1. Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 1
Kelimpahan dan Komposisi Ukuran Panjang Udang Ronggeng (Lysiosquilla maculata)
pada Habitat Yang Berbeda di Perairan Kauduma Desa Petetea’a Kabupaten
Buton Utara
Abudance and Length Size Composition of Manthis Shrimp (Lysiosquilla maculata) on Different
Habitat in Kauduma Waters Petetea’a Village North Buton District
La Dini *)
, Ma’ruf Kasim **)
, dan Ratna Diyah Palupi ***)
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas Haluoleo
Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari 93232
e-mail: *
Ladini_f@yahoo.co.id, **
ma’rufkasim@yahoo.com, dan ***
Palupi_rd@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan dan komposisi ukuran panjang udang ronggeng pada
habitat yang berbeda di Perairan Kauduma Desa Petetea’a Kabupaten Buton Utara. Penelitian ini dilaksanakan
selama sepuluh bulan dengan pengambilan sampel udang selama tiga bulan yaitu pada bulan Januari-April 2012.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah perpaduan antara metode transek garis dan transek kuadrat
yang dipasang secara purposive. Pengambilan sampel udang ronggeng menggunakan alat pancing jerat.
Pengukuran parameter fisika-kimia dilakukan di lapangan. Substrat diambil dari lapangan kemudian dianalisis
di laboratorium. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia di lokasi penelitian yaitu suhu berkisar 30o
C,
kecepatan arus pada saat surut 0,17-0,22 ms-1
, kedalaman air pada waktu surut antara 13,33-38,33 cm dan
salinitas 27-29 ppt. Rata-rata kelimpahan udang pada stasiun I 0,16 ind.m-2
, stasiun II 0,05 ind.m-2
, dan stasiun
III 0,09 ind.m-2
termasuk udang jantan dan betina. Komposisi ukuran panjang udang ronggeng di lokasi
penelitian menunjukkan kisaran 25-27 cm udang jantan dan 28-30 cm udang betina. Mayoritas udang ronggeng
yang ditemukan termasuk kedalam fase reproduksi matang gonad. Udang ronggeng banyak ditemukan pada
habitat lamun jenis halodule uninervis dan substrat pasir.
Kata Kunci : Perairan Kauduma, udang ronggeng, kelimpahan, komposisi ukuran panjang
Abstract
This research aims to know abundance and length size composition of manthis shrimp on the different habitat in
Kauduma waters Petetea'a Village North Buton District. This research was conducted ten month during with
sampling taken at January-April 2012. The method used in this research is combination of line transect method
and square transect method to pair with purposively. Sampling collection of manthis shrimp by using a fishing
pole snares. Measurements of physic-chemisty parameter doing in the field. The substrate was taken from the
field and then analyzed in the laboratory. The results measurements of phisyc-chemistry parameter in research
location find that temperature revolve 30o
C, the flow velocity low 0,17-0,22 ms-1
, the low water depths 13,33-
38,33 cm, and the salinity 27-29 ppt. The average abudance of manthis shrimp on stations I 0,16 ind.m-2
, station
II 0,05 ind.m-2
and station III 0,09 ind.m-2
including male shrimp and female. The length size composition of
manthis shrimp to found this research show revolve 25-27 cm for male and 28-29 cm for female. The majority
of manthis shrimp found including reproduction stage maturity gonads. Manthis shrimp much to found on the
habitat seagrass, particullary halodule uninervis and sand areas.
Keywords: Kauduma waters, manthis shrimp, abundance, length size composition
Pendahuluan
Udang ronggeng (Lysiosquilla maculata)
merupakan salah satu jenis udang yang termasuk
dalam Ordo Stomatopoda yang mempunyai
bentuk menyerupai belalang sembah (manthis).
Masyarakat Buton Utara khususnya masyarakat
Desa Petetea’a mengenal jenis udang ini dengan
nama pangko (bahasa lokal). Istilah udang
ronggeng digunakan untuk nama dagang dan
nama dalam bahasa Indonesia, sedangkan dalam
bahasa Inggris udang ini dikenal dengan nama
manthis shrimp dan dalam bahasa latin udang ini
dikenal dengan istilah L. maculata
(Romimohtarto dan Juwana, 2007).
Udang ronggeng merupakan salah satu
sumber daya perikanan Indonesia yang
mempunyai nilai ekonomis penting. Udang ini
juga merupakan komoditas ekspor, diantaranya
diekspor ke Hongkong dan Taiwan. Beberapa
jenis udang ronggeng yang sering
diperdagangkan adalah L. maculata, H. harpax ,
S. empusa, dan S. mantis. Penyebab udang
ronggeng menjadi target utama ekspor karena
memiliki kandungan gizi yang baik, yaitu
Jurnal Mina Laut Indonesia Vol. 01 No. 01 (01 – 11) ISSN : 2303-3959
2. Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 2
protein yang tersusun atas asam amino esensial
yang lengkap dan lemak yang tersusun sebagian
besar oleh asam lemak tak jenuh Omega-3 yang
berkhasiat membantu perkembangan otak
(Irianto dan Murdinah, 2006).
Udang ronggeng banyak dijumpai pada
ekosistem lamun dengan tipe substrat lumpur
sampai dengan lumpur berpasir. Udang ini
membuat sarang dalam bentuk liang sebagai
tempat hidupnya. Udang ini menjadi target
tangkapan para nelayan Desa Petetea’a. Udang
hasil tangkapan nelayan Petetea’a, sebagian
dikonsumsi oleh nelayan dan sebagian lagi
untuk dijual. Harga jual udang ronggeng di desa
tersebut adalah Rp 20.000/kg. Harga jual
tersebut jauh sekali jika jika dibandingkan
dengan harga pasaran. Panjang daun lamun dan
kerapatan lamun dapat mempengarahi sebaran
dan kelimpahan udang ronggeng yang
berasosiasi dengan lamun. Udang ronggeng
merupakan predator pada daerah lamun. Udang
ini banyak ditemukan pada lamun yang pendek
daun lamunnya dan kerapatan lamun rendah,
karena dengan daun lamun pendek dan
kerapatan lamun rendah memudahkan udang
ronggeng dalam menangkap mangsa.
Penelitian khusus untuk udang ronggeng
jenis L. maculata belum banyak dilakukan di
Indonesia khususunya di Perairan Kauduma.
Data dan informasi dari udang ronggeng jenis L.
maculata baru sebatas taksonomi dan morfologi
(Manning 1969; Moosa 2000; Azmarina 2007;
Ahyong et al. 2008), serta sebagian kecil tentang
aspek reproduksi (Wardiatno dan Mashar,
2010).
Penelitian khusus yang mengkaji udang
ronggeng di Perairan Kauduma belum pernah
dilakukan. Hal ini menyebabkan sampai saat ini
belum ada data dan informasi yang mengungkap
keberadaan udang ronggeng secara ilmiah di
perairan tersebut khususnya dari segi
kelimpahan dan komposisi ukuran panjang.
Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu kajian
penelitian tentang kelimpahan dan komposisi
ukuran panjang udang ronggeng serta
hubungannya dengan habitat.
Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui
kelimpahan udang ronggeng (L. maculata) pada
habitat yang berbeda dan komposisi ukuran
panjang udang ronggeng (L. maculata) yang
tertangkap pada habitat yang berbeda.
Manfaat penelitian ini dapat digunakan
sebagai data dan informasi untuk merumuskan
langkah-langkah awal dalam pengelolaan udang
ronggeng seperti pembatasan jumlah dan ukuran
panjang udang yang ditangkap agar sumber daya
udang ronggeng dapat berkelanjutan, baik secara
ekologi, ekonomi dan sosial.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama sepuluh
bulan. Pengambilan sampel di lapangan selama
tiga bulan yaitu pada bulan Januari-April 2012.
Penelitian ini dilakukan di Perairan Pantai
Kauduma Desa Petetea’a Kecamatan Kulisusu
Utara Kabupaten Buton Utara Propinsi Sulawesi
Tenggara.
Variabel yang diamati dalam penelitian ini
terdiri dari parameter pendukung dan parameter
inti. Parameter pendukung yaitu parameter
fisika dan parameter kimia. Parameter fisika
kimia perairan terdiri dari suhu, kecepatan arus
saat surut, kedalaman saat surut substrat, dan
salinitas. Parameter inti yaitu parameter biologi
udang ronggeng yang terdiri dari kelimpahan
dan komposisi
ukuran panjang udang ronggeng serta jenis
lamun.
Penentuan stasiun penelitian
di Perairan Kauduma dengan menggunakan
metode purposif berdasarkan pada perbedaan
habitat organisme. Perbedaan habitat yang
dimaksud adalah letak lokasi, jenis lamun, dan
karakteristik perairan. Stasiun penelitian ini
ditetapkan dalam tiga stasiun pengamatan yaitu
sebagai berikut (Gambar 1):
1. Stasiun I
Terletak dibagian ujung selatan perairan
Kauduma berhadapan langsung dengan muara
Teluk Waode Buri dan ekosistem mangrove.
Terletak pada posisi 04o
37’20” S dan
123o
11’50” E. Lamun jenis H. uninervis dengan
karakterisitik dasar perairan berupa pasir dan
batu mendominasi stasiun I
2. Stasiun II
Terletak ditengah perairan Kauduma
dan berhadapan langsung dengan ekosistem
mangrove. Terletak pada posisi 04o
37’30”S dan
123o
11’54”E. Lamun jenis H. ovalis dengan
karakteristik dasar perairan berupa pecahan
karang dan pasir mendominasi stasiun II.
3. Stasiun III
Terletak dibagian ujung utara perairan
Kauduma yang berhadapan langsung dengan
ekosistem mangrove dan muara Sungai
Laasongka. Terletak pada posisi 04o
37’40”S dan
123o
11’58”E. Lamun jenis E. acoroides dengan
karakterisitik dasar perairan berupa pasir
mendominasi stasiun III.
3. Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 3
Gambar 1. Sketsa lokasi penelitian
Metode pengambilan sampel udang
ronggeng dengan menggunakan perpaduan
antara metode transek garis dan transek kuadrat
yang dipasang secara tegak lurus garis pantai
(Bahtiar, dkk., 2009). Pengambilan sampel
udang ronggeng dilakukan sebanyak enam kali
pengambilan dengan selang waktu dua minggu.
Penangkapan udang ronggeng dengan
mengunakan alat pacing jerat yang dipasang
pada sarang udang yang terdapat di dalam
transek kuadrat (Romimohtarto dan Juwana,
2007) .
Udang ronggeng yang terjerat pada setiap
stasiun di ambil kemudian dihitung jumlahnya
dan diukur panjang total dari udang tersebut.
Hasil penjumlahan udang ronggeng digunakan
untuk menghitung kelimpahan udang ronggeng.
Hasil pengukuran panjang udang ronggeng
digunakan untuk mengetahui komposisi ukuran
panjang udang. Ukuran panjang udang ronggeng
dalam penelitian ini adalah ukuran panjang total
udang. Panjang total udang ronggeng diukur
dari pangkal kepala sampai pada ujung ekor.
Pengukuran panjang udang dengan
menggunakan mistar.
Parameter perairan yang diukur dalam
penelitian ini terdiri dari parameter fisika dan
kimia perairan. Parameter fisika terdiri dari
suhu, kecepatan arus dan kedalaman. Parameter
kimia terdiri dari salinitas.
Bahan organik dioksidasi dengan H2O2
dan garam-garam yang mudah larut dihilangkan
dari tanah dengan HCL sambil dipanaskan.
Bahan yang tersisa adalah mineral yang terdiri
atas pasir, debu dan liat. Pasir dapat dipisahkan
dengan cara pengayakan basah, sedangkan debu
dan liat dipisahkan dengan cara pengendapan
yang didasarkan pada hukum stoke (Sudjadi et
al. 1971).
Analisis Data
1. Kelimpahan Udang Ronggeng
Untuk menghitung kelimpahan udang
ronggeng pada setiap stasiun digunakan rumus
Soegianto (1994) :
D =
∑ni
A
dimana:
D = Kelimpahan udang ronggeng
ni = Jumlah individu udang ronggeng
A = Luas transek penangkapan udang
2. Komposisi Ukuran Panjang Udang Ronggeng
Untuk melihat komposisi ukuran panjang
udang ronggeng ditentukan kelas ukuran dengan
persamaan sturges dalam Wibisono (2009) :
K = 1 + 3,3 log n
dimana:
Perairan
Kaudum
a
4. Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 4
K = Jumlah kelas
n = Jumlah individu udang ronggeng
Untuk melihat sebaran ukuran udang yang
ada dalam satu populasi dilakukan perhitungan
berdasarkan aturan sturges (Wibisono, 2009)
sebagai berikut:
Selang Kelas ( I ) =
NTt −NTr
K
dimana:
K = Banyaknya kelas
NTt = Nilai tertinggi dari panjang total
NTr = Nilai terendah dari panjang total
Titik Tengah Kelas =
NTrKi + NTtKi
2
dimana:
NTrKi = Nilai terendah dari kelas ukuran ke-i
NTtKi = Nilai tertinggi dari kelas ukuran ke-i
Selanjutnya dihitung persentase setiap ukuran
dengan rumus:
Persentase Kelas Ukuran(P) =
ki
K
x 100%
dimana:
ki = Jumlah udang ronggeng pada kelas ukuran
K = Total udang ronggeng yang tertangkap.
Hasil
1. Keadaan Lokasi Penelitian
Perairan pantai Kauduma terdapat di Desa
Petetea'a Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten
Buton Utara Propinsi Sulawesi Tenggara yang
merupakan perairan pantai yang landai. Secara
geografis Desa Petetea’a terletak pada
04o
37’18” S dan 123o
11’52” E.
Perairan pantai Kauduma secara
administrasi mempunyai batas wilayah sebagai
berikut:
- Sebelah Barat berbatasan dengan Waculaaea
- Sebelah Timur berbatasan dengan Laut
Banda
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa
Pebao’a
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa
Lelamo
Luas wilayah desa Petetea’a 5.710 m2
dengan panjang garis pantai + 7.000 m. Jumlah
penduduk 181 jiwa yang terdiri dari 44 kepala
keluarga. Mata pencaharian masyarakat
Petetea’a terdiri dari nelayan dan petani. Jumlah
nelayan penangkap udang ronggeng adalah 14
orang dan selebihnya adalah petani. Bertani
merupakan mata pencaharian alternatif bagi
para nelayan pada musim timur.
Perairan Kauduma merupakan suatu
perairan yang landai dengan panjang garis
pantai 1.000 m yang menjadi salah satu fishing
ground bagi nelayan setempat. Penangkapan
udang ronggeng di Perairan Kauduma sering
dilakukan baik nelayan setempat maupun
nelayan yang berasal dari desa lain seperti Desa
Ulunambo, Desa Waode Buri, Desa Lelamo dan
Desa Pebao’a. Penangkapan udang ronggeng di
Perairan Kauduma saat ini belum dilakukan
secara rutin. Hal ini disebabkan karena harga
udang ronggeng di desa-desa tersebut masih
murah dan jumlah populasi udang terbatas.
Menurut hasil wawancara dengan nelayan
setempat, jumlah hasil tangkapan udang berkisar
5-50 ekor/trip.
2. Kondisi Fisika-Kimia Perairan
Hasil pengamatan kondisi fisika-kimia
perairan di lokasi penelitian dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Hasil pengukuran kondisi fisika-kimia perairan di lokasi penelitian
Parameter Satuan Stasiun I Stasiun II Stasiun III
Suhu
o
C 30 30 30
Kecepatan arus ms-1
0,18 0,17 0,22
Kedalaman saat surut cm 13,33 33,33 38,33
Salinitas ppt 29,00 28,00 27,00
Tabel 2. Hasil analisis substrat di laboratorium
No. Stasiun
Tekstur (%)
Kelas Tekstur
Pasir Debu Liat
1. I 83,31 9,15 7,54 Pasir
2. II 81,49 7,93 10,58 Pasir berlempung
3. III 80,10 9,13 10,77 Pasir berlempung
5. Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 5
0.00
0.04
0.08
0.12
0.16
0.20
I II III
Stasiun
Kelimpahan
(Ind.m-2)
3. Kelimpahan Udang Ronggeng
Jumlah total udang ronggeng yang
tertangkap pada semua stasiun penelitian adalah
736 ekor yang terdiri dari 517 ekor udang betina
dan 339 ekor udang jantan. Berdasarkan jumlah
udang ronggeng yang tertangkap tersebut dapat
ditentukan kelimpahan udang ronggeng pada
masing-masing stasiun. Kelimpahan udang
ronggeng pada stasiun I, II dan III dapat dilihat
pada Gambar 2.
4. Komposisi Ukuran Panjang Udang Ronggeng
Komposisi ukuran panjang udang ronggeng yang tertangkap di lokasi penelitian dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3. Persentase kelompok ukuran panjang udang ronggeng betina dan jantan
Gambar 2. Grafik kelimpahan udang ronggeng (L. maculata)
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
11.00
14.00
17.00
20.00
23.00
26.00
29.00
32.00
35.00
38.00
Stasiun I
Jantan
N= 186
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
11.00
14.00
17.00
20.00
23.00
26.00
29.00
32.00
35.00
38.00
Betina
Stasiun I
Persen(%)
N= 206
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
11.00
14.00
17.00
20.00
23.00
26.00
29.00
32.00
35.00
38.00
Betina
Persen(%)
N= 125
Stasiun II
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
11.00
14.00
17.00
20.00
23.00
26.00
29.00
32.00
35.00
38.00
Stasiun II
Jantan
N= 57
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
11.00
14.00
17.00
20.00
23.00
26.00
29.00
32.00
35.00
38.00
Stasiun III
Jantan
N= 96
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
11.00
14.00
17.00
20.00
23.00
26.00
29.00
32.00
35.00
38.00
Betina
Stasiun III
Persen(%)
N= 186
Nilai Tengah Kelas Panjang (cm)
6. Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 6
Pembahasan
1. Kondisi Fisika-Kimia Perairan
Kondisi fisika-kimia perairan merupakan
salah satu faktor pendukung yang dapat
mempengaruhi distribusi, kelimpahan dan
komposisi ukuran panjang udang ronggeng
a. Suhu
Secara umum suhu perairan sangat
mempengaruhi kehidupan udang ronggeng.
Pengaruh suhu perairan terhadap kehidupan
udang ronggeng meliputi kebutuhan akan
oksigen dan kelimpahan udang.
Suhu perairan yang tinggi menyebabkan
kelarutan oksigen rendah semantara kebutuhan
udang akan oksigen tinggi. Kekurangan oksigen
dapat menyebabkan kematian bagi udang
ronggeng sehingga berpengaruh terhadap
kelimpahan udang ronggeng. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Sastrawijaya (2000) bahwa
makin tinggi suhu, maka kelarutan oksigen
makin rendah. Bersamaan dengan itu
peningkatan suhu juga mengakibatkan
peningkatan aktivitas metabolisme organisme
udang sehingga kebutuhan oksigen juga akan
meningkat. Berdasarkan hasil pengamatan di
lokasi penelitian suhu perairan sama yaitu 30o
C
(Tabel 1) untuk semua stasiun. Variasi suhu
pada semua stasiun penelitian tidak
menunjukkan nilai yang berbeda. Suhu perairan
tersebut merupakan suhu perairan yang sesuai
bagi kehidupan udang ronggeng. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Romimohtarto dan Juwana
(2001) bahwa suhu optimum bagi kehidupan
udang ronggeng berkisar 26-30o
C. Lebih lanjut
menurut hasil penelitian Pratiwi (2010) di Pasir
Putih bahwa pada suhu perairan laut antara 27-
31o
C masih berada dalam batas toleransi
organisme perairan dan masih ditemukan udang
ronggeng. Berdasarkan hasil pengamatan di
lokasi penelitian suhu perairan sama yaitu 30o
C
(Tabel 1) untuk semua stasiun. Variasi suhu
pada semua stasiun penelitian tidak
menunjukkan nilai yang berbeda. Suhu perairan
tersebut merupakan suhu perairan yang sesuai
bagi kehidupan udang ronggeng. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Romimohtarto dan Juwana
(2001) bahwa suhu optimum bagi kehidupan
udang ronggeng berkisar 26-30o
C. Lebih lanjut
menurut hasil penelitian Pratiwi (2010) di Pasir
Putih bahwa pada suhu perairan laut antara
27-31o
C masih berada dalam batas toleransi
organisme perairan dan masih ditemukan udang
ronggeng.
b. Kecepatan Arus
Kecepatan arus yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah kecepatan arus pada saat
surut. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi
penelitian kecepatan arus bervariasi pada setiap
stasiun (Tabel 1). Variasi kecepatan arus di
lokasi penelitian tidak jauh berbeda pada
masing-masing stasiun. Perbedaan variasi
tersbut disebabkan oleh perbedaan kedalaman
perairan pada setiap stasiun penelitian.
Kecepatan arus pada stasiun I dan III lebih
tinggi dari kecepatan arus pada stasiun II.
Tingginya kecepatan arus pada stasiun I dan III
disebabkan oleh volume air yang masuk pada
waktu pasang besar sehingga pada waktu surut
kecepatan arusnya tinggi. Hal sesuai dengan
pernyataan Romimohtarto dan Juwana (2007)
bahwa kecepatan arus dipengaruhi oleh pasang
surut, angin dan bentuk relief dasar perairan.
Peran kecepatan arus menyebabkan
menyuplai makanan, proses pertukaran oksigen,
dan sisa metabolisme serta penyebaran larva-
larva udang ronggeng merata. Ketersediaan
makanan menyebabkan organisme udang
ronggeng melimpah di lokasi penelitian.
Adanya kecepatan arus berpengaruh terhadap
distribusi biota-biota perairan. Distribusi biota-
biota perairan tersebut dimanfaatkan udang
ronggeng untuk menangkap biota-biota tersebut
sebagai makanannya seperti ikan-ikan kecil dan
moluska. Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Pratiwi (2010) bahwa udang ronggeng
merupakan predator di padang lamun. Selain itu
pengaruh kecepatan arus terhadap penyebaran
udang ronggeng. Penyebaran udang ronggeng di
dukung oleh penyebaran larva-larva udang
ronggeng dari perairan dalam menuju perairan
pantai. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Suyanto dan Mujiman (2006) bahwa arus
berfungsi menyuplai makanan, kelarutan
oksigen, penghilangan CO2 dan penyebaran
larva-larva udang ronggeng.
c. Kedalaman
Kedalaman perairan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah kedalaman perairan pada
saat surut. Saat air dalam keadaan pasang
kedalaman mencapai + 2 m. Hasil penelitian
Erdamnn dan Boyer (2003) di Sulawesi Utara
menyatakan bahwa umumnya udang ronggeng
ditemukan pada kedalaman 5-20 m. Menurut
hasil wawancara dengan nelayan setempat,
kedalaman sangat berpengaruh terhadap
pengenalan sarang udang ronggeng dan efisiensi
pengoperasian alat pancing jerat yang digunakan
oleh nelayan. Lebih lanjut Suyanto dan Mujiman
(2006) menyatakan bahwa alat pancing jerat
7. Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 7
untuk udang ronggeng dapat dioperasikan pada
kedalaman 5-100 cm.
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi
penelitian, kedalaman pada masing-masing
stasiun bervariasi (Tabel 1). Variasi kedalaman
perairan di lokasi penelitan tidak besar. Variasi
kedalaman perairan mempengaruhi keceapatan
arus pada saat air surut. Hal ini menunjukkan
bahwa pada stasiun I, sarang udang ronggeng
mudah dikenali dan alat pancing jerat dapat
digunakan dengan baik dibandingkan dengan
stasiun II dan III. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Romimohtarto dan Juwana (2007)
udang ronggeng ditangkap dengan alat pancing
jerat yang berumpan dan ditangkap pada saat air
surut. Makin dalam suatu perairan maka makin
sedikit hasil tangkapan udang dan bahkan udang
ronggeng tidak dapat ditangkap.
Kedalaman suatu perairan selain
mempengaruhi jumlah hasil tangkapan udang
ronggeng juga mempengaruhi komposisi ukuran
panjang udang ronggeng. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Mashar (2011) bahwa berdasarkan
tingkat kedalaman komposisi ukuran panjang
udang ronggeng bervariasi.
Menurut hasil wawancara dengan nelayan
setempat selain jumlah hasil tangkapan,
kedalaman juga mempengaruhi komposisi
ukuran udang ronggeng yang tertangkap. Makin
dalam perairan maka ukuran udang ronggeng
yang tertangkap makin besar. Kedalaman air
saat surut maksimal yang ditemukan dalam
penelitian ini hanya mencapai 70 cm. Lebih
lanjut menurut hasil penelitian yang dilakukan
oleh Mashar (2011) bahwa kedalaman perairan
sangat menentukan ukuran panjang udang
ronggeng. Semakin dalam perairan maka ukuran
panjang udang semakin besar dan udang dalam
fase matang gonad. Makin dangkal perairan
maka ukuran panjang udang ronggeng makin
kecil dan udang masih dalam fase pertumbuhan.
d. Salinitas
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi
penelitian, salinitas di setiap stasiun berbeda
(Tabel 1). Variasi salinitas perairan di lokasi
penelitian tidak jauh berbeda. Secara umum
perbedaan salinitas disebabkan oleh suhu,
perbedaan kedalaman dan kecepatan arus serta
adanya pasokan air tawar. Salinitas pada stasiun
I dan II lebih tinggi dibandingkan dengan
stasiun III. Rendahnya salinitas pada stasiun III
disebabkan pada stasiun tersebut terdapat
pasokan air tawar yang berasal dari Sungai
Laasongka.
Salinitas di setiap stasiun penelitian masih
sesuai untuk kehidupan udang ronggeng
(Tabel 1). Hal ini diperkuat dengan pernyataan
Romimohtarto dan Juwana (2007) bahwa udang
ronggeng dapat tumbuh baik pada salinitas
25-30 ppt. Salinitas mempengaruhi kecepatan
pertumbuhan pada udang ronggeng. Kisaran
salinitas tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Mashar (2011) bahwa pada
salinitas 19-28 ppt masih ditemukan udang
ronggeng. Lebih lanjut menurut Pratiwi (2010)
pada salinitas 31 ppt masih bisa ditoleransi
udang ronggeng dalam kehidupannya. Salinitas
merupakan salah satu penyebab perbedaan
kelimpahan dan komposisi ukuran panjang
udang ronggeng.
e. Substrat
Udang ronggeng banyak ditemukan pada
stasiun I. Stasiun I merupakan habitat yang
sesuai bagi kehidupan udang ronggeng
(Tabel 1). Hal ini juga sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2010)
bahwa udang ronggeng ditemukan pada substrat
dasar pasir. Udang ronggeng sedikit ditemukan
pada stasiun II dengan substrat dasar perairan
berupa pasir berlempung. Substrat dasar
perairan tersebut masih sesuai bagi kehidupan
udang ronggeng. Salah satu penyebab udang
ronggeng sedikit ditemukan pada stasiun II
adalah sebagian besar substrat dasar perairan
keras sehingga udang ronggeng sulit membuat
sarang. Substrat pasir dan pasir berlempung
merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan
udang ronggeng. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Ahyong et al., (2008) bahwa udang
ronggeng hidup di dalam liang pada pantai yang
berpasir atau di dalam celah-celah batu karang.
Lebih lanjut Erdmann dan Boyer (2003)
menyatakan bahwa udang ronggeng hidup pada
umumnya ditemukan pada substrat pasir dan
sedangkan pada substrat pecahan karang udang
ronggeng jarang ditemukan.
2. Kelimpahan Udang Ronggeng
Jumlah total udang ronggeng yang
tertangkap pada semua stasiun penelitian adalah
736 ekor yang terdiri dari 517 ekor udang betina
dan 339 ekor udang jantan. Berdasarkan jumlah
udang ronggeng yang tertangkap tersebut dapat
ditentukan kelimpahan udang ronggeng pada
masing-masing stasiun. Kelimpahan udang
ronggeng pada stasiun I, II dan III dapat dilihat
pada Gambar 2.
Pola hidup udang ronggeng yaitu udang
ini hidup di daerah lamun dengan substrat pasir.
Udang ronggeng merupakan konsumen pada
ekosistem lamun. Organisme ini merupakan
pemakan ikan-ikan kecil, moluska, dan
8. Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 8
gastropoda yang berukuran kecil. Udang
ronggeng juga dikenal sebagai pemangsa yang
menunggu mangsa di permukaan sarangnya.
Sebagai organisme pemangsa, udang ini
termasuk kedalam golongan pemangsa yang
baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ahyong
(2001) bahwa udang ronggeng menunggu
mangsa dipermukaan sarang dan termasuk
dalam golongan pemangsa yang baik.
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah udang
jantan yang ditemukan lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah udang betina
(Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa udang
ronggeng dalam satu populasi lebih banyak
udang betina dan udang jantan. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Mashar (2011) bahwa jumlah udang betina lebih
banyak ditemukan di lokasi penelitiannya.
Stasiun I terletak disamping Teluk Waode
Buri, berhadapan langsung dengan ekosistem
mangrove. Stasiun ini memiliki karakteristik
habitat lamun jenis H. uninervis dengan substrat
pasir. Lamun mempunyai peran sebagai nursery
ground dan tempat berlindung serta mencari
makan bagi udang ronggeng. Udang ini hidup
dengan membuat sarang dicelah-celah padang
lamun. Kesukaan udang ronggeng akan habitat
lamun jenis H. uninervis menyebabkan udang
ronggeng di stasiun tersebut melimpah. Jenis H.
uninervis dapat meredam arus sehingga sarang
udang ronggeng tidak mudah tertutupi oleh
pasir. Jenis lamun ini sangat mendukung untuk
digunakan sebagai tempat persembunyian dari
predator sekaligus untuk menangkap mangsa
bagi udang.
Udang ronggeng mudah menangkap
mangsanya pada lamun jenis H. uninervis
karena lamun jenis tersebut tidak menghalangi
pergerakan udang ronggeng. Hal ini sejalan
pernyataan Pratiwi (2010), bahwa keberadaan
udang ronggeng sangat dipengaruhi oleh
keberadaan dan sebaran dari spesies lamun jenis
H. uninervis dan E. acoroides.
Berdasarkan hasil analisis substrat pada
stasiun I, udang ronggeng banyak ditemukan hal
ini disebabkan substrat dasar pada stasiun
tersebut adalah pasir. Substrat dasar pasir
merupakan salah satu substrat dasar yang
mendukung kehidupan udang ronggeng.
Menurut hasil penelitian Pratiwi (2010) salah
satu tipe substrat bagi kehidupan udang
ronggeng adalah substrat pasir. Lebih lanjut
Mashar (2011) mengemukakan bahwa udang
ronggeng banyak dijumpai pada substrat pasir.
Substrat pasir memudahkan udang ronggeng
untuk membuat sarang sebagai tempat hidupnya.
Sarang udang ronggeng tersebut sewaktu-waktu
ditutup untuk menghidar dari predator. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Pratiwi (2010) bahwa
substrat pasir digunakan sebagai tempat
berlindung dari serangan predator dengan cara
membenamkan diri.
Substrat dengan tipe pasir pada stasiun I
tersebut mempermudah udang ronggeng dalam
membuat sarang sebagai tempat hidup,
berlindung, dan menunggu mangsa untuk
makanannya. Menurut Moosa (2000), udang
ronggeng hidup diantara batu-batuan berpasir
dan di dalam ekosistem padang lamun yang
sewaktu-waktu akan keluar untuk berburu
mangsa. Lebih lanjut Ahyong dan Moosa
(2004) menyatakan bahwa udang ronggeng
membuat sarang pada substrat pasir dan lumpur
halus. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa di
lokasi penelitian merupakan habitat yang sesuai
bagi kehidupan udang ronggeng.
Selain jenis lamun dan tipe substrat,
melimpahnya udang ronggeng di stasiun I
dikarenakan oleh kecepatan arus dan pola arus.
Kecepatan arus sangat mendukung tersedianya
makanan bagi udang ronggeng. Hasil
pengamatan di lokasi penelitian, stasiun I
memiliki kecepatan arus yang menyusuri garis
pantai. Kecepatan arus tersebut berfungsi dalam
pendistribusian larva-larva udang ronggeng dari
perairan dalam menuju ke daerah teluk atau
mangrove, dan berperan juga dalam
pendistribusian anak udang dari daerah teluk
menuju daerah intertidal untuk melakukan
proses pertumbuhannya serta memiliki peran
dalam pendistribusian makanan bagi udang
ronggeng. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Suyanto dan Mujiman (2006) bahwa udang yang
sudah dewasa akan mencari habitat yang sesuai
untuk melangsungkan kehidupannya.
Kelimpahan udang ronggeng terendah
terdapat pada stasiun II (Gambar 2). Hal ini
disebabkan karena karakteristik habitat pada
stasiun tersebut kurang cocok untuk kehidupan
udang ronggeng. Hasil pengamatan pada stasiun
II tersebut didominasi lamun jenis H. ovalis.
Lamun jenis H. ovalis memiliki tingkat
ketebalan pertumbuhan yang tinggi. Tingginya
ketebalan lamun menyebabkan udang ronggeng
jarang ditemukan pada stasiun II tersebut.
Dominasi lamun jenis H. ovalis tidak disukai
bagi udang ronggeng untuk membuat sarang.
Ketebalan pertumbuhan lamun H. ovalis dapat
menghalani pergerakkan udang ronggeng dalam
menangkap mangsa. Selain itu ketersediaan
makanan pada stasiun II tersebut kurang.
Kurangnya ketersediaan makanan disebabkan
oleh kurangnya organisme-organisme yang
berasosiasi di stasiun II sebagai makanan bagi
9. Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 9
udang ronggeng. Lamun jenis H. ovalis tidak
cocok bagi kehidupan udang ronggeng.
Ketidakcocokkan pada jenis lamun tersebut
menyebabkan udang ronggeng jarang ditemukan
pada stasiun II tersebut. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Pratiwi (2010) bahwa udang
ronggeng ditemukan pada tiga jenis lamun yaitu
E. acoroides, T. hemprichii, dan H. uninervis.
Disamping itu lamun jenis H. ovalis
memiliki substrat dasar yang keras berupa
pecahan karang. Pada substrat dasar tersebut
udang ronggeng kesulitan dalam membuat
sarang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Pratiwi (2010) bahwa pada substrat dasar
pecahan karang udang ronggeng tidak
ditemukan. Tetapi penyebab udang ronggeng
masih ditemukan pada stasiun II disebabkan
pada substrat pecahan karang tersebut masih
ditemukan substrat dasar pasir. Menurut hasil
penelitian tipe substrat yang ditemukan pada
stasiu II adalah pasir berlempung. Substrat ini
diambil pada salah satu bagian stasiun dengan
substrat pasir. Substrat dengan tipe pasir
berlempung juga merupakan salah satu substrat
yang mendukung bagi kehidupan udang
ronggeng. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Aswandy (2008) bahwa kehidupan biota harus
sesuai dengan habitatnya. Substrat yang keras
dihuni oleh hewan yang mampu melekat dan
pada substrat yang lunak dihuni oleh organisme
yang mampu membuat liang seperti udang
ronggeng.
Faktor lain yang menyebabkan
kelimpahan udang ronggeng rendah pada stasiun
II adalah arus dan pola arus yang tegak lurus
dengan garis pantai. Kecepatan arus
mempengaruhi ketersediaan organisme-
organisme di lokasi penelitian tersebut.
Ketersediaan organisme-organisme tersebut
merupakan faktor yang sangat penting bagi
kehidupan dan kelimpahan udang ronggeng.
Hal ini disebabkan karena kurangnya
ketersediaan makanan bagi udang ronggeng dan
larva-larva udang ronggeng. Kurangnya
ketersediaan makanan udang ronggeng di
stasiun II disebabkan oleh arus pada stasiun
tersebut. Hal ini didukung oleh Suyanto dan
Mujiman (2006) bahwa arus berperan dalam
pendistribusian makanan bagi organisme di
suatu perairan. Arus dari stasiun II akan
menyebar ke stasiun I dan stasiun III sehingga
telur dan larva-larva udang yang terbawa arus
dari perairan dalam lebih banyak yang terbawa
ke stasiun I dan stasiun III dari pada larva udang
yang berada di stasiun II. Kurangnya larva-larva
udang ronggeng di stasiun tersebut
menyebabkan populasi udang ronggeng sedikit.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Barber et al.,
(2002) bahwa penyebaran larva-larva udang
akan mengikuti penyebaran arus.
Kelimpahan udang ronggeng pada stasiun
III sedang (Gambar 2). Karakteristik habitat
pada stasiun II dan III hampir sama.
Perbedaannya adalah letak stasiun dan jenis
lamun. Berdasarkan letak stasiun, stasiun II
terletak ditengah Perairan Kauduma sedangkan
Stasiun III terletak dibagian ujung utara perairan
kauduma. Letak stasiun tersebut mempengaruhi
kondisi fisika-kimia perairan yang
mempengaruhi kelimpahan udang ronggeng.
Berdasarkan jenis lamun, stasiun II didominasi
oleh lamun H. ovalis sedangkan pada stasiun III
didominasi oleh lamun jenis E. acoroides.
E. acoroides merupakan salah satu jenis lamun
yang cocok bagi kehidupan udang ronggeng.
Udang ronggeng mudah mendapatkan makanan
karena banyaknya organisme-organisme yang
berasosiasi pada jenis lamun tersebut. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Romimohtarto dan
Juwana (2007) udang ronggeng termasuk
karnivora yaitu sebagai pemakan daging. Lebih
lanjut Pratiwi (2010) mengemukkan bahwa E.
acoroides merupakan salah satu jenis lamun
yang menjadi habitat bagi udang ronggeng.
Aktivitas penangkapan yang dilakukan
nelayan saat ini belum menunjukkan adanya
penurunan dari segi jumlah hasil tangkapan
udang ronggeng. Meskipun akitivitas
penangkapan tinggi tetapi jumlah populasi
udang masih tetap. Hal ini diperkuat dari data
pada stasiun I dengan kelimpahan udang masih
tinggi. Stasiun I ini merupakan bagian dari
perairan Kauduma yang merupakan daerah
penangkapan udang ronggeng. Penangkapan
udang ronggeng pada stasiun I lebih tinggi
dibandingkan dengan stasiun II dan III. Hal ini
disebabkan karena akses untuk menuju stasiun I
lebih mudah dibandingkan dengan stasiun yang
lain.
3. Komposisi Ukuran Panjang Udang
Ronggeng
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berdasarkan perbedaan jenis kelamin, komposisi
ukuran panjang udang ronggeng betina lebih
panjang dari pada udang ronggeng jantan dalam
satu sarang. Hal ini didukung dengan hasil
wawancara bahwa udang ronggeng dalam satu
sarang terdiri dari dua ekor yaitu jantan dan
betina. Ukuran panjang udang jantan lebih kecil
dari udang betina. Hal ini juga sejalan dengan
laporan Thirumilu dan Pillai (2006) bahwa
10. Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 10
ukuran panjang udang ronggeng jantan lebih
kecil dari udang ronggeng betina.
Ukuran panjang udang ronggeng
(L. maculata) menurut beberapa peneliti dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Ukuran panjang udang ronggeng berdasarkan hasil penelitian dari beberapa peneliti.
Jenis
Kelamin
L (cm) Lokasi Referensi
Jantan 30
Teluk Jakarta Moosa (1977)
Betina 34
Jantan 15,4
Sulawesi Utara Edmann dan Boyer (2003)
Betina 16,0
Berdasarkan ukuran panjang udang
ronggeng yang dilaporkan oleh para peneliti
udang ronggeng (Tabel 3) dapat diketahui
bahwa komposisi ukuran panjang antara udang
ronggeng jantan dan betina berbeda. Ukuran
panjang udang ronggeng betina lebih besar
daripada udang jantan.
Berdasarkan Gambar 3 menunjukkan hasil
komposisi ukuran panjang udang ronggeng yang
ditangkap di lokasi penelitian berkisar 10-32 cm
untuk udang betina dan jantan. Kisaran ukuran
panjang udang ronggeng tersebut merupakan
kisaran ukuran yang tertangkap dengan alat
pancing jerat. Ukuran panjang udang ronggeng
yang tertangkap tersebut merupakan fase udang
dewasa dan udang matang gonad. Ahyong et
al., (2008) menyatakan bahwa ukuran panjang
udang ronggeng muda berkisar 5-9 cm
termasuk udang jantan dan betina, udang dewasa
berkisar 10-20 cm dan udang matang gonad
berkisar 21-34 cm termasuk udang jantan dan
betina. Hal ini juga didukung dengan hasil
wawancara dengan nelayan setempat bahwa
pada ukuran 10-20 cm belum terlihat adanya
kuning telur tetapi pada ukuran udang 1-30 cm
disepanjang punggung udang ronggeng terlihat
adanya kuning telur.
Perbedaan persentase pada setiap ukuran
panjang udang ronggeng (Gambar 3)
menunjukkan naik turunnya persentase ukuran
panjang disetiap jenis udang ronggeng. Hal ini
menunjukkan variasi persentase ukuran panjang
udang ronggeng pada setiap stasiun penelitian.
Penyebab variasi persentase ukuran panjang
udang ronggeng disebabkan perbedaan
kedalaman pada habitat udang ronggeng dan
akibat penangkapan nelayan. Berdasarkan
tingkat kedalaman perairan ukuran panjang
udang ronggeng bervariasi. Semakin dalam
suatu perairan yang menjadi habitat udang
ronggeng maka ukuran panjang udang ronggeng
semakin besar. Berdasarkan aktivitas
penangkapan ukuran panjang udang ronggeng
juga bervariasi. Semakin sering udang ronggeng
ditangkap pada lokasi tersebut maka lama
kelamaan ukuran panjang udang ronggeng yang
ditemukan akan semakin kecil. Hal ini diperkuat
dengan hasil wawancara dengan nelayan
setempat bahwa udang ronggeng di Perairan
Kauduma telah mengalami penurunan dari segi
komposisi ukuran panjang.
Udang yang tertangkap di stasiun
penelitian didominasi oleh ukuran 25-27 cm
udang jantan dan ukuran 28-30 cm untuk udang
betina (Gambar 3). Kelompok ukuran tersebut
menunjukkan bahwa udang ronggeng yang
tertangkap di lokasi penelitian merupakan udang
dalam fase reproduksi matang gonad. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Ahyong et al., (2008)
bahwa ukuran panjang udang matang gonad
berkisar 21-34 cm.
Simpulan
Udang ronggeng jenis L. maculata yang
tertangkap di stasiun penelitian mempunyai
perbedaan kelimpahan pada masing-masing
stasiun penelitian dengan kelimpahan tertinggi
pada stasiun I (0,16 ind.m-2
). Komposisi ukuran
panjang udang ronggeng yang tertangkap selama
penelitian didominasi ukuran 28-30 cm untuk
udang betina dan 25-27 cm untuk udang
jantan. Ukuran tersebut merupakan fase
reproduksi udang matang gonad. Habitat
yang disukai udang ronggeng adalah jenis
habitat yang didominasi lamun H.uninervis
dengan substrat dasar pasir.
Persantunan
Penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada Bapak Murni selaku kepala desa
Petetea’a Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten
Buton Utara Propinsi Sulawesi Tenggara atas
izin penelitian yang diberikan.
Daftar Pustaka
Ahyong, S.T., Chan, L.Y., Liao, Y.C., 2008. A
Catalog of the Mantis Shrimps
(Stomatopoda) of Taiwan. National
Taiwan Ocean University, 15: 103-121.
Ahyong, S.T., Moosa, M.K., 2004. Stomatopod
Crustacea from Anambas and Natuna
11. Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 11
Islands, South China Sea, Indonesia. The
Raffles Bulletin of Zoology, supplement,
11: 61-66.
Ahyong, S.T., 2001. Revision of the Australian
Stomatopod Crustacea. Records of the
Australian Museum, 26: 1-326.
Aswandy, I., 2008. Struktur Komunitas Fauna
Krustasea Bentik dari Perairan
Kalimantan Timur. Jurnal Ilmu-Ilmu
Perairan dan Perikanan Indonesia,
1(2): 133-141
Azmarina, 2007. Karakteristik Morfometrik
Udang Mantis, Harpiosqiulla raphidea
(Fabricius 1798), di Perairan
Bagansiapiapi. Skripsi Sarjana. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Riau. (tidak dipublikasikan). 53 hal.
Bahtiar, Sembiring, A., Damar, A., Hariyadi, S.,
Kusmana, C., Yulianda, F., Sulistiono,
Setyobudiandi, A., 2009. Sampling dan
Analisis Data Perikanan dan Kelautan.
Terapan Metode Pengambilan Contoh di
Wilayah Pesisir dan Laut. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 312 hal.
Barber, P., Moosa, M.K., Palumbi, S.R., 2002.
Rapid Recovery of Genetic Diversity of
Stomatopod Populations on Krakatau:
Temporal and Spatial Scales of Marine
Larval Dispersal. Proc. R. Soc. Lond.,
269: 1591-1597.
Erdmann, M.V., Boyer, M., 2003.
Lysiosquilloides Mapia, a New Species of
Stomatopod Crustacean from Northern
Sulawesi (Stomatopoda: Lysiosquillidae).
The Raffles Bulletin of Zoology,
51 (1): 43-47.
Irianto, H.E., Murdinah. 2006. Keamanan
Pangan Produk Perikanan Indonesia. di
dalam Prosiding Seminar Nasional
PATPI, Yogyakarta, 2-3 Agustus 2006.
hal, 116–126.
Manning, R.B. 1969. A review of the Genus
Lysiosquilla (Crustacea, Stomatopoda)
with Description of Three New Species.
Smithsonian Contribution of Zoology.
Smithsonian Institution Press. City
of Washington. Crustaseana, 29 : 317-319
Mashar, A., 2011. Pengelolaan Sumberdaya
Udang Manthis Berdasarkan Informasi
Biologi di Kuala Tungkal Kabupaten
Tanjung Jabung Barat, Jambi. Thesis.
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor. 59 hal.
Moosa, M.K., 2000. Marine Biodiversity of the
South China Sea: A Checklist of
Stomatopod Crustacea. The Raffles
Bulletin of Zoology, supplement,
8: 405-457
Pratiwi, R., 2010. Asosiasi Krustasea di
Ekosistem Padang Lamun di Perairan
Teluk Lampung. Jurnal Ilmu Kelautan
Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI,
5(2): 66-76
Romimohtarto, K., Juwana, S., 2007. Biologi
Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta.
484 hal.
Romimohtarto, K., Juwana, S., 2001. Biologi
Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota
Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi-LIPI. Jakarta, 527 hal.
Sastrawidjaya, A.T., 2000. Pencemaran
Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.
276 hal.
Soegianto, A., 1994. Ekologi Kuantitatif Metode
Analisis Populasi dan Komunitas. Usaha
Nasional. Surabaya. 573 hal.
Sudjadi, M., Widjik, I.M., Soleh, M., 1971.
Penuntun Analisa Tanah. Publikasi
No. 10/71, Lembaga Penelitian Tanah,
Bogor. 13 hal.
Suyanto, S.R., Mujiman, A., 2006. Budidaya
Udang Windu. Cetakan ke-19. Penebar
Swadaya, Jakarta. 213 hal
Thirumilu, Pillai, S.L., 2006. Marine Fisheries
Information Service. Central Marine
Fisheries Research Institute Cochin, India.
Marine Fisheries Inforormation Service,
No. 189 p.
Wardiatno. Y., Mashar, A., 2010. Biological
Information on the Mantis Shrimp,
Harpiosquilla raphidea (Fabricius, 1798)
(Stomatopoda, Crustacea) in Indonesia
with a Highlight of its Reproductive
Aspects. Journal of Tropical and
Conservation, 7: 63-73.
Wibisono, Y., 2009. Metode Statistik.
Universitas Gadja Mada. Yogyakarta.
724 hal.