1. PENGENDALIAN HAYATI
Latar belakang
Memasuki abad 21, masyarakat dunia mulai sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh
pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian. Orang semakin arif dalam memilih bahan
pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Gaya hidup sehat dengan slogan back
to nature telah menjadi trend baru dan meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan
kimia non alami, seperti pupuk, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh dalam produksi
pertanian.
Prinsip-prinsip dan konsep dasar pengendalian hayati adalah sebagai salah satu taktik
pengendalian hama berbasis biologi (biologically based tactics) yang sekaligus pula sebagai
salah satu komponen di dalam strategi pengendalian hama terpadu (PHT). Pengendalian Hayati
mencakup topik-topik pengendalian semua makhluk hidup yang dianggap sebagai hama dengan
menggunakan berbagai jenis musuh alami dari berbagai tingkat organisasi makhluk hidup. Untuk
tujuan pencapaian kompetensi tertentu, penekanan pembahasan terletak pada pengendalian
hayati untuk mengelola hama, meskipun di dalamnya akan menyinggung pula pengendalian
hayati terhadap gulma dan penyakit tanaman.
Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan pestisida sintetis
terutama untuk hama dan penyakit yang sulit dikendalikan, seperti penyakit yang disebabkan
oleh virus dan patogen tular tanah (soil borne pathogens). Untuk mengendalikan penyakit ini
petani cenderung menggunakan pestisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan
dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Hal ini dilakukan petani karena modal yang telah
dikeluarkan cukup besar sehingga petani tidak berani menanggunag resiko kegagalan usaha
taninya. Selain itu, ketertarikan konsumen terhadap produk hortikultura yang bersih dan cantik,
2. serta kurang tersedianya pengendalian non kimia yang efektif, maka pestisida sintetis tetap
menjadi primadona bagi petani.
Penggunaan pestida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan,
pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis (resistensi hama sasaran, gejala
resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami) serta mengakibatkan peningkatan residu pada hasil.
Terdapat kecenderungan penurunan populasi total mikroorganisme seiring dengan peningkatan
takaran pestisida. Oleh karena itu perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih ramah
lingkungan semakin besar untuk menurunkan penggunaan pestisida sintetis.
Penggunaan pestisida dalam PHT sesungguhnya bukanlah cara pilihan utama namun
bukan barang haram untuk dipilih sebagai cara pengendalian. Akan tetapi apabila pestisida
dipilih sebagai satu-satunya cara pengendalian (setelah dinilai cara pengendalian lain tidak/
kurang berhasil untuk mengendalikan OPT), maka penggunaannya haruslah dilakukan dengan
memperhatikan cara- cara yang bijaksana (baik dan benar) dan aman konsumsi serta berdampak
seminimal mungkin terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran dan musuh alami.
Pengertian Pengendalian Hayati
Secara umum pengertian pengendalian hama secara biologi/hayati adalah penggunaan
makhluk hidup untuk membatasi populasi organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Agensia
hayati sering disebut sebagai musuh alami seperti predator, parasitoid dan patogen. Pengendalian
hayati terhadap gulma dapat menggunakan herbivora dan patogen tanaman.
Prinsip-prinsip dan konsep dasar pengendalian hayati adalah sebagai salah satu taktik
pengendalian hama berbasis biologi (biologically based tactics) yang sekaligus pula sebagai
salah satu komponen di dalam strategi pengendalian hama terpadu (PHT). Pengendalian Hayati
mencakup topik-topik pengendalian semua makhluk hidup yang dianggap sebagai hama dengan
3. menggunakan berbagai jenis musuh alami dari berbagai tingkat organisasi makhluk hidup. Untuk
tujuan pencapaian kompetensi tertentu, penekanan pembahasan terletak pada pengendalian
hayati untuk mengelola hama, meskipun di dalamnya akan menyinggung pula pengendalian
hayati terhadap gulma dan penyakit tanaman.
Agens hayati serangga hama dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan,yaitu predator,
parasitoid dan pathogen :
1. Predator
Predator adalah organisme yang memangsa organisme lain. Contoh-contoh predator
untuk mengendalikan serangga hama pada tanaman hortikultura antara lain :
- Menochilus sexmaculatus. Kumbang ini umumnya dijumpai di dataran rendah, badannya
berukuran kecil, bulat, warna bervariasi dari merah sampai kuning, panjang badan 3-3,5
mm. Hidup sebagai pemangsa berbagai jenis kutu daun. Telurnya berbentuk oval panjang
sekitar sekitar 0,3 mm berwarna kuning pucat, dalam 4-5 hari larva menetas berwarna
hitam.
- Rhinocoris spp.Ukuran imago 1,1-1,3 cm. Imago betina mampu menghasilkan telur
sebanyak 5-30 butir. Warna telur kecoklatan dan menempel pada daun atau batang cabai.
Lama hidup telur berkisar antara 8-10 hari. Satu ekor predator mampu memangsa 9-10
ekor larva Spodotera litura. Imago menyerang mangsa dengan cara menjepit bagian tubuh
mangsa dengan tungkai-tungkai depan kemudian menekankan bagian alat styletnya masuk
kedalam tubuh mangsa untuk dihisap, hingga tubuh mangsa menjadi mengkerut dan
mengering.
2. Parasitoid
4. Parasitoid adalah serangga yang memarasit (hidup dan berkembang dengan menumpang)
serangga lain (yang disebut inang). Parasitoid ada yang berkembang didalam tubuh inang
(endoparasit), dan ada yang berkembang di luar tubuh inang (ektoparasitoid). Inang yang
diparasit dapat berupa telur, larva, nimfa, pupa atau imago serangga hama. Contoh-contoh
parasitoid untuk mengendalikan serangga hama pada tanaman hortikultura antara lain :
- Diadegma semiclausum. Merupakan parasitoid larva yang paling penting bagi hama
Plutella xylostella pada tanaman kubis. Serangga betina mempunyai organ peletak telur
(ovipositor) pada ujung abdomen dan dapat meletakkan telur pada semua instar larva P.
xylostella. Siklus hidup D. semiclausum dari telur sampai dewasa lamanya 18-20 hari di
dataran tinggi dan 14 hari di dataran rendah. Sedangkan masa telur, larva dan pupa
masing-masing 2 hari, 8 hari dan 8-10 hari
- Trichogrammachilonis, merupakan parasitoid telur Helicoperva armigera pada tanaman
jagung dan tomat,. Serangga betina dapat berkembang biak secara partenogenesis. Seekor
betina mampu menghasilkan telur sebanyak 20-50 butir. Lamanya daur hidup 10-11 hari.
Selain itu jenis Trichogramma lain merupakan parasitoid telur berbagai jenis serangga
terutama telur Lepidoptera, dapat dikembangbiakan dengan inang pengganti yaitu
Corcyra sp sehingga banyak dikembangkan secara intensif pemanfaatannya. Imago
ukurannya sangat kecil 1 mm atau kurang sehingga sulit diamati di lapangan
- Eriborus argenteopilosus. E. argenteopilosus, termasuk kedalam ordo Hymenoptera.
Parasitoid ini mampu memarasit keempat instar larva inang H. armigera, Croccidolomia
binotalis dan Spodoptera litura. Namun instar muda (1 dan 2) lebih disukai dibandingkan
dengan instar tua (3 dan 4).
5. 3. Patogen
Patogen adalah organisme mikro yang menginfeksi organisme lain. Agens hayati patogen
yang telah diketahui dan dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga antara lain dari
kelompok virus, bakteri, cendawan dan nematoda.
- Virus, Virus yang dapat menyerang serangga hama pada tanaman hortikultura adalah
NPV (nuclear polyhedrolis virus) dan GV (Granulosis virus). Contoh virus
entomopatogen yang sudah dimanfaatkan yaitu SeNPV dan PoGV. Cara kerja NPV dan
GV adalah virus (dalam hal ini polihedra) termakan oleh serangga (misalnya ulat yang
memakan daun terkontaminasi virus). Polihedra yang merupakan protein akan
terhidrolisis oleh enzim dalam saluran makanan. Partikel virus yang ada dalam polihedra
akan terbebaskan, virion ini akan menginfeksi sel-sel saluran makanan di bagian inti sel
dan akan memperbanyak diri (replikasi). Selanjutnya virus baru akan menyerang sel-sel
lain, selama beberapa hari semua sel tubuh serangga terserang. Oleh karena itu gejala
serangga yang terserang NPV adalah tubuhnya hancur, menghasilkan virus-virus baru
yang akan menjadi sumber penyakit baru bagi serangga hama yang memakannya.
- Bakteri, Bakteri entomopatogen yang sampai sekarang banyak dimanfaatkan adalah
Bacillus thuringiensis. Salah satu keunggulan B. thuringiensis sebagai agens hayati
adalah kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik misalnya untuk
mengendalikan serangga hama dari golongan Ordo Lepidoptera, namun diketahui juga
mampu menginfeksi ordo yang lain seperti Ordo Diptera dan Coleoptera. Cara kerja
bakteri B. thuringiensis adalah kristal bakteri yang berupa matriks protein didalam
saluran makanan tengah (mesonteron) tubuh serangga yang rentan akan mengalami
hidrolisis. Hasil hidrolisis ini menghasilkan fraksi-fraksi yang lebih kecil yang
6. menyebabkan toksik tehadap dinding saluran makanan. Kerusakan dinding saluran
makanan mengakibatkan serangga sakit yang dapat menyebabkan kematian serangga.
- Cendawan, Cendawan entomopatogen yang sudah banyak penggunaannya adalah
Beauveria bassiana. Cendawan ini tergolong dalam klas Deuteromycetes, ordo Monilialis,
famili Moniliaceae. Konidia bersel satu, berbentuk bulat sampai oval berukuran 2-3
mikron. Hifa B. Bassiana hialin, dalam koloni berwarna putih seperti kapas. B. bassiana
masuk ke tubuh serangga melalui kulit di antara ruas-ruas tubuh. Penetrasinya dimulai
dengan pertumbuhan spora pada kutikula. Hifa fungi mengeluarkan enzim kitinase, lipase
dan protemase yang mampu menguraikan komponen penyusun kutikula serangga. Di
dalam tubuh serangga hifa berkembang dan masuk ke dalam pembuluh darah. Selain itu
B. bassiana mengeluarkan toksin seperti beaurerisin, beauverolit, bassianalit, isorolit dan
asam oksalat yang menyebabkan terjadinya kenaikan pH, penggumpalan dan terhentinya
peredaran darah serta merusak saluran pencernaan, otot, sistem syaraf dan pernafasan
yang pada akhirnya menyebabkan kemati .
Gejala serangan pada serangga yang terinfeksi B. bassiana terlihat larva
menjadi kurang aktif kemudian kaku dan diikuti oleh perubahan warna tubuh karena
dinding tubuhnya sudah ditutupi oleh hifa yang berwarna putih seperti kapas (apabila
lingkungan menguntungkan). Aplikasi di lapang berupa suspensi dari biakan jagung atau
media cair dicampur air, langsung disemprotkan di habitat hama pada pagi hari atau sore
hari. Hasil pengkajian diperoleh bahwa aplikasi B. bassiana bergantian dengan insektisida
seminggu sekali dapat mengurangi populasi kutu daun afid dan pengorok daun pada
tanaman krisan. Sedangkan aplikasi B. bassiana secara tunggal hanya efektif untuk
mengendalikan pengorok daun (Korlina dkk, 2008 b).
7. - Nematoda, Dibandingkan dengan bakteri, cendawan dan virus, penggunaan nematoda
entomopatogen di Indonesia belum populer, masih dalam skala penelitian. Diharapkan
dengan semakin banyaknya penelitian dan pelatihan, pemanfaatan nematoda ini semakin
meningkat. Contoh nematoda entomopatogen yang sering digunakan adalah Steinernema
spp. Merupakan golongan nematoda dengan siklus hidup sederhana, yaitu telur, larva
(juvenil) dan dewasa. Larva mempunyai 4 stadia yang ditandai dengan pergantian kulit.
Steinernema spp bersimbiosis dengan bakteri Xenorhabdus spp. Stadia yang infektif
adalah juvenil III, masuk kedalam tubuh serangga melalui integumen, spirakel, anus dan
mulut. Setelah masuk tubuh serangga, Steinernema spp akan melepaskan bakteri
Xenorhabdus spp yang dapat membunuh serangga dengan cepat dan membuat kondisi
yang sesuai untuk pertumbuhan dan reproduksi nematoda di dalam tubuh serangga yang
mati. Gejala serangan ditandai dengan warna inang berubah menjadi coklat kekuningan
dan tubuhnya menjadi lembek. Hal ini disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh
bakteri simbion (Korlina, 2011).
Teknik Pengendalian Hayati dalam Sistem PHT
Ada tiga unsur pokok yang perlu mendapat perhatian dalam praktek pengendalian hayati,
yaitu introduksi, augmentasi dan konservasi.
1. Introduksi
Introduksi adalah pengimporan satu atau lebih musuh alami dari tempat asalnya. Yang perlu
diperhatikan untuk musuh alami introduksi adalah mempunyai sifat-sifat :
• secara ekologi kompatibel,
• secara temporal sinkron,
• tanggap terhadap kerapatan populasi inangnya,
8. • potensi reproduksi cukup tinggi,
• kemampuan mencari baik,
• kemampuan memencar tinggi,
• inang alternatif dan kebiasaan ,
• kemudahannya untuk dibiakkkan.
2. Augmentasi
Kadang-kadang musuh alami aseli atau eksotik yang sudah mapan populasinya sangat
rendah, ketidakhadiran atau terlambat kehadirannya, sehingga perlu ditambah dengan material
yang berasal dari biakan di laboratorium dengan cara pelepasan sewaktu-waktu atau teratur.
Proses atau metode ini secara umum disebut augmentasi. Ada dua pola augmentasi, yaitu :
Augmentasi inokulatif yaitu pelepasan musuh alami dalam jumlah kecil dan hanya sebagai
inokulan pada pertanaman dan pengendalian baru terjadi oleh generasi-generasi
selanjutnya.
Augmentasi inundatif yaitu musuh alami yang dilepas relatif besar jumlahnya dan
diharapkan pengendalian terjadi langsung oleh musuh alami yang dilepas itu.
3. Konservasi
Konservasi adalah suatu upaya untuk mempertahankan dan melestarikan musuh alami
yang sudah ada di suatu tempat atau ekosistem dan membuatnya lebih efektif dalam fungsinya.
Konservasi musuh alami dapat dicapai, melalui penggunaan pestisida secara bijaksana, sedapat
mungkin dengan pestisida selektif, modifikasi cara bercocok tanam dan pola tanam untuk
meningkatkan daya bertahan musuh alami.
9. Kelebihan dan Kekurangan Pengendalian Hayati
- Kekurangan
Berbagai kendala yang sering menjadi titik lemah dalam komponen hayati antara lain adalah :
a) Untuk mengetahui secara pasti peranan agensia hayati tidak mudah karena terlalu banyak hal
yang dianggap mendasar untuk diteliti.
b) Memerlukan fasilitas untuk mendukung rangkaian penelitian mulai dari eksploirasi, isolasi,
identifikasi, pemurnian, perbanyakan inokulum sampai sumberdaya manusia peneliti yang
tekun.
c) Petani sudah terbiasa dengan cara pengendalian penyakit yang memberi hasi yang cepat
sehingga tidak tertarik dengan cara pengendalian hayati yang berproses lambat dalam kurun
waktu yang panjang.
Selain itu, Pengendalian hayati memerlukan waktu yang cukup lama dan berspektrum
sempit (inangnya spesifik). keuntungannya, antara lain (Santoso, 2009).
- Kelebihan
1. Selektif dan aman
2. Musuh alami sudah tersedia
3. Musuh alami dapat mencari/menemukan hama
4. Musuh alami dapat meningkat jumlahnya dan memencar
5. Hama tidak menjadi resisten
6. Relatif permanen, dalam jangka panjang relatif murah dan efisien.
7. Tidak akan menyebabkan pencemaran lingkungan.
10. sehingga sangat terasa pentingnya suatu komitmen untuk menentukan suatu gerak terpadu
melalui konsep pengendalian hayati yang menguntungkan dan berkelanjutan dalam
pemanfaatannya.