Pendidikan perempuan di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala seperti stereotip gender yang masih kuat, pemahaman gender yang kurang, serta data pemerintah berdasarkan gender yang belum memadai. Hal ini menyebabkan partisipasi dan prestasi pendidikan perempuan relatif lebih rendah dibanding laki-laki meskipun pemerintah telah menetapkan kebijakan wajib belajar 9 tahun.
1. The
Women’s
Learning
Partnership
(WLP)
es3mates
that
worldwide,
for
every
year
beyond
fourth
grade
that
girls
aHend
school,
wages
rise
20%,
child
deaths
drop
10%
and
family
size
drops
20%.
Sumber
:
Women’s
Learning
Partnership
for
Rights,
Development
and
Peace
website,
accessed
27
February
2009:
hIp://www.learningpartnership.org/en/resources/facts/humanrights
Perempuan
yang
lebih
berpendidikan
terbuk3
dapat
membantu
ekonomi
keluarga,
mendidik
anaknya
dengan
benar,
dan
merawat
kesehatan
keluarga
dengan
baik.
Selain
itu,
mereka
memiliki
posisi
tawar
yang
lebih
baik
sebagai
istri,
sehingga
mencegah
terjadinya
kekerasan
dalam
rumah
tangga
(KDRT)
akibat
kesewenang-‐wenangan
suami.
Sumber
:
Bataviase.co.id,
29
Jan
2011
2. Jakarta
-‐
Perempuan
Indonesia
masih
terMnggal
di
berbagai
bidang
seperM
pendidikan,
ekonomi,
kesehatan
dan
representasi
poliMk
Penyandang
buta
aksara
di
Indonesia
dalam
pemerintahan.
Selain
itu,
terbanyak
adalah
perempuan,
yaitu
perempuan
Indonesia
relaMf
lebih
63%
dari
7,7
juta
penyandang
buta
miskin
dan
memiliki
Mngkat
buta
aksara.
Data
buta
aksara
ini
ternyata
huruf
yang
lebih
Mnggi
dari
laki-‐laki
mempunyai
pola
yang
sama
dengan
Indonesia.
Karenanya,
pemerintah
penduduk
yang
Mdak
pernah
sekolah.
harus
lebih
memperhaMkan
dan
Sumber:
Kemendiknas,
2010
memperluas
akses
pendidikan
bagi
perempuan.
www.today.co.id
|
Rabu
(4/5/2011).
Dengan
kata
lain
jumlah
perempuan
yang
belum
pernah
mengenyam
pendidikan
formal
lebih
besar
dibandingkan
dengan
laki-‐laki.
3. Fakta Pendidikan Perempuan
di Indonesia
Pemerintah
Indonesia
sejak
kemerdekaannya
pada
tahun
1945
terus
mengembangkan
sistem
pendidikannya,
dan
wajib
belajar
9
tahun
dicanangkan
sebagai
kebijakan
nasional
pada
tahun
1994.
Hampir
semua
anak,
baik
laki-‐laki
maupun
perempuan,
masuk
sekolah
dasar
(SD),
dan
Angka
ParMsipasi
Murni
(APM)
mencapai
93%pada
tahun
2002,
dan
belum
jelas
adanya
kesenjangan
gender.
Di
Mngkat
sekolah
lanjutan
Mngkat
pertama
(SLTP),
APM
turun
menjadi
61,6
%
rasio
untuk
anak
perempuan
sedikit
lebih
Mnggi
(62,4
%)
daripada
untuk
anak
lakilaki
(60,9
%).
Sumber
:
Departemen
Pendidikan
Nasional,
2002
4. Angka Partisispasi Sekolah
Golongan
2001
2004
2007
Angka
ParMsipasi
Sekolah
menurut
jenis
Umur
L
P
L
P
L
P
kelamin
dan
golongan
umur,
2001,
2004,
dan
7-‐12
95,3
96,1
96,6
96,9
97,4
97,9
2007.
Sumber
:
Susenas
13-‐15
79,0
79,8
83,1
84,0
84,0
84,5
16-‐18
50,4
48,3
53,9
53,0
54,7
54,5
19-‐24
13,7
10,3
12,9
11,1
12,5
11,0
Pada
jenjang
pendidikan
SD
dan
SMP,
angka
parMsispasi
sekolah
perempuan
sedikit
lebih
Mnggi
dari
laki-‐laki.
Di
jenjang
sekolah
menengah
(SMA),
terjadi
sebaliknya.
Kesenjangan
pendidikan
antara
laki-‐laki
dan
perempuan
nyata
terlihat
pada
jenjang
pendidika
Mnggi.
5. Pendidikan Yang Ditamatkan
Jenjang
2001
2004
2007
Persentase Penduduk
berumur 10 tahun ke
Pendidikan
L
P
L
P
L
P
atas yang menamatkan
pendidikan menurut
jenjang endidikan dan
SD
33,0
32,4
31,9
32,6
31,1
31,3
jenis kelamin, 2001,
2004, dan 2007.
SMP
15,8
13,9
18,6
16,7
18,3
16,7
Sumber : Susenas
SM
17,0
12,5
19,6
14,7
20,4
15,9
PT+
3,8
2,8
4,1
3,1
5,6
4,9
Presentase
perempuan
yangmenamatkan
pendidikan
pada
seMap
jenjang
pendidikan
lebih
rendah
dibanding
laki-‐laki
kecuali
pada
jenjang
pendidikan
SD.
6. Kendala Pendidikan di Indonesia untuk
Program Kesetaraan Gender
§ Buku
pelajaran
yang
bias
gender
§ Stereo3p
gender
masih
terus
ada
contohnya
terefleksikan
melalui
cara
siswa
memilih
spesialisasi
di
sekolah
kejuruan
dan
universitas,
dimana
tampak
adanya
semacam"diskriminasi
yang
dilakukan
secara
sadar"
oleh
anak
perempuan
maupun
laki-‐laki.
§ Meskipun
sudah
ada
kebijakan
nasional
untuk
mengedepankan
kesetaraan
pria
dan
wanita,
belum
ada
cukup
banyak
program
yang
dijalankan
Sumber
:
UNICEF,
2002
7. Kendala Pendidikan di Indonesia untuk
Program Kesetaraan Gender
§ Pemahaman
dan
keahlian
di
bidang
gender
tetap
buruk
meskipun
ada
mandat
untuk
menjunjung
3nggi
kesetaraan
laki-‐laki
dan
perempuan
hal
ini
sedikit
banyak
oleh
persoalan
yang
lebih
pelik,
yaitu
konsep
gender
Mdak
dikaitkan
dan
disesuaikan
dengan
kepercayaan
dan
tradisi
sosial-‐budaya
serta
agama
di
Indonesia
§ Pernikahan
dini
§ Data
pemerintah
pusat
dan
daerah
berdasarkan
jenis
kelamin
3dak
memadai
sehingga
sektor
pendidikan
mengalami
kesulitan
untuk
menilai
kemajuan
diluar
jumlah
anak
yang
sekolah
dan
turut
berparMsipasi
dalam
proses
belajar.
8. Di
SD
dan
SMP,
dari
10
anak
yang
putus
sekolah,
6
di
antaranya
anak
perempuan
dan
4
lainnya
anak
laki-‐laki.
Kesenjangan
gender
antara
murid
laki-‐laki
dan
perempuan
yang
putus
sekolah
sedikit
lebih
Mnggi
di
sekolah
lanjutan
atas,
yaitu
7
anak
perempuan
:
3
anak
laki-‐laki.