1. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Prevalensi adalah Jumlah keseluruhan orang yang sakit yang menggambarkan
kondisi tertentu yang menimpa sekelompok penduduk tertentu pada titik waktu
tertentu (Point Prevalence), atau pada periode waktu tertentu (Period Prevalence),
tanpa melihat kapan penyakit itu mulai dibagi dengan jumlah penduduk yang
mempunyai resiko tertimpa penyakit pada titik waktu tertentu atau periode waktu
tertentu.
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber
daya manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Indonesia sehat 2010
merupakan visi pembangunan nasional yang ingin dicapai melalui pembangunan
kesehatan. Visi pembangunan gizi adalah mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi
untuk mencapai status gizi masyarakat atau keluarga yang optimal (Dinkes Sumatera
Utara, 2006).
Memiliki anak yang sehat dan cerdas adalah dambaan setiap orang tua. Untuk
mewujudkannya tentu saja orang tua harus selalu memperhatikan, mengawasi dan
merawat anak secara seksama. Khususnya memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangannya. Meskipun proses tumbuh kembang
anak berlangsung secara
alamiah, proses tersebut sangat bergantung kepada orang tua. Apalagi masa lima
tahun (masa balita) adalah periode penting dalam tumbuh kembang anak dan
merupakan
masa
yang
akan
intelegensinya(Sulistijani, 2001).
menentukan
pembentukan
fisik,
psikis
dan
2. B.Tujuan Penelitian
Tujuannya adalah untuk menurunkan prevalensi kurang gizi sesuai dengan target
RPJMN 2005-2009 yaitu penurunan prevalensi gizi kurang menjadi 20% dapat
dicapai.
BAB II
PEMBAHASAN
Seorang anak yang sehat dan normal akan tumbuh sesuai dengan potensi
genetik yang dimilikinya. Tetapi pertumbuhan ini juga akan dipengaruhi oleh intake
zat gizi yang dikonsumsi dalam bentuk makanan. Kekurangan atau kelebihan gizi
akan dimanifestasikan dalam bentuk pertumbuhan yang menyimpang dari pola
standar.
Di negara-negara ASEAN pada periode tahun yang hampir sama (1990-1997)
prevalensi gizi buruk pada anak balita hanya berkisar antara 1-5 % (Soekirman,
2000). Di Indonesia prevalensi gizi buruk pada balita menurut BB/U pada tahun 2002
adalah 8,0% dengan jumlah balita 18.369.952 orang dan meningkat pada tahun 2003
yaitu 8,3% dengan jumlah balita 18.608.762 orang (Hayatinur. E, 2006). Data
prevalensi gizi buruk menurut provinsi di Indonesia pada tahun 2003 yang tertinggi
adalah propinsi Gorontalo yaitu sebesar 21,48 % sedangkan prevalensi gizi kurang
tertinggi adalah provinsi NTT yaitu sebesar 25,93 % (Nency, 2005). Berdasarkan
hasil Susenas, di Sumatera Utara prevalensi gizi kurang pada tahun 2000 yaitu
sebesar 17,32 %, tahun 2003 sebesar 18,39 % dan pada tahun 2005 sebesar 18,20 %.
Sedangkan prevalensi gizi buruk pada tahun 2000 yaitu sebesar 9,16 %, pada tahun
2003 sebesar 12,35 % dan pada tahun 2005 sebesar 10,50 % (Dinkes Sumatera Utara,
2006). Pada tahun 2006 di Kabupaten Langkat terdapat 24% anak dengan status gizi
3. buruk (Siswono, 2007). Data yang diperoleh berdasarkan hasil penilaian status gizi
pada tahun 2011 di kabupaten tabanan
Upaya-upaya yang berkaitan dengan penanggulangan masalah gizi kurang antara
lain penyelenggaraan posyandu, pemberian ASI eksklusif dan MP ASI serta
tatalaksana gizi buruk yang akan dibahas sebagai berikut.
Kunjungan ke Posyandu (D/S)
Cakupan penimbangan balita di Posyandu (D/S) merupakan indikator yang berkaitan
dengan cakupan pelayanan gizi pada balita, cakupan pelayanan kesehatan dasar
khususnya imunisasi serta prevalensi gizi kurang.
Semakin tinggi cakupan D/S, semakin tinggi cakupan vitamin A, semakin tinggi
cakupan imunisasi dan semakin rendah prevalensi gizi kurang
Hasil Riskesdas menunjukan secara nasional cakupan penimbangan balita (anak
pernah ditimbang di Posyandu sekurang-kurangnnya satu kali selama sebulan
terakhir) di posyandu sebesar 74,5%.
Propinsi dan cakupan penimbangan balita di Posyandu
Frekuensi
kunjungan balita ke Posyandu semakin berkurang dengan semakin meningkatnya
umur anak. Sebagai gambaran proporsi anak 6-11 bulan yang ditimbang di Posyandu
4. 91,3%, pada anak usia 12-23 bulan turun menjadi 83,6%, dan pada usia 24-35 bulan
turun menjadi 73,3%.
Masalah yang berkaitan dengan kunjungan Posyandu antara lain tersedianya dana
operasional untuk menggerakkan kegiatan Posyandu, tersedianya sarana dan
prasarana serta bahan penyuluhan belum memadai, pengetahuan kader masih
rendah dan kemampuan petugas dalam pemantauan pertumbuhan serta konseling
masih lemah, masih kurangnya pemahaman keluarga dan masyarakat akan manfaat
Posyandu serta masih terbatasnya pembinaan kader.
Pemberian ASI dan MP-ASI
Cara pemberian makanan pada bayi yang baik dan benar adalah menyusui bayi
secara eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan dan meneruskan menyusui
anak sampai umur 24 bulan. Mulai umur 6 bulan, bayi mendapat makanan
pendamping ASI yang bergizi sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembangnya.
Kementerian Kesehatan telah menerbitkan surat keputusan Menteri Kesehatan nomor:
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI secara eksklusif pada bayi di
Indonesia.
Secara nasional cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia berfluktuasi dan
menunjukkan kecenderungan menurun selama 3 tahun terakhir. Pada grafik terlihat
bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0–6 bulan turun dari 62,2% tahun
2007 menjadi 56,2% pada tahun 2008. Sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif
pada bayi sampai 6 bulan turun dari 28,6% pada tahun 2007 menjadi 24,3% pada
tahun 2008.
Persentase Bayi Umur 0-6 Bulan dan Umur 6 Bulan yang diberi ASI Saja 2004-2008
5. Sumber: Susenas 2004-2009
Cakupan pemberian ASI eksklusif dipengaruhi beberapa hal, terutama masih sangat
terbatasnya tenaga konselor ASI, belum adanya Peraturan Pemerintah tentang
Pemberian ASI serta belum maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi, dan
kampanye terkait pemberian ASI maupun MP-ASI, masih kurangnya ketersediaan
sarana dan prasarana KIE ASI dan MP-ASI dan belum optimalnya membina
kelompok pendukung ASI dan MP-ASI.
Tatalaksana Balita Gizi Buruk
Gizi buruk terjadi akibat dari kekurangan gizi tingkat berat, yang bila tidak ditangani
secara cepat, tepat dan komprehensif dapat mengakibatkan kematian. Perawatan gizi
buruk dilaksanakan dengan pendekatan tatalaksana anak gizi buruk rawat inap di
Puskesmas Perawatan, Rumah Sakit dan Pusat Pemulihan Gizi (Terapheutic Feeding
Center ) sedangkan Gizi buruk tanpa komplikasi di lakukan perawatan rawat jalan di
Puskesmas, Poskesdes dan Pos pemulihan gizi berbasis masyarakat (Community
Feeding Centre /CFC).
6. Kenyataan di lapangan, kasus gizi buruk sering ditemukan terlambat dan atau
ditangani tidak tepat. Hal ini terjadi karena belum semua Puskesmas terlatih untuk
melaksanakan tatalaksana gizi buruk. Selain itu kurangnya ketersediaan sarana dan
prasana untuk menyiapkan formula khusus untuk balita gizi buruk, serta kurangnya
tindak lanjut pemantauan setelah balita pulang ke rumah.
A. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY)
GAKY adalah sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh seseorang kurang unsur
Iodium secara terus-menerus dalam jangka waktu lama. Kekurangan Iodium saat ini
tidak terbatas pada gondok dan kretinisme saja, tetapi ternyata kekurangan Iodium
berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia secara luas, meliputi tumbuh
kembang, termasuk perkembangan otak sehingga terjadi penurunan potensi tingkat
kecerdasan (Intelligence Quotient=IQ).
Indikator untuk memantau masalah GAKY saat ini adalah Ekskresi Yodium dalam
Urine (EYU) sebagai refleksi asupan yodium, cakupan rumah tangga mengonsumsi
garam beryodium dan pencapaian 10 indikator manajemen. Bila proporsi penduduk
dengan EYU<100 µg/L dibawah 20% dan cakupan garam beryodium 90% diikuti
dengan tercapainya indikator manajemen maka masalah GAKY di masyarakat
tersebut sudah terkendali.
Hasil Studi Intensifikasi Penanggulangan GAKY (IP-GAKY) tahun 2003, dan hasil
Riskesdas 2007 mendapatkan hasil yang konsisten, bahwa rata-rata EYU sudah
tinggi, dan proporsi EYU<100 µg/L telah dibawah 20%. Direktur Jenderal Bina
Kesmas telah mengeluarkan edaran Nomor: JM.03.03/BV/2195/09 Tanggal 03 Juli
2009 tentang penghentian suplementasi kapsul minyak iodium pada sasaran (WUS,
7. ibu hamil, ibu menyusui dan anak SD/MI). Disisi lain cakupan Rumah Tangga
dengan garam cukup Iodium rata-rata nasional baru mencapai 62,3%. Terdapat
disparitas antar daerah cukup tinggi dimana persentase cakupan terendah adalah
Provinsi Nusa Tenggara Barat (27,9%), dan tertinggi Provinsi Bangka Belitung
(98,7%).
Masalah penggunaan garam beryodium di masyarakat antara lain karena belum
optimalnya penggerakan masyarakat dan kampanye dalam mengkonsumsi garam
beryodium, serta dukungan regulasi yang belum memadai. Disamping itu masalah
lain adalah belum rutinnya pelaksanaan pemantauan garam beryodium di masyarakat
secara terus menerus.
B. Kurang Vitamin A (KVA)
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting, berfungsi untuk penglihatan,
pertumbuhan dan dan meningkatkan daya tahan tubuh. Secara nasional masalah
kekurangan vitamin A pada balita secara klinis sudah tidak merupakan masalah
kesehatan masyarakat. Studi masalah gizi mikro di 10 propinsi tahun 2006, diperoleh
gambaran prevalensi xeropthalmia pada balita 0,13% dan indeks serum retinol kurang
dari 20µg/dl adalah 14,6%. Hasil studi tersebut menggambarkan terjadinya
penurunan, jika dibandingkan dengan hasil survei vitamin A pada tahun 1992.
Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa cakupan suplementasi vitamin A secara
nasional pada anak umur 6-59 bulan adalah 71,5%. Masih ada 3 propinsi dengan
cakupan di bawah 60%, 16 propinsi di bawah 70% dan hanya 4 propinsi dapat
mencapai 80%. Berdasarkan laporan dari provinsi tahun 2009, cakupan pemberian
kapsul vitamin A pada anak umur 12-59 bulan sebesar 79,2%. Provinsi dengan
8. cakupan > 85 % adalah DIY, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Selatan
sedangkan provinsi Papua Barat, Papua dan Maluku cakupan pemberian kapsul
vitamin A < 60% .
Masalah manajemen dan penyediaan kapsul vitamin A, merupakan masalah yang
dihadapi dalam peningkatan cakupan pemberian kapsul vitamin A. Disamping itu
belum optimal pelaksanaan kampanye bulan kapsul vitamin A di setiap jenjang
administrasi.
C. Anemia Gizi Besi (AGB)
Studi masalah gizi mikro di 10 propinsi tahun 2006 masih dijumpai 26,3% balita yang
menderita anemia gizi besi dengan kadar haemoglobin (Hb) kurang dari 11,0 gr/dl
dan prevalensi tertinggi didapat di Propinsi Maluku sebesar 36%. Sementara itu dari
SKRT 2001, prevalensi ibu hamil yang menderita anemia gizi besi adalah 40,1%.
Keadaan ini mengindikasikan anemia gizi besi masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat.
Penanggulangan masalah anemia gizi besi saat ini terfokus pada pemberian tablet
tambah darah (Fe). Ibu Hamil mendapat tablet tambah darah 90 tablet selama
kehamilannya. Berdasarkan laporan dari provinsi tahun 2009, cakupan pemberian
tablet tambah darah (Fe3) pada ibu hamil pada tahun 2009 rata-rata nasional
68,5%.Beberapa propinsi seperti provinsi Bali, Lampung dan NTB, mempunyai
cakupan diatas 80%, sementara provinsi Papua Barat, Papua dan Sulawesi Tengah
cakupannya dibawah 40%.
Rendahnya cakupan pemberian Fe mungkin disebabkan belum optimalnya koordinasi
dengan lintas program terkait khususnya kegiatan Antenatal Care (ANC). Analisis
9. cakupan Fe dan Cakupan ANC (lihat gambar ..) menunjukkan adalah kesenjangan
yang besar (missed opportunity) antara cakupan ANC dengan cakupan Fe. Terdapat 8
propinsi yang cakupan ANC dilaporkan diatas 80% tetapi cakupan Fe dibawah 80%.
Terdapat 15 propinsi dengan cakupan ANC diatas 80 %, tetapi hanya 7 propinsi
dengan cakupan Fe diatas 80%. Artinya, cakupan Fe di propinsi tersebut dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan intergrasi pelayanan gizi dan pelayanan kesehatan
ibu.
PENDIDIKAN GIZI
Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan petugas dalam
memberikan pelayanan dan penanganan gizi yang berkualitas.
Memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat terkait upaya
perbaikan gizi
Kegiatan
Pengembangan dan pengadaan materi KIE gizi, advokasi dan sosialisasi peningkatan
pemberian ASI dan MP-ASI, kampanye peningkatan ASI eksklusif, bulan vitamin A,
garam beryodium, dan peningkatan pemberian Tablet Fe
Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah:
Terselenggaranya Kampanye ASI
Terselenggaranya kampanye bulan vitamin A
Terselenggaranya kampanye pemberian tablet Fe
Terselenggaranya kampanye garam beryodium
Terselenggaranya Kampanye Posyandu
10. PENANGANAN MASALAH GIZI
Meningkatkan kualitas penanganan dan penanggulangan masalah gizi agar dapat
dikurangi
Kegiatan
Tatalaksana gizi buruk baik rawat inap maupun rawat jalan, pemberian PMT
pemulihan balita gizi kurang dan ibu hamil keluarga miskin / KEK
Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah:
Seluruh Puskesmas terlatih Tatalaksana Anak Gizi Buruk
Tersedianya PMT-Pemulihan untuk balita gizi kurang dan buruk
Tersedianya PMT-Pemulihan untuk ibu hamil
Tersedianya mineral mix di seluruh Puskesmas
PERBAIKAN GIZI MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Memotivasi, menggerakkan dan melibatkan masyarakat dalam upaya pembinaan gizi
masyarakat.
Kegiatan
Opersional Posyandu melalui Biaya Opersional Kesehatan (BOK), PMT penyuluhan,
pertemuan lintas program dan sektor terkait peningkatan fungsi Posyandu, pembinaan
dan pelatihan ulang kader posyandu, penggerakkan kelompok pendukung ASI dan
MP-ASI dan kelas Ibu.
Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah :
11. Seluruh Puskesmas memiliki tenaga terlatih pemantauan pertumbuhan.
Seluruh Puskesmas membina kelompok pendukung ASI.
Terselenggaranya pembinaan kader di seluruh Posyandu
DUKUNGAN MANAJEMEN
Memfasilitasi dan memperlancar proses mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program pembinaan gizi masyarakat
Kegiatan
Perencanaan gizi, Penyusunan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK),
Jaringan info Pangan dan Gizi (JIPG), rapat kerjasama lintas sektor dan lintas
program serta monitoring evaluasi
Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah:
Terselenggaranya fasilitasi dan bimbingan teknis di seluruh propinsi
Tersedianya materi KIE gizi untuk Puskesmas dan Posyandu
Tersusunnya NSPK dalam rangka program pembinaan gizi, yang
terdiri dari: PP tentang ASI (mandat UU No. 36, pasal 128-129),
Standar Angka Kecukupan Gizi (1), Standar Mutu Gizi (3), Standar
Pelayanan Gizi (12) dan Standar Tenaga Gizi (1)
12. BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Untuk dapat tercapainya penurunan prevalensi gizi kurang pada
anak balita dari 25,8% menjadi 20,0% diperlukan kerjasama semua
pihak, baik dari pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan dan juga
peran serta masyarakat sehingga berprilaku hidup sadar gizi
B. SARAN
Dalam upaya penurunan prevalensi gizi kurang pada anak balita
perlu memerdayakan tenaga medis ke pelosok desa sehingga
dapat menjangkau dan dijangkau seluruh lapisan masyarakat.