SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  18
Télécharger pour lire hors ligne
IJTIHAD AL-ILMI AL-‘ASHRI
                     (Modern Scientific Ijtihad)
                      Oleh: H. Hadi Mutamam

     Abstract: all problems faced by Muslim in the contemporary
     life must be answerable in Islamic law. The Koran and the
     Prophet tradition have given general principles in many
     aspects so that it is untenable to say that there is no answer
     for a problem. In addition, the development of Islamic studies
     has opened the opportunity for nowadays Muslim to carry out
     ijtihad either individual ijtihad, collective ijtihad or thematic
     ijtihad. Yet, in order to realize this, Muslims have to study
     classical Islamic jurisprudence critically. This is done by
     studying a thought contextually, i.e. by carefully examining
     where and when an Islamic scholar lived.

Kata kunci : Ijtihad, ijtihad al- ilmi al-ashri, mawdhu’i.

Pendahuluan
       Antara pemahaman mengenai bermazhab dan sejarahnya ketika
dikaji dengan teliti sebenarnya terjadi kesenjangan. Bermazhab selama
ini pada umumnya dipahami sebagai identik dengan melakukan taqlid.
Pemahaman seperti ini juga dipraktikkan oleh para pengikut mazhab
pada umumnya, sehingga hampir dapat dikatakan bahwa penggunaan
istilah tajdid atau ijtihad pun sangat enggan dan tidak berani. Lebih
dari itu, bermazhab juga sering diberi arti dengan menjadikan
pemikiran ulama masa lalu sebagai “dokrin” dan bahkan juga
“dogma” agama. Tambah jauh lagi, fiqh siyasah yang ketika lahir
sama sekali empirik, lalu menjadi dokrin yang dianggap berdosa jika
mengkritik. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian bermazhab sering
dicitrakan dengan taqlid secara harfiah –sebagaimana dalam tingkatan
pertama di atas- atau tinggal menerima barang matang (fi al-aqwal)
dan sangat jauh dari sentuhan kajian metodologinya. Dengan uraian di
atas, ini jelas sekali dapat dipahami mengapa sering terjadi stagnasi?
Sebab utamanya adalah pemahaman mengenai bermazhab yang
membelenggu diri. Sikap seperti ini akan sulit membuat terobosan
untuk mampu menjangkau penyelesaian permasalahan yang aktual
yang akan selalu muncul ke permukaan. Hal seperti ini yang perlu
diusulkan adanya redefinisi bermazhab. Redefinisi itu perlu bukan
saja bagi mereka yang menjadi pengamal bermazhab, namun juga bagi
mereka yang mengkritik praktik bermazhab.
       Sebaliknya, ijtihad selama ini ditempatkan pada posisi yang


      Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Dakwah STAIN Samarinda.
H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......101


terlalu tinggi dan tidak akan dapat tersentuh oleh para pendukung
mazhab. Dalam waktu bersamaan, ijtihad dijadikan ungkapan yang
terlalu enteng bagi mereka yang anti-mazhab. Syarat-syarat ijtihad
yang begitu berat juga perlu dikaji ulang, oleh karena hampir tidak
mungkin tersentuh untuk masa kini. Demikian pula beban yang terlalu
berat dan tuntutan yang terlalu tinggi ketika melakukan ijtihad juga
perlu diluruskan. Toh dalam kenyataannya, setiap kitab fiqh,
meskipun kitab yang sangat sederhana, selalu pula menyebutkan
istilah ijtihad untuk syarat seorang hakim.
       Kalau dilihat sejarahnya, sebelum abad ketiga hijriah syarat-
syarat ijtihad yang ketat belum muncul. Jadi terjadi paradoks dan
perlu kajian mendalam dan sekaligus keberanian meredefinisi ijtihad
untuk kemudian memunculkan konsep ijtihad baru atau modern.
Ijtihad hendaknya menjadi sebuah formulasi metodologi yang dapat
dibentuk sebagai hasil kajian kritis terhadap konsep dan anggapan
tentang bermazhab dan berijtihad secara konvensional yang dipadukan
dengan tuntutan zaman dan pertanggung jawaban tradisi akademik.
Maka, ijtihad perlu argumentasi deduktif sebagai wujud sumber asal,
seperti selama ini dipahami dan diikuti. Dalam waktu bersamaan
ijtihad juga perlu argumentasi induktif atau empirik sebagai ciri
akademik yang realistis.

Pengembangan Metodologi : Menuju Ijtihad Baru
      Kalau di atas sudah dikemukakan bukti mengenai praktik
perjalanan bermazhab dari awal sampai dengan beberapa abad
berikutnya, maka usaha untuk melakukan redefinisi bermazhab dari
pemahaman yang sempit perlu dilakukan beberapa upaya dan
tahapannya yang kemudian akan bertemu dengan praktik ijtihad.
Beberapa upaya itulah yang menurut hemat penulis perlu dijalankan
oleh para pemikir hukum Islam (fuqaha’ khususnya generasi
mudanya) seusai dengan tuntutan zaman untuk berani memulai
membuat terobosan. Ijtihad menurut hemat penulis, merupakan suatu
keharusan dilakukan oleh ulama pada zamannya (ulama’ al-zaman),
sesuai dengan tuntunan dan kebutuhan yang ada.
      Ijtihad merupakan cara untuk memperoleh landasan, pedoman,
petunjuk, dan sekaligus arah ke depan serta legitimasi dalam hidup
dan kehidupan umat. Umat Islam ditantang untuk menjadi umat
terbaik (khayr ummah), sebagaimana dalam QS Ali Imran 3:110. Ayat
ini menurut penulis bukan pemberian secara cuma-cuma dan
preroggatif, namun lebih merupakan tantangan. Oleh karena itu,
responnya bukan bermalas-malas dan tidur lantaran beranggapan
sudah ada jaminan. Namun harus bekerja keras untuk mampu
mewujudkan ma’ruf untuk kemudian pantas mengajak umat kepada
ma’ruf, dan mampu menghindari kemungkaran untuk kemudian
102              , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


pantas melarang orang lain dari kemungkaran.1
      Pertanyaan menggelitik adalah mampukan umat mewujudkan
hukum Islam yang benar-benar dapat membangun masyarakat
modern, kaya, adil, makmur, aman, dalam kehidupan yang plural di
tengah-tengah era globalisasi?. Inilah salah satu tugas dan sekaligus
tantangan bentuk baru hukum Islam. Oleh karena itu, formulasi ijtihad
baru juga sudah menjadi tuntutan untuk dibangun, yang tentu tidak
dapat lepas sama sekali dari proses continuity dari bermazhab dan
ijtihad masa lalu. Formulasi ini juga diperlukan bagi mereka yang
akan menghasilkan gelar akademik tertinggi, yaitu doktor sehingga
akan mampu mendemonstrasikan karya orisinilnya.2
      Untuk mewujudkan formulasi ijtihad modern yang mampu
memberi jawaban masa kini dan diharapkan juga untuk masa yang
akan datang, diperlukan persiapan langkah-langkah. Perlu penulis
kemukakan bahwa ijtihad yang dimaksudkan di sini adalah mawdhu’i,
tematik atau, kasus perkasus yang muncul pada waktu kini dan
jawabannya akan mampu hidup untuk masa kini dan waktu yang akan
datang. Langkah-langkah tersebut setidak-tidaknya meliputi sebelas
hal, sebagai berikut :
      Pertama, lebih mementingkan atau mendahulukan sumber
primer (primary sources)3 dalam sistem bermazhab, atau dalam
menentukan rujukan. Dalam bermazhab Al-Syafi’i, umpamanya, agar
menekankan untuk mengkaji secara intensif, serius, dan kritis kitab-
kitab karya imam Syafi’i sendiri. Kemudian karya murid-murid
terdekatnya yang dianggap lebih memahami terhadap pendapat
imamnya lewat teks hidup berupa perjalanan dan perilaku imam Al-
Syafi’i sehari-hari. Kemudian menurun karya-karya imam-imam besar
secara langsung, seperti Al-Ghazali, Al-Mawardi, Imam Al-Haramyn

      1
          A. Qadri Azizy, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam
(Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani), (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2003), h. 103-104
       2
         Dalam rangka membedakan standar minimal kualitas lulusan bagi masing-
masing strata untuk fakultas atau jurusan ilmu keislaman, saya mendefinisikan gelar
S-3 (doktor atau Ph. D.), sebagai alim yajtahid (sarjana yang mampu berijtihad
mawdhu’i) atau ‘alim yujaddid (sarjana yang mampu melakukan tajdid). Oleh
karena itu, mereka yang menyandang gelar S-3 ini harus mempunyai pemikiran
orisinal. Sedangkan lulusan S-2 (magister) sebagai ‘alim yatahaqqaq (sarjana yang
mampu menganalisis kritis-belum dituntut untuk berijtihad untuk standar
minimalnya). Sementara itu, S-1 sebagai rajul yata’allam (seseorang yang baru lulus
belajar untuk menjadi sarjana atau ‘alim. A. Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu
Keislaman (Jakarta : 2003), h. 67-71.
       3
          Primary sources ini dalam rangka mengambil fakta (fact) dan bukti
(evidence) kebenaran tentang apa yang menjadi pendapat seseorang ketika pendapat
tadi disandarkan kepadanya. Ini juga merupakan upaya untuk memperoleh
kebenaran sejarah (historical tructh). Lihat, antara lain, Jacques Barzun dan Henry F.
Graff. The Modern Researcher (New York : Harcourt Brace Jovanovich, 1985).
H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......103


Al-Juwayni, dll.
       Perlu disadari bahwa jika dikaji kitab-kitab fiqih, akan
ditemukan perbedaan pendapat dalam menentukan hukum Islam.
Perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam fiqih adalah sebuah kebiasaan
dan tradisi. Itulah sebabnya, maka telah muncul ungkapan malam
ya’rif al-khilaf lam yasyumma ra’ihat al-fiqh (barang siapa yang tidak
mengetahui perbedaan pendapat, ia tidak mencium aroma fiqih).
       Dalam konteks ini harus berani pula menguji pendapat ulama-
ulama besar tersebut, sehingga ada kemungkinan bahwa beberapa
pendapat yang semula dianggap pinggiran (gharib, syadz, lemah, atau
sejenisnya) menjadi ditengah (shahih, maqbul, atau sejenisnya), dan
sebaliknya. Dalam melaksanakan kajian seperti ini dapat dengan cara
bekerja sama antar para ilmuan. Kerjasama ini menjadi sebuah
keharusan ketika objek bahasannya mencakup disiplin lain.
       Kedua, berani mengkaji pemikiran ulama atau hasil keputusan
hukum Islam oleh organisasi keagamaan tidak lagi secara doktriner
dan dogmatis. Namun dengan critical study sebagai sejarah pemikiran
(intellectual history atau history of ideas).4 Artinya, mengkaji sejarah
pemikiran ulama dan sekaligus latar belakang mengapa ulama tersebut
berpendapat seperti ini; atau terdapat organisasi keagamaan mengapa
para ulama dari organisasi tersebut berpendapat seperti itu. Nah cara,
metodologi, dan proses pemikiran mereka itulah yang justru lebih
banyak dikaji dan diikuti alur prosesnya, bukan semata-mata produk
matangnya. Toh kalau hasilnya juga sama tidak akan ada masalah pula
serta tidak akan dianggap sia-sia dan tetap mempunyai arti yang
dalam. Dengan kata lain, akan mencakup pendekatan bahwa
bermazhab fi’l-manhaj dalam hal-hal tertentu menjadi keharusan
untuk dipraktikkan. Kalau hal seperti ini akan dipraktikkan secara
konsekuen, maka konsep talfiq (menggabungkan beberapa pendapat
ulama dari mazhab yang berbeda) perlu diadakan redefinisi.
       Talfiq yang selama ini dipahami dalam tradisi bermazhab adalah
dalam konteks bermazhab fi al-aqwal pada tingkatan taqlid. Dalam
talfiq yang demikian berbeda dengan eklektisisme yang memang
selalu terjadi. Bahkan juga saling silang antar ulama di satu mazhab
dengan ulama di mazhab yang lain, dan tidak sedikit pula ulama
berani berbeda dengan imamnya sendiri yang kemudian, baik
kebetulan atau kesengajaan, berpendapat sama dengan imam mazhab
yang lain.5 Sedangkan eklektisisme selalu terwujud dalam sejarahnya,

       4
         Untuk memahami lebih mendalam tentang history of ideas, lihat antaralain,
David Hackett Fisher, Historian’s Fallacies: Toward a Logic of Historical Thoght
(New York: Harpet Torchbook, 1970); Edward Hallet Carr, What in History? (New
York : Vintage Book, 1961); Mircea Eliade, A History of Ideas (Chicago Press,
1985).
       5
         Kenyataan seperti ini dapat kita lihat pada kitab-kitab ikhtilaf al-‘ulama.
Lihat Abu Ja’far Muhammad Al-Thahawi, Ikhtilaf Al-‘Ulama’, ditahqiq oleh
104             , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


terutama sekali ketika juga melalui pelaksanaan bermazhab fi-al-
manhaj, apa lagi pengembangan metodologi yang juga tidak jarang
terjadi, seperti disebutkan beberapa contohnya di atas. Artinya,
penggabungan itu atas argumentasi dan manhaj, tidak semata-mata
taqlid kemudian memilih atas dasar keinginan perasaan semata
(desire/hama).
       Demikian pula ilmu ushul al-fiqh harus lebih mendapatkan
perhatian dan sekaligus kesempatan untuk dipraktikkan, bukan
sekadar untuk dihafal atau dipelajari sebagai doktrin yang beku yang
tidak dapat dipraktikkan. Dengan cara seperti ini, secara otomatis akan
mengubah tempat fuqaha tadi dari posisinya sebagai muqallid berubah
menjadi muttabi – dan praktik-praktik taqlid berubah menjadi praktik
ittiba’ atau justru lebih tinggi lagi. Diposisikan sebagai sejarah
pemikiran dalam konteks kajian akademik, berarti juga akan dapat
dijadikan living knowledge6 dalam perannya menjadi inspirasi untuk
memunculkan pemikiran baru. Lebih dari itu, juga sekaligus dapat
menjadi referensi orisinil dan legitimate, ketika hasil pemikiran masa
lalu itu masih sangat relevan dengan jawaban yang diharapkan untuk
masa kini.
       Bahkan referensi itu juga sekaligus dapat menjadi dasar dengan
argumentasi yang riil, sebagaimana dalam tradisi kajian akademik di
dunia Barat. Sejarah pemikiran ini dapat pula dilebarkan yang akan
mencakup bukan hanya ulama dalam satu mazhab, namun juga ulama
di luar mazhabnya, bahkan juga di luar mazhab yang ada. Dalam
kajian tingkatan ini, tradisi tarjih harus dipraktikkan, sebagaimana
menjadi kebiasaan di dunia akademik. Mereka mendialogkan bahkan
juga memperdebatkan pendapat yang berbeda, seolah para ulama yang
mempunyai perbedaan itu masih hidup yang duduk di meja bundar
untuk memperdebatkan suatu kasus dengan argumentasi yang mereka
gunakan. Dan ketika mendialogkan pendapat-pendapat itu, historical
backgrounds dari riwayat kehidupan mereka juga harus dijadikan
pertimbangan, yang berarti merambah wilayah hermeneutika.7
       Dalam waktu bersamaan, sejarah sosial hukum Islam (social
history of Islamic Law) menjadi sangat diperlukan,8 bahkan

‘Abdullah Nadzir Muhammad, 5 Juz (Beirut: Dar Al-Basyair Al-Islamiyah, 1995).
Ini edisi Beirut, dan dalam bab yang lain dalam tulisan ini, saya juga menggunakan
edisi Pakistan.
       6
         S. Hossein Nasr, “Philosophy”, dalam Leonard Binder (ed.), the Study of the
Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences
(New York : John Wiley & Sons, 1976), h. 327-346.
       7
          Dalam hal ini Fazlur Rahman sudah bicara mengenai double movement
dalam kontek hermeneutika. Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformations
of an Intellectual Tradition (Chicago : The University of Chicago Press, 1982).
       8
         Sejarah hukum Islam ini dapat pula diperleh dari putusan pengadilan dan
fatwa; namun dua sumber ini belum banyak mendapatkan perhatian para ahli hukum
Islam di Indonesia ketika mengkaji hukum Islam. Dua sumber ini juga dapat disebut
H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......105


hendaknya dapat dijadikan topik dalam perkuliahan. Dengan
demikian, mudah dapat dipahami mengapa ulama Kufah berbeda
pendapat dalam banyak hal dengan ulama Makkah, karena salah satu
faktornya adalah latar belakang kehidupannya berbeda.9 Dan jangan
heran kalau ulama yang hidup di Istana akan mempunyai pendapat
yang berbeda dengan ulama yang hidup di penjara tentang kasus yang
sama. Itulah maka penulis sebutkan dengan istilah living knowledge.
      Dalam waktu bersamaan, dengan prosedur seperti ini, maka
proses historical continuity, yang juga merupakan salah satu ciri
akademik atau scientific di dunia Barat, dapat dijamin. Sudah barang
tentu dalam hukum Islam ini tidak dapat dihindari keberangkatan
penilaian dari sumber utama berupa wahyu Allah, baik dalam
wujudnya pada Al-Qur’an maupun pada hadits Nabi. Namun juga
harus disadari bahwa bagaimana memahaminya dan memaknainya
juga perlu ada penyegaran dan dalam batas-batas tertentu harus
dilakukan reinterpretasi.
      Ketiga, Semua hasil karya ulama masa lalu diposisikan sebagai
pengetahuan (knowledge), baik yang dihasilkan atas dasar deduktif
dan verstehen maupun yang dihasilkan secara empirik. Hanya
keberadaan teks Al-Qur’an dan teks hadits yang terbatas (khususnya
yang mutawatir) saja yang tidak dapat diuji ulang (re-examined),
meskipun pemahamannya tetap dapat dikaji secara mendalam.
Selebihnya, terhadap semua ilmu-ilmu keislaman dapat dilakukan re-
examine, termasuk pembukuan hadits. Sebab, pembukuan hadits dan
status hadits yang menghasilkan kutub al-sittah, kutub al-tis’ah dan
seterusnya adalah produk pemikiran manusia yang melalui proses
keilmuan (scientific, scholarly, critical studies), sehingga sangat


empirik dari realitas hukum Islam yang pernah terimplementasikan. Lihat
Muhammad Khalid Masud, Brinkley Messick dan David S. Power (eds), Islamic
Legal Interpretation: Muftis and Their Fatwas (Camridge: Harvard University
Press), 1996. Dapat pula sebagai bahan untuk ini, kumpulan artikel dari jurnal yang
pernah saya jadikan bahan materi perkuliahan untuk mata kuliah “Social History of
Islamic Law di McGill University, Montreal, Kanada, ketika saya menjadi visiting
professor, dan kini saya edit untuk kemudian akan diterbitkan oleh Logos, Islaic
Law: Socio-Historical Contexts.
       9
         Salah satu usul saya adalah menjadikan topik ikhtilaf al-fuqaha’ sebagai
salah satu sub-disiplin yang hendaknya dikaji serius di Perguruan Tinggi. Kajian
dimaksud lebih mengarah pada mengapa terjadi perbedaan (dari segi manhaj),
bukan sekadar untuk memanfaatkan hasil matang (aqwal) dari perbedaan itu. Lebih
dari itu, kajian ikhtilaf al-‘ulama’ perlu dilakukan dengan cara descriptve dan
argumentatif bukan polemik (polemical). (Pengelompokan kajian ikhtilaf al-‘ulama’
menjadi descriptive dan polemical ini merupakan pendapat orisinil saya). Kerangka
dasar (teoritis) kajian ikhtilaf al-‘ulama’ secara akademik dan descriptive, lihat
Azizy, “Justic Defferences (ikhtilaf) in Islamic Law: Its Meaning, Early Discussions,
and Reasons (A Lesson for Contemporary Characteristics)” dalam Al-Jami’ah, 39: 2
(July-December, 2001).
106             , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


mungkin untuk dikaji ulang.10
       Dengan kata lain lagi, ilmu-ilmu keislaman, selain teks Al-
Qur’an dan teks hadits yang terbatas, adalah karya intelektual
manusia, yang ada kemungkinan diadakannya re-examination untuk
kemajuan umat manusia masa kini dan masa yang akan datang dalam
rangka rahmatan li al-alamin dan hasanah fi al-dunya, disamping
hasanah di al-akhirah. Hal itu meliputi pemaknaan dan pemahaman
terhadap nash, baik Al-Qur’an maupun hadis.
       Dan ketika menyebut istilah pengujian atau pemaknaan ulang,
maka akan memberi peran akal sangat besar. Jadi bukan barang “suci”
yang tidak dapat tersentuh, yang kemudian menjadi barang beku.11 Ini
berarti perlu rekonstruksi-rekonstruksi terhadap ilmu-ilmu keislaman
dan beberapa alat untuk prosedur ijtihad baru. Termasuk hal yang
sangat penting adalah menempatkan ilm ushul al-fiqh sebagai ilmu
alat, sehingga keberhasilannya diukur dari seberapa besar atau banyak
hasil dari praktik penggunaan alat bernama ushul al-fiqh itu. Bukan
seberapa banyak teks kitab-kitab ushul al-fiqh dihafal oleh mahasiswa
atau oleh ulama. Harus disadari bahwa ilmu ushul al-fiqh itu adalah
materi hukum Islam atau fiqh itu, bukan demonstrasi kehebatannya
hafal defenisi-defenisi dari rincian materi ilm ushul al-fiqh yang
ditulis dalam kitab yang besar-besar.
       Keempat, mempunyai sikap terbuka terhadap dunia luar dan
bersedia mengantisipasi terhadap hal-hal yang akan terjadi. Tidak
menggunakan sikap asal tidak setuju (apriori), sekadar untuk menolak
pemikiran maju ke depan. Dalam konteks ini pula, bukan saja kita
akan terlibat dalam mengambil bagian untuk masalah-masalah
keagamaan dalam arti sempit (ritual), namun juga untuk masalah-
masalah keduniaan atau kemasyarakatan secara luas. Justru masalah
keduniaan inilah yang kini sangat mendesak untuk diberi makna
kaitannya dengan hukum Islam. Dalam pengertian keterbukaan ini
pula kesediaan fuqaha untuk bekerja sama dengan lembaga/instansi
lain. Mereka dengan sadar bersedia menambah ilmu pengetahuan di
luar dunianya yang bisa mendukung untuk kematangan spesialisasi
ilmunya.
       Di sini juga diperlukan suplemen pengetahuan di luar disiplin
hukum Islam, seperti ilmu-ilmu sosial dan humaniora, sehingga akan
mampu menggunakan inter atau multi disipliner. Bahkan hasil kajian
sain dan teknologi kedokteran atau rekayasa (engineering) lainnya,

       10
          Kumpulan hadits sebagai karya intelektual manusia dan sekaligus kritik dan
pengembangan ilmu hadits, saya diskusikan meskipun masih secara elementer dalam
Azizy, “Hadits dan Sunnah”, dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam” (Jakarta :
Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 213-229.
       11
          Lihat sub-bab “Rekonstruksi Proses Keilmuan dalam Islam” dalam Azizy,
Pengembangan, h. 19-27.
H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......107


tidak dapat disia-siakan dalam proses ijtihad atau setidaknya istimbath
al ahkam ini. Masa lalu para imam besar juga mempunyai kedalaman
ilmu, yang bukan saja hukum Islam, seperti yang dipahami sekarang.
Istilah metode istiqra’i yang dilakukan oleh imam Al-Syafi’i adalah
salah satu contohnya. Dengan metode inilah, Al-Syafi’i bukan saja
melakukan penelitian sosiologis, namun juga antropologis, sehingga
sangat menyentuh realitas umat yang menjadi sasaran penelitian untuk
kemudian menjadi sasaran ketentuan hukum Islam yang waktu itu
telah memberi jawaban.
       Sebagai contoh, kalau Al-Syafi’i untuk menentukan jenis atau
batasan darah haid atau istihadhah dengan metode istiqra’i, bukankah
lebih efisien kalau menggunakan alat tes sederhana, seperti “sensitive
test”? penggunaan laboratorium untuk mengetes komponen-
komponen makanan atau minuman atau lainnya dapat dijadikan
contoh. Dalam konteks globalisasi, bukankah kini sudah sampai pada
hukum wajib untuk meningkatkan SDM (sumber daya manusia -
hukum resources) dalam rangka mempersiapkan diri dalam kehidupan
global, dimana kompetisi menjadi ciri utamanya? Dan bukankah
mewujudkan masyarakat madani menjadi hukum wajib pula, ketika
hal itu menjadi syarat untuk mampu mewujudkan SDM tadi (ma la
yatimmu al-wajib illa bihi fa-huwa wajibun)? Dan masih banyak lagi
dapat dikemukakan contoh. Menurut hemat penulis, jenis disiplin ilmu
dan teknologi itu, setidak-tidaknya, dapat ditempatkan pada posisi
“isra iliyat” yang diperluas dalam konteks kajian tafsir, yang pada
umumnya para mufassirun menggunakannya. Untuk kasus besar
hendaknya melibatkan spesialis atau expert disiplin lain atau bahkan
mengajak beberapa orang sebagai bentuk ijtihad jama’i. Namun
penggunaan ilmu bantu itu harus ada batasan, yang inipun
memerlukan kajian serius untuk membuat standar dan sekaligus
formulasi penggunaan ilmu bantu dalam prosedur berijtihad itu.
       Kelima, hendaknya meningkatkan daya tangkap (responsif) dan
cepat terhadap permasalahan yang muncul, dimana biasanya umat
ingin cepat mendapatkan jawaban hukum agama dari para ahli hukum
Islam. Jadi tidak membiarkan umat terlalu lama menunggu jawaban
hukum agama itu. Untuk itu, hendaknya mempunyai jaringan atau
organisasi yang bisa dengan cepat mempertemukan diantara fuqaha
sediri untuk dengan cepat mengambil inisiatif menanggapi
permasalahan yang ada. Seharusnya IAIN/UIN/STAIN atau STAI
dengan lembaga atau pusat penelitiannya mempunyai pusat kajian
(ma’mal al-buhuts), yang salah satu program melakukan kajian dan
ijtihad ini, terutama sekali terhadap kasus-kasus (waqi’ah) yang
muncul. Ini baik untuk hukum Islam secara umum maupun untuk
masalah-masalah yang lain, termasuk masalah politik, meskipun yang
terakhir ini biasanya cukup sensitif.
       Di sinilah ijtihad jama’i dituntut dan sekaligus untuk
108            , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


terwujudnya sebuah mekanisme yang menjadikannya cepat dilakukan.
Kecepatan sikap tanggap terhadap makanan halal untuk produk-
produk jadi adalah salah satu contoh kepedulian ahli hukum Islam
terhadap permasalahan keagamaan yang dihadapi oleh masyarakat.
Demikian pula kesepatan sikap tanggap terhadap persoalan-persoalan
yang erat sekali kaitannya dengan globalisasi, menjadi suatu tantangan
dan sekaligus kebutuhan para ilmu itu.
      Keterlibatan fuqaha kontemporer merupakan suatu keharusan
dalam berusaha untuk mewujudkan hukum yang adil dan etis,
menegakkan hukum (terwujudnya law enforcement), mendidik umat
untuk taat hukum, dan sekaligus melepaskan bangsa ini dari krisis
hukum – yang merupakan salah satu rangkaian krisis dalam “krisis
lingakaran setan” atau krisis multidimensional. Konsekuensinya,
hukum Islam akan mampu memberi pegangan kepada umat untuk
kehidupan yang dialami di dunia. Meskipun demikian ini sebenarnya
adalah responsif yang pasif, belum aktif atau proaktif. Pasif, karena
hanya merupakan reaksi atau respon dari kasus (waqi’ah) yang
muncul; dan biasanya setelah ada jawaban lalu berhenti dan dianggap
selesai. Dan kita masih perlu di bawah ini.
      Keenam, penulis mengusulkan penafsiran yang aktif dan pro
aktif, bahkan progresif.12 Yang dimaksudkan dengan aktif atau
proaktif adalah ketika jawaban hukum Islam itu sekaligus mampu
memberi inspirasi dan guidance untuk kehidupan yang sedang dialami
oleh umat. Fatwa hukum wajib bagi umat untuk meningkatkan SDM
adalah salah satu contoh apa yang dimaksudkan agar keputusan
hukum Islam juga memberi makna progresif. Yaitu, ketika keputusan
atau penafsiran itu mampu memberi inspirasi dan sekaligus guidance
atau hudan untuk masa depan umat, bukan hanya yang sedang
dialami. Fatwa hukum wajib, setidaknya kifayah, bagi umat untuk
melakukan penelitian angkasa luar (ketika fatwa itu dikeluarkan
sebelum Apollo 11 mendarat di bulan), sebagai hasil penetapan
hukum atas dasar penafsiran QS Al-Rahman [55]:33 adalah contoh
progresif ini. Fatwa hukum Islam untuk mendorong umat agar
memperdalam ICT (information and communication technology),
dapat dijadikan contoh yang progresif ini (ketika fatwa ini dikeluarkan
beberapa tahun lalu sebelum ICT di meja kita). Untuk ini masih
bagaikan hutan belantara untuk dijadikan objek kajian serius dalam
memahami atau memaknai nash wahyu atau memberi ketentuan
hukum Islam.
      Ketujuh, ajaran al-ahkan al-khamsah atau hukum Islam berupa
wajib, haram, sunnah, makru, dan mubah agar dapat dijadikan sebagai


        12
           Dalam beberapa contoh sudah saya lakukan reinterpretasi ini. Lihat
Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam.
H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......109


konsep atau ajaran etika sosial.13 Selama ini ada kritik bahwa hukum
Islam selalu berkutat pada dunia ibadah murni (mahdhah atau ritual)
dan kurang menyentuh kehidupan sosial. Itulah sebabnya, maka Islam
kurang maju dalam keduniaan. Ajaran-ajaran yang agung tidak
terimplementasikan dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, perlu
menerapkan konsep al-ahkam al-khamsah ini sebagai etika sosial,
sebuah tuntunan dan tuntutan dengan makna agama untuk mendukung
keteraturan dan ketentraman sosial. Adalah sudah seharusnya bahwa
nilai-nilai kebersihan, kerja keras, menepati janji, kedisiplinan,
tanggung jawab, dan sejenisnya harus mendapatkan legitimasi hukum
Islam ini, yang dengan tegas mempunyai konsekuensi pahala-dosa di
akhirat. Hal-hal untuk mewujudkan kemaslahatan umum (masalih
ammah) seperti kepentingan publik hendaknya mendapatkan
penekanan oleh hukum Islam yang lima ini. Prestasi keilmuan,
termasuk karya orisinil dan jenis-jenis karya yang lain juga hendaknya
mendapatkan apresiasi dan sekaligus mendapatkan landasan hukum
Islam.14
       Kedelapan, menjadikan ilmu fiqih sebagai bagian dari ilmu
hukum secara umum. Di satu sisi ini memberi arti bahwa kajian ilmu
fiqih hendaknya dengan menggunakan bahasa ilmu hukum yang
kemudian akan dapat dipahami oleh para ahli hukum secara umum. Di
sisi lain, materi kajian hukum Islam hendaknya mencakup masalah-
masalah kehidupan umat yang sama dengan materi atau objek kajian
dalam ilmu hukum pada umumnya. Ini akan meliputi pendekatan dan
penggunaan terminologi. Jika sudah demikian, maka sasaran akhirnya
mestinya hukum nasional,15 sebagai perwujudan implementasi

         13
             A Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum
Islam dan Hukum Umum (Yogyakarta : Gama Media, 2002), h. 42-44; h. 64-72.
          14
             Dengan pemaknaan seperti ini, tidak lalu secara langsung menjadi fiqih
sosial. Menurut hemat saya, fiqih sosial hendaknya dimaksudkan sebagai Islamic
social sciences. Yakni, ilmu sosial yang keberangkatannya dari fiqih atau ilmu
agama. Di sini ada landasan deduktif dari nashsh (bagi yang ada nashsh-nya),
namun juga harus induktif atau empirik –terutama sekali kasus-kasus yang fi-ma la
nashsha lahu tidak ada nashsh-nya). Pengertian fiqih seperti ini berarti kembali pada
pengertian fiqih pada fase kedua yang identik dengan ilmu agama, termasuk
penggunaan judul kitab al-fiqh al-akbar, padahal kitab ini tidak membahas masalah
hukum. Saya sudah mendiskusikan hal ini di Azizy, Eklektisisme, h. 44-47; h. 2-4;
dan Azizy, Pengembangan, h. 11-27.
       15
           Secara akademik, untuk mengarahkan kajian hukum Islam ke dalam
konteks hukum nasional, saya telah menyiapkan dan sekaligus menawarkan kajian
hukum Islam secara akademik, meskipun masih berbentuk pengantar, dalam buku
saya. Lihat Azizy, Eklektisisme Hukum Umum. Ketika para ahli hukum Islam
mampu menempatkan kajian hukum Islam dalam konteks hukum nasional, ini akan
mempunyai konsekuensi bahwa mereka akan mampu pula menempatkan posisi ilmu
fiqih sebagai materi ilmu hukum, menempatkan pendapat fiqaha sebagai “doktrin”
dalam ilmu hukum, dan menempatkan buku-buku fiqih ke dalam “Rechtboek”
dalam konteks kajian ilmu hukum, khususnya hukum nasional. Azizy, Eklektisisme,
226-46. Kajian ilmu keislaman untuk pengalaman di dunia adalah suatu keharusan,
110             , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


mu’amalah bayn al-nas atau habl min al-nas, disamping materi
hukum Islam yang ritual, sebagai perwujudan habl min Allah atau
hubungan manusia secara personal dengan Tuhan sang Khalik. Ini
sekaligus jawaban terhadap kritik bahwa kajian hukum Islam hanya
masalah najis dan masalah shalat yang berarti terisolasi dan tidak
kontekstual. Namun yang paling penting adalah bahwa materi atau
objek kajian hukum Islam adalah untuk kehidupan di dunai yang
berarti membumikan agama atau hukum Islam. Sebagai hal yang riil
dan kontekstual, maka realitas pluralisme menjadi sebuah
pertimbangan, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya
reinterpretasi atau bahkan juga pembaruan.16 Sebagai hal yang riil,
kontekstual, dan mengarah pada hukum nasional, keberadaan NKRI
dan UUD 1945 juga menjadi bahan dalam proses ijtihad modern ini.
Dalam kajian sejarah, pengaruh hukum Islam ini juga telah terjadi di
Eropa, sebelum Eropa mengalami renaissance. Beberapa hukum
Islam, terlebih lagi nilai etikanya, telah diadopsi (bukan ditakuti) oleh
Eropa yang juga dalam beberapa hal masih berjalan sampai sekarang
dengan kemasan Eropa. Ini diakui oleh banyak ahli, seperti De
Santillana,17 W. Montgomary Watt,18 G. Weeramantry,19 dan lain-lain.
      Kesembilan, berbicara mengenai fiqih tidak dapat dilupakan
harus pula berorientasi pada kajian induktif atau empirik, disamping
deduktif.20 Tidak hanya deduktif. Dalam mengkaji dan


sehingga materi atau topik apa saja dari ilmu keislaman hendaknya mengarah pada
kemungkinan dan perlu atau bahkan harus berorientasi pada implementasi dan
kontekstual, bukan sesuatu yang khayal dan ngawang-ngawang yang tidak
membumi. Hal seperti ini pula yang menjadi kebijakan Dirjen Kelembagaan Agama
Islam (Bagais), sebagaimana dalam Surat Edaran Dirjen Bagais
No.DJ.II/PP.00.9/A2/8/2002, tanggal 31 Oktober 2002.
       16
          Lihat sub bab “Pembaharuan Hukum Islam”, dalam Azizy, Eklektisisme,
h.31-38.
       17
          De Santillana, the Legacy of Islam (Oxford : Oxford University Press,
1931).
       18
          W. Montgomary Watt, the Influence of Islam on Medieval Europe
(Edinburgh : Edinburgh University Press, 1978).
       19
          G. Weeramantry, Islamic Jurisprudence: An International Perpective
(London: McMillan Press, 1986).
       20
          Azizy, Perkembangan, 19-27. Lihat Azizy, Eklektisisme, 43-47. Induktif,
empirik dan pengembangan secara independen bagi cabang fiqih menurut hemat
saya sangat diperlukan, ketika fiqih mencakup seluruh “al-‘amaliyah” atau ilmu
agama yang berkaitan dengan perilaku mannusia selain akidah. Hal ini juga menjadi
konsekuensi al-ahkam al-khamsah, yang mencakup seluruh perilaku manusia
(Jakarta: LP3ES, 1982). Hal ini mengubah pandangan mengenai kebenaran mutlak
setiap hasil kajian keilmuan. Oleh karena itu, kemudian lebih menonjol istilah
interpretasi yang memberi ruang dan gerak untuk nilai subyektivitas dari sebuah
temuan ilmu-ilmu sosial atau juga budaya. Teori mengenai thick description karya
Clifford Geertz, the Interpretation of Cultures (New York : Basic Books, Inc.,
1973).
H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......111


mempraktikkan fiqih atau hukum Islam, semestinya ada
keseimbangan antara proses deduktif dan proses induktif. Proses
deduktif dapat terwakili bagaimana memahami nash dari wahyu yang
berupa Al-Qur’an dan hadits yang shahih dengan segala jenis
metodenya, termasuk qiyas. Sedangkan induktif adalah memberi
peran akal pada posisi yang sangat penting dalam membantu
mewujudkan hasanah fi-al-dunya dan hasanah di al-akhirah. Bentuk
induktif dapat berupa maslahah, istihsan bahkan juga ijma’ ketika
ijma’ itu dimaknai secara dinamis dan empirik. Ijma’ seharusnya
bukan onggokan doktrin masa lalu yang kini siap untuk membelenggu
umat dalam menatap kemajuan dunia. Ijma’ harus dimaknai prosedur
penciptaan mashalih ‘ammah (kemaslahatan umum atau universal
values) untuk kepentingan hidup dan kehidupan yang sejahtera
(litahqiqi mashalih al-nas) di dunia. Dalam praktiknya hendaknya
dipadukan antara konsep ijma’ menurut imam Al-Syafi’i (konsensus
internasional) dan konsep ijma’ menurut mazhab klasik atau sebelum
Al-Syafi’i (konsensus daerah –bisa dalam bentuk Perda; atau nasional;
-bisa dalam bentuk UU). Dengan demikian, konsep ijma’ akan dapat
dipraktikkan dalam kerangka NKRI. Dan berbicara masalah khayr
ummah, mashalih ‘ammah, hasanah fi al-dunya, dan semacamnya
akan sangat relevan, jika fiqih tidak diartikan secara sempit hanya
sebagai hukum dalam pengertian peraturan perundang-undangan,
terlebih kalau hanya masalah thaharah (bersuci dari hadas) dan ibadah
mahdhah.
      Kesepuluh, lepas dari apakah mashlahah itu sebagai bentuk
induktif, mashalih ‘ammah hendaknya menjadi landasan penting
dalam mewujudkan fiqih atau hukum Islam. Sebagaimana dalam
uraian dalam bab terdahulu bahwa dalam tradisi mazhab Al-Syafi’i,
mashlahah menjadi salah satu sumber hukum –penulis termasuk yang
berpendapat bahwa Al-Juwaynilah yang mencetuskannya- maka
mashalih ‘ammah menjadi hal yang sangat penting. Mashalih ‘ammah
ini dapat dipadankan dengan universal values yang sekiranya tidak
bertentangan dengan ajaran pokok Islam. Artinya, semua orang akan
merasakan kemaslahatannya, tanpa membedakan jenis, etnik, dan
bahkan juga agama. Tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam,
karena tidak mustahil dalam perkembangannya muncul nilai-nilai hak
asasi manusia (HAM) yang bertentangan dengan nilai Islam, seperti
kebebasan tanpa ada konsep dosa, seperti kebebasan seks dan
sejenisnya.
      Berbicara mengenai mashlahah, berarti mengakui bahwa akal
mempunyai peran besar. Kemaslahatan dunia menurut Al-Sulami
dapat diperoleh dengan adat kebiasaan, percobaan (tajarib), realitas
112            , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


yang dinilai oleh akal, dan semacamnya.21 Mashalih dapat dikatakan
sebagai konsep dari tradisi mazhab Al-Syafi’i, karena bukti yang
dapat diperoleh menunjukkan bahwa sumber pertama adalah dari Al-
Burhan fi Ushul Al-Fiqh karya Al-Juwayni, sebagaimana penjelasan
di atas. Kemudian dilanjutkan oleh Al-Gazali dalam Al-Mustashfa.
Bahkan Al-Gazali dalam Syifa’ Al-Ghalil lebih luas dan lebih longgar
dalam penggunaannya. Setelah Al-Gazali, Al-Razi (w. 606/1209) juga
dengan tegas menerimanya. Ulama Safi’iyah yang terkenal yang juga
membahas mashlahah adalah ‘Izz Al-Din ‘Abd Al-‘Aziz b. ‘Abd Al-
Salam Al-Sulami (w. 660/1261) dengan kitabnya yang sangat populer,
Qawa’id Al-Ahkam di Mashalih Al-Anam. Sedangkan dari kalangan
mazhab Maliki nama Al-Syathibi (w. 790/1388) sangat dominan
dalam pembahasan mengenai mashlahah atau juga maqashid Al-
Syari’ah (tujuh Syari’ah). Selama ini sering terjadi, jika ada
pembahasan mengenai mashlahah atau maqashid al-syari’ah, seolah
hanya dari Al-Syathibi. Padahal, kalau dikaji secara kritis dari waktu
dan segi usia, ia jauh di belakang ulama Al-Syafi’iyyah.
      Ketika berbicara mengenai mashalih ‘ammah ini hendaknya
tidak mungkin bertentangan dengan mashalih khashshah (kepentingan
khusus atau personal). Sebab, kemaslahatan umum seharusnya
merupakan kumpulan dari kemaslahatan khusus. Dan jika keduanya
itu terdapat pertentangan berarti ada masalah, seperti terjadinya
hedonisme. Utilitarianisme (ketika bermakna manfaat atau
mashlahah) mempunyai tempat dalam Islam, namun hedonisme
terlebih lagi ditambah selfishness dicela dalam Islam. Dalam hadits
disebutkan khayr al-nas anfa’uhum li al-nas (sebaik-baik manusia
adalah orang yang besar dapat memberi manfaat kepada orang lain).
      Ketika suatu nilai menjadi mashalih ‘ammah, maka hal ini
disebabkan oleh realitas yang pada hakikatnya merupakan kumpulan
dari mashalih khashah. Dengan demikian, kaidan al-mashalih al-
ammah muqaddamah ‘ala al-mashalih al-khashah (kemaslahatan
umum [harus] didahulukan daripada kemaslahatan khusus) seharusnya
berubah menjadi al-masalih al-ammah majmu’ah min al-mashalih al-
khashah (kemaslahatan umum adalah kumpulan dari kemaslahatan
khusus). Dengan demikian, tidak akan terjadi pertentangan antara
kemaslahatan atau kemanfaatan pribadi dengan kemaslahatan atau
kemanfaatan umum. Dan setiap orang pun harus sadar bahwa dirinya
adalah bagian dari ummat dan sadar pula bahwa kemaslahatan umum
akan dapat terwujud dengan kemauan dan kemampuan masing-masing
individu untuk menunjukkan kemaslahatan, meskipun penilaian amal
tetap individual, bukan kolektif. Untuk memperoleh keputusan
mashalih ‘ammah dapat pula dengan cara ijma’, sekali lagi ketika
      21
       ‘Izz al-Din b. ‘Abd Al-Salam Al-Sulami, Qawaid Al-Ahkam fi Mahalih Al-
Anam (Kairo : Al-Husayniyah, 1934).
H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......113


ijma’ itu konsep yang hidup dan dinamis yang berorientasi masa kini
dan masa yang akan datang. Bukan “barang” masa lalu yang sudah
selesai, terlebih lagi ketika alasan-alasan atau ‘illah ditetapkannya
ijma’ sudah tidak ada atau tidak relevan lagi. Penulis berpendapat
bahwa ijma’ dapat di-naskh (diubah) oleh ijma’ baru, yang tentu tetap
melalui prosedur keilmuannya. Dalam konteks mashalih ‘ammah ini
pula hukum Islam harus mampu mendefinisikan dan sekaligus
menolak atau mengharamkan bentuk-bentuk teror (terorisme) yang
berasal dari siapapun. Bukankah pelaku teror kepada publik lebih
menakutkan dari pada quththa’ al-thariq?
      Kesebelas, menjadikan wahyu Allam lewat nash (Al-Qur’an dan
hadits yang shahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan
dihasilkan dalam ijtihad. Terutama sekali ketika proses ijtihad lebih
banyak melalui prosedur induktif, bukan deduktif. Demikian pula
ketika proses awalnya dengan menggunakan deduktif teori-teori hasil
perkembangan ijtihad, maka juga tetap memerlukan kontrol dari
nashsh ini. Inilah yang membedakan antara hukum Islam (yang
sumber utamanya adalah wakyu) dengan hukum yang sama sekali
sekular tanpa mempercayai wahyu Allah. Sudah barang tentu kontrol
ini tidak dengan menggunakan pendekatan tekstual (scripturalist),
namun lebih menekankan pada konsep etika22 dengan mengacu
mashalih ‘ammah, kecuali yang sudah dianggap qath’iy, meskipun ini
juga memerlukan standarisasi. Dalam waktu bersamaan, pemahaman
dan pemaknaan nash juga perlu reinterpretasi, sebagaimana uraian di
atas.23

Gagasan Al-Ijtihad Al-‘Ilmi Al-Ashri
      Sebelas hal di atas merupakan prasyarat untuk membangun
formulasi baru dalam berijtihad, suatu model ijtihad yang penulis beri
nama al-ijtihad al’ilmi al-ashri atau modern scientific ijtihad.
“Ijtihad” dengan definisi yang ada, namun dapat dilakukan dengan
tematik atau kasus perkasus, tidak harus berarti melakukan ijtihad
untuk semua aspek kehidupan ummat, sebagaimana yang telah
dilakukan oleh ulama mujtahidin atau pendiri mazhab yang lalu.
      Ijtihad berkonotasi pada ijtihad untuk seluruh kehidupan itu juga

      22
          Baca sub bab “Al-Quran Sumber Ajaran Etika Sosial” dalam salah satu
buku saya. Azizy, Pendidikan [Agama] untuk Membangun Etika Sosial (Semarang :
Aneka Ilmu, 2002), 87-106. Fazlur Rahman menulis, “We have repeatedly
emphasized that the basic elan of the Qur’an is moral and we have pointed to the
Qur’an”. Fazlur Rahman, Islam (Chicago : the University of Chicago Press, 1979),
33. Lihat pula Rahman, “Law and Ethics in Islam”, dalam Richard G. Hovannisian,
Ethics in Islam (Malibu : Udena Publication, 1985), h. 4.
       23
          Ini salah satu perbedaan dengan ijtihad konvensional yang kita pahami
selama ini. Namun, kajian mengenai pemahaman dan pemaknaan terhadap nashsh
yang berarti lebih pada deduktif, tetap berjalan dan tetap dilakukan.
114           , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


dianggap atau dipahami oleh sebagian kelompok ummat, sehingga
kalau sudah menggunakan istilah ijtihad harus terbebani untuk
menjadi manusia super seperti para pendiri mazhab tersebut.
Persyaratan yang tidak mungkin dipenuhi oleh kebanyakan ilmuwan
kontemporer juga tidak perlu dipaksakan. Toh persyaratan ijtihad
yang berat-berat itu tidak pernah muncul ke permukaan sampai
dengan akhir abad ketiga hijriyah.
      “Al-‘ilmi” (academic, scholarly) memberi arti dengan
menggunakan prosedur keilmuan (filsafat ilmu, studi kritis, dan
semacamnya) seperti yang terjadi di dunia akademik pada setiap ilmu
pengetahuan secara internasional, termasuk di Barat. Beberapa
prasyarat, seperti history of ideas, penggunaan primary sources,
historical continuity, living knowledge, dan lainnya di atas, banyak
yang dalam rangka memenuhi kriteria prosedur tersebut agar sesuai
dengan prosedur di dunia ilmu pengetahuan secara internasional,
termasuk Barat.
      Beberapa prasyarat, seperti history of ideas, penggunaan primary
sources, historical continuity, living knowledge, dan lainnya di atas,
banyak yang dalam rangka memenuhi kriteria prosedur agar sesuai
dengan prosedur di dunia ilmu pengetahuan secara internasional. “Al-
‘ilmi” juga ditandai oleh penggunaan induktif dan empirik. Termasuk
dalam kerangka ini adanya argumentasi dan perbandingan prosedur
yang dibenarkan oleh logika (logic atau manthiq).
      Tambahan lagi, al-‘ilmi juga harus mencakup pengertian
menggunakan hasil atau produk (termasuk prosedurnya) sain dan
teknologi dalam proses dan prosedur berijtihad atau penentuan hukum
Islam. Dalam waktu bersamaan, hukum Islam dengan penjelasan
tentang al-ahkam al-khamsah di atas – hendaknya mampu menjadi
ruh dan landasan untuk mengembangkan sain dan teknologi dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan umat.
      “Al-‘ashri” dimaksudkan agar mengacu pada masa kini dan
masa yang akan datang, bukan hanya terhenti dan berorientasi masa
lalu; dan bukan pula terhenti di masa kini. Ijtihad pada dasarnya bukan
untuk masa lalu atau hanya di akhirat. Dalam waktu bersamaan,
hukum Islam adalah untuk hidup dan kehidupan di dunia masa kini
dan masa yang akan datang; untuk generasi masa kita dan generasi
berikutnya. Konsekuensi dari pengamalan hukum Islam kemungkinan
menjadi buah di akhirat kelak; suatu perbedaan inti dengan hukum
sekuler. Sekali lagi, ijtihad dilakukan untuk mewujudkan
kemaslahatan umat di dunia.
      Dengan ungkapan al-ashri ini, semua kasus atau peristiwa baru,
terutama sekali yang secara langsung berkaitan dengan agama, harus
segera ada jawaban dalam hukum Islam. Tidak ada alasan untuk
mengatakan bahwa Al-Qur’an maupun hadits bahkan juga aqwal
ulama tidak membahas kasus tersebut. Kecepatan, keilmiahan dan
H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......115


kemodernan sangat membukan peluang bagi individu-individu untuk
melakukan ijtihad, sebagaimana dalam tradisi akademik. Dari ijtihad
individual (al-ijtihad al-fardi) kemudian dapat dibawa ke dalam forum
ijtihad jama’i, bahkan dapat pula diangkat lebih besar lagi menjadi
ijma’ kontemporer.

Penutup
       Dari semua uraian di atas dapat digaris bawahi bahwa proses
ijtihad perlu adanya keseimbangan antara deduktif dan induktif.
Selama ini, penekanannya hanya deduktif dan kalau ada induktif maka
sangat terbatas. Sekali lagi, dalam prosedur ijtihad, hendaknya
minimal terjadi keseimbangan antara pendekatan deduktif dan
pendekatan induktif. Atau justru lebih banyak empirik, ketika dasar-
dasar wahyu itu berupa pokok-pokoknya saja. Dengan demikian,
maka juga memacu untuk berpikir serius dan sekaligus bertindak
melakukan penelitian terus menerus yang serius pula. Karena ilmu-
ilmu keislaman, selain teks Al-Qur’an dan teks hadits yang terbatas,
adalah karya intelektual manusia, yang ada kemungkinan diadakannya
re-examination untuk kemajuan umat manusia masa kini dan masa
yang akan datang dalam rangka rahmatan li al-alamin dan hasanah fi
al-dunya, disamping hasanah di al-akhirah. Hal ini meliputi
pemaknaan dan pemahaman terhadap nash, baik Al-Qur’an maupun
hadits. Dan ketika menyebut istilah pengujian atau pemaknaan ulang,
maka akan memberi peran akal sangat besar. Jadi bukan barang “suci”
yang tidak dapat tersentuh, yang kemudian menjadi barang beku. Ini
berarti perlu rekonstruksi-rekonstruksi terhadap ilmu-ilmu keislaman
dan beberapa alat untuk prosedur ijtihad baru. Termasuk hal yang
sangat penting adalah menempatkan ilm ushul al-fiqh sebagai ilmu
alat, sehingga keberhasilannya diukur dari seberapa besar atau banyak
hasil dari praktik penggunaan alat bernama ushul al-fiqh itu. Bukan
seberapa banyak teks kitab-kitab ushul al-fiqh dihafal oleh mahasiswa
atau oleh ulama. Harus disadari bahwa ilmu ushul al-fiqh itu adalah
materi hukum Islam atau fiqh itu, bukan demonstrasi kehebatannya
hafal defenisi-defenisi dari rincian materi ilm ushul al-fiqh yang
ditulis dalam kitab yang besar-besar.
116          , Vol. IV, No. 2, Desember 2007


                         DAFTAR PUSTAKA
Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara
        Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media,
        2002.
________, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam
        (Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani),
        Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
________, Pendidikan [Agama] untuk Membangun Etika Sosial,
        Semarang: Aneka Ilmu, 2002.
________, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, Jakarta: Pustaka
        Pelajar, 2003.
Barzun, Jacques dan Henry F. Graff., The Modern Researcher, New
         York: Harcourt Brace Jovanovich, 1985.
De Santillana, the Legacy of Islam, Oxford: Oxford University Press,
         1931.
Ensiklopedia Tematis Dunia Islam”, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
         2002.
Izz al-Din b ‘Abd Al-Salam Al-Sulami, Qawaid Al-Ahkam fi Mahalih
         Al-Anam, Kairo: Al-Husayniyah, 1934.
Montgomary Watt, W., the Influence of Islam on Medieval Europe
       (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1978.
Nasr, S. Hossein, “Philosophy”, dalam Leonard Binder (ed.), the
        Study of the Middle East: Research and Scholarship in the
        Humanities and the Social Sciences, New York: John Wiley
        & Sons, 1976.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformations of an
       Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago
       Press, 1982.
Thahawi, Abu Ja’far Muhammad, Ikhtilaf Al-‘Ulama’, ditahqiq oleh
        ‘Abdullah Nadzir Muhammad, 5 Juz, Beirut: Dar Al-Basyair
        Al-Islamiyah, 1995.
Weeramantry, G., Islamic Jurisprudence: An International Perpective
       (London: McMillan Press, 1986.
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Contenu connexe

Tendances

Method of Tafsir
Method of TafsirMethod of Tafsir
Method of TafsirHakim Ahma
 
Kebijakan pendidikan diindonesia
Kebijakan pendidikan diindonesiaKebijakan pendidikan diindonesia
Kebijakan pendidikan diindonesiaHaubibBro
 
Presentasi Pengantar Masail Fiqhiyah
Presentasi Pengantar Masail FiqhiyahPresentasi Pengantar Masail Fiqhiyah
Presentasi Pengantar Masail FiqhiyahMarhamah Saleh
 
Makalah pendekatan teks studi islam
Makalah pendekatan teks studi islamMakalah pendekatan teks studi islam
Makalah pendekatan teks studi islamRifiani Zemi
 
Memahami Islam Secara Komprehensif
Memahami Islam Secara KomprehensifMemahami Islam Secara Komprehensif
Memahami Islam Secara KomprehensifRia Widia
 
Metodologi Penelitian Studi Islam - Otentisitas Karya Ulama - Perdebatan Meto...
Metodologi Penelitian Studi Islam - Otentisitas Karya Ulama - Perdebatan Meto...Metodologi Penelitian Studi Islam - Otentisitas Karya Ulama - Perdebatan Meto...
Metodologi Penelitian Studi Islam - Otentisitas Karya Ulama - Perdebatan Meto...Fatihunnada
 
Bangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalamBangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalamAnwar Ma'rufi
 
Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)
Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)
Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)Fatihunnada
 
Ta'lil al-Ahkam dan Pembaruan Usul Fikih
Ta'lil al-Ahkam dan Pembaruan Usul FikihTa'lil al-Ahkam dan Pembaruan Usul Fikih
Ta'lil al-Ahkam dan Pembaruan Usul FikihMuhammad Nashiruddin
 
Abdullah ahmed an naim
Abdullah ahmed an naimAbdullah ahmed an naim
Abdullah ahmed an naimNabil Rahman
 

Tendances (20)

Method of Tafsir
Method of TafsirMethod of Tafsir
Method of Tafsir
 
TUGAS-2 TAFSIR TEMATIK OLEH Robi Winata. SM IV MD-B FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-2 TAFSIR TEMATIK OLEH Robi Winata. SM IV MD-B FDK UINSU 2019/2020TUGAS-2 TAFSIR TEMATIK OLEH Robi Winata. SM IV MD-B FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-2 TAFSIR TEMATIK OLEH Robi Winata. SM IV MD-B FDK UINSU 2019/2020
 
Kebijakan pendidikan diindonesia
Kebijakan pendidikan diindonesiaKebijakan pendidikan diindonesia
Kebijakan pendidikan diindonesia
 
Sumber Ajaran Islam
Sumber Ajaran IslamSumber Ajaran Islam
Sumber Ajaran Islam
 
TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK OLEH Muhammad Danil. SM IV MD-C FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK OLEH Muhammad Danil. SM IV MD-C FDK UINSU 2019/2020TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK OLEH Muhammad Danil. SM IV MD-C FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK OLEH Muhammad Danil. SM IV MD-C FDK UINSU 2019/2020
 
Presentasi Pengantar Masail Fiqhiyah
Presentasi Pengantar Masail FiqhiyahPresentasi Pengantar Masail Fiqhiyah
Presentasi Pengantar Masail Fiqhiyah
 
Pengantar studi islam Komprehensif
Pengantar studi islam KomprehensifPengantar studi islam Komprehensif
Pengantar studi islam Komprehensif
 
Makalah pendekatan teks studi islam
Makalah pendekatan teks studi islamMakalah pendekatan teks studi islam
Makalah pendekatan teks studi islam
 
Memahami Islam Secara Komprehensif
Memahami Islam Secara KomprehensifMemahami Islam Secara Komprehensif
Memahami Islam Secara Komprehensif
 
Metodologi Penelitian Studi Islam - Otentisitas Karya Ulama - Perdebatan Meto...
Metodologi Penelitian Studi Islam - Otentisitas Karya Ulama - Perdebatan Meto...Metodologi Penelitian Studi Islam - Otentisitas Karya Ulama - Perdebatan Meto...
Metodologi Penelitian Studi Islam - Otentisitas Karya Ulama - Perdebatan Meto...
 
Bangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalamBangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalam
 
RESUME TUGAS HADIS TEMATIK. OLEH WULAN APRIL LAILI. MD-C SM V FDK UINSU 2019
RESUME TUGAS HADIS TEMATIK. OLEH WULAN APRIL LAILI. MD-C SM V FDK UINSU 2019RESUME TUGAS HADIS TEMATIK. OLEH WULAN APRIL LAILI. MD-C SM V FDK UINSU 2019
RESUME TUGAS HADIS TEMATIK. OLEH WULAN APRIL LAILI. MD-C SM V FDK UINSU 2019
 
Presentasi Fiqh 1
Presentasi Fiqh 1Presentasi Fiqh 1
Presentasi Fiqh 1
 
Membaca ulil
Membaca ulilMembaca ulil
Membaca ulil
 
Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)
Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)
Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)
 
Ta'lil al-Ahkam dan Pembaruan Usul Fikih
Ta'lil al-Ahkam dan Pembaruan Usul FikihTa'lil al-Ahkam dan Pembaruan Usul Fikih
Ta'lil al-Ahkam dan Pembaruan Usul Fikih
 
TUGAS-1 HADIS TEMATIK OLEH Nazmi Agustian (0101183137). SM IV KPI-D FDK UINSU...
TUGAS-1 HADIS TEMATIK OLEH Nazmi Agustian (0101183137). SM IV KPI-D FDK UINSU...TUGAS-1 HADIS TEMATIK OLEH Nazmi Agustian (0101183137). SM IV KPI-D FDK UINSU...
TUGAS-1 HADIS TEMATIK OLEH Nazmi Agustian (0101183137). SM IV KPI-D FDK UINSU...
 
Aliran muktazilah
Aliran muktazilahAliran muktazilah
Aliran muktazilah
 
Abdullah ahmed an naim
Abdullah ahmed an naimAbdullah ahmed an naim
Abdullah ahmed an naim
 
112 226 abu sahrin - metode hermeneutika alquran
112 226 abu sahrin - metode hermeneutika alquran112 226 abu sahrin - metode hermeneutika alquran
112 226 abu sahrin - metode hermeneutika alquran
 

En vedette

model bisnis untuk jurnalisme online
model bisnis untuk jurnalisme onlinemodel bisnis untuk jurnalisme online
model bisnis untuk jurnalisme onlinerumahbianglala
 
Presentation1 copy
Presentation1   copyPresentation1   copy
Presentation1 copyFahra Dumont
 
Beberapa persoalan perempuan dalam islam
Beberapa persoalan perempuan dalam islamBeberapa persoalan perempuan dalam islam
Beberapa persoalan perempuan dalam islamAgus Muqtafiy
 
Jurnal tito-sofyan
Jurnal tito-sofyanJurnal tito-sofyan
Jurnal tito-sofyanIda Hidayati
 
Qanun jinayat dlm sistem hukum nasional
Qanun jinayat dlm sistem hukum nasionalQanun jinayat dlm sistem hukum nasional
Qanun jinayat dlm sistem hukum nasionalAgus Muqtafiy
 
MCON Group Core Values
MCON Group Core ValuesMCON Group Core Values
MCON Group Core ValuesAndres Vargas
 
Anavarrete los saberes de mis estudiantes en el uso de las tic y de internet
Anavarrete los saberes de mis estudiantes en el uso de las tic y de internetAnavarrete los saberes de mis estudiantes en el uso de las tic y de internet
Anavarrete los saberes de mis estudiantes en el uso de las tic y de internetLichanavarrete
 
Seminarios educasinlimite 2013 13 de abril
Seminarios educasinlimite 2013  13 de abrilSeminarios educasinlimite 2013  13 de abril
Seminarios educasinlimite 2013 13 de abrilEduc@sinlimite
 

En vedette (11)

model bisnis untuk jurnalisme online
model bisnis untuk jurnalisme onlinemodel bisnis untuk jurnalisme online
model bisnis untuk jurnalisme online
 
Presentation1 copy
Presentation1   copyPresentation1   copy
Presentation1 copy
 
Beberapa persoalan perempuan dalam islam
Beberapa persoalan perempuan dalam islamBeberapa persoalan perempuan dalam islam
Beberapa persoalan perempuan dalam islam
 
Critical Response
Critical ResponseCritical Response
Critical Response
 
Arbys final
Arbys finalArbys final
Arbys final
 
Jurnal tito-sofyan
Jurnal tito-sofyanJurnal tito-sofyan
Jurnal tito-sofyan
 
Qanun jinayat dlm sistem hukum nasional
Qanun jinayat dlm sistem hukum nasionalQanun jinayat dlm sistem hukum nasional
Qanun jinayat dlm sistem hukum nasional
 
MCON Group Core Values
MCON Group Core ValuesMCON Group Core Values
MCON Group Core Values
 
Anavarrete los saberes de mis estudiantes en el uso de las tic y de internet
Anavarrete los saberes de mis estudiantes en el uso de las tic y de internetAnavarrete los saberes de mis estudiantes en el uso de las tic y de internet
Anavarrete los saberes de mis estudiantes en el uso de las tic y de internet
 
Seminarios educasinlimite 2013 13 de abril
Seminarios educasinlimite 2013  13 de abrilSeminarios educasinlimite 2013  13 de abril
Seminarios educasinlimite 2013 13 de abril
 
Spam
SpamSpam
Spam
 

Similaire à 1 ijtihad al ilmi mutamam oke

Ijtihad dan Madzhab .pdf
Ijtihad dan Madzhab .pdfIjtihad dan Madzhab .pdf
Ijtihad dan Madzhab .pdfZukét Printing
 
Ijtihad dan Madzhab.docx
Ijtihad dan Madzhab.docxIjtihad dan Madzhab.docx
Ijtihad dan Madzhab.docxZukét Printing
 
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdfIjtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdfZukét Printing
 
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docx
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docxIjtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docx
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docxZukét Printing
 
Fikih kel 6
Fikih kel 6Fikih kel 6
Fikih kel 6Ltfltf
 
Pemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).pdf
Pemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).pdfPemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).pdf
Pemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).pdfZukét Printing
 
Pemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).docx
Pemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).docxPemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).docx
Pemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).docxZukét Printing
 
Makalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat JumatMakalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat Jumatmujibzunari
 
Sejarah dan perkembangan ilmu kalam
Sejarah dan perkembangan ilmu kalamSejarah dan perkembangan ilmu kalam
Sejarah dan perkembangan ilmu kalamoonx
 
Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Ltfltf
 
Makalah Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
Makalah Reformulasi Pemikiran Hukum IslamMakalah Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
Makalah Reformulasi Pemikiran Hukum IslamIvan Putra
 
Islam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradabanIslam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradabanIdul Choliq
 
Makalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsanMakalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsanMuli Bluelovers
 
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hariPeran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-haripjj_kemenkes
 
Metode Ijtihad Ushul Fiqh.pdf
Metode Ijtihad Ushul Fiqh.pdfMetode Ijtihad Ushul Fiqh.pdf
Metode Ijtihad Ushul Fiqh.pdfpamtahpamtah
 
Aspek aspek pemikiran-kritis_dalam_al-qawa‘id_al-fiqhiyyah
Aspek aspek pemikiran-kritis_dalam_al-qawa‘id_al-fiqhiyyahAspek aspek pemikiran-kritis_dalam_al-qawa‘id_al-fiqhiyyah
Aspek aspek pemikiran-kritis_dalam_al-qawa‘id_al-fiqhiyyahimza90
 
Tarikh Tasyri' Priode Kematangan Sejarah Hukum Islam.docx
Tarikh Tasyri' Priode Kematangan Sejarah Hukum Islam.docxTarikh Tasyri' Priode Kematangan Sejarah Hukum Islam.docx
Tarikh Tasyri' Priode Kematangan Sejarah Hukum Islam.docxZukét Printing
 

Similaire à 1 ijtihad al ilmi mutamam oke (20)

Ijtihad dan Madzhab .pdf
Ijtihad dan Madzhab .pdfIjtihad dan Madzhab .pdf
Ijtihad dan Madzhab .pdf
 
Ijtihad dan Madzhab.docx
Ijtihad dan Madzhab.docxIjtihad dan Madzhab.docx
Ijtihad dan Madzhab.docx
 
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdfIjtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
 
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docx
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docxIjtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docx
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docx
 
Fikih kel 6
Fikih kel 6Fikih kel 6
Fikih kel 6
 
Jurnal fikih
Jurnal fikihJurnal fikih
Jurnal fikih
 
Pemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).pdf
Pemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).pdfPemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).pdf
Pemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).pdf
 
Pemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).docx
Pemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).docxPemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).docx
Pemikiran Modern dalam Islam 2 Membuka Pintu Ijtihad (Fazlur Rahman).docx
 
Makalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat JumatMakalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat Jumat
 
Sejarah dan perkembangan ilmu kalam
Sejarah dan perkembangan ilmu kalamSejarah dan perkembangan ilmu kalam
Sejarah dan perkembangan ilmu kalam
 
Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Fiqh kel 6
Fiqh kel 6
 
Makalah Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
Makalah Reformulasi Pemikiran Hukum IslamMakalah Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
Makalah Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
 
Islam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradabanIslam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradaban
 
Makalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsanMakalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsan
 
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hariPeran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
 
Metode Ijtihad Ushul Fiqh.pdf
Metode Ijtihad Ushul Fiqh.pdfMetode Ijtihad Ushul Fiqh.pdf
Metode Ijtihad Ushul Fiqh.pdf
 
Aspek aspek pemikiran-kritis_dalam_al-qawa‘id_al-fiqhiyyah
Aspek aspek pemikiran-kritis_dalam_al-qawa‘id_al-fiqhiyyahAspek aspek pemikiran-kritis_dalam_al-qawa‘id_al-fiqhiyyah
Aspek aspek pemikiran-kritis_dalam_al-qawa‘id_al-fiqhiyyah
 
Makalah_AIK_klpk._8.docx.pdf
Makalah_AIK_klpk._8.docx.pdfMakalah_AIK_klpk._8.docx.pdf
Makalah_AIK_klpk._8.docx.pdf
 
I) Takrif&Konsep Ilmu Kalam
I) Takrif&Konsep Ilmu KalamI) Takrif&Konsep Ilmu Kalam
I) Takrif&Konsep Ilmu Kalam
 
Tarikh Tasyri' Priode Kematangan Sejarah Hukum Islam.docx
Tarikh Tasyri' Priode Kematangan Sejarah Hukum Islam.docxTarikh Tasyri' Priode Kematangan Sejarah Hukum Islam.docx
Tarikh Tasyri' Priode Kematangan Sejarah Hukum Islam.docx
 

1 ijtihad al ilmi mutamam oke

  • 1. IJTIHAD AL-ILMI AL-‘ASHRI (Modern Scientific Ijtihad) Oleh: H. Hadi Mutamam Abstract: all problems faced by Muslim in the contemporary life must be answerable in Islamic law. The Koran and the Prophet tradition have given general principles in many aspects so that it is untenable to say that there is no answer for a problem. In addition, the development of Islamic studies has opened the opportunity for nowadays Muslim to carry out ijtihad either individual ijtihad, collective ijtihad or thematic ijtihad. Yet, in order to realize this, Muslims have to study classical Islamic jurisprudence critically. This is done by studying a thought contextually, i.e. by carefully examining where and when an Islamic scholar lived. Kata kunci : Ijtihad, ijtihad al- ilmi al-ashri, mawdhu’i. Pendahuluan Antara pemahaman mengenai bermazhab dan sejarahnya ketika dikaji dengan teliti sebenarnya terjadi kesenjangan. Bermazhab selama ini pada umumnya dipahami sebagai identik dengan melakukan taqlid. Pemahaman seperti ini juga dipraktikkan oleh para pengikut mazhab pada umumnya, sehingga hampir dapat dikatakan bahwa penggunaan istilah tajdid atau ijtihad pun sangat enggan dan tidak berani. Lebih dari itu, bermazhab juga sering diberi arti dengan menjadikan pemikiran ulama masa lalu sebagai “dokrin” dan bahkan juga “dogma” agama. Tambah jauh lagi, fiqh siyasah yang ketika lahir sama sekali empirik, lalu menjadi dokrin yang dianggap berdosa jika mengkritik. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian bermazhab sering dicitrakan dengan taqlid secara harfiah –sebagaimana dalam tingkatan pertama di atas- atau tinggal menerima barang matang (fi al-aqwal) dan sangat jauh dari sentuhan kajian metodologinya. Dengan uraian di atas, ini jelas sekali dapat dipahami mengapa sering terjadi stagnasi? Sebab utamanya adalah pemahaman mengenai bermazhab yang membelenggu diri. Sikap seperti ini akan sulit membuat terobosan untuk mampu menjangkau penyelesaian permasalahan yang aktual yang akan selalu muncul ke permukaan. Hal seperti ini yang perlu diusulkan adanya redefinisi bermazhab. Redefinisi itu perlu bukan saja bagi mereka yang menjadi pengamal bermazhab, namun juga bagi mereka yang mengkritik praktik bermazhab. Sebaliknya, ijtihad selama ini ditempatkan pada posisi yang Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Dakwah STAIN Samarinda.
  • 2. H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......101 terlalu tinggi dan tidak akan dapat tersentuh oleh para pendukung mazhab. Dalam waktu bersamaan, ijtihad dijadikan ungkapan yang terlalu enteng bagi mereka yang anti-mazhab. Syarat-syarat ijtihad yang begitu berat juga perlu dikaji ulang, oleh karena hampir tidak mungkin tersentuh untuk masa kini. Demikian pula beban yang terlalu berat dan tuntutan yang terlalu tinggi ketika melakukan ijtihad juga perlu diluruskan. Toh dalam kenyataannya, setiap kitab fiqh, meskipun kitab yang sangat sederhana, selalu pula menyebutkan istilah ijtihad untuk syarat seorang hakim. Kalau dilihat sejarahnya, sebelum abad ketiga hijriah syarat- syarat ijtihad yang ketat belum muncul. Jadi terjadi paradoks dan perlu kajian mendalam dan sekaligus keberanian meredefinisi ijtihad untuk kemudian memunculkan konsep ijtihad baru atau modern. Ijtihad hendaknya menjadi sebuah formulasi metodologi yang dapat dibentuk sebagai hasil kajian kritis terhadap konsep dan anggapan tentang bermazhab dan berijtihad secara konvensional yang dipadukan dengan tuntutan zaman dan pertanggung jawaban tradisi akademik. Maka, ijtihad perlu argumentasi deduktif sebagai wujud sumber asal, seperti selama ini dipahami dan diikuti. Dalam waktu bersamaan ijtihad juga perlu argumentasi induktif atau empirik sebagai ciri akademik yang realistis. Pengembangan Metodologi : Menuju Ijtihad Baru Kalau di atas sudah dikemukakan bukti mengenai praktik perjalanan bermazhab dari awal sampai dengan beberapa abad berikutnya, maka usaha untuk melakukan redefinisi bermazhab dari pemahaman yang sempit perlu dilakukan beberapa upaya dan tahapannya yang kemudian akan bertemu dengan praktik ijtihad. Beberapa upaya itulah yang menurut hemat penulis perlu dijalankan oleh para pemikir hukum Islam (fuqaha’ khususnya generasi mudanya) seusai dengan tuntutan zaman untuk berani memulai membuat terobosan. Ijtihad menurut hemat penulis, merupakan suatu keharusan dilakukan oleh ulama pada zamannya (ulama’ al-zaman), sesuai dengan tuntunan dan kebutuhan yang ada. Ijtihad merupakan cara untuk memperoleh landasan, pedoman, petunjuk, dan sekaligus arah ke depan serta legitimasi dalam hidup dan kehidupan umat. Umat Islam ditantang untuk menjadi umat terbaik (khayr ummah), sebagaimana dalam QS Ali Imran 3:110. Ayat ini menurut penulis bukan pemberian secara cuma-cuma dan preroggatif, namun lebih merupakan tantangan. Oleh karena itu, responnya bukan bermalas-malas dan tidur lantaran beranggapan sudah ada jaminan. Namun harus bekerja keras untuk mampu mewujudkan ma’ruf untuk kemudian pantas mengajak umat kepada ma’ruf, dan mampu menghindari kemungkaran untuk kemudian
  • 3. 102 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 pantas melarang orang lain dari kemungkaran.1 Pertanyaan menggelitik adalah mampukan umat mewujudkan hukum Islam yang benar-benar dapat membangun masyarakat modern, kaya, adil, makmur, aman, dalam kehidupan yang plural di tengah-tengah era globalisasi?. Inilah salah satu tugas dan sekaligus tantangan bentuk baru hukum Islam. Oleh karena itu, formulasi ijtihad baru juga sudah menjadi tuntutan untuk dibangun, yang tentu tidak dapat lepas sama sekali dari proses continuity dari bermazhab dan ijtihad masa lalu. Formulasi ini juga diperlukan bagi mereka yang akan menghasilkan gelar akademik tertinggi, yaitu doktor sehingga akan mampu mendemonstrasikan karya orisinilnya.2 Untuk mewujudkan formulasi ijtihad modern yang mampu memberi jawaban masa kini dan diharapkan juga untuk masa yang akan datang, diperlukan persiapan langkah-langkah. Perlu penulis kemukakan bahwa ijtihad yang dimaksudkan di sini adalah mawdhu’i, tematik atau, kasus perkasus yang muncul pada waktu kini dan jawabannya akan mampu hidup untuk masa kini dan waktu yang akan datang. Langkah-langkah tersebut setidak-tidaknya meliputi sebelas hal, sebagai berikut : Pertama, lebih mementingkan atau mendahulukan sumber primer (primary sources)3 dalam sistem bermazhab, atau dalam menentukan rujukan. Dalam bermazhab Al-Syafi’i, umpamanya, agar menekankan untuk mengkaji secara intensif, serius, dan kritis kitab- kitab karya imam Syafi’i sendiri. Kemudian karya murid-murid terdekatnya yang dianggap lebih memahami terhadap pendapat imamnya lewat teks hidup berupa perjalanan dan perilaku imam Al- Syafi’i sehari-hari. Kemudian menurun karya-karya imam-imam besar secara langsung, seperti Al-Ghazali, Al-Mawardi, Imam Al-Haramyn 1 A. Qadri Azizy, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003), h. 103-104 2 Dalam rangka membedakan standar minimal kualitas lulusan bagi masing- masing strata untuk fakultas atau jurusan ilmu keislaman, saya mendefinisikan gelar S-3 (doktor atau Ph. D.), sebagai alim yajtahid (sarjana yang mampu berijtihad mawdhu’i) atau ‘alim yujaddid (sarjana yang mampu melakukan tajdid). Oleh karena itu, mereka yang menyandang gelar S-3 ini harus mempunyai pemikiran orisinal. Sedangkan lulusan S-2 (magister) sebagai ‘alim yatahaqqaq (sarjana yang mampu menganalisis kritis-belum dituntut untuk berijtihad untuk standar minimalnya). Sementara itu, S-1 sebagai rajul yata’allam (seseorang yang baru lulus belajar untuk menjadi sarjana atau ‘alim. A. Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman (Jakarta : 2003), h. 67-71. 3 Primary sources ini dalam rangka mengambil fakta (fact) dan bukti (evidence) kebenaran tentang apa yang menjadi pendapat seseorang ketika pendapat tadi disandarkan kepadanya. Ini juga merupakan upaya untuk memperoleh kebenaran sejarah (historical tructh). Lihat, antara lain, Jacques Barzun dan Henry F. Graff. The Modern Researcher (New York : Harcourt Brace Jovanovich, 1985).
  • 4. H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......103 Al-Juwayni, dll. Perlu disadari bahwa jika dikaji kitab-kitab fiqih, akan ditemukan perbedaan pendapat dalam menentukan hukum Islam. Perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam fiqih adalah sebuah kebiasaan dan tradisi. Itulah sebabnya, maka telah muncul ungkapan malam ya’rif al-khilaf lam yasyumma ra’ihat al-fiqh (barang siapa yang tidak mengetahui perbedaan pendapat, ia tidak mencium aroma fiqih). Dalam konteks ini harus berani pula menguji pendapat ulama- ulama besar tersebut, sehingga ada kemungkinan bahwa beberapa pendapat yang semula dianggap pinggiran (gharib, syadz, lemah, atau sejenisnya) menjadi ditengah (shahih, maqbul, atau sejenisnya), dan sebaliknya. Dalam melaksanakan kajian seperti ini dapat dengan cara bekerja sama antar para ilmuan. Kerjasama ini menjadi sebuah keharusan ketika objek bahasannya mencakup disiplin lain. Kedua, berani mengkaji pemikiran ulama atau hasil keputusan hukum Islam oleh organisasi keagamaan tidak lagi secara doktriner dan dogmatis. Namun dengan critical study sebagai sejarah pemikiran (intellectual history atau history of ideas).4 Artinya, mengkaji sejarah pemikiran ulama dan sekaligus latar belakang mengapa ulama tersebut berpendapat seperti ini; atau terdapat organisasi keagamaan mengapa para ulama dari organisasi tersebut berpendapat seperti itu. Nah cara, metodologi, dan proses pemikiran mereka itulah yang justru lebih banyak dikaji dan diikuti alur prosesnya, bukan semata-mata produk matangnya. Toh kalau hasilnya juga sama tidak akan ada masalah pula serta tidak akan dianggap sia-sia dan tetap mempunyai arti yang dalam. Dengan kata lain, akan mencakup pendekatan bahwa bermazhab fi’l-manhaj dalam hal-hal tertentu menjadi keharusan untuk dipraktikkan. Kalau hal seperti ini akan dipraktikkan secara konsekuen, maka konsep talfiq (menggabungkan beberapa pendapat ulama dari mazhab yang berbeda) perlu diadakan redefinisi. Talfiq yang selama ini dipahami dalam tradisi bermazhab adalah dalam konteks bermazhab fi al-aqwal pada tingkatan taqlid. Dalam talfiq yang demikian berbeda dengan eklektisisme yang memang selalu terjadi. Bahkan juga saling silang antar ulama di satu mazhab dengan ulama di mazhab yang lain, dan tidak sedikit pula ulama berani berbeda dengan imamnya sendiri yang kemudian, baik kebetulan atau kesengajaan, berpendapat sama dengan imam mazhab yang lain.5 Sedangkan eklektisisme selalu terwujud dalam sejarahnya, 4 Untuk memahami lebih mendalam tentang history of ideas, lihat antaralain, David Hackett Fisher, Historian’s Fallacies: Toward a Logic of Historical Thoght (New York: Harpet Torchbook, 1970); Edward Hallet Carr, What in History? (New York : Vintage Book, 1961); Mircea Eliade, A History of Ideas (Chicago Press, 1985). 5 Kenyataan seperti ini dapat kita lihat pada kitab-kitab ikhtilaf al-‘ulama. Lihat Abu Ja’far Muhammad Al-Thahawi, Ikhtilaf Al-‘Ulama’, ditahqiq oleh
  • 5. 104 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 terutama sekali ketika juga melalui pelaksanaan bermazhab fi-al- manhaj, apa lagi pengembangan metodologi yang juga tidak jarang terjadi, seperti disebutkan beberapa contohnya di atas. Artinya, penggabungan itu atas argumentasi dan manhaj, tidak semata-mata taqlid kemudian memilih atas dasar keinginan perasaan semata (desire/hama). Demikian pula ilmu ushul al-fiqh harus lebih mendapatkan perhatian dan sekaligus kesempatan untuk dipraktikkan, bukan sekadar untuk dihafal atau dipelajari sebagai doktrin yang beku yang tidak dapat dipraktikkan. Dengan cara seperti ini, secara otomatis akan mengubah tempat fuqaha tadi dari posisinya sebagai muqallid berubah menjadi muttabi – dan praktik-praktik taqlid berubah menjadi praktik ittiba’ atau justru lebih tinggi lagi. Diposisikan sebagai sejarah pemikiran dalam konteks kajian akademik, berarti juga akan dapat dijadikan living knowledge6 dalam perannya menjadi inspirasi untuk memunculkan pemikiran baru. Lebih dari itu, juga sekaligus dapat menjadi referensi orisinil dan legitimate, ketika hasil pemikiran masa lalu itu masih sangat relevan dengan jawaban yang diharapkan untuk masa kini. Bahkan referensi itu juga sekaligus dapat menjadi dasar dengan argumentasi yang riil, sebagaimana dalam tradisi kajian akademik di dunia Barat. Sejarah pemikiran ini dapat pula dilebarkan yang akan mencakup bukan hanya ulama dalam satu mazhab, namun juga ulama di luar mazhabnya, bahkan juga di luar mazhab yang ada. Dalam kajian tingkatan ini, tradisi tarjih harus dipraktikkan, sebagaimana menjadi kebiasaan di dunia akademik. Mereka mendialogkan bahkan juga memperdebatkan pendapat yang berbeda, seolah para ulama yang mempunyai perbedaan itu masih hidup yang duduk di meja bundar untuk memperdebatkan suatu kasus dengan argumentasi yang mereka gunakan. Dan ketika mendialogkan pendapat-pendapat itu, historical backgrounds dari riwayat kehidupan mereka juga harus dijadikan pertimbangan, yang berarti merambah wilayah hermeneutika.7 Dalam waktu bersamaan, sejarah sosial hukum Islam (social history of Islamic Law) menjadi sangat diperlukan,8 bahkan ‘Abdullah Nadzir Muhammad, 5 Juz (Beirut: Dar Al-Basyair Al-Islamiyah, 1995). Ini edisi Beirut, dan dalam bab yang lain dalam tulisan ini, saya juga menggunakan edisi Pakistan. 6 S. Hossein Nasr, “Philosophy”, dalam Leonard Binder (ed.), the Study of the Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences (New York : John Wiley & Sons, 1976), h. 327-346. 7 Dalam hal ini Fazlur Rahman sudah bicara mengenai double movement dalam kontek hermeneutika. Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformations of an Intellectual Tradition (Chicago : The University of Chicago Press, 1982). 8 Sejarah hukum Islam ini dapat pula diperleh dari putusan pengadilan dan fatwa; namun dua sumber ini belum banyak mendapatkan perhatian para ahli hukum Islam di Indonesia ketika mengkaji hukum Islam. Dua sumber ini juga dapat disebut
  • 6. H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......105 hendaknya dapat dijadikan topik dalam perkuliahan. Dengan demikian, mudah dapat dipahami mengapa ulama Kufah berbeda pendapat dalam banyak hal dengan ulama Makkah, karena salah satu faktornya adalah latar belakang kehidupannya berbeda.9 Dan jangan heran kalau ulama yang hidup di Istana akan mempunyai pendapat yang berbeda dengan ulama yang hidup di penjara tentang kasus yang sama. Itulah maka penulis sebutkan dengan istilah living knowledge. Dalam waktu bersamaan, dengan prosedur seperti ini, maka proses historical continuity, yang juga merupakan salah satu ciri akademik atau scientific di dunia Barat, dapat dijamin. Sudah barang tentu dalam hukum Islam ini tidak dapat dihindari keberangkatan penilaian dari sumber utama berupa wahyu Allah, baik dalam wujudnya pada Al-Qur’an maupun pada hadits Nabi. Namun juga harus disadari bahwa bagaimana memahaminya dan memaknainya juga perlu ada penyegaran dan dalam batas-batas tertentu harus dilakukan reinterpretasi. Ketiga, Semua hasil karya ulama masa lalu diposisikan sebagai pengetahuan (knowledge), baik yang dihasilkan atas dasar deduktif dan verstehen maupun yang dihasilkan secara empirik. Hanya keberadaan teks Al-Qur’an dan teks hadits yang terbatas (khususnya yang mutawatir) saja yang tidak dapat diuji ulang (re-examined), meskipun pemahamannya tetap dapat dikaji secara mendalam. Selebihnya, terhadap semua ilmu-ilmu keislaman dapat dilakukan re- examine, termasuk pembukuan hadits. Sebab, pembukuan hadits dan status hadits yang menghasilkan kutub al-sittah, kutub al-tis’ah dan seterusnya adalah produk pemikiran manusia yang melalui proses keilmuan (scientific, scholarly, critical studies), sehingga sangat empirik dari realitas hukum Islam yang pernah terimplementasikan. Lihat Muhammad Khalid Masud, Brinkley Messick dan David S. Power (eds), Islamic Legal Interpretation: Muftis and Their Fatwas (Camridge: Harvard University Press), 1996. Dapat pula sebagai bahan untuk ini, kumpulan artikel dari jurnal yang pernah saya jadikan bahan materi perkuliahan untuk mata kuliah “Social History of Islamic Law di McGill University, Montreal, Kanada, ketika saya menjadi visiting professor, dan kini saya edit untuk kemudian akan diterbitkan oleh Logos, Islaic Law: Socio-Historical Contexts. 9 Salah satu usul saya adalah menjadikan topik ikhtilaf al-fuqaha’ sebagai salah satu sub-disiplin yang hendaknya dikaji serius di Perguruan Tinggi. Kajian dimaksud lebih mengarah pada mengapa terjadi perbedaan (dari segi manhaj), bukan sekadar untuk memanfaatkan hasil matang (aqwal) dari perbedaan itu. Lebih dari itu, kajian ikhtilaf al-‘ulama’ perlu dilakukan dengan cara descriptve dan argumentatif bukan polemik (polemical). (Pengelompokan kajian ikhtilaf al-‘ulama’ menjadi descriptive dan polemical ini merupakan pendapat orisinil saya). Kerangka dasar (teoritis) kajian ikhtilaf al-‘ulama’ secara akademik dan descriptive, lihat Azizy, “Justic Defferences (ikhtilaf) in Islamic Law: Its Meaning, Early Discussions, and Reasons (A Lesson for Contemporary Characteristics)” dalam Al-Jami’ah, 39: 2 (July-December, 2001).
  • 7. 106 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 mungkin untuk dikaji ulang.10 Dengan kata lain lagi, ilmu-ilmu keislaman, selain teks Al- Qur’an dan teks hadits yang terbatas, adalah karya intelektual manusia, yang ada kemungkinan diadakannya re-examination untuk kemajuan umat manusia masa kini dan masa yang akan datang dalam rangka rahmatan li al-alamin dan hasanah fi al-dunya, disamping hasanah di al-akhirah. Hal itu meliputi pemaknaan dan pemahaman terhadap nash, baik Al-Qur’an maupun hadis. Dan ketika menyebut istilah pengujian atau pemaknaan ulang, maka akan memberi peran akal sangat besar. Jadi bukan barang “suci” yang tidak dapat tersentuh, yang kemudian menjadi barang beku.11 Ini berarti perlu rekonstruksi-rekonstruksi terhadap ilmu-ilmu keislaman dan beberapa alat untuk prosedur ijtihad baru. Termasuk hal yang sangat penting adalah menempatkan ilm ushul al-fiqh sebagai ilmu alat, sehingga keberhasilannya diukur dari seberapa besar atau banyak hasil dari praktik penggunaan alat bernama ushul al-fiqh itu. Bukan seberapa banyak teks kitab-kitab ushul al-fiqh dihafal oleh mahasiswa atau oleh ulama. Harus disadari bahwa ilmu ushul al-fiqh itu adalah materi hukum Islam atau fiqh itu, bukan demonstrasi kehebatannya hafal defenisi-defenisi dari rincian materi ilm ushul al-fiqh yang ditulis dalam kitab yang besar-besar. Keempat, mempunyai sikap terbuka terhadap dunia luar dan bersedia mengantisipasi terhadap hal-hal yang akan terjadi. Tidak menggunakan sikap asal tidak setuju (apriori), sekadar untuk menolak pemikiran maju ke depan. Dalam konteks ini pula, bukan saja kita akan terlibat dalam mengambil bagian untuk masalah-masalah keagamaan dalam arti sempit (ritual), namun juga untuk masalah- masalah keduniaan atau kemasyarakatan secara luas. Justru masalah keduniaan inilah yang kini sangat mendesak untuk diberi makna kaitannya dengan hukum Islam. Dalam pengertian keterbukaan ini pula kesediaan fuqaha untuk bekerja sama dengan lembaga/instansi lain. Mereka dengan sadar bersedia menambah ilmu pengetahuan di luar dunianya yang bisa mendukung untuk kematangan spesialisasi ilmunya. Di sini juga diperlukan suplemen pengetahuan di luar disiplin hukum Islam, seperti ilmu-ilmu sosial dan humaniora, sehingga akan mampu menggunakan inter atau multi disipliner. Bahkan hasil kajian sain dan teknologi kedokteran atau rekayasa (engineering) lainnya, 10 Kumpulan hadits sebagai karya intelektual manusia dan sekaligus kritik dan pengembangan ilmu hadits, saya diskusikan meskipun masih secara elementer dalam Azizy, “Hadits dan Sunnah”, dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam” (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 213-229. 11 Lihat sub-bab “Rekonstruksi Proses Keilmuan dalam Islam” dalam Azizy, Pengembangan, h. 19-27.
  • 8. H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......107 tidak dapat disia-siakan dalam proses ijtihad atau setidaknya istimbath al ahkam ini. Masa lalu para imam besar juga mempunyai kedalaman ilmu, yang bukan saja hukum Islam, seperti yang dipahami sekarang. Istilah metode istiqra’i yang dilakukan oleh imam Al-Syafi’i adalah salah satu contohnya. Dengan metode inilah, Al-Syafi’i bukan saja melakukan penelitian sosiologis, namun juga antropologis, sehingga sangat menyentuh realitas umat yang menjadi sasaran penelitian untuk kemudian menjadi sasaran ketentuan hukum Islam yang waktu itu telah memberi jawaban. Sebagai contoh, kalau Al-Syafi’i untuk menentukan jenis atau batasan darah haid atau istihadhah dengan metode istiqra’i, bukankah lebih efisien kalau menggunakan alat tes sederhana, seperti “sensitive test”? penggunaan laboratorium untuk mengetes komponen- komponen makanan atau minuman atau lainnya dapat dijadikan contoh. Dalam konteks globalisasi, bukankah kini sudah sampai pada hukum wajib untuk meningkatkan SDM (sumber daya manusia - hukum resources) dalam rangka mempersiapkan diri dalam kehidupan global, dimana kompetisi menjadi ciri utamanya? Dan bukankah mewujudkan masyarakat madani menjadi hukum wajib pula, ketika hal itu menjadi syarat untuk mampu mewujudkan SDM tadi (ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa-huwa wajibun)? Dan masih banyak lagi dapat dikemukakan contoh. Menurut hemat penulis, jenis disiplin ilmu dan teknologi itu, setidak-tidaknya, dapat ditempatkan pada posisi “isra iliyat” yang diperluas dalam konteks kajian tafsir, yang pada umumnya para mufassirun menggunakannya. Untuk kasus besar hendaknya melibatkan spesialis atau expert disiplin lain atau bahkan mengajak beberapa orang sebagai bentuk ijtihad jama’i. Namun penggunaan ilmu bantu itu harus ada batasan, yang inipun memerlukan kajian serius untuk membuat standar dan sekaligus formulasi penggunaan ilmu bantu dalam prosedur berijtihad itu. Kelima, hendaknya meningkatkan daya tangkap (responsif) dan cepat terhadap permasalahan yang muncul, dimana biasanya umat ingin cepat mendapatkan jawaban hukum agama dari para ahli hukum Islam. Jadi tidak membiarkan umat terlalu lama menunggu jawaban hukum agama itu. Untuk itu, hendaknya mempunyai jaringan atau organisasi yang bisa dengan cepat mempertemukan diantara fuqaha sediri untuk dengan cepat mengambil inisiatif menanggapi permasalahan yang ada. Seharusnya IAIN/UIN/STAIN atau STAI dengan lembaga atau pusat penelitiannya mempunyai pusat kajian (ma’mal al-buhuts), yang salah satu program melakukan kajian dan ijtihad ini, terutama sekali terhadap kasus-kasus (waqi’ah) yang muncul. Ini baik untuk hukum Islam secara umum maupun untuk masalah-masalah yang lain, termasuk masalah politik, meskipun yang terakhir ini biasanya cukup sensitif. Di sinilah ijtihad jama’i dituntut dan sekaligus untuk
  • 9. 108 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 terwujudnya sebuah mekanisme yang menjadikannya cepat dilakukan. Kecepatan sikap tanggap terhadap makanan halal untuk produk- produk jadi adalah salah satu contoh kepedulian ahli hukum Islam terhadap permasalahan keagamaan yang dihadapi oleh masyarakat. Demikian pula kesepatan sikap tanggap terhadap persoalan-persoalan yang erat sekali kaitannya dengan globalisasi, menjadi suatu tantangan dan sekaligus kebutuhan para ilmu itu. Keterlibatan fuqaha kontemporer merupakan suatu keharusan dalam berusaha untuk mewujudkan hukum yang adil dan etis, menegakkan hukum (terwujudnya law enforcement), mendidik umat untuk taat hukum, dan sekaligus melepaskan bangsa ini dari krisis hukum – yang merupakan salah satu rangkaian krisis dalam “krisis lingakaran setan” atau krisis multidimensional. Konsekuensinya, hukum Islam akan mampu memberi pegangan kepada umat untuk kehidupan yang dialami di dunia. Meskipun demikian ini sebenarnya adalah responsif yang pasif, belum aktif atau proaktif. Pasif, karena hanya merupakan reaksi atau respon dari kasus (waqi’ah) yang muncul; dan biasanya setelah ada jawaban lalu berhenti dan dianggap selesai. Dan kita masih perlu di bawah ini. Keenam, penulis mengusulkan penafsiran yang aktif dan pro aktif, bahkan progresif.12 Yang dimaksudkan dengan aktif atau proaktif adalah ketika jawaban hukum Islam itu sekaligus mampu memberi inspirasi dan guidance untuk kehidupan yang sedang dialami oleh umat. Fatwa hukum wajib bagi umat untuk meningkatkan SDM adalah salah satu contoh apa yang dimaksudkan agar keputusan hukum Islam juga memberi makna progresif. Yaitu, ketika keputusan atau penafsiran itu mampu memberi inspirasi dan sekaligus guidance atau hudan untuk masa depan umat, bukan hanya yang sedang dialami. Fatwa hukum wajib, setidaknya kifayah, bagi umat untuk melakukan penelitian angkasa luar (ketika fatwa itu dikeluarkan sebelum Apollo 11 mendarat di bulan), sebagai hasil penetapan hukum atas dasar penafsiran QS Al-Rahman [55]:33 adalah contoh progresif ini. Fatwa hukum Islam untuk mendorong umat agar memperdalam ICT (information and communication technology), dapat dijadikan contoh yang progresif ini (ketika fatwa ini dikeluarkan beberapa tahun lalu sebelum ICT di meja kita). Untuk ini masih bagaikan hutan belantara untuk dijadikan objek kajian serius dalam memahami atau memaknai nash wahyu atau memberi ketentuan hukum Islam. Ketujuh, ajaran al-ahkan al-khamsah atau hukum Islam berupa wajib, haram, sunnah, makru, dan mubah agar dapat dijadikan sebagai 12 Dalam beberapa contoh sudah saya lakukan reinterpretasi ini. Lihat Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam.
  • 10. H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......109 konsep atau ajaran etika sosial.13 Selama ini ada kritik bahwa hukum Islam selalu berkutat pada dunia ibadah murni (mahdhah atau ritual) dan kurang menyentuh kehidupan sosial. Itulah sebabnya, maka Islam kurang maju dalam keduniaan. Ajaran-ajaran yang agung tidak terimplementasikan dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, perlu menerapkan konsep al-ahkam al-khamsah ini sebagai etika sosial, sebuah tuntunan dan tuntutan dengan makna agama untuk mendukung keteraturan dan ketentraman sosial. Adalah sudah seharusnya bahwa nilai-nilai kebersihan, kerja keras, menepati janji, kedisiplinan, tanggung jawab, dan sejenisnya harus mendapatkan legitimasi hukum Islam ini, yang dengan tegas mempunyai konsekuensi pahala-dosa di akhirat. Hal-hal untuk mewujudkan kemaslahatan umum (masalih ammah) seperti kepentingan publik hendaknya mendapatkan penekanan oleh hukum Islam yang lima ini. Prestasi keilmuan, termasuk karya orisinil dan jenis-jenis karya yang lain juga hendaknya mendapatkan apresiasi dan sekaligus mendapatkan landasan hukum Islam.14 Kedelapan, menjadikan ilmu fiqih sebagai bagian dari ilmu hukum secara umum. Di satu sisi ini memberi arti bahwa kajian ilmu fiqih hendaknya dengan menggunakan bahasa ilmu hukum yang kemudian akan dapat dipahami oleh para ahli hukum secara umum. Di sisi lain, materi kajian hukum Islam hendaknya mencakup masalah- masalah kehidupan umat yang sama dengan materi atau objek kajian dalam ilmu hukum pada umumnya. Ini akan meliputi pendekatan dan penggunaan terminologi. Jika sudah demikian, maka sasaran akhirnya mestinya hukum nasional,15 sebagai perwujudan implementasi 13 A Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum (Yogyakarta : Gama Media, 2002), h. 42-44; h. 64-72. 14 Dengan pemaknaan seperti ini, tidak lalu secara langsung menjadi fiqih sosial. Menurut hemat saya, fiqih sosial hendaknya dimaksudkan sebagai Islamic social sciences. Yakni, ilmu sosial yang keberangkatannya dari fiqih atau ilmu agama. Di sini ada landasan deduktif dari nashsh (bagi yang ada nashsh-nya), namun juga harus induktif atau empirik –terutama sekali kasus-kasus yang fi-ma la nashsha lahu tidak ada nashsh-nya). Pengertian fiqih seperti ini berarti kembali pada pengertian fiqih pada fase kedua yang identik dengan ilmu agama, termasuk penggunaan judul kitab al-fiqh al-akbar, padahal kitab ini tidak membahas masalah hukum. Saya sudah mendiskusikan hal ini di Azizy, Eklektisisme, h. 44-47; h. 2-4; dan Azizy, Pengembangan, h. 11-27. 15 Secara akademik, untuk mengarahkan kajian hukum Islam ke dalam konteks hukum nasional, saya telah menyiapkan dan sekaligus menawarkan kajian hukum Islam secara akademik, meskipun masih berbentuk pengantar, dalam buku saya. Lihat Azizy, Eklektisisme Hukum Umum. Ketika para ahli hukum Islam mampu menempatkan kajian hukum Islam dalam konteks hukum nasional, ini akan mempunyai konsekuensi bahwa mereka akan mampu pula menempatkan posisi ilmu fiqih sebagai materi ilmu hukum, menempatkan pendapat fiqaha sebagai “doktrin” dalam ilmu hukum, dan menempatkan buku-buku fiqih ke dalam “Rechtboek” dalam konteks kajian ilmu hukum, khususnya hukum nasional. Azizy, Eklektisisme, 226-46. Kajian ilmu keislaman untuk pengalaman di dunia adalah suatu keharusan,
  • 11. 110 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 mu’amalah bayn al-nas atau habl min al-nas, disamping materi hukum Islam yang ritual, sebagai perwujudan habl min Allah atau hubungan manusia secara personal dengan Tuhan sang Khalik. Ini sekaligus jawaban terhadap kritik bahwa kajian hukum Islam hanya masalah najis dan masalah shalat yang berarti terisolasi dan tidak kontekstual. Namun yang paling penting adalah bahwa materi atau objek kajian hukum Islam adalah untuk kehidupan di dunai yang berarti membumikan agama atau hukum Islam. Sebagai hal yang riil dan kontekstual, maka realitas pluralisme menjadi sebuah pertimbangan, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya reinterpretasi atau bahkan juga pembaruan.16 Sebagai hal yang riil, kontekstual, dan mengarah pada hukum nasional, keberadaan NKRI dan UUD 1945 juga menjadi bahan dalam proses ijtihad modern ini. Dalam kajian sejarah, pengaruh hukum Islam ini juga telah terjadi di Eropa, sebelum Eropa mengalami renaissance. Beberapa hukum Islam, terlebih lagi nilai etikanya, telah diadopsi (bukan ditakuti) oleh Eropa yang juga dalam beberapa hal masih berjalan sampai sekarang dengan kemasan Eropa. Ini diakui oleh banyak ahli, seperti De Santillana,17 W. Montgomary Watt,18 G. Weeramantry,19 dan lain-lain. Kesembilan, berbicara mengenai fiqih tidak dapat dilupakan harus pula berorientasi pada kajian induktif atau empirik, disamping deduktif.20 Tidak hanya deduktif. Dalam mengkaji dan sehingga materi atau topik apa saja dari ilmu keislaman hendaknya mengarah pada kemungkinan dan perlu atau bahkan harus berorientasi pada implementasi dan kontekstual, bukan sesuatu yang khayal dan ngawang-ngawang yang tidak membumi. Hal seperti ini pula yang menjadi kebijakan Dirjen Kelembagaan Agama Islam (Bagais), sebagaimana dalam Surat Edaran Dirjen Bagais No.DJ.II/PP.00.9/A2/8/2002, tanggal 31 Oktober 2002. 16 Lihat sub bab “Pembaharuan Hukum Islam”, dalam Azizy, Eklektisisme, h.31-38. 17 De Santillana, the Legacy of Islam (Oxford : Oxford University Press, 1931). 18 W. Montgomary Watt, the Influence of Islam on Medieval Europe (Edinburgh : Edinburgh University Press, 1978). 19 G. Weeramantry, Islamic Jurisprudence: An International Perpective (London: McMillan Press, 1986). 20 Azizy, Perkembangan, 19-27. Lihat Azizy, Eklektisisme, 43-47. Induktif, empirik dan pengembangan secara independen bagi cabang fiqih menurut hemat saya sangat diperlukan, ketika fiqih mencakup seluruh “al-‘amaliyah” atau ilmu agama yang berkaitan dengan perilaku mannusia selain akidah. Hal ini juga menjadi konsekuensi al-ahkam al-khamsah, yang mencakup seluruh perilaku manusia (Jakarta: LP3ES, 1982). Hal ini mengubah pandangan mengenai kebenaran mutlak setiap hasil kajian keilmuan. Oleh karena itu, kemudian lebih menonjol istilah interpretasi yang memberi ruang dan gerak untuk nilai subyektivitas dari sebuah temuan ilmu-ilmu sosial atau juga budaya. Teori mengenai thick description karya Clifford Geertz, the Interpretation of Cultures (New York : Basic Books, Inc., 1973).
  • 12. H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......111 mempraktikkan fiqih atau hukum Islam, semestinya ada keseimbangan antara proses deduktif dan proses induktif. Proses deduktif dapat terwakili bagaimana memahami nash dari wahyu yang berupa Al-Qur’an dan hadits yang shahih dengan segala jenis metodenya, termasuk qiyas. Sedangkan induktif adalah memberi peran akal pada posisi yang sangat penting dalam membantu mewujudkan hasanah fi-al-dunya dan hasanah di al-akhirah. Bentuk induktif dapat berupa maslahah, istihsan bahkan juga ijma’ ketika ijma’ itu dimaknai secara dinamis dan empirik. Ijma’ seharusnya bukan onggokan doktrin masa lalu yang kini siap untuk membelenggu umat dalam menatap kemajuan dunia. Ijma’ harus dimaknai prosedur penciptaan mashalih ‘ammah (kemaslahatan umum atau universal values) untuk kepentingan hidup dan kehidupan yang sejahtera (litahqiqi mashalih al-nas) di dunia. Dalam praktiknya hendaknya dipadukan antara konsep ijma’ menurut imam Al-Syafi’i (konsensus internasional) dan konsep ijma’ menurut mazhab klasik atau sebelum Al-Syafi’i (konsensus daerah –bisa dalam bentuk Perda; atau nasional; -bisa dalam bentuk UU). Dengan demikian, konsep ijma’ akan dapat dipraktikkan dalam kerangka NKRI. Dan berbicara masalah khayr ummah, mashalih ‘ammah, hasanah fi al-dunya, dan semacamnya akan sangat relevan, jika fiqih tidak diartikan secara sempit hanya sebagai hukum dalam pengertian peraturan perundang-undangan, terlebih kalau hanya masalah thaharah (bersuci dari hadas) dan ibadah mahdhah. Kesepuluh, lepas dari apakah mashlahah itu sebagai bentuk induktif, mashalih ‘ammah hendaknya menjadi landasan penting dalam mewujudkan fiqih atau hukum Islam. Sebagaimana dalam uraian dalam bab terdahulu bahwa dalam tradisi mazhab Al-Syafi’i, mashlahah menjadi salah satu sumber hukum –penulis termasuk yang berpendapat bahwa Al-Juwaynilah yang mencetuskannya- maka mashalih ‘ammah menjadi hal yang sangat penting. Mashalih ‘ammah ini dapat dipadankan dengan universal values yang sekiranya tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam. Artinya, semua orang akan merasakan kemaslahatannya, tanpa membedakan jenis, etnik, dan bahkan juga agama. Tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, karena tidak mustahil dalam perkembangannya muncul nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) yang bertentangan dengan nilai Islam, seperti kebebasan tanpa ada konsep dosa, seperti kebebasan seks dan sejenisnya. Berbicara mengenai mashlahah, berarti mengakui bahwa akal mempunyai peran besar. Kemaslahatan dunia menurut Al-Sulami dapat diperoleh dengan adat kebiasaan, percobaan (tajarib), realitas
  • 13. 112 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 yang dinilai oleh akal, dan semacamnya.21 Mashalih dapat dikatakan sebagai konsep dari tradisi mazhab Al-Syafi’i, karena bukti yang dapat diperoleh menunjukkan bahwa sumber pertama adalah dari Al- Burhan fi Ushul Al-Fiqh karya Al-Juwayni, sebagaimana penjelasan di atas. Kemudian dilanjutkan oleh Al-Gazali dalam Al-Mustashfa. Bahkan Al-Gazali dalam Syifa’ Al-Ghalil lebih luas dan lebih longgar dalam penggunaannya. Setelah Al-Gazali, Al-Razi (w. 606/1209) juga dengan tegas menerimanya. Ulama Safi’iyah yang terkenal yang juga membahas mashlahah adalah ‘Izz Al-Din ‘Abd Al-‘Aziz b. ‘Abd Al- Salam Al-Sulami (w. 660/1261) dengan kitabnya yang sangat populer, Qawa’id Al-Ahkam di Mashalih Al-Anam. Sedangkan dari kalangan mazhab Maliki nama Al-Syathibi (w. 790/1388) sangat dominan dalam pembahasan mengenai mashlahah atau juga maqashid Al- Syari’ah (tujuh Syari’ah). Selama ini sering terjadi, jika ada pembahasan mengenai mashlahah atau maqashid al-syari’ah, seolah hanya dari Al-Syathibi. Padahal, kalau dikaji secara kritis dari waktu dan segi usia, ia jauh di belakang ulama Al-Syafi’iyyah. Ketika berbicara mengenai mashalih ‘ammah ini hendaknya tidak mungkin bertentangan dengan mashalih khashshah (kepentingan khusus atau personal). Sebab, kemaslahatan umum seharusnya merupakan kumpulan dari kemaslahatan khusus. Dan jika keduanya itu terdapat pertentangan berarti ada masalah, seperti terjadinya hedonisme. Utilitarianisme (ketika bermakna manfaat atau mashlahah) mempunyai tempat dalam Islam, namun hedonisme terlebih lagi ditambah selfishness dicela dalam Islam. Dalam hadits disebutkan khayr al-nas anfa’uhum li al-nas (sebaik-baik manusia adalah orang yang besar dapat memberi manfaat kepada orang lain). Ketika suatu nilai menjadi mashalih ‘ammah, maka hal ini disebabkan oleh realitas yang pada hakikatnya merupakan kumpulan dari mashalih khashah. Dengan demikian, kaidan al-mashalih al- ammah muqaddamah ‘ala al-mashalih al-khashah (kemaslahatan umum [harus] didahulukan daripada kemaslahatan khusus) seharusnya berubah menjadi al-masalih al-ammah majmu’ah min al-mashalih al- khashah (kemaslahatan umum adalah kumpulan dari kemaslahatan khusus). Dengan demikian, tidak akan terjadi pertentangan antara kemaslahatan atau kemanfaatan pribadi dengan kemaslahatan atau kemanfaatan umum. Dan setiap orang pun harus sadar bahwa dirinya adalah bagian dari ummat dan sadar pula bahwa kemaslahatan umum akan dapat terwujud dengan kemauan dan kemampuan masing-masing individu untuk menunjukkan kemaslahatan, meskipun penilaian amal tetap individual, bukan kolektif. Untuk memperoleh keputusan mashalih ‘ammah dapat pula dengan cara ijma’, sekali lagi ketika 21 ‘Izz al-Din b. ‘Abd Al-Salam Al-Sulami, Qawaid Al-Ahkam fi Mahalih Al- Anam (Kairo : Al-Husayniyah, 1934).
  • 14. H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......113 ijma’ itu konsep yang hidup dan dinamis yang berorientasi masa kini dan masa yang akan datang. Bukan “barang” masa lalu yang sudah selesai, terlebih lagi ketika alasan-alasan atau ‘illah ditetapkannya ijma’ sudah tidak ada atau tidak relevan lagi. Penulis berpendapat bahwa ijma’ dapat di-naskh (diubah) oleh ijma’ baru, yang tentu tetap melalui prosedur keilmuannya. Dalam konteks mashalih ‘ammah ini pula hukum Islam harus mampu mendefinisikan dan sekaligus menolak atau mengharamkan bentuk-bentuk teror (terorisme) yang berasal dari siapapun. Bukankah pelaku teror kepada publik lebih menakutkan dari pada quththa’ al-thariq? Kesebelas, menjadikan wahyu Allam lewat nash (Al-Qur’an dan hadits yang shahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan dihasilkan dalam ijtihad. Terutama sekali ketika proses ijtihad lebih banyak melalui prosedur induktif, bukan deduktif. Demikian pula ketika proses awalnya dengan menggunakan deduktif teori-teori hasil perkembangan ijtihad, maka juga tetap memerlukan kontrol dari nashsh ini. Inilah yang membedakan antara hukum Islam (yang sumber utamanya adalah wakyu) dengan hukum yang sama sekali sekular tanpa mempercayai wahyu Allah. Sudah barang tentu kontrol ini tidak dengan menggunakan pendekatan tekstual (scripturalist), namun lebih menekankan pada konsep etika22 dengan mengacu mashalih ‘ammah, kecuali yang sudah dianggap qath’iy, meskipun ini juga memerlukan standarisasi. Dalam waktu bersamaan, pemahaman dan pemaknaan nash juga perlu reinterpretasi, sebagaimana uraian di atas.23 Gagasan Al-Ijtihad Al-‘Ilmi Al-Ashri Sebelas hal di atas merupakan prasyarat untuk membangun formulasi baru dalam berijtihad, suatu model ijtihad yang penulis beri nama al-ijtihad al’ilmi al-ashri atau modern scientific ijtihad. “Ijtihad” dengan definisi yang ada, namun dapat dilakukan dengan tematik atau kasus perkasus, tidak harus berarti melakukan ijtihad untuk semua aspek kehidupan ummat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh ulama mujtahidin atau pendiri mazhab yang lalu. Ijtihad berkonotasi pada ijtihad untuk seluruh kehidupan itu juga 22 Baca sub bab “Al-Quran Sumber Ajaran Etika Sosial” dalam salah satu buku saya. Azizy, Pendidikan [Agama] untuk Membangun Etika Sosial (Semarang : Aneka Ilmu, 2002), 87-106. Fazlur Rahman menulis, “We have repeatedly emphasized that the basic elan of the Qur’an is moral and we have pointed to the Qur’an”. Fazlur Rahman, Islam (Chicago : the University of Chicago Press, 1979), 33. Lihat pula Rahman, “Law and Ethics in Islam”, dalam Richard G. Hovannisian, Ethics in Islam (Malibu : Udena Publication, 1985), h. 4. 23 Ini salah satu perbedaan dengan ijtihad konvensional yang kita pahami selama ini. Namun, kajian mengenai pemahaman dan pemaknaan terhadap nashsh yang berarti lebih pada deduktif, tetap berjalan dan tetap dilakukan.
  • 15. 114 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 dianggap atau dipahami oleh sebagian kelompok ummat, sehingga kalau sudah menggunakan istilah ijtihad harus terbebani untuk menjadi manusia super seperti para pendiri mazhab tersebut. Persyaratan yang tidak mungkin dipenuhi oleh kebanyakan ilmuwan kontemporer juga tidak perlu dipaksakan. Toh persyaratan ijtihad yang berat-berat itu tidak pernah muncul ke permukaan sampai dengan akhir abad ketiga hijriyah. “Al-‘ilmi” (academic, scholarly) memberi arti dengan menggunakan prosedur keilmuan (filsafat ilmu, studi kritis, dan semacamnya) seperti yang terjadi di dunia akademik pada setiap ilmu pengetahuan secara internasional, termasuk di Barat. Beberapa prasyarat, seperti history of ideas, penggunaan primary sources, historical continuity, living knowledge, dan lainnya di atas, banyak yang dalam rangka memenuhi kriteria prosedur tersebut agar sesuai dengan prosedur di dunia ilmu pengetahuan secara internasional, termasuk Barat. Beberapa prasyarat, seperti history of ideas, penggunaan primary sources, historical continuity, living knowledge, dan lainnya di atas, banyak yang dalam rangka memenuhi kriteria prosedur agar sesuai dengan prosedur di dunia ilmu pengetahuan secara internasional. “Al- ‘ilmi” juga ditandai oleh penggunaan induktif dan empirik. Termasuk dalam kerangka ini adanya argumentasi dan perbandingan prosedur yang dibenarkan oleh logika (logic atau manthiq). Tambahan lagi, al-‘ilmi juga harus mencakup pengertian menggunakan hasil atau produk (termasuk prosedurnya) sain dan teknologi dalam proses dan prosedur berijtihad atau penentuan hukum Islam. Dalam waktu bersamaan, hukum Islam dengan penjelasan tentang al-ahkam al-khamsah di atas – hendaknya mampu menjadi ruh dan landasan untuk mengembangkan sain dan teknologi dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat. “Al-‘ashri” dimaksudkan agar mengacu pada masa kini dan masa yang akan datang, bukan hanya terhenti dan berorientasi masa lalu; dan bukan pula terhenti di masa kini. Ijtihad pada dasarnya bukan untuk masa lalu atau hanya di akhirat. Dalam waktu bersamaan, hukum Islam adalah untuk hidup dan kehidupan di dunia masa kini dan masa yang akan datang; untuk generasi masa kita dan generasi berikutnya. Konsekuensi dari pengamalan hukum Islam kemungkinan menjadi buah di akhirat kelak; suatu perbedaan inti dengan hukum sekuler. Sekali lagi, ijtihad dilakukan untuk mewujudkan kemaslahatan umat di dunia. Dengan ungkapan al-ashri ini, semua kasus atau peristiwa baru, terutama sekali yang secara langsung berkaitan dengan agama, harus segera ada jawaban dalam hukum Islam. Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an maupun hadits bahkan juga aqwal ulama tidak membahas kasus tersebut. Kecepatan, keilmiahan dan
  • 16. H. Hadi Mutammam, Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri.......115 kemodernan sangat membukan peluang bagi individu-individu untuk melakukan ijtihad, sebagaimana dalam tradisi akademik. Dari ijtihad individual (al-ijtihad al-fardi) kemudian dapat dibawa ke dalam forum ijtihad jama’i, bahkan dapat pula diangkat lebih besar lagi menjadi ijma’ kontemporer. Penutup Dari semua uraian di atas dapat digaris bawahi bahwa proses ijtihad perlu adanya keseimbangan antara deduktif dan induktif. Selama ini, penekanannya hanya deduktif dan kalau ada induktif maka sangat terbatas. Sekali lagi, dalam prosedur ijtihad, hendaknya minimal terjadi keseimbangan antara pendekatan deduktif dan pendekatan induktif. Atau justru lebih banyak empirik, ketika dasar- dasar wahyu itu berupa pokok-pokoknya saja. Dengan demikian, maka juga memacu untuk berpikir serius dan sekaligus bertindak melakukan penelitian terus menerus yang serius pula. Karena ilmu- ilmu keislaman, selain teks Al-Qur’an dan teks hadits yang terbatas, adalah karya intelektual manusia, yang ada kemungkinan diadakannya re-examination untuk kemajuan umat manusia masa kini dan masa yang akan datang dalam rangka rahmatan li al-alamin dan hasanah fi al-dunya, disamping hasanah di al-akhirah. Hal ini meliputi pemaknaan dan pemahaman terhadap nash, baik Al-Qur’an maupun hadits. Dan ketika menyebut istilah pengujian atau pemaknaan ulang, maka akan memberi peran akal sangat besar. Jadi bukan barang “suci” yang tidak dapat tersentuh, yang kemudian menjadi barang beku. Ini berarti perlu rekonstruksi-rekonstruksi terhadap ilmu-ilmu keislaman dan beberapa alat untuk prosedur ijtihad baru. Termasuk hal yang sangat penting adalah menempatkan ilm ushul al-fiqh sebagai ilmu alat, sehingga keberhasilannya diukur dari seberapa besar atau banyak hasil dari praktik penggunaan alat bernama ushul al-fiqh itu. Bukan seberapa banyak teks kitab-kitab ushul al-fiqh dihafal oleh mahasiswa atau oleh ulama. Harus disadari bahwa ilmu ushul al-fiqh itu adalah materi hukum Islam atau fiqh itu, bukan demonstrasi kehebatannya hafal defenisi-defenisi dari rincian materi ilm ushul al-fiqh yang ditulis dalam kitab yang besar-besar.
  • 17. 116 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 DAFTAR PUSTAKA Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002. ________, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. ________, Pendidikan [Agama] untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu, 2002. ________, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Barzun, Jacques dan Henry F. Graff., The Modern Researcher, New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1985. De Santillana, the Legacy of Islam, Oxford: Oxford University Press, 1931. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam”, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Izz al-Din b ‘Abd Al-Salam Al-Sulami, Qawaid Al-Ahkam fi Mahalih Al-Anam, Kairo: Al-Husayniyah, 1934. Montgomary Watt, W., the Influence of Islam on Medieval Europe (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1978. Nasr, S. Hossein, “Philosophy”, dalam Leonard Binder (ed.), the Study of the Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, New York: John Wiley & Sons, 1976. Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformations of an Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982. Thahawi, Abu Ja’far Muhammad, Ikhtilaf Al-‘Ulama’, ditahqiq oleh ‘Abdullah Nadzir Muhammad, 5 Juz, Beirut: Dar Al-Basyair Al-Islamiyah, 1995. Weeramantry, G., Islamic Jurisprudence: An International Perpective (London: McMillan Press, 1986.
  • 18. This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.