SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  8
AGAMA DAN PLURALISME
(Problematika Konflik Sosial Kebangsaan)
Oleh: Zet. A. Sandia*
(Simpatisan berat Forum Dialog Antar Kita Sulawesi Selatan, sementara ini
aktif di LSM sebagai sekretaris Yayasan Insan Cita (YIC) Pusat Makassar dan
Koordinator Human Right and Supremacy of Law Division pada Lembaga Studi
Insan Cita (LSIC) Makassar.)
Menurut Bernard Lewis, seperti kutip Cak Nur – sapaan pendek
Nurcholish Madjid -- bahwa toleransi sebagai manifestasi sikap pluralisme
adalah fenomena baru dalam wacana intelektual dengan konsentrasi
kepelbagaian agama di Indonesia. Atau persisnya, fenomena ini hadir
beriringan dengan periode awal kemunculan gerakan intelektual-kultural di
tahun 70-an hingga 80-an yang dimotori oleh figur-figur seperti Harun
Nasution, Mukti Ali, Munawir Sazali, Cak Nur, Abdurrahman Wahid, Romo
Manguwijaya, Fiktor Tanja, Frans Magnis Suseno dan TH. Sumartana
misalnya. Dan tidak tanggung-tanggung, kuatnya tensi wacana ini telah
melahirkan sebongkah konsepsi di seputar persoalan toleransi atau
kerukunan antar umat beragama khusunya dan sosial berbudaya dalam
makna generiknya.
Berangkat dari situ, kiranya menarik sekali dicermati kehadirannya
sebagai penawar, harapan positif, bagi kalangan penganut agama dan
agamawan atau dunia keagamaan dalam merenda kehidupan keberagamaan
yang lebih kualiatif pada masa mendatang. Paling tidak, jika Arnold J.
Toynbee dan Cak Nur kemudian mempertanyakan "apakah ada harapan baik
bagi kehidupan beragama di masa depan ? atau lebih prinsipil lagi: adakah
kebaikan dalam kehidupan keagamaan bagi generasi yang akan datang" ?
maka kesungguhan dan keseriusan mengembangkan wacana pluralisme
berikut pembumiannya dapat digarisbawahi sebagai sebuah usaha apresiatif
dengan bobot sensifitas dan kontekstualitas yang luar bisa.
Untuk kasus Indonesia, kehendak tulus mengembangkan wacana ini
adalah sebuah pilihan sikap dan manifestasi responsibility sosok kompartemen
warga bangsa yang memiliki sence of pluralism. Apalagi kehendak itu maujud
di saat kondisi bangsa – yang lebih dari satu dasawarsa belakangan secara tak
henti-hentinya -- dihadapkan pada sederet turbulance dengan platform SARA
(suku, Agama, ras, antar golongan) dan tingkat varitas konflik sosial
(ekonomi, politik, hukum) yang teramat kompleks, tak teridentifikasi.
Kontradiksi berujung ambiguisme. Sebagai misal, dalam rada tanya, kita
selalu dihadapkan pada persoalan: kenapa sehingga agama dalam beberapa
kasus kerusuhan selalu diasumsikan sebagai kuda tunggangan politik atau
keduanya harus bisa diidentifikasi secara proporsional kemurnian
kerusuhan-kerusuhan tersebut, agamakah atau politik ? Lalu, apakah
beberapa konflik antar etnik selalu merupakan gambaran nyata "wajah"
kesenjangan dan ketidakadilan sosio-ekonomi atau keduanya sungguh tidak
semestinya dihubung-hubungkann ? Demikian juga, betulkah tuntutan
kemerdekaan di beberapa wilayah Republik ini relatif cukup dimengerti
sebagai dampak langsung dominasi serta diskriminasi oleh dan terhadap
orang/komunitas tertentu secara historis, politik, ekonomi, hukum dan
budaya atau barangkali masih ada persoalan lain yang sengaja dikatupi
lantaran kondisinya yang rentan ?
Persoalan-persolan tersebut hingga kini masih kayak benang kusut,
gamang. Belum ditemukan formulasi yang cocok untuk penyelesaiannya.
Dan sejauh ini, kalaupun ada upaya ke arah itu maka cenderung sangat
struktural, formalistik dan serimonial belaka. Contoh yang acap kali muncul
ke permukaan adalah seperti perintah mencari kambing hitam, aktor
intelektual atau provokator, pengerahan masa (banser, satgas atau pasukan
jihad), pegelaran istighosah, ajakan memelihara persatuan dan kesatuan,
tobat nasional, konsolidasi nasional, Indonesia berdoa, paling buntut adalah
rembug persaudaraan Indonesia dan entah apalagi nanti. Padahal,
penyelesaian kompleksitas persoalan agama atau politik, etno sentris atau
ketidakadilan sosial-ekonomi dan dominasi-diskriminasi atau merdeka tidak
cukup diselesaikan dengan mengandalkan gerakan dan "teriakan" demikian.
Secara tentatif, bentuk solusi struktural, formalistik dan serimonial ini hanya
berdaya sebagai terapi psikologis memenuhi hajat politik, ekonomi,
kemerdekaan, agama atau etnik komunitas yang berkonflik. Sekali lagi,
upaya-upaya semacam itu tidak cukup mumpuni menyelesaikan persoalan
dan bahkan cenderungan lebih terbuka bagi pengawetan dan penguatan
potensi distorsi sosial atau jamrud chaos yang bakal tak berkesudahan (the
endless conflict).
Pada plataran demikian, tulisan ini mencoba menawarkan sebuah
perspektif sebagai katalisator menerjemahkan berbagai problematika konflik
sosial kebangsaan yang kompleks itu kedalam kerangka hubungan agama
dan pluralisme. Sudah barang tentu, dengan penuh harap tawaran ini
nantinya berenergi mengkonstruksi seuah way out berbagai konflik sosial
kebangsaan yang tenjadi, disamping untuk pengembangan sebuah tata atau
pandangan dunia wacana keberagamaan, kepelbagaian, kemajemukan
(pluralisme) yang lebih akomodatif, kontekstual dan mendepan.
"Mengkalkulasi" Agama (?)
Sebuah hasil penelitian tentang penyebab kerusuhan yang disusun
oleh Ipong S. Azhar, menemukan fakta bahwa hampir tidak ditemukan
adanya responden yang berdalih bahwa kerusuhan-kerusahan yang terjadi
sejauh ini disebabkan oleh sentimen agama. Ini mengindikasikan bahwa
semua konlfik sosial yang pernah ada, dengan segenap variasi background
(politik, ekonomi maupun hukum dan seterusnya) sungguh tidak memiliki
korelasi sama sekali dengan agama.
Lewat temuan itu, bukan tidak menutup kemungkinan, Ipong hendak
menunjukan proporsionaltas adikodrati agama, bahwa agama adalah agama,
agama adalah kebenaran, agama tidak mungkin bertentangan dengan
kebenaran, sehingga apa saja yang bertentangan dengan kebenaran berarti
bertolak belakang dengan atau bukanlah agama. Cukuplah sebagai indikasi,
kata Cak Nur, bahwa suatu agama atau kepercayaan tidak dapat
dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan naluri
kemanusiaan yang suci, yaitu kecenderungan kepada kebenaran. Sebagi
contohnya, jika agama mengajarkan tentang pluralisme, saling menghormati
atau toleransi antara sesama manusia, pemeluk-pemeluk agama, sementara
yang terjadi adalah konflik antar penganut agama, maka apapun simbol
agama yang digunakan dalam konflik sosial tersebut sesekali bukanlah
sesuatu yang secara langsung bisa saja dengan enteng diasosiasikan kepada
agama atau gerakan keagamaan. Tesis ini jelas belum mewakili segenap umat
manusia beragama dan masih membutuhkan pengkajian lebih dalam lagi
(analisa, kritisasi dan komparasi studi dengan konsentrasi sama).
Sebagai wacana, kesimpulan Ipong tersebut dalam batas-batas tertentu
relatif masih merupakan asumsi-asumsi yang bisa saja benar dan bisa juga
sebaliknya. Dalam pengertian bahwa untuk menghindari penilaian a priori
dan subyektif terhadap keterlibatan atau ketidakterlibatan agama dalam
setiap benturan atau konflik sosial maka perlu dilakukan pembuktian atau
pengujian lebih dulu. Apakah sensifitas agama itu identik dengan atau
kecenederungan provokatif ? Apakah agama masih disebut agama meski
disalahgunakan ? Tolerankah bahwa tindakan brutal atas nama agama dapat
ditolernsi sebagai tindakah agamais ? Atau agama memang membenarkan
atau menghalalkan segala cara dalam menjalankan misi untuk mencapai
tujuan sepanjang itu dilakukan demi agama ? dan akhirnya kapan agama
tidak mesti dipertentangankan dengan usaha-usama kemanusiaan ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas hendaknya diikuti dengan
usaha-usaha identifikasi dan verifikasi persoalan hingga dapat ditentukan
kejelasan motif benturan atau konflik sosial yang terjadi. Agamakah, politik,
ekonomi, etnik atau privasi. Sehingga, tidak akan ada lagi asumsi bahwa
konflik sosial baik vertikal maupun horizontal baik yang terjadi di Tanjung
Priok, Lampung, Aceh, Banyuangi, Tasikmalaya, Sambas, Timor Timur, Irian
Jaya, Ambon, Maluku Utara dan Poso itu dipicu oleh ekstrimisme beragama
terbonsai politik atau etnik berkedok ketidakadilan sosial-ekonomi atau juga
kehendak merdeka bertopeng dominasi-diskriminatif dan seterusnya. Akan
tetapi, sudah bisa dipastikan bahwa konflik itu memang benar-benar bernar
adalah persoalan politik tok, etnik saja atau agama an sich.
Konflik-konflik sosial di atas, dalam konteks kehidupaan berbangsa
jelas sekali merupakan sebuah "tamparan" keras atas citra cita pandangan
yang selama ini melekat pada bangsa Indonesia, sebagai bangsa plural,
berbudaya dan religius atau berperadaban. Betapa tidak, potensi, khazanah
dan kerakteristik warga bangsa yang begitu potensial membangun sebuah
tatanan hidup berbangsa yang apresiatif terhadap pluralisme, demokrasi dan
hak azasi manusia akhirnya menjadi sesuatu yang kontra produktif. Ini jelas
sangat memprihatinkan, patut disayayangkan karena ledakan konflik-konflik
sosial tersebut adalah tragedi kemanusiaan (humanitarian disaster), kecelakaan
dan nestapa sejarah bangsa Indonesia.
Sudah barang tentu, tanpa menegasi fakta pahit sejarah bangsa, adalah
arif jika kesemua fakta itu dijadikan sebagai modus ponen pengembangan misi
kemanusiaan atau -- yang oleh Benyamin Frenklin sesebutnya dengan
instihah -- proyek kebajikan ke depan. Dan jika demikian adanya, maka yang
menjadi pertanyan sekarang adalah masih potensialkah agama mengemban
misi kemanusiaan atau proyek kebajikan itu ? karena sosok seperti Sydney
Hook misalnya meragukan dan mempertanyakannya: kalau agama itu
memang benar namun tidak mempengaruhi para pemeluknya, lalu
bagaimana membutikan kebenaran agama yang benar namun tidak
mempengaruhi watak pemeluknya ? Adakah agama itu masih seperti yang
digambarkan A. N. Wilson, bahwa ia selalu mengajak kepada yang paling
luhur, paling murni dan paling tinggi dalam jiwa manusia. Atau, secara
otokritis harus dipertanyakan, apa guna beragama jika hanya untuk
"berkonflik ria".
Kritik "padat makna" ini sudah pasti menghentak kesadaran
religiusitas umat beragama secara emosional penuh ekstrim. Namun begitu,
ada hal diluar kebiasaan yang harus dicandra dari kritik ini, bahwa cara
pandang terhadap agama selamanya berimplikasi pada pereduksian makna
agama itu sendiri. Tarulah, Wilfred Cantwel Smith yang lebih suka
menggunakan istilah faith dari pada religion dalam memaknai agama. Atau
dengan kata lain, agama pada tingkat ini jangan sampai lebih menonjolkan
sisi eksklusifismenya, truth claime atau arogansi beragama. Dan bukan
inklusifime, toleransi atau kearifan beragaman.
Kita mungkin tidak akan pernah sama sekali memiliki kebulatan tekad
atau keberanian menjatuhkan vonis "silang" pada agama begitu saja. Walau
itu juga tidak berarti bahwa kita harus kehilangan nyali untuk melakukan
kritik terhadap cara pandang beragama. Kritik terhadap agama atau cara
pandang beragama adalah kelaziman. Dan agama memang tidak kebal kritik,
apalagi cara pandang beragama. Artinya, terlepasa dari adanya fakta yang
menunjukan ketidakmampuan agama mempengaruhi pemeluknya atau
bahwa agama mengajarkan tentang keluhuran, kemurnian dan ketinggian
dalam jiwa manusia, agama dan cara pandang beragama tetap harus
dikritisi ? Kritik bagaimanapun akan selalu menjadi kebutuhan agama kapan
dan dimanapun, karena hanya kritik yang mampu membuat agama dan cara
pandang beragama dinamis dan diterima sebagai jalan hidup manusia. Kritik
terhhdap agama dan cara pandang beragama merupakan ikhtiar pembebasan
kesadaran, pencerahan dan penignkatan kualitas hidup manusia. Jadi kritik
itu sendiri adalah keharusan beragama.
Olehnya itu, sudah menjadi tanggungjawab bersama untuk secara
otokritik melakukan berbagai pembongkaran atau rekonstruksi terhadap cara
pandang tokoh berikut penganut agama demi pengembangan misi
kemanusiaan atau proyek kebajikan dimaksud. Artinya, semua agama harus
memiliki kesamaan tanggung jawab misi tunggal yaitu memberi keselamatan
bagi kehidupan umat manusia di dunia dan sesudahnya.
Berangkat dari situ, maka penguatan pemahaman terhadap
pluralisme, kepelbagaian atau kemajemukan agama menjadi agenda yang
intenstas sosialisasi harus terus ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya.
Dalam pengertian, pertma agenda pluralisme sedapat mungkin menjangkau
seluruh wilayah, dari kota higga pedalaman tanpa kecuali dan kedua metode-
pendekatan sosialisasi yang digunakan hendaknya berorientasi pada
peningkatan kadar kesadaran pemaknaan pluralime (agama) yang lebih
holistik- susbtantif dan bukan kompartemental-sloganistis.
Pluralisme yang hilang ( ! )
Sampai hari ini kenyataan pluralisme masih menjadi wacana yang
relatif kontroversial bagi kebanyakan kalangan agamawan. Bahkan menurut
Budhy Munawar-Rahma, pluralisme sudah merupakan salah satu masalah
yang telah menyulut perdebatan abadi sepanjang masa. Betapa tidak, di satu
sisi pluralisme secara relatif dipahami sebagai sebuah fenomena problematika
sosial dari perjalanan sejarah manusia yang jika tidak disatukan, maka akan
sangat potensial menyulut konflik berkepanjangan antar sesama manusia.
Dan karena itu, untuk menghidarinya Tuhan kemudian dengan penuh kasih
menurunkan agama sebagai jembatan bagi misi penyelamatan umat manusia
dari konflik. Pendeknya, semua umat manusia harus berada di bawah satu
payung agama. Sementara pada sisi lain pluralisme di pahami sebagai sebuah
kenyataan sisi kehidupan manusia yang bagaimanapun adanya tidak bisa
dirubah meski oleh agama sekalipun. Agama tidak memiliki otoritas untuk
mengadili kenyataan pluralisme. Agama dan pluralisme bukan sesekali
merupakan dua relitas yang musti didudukkan secara vis a vis. Sehingganya,
bagi setiap agama kenyataan pluralisme adalah sebuah god’s blessing. Dalam
mana, pluralisme pada gilirannya akan bernilai kontributif bagi dinamika
kehidupan dan keselamatan umat manusia, segenap pemeluk agama di dunia
dan di akhirat.
Dalam sejarah agama dan peradaban manapun, jika dikritisi, maka
konflik sosial yang terjadi cenderung disebabkan oleh pandangan pertama.
Pandangan ini merupakan pandangan mainstream umat beragama. Sebagai
contoh kasus misalnya adalah perang salib, perang antara umat Islam dan
umat Kristen. Tidak bisa dipungkiri, bahwa fakta sejarah ini sedikit
banyaknya telah memberikan andil kontributif bagi tumbuh suburnya sikap
sentimental, kecurigaan berlebihan dan berkepanjangan di antara kedua
belah pihak -- yang secara regeneratif terwariskan dengan baik hingga kini.
Bahkan pada tingkat yang lebih ekstrim fakta sejarah ini pulalah yang
menjadi peyebab lahirnya doktrin klaim kepemilikan kebenaran (the truth
claim) bagi agama tertentu dan menyalahkan agama lain. Pendeknya, sejara
telah begitu memainkan peran dominan sekaligus determinan dalam
mengkonstruksi sebuah cara pandang (welthangchaung, world view) beragama,
yang kemudian memberikan kontribusi "miring" bagi pemeluknya dalam
mengapresiasi pluralisme. Riskan sekali memang, karena cara pandang
terhadap agama berikut fakta sejarah umat beragama yang mengikutinya
ternyata terkadang nyaris tak ada bedanya dengan candu -- sebagaimana
ungkap Karl Marks -- jika terlalu kasar untuk disebut racun. Dan untuk itu,
harus dilakukan kinerja-kinerja intelektual yang seirus untuk penjernihannya.
Dalam sebuah karya kontrovesialnya berjudul Religious Dialoge and
Revolution, Hasan Hanafi menawarkan tiga kritik yang harus dilakukan
sebagai usaha kinerja intelektua itu: Pertama, melakukan kritik historis, yaitu
kritik yang dilakukan terhadap sejarah hingga ditemukan mutivasi orisinil
yang mengkonstruksi sebuah fakta sejarah. Kedua, keritik eidetik, yaitu krititk
yang dilakukan terhadap kitab suci untuk mendapatkan orisinalitas pesan-
pesan Tuhan dan bukan pesan-pesan yang dimanipulasi manusia. Dan Ketiga,
kritik praxys, yaitu kritik yang dilakukan terhadap bentuk aksi keberagamaan
yang selama ini berlangsung hingga ditemukan formula aksi yang orisinil
pula. Ketiga kritik ini merupakan gagasan elaboratif-integralistik, tidak bisa
dipisahkan antara satu dengan lainnya, satu kesatuan utuh dan sinergis.
Ketiganya merupakan piranti paridigma yang "mumpuni" dalam melakukan
kinerja intelektual mengkaji kemandulan cara pandang beragama dalam
mengapresiasi kenyataan pluralisme.
Pandang Hasan Hanafi ini jelas sekali dan bertujuan mengajak semua
kalangan agamawan untuk secara transparan melakukan otokritik terhadap
setiap cara pandangan agama yang dianut, khususnya pluralisme. Bagaimana
agar agama tidak dilihat sebagai sebuah fakta kebetulan sosiologi yang
berhadap-hadapan dengan pluralisme, akan tetapi justru bagaimana agar
hubungan keduanya dicandra sebagai sebuah kebenaran perenial, keharusan
universal.
Persolannya kemudian adalah mampukah setiap kelompok agamawan
atau penganut agama memenuhi tawaran gagasan kontroversial tersebut ?
Tidakkah tawaran itu hanya berdaya megundang kejenuhan, pesimisme dan
utopisme kalangan agamawan ? Akan tetapi, "plus-minus", begitulah pilihan
yang harus diambil jika kita tidak menghendaki "tragedi kemanusiaan" terus
berlanjut hanya karena persoalan ambiguisme cara pandangan beragama kita
tentang pluralisme atau dosa konflik warisan sejarah dan seterusnya.
Menuju ke arah kinerja intelektual dimaksud, dengan cukup berani
dan sarat kritik Alwi Shihab mencoba memberikan komentar tentang batasan
pengertian pluralisme. Pertama, pluralisme tidak semata-mata menunjuk
pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Kedua, pluralisme harus
dibedakan dengan kosmopolitanisme. Ketiga, tidak dapat disamakan dengan
relativisme dan Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkritisme, yang
menciptakan agama baru dengan memadukan unsur tertentu. Kritik Alwi ini
kiranya relatif cukup bisa digunakan untuk mengkonstruksi sebuah frame
kritik historis, eidetik dan praksis guna menentukan posisi harmoni agama
atau cara pandang beragama dan pluralisme dimaksud. Bahwa, hubungan
antara agama dan pluaralisme adalah sebuah hubungan kodrati, sehingga
tidak cukup dibedah dengan hanya bermodalkan asumsi atas nama
kemajemukan, kosmopolitanisme, relatifisme atau juga sinkritisisme agama.
Namun lebih dari itu adalah bagaimana sikap apresiatif pandangan agama
terhadap pluralisme bisa melembaga kedalam mentalitas para tokoh agama
dan lebih-lebih lagi setiap umat atau pemeluk agama.
Pada kategori inlah, menurut Cak Nur, pluralisme tidak dapat
dipahami dengan hanya mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk,
beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang hanya
menggambarkan kesan fragmentasi dan bukan pluralisme. Pluralisme juga
tidak boleh difahami sekedar sebagai "kebaikan negatif" (negative good), hanya
ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at
bay). Pluralisme harus dipahami sebagai "pertalian sejati dalam ikatan-ikatan
peradaban" (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan
adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia.
Pluralisme sebagai potensi dan khazanah bangsa Indonesia hari ini
kembali harus direkonstruksi jika bangsa Indonesia masih memiliki
optimisme membangun sebuah tata warga bangsa madani yang apresiatif
terhadap khazanah warga bangsa yang dimiliki. Harus ada komitmen kuat
dari kalangan agamawan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah
sebuah bangsa beragama, berbudaya atau beradaban yang menghormati dan
menjunjung tinggi pluralisme sebagai platform kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Slogan Bhineka Tunggal Ikanya (berbeda-beda tetapi
tetap satu) harus implementatif dalam sikap hidup keseharian penganut
agama.
Dalam potret demikian, maka segenap potensi bangsa terkhusus
pemerintah secara proaktif harus diarahkan pada upaya terobosan
melakukan pembenahan pengembangan kesadaran atas kenyataan
pluralisme bagi warga bangsanya. Karena selama ini berbagai usaha yang
dilakukan cenderung hanya bersifat klise atau semu. Apa yang terjadi selama
ini justru merupakan sebuah proses pengkebirian terhadap makna
pluralisme, seperti mobilisasi masa/organisasi menuju unifomisme dan
nasionalisme "pucat". Bentuk-bentuk pendidikan warga bangsa dengan pola-
pola seperti penataran P4 dalam berbagai bentuknya dan pemberlakukan
azas tunggal (Pancasila) misalnya adalah dua contoh kasus dari kebanyakan
kasus yang dapat dijadikan bukti pengingkaran akan potensi dan khazanah
bangsa.
Bangsa ini memerlukan sebuah pandangan pluralisme sebagai langkah
akomodatif terhadap pemeliharaan dan pengembangan khazanah potensi
bangsa secara internal dan kontributif bagi sebuah padangan hubungan
kemanusiaan antar pemeluk agama baik dalam konteks nasional dan
mondial. Untuk itu, sosialisasi pluralisme sebagai suatu proses edukasi dari
proyek kebajikan harus sebisanya diterjemahkan kedalam strategi
pelembagaan kesadaran pluralisme menjadi mentalitas setiap umat beragama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Proses ini harus dimulai dengan usaha-usaha penanaman kesadaran
pluralisme baik lewat lembaga-lembaga pendidikan formal, pelatihan-
pelatihan advokasi dan yang lebih penting adalah bagaimana agar ada
political will (kebijakan) pemerintah yang secara sungguh-sungguh
mendukung proses penyadaran dimaksud secara serius dan sistematis.
Misalkan saja, bagaimana agar supremasi hukum bisa menjadi garansi bagi
pembangunan mentalitas pluralisme warga bangsa. Atau juga seperti
gagasan Qasim Mathar, bahwa mungkin harus ada kinerja intelektual atau
fatwa kalangan agamawan yang "mengharamkan" tindakan menegasi
pluralisme oleh siapapun. "The only thing that we learn from history is that we
never learn from it" (Betrend Russel).Billahi Taufiq Walhidayah
Referensi Tulisan.
 Abdul Hisyam, Islam Dan Dialog Kemanusiaan Menyimak Metode
Studi Agama Wilfred Cantwell Smith, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan
Ulumul Quran Vol. III, No. 2, Jakarta: LSAF Tahun 1992.
 Alwi Shihab, Islam Inklusif "Menuju Sikap Terbukadalam Beragama, Cet.
III, Bandung: Mizan, 1998.
 Amin Abdullah, Pluralisme dan Pendidikan Tinjauan Materi dan
Metodologi Pengajaran Kalam dan Teologi dalan era Kemajemukan di
Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar "Pluralisme: Dialog dan
KonfliK", kerjasama Interfidei, DIAN dan The Asia Foudation, di
Makassar tanggal 21 Agustus 1999.
 Arnold J. Toynbee, Menyelamatkan Hari Depan Umat Manusia, Cet. I,
Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1988.
 Budy Munawar Rahman, dalam Komaruddin Hiidayat dan Muh.
Wahyuni Nafis (ed.), "Agama dan Masa Depan: Perspektif Filsafat
Perenial", Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1995.
 Budy Munawar Rahman, Membangun Sebuah Teologi Agama-Agama
Tarik Menarik Sikap Pluralitas Versus Sikap Ekslusif. Makalah
disampaikan pada Seminar "Pluralisme: Dialog dan KonfliK",
kerjasama Interfidei, DIAN dan The Asia Foudation, di Makassar
tanggal 21 Agustus 1999.
 Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi I. Cet. II, Jakarta: Puataka
Firdaus, 1997.
 Nurcholish Madjid, Islam Doktri dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis
Tentang Masalah Kemanusiaan dan Kemoderenan. Cet. II, Jakarta:
Paramadina, 1992.
 Nurcholish Madjid, "Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk
Generasi Mendatang". Jurnal Ulumul Quran Vol. IV, No. 1, Jakarta:
LSAF, 1992.
 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-Nilai Islam
Dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. II, Jakarta: Paramadina, 2000.
 Nurcholish Madjid, dalam Rark R. Woodward, Jalan Baru Islam
Memetakkan Paradigma Mutaakhir Islam Indinesia, Cet. I Bandung: Mizan,
1988.

Contenu connexe

Tendances

Konflik dan integrasi sosial oleh nurhakiki xi i is 1
Konflik dan integrasi sosial oleh nurhakiki xi i is 1Konflik dan integrasi sosial oleh nurhakiki xi i is 1
Konflik dan integrasi sosial oleh nurhakiki xi i is 1Nurhakiky
 
Makalah kel 3 manj konflik
Makalah kel 3 manj konflikMakalah kel 3 manj konflik
Makalah kel 3 manj konflikYusmiDarni
 
Pendekatan-Pendekatan Untuk Memahami Konflik
Pendekatan-Pendekatan Untuk Memahami KonflikPendekatan-Pendekatan Untuk Memahami Konflik
Pendekatan-Pendekatan Untuk Memahami KonflikChartika Chika
 
sosiologi "konflik, kekerasan, dan upaya penyelesaian"
sosiologi "konflik, kekerasan, dan upaya penyelesaian"sosiologi "konflik, kekerasan, dan upaya penyelesaian"
sosiologi "konflik, kekerasan, dan upaya penyelesaian"Dedi Saputra
 
Sifat dan Bentuk Interaksi sosial budaya dalam pembangunan nasional
Sifat dan Bentuk Interaksi sosial budaya dalam pembangunan nasionalSifat dan Bentuk Interaksi sosial budaya dalam pembangunan nasional
Sifat dan Bentuk Interaksi sosial budaya dalam pembangunan nasionalFathimah Aulia
 
Powerpoint hubungan sosial kelas 8
Powerpoint hubungan sosial kelas 8Powerpoint hubungan sosial kelas 8
Powerpoint hubungan sosial kelas 8Zakia N Rohma
 
Pengertian konflik sosial
Pengertian konflik sosialPengertian konflik sosial
Pengertian konflik sosialCimpakulRawa
 
Ppt konflik-xi
Ppt konflik-xiPpt konflik-xi
Ppt konflik-xiSiti Oyim
 
Makalah pranata politik
Makalah pranata politikMakalah pranata politik
Makalah pranata politikasky M
 
PENGUKURAN INTENSITAS KONFLIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUKJurnal
PENGUKURAN INTENSITAS KONFLIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUKJurnalPENGUKURAN INTENSITAS KONFLIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUKJurnal
PENGUKURAN INTENSITAS KONFLIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUKJurnalnorafifah05
 
Review Artikel Imaji Kebebasan Pluralitas
Review Artikel Imaji Kebebasan PluralitasReview Artikel Imaji Kebebasan Pluralitas
Review Artikel Imaji Kebebasan PluralitasNatalia Gultom
 
Konflik Sosial
Konflik SosialKonflik Sosial
Konflik SosialWestprog
 
Proses Terjadinya Konflik dan Teori Konflik Menurut Para Ahli
Proses Terjadinya Konflik dan Teori Konflik Menurut Para AhliProses Terjadinya Konflik dan Teori Konflik Menurut Para Ahli
Proses Terjadinya Konflik dan Teori Konflik Menurut Para AhliVanesia Nad
 
Psikologi Sosial - Resolusi Konflik dalam Perbedaan Budaya
Psikologi Sosial - Resolusi Konflik dalam Perbedaan BudayaPsikologi Sosial - Resolusi Konflik dalam Perbedaan Budaya
Psikologi Sosial - Resolusi Konflik dalam Perbedaan BudayaWulandari Rima Kumari
 

Tendances (20)

Konflik dan integrasi sosial oleh nurhakiki xi i is 1
Konflik dan integrasi sosial oleh nurhakiki xi i is 1Konflik dan integrasi sosial oleh nurhakiki xi i is 1
Konflik dan integrasi sosial oleh nurhakiki xi i is 1
 
Makalah kel 3 manj konflik
Makalah kel 3 manj konflikMakalah kel 3 manj konflik
Makalah kel 3 manj konflik
 
Pendekatan-Pendekatan Untuk Memahami Konflik
Pendekatan-Pendekatan Untuk Memahami KonflikPendekatan-Pendekatan Untuk Memahami Konflik
Pendekatan-Pendekatan Untuk Memahami Konflik
 
Bab vi power point
Bab vi power pointBab vi power point
Bab vi power point
 
sosiologi "konflik, kekerasan, dan upaya penyelesaian"
sosiologi "konflik, kekerasan, dan upaya penyelesaian"sosiologi "konflik, kekerasan, dan upaya penyelesaian"
sosiologi "konflik, kekerasan, dan upaya penyelesaian"
 
Modul proses sosial
Modul proses sosialModul proses sosial
Modul proses sosial
 
Prologue
ProloguePrologue
Prologue
 
Sifat dan Bentuk Interaksi sosial budaya dalam pembangunan nasional
Sifat dan Bentuk Interaksi sosial budaya dalam pembangunan nasionalSifat dan Bentuk Interaksi sosial budaya dalam pembangunan nasional
Sifat dan Bentuk Interaksi sosial budaya dalam pembangunan nasional
 
Pengertian sosial
Pengertian sosialPengertian sosial
Pengertian sosial
 
Powerpoint hubungan sosial kelas 8
Powerpoint hubungan sosial kelas 8Powerpoint hubungan sosial kelas 8
Powerpoint hubungan sosial kelas 8
 
Pengertian konflik sosial
Pengertian konflik sosialPengertian konflik sosial
Pengertian konflik sosial
 
Konflik dan kekerasan
Konflik dan kekerasanKonflik dan kekerasan
Konflik dan kekerasan
 
Ppt konflik-xi
Ppt konflik-xiPpt konflik-xi
Ppt konflik-xi
 
Makalah pranata politik
Makalah pranata politikMakalah pranata politik
Makalah pranata politik
 
Bentuk-Bentuk Hubungan Sosial
Bentuk-Bentuk Hubungan SosialBentuk-Bentuk Hubungan Sosial
Bentuk-Bentuk Hubungan Sosial
 
PENGUKURAN INTENSITAS KONFLIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUKJurnal
PENGUKURAN INTENSITAS KONFLIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUKJurnalPENGUKURAN INTENSITAS KONFLIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUKJurnal
PENGUKURAN INTENSITAS KONFLIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUKJurnal
 
Review Artikel Imaji Kebebasan Pluralitas
Review Artikel Imaji Kebebasan PluralitasReview Artikel Imaji Kebebasan Pluralitas
Review Artikel Imaji Kebebasan Pluralitas
 
Konflik Sosial
Konflik SosialKonflik Sosial
Konflik Sosial
 
Proses Terjadinya Konflik dan Teori Konflik Menurut Para Ahli
Proses Terjadinya Konflik dan Teori Konflik Menurut Para AhliProses Terjadinya Konflik dan Teori Konflik Menurut Para Ahli
Proses Terjadinya Konflik dan Teori Konflik Menurut Para Ahli
 
Psikologi Sosial - Resolusi Konflik dalam Perbedaan Budaya
Psikologi Sosial - Resolusi Konflik dalam Perbedaan BudayaPsikologi Sosial - Resolusi Konflik dalam Perbedaan Budaya
Psikologi Sosial - Resolusi Konflik dalam Perbedaan Budaya
 

Similaire à Agama dan pluralisme

PPT KONFLIK SOSIAL 1.pptx
PPT KONFLIK SOSIAL 1.pptxPPT KONFLIK SOSIAL 1.pptx
PPT KONFLIK SOSIAL 1.pptxWidiyaWati24
 
Pluralisme dan gender
Pluralisme dan genderPluralisme dan gender
Pluralisme dan genderIrwan Fauzi
 
Pertemuan Ke-7.pptx
Pertemuan Ke-7.pptxPertemuan Ke-7.pptx
Pertemuan Ke-7.pptxLiah45
 
Makalah m. zainuddin
Makalah m. zainuddinMakalah m. zainuddin
Makalah m. zainuddinFelix Juanto
 
Dialog etika dalam pemersatu Bangsa
Dialog etika dalam pemersatu BangsaDialog etika dalam pemersatu Bangsa
Dialog etika dalam pemersatu BangsaTri Cahyono
 
PPT RASIONALISME
PPT RASIONALISMEPPT RASIONALISME
PPT RASIONALISMEWulan280944
 
Multikulturalisme di Indonesia dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat
Multikulturalisme di Indonesia dan Pengaruhnya Bagi MasyarakatMultikulturalisme di Indonesia dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat
Multikulturalisme di Indonesia dan Pengaruhnya Bagi MasyarakatAnissatul Mukhoiriyah
 
6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx
6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx
6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptxSolin123
 
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.pptMANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.pptAskaria Jonison
 
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.pptMANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.pptAskaria Jonison
 
Perlu rekonstruksi pembelajaran agama menuju pendidikan multikultur
Perlu rekonstruksi pembelajaran agama menuju pendidikan multikulturPerlu rekonstruksi pembelajaran agama menuju pendidikan multikultur
Perlu rekonstruksi pembelajaran agama menuju pendidikan multikulturFacebook in Education
 
1. multikulturalisme-1-11
1. multikulturalisme-1-111. multikulturalisme-1-11
1. multikulturalisme-1-11Nisa Hidayat
 
Cabaran cabaran dalam mengeratkan hubungan etnik
Cabaran cabaran dalam mengeratkan hubungan etnikCabaran cabaran dalam mengeratkan hubungan etnik
Cabaran cabaran dalam mengeratkan hubungan etnikCik BaCo
 
Makalah pendidikan kewarganegaraan peran pemuda dalam mengembangkan nasionalisme
Makalah pendidikan kewarganegaraan peran pemuda dalam mengembangkan nasionalismeMakalah pendidikan kewarganegaraan peran pemuda dalam mengembangkan nasionalisme
Makalah pendidikan kewarganegaraan peran pemuda dalam mengembangkan nasionalismeKhairulAnwarGenaliwe
 

Similaire à Agama dan pluralisme (20)

PPT KONFLIK SOSIAL 1.pptx
PPT KONFLIK SOSIAL 1.pptxPPT KONFLIK SOSIAL 1.pptx
PPT KONFLIK SOSIAL 1.pptx
 
Krisis nasionalisme
Krisis nasionalismeKrisis nasionalisme
Krisis nasionalisme
 
Multietnik yapi
Multietnik yapiMultietnik yapi
Multietnik yapi
 
Makalah multikultural
Makalah multikulturalMakalah multikultural
Makalah multikultural
 
Pluralisme dan gender
Pluralisme dan genderPluralisme dan gender
Pluralisme dan gender
 
Pertemuan Ke-7.pptx
Pertemuan Ke-7.pptxPertemuan Ke-7.pptx
Pertemuan Ke-7.pptx
 
Makalah m. zainuddin
Makalah m. zainuddinMakalah m. zainuddin
Makalah m. zainuddin
 
Makalah multikultural
Makalah multikulturalMakalah multikultural
Makalah multikultural
 
TENTANG Moderasi Beragama
TENTANG Moderasi BeragamaTENTANG Moderasi Beragama
TENTANG Moderasi Beragama
 
Dialog etika dalam pemersatu Bangsa
Dialog etika dalam pemersatu BangsaDialog etika dalam pemersatu Bangsa
Dialog etika dalam pemersatu Bangsa
 
Pluralitas
PluralitasPluralitas
Pluralitas
 
PPT RASIONALISME
PPT RASIONALISMEPPT RASIONALISME
PPT RASIONALISME
 
Multikulturalisme di Indonesia dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat
Multikulturalisme di Indonesia dan Pengaruhnya Bagi MasyarakatMultikulturalisme di Indonesia dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat
Multikulturalisme di Indonesia dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat
 
6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx
6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx
6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx
 
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.pptMANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
 
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.pptMANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESEDERAJATAN.ppt
 
Perlu rekonstruksi pembelajaran agama menuju pendidikan multikultur
Perlu rekonstruksi pembelajaran agama menuju pendidikan multikulturPerlu rekonstruksi pembelajaran agama menuju pendidikan multikultur
Perlu rekonstruksi pembelajaran agama menuju pendidikan multikultur
 
1. multikulturalisme-1-11
1. multikulturalisme-1-111. multikulturalisme-1-11
1. multikulturalisme-1-11
 
Cabaran cabaran dalam mengeratkan hubungan etnik
Cabaran cabaran dalam mengeratkan hubungan etnikCabaran cabaran dalam mengeratkan hubungan etnik
Cabaran cabaran dalam mengeratkan hubungan etnik
 
Makalah pendidikan kewarganegaraan peran pemuda dalam mengembangkan nasionalisme
Makalah pendidikan kewarganegaraan peran pemuda dalam mengembangkan nasionalismeMakalah pendidikan kewarganegaraan peran pemuda dalam mengembangkan nasionalisme
Makalah pendidikan kewarganegaraan peran pemuda dalam mengembangkan nasionalisme
 

Agama dan pluralisme

  • 1. AGAMA DAN PLURALISME (Problematika Konflik Sosial Kebangsaan) Oleh: Zet. A. Sandia* (Simpatisan berat Forum Dialog Antar Kita Sulawesi Selatan, sementara ini aktif di LSM sebagai sekretaris Yayasan Insan Cita (YIC) Pusat Makassar dan Koordinator Human Right and Supremacy of Law Division pada Lembaga Studi Insan Cita (LSIC) Makassar.) Menurut Bernard Lewis, seperti kutip Cak Nur – sapaan pendek Nurcholish Madjid -- bahwa toleransi sebagai manifestasi sikap pluralisme adalah fenomena baru dalam wacana intelektual dengan konsentrasi kepelbagaian agama di Indonesia. Atau persisnya, fenomena ini hadir beriringan dengan periode awal kemunculan gerakan intelektual-kultural di tahun 70-an hingga 80-an yang dimotori oleh figur-figur seperti Harun Nasution, Mukti Ali, Munawir Sazali, Cak Nur, Abdurrahman Wahid, Romo Manguwijaya, Fiktor Tanja, Frans Magnis Suseno dan TH. Sumartana misalnya. Dan tidak tanggung-tanggung, kuatnya tensi wacana ini telah melahirkan sebongkah konsepsi di seputar persoalan toleransi atau kerukunan antar umat beragama khusunya dan sosial berbudaya dalam makna generiknya. Berangkat dari situ, kiranya menarik sekali dicermati kehadirannya sebagai penawar, harapan positif, bagi kalangan penganut agama dan agamawan atau dunia keagamaan dalam merenda kehidupan keberagamaan yang lebih kualiatif pada masa mendatang. Paling tidak, jika Arnold J. Toynbee dan Cak Nur kemudian mempertanyakan "apakah ada harapan baik bagi kehidupan beragama di masa depan ? atau lebih prinsipil lagi: adakah kebaikan dalam kehidupan keagamaan bagi generasi yang akan datang" ? maka kesungguhan dan keseriusan mengembangkan wacana pluralisme berikut pembumiannya dapat digarisbawahi sebagai sebuah usaha apresiatif dengan bobot sensifitas dan kontekstualitas yang luar bisa. Untuk kasus Indonesia, kehendak tulus mengembangkan wacana ini adalah sebuah pilihan sikap dan manifestasi responsibility sosok kompartemen warga bangsa yang memiliki sence of pluralism. Apalagi kehendak itu maujud di saat kondisi bangsa – yang lebih dari satu dasawarsa belakangan secara tak henti-hentinya -- dihadapkan pada sederet turbulance dengan platform SARA (suku, Agama, ras, antar golongan) dan tingkat varitas konflik sosial (ekonomi, politik, hukum) yang teramat kompleks, tak teridentifikasi. Kontradiksi berujung ambiguisme. Sebagai misal, dalam rada tanya, kita selalu dihadapkan pada persoalan: kenapa sehingga agama dalam beberapa kasus kerusuhan selalu diasumsikan sebagai kuda tunggangan politik atau keduanya harus bisa diidentifikasi secara proporsional kemurnian kerusuhan-kerusuhan tersebut, agamakah atau politik ? Lalu, apakah beberapa konflik antar etnik selalu merupakan gambaran nyata "wajah" kesenjangan dan ketidakadilan sosio-ekonomi atau keduanya sungguh tidak
  • 2. semestinya dihubung-hubungkann ? Demikian juga, betulkah tuntutan kemerdekaan di beberapa wilayah Republik ini relatif cukup dimengerti sebagai dampak langsung dominasi serta diskriminasi oleh dan terhadap orang/komunitas tertentu secara historis, politik, ekonomi, hukum dan budaya atau barangkali masih ada persoalan lain yang sengaja dikatupi lantaran kondisinya yang rentan ? Persoalan-persolan tersebut hingga kini masih kayak benang kusut, gamang. Belum ditemukan formulasi yang cocok untuk penyelesaiannya. Dan sejauh ini, kalaupun ada upaya ke arah itu maka cenderung sangat struktural, formalistik dan serimonial belaka. Contoh yang acap kali muncul ke permukaan adalah seperti perintah mencari kambing hitam, aktor intelektual atau provokator, pengerahan masa (banser, satgas atau pasukan jihad), pegelaran istighosah, ajakan memelihara persatuan dan kesatuan, tobat nasional, konsolidasi nasional, Indonesia berdoa, paling buntut adalah rembug persaudaraan Indonesia dan entah apalagi nanti. Padahal, penyelesaian kompleksitas persoalan agama atau politik, etno sentris atau ketidakadilan sosial-ekonomi dan dominasi-diskriminasi atau merdeka tidak cukup diselesaikan dengan mengandalkan gerakan dan "teriakan" demikian. Secara tentatif, bentuk solusi struktural, formalistik dan serimonial ini hanya berdaya sebagai terapi psikologis memenuhi hajat politik, ekonomi, kemerdekaan, agama atau etnik komunitas yang berkonflik. Sekali lagi, upaya-upaya semacam itu tidak cukup mumpuni menyelesaikan persoalan dan bahkan cenderungan lebih terbuka bagi pengawetan dan penguatan potensi distorsi sosial atau jamrud chaos yang bakal tak berkesudahan (the endless conflict). Pada plataran demikian, tulisan ini mencoba menawarkan sebuah perspektif sebagai katalisator menerjemahkan berbagai problematika konflik sosial kebangsaan yang kompleks itu kedalam kerangka hubungan agama dan pluralisme. Sudah barang tentu, dengan penuh harap tawaran ini nantinya berenergi mengkonstruksi seuah way out berbagai konflik sosial kebangsaan yang tenjadi, disamping untuk pengembangan sebuah tata atau pandangan dunia wacana keberagamaan, kepelbagaian, kemajemukan (pluralisme) yang lebih akomodatif, kontekstual dan mendepan. "Mengkalkulasi" Agama (?) Sebuah hasil penelitian tentang penyebab kerusuhan yang disusun oleh Ipong S. Azhar, menemukan fakta bahwa hampir tidak ditemukan adanya responden yang berdalih bahwa kerusuhan-kerusahan yang terjadi sejauh ini disebabkan oleh sentimen agama. Ini mengindikasikan bahwa semua konlfik sosial yang pernah ada, dengan segenap variasi background (politik, ekonomi maupun hukum dan seterusnya) sungguh tidak memiliki korelasi sama sekali dengan agama. Lewat temuan itu, bukan tidak menutup kemungkinan, Ipong hendak menunjukan proporsionaltas adikodrati agama, bahwa agama adalah agama, agama adalah kebenaran, agama tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran, sehingga apa saja yang bertentangan dengan kebenaran berarti
  • 3. bertolak belakang dengan atau bukanlah agama. Cukuplah sebagai indikasi, kata Cak Nur, bahwa suatu agama atau kepercayaan tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang suci, yaitu kecenderungan kepada kebenaran. Sebagi contohnya, jika agama mengajarkan tentang pluralisme, saling menghormati atau toleransi antara sesama manusia, pemeluk-pemeluk agama, sementara yang terjadi adalah konflik antar penganut agama, maka apapun simbol agama yang digunakan dalam konflik sosial tersebut sesekali bukanlah sesuatu yang secara langsung bisa saja dengan enteng diasosiasikan kepada agama atau gerakan keagamaan. Tesis ini jelas belum mewakili segenap umat manusia beragama dan masih membutuhkan pengkajian lebih dalam lagi (analisa, kritisasi dan komparasi studi dengan konsentrasi sama). Sebagai wacana, kesimpulan Ipong tersebut dalam batas-batas tertentu relatif masih merupakan asumsi-asumsi yang bisa saja benar dan bisa juga sebaliknya. Dalam pengertian bahwa untuk menghindari penilaian a priori dan subyektif terhadap keterlibatan atau ketidakterlibatan agama dalam setiap benturan atau konflik sosial maka perlu dilakukan pembuktian atau pengujian lebih dulu. Apakah sensifitas agama itu identik dengan atau kecenederungan provokatif ? Apakah agama masih disebut agama meski disalahgunakan ? Tolerankah bahwa tindakan brutal atas nama agama dapat ditolernsi sebagai tindakah agamais ? Atau agama memang membenarkan atau menghalalkan segala cara dalam menjalankan misi untuk mencapai tujuan sepanjang itu dilakukan demi agama ? dan akhirnya kapan agama tidak mesti dipertentangankan dengan usaha-usama kemanusiaan ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas hendaknya diikuti dengan usaha-usaha identifikasi dan verifikasi persoalan hingga dapat ditentukan kejelasan motif benturan atau konflik sosial yang terjadi. Agamakah, politik, ekonomi, etnik atau privasi. Sehingga, tidak akan ada lagi asumsi bahwa konflik sosial baik vertikal maupun horizontal baik yang terjadi di Tanjung Priok, Lampung, Aceh, Banyuangi, Tasikmalaya, Sambas, Timor Timur, Irian Jaya, Ambon, Maluku Utara dan Poso itu dipicu oleh ekstrimisme beragama terbonsai politik atau etnik berkedok ketidakadilan sosial-ekonomi atau juga kehendak merdeka bertopeng dominasi-diskriminatif dan seterusnya. Akan tetapi, sudah bisa dipastikan bahwa konflik itu memang benar-benar bernar adalah persoalan politik tok, etnik saja atau agama an sich. Konflik-konflik sosial di atas, dalam konteks kehidupaan berbangsa jelas sekali merupakan sebuah "tamparan" keras atas citra cita pandangan yang selama ini melekat pada bangsa Indonesia, sebagai bangsa plural, berbudaya dan religius atau berperadaban. Betapa tidak, potensi, khazanah dan kerakteristik warga bangsa yang begitu potensial membangun sebuah tatanan hidup berbangsa yang apresiatif terhadap pluralisme, demokrasi dan hak azasi manusia akhirnya menjadi sesuatu yang kontra produktif. Ini jelas sangat memprihatinkan, patut disayayangkan karena ledakan konflik-konflik sosial tersebut adalah tragedi kemanusiaan (humanitarian disaster), kecelakaan dan nestapa sejarah bangsa Indonesia.
  • 4. Sudah barang tentu, tanpa menegasi fakta pahit sejarah bangsa, adalah arif jika kesemua fakta itu dijadikan sebagai modus ponen pengembangan misi kemanusiaan atau -- yang oleh Benyamin Frenklin sesebutnya dengan instihah -- proyek kebajikan ke depan. Dan jika demikian adanya, maka yang menjadi pertanyan sekarang adalah masih potensialkah agama mengemban misi kemanusiaan atau proyek kebajikan itu ? karena sosok seperti Sydney Hook misalnya meragukan dan mempertanyakannya: kalau agama itu memang benar namun tidak mempengaruhi para pemeluknya, lalu bagaimana membutikan kebenaran agama yang benar namun tidak mempengaruhi watak pemeluknya ? Adakah agama itu masih seperti yang digambarkan A. N. Wilson, bahwa ia selalu mengajak kepada yang paling luhur, paling murni dan paling tinggi dalam jiwa manusia. Atau, secara otokritis harus dipertanyakan, apa guna beragama jika hanya untuk "berkonflik ria". Kritik "padat makna" ini sudah pasti menghentak kesadaran religiusitas umat beragama secara emosional penuh ekstrim. Namun begitu, ada hal diluar kebiasaan yang harus dicandra dari kritik ini, bahwa cara pandang terhadap agama selamanya berimplikasi pada pereduksian makna agama itu sendiri. Tarulah, Wilfred Cantwel Smith yang lebih suka menggunakan istilah faith dari pada religion dalam memaknai agama. Atau dengan kata lain, agama pada tingkat ini jangan sampai lebih menonjolkan sisi eksklusifismenya, truth claime atau arogansi beragama. Dan bukan inklusifime, toleransi atau kearifan beragaman. Kita mungkin tidak akan pernah sama sekali memiliki kebulatan tekad atau keberanian menjatuhkan vonis "silang" pada agama begitu saja. Walau itu juga tidak berarti bahwa kita harus kehilangan nyali untuk melakukan kritik terhadap cara pandang beragama. Kritik terhadap agama atau cara pandang beragama adalah kelaziman. Dan agama memang tidak kebal kritik, apalagi cara pandang beragama. Artinya, terlepasa dari adanya fakta yang menunjukan ketidakmampuan agama mempengaruhi pemeluknya atau bahwa agama mengajarkan tentang keluhuran, kemurnian dan ketinggian dalam jiwa manusia, agama dan cara pandang beragama tetap harus dikritisi ? Kritik bagaimanapun akan selalu menjadi kebutuhan agama kapan dan dimanapun, karena hanya kritik yang mampu membuat agama dan cara pandang beragama dinamis dan diterima sebagai jalan hidup manusia. Kritik terhhdap agama dan cara pandang beragama merupakan ikhtiar pembebasan kesadaran, pencerahan dan penignkatan kualitas hidup manusia. Jadi kritik itu sendiri adalah keharusan beragama. Olehnya itu, sudah menjadi tanggungjawab bersama untuk secara otokritik melakukan berbagai pembongkaran atau rekonstruksi terhadap cara pandang tokoh berikut penganut agama demi pengembangan misi kemanusiaan atau proyek kebajikan dimaksud. Artinya, semua agama harus memiliki kesamaan tanggung jawab misi tunggal yaitu memberi keselamatan bagi kehidupan umat manusia di dunia dan sesudahnya. Berangkat dari situ, maka penguatan pemahaman terhadap pluralisme, kepelbagaian atau kemajemukan agama menjadi agenda yang
  • 5. intenstas sosialisasi harus terus ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. Dalam pengertian, pertma agenda pluralisme sedapat mungkin menjangkau seluruh wilayah, dari kota higga pedalaman tanpa kecuali dan kedua metode- pendekatan sosialisasi yang digunakan hendaknya berorientasi pada peningkatan kadar kesadaran pemaknaan pluralime (agama) yang lebih holistik- susbtantif dan bukan kompartemental-sloganistis. Pluralisme yang hilang ( ! ) Sampai hari ini kenyataan pluralisme masih menjadi wacana yang relatif kontroversial bagi kebanyakan kalangan agamawan. Bahkan menurut Budhy Munawar-Rahma, pluralisme sudah merupakan salah satu masalah yang telah menyulut perdebatan abadi sepanjang masa. Betapa tidak, di satu sisi pluralisme secara relatif dipahami sebagai sebuah fenomena problematika sosial dari perjalanan sejarah manusia yang jika tidak disatukan, maka akan sangat potensial menyulut konflik berkepanjangan antar sesama manusia. Dan karena itu, untuk menghidarinya Tuhan kemudian dengan penuh kasih menurunkan agama sebagai jembatan bagi misi penyelamatan umat manusia dari konflik. Pendeknya, semua umat manusia harus berada di bawah satu payung agama. Sementara pada sisi lain pluralisme di pahami sebagai sebuah kenyataan sisi kehidupan manusia yang bagaimanapun adanya tidak bisa dirubah meski oleh agama sekalipun. Agama tidak memiliki otoritas untuk mengadili kenyataan pluralisme. Agama dan pluralisme bukan sesekali merupakan dua relitas yang musti didudukkan secara vis a vis. Sehingganya, bagi setiap agama kenyataan pluralisme adalah sebuah god’s blessing. Dalam mana, pluralisme pada gilirannya akan bernilai kontributif bagi dinamika kehidupan dan keselamatan umat manusia, segenap pemeluk agama di dunia dan di akhirat. Dalam sejarah agama dan peradaban manapun, jika dikritisi, maka konflik sosial yang terjadi cenderung disebabkan oleh pandangan pertama. Pandangan ini merupakan pandangan mainstream umat beragama. Sebagai contoh kasus misalnya adalah perang salib, perang antara umat Islam dan umat Kristen. Tidak bisa dipungkiri, bahwa fakta sejarah ini sedikit banyaknya telah memberikan andil kontributif bagi tumbuh suburnya sikap sentimental, kecurigaan berlebihan dan berkepanjangan di antara kedua belah pihak -- yang secara regeneratif terwariskan dengan baik hingga kini. Bahkan pada tingkat yang lebih ekstrim fakta sejarah ini pulalah yang menjadi peyebab lahirnya doktrin klaim kepemilikan kebenaran (the truth claim) bagi agama tertentu dan menyalahkan agama lain. Pendeknya, sejara telah begitu memainkan peran dominan sekaligus determinan dalam mengkonstruksi sebuah cara pandang (welthangchaung, world view) beragama, yang kemudian memberikan kontribusi "miring" bagi pemeluknya dalam mengapresiasi pluralisme. Riskan sekali memang, karena cara pandang terhadap agama berikut fakta sejarah umat beragama yang mengikutinya ternyata terkadang nyaris tak ada bedanya dengan candu -- sebagaimana ungkap Karl Marks -- jika terlalu kasar untuk disebut racun. Dan untuk itu, harus dilakukan kinerja-kinerja intelektual yang seirus untuk penjernihannya.
  • 6. Dalam sebuah karya kontrovesialnya berjudul Religious Dialoge and Revolution, Hasan Hanafi menawarkan tiga kritik yang harus dilakukan sebagai usaha kinerja intelektua itu: Pertama, melakukan kritik historis, yaitu kritik yang dilakukan terhadap sejarah hingga ditemukan mutivasi orisinil yang mengkonstruksi sebuah fakta sejarah. Kedua, keritik eidetik, yaitu krititk yang dilakukan terhadap kitab suci untuk mendapatkan orisinalitas pesan- pesan Tuhan dan bukan pesan-pesan yang dimanipulasi manusia. Dan Ketiga, kritik praxys, yaitu kritik yang dilakukan terhadap bentuk aksi keberagamaan yang selama ini berlangsung hingga ditemukan formula aksi yang orisinil pula. Ketiga kritik ini merupakan gagasan elaboratif-integralistik, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, satu kesatuan utuh dan sinergis. Ketiganya merupakan piranti paridigma yang "mumpuni" dalam melakukan kinerja intelektual mengkaji kemandulan cara pandang beragama dalam mengapresiasi kenyataan pluralisme. Pandang Hasan Hanafi ini jelas sekali dan bertujuan mengajak semua kalangan agamawan untuk secara transparan melakukan otokritik terhadap setiap cara pandangan agama yang dianut, khususnya pluralisme. Bagaimana agar agama tidak dilihat sebagai sebuah fakta kebetulan sosiologi yang berhadap-hadapan dengan pluralisme, akan tetapi justru bagaimana agar hubungan keduanya dicandra sebagai sebuah kebenaran perenial, keharusan universal. Persolannya kemudian adalah mampukah setiap kelompok agamawan atau penganut agama memenuhi tawaran gagasan kontroversial tersebut ? Tidakkah tawaran itu hanya berdaya megundang kejenuhan, pesimisme dan utopisme kalangan agamawan ? Akan tetapi, "plus-minus", begitulah pilihan yang harus diambil jika kita tidak menghendaki "tragedi kemanusiaan" terus berlanjut hanya karena persoalan ambiguisme cara pandangan beragama kita tentang pluralisme atau dosa konflik warisan sejarah dan seterusnya. Menuju ke arah kinerja intelektual dimaksud, dengan cukup berani dan sarat kritik Alwi Shihab mencoba memberikan komentar tentang batasan pengertian pluralisme. Pertama, pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Ketiga, tidak dapat disamakan dengan relativisme dan Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkritisme, yang menciptakan agama baru dengan memadukan unsur tertentu. Kritik Alwi ini kiranya relatif cukup bisa digunakan untuk mengkonstruksi sebuah frame kritik historis, eidetik dan praksis guna menentukan posisi harmoni agama atau cara pandang beragama dan pluralisme dimaksud. Bahwa, hubungan antara agama dan pluaralisme adalah sebuah hubungan kodrati, sehingga tidak cukup dibedah dengan hanya bermodalkan asumsi atas nama kemajemukan, kosmopolitanisme, relatifisme atau juga sinkritisisme agama. Namun lebih dari itu adalah bagaimana sikap apresiatif pandangan agama terhadap pluralisme bisa melembaga kedalam mentalitas para tokoh agama dan lebih-lebih lagi setiap umat atau pemeluk agama. Pada kategori inlah, menurut Cak Nur, pluralisme tidak dapat dipahami dengan hanya mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk,
  • 7. beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang hanya menggambarkan kesan fragmentasi dan bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh difahami sekedar sebagai "kebaikan negatif" (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai "pertalian sejati dalam ikatan-ikatan peradaban" (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia. Pluralisme sebagai potensi dan khazanah bangsa Indonesia hari ini kembali harus direkonstruksi jika bangsa Indonesia masih memiliki optimisme membangun sebuah tata warga bangsa madani yang apresiatif terhadap khazanah warga bangsa yang dimiliki. Harus ada komitmen kuat dari kalangan agamawan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa beragama, berbudaya atau beradaban yang menghormati dan menjunjung tinggi pluralisme sebagai platform kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Slogan Bhineka Tunggal Ikanya (berbeda-beda tetapi tetap satu) harus implementatif dalam sikap hidup keseharian penganut agama. Dalam potret demikian, maka segenap potensi bangsa terkhusus pemerintah secara proaktif harus diarahkan pada upaya terobosan melakukan pembenahan pengembangan kesadaran atas kenyataan pluralisme bagi warga bangsanya. Karena selama ini berbagai usaha yang dilakukan cenderung hanya bersifat klise atau semu. Apa yang terjadi selama ini justru merupakan sebuah proses pengkebirian terhadap makna pluralisme, seperti mobilisasi masa/organisasi menuju unifomisme dan nasionalisme "pucat". Bentuk-bentuk pendidikan warga bangsa dengan pola- pola seperti penataran P4 dalam berbagai bentuknya dan pemberlakukan azas tunggal (Pancasila) misalnya adalah dua contoh kasus dari kebanyakan kasus yang dapat dijadikan bukti pengingkaran akan potensi dan khazanah bangsa. Bangsa ini memerlukan sebuah pandangan pluralisme sebagai langkah akomodatif terhadap pemeliharaan dan pengembangan khazanah potensi bangsa secara internal dan kontributif bagi sebuah padangan hubungan kemanusiaan antar pemeluk agama baik dalam konteks nasional dan mondial. Untuk itu, sosialisasi pluralisme sebagai suatu proses edukasi dari proyek kebajikan harus sebisanya diterjemahkan kedalam strategi pelembagaan kesadaran pluralisme menjadi mentalitas setiap umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Proses ini harus dimulai dengan usaha-usaha penanaman kesadaran pluralisme baik lewat lembaga-lembaga pendidikan formal, pelatihan- pelatihan advokasi dan yang lebih penting adalah bagaimana agar ada political will (kebijakan) pemerintah yang secara sungguh-sungguh mendukung proses penyadaran dimaksud secara serius dan sistematis. Misalkan saja, bagaimana agar supremasi hukum bisa menjadi garansi bagi pembangunan mentalitas pluralisme warga bangsa. Atau juga seperti gagasan Qasim Mathar, bahwa mungkin harus ada kinerja intelektual atau fatwa kalangan agamawan yang "mengharamkan" tindakan menegasi
  • 8. pluralisme oleh siapapun. "The only thing that we learn from history is that we never learn from it" (Betrend Russel).Billahi Taufiq Walhidayah Referensi Tulisan.  Abdul Hisyam, Islam Dan Dialog Kemanusiaan Menyimak Metode Studi Agama Wilfred Cantwell Smith, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Quran Vol. III, No. 2, Jakarta: LSAF Tahun 1992.  Alwi Shihab, Islam Inklusif "Menuju Sikap Terbukadalam Beragama, Cet. III, Bandung: Mizan, 1998.  Amin Abdullah, Pluralisme dan Pendidikan Tinjauan Materi dan Metodologi Pengajaran Kalam dan Teologi dalan era Kemajemukan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar "Pluralisme: Dialog dan KonfliK", kerjasama Interfidei, DIAN dan The Asia Foudation, di Makassar tanggal 21 Agustus 1999.  Arnold J. Toynbee, Menyelamatkan Hari Depan Umat Manusia, Cet. I, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1988.  Budy Munawar Rahman, dalam Komaruddin Hiidayat dan Muh. Wahyuni Nafis (ed.), "Agama dan Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial", Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1995.  Budy Munawar Rahman, Membangun Sebuah Teologi Agama-Agama Tarik Menarik Sikap Pluralitas Versus Sikap Ekslusif. Makalah disampaikan pada Seminar "Pluralisme: Dialog dan KonfliK", kerjasama Interfidei, DIAN dan The Asia Foudation, di Makassar tanggal 21 Agustus 1999.  Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi I. Cet. II, Jakarta: Puataka Firdaus, 1997.  Nurcholish Madjid, Islam Doktri dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Kemanusiaan dan Kemoderenan. Cet. II, Jakarta: Paramadina, 1992.  Nurcholish Madjid, "Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang". Jurnal Ulumul Quran Vol. IV, No. 1, Jakarta: LSAF, 1992.  Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. II, Jakarta: Paramadina, 2000.  Nurcholish Madjid, dalam Rark R. Woodward, Jalan Baru Islam Memetakkan Paradigma Mutaakhir Islam Indinesia, Cet. I Bandung: Mizan, 1988.