Teks tersebut membahas konsep bunga menurut Abul A'la Al-Maududi. Al-Maududi menolak teori-teori yang mendukung keberadaan bunga seperti teori piutang menanggung risiko, peminjam memperoleh keuntungan, dan produktivitas modal. Menurut Al-Maududi, bunga tidak dapat dibenarkan secara akal atau keadilan karena kreditor tidak selalu menanggung risiko dan keuntungan peminjam tid
1. Konsep Bunga Menurut Abul A’la Al-Maududi
Elif Pardiansyah
Mahasiswa Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah)/ HBS-A
Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN SGD Bandung
elfardianzyah@gmail.com
Abstrak
A. Pendahuluan
Abul A'la Maududi, disamping sebagai tokoh pergerakan yang banyak
berbicara tentang politik, ia juga banyak berbicara tentang ekonomi.
Kepeduliannya terhadap problem umat dituangkan dalam butir-butir
pemikirannya tentang prinsip-prinsip Ekonomi Islam yang tertuang dalam
kumpulan risalahnya yang sudah dibukukan seperti Economic System of Islam,
Economic Problem of Man and It’s Islamic Solution, Way of Life dan lain-lain.
Dalam bukunya, Maududi telah menjelaskan bahwasanya Islam telah
meletakkan beberapa prinsip dan menetapkan batasan-batasan tertentu untuk
melaksanakan kegiatan ekonomi sehingga segala bentuk produksi, pertukaran dan
distribusi kekayaan dapat serupa (conform) dengan ukuran Islam.1
Islam tidak
membentuk metode-metode dan tehnik-tehnik yang berubah-ubah menurut waktu
atau dengan detail-detail dari bentuk-bentuk dan alat-alat organisasi tetapi Islam
membentuk metode-metode yang cocok pada setiap zaman dan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat serta tuntutan situasi ekonomi. Jadi, Islam
bertujuan bahwa apapun bentuk atau mekanisme kegiatan ekonomi itu, harus
mendapat tempat yang tetap dan penting dalam setiap kegiatan, keadaan dan zaman.
1
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Asatruss, 2005), hal. 241
2. Al-Maududi telah membahas secara khusus dan memberikan kritik secara rasional
terhadap teori bunga, serta membicarakan panjang lebar mengenai aspek-aspek
negatif dan menunjukkan kejahatan-kejahatannya secara fundamental. Berikut ini
adalah paparan beliau tentang aspek negatif riba;
B. Aspek Negatif Bunga Menurut Abul A’la Al-Maududi
Menurut Al-Maududi, masalah yang pertama kali harus kita putuskan adalah
apakah bunga itu merupakan pembayaran yang beralasan? Apakah para kreditor
itu adil apabila menuntut untuk membayar bunga atas hutang yang diberikan? Dan
adilkah jika penghutang dituntut harus membayar bunga terhadap pemberi
pinjaman sesuatu yang melebihi pinjaman pokok? Jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan tersebut akan menyelesaikan separuh dari masalah bunga.2
Jika dapat
ditunjukkan bahwa bunga tidak dapat dibenarkan baik oleh akal maupun keadilan,
lalu mengapa bunga masih menjadi perdebatan. Mengapa peraturan yang tak
beralasan tersebut tetap dibiarkan berlangsung berada di tengah masyarakat?
Terdapat perbedaan pendapat yang menyolok di antara para ahli yang
mendukung doktrin bunga, yaitu untuk apakah bunga itu dibayarkan? Sebagian
mengatakan bunga itu merupakan harga, tetapi harga itu untuk apa? Para pelopor
institusi bunga mendapat kesulitan besar untuk memperoleh kesepakatan dalam
masalah ini.3
Stidaknya ada beberapa teori tentang bunga yang dapat menjawab
masalah diatas, diantaranya yaitu;
B.1 Teori Piutang Menanggung Resiko
Pelopor teori ini menegaskan bahwa kreditor menanggung resiko karena
meminjamkan modalnya. Ia sendiri menangguhkan keinginannya semata-mata
untuk memenuhi keinginan orang lain. Ia meminjamkan modalnya yang mestinya
dapat mendatangkan keuntungan. Jika penghutang menggunakan modalnya itu
untuk memenuhi keinginan pribadinya, ia harus membayar sewa atas modal yang
dipinjam itu, sama halnya ia membayar sewa terhadap sebuah rumah atau
perabotan maupun kendaraan.4
Sewa merupakan kompensasi terhadap resiko yang
ditanggung oleh kreditor karena memberi pinjaman dan sekaligus imbalan karena
ia memberikan pinjaman modalnya. Dan apabila peminjam menginvestasikan
modalnya pada usaha-usaha yang dapat memberikan keuntungan, maka tidak
2
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Penerjemah: Soeroyo dan Nastagin, Judul asli:
“Economic Doktrin of Islam”, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid III, hal. 57.
3
Ibid, h. 58
4
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Op.Cit, hal. 244
3. berlebihan dan adil apabila pemberi pinjaman menuntut sebagian dari keuntungan
tersebut.
Al-Maududi menyatakan, marilah kita analisa maksud daripada “resiko”.
Memang benar bahwa pemberi pinjaman menanggung resiko serta mengorbankan
sesuatu, apabila ia meminjamkan modalnya kepada peminjam; tetapi dengan cara
apapun, hal ini tidak memberikan hak kepada pemberi pinjaman untuk
mengenakan harga 5% atau 10% pertahun atas resiko atau pengorbanannya.
Pemberi pinjaman mempunyai alasan yang baik untuk menahan jaminan atas
harga penghutang atau meminta garansi terhadap resiko yang ditanggungnya; atau
jika ia tidak mau melakukan di antara pilihan tersebut, ia tidak mau mengambil
resiko sama sekali dan menolak untuk memberikan pinjaman.5
Lebih lanjut lagi Al-Maududi menyatakan bahwa, resiko itu sendiri bukanlah
barang komersial yang memunculkan harga, juga bukan sebagai perabotan atau
kendaraan yang memungkinkan mendatangkan sewa. Pinjaman dapat dikatakan
sebagai pengorbanan sepanjang pinjaman itu tidak dianggap sebagai dagangan
karena pinjaman tidak dapat dianggap sebagai pengorbanan maupun barang
dagangan. Jika seseorang melakukan pengorbanan moral, maka ia harus puas
dengan apa yang ia peroleh secara moral; ia tidak boleh mengatakan sebagai
pengorbanan melainkan harus sebagai suatu bisnis. Dan apabila ia menuntut
imbalan ekstra yang melebihi modal pokok pertahun atau perbulan, ia harus
memberikan alasan atas tindakannya itu dan menjelaskan mengapa ia meminta
imbalan semacam itu.
Al-Maududi mengajak kita menganalisis dua aspek bunga yang menjadi
alasan teori piutang menanggung risiko ini. Pertama, bunga sebagai imbalan
karena menahan diri. Kedua, bunga dianggap sebagai bayaran sewa. Apakah
bunga merupakan imbalan karena menahan diri? Sesungguhnya kreditor hanya
meminjamkan sejumlah uang yang berlebih dari yang ia perlukan dan yang tidak
digunakan sendiri. Oleh karena itu, tidak boleh dikatakan sebagai imbalan karena
ia tidak menahan diri dari sesuatu yang memungkinkan dirinya menuntut imbalan.
Apakah bunga itu dikenakan sebagai pembayaran sewa? Bukankah sewa itu
hanya dikenakan terhadap barang-barang, seperti rumah, perabotan, alat
transportasi dan sebagainya, yang digunakan habis, rusak dan kehilangan sebagian
dari nilainya selama digunakan. Biaya sewa yang dibayarkan itu layak terhadap
barang yang susut, rusak dan memerlukan biaya perawatan terhadap barang
5
Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic SystemofIslam, Op.Cit, hal. 168
4. tersebut, tetapi barang-barang seperti makanan, emas, perak atau uang tidak dapat
dikategorikan ke dalamnya dan oleh karenanya sewa atasnya tidak punya dasar.6
Sebagian besar para kreditor mengatakan bahwa ia memberikan kesempatan
kepada peminjam untuk mencari keuntungan dari modalnya sehingga dengan
begitu ia harus memberikan sebagian keuntungannya. Tetapi terhadap pinjaman
konsumsi, alasan ini tidak berlaku karena peminjam biasanya orang miskin yang
mengambil pinjaman untuk mengatasi masa-masa sulit dan tidak ada keuntungan
yang dapat dibagikan.
Di dalam pinjaman produktif, terdapat dua kemungkinan yaitu memperoleh
keuntungan atau menderita kerugian. Jika peminjam menjalankan bisnisnya
mengalami kerugian, bagaimana dan dengan landasan apa kreditor dibenarkan
menarik keuntungan tetap secara bulanan atau tahunan dari peminjam? Dan
apabila keuntungan yang diperoleh sama atau kurang dari besarnya bunga setiap
bulan atau tahun, maka bagaimana kreditor dibenarkan untuk mengambil bagian
sedangkan ia sendiri tidak melakukan apa-apa; sementara peminjam yang bekerja
keras meluangkan waktunya, tenaga, kemampuan dan modal pribadinya, setelah
pengorbanan itu semua, tidak memperoleh apa-apa.7
Kalaupun keuntungan yang diperoleh peminjam itu lebih besar dari jumlah
bunga yang harus dibayarkan, tidak dibenarkan baik dengan akal, rasa keadilan,
prinsip-prinsip perdagangan dan ekonomi bahwa pedagang, industrialis, petani
serta faktor-faktor produksi lainnya, yang telah menghabiskan waktu, tenaga,
kemampuan dan sumber lain dari pada jasmani dan mentalnya, untuk
mengeluarkan atau menyediakan barang-barang kebutuhan masyarakat, yang
kemungkinan memperoleh keuntungannya tidak tetap, sedangkan kapitalis
memperoleh jaminan bunga yang tetap dan pasti. Semua pihak mempunyai resiko
menderita kerugian, tetapi pemilik modal memiliki jaminan bunga yang pasti.
Besarnya keuntungan bagi semua agen mengalami naik turun sejalan dengan
perubahan harga tetapi bunga bagi kapitalis tetap saja dan dibayar secara tetap
setiap bulan atau setiap tahun dalam keadaan bagaimanapun.
Tetapi jika kreditor menginginkan modalnya harus diinvestasikan pada usaha-
usaha yang menguntungkan sehingga memungkinkan ia memperoleh keuntungan,
satu-satunya cara yang wajar dan praktis baginya adalah dengan memasuki suatu
6
Ibid, hal. 169. Lihat juga, Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, hal. 59
7
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Ibid, hal. 60
5. partnership, dengan bisnisman, dan bukannya dengan meminjamkan modal
dengan menarik bunga.8
B.2 Teori Peminjam Memperoleh Keuntungan
Para pelopor pemikiran ini mengatakan bahwa dengan “menunggu” atau dengan
“menahan diri” dalam suatu periode tertentu dan tidak menggunakan modalnya sendiri
untuk memenuhi keinginannya sendiri, kreditor memberikan “waktu” kepada
peminjam untuk menggunakan modalnya untuk memperoleh keuntungan. “Waktu” itu
sendiri mempunyai “harga” yang meningkat sejalan dengan periode waktu. Jika
peminjam tidak diberikan batasan waktu untuk mendapatkan keuntungan dari
penggunaan modal yang dipinjamnya, ia tidak akan mampu memperoleh keuntungan
dan bahkan seluruh bisnisnya bisa hancur karena kekurangan modal. Masa di mana
peminjam menginvestasikan modalnya, mempunyai “harga” tertentu baginya dan ia
akan menggunakannya untuk memperoleh keuntungan. Maka tidak ada alasan
mengapa kreditor tidak boleh menikmati sebagian dari keuntungan peminjam.
Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa kemungkinan naik turunnya keuntungan
sejalan dengan naik turunnya waktu dan tidak ada alasan mengapa kreditor tidak boleh
mengenakan harta (waktu) sesuai dengan lamanya waktu.9
Tetapi lagi-lagi pertanyaan bagaimana dan darimana sumbernya kreditor itu
mendapatkan informasi bahwa peminjam itu nyata-nyata memperoleh keuntungan dan
tidak mengalami kerugian dengan investasi modal pinjamannya itu? Bagaimana ia
mengetahui bahwa peminjam itu akan memperoleh keuntungan yang pasti
sehinggadengan begitu ia menetapkan bagian keuntungan tersebut? Dan bagaimana
pemberi pinjaman dapat memperhitungkan bahwa peminjam pasti akan memperoleh
keuntungan yang begitu banyak selama masa modal digunakannya sehingga ia akan
mampu membayar harga tertentu secara pasti setiap bulan atau setiap tahun?10
Para
pendukung teori bunga ini tidak mampu memberikan jawaban yang masuk akal
terhadap masalah tersebut.
B.3 Teori Produktivitas Modal
Sebuah pendapat menegaskan “produktivitas modal” sebagai jumlah yang
diwariskan yang memungkinkan kreditor menarik suatu imbalan (dalam bentuk
bunga) dari peminjam atas penggunaan modal tersebut.11
8
Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, hal. 171
9
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Op.Cit, hal. 245
10
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, hal. 61
11
Syed Abul A’la Al-Maududi, EconomicSystemofIslam, Op.Cit, hal. 174
6. Ada beberapa ahli ekonomi yang menekankan aspek fungsi modal tersebut
dalam produksi. Menurut pandangan tersebut, modal dikatakan “produktif”.
Secara jelas ini berarti bahwa “terdapat suatu pasaran terhadap jasa mesin
produktif (modal) dan bentuk konkrit modal itu sendiri”. Pendapat ini memandang
bahwa modal adalah produktif yang dapat diartikan bahwa modal mempunyai
daya untuk menghasilkan barang yang jumlahnya lebih banyak daripada yang
dapat dihasilkan tanpa modal itu, atau modal mempunyai daya untuk
menghasilkan tanpa modal tersebut, atau bahwa modal mempunyai daya untuk
menghasilkan nilai tambah daripada nilai yang telah ada itu sendiri. Dan bunga
merupakan imbalan atas pelayanan produktif tersebut atas modal kepada
peminjam dalam proses produksi.12
Tetapi pernyataan bahwa produktivitas merupakan kualitas yang melekat
modal adalah tidak beralasan karena modal menjadi produktif hanya apabila
digunakan untuk bisnis yang dapat mendatangkan keuntungan oleh seseorang.
Apabila modal digunakan untuk tujuan-tujuan konsumsi, maka modal tidak
mempunyai kualifikasi semacam itu.
Meskipun modal digunakan dalam usaha-usaha yang mendatangkan
keuntungan, tidak perlu kiranya menghasilkan nilai lebih. Dapat dinyatakan
bahwa produktivitas tersebut merupakan kualitas yang melekat pada modal.
Sering terjadi, terutama dalam keadaan ekonomi yang merosot, penanaman modal
tidak hanya menipiskan keuntungan tetapi ternyata melibatkan keuntungan
menjadi kerugian.13
Jika modal dianggap memiliki produktivitas, produktivitas tersebut tergantung
pada berbagai faktor yang lain. Penanaman yang dapat mendatangkan keuntungan
banyak tergantung pada tenaga kerja, kemampuan, pandangan yang jauh dan
pengalaman orang yang menggunakannya di samping kestabilan ekonomi, sosial
dan politik suatu negara. Faktor-faktor tersebut dan faktor-faktor sejajar yang lain
merupakan syarat bagi penanaman modal yang dapat mendatangkan keuntungan.
Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, keuntungan yang diharapkan dari
penanaman modal tersebut berubah menjadi kerugian.14
Jika diakui bahwa modal itu memiliki suatu kualitas produktivitas yang
diberikan kepada pemilik modal sebagai bagian keuntungan, tidak ada cara untuk
mengetahui secara tepat dan pasti jumlah yang sebenarnya dari keuntungan yang
12
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, hal. 62
13
Ibid.
14
Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic SystemofIslam, Op.Cit, hal. 175
7. dibayarkan setiap bulan atau setiap tahun. Di samping itu, tidak ada metode untuk
menghitung atau memperkirakan keuntungan dari penggunaan modal untuk
jangka waktu sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang sehingga
memungkinkan untuk dapat menetapkan jangka waktu bunga.
Karena demikian halnya, tidak adil kiranya mengenakan sejumlah bunga
terhadap sejumlah uang yang dipinjamkan di muka untuk jangka waktu sepuluh
atau dua puluh tahun jika besarnya keuntungan aktual yang dapat diperoleh di
masa yang akan datang tidak diketahui.15
B.4 Teori Nilai Barang di Masa Mendatang Lebih Rendah Dibandingkan Nilai
Barang di Masa Sekarang
Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya lebih
mengutamakan kehendaknya di masa sekarang serta kepuasan sekarang daripada
yang akan datang. Para ahli tersebut menjelaskan fenomena bunga dengan suatu
rumusan yang sangat dikenal dengan “menurunkan nilai barang di waktu
mendatang dibanding dengan nilai barang di waktu kini”. Singkatnya, bunga
dapat dianggap sebagai agio yang diperoleh dari barang-barang yang waktu
sekarang terhadap perubahan atau penukaran barang di waktu yang akan datang.
Boehm, pendukung penting dari pendapat ini, memberikan tiga alasan terhadap
penurunan nilai di waktu yang akan datang:
1) Keuntungan di masa yang akan datang diragukan karena ketidakpastian
peristiwa yang akan datang serta kehidupan manusia, sedangkan keuntungan
pada masa kini jelas dan pasti.16
2) Kepuasan terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih bernilai bagi
manusia daripada kepuasan mereka di waktu yang akan datang karena
mungkin mereka tidak mempunya kehendak semacam itu di waktu yang akan
datang.
3) Oleh karena dalam kenyataannya barang-barang pada waktu kini lebih
penting dan berguna, dengan demikian barang-barang tersebut mempunyai
nilai yang lebih tinggi dibanding dengan barang-barang di waktu yang akan
datang.17
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, mereka mengatakan bahwa keuntungan
pasti masa kini sudah jelas diutamakan daripada keuntungan di masa yang akan
datang. Oleh karena itu, modal yang dipinjamkan kepada peminjam sekarang
15
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Op.Cit, hal. 246
16
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, hal. 64
17
Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic SystemofIslam, Op.Cit, hal. 176
8. memiliki nilai yang lebih tinggi daripada sejumlah uang yang dikembalikan
beberapa tahun kemudian. Sesungguhnya, bunga merupakan nilai kelebihan yang
ditambahkan pada modal yang dipinjamkan pada masa pembayarannya agar
mempunyai nilai yang sama dengan modal pinjaman semula. Dengan perkataan
lain, bunga adalah sama dengan perbedaan dari segi psikologis dan bukannya dari
segi ekonomis, antara barang-barang masa kini dengan barang-barang di masa
yang akan datang.
Apa yang menjadi pertanyaan adalah: apakah sifat manusia sungguh-sungguh
menganggap kehendak masa sekarang lebih penting dan berharga daripada
keinginan-keinginannya di masa yang akan datang? Jika demikian, lalu mengapa
banyak orang tidak membelanjakan seluruh pendapatannnya sekarang tetapi
senang menyimpan pendapatannya itu untuk keperluan di masa yang akan datang?
Kita akan banyak menjumpai orang yang menahan keinginannya di masa kini
demi untuk keinginan masa depan yang merupakan peristiwa yang tidak dapat
dilihat dan disangka. Segala usaha manusia kini diarahkan untuk masa depan yang
lebih baik, sehingga kemungkinan kehidupan manusia di masa yang akan datang
lebih bahagia dan sejahtera. Sangat sulit bagi kita untuk menemukan orang yang
secara sukarela menciptakan hari ini yang lebih bahagia dan sejahtera dengan
mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraannya di masa depan.18
Jika sementara kita dapat jumpai orang secara sukarela mengorbankan
kebahagiaan masa depan demi memperoleh kesenangan masa kini, sekali lagi
rumusan yang diambil untuk menetapkan bunga adalah salah. Menurut rumusan
ini, antara peminjam dan pemberi pinjaman menunjukkan bahwa $100 hari ini
adalah sama dengan $105 ($5 adalah bunga) setahun mendatang. Ini berarti bahwa
setelah lebih dari setahun $105 akan mempunyai nilai sama dengan $100 dari
tahun sebelumnya. Jika pinjaman tidak dibayarkan setelah satu tahun, setelah dua
tahun, $100 dua tahun yang lalu nilainya sama dengan $110.19
Apakah perbandingan antara nilai yang lalu dengan nilai sekarang tersebut
benar-benar sesuai? Dan apakah rumusan itu valid, bahwa barang masa lalu yang
semakin tua, nilainya dibandingkan dengan barang masa kini akan bertambah?
Tidak ada jawaban yang meyakinkan terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.20
Maulana Maududi menjelaskan akan bahaya kejahatan institusi bunga dan
menunjukkan bagaimana bunga itu dapat menyengsarakan dan menghancurkan
18
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, hal. 65
19
Ibid.
20
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Op.Cit, hal. 247
9. masyarakat. Sekarang kita akan membicarakan kejahatan-kejahatan moral, budaya
dan ekonomi tersebut satu persatu.
B.5 Kejahatan-kejahatan Modal dan Spiritual
Institusi bunga menimbulkan perasaan cinta terhadap uang dan hasrat untuk
mengumpulkan harta demi kepentingannya sendiri. Bunga menjadikan manusia
egois, bakhil, berwawasan sempit serta berhati batu. Bunga membentuk sikap
tidak mengenal belas kasihan, mendorong sifat tamak, menaburkan sifat cemburu,
dan memupuk sifat bakhil dalam berbagai cara. Secara ringkas, bunga mendorong
dan menyuburkan sifat-sifat buruk terhadap diri manusia yang dapat
menimbulkan kesengsaraan di kalangan masyarakat.21
B.6 Kejahatan Ekonomis
Bunga dibayarkan atas berbagai macam jenis pinjaman yang mengakibatkan
berbagai macam persoalan sesuai dengan sifat pinjaman dan peminjam. Oleh
karena itu, kita akan membicarakan setiap jenis pinjaman secara terpisah:
1) Pinjaman konsumsi
Pinjaman-pinjaman semacam ini dilakukan oleh orang-orang yang mengalami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Pinjaman jenis ini amat biasa di
kalangan orang-orang miskin dan menengah, khususnya di negara-negara
berkembang. Sebagian besar orang mengambil pinjaman ini untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, sebagian besar dari pendapatan mereka
diambil alih oleh para pemilik modal dalam bentuk bunga. Jutaan manusia di
negara-negara berkembang menggunakan seluruh hidupnya untuk membayar
hutang yang diwariskan kepada mereka. Upah dan gaji mereka sangat rendah
sehingga setelah membayar bunga, sangat sedikit yang tersisa untuk menjadikan
mereka mampu mendapatkan satu dua piring makanan setiap hari.22
Pembayaran angsuran bunga yang berat secara terus menerus ini telah
merendahkan standar kehidupan dan pendidikan anak-anak mereka. Di
samping itu, kecemasan yang terus menerus rupanya mempengaruhi efisiensi
kerja mereka yang pada akhirnya akan memperlemah perekonomian negara
mereka.
21
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Loc.Cit.
22
Ibid, hal. 67
10. Selanjutnya, pembayaran bunga telah mengurangi (menurunkan) daya beli
di kalangan mereka. Oleh karena itu, industri yang memenuhi permintaan
golongan miskin dan menengah akan memperoleh kesan akan rendahnya
permintaan kalangan tersebut. Dan secara berangsur-angsur tapi pasti, hal itu
akan menurunkan pembangunan industri serta menghambat kemajuan
masyarakat.23
2) Pinjaman produktif
Pinjaman ini dilakukan oleh para pedagang, industrialis dan para petani
untuk tujuan-tujuan yang produktif masuk dalam kategori peminjam jenis ini.
Kapitalis, dengan malpraktek mereka, telah menimbulkan banyak
kesengsaraan dengan memungut bunga dari para peminjam, begitu juga
terhadap masyarakat. Beberapa pengaruh buruk akibat sifat tamak mereka
dinyatakan sebagai berikut:
a. sebagian besar modal masyarakat dibiarkan mandul dan tidak
digunakan hanya karena dipegang kalangan kapitalis yang
mengharapkan kenaikan tingkat bunga. Bahkan meskipun banyak
usaha-usaha yang bermanfaat dan permintaan akan modal tinggi, di
pasaran, kapitalis tidak akan melepaskan modalnya begitu saja untuk
memperoleh bunga yang lebih tinggi lagi.
b. Sikap tamak untuk kenaikan bunga yang lebih tinggi yang
menyebabkan tidak mengalirnya modal ke tangan pedagang dan
industri sesuai dengan sifat dan permintaan yang sesungguhnya. Kaum
kapitalis telah menarik dana mereka dari pasar modal dengan
mengenakan bunga sesuai dengan keinginan mereka.
c. Malpraktek ini menambahkan kesan lebih buruk terhadap perputaran
perdagangan yang sering terjadi secara periodik di kalangan masyarakat
kapitalis modern dan sangat mempengaruhi kehancuran ekonomi.24
d. Modal tidak diinvestasikan pada berbagai usaha-usaha yang penting dan
bermanfaat bagi masyarakat tetapi kurang digunakan untuk usaha-usaha
yang kurang begitu menguntungkan masyarakat.
e. Pada umumnya kaum kapitalis memberikan pinjaman berjangka
panjang untuk perdagangan dan industri karena semakin tinggi
keuntungan para bisnis spekulatif dan mengharapkan meningginya
bunga di masa yang akan datang. Perilaku kapitalis semacam ini, yang
23
Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic SystemofIslam, Op.Cit, h. 203
24
Ibid. hal. 205
11. diakibatkan dari adanya bunga, merupakan hambatan dalam
pembangunan industri, khususnya di negara-negara berkembang.
Selain itu, bunga tetap untuk jangka panjang itu sendiri merupakan kejahatan
besar yang kadang-kadang, jika keuntungan usaha rendah, menghancurkan
perusahaan yang bekerja dan berkembang maju.25
3) Pinjaman Pemerintah
Pinjaman pemerintah ada dua macam. Pinjaman yang diperoleh dari dalam
negari dan pinjaman yang diperoleh dari luar negeri itu sendiri.26
a) Pinjaman yang diperoleh dari dalam negeri.
Pinjaman ini mungkin tak seproduktif pinjaman untuk mendirikan
usaha-usaha seperti membangun seluruh air, jalan kereta api, membangun
listrik tenaga air dan sebagainya.
Dalam hal pinjaman tak produktif, yang digunakan untuk keperluan-
keperluan mendesak, dan keadaan-keadaan lain, seperti kelaparan, gempa
bumi dan sebagainya, kedudukannya kurang lebih sama dengan pinjaman
perorangan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Sesungguhnya kedudukan
kapitalis dalam pinjaman semacam ini lebih buruk daripada memberikan
pinjaman perorangan.
Kaum kapitalis seperti halnya orang yang tidak tahu bersyukur dan
mementingkan dirinya sendiri sehingga ia memungut bunga kepada
pemerintah, yang telah memberikan perlindungan kepadanya, dan
memberikan kesempatan kepadanya kedudukan yang mereka nikmati.
Apabila modal tidak digunakan untuk usaha-usaha yang dapat
mendatangkan keuntungan tetapi digunakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat, maka ini sama halnya berguna bagi kaum kapitalis itu sendiri,
sehingga dasar untuk menarik bunga tidak dapat dianggap adil.27
Keadaan akan menjadi lebih buruk dan tidak dapat dimaafkan apabila
negara itu sedang berjuang hidup mati memerangi musuh yang
mengancam kehidupan dan hak milik di negara itu. Seluruh masyarakat
mengorbankan harta dan hidupnya untuk mempertahankan keberadaan
25
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, hal. 68
26
Ibid, hal. 69
27
Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, hal. 206
12. bangsa, sebaliknya kaum kapitalis yang mementingkan dirinya sendiri
memungut uang berupa bunga, dari pinjaman perang. Mereka tidak
bersedia memberikan walau sepeserpun dari uang pungutan bunganya,
sedangkan anggota masyarakat yang lain memberikan (mempertaruhkan)
kehidupan anak-anaknya, saudaranya, ayahnya untuk melindungi
kehormatan dan negaranya. Bagaimana dapat dikatakan adil dan bijaksana
dengan memberikan suapan kepada kaum kapitalis berupa bunga,
sedangkan masyarakat yang lainnya dalam keadaan menderita, belum
terjawab oleh para pelopor teori ini.
Semua beban bunga baik itu pinjaman produktif maupun yang tidak
produktif akan ditanggap oleh golongan pembayar pajak yang miskin baik
itu melalui pembayaran pajak langsung maupun tidak langsung. Terdapat
jutaan orang miskin yang tidak mampu memenuhi bahkan kebutuhan
pokok hidupnya tetapi harus membayar beban bunga kepada kaum
kapitalis.28
b) Pinjaman pemerintah dari luar.
Pinjaman ini mempunyai keburukan baik yang dimiliki pada keburukan
pinjaman perorangan maupun pinjaman nasional, baik pinjaman ini
digunakan untuk usaha-usaha yang produktif maupun tidak produktif.
Di samping itu, pinjaman ini mempunyai aspek lain yang penting dan
berbahaya. Pinjaman ini dapat menghancurkan perekonomian dalam
negeri danjuga dapat menimbulkan pertikaian internasional. Beban hutang
yang amat berat tidak jarang bukan saja menghancurkan suatu bangsa,
tetapi juga menabur benih kebencian dan rasa dendam antar bangsa yang
seringkali berakibat peperangan.29
Hutang luar negari juga dapat membahayakan keamanan dan
keselamatan bangsa yang baru saja merdeka, yang belum cukup kuat
secara finansial dan politis untuk berdiri di atas kaki sendiri.
28
Ibid, hal. 207
29
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, h. 70