Laporan tersebut membahas tentang situasi kebebasan pers, bisnis media, dan kesejahteraan jurnalis di Jakarta pada tahun 2013. Beberapa poin penting yang diangkat antara lain meningkatnya ancaman terhadap independensi media menjelang pemilu 2014 karena semakin banyak politisi yang juga memiliki media, serta penurunan peringkat kebebasan pers Indonesia di mata lembaga internasional.
2. 2
Potret Pers Jakarta
Laporan Situasi Kebebasan Pers, Bisnis Media,
dan Kesejahteraan Jurnalis di Jakarta
Penulis: Abdul Manan
Penerbit: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Juni 2013
3. 3
Daftar Isi
Pengantar
00
Bab I: Kebebasan Pers di Jakarta
I.1 Menggugat Independensi Media
I.2 Indonesia dalam Indeks Lembaga Internasional
I.3 Indeks Kebebasan Pers Jakarta
I.4 Ancaman (Masih) dari Regulasi
00
00
00
00
00
Bab II: Bisnis Media dan Kesejahteraan Jurnalis
II.1 Bisnis yang Terus Menggeliat
II.2 Dominasi TV dalam Perebutan Kue Iklan
II.3 Kesejateraan Jurnalis dalam Sorotan
II.4 Serikat Pekerja Media di Jakarta
00
00
00
00
00
Bab III: Etika Media dan Jurnalis
III.1 Pengaduan yang Meningkat
III.2 Pelanggaran Etika dalam Liputan Pilkada
II.3 Sejumlah Isu Etik Lainnya
00
00
00
00
Lampiran
• Profil Tiga Group Media
• Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis di Jakarta 2012
00
00
4. 4
Daftar Tabel
Tabel I.1 Reporters Sans Frontiers soal Peringkat Indonesia (2002-2012)
Tabel I.2 Freedom House soal Indeks Kebebasan Pers Indonesia (2002-2010)
Tabel I.3 Indeks Kebebasan Pers Provinsi di Indonesia
Tabel I.4 Bentuk Pelanggaran Kebebasan Pers di Jakarta 2012
Tabel II.1 Jumlah Media Cetak dan Tirasnya 2010-2012
Tabel II.2 Media dan Tirasnya di Jakarta 2008-2012
Tabel II.3 Data Stasiun TV dan Radio 2011-2012
Tabel II.4 Pengguna Internet Indonesia 1998-2015
Tabel: II.5 Perolehan Iklan Secara Nasional 2006 - 2012
Tabel II.6 Belanja Iklan di Media di Indonesia 2011 - 2012
Tabel II.7 Kategori Iklan untuk Semua Media 2011-2013
Tabel II.8 Taksiran Perolehan Iklan Dunia, Sejumlah Wilayah dan Negara
Tabel II.9 Upah Riil Jurnalis di Jakarta 2013
Tabel II.10 Serikat Pekerja Media di Jakarta
Tabel III.1 Jumlah Pengaduan ke Dewan Pers 2010-2012
Tabel III.2 Jenis Yang Diadukan ke Dewan Pers 2012
Tabel III.3 Lokasi Teradu dan Pengadu ke Dewan Pers 2012
Tabel III.4 Jenis Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik 2012
5. 5
Bab I:
Kebebasan Pers di Jakarta
P
uncak perhelatan politik nasional lima tahunan, termasuk pemilihan presiden, akan dilakukan tahun
depan. Namun aromanya sudah dirasakan saat ini dengan bertebarannya spanduk-spanduk
bergambar wajah para calon di jalanan. Potret yang sama juga bisa dilihat di layar kaca, atau
halaman suratkabar. Dengan kedok memberi ucapan selamat atas sebuah peristiwa, atau aktivitas lainnya,
tujuan ‘iklan politik’ itu jelas untuk membangun citra sebagai calon yang menjanjikan, kompeten, dan
kredibel.
Apa yang terlihat di jalanan mengindikasikan bahwa pertarungan untuk menuju Istana Negara pada tahun
2014 sudah dimulai meski bunyi peluit dari Komisi Pemilihan Umum secara resmi belum berbunyi. Praktik
semacam ini sudah jamak terjadi pada tahun-tahun menjelang pemilihan umum, meski dengan ada variasi
pada calon yang akan maju dan aneka cara untuk meraih simpati dan dukungan publik.
Meski tak terlihat jelas di mata publik, pertarungan politik itu akan segera merambah ke ruang redaksi
(newsroom) media-media di Indonesia. Sebab, sebagian politisi yang akan berlaga dalam pemilihan
presiden itu juga memiliki media dan dipastikan akan memanfaatkan sumber daya tersebut untuk ikut
memenangkan partainya, termasuk calonnya yang akan maju dalam kancah pemilihan.
Pemanfaatan media untuk kepentingan partai politik bukanlah cerita baru. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Jakarta memprediksi bahwa praktik sepert ini bakal lebih massif dalam pemilu tahun 2014 karena cukup
banyak politisi yang juga merupakan pemilik media, atau sebaliknya. Soal inilah yang bakal banyak
mewarnai diskusi soal kebebasan pers di tahun mendatang, selain ancaman kekerasan terhadap jurnalis
dan media serta proses hukum terhadap jurnalis saat menjalankan profesinya.
I.1 Menggugat Independensi Media
Reformasi tahun 1998, yang mengakhiri era otoritarianisme Orde Baru, membawa sejumlah perubahan
signifikan dalam politik dan hukum Indonesia. Sistem politik yang lebih demokratis juga berdampak nyata
terhadap kehidupan pers, yang antara lain ditunjukkan dengan dicabutnya sejumlah campur tangan
langsung pemerintah terhadap pers. Di bidang media cetak, ini ditunjukkan dengan dihapusnya ketentuan
tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) pada tahun 1999, yang di masa Orde Baru menjadi alat
kontrol penting pemerintah terhadap pers.
Selain itu, lahir Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, sebagai koreksi atas undang-undang
sebelumnya yang memberi banyak celah bagi campur tangan pemerintah. Regulasi baru itu pula yang
menjadi dasar dari lahirnya Dewan Pers independen. Di masa Orde Baru, badan ini dipimpin oleh Menteri
6. 6
Penerangan dan pejabat di Kementerian Penerangan sehingga sulit diharapkan bakal bersikap beda,
apalagi melindungi, dari pemerintah terkait soal pers.
Perkembangan penting lainnya bagi pers paska reformasi adalah kian meraksasanya industri media. Ini
ditandai dengan terus tumbuhnya perusahaan yang bergerak dalam bidang ini, dan belakangan
kepemilikannya sudah mulai terkonsentrasi pada sekitar selusin lembaga saja. Sampai akhir 2012,
setidaknya ada 12 pemain besar di industri media1 yang terdiri dari 1329 media cetak, 2258 radio dan
televisi.
Sejumlah orang melihat ini sebagai perkembangan yang positif dari aspek pertumbuhan media sebagai
institusi bisnis, selain sebagai institusi sosial dengan fungsi menghibur, mendidik, dan melakukan kontrol
sosial. Namun menguatnya aspek bisnis media juga mengundang kekhawatiran tersendiri karena sangat
rentan bagi media untuk hanya mengutamakan fungsinya sebagai insitusi bisnis dari institusi sosialnya.
Perkembangan lain setelah reformasi adalah mulai berkurangnya ancaman dari negara, namun di sisi lain
juga makin menguatnya ancaman dari masyarakat serta dari dalam dirinya sendiri –tepatnya kepentingan
pemilik media. Kekhawatiran soal ancaman dari dalam seperti menemukan momentumnya belakangan ini
saat pemilik media juga juga menjadi politisi.
Hingga awal 2013, ada sejumlah politisi yang juga menjadi pemilik atau pemegang saham utama di media.
Antara lain: Ketua Golkar Aburizal Bakrie, pemilih saham Visi Media Asia, yang memiliki televisi berita
TVOne, ANTV, dan portal media online Vivanews.com. Surya Paloh, kini Ketua Umum Partai Nasional
Demokrat, adalah pemilik Media Group –memiliki televisi berita Metro TV, dan harian Media Indonesia.
Pemain baru media yang juga terjun ke gelanggang politik adalah pemilik Group MNC Harry
Tanoesoedibyo. MNC memiliki tiga stasiun TV (RCTI, Global TV dan MNC TV), satu portal online
(Okezone), dan media cetak. Ia sempat bergabung ke organisasi massa Nasional Demokrat sebelum
akhirnya bergabung ke Hanura, partai yang dipimpin oleh Wiranto, mantan Panglima ABRI (kini TNI) di
masa Orde Baru.
Soal pemanfaatan media untuk kepentingan pemilik ini menjadi perguncingan ramai saat temuan Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) muncul ke publik. Menurut data KPI, sepanjang Oktober hingga November 2012
RCTI menayangkan 127 iklan Partai Nasional Demokrat. Saat itu Hary Tanosoedibjo masih berkongsi
dengan Nasional Demokrat. Ketika Hary Tanosoedibjo pindah ke Hanura, KPI menemukan, pada 2-15
April 2013 setidaknya ada 11 pemberitaan tentang Hanura di RCTI, MNC TV dan Global TV. KPI juga
menemukan 143 tayangan iklan politik Aburizal Bakrie di stasiun TV miliknya, TV One2.
1 Nugroho, et al., 2012) - Nugroho, Y., Putri, DA., Laksmi, S. 2012. Mapping the landscape of the media industry in contemporary
Indonesia. Report Series. Engaging Media, Empowering Society: Assessing media policy and governance in Indonesia through
the lens of citizens’ rights. Research collaboration of Centre for Innovation Policy and Governance and HIVOS Regional Office
Southeast Asia, funded by Ford Foundation. Jakarta: CIPG and HIVOS. Ke-12-nya masing-masing: MNC Media Group, Jawa
Pos Group, Kompas Gramedia Group, Mahaka Media Group, Elang Mahkota Teknologi, CT Corp, Visi Media Asia, Media
Group, MRA Media, Femina Group, Tempo Inti Media dan Beritasatu Media Holding.
2 Koran Tempo, KPI Temukan ratusan Iklan Politik Terselubung, 11 Mei 2013.
7. 7
AJI Jakarta3 menilai fenomena pemanfaatan media untuk kepentingan politik pemiliknya ini sangat
mengkawatirkan. Menurut Umar Idris4, Ketua AJI Jakarta, distorsi semacam ini mengancam independensi
dan kredibilitas media dan merugikan masyarakat. Sebab, ada unsur sensor dalam praktik semacam ini
meski secara samar. Ada kecurigaan bahwa informasi yangdibuat oleh media-media yang dimanfaatkan
pemiliknya itu akan menyaring informasi agar sesuai kepenting pemiliknya, atau cenderung menayangkan
informasi yang sesuai selera pemilik media. “Akibatnya, masyarakat tak akan mendapatkan informasi yang
obyektif,” kata Umar Idris.
Sejumlah lembaga pemeringkat indeks kebebasan pers memasukkan pengaruh kepentingan politik pemilik
dalam newsroom media sebagai salah satu faktor penting dalam penilaian kebebasan pers sebuah negara.
Jika pengaruhnya sangat kuat dalam ruang pemberitaan, itu juga bisa menjadi salah satu bentuk intervensi
dan sensor. Jika yang terjadi adalah dua hal ini, maka pengaruh kepentingan politik pemilik itu bisa
dikategorikan sebagai kekerasan terhadap pers.
I.2 Indonesia dalam Indeks Lembaga Internasional
Secara internasional, setidaknya ada dua lembaga yang selalu menyoroti potret kebebasan pers seluruh
negara. Pertama, Reporters Sans Frontiers (RSF), lembaga yang berbasis di Paris, Prancis. Kedua,
Freedom House, organisasi non-pemerintah yang berkantor pusat di Washington DC, Amerika Serikat.
Keduanya memiliki pendekatan yang sangat mirip dalam menilai indeks kebebasan pers sebuah negara,
yaitu dengan melihat dari tiga aspek penting: hukum, politik, dan ekonomi.
Selain RSF dan Freedom House, satu lembaga lain yang juga menyoroti aspek kebebasan pers adalah
Committee to Protect Journalists (CPJ). Bedanya dengan dua organisasi yang disebut lebih dulu, CPJ
mengkhususkan pada kasus kekerasan terhadap jurnalis. Indonesia pernah masuk dalam lima besar CPJ
pada tahun 2010 karena adanya tiga jurnalis yang tewas dalam menjalankan profesinya. Tahun 2009,
Indonesia juga dicatat CPJ dalam daftar 17 negara berbahaya bagi jurnalis karena ada satu kasus
wartawan terbunuh.
Kebebasan pers Indonesia di mata RSF juga tak beranjak baik, dan malah cenderung memburuk.
Dibanding tahun 2009, indeks Indonesia dalam RSF tahun 2010 mengalami penurunan yang tak sedikit,
dari peringkat 101 menjadi 117. Dengan posisi seperti itu, maka Indonesia kalah dari Timor-Leste, dengan
skor 25 dan berada di peringkat 94. Namun, posisi Indonesia masih lebih baik dari Singapura yang di
peringkat 137 (score 47,50), Malaysia 141 ( 50,75), Brunei 142 (51,00), Thailand 153 (56,83), Filipina 156
(60,00), Vietnam 165 ( 75,75), Laos 168 (80,50), dan Burma 174 (94,50).
Pada tahun 2011 dan 2012, posisi Indonesia anjlok menjadi 146. Dengan peringkat ini, Indonesia lebih
buruk dari Malaysia yang berada di peringkat 122 (dengan skor 56,00), Brunei (125, skor 56,20), Singapura
(135, skor 61,00), Thailand (137, skor 61,50), Filipina (140, skor 64,50). Dengan peringkat ini, posisi ini
malah lebih jelek dari Rusia (142, skor 66,00) atau Colombia (143, skor 66,50).
3 Keprihatinan soal ini juga disampaikan AJI Jakarta dalam siaran pers memperingati hari buruh sedunia, 1 Mei 2012. Selain soal
kesejahteraan jurnalis, yang juga disinggung adalah ancaman intervensi pemilik perusahaan pers terhadap independensi ruang
redaksi terutama menjelang Pemilu.
4 Wawancara Juni 20013.
8. 8
Di tahun 2013, peringkat Indonesia membaik menjadi 139. Dengan posisi ini, Indonesia juga memiliki
peringkat yang lebih bagus dibanding kolega Asia-nya, seperti Malaysia (145, skor 42,73), Filipina (147,
skor 43,11), Singapura (149, skor 43,43), dan Myanmar (151, skor 44,71). Tapi, dengan perbaikan
peringkat ini, Indonesia masih kalah dari bekas provinsi ke-27 negara ini: Timor Timur (peringkat 90, skor
28,72).
Tabel I.1
Reporters Sans Frontiers soal Peringkat Indonesia (2002-2012)
2002
2003
Peringkat
57
110
Skor
20
34,25
Jumlah
139
166
Negara yang
Diindeks
Sumber: Reporters Sans Frontiers
2004
117
37,75
167
2005
102
26
167
2006
103
26
168
2007
100
30,5
169
2008
111
27
173
2009
101
28,50
175
2010
117
35,83
178
2011/2012
146
68
178
2013
139
178
Dalam peringkat yang dibuat Freedom House, posisi ini Indonesia bervariasi dalam soal skor tapi tidak
dalam kategori. Jika di tahun 2002 skornya 53, secara perlahan kemudian naik menjadi 56 tahun 2013.
Tahun berikutnya turun menjadi 55 dan naik menjadi 58 dalam dua tahun berturut-turut: 2005 dan 2006.
Setelah itu, skor Indonesia mengalami penurunan dari 54 dalam tiga tahun berturut-turut selama 2007
sampai 2009, sebelum akhirnya turun 52 di tahun 2010, 53 di tahun 2011, dan 49 di tahun 2012. Untuk
kategorinya, Indonesia belum pernah berpindah dari “bebas sebagian” (partly free).
Tabel 1.2
Freedom House soal Indeks Kebebasan Pers Indonesia (2002-2010)
Legal Environment:
Political Influences
Economic Pressures
Total Score
Status
2002
19
25
9
53
Partly
Free
2003
19
25
12
56
Partly
Free
2004
19
24
12
55
Partly
Free
2005
20
23
15
58
Partly
Free
2006
21
23
14
58
Partly
Free
2007
17
22
15
54
Partly
Free
2008
17
22
15
54
Partly
Free
2009
18
21
15
54
Partly
Free
2010
18
19
15
52
Partly
Free
2011
53
Partly
Free
2012
49
Partly
Free
Sumber: Freedom House
I.3 Indeks Kebebasan Pers Jakarta
Untuk pertama kalinya Indonesia memiliki perangkat sendiri untuk membuat indeks kebebasan pers untuk
provinsi. Pemeringkatan ini dilakukan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Aliansi Jurnalis Independen
(AJI), dan Southeast Asian Press Alliance (SEAPA), yang hasilnya diumumkan 14 Mei 2013 di Jakarta.
Ada sejumlah hal yang diukur dalam pembuatan indeks ini. Jika RSF dan Freedom House mengukur
indeks negara, apa yang dilakukan ISAI-AJI-SEAPA ini menyusun indeks masing-masing provinsi.
Dalam indeks kebebasan pers tahun 2012, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mendukuki peringkat
pertama sebagai provinsi yang paling tidak bebas. Sementara di bandul yang berlawanan, Kalimantan
9. 9
Tengah dan Kalimantan Selatan menjadi provinsi yang paling bebas bagi pers. Sedangkan Jakarta, ibukota
negara, peringkatnya hanya lebih baik dari Aceh, yaitu di peringkat kedua sebagai daerah “berbahaya” bagi
jurnalis.
Tabel I.3
Indeks Kebebasan Pers Provinsi di Indonesia
Peringkat ProvinsiKlimantan Tengah
1
2
Kalimantan Selatan
Bengkulu
Bangka Belitung
Sumatera Selatan
Maluku Utara
Maluku
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Nusa Tenggara Barat
Bali
3
DI Yogyakarta
Banten
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Sumber: ISAI-AJI-SEAPA, 2013
Skor
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
Peringkat Provinsilimantan Tengah
4
5
6
7
8
Kepulauan Riau
Jambi
Lampung
Kalimantan Timur
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Riau
Sulawesi Selatan
Jawa Tengah
Papua
Jawa Barat
Sumatera Utara
DKI Jakarta
Jawa Timur
Sulawesi Utara
Nanggroe Aceh Darussalam
Skor1
4
4
4
4
4
4
5
5
5
5
7
8
8
8
8
11
Jakarta menduduki peringkat kedua terburuk karena jumlah kasus kekerasan di kota ini mendekati jumlah
yang terjadi di Aceh. Ini memang bukan sesuatu yang sangat mengejutkan. Berdasarkan pantauan Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), sudah beberapa kali Jakarta dinobatkan sebagai daerah “merah” bagi jurnalis
karena banyaknya kasus kekerasan. Pada tahun 2007, Jakarta berada di peringkat teratas karena paling
banyak terjadi kasus kekerasan, yaitu 17 kasus. Pada tahun berikutnya, 2008, peringkatnya menjadi nomor
dua dengan adanya 9 kasus kekerasan. Pada tahun 2009, Jakarta kembali menduduki peringkat teratas
dengan 6 kasus kekerasan.
Tabel I.4
Bentuk Pelanggaran Kebebasan Pers di Jakarta 2012
Bentuk Pelangaran Kebebasan Pers
Jenis
Ancaman dan Kekerasan Terhadap Jurnalis
Serangan fisik, dilukai, penganiayaan, pengeroyokan
Intimidasi dan ancaman
Ancaman dan Kekerasan Terhadap Redaksi Media
Mendapat intimidasi (teror) dan ancaman
Penjeratan Media dan Jurnalis Lewat Pengadilan
Media dituntut / didakwa secara perdata, dengan jumlah nominal melebihi batas
kemampuan finansial media
Jumlah kasus
5
1
1
1
10. 10
Akses Informasi
Halangan dari pejabat publik atau masyarakat untuk meliput atau membatasi akses
liputan di suatu wilayah (misalnya halangan bagi wartawan untuk meliput ke daerah
konflik dan sebagainya)
Kontrol Media Lewat Alokasi APBD
Mengalokasikan dana khusus dalam APBD untuk wartawan dengan tujuan untuk
mempengaruhi independensi jurnalis (misalnya dana itu dipakai sebagai jatah amplop
kepada wartawan atau iklan di media)
Tekanan Pihak Eksternal
Diberhentikan dari media tempat bekerja karena berita yang dibuat atau akibat konflik
dengan pemilik media
Diberhentikan dari media tempat bekerja karena membentuk serikat pekerja
3
1
1
1
Sumber: Sumber: ISAI-AJI-SEAPA, 2013
Berdasarkan data Indeks Kebebasan Pers 2012 di Indonesia, ada 11 kasus di Jakarta yang bisa
dikategorikan sebagai tindakan yang mengancam kebebasan pers. Kasus terbanyak masih berupa
serangan fisik, yaitu sebanyak lima kasus. Selebihnya berupa intimidasi, ancaman, gugatan hukum,
menghalang-halangi jurnalis saat meliput, alokasi dana untuk wartawan, diberhentikan dari tempat kerjanya
karena konflik dengan manajemen media dan berencana membentuk serikat pekerja5.
Di antara 11 kasus itu, yang cukup menarik adalah kasus sensor yang dialami The Jakarta Post, harian
berbahasa Inggris. Kasus ini bermula dari pemuatan soal menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yang
memiliki hubungan khusus dengan penari keroncong Sundari Soektojo. Dalam berita Jakarta Post itu
disebutkan bahwa agen Badan Intelijen Negara (BIN) sudah mengkonfirmasi kebenaran keduanya sudah
menikah selama lima tahun. Purnomo sempat membelikan sebuah rumah dan mobil mewah senilai
miliaran rupiah untuk Sundari.
Marah atas berita itu, Poernomo memanggil penulis berita itu, Bagus Saragih, untuk datang ke kantor
Kementerian Pertahanan di Jalan Medan Merdeka Barat. Di sana, Saragih ditemui Poernomo bersama dua
pejabat Kementerian Pertahanan dan mendapatkan serangan verbal. "Mereka berdua bilang, saya
masukin ke (tahanan) Guntur kamu. Mereka juga bilang, kalau ini masih Orde Baru, kamu sudah mati,"
kata seorang sumber, menirukan kata-kata ancaman dari dua pejabat pertahanan itu6.
Sumber yang sama juga menyebutkan bahwa Poernomo juga sempat mengucapkan kalimat yang bernada
mengancam. "Saya sudah punya data-data lengkap kamu. Saya tidak mau tanggung jawab kalau BIN
bergerak," kata sumber itu, menirukan ucapan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu.
Pejabat Kementerian Pertahanan membantah ada ancaman dalam pertemuan yang berlangsung hampir
satu jam tersebut7.
Kasus terkait kekerasan terhadap kebebasan berekspresi yang juga penting dicatat adalah soal penolakan
terhadap Irsyad Manji, jurnalis Kanada dan penulis buku 'Allah, Liberty and Love' oleh kelompok islam garis
keras Front Pembela Islam (FPI). Acara kuliah umum dan peluncuran buku Iman, Cinta dan Kebebasan
oleh Irsyad Mandji yang diselenggarakan di komunitas Salihara, 4 Mei 2012, dibubarkan polisi atas
Lebih detail soal kasus-kasusnya, ada dalam lampiran.
Tempo.co, Menteri Purnomo Ancam Wartawan Jakarta Post?, Selasa, 25 September 2012. Link diakses pada 10 Juni 2013.
7 Tempo.co, Kementerian Pertahanan Bantah Ancam Wartawan, Selasa, 25 September 2012. Link diakses pada 10 Juni 2013.
5
6
11. 11
tekanan FPI8. Ketua FPI Salim Alatas mengatakan, mereka melakukan unjuk rasa karena buku itu
dianggap merusak moral bangsa9. Tekanan serupa juga dilakukan FPI saat AJI Jakarta menggelar diskusi
dengan mengundang Irsjad Manji sebagai pembicara, 5 Mei 2012. Diskusi yang sempat diminta untuk
dibatalkan itu akhirnya bisa terlaksana tanpa insiden berarti. AJI Jakarta meminta bantuan pengamanan
dari Banser, sayap pemuda dari organsiasi Islam Nahdlatul Ulama, untuk pengamanan acara itu10.
I.4 Ancaman (Masih) dari Regulasi
Salah satu faktor yang menjadi dasar penilaian sejumlah lembaga pemeringkat internasional seperti
Reporter Sans Frontiers (dan Freedom House soal kebebasan pers juga meliputi aspek undang-undang
sebuah negara. Adanya regulasi yang menyediakan ancaman pemidanaan terhadap jurnalis merupakan
salah satu faktor penting untuk menilai situasi kebebasan pers sebuah negara. Pemidanaan terhadap
jurnalis dan media dianggap sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap pers.
Dalam KUHP saja, setidaknya ada 17 delik11 yang bisa menyeret jurnalis ke penjara. Delik-deliknya antara
lain: pembocoran rahasia negara; pembocoran rahasia pertahanan keamanan negara; penghinaan
terhadap presiden dan wakil presiden; penghinaan terhadap wakil negara asing; permusuhan, kebencian
atau penghinaan terhadap pemerintah; pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan
golongan; perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama; penghinaan terhadap
penguasa atau badan umum; pelanggaran kesusilaan; pemberitaan palsu; dan pelanggaran ketertiban
umum.
Pidana pencemaran baik dalam KUHP, menggunakan pasal 310 a. (1) dan (2). Kedua ayat itu sama-sama
mengatur tentang penghinaan. Bedanya, ayat yang pertama menjerat ”setiap orang”, tak peduli jurnalis
atau bukan. Sedangkan ayat kedua banyak menyeret jurnalis karena pasal ini mengatur kasus
pencemaran yang dilakukan ”dengan tulisan” atau ”gambaran yang disiarkan.” Ancaman hukuman
penjaranya juga berbeda: ayat pertama sembilan bulan penjara, yang kedua lebih berat tiga bulan: 12
bulan penjara.
Salihara.com, Kronologi Pembubaran Paksa Diskusi Irshad Manji, 5 Mei 2012.
Tempo.com, Serbu Diskusi Salihara, Bos FPI Belum Baca Buku Irshad Manji, 5 Mei 2012. Meski organisasinya memprotes
buku itu, Ketua FPI Salim Alatas mengaku belum membaca buku yang ditulis Irshad Manji ini. Ia hanya mendapat pengaduan
dari Dewan Pimpinan Wilayah FPI Jakarta Selatan bahwa buku itu mengajarkan kesesatan.
10 Jakarta Post, Banser NU shield Irshad Manji’s Jakarta second book launch, 6 Mei 2012, dan wawancara Ketua AJI Jakarta
Umar Idris. Menurut Umar, polisi sebelumnya sudah meminta agar diskusi tak usah berbicara dalam diskusi tersebut. AJI
Jakarta menolak permintaan itu sehingga acara diskusi tetap berlangsung dengan Irsyad Mandji sebagai pembicara.
11 Delik-delik pidana yang bisa menyeret jurnalis ke penjara cukup banyak tersedia dalam KUHP. Rinciannya: pembocoran
rahasia negara; pembocoran rahasia pertahanan keamanan negara; penghinaan terhadap wakil negara asing; permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah; pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan golongan;
perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama; penghasutan; penawaran tindak pidana; penghinaan terhadap
penguasa atau badan umum; pelanggaran kesusilaan; pemberitaan palsu; penghinaan atau pencemaran orang mati;
pelanggaran hak ingkar; penadahan penerbitan dan percetakan; penanggulangan kejahatan; dan pelanggaran ketertiban umum.
Dalam perkembangannya, ada dua delik lain yang juga bisa menyeret jurnalis ke pengadilan, yaitu Pasal 134, 136 bis dan Pasal
137 KUHP tentang penghinaan presiden dan wakil presiden serta penghinaan serta pasal Pasal 154 dan 155 KUHP tentang
pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah Indonesia, yang akhirnya dinyatakan tak
berlaku. Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dicabut oleh Mahkamah Konstitusi dalam sidang 6 Desember 2006.
8
9
12. 12
Untuk kasus perdata, yang dipakai untuk menjerat jurnalis dan media dalam kasus pencemaran nama baik
adalah pasal 1365 dan 1372 KUH Perdata. Pasal 1365 menjadi dasar hukum umum untuk setiap orang
yang merasa hak perdatanya dilanggar melalui tuduhan “perbuatan melanggar hukum”. Sedangkan pasal
1372 menjadi dasar untuk meminta ganti rugi dan pemulihan nama baik dalam gugatan perdata
penghinaan atau pencemaran nama baik.
Setelah lebih dari 60 tahun pelaksanaan KUH Pidana dan KUH Perdata, isu pencemaran nama baik
memasuki babak baru dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Regulasi baru ini seperti menambah “senjata” dan “amunisi” baru bagi mereka yang
merasa dirugikan media karena pemberitaan. Ancaman hukumannya juga lebih berat dari KUHP, yaitu 6
tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Selain KUHP, undang-undang lain yang bisa menjerat jurnalis ke penjara adalah Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik UU No 14 Tahun 2008, dan UndangUndang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Hingga saat ini, KUHP peninggalan penjajah Belanda inilah yang masdih berlaku dan dipakai untuk
menjerat wartawan ke penjara. Sudah lama pemerintah ingin merevisi regulasi itu tapi tak kunjung
membuahkan hasil. DPR periode 2009-2014 dan pemerintah kembali berencana melakukan revisi
terhadap KUHP itu dan menargetkan untuk kelar sebelum Oktober 201312. Namun ada bayang-bayang
kekhawatiran bahwa regulasi itu justru bergerak ke arah yang lebih konservatif, atau tidak lebih baik dari
yang ada saat ini.@
12
Inilah.com, DPR Kebut Tuntaskan Revisi KUHP dan KUHAP, Rabu, 10 April 2013. Link diakses pada 10 Juni 2013.
13. 13
Bab II:
Industri Media dan Kesejahteraan Jurnalis
D
i antara hal yang paling mencolok dari pertumbuhan media di Indonesia adalah aspek industrinya.
Geliat ini mulai terjadi sejak reformasi 1998, yang itu ditandai dengan kian meraksasanya
perusahaan media. Perkembangan ini juga diikuti oleh makin mengerucutnya kepemilikan media
kepada sekitar selusin perusahaan besar, yang biasanya berupa korporasi besar dan tak hanya melulu
bergerak di bidang produksi berita. Sebagian juga memiliki cabang bisnis yang jauh dari urusan bisnis
terkait informasi, seperti tambang, supermarket dan semacamnya.
Selain soal pertumbuhan bisnis, yang juga menarik untuk disorot terkait aspek bisnis media adalah soal
kesejahteraan para pekerjanya, khususnya jurnalis. Kesejahteraan merupakan faktor penting, meski bukan
satu-satunya, dalam menunjang pertumbuhan industri media. Hanya saja, kesejahteraan yang diterima
jurnalis seringkali tak selalu mencerminkan gambaran industri media yang secara umum cukup
menggembirakan.
II.1 Bisnis yang Terus Menggeliat
Ada sejumlah indikator untuk melihat apakah industri media di sebuah negara mengalami pertumbuhan
atau justru sebaliknya. Dua yang terpenting adalah naik turunnya jumlah perusahaan media dan
pertumbuhan iklannya. Tentu saja, aspek ini hanya melihat soal ekonomi dari sebuah media, bukan
politiknya. Melihat dua komponen itu, pers Indonesia di tahun 2012 hingga awal 2013 memberikan catatan
menggembirakan.
Sebut saja pertumbuhan media cetak. Tahun 2012 mencatat bahwa pertumbuhan jumlahnya memang
cukup stabil setelah sempat mengalami lonjakan sangat drastis pada masa awal-awal reformasi. Hanya
kurang dari 300 di masa Orde Baru, jumlahnya sempat mencapai 1.800 penerbitan pada tahun 2000.
Sebagian itu disebabkan oleh euforia publik menyaksikan bahwa ketentuan SIUPP sudah dicabut sehingga
banyak orang yang mengambil peluang dalam bisnis media cetak, yang sebelumnya tergolong sulit karena
beratnya persyaratan yang harus dipenuhi.
Meski mendekati 2.000 pada tahun 2000, jumlah itu perlahan-lahan mulai terkoreksi. Banyak media yang
akhirnya menghilang dari peredaran, entah karena sudah tak terbit lagi karena tak diterima pasar atau
karena alasan tak ada dana untuk meneruskan operasionalnya. Rasionalisasi jumlah penerbitan pers mulai
terjadi sejak tahun 2006, dengan mulai turunnya jumlah media dari 1.800 menjadi sekitar 1.000. Tahun
2012 juga menandai pada masih stabillnya angka penerbitan media cetak di Indonesia pada kisaran itu.
14. 14
Tabel II.1
Jumlah Media Cetak dan Tirasnya 2010-2012
No Wilayah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
2010
Media
Nanggroe Aceh 19
Darussalam
Sumatera Utara 68
Sumatera Barat 26
Riau
59
Kepulauan Riau 12
Jambi
18
Bengkulu
6
Sumatera
17
Selatan
Bangka Belitung 5
Lampung
28
Banten
28
DKI Jakarta
346
Jawa Barat
43
Jawa Tengah
37
Yogyakarta
19
Jawa Timur
70
Bali
26
Nusa Tenggara 10
Barat
Nusa Tenggara 13
Timur
Kalimantan
17
Barat
Kalimantan
26
Tengah
Kalimantan
20
Selatan
Kalimantan
31
Timur
Sulawesi
40
Selatan
Sulawesi
13
Tenggara
Sulawesi Barat 3
Sulawesi
12
Tengah
Gorontalo
5
Sulawesi Utara 17
Maluku
10
Maluku Utara
12
Papua
13
Papua Barat
7
Jumlah
1.076
Tiras
738.500
2011
Media
19
Tiras
753.500
2012
Media
7
Tiras
129.000
Pertumbuhan
Media
Tiras
-63,16
-82,88
447.600
104.250
339.330
181.000
175.200
46.950
326.417
93
34
67
11
22
7
26
488.600
112.750
365.830
187.000
210.141
39.650
351.417
83
30
50
11
23
10
25
637.900
150.700
259.000
107.000
277.141
145.000
339.917
-10,75
-11,76
-25,37
0
4,55
42,86
-3,85
30,56
33,66
-29,20
-42,78
31,88
292,42
-3,27
95.020
489.620
138.000
13.272.719
752.160
731.500
436.731
1.982.720
286.037
70.000
7
37
31
424
69
45
22
95
28
14
101.020
278.300
143.000
16.173.570
877.160
796.000
397.731
2.106.220
292.037
78.000
9
37
31
446
72
47
22
99
28
22
119.520
314.057
191.500
15.104.254
653.000
817.550
436.095
1.659.000
315.500
145.000
28,57
0
0
5,19
4,35
4,44
0
4,21
0
57,14
18,31
12,85
33,92
-6,61
-25,56
2,71
9,65
-21,23
8,03
85,90
64.200
18
69.200
17
69.200
-5,56
0
186.328
18
241.328
16
200.550
-11,11
-16,90
98.500
33
105.500
34
125.000
3,03
18,48
241.223
29
250.223
31
224.000
6,90
-10,48
241.758
33
243.758
24
233.000
-27,27
-4,41
177.000
74
238.500
80
379.500
8,11
59,12
21.000
15
65.000
14
23.000
-6,67
-64,62
15.500
20.000
2
13
13.000
22.500
2
11
14.000
22.000
0
-15,38
7,69
-2,22
10.800
144.850
28.000
20.500
45.000
10.000
21.938.413
8
22
13
14
16
7
1.366
13.800
151.850
31.000
24.500
49.500
10.000
25.278.885
6
18
7
6
9
2
1.329
10.500
163.500
39.000
16.500
45.000
5.000
23.370.884
-25,00
-18,18
-46,15
-57,14
-43,75
-71,43
-2,71
-23,91
7,67
25,81
-32,65
-9,09
-50,00
-7,55
15. 15
Sumber: Media Directory 2012-2013
Data jumlah penerbitan media cetak yang dirilis Dewan Pers jauh lebih kecil. Berdasarkan data Dewan
pers tahun 2012, total jumlah media cetak hanya 366 secara nasional, dengan jumlah harian sebanyak
208, media mingguan 121 dan media bulanan 37. Pada tahun 2010, Dewan Pers mencatat jumlah media
cetak sebanyak 952, dengan rincian: media harian (306), media mingguan 389, dan media bulanan 257.
Kecilnya jumlah media penerbitan di tahun 2012 dalam data Dewan pers karena perubahan metode
pendataan yang lebih ketat dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk pendataan tahun 2012, hanya media yang
jelas penanggungjawabnya dalam susunan redaksinya, dan memiliki badan hukum, yang dimasukkan
dalam daftar Dewan Pers.
Nama pers yang mirip dengan nama lembaga negara seperti KPK, Buser, BIN, Bakin, sudah tak lagi
dimasukkan dalam pendataan untuk menghindari ‘kesalahpahaman identifikasi’. Kecilnya jumlah data juga
karena sekitar 50 persen dari perusahaan media yang didata tak mengembalikan formulir pendataan ke
Dewan Pers, termasuk di antaranya media mainstream di Jakarta.
Dengan melihat statistik yang dirilis Serikat Penerbit Pers (SPS) di atas, jumlah suratkabar mengalami
penurunan, yaitu dari 1.366 media di tahun 2011 menjadi 1.329 pada tahun 2012. Sedangkan dari jumlah
oplah, jumlah mengalami penurunan dari 25.278.885 menjadi 23.370.884 pada tahun 2014. Menurut
Asmono Wikan, penyumbang penurunan terbesar dalam jumlah media pada tahun 2014 adalah karena
Surat Kabar Mingguan.
Sebagian besar media, baik jumlah maupun oplah, masih berada di Jakarta. Dengan menggunakan data
SPS, hampir sepertiga dari jumlah media berada di Jakarta. Lebih dari 50 persen oplah secara asional juga
berputar di Jakarta.
Tabel II.2
Media dan Tirasnya di Jakarta 2008-2012
Suratkabar
Harian
2008
Media
Tiras
2009
Media
Tiras
2010
Media
Tiras
2011
Media
Tiras
2012
Media
Tabloid
Majalah
Buletin
30
374.500
93
4.335.955
249
5.506.157
2
6.809
29
371.500
96
4.538.955
252
5.743.157
2
6.809
17
186.500
70
4.356.255
217
5.736.843
4
32.809
21
198.500
73
5.030.525
281
7.842.202
4
32.809
18
63
322
2
16. 16
Tiras
170.500
3.676.725
8.057.686
29.809
Sumber: Media Directory 2012-2013
Jika melihat data statistik media di Jakarta, jumlah media tahun 2012 mengalami pertumbuhan dalam segi
jumlah. Jika pada tahun 2011 jumlah media sebanyak 424, jumlahnya naik menjadi 446. Jika
perbandingannya dengan tahun 2010, kenaikannya lebih besar karena saat itu sebanyak 346. Berbeda
dengan dari segi jumlah, pertumbuhan oplahnya justru sebaliknya. Jika di tahun 2011 sebanyak
16.173.570 eksemplar, tahun 2012 turun menjadi 15.104.254. Hanya jika dibandingkan dengan jumlah
oplah tahun 2010, siotuasi tahun 2010 bisa mengalami peningkatan.
Berbeda dengan media cetak, jumlah media penyiaran mengalami pertumbuhan. Jumlah televisi secara
nasional sampai 2013 sebanyak 2.436, lebih banyak dari tahun 2011 yang sebanyak 2.258. Untuk televisi,
yang terbanyak adalah stasiun TV swasta dibandingkan dengan TV publik, tv komunitas atau TV
berlangganan. Untuk radio, yang terbanyak adalah radio swasta dibanding dengan radio publik dan radio
komunitas.
Tabel II.3
Data Stasiun TV dan Radio 2011-2012
Lembaga
Penyiaran
Tahun
Televisi
Swasta
Publik
Komunitas
Berlangganan
Radio
Swasta
Publik
Komunitas
Total
IPP
Prinsip
2012
2013
IPP
Tetap
2012
2013
IPP
Existing
2012
167
8
9
124
171
8
10
139
491
33
97
929
543
36
115
1022
Jumlah
2013
2012
2013
74
1
0
19
81
1
0
27
161
1
0
9
163
1
0
9
402
10
9
152
415
10
10
175
238
8
9
349
253
8
9
379
808
1
0
980
861
1
0
1035
1537
42
106
2258
1657
45
124
2436
Sumber: Komisi Penyiaran Indonesia, 2013
Pendataan Dewan Pers menunjukkan hasil berbeda. Secara nasional, menurut pendataan Dewan Pers
2012, menyebut ada 611 radio dan 173 televisi. Untuk di daerah DKI Jakarta, jumlah radionya sebanyak
41, televisi ada 16. Jika dibandingkan dengan pendataan yang dilakukan tahun 2010, jumlah radio di
Jakarta versi Dewan Pers sebanyak 26 radio dan 16 televisi.
Diluar cetak dan penyiaran, media online juga mencatat sejumlah perkembangan. Karena belum masuk
dalam pendataan yang dilakukan SPS, tak mudah untuk meon itor secara pasti berapa estimasi jumlahnya
jumlahnya hingga saat ini. Selain di Jakarta, media berita online juga tersebar di luar Jakarta. Untuk media
online berita mainstream di Jakarta, ini diantaranya: Detik.com, Vivanew.co.id, Kompas.com,
Okezone.com, Kapanlagi.com, dan Tempo.co.
Karakter media online yang bertahan hingga saat ini memiliki corak berbeda dengan sebelumnya. Di masa
awal media online di Indonesia, awal tahun 2000, sejumlah media online yang membangun bisnisnya
17. 17
sendiri tanpa berada di bawah korporasi besar. Situasi ini sudah mulai bergeser saat ini di mana media
online mainstrem sudah berada di bawah induks perusahaan raksasa media. Detikcom kini sudah berada
di bawah keluarga Trans Corp, Kompas.com adalah Kompas Gramedia, Vivanews adalah bagian dari
Group Viva, dan Tempo.co adalah bagian dari group Tempo.
Online masih merupakan platform yang menjanjikan, karena pertumbuhan pengguna internet yang makin
besar. Hingga akhir 2012, pengguna internet Indonesia sebanyak 55 juta pengguna, sekitar 22,1 persen
dari populasi penduduk yang 248 juta. Jumlah ini memang sudah mengalami perkembangan yang sangat
signifikan jika dibandingkan dengan masa-masa awal booming penggunaan internet di Indonesia yang
hanya 2 juta pada tahun 2000. Dengan jumlah 55 juta pengguna, Indonesia menjadi 5,1 persen dari
populasi pengguna internet di Asia.
Soal data pengguna internet tahun 2012, Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJI) memberi data
yang lebih besar, yaitu 63 juta. APJI memprediksi pengguna internet akan terus meningkat secara
signifikan dalam tahun-tahun mendatang. Taksiran APJII, pengguna internet Indonesia akan menjadi 107
juta pada 2014 dan akan bertambah 32 juta lagi pada tahun 2015 sehingga menjadi 139 juta.
Tabel II.4
Pengguna Internet Indonesia 1998-2015
Tahun
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Pengguna
Internet
500.000
1.000.000
1.900.000
4.200.000
4.500.000
8.000.000
11.200.000
16.000.000
20.000.000
20.000.000
25.000.000
30.000.000
42.000.000
55.000.000
63.000.000
82.000.000
107.000.000
139.000.000
Sumber: Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJI)
II.2 Dominasi TV dalam Perebutan Kue Iklan
Indikator penting lain dari sehat atau tidaknya industri media adalah melalui alokasi dan pertumbuhan
iklannya. Data yang dirilis oleh Nielsen awal tahun 2013 menunjukkan bahwa kue iklan tahun 2012
bertambah cukup signifikan, yaitu sekitar Rp 15 triliun. Jumlah ini juga lebih besar dibandingkan dengan
pertambahan kue iklan dari tahun 2010 ke 2012 yang sebesar Rp 12 triliun. Tentu saja harus dicatat, data
perolehan iklan yang dilansir Nielsen ini berdasarkan harga resmi iklan (publish rate), belum
mempertimbangkan diskon dan semacamnya.
Kue iklan di media Indonesia cukup fluktuatif jumlahnya. Kue iklan tahun 2007 naik sebesar 17 persen
dibandingkan dengan kue tahun 2006. Kue iklan tahun 2008 bertambah 19 persen dari jumlah tahun 2007.
Jumlah iklan untuk tahun 2009 mengalami kenaikan sekitar Rp 7 triliun meski prosentasenya lebih kecil
dari tahun sebelumnya, yaitu sekitar 16 persen. Kenaikan cukup besar terjadi pada perolehan iklan tahun
2010, yaitu naik sebesar 23 persen dibanding tahun sebelumnya. Dua tahun berikutnya, terus ada
18. 18
kenaikan meski prosentasenya tak sebesar tahun 2010: pada tahun 2011 kenaikannya 21 persen, tahun
2012 naik 20 persen.
Tabel: II.5
Perolehan Iklan Secara Nasional 2006 – 2012*
Tahun
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Iklan
30,025
35,088
41,708
48,585
59,844
72,680
87,471
Sumber: Nielsen, 2013
* Dalam triliun rupiah
Menurut Sekjen Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Asmono Wikan13, gambaran kue iklan tahun 2012
menunjukkan bahwa bisnis ini masih terus menggeliat. Perolehan iklan itu juga menunjukkan bagaimana
TV masih memimpin dalam perolehan iklan, yaitu meraih 64 persen dari total iklan Rp 87,471 triliun. Pada
tahun sebelumnya, perolehan TV juga masih yang terbesar meski dengan prosentase yang lebih kecil dari
tahun ini, yaitu 63 persen dari total Rp 72,680 triliun.
Dalam kurun waktu lima tahun ini, pertumbuhan iklan TV memang cenderung naik. Jika dibandingkan
antara pendapatan iklan TV tahun 2008 dengan 2009, ada kenaikan sebanyak 14 %. Begitu juga dengan
tiga tahun berikutnya: 2009 ke 2010 naik 26 %, 2010 ke 2011 naik 22 %, dan 2011 ke 2012 naik 24 persen.
Prosentase pertumbuhan ini masih lebih tinggi dari iklan di suratkabar yang prestasi tertingginya 23 % di
tahun 2009 atau majalah yang prosesntase kenaikan tertingginya sebesar 10 persen pada tahun 2010 dan
2011.
Tabel II.6
Belanja Iklan di Media di Indonesia 2011 – 2012
Tahun/Iklan
Total Iklan
TV
Cetak
Radio
2011
2012
Rp 72,680 triliun
Rp 87,471 triliun
63 %
64 %
34 %
33 %
3%
3%
Sumber: Nielsen, 2013
Berdasarkan data Nielsen, penyumbang iklan terbesar untuk tahun 2012 adalah dari sektor alat komunikasi
dan jasa, yaitu sebanyak Rp 4,9 triliun. Tahun sebelumnya, sektor ini juga menjadi memimpin dengan
prosentase yang lebih besar. Penyumbang kedua adalah iklan dari pemerintahan dan organisasi politik
yang jumlahnya sebesar Rp 4,3 triliun. Dibandingkan dengan pengeluaran tahun sebelumnya, tahun ini
nialinya lebih besar 34 %. Peringkat berikutnya diduduki oleh iklan produk perawatan rambut yang sebesar
Rp 4,1 triliun.
Tabel II.7
Kategori Iklan untuk Semua Media 2011-2013*
Kategori
2011
2012
Pertumbuhan
Perlengkapan komunikasi, jasa
5,815,040,480
4,917,123
-15%
13
Wawancara Juni 2013.
19. 19
Pemerintahan, Organisasi politik
Produk perawatan rambut
Iklan perusahaan, layanan sosial
Porduk perawatan wajah
Sepedamotor, Scooter, Sepeda
Rokok
Bank, Institusi Keuangan
Kendaraan pribadi
Makanan ringan, biskuit, kue
Minuman kesehatan
Rumah sakit, klinik, pengobatan tradisional
Laundry Cleanser dan Perawatan, Fabric Soft
Susu pertumbuhan
Media, biro iklan
3,240,993,995
3,058,079,668
2,859,274,345
2,282,288,726
2,471,850,332
2,165,985,103
2,001,660,668
1,676,862,990
1,345,585,642
1,523,164,166
1,387,760,153
1,495,830,600
1,768,866,876
1,551,626,175
4,330,907
4,107,992
3,816,937
2,916,207
2,363,827
2,301,111
2,175,132
2,162,185
2,140,989
2,096,236
2,035,388
1,895,879
1,867,361
1,834,762
34%
34%
33%
28%
-4%
6%
9%
29%
59%
38%
47%
27%
6%
18%
Sumber: Nielsen, 2013
* Dalam miliar rupiah
Lalu, bagaimana dengan kue iklan untuk media online? Pada tahun 2012, Nielsen belum menghitung
perolehan kue iklan di online. Menurut Asmono Wikan, dengan tak masuknya iklan online dalam radar
Nielsen, maka taksiran perolehan iklan benar-benar mengandalkan pada data yang dipasok oleh para
pemain di portal berita media online seperti Detik.com, Vivanews, Kompas.com, Okezone, Merdeka.com,
Tempo.co dan sejenisnya. Berdasarkan informasi yang dimilikinya, jumlah iklan di portal berita online (tidak
termasuk iklan mesin pencari atau situs non-berita) pada tahun 2012, sekitar Rp 300 miliar. “Kue itu
sebagian besar dinikmati oleh sekitar lima portal berita besar,” kata Asmono Wikan.
Redaktur Eksekutif Tempo.co Burhan Solihin setuju dengan taksiran Asmono Wikan soal perolehan iklan
portal berita online yang tahun 2012. Menurut dia, perolehan iklan portal berita online itu memang tak
mencerminkan kue di dunia online yang sebenarnya. Di Indonesia, yang menikmati kue iklan terbesar
adalah mesin pencari Google. Berapa taksiran kue iklan yang bisa diterima Google di Indonesia, yang iklan
produknya juga terpasang di situs umum atau portal berita lainnya? Kata Burhan, ada yang menaksir
angkanya bisa sampai Rp 800 miliar setahun.
Jumlah iklan itu tentu saja masih kecil dibanding perolehan iklan media cetak, apalagi dibandingkan
dengan televisi di tahun 2012. Padahal, para pemain di portal media online memiliki ekspektasi besar soal
perolehan iklan karena pertumbuhan pengguna internet yang sangat besar. “Saya agak heran mengapa
penetrasi iklan di perusahaan dotcom belum sebesar yang kita bayangkan sebelumnya,” kata Agung
Prasetyo, CEO kelompok Kompas Gramedia. Group ini memiliki portal berita online Kompas.com.
Apakah pemain media online salah menaksir fenomena kebangkitan media online seperti prediksi yang
meleset tentang booming online pada tahun 2000-an? Atau, ini baru tahap pertumbuhan sehingga kue
iklan sebenarnya masih belum merupakan angka sebenarnya. APJII sendiri menaksir bahwa perolehan
iklan tahun 2013 akan lebih besar dari tahun sebelumnya. Taksiran kenaikannya sekitar 100 persen14,
yang itu artinya menjadi sekitar Rp 600 miliar hingga akhir tahun 2013 ini.
14
Pers Kita, Seret Iklan Bisnis Dotcom, edisi Mei 2013.
20. 20
Taksiran itu hanya meliputi perolehan iklan untuk portal berita, tidak termasuk dari media berplatform online
lainnya. Situs eMarketer membuat taksiran yang cukup optimistis untuk perolehan iklan online di
Indonesia15. Menurut taksiran eMarketer, tahun 2013 ini perolehan iklan online Indonesia akan sebesar
US$ 1,32 miliar atau setara Rp 12,936 triliun16. Untuk tahun 2014, diperkirakan bakal mencapai US$ 2,07
miliar, 2015 menjadi US$ 2,96 miliar, dan 2016 menjadi US$ 4,02 miliar.
Dalam tiga tahun mendatang (2016), eMarketer meprediksi perolehan iklan online Indonesia sebesar US$
4,02 miliar, dan itu mengalahkan India (US$ 1,65 miliar) dan Korea Selatan (US$ 3,25 miliar). Prediksi
optimistis serupa dikemukakan Media Partner Asia, yang memprediksi kue iklan digital Indoensia akan
tumbuh 20-30 persen per tahun dalam kurun waktu 2010 sampai 201517. Di tahun 2015, pengeluaran iklan
di online akan membesar –meski lebih kecil dari prediksi eMarketer—hingga mencapai US$ 145 juta atau
setara Rp 1,421 tilliun.
Tabel II.8
Taksiran Perolehan Iklan Dunia, Sejumlah Wilayah dan Negara
Negara/
Wilayah
Amerika Utara
-Amerika Serikat
-Kanada
Eropa Barat
-Inggris
-Jerman
-Prancis
-Italia
-Spanyol
-Lainnya
Asia Pasifik
-Jepang
-Cina**
-Australia
-Korea Selatan
-Indonesia
-India
-Lainnya
Eropa Timur
-Rusia
-Lainnya
Amerika Latin
-Brazil
-Argentina
-Meksiko
-Lainnya
Timur Tengah dan Afrika
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
28,29
26,04
2,25
22,04
6,61
5,04
2,62
1,39
1,13
5,25
18,05
7,9
3,70
2,33
2,06
0,12
0,25
1,69
2,25
0,95
1,29
2,03
1,12
0,22
0,27
0,42
0,38
34,70
32,03
2,67
24,83
7,72
5,85
2,85
1,63
1,29
5,49
22,11
8,53
5,30
2,66
2,28
0,33
0,35
2,65
3,60
1,56
2,04
2,67
1,46
0,34
0,36
0,51
0,57
42,61
39,50
3,11
27,96
8,64
6,75
3,19
1,89
1,49
5,99
27,63
9,60
7,36
3,04
2,50
0,80
0,48
3,85
4,68
2,08
2,59
3,62
2,05
0,47
0,46
0,65
0,84
50,02
46,50
3,52
31,17
9,51
7,57
3,45
2,16
1,66
6,84
33,57
10,46
9,43
3,45
2,70
1,32
0,67
5,54
5,73
2,58
3,14
4,43
2,45
0,59
0,54
0,84
1,24
56,58
52,80
3,88
34,88
10,55
8,32
3,76
2,44
1,86
7,94
39,79
11,125
11,78
3,83
2,90
2,07
0,93
7,02
6,62
3,09
3,53
5,67
3,14
0,77
0,63
1,12
1,71
61,76
57,50
4,26
38,12
11,40
8,82
4,02
2,73
2,04
9,11
46,23
11,92
14,02
4,18
3,08
2,96
1,24
8,83
7,48
3,56
3,91
6,69
3,61
0,94
0,72
1,41
2,22
66,55
62,00
4,55
41,05
12,19
9,29
4,26
3,03
2,21
10,06
53,16
12,55
16,48
4,50
3,25
4,02
1,65
10,72
8,15
3,96
4,19
7,68
4,13
1,11
0,82
1,63
2,81
Pada tahun 2010, perolehan iklan online di Indonesia US$ 0,12 miliar atau Rp 1,176 triliun15. Pada tahun 2011, iklan yang
diraih online US$ 0,33 miliar atau setara Rp 3,234 triliun. Untuk tahun 2012, iklan di online US$ 0,80 miliar atau setara Rp 7,84
triliun.
16 Dengan asumsi kurs US$ 1=Rp 9800
17 Karaniya Dharmasaputra, dalam Lanskap Media Digital Indonesia 2012, dalam Media Directory 2011-2012, SPS, 2013.
15
21. 21
Seluruh Dunia
73,04
88,47
107,33
126,16
* Dalam US$ juta.
** Tidak termasuk Hong Kong.
*** eMarketer Juli 2012. Termasuk iklan banner, email, mesin pencari, dan di mobile.
145,34
162,49
179,41
II.3 Menyorot Kesejateraan Jurnalis
Sejumlah statistik di atas menunjukkan bahwa bisnis ini makin tumbuh, dan beberapa dengan tingkat yang
cukup signifikan. Yang perlu dilihat kemudian adalah, apakah ini diikuti oleh perbaikan terhadap
kesejahteraan jurnalisnya sebagai penopang penting dari bergeraknya industri ini. Data hasil survey upah
layak dan upah riil jurnalis di Jakarta akan berbicara soal apakah tumbuhnya bisnis media membawa
perbaikan bagi kesejahteraan pekerjanya.
Berdasarkan hasil survey, AJI Jakarta menetapkan bahwa upah layak jurnalis tahun 2013 sebesar Rp 5,4
juta18. Jika dibandingkan dengan besaran upah layak tahun sebelumnya, kenaikannya relatif sedikit.
Kenaikan relatif cukup besar jika dibandingkan dengan upah layak tahun 2011. Tahun 2012, upah layak
versi AJI Jakarta sebesar Rp 5,2 juta, tahun 2012 sebesar Rp 4,7 juta.
Prosentase kenaikan upah layak AJI Jakarta dari tahun 2012 ke 2013 ini masih lebih kecil dari prosentase
kenaikan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2013 yang naik hampir 50 persen dibanding
tahun sebelumnya. UMP DKI Jakarta tahun 2012 sebesar Rp 1.529.150, UMP 2013 sebesar Rp 2,2 juta.
Upah layak yang disodorkan AJI Jakarta ini memang dua kali lipat lebih besar dari UMP DKI Jakarta, tapi
sebenarnya tak jauh berbeda –malah mungkin ada yang lebih kecil- dari sektor profesional lainnya.
Menurut data Kelly Service, seorang akuntan pajak dengan pengalaman 3-5 tahun bisa mendapatkan
penghasilan Rp 5 sampai Rp 9 juta per bulan, analis program atau teknisi perangkat lunak yang memiliki
pengalaman 2 sampai 6 tahun bisa mendapatkan gaji antara Rp 3 juta sampai Rp 7 juta per bulan.
Sedangkan sekretaris eksekutif dengan pengalaman kerja 3-5 tahun bisa mendapatkan gaji Rp 6,2 juta
sampai Rp 9,5 juta19.
Tabel II.9
Upah Riil Jurnalis di Jakarta 2013*
TV
Nama Media
Gaji
Cetak
Nama Media
Gaji
RCTI
3,1
Jakarta Post
5,3 – 5,8
Metro TV
3,9 – 4,2
Tempo
Beritasatu
3
Liputan6.com
MNC TV
3,5 – 4,5
3,3
Media
Indonesia
Republika
Majalah
Gatra
Online
Nama Media
3,4
Rakyat
Merdeka
Online
Detik.com
3,6
4,3
Inilah.com
3,2
4,6 – 4,9
Antaranews.com
Okezone.com
18
19
Gaji
Adapun komponen dari penyusunan upah layak, bisa dilihat dalam lampiran.
Kelly, Employment Outlook and Salary Guide 2011/12, 2012.
3,5
Radio
Nama
Media
KBR 68H
Gaji
4,4
2,8 – 2,9
Sindo
Radio
Elshinta
2,5
2,8
4,2
2,65
i-Radio
RRI
3,7
3,05
22. 22
TV One
Global TV
2,7
3,5
Tempo TV
4,4
TVRI
DKI
Jakarta
TV Plus
Kompas TV
3,8 – 4
Antara TV
4
Trans TV
3,3
Bloomberg TV
4–6
2,5
3,5
Warta Kota
Sinar
Harapan
Bisnis
Indonesia
Jurnal
Nasional
Koran Sindo
Koran
Kontan
Koran
Jakarta
Majalah Gold
Bank
Majalah
Indogamers
Majalah
Media
Pembaruan
Majalah
Pesona
3
3,6 – 3,7
3,5
4,4
5,3
Vivanews.com
Jurnal
Parlemen.com
Merdeka.com
3,5 – 4
Hukumonline.com
3,3
2,5 – 3
2,5 – 3
Penaone.com
Harian Detik ePaper
2
3,3
3,8
Opini.co.id
4,7
3
Lensaindonesia.com
1,7
3
Kompas.com
4 – 4,5
2,5
Tribunnews.com
3,05
3,5
Majalah Detik
3,7
3,5
LKBN Antara
Sumber: AJI Jakarta, 2013
* Gaji per bulan dalam juta rupiah
Dengan gambaran upah riil terhadap jurnalis baru di TV, cetak, online dan radio, sebagain besar tak
memenuhi standar upah layak AJI Jakarta. Hanya dua media, yaitu harian berbahasa Inggris The Jakarta
Post dan harian Bisnis Indonesia yang besar gajinya berada di kisaran upah layak AJI Jakarta. Selebihnya,
berada di bawah itu. Sekalipun menggunakan upah layak versi AJI Jakarta tahun 2012, hanya dua media
itu saja yang bisa memenuhinya.
Fakta ini sangat menyedihkan di tengah perkembangan jumlah media yang sebenarnya berada dalam
tahap yang sudah berkembang baik. Terutama jika jurnalis yang menerima upah itu merupakan bagian dari
media mainstream di Jakarta20, seperti jurnalis yang bekerja di MNC, Tempo, Kompas, Viva Media, Media
Indonesia, Trans Corps. Media-media ini merupakan korporasi media besar di Indonesia, yang secara
bisnis juga dianggap lebih mapan dan menjanjikan.
Kesehatan bisnis sebuah media, yang memang tak sama antara satu perusahaan dengan lainnya, kerap
menjadi dasar untuk memberikan upah. Media-media yang belum sehat kerap berlindung dengan dalih itu
jika tak bisa memberikan upah secara layak sesuai standar AJI Jakarta. Namun ada juga yang merasa
sudah memberikan upah “layak” karena memberikannya sudah di atas UMP DKI Jakarta. Jika ukurannya
adalah UMP DKI Jakarta, hampir semuanya sudah memenuhinya kecuali Penaone.com dan
Lensaindonesia.com. AJI Jakarta menilai upah layak, bukan upah minimum provinsi, yang harusnya
menjadi standar pengupahan untuk menghormati pekerja profesional seperti jurnalis.
20
Media besar, lihat CIPG
23. 23
II.4 Serikat Pekerja Media di Jakarta
Salah satu cara untuk memperjuangkan kesejahteraan di perusahaan bisa dilakukan melalui organisasi
serikat pekerja. Pasal 4 dari Undang Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat pekerja/Serikat Buruh
itu cukup jelas menyebut soal fungsinya: “Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta
meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.”
Undang-undang itu memang memberi perlindungan hukum yang jelas terhadap pekerja, termasuk di
media, untuk berserikat. Hanya saja, tak semudah itu pelaksanaannya di lapangan. Berdasarkan
monitoring yang dilakukan AJI dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), jumlah serikat
pekerja media di Indonesia hanya sekitar 31. Jumlah ini sangat minim dibandingkan dengan jumlah media
di Indonesia yang lebih dari 3.000-an. Sebagian besar serikat pekerja itu berada di Jakarta21.
Tabel II.10
Serikat Pekerja Media di Jakarta
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Serikat Pekerja
ANTV
TPI
Bisnis Indonesia
Warta Kota
Jakarta Post
Hukumonline.com
Indosiar
Kantor Berita ANTARA
Kantor Berita Radio 68H
Kompas
Kontan
Tempo
Republika
Swa Sembada
Surya Citra Televisi (SCTV)
Koran Jakarta
Jurnal Nasional
Tabloid Prioritas
Nama
Serikat Karyawan ANTV untuk Kemajuan (SKAK)
Kerukunan Karyawan (Kekar) TPI
Kerukunan Warga Karyawan (KWK) Bisnis Indonesia
Perkumpulan Karyawan Warta Kota
Dewan Karyawan PT Bina Media Tenggara
Serikat Pekerja Hukumonline
Serikat Karyawan (Sekar) Indosiar
Serikat Pekerja ANTARA
Serikat Pekerja Radio 68H
Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK)
Dewan Karyawan Kontan
Dewan Karyawan Tempo
Dewan Karyawan PT Abdi Bangsa
Forum Karyawan Swa
Serikat Pekerja SCTV
Serikat Pekerja Koran Jakarta-Serikat Pekerja Jurnal Nasional
Serikat Pekerja Prioritas
Sumber: AJI dan FSPMI
Kondisi umum serikat pekerja, termasuk di Jakarta, memang tidak cukup menggembirakan. Selain dari
segi jumlah yang cukup kecil, pertumbuhannya juga sangat lambat. Ada sejumlah hal yang menjadi
penyebabnya. Pertama, masih minimnya kesadaran pekerja media untuk berserikat. Kedua, masih kuatnya
21 Jumlah serikat pekerja media di Jakarta tahun 2013 ini berkurang karena Serikat Pekerja Smart FM , Serikat Pekerja Suara
Pembaruan, dan Serikat Pekerja Indonesia Finance Today (IFT) mati setelah anggota dan pengurusnya di-PHK atau diminta
mundur oleh manajemen perusahaan.
24. 24
resistensi manajemen perusahaan media terhadap lahirnya serikat pekerja. Kombinasi dua soal inilah yang
membuat pertumbuhan serikat pekerja mengalami stagnasi cukup besar setelah sempat tumbuh paska
tahun 1998.
Bagi AJI Jakarta, lambannya pertumbuhan serikat pekerja ini menjadi keprihatinan tersendiri. Saat
memperingati hari buruh 1 Mei 2012, AJI Jakarta mendesak perusahaan media untuk melindungi
kebebasan bersuara dan berserikat, selain lebih menghargai jurnalisnya dengan memberikan upah layak
dan memperbaiki kontrak kerja bagi jurnalis yang berstatus bukan karyawan tetap. Perkembangan yang
terjadi di tahun-tahun belakangan ini memang tak bisa dibilang menggembirakan.
Pada tahun 2012, para jurnalis anggota dan pengurus Sekar Indonesia Finance Today (IFT) tengah
memperjuangkan hak normatifnya. Mereka menuntut manajemen PT Indonesia Finanindo Media,
perusahaan media penerbit harian IFT mengembalikan pemotongan gaji sepihak 5%-27,5% yang berlaku
sejak Februari 2012, membayarkan kompensasi tunai atas tunggakan Jamsostek selama lebih dari
setahun, dan membayarkan tunggakan tunjangan kesehatan tahun 2011.
Semua tuntutan karyawan dan pengurus serikat pekerja IFT itu merupakan hak yang telah diatur dalam
Perjanjian Kerja Sama (Kontrak Kerja). Bukannya menerima aspirasi itu, manajemen IFT malah melakukan
PHK terhadap 13 anggota dan pengurus serikat pekerjanya. Hingga awal 2013, proses hukum dalam
kasus PHK terhadap pengurus dan anggota serikat pekerja IFT masih berlangsung.
Kasus lain yang juga terkait dengan perjuangan hak pekerja media dilakukan oleh Luviana, dari Metro TV.
Ia menuntut perbaikan kesejahteraan, meminta perbaikan manajemen ruang redaksi, dan menggagas
berdirinya organisasi pekerja yang mampu memperjuangan aspirasi karyawan di Metero TV, perusahaan
televisi milik Surya Paloh, pengusaha yang juga pendiri Partai Nasional Demokrat. Bukannya diakomodasi,
Luvina dan dua koleganya justru diminta mundur pada 31 Januari 2012 dan di-PHK secara sepihak pada
27 Juni 201222.
Hingga awal 2013, kasus PHK terhadap Luviana ini masih belum selesai. Ia terus melakukan perlawanan,
antara lain dengan menggalang dukungan publik dan mempertanyakannya kepada pemiliknya, Surya
Paloh. Usaha ini tak mudah. Dalam sebuah demonstrasi yang dilakukan pendukung Luviana ke kantor
Surya Paloh di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, 16 Januari 2013, mereka dihadapi dengan kekerasan23
oleh massa dari Nasional Demokrat. AJI Jakarta mengecam aksi kekerasan itu dan meminta polisi
mengusut dan menyeret pelakunya ke pengadilan24.
Dalam menghadapi kasus ini, Luviana didukung oleh Aliansi Melawan Topeng Restorasi (Metro) dan
Aliansi Sovi (Solidaritas Perempuan untuk Luviana). Kekerasan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang
terafiliasi dengan partai Nasional Demokrat (Nasdem) berjumlah sekitar 30 orang. Mereka keluar dari
22 Dalam menghadapi kasus ini, Luviana didukung oleh Aliansi Melawan Topeng Restorasi (Metro) dan Aliansi Sovi (Solidaritas
Perempuan untuk Luviana). AJI Jakarta bergabung dalam aliansi tersebut.
23 Kekerasan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang terafiliasi dengan partai Nasional Demokrat (Nasdem) berjumlah sekitar
30 orang. Mereka keluar dari kantor Partai Nasdem dan langsung melakukan kekerasan kepada massa aksi yang berjumlah 19
orang. Mereka mengejar massa demontrasi hingga kocar kacir dan menghancurkan kaca mobil komando yang dibawa oleh para
demontran. Dalam kekerasan ini, wartawan TVRI dipaksa untuk menghapus gambar demontrasi ini. Wartawan yang meliput aksi
melalui blackberry juga diminta untuk menghapus tulisan maupun foto yang tersimpan di dalam blackberry.
24 Siaran Pers, AJI Jakarta mengutuk kekerasan dan intimidasi di depan kantor Partai Nasdem , 16 Januari 2013.
25. 25
kantor Partai Nasdem dan langsung melakukan kekerasan kepada massa aksi yang berjumlah 19 orang.
Mereka mengejar massa demontrasi hingga kocar kacir dan menghancurkan kaca mobil komando yang
dibawa oleh para demontran. Dalam kekerasan ini, wartawan TVRI dipaksa untuk menghapus gambar
demontrasi ini. Wartawan yang meliput aksi melalui blackberry juga diminta untuk menghapus tulisan
maupun foto yang tersimpan di dalam blackberry. @
26. 26
Bab III:
Etika Media dan Jurnalis
S
tatistik pengaduan bukan satu-satunya indikator untuk menilai profesionalisme media di Indonesia.
Statistik itu hanya salah satu, atau gambaran kecil dari potret profesionalisme media, yang lebih
banyak mendasarkan pada aspek “buruk” dari kepatuhan jurnalis terhadap nilai-nilai yang mengatur
bagaimana jurnalis seharusnya bekerja, yaitu harus tetap mengacu pada Kode Etik Jurnalistik.
Melihat data Dewan Pers, serta catatan AJI Jakarta, pelaksanaan kode etik di kalangan jurnalis masih
harus selalu diingatkan agar tetap dipegang teguh. Bahkan dalam beberapa kasus yang ditangani Dewan
Pers, pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik itu dilakukan untuk kode etik yang sangat mendasar,
seperti soal verifikasi, pengujian informasi, dan cover both side (seimbang).
III.1 Jumlah Pengaduan yang Meningkat
Sejak tahun 2010, statistik kasus pengaduan yang ditangani Dewan Pers mengalami penurunan. Jika di
tahun 2010 ada 514 kasus, jumlahnya berkurang menjadi 511 pada tahun berikutnya. Pada 2012,
jumlahnya juga turun sebanyak 41 item dibanding tahun sebelumnya. Namun jika dilihat lebih teliti, kasus
pengaduan yang diterima Dewan Pers secara langsung sebenarnya naik, yaitu dari 144 di tahun 2010
menjadi 157 di tahun berikutnya. Di tahun 2012 menjadi 176 dibanding tahun 2011 yang 157 kasus.
Tabel III.1
Jumlah Pengaduan ke Dewan Pers 2010-2012
Kategori Pengaduan
Pengaduan langsung
Pengaduan Tembusan
Permintaan Pendapat dari Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI)
Lain-lain
Jumlah Total
2010
144
370
2011
157
345
9
2012
176
263
17
514
511
14
470
Sumber: Dewan Pers
Dari jenis kasus yang diadukan ke Dewan Pers, juga beragam. Untuk tahun 2012, sebagian besar
pengaduan terkait hak jawab kepada media, yaitu sebanyak 215 kasus atau sekitar 45,17% dari total 476
kasus. Di peringkat berikutnya adalah pengaduan tentang berita secara umum. Jumlah kasus paling sedikit
adalah terkait dugaan sensor, yang itu secara jelas dilarang dalam Undang Undang Nomor 40 tahun 1999
tentang Pers.
Tabel III.2
27. 27
Jenis Yang Diadukan ke Dewan Pers 2012
Jenis Pengaduan
Pengajuan Hak Jawab
Pengaduan tentang Berita Secara Umum
Permintaan Pendapat Sesuai UU Pers/Kode Etik
Jurnalistik
Pengaduan tentang Kekerasan terhadap Wartawan
Pengajuan Hak Koreksi
Pengaduan tentang PerilakuTindakan Wartawan
Mengadukan Iklan
Mengadukan Isi Siaran Televisi
Wartawan/Media Digugat ke Polisi/Pengadilan karena
Berita
Sengketa Hak Cipta Nama Media
Pengaduan tentang Foto/Ilustrasi/Kartun
Pengaduan tentang Artikel/Opini/Surat Pembaca
Pengaduan tentang Badan Hukum Perusahaan Pers
Pengaduan Wartawan karena Mengalami
Pemecatan/PHK
Mengadukan Penyensoran
Lain-lain
Total
Frekuensi
215
111
20
%
45,17
23,32
4,20
19
17
14
11
10
7
3,99
3,57
2,94
2,31
2,10
1,47
5
4
2
2
2
1,05
0,84
0,42
0,42
0,42
1
36
476
0,21
7,56
100,00
Sumber: Dewan Pers, 2013.
*Dalam satu pengaduan dapat mengandung lebih dari satu jenis pengaduan.
Dari kasus yang ditangani Dewan Pers, separoh diantaranya melibatkan teradu dan pengadu yang berada
di Jakarta. Ini tak terlalu mengejutkan mengingat jumlah media di Jakarta yang memang paling besar, baik
cetak, TV maupun radio dan online. Berdasarkan data SPS, suratkabar di Jakarta sebanyak 446 dari total
1.329 media. Di peringkat berikutnya adalah Sumatera Utara, yang itu pun jumlahnya kurang dari
seperempat kasus yang terjadi di Jakarta.
Tabel III.3
Lokasi Teradu dan Pengadu ke Dewan Pers 2012
Daerah
DKI Jakarta
Sumatera Utara
Jawa Barat
Jawa Timur
Riau
Nanggroe Aceh Darussalam
Jawa Tengah
Sumatera Barat
Teradu
Jumlah
277
65
30
29
17
14
8
7
%
55,40
13,00
6,00
5,80
3,40
2,80
1,60
1,40
Daerah
DKI Jakarta
Sumatera Utara
Jawa Barat
Jawa Timur
Riau
Nanggroe Aceh Darussalam
Lampung
Banten
Pengadu
Jumlah
235
64
49
25
15
10
7
7
%
50,00
13,62
10,43
5,32
3,19
2,13
1,49
1,49
28. 28
Lampung
Kalimantan Tengah
Jambi
Kalimantan Timur
Sulawesi Selatan
Papua Barat
Kepulauan Riau
Bangka Belitung
Sulawesi Tenggara
Maluku
Sumatera Selatan
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Bengkulu
Banten
Bali
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Sulawesi Barat
Total
Sumber: Dewan Pers, 2013
6
4
4
4
4
4
3
3
3
3
2
2
2
2
1
1
1
1
1
1
1
500
1,20
0,80
0,80
0,80
0,80
0,80
0,60
0,60
0,60
0,60
0,40
0,40
0,40
0,40
0,20
0,20
0,20
0,20
0,20
0,20
0,20
100,00
Sumatera Barat
Jawa Tengah
Sulawesi Tenggara
Kepulauan Riau
Kalimantan Timur
Jambi
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Tengah
Maluku
Bali
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Bengkulu
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Barat
Papua Barat
Total
6
6
5
4
4
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
1
1
1
1
1
1
470
1,28
1,28
1,06
0,85
0,85
0,64
0,64
0,64
0,64
0,64
0,64
0,43
0,43
0,43
0,43
0,21
0,21
0,21
0,21
0,21
0,21
100,00
Dari jumlah kasus yang diadukan ke Dewan Pers, ada 167 pengaduan yang oleh Dewan Pers dinilai ada
pelanggaran kode etik jurnalistik. Sebanyak 13 kasus yang tak masuk kategoripelanggaran kode etik
jurnalistik. Enam pengaduan hanya berupa klarifikasi, empat lainnya tak masuk wilayah kode etik jurnalistik
atau bukan dalam yuridiksi Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Untuk kasus yang dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik jurnalistik, umumnya karena pemberitaan
yang tidak berimbang (tidak cover both side). Berita yang masuk dalam kategori ini sebanyak 44. Dua
terbanyak lainnya adalah karena tidak menguji informasi (23 %), dan mencampuradukkan fakta dan opini
yang menghakimi (22,75%).
Tabel III.4
Jenis Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik 2012
Jenis Pelanggaran
Tidak Berimbang
Tidak Menguji Informasi/Konfirmasi
Mencampurkan Fakta dan Opini yang Menghakimi
Tidak Akurat
Tidak Profesional dalam Mencari Berita
Melanggar Asas Praduga Tidak Bersalah
Tidak Menyembunyikan Identitas Korban Kejahatan Susila
Tidak Jelas Narasumbernya
Tidak Berimbang Secara Proporsional
Tidak Menyembunyikan Identitas Pelaku Kejahatan di Bawah
Umur
Frek
44
40
38
20
5
4
4
4
2
1
%
26,35
23,95
22,75
11,98
2,99
2,40
2,40
2,40
1,20
0,60
29. 29
Lain-lain
Total
5
167
2,99
100,00
Sumber: Dewan Pers, 2013
Salah satu kasus yang ditangani Dewan Pers di Jakarta tahun 2012 adalah pengaduan dari Tina Talisa,
presenter Indosiar (sebelumnya di TV One), tanggal 29 Agustus 2012, atas berita harian Rakyat Merdeka
berjudul: "Mirwan Amir Sedang Dibidik KPK?" (edisi 28 Agustus 2012). Dalam berita itu, antara lain disebut
Mirwan Amir mentransfer dana kepada seorang presenter tenar. Presenter TV tersebut dikabarkan adik
ipar Mirwan Amir.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan klarifikasi, Dewan Pers menemukan bahwa Rakyat Merdeka telah
melakukan konfirmasi kepada Mirwan Amir. Namun Dewan Pers menilai, Rakyat Merdeka seharusnya juga
mencari tahu jati diri pengadu dan melakukan konfirmasi terhadapnya. Sebab, dalam beritanya Rakyat
Merdeka itu disebut "seorang presenter tenar" dan "adik ipar Mirwan Amir" yang secara langsung
mengarah pada diri Tina Talisa.
Dewan Pers menyebut bahwa konfirmasi diperlukan karena Rakyat Merdeka menulis "presenter" tersebut
disebut-sebut telah beberapa kali menerima aliran transfer dana dari Mirwan Amir. Setelah melalui proses
mediasi di Dewan Pers, Rakyat Merdeka bersedia memuat Hak Jawab dari Tina Talisa sesuai amanat
Undang Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
II.2 Etika dalam Liputan Pemilihan Kepala Daerah
Salah satu momentum politik penting di Jakarta pada tahun 2012 adalah pelaksanaan pemilihan kepala
daerah untuk menggantikan Fauzi Bowo. Pemilihan gubernur diikuti oleh lima pasangan: Fauzi BowoNachrowi Ramli; Hendardji Seopandji-Ahmad Riza Patria; Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama: Hidayat
Nurwahid-Didik J. Rachbini: Faisal Basri-Biem Benyamin; dan Alex Noerdin - Nono Sampono. Pemilihan 20
September 2010 itu dimenangkan oleh Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama.
Media-media di Jakarta memberi porsi besar atas perhelatan politik itu, namun sayangnya diwarnai oleh
pemberitaan yang tak sepenuhnya memenuhi prinsip Kode Etik Jurnalistik (KEJ). AJI Jakarta bersama
Yayasan Tifa melakukan penelitian terhadap berita pemilihan kepala daerah di media online (Detik.com,
Kompas.com, Okezone.com, Vivanews.com), suratkabar (Indopos, Republika, Suara Pembaruan, Kompas,
Koran Jakarta, Koran Tempo, Poskota, Wartakota), serta stasiun televisi (Jak TV, Metro TV, RCTI, TV
One).
Secara umum, tema yang diangkat lebih banyak soal kampanye. Dalam penelitian periode pertama saja,
jumlahnya sebanyak 285 berita atau sekitar 42 persen dari total berita. Pada periode kedua, proporsi berita
soal kampanye juga sampai 78 % (sebanyak 1.030 berita). Berita yang menulis kasus kecurangan, relatif
kecil. Pada periode pertama, berita dengan tema kecurangan sebanyak 82 berita atau sekitar 12,1 persen
dari total berita. Pada periode keempat penelitian, tema soal kecurangan malah hanya 45 berita atau 2,3
persen dari total berita.
30. 30
Tabel III
Tema Pemberitaan Media soal Pilkada
Tema Pemberitaan
Kampanye
Pelaksanaan Pemilu
Dukungan pada putaran
kedua
Pendaftaran Pilkada
Regulasi
Kecurangan
Isu SARA
Total Berita
Sumber: AJI Jakarta, 2012
Periode 1 –
15 Juni
285 berita (42%)
-
Periode 16 –
30 Juni
1030 berita (78%)
-
Periode 1 –
31 Juli
646 berita (18,73%)
411 berita (11,9%)
285 berita (8,26%)
Periode 1 –
31 Agustus
114 berita (5,84%)
12 berita (0,61%)
372 berita (19.06%)
175 berita (25,9%)
54 berita (4%)
186 berita (5,4%)
108 berita (16%)
82 berita (12,1%)
675 berita
52 berita (3,9%)
51 berita (3,8%)
1322 berita
160 berita (4,64%)
199 berita (5,78%)
3448 berita
39 berita (1,9%) pendaftaran pemilih
73 berita (3,74%)
45 berita (2,3%)
324 berita (16,6%)
1951 berita
Hasil penelitian selama empat tahap, dalam kurun waktu Juni hingga Agustus 2012, menunjukkan bahwa
cukup banyak berita media yang bersifat satu sisi, yaitu sebanyak 3969 berita dari total 7.396 berita. Jika
dilihat dari periode berita yang diteliti, berita yang bersifat satu sisi paling banyak terdapat pada periode
ketiga, yaitu sebanyak 2.495 berita –sekitar 72,36 persen dari total 3448 berita, lalu diikuti oleh periode
keempat sebanyak 1.422 berita –sekitar 72,88 persen dari total 1.951 berita. Kontribusi paling besar
terhadap pemberitaan satu sisi datang dari media online yang jumlahnya sebanyak 2038 berita atau sekitar
59,1 persen dari total jumlah berita.
Tabel III
Keberimbangan Berita Pilkada Jakarta
Periode I (1-15 Juni)
Periode II (16-3o Juni)
Periode III (1-31 Juli)
Periode IV (1-31 Agustus)
Total Berita
Sumber: AJI Jakarta, 2012
Pemberitaan satu
sisi
479 berita (71 %)
995 berita (75,2%)
2495 berita (72,36%)
1422 berita (72,88%)
3969 berita
Pemberitaan dua sisi
150 berita (22,2%)
189 berita (14,3%)
515 berita (14,93%)
360 berita (18,45%)
854 berita
Pemberitaan lebih
dari dua sisi
45 berita (6,7%)
116 berita (8,7%)
250 berita (7,25%)
113 berita (5,79%)
411 berita
Total
675 berita
1322 berita
3448 berita
1951 berita
7396 berita
Tabel III
Perbandingan Berita yang Dikonfirmasi
Periode penelitian
Berita tidak
mengandung
kontroversi
Periode I (1-15 Juni)
Periode II (16-3o Juni)
Periode III (1-31 Juli)
Periode IV (1-31 Agustus)
Total Berita
359 (53,18%)
847 (64%)
1935 (56,11%)
828 (42,3%)
3969
Ada konfirmasi
dalam berita
mengandung
kontroversi
137 (20,29%)
123 (9,3%)
328 (9,51%)
388 (19,88%)
976
Tidak konfirmasi
dalam berita
mengandung
kontroversi
179 (26,51%)
352 (26,6%)
1022 (29,64%)
686 (35,16%)
2239
Lainnya
Total Berita
163
49
212
675
1322
3448
1951
7396
31. 31
Sumber: AJI Jakarta, 2012
Berita yang hanya satu sisi dan tak berimbang jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap Kode Etik
Jurnalistik (KEJ). Kode etik yang disahkan organisasi wartawan pada 2006 itu memberikan panduan cukup
jelas: wartawan Indonesia harus selalu bersikap “berimbang25” dan memberitakan peristiwa secara
berimbang26. Keharusan untuk melakukan verifikasi dan menulis dengan dua sisi juga diatur cukup jelas
dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber, yang disahkan Dewan Pers dan komunitas pers pada 3
Februari 2012.
II.3 Sejumlah Isu Etik Lainnya
AJI Jakarta juga mencatat ada soal pemberitaan yang kurang senisitf gender yang dilakukan media di
Jakarta pada awal tahun 201327. Sikap ini terlihat dari penggunaan bahasa yang vulgar, menyudutkan,
disertai dengan gambar atau video yang mengesankan pers kiita tidak melindungi hak privasi dan tak
menerapkan asas praduga tak bersalah. Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik menyatakan, “Wartawan Indonesia
selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang
menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.”
Salah satu contoh berita yang nya adalah dalam pemberitaan tentang Maharani Suciyono yang terseret
dalam pusaran kasus dugaan suap impor daging sapi yang menjerat Ahmad Fathanah dan Ketua Partai
Keadilan Sejahtera Lutfi Hasan Ishaq. Setelah Maharani tertangkap bersama Fathanah, sebuah media
online menulis: "Di tempatnya kuliah, perempuan berparas cantik itu dikenal sangat bandel. Tak tahan
dengan tabiat buruknya, Universitas Moestopo akan segera mengeluarkan warga Batuampar, Jakarta
Timur itu." Media online lain menurunkan berita dengan judul "Gadis Nakal Malas Kuliah, Universitas
Moestopo Akan DO Maharani Suciono". AJI Jakarta28 menilai, di era new media saat ini, pemberitaan
seputar seks dan kriminal sering muncul di media online lebih dimotivasi untuk meningkatkan jumlah
pembaca (viewer), atau “klik”, untuk menggaet iklan.
Pemberitaan televisi juga masih belum menunjukkan empati kepada perempuan. Dalam pemberitaan
penangkapan wanita pekerja seks komersial (PSK) oleh aparat keamanan, kameramen televisi mengambil
gambar waktu penangkapan dan seringkali hanya memfokuskan pada si perempuan. Sedangkan laki-laki,
yang juga menjadi pelaku prostitusi, kurang mendapat sorotan.
Perbaikan dari dalam ruang redaksi media massa masih menghadapi tantangan berat. Sebab, kritik
terhadap adanya praktik seperti itu tak selalu bisa diterima dengan tangan terbuka seperti yang dialami
Luviana, asisten produser di Metro TV. Ia memberikan evaluasi pada program Metro Malam yang dinilai tak
sensitif gender dan melanggar etika. AJI Jakarta mensinyalir, soal itulah yang diduga menjadi salah satu
pemicu kenapa Luviana diminta mundur pada 31 Januari 2012 dan di-PHK secara sepihak pada 27 Juni
25 Pasal 1 KEJ menyatakan, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak
beritikad buruk.” Tafsirnya, “Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.”
26 Pasal 3 KEJ menyatakan, “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Tafsirnya, “Berimbang adalah
memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.”
27 Wawancara Ketua AJI Jakarta Umar Idris, Juni 2013.
28 Siaran Pers AJI Jakarta, Jurnalis Harus Sensitif Gender dalam Memberitakan Perempuan, 8 Maret 2013
32. 32
2012. Alasan lainnya, karena ia dianggap ingin mengubah sistem di Metro TV karena mempertanyakan
masalah kesejahteraan di televisi berita tersebut.
33. 33
Lampiran I
Tiga Group Media di Indonesia
Media Nusantara Citra
TV yang berada di bawah group ini ada lebih dulu: RCTI (1989) dan MNC TV (1981—dulu bernama TPI).
Sedangkan Media Nusantara Citra sebagai holding berdiri tahun 1997. Kini, group ini memiliki 3 TV yang
memiliki jangkauan nasional, jaringan radio dan TV lokal, serta suratkabar dan media online. MNC listing di
Bursa Efek Indonesia pada 22 Juni 2007. Mayoritas saham MNC dimiliki oleh PT Global Mediacom Tbk
(95%), selebihnya oleh Indonesia Media Partners LLC29.
Cetak
Online
Radio
TV
Harian
Koran Seputar
Indonesia
Okezone.com
Global Radio (2005)
V Radio
Sindo Radio Network Jakarta
(1990)
Sindo Radio Surabaya
Sindo Radio Medan
Sindo Radio Madiun
Sindo Radio Palembang
Sindo Radio Lubuk Linggau
Sindo Radio Prabumulih
Sindo Radio Lahat
Sindo Radio Kendari
Sindo Radio Dumai
Sindo Radio Pekanbaru
Sindo Radio Pontianak
Sindo Radio Manado
Sindo Radio Banjarmasin
Sindo Radio Bandung
Sindo Radio Semarang
Sindo Radio Yogyakarta
Sindo Radio Makassar
Sindo Radio Baturaja
Radio Dangdut Indonesia
TV ‘Nasional’
RCTI
MNC TV
Global TV
Mingguan
HighEnd Mag
HighEnd Teen Mag
Trust
Just for Kids
Magazine
Tabloid
Genie
Mom &
Kiddie
TV Lokal
Deli TV, Medan
Lampung TV, Bandar
Lampung
Minang TV, Padang
UTV, Batam
Indonesian Music TV,
Bandung
PRO TV, Semarang
BMS TV, Banyumas
MHTV, Surabaya
Kapuas Citra Televisi,
Pontianak
BMC TV, Denpasar
SUN TV Makasar
MGTV, Magelang
SKY TV, Palembang
TAZ TV, Tasikmalaya
O-Channel
Televisi Berbayar
Indovision (Pay TV)
Okevision (Pay TV)
Top TV (Pay TV)
29
Profil soal MNC, lihat http://www.mnc.co.id. Data diakses 30 Oktober 2012.
34. 34
Visi Media Asia
Holding PT Visi Media Asia, yang membawahi ANTV, TV One, dan Vivanews.com berdiri tahun 2007. Visi
Media Asia listing di Bursa efek Indonesia tahun 2011 dan melakukan IPO pada 21 November 2011.
Sampai tahun 2011, saham mayoritas dimiliki oleh PT CMA Indonesia (73,43%) dan Fast Plus Limited
(6,79%)30.
Cetak
Online
Radio
TV
Tidak ada
Vivanews.com
Tidak Ada
ANTV
TV One
Media Groups
Kelompok Media Group yang dimiliki Surya Paloh memiliki stasiun TV berita Metro TV dan tiga koran, yaitu
harian Media Indonesia di Jakarta, Lampung Post di Bandar Lampung, dan harian Borneo News di
Kalimantan. Untuk portal berita onlinenya Mediaindonesia.com.
Cetak
Online
Radio
TV
Media Indonesia
Lampung Post
Borneo News
Mediaindonesia.com
Tidak Ada
Metro TV
30 Profil PT Visi Media Asia, lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Visi_Media_Asia dan www. vivagroup.co.id (bahan diakses pada 30
Oktober 2012) dan Laporan kepemilikan Saham PT Visi Media Asia oleh Bursa Efek Indonesia 6 Januari 2012.
35. 35
Lampiran I
Data Indeks Pers Provinsi DKI Jakarta Periode 2012
1. Ancaman dan Kekerasan Terhadap Jurnalis
Indikator
a Pembunuhan
b Percobaan
pembunuhan
c Serangan fisik,
dilukai,
penganiayaan,
pengeroyokan
No
Tanggal
Peristiwa
Korban
Pelaku
1
27 Maret
2012
Rizki Sulistyo, pewarta
foto Koran Lampu Hijau
Polisi
2
27 Maret
2012
Adi Hartanto, kamerawan
TVOne
Polisi
3
30 Maret
2012
Mengabadikan bentrokan yang
terjadi antara pengunjuk rasa
dan aparat kepolisian, di Jalan
Medan Merdeka Timur, samping
Gereja Imannuel. Rizki mendapat
pukulan polisi saat mereka
menyisir mahasiswa.
Meliput aksi demonstrasi dan
bentrokan yang terjadi antara
pengunjuk rasa dan aparat
kepolisian, di Jalan Medan
Merdeka Timur.
„h Perampasan kartu memori
kamera milik Adi Hartanto
Meliput demo anti-harga BBM
naik di gedung DPR/MPR.
- Siraman cairan kimia.
1. Ananto Handoyo ,
jurnalis Jak TV
2. Alvi Apriyandi, jurnalis
Kompas TV
3. Hartono, jurnalis
ANTV
4. Bobby Gunawan,
jurnalis Al Jazeera
5. Alice Budi, jurnalis
BBC
6. Louis "Benny"
Benjamin, jurnalis
Reuters
Dua orang fotografer
Orang tak
dikenal (OTK)
1. Urip Arpan,
kameramen Berita Satu
TV
2. Dhika, kameramen
Kompas TV
3. Reza, fotografer
Harian Kompas
Bagus Saragih, jurnalis
The Jakarta Post
TNI AU
26 April
2012
21 Juni
2012
d
Intimidasi dan
ancaman
1
21
September
2012
- Meliput pemeriksaan istri Anas
Urbaningrum oleh KPK.
- Pemukulan pengawal Anas
kepada jurnalis
- Meliput jatuhnya pesawat
Fokker 27 milik TNI AU di
Perumahan Rajawali, Halim
Perdanakusuma, Jakarta Timur.
- Perampasan kaset kamera dan
foto
Pemberitaan mengenai
penikahan Menteri Pertahanan
Purnomo Yusgiantoro dengan
penyanyi keroncong, Sundari
Soekotjo.
Pengawal
Anas
Urbaningrum
Menhan
Purnomo
Yusgiantoro
36. 36
e
f
g
h
Penculikan, dijadikan
sandera
Penghilangan paksa
Serangan terhadap
keluarga, teman atau
kolega
Diawasi (dimataimatai, penyadapan
telepon dan
sebagainya)
2. Ancaman dan Kekerasan Terhadap Redaksi Media
a
b
Demonstrasi atau
pengerahan massa
Mendapat intimidasi
(teror) dan ancaman
1
25
September
2012
Mencabut berita tentang
pernikahan Menteri Pertahanan
Purnomo Yusgiantoro dan
penyanyi keroncong, Sundari
Soekotjo.
Pemred The Jakarta
Post, Meidyatama
Suryodiningrat
Kementerian
Pertahanan
dan Badan
Intelijen
Negara
„h Menyiarkan kasus dugaan
korupsi pengadaan Al Quran di
Kantor Kementerian Agama
(Kemenag).
„h Menayangkan gambar
Redaksi pemberitaan
Metro TV
KH Noer
Muhammad
Iskandar
3. Penjeratan Media dan Jurnalis Lewat Pengadilan
a
b
Penyalahgunaan
atau pemakaian
aturan hukum secara
tidak semestinya
seperti surat
pemanggilan secara
paksa polisi (tanpa
surat perintah) atau
tindakan hukum
terhadap jurnalis
atau perusahaan
media
Jurnalis dituntut /
didakwa dengan
menggunakan aturan
hukum di luar UU
Pers (misalnya
dituntut dengan
menggunakan
KUHP)
c
Jurnalis dihukum
atau dipenjara
dengan
menggunakan aturan
hukum di luar UU
Pers (misalnya
dituntut dengan
menggunakan
KUHP)
d
Media dituntut /
didakwa secara
perdata, dengan
jumlah nominal
melebihi batas
25 Juni
2012
37. 37
kemampuan finansial
media
sejumlah tokoh ulama sepuh
sebagai ilustrasi beritanya.
„h Mengajukan somasi
(peringatan) ke redaksi
pemberitaan Metro TV.
4. Akses Informasi
a
Halangan dari
pejabat publik atau
masyarakat untuk
meliput atau
membatasi akses
liputan di suatu
wilayah (misalnya
halangan bagi
wartawan untuk
meliput ke daerah
konflik dan
sebagainya)
4.Sensor
Peraturan
pemerintah daerah
yang membatasi
kegiatan media
b
Adanya kewajiban
ijin (lisensi khusus)
untuk menerbitkan
suratkabar atau
majalah
Pejabat pemerintah
daerah memaksa
memeriksa terlebih
dahulu isi berita
sebelum
dipublikasikan
(sensor)
c
d
Pejabat pemerintah
daerah melakukan
pelarangan terbit
suatu berita (Khusus
untuk media
elektronik: Jika ada
pencabutan ijin
frekuensi, apakah
pencabutan frekuensi
25
Februari
2012
„h Tata tertib yang dibuat DPR
diantaranya masalah peliputan,
dimana wartawan harus
memenuhi syarat-syarat untuk
dapat meliput, dan memiliki kartu
peliputan.
„h Media televisi diharuskan
mengajukan izin tujuh hari
sebelumnya jika ingin melakukan
reportase langsung.
Jurnalis
Badan
Urusan
Rumah
Tangga
(BURT) DPR
8 Juni
2012
Dihalangi masuk untuk meliput
penggeledahan KPK di gedung
MNC Tower.
Jurnalis
Satuan
pengamanan
MNC Tower
19
September
2012
a
1
Pengawal Hartati menghambat
upaya para jurnalis untuk
mendapatkan keterangan dan
gambar Hartati setelah proses
pemeriksaan di Gedung KPK.
Jurnalis
Pengawal
Hartati
38. 38
e
tersebut sesuai
dengan prosedur
atau tidak)
Kelompok massa
tertentu (organisasi
agama, masyarakat,
preman dsb)
memaksa memeriksa
terlebih dahulu isi
berita sebelum
dipublikasikan
6. Kontrol Media Lewat Alokasi APBD
a
b
c
Mengalokasikan
dana khusus dalam
APBD untuk
wartawan dengan
tujuan untuk
mempengaruhi
independensi jurnalis
(misalnya dana itu
dipakai sebagai jatah
amplop kepada
wartawan atau iklan
di media)
Mengalokasikan
dana taktis (dana di
luar APBD) untuk
wartawan atau media
1
2012
APBD Pemprov DKI Jakarta
tahun anggaran 2012.
„h Program peningkatan citra
positif pemerintah
Jurnalis
Pemda DKI
Mengontrol isi
pemberitaan media
melalui alokasi iklan
atau subsidi
7. Tekanan Pihak Eksternal
a
b
c
d
Dipaksa untuk
meliput atau
memberitakan suatu
peristiwa karena
berkaitan dengan
keuntungan /
kepentingan pemilik.
Dipaksa oleh pemilik
media untuk tidak
memberitakan suatu
peristiwa.
Diberhentikan dari
media tempat
bekerja karena berita
yang dibuat atau
akibat konflik dengan
pemilik media
Diberhentikan dari
media tempat
bekerja karena
membentuk serikat
1
3 April
2012
„h Menuntut pengembalian
pemotongan gaji, kompensasi
tunai atas Jamsostek, dan
tunjangan kesehatan.
„h Pemecatan 13 wartawan IFT
13 wartawan harian
ekonomi Indonesia
Finance Today (IFT)
Manajemen
Indonesia
Finance
Today
1
3 Februari
2012
Dibebastugaskan karena
dianggap vokal memperjuangkan
kesejahteraan karyawan.
„h Merencanakan pembentukan
Luviana, produser Metro
TV
Manajemen
Metro TV
39. 39
pekerja.
e
Media yang dimiliki
oleh kelompok kecil
pemilik media yang
berpotensi
membatasi cakupan
berbagai informasi.
8. Tekanan Pihak Internal
a
b
Melakukan swa
sensor (tidak
memberitakan suatu
peristiwa karena
alasan tertentu di
internal media)
Tidak secara tegas
melarang jurnalis
menerima amplop
Sumber: ISAI, 2013
serikat pekerja.
40. 40
Profil Penulis
Abdul Manan lahir di Probolinggo, 5 Juli 1974.
Menempuh pendidikan menengah, SMP dan SMA, di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo,
Jawa Timur. Kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi – Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS).
Pengalaman kerja: koresponden Detektif dan Romantika (D&R) 1996-1999; Redaktur Harian Nusa,
Denpasar (1999-2001); jurnalis Tempo (2001-sekarang).
Pengalaman Organisasi:
Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya 1998-1999; divisi Organisasi AJI Jakarta 2002;
Divisi Organisasi dan Divisi Dana AJI Indonesia 2003-2005; Sekretaris Jendral AJI Indonesia 2005-2008;
Badan Pemeriksa Keuangan AJI Indonesia 2008-2011; Koordinator Majelis Etik AJI Indonesia 2011sekarang; Ketua Federasi Serikat Pekerja Media Independen 2008-sekarang; Ketua Dewan Karyawan
Tempo 2009-2012; Wakil Ketua Dewan Karyawan Tempo 2012-sekarang.
Buku dan laporan.
Penulis Laporan Tahunan AJI 2008: Dijamin Tapi Tak Terlindungi, AJI Indonesia, Agustus 2008; Laporan
Tahunan AJI 2011: Menjelang Sinyal Merah, AJI Indonesia, Agustus 2009; Laporan Tahunan AJI 2010:
Ancaman Itu Datang dari Dalam, AJI Indonesia, Agustus 2010; Laporan Tahunan 2009: Pers di Pusaran
Krisis dan Ancaman, AJI Indonesia, Agustus 2010; Laporan Tahunan AJI 2010: Ancaman Itu Datang dari
Dalam, AJI Indonesia, Agustus 2011.