Sindroma antifosfolipid adalah penyakit otoimun yang ditandai adanya antibodi antifosfolipid dan sedikitnya 1 manifestasi klinis seperti trombosis atau abortus berulang. Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis meliputi tes antibodi anticardiolipin, antibodi anti-β2 glycoprotein 1, lupus antikoagulan, dan tes koagulasi seperti aPTT, DRVVT, dan PT."
1. Ralat:
• sindroma antifospolipid sindroma
antifosfolipid
• fospolipid fosfolipid.
• Daftar pustaka:
No. 6: Visvanathan S, McNeil HP. Cellular
immunity to beta 2-glycoprotein-1 in
patients with the antiphospholipid
syndrome. J Immunol 1999;162:6919-
25.
1
2. Tinjauan Pustaka Hematologi
SINDROMA ANTIFOSFOLIPID
(Patogenesis, pemeriksaan laboratorium dan diagnosis)
Oleh: I Nyoman Wande
Pembimbing:
dr. Solichul Hadi, SpPK(K).
2
3. PENDAHULUAN
• Sindroma antifosfolipid penyakit otoimun
yang ditandai adanya antibodi antifosfolipid
dan sedikitnya 1 manifestasi klinis: trombosis
dan abortus yang berulang.
• Sindroma tersendiri (primary
antiphospholipid syndrome) atau bersama
dengan connective tissue disease (secondary
antiphospholipid syndrome).
3
4. PATOGENESIS
• Antibodi antifosfolipid mempengaruhi
fungsi jalur koagulasi yang mengarah
ke status prokoagulan:
• hambatan aktivasi protein C dan jalur
antitrombin III, hambatan fibrinolisis dan
meningkatkan regulasi aktivitas tissue factor.
• β2-glycoprotein I (β2GPI) berfungsi
sebagai antikoagulan in-vivo dan
adanya antibodi terhadap target ini akan
mempengaruhi perannya.
4
5. Patogenesis……..
• Protein lain yang penting dalam
koagulasi: protrombin, protein C dan S,
dan annexin V target dari antibodi
antifosfolipid.
• Ikatan annexin V pada permukaan
prokoagulan mungkin dihambat oleh
antibodi antifosfolipid.
5
6. Patogenesis……..
• Antibodi antifosfolipid berikatan dg permukaan
sel endotel pd β2-glycoprotein I-dependent
menyebabkan aktivasi sel endotel adesi
molekul pada permukaan sel dan sekresi
interleukin-6 dan prostaglandin.
• Ada bukti bahwa virus dan bakteri
menginduksi produksi antibodi antifosfolipid
pada binatang dan terjadinya trombosis dan
abortus.
6
7. Patogenesis……..
• sel mononuklear darah tepi yang
distimulasi dengan β2-glycoprotein I
peningkatan produksi interferon-γ.
• antibodi terhadap nuclear lamin B1
resiko protrombosis dihubungkan
dengan lupus anticoagulant (LAC) pada
pasien lupus eritematosus sistemik
(LES).
7
8. Gambar 1. Mekanisme patogenesis pada sindroma antifosfolipid (Hanly, 2003).
8
9. Patogenesis ……
Efek antibodi antifosfolipid terhadap platelet
dan metabolisme eicosanoid
• Antibodi antifosfolipid merangsang
agregasi platelet dan aglutinasi platelet
secara langsung.
• Antibodi antifosfolipid mengubah
keseimbangan sintesis eicosanoid ke
arah protrombotik yang ditunjukkan dg
adanya metabolit thromboxane dalam
urine pasien.
9
10. Patogenesis ……
Efek antibodi antifosfolipid pada sel endotel
vaskuler
• Kultur sel endotel yang diinkubasi
dengan antibodi antifosfolipid cell
adhesion molecules.
• Efek ini diperantarai oleh β2GPI
adesi lekosit ke dinding pembuluh darah
dan terjadinya inflamasi dan
trombosis.
10
12. Efek antibodi antifosfolipid pada sel endotel vaskuler…….
• Pasien sindroma antifosfolipid dg
trombosis arteri peningkatan kadar
endothelin-1.
• Antibodi antifosfolipid yang mengenai
annexin-V menginduksi apoptosis pada
sel endotel.
• Lupus anticoagulant stimulasi
pengeluaran mikropartikel dan
menstimulasi aktivitas protrombotik sel
endotel.
12
13. Patogenesis ……
Induksi aktivitas tissue factor oleh lekosit
• Pasien dengan gejala klinis dg antibodi
β2GPI menginduksi secara nyata
monocyte tissue factor.
• Efek ini memerlukan limfosit T CD4+
dan molekul MHC klas II.
• Kemampuan IgG menstimulasi
monocyte tissue factor adanya
protein S bebas dan peningkatan
petanda pretrombotik.
13
14. Patogenesis ….
Pengaruh terhadap komponen jalur protein C
1. hambatan pembentukan trombin
2. penurunan aktivasi protein C oleh
thrombomodulin-thrombin complex
3. hambatan terbentuknya kompleks protein C
4. hambatan aktivitas protein C secara langsung
atau melalui kofaktor protein S
5. berikatan dengan faktor Va dan VIIIa dalam
rangka melindungi ikatan tersebut dari
proteolisis oleh activated protein C (APC).
14
15. Patogenesis ……
Hambatan jalur antitrombin-III
• Antitrombin III: bagian dari keluarga serine
protease inhibitor.
• Individu dengan defisiensi antitrombin III herediter
↑ resiko terjadinya trombosis vena dalam.
• Aktivitas antithrombotic protein ini ↑ dengan
adanya heparin.
• Antibodi antifosfolipid mengalami reaksi silang
dengan heparin dan molekul heparinoid
menghambat kecepatan aktivitas antitrombin-III.
15
16. Patogenesis ……
Efek yang lain
• Antibodi antifosfolipid bisa menunjukkan cross-
reactivity terhadap oxidized LDL resiko
arterosklerosis.
• Fibrinolisis bisa terganggu pada wanita
mempunyai kadar plasminogen activator
inhibitor-I.
• Fibrinolisis dapat terganggu melalui hambatan
oleh anti-β2GPI dari autoaktivasi faktor XII dan
selanjutnya reduksi kallikrein dan urokinase.
16
17. FAKTOR RESIKO
• Penderita LES: 12%-30% mempunyai
antibodi anticardiolipin dan 15%-34%
mempunyai lupus anticoagulant.
• Sekitar 50% pasien LES yang
mempunyai antibodi antiphospholipid
memiliki riwayat trombosis vena atau
arteri.
17
19. Pemeriksaan antibodi anticardiolipin
a. Antibodi anticardiolipin
Prinsip:
• Solid-phase immunoassay (ELISA)
dikerjakan pada plate yang dilapisi
cardiolipin,
• Antibodi anticardiolipin dari pasien
dengan sindroma antifosfolipid yaitu β2-
GPI-dependent; antibodi dari pasien
dengan penyakit infeksi yaitu β2-GPI-
independent.
19
20. b. Antibodi anti β2-glycoprotein 1(β2-
GPI)
Prinsip:
• Solid-phase immunoassay dikerjakan
pada plate yang dilapisi human β2-GPI
(umumnya γ-irradiated polystyrene).
• Pemeriksaan Anti- β2-GPI antibody
mendeteksi antibodi terhadap human β2-
GPI, bukan bovine β2-GPI (seperti pada
pemeriksaan antibodi anticardiolipin.
Penderita dengan sindroma antifosfolipid memiliki antibodi
antifosfolipid lebih dari 20 UI IgG atau IgM
20
21. Gambar 2. Penentuan antibodi antifosfolipid dengan enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA) (Hanly,2003). 21
22. Pemeriksaan lupus anticoagulant
dalam plasma
a. Activated partial thromboplastin
time (APTT)
Prinsip:
Mengukur waktu pembekuan plasma
setelah mengaktivasi faktor kontak tetapi
tanpa penambahan tromboplastin jaringan
dan menunjukkan adanya efisiensi
keseluruhan dari jalur intrinsik.
22
23. Activated partial thromboplastin time (APTT)….
• Nilai normal: 26-40 detik
•Pada pemanjangan APTT:
Untuk membedakan adanya
defisiensi faktor pembekuan dengan
circulating anticoagulant
pencampuran plasma normal
dengan plasma yang akan di tes
dengan perbandingan 50:50
23
24. b. Kaolin Clotting Time (KCT)
Prinsip:
• APTT dikerjakan pada keadaan tidak
adanya platelet dan digantikan dengan
reagen.
• Jika tes dikerjakan dengan mencampur
plasma normal dan plasma pasien,
didapatkan pola respon yang berbeda
adanya lupus anticoagulant, defisiensi
satu atau lebih faktor pembekuan, atau
efek “lupus cofactor”.
24
25. Gambar 3. Kurva kaolin clotting time (KCT) untuk
mendeteksi adanya lupus anticoagulant (Laffan,2006). 25
26. Kaolin Clotting Time (KCT)……
• Tes ini bisa disederhanakan dengan
mengerjakan tes 100% plasma normal dan
80% plasma normal/20% plasma yang di
tes.
• Hasil positif rasio tersebut 1,2 atau lebih.
• KCT kontrol < 60 menunjukkan
kontaminasi plasma kontrol dengan
fospolipid.
KCT [80% N: 20% tes] ≥ 1,2
KCT [100%N]
26
27. c. Dilute Russell’s Viper Venom Time
(DRVVT)
Prinsip:
• Russel’s viper venom (RVV)
mengaktivasi faktor X bekuan fibrin
dengan adanya faktor V, protrombin,
fosfolipid dan ion kalsium.
• LAC memperpanjang waktu pembekuan
dengan berikatan pada fospolipid dan
mencegah aktivitas RVV.
27
28. Prinsip DRVVT…..
• Pengenceran venom dan fosfolipid
meningkatkan sensitivitas untuk
mendeteksi adanya LAC.
• DRVVT biasanya dikombinasi dengan
platelet/ phospholipid neutralisation
procedure untuk menambah
spesifisitasnya
28
29. Gambar 4. Penentuan antibodi antifosfolipid
dengan lupus anticoagulant (Hanly,2003). 29
30. Interpretasi DRVVT:
• Normal: rasio berkisar antara 0,9
sampai 1,05.
• Rasio lebih besar dari 1,05
menunjukkan adanya LAC tetapi bisa
juga timbul pada abnormalitas faktor II,
V atau X, fibrinogen atau beberapa
inhibitor lain.
30
31. d. Platelet Neutralisation Test
Prinsip:
• Jika platelet digunakan sebagai
pengganti reagen fosfolipid dalam tes
koagulasi tes tidak sensitif terhadap
LAC.
• Hal ini tampak sebagai hasil
kemampuan platelet mengabsorpsi LAC.
• Kemampuan platelet ini dapat dibuktikan
dengan cara mencuci platelet.
31
32. Interpretasi: Platelet Neutralisation Test
• Penambahan platelet normal yang telah
dicuci atau reagen ekstrak platelet
komersial pada DRVVT system
memperpendek waktu pembekuan jika
terdapat LAC.
• Hal ini tidak terjadi jika pemanjangan
disebabkan oleh defisiensi faktor
pembekuan atau inhibisi langsung
terhadap faktor koagulasi spesifik.
32
33. Lupus anticoagulants: DRVVT testing system
DRVVT tahap pertama: hasil ditunjukkan sebagai
rasio DRVVT pasien/ DRVVT kontrol,
dengan range normal yang representatif <1,06
Pemanjangan rasio terjadi oleh karena defisiensi
faktor atau adanya inhibitor
DRVVT tahap kedua: penegasan lebih lanjut untuk
kemungkinan adanya lupus anticoagulant
yang dicapai melalui preinkubasi plasma
pasien dan kontrol dengan fosfolipid yang
berlebih.
Gambar 5. Contoh DRVVT dalam evaluasi kemungkinan
lupus anticoagulant. A. Penjelasan testing system.
33
34. Lupus anticoagulants: DRVVT testing system
Persen koreksi:
Patient DRVVT Patient DRVVT with high phospholipid
Control DRVVT Control DRVVT with high phospholipid
Patient DRVVT
Control DRVVT
Persen koreksi di atas nilai cut-off yang ditetapkan
(yaitu 16%) dianggap positif, dan dicurigai adanya
lupus anticoagulant.
Gambar 5. Contoh DRVVT dalam evaluasi kemungkinan lupus
anticoagulant. B. Tahap koreksi (netralisasi) dari tes DRVVT.
34
35. e. Diluted Thromboplastin Inhibition Test
Prinsip:
• Pengenceran tromboplastin yang
digunakan untuk prothrombin time (PT)
akan menyebabkan pemanjangan PT.
• Pada pengenceran tertentu (1:50-1:500)
konsentrasi fosfolipid yang rendah tes
ini cukup sensitif terhadap antibodi
fosfolipid.
35
36. Prinsip Diluted Thromboplastin Inhibition Test:….
• ketika ada LAC, rasio waktu pembekuan
plasma tes dengan plasma normal
meningkat.
Interpretasi:
• Positif jika dilute PT ratio (tes/mean
normal) menggunakan Innovin pada
pengenceran 1:200 lebih besar dari
1,15.
36
37. f. Textarin/Ecarin Ratio
Prinsip:
• Rasio Textarin/Ecarin merupakan tes yang
sensitif dan relatif spesifik untuk LAC
berdasarkan fraksi dari 2 bisa ular.
• Textarin: fraksi protein dari bisa Pseudonaja
textilis mengaktivasi protrombin dg
adanya fospolipid, faktor V dan ion kalsium.
• Ecarin: fraksi protein dari bisa Echis
carinatus mengaktivasi protrombin dalam
keadaan tanpa beberapa kofaktor.
37
38. Prinsip Textarin/Ecarin Ratio:…
• Aktivasi protrombin dengan Textarin
menghasilkan trombin
• Ecarin menghasilkan meizothrombin
(aktivasi prothrombin intermediate)
• Adanya LAC pemanjangan Textarin
time, Ecarin time tidak terpengaruh.
38
39. Interpretasi Textarin/Ecarin Ratio:
• Hasil dilaporkan sebagai rasio
Textarin/Ecarin time.
• Hasil yang positif rasio lebih besar dari 1,3.
• Hasil positif palsu defisiensi faktor V dan
inhibitor spesifik terhadap faktor V.
• berguna dalam mengidentifikasi LAC pada
sampel pasien yang mendapat terapi
warfarin.
39
40. Tabel 1. Pendekatan laboratorium untuk mendeteksi LAC
Tahapan
tes Metode deteksi
Initial Pemanjangan waktu pembekuan pada pemeriksaan koagulasi in-
testing vitro phospholipid-dependent:
•jalur koagulasi ekstrinsik (misalnya dilute PT)
•jalur koagulasi intrinsik (misalnya APTT)
•jalut koagulasi “final common” (misalnya DRVVT)
Mixing Kegagalan mengkoreksi pemanjangan waktu pembekuan dengan
mencampur plasma pasien dengan plasma normal
Correctio Menentukan adanya LAC dengan memendeknya atau
n/ terkoreksinya pemanjangan waktu koagulasi setelah penambahan
neutraliza fosfolipid berlebih.
tion
Exclusion Menyingkirkan koagulopati yang lain dengan menggunakan
pemeriksaan faktor spesifik jika tes konfirmasi negatif atau jika
dicurigai adanya inhibitor faktor spesifik. 40
41. Gambar 6. Deteksi lupus anticoagulant antibodies dengan
pemeriksaan fungsi koagulasi in vitro (Levine,2002) 41
42. KRITERIA DIAGNOSIS SINDROMA
ANTIFOSFOLIPID
Sindroma antifosfolipid dapat
ditegakkan yaitu sekurang-kurangnya
ditemukan 1 kriteria klinis dan 1 kriteria
laboratorium (Sapporo criteria, tabel 1)
42
43. Tabel 1. Kriteria diagnosis sindroma antifosfolipid
Kriteria klinis
1. Trombosis vaskuler
Satu atau lebih episode klinis trombosis arteri, vena
atau small-vessel thrombosis beberapa jaringan organ.
2. Pregnancy morbidity
• satu atau lebih kematian dari janin secara morfologi
normal pada/ lebih dari 10 minggu kehamilan, atau
• satu atau lebih kelahiran prematur janin secara
morfologi normal pada/ sebelum 34 minggu
kehamilan,atau
• tiga kali atau lebih abortus spontan berurutan yang
tidak dapat dijelaskan sebelum 10 minggu kehamilan.
43
44. Tabel 1. Kriteria diagnosis sindroma antifosfolipid
Kriteria laboratorium
1. Antibodi anticardiolipin IgG dan/atau IgM isotype dalam
darah yang diperiksa dengan ELISA standar untuk β2-
glycoprotein-1-dependent anticardiolipin antibodies.
2. Terdapatnya lupus anticoagulant dalam plasma:
a.pemanjangan phospholipid-dependent coagulation:
APTT, KCT, DRVVT, dPT, Textarin time.
b.pemanjangan waktu koagulasi pada tes penyaring tidak
dapat dikoreksi dengan plasma normal
c. terkoreksinya pemanjangan waktu koagulasi pada tes
penyaring dengan penambahan fosfolipid berlebih
d.menyingkirkan koagulopati lainnya : inhibititor faktor
VIII atau heparin.
44
45. Gambar 7. Alur diagnosis sindroma antibodi antifosfolipid (Peter,2007) 45
46. DIAGNOSIS BANDING SINDROMA
antifosfolipid
• Vaskulitis
• Catastropic antiphospholipid syndrome harus
dibedakan dari thrombotic thrombocytopenic
purpura, disseminated vasculitis atau DIC
• Defisiensi faktor koagulasi spesifik atau inhibitor
lain
• Infeksi spesifik seperti misalnya sifilis, lyme
disease, HIV atau hepatitis C
• Penyakit lain (keganasan, sind. neprotik,
polisitemia, atau trombositosis), termasuk
congenital prothrombotic state. 46
49. Elevated F VIII
• Frequency of high level of F VIII in VTE:
19-25%
• Independent of blood group and von
Willebrand factor
• No relationship between F VIII and acute
phase reactant: C reactive protein.
49
50. Protein C
• Function: inactivate F Va and F VIIIa and
enhance fibrinolysis
• Vitamin K-dependent protein
• Warfarin-induce skin necrosis
• PC deficiency in general population < 1%
• PC deficiency in VTE 5-10%
50
51. Protein S
• Function: cofactor of protein C
• Vitamin K-dependent protein
• Warfarin-induced skin necrosis
• Type I: qualitative form
• Type II: quantitative form
• Estrogen therapy: free protein S
• Protein S deficiency in VTE 2-13%
51
52. Antithrombin
• Function: neutralize thrombin and other
serine protease (Xa, XIa, XIIa, IXa,
kalikrein)
• Type I: deficiency
• Type II: dysfunction
• Heterogenous mutations
• AT deficiency in healthy people 0.16%
• AT deficiency in VTE patient 3-8%.
52
53. Faktor resiko dan prediktor…..
• Faktor yang dihubungkan dengan resiko
tinggi terjadinya trombosis:
• riwayat trombosis sebelumnya
• adanya lupus anticoagulant
• level antibodi anticardiolipin yang tinggi.
• kehamilan dan prosedur pembedahan
• factor V Leiden mutation mempertinggi
resiko trombosis
53
54. 6. Manifestasi klinis sindroma antifosfolipid
• Manifestasi trombotik
• Manifestasi obstetri
• Catastrophic antiphospholipid syndrome
• Manifestasi minor dari sindroma antifosfolipid:
• livido reticularis, pyoderma leg ulcers
• Trombositopenia
• neurologi: kejang, demensia multi infark, disfungsi
kognitif dan lain-lain.
• penyakit katup jantung
• emboli paru yang berulang atau trombosis pembuluh
darah kecil
54
55. FIG 1. 27-year-old man with acute onset
of left hemiparesis. Catheter angiogram of
the right common carotid artery,
anteroposterior
view, shows occlusion of the right
middle cerebral artery. On CT (not shown),
a right middle cerebral artery territory
infarction
was seen. Serum assay for lupus
anticoagulant was positive. No other risk
factors for stroke were identified, and a
transesophageal echocardiogram was
normal.
55
56. FIG 2. 56-year-old woman with a mixed connective tissue disorder and transient
ischemic
attacks who was treated with immunosuppressive therapy for presumed CNS
vasculitis with no progression of symptoms thereafter.
A, Left common carotid artery catheter angiogram, lateral view, shows sites of
arterial
occlusion (solid arrow) and alternating segments of dilatation and narrowing (open
arrows). Similar findings were seen in the vertebrobasilar circulation (not shown).56
B, Axial T2-weighted MR image (2200/80/1) shows left-sided thalamic infarction
57. FIG 3. 26-year-old woman with a 3-week history of sudden onset of left-sided monocular blindness.
Transesophageal echocardiogram showed a hypokinetic left ventricle but no evidence of mural thrombus,
valvular vegetations, or right-to-left cardiac shunt by microcavitation study.
A, Aortic arch catheter angiogram, left anterior oblique view, shows occlusion of the left common carotid
artery (arrow) a few centimeters above its origin. The remainder of the brachiocephalic arteries are normal
in appearance. (Image provided courtesy of Leroy Roberts, Chapel Hill, NC.)
B, Long-TR/short-TE proton density –weighted MR image (2500/30/2) shows a small cortical infarction
(arrow) within the left frontal lobe. 57
58. FIG 4. 64-year-old woman with sudden onset of right hemiparesis and history of deep venous thrombosis
of the leg a year earlier, indicative of hypercoagulable state. Left common carotid catheter angiogram,
anteroposterior view, shows a smoothly contoured intraluminal filling defect (arrow) in the origin of the left
ICA, consistent with a thrombus. Thrombus was seen in the aortic arch (not shown). The patient
underwent successful ICA thrombectomy and was started on warfarin therapy. The aortic thrombus
resolved over the next 3 months but recurred soon after warfarin therapy was discontinued.
Fig 5. 22-year-old woman with multiple bilateral transient ischemic attacks and Takayasu-like syndrome.
Arch aortogram, left anterior oblique projection, shows severe stenoses of the innominate artery (solid
arrow), left subclavian artery, and left ICA (open arrows). 58
59. Lyme disease
• Disebabkan: Borrelia burgdorferi
• Manifestasi klinis: erythema migrans atau
erythema chronicum migrans.
• Manifestasi lain: abnormalitas pada saraf,
jantung dan sendi.
59
60. Catastropic
antiphospholipid syndrome
• keadaan klinis yang melibatkan sekurang-
kurangnya 3 sistem organ yang berbeda selama
periode hari atau minggu dengan bukti
histopatologi adanya oklusi multipel pada
pembuluh darah besar atau kecil.
• Ginjal merupakan organ yang paling sering
terkena (78% pasien), diikuti dengan paru (66%),
central nervous system (56%), jantung (50%), dan
kulit (50%).1
60
61. Kaolin clotting time (KCT)
Prosedur pemeriksaan:
plasma normal + plasma pasien (tabung plastik): 10:0, 9:1,
8:2, 5:5, 2:8, 1:9, 0:10.
Ambil sebanyak 0,2 ml masing-masing campuran (tabung
gelas, 370C).
+ 0,1 ml kaolin (inkubasi 3 menit)
+ 0,2 ml CaCl2 dan catat waktu pembekuannya.
Hasil tersebut diplot ke dalam kertas grafik linier terhadap
rasio plasma normal dengan plasma penderita.
61
62. Dilute Russell’s Viper Venom Time (DRVVT)
Prosedur pemeriksaan:
0,1 ml pool plasma normal + 0,1 ml reagen fosfolipid
(diencerkan)
Masukkan pada tabung gelas, suhu 370C.
Tambahkan 0,1 ml dilute RVV (hangatkan 30 detik)
+ 0,1 ml CaCl2. Catat waktu pembekuan. Ulangi urutan ini
dengan plasma penderita
Kalkulasi rasio waktu pembekuan plasma penderita dan plasma
kontrol 62
63. Trombosis
• Adalah pembentukan suatu massa abnormal
di dalam sistem peredaran darah mahluk
hidup yang berasal dari komponen darah.
• Massa abnormal trombus
• Bila terlepas dari dinding pembuluh darah
embolus.
63
64. Tiga faktor yang berperan pada
trombosis
• Kelainan dinding pembuluh darah
• Perubahan aliran darah
• Perubahan daya beku darah.
64
65. Trombomodulin
• Protein yang berfungsi sbg kofaktor dalam
aktivasi protein C oleh trombin.
• Protein C aktif berfungsi sebagai
antikoagulan dg memecah F Va dan F VIIIa
serta meningkatkan fibrinolisis.
65
66. • Aktivasi sistem pembekuan darah dpt
terjadi karena masuknya tromboplastin
jaringan ke dalam darah seperti pd operasi,
trauma dan keganasan.
• Beberapa jenis tumor (ca pankreas) dapat
menghasilkan prokoagulan sendiri.
66
67. Penyebab trombosis vena yang
lain:
• Defisiensi AT III
• Defisiensi protein C
• Defisiensi protein S
• Disfibrinogenemia kongenital, defisiensi F
XII
• Kelainan struktur plasminogen.
67
68. Fungsi AT III
• Menetralkan trombin, VIIa, Ixa, Xa, XIa
dan XIIa.
• Def AT III yang didapat: sirosis hati,
sindroma nefrotik, pemakaian pil
kontrasepsi, setelah trombosis yang luas dan
setelah terapi heparin dosis tinggi.
68
71. Figure 3. A model for the mechanisms of the lupus
anticoagulant effect and for a lupus procoagulant effect.
71
72. Anti- 2 GP1 IgM MICROWELL ELISA
Assay procedure:
1.Place the desired number of coated strips into the
holder.
PRE-WASH Coated Wells - Repeat washing three times with washing buffer.
2.Prepare 1:101 dilution of test samples by adding 5 l of
the sample to 500 l of absorbent solution. Mix well.
Do not dilute 1:101 prediluted Calibrators & Controls.
3. Dispense 100 l of diluted sera and prediluted
calibrators & controls into the appropriate wells. Tap
the holder to remove air bubbles from the liquid and mix
well. Incubate for 30 minutes at room temperature.
4. 72
73. 4. Remove liquid from all wells. Repeat washing three
times with washing buffer.
5. Dispense 100 l of enzyme conjugate to each well and
incubate for 30 minutes at room temperature.
6. Remove enzyme conjugate from all wells. Repeat
washing three times with washing buffer.
7. Dispense 100 l of TMB Chromogenic Substrate into
each well and incubate for 30 minutes at room
temperature.
8. Add 100 l of Stop solution to stop reaction.
Make sure there are no air bubbles in each well before reading.
9. Read O.D. at 450 nm with a microwell reader.
73
74. Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)
• Fever
• MAHA
• Renal insufficiency
• Neurologic abnormality
• Thrombocytopenia
PT and APTT: normal
74