Ringkasan dokumen tersebut adalah:
(1) Dokumen tersebut membahas pelaksanaan program transmigrasi lokal di Pulau Enggano dan upaya pemberdayaan masyarakat transmigran;
(2) Terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan program transmigrasi seperti keterbatasan sarana transportasi, pembinaan yang kurang maksimal, serta keterbatasan modal dan pengetahuan petani lokal;
(3) Aktivitas utama transmigran lokal ad
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
PEMBERDAYAAN TRANSMIGRAN DI PULAU ENGGANO
1. PEMBERDAYAAN TRANSMIGRAN LOKAL
DI PULAU ENGGANO KABUPATEN BENGKULU UTARA
Oleh: Harmiati, Adi Sutoyo, Raharjo Nuryono, Zairin
Universitas Prof. DR. Hazairin, SH.
Jln. Jend. A.Yani No. 1 Bengkulu Telp. (0736) 345472
Abstract
The program to empower the local transmigrants seemed to be only formality. The
program were not able to develop their ability in making decision, self reliance, involving in
democracy, and self education.
Limitation in capability of the human resources of the local transmigrant was the
main obstacles for them to manage and to use the richness of the natural resources in pulau
Enggano. The inherited cultures and subsisten system of the local transmigrant influenced in
accepting the new changes. The official enforcement could not be applied in order to prevent
the contrary action.
Finally, the farmer and fishermen of Enggano did not have a good bargaining in
marketing their produces. Transportation by a ship to Bengkulu is very expensive and only
once a month. With a big hope, they came to Bengkulu to bring their produces. However,
buyers and retailers are playing a rule for the prices of Enggano’s produces.
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Program transmigrasi merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan
distribusi penduduk yang tidak merata dan penanggulangan kemiskinan. Namun demikian,
penyelenggaraan program transmigrasi sebagian besar belum sesuai dengan harapan yang
diinginkan. Kebijakan program transmigrasi dalam menekan angka kemiskinan yang
disebabkan ketidakberdayaan penduduk untuk memperoleh tempat usaha dan tempat tinggal
yang layak belum tercapai secara optimal, demikian juga dengan distribusi penduduk.
Kondisi ini membuat para peserta transmigran kurang bersemangat berusaha baik di bidang
pertanian maupun perikanan.
Hasil studi Harmiati dkk. (2006) menunjukkan bahwa pengelolaan transmigran di
pulau Enggano belum berjalan dengan optimal, dalam rangka peningkatan kesejahteraan
keluarga. Disisi lain sebagian peserta transmigrasi belum mengambil inisiatif untuk
meningkatkan hasil pertanian dan perikanan, hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi sarana
Jurnal Ilmiah IDEA. Vol.3 No.12. 2009 69-79 69
2. transportasi sangat terbatas, yang menyebabkan para peserta transmigran lokal menjual hasil
pertanian dan perikanan dengan harga yang relatif murah.
1. 2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah penelitian ini dijabarkan sebagai berikut: a. Bagaimana
pelaksanaan dan pembinaan peserta transmigran lokal di pulau Enggano dalam rangka
pemberdayaan masyarakat, b. Bagaimana aktivitas transmigran lokal dalam peningkatan
kesejahteraan keluarga.
II. Metodologi
2.1. Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu langsung mengarahkan pada
keadaan dan pelaku-pelaku tanpa mengurangi unsur-unsur yang ada di dalamnya, dengan
menggunakan pendekatan kualitatif dapat dipahami pelaksanaan dan pembinaan
transmigran lokal di pulau Enggano dalam rangka membuat masyarakat lebih berdaya,
memahami kemampuan dan kebutuhan mereka sendiri, sehingga mereka dapat mengatasi
permasalahan yang mereka hadapi. Metode ini tertangkap dengan menggunakan metode
kualitatif (Bogdan dan Taylor, 1975). Penelitian ini merupakan studi kasus yang bertujuan
untuk mengembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai obyek yang bersangkutan
(Vredenbregt, 1978).
2.2. Penentuan Informan
Mengingat data yang diperlukan adalah tentang Pengelolaan dan Pembinaan serta
Aktivitas Transmigrasi Lokal dalam Peningkatan Kesejahteraan Keluarga di Pulau Enggano,
maka penentuan informan untuk penelitian ini secara purposive yang terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu: a. Kelompok informan yang berkenaan dengan sistem kepemimpinan
tradisional, kepala suku, Ketua kelompok transmigran, dan kyai. Penentuan kelompok
informan ini dilandasi oleh suatu pertimbangan bahwa mereka memiliki pengalaman hidup
dan pengetahuan yang cukup memadai berkaitan dengan sistem nilai-nilai budaya, adat-
istiadat, norma-norma hukum adat, dan tradisinya. b. Kelompok informan yang berkenaan
dengan pimimpinan formal seperti, instansi terkait, camat, kepala desa, aparat desa, dan
anggota BPD. Penentuan kelompok informan ini dilandasi oleh suatu pertimbangan bahwa
mereka memiliki pengalaman hidup dan pengetahuan yang cukup memadai berkaitan dengan
peberdayaan masyarakat c. Kelompok informan yang terdiri dari peserta transmigrasi lokal
di pulau Enggano.
2. 3. Teknik Analisis Data
Analisa data dalam penelitian ini pada hakekatnya dilakukan secara terus-menerus
sejak awal sampai akhir penelitian. Dalam analisis ini data disusun, digolongkan dalam pola,
tema atau kategori tertentu (Moleong, 2000, Matthew. dan Huberman, 1992,
Koentjaraningrat, 1981)
Jurnal Ilmiah IDEA. Vol.3 No.12. 2009 70-79 70
3. III. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1. Pelaksanaan Program Transmigrasi
Keberadaan transmigran lokal di pulau Enggano dilihat dari segi jalur komunikasi,
dan transportasi banyak mengalami kendala dalam melaksanakan aktivitas hidup sehari-hari
karena letak geografisnya berada di pulau terpencil. Oleh sebab itu peserta transmigran lokal
merupakan orang-orang dari kota Bengkulu dan sekitarnya yang sering datang ke pulau
Enggano untuk mencari nafkah, yang pada akhirnya menentukan pilihan untuk menetap di
pulau Enggano menjadi peserta transmigran lokal.
Program transmigrasi di Pulau Enggano dilaksanakan mulai tahun 2002. Jumlah
peserta transmigran lokal yang berdomisili di pulau Enggano sebagaimana tabel. 3.1 berikut;
Tabel.3.1. Jumlah Rumah dan Peserta Transmigran di Pulau Enggano
No
Desa
Jumlah
Rumah
Jumlah KK Keterangan
2006 2008
1 Desa Kahyapu 200 78 100
2 Desa Malakoni 50 0 0
3 Desa Banjar Sari 200 93 93 87 kk statusnya menumpang
4 Desa Kaana 150 67 66 30 kk statusnya menumpang
Jumlah 600 238 259 117 kk
Sumber: Hasil penelitian tahun 2006 dan Juli 2008.
Dari tabel. 3.1 dapat dilihat bahwa lokasi transmigrasi di pulau Enggano terdapat di
Desa Kahyapu, desa Malakoni, desa Banjar Sari, dan desa Kaana. Jumlah rumah yang
dibangun untuk peserta transmigran baik lokal maupun dari pulau Jawa sebanyak 600 buah
rumah, namun kenyataannya hanya 259 rumah dihuni oleh transmigran lokal yang berasal
dari penduduk asli Enggano, dan penduduk dari Kota Bengkulu dan sekitarnya.
Jumlah penduduk transmigran lokal untuk tahun 2006 adalah 238 kk, sementara untuk
tahun 2008 jumlah penduduk transmigran lokal 259 kk. Sedangkan penduduk pendatang yang
menumpang atau berdiam di rumah transmigran berjumlah 117 kk. Penduduk pendatang yang
berstatus menumpang di rumah transmigran yang tidak dihuni, hanya meminta izin dari
Kepala Desa setempat. Kebijakan ini diambil Kepala Desa dengan pertimbangan bahwa dari
pada rumah yang sudah dibangun tidak ditempati dan rusak, maka lebih baik ditempati oleh
penduduk pendatang yang berkebun di pulau Enggano.
Di desa Kahyapu, terdapat 200 rumah yang sudah disiapkan untuk peserta
transmigran namun yang dihuni oleh peserta transmigran hanya 100 rumah. Desa Kahyapu
Jurnal Ilmiah IDEA. Vol.3 No.12. 2009 71-79 71
4. merupakan desa yang strategis karena di desa tersebut terdapat pelabuhan. Transmigran yang
menempati lokasi tersebut merupakan transmigran lokal dengan mata pencaharian sebagian
besar nelayan. Di samping potensial untuk penghasilan perikanan laut, disamping itu di desa
tersebut sangat potensial untuk berkebun nilam, jagung dan jenis palawija yang lainnya.
Sementara di desa Malakoni telah disiapkan sebanyak 50 buah rumah yang sampai
sekarang belum ada penghuninya, dinding dan atapnya sebagian sudah rusak dan sebagian
ada yang hilang, sehingga lokasi yang telah disiapkan untuk penempatan transmigran menjadi
semak belukar.
Di desa Banjar Sari jumlah rumah yang tersedia untuk peserta transmigran 200 buah,
yang dihuni sebanyak 180 buah terdiri dari 93 kk peserta transmigran dan 87 kk penduduk
pendatang yang menumpang di rumah transmigran yang tidak dihuni. Warga pendatang yang
menumpang menempati rumah tersebut hanya minta izin dengan Kepala Desa Banjar Sari.
Sebagian besar warga yang menempati rumah tersebut adalah warga pendatang dari
Bengkulu yang berkebun di desa Banjar Sari pulau Enggano.
Sedangkan di desa Kaana rumah yang dibangun untuk transmigrasi sebanyak 150
buah, terdiri dari 67 rumah yang telah dihuni oleh peserta transmigrasi dan 30 rumah
ditempati oleh penduduk pendatang. Rumah transmigrasi yang ditempati oleh penduduk
pendatang merupakan rumah yang tidak dihuni oleh transmigran.
3.2. Pembinaan Transmigrasi
Untuk melaksanakan kegiatan pembinaan transmigran dan masyarakat sekitar di
pulau Enggano ditempatkan Ka UPT, yang bertugas sebagai pembina dan sekaligus sebagai
koordinator Lintas Dinas terkait. Pembinaan transmigrasi merupakan masalah yang selalu
menjadi kendala di pulau Enggano, karena Ka UPT tidak menetap di Daerah transmigrasi
sehingga pembinaan dan pengarahan belum maksimal. Padahal pembinaan peserta
transmigrasi sangat diperlukan, mengingat sebagian besar peserta transmigran adalah tingkat
finansialnya relatif rendah, pendidikan rendah, pengetahuannya rendah, pengalaman di
bidang pertanian juga rendah, sehingga dibutuhkan pembinaan dari pihak penyelenggara
terutama Ka. Unit Pelaksana Teknis (UPT transmigrasi) secara rutin dan sungguh-sungguh.
Pembinaan yang sungguh-sungguh oleh petugas akan menambah motivasi untuk
berusaha bagi peserta transmigrasi. Sehingga peserta transmigran dapat mengerti bahwa
tujuan diadakan transmigran adalah usaha mengatasi kesulitan hidup bagi keluarga miskin.
Ka UPT sebagai pemberi penerangan untuk memberdayakan transmigran belum berfungsi
dengan baik dalam rangka mewujudkan kemandirian dan peningkatan kesejahteraan, sesuai
dengan tujuan program transmigran. Pembinaan bidang sosial ekonomi dan sosisal budaya
juga belum sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan kecuali di desa Kaana dan Kahyapu.
Namun pembinaan yang dilaksankan oleh Ka UPT terhadap transmigran lokal di
pulau Enggano hanya di desa Kahyapu dan desa Kaana. Pembinaan berupa pengarahan
dibidang kehidupan beragama, pendidikan, kesehatan dan keluarga berencana, dan bidang
ekonomi, serta lingkungan hidup dipermukiman transmigrasi.
Jurnal Ilmiah IDEA. Vol.3 No.12. 2009 72-79 72
5. Bantuan bibit, pupuk, pestisida dan peralatan pertanian hanya beberapa kali diterima
untuk peserta transmigran di desa Kaana dan desa Kahyapu. Sementara para petani di desa
Banjar Sari tidak mendapat jaminan biaya hidup (JADUP) dari Ka. UPT transmigrasi
Enggano transmigran demikian juga dengan bantuan bibit, pupuk, pestisida dan peralatan,
karena status mereka sebagai transmigran lokal sampai sekarang belum selesai. Namun
walaupun pembinaan dan bantuan alat pertanian dan Jaminan Biaya Hidup (JADUP) sampai
sekarang tidak diterima, akan tetapi tingkat sosial ekonomi peserta transmigran lokal di Desa
Banjar Sari lebih baik dibandingkan dengan Transmigran yang berada di Desa Kaana dan
Kahyapu. Hal ini karena peserta tansmigran lokal di desa Banjar Sari sebagian besar adalah
suku pendatang dari Kota Bengkulu yang terdiri dari suku Jawa, serawai, bugis, dll yang
memiliki pengalaman bidang pertanian dan berkebun Kakao relatif memadai, sehingga lahan
pertanian dan perkebunan diolah dengan baik, sehingga produksi hasil pertanian lebih tinggi
pada akhirnya pendapatan perserta transmigran lokal di desa Banjar Sari meningkat.
3.3. Aktivitas Peserta Transmigran Lokal
a. Perkebunan Kakao
Di pulau Enggano tumbuh subur tanaman perkebunan seperti Kakao, merica, melinjo,
cengkeh yang merupakan produk organik, memiliki kualitas bagus dengan harga tinggi,
karena tanpa terkontaminasi dengan zat-zat kimia, hal ini membawa berkah bagi peserta
transmigran. Kakao kini menjadi salah satu primadona unggulan pulau Enggano yang
memiliki luas 680 kilometer persegi dan hanya berpenduduk sekitar 3.096 jiwa untuk tahun
2007.
Kondisi alam yang subur dimanfaatkan oleh para transmigran lokal suku Bugis
mempelopori penanaman tanaman Kakao. Penanaman tanaman keras itu semula
dimaksudkan untuk mengisi waktu senggang dimasa badai. Namun, hasil mulai dipetik dua
tahun lalu membuat para nelayan transmigran sadar akan keuntungan yang dipetik dari
tanaman Kakao.
Pada pertengahan tahun 2008 terdapat sekitar 3.000 hektar kebun yang dikelola
penduduk dan peserta transmigran lokal, dari luas area 680 kilometer persegi di sisi timur
pulau yang menghadap Pulau Sumatera. Keadaan alam yang sejuk dengan hujan yang tidak
berhenti sepanjang tahun, iklim yang mendukung, dan tanah yang relatif subur merupakan
keuntungan bagi petani khususnya peserta transmigran lokal. Di Desa Banjar Sari satu hektar
tanaman Kakao dapat menghasilkan sekitar 180 kg biji Kakao kering per bulan. Dengan
kisaran harga Rp 9.000 sampai Rp 11.000, oleh sebab itu pendapatan transmigran rata-rata
Rp 1,5 juta per bulan (tahun 2007). Disamping itu, peserta transmigran di desa Banjar Sari
mengolah biji Kakao secara baik sehingga menghasilkan biji kakao, hal ini merupakan
keuntungan tersendiri bagi peserta transmigran di pulau Enggano khususnya di desa Banjar
Sari Pulau Enggano.
Keberhasilan para transmigran lokal asal Bugis di Desa Banjar Sari menyebar kepada
sesama transmigran lokal yang lainnya, karena transmigran sering berkumpul di Desa Banjar
Jurnal Ilmiah IDEA. Vol.3 No.12. 2009 73-79 73
6. Sari, hal ini mempercepat pertukaran informasi. Secara bertahap masyarakat transmigran
mendatangkan bibit Kakao dari Bengkulu, sehingga ladang mereka yang dulunya hanya
ditanami palawija kini mulai beralih menjadi tanaman Kakao. Palawija dan padi gogo tetap
dipertahankan dibeberapa bagian ladang atau pekarangan rumah karena menjadi sumber
bahan makanan utama. Pada saat tanaman Kakao masih berusia satu – dua tahun para petani
melakukan tumpang sari dengan padi gogo untuk mencukupi bahan pangan pokok. Seluruh
peserta transmigran lokal di desa Banjar Sari menanam Kakao dan sebagian sudah berhasil
sebagai petani Kakao. Sementara transmigran yang berasal dari penduduk asli belum berhasil
karena mereka belum memiliki pengalaman dalam bercocok tanam Kakao.
Demikian juga peserta transmigran lokal di desa Kahyapu dan Kaana belum dapat
menikmati hasil kebun Kakao. Banyak permasalahan yang dihadapi oleh para peserta
transmigran sebagaimana penuturan ketua kelompok Transmigran di desa Kaana “
Kebun Kakao trans di desa Kaana rawan kebakaran, dan terkena hama batang dan
buah, jadi sekarang baru berproduksi sedikit, belum berhasil seperti di desa Banjar
Sari”
Serangan hama penggerek batang kakao di lokasi perkebunan transmigrasi lokal desa
Kaana pulau Enggano menjadi kendala bagi peserta transmigrasi karena mereka menanam
Kakao belum berpengalaman, walaupun mereka sudah berupaya memberantas hama, baik
dengan cara penyemprotan insecticida maupun pemusnahan tanaman dengan cara membakar
lalu membenamkannya ke dalam tanah, tidak efektif lagi. Kasus PBK membuat petani Kakao
terpukul, petani belum mengerti melakukan pemberantasan hama PBK. Selain itu terdapat
hama yang menyerang daun dan batang yang disebut hama VSD atau vasculer street diabec.
Serangan hama batang dan buah ini menyebabkan daun berwarna kekuning-kuningan dan
berlubang. Sedangkan buah dan batang kehitam-hitaman. Akibatnya, buah Kakao tak dapat
dipanen.
Menurut ketua kelompok transmigran di desa Kaana kedua hama tersebut sejenis
serangga berwarna putih yang menyerang tanaman Kakao. Serangga itu menyimpan telurnya
pada buah dan batang yang terlindung sinar matahari. Setelah berubah jadi larva, serangga
tersebut masuk dalam buah. Berbagai upaya telah dilakukan petani Kakao di lokasi
transmigrasi. Di antaranya memangkas daun yang berlebihan supaya sinar matahari dapat
masuk. Selain itu petani juga memperbanyak unsur kalium dalam pupuk dan memanen buah
Kakao sesering mungkin.
Demikian juga dengan pemasaran hasil, para transmigran lokal di pulau Enggano
tidak memiliki kekuatan untuk menaikan harga hasil pertaniannya, pada hal dalam rangka
menghadapi meningkatkan pendapatan diperlukan harga yang seimmbang, para tengkulak
yang mengasai pemasaran mempunyai peranan penting dalam meningkatkan harga produk
yang dihasilakan petani. Petani, terutama peserta transmigran lokal berulang kali menjadi
bulan-bulanan pedagang, tauke, pada saat berusaha menjual hasil pertanian di Bengkulu. Para
petani Enggano selalu terhadang lingkaran persoalan, mulai dari transportasi hingga harga
yang dimainkan pembeli atau tauke.
Jurnal Ilmiah IDEA. Vol.3 No.12. 2009 74-79 74
7. Walaupun posisi tawar petani dalam penjualan hasil pertanian dan perikanan laut
sangat rendah, namun penduduk asli Enggano menganggap transmigran yang menanam
Kakao berhasil. Kepala suku merupakan orang yang dijadikan panutan oleh penduduk
Enggano (Harijanto, 1997), untuk peningkatan perekonomian penduduk asli Enggano Kepala
Desa Meok menganjurkan penanaman Kakao di semua ladang penduduk asli di Desa Meok.
Menurut Kepala Desa Meok para nelayan di desanya tidak boleh dibiarkan miskin atau
menganggur dimusim badai. Oleh karena itu, Kakao harus ditanam agar masyarakat memiliki
kesibukan dan penghasilan tetap selama tidak melaut. Kakao dapat ditinggal melaut selama
beberapa minggu karena pemeliharaannya mudah dan dapat dilakukan oleh kaum perempuan
yang tidak ikut melaut. Dengan demikian, pendapatan setiap keluarga dapat dijaga
kestabilannya.
Sementara Kepala Suku Kairuba, juga menganjurkan warga sukunya menanam Kakao
sebagai cadangan pendapatan. Anjuran yang telah dilaksanakan itu kini mulai memberikan
hasilnya karena banyak pohon Kakao warga suku Kairuba mulai berbuah. Sehingga
kebutuhan hidup keluarga berangsur-angsur terpenuhi secara baik dibandingkan pada saat
berprofesi sebagai nelayan saja, hal ini sesuai dengan Robert Chambers (1992) masyarakat
diberi kesempatan untuk turut serta dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup
dan kondisi mereka sendiri, agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan.
b. Petani Nilam
Peserta transmigran di desa Kaana sebagian besar 40 kk menanam nilam. Penanaman
nilam dikelola secara tradisional, sehingga hasil yang diperoleh belum maksimal sekitar 1,20
ton daun kering/ha/panen. Belum ada cara yang dilakukan oleh penduduk transmigran lokal
untuk lebih meningkatkan produksi nilam, seperti; pemberian pupuk an-organik, pupuk
organik dan pemangkasan. Pada hal pemangkasan akan merangsang pembentukan tunas-
tunas baru dan meningkatkan biomassa daun kering.
Walaupun hasilnya belum maksimal menurut ketua kelompok transmigran di desa
Kaana minyak nilam merupakan usaha yang diandalkan oleh penduduk transmigran
khususnya di desa Kaana pulau Enggano, karena penampung dari Bengkulu lebih
mengutamakan minyak nilam dari pulau Enggano dibandingkan dengan daerah lain.
Demikian juga menurut Kepala Desa Kaana Kecamatan Enggano pada saat wawancara bulan
Juli 2008 mengungkapkan bahwa,
”Banyaknya transmigran menanam nilam karena nilam bisa dipanen setelah 4 bulan,
dengan hasil per pohon 3-4 kg. Harga per kg Rp 1.000. Satu hektar dengan jarak
tanam 80 x 80 cm bisa ditanami nilam hingga 16.000 pohon. Setelah usia sekitar 7
bulan, bisa memanen 1 ton nilam setiap hari. Sedangkan kalau nilam dijual dalam
bentuk minyak nilam maka nilainya lebih besar. Dari 6 kuintal daun nilam basah
dengan kadar kekeringan 25% bisa menghasilkan 4 kg minyak. Di pulau Enggano
harga 1 kg minyak nilam Rp.750.000.- Rp.1.000.000,-”.
Pulau Enggano sangat potensial untuk penanaman nilam karena kondisi tanah yang
subur dan kualitas minyak tinggi. Namun transmigran lokal belum memiliki keterampilan dan
Jurnal Ilmiah IDEA. Vol.3 No.12. 2009 75-79 75
8. pengalaman dalam membudidayakan nilam untuk memaksimalkan hasil. Kondisi ini karena
keterbatasan pengetahuan, dan keterampilan berkaitan dengan penanaman, penyiangan,
penjemuran, penyulingan dan tempat penyimpanan minyak nilam. Disisi lain belum adanya
lembaga berupa koperasi untuk mengatasi semua kebutuhan petani nilam, seperti; bibit,
pupuk, peralatan, sampai pemberian modal dan penjualan minyak nilam.
Pengetahuan dan keterampilan bagi peserta transmigran sangat diperlukan, karena
dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan para peserta transmigrasi dapat
memaksimalkan hasil. Demikian juga dengan lembaga koperasi merupakan lembaga yang
sangat dibutuhkan untuk menampung produksi minyak nilam yang dihasilakan peserta
transmigran. Sehingga diharapakan harga jual minyak nilam dapat sesuai standar, dan petani
Enggano khususnya transmigran lokal memiliki posisi tawar, mereka diharapkan tidak
menjadi bulan-bulanan pedagang, dan tauke dalam menjual minyak nilam.
Disamping itu, potensi sumber daya alam yang melimpah ruah, tanah yang subur
hanya bisa dinikmati oleh sebagian penduduk transmigran lokal dan penduduk pendatang
yang secara khusus datang ke pulau Enggano untuk berkebun. Sedangkan penduduk
transmigran lokal yang berasal dari penduduk asli Enggano hanya sebagian kecil yang dapat
menikmati hasil penjulan minyak nilam. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu
pejabat di kantaor camat Kecamatan Enggano pada tgl 11 juli 2008 terungkap bahwa;
Transmigran yang berasal dari penduduk asli sebagian besar masih terbelenggu
dengan adat kebiasaan yang telah dianut secara turun temurun”cepat puas” tidak mau
bekerja keras, sudah biasa dimanjakan dengan sumber daya alam yang melimpah ruah sejak
nenek moyang.
Sejalan dengan hal tersebut diatas menurut salah satu staf yang bertugas di kecamatan
Enggano juga mengungkapan bahwa;
Transmigran lokal belum sejahtera karena kurang modal yaitu; ”pengetahuan,
mental, semangat, modal (dana), dan teknologi kurang dimiliki oleh transmigran lokal
khususnya yang berasal dari penduduk asli, jadi untuk meningkatkan taraf hidup para
transmigran lokal maka cara berfikirnya yang harus diperbaiki”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pola pikir dan budaya masyarakat
yang telah turun-temurun merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kebiasaan hidup, cara
pandang dan cara berfikir penduduk transmigran lokal merupakan salah satu indikator yang
dapat berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga dan peningkatan status sosial
ekonomi.
c. Nelayan
Enggano memiliki potensi perikanan cukup besar dan sebagian warganya juga
berprofesi sebagai nelayan, karena itu pembangunannya diutamakan disektor kelautan dan
perikanan. Pembangunan pulau Enggano merupakan program dari pemerintah pusat untuk
pembedayaan pulau-pulau kecil. Pembangunan di pulau Enggano dilakukan secara terpadu
dengan melibatkan lintas sekoral, leading sector-nya bidang kelautan dan perikanan.
Hasil wawancara dengan transmigran lokal suku Bugis, menjelaskan bahwa;
Jurnal Ilmiah IDEA. Vol.3 No.12. 2009 76-79 76
9. a. ”Para nelayan hanya menggunakan perahu yang bobotnya tak lebih dari satu
gros ton, bahkan kebanyakan tidak lebih dari 500 kwintal, paling jauh, berlayar
dari enam mil laut atau sembilan kilometer dari garis pantai.
b. Pendeknya jalur tempuh itu karena perahu-perahu yang kecil tidak dapat
melawan ganasnya ombak Samudra Indonesia yang kerap mencapai ketinggian
enam meter.
c. Musim angin tenggara dan angin barat laut juga menjadi masalah bagi para
nelayan karena menimbulkan badai yang dapat membalik perahu mereka di
tengah laut. Bila musibah itu terjadi, para nelayan dipastikan meninggal karena
tidak ada regu penolong di pulau tersebut.
d. Alat tangkap dan perlengkapan sederhana berupa pancing dan jaring yang tidak
mencapai panjang seratus meter, para nelayan Enggano selalu kesulitan
menangkap ikan-ikan mahal, seperti tuna dan kerapu, yang sering berenang di
kedalaman lebih dari 200 meter.
Dari hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa para transmigran lokal hanya
menggunakan perahu dengan bobot yang kecil, sehingga jalur tempuh hanya beberapa mil
laut, nelayan juga menggunakan alat tangkap dan perlengkapan sederhana, dan kalau musim
badai nelayan tidak melaut sama sekali.
Sedangkan menurut nelayan dari Desa Meok menjelaskan,
”hasil tangkapan selama satu minggu hanya berkisar 60 kg sampai satu kuintal
senilai Rp 250.000 sampai Rp 400.000. Pendapatan itu masih harus dikurangi
dengan modal sebesar Rp 300.000 dan sisanya dibagi dengan jumlah anak buah
kapal.Hasil tangkapan ikan biasanya dijual dalam bentuk ikan basah tanpa diolah
kalau jumlahnya hanya sedikit, akan tetapi kalau jumlah tangkapan banyak maka
diolah secara tradisional dengan diasinkan dan dijemur.”
Dari hasil wawancara menunjukan bahwa Nelayan di pulau Enggano khususnya
peserta transmigran lokal tidak memiliki posisi tawar karena biasanya sebelum melaut mereka
meminjam uang untuk modal kepada tauke atau majikan, sehingga hasil tangkapan ikan harus
dijual kepada tauke atau majikan dengan harga yang relatif rendah. Para nelayan Enggano
selalu terhadang lingkaran persoalan, mulai dari transportasi hingga harga yang dimainkan
pembeli atau tauke.
Berbagai permasalah yang dihadapi oleh transmigran lokal yang berprofesi sebagai
nelayan di pulau Enggano, seperti; perahu, alat tangkap, cuaca, pengolahan hasil sampai pada
pemasarannya, memaksa sebagian besar nelayan pulau Enggano khususnya peserta
transmigran beralih profesi, dari nelayan murni menjadi nelayan dan petani. Pergeseran
profesi itu diikuti oleh penduduk asli pulau Enggano, karena sebagian besar peserta
transmigran lokal dapat mempertahankan kelangsungan hidup anggota keluarga secara baik
pada saat musim badai selama enam bulan dalam setahun.
Akhirnya kedatangan transmigran lokal ke pulau Enggano secara perlahan-lahan
dapat merubah pola berfikir penduduk asli, pergeseran profesi yang dipelopori oleh para
transmigran lokal adalah tindakan strategis untuk mempertahankan hidup. Para transmigran
lokal yang tidak mempunyai cadangan sumber daya untuk mempertahankan hidup akan
cenderung bertindak praktis dan ekonomis.
Jurnal Ilmiah IDEA. Vol.3 No.12. 2009 77-79 77
10. IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan analisis data dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;
1. Perencanaan, dan pengelolaan serta pembinaan transmigrasi lokal di pulau Enggano
belum optimal.
2. Pembinaan belum menyentuh hal-hal yang dibutuhkan oleh peserta transmigran lokal,
seperti; realisasi pengurusan sertifikat tanah dan rumah, cara mengatasi hama Kakao,
dan Nilam, serta mengatasi masalah pemasaran hasil pertanian dan perikanan di
bawah harga pasar.
3. Transmigran lokal di pulau Enggano bercocok tanam nilam secara tradisional, mulai
dari pembibitan, penyiangan, sampai pada pemanenan dan penyulingan. Demikian
juga dengan penanaman Kakao masih secara tradisional. Namun walaupun
penanaman Kakao oleh transmigran lokal di desa Banjar Sari secara tradisional
mereka mulai menikmati hasilnya dan menjadikan kebun Kakao sebagai mata
pencaharian utama.
4. Transmigran lokal yang bekerja sebagai nelayan menggunakan perahu dan alat
tangkap yang sederhana, sehingga hasil tangkapan ikan tidak memuaskan, dan
dikelola secara tradisional dan tidak memiliki nilai tambah.
5. Petani dan nelayan Enggano tidak dapat berbuat banyak dalam penjualan hasil
pertanian dan perikanan laut di Bengkulu. Para petani Enggano selalu terhadang
lingkaran persoalan, mulai dari akses terhadap pasar, transportasi hingga harga yang
dimainkan pembeli.
Jurnal Ilmiah IDEA. Vol.3 No.12. 2009 78-79 78
11. DAFTAR PUSTAKA
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor
1975 Introduction To Qualitative Research Method, New York: John Willey Sons.
Chambers, Robert. 1992 Rural Appraisal: Rapid, Relaxed And Participatory, Inggris:
Institute Of Development.
---------1988 Pembangunan Desa Mulai dari Belakang, Terjemahan. Jakarta: LP3ES.
Harmiati, 2003, Mobilitas Penduduk Transmigran dan Dampaknya Terhadap Kesejateraan
Rumahtangga di Desa Pekik Nyaring Kecamatan Pondok Kelapa
Kabupaten Bengkulu Utara, Laporan Penelitian Dosen Muda, Fisipol
UNIHAZ Bengkulu
-------2006, Analisis Pelaksanaan Program Transmigrasi di Pulau Enggano, Jurnal Triwulan
UNIHAZ ISSN: 0854-3623, Vol. 54 Th. VIII/ September 2006`
Hartiman, Andry Harijanto, 1997, Perkawinan Adat dalam Persfektif Antropologi Hukum:
Studi Kasus Perdamaian Adat Sebagai Syarat Perkawinan Di Kecamatan
Pulau Enggano”, dalam Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum
Universitas Bengkulu, No. Edisi Ke VI, Tanggal 6 Januari 1997, hal. 52-64.
Koentjaraningrat, 1981 Motode Penelitian Masyarakat (Penyunting). Jakarta: PT Gramedia.
-------1990 Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Miles, Matthew. B, dan A. Michael Huberman, 1992 Analisis Data Kualitatif
(Diterjemahkan Tjetjep Rohendi Rohedi dan Mulyarto). Jakarta Universitas
Indonesia Press.
Moleong, Lexy J., (2000), Motodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya.
Vredenbreght, J 1978, Metode Dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
Jurnal Ilmiah IDEA. Vol.3 No.12. 2009 79-79 79