkan bahwa pilihan administratif pemekaran bukanlah
jalan efektif ke arah pencapaian kesejahteraan rakyat. Indikator-indikator sosial-
ekonomi yang ada menyajikan cerita buram: yurisdiksi pemekaran belum mampu
menampilkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan kinerja counterpart-
nya. Dari indikator-indikator yang dianalisis terlihat bahwa perbedaan capaian
ini bersifat sistematik. Ini berarti peluang untuk menyatakan fenomena ini “be-
nar” secara empiris jauh lebih tinggi daripada peluang untuk menolaknya.
Pengertian
Bagian berikut ini melakukan counter-factual analysis atas perilaku itu. Secara
verbal pertanyaaan yang diajukan di sini adalah, given perilaku determinan yang
melekat padanya, apa yang akan terjadi jika yurisdiksi pemekaran tidak mengam-
bil opsi pemekaran? Bagaimana dengan sebaliknya? Lebih spesifik lagi, berapa
besar perbedaan yang terjadi? Diekspresikan dengan cara lain, apa yang terjadi
jika DOB berperilaku seperti non-DOB? Bagaimana sebaliknya? Bagaimana pula
jika skenario kebijakan yang langsung menyentuh jantung persoalan pembangu-
nan daerah, yakni antikemiskinan dan perbaikan mutu teknokrasi pembangunan,
dijalankan di bawah setiap opsi administratif?
Counter-factual analysis ini dilakukan untuk mencapai dua tujuan. Per-
tama, menyajikan ilustrasi mengenai hubungan antaropsi administatif dan an-
tarskenario kebijakan. Kedua, memprakirakan dampak yang terjadi berkenaan
dengan skenario-skenario itu.32 Analisis ini merupakan sebuah eksperimen untuk
menguji efektivitas suatu kebijakan dibandingkan dengan kebijakan lain sebagai
alternatifnya dengan mempertimbangkan satu gugus determinannya.
Dalam konteks studi ini, counter-factual analysis dilakukan untuk menguji
efektivitas pilihan administratif pemekaran untuk dibandingkan dengan bukan-
pemekaran. Di dalam dua pilihan administratif ini dijalankan beberapa skenario
kebijakan yang lebih teknis lagi. Analisis berikut ini menampilkan hasil simu-
lasi skenario-skenario itu. Pilihan atas jenis kebijakan apa yang disimulasi di-
dasarkan pada tingkat signifikansi variabel-variabel, yaitu determinan capaian
daerah, yang ditelaah (Lihat Lampiran Teknis) —di antaranya adalah penu-
runan kemiskinan, perbaikan mutu perencanaan pembangunan, dan perbaikan
mutu teknokrasi fiskal.33
32
Terkandung di dalamnya, analisis ini mengendalikan confounding factors yang mungkin
mempengaruhi dampak atau capaian yang diukur.
33
Untuk kepentingan ilustratif, besarnya shock dalam simulasi kebijakan diberikan secara
arbitrary, yakni 5 dan 10 persen berturut-turut untuk penurunan kemiskinan dan perbaikan
teknokrasi fiskal (peningkatan rasio sumber pembiayaan anggaran (Daerah-Pusat)). Sementara
itu, skenario perbaikan perencanaan pembangunan dinyatakan sebagai situasi apabila memiliki
35
Pemekaran Wilayah di Lampung Lebih Banyak Nilai Merahnya...
Tahun 1999, di Lampung terjadi pemekaran wilayah. Kabupaten Lampung Tengah
dipecah menjadi Kota Metro, Kabupaten Lampung Timur, dan Kabupaten Lampung
Tengah. Sementara Kabupaten Lampung Utara dipecah menjadi Kabupaten Way
Kanan, Tulang Bawang, Lampung Barat, dan Lampung Utara. Alasan utama pe-
mekaran adalah menekan rentang kendali dan pelayanan yang terlampau jauh. “Saat
itu alasan pemekaran sangat tepat,” demikian komentar Syafarudin, pengamat otono-
mi daerah dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Lampung,
5 Februari lalu.
Selama 10 tahun pemekaran berjalan, Metro mampu mengembangkan diri menjadi
kota yang maju dari aspek pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, ke-
sehatan, dan pendidikan. Khusus tentang infrastruktur, Metro mewarisi peninggalan
Belanda yang infrastrukturnya relatif teratur dalam tata ruang ataupun tata kota.
Selain itu, Pemerintah Kota Metro melangsungkan pembangunan dengan mengikuti
tata ruang yang direncanakan. Soal pembangunan infrastruktur, Kabupaten Lampung
Barat dan Kabupaten Lampung Utara pun tergolong baik, sedangkan Kabupaten Tu-
lang Bawang memiliki pusat perekonomian.
Kabupaten Way Kanan kurang berkembang. Lokasinya dikelilingi perkebunan swasta,
sementara pemerintah kabupaten tidak memiliki keberanian untuk mencari terobosan.
Hal serupa dialami Kabupaten Lampung Tengah. Sebagai kabupaten induk, Lampung
Tengah sampai sekarang belum bisa berkembang lantaran tidak dapat memfokuskan
pembangunan sumber daya alam yang tersisa setelah pemekaran. Satu kabupaten
lainnya, Lampung Timur, pembangunannya dinilai stagnan karena aparat pemerintah
kurang jeli mengembangkan potensi wilayah. Pemerintah Kabupaten Lampung Timur
hanya mengembangkan pertanian tanpa berpikir untuk mengembangkan industri pen-
golahan.
Pemekaran wilayah di Lampung tidak seperti yang dicita-citakan, lebih banyak nilai
merahnya. Rakyat pada umumnya tidak mendapat kemudahan pelayanan di berba-
gai bidang, di samping tak ada kemajuan pembangunan berarti. Pemerintah baru
memiliki kualitas yang tidak bagus dan tidak bisa memfokuskan pembangunan yang
penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi, seperti infrastruktur. Di samping itu,
daerah pemekaran pada umumnya hanya menjadi obyek politis segelintir elite poli-
tik. Dampaknya, aparat pemerintah diisi orang yang tidak tepat karena faktor kroni.
“Faktor tersebut menjadikan pemanfaatan anggaran keuangan daerah atau APBD
tidak seimbang. Sebesar 70 persen dari APBD lebih banyak dipakai untuk belanja
aparatur dan 30 persen untuk rakyat,” tambah Syafarudin.
Dicuplik dengan penyesuaian dari
Kompas, 11 Februari 2009 (hal. 24)
36
Perbandingan
Kesejahteraan Umum: IPM. Tabel 2.5 memotret hasil yang diperoleh dari
analisis counter-factual. Kolom pertama menjelaskan status yurisdiksi yang sebe-
narnya (faktual), apakah ia DOB atau bukan. Kolom kedua menampilkan hasil
estimasi capaian faktual yurisdiksi menurut statusnya. Kolom ketiga menun-
jukkan estimasi capaian jika yurisdiksi mengambil opsi yang berlawanan dengan
opsi yang telah diambilnya. Kolom keempat menggambarkan besarnya gain atau
pain jika yurisdiksi mengambil opsi yang berlawanan. Dua kolom terakhir meng-
uji perbedaan itu secara statistik.
Tabel 2.5 melempar pesan substansial: Jauh lebih baik bagi yurisdik-
si yang mengalami pemekaran (factual) apabila ia tidak mengambil opsi itu
(counter-factual). Analisis counter-factual menunjukkan andai yurisdiksi itu
tidak memekarkan diri, ia justru mendapatkan gain yang secara statistik sa-
ngat signifikan. Ini artinya opsi pemekaran bukanlah opsi yang wise dari segi
capaian IPM. Pemekaran mengakibatkan yurisdiksi kehilangan dua poin IPM —
sebuah kehilangan yang substansial tatkala diingat bahwa IPM adalah indikator
komposit dari variabel-variabel ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.
TABEL 2.5. IPM: “Counter-factual Analysis”
Status Faktual Skenario Counter-Factual Perbedaan Signifikansi
(N=384) Mekar −→ Tidak Mekar Capaian t-stat.
• DOB 69,17 71,33 2,16 7,74 ***
• Kemiskinan -5% 69,28 71,43
• Perbaikan
Perencanaan
71,10 72,71
Tidak Mekar −→ Mekar
• Bukan-DOB 69,70 69,85 0,15 0,46
• Kemiskinan -5% 69,86 70,03
• Perbaikan
Perencanaan
69,82 70,03
Lalu, apa yang akan terjadi jika yurisdiksi yang tidak memekarkan diri
mengambil opsi pemekaran? Tabel 2.5 mempresentasikan lagi hasil simulasi
skenario counter-factual-nya. Benar bahwa pemekaran akan menghasilkan pe-
ningkatan IPM, yakni dari 69,7 ke 69,8, tapi gain itu sedikit saja (0,15 poin)
dibandingkan dengan mekanisme sebaliknya. Uji statistik atas kenaikan tipis ini
melaporkan hasil yang tidak signifikan. Singkatnya, pemekaran bukanlah opsi
yang efektif untuk mengejar perbaikan kesejahteraan. Telah terjadi kehilangan
kesempatan untuk memperbaiki IPM bagi mereka yang saat ini memekarkan diri.
RTRW yang mendapat legitimasi parlemen.
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL
JUDUL

Contenu connexe

Tendances

Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air MinumPedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minuminfosanitasi
 
Konsep Dasar Perencanaan
Konsep Dasar PerencanaanKonsep Dasar Perencanaan
Konsep Dasar PerencanaanDadang Solihin
 
Perencanaan Pembangunan dengan Aplikasi Data Spasial
Perencanaan Pembangunan dengan Aplikasi Data Spasial Perencanaan Pembangunan dengan Aplikasi Data Spasial
Perencanaan Pembangunan dengan Aplikasi Data Spasial Dadang Solihin
 
EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNANEVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNANDadang Solihin
 
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/KotaPedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/KotaPenataan Ruang
 
Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD dan Renja SKPD
Penyusunan  RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD dan Renja SKPD  Penyusunan  RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD dan Renja SKPD
Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD dan Renja SKPD Dadang Solihin
 
Pedoman PAMSIMAS
Pedoman PAMSIMASPedoman PAMSIMAS
Pedoman PAMSIMASJoy Irman
 
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daerahaRian Saifulloh
 
pentiingnya data & informasi bagi perencanaan pembangunan di Provinsi Papua, ...
pentiingnya data & informasi bagi perencanaan pembangunan di Provinsi Papua, ...pentiingnya data & informasi bagi perencanaan pembangunan di Provinsi Papua, ...
pentiingnya data & informasi bagi perencanaan pembangunan di Provinsi Papua, ...Jonh Boekorsjom
 
Pengelolaan Aset Daerah
Pengelolaan Aset DaerahPengelolaan Aset Daerah
Pengelolaan Aset DaerahFKP2B Cikarang
 
Perencanaan Tata Ruang
Perencanaan Tata RuangPerencanaan Tata Ruang
Perencanaan Tata RuangSri Wahyuni
 
PZ sebagai Instrumen Pengendalian
PZ sebagai Instrumen PengendalianPZ sebagai Instrumen Pengendalian
PZ sebagai Instrumen PengendalianAgus Dwi Wicaksono
 
Data Perencanaan Pembangunan Daerah
Data Perencanaan Pembangunan DaerahData Perencanaan Pembangunan Daerah
Data Perencanaan Pembangunan DaerahDadang Solihin
 
Review RDTR Kota Simpang Ampek
Review RDTR Kota Simpang AmpekReview RDTR Kota Simpang Ampek
Review RDTR Kota Simpang Ampekhenny ferniza
 
Pengelolaan Barang Milik Daerah
Pengelolaan Barang Milik DaerahPengelolaan Barang Milik Daerah
Pengelolaan Barang Milik DaerahOswar Mungkasa
 
Rangkuman rpjmn
Rangkuman rpjmnRangkuman rpjmn
Rangkuman rpjmnPA Rianto
 
Peraturan Penataan Ruang RDTR
Peraturan Penataan Ruang  RDTRPeraturan Penataan Ruang  RDTR
Peraturan Penataan Ruang RDTRhenny ferniza
 
Teknik penyusunan rka & dpa skpd (bahan tommy 2013
Teknik penyusunan  rka & dpa skpd (bahan tommy 2013Teknik penyusunan  rka & dpa skpd (bahan tommy 2013
Teknik penyusunan rka & dpa skpd (bahan tommy 2013tommy irawan
 
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) KotaPedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) KotaPenataan Ruang
 

Tendances (20)

Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air MinumPedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
 
Konsep Dasar Perencanaan
Konsep Dasar PerencanaanKonsep Dasar Perencanaan
Konsep Dasar Perencanaan
 
Perencanaan Pembangunan dengan Aplikasi Data Spasial
Perencanaan Pembangunan dengan Aplikasi Data Spasial Perencanaan Pembangunan dengan Aplikasi Data Spasial
Perencanaan Pembangunan dengan Aplikasi Data Spasial
 
EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNANEVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
 
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/KotaPedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
 
Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD dan Renja SKPD
Penyusunan  RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD dan Renja SKPD  Penyusunan  RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD dan Renja SKPD
Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD dan Renja SKPD
 
Pedoman PAMSIMAS
Pedoman PAMSIMASPedoman PAMSIMAS
Pedoman PAMSIMAS
 
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
 
pentiingnya data & informasi bagi perencanaan pembangunan di Provinsi Papua, ...
pentiingnya data & informasi bagi perencanaan pembangunan di Provinsi Papua, ...pentiingnya data & informasi bagi perencanaan pembangunan di Provinsi Papua, ...
pentiingnya data & informasi bagi perencanaan pembangunan di Provinsi Papua, ...
 
Pengelolaan Aset Daerah
Pengelolaan Aset DaerahPengelolaan Aset Daerah
Pengelolaan Aset Daerah
 
Perencanaan Tata Ruang
Perencanaan Tata RuangPerencanaan Tata Ruang
Perencanaan Tata Ruang
 
PZ sebagai Instrumen Pengendalian
PZ sebagai Instrumen PengendalianPZ sebagai Instrumen Pengendalian
PZ sebagai Instrumen Pengendalian
 
Data Perencanaan Pembangunan Daerah
Data Perencanaan Pembangunan DaerahData Perencanaan Pembangunan Daerah
Data Perencanaan Pembangunan Daerah
 
Review RDTR Kota Simpang Ampek
Review RDTR Kota Simpang AmpekReview RDTR Kota Simpang Ampek
Review RDTR Kota Simpang Ampek
 
Pengelolaan Barang Milik Daerah
Pengelolaan Barang Milik DaerahPengelolaan Barang Milik Daerah
Pengelolaan Barang Milik Daerah
 
Rangkuman rpjmn
Rangkuman rpjmnRangkuman rpjmn
Rangkuman rpjmn
 
Peraturan Penataan Ruang RDTR
Peraturan Penataan Ruang  RDTRPeraturan Penataan Ruang  RDTR
Peraturan Penataan Ruang RDTR
 
LAPORAN ANTARA
LAPORAN ANTARALAPORAN ANTARA
LAPORAN ANTARA
 
Teknik penyusunan rka & dpa skpd (bahan tommy 2013
Teknik penyusunan  rka & dpa skpd (bahan tommy 2013Teknik penyusunan  rka & dpa skpd (bahan tommy 2013
Teknik penyusunan rka & dpa skpd (bahan tommy 2013
 
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) KotaPedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
 

En vedette

Penentuan Program dan Kegiatan untuk Mendukung Penanggulangan Kemiskinan pada...
Penentuan Program dan Kegiatan untuk Mendukung Penanggulangan Kemiskinan pada...Penentuan Program dan Kegiatan untuk Mendukung Penanggulangan Kemiskinan pada...
Penentuan Program dan Kegiatan untuk Mendukung Penanggulangan Kemiskinan pada...Oswar Mungkasa
 
Pengelolaaan dalam Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Pulau Papua dan Rencana Ta...
Pengelolaaan dalam Pelaksanaan Rencana Tata Ruang  Pulau Papua dan Rencana Ta...Pengelolaaan dalam Pelaksanaan Rencana Tata Ruang  Pulau Papua dan Rencana Ta...
Pengelolaaan dalam Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Pulau Papua dan Rencana Ta...Oswar Mungkasa
 
Laporan pameran ampl jambore sanitasi 2013
Laporan pameran ampl jambore sanitasi 2013Laporan pameran ampl jambore sanitasi 2013
Laporan pameran ampl jambore sanitasi 2013Oswar Mungkasa
 
Kajian Buku III RPJMN 2015-2019 Nusa Tenggara Timur
Kajian Buku III RPJMN 2015-2019 Nusa Tenggara TimurKajian Buku III RPJMN 2015-2019 Nusa Tenggara Timur
Kajian Buku III RPJMN 2015-2019 Nusa Tenggara TimurOswar Mungkasa
 
HUD Magz. Majalah Permukiman, Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...
HUD Magz. Majalah Permukiman,  Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...HUD Magz. Majalah Permukiman,  Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...
HUD Magz. Majalah Permukiman, Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...Oswar Mungkasa
 
Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh di kota Cimahi
Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh di kota CimahiPenanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh di kota Cimahi
Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh di kota CimahiOswar Mungkasa
 
Perumahan Terkumuh di Dunia
Perumahan Terkumuh di DuniaPerumahan Terkumuh di Dunia
Perumahan Terkumuh di DuniaOswar Mungkasa
 
Rangkuman Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2010-2014 bida...
Rangkuman Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2010-2014 bida...Rangkuman Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2010-2014 bida...
Rangkuman Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2010-2014 bida...Oswar Mungkasa
 
Isu, Permasalahan dan Arah Pembangunan Ekonomi, Tata Ruang, Lingkungan, Infra...
Isu, Permasalahan dan Arah Pembangunan Ekonomi, Tata Ruang, Lingkungan, Infra...Isu, Permasalahan dan Arah Pembangunan Ekonomi, Tata Ruang, Lingkungan, Infra...
Isu, Permasalahan dan Arah Pembangunan Ekonomi, Tata Ruang, Lingkungan, Infra...Oswar Mungkasa
 
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 1
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 1Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 1
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 1Oswar Mungkasa
 
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 - 2013. Memperkuat Perekono...
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 - 2013. Memperkuat Perekono...Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 - 2013. Memperkuat Perekono...
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 - 2013. Memperkuat Perekono...Oswar Mungkasa
 
Buku Pegangan Pembangunan Daerah Tahun 2014. Memantapkan Perekonomian Nasiona...
Buku Pegangan Pembangunan Daerah Tahun 2014. Memantapkan Perekonomian Nasiona...Buku Pegangan Pembangunan Daerah Tahun 2014. Memantapkan Perekonomian Nasiona...
Buku Pegangan Pembangunan Daerah Tahun 2014. Memantapkan Perekonomian Nasiona...Oswar Mungkasa
 
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 2
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 2Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 2
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 2Oswar Mungkasa
 
Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan
Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan
Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan Oswar Mungkasa
 
Grand Design Penanganan Permukiman Kumuh
Grand Design Penanganan Permukiman KumuhGrand Design Penanganan Permukiman Kumuh
Grand Design Penanganan Permukiman KumuhOswar Mungkasa
 
Program Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan...
Program Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan...Program Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan...
Program Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan...Oswar Mungkasa
 
Pembelajaran dari Dukungan UN Habitat dalam Pelaksanaan PPSP Tahun 2013 di Ka...
Pembelajaran dari Dukungan UN Habitat dalam Pelaksanaan PPSP Tahun 2013 di Ka...Pembelajaran dari Dukungan UN Habitat dalam Pelaksanaan PPSP Tahun 2013 di Ka...
Pembelajaran dari Dukungan UN Habitat dalam Pelaksanaan PPSP Tahun 2013 di Ka...Oswar Mungkasa
 
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015Oswar Mungkasa
 
Lokakarya Background Study Buku III RPJMN 2015-2019
Lokakarya Background Study Buku III RPJMN 2015-2019Lokakarya Background Study Buku III RPJMN 2015-2019
Lokakarya Background Study Buku III RPJMN 2015-2019Oswar Mungkasa
 
Nusantara Bertutur Berkiprah dalam Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional...
Nusantara Bertutur Berkiprah dalam Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional...Nusantara Bertutur Berkiprah dalam Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional...
Nusantara Bertutur Berkiprah dalam Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional...Oswar Mungkasa
 

En vedette (20)

Penentuan Program dan Kegiatan untuk Mendukung Penanggulangan Kemiskinan pada...
Penentuan Program dan Kegiatan untuk Mendukung Penanggulangan Kemiskinan pada...Penentuan Program dan Kegiatan untuk Mendukung Penanggulangan Kemiskinan pada...
Penentuan Program dan Kegiatan untuk Mendukung Penanggulangan Kemiskinan pada...
 
Pengelolaaan dalam Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Pulau Papua dan Rencana Ta...
Pengelolaaan dalam Pelaksanaan Rencana Tata Ruang  Pulau Papua dan Rencana Ta...Pengelolaaan dalam Pelaksanaan Rencana Tata Ruang  Pulau Papua dan Rencana Ta...
Pengelolaaan dalam Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Pulau Papua dan Rencana Ta...
 
Laporan pameran ampl jambore sanitasi 2013
Laporan pameran ampl jambore sanitasi 2013Laporan pameran ampl jambore sanitasi 2013
Laporan pameran ampl jambore sanitasi 2013
 
Kajian Buku III RPJMN 2015-2019 Nusa Tenggara Timur
Kajian Buku III RPJMN 2015-2019 Nusa Tenggara TimurKajian Buku III RPJMN 2015-2019 Nusa Tenggara Timur
Kajian Buku III RPJMN 2015-2019 Nusa Tenggara Timur
 
HUD Magz. Majalah Permukiman, Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...
HUD Magz. Majalah Permukiman,  Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...HUD Magz. Majalah Permukiman,  Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...
HUD Magz. Majalah Permukiman, Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...
 
Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh di kota Cimahi
Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh di kota CimahiPenanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh di kota Cimahi
Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh di kota Cimahi
 
Perumahan Terkumuh di Dunia
Perumahan Terkumuh di DuniaPerumahan Terkumuh di Dunia
Perumahan Terkumuh di Dunia
 
Rangkuman Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2010-2014 bida...
Rangkuman Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2010-2014 bida...Rangkuman Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2010-2014 bida...
Rangkuman Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2010-2014 bida...
 
Isu, Permasalahan dan Arah Pembangunan Ekonomi, Tata Ruang, Lingkungan, Infra...
Isu, Permasalahan dan Arah Pembangunan Ekonomi, Tata Ruang, Lingkungan, Infra...Isu, Permasalahan dan Arah Pembangunan Ekonomi, Tata Ruang, Lingkungan, Infra...
Isu, Permasalahan dan Arah Pembangunan Ekonomi, Tata Ruang, Lingkungan, Infra...
 
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 1
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 1Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 1
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 1
 
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 - 2013. Memperkuat Perekono...
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 - 2013. Memperkuat Perekono...Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 - 2013. Memperkuat Perekono...
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 - 2013. Memperkuat Perekono...
 
Buku Pegangan Pembangunan Daerah Tahun 2014. Memantapkan Perekonomian Nasiona...
Buku Pegangan Pembangunan Daerah Tahun 2014. Memantapkan Perekonomian Nasiona...Buku Pegangan Pembangunan Daerah Tahun 2014. Memantapkan Perekonomian Nasiona...
Buku Pegangan Pembangunan Daerah Tahun 2014. Memantapkan Perekonomian Nasiona...
 
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 2
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 2Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 2
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035. Buku 2
 
Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan
Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan
Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan
 
Grand Design Penanganan Permukiman Kumuh
Grand Design Penanganan Permukiman KumuhGrand Design Penanganan Permukiman Kumuh
Grand Design Penanganan Permukiman Kumuh
 
Program Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan...
Program Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan...Program Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan...
Program Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan...
 
Pembelajaran dari Dukungan UN Habitat dalam Pelaksanaan PPSP Tahun 2013 di Ka...
Pembelajaran dari Dukungan UN Habitat dalam Pelaksanaan PPSP Tahun 2013 di Ka...Pembelajaran dari Dukungan UN Habitat dalam Pelaksanaan PPSP Tahun 2013 di Ka...
Pembelajaran dari Dukungan UN Habitat dalam Pelaksanaan PPSP Tahun 2013 di Ka...
 
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
 
Lokakarya Background Study Buku III RPJMN 2015-2019
Lokakarya Background Study Buku III RPJMN 2015-2019Lokakarya Background Study Buku III RPJMN 2015-2019
Lokakarya Background Study Buku III RPJMN 2015-2019
 
Nusantara Bertutur Berkiprah dalam Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional...
Nusantara Bertutur Berkiprah dalam Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional...Nusantara Bertutur Berkiprah dalam Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional...
Nusantara Bertutur Berkiprah dalam Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional...
 

Similaire à JUDUL

Laporan Hasil Aktualisasi (Pembuatan Basis Data Jalan Setapak Di Kota Benteng...
Laporan Hasil Aktualisasi (Pembuatan Basis Data Jalan Setapak Di Kota Benteng...Laporan Hasil Aktualisasi (Pembuatan Basis Data Jalan Setapak Di Kota Benteng...
Laporan Hasil Aktualisasi (Pembuatan Basis Data Jalan Setapak Di Kota Benteng...Sumarno Feriyal
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRAT
Laporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRATLaporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRAT
Laporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRATEKPD
 
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanKajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanTri Widodo W. UTOMO
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - NTT - Undana
Laporan Akhir EKPD 2010 - NTT - UndanaLaporan Akhir EKPD 2010 - NTT - Undana
Laporan Akhir EKPD 2010 - NTT - UndanaEKPD
 
Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011
Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011
Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011darikupang
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - Unhal
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - UnhalLaporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - Unhal
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - UnhalEKPD
 
KAJIAN TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARA...
KAJIAN TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARA...KAJIAN TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARA...
KAJIAN TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARA...guestc91ada
 
LUSIARTI - Buku Pedoman Penyusunan Renstra DAK Infrastruktur Bidang PUPR.pdf
LUSIARTI - Buku Pedoman Penyusunan Renstra DAK Infrastruktur Bidang PUPR.pdfLUSIARTI - Buku Pedoman Penyusunan Renstra DAK Infrastruktur Bidang PUPR.pdf
LUSIARTI - Buku Pedoman Penyusunan Renstra DAK Infrastruktur Bidang PUPR.pdfLuisGhalih
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAM
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAMLaporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAM
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAMEKPD
 
Statistika Deskriptif
Statistika DeskriptifStatistika Deskriptif
Statistika DeskriptifIrmaya Yukha
 
Policy Paper JFP Utama Bappenas: "Optimalisasi Peran Dewan Riset Daerah guna ...
Policy Paper JFP Utama Bappenas: "Optimalisasi Peran Dewan Riset Daerah guna ...Policy Paper JFP Utama Bappenas: "Optimalisasi Peran Dewan Riset Daerah guna ...
Policy Paper JFP Utama Bappenas: "Optimalisasi Peran Dewan Riset Daerah guna ...Dadang Solihin
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUDLaporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUDEKPD
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNMLaporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNMEKPD
 
Draft 240410 pedoman_umum_stbm
Draft 240410 pedoman_umum_stbmDraft 240410 pedoman_umum_stbm
Draft 240410 pedoman_umum_stbmnanang_wardhana
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera BaratEKPD
 
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
 - Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat - Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera baratEKPD
 
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanKajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanBidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Barat - UNTAN
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Barat - UNTANLaporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Barat - UNTAN
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Barat - UNTANEKPD
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUDLaporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUDEKPD
 
Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...
Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...
Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...Tri Widodo W. UTOMO
 

Similaire à JUDUL (20)

Laporan Hasil Aktualisasi (Pembuatan Basis Data Jalan Setapak Di Kota Benteng...
Laporan Hasil Aktualisasi (Pembuatan Basis Data Jalan Setapak Di Kota Benteng...Laporan Hasil Aktualisasi (Pembuatan Basis Data Jalan Setapak Di Kota Benteng...
Laporan Hasil Aktualisasi (Pembuatan Basis Data Jalan Setapak Di Kota Benteng...
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRAT
Laporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRATLaporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRAT
Laporan Akhir EKPD 2009 Sulawesi Utara - UNSRAT
 
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanKajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - NTT - Undana
Laporan Akhir EKPD 2010 - NTT - UndanaLaporan Akhir EKPD 2010 - NTT - Undana
Laporan Akhir EKPD 2010 - NTT - Undana
 
Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011
Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011
Aipmnh kota kupang tahun 2009-2011
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - Unhal
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - UnhalLaporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - Unhal
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sultra - Unhal
 
KAJIAN TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARA...
KAJIAN TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARA...KAJIAN TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARA...
KAJIAN TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARA...
 
LUSIARTI - Buku Pedoman Penyusunan Renstra DAK Infrastruktur Bidang PUPR.pdf
LUSIARTI - Buku Pedoman Penyusunan Renstra DAK Infrastruktur Bidang PUPR.pdfLUSIARTI - Buku Pedoman Penyusunan Renstra DAK Infrastruktur Bidang PUPR.pdf
LUSIARTI - Buku Pedoman Penyusunan Renstra DAK Infrastruktur Bidang PUPR.pdf
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAM
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAMLaporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAM
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Selatan - UNLAM
 
Statistika Deskriptif
Statistika DeskriptifStatistika Deskriptif
Statistika Deskriptif
 
Policy Paper JFP Utama Bappenas: "Optimalisasi Peran Dewan Riset Daerah guna ...
Policy Paper JFP Utama Bappenas: "Optimalisasi Peran Dewan Riset Daerah guna ...Policy Paper JFP Utama Bappenas: "Optimalisasi Peran Dewan Riset Daerah guna ...
Policy Paper JFP Utama Bappenas: "Optimalisasi Peran Dewan Riset Daerah guna ...
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUDLaporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNMLaporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
 
Draft 240410 pedoman_umum_stbm
Draft 240410 pedoman_umum_stbmDraft 240410 pedoman_umum_stbm
Draft 240410 pedoman_umum_stbm
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Barat
 
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
 - Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat - Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
 
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanKajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Barat - UNTAN
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Barat - UNTANLaporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Barat - UNTAN
Laporan Akhir EKPD 2009 Kalimantan Barat - UNTAN
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUDLaporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUD
 
Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...
Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...
Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...
 

Plus de Oswar Mungkasa

Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganUrun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganOswar Mungkasa
 
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...Oswar Mungkasa
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...Oswar Mungkasa
 
Sudah saatnya mempopulerkan upcycling
Sudah saatnya mempopulerkan upcyclingSudah saatnya mempopulerkan upcycling
Sudah saatnya mempopulerkan upcyclingOswar Mungkasa
 
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...Oswar Mungkasa
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Oswar Mungkasa
 
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERAFakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERAOswar Mungkasa
 
Tata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Tata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku KepentinganTata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Tata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku KepentinganOswar Mungkasa
 
Pedoman kepemimpinan bersama
Pedoman kepemimpinan bersama Pedoman kepemimpinan bersama
Pedoman kepemimpinan bersama Oswar Mungkasa
 
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentinganMemudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentinganOswar Mungkasa
 
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...Oswar Mungkasa
 
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...Oswar Mungkasa
 
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...Oswar Mungkasa
 
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaranBekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaranOswar Mungkasa
 
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...Oswar Mungkasa
 
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...Oswar Mungkasa
 
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...Oswar Mungkasa
 
Presentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
Presentation. Collaboration Towards A Resilient JakartaPresentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
Presentation. Collaboration Towards A Resilient JakartaOswar Mungkasa
 
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasiPengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasiOswar Mungkasa
 
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di Indonesia
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di IndonesiaPembangunan Air Minum dan Sanitasi di Indonesia
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di IndonesiaOswar Mungkasa
 

Plus de Oswar Mungkasa (20)

Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganUrun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
 
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
 
Sudah saatnya mempopulerkan upcycling
Sudah saatnya mempopulerkan upcyclingSudah saatnya mempopulerkan upcycling
Sudah saatnya mempopulerkan upcycling
 
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
 
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERAFakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
 
Tata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Tata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku KepentinganTata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Tata kelola kolaboratif. Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan
 
Pedoman kepemimpinan bersama
Pedoman kepemimpinan bersama Pedoman kepemimpinan bersama
Pedoman kepemimpinan bersama
 
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentinganMemudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
 
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
 
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
 
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
 
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaranBekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
 
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
 
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
 
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
 
Presentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
Presentation. Collaboration Towards A Resilient JakartaPresentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
Presentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
 
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasiPengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
 
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di Indonesia
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di IndonesiaPembangunan Air Minum dan Sanitasi di Indonesia
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di Indonesia
 

Dernier

PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.aechacha366
 
Keberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptx
Keberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptxKeberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptx
Keberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptxLeniMawarti1
 
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdfPPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdfNatasyaA11
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKARenoMardhatillahS
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxg66527130
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxModul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxherisriwahyuni
 
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaAbdiera
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfTaqdirAlfiandi1
 
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdfsandi625870
 
Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...
Workshop penulisan buku                       (Buku referensi, monograf, BUKU...Workshop penulisan buku                       (Buku referensi, monograf, BUKU...
Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...Riyan Hidayatullah
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfandriasyulianto57
 
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptxSBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptxFardanassegaf
 
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptPertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptNabilahKhairunnisa6
 
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxMTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxssuser0239c1
 
PPT kecerdasan emosi dan pengendalian diri.pptx
PPT kecerdasan emosi dan pengendalian diri.pptxPPT kecerdasan emosi dan pengendalian diri.pptx
PPT kecerdasan emosi dan pengendalian diri.pptxINyomanAgusSeputraSP
 
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmaksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmeunikekambe10
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfcicovendra
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptAcemediadotkoM1
 
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfBuku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfWahyudinST
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxmtsmampunbarub4
 

Dernier (20)

PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
 
Keberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptx
Keberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptxKeberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptx
Keberagaman-Peserta-Didik-dalam-Psikologi-Pendidikan.pptx
 
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdfPPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxModul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
 
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
 
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
 
Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...
Workshop penulisan buku                       (Buku referensi, monograf, BUKU...Workshop penulisan buku                       (Buku referensi, monograf, BUKU...
Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
 
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptxSBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
 
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptPertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
 
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxMTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
 
PPT kecerdasan emosi dan pengendalian diri.pptx
PPT kecerdasan emosi dan pengendalian diri.pptxPPT kecerdasan emosi dan pengendalian diri.pptx
PPT kecerdasan emosi dan pengendalian diri.pptx
 
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmaksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
 
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfBuku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
 

JUDUL

  • 1. UNDP BAPPENAS DSF Pemekaran Daerah dan Kesejahteraan Rakyat Mencari Jalan Alternatif 2 0 0 9
  • 2. Pemekaran Daerah dan Kesejahteraan Rakyat: Mencari Jalan Alternatif Sebuah laporan studi oleh Harry Seldadyo dengan dukungan Deli Sopian, Denny Julian, Retno Handini, Rullan Rinaldi, dan Wahyudi Romdhani. BRIDGE Project UNDP-BAPPENAS Jl. Ki Mangunsarkoro 21 Menteng, Jakarta Pusat 10310 Indonesia Telp : 6221 391 7284, 391 8554, 3193 5361 Fax : 6221 315 3461 Seri Publikasi BRIDGE Project—Juni 2009 c 2009 ISBN: 978-979-17554-2-9 Pernyataan: Analisis dan rekomendasi laporan ini bukan merupakan pandangan res- mi BAPPENAS, UNDP, maupun DSF. Laporan dengan dukungan DSF ini disusun melalui BRIDGE yang merupakan proyek pengembangan kapasitas tata pemerintahan yang dikembangkan oleh BAPPENAS dan UNDP.
  • 3. Kata Pengantar Undang-Undang (UU) 22-1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi men- jadi UU 32-2004 dan Peraturan Pemerintah (PP) 129-2000 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang kemudian direvisi menjadi PP 78-2007 merupakan landasan kebijakan yang memberi peluang bagi pembentukan daerah otonom baru (DOB), atau lazim dikenal sebagai pemekaran daerah. Pemekaran daerah sendiri bertujuan adalah untuk memeratakan pem- bangunan, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan kese- jahteraan masyarakat. Sejak 1999 hingga Februari 2009 telah terbentuk 205 DOB, yang terdiri dari tujuh provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Mencermati laju pembentukan DOB yang relatif tinggi ini, pemerintah telah melakukan be- berapa upaya pengendalian, di antaranya melalui moratorium atau penghentian sementara proses pembentukan DOB, serta penyempurnaan peraturan perundang- undangan tentang persyaratan dan tatacara pembentukan DOB, antara lain de- ngan merevisi PP Nomor 129 Tahun 2000 menjadi PP Nomor 78 Tahun 2007. Upaya pengendalian tersebut perlu dibarengi dengan upaya untuk mencari berba- gai terobosan dan inovasi dalam peningkatan kualitas pelayanan publik dan kese- jahteraan masyarakat yang menjadi tujuan pemekaran daerah itu sendiri, selain melalui pemekaraan daerah. Salah satunya adalah dengan melakukan suatu ka- jian alternatif pemekaran daerah seperti yang hasilnya disajikan dalam buku ini. Evaluasi-evaluasi terdahulu mengenai dampak pemekaran daerah (Bappe- nas, 2005 dan 2007; Departemen Dalam Negeri, 2005; dan Lembaga Administrasi Negara, 2006), secara umum menyimpulkan bahwa pemekaran daerah belum me- nunjukkan hasil yang optimal, baik dalam bidang ekonomi, keuangan daerah, aparatur pemerintahan, maupun pelayanan publik. Studi ini, melalui serangkai- an pengujian dan perbandingan empirik kinerja pembangunan DOB, memberi konfirmasi bahwa kebijakan pemekaran daerah memang belum menghasilkan ak- selerasi pembangunan yang signifikan, utamnya jika dibandingkan dengan ca- paian daerah lain yang tidak mengambil opsi pemekaran. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pemekaran bukanlah sebuah langkah yang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah. Selain itu, studi juga mengi- dentifikasi isu-isu strategis dalam pembangunan daerah selama ini yang perlu dipertimbangkan dalam pembangunan daerah ke depan. Mengacu pada isu-isu
  • 4. strategis itu, studi ini merekomendasikan langkah-langkah alternatif atas wacana pemekaran yang selama ini mendominasi kebijakan desentralisasi di Indonesia. Ditilik dari lingkupnya, seluruh rekomendasi itu terbagi ke dalam tiga kelompok yang sekaligus juga mencerminkan aktor-aktor mana yang dapat mengambil ini- siatif atas setiap alternatif itu, yakni alternatif untuk tingkat kabupaten/kota, lintas wilayah (alternatif kebijakan yang dapat dijalankan melalui peran provin- si), dan pemerintah pusat. Sebagaimana lazimnya sebuah studi, kajian ini memiliki beberapa keter- batasan baik dalam hal data, asumsi-asumsi yang digunakan, maupun ruang lingkup yang tidak memasukkan aspek politik (yang sering menjadi pertimbang- an utama dalam pembentukan daerah otonom baru). Hasil studi ini juga belum cukup mendalam untuk menguji beberapa usulan alternatif yang direkomen- dasikan, sehingga ke depan masih dibutuhkan konfirmasi lebih lanjut atas usulan- usulan itu. Namun demikian, sebagai bagian dari background study penyusunan RPJMN 2010-2014, hasil studi ini tentunya menjadi salah satu masukan penting bagi pemerintah, khususnya Bappenas, dalam rangka penyusunan arah kebijakan dan program-program bidang desentralisasi dan otonomi daerah dalam RPJMN 2010-2014. Laporan studi ini dapat digunakan sebagai referensi yang menyajikan wacana tambahan dalam pencarian alternatif bagi kebijakan pemekaran daerah pada khususnya dan wacana pembangunan daerah pada umumnya. Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kerjasama dari berba- gai pihak yang telah memungkinkan terlaksananya studi ini dengan baik. Di antaranya adalah United Nations Development Programme (UNDP) melalui pro- gram Building and Reinventing Decentralized Governance (BRIDGE), Decentra- lization Support Facility (DSF), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, De- partemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Badan Pusat Statistik, peme- rintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, serta pihak-pihak lain yang telah berpartisipasi dalam studi ini. Kami juga mengharapkan masukan, kritik maupun saran guna penyempurnaan laporan pelaksanaan studi ini. Jakarta, 22 Juni 2009 Direktur Otonomi Daerah, Bappenas/ National Project Director Program BRIDGE, Dr. Ir. Himawan Hariyoga, M.Sc.
  • 5. Daftar Isi Bab 1 Pemekaran Daerah Selayang Pandang . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 • Peta Umum Pemekaran 2 • Motif Pemekaran 7 • Konsekuensi Pemekaran 11 • Capaian Daerah 20 Bab 2 Membandingkan Capaian Daerah . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23 • Pemilihan Indikator 23 • Kesejahteraan Umum 25 • Pendidikan 26 • Kesehatan 27 • Infrastruktur 29 • Analisis “Counter-Factual” 34 Bab 3 Apa yang Menentukan Capaian Daerah? . . . . . . . . . . . . . . . . . . 43 • Determinan Capaian 43 • Kesejahteraan Umum 44 • Pendidikan 49 • Kesehatan 51 • Infrastruktur 53 Bab 4 Menemukan Kembali Pembangunan Daerah . . . . . . . . . . . . . . . . . . 57 • Mencari Alternatif Kebijakan: Kerangka Dasar 57 • Lingkup Kabupaten-Kota Revitalisasi Perencanaan Daerah 60 Penguatan Wilayah Kecamatan 64 Temu-Ulang Kebijakan Antikemiskinan 67
  • 6. • Lingkup Antardaerah Kompetisi Antardaerah 73 Kerjasama Antardaerah 76 • Lingkup Makro Perimbangan Geografi Kependudukan 83 Teknokrasi Pembangunan 85 Penataan Pembentukan Yurisdiksi 86 Bab 5 Epilog . . . . . . . . . . . . . . . . . . 91 Lampiran Teknis . . . . . . . . . . . . . . . . . . 103 • Metode Evaluasi 103 • Mencari Kesebandingan Amatan 104 • Membandingkan Capaian 108 • Determinan Capaian Sosial-Ekonomi 110 • Model Spasial IPM 118
  • 7. Daftar Tabel Tabel 1.1. Produksi Undang-Undang oleh DPR-RI 1999-2008 . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6 Tabel 1.2. Geografi Administrasi per Kabupaten-kota 1999-2006 . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16 Tabel 2.1. Indeks Pembangunan Manusia . . . . . . . . . . . . . . . . . . 30 Tabel 2.2. Lama Sekolah dan Partisipasi Sekolah . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31 Tabel 2.3. Vaksinasi dan Persalinan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32 Tabel 2.4. Pembangunan Jalan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33 Tabel 2.5. IPM: “Counter-Factual Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 36 Tabel 2.6. Partisipasi Sekolah: “Counter-Factual Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 38 Tabel 2.7. Vaksinasi Bayi: “Counter-Factual Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39 Tabel 2.8. Pembangunan Jalan: “Counter-Factual Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40
  • 8.
  • 9. Daftar Gambar Gambar 1.1. Perkembangan Jumlah Kabupaten-Kota . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4 Gambar 1.2. Peta Daerah Pemekaran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15 Gambar 1.3. Implikasi Fiskal Pemekaran Daerah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18 Gambar 3.1. IPM dan Kemiskinan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 47 Gambar 3.2. Partisipasi Sekolah dan Teknokrasi Fiskal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51 Gambar 3.3. Vaksinasi Bayi dan Infrastruktur Kesehatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 54 Gambar 4.1. Hubungan Spasial dalam IPM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 80 Gambar Lampiran Teknis 1. Sebaran “Propensity Score” . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 107
  • 10.
  • 11. Daftar Tabel Lampiran Teknis Tabel Lampiran Teknis 1 Rentang Kendali: Hasil “Factor Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 105 Tabel Lampiran Teknis 2 Fungsi Probit Pembentukan Daerah Otonomi Baru . . . . . . . . . . . . . . . . . . 107 Tabel Lampiran Teknis 3 Blok Optimal dan Uji Keseimbangan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 109 Tabel Lampiran Teknis 4A Determinan Indeks Pembangunan Manusia . . . . . . . . . . . . . . . . . . 113 Tabel Lampiran Teknis 4B Determinan Indeks Pembangunan Manusia . . . . . . . . . . . . . . . . . . 114 Tabel Lampiran Teknis 5 Determinan Partisipasi Sekolah . . . . . . . . . . . . . . . . . . 115 Tabel Lampiran Teknis 6 Determinan Vaksinasi Bayi . . . . . . . . . . . . . . . . . . 116 Tabel Lampiran Teknis 7 Determinan Panjang Jalan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 117 Tabel Lampiran Teknis 8 Model Spasial IPM . . . . . . . . . . . . . . . . . . 118
  • 12.
  • 13. Daftar Tabel Lampiran Tabel Lampiran A.1 Penyusun IPM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 122 Tabel Lampiran A.2 Partisipasi Kasar SD, SMP, dan SMA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 123 Tabel Lampiran A.3 Partisipasi Murni SD, SMP, dan SMA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 124 Tabel Lampiran A.4 Ujian Nasional SD, SMP, dan SMA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 125 Tabel Lampiran A.5 Vaksinasi Bayi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 126 Tabel Lampiran B Deskripsi Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 130
  • 14.
  • 15. Sekapur Sirih dari M21 Laporan ini disusun di tengah hiruk-pikuk pemekaran daerah, di tengah pro dan kontra apakah pemekaran merupakan langkah jitu untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Di dalam laporan ini seluruh pemangku kepentingan diajak untuk meli- hat fakta-fakta yang ada tentang pemekaran, sebelum diajak untuk menimang- nimang jalan apa yang bisa ditempuh mengatasi soal-soal yang masih tersisa. Sudah barang tentu, gagasan-gagasan yang disampaikan di sini terbuka untuk dipilih, dipilah, bahkan dinegasikan. Jika laporan ini berbentuk seperti sekarang ini, jelas ia bukan merupakan hasil kerja satu orang. Boleh disebut, laporan ini adalah resultante dari begitu banyak helping hands —termasuk tentu, critical comments. Dari Jl. Mangun- sarkoro 21 —‘M21’, begitu kami menyebutnya— kami ingin menulis sebuah daf- tar panjang untuk nama-nama yang telah begitu berjasa. Di ‘lingkaran dalam’ ada Daan Pattinasarany, Jana Ferdinandus Hertz, dan Erita Nurhalim dari DSF dengan segala support dan komentar yang mencerahkan. Juga ada Antonius Tarigan, Daryll Ichwan Akmal, Taufiq H. Putra, dan —sudah barang tentu— Hi- mawan Hariyoga dari Direktorat Otonomi Daerah Bappenas yang menyediakan ruang dan masa interaksi produktif selama studi ini berlangsung. Tidak keting- galan, Rizal Malik, Sofian Effendi, Leonard Simanjuntak, dan Budiati Prase- tiamartati dari Governance Unit UNDP yang bersedia membuka diskusi-diskusi menarik dan inspiring. Dari lingkaran yang lebih dalam lagi, ada kawan-kawan di M21 —Brasukra Sudjana, Mellyana Frederika, Loui Thenu, Ari Prasutyawan, dan Putri Maharani— yang harus ikut menanggung ‘dampak pemekaran’ untuk menyiapkan rangkaian lokakarya bagi studi ini. Daftar terima kasih ini akan lebih panjang lagi mengingat masih ada sederet nama yang telah mengalokasikan waktu dan membagi pikiran dalam rapat-rapat dan serial workshops yang diselenggarakan Hotel Cempaka, kantor Bappenas, kantor UNDP, Wisma Bakrie, dan Hotel Bintang. Mereka yang telah berbaik hati itu adalah Abdul Fattah (Dit. Penataan Daerah dan Otonomi Khusus, De- pdagri), Adi Suryanto (LAN), Agung Djojosoekarto (Partnership), Anang Budi Gunawan (Dit. Pembangunan Wilayah Bappenas), Aswicaksana (Dit. Tata Ru- ang dan Pertanahan, Bappenas), Awan Diga A. (BAPPENAS), Bambang Juanda
  • 16. (Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB), Bastian (Bappenas), Budi Harsoyo (BAKD), Cecep Effendi (ASSD-GLG), Christian Dwi Prasetijaningsih (Dit. Perkotaan dan Perdesaan, Bappenas), Cucu Suryaman (Kemitraan), En- dang Turyana (YIPD), Endi Jaweng (KPPOD), Endi Rukmo (YIPD), Ervan A. (Dit. Otda BAPPENAS), Fadhilla Izzaty (IPB), Frans H. (Ditjen PUM, Depdagri), Guritno Soerjodibroto (GTZ), Hamka (Program Studi Manajemen Kebijakan Pelayanan, STIA-LAN), Hasa (IGOR), Ig. Sigit Murwito (KPPOD), Jayadi (BAPPENAS), J. Endi Rukmo (YIPD), Kadek Arta (LPEM-UI), Khairul Rizal (Dit. TRP BAPPENAS), Kresnandi (Dana Perimbangan, Ditjen PK), La Ode Ida (DPD), Mangara Tambunan (CESS), M. Badaruddin dan Agus Purnomo (DPR RI), Maulina Cahyaningrum (DSF), Muh. Handry Irmansyah (ADB TA 7010-Preparation of Local Government Finance and Governance Reform), Niken L. Wardhani (Programme Manager, Sub-National Governance), Novi Anggriani (YIPD), Petang Sumarsono (Direktur Transportasi), Pheni Chalid (UNDP- Par- liamentary Support Programme), Koswara Kertapradja (Program Doktor Ilmu Manajemen Pemerintahan Universitas Satyagama), Rinaldi Rustam (Program Studi Ekonomi Pembangunan FE Usakti), Raksaka Mahi (Ketua Program Magis- ter Perencanaan dan Kebijakan Publik FE-UI), Robert S. H (Direktur Politik dan Komunikasi), Rudy (Kemitraan), Saleh Thalib (Direktorat Pengembangan Kap- asitas dan Evaluasi Kinerja Daerah, Ditjen Otda), Samsul Widodo (Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal), Sowwam (Direktorat Otonomi Daer- ah), Suahasil Nazara (Kepala Lembaga Demografi FE-UI), Suharso Monoarfa (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI), Sukarso (Dit. Otda BAPPENAS), Sul- ton Mawardi (SMERU Research Institute), Sumedi Andono Mulyo (Direktorat Pengembangan Wilayah BAPPENAS) , Talitha Fauzia C. (Bappenas), Ubai- di Socheh Hamidi (Sub-Direktorat DAK, Direktorat Dana Perimbangan, Ditjen PK), Wildan Risanjaya (RED-GTZ), Yusman Syaukat (Program Magister Pem- bangunan Daerah SPS IPB), dan Yusrizal Anur (Subdit Pembangunan Penataan Daerah). Kendati begitu banyak nama berada di belakangnya dan kendati tiga agen pembangunan —UNDP, Bappenas, dan DSF— secara manajerial menaunginya, laporan ini sama sekali tidak mencerminkan standing position orang-orang dan lembaga-lembaga ini, apalagi untuk menyatakan ‘resmi mewakilinya’. Sepenuh- nya, tanggung jawab substansial dan akademik ada di pundak penyusunnya. Last but not least, tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan laporan ini. Jakarta, April 2009 Tim Penyusun
  • 17. Ringkasan Pemekaran yurisdiksi nyaris mendominasi wacana desentralisasi Indonesia secara keseluruhan. Issu ini menggelinding dari satu titik ke titik lain, dari provinsi hingga desa, dari Daerah ke Pusat, dan dari Pusat ke Daerah. Namun demikian, sejumlah studi meragukan apakah pemekaran yurisdiksi telah mencapai tujuan- nya untuk membangun kesejahteraan rakyat. Keraguan ini mendapat konfirmasi empirik dalam Laporan ini. Pendekatan quasi experimental dan counter factual analysis yang dikembangkan dalam studi ini menemukan bahwa pembentukan yurisdiksi baru bukan merupakan jalan efektif ke arah pencapaian kesejahteraan rakyat. Jika pemekaran bukan merupakan jalan efektif menuju kesejahteraan, opsi alternatif apa yang bisa ditempuh agar kesejahteraan rakyat lebih efektif tercapai? Laporan ini merekomendasikan satu gugus kebijakan yang disebut reinvent- ing regional development sebagai kebijakan alternatif. Kebijakan ini bersifat out- ward looking karena ia lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik dari- pada inward looking yang berorientasi melulu pada urusan-urusan administratif yurisdiksi. ‘Temu ulang pembangunan daerah’ ini terbagi ke dalam tiga tingkatan kebijakan: mikro, meso, dan makro. Di tingkat mikro kebijakan ini terbagi ke dalam (1) kebijakan pembangunan manusia dengan konsentrasi pada persoalan kemiskinan yang dikaitkan dengan pendidikan dan kesehatan, serta (2) kebijakan pembangunan wilayah dengan konsentrasi pada pembangunan wilayah-wilayah tertinggal dan distribusi fungsi wilayah. Di tingkat meso direkomendasikan kebi- jakan penguatan hubungan antardaerah dengan basis kerjasama dan kompetisi. Sementara itu, di tingkat makro diusulkan untuk membentuk kebijakan restruk- turisasi daerah untuk menurunkan ketimpangan pembangunan antarwilayah.
  • 18.
  • 19. Bab 1 Pemekaran Daerah Selayang Pandang Pergantian regim politik-administrasi dari sentralisasi menjadi desentralisasi tidak menjadikan persoalan-persoalan yang dihadapi Daerah terselesaikan dengan sen- dirinya. Di tingkat daerah sejumlah kemajuan dapat dicatat, tetapi beberapa issu masih persisten dan tersisa hingga masa kini (Hill et al., 2008 dan 2009; del Granado, 2009). Pada saat yang bersamaan, meski membangkitkan banyak harapan, desentralisasi juga melahirkan beberapa issu serius baru yang menyita perhatian. Salah satu di antara yang paling fenomenal sejak desentralisasi digulirkan ialah pembentukan daerah baru, atau lazim dikenal sebagai pemekaran daerah, khususnya pembentukan yurisdiksi tingkat kabupaten-kota. Pemekaran menjadi fenomenal karena ini merupakan sebuah big bang —sebuah fenomena pemben- tukan yurisdiksi terbesar dalam 30 tahun terakhir. Dinamika sosio-politik yang menyertainya juga terhitung fenomenal. Mobilisasi massa, lobby politik, hing- ga konflik terbuka mengiringi gerak usulan pemekaran daerah. Saat ini wacana desentralisasi Indonesia bahkan hampir didominasi oleh wacana pembentukan daerah baru. Issu-issu lain di seputar desentralisasi seolah-olah hanya merupakan wacana turunan dari wacana pokoknya: pemekaran daerah. Di dalam situasi seperti ini, pertanyaannya yang penting dikemukakan adalah apakah tindakan politik-administrasi berupa pemekaran daerah itu mam- pu mencapai tujuan pokoknya, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Apakah pembentukan yurisdiksi baru merupakan jalan efektif untuk mengatasi persoalan-persoalan yang bersifat persisten? Atau, adakah alternatif lain yang lebih efektif? Laporan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Menyajikan gambaran mengenai kinerja daerah-daerah pemekaran yang terbentuk sejak de- sentralisasi digulirkan, laporan ini menemukan bahwa tindakan politik-adminis- 1
  • 20. 2 trasi seperti pemekaran daerah bukan merupakan jaminan bagi pencapaian ke- sejahteraan rakyat. Oleh karenanya, dibutuhkan upaya-upaya yang langsung bergerak ke arah jantung persoalan pembangunan daerah. Pembangunan daerah perlu ‘ditemukan ulang’ agar ia tidak melulu didominasi oleh issu-issu politik- administrasi, dan agar ia dikembalikan pada tujuan pokok desentralisasi. ‘Temu- ulang pembangunan daerah’ (reinventing regional development) mengembalikan orientasi pembangunan daerah dari inward looking yang terkonsentrasi pada issu- issu politik-administrasi, ke arah outward looking yang langsung ke arah issu-issu perbaikan kesejahteraan rakyat. Peta Umum Pemekaran Secara khusus, laporan ini akan mencermati fenomena yang terjadi di lingkup kabupaten-kota. Ada beberapa alasan mengapa kabupaten-kota mendapat per- hatian dalam laporan ini. Pertama, yurisdiksi di lingkup ini adalah titik tumpu desentralisasi dan otonomi daerah Indonesia. Di lingkup kabupaten-kota inilah status ‘otonomi penuh’ diberikan —sementara di lingkup provinsi diberikan sta- tus ‘otonomi terbatas’ (Rasyid, 2007).1 Kedua, fenomena pembentukan daerah otonomi baru juga paling banyak ditemui di lingkup kabupaten-kota daripada di lingkup provinsi. Hal ini kemudian mengubah total peta geografi administrasi In- donesia jika dua masa —pradesentralisasi dan saat desentralisasi— dibandingkan. Ketiga, perubahan geografi administrasi kabupaten-kota telah pula mengubah arsitektur fiskal secara keseluruhan. Hill et al (2009) mengemukakan peneri- maan pemerintah kabupaten-kota telah meningkat 300 persen sejak desentrali- sasi digulirkan. Oleh del Granado (2009) fenomena ini dnyatakan sebagai big bang desentralisasi fiskal. Bagaimana perubahan landscape geografi administrasi kabupaten-kota itu terjadi dan dinamika apa yang menyertainya didiskusikan di bagian berikut. Kabupaten-Kota Lintas Waktu Dalam lintasan sejarah politik-administrasi Indonesia, pembentukan yurisdik- si lingkup kabupaten-kota sesungguhnya bukan hal baru. Yurisdiksi-yurisdiksi 1 ‘Otonomi penuh’ merujuk pada absennya operasi Pemerintah Pusat di kabupaten-kota, ke- cuali melalui sejumlah urusan yang diatur undang-undang. Sementara itu, ‘otonomi terbatas’ mengacu pada peluang yang terbuka bagi operasi Pemerintah Pusat di provinsi. Lihat Ryaas Rasyid. 2007. ‘Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya.’ dalam Syamsuddin Har- ris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPI Press.
  • 21. 3 lingkup kabupaten-kota —bahkan juga provinsi2— yang ada sekarang ini pa- da hakekatnya adalah juga hasil pemekaran dari yurisdiksi-yurisdiksi awal yang dibentuk saat Republik Indonesia diproklamasikan tahun 1945. Ini berarti apa yang mengemuka dalam 10 tahun terakhir ini dapat dikatakan sebagai fenomena lama yang muncul kembali. Gambar 1.1 menampilkan dinamika tahunan pembentukan yurisdiksi kabu- paten-kota sejak 1950. Terlihat jelas lompatan-lompatan yang relatif besar dalam jumlah kabupaten-kota hanya terjadi di dua sub-periode, yaitu masa-masa se- belum Dekrit Presiden 1959 dan masa-masa setelah reformasi sistem politik dan desentralisasi sistem administrasi 1999. Penggal waktu di antara dua periode ini adalah masa-masa hampir nihil pembentukan kabupaten-kota.3 Dalam 10 tahun pertama sejak kemerdekaan, jumlah kabupaten-kota di In- donesia terhitung baru sekitar 101 yurisdiksi. Antara tahun 1956-1959, jumlah ini cepat membesar dari 149 (1956), 177 (1958), ke 254 kabupaten-kota (1959). Tetapi sejak tahun 1960 hingga 33 tahun kemudian, kecepatan pertambahan jum- lah kabupaten-kota praktis rendah. Tahun 1966, misalnya, hanya dibentuk enam kabupaten-kota baru, sehingga secara keseluruhan ada 260 kabupaten-kota yang mewarnai landscape administrasi Indonesia. Jumlah ini bertambah sembilan unit saja untuk menjadi 269 kabupaten-kota di tahun 1970, lalu meningkat enam unit 2 Berbeda dengan yang terjadi di lingkup kabupaten-kota, di lingkup provinsi pemekaran bergerak dengan laju yang lebih lamban. Dimulai dari enam provinsi di masa-masa awal ke- merdekaan, hingga awal Pelita I ada tambahan 20 provinsi baru. Kemudian tercatat 27 provinsi di era Orde Baru manakala Timor Timur masuk ke dalam wilayah Indonesia. Sebelum sam- pai pada formasi 33 provinsi, dua keadaan menandai fenemona yurisdiksi provinsi. Pertama, pemisahan (secession) satu provinsi untuk menjadi negara baru: Timor Timur. Kedua, pem- bentukan tujuh provinsi baru: Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Banten, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku Utara, dan Papua Barat. Ketiga, pembatalan pembentukan satu provinsi pemekaran: Irian Jaya Tengah. Melalui perubahan ini formasi total provinsi Indonesia kini ter- diri dari 10 provinsi di Sumatera dengan satu daerah khusus (Aceh), enam di Jawa dengan dua daerah khusus (DKI dan DIY), tiga di Nusa Tenggara, empat di Kalimantan, enam di Sulawesi, dua di Maluku, dan dua provinsi di Papua yang keduanya adalah daerah khusus. 3 Apa yang menarik di sini adalah dua lompatan besar dalam pertambahan jumlah kabupaten- kota itu terjadi manakala posisi tawar relatif parlemen menguat terhadap presiden. Masa se- belum 1959 adalah era demokrasi parlementer di kala eksekutif praktis menjadi subordinat parlemen (Lihat Miriam Budiarjo (2008) untuk pembagian kurun waktu politik Indonesia). Sementara itu, masa setelah 1999 adalah era demokrasi presidensial yang didalamnya terja- di reformasi hubungan politik antara parlemen dan presiden. Masa-masa di antaranya dapat dikatakan sebagai otokrasi presidensial dengan kekuasaan yang tersentralisasi —kendati ad- ministrasi Soekarno menyebutnya ‘demokrasi terpimpin’ (1959-1965) dan administrasi Soeharto menyebutnya ‘demokrasi Pancasila’ (1965-1998)— yang di dalamnya posisi tawar relatif presiden terhadap parlemen mengalami penguatan dengan amat berarti. Di saat posisi parlemen meng- alami pelemahan dan, sebaliknya, posisi tawar relatif presiden mengalami pelemahan pemben- tukan jumlah kabupaten-kota baru praktis tidak berarti. Tampaknya pasang-surut pemekaran bergerak seirama dengan pasang-surut relasi politik parlemen dan eksekutif, sehingga dapatlah dikatakan bahwa masa-masa naik-turunnya jumlah pembentukan kabupaten-kota baru adalah masa-masa menguat-melemahnya posisi tawar parlemen terhadap eksekutif.
  • 22. 4 sehingga menjadi 275 kabupaten-kota sepuluh tahun kemudian. Di paruh akhir 1980-an terbentuk tak lebih dari dua unit kabupaten-kota baru untuk menjadi 277, sebelum ia naik menjadi 280 yurisdiksi memasuki tahun 1990-an. Secara total 340 kabupaten-kota mewarnai awal reformasi politik Indonesia. Di masa reformasi politik dan pengguliran kebijakan desentralisasi, jumlah yurisdiksi kabupaten-kota menjadi lebih besar lagi. Tahun 2001 tak kurang dari 353 kabupaten-kota baru tersebar dari Weh ke Merauke dan dari Sangihe ke Rote. Tahun 2002 menjadi 390, sebelum melonjak ke 440 (2003). Tahun 2007 tercatat 465 kabupaten-kota terhampar dari Sabang ke Pegunungan Bintang dan dari Tahuna hingga Ba’a.4 Puncaknya terjadi di tahun 2008 tatkala 498 kabupaten- kota di empat penjuru mata angin membentuk landscape baru Republik Indonesia (Data hingga November 2008). GAMBAR 1.1. Perkembangan Jumlah Kabupaten-Kota Dalam dua kali siklus terakhir parlemen dan empat kali pergantian pe- merintahan, paling sedikit 150 kabupaten-kota baru terbentuk. Pukul rata, 15 4 Angka-angka jumlah kabupaten-kota ini dihitung berdasarkan banyaknya kabupaten-kota menurut tahun pembentukan kabupaten-kota itu.
  • 23. 5 kabupaten-kota baru setiap tahun di Indonesia sejak 1999.5 Angka-angka ini pun belum termasuk kecamatan dan desa baru yang dibentuk di luar mekanisme pem- bentukan UU, mengingat pemekaran terjadi juga di dua yurisdiksi terbawah ini —yang merupakan konsekuensi langsung dari pembentukan yurisdiksi di tingkat kabupaten-kota. Dalam bentang 10 tahun yang sama sejak desentralisasi di- gelindingkan, jumlah kecamatan naik lebih dari 2000 unit (dari 4028 pada 1998 ke 6131 pada tahun 2007), sedangkan jumlah desa melonjak hampir 6000 unit (dari 67.925 di 1998 menjadi 73.405 unit di tahun 2008). Secara rata-rata hampir 20 kecamatan dan 50 desa terbentuk setiap bulan dalam 10 tahun terakhir. Undang-Undang Pembentukan Daerah Utamanya pada masa kebijakan desentralisasi, deskripsi di atas jelas menun- jukkan adanya big bang pembentukan yurisdiksi baru di Indonesia yang berlang- sung dengan kecepatan tinggi. Big bang pembentukan yurisdiksi baru ini bersum- ber dari big bang produksi undang-undang pembentukan daerah baru (UUPD) oleh parlemen dengan kecepatan yang sama pula. Hubungan ini terjadi karena se- tiap daerah bentukan baru memang harus ditetapkan oleh suatu undang-undang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18, 18a, dan 18b UUD 1945.6 Dengan kata lain, pembentukan daerah selain merupakan hasil dari suatu proses teknokratis —sebagaimana terlihat dalam persyaratan teknis, administratif, dan fisik kewi- layahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 78-2007— juga meru- pakan hasil dari suatu proses politik di tingkat parlemen. Di dalam proses poli- tik itu, parlemen mengajukan RUU insiatif pembentukan daerah yang menjadi salah satu agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas).7 Tetapi, secara formal pemerintah pun dapat mengajukan RUUPD. Issu penting yang perlu diajukan mengenai proses politik dan proses tekno- krasi adalah apakah proses politik ini merupakan fungsi dari proses teknokratik, ataukah keduanya berjalan secara independen. Artinya, apakah proses politik juga mempertimbangkan argumentasi-argumentasi teknis hasil evaluasi propo- sal pembentukan DOB oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), 5 Jika tanpa moratorium yang tegas dan efektif, jumlah ini secara potensial akan meningkat mengingat beberapa pengusulan pemekaran daerah dan perancangan UU-nya masih terus ter- jadi. 6 Penjelasan Soepomo mengenai Pasal 18 UUD 1945 menarik untuk dicatat, “. . . Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi be- laka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.”. Cetak miring frasa terakhir oleh penyusun laporan ini. 7 Secara formal, fungsi ini juga dimiliki oleh Dewan Pertimbangan Daerah (DPD). Namun secara empirik, fungsi ini kurang teraksentuasi.
  • 24. 6 ataukah proses politik itu memang terlepas-kait dari proses teknis.8 Pertanyaan- pertanyaan ini menjadi penting, karena —sebagaimana didiskusikan lebih rinci kelak dalam laporan ini— daerah-daerah yang secara formal telah dinyatakan memiliki kapasitas untuk menyelenggarakan otonomi9, secara empiris justru me- nampakkan kinerja yang berlawanan. Dengan kata lain, dalam proses pemben- tukan daerah baru, apakah proses teknokratis yang dijalankan oleh DPOD dan proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat memiliki sumbangan bermakna bagi kesejahteraan rakyat seharusnya menjadi pertanyaan yang terus melekat. Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa sepanjang dua masa bakti terakhir par- lemen, yaitu 1999-2004 dan 2004-2009, UUPD hampir mendominasi produk- produk hukum parlemen. Dalam masa bakti pertama, misalnya, sekitar 40 persen UU yang dihasilkan oleh DPR-RI adalah UU pembentukan daerah baru. Secara rata-rata, tak kurang dari 14 UUPD dihasilkan pada 1999-2004 —jika tahun 2004 dikeluarkan angka itu menjadi 16 UUPD per tahun. Selain di tahun 2004 dengan jumlah UUPD hanya satu buah, jumlah UUPD yang mencolok dihasilkan selama periode itu terjadi di tahun 2003 —tahun menjelang akhir masa bakti parlemen. TABEL 1.1. Produksi Undang-Undang oleh DPR-RI 1999-2008 UUPD UU Lain Total Kab. Prov. Terkait Bukan UU UU Kot. BaruTahun Produksi Efektif Otonomi ttg Daerah Baru 1999 19 19 5 32 56 27 1 2000 14 3 1 23 38 0 3 2001 12 12 2 8 22 12 1 2002 13 13 0 19 32 38 1 2003 24 23 1 15 40 49 0 20041] 1 1 1 28 30 0 0 1999-2004 83 71 10 125 218 126 6 20042] 0 0 2 9 11 0 1 2005 0 0 1 13 14 0 0 2006 0 0 2 21 23 0 0 2007 25 25 1 22 48 25 0 20083] 19 18 3 22 44 33 0 2004-2008 44 43 9 87 140 58 1 1999-2008 127 114 19 212 358 184 7 1] Hingga masa bakti 30 September 2004; 2] Dimulai dari masa bakti 1 Oktober 2004 3] Hingga UU 34-2008 untuk UU pembentukan daerah dan hingga UU 44-2008 untuk UU lain 8 Sayang sekali saat ini tidak ada statistik resmi yang menginformasikan rejection rate usulan pemekaran melalui pemerintah dan DPR, bahkan DPD. 9 Berdasarkan UU 32-2004 dan PP 78-2007, daerah yang dimekarkan adalah daerah yang dikategorikan sebagai ‘sangat mampu’ dan ‘mampu’ memenuhi syarat-syarat dasarnya.
  • 25. 7 Pada masa bakti berikutnya UU pembentukan daerah baru tetap menjadi agenda legislasi yang penting, tetapi dengan variasi tahunan yang ekstrim. Dalam tiga tahun pertama masa bakti 2004-2009, praktis tidak ada satupun UUPD di- hasilkan. Sebaliknya, konsentrasi parlemen bergeser ke arah penyusunan undang- undang lain. Namun demikian, seperti dalam periode sebelumnya, dalam tahun- tahun terakhir masa bakti parlemen, keadaan ini berubah. Separuh perhatian DPR dalam proses legislasi dibagi untuk pembentukan UUPD. Dengan demikian, secara rata-rata lebih dari 30 persen UU yang diproduksi pada masa sidang 2004- 2009 adalah undang-undang tentang pembentukan daerah. Ini berarti pula seki- tar 35 persen dari 358 UU yang diproduksi dalam satu dasa warsa terakhir adalah UU tentang pembentukan daerah baru. Dari 127 UUPD yang dikeluarkan dalam dua putaran siklus parlemen itu, 13 di antaranya mengalami revisi, sehingga secara keseluruhan terdapat 114 UU yang berlaku efektif.10 Pertanyaan yang alamiah mengenai seluruh kecenderungan itu adalah apa kekuatan penggerak pembentukan daerah? Mengapa suatu daerah memilih opsi pemekaran, sedangkan daerah lain tidak. Bagian berikut akan mendiskusikan motif-motif di balik pemekaran daerah itu. Motif Pemekaran Motif apa yang mendorong pembentukan daerah baru? Apakah pembentukan daerah baru muncul begitu saja tanpa membentuk keteraturan? Atau, adakah gejala yang lebih sistematis? Motif di belakang aspirasi pembentukan daerah baru memang dapat bervari- asi dari satu tempat ke tempat lain. Di suatu daerah suatu faktor dapat lebih menonjol daripada di daerah lain, sedangkan di lokasi yang lain keadaan yang sebaliknya mungkin terjadi.11 Namun demikian, pemekaran tampaknya bukan fenomena yang bersifat acak, karena ada beberapa gejala sistematik yang da- pat digeneralisasi. Gejala ini dapat dikategorisasi ke dalam tiga dimensi motif: sosiologis, ekonomis, dan politis. Motif Sosial Bagaimana ujud motif sosial di belakang pemekaran daerah? Motif sosial dalam pemekaran daerah berada dalam konteks latar belakang yang lebih luas, yakni 10 Jumlah UUPD ini tidak persis sama dengan jumlah daerah otonomi baru (DOB) sebab sebuah UUPD dapat mencakup lebih dari satu pembentukan DOB. 11 Tetapi dimensi waktu juga mungkin berperan, karena waktu senantiasa memberikan konteks terhadap suatu peristiwa.
  • 26. 8 desentralisasi —utamanya jika diingat bahwa kebijakan desentralisasi lahir di tengah-tengah tantangan heterogenitas Indonesia dan ketidakpuasan Daerah atas kebijakan sentralisasi dengan penyeragaman di banyak aspek pembangunan. Keti- ka desentralisasi digelindingkan, gejala etnosentrisme, misalnya, ditengarai akan banyak mewarnai perkembangan otonomi daerah. Etnosentrisme itu mengambil beberapa bentuk seperti yang terlihat dalam penetapan dan pemilihan pemimpin daerah baik di eksekutif maupun legislatif, dalam recruitment dan promosi biro- krat lokal (Badjuri, 2007, Suyatno, 2007). Fenomena pemekaran daerah termasuk yang berada dalam kategori ini (Djohan, 2007). Khusus mengenai etnosentrisme dalam pemekaran daerah, Fitrani et al (2005) menemukan bahwa pengelompokan menurut etnis (ethnic clustering) telah memicu kecenderungan Daerah untuk memekarkan diri. Melalui model ekonome- trik yang dibangun, Fitrani et al mendeteksi bahwa motif pengelompokan ini merupakan salah satu determinan yang secara statistik signifikan untuk menje- laskan mengapa banyak daerah mengambil opsi pemekaran. Hasrat untuk mem- bentuk yurisdiksi baru dengan batas geografi-administrasi baru —yang terpisah dari geografi-administrasi lama— mencuat sejalan dengan meningkatnya kecen- derungan pengelompokan etnis. Fenomena ini lebih mencolok terdeteksi pada masa setelah tahun 2001 —sebagai tahun patokan desentralisasi dalam analisis Fitrani et al— daripada sebelum tahun itu. Dari keadaan ini tampak bahwa identitas etnis cenderung dilekatkan pa- da identitas teritorial, karena pada dasarnya fenomena pengelompokan etnis ini adalah cermin dari homogenitas preferensi masyarakat, sedangkan pemekaran dalam ujudnya adalah pembentukan teritori baru.12 Teritori baru ini lebih kecil, baik dalam luasan geografi administrasi ataupun populasi dibandingkan dengan sebelumnya. Dalam keadaan itu, heterogenitas preferensi masyarakat cenderung minimum. Dengan kata lain, pembentukan daerah baru juga dipicu oleh motif sosiologis ke arah homogenisasi etnis, yakni kehendak untuk hidup dalam suatu ruang etnis yang homogen, dan bahkan bukan tidak mungkin jika motif ini ber- gerak pula ke arah regionalisme —“a feeling of regional identity” (Schrijver, 2006, p. 28); semangat kedaerahan. Semangat ini berbeda dengan spirit normatif yang tertuang dalam simbol Bhinneka Tunggal Ika sebagai komitmen ideologi nasional. 12 Varian lain tentang relasi identitas teritorial dan identitas etnis ditemukan dalam kasus imigran baru di Kanada. Uji ekonometrik McDonald (2004) menunjukkan bahwa adanya ethnic enclave di suatu lokus tertentu secara signifikan menentukan pilihan lokasi di mana migran baru akan berdiam. Dengan kata lain, imigran baru dari kelompok etnik tertentu cenderung memilih lokasi yang didiami oleh penduduk dengan latar belakang etnik yang sama. Dalam konteks negara, Collier and Hoeffler (2002) menyatakan akar persoalan pemisahan negara juga dapat ditelusuri dari issu politik identitas yang mencuat dari perasaan kesamaan identitas etnis.
  • 27. 9 Motif Politik Ekspresi pembentukan yuridiksi baru ternyata juga mendapat respons memadai dari fraksi-fraksi politik di dalam parlemen untuk selanjutnya diteruskan ke dalam proses legislasi. Seri penyusunan UU pembentukan daerah sebagaimana di- ungkap di muka bisa menunjukkan adanya respons itu. Berbeda dengan relasi pemerintah-DPR, tampaknya tidak ada kontroversi yang cukup berarti dalam relasi antarfraksi di tingkat parlemen dalam proses legislasi UU pembentukan daerah baru. Ini juga berbeda dengan proses legislasi UU lain yang tidak jarang menciptakan polar-polar posisi politik fraksi yang bahkan terus berlanjut hingga ke tingkat sidang paripurna. Di tingkat normatif, pembentukan daerah baru bisa dipandang sebagai upaya untuk mendekatkan pemimpin-pemimpin politik pada konstitutennya, se- hingga aspirasi dan preferensi masyarakat dapat lebih efektif untuk ditangkap. Namun demikian, di tingkat empiri, sudah barang tentu ada kalkulasi politik yang dilakukan sehingga partai-partai memberi respons atas ekspresi yang bersi- fat bottom-up ini.13 Beberapa di antaranya yang dapat disebut di sini adalah terbukanya peluang baru bagi kompetisi jabatan-jabatan eksekutif dan legislatif di yurisdiksi-yurisdiksi bentukan baru, termasuk juga ekspansi konstituensi. Di posisi legislatif, misalnya, dua besaran yang paralel dapat dipakai untuk memberi konfirmasi mengenai adanya kalkulasi politik itu. Pertama, fraksionalisasi poli- tik14; dan, ke dua, jumlah partai di dalam parlemen. Fraksionalisasi politik di yurisdiksi-yurisdiksi bentukan baru terhitung lebih besar daripada yang terjadi di daerah bukan-DOB. Di daerah pemekaran kursi parlemen lebih terdistribusi daripada di daerah non-pemekaran.15 Setara itu, dibandingkan dengan wilayah non-pemekaran, lebih banyak partai masuk ke dalam DPRD di wilayah DOB.16 Keadaan ini memperlihatkan bahwa partai politik dan politisi mempunyai prefe- rensi yang lebih besar pada pemekaran. Grossman (1994) menyatakan preferensi seperti ini dapat terjadi karena adanya potensi return of votes relatif tinggi sejalan dengan (lebih) kecilnya populasi di wilayah semacam ini sebagaimana terlihat di daerah bentukan baru. 13 Patut dicatat pula ada sejumlah kecil kasus pemekaran yang bersifat top-down. Di Papua, misalnya, pemekaran bersumber dari inisiatif pemerintah, tetapi justru sempat mendapat peno- lakan dari komunitas dan elit setempat. 14 Fraksionalisasi politik mengukur tingkat fragmentasi kursi berdasarkan besarnya share kursi setiap partai di DPRD. Semakin banyak partai masuk ke dalam parlemen, semakin terfragmen- tasi pula kursi-kursi yang dikuasai partai. 15 Uji statistik-t dua-sisi terhadap sebaran kursi parlemen hasil Pemilu 2004 di 440 kabupaten- kota menunjukkan bahwa perbedaan fraksionalisasi politik ini signifikan pada taraf satu persen (nilai-t=4,31). 16 Uji dua-sisi atas jumlah partai di dalam parlemen lokal menunjukkan perbedaan jumlah par- tai di dalam DPRD antara DOB dan non-DOB juga signifikan pada taraf satu persen (t=2.87).
  • 28. 10 Motif Ekonomi Lebih lanjut, selain motif sosiologis dan politik, masih ada serangkaian motif lain di belakang pengambilan opsi pemekaran wilayah. Yang lazim mengemuka dalam wacana publik ialah motif ekonomi. Potensi perolehan insentif melalui transfer Dana Alokasi Umum (DAU) biasanya menjadi latar belakang penting dalam gagasan untuk memekarkan diri. Transfer ini bersifat otomatis. Sekali sebuah yurisdiksi terbentuk, sejak itu pula DAU diterima sebagai hak Daerah. Ia juga menjadi insentif otomatis karena secara empirik DAU merupakan fungsi dari tiga karakteristik yang selalu melekat dalam suatu yurisdiksi: luas daerah, jumlah penduduk, dan jumlah pegawai negeri sipil daerah (PNSD).17 Menariknya, tidak ada satu pun “variabel pemerintah pusat” dalam penentuan DAU ini. Besar- kecilnya DAU sepenuhnya “ditentukan oleh Daerah” melalui karakteristik yang otomatis melekat padanya. Setara itu, Fane (2003) juga menyimpulkan DAU telah menjadi insentif bagi terjadinya pemekaran. Pada ranah motif ekonomi yang lain, ekspektasi pembagian hasil ekstraksi sumber daya alam juga merupakan faktor pemicu yang tak kalah penting. Eks- pektasi ini utamanya ada pada wilayah-wilayah yang secara alami kaya sumber daya alam. Di wilayah-wilayah seperti ini, membangun yurisdiksi baru sama artinya dengan membangun otoritas atas hak perolehan manfaat atas hasil-hasil ekstraksi sumber daya alam sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.18 Laporan ini menemukan bahwa probabilitas untuk menemukan daerah hasil pe- mekaran akan meningkat sejalan dengan besarnya kontribusi sektor ekstraktif ke dalam perekonomian (lihat Lampiran Teknis). Sama seperti DAU, transfer Dana Bagi Hasil ini pun bersifat otomatis. Selekas suatu yurisdiksi terbentuk, secepat itu pula Dana Bagi Hasil dialirkan. Jelas bahwa pemekaran daerah datang pula dari motif ini. Argumentasi lain dalam kelompok motif ekonomi pemekaran adalah kehen- dak untuk mengejar ketertinggalan. Ini sesungguhnya bertolak belakang dengan syarat-syarat administratif pemekaran sebagaimana diatur oleh Peraturan Pe- merintah (PP) 129 tahun 2000 maupun versi revisinya (PP 78 tahun 2007). Jika syarat-syarat dalam PP itu dipenuhi, ketertinggalan praktis bukan merupakan issu penting di balik pemekaran.19 Namun demikian, empiri memperlihatkan 17 Melalui regresi linier terlihat bahwa 84 persen variasi DAU dapat diterangkan oleh variasi dalam tiga variabel itu secara sangat signifikan (Nilai t-statistik ketiga variabel itu berkisar pada nilai 11-17). 18 Ini terlihat dengan jelas dalam relasi Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (DBHBP) dan nilai tambah sektor ekstraktif yang diperoleh kabupaten-kota. Sekitar 74 persen variasi DBHBP tingkat kabupaten-kota mampu dijelaskan oleh besarnya nilai tambah sektor kehutanan dan sektor pertambangan (termasuk migas) dengan amat signifikan (t-statistik antara 12-17). 19 Patut dicatat, di samping proses legislasi, usulan pemekaran juga melewati proses evaluasi teknis. Dalam proses evaluasi teknis, yurisdiksi pengusul akan dikategorisasi sebagai “sangat mampu” dan “mampu” manakala ia memiliki kapasitas untuk melewati persyaratan adminis-
  • 29. 11 kenyataan yang sebaliknya. Model probit dalam laporan ini menyiratkan bah- wa probabilitas untuk menemukan daerah pemekaran meningkat sejalan dengan status ketertinggalannya (Lihat Lampiran Teknis). Ini artinya daerah-daerah tertinggal cenderung memekarkan diri dibandingkan dengan yang tidak menda- pat status ‘daerah tertinggal”. Dekat dengan ketertinggalan adalah kemiskinan. Kehendak normatif untuk mengejar ketertinggalan juga dapat dijelaskan melalui fakta kemiskinan yang di- hadapi oleh Daerah. Laporan ini menemukan bahwa peluang untuk menemukan ada-tidaknya peristiwa pemekaran akan menguat di daerah-daerah dengan jum- lah penduduk miskin yang tinggi (Lihat Lampiran Teknis). Dengan kata lain, kecenderungan untuk memekarkan daerah akan membesar manakala populasi kemiskinan di daerah itu juga besar. Melalui seluruh gambaran itu terlihat adanya motif-motif sosiologis, politis, dan ekonomis di belakang pemekaran. Satu motif tertentu bisa lebih mengemuka daripada yang lain. Bahkan, kombinasi ketiganya juga bukan hal yang tak la- zim. Ini semua menunjukkan bahwa semesta pemekaran bukanlah semesta hampa yang terisolasi, ataupun terjadi dengan sendirinya (exogenous), tetapi dibentuk oleh serangkaian motif sehingga ia bersifat endogenous dan multidimensional. Namun demikian, apapun motif di belakang pemekaran daerah, dua ukuran laik dipakai sebagai acuan: konsekuensi dan efektivitas pencapaian tujuan. Dalam hal pertama, setiap tindakan selalu mengandung konsekuensi, karena konsekuensi melekat dengan tindakan. Kedua, setiap tindakan juga diarahkan untuk mencapai tujuan pemekaran itu sendiri. Pemekaran daerah secara esensial menetapkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuannya. Oleh karena itu, pembentukan daerah otonomi baru perlu dipandang dalam perspektif acuan ini. Konsekuensi Pemekaran Demokratisasi sistem politik yang digelindingkan sejak 1999 telah membuka ru- ang yang amat lebar bagi berbagai ekspresi, termasuk keinginan untuk memben- tuk yurisdiksi administratif baru.20 Pada saat yang sama dinamika demokratisasi tratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam PP 78-2007. Di bagian Penjelasan dinyatakan bahwa, “Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor ke- mampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah ... Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat tum- buh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (Cetak miring oleh penyusun laporan ini.) 20 Pada tingkat negara, Alesina dan Spolaore (1997) menunjukkan bahwa demokratisasi mem- buka peluang bagi pemisahan yurisdiksi sehingga terjadi pembentukan lebih banyak negara.
  • 30. 12 Seribu Jurus Bercerai Pembentukan Provinsi Gorontalo bisa dibilang mulus. “Cuma butuh 14 bulan,” kata M. Nasser, bekas Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga Komite Pusat Pembentukan Provinsi Gorontalo. Panitia menempuh semua jalur untuk melapangkan jalan. “Ya, semacam gerilyalah.” Pembentukan provinsi itu berawal dari kongko-kongko beberapa tokoh di Jakarta pada 1999. Ide ini dilempar ke daerah, yang ternyata bersambut. Para penggagasnya membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Gorontalo dan menggelar seminar di Gedung Bidakara pada 1999. Untuk melobi para pejabat dan tokoh kunci di Jakarta, Komite Pusat dibentuk dan bermarkas di Jakarta. Dari situ, gerilya politik dilancarkan untuk mengail dukungan dari Komisi Pemerintahan DPR dan Depdagri. Panitia juga menggelar jamuan makan malam di Hotel Mulia. Seusai acara, masing-masing anggota Dewan disodori bungkusan berisi baju kerawang khas Gorontalo. Komite Pusat juga melobi beberapa tokoh kunci DPR, seperti ketua fraksi dan ketua komisi. Komite bahkan mendatangi rumah dinas atau rumah pribadi para pentolan fraksi itu. Tak lupa pelobi membawakan oleh-oleh ikan bakar, ayam bakar rica-rica, dan binthe biluhuta. Beres di Jakarta, Komite Pusat mengundang para anggota De- wan meninjau lapangan pada 2000. Tiket pesawat Mandala Airlines dibayari panitia, juga akomodasi dan transportasi selama tiga hari di Manado dan Gorontalo. Panitia mendatangi kamar hotel tempat menginap anggota Dewan. Amplop-amplop segera berpindah tangan. “Cuma Rp 1,8 juta per orang. Ini uang jalan karena mereka datang ke Gorontalo,” kata Nasser. Uang jalan ini juga diberikan kepada tim Departemen Dalam Negeri yang meninjau Gorontalo. Besarnya Rp 23 juta per orang. Lobi juga dilakukan ke Gubernur E.E. Mangindaan. Total dana yang dihabiskan untuk proses ini, menurut Nasser, sekitar Rp 1,3 miliar. Namun, menurut Abas Nusi, biayanya Rp 3 miliar lebih. Sebaliknya, pembentukan Provinsi Kepulauan Riau pada 2002 tersendat-sendat. “Prosesnya cukup panjang seperti rencana Provinsi Tapanuli yang rusuh itu,” kata Huzrin Hood, bekas Bupati Kepulauan Riau, yang saat itu menjadi Ketua Badan Pekerja Pembentukan Provinsi. Upaya penggagas provinsi itu terganjal seretnya rekomendasi dari DPRD dan Gubernur Saleh Djasit. Itu sebabnya Badan Pekerja membentuk tim khusus lobi di Jakarta. Suatu ketika, Huzrin harus datang ke rumah Ketua DPR, Akbar Tandjung, menjelang tengah malam untuk melobi. Lobi di Jakar- ta membuat pembahasan di Senayan bisa segera digelar. Namun, karena provinsi induk tidak juga memberikan rekomendasi, pembahasan tersendat. Badan Pekerja pun mengerahkan 3.000 orang untuk berdemonstrasi di Senayan. Di tengah proses pembentukan provinsi, Huzrin dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara karena korupsi. Padahal ia digadang-gadang untuk jadi gubernur. Dicuplik dengan penyesuaian dari Tempo 51/XXXVII 09 Februari 2009
  • 31. 13 ini juga diiringi dinamika yang serupa dalam desentralisasi di mana bandul sis- tem pemerintahan bergeser jauh dari Pusat ke Daerah. Di dalam kombinasi dua keadaan itu —demokrasi dan desentralisasi— gagasan tentang pembentukan yurisdiksi baru menjadi lebih masif dikomunikasikan dari simpul ke simpul, dari elit ke komunitas, dan sebaliknya, sebelum ia menjadi ide kolektif dan disalurkan melalui kanal-kanal kelembagaan demokrasi yang ada. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika pembentukan kabupaten-kota bergerak amat ekspansif. Geografi Administrasi Akibat langsung dari ekspansi pembentukan daerah otonomi baru (DOB) ini adalah perubahan geografi yurisdiksi Indonesia. Jawa di detik-detik pertama desentralisasi masih mendominasi komposisi kabupaten-kota Indonesia dengan porsi 32 persen. Di masa-masa berikutnya dominasi Jawa perlahan memudar. Sejalan dengan maraknya pemekaran yurisdiksi di Luar Jawa, kabupaten-kota di Sumatera sekarang mengambil 30 persen share —yang menyalip Jawa sejak 2003 dengan 26 persen share dari total kabupaten-kota. Maluku dan Papua ki- ni mengambil porsi yang lebih besar pula. Dengan jumlah kabupaten-kota yang naik dua lipat, porsi kabupaten-kota Maluku dan juga Papua dua kali lebih besar saat ini dibandingkan dengan keadaan satu dasa warsa lalu. Di Kalimantan dan Sulawesi kabupaten-kota baru menjamur pula. Di dua pulau besar yang berte- tangga ini, jumlah kabupaten-kota sekarang satu-setengah kali lebih besar dari- pada angka 10 tahun silam. Di Nusa Tenggara, kendati dengan angka yang lebih rendah, pertumbuhan jumlah kabupaten-kota juga menandai landscape yurisdiksi di wilayah ini. Gambar 1.2 memberi konfirmasi visual: pemekaran ialah fenome- na Luar Jawa. Di Luar Jawa hampir tidak ada pulau besar atau gugusan pulau yang tidak memiliki kabupaten-kota pemekaran. Di Luar Jawa pula hampir tidak ditemui provinsi tanpa pemekaran kabupaten-kota. Perubahan geografi yurisdiksi ini sudah barang tentu menyusutkan luas wilayah yang berada di bawah wewenang administratif setiap yurisdiksi, bahkan juga termasuk jumlah desa (Tabel 1.2) —kendatipun, sebagaimana diungkap, secara total jumlah desa meningkat tajam. Di hampir seluruh kelompok pulau kecuali Jawa, terjadi perubahan geografi administrasi yang amat kentara. Sudah barang tentu pula hal ini membawa dampak pada penyusutan rentang kendali pemerintahan. Utamanya pada daerah-daerah yang mengalami pemekaran, ini berarti bahwa pemekaran memang telah mampu mencapai salah satu di an- tara sejumlah tujuannya: penyempitan ruang kendali. Jika DOB dan non-DOB diperbandingkan, misalnya, indeks rentang kendali yang dikonstruksi dalam studi ini menunjukkan bahwa kabupaten-kota DOB secara konsisten memiliki rentang kendali yang jauh lebih sempit daripada apa yang diperlihatkan oleh kabupaten
  • 32. 14 dan kota bukan-DOB.21 Namun demikian, agak disayangkan, penyempitan rentang kendali22 ini tidak serta merta menciptakan perbaikan dalam kinerja ekonomi dan sosial. Pada dataran normatif, secara sekuensial, penyempitan rentang kendali pemerintah- an, peningkatan pelayanan aparat publik pada masyarakat, dan akhirnya pe- ningkatan kesejahteraan rakyat seringkali disebut sebagai tujuan-tujuan yang lumrah tertuang dalam proposal pemekaran wilayah, selain perbaikan keter- tinggalan regional. Akan tetapi, efek keunggulan daerah pasca pemekaran karena memiliki rentang kendali yang lebih sempit ini masih harus diuji lagi pada mutu layanan publik, ketertinggalan regional, serta —yang jauh lebih penting— kese- jahteraan masyarakat. Bagaimanapun, kesejahteraan masyarakat adalah tujuan utama pemekaran, bukan sekedar pemuasan preferensi selapis tipis elit lokal. Opsi memekarkan daerah akan kehilangan makna jika kesejahteraan rakyat tidak menjadi batu penjurunya. Jadi, pemekaran jelas bukan tujuan. Ia hanyalah cara untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, pertanyaan yang patut diajukan ialah apakah pemekaran memang sungguh-sungguh memiliki efek pada kesejahteraan? Diekspresikan de- ngan cara lain, apakah skenario pembentukan DOB merupakan skenario yang efektif dalam pencapaian kesejahteraan? Adakah skenario alternatif yang lebih efektif untuk pencapaian tujuan ini?23 Fiskal Derasnya kecepatan pembentukan DOB seperti saat ini bukan tanpa resiko. ”There is no such thing as a free lunch,” demikian ungkapan Nobel-laureate, Milton Friedman. Beberapa di antaranya dapat dicatat di sini. Yang pertama terlihat jelas adalah konsekuensi fiskal dari fenomena pemekaran. Dalam hal ini, setiap pembentukan yurisdiksi baru di tingkat daerah selalu membawa dampak 21 Indeks rentang kendali untuk DOB dan bukan-DOB, masing-masing, adalah −0, 38 dan 0,18. Perbedaan ini terhitung signifikan secara statistik. Lihat Lampiran Teknis. 22 Dalam konteks perkembangan teknologi saat ini, rentang kendali geografis dan pemerintahan hingga derajat tertentu tampaknya tidak lagi relevan untuk dijadikan alasan sebagai kendala pembangunan. 23 Pemekaran sendiri selalu menghasilkan perubahan size of jurisdiction. Literatur mencatat daftar panjang mengenai manfaat dan mudarat besar-kecilnya yurisdiksi. Size yang besar — yang bisa juga merupakan gabungan dari yurisdiksi-yurisdiksi yang lebih kecil— mendapat manfaat dalam (1) skala ekonomi untuk produksi barang-jasa publik, (2) internalisasi eksternali- tas melalui sentralisasi penyediaan barang-jasa publik, atau internalisasi eksternalitas karena eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara independen oleh yurisdiksi yang kecil-kecil, (3) redistribusi pendapatan antarregion yang tidak mungkin dilakukan oleh setiap yurisdiksi secara independen, dan (4) market size. Sedangkan mudaratnya terlihat dalam heterogeneity of preferences anggota masyarakatnya. Semakin besar size, kian beragam “selera masyarakat”. Lihat Alberto Alesina, et al.. 2005. ‘Growth and the Size of Countries.’ dalam Philippe Aghion and Steven Durlauf (eds.). Handbook of Economic Growth. Elsevie.
  • 34. 16 TABEL 1.2. Geografi Administrasi per Kabupaten-kota 1999-2006 Kel. Pulau 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Luas Wilayah (km2 ) Jawa 1.169 1.146 1.099 1.079 1.079 1.051 1.051 1.053 Sumatera 5.938 5.244 5.080 4.757 4.204 3.713 3.628 3.664 Nusa Tenggara 2.522 2.522 2.438 2.395 2.285 1.975 2.151 2.151 Kalimantan 17.814 14.456 14.456 12.405 11.659 10.314 10.314 10.306 Sulawesi 4.332 4.355 4.357 4.240 3.671 3.163 3.163 3.154 Maluku 9.377 10.938 10.938 10.938 10.938 5.665 5.665 5.469 Papua 37.229 30.142 30.142 30.142 15.050 14.938 14.711 14.757 Indonesia 5.942 5.762 5.679 5.302 4.925 4.403 4.371 4.375 Jumlah Kecamatan (unit) Jawa 17 17 18 18 17 18 18 18 Sumatera 11 11 12 12 12 11 12 12 Nusa Tenggara 9 9 11 11 11 11 11 11 Kalimantan 13 11 11 10 10 9 10 10 Sulawesi 11 11 12 12 12 11 12 13 Maluku 7 8 7 11 12 6 7 9 Papua 15 12 12 13 8 8 12 14 Indonesia 13 13 14 14 13 12 13 14 Jumlah Desa (unit) Jawa 227 226 227 222 217 218 218 214 Sumatera 5.938 5.244 5.080 4.757 4.204 3.713 3.628 3.664 Nusa Tenggara 129 132 131 130 123 124 125 122 Kalimantan 200 166 160 135 122 118 121 123 Sulawesi 181 160 172 160 138 131 134 137 Maluku 196 194 194 197 201 102 100 117 Papua 243 233 240 268 140 134 134 160 Indonesia 220 209 203 190 173 161 163 164 Diukur sebagai rata-rata per kabupaten-kota anggaran di tingkat nasional. Untuk memeriksanya, dua ukuran dapat dipakai: [1] total aliran dana APBN ke APBD melalui komponen anggaran belanja daerah (BD, Belanja Daerah); dan [2] rasio belanja daerah terhadap belanja total (RB, rasio belanja). Ukuran pertama memotret beban anggaran dari besaran absolut, sedangkan yang ke dua dari besaran relatif.24 Memang sejauh ini penerimaan dan belanja APBN memperlihatkan trend yang menaik. Namun demikian, beban pengalokasian dana ke daerah jelas tetap besar tatkala diingat bahwa selalu ada potensi penurunan di dua sisi APBN: penerimaan dan belanja. Akibatnya, bukan hanya tambahan aliran dana ke daerah berpotensi menurun. Lebih daripada itu, total aliran dana ke daerah juga potensial menyusut jika terjadi shock serius dalam APBN. Walhasil, resiko fiskal selalu tetap ada. Gambar 1.3 memberi potret tegas tentang konsekuensi anggaran yang ditim- bulkan akibat pemekaran. Pada Panel 1.3a pergerakan ke arah kanan jum- 24 Beban ini belum termasuk pembiayaan instansi Pusat di daerah. Hal ini sejalan dengan UU desentralisasi yang memerintahkan beberapa urusan tetap di bawah kendali Pusat.
  • 35. 17 lah kabupaten-kota di sumbu horisontal diikuti oleh pergerakan ke atas beban anggaran di sumbu vertikal. Jelas terpampang, aliran dana APBN ke APBD, baik secara absolut maupun relatif, sangat sensitif terhadap banyaknya kabupaten- kota yang harus mendapat injeksi dana dari pemerintah pusat. Ini artinya, sam- pai batas tertentu, makin banyak jumlah yurisdiksi yang terbentuk, makin besar pula belanja daerah yang harus dialokasikan, utamanya apabila constraint dari sisi penerimaan APBN tidak diperhitungkan.25 Panel 1.3b memberi konfirmasi dari sudut lain mengenai potret itu. Benar bahwa transfer Pusat ke Daerah meningkat setiap tahun. Akan tetapi, jelas pula terlihat bahwa dari waktu ke waktu kemampuan pemerintah untuk menambah jumlah transfer itu terus menurun. Garis merah menunjukkan bahwa ekspan- si belanja daerah yang dapat diambil dari penerimaan APBN hanya terjadi dalam paruh pertama dasa warsa 1999-2008, manakala jumlah kabupaten-kota masih 440 dan provinsi masih 30. Lepas masa itu dengan sempat diselingi oleh dua tahun penurunan tajam (2003-2005) kemampuan pemerintah pusat untuk meningkatkan porsi belanja daerah melalui penerimaan APBN tahunan berku- rang. Bahkan, andaipun penurunan tajam itu tidak terjadi, data menunjukkan bahwa kecenderungan marginal diminishing tetap tak terhindarkan. Dalam dua tahun terakhir, garis kecenderungan itu mendatar lalu menekuk turun. Pola tambahan belanja daerah yang semakin menurun ini juga terjadi pada alokasi dana belanja daerah per yurisdiksi dari tahun ke tahun, sebagaimana di- pantulkan oleh garis biru. Ada pola marginal diminishing dalam belanja daerah per yurisdiksi. Belanja daerah per yurisdiksi menaik perlahan sejak 2001, tiba di masa puncak 2006, lalu melambat. Lagi pula, mengingat setiap tahun jumlah yurisdiksi, khususnya kabupaten-kota, cenderung meningkat akibat pemekaran, kemampuan pemerintah secara potensial akan mencapai titik limitasinya. Ini makin tegas terlihat manakala ada pagu tertentu untuk belanja daerah yang dipa- tok berdasarkan besar penerimaan dalam negeri atau berdasarkan rujukan lain.26 Dibaca dengan cara berbeda, di satu pihak tambahan dana per tahun yang dite- rima oleh setiap pemerintah daerah akan menurun sejalan dengan membesarnya jumlah yurisdiksi penerima. Di lain pihak, kebutuhan dana setiap pemerintah daerah dari waktu ke waktu justru memiliki kecenderungan yang meningkat. Dengan kata lain, akan ada trade-off antara dana yang diterima oleh setiap yuris- diksi di satu sisi dengan pertumbuhan jumlah yurisdiksi di lain sisi. Terobosan untuk melawan kecenderungan ini hanya dapat dilakukan jika terjadi pertum- buhan belanja daerah agresif yang bersumber dari ekspansi penerimaan dalam negeri; atau bila dilakukan pengendalian atas pertumbuhan DOB. 25 Data berdasarkan harga berlaku, sehingga belum ada koreksi inflasi. 26 Undang-undang 33, 2004.
  • 36. 18 (a) Sumbu vertikal kiri: belanja daerah (BD, trilyun ripuah). Sumbu vertikal kanan: rasio belanja daerah (RB) terhadap total belanja APBN. Sumbu horisontal: jumlah yurisdiksi (provinsi, kabupaten, dan kota (PKK). Garis merah: garis estimasi hubungan antara belanja daerah dan jumlah yurisdiksi untuk data plot biru. Garis biru: garis estimasi hubungan antara rasio belanja daerah terhadap total belanja APBN dan jumlah yurisdiksi untuk data plot merah. Garis merah: Ln BD = -29,56 + 5,62 Ln PKK; R2 =0,88. Garis biru: Ln RB = -15,44 + 2,31 Ln PKK; R2 =0,74 (b) Sumbu vertikal kiri: rasio belanja daerah terhadap total penerimaan APBN (RB). Sumbu vertikal kanan: belanja daerah per yurisdiksi (BDY , trilyun rupiah). Sumbu horisontal: tahun. Garis biru: garis pemeta hubungan RB dan tahun. Garis merah: garis pemeta hubungan BDY dan tahun GAMBAR 1.3. Implikasi Fiskal Pemekaran Daerah
  • 37. 19 Penundaan Kebijakan Dalam keadaan lain, utamanya di yurisdiksi-yurisdiksi hasil pemekaran, aliran dana Pusat ke Daerah ini tidak serta merta dapat diubah-ujudkan menjadi ke- bijakan pembangunan yang mempunyai efek kesejahteraan yang langsung dan segera pada masyarakat.27 Issu ini sekarang menjadi keprihatinan publik. Di tahun-tahun awal pemekaran, sebuah yurisdiksi mau tak mau harus lebih du- lu mengambil fokus pada issu-issu administrasi-birokrasi. Penyiapan institusi- institusi eksekutif dan legislatif di tingkat lokal, recruitment and staffing, pem- bangunan infrastuktur pemerintahan, serta issu-issu lain yang berkenaan dengan penggelindingan roda pemerintahan adalah rangkaian prioritas yang harus diam- bil di muka. Sudah barang tentu prioritas ini akan melekat kuat dengan prioritas alokasi sumber daya yang akan digunakan untuk itu semua. Ini berarti ada pergeseran pembiayaan untuk mengikuti ‘urutan prioritas’ yang tertuang dalam norma kegiatan dan pembiayaan. Keadaan ini memperlihatkan bahwa start-up costs yang diperlukan di daerah bentukan baru dengan infrastruktur eksekutif dan legislatif yang juga baru cenderung lebih besar daripada di daerah bukan bentukan baru. Yang terjadi kemudian adalah sebuah policy delay. Kebijakan-kebijakan yang lebih substansial ke arah kesejahteraan masyarakat harus ditunda karena prioritas kebijakan terletak pada pembangunan perangkat lunak dan keras untuk penyelenggaraan pemerintahan. Tatkala kebijakan-kebijakan substansial ini ter- tunda, tertunda pula pencapaian kesejahteraan masyarakat. Jadi, ada senjang waktu yang cukup berarti antara kebijakan yang bersifat administratif dengan ke- bijakan yang lebih substansial. Percepatan pembangunan yang ada dalam asumsi justru menjadi penundaan pembangunan dalam realisasi. Policy delay ini mem- buat pemekaran terasa mahal mengingat (lebih) panjangnya rute pembangunan yang harus ditempuh. Policy delay ini pula menjadikan otoritas lokal tertinggal di belakang issu-issu pembangunan. Sebagai ringkasan, paling sedikit ada tiga konsekuensi yang ditimbulkan oleh policy delay. Kesatu, yang paling mencolok, adalah masyarakat kehilangan kesempatan untuk mencapai kesejahteraan dalam tempo yang (seharusnya) lebih cepat. Kedua, pembuat kebijakan kehilangan timing untuk merespon issu-issu dalam masyarakat, apalagi jika terjadi perubahan sosial dan ekonomi yang cepat. Ketiga, seluruh aktor pembangunan kehilangan sumber daya karena adanya (mis)- alokasi yang bersifat prioritas: mengedepankan pembangunan infrastruktur biro- krasi pemerintahan, mengebelakangkan pembangunan masyarakat. 27 Bersamaan dengan itu, sepanjang 2007-2008 media secara intensif melaporkan bahwa banyak Daerah tidak membelanjakan dana-dana ini, tetapi justru menyimpannya dalam Serifikat Bank Indonesia. Ini menegaskan bahwa transfer Pusat tidak otomatis menginjeksi perekonomian lokal atau diterjemahkan menjadi kegiatan yang menghela pergerakan ekonomi lokal.
  • 38. 20 Capaian Daerah Efektivitas Pemekaran Kecenderungan tinggi pembentukan yurisdiksi baru tidak serta merta diikuti oleh kinerja yurisdiksi itu dalam peningkatan pelayanan dan pencapaian kesejahteraan rakyat sebagai ide-ide pokok yang mendasari pembentukan yurisdiksi. Bahkan, sejumlah studi cenderung melaporkan hasil negatif pemekaran: biaya pemekaran terhitung mahal, sedangkan manfaatnya relatif terbatas (DSF, 2007),28 kiner- ja yurisdiksi bentukan baru di beberapa sektor yang terkait langsung dengan masyarakat tidak selalu lebih baik daripada kinerja sektoral daerah lain (BAP- PENAS dan UNDP, 2007; Qibthiyyah, 2008), sebagaimana juga ditemukan dalam kinerja aparatur (BAPPENAS, 2004).29 Mengamati empat sektor pembangunan —kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur— keraguan akan efektivitas pemekaran ini menda- pat konfirmasi empiris dalam laporan ini. Pendekatan quasi experimental dan counter factual analysis yang dikembangkan dalam studi ini menemukan bah- wa pembentukan yurisdiksi baru bukan merupakan jalan efektif ke arah pen- capaian kesejahteraan rakyat. Seluruh indikator yang dievaluasi dan disimulasi — Indeks Pembangunan Manusia (IPM), lama sekolah dan partisipasi sekolah, vaksinasi bayi dan persalinan medis, serta pembangunan jalan distrik— tidak mendukung argumentasi mengenai manfaat pemekaran. Mutu pembangunan manusia tidak terangkat, sementara anak-anak juga tidak lebih banyak dikirim ke sekolah-sekolah. Bayi-balita pun lebih sedikit yang mendapatkan vaksinasi. Tidak kalah pentingnya, pembangunan infrastruktur daerah juga tidak menam- pakkan kemajuan yang berarti. Gambaran ini memancing pertanyaan yang sangat mendasar tentang efek- tivitas pemekaran terhadap kesejahteraan rakyat umumnya, bahkan juga ten- tang ke arah mana gerakan desentralisasi akan menuju. Berdasarkan perspek- tif itu tidaklah mengherankan apabila, dari sisi capaian pembangunan, secara umum, yurisdiksi bentukan baru tidak mampu menampilkan kinerja yang lebih baik daripada yurisdiksi induk maupun yurisdiksi lain yang tidak mengambil opsi pemekaran. Di bagian berikut laporan ini ditunjukkan bahwa opsi pe- mekaran bukanlah tindakan efektif untuk mencapai kesejahteraan. Dalam em- pat sektor yang dianalisis —kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan 28 ‘Biaya’ di sini didefinisikan sebagai penurunan dalam belanja pembangunan akibat pe- mekaran. Sementara itu, ‘manfaat’ dinyatakan sebagai perbandingan produktivitas belanja pembangunan DOB dan daerah induk dengan daerah lain yang tidak mengalami perubahan yurisdiksional. Lihat, DSF (2007), Costs and Benefits of New Region Creation in Indonesia. Final Report, 2 November 2007. 29 Dalam keadaan yang lain, menarik untuk diperiksa apakah fenomena flypaper effect terja- di dalam relasi fiskal Pusat-Daerah melalui dana transfer Pusat, utamanya apabila dikaitkan dengan kinerja perekonomian masyarakat di daerah yang menerima dana transfer itu.
  • 39. 21 infrastruktur— tanda-tanda bahwa opsi pemekaran jauh dari tujuannya diper- lihatkan. Skenario counter factual juga menunjukkan bahwa tindakan tidak memekarkan yurisdiksi, tapi langsung menjawab persoalan-persoalan riil masyara- kat, terhitung lebih efektif. Argumen umum untuk menjelaskan keadaan ini biasanya menyatakan bah- wa, untuk menampakkan kinerjanya, pemerintahan hasil pemekaran membu- tuhkan waktu dan kesempatan untuk menggerakkan seluruh potensi yang ada. Argumen ini sahih dari sudut pandang pembangunan administrasi-birokrasi, kare- na memang diperlukan akumulasi pengetahuan dan pengalaman bagi birokrasi untuk membentuk learning curve-nya sendiri. Namun demikian, dari sudut ca- paian pembangunan —capaian yang ditunggu oleh rakyat banyak— argumentasi itu jelas dapat diperdebatkan,30 mengingat banyak soal-soal genting dan akut di masyarakat yang membutuhkan respons cepat. Sebagaimana disebut, policy delay yang terjadi akibat pemekaran memiliki resiko serius pada kesejahteraan rakyat. Penentu Capaian Laporan ini menemukan bahwa issu-issu dasar pembangunan daerah —kemiskinan dan ketertinggalan— menjadi variabel penjelas penting atas capaian daerah. Se- mentara itu, simulasi yang dikembangkan dalam laporan ini menunjukkan bah- wa kebijakan untuk menangani masalah-masalah dasar seperti ini justru jauh lebih efektif jika dijalankan tanpa melalui skenario pemekaran. Oleh karenanya, tindakan-tindakan yang langsung menjawab persoalan-persoalan semacam ini di- rasakan sebagai sebuah kebutuhan. Saat ini kebijakan desentralisasi sebagai koreksi atas kebijakan sentralisasi masa lalu tampaknya perlu dikembalikan kepada tujuan esensialnya, yakni pen- capaian kesejahteraan rakyat. Ini dimaksudkan agar kebijakan desentralisasi tidak melulu didominasi oleh issu-issu pembentukan daerah otonomi baru. Im- plikasinya ialah suatu wacana alternatif untuk pencapaian kesejahteraan rakyat penting untuk digaungkan, yang tidak semata-mata ditempuh melalui jalan pem- bentukan daerah otonomi baru. Wacana ini adalah upaya untuk memetakan kembali persoalan-persoalan pembangunan daerah dan cara-cara penyelesaian- nya —suatu upaya reinventing regional development (Kant et al, 2004) yang 30 Lagi pula, empirik memperlihatkan, tidak ada hubungan yang tegas antara ‘pengalaman suatu yurisdiksi’ (berapa lama suatu yurisdiksi telah dibangun) dengan capaian sosial-ekonomi yang mampu ditunjukkannya. Korelasi antara IPM, partisipasi sekolah, vaksinasi bayi, dan panjang jalan di satu sisi dengan tahun pembentukan yurisdiksi di lain sisi sebagai proksi pe- ngalaman pemerintahan, misalnya, terhitung rendah. Untuk kabupaten-kota DOB, koefisien korelasi bergerak antara −0, 05 sampai −0, 26, sedangkan untuk non-DOB antara −0, 03 hingga −0, 11. Sementara itu, untuk keseluruhan yurisdiksi kabupaten-kota koefisien itu berada di antara −0, 14 hingga −0, 20.
  • 40. 22 mencakup dimensi-dimensi pembangunan manusia dan pembangunan wilayah di daerah, serta perbaikan ketimpangan antardaerah. Reinventing regional deve- lopment dalam laporan ini dijadikan wacana alternatif atas pemekaran karena sifatnya yang lebih luas daripada sekedar issu politik-administrasi yurisdiksi seba- gaimana halnya pemekaran. Inisiatif-inisiatif perlu digulirkan untuk membangun wacana ini tanpa perlu dilimitasi oleh issu politik-administrasi pemerintahan se- mata. Laporan ini akan bermuara pada penggelindingan wacana ini. Di dalam bab awal dan bab antara pada laporan ini, sejumlah issu terkait akan didiskusikan du- lu sebelum ia sampai pada diskusi mengenai pilihan-pilihan kebijakan untuk pen- capaian kesejahteraan rakyat selain melalui jalan pemekaran. Issu-issu itu berta- lian potret empiris pemekaran yang ditilik dari perspektif kesejahteraan rakyat. Perspektif kesejahteraan rakyat ini dipakai sebab ia selalu ditetapkan sebagai tu- juan yang hendak dicapai oleh pembentukan yurisdiksi baru. Berdasarkan per- spektif ini pula wacana ‘temu-ulang pembangunan daerah’ digelindingkan sebagai wacana alternatif. Pemekaran kini berada di persimpangan jalan. Laporan ini sama sekali tidak menafikkan kenyataan bahwa, dalam jumlah terbatas, ada kasus-kasus pe- mekaran yang mendulang sukses. Pada saat yang bersamaan, studi ini juga mencatat arus besar hasrat untuk melakukan pemekaran masih terus mengalir. Tetapi, efek kesejahteraan yang ditimbulkan oleh pemekaran juga masih sangat laik dipertanyakan. Di persimpangan ini pilihan ditentukan.
  • 41. Bab 2 Membandingkan Capaian Daerah Apakah pemekaran sudah mencapai tujuannya, membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi? Kini, setelah satu dasa warsa desentralisasi bergulir, pertanyaan sejenis ini laik diajukan. Ia bukan hanya penting untuk dijadikan pijakan ketika Indonesia menoleh balik ke belakang, mengevaluasi apa yang telah terjadi; tetapi juga manakala Republik ini harus menatap ke muka sejalan dengan gerakan pengusulan pemekaran yurisdiksi yang belum berhenti menggelinding. Pertanyaan semacam ini menguak esensi pemekaran yang paling dalam: kesejahteraan rakyat. Pemilihan Indikator Bab ini meninjau capaian pembangunan sosial dan ekonomi yang langsung di- rasakan oleh masyarakat di daerah pemekaran dan bukan pemekaran. Pemba- ngunan sektor sosial sendiri tidaklah terisolasi. Ia (seharusnya) merupakan buah pembangunan ekonomi. Kemajuan sektor ekonomi menjadi kurang bermakna tanpa perbaikan sektor sosial. Upaya pembangunan ekonomi yang tidak mem- beri dampak positif pada sektor sosial dapat dikatakan sebagai upaya yang “tidak berbuah”. Peningkatan pendapatan per kapita, misalnya, tidak memberi banyak arti jika tidak terjadi perbaikan dalam pendidikan dan kesehatan masyarakat. Sebaliknya, perbaikan pendidikan dan kesehatan menjadi fondasi penting bagi peningkatan produktivitas dan efisiensi. Tidaklah mengherankan, sebagaimana dinyatakan Hill (1996), jika sektor sosial bisa dijadikan sebagai the most tangible yardstick —tongkat pengukur paling kentara— bagi pembangunan ekonomi. Dengan spirit yang sama, pemekaran juga seharusnya berbuah kesejahte- raan rakyat. Sukses atau tidaknya pemekaran —bahkan gagasan pemekaran itu sendiri— justru harus ditilik dari cara pandang ini. Lebih luas lagi, Indonesia harus dipandang dari kacamata kesejahteraan rakyat. Berbasis pada pertimbang- an itu, bab ini akan terkonsentrasi pada variabel-variabel yang mengarah lang- 23
  • 42. 24 sung pada kesejahteraan rakyat. Di bab ini pula dilaporkan perbedaan capaian antara DOB sebagai kelompok perlakuan dan non-DOB sebagai kelompok kon- trol. Diskusi rinci tentang metodologi dalam bab ini disajikan dalam Lampiran Teknis. Capaian-capaian pembangunan kabupaten-kota yang didiskusikan dalam bab ini yang merujuk pada outcomes di empat sektor, yaitu kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ini untuk menggambarkan capaian yang lebih komprehensif karena mencakup capaian-capaian ekonomi dan sosial sekaligus. Selain dirujuk untuk mendapatkan makna substantifnya, pilihan atas indikator-indikator ini dibatasi juga oleh ketersediaan data yang dapat meliput 440 kabupaten-kota amatan. Secara khusus beberapa indikator kunci didiskusikan untuk menggambarkan capaian di empat sektor itu. • Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini untuk menggam- barkan capaian di sektor kesejahteraan masyarakat secara agregat, karena indeks ini menangkap perkembangan di sektor ekonomi dan sektor sosial sekaligus. • Partisipasi Sekolah Siswa. Berbeda dengan observasi atas IPM yang tidak terbatas pada suatu cohort demografi tertentu, partisipasi sekolah merujuk pada cohort demografi yang spesifik. • Vaksinasi Bayi. Representasi sektor kesehatan ini memotret cohort de- mografi yang lebih spesifik lagi. Dua indikator di sektor pendidikan dan ke- sehatan ini dapat menggambarkan ‘mutu manusia’ dalam cohort demografi yang ditelaah, sehingga penilaian atas capaian Daerah menangkap lebih lengkap cohort demografi yang ada. • Panjang Jalan. Capaian pembangunan panjang jalan untuk merepresen- tasi sektor infrastruktur juga didiskusikan dalam bab ini. Sebagaimana luas diketahui, jalan raya adalah urat nadi arus barang dan jasa untuk pergerakan ekonomi suatu wilayah. Selain indikator-indikator itu, padanan indikator sektor pendidikan dan ke- sehatan juga dilengkapi dengan indikator lama sekolah (schooling year) dan per- salinan dengan bantuan tenaga paramedik. Hingga derajat tertentu, indikator- indikator itu bisa menjelaskan apa yang terjadi dalam infrastruktur dan kelemba- gaan di sektor pendidikan dan kesehatan. Selain itu, untuk mendapatkan gam- baran capaian Daerah dalam sektor ekonomi dan sosial, indikator-indikator lain yang relevan —kendati tidak didiskusikan secara khusus di bab ini— disajikan dalam Lampiran A.
  • 43. 25 Kesejahteraan Umum: Indeks Pembangunan Manusia Bagaimana mengukur tingkat kesejahteraan umum mengingat ini adalah term dengan cakupan yang luas? Di antara pelbagai indikator yang ada, Indeks Pem- bangunan Manusia (IPM) paling tepat dipakai untuk mengukur profil kesejahte- raan umum. Di dalam indeks ini, kesejahteraan tidak hanya ditilik melalui per- spektif ekonomi semata sebagaimana lazim terekam dalam Produk Domestik Re- gional Bruto (PDRB) per kapita, tetapi juga diteropong via capaian di sektor sosial, yakni pendidikan dan kesehatan. Dalam hal yang terakhir, Tingkat Melek Huruf (TMH) dan Tingkat Harapan Hidup (THH) adalah dua indikator yang lazim termaktub dalam konstruksi IPM. Tabel 2.1 melaporkan perbedaan capaian IPM antara daerah perlakuan dengan daerah kontrol. Untuk keseluruhan Indonesia, melalui pasangan amatan yang sepadan (macthed pair), dapat dinyatakan bahwa capaian daerah perlakuan dalam IPM lebih buruk daripada capaian IPM oleh daerah kontrol, sebagaimana dicirikan oleh tanda negatif ATET (Average Treatement Effect for the Treated).31 Ketiga teknik yang dipakai —stratification, nearest neighbor, dan kernel match- ing— memberikan hasil yang secara kualitatif senada, bahkan dua di antaranya melaporkan gambaran kuantitatif yang sangat dekat. Dengan standard error yang relatif kecil —kurang-lebih separuh dari nilai ATET— perbedaan capaian IPM antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan secara statistik terhitung signifikan. Fakta ini menjelaskan bahwa, kecuali Jawa-Bali dan Sulawesi, yurisdik- si yang tidak mengambil opsi pemekaran menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan yurisdiksi counterpart-nya. Ketiga teknik yang dipakai memberikan gambaran yang secara umum konsisten dalam urutan perbedaan capaian. Perbe- daan capaian yang terbesar terjadi di Papua, di mana yurisdiksi DOB jauh tertinggal di belakang yurisdiksi bukan-DOB, lalu disusul Sumatera dan Kali- mantan. Di Maluku dan Nusa Tenggara, meski tak terlalu besar, yurisidiksi non-pemekaran masih lebih baik daripada yurisdiksi hasil pemekaran. Gambaran IPM yang lebih buruk di kelompok DOB juga didukung oleh komponen-komponen penyusunnya, walaupun secara statistik tidak selalu sig- nifikan. Masyarakat yang tinggal di DOB umumnya memiliki usia harapan hidup yang lebih pendek. Dibandingkan dengan di daerah lain, di yurisdiksi DOB lebih sedikit orang yang mampu “membaca, menulis, dan mengerti kalimat sederhana”. Pada saat yang sama, pendapatan per kapita (non-migas) di wilayah pemekaran juga terhitung lebih kecil. Ringkas kata, jika IPM boleh dibaca sebagai potret 31 Nilai ATET adalah nilai perbedaan capaian indikator sosial-ekonomi antara kelompok per- lakuan dan kelompok kontrol sebagai suatu matched pair. Tanda negatif menunjukkan capaian di kelompok perlakuan lebih rendah daripada capaian di kelompok kontrol.
  • 44. 26 tentang mutu pembangunan manusia, yurisdiksi hasil pemekaran belum mampu menunjukkan kemampuan untuk membangun mutu kehidupan masyarakatnya. Pendidikan: Lama Sekolah dan Partisipasi Sekolah Untuk menjadikan masyarakat lebih terdidik, jelas dibutuhkan partisipasi pen- didikan yang lebih baik. Ini tentu dimulai dengan mengirim anak-anak lebih banyak ke sekolah. Harus lebih banyak siswa berada di kelas tatkala lonceng seko- lah berbunyi. Harus lebih banyak anak usia sekolah berpartisipasi di jenjangnya masing-masing. Pendidikan juga menentukan mutu pembangunan manusia. Di sektor pendidikan dua indikator dipakai sebagai variabel evaluasi: lama sekolah (schooling year) dan partisipasi sekolah. Lama sekolah menjelaskan be- rapa lama suatu komunitas mengecap pendidikan di dalam lembaga-lembaga pendidikan formal. Mengingat “lama pendidikan” hingga derajat tertentu juga memantulkan makna sebagai “tingkat pendidikan”, lama sekolah juga bisa mem- berikan gambaran kasar tentang “seberapa tinggi” suatu komunitas dapat dididik oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Sementara itu, partisipasi sekolah mengacu pada berapa banyak anak usia sekolah terserap dalam sistem pendidikan menurut jenjangnya masing-masing. Di Lampiran A juga disajikan disagregasi partisipasi sekolah menurut jenjang pendidikan. Selain itu, ditampilkan pula tingkat kompetensi siswa sebagai variabel yang menangkap kemampuan siswa sekolah dari pelbagai jenis dan tingkat untuk melampaui ujian tingkat nasional dan tingkat sekolah. Tabel 2.2 merekam potret kinerja dunia pendidikan yang lebih buram di daerah pemekaran dibandingkan dengan daerah pembandingnya. Pertama, un- tuk keseluruhan Indonesia, penduduk di daerah pemekaran mengenyam masa pendidikan 4,5-6 bulan lebih pendek daripada penduduk di daerah pembanding. Secara substansial perbedaan ini boleh jadi tidak bermakna, tetapi pengujian secara statistik melaporkan bahwa perbedaan ini signifikan. Artinya, temuan ini bersifat sistematik, bukan “kebetulan” semata. Dalam ekspresi lain, peluang untuk menemukan kinerja DOB yang seperti ini lebih tinggi daripada sebaliknya. Kedua, lebih sedikit anak pergi ke sekolah di yurisdiksi perlakuan daripada yurisdiksi kontrol. Pada tingkat sekolah dasar perbedaan partisipasi sekolah an- tara yurisdiksi perlakuan dan kontrol ini masih relatif kecil, antara 1-3 persen. Tetapi pada tingkat SLTP, selisih itu melebar dua kali, hingga 3-5 persen. Se- makin tinggi lagi jenjang pendidikan, senjang partisipasi sekolah itu semakin menganga. Partisipasi sekolah pada jenjang SLTA untuk yurisdiksi perlakuan lebih rendah 10-17 persen dibandingkan dengan yurisdiksi kontrol. Mengingat
  • 45. 27 piramida penduduk kabupaten-kota Indonesia membengkak di bagian tengah- bawah, angka 10-17 persen ini merupakan issu yang sangat serius. Kisah ketertinggalan berulang kembali pada kompetensi siswa. Lampiran A menunjukkan prestasi siswa-siswa di daerah pemekaran tampaknya tertinggal. Nilai ujian nasional dan ujian sekolah di setiap jenjang selalu lebih rendah di dae- rah pemekaran daripada nilai-nilai ujian siswa di daerah non-pemekaran. Serupa pula seperti dalam tingkat partisipasi sekolah, perbedaan kompetensi siswa ini menajam sejalan dengan menaiknya tingkat pendidikan. Keadaan ini masih di- tambah lagi dengan fakta bahwa nilai terburuk untuk semua jenjang ujian justru ditemui di daerah pemekaran, tetapi nilai tertinggi ditemui di daerah bukan- pemekaran —kecuali pada nilai ujian tertinggi SD. Siswa-siswa di wilayah per- lakuan masih harus belajar lebih keras untuk mengejar prestasi teman-temannya di wilayah kontrol. Singkat cerita, untuk keseluruhan Indonesia, wajah sektor pendidikan di daerah pemekaran masih kurang rupawan dibandingkan wajah sektor pendidikan di daerah non-pemekaran. Dalam kalimat lain, agak disayangkan, pilihan pe- mekaran bukan pilihan yang berdayaguna bagi dunia pendidikan. Namun demi- kian, mengingat di beberapa daerah pemekaran kemajuan itu tetap terjadi, se- bagaimana ditunjukkan juga oleh Tabel itu, tampaknya perlu dicari cara agar terjadi policy mimicking dari daerah pemekaran yang lebih maju oleh daerah hasil pemekaran lain yang masih tertinggal. Kesehatan: Vaksinasi dan Persalinan Sektor kesehatan jelas merupakan sektor penting dalam pembangunan. Perha- tian pada cohort demografi yang lebih khusus di sektor kesehatan, yakni balita, juga tak kalah pentingnya, karena dalam jangka panjang cohort demografi ini akan menjadi generasi baru yang amat menentukan. Pada saat yang sama, ibu- ibu yang melahirkan generasi baru ini juga tidak mungkin dapat disisihkan dari perhatian, apalagi ibu-ibu yang menghadapi masa persalinan. Saat-saat persalin- an adalah masa-masa yang amat menentukan bagi ibu-ibu dan bayi-bayi mere- ka. Oleh karenanya, dukungan-dukungan medis pada saat persalinan merupakan tindakan-tindakan yang juga perlu mendapat perhatian. Daerah Otonomi Baru kembali gagal menunjukkan capaiannya di sektor kesehatan. Daya jangkau vaksinasi bayi daerah ini masih lebih kecil daripada daya jangkau daerah bukan-pemekaran. Kendati dalam jumlah terbatas beberapa yurisdiksi mampu menampilkan citra mengesankan, daerah pemekaran secara keseluruhan tertinggal 3-4 persen di belakang daerah non-pemekaran.
  • 46. 28 Maluku dan Papua perlu mendapat perhatian khusus yang amat serius un- tuk capaian vaksinasi bayi. Di timur kaki langit Indonesia ini, daerah pemekaran tertinggal amat jauh. Dampak atas pilihan pemekaran sama sekali tidak terasa bagi bayi-bayi untuk mendapatkan vaksinasi. Bayi-bayi di wilayah pemekaran tidak lebih banyak mendapatkan vaksinasi dibandingkan dengan bayi-bayi yang dilahirkan di wilayah bukan-pemekaran. Di Maluku, jangkauan vaksinasi yurisdiksi pemekaran tertinggal 10-12 per- sen. Di kabupaten-kota pemekaran Papua, bayi-bayi masih harus menangis lebih nyaring, karena tenaga medis kalah sigap 11-15 persen dalam menjangkau bayi- bayi untuk divaksin. Tetapi yurisdiksi pemekaran di Sulawesi menampilkan citra yang sebaliknya. Di Sulawesi, jarum suntik vaksinasi daerah pemekaran lebih banyak menjangkau bayi-bayi. Senafas dengan IPM dan indikator di sektor pen- didikan, daerah pemekaran di Sulawesi berada di depan daerah bukan pemekaran. Dalam hal persalinan, jangkauan tenaga medis untuk menolong persalinan di daerah pemekaran lebih terbatas. Di sini persalinan dengan bantuan tenaga medis terhitung 8-9 persen lebih rendah dibandingkan persalinan di yurisdiksi kontrol. Gambaran ini tampaknya konsisten dari nusa ke nusa. Sejauh timur dari barat Indonesia, sejauh itu pula ketertinggalan yurisdiksi pemekaran dalam menolong ibu-ibu menghadapi detik-detik kehidupan yang menentukan: persalin- an. Yurisdiksi pemekaran di Sulawesi yang dalam indikator-indikator sebelum- nya tampil meyakinkan, kali ini harus terpuruk jatuh. Sumatera dan Kaliman- tan setali tiga uang. Yurisdiksi pemekaran di sana tertinggal 10 persen di be- lakang yurisdiksi bukan-pemekaran dalam menolong ibu-ibu membawa jiwa baru ke dunia. Di Jawa kejutan juga terjadi. Daerah pemekaran di Jawa rupanya masih membiarkan ibu-ibu berjuang sendiri dalam melahirkan bayi. Sementara itu, Papua kembali gagal membawa berita baik, karena pemekaran tidak meng- hasilkan dampak yang positif. Wilayah pemekaran di sana hanya mampu meno- long 24-30 persen lebih rendah ibu-ibu untuk bersalin dibandingkan yurisdiksi counterpart-nya. Keadaan di atas belum merupakan potret keseluruhan, sebab ia masih harus dilengkapi pula dengan kondisi sanitasi yang lebih buruk di DOB. Pen- duduk di kelompok perlakuan tidak mampu melampaui penduduk di kelompok kontrol dalam pemilikan jamban sendiri. Selisih keduanya antara 2,5 hingga 6,5 persen dari populasi. Pemilikan jamban sendiri terasa bukan issu serius bagi sejumlah lapisan masyarakat. Tapi temuan ini seperti mencengangkan, kare- na banyak penduduk daerah pemekaran yang gagal memenuhi kebutuhan ini. Keadaan ini tentu makin serius ketika pemilikan jamban sendiri dibidik dalam perspektif mutu sanitasi. Mutu sanitasi, hingga derajat tertentu, menentukan mutu pembangunan manusia.
  • 47. 29 Akses pada air bersih juga tak berbeda, malah lebih buruk lagi. Persentase penduduk yang memiliki akses pada air bersih di yurisdiksi DOB lebih rendah 13-15 persen dibandingkan dengan porsi penduduk yang mampu mengakses air bersih di daerah kontrol (Lampiran A). Air bersih tampaknya belum bisa mengalir lancar ke huma-huma penduduk di daerah pemekaran. Bagi penduduk di sana, masih dibutuhkan upaya tak ringan untuk memperoleh air bagi kehidupan harian. Singkat kata, kesehatan dan sanitasi masih menjadi persoalan serius bagi wilayah- wilayah hasil pemekaran. Perlu kerja yang lebih keras lagi untuk membuktikan bahwa pemekaran adalah opsi yang bermanfaat bagi rakyat banyak, agar cita-cita kesejahteraan menjadi nyata, bukan wacana semata. Infrastruktur: Pembangunan Jalan Jalan raya bukan hanya penting untuk menghubungkan satu lokus dengan lain lokus perekonomian. Lebih daripada itu, ia juga menghidupkan dan mengge- rakkan pelbagai aktivitas tautannya. Pembangunan jalan yang membuka keter- kuncian dan keterkulican wilayah memiliki sumbangan berarti pada penyempitan disparitas harga antar-wilayah. Telah menjadi fakta bahwa tingkat harga berbeda dari satu titik ke titik geografi lain. Perbedaan ini semakin tajam mencolok tatkala ketika jalan menjadi bottleneck pergerakan barang dan jasa antar-wilayah. Dalam hal kemampuan pembangunan jalan, baik dalam ukuran kilometer absolut maupun dalam ukuran relatif terhadap luas wilayah, kelompok perlakuan tidak mampu menandingi kelompok kontrol. Yurisdiksi di kelompok perlakuan tertinggal antara 240-250 km dalam pembangunan jalan dibandingkan dengan yurisdiksi di kelompok kontrol. Di semua kelompok pulau, tak satu pun yurisdiksi pemekaran mampu membangun jalan yang lebih panjang. Diukur secara relatif terhadap luas wilayah, kemampuan kabupaten-kota pemekaran untuk membangun jalan juga tak lebih baik. Hanya di Kaliman- tan dan Nusa Tenggara, relatif terhadap luas wilayahnya, yurisdiksi pemekaran mampu mengungguli yurisdiksi non-pemekaran. Dari Sumatera hingga Papua, bahkan juga di Jawa, tak ada jalan yang lebih panjang di kabupaten-kota pe- mekaran dibandingkan dengan kabupaten-kota bukan-pemekaran. Situasi ini setali tiga uang dengan kemampuan distrik-distrik di wilayah pemekaran dalam menghasilkan energi listrik. Sekali lagi, DOB tidak mampu memperlihatkan kinerja yang lebih baik. Di wilayah perlakuan, produksi listrik terhitung jauh lebih rendah daripada produksi listrik di wilayah counterpart- nya. Perbedaan capaian ini bersifat sistematik sebagaimana ditunjukkan oleh signifikansi statistiknya.
  • 49. 31 TABEL2.2.LamaSekolahdanPartisipasiSekolah NearestKernel RegioPerlakuanKontrolStratificationPerlakuanKontrol Neighbor PerlakuanKontrol Matching •LamaSekolah Sumatera5659-0,8775627-0,5115659-0,830 Jawa-Bali6280,813660,9676280,769 NusaTenggara430,07552-0,020520,122 Kalimantan1714-0,453227-0,445229-0,491 Sulawesi15370,51722100,35922300,315 Maluku77-0,486113-0,336113-0,301 Papua1610-1,814175-0,959179-1,666 Indonesia139175-0,53013965-0,376139175-0,495 (-2,352)(-1,609)(-2,622) •PartisipasiSekolah Sumatera5659-1,10156271,8435659-0,644 Jawa-Bali628-1,759662,065628-1,788 NusaTenggara430,487524,53652-0,573 Kalimantan1714-0,556227-0,956229-0,900 Sulawesi15371,58022105,95022304,193 Maluku77-11,763113-10,172113-10,85 Papua1610-12,144175-14,991179-11,039 Indonesia139175-3,25913965-4,029139175-2,894 (-2,319)(-2,342)(-2,058) Keterangan:Angkadalamkurungadalaht-statistikperbedaanantaracapaianDOBdanNon-DOB.
  • 50. 32 TABEL2.3.VaksinasidanPersalinan NearestKernel RegioPerlakuanKontrolStratificationPerlakuanKontrol Neighbor PerlakuanKontrol Matching •VaksinasiBayi Sumatera5659-1,10156271,8435659-0,644 Jawa-Bali628-1,759662,065628-1,788 NusaTenggara430,487524,53652-0,573 Kalimantan1714-0,556227-0,956229-0,900 Sulawesi15371,58022105,95022304,193 Maluku77-11,763113-10,172113-10,850 Papua1610-12,144175-14,991179-11,039 Indonesia139175-3,25913965-4,029139175-2,894 (-2,319)(-2,342)(-2,058) •Persalinan Sumatera5659-10,2485627-5,1455659-9,273 Jawa-Bali628-8,08266-0,340628-7,784 NusaTenggara43-9,930520,47652-9,598 Kalimantan1714-9,869227-4,701229-6,501 Sulawesi1537-5,0712210-11,2732230-7,532 Maluku77-7,744113-11,652113-11,751 Papua1610-23,691173-27,870179-29,504 Indonesia139175-9,92613965-7,825139175-9,332 (-2,462)(-2,232)(-3,034) Keterangan:Angkadalamkurungadalaht-statistikperbedaanantaracapaianDOBdanNon-DOB.
  • 51. 33 TABEL2.4.PembangunanJalan NearestKernel RegioPerlakuanKontrolStratificationPerlakuanKontrol Neighbor PerlakuanKontrol Matching •JalanAbsolut(km) Sumatera5659-237,4715624-264,3955659-217,66 Jawa-Bali628-95,12363-169,032628-97,589 NusaTenggara43-609,25051-609,25052-609,250 Kalimantan1714-82,297227-96,224229-84,584 Sulawesi1537-209,363228-342,0432230-308,739 Maluku77-186,563112-198,978113-200,426 Papua1610175-505,517179-193,067 Indonesia139175-249,96813965-237,109139175-255,074 (-2,975)(-2,325)(-2,873) •JalanRelatif Sumatera5659-1,1405624-0,5645659-1,141 Jawa-Bali628-0,35763-1,050628-0,564 NusaTenggara430,080510,080520,080 Kalimantan17140,0152270,0052290,001 Sulawesi1537-0,442228-0,3502230-0,561 Maluku77-0,032112-0,041113-0,045 Papua175-0,199179-0,118 Indonesia139175-0,60913965-0,328139175-0,600 (-2,575)(-1,542)(-2,781) •ProduksiListrik(mw) Indonesia139175-8.65E+0713940-4.48E+07139175-6.78E+07 (-2.099)(-1.247)(-2.501) Keterangan:Angkadalamkurungadalaht-statistikperbedaanantaracapaianDOBdanNon-DOB.
  • 52. 34 Analisis “Counter-Factual” Sejauh ini telah dipaparkan bahwa pilihan administratif pemekaran bukanlah jalan efektif ke arah pencapaian kesejahteraan rakyat. Indikator-indikator sosial- ekonomi yang ada menyajikan cerita buram: yurisdiksi pemekaran belum mampu menampilkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan kinerja counterpart- nya. Dari indikator-indikator yang dianalisis terlihat bahwa perbedaan capaian ini bersifat sistematik. Ini berarti peluang untuk menyatakan fenomena ini “be- nar” secara empiris jauh lebih tinggi daripada peluang untuk menolaknya. Pengertian Bagian berikut ini melakukan counter-factual analysis atas perilaku itu. Secara verbal pertanyaaan yang diajukan di sini adalah, given perilaku determinan yang melekat padanya, apa yang akan terjadi jika yurisdiksi pemekaran tidak mengam- bil opsi pemekaran? Bagaimana dengan sebaliknya? Lebih spesifik lagi, berapa besar perbedaan yang terjadi? Diekspresikan dengan cara lain, apa yang terjadi jika DOB berperilaku seperti non-DOB? Bagaimana sebaliknya? Bagaimana pula jika skenario kebijakan yang langsung menyentuh jantung persoalan pembangu- nan daerah, yakni antikemiskinan dan perbaikan mutu teknokrasi pembangunan, dijalankan di bawah setiap opsi administratif? Counter-factual analysis ini dilakukan untuk mencapai dua tujuan. Per- tama, menyajikan ilustrasi mengenai hubungan antaropsi administatif dan an- tarskenario kebijakan. Kedua, memprakirakan dampak yang terjadi berkenaan dengan skenario-skenario itu.32 Analisis ini merupakan sebuah eksperimen untuk menguji efektivitas suatu kebijakan dibandingkan dengan kebijakan lain sebagai alternatifnya dengan mempertimbangkan satu gugus determinannya. Dalam konteks studi ini, counter-factual analysis dilakukan untuk menguji efektivitas pilihan administratif pemekaran untuk dibandingkan dengan bukan- pemekaran. Di dalam dua pilihan administratif ini dijalankan beberapa skenario kebijakan yang lebih teknis lagi. Analisis berikut ini menampilkan hasil simu- lasi skenario-skenario itu. Pilihan atas jenis kebijakan apa yang disimulasi di- dasarkan pada tingkat signifikansi variabel-variabel, yaitu determinan capaian daerah, yang ditelaah (Lihat Lampiran Teknis) —di antaranya adalah penu- runan kemiskinan, perbaikan mutu perencanaan pembangunan, dan perbaikan mutu teknokrasi fiskal.33 32 Terkandung di dalamnya, analisis ini mengendalikan confounding factors yang mungkin mempengaruhi dampak atau capaian yang diukur. 33 Untuk kepentingan ilustratif, besarnya shock dalam simulasi kebijakan diberikan secara arbitrary, yakni 5 dan 10 persen berturut-turut untuk penurunan kemiskinan dan perbaikan teknokrasi fiskal (peningkatan rasio sumber pembiayaan anggaran (Daerah-Pusat)). Sementara itu, skenario perbaikan perencanaan pembangunan dinyatakan sebagai situasi apabila memiliki
  • 53. 35 Pemekaran Wilayah di Lampung Lebih Banyak Nilai Merahnya... Tahun 1999, di Lampung terjadi pemekaran wilayah. Kabupaten Lampung Tengah dipecah menjadi Kota Metro, Kabupaten Lampung Timur, dan Kabupaten Lampung Tengah. Sementara Kabupaten Lampung Utara dipecah menjadi Kabupaten Way Kanan, Tulang Bawang, Lampung Barat, dan Lampung Utara. Alasan utama pe- mekaran adalah menekan rentang kendali dan pelayanan yang terlampau jauh. “Saat itu alasan pemekaran sangat tepat,” demikian komentar Syafarudin, pengamat otono- mi daerah dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Lampung, 5 Februari lalu. Selama 10 tahun pemekaran berjalan, Metro mampu mengembangkan diri menjadi kota yang maju dari aspek pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, ke- sehatan, dan pendidikan. Khusus tentang infrastruktur, Metro mewarisi peninggalan Belanda yang infrastrukturnya relatif teratur dalam tata ruang ataupun tata kota. Selain itu, Pemerintah Kota Metro melangsungkan pembangunan dengan mengikuti tata ruang yang direncanakan. Soal pembangunan infrastruktur, Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Lampung Utara pun tergolong baik, sedangkan Kabupaten Tu- lang Bawang memiliki pusat perekonomian. Kabupaten Way Kanan kurang berkembang. Lokasinya dikelilingi perkebunan swasta, sementara pemerintah kabupaten tidak memiliki keberanian untuk mencari terobosan. Hal serupa dialami Kabupaten Lampung Tengah. Sebagai kabupaten induk, Lampung Tengah sampai sekarang belum bisa berkembang lantaran tidak dapat memfokuskan pembangunan sumber daya alam yang tersisa setelah pemekaran. Satu kabupaten lainnya, Lampung Timur, pembangunannya dinilai stagnan karena aparat pemerintah kurang jeli mengembangkan potensi wilayah. Pemerintah Kabupaten Lampung Timur hanya mengembangkan pertanian tanpa berpikir untuk mengembangkan industri pen- golahan. Pemekaran wilayah di Lampung tidak seperti yang dicita-citakan, lebih banyak nilai merahnya. Rakyat pada umumnya tidak mendapat kemudahan pelayanan di berba- gai bidang, di samping tak ada kemajuan pembangunan berarti. Pemerintah baru memiliki kualitas yang tidak bagus dan tidak bisa memfokuskan pembangunan yang penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi, seperti infrastruktur. Di samping itu, daerah pemekaran pada umumnya hanya menjadi obyek politis segelintir elite poli- tik. Dampaknya, aparat pemerintah diisi orang yang tidak tepat karena faktor kroni. “Faktor tersebut menjadikan pemanfaatan anggaran keuangan daerah atau APBD tidak seimbang. Sebesar 70 persen dari APBD lebih banyak dipakai untuk belanja aparatur dan 30 persen untuk rakyat,” tambah Syafarudin. Dicuplik dengan penyesuaian dari Kompas, 11 Februari 2009 (hal. 24)
  • 54. 36 Perbandingan Kesejahteraan Umum: IPM. Tabel 2.5 memotret hasil yang diperoleh dari analisis counter-factual. Kolom pertama menjelaskan status yurisdiksi yang sebe- narnya (faktual), apakah ia DOB atau bukan. Kolom kedua menampilkan hasil estimasi capaian faktual yurisdiksi menurut statusnya. Kolom ketiga menun- jukkan estimasi capaian jika yurisdiksi mengambil opsi yang berlawanan dengan opsi yang telah diambilnya. Kolom keempat menggambarkan besarnya gain atau pain jika yurisdiksi mengambil opsi yang berlawanan. Dua kolom terakhir meng- uji perbedaan itu secara statistik. Tabel 2.5 melempar pesan substansial: Jauh lebih baik bagi yurisdik- si yang mengalami pemekaran (factual) apabila ia tidak mengambil opsi itu (counter-factual). Analisis counter-factual menunjukkan andai yurisdiksi itu tidak memekarkan diri, ia justru mendapatkan gain yang secara statistik sa- ngat signifikan. Ini artinya opsi pemekaran bukanlah opsi yang wise dari segi capaian IPM. Pemekaran mengakibatkan yurisdiksi kehilangan dua poin IPM — sebuah kehilangan yang substansial tatkala diingat bahwa IPM adalah indikator komposit dari variabel-variabel ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. TABEL 2.5. IPM: “Counter-factual Analysis” Status Faktual Skenario Counter-Factual Perbedaan Signifikansi (N=384) Mekar −→ Tidak Mekar Capaian t-stat. • DOB 69,17 71,33 2,16 7,74 *** • Kemiskinan -5% 69,28 71,43 • Perbaikan Perencanaan 71,10 72,71 Tidak Mekar −→ Mekar • Bukan-DOB 69,70 69,85 0,15 0,46 • Kemiskinan -5% 69,86 70,03 • Perbaikan Perencanaan 69,82 70,03 Lalu, apa yang akan terjadi jika yurisdiksi yang tidak memekarkan diri mengambil opsi pemekaran? Tabel 2.5 mempresentasikan lagi hasil simulasi skenario counter-factual-nya. Benar bahwa pemekaran akan menghasilkan pe- ningkatan IPM, yakni dari 69,7 ke 69,8, tapi gain itu sedikit saja (0,15 poin) dibandingkan dengan mekanisme sebaliknya. Uji statistik atas kenaikan tipis ini melaporkan hasil yang tidak signifikan. Singkatnya, pemekaran bukanlah opsi yang efektif untuk mengejar perbaikan kesejahteraan. Telah terjadi kehilangan kesempatan untuk memperbaiki IPM bagi mereka yang saat ini memekarkan diri. RTRW yang mendapat legitimasi parlemen.