Konflik di Papua telah berlangsung lama dan menyebabkan banyak korban. Konflik ini disebabkan oleh eksploitasi sumber daya alam oleh pemerintah dan dominasi pendatang di Papua, serta upaya penindasan budaya dan politik terhadap penduduk asli. Upaya penyelesaian konflik melalui otonomi khusus belum berhasil membawa perdamaian yang berkelanjutan.
1. KONFLIK PAPUA
MAKALAH
( Disusun untuk memnuhi salah satu tugas kelompok mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial )
Disusun oleh :
1. Ai Roudotul Munawaroh
2. Fitri Nurhasanah
3. Hardi Lukmanul Hakim
4. Lutfi Nugraha
5. Riska Feby Setia Permana
Kelas XI MM_ 1
SMK NUURUL MUTTAQIIN
Cisurupan – Garut
2011
Konflik Papua Page 1
2. KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah Yang Maha Esa atas perlindunganNya dan
pertolonganNya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial, yaitu tentang KONFLIK SOSIAL. Oleh karena itu, makalah ini berisi tentang contoh-
contoh konkret konflik social yang terjadi di Indonesia. Di sini kami mengambil topic tentang
Konflik Papua.
Melalui makalah ini, kami harap para pembaca dapat mengetahui Akar Pokok Permasalahan
Papua serta dapat mengerti tentang Bagaimana Mencari Solusi Untuk Menyelesaikan Konflik
Papua yang telah berlangsung ± ½ abad sehingga penduduk Papua dapat hidup tenang di atas
Tanah Leluhur mereka.
Kami sadari bahwa tentu tak ada gading yang tak retak, makalah ini mungkin masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran guna
menyempurnakan makalah ini.
Penyusun
Konflik Papua Page 2
3. DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………………… 1
Daftar isi ………………………………………………………………………………… 2
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………….. 3
Latar Belakang ……………………………………………………………………. 3
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………... 4
1. Penyebab konflik kekerasan sosial di Papua ……………………………….… 4
2. Sejarah Konflik Papua ……………………………………………………….. 5
3. Dampak dari konflik Papua …………………………………………….……. 6
4. Upaya Penyelesaian Konflik di Papua …………………………………..….... 7
5. Bentuk konflik di Papua …………………………………………….….……. 8
6. Argumentasi Terhadap Konflik Papua …………………………………….…. 9
BAB III PENUTUP ……………………………………………………………………. 10
1. Kesimpulan ………………………………………………………………….. 10
2. Saran ………………………………………………………………………… 10
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………. 11
Konflik Papua Page 3
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal antar warga sipil,
konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua telah
mengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum diatasi secara tuntas. Masih
adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya tuntutan Merdeka dan Referendum,
serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora, dan berlangsungnya aksi pengembalian
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Konflik yang belum diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi diantara orang asli
Papua, orang Papua dengan penduduk lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI. Di
satu pihak, orang Papua dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanya
stigma separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak mempercayai
Pemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain ini, dialog
konstruktif tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang Papua.
Apabila berbagai masalah yang melatarbelakangi konflik ini tidak dicarikan solusinya, maka
Papua tetap menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya
akan menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua.
Dari tengah situasi konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik, Islam, Hindu
dan Budha Provinsi Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye ini dilakukan
dengan dengan moto: Papua Tanah Damai (PTD). Dalam perkembangan selanjutnya, para
pimpinan agama menjadikan Papua Tanah Damai sebagai suatu visi bersama dari masa depan
Tanah Papua yang perlu diperjuangkan secara bersama oleh setiap orang yang hidup di
Tanah Papua.
Sekalipun diakui oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat terdalam dari setiap
orang, termasuk semua orang yang hidup di Tanah Papua, kenyataan memperlihatkan bahwa
banyak orang belum merasa penting untuk melibatkan diri dalam upaya menciptakan
perdamaian di Tanah Papua. Orang asli Papua, baik yang tinggal di kota maupun di kampung-
kampung, belum terlibat secara penuh dalam kampanye perdamaian ini. Pada hal mereka
sebagai pemilik negeri ini sudah semestinya memimpin-atau minimal terlibat dalam-berbagai
upaya untuk mewujudkan perdamaian di tanah leluhurnya.
Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk berpartisipasi secara aktif dalam upaya
menciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin memperbaharui tanah leluhurnya menjadi
tanah damai, dimana setiap orang yang hidup diatasnya menikmat suatu kehidupan yang
penuh kedamaian.
Konflik Papua Page 4
5. BAB II
PEMBAHASAN
1. Penyebab konflik kekerasan sosial di Papua.
Konflik kekerasan di Papua pada umumnya disebabkan adanya kondisi sosial yang timpang
antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat migran yang datang dari luar Papua, sebagai
akibat dari adanya kekeliruan kebijakan pembangunan di Papua yang berlangsung lama,
sebagai berikut:
a. Terjadinya Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA)
Eksploitasi SDA telah menampilkan suatu ketidakadilan, berdasar fakta-fakta masyarakat
Papua, pemegang hak adat atas SDA tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan,
padahal semua konsekuensi negatif pasti dipikul oleh mereka bukan oleh pengambil
keputusan. SDA merupakan sumber penghidupan utama bagi mereka dengan batas-batas
pemilikan, pengakuan, dan penghargaan yang jelas dan tegas di antara para pemegang hak
adat. Akibatnya, masyarakat menjadi penonton dan terasing di tanahnya sendiri. Masyarakat
Papua sebagai komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi,
karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi kesempatan.
Sebagai contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan transmigrasi telah
mengurangi bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi keluarga. Masyarakat
kehilangan binatang buruan sebagai sumber protein, kayu untuk bangunan, kayu api, rusaknya
ekosistem lokal sebagai sumber protein yang mendukung kehidupan masyarakat lokal,
hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat bagi masyarakat. Eksploitasi tambang juga
memberi dampak negatif yang besar buat penduduk lokal. Sebagai contoh: kasus Freeport,
limbah tailing, telah mencemari sumber-sumber ekonomi seperti Moluska, sumber protein
masyarakat Kamoro-Sempan di Omawita.
b. Dominasi Migran di Berbagai Bidang-Bidang Kehidupan
Perlakuan yang kurang tepat terhadap masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang
pemerintahan, dan proses-proses politik. Sadar atau tidak, selama pemerintahan Orde Baru,
orang Papua kurang diberikan peran dalam bidang pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu
diberikan kepada orang luar dengan dalih orang Papua belum mampu. Walaupun untuk
sebagian peran, dalih itu mungkin ada benarnya, tetapi pada umumnya untuk mencekal orang
Papua. Seleksi ketat yang dikenakan terhadap orang Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan
dan tuduhan terhadap semua orang Papua sebagai OPM.
Dominasi masyarakat pendatang bukan hanya pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga pada
sektor swasta. Pada kegiatan di sektor industri manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi
sumber daya alam (SDA) sebagai bahan baku lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari
luar, seperti antara lain pabrik Plywood PT. Wapoga, Pabrik Pengalengan Ikan di Biak dan
pabrik Pengalengan Ikan PT. Usaha Mina di Sorong. Sektor perbankan juga didominasi oleh
pekerja dari kaum pendatang.
Konflik Papua Page 5
6. c. Penyeragaman Identitas Budaya dan Pemerintahan Lokal
Secara singkat, pengembangan SDM justru tidak berpijak pada pengetahuan dan kearifan
lokal. Menyadari ancaman terhadap eksistensi orang Papua, tokoh seperti Arnold Ap berusaha
untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur budaya lokal. Tetapi, kelihatannya
penguasa melalui aparat militer melihatnya secara sempit dan dipahami sebagai ancaman.
Arnold Ap dibunuh dengan cara yang melukai hati orang Papua khususnya dan kemanusiaan
pada umumnya. Dominasi dan penindasan tersebut, menjadikan identitas dan nasionalisme
Papua makin mantap menopang tuntutan Papua Merdeka.
d. Tindakan Represif oleh Militer
Penindasan militer di tanah Papua meliputi beberapa bentuk, antara lain intimidasi, teror,
penyiksaan, dan pembunuhan. Intimidasi, teror dan penyiksaan dilakukan berkenaan dengan
pengambilalihan hak-hak adat masyarakat Papua atas SDA secara paksa untuk berbagai
keperluan, seperti HPH, transmigrasi, pertambangan, dan industri manufaktur maupun jasa
wisata. Ketika penduduk asli berusaha mempertahankan hak-haknya atas SDA mereka
diintimidasi dan diteror.
Penyebab lainnya adalah:
Konflik Papua memiliki satu hal unik, yang membedakannya dengan konflik-konflik lokal
lain di Indonesia. Keunikan ini adalah adanya nasionalisme Papua yang telah tertanam di
dalam diri rakyat Papua selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme tersebutlah yang
mendorong rakyat Papua membenci adanya penjajahan terhadap mereka, baik yang dilakukan
Belanda maupun Indonesia.
Nasionalisme Papua yang mulai ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolah pamong
praja di Holandia, tertanam serta tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Ketika Belanda
dan Indonesia bukanlah pihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat keduanya sebagai
bangsa yang hendak menguasai Papua. Pemikiran ini yang menyebabkan gerakan anti-
Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua. Kebijakan represif pada masa Orde Baru
tidak mampu memadamkan nasionalisme ini, namun justru memperkuatnya.
2. Sejarah Konflik Papua
1960 - 2000
1966-67: pemboman udara Pegunungan Arfak
1967: Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga tewas di Ayamaru,
Teminabuan dan Inanuatan.
Mei 1970: Pembantaian perempuan dan anak-anak oleh tentara Indonesia. Saksi
melaporkan melihat seorang wanita memusnahkan, membedah bayinya di tempat dan
pak bibi bayi-diperkosa.
Jun 1971: Bapak Henk de Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di Biak
Utara dipaksa untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum ditembak
Konflik Papua Page 6
7. Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk
menyelamatkan desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan
batang besi panas merah dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125
penduduk desa maka mesin ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai.
pertengahan 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk
115 dari desa-desa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang,
desa, taman makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa,
dan ternak dari kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman
makanan, dan hidup-stok Monemane. Dsb.
2000 - 2010
Pada tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang pada sekelompok profesor
dari Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menuduh OPM
bertanggung jawab.
Pada tanggal 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera
separatis, beberapa tindakan lain telah terjadi 42 orang ditangkap.
Pada tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura menewaskan 5 orang
dan beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar 500 militan menyerang sebuah pos
polisi dengan busur dan anak panah dan bom bensin.. Polisi bereaksi dan membunuh
seseorang.
Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi penambang PT
Freeport McMoran. Sembilan orang terluka, OPM menyangkal Tanggung Jawab.
3. Dampak dari konflik Papua
Di Papua, masalah separatisme akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Bila situasi
keamanan terus memburuk, banyak pengamat yang memperkirakan Papua bakal lepas dari
NKRI. Tanda-tanda Papua akan segera lepas dari NKRI sudah sangat jelas. Mereka saat ini
ditengarai sudah memiliki sponsor yang siap mendukung kemerdekaan wilayah di timur
Indonesia ini, bahkan Papua saat ini sudah sangat siap untuk lepas dari Indonesia.
Maraknya aksi penembakan dan penghadangan oleh kelompok separatis Papua telah
meresahkan masyarakat Papua. Sasaran tembak kini tidak hanya kepada aparat TNI dan
Polisi, namun masyarakat umum serta karyawan Freeport kini dijadikan target. Sehingga tak
mengherankan bila hampir tiap hari terjadi penghadangan dan penembakan oleh orang tak
dikenal yang diyakini banyak orang adalah separatis Papua.
Penyebab separatisme Papua yang lain adalah tidak meratanya distribusi sumber daya
ekonomi, sehingga meskipun Papua memiliki kekayaan yang luarbiasa, rakyatnya tetap
miskin. Tambang tembaga raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana kapitalisme
mengeksploitasi sumber daya lokal dengan sepuas-puasnya. Potensi konflik antar agama di
Papua tinggi karena konflik yang bertikai menganggap dirinya sebagai korban. Warga Papua
asli merasa terancam dengan mengalir masuknya pendatang baru yang mengatasnamakan
agama baru, dimana dalam jangka panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau
bahkan pengusiran.
Konflik Papua Page 7
8. Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua belah pihak
masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing perkembangan di Manokwari
dan Kaimana mungkin menjadi pertanda lebih banyak bentrokan yang akan terjadi.
Perubahan dalam demografi adalah bagian dari persoalan, tapi bahkan kalau besok para
pendatang dari luar Papua disetop datang, polarisasi antar agama mungkin akan terus
berlanjut karena perkembangan lain. Warga Papua sangat menyadari terjadinya
penyerangan-penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah di daerah lain di Indonesia dan
melihat Indonesia secara keseluruhan bergerak menuju dukungan yang lebih banyak kepada
ajaran agama.
4. Upaya Penyelesaian Konflik di Papua
Hasil eksplorasi terdapat 2 kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, yaitu:
a) Pendekatan Kekerasan
Pendekatan kekerasan dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata atau sering dikenal
dengan istilah pendekatan keamanan dilakukan oleh militer atau ABRI untuk menumpas
setiap bentuk perlawanan masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan OPM di Papua
yang dimulai sejak awal pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun 1996. Kegiatan itu
dilakukan dengan menetapkan sebagian kawasan Papua, terutama di daerah perbatasan
dengan Negara Papua New Guinea, sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
b) Pendekatan Non kekerasan
Sejak Papua masuk dalam wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka
kegiatan utama yang menjadi tugas pokok dari semua petugas Indonesia Papua menggantikan
posisi petugas Belanda adalah “meng-Indonesiakan” orang-orang Papua. Aktivitas ini
dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan.
Tema yang digunakan adalah menyatakan bahwa Indonesia, termasuk Papua dijajah oleh
Belanda selama lebih dari 350 tahun. Masa penjajahan itu membuat rakyat Papua seperti
halnya rakyat Indonesia lainnya, miskin, tertindas, dan melarat.
Akan tetapi dalam kenyataannya kedua kebijakan pemerintah dalam upaya menyelesaikan
konflik kekerasan yang terjadi di Papua tersebut berjalan tidak efektif atau tidak berhasil.
Untuk itu ada beberapa-beberapa hal yang seyogiyanya dilakukan oleh pemerintah:
1. Hindari untuk mendukung kegiatan-kegiatan berbasis agama yang jelas-jelas memiliki
agenda politik, sehingga tidak memperburuk persoalan yang sudah ada, dan
menginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa para personil yang bertugas
di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah satu pihak.
2. Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani ketegangan antar
agama di tingkat akar rumput, lebih dari sekedar kampanye dialog antar agama diantara
para elit yang seringkali tidak efektif.
3. Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan pemerintah terhadap
kegiatan-kegiatan agama dilakukan secara transparan dan diaudit secara independen,
Konflik Papua Page 8
9. dimana informasi mengenai jumlah dan para penerima dana bisa dilihat dengan mudah
di situs-situs atau di dokumen publik.
4. Menghindari mendanai kelompok-kelompok yang menyerukan eksklusivitas atau
permusuhan terhadap agama lain.
5. Memastikan debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi warga asli Papua
dan dan dampak lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar Papua ke Papua sebelum
menyetujui pembagian daerah administratif lebih lanjut.
6. Menolak peraturan daerah yang diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang
memarjinalisasikan orang papua.
7. Ketujuh, Pemerintah harus memenuhi dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang
papua seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraaan dan pelayanan publik.
8. Pemerintah memfasilitasi dialog antar ummat beragama bersama rakyat Papua agar
terciptanya saling percaya antara Pemerintah Pusat dan Warga Papua. Kesembilan,
Pemerintah harus mengakui secara jujur bahwa selama ini bertindak dengan salah dalam
mengatasi konflik yang ada di Papua demi terciptanya rekonsiliasi.
Secara teoritis, dikenal 3 sarana upaya penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Konsiliasi,
umumnya dilakukan melalui lembaga legislatif atau parlemen yang bermaksud memberikan
kesempatan kepada semua pihak yang terlibat konflik untuk berdiskusi atau memperdebatkan
secara terbuka masalah yang terjadi dalam konteks mencapai kesepakatan atau kompromi
bersama. Kedua, Mediasi mengajak atau mendorong kepada para pihak yang terlibat untuk
kesepakatan melalui nasihat dari pihak ketiga yang disetujui. serta Ketiga, Arbitran, para
pihak yang terlibat bersepakat untuk mendapatkan menunjuk wasit penilai untuk memberikan
keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar dari konflik.
Jika dilihat dari aspek substansi, terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering ditempuh oleh
para pihak dalam proses penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Penghindaran, yaitu
penyelesaian yang diharapkan timbul dengan sendirinya. Kedua, Kekuasaan. yaitu
penyelesaian melalui cara paksa atau dengan penggunaan kekuatan bersenjata oleh institusi
militer. Ketiga, Hukum, yaitu penyelesaian konflik melalui proses arbritase, pencarian fakta
yang mengikat, proses legislasi, dan pembuatan kebijakan pejabat publik, serta Keempat,
kesepakatan, yaitu penyelesaian oleh para pihak melalui proses negosiasi, mediasi, dan
konsiliasi.
5. Bentuk konflik di Papua
1. Konflik kelas social, karena konflik yang terjadi di Papua salah satunya terjadi akibat
adanya kesenjangan social dan budaya yang ada di masyarakat Papua
2. Konflik Rasial. Paling banyak penyebab konflik di Papua adalah karena terjadinya salah
paham atau penghasutan antar suku yang ada di daerah Papua
3. Konflik politik, konflik Papua salah satunya terjadi karena menyangkut dengan
diskriminasi atau penggolongan-penggolongan antara rakyat biasa yang ada di Papua
dengan imigran-imigran serta pejabat-pejabat pemerintah dan juga kaum elit politik.
Konflik Papua Page 9
10. 6. Argumentasi Terhadap Konflik Papua
Dari semua referensi dan catatan-catatan tentang masalah-masalah konflik yang terjadi di
Tanah Papua dahulu hingga sekarang ini, kami dapat memahami latar belakang serta faktor
penyebab terjadinya berbagai konflik kekerasan di tanah Papua. Umumnya kekerasan di
Papua terkait dengan konflik antar warga dengan suku, separatisme, dan kriminalitas. Proses
dan hasil pembangunan di Papua selama otonomi khusus belum dirasakan sepenuhnya oleh
orang asli Papua, terutama di wilayah pedalaman. Sebagian besar masih berada di bawah garis
kemiskinan dan terpinggirkan. Bahkan kondisi pembangunan Papua masih kalah jauh dengan
kota-kota kelas dua di wilayah Pulau Jawa.Warga Papua merasa tidak dihargai dan diabaikan.
Selain itu, minimnya sarana dan prasarana publik di daerah-daerah di Papua dan Papua Barat,
kelaparan dan kondisi kurang gizi di daerah-daerah di Papua, serta rendahnya tingkat
pendidikan di wilayah Indonesia bagian timur itu merupakan faktor-faktor yang berpotensi
menimbulkan konflik.
Tetapi di sisi lain penyebab konflik di Papua, OPM dan sejenisnya adalah sebagai salah satu
penyebab konflik tsb. Tujuan mereka dalah menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat dan
daerah serta pihak internasional bahwa Papua selalu tidak aman karena adanya OPM, ini
jelas-jelas bertujuan menggagalkan ide dan keinginan luhur orang asli Papua untuk berdialog
atau berdiskusi dengan pemerintah Indonesia dalam waktu dekat.
Selain itu, banyaknya peristiwa kekrasan dan konflik yang ada di Papua menandakan bahwa
institusi kepolisian yang ada di Tanah Papua beserta jajaran Polres-nya di seluruh tanah papua
seringkali tidak mampu mengungkapkan kasus-kasus kekerasan bersenjata yang terjadi di
Papua tersebut. Di tambah lagi polisi di daerah ini susah sekali mendapatkan barang bukti
yang bisa menjadi petunjuk penting dalam mengungkapkan sebab dan siapa pelaku dari setiap
kasus tersebut.
Selama kesenjangan itu terjadi, maka akan semakin banyak konflik yang akan tetap
membakar masyarakat di Papua. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak akan
benar-benar memadamkan konflik yang terjadi. Justru sebaliknya, menurut kami masyarakat
akan menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut adalah sebagai akal-akalan
mereka saja.
Untuk itu, kami harap sebaiknya hal ini mendorong pemerintah maupun pihak-pihak yang
terkait lainnya untuk mengupayakan solusi yang komprehensif dengan melakukan
pembangunan secara intensif dan berkesinambungan di tanah Papua tersebut, kondisi ini bisa
dijaga oleh pemerintah setempat dan pemangku kepentingan dengan cara bersinergi atau
berkomunikasi dengan cukup baik. Dengan cara seperti itu kami yakin sedikit demi sedikit
konflik yang ada di bumi cendrawasih tersebut akan memudar, bahkan mungkin masyarakat
akan merasakan kmakmuran perhatian dari pemerintah terhadap tempat tinggalnya.
Kami harap pemerintah dapat melaksanakan atau merealisasikan apa yang menjadi angan-
angan dari kita semua khusunya kami, mengenai konflik yang terus menerus terjadi di Papua.
Konflik Papua Page 10
11. BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelesaian konflik sangatlah
besar peranannya sehingga perlu adanya pembatasan yang jelas dalam penyelesaian
konflik tersebut.
Yang perlu dicermati adalah kewenangan Pemerintah Daerah yang sangat besar
sehingga perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang dilakukan oleh Pemerintah
Pusat jangan sampai terjadi berbagai kebijakan yang dapat mengakibatkan terjadinya
konflik yang terjadi di setiap kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Pemerintah
Pusat harus aktif dalam melakukan pengawasan sehingga konflik yang terjadi di papua
dapat diselesaikan sacara baik tanpa menggunakan kekerasan dengan baik oleh
Pemerintah Indonesia baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
Berbagai konflik horizontal yang terjadi maupun konflik politik vertikal yang
dimanifestasikan dengan tuntutan Papua merdeka sebagai reaksi atas pelaksanaan
PEPERA yang tidak demokratis maupun atas dominasi pusat pada daerah, dalam kurun
waktu lama dilakukan melalui kebijakan dalam mengelola konflik yang represif dan
kontra produktif, yaitu dengan cara mengirim pasukan militer dan merekayasa para
tokoh atau elit masyarakat untuk berdamai secara seremonial.
2. Saran
Konflik yang terjadi di papua hanya sebagian kecil saja yang terjadi di negeri ini maka
dari pada itu di harapkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
fleksibel dalam mengeluarkan kebijakan jangan hanya berpihak ke salah satu daerah
saja karena akan menimbulkan kecemburuan sosial tiap daerah sehingga
mengakibatkan konflik yang berkepanjangan.
Konflik Papua Page 11