1. Definisi pertumbuhan dan perkembangan
Pertumbuhan (growth) ialah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan interseluler,
berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh dalam arti sebagian atau keseluruhan.
Bersifat kuantitatif sehingga dapat diukur dengan mempergunakan satuan panjang dan berat.
Perkembangan (development) ialah bertambahnya kemampuan struktur dan fungsi tubuh yang
lebih kompleks, jadi bersifat kualitatif yang pengukurannya jauh lebih sulit daripada pengukuran
pertumbuhan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik,
sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ/individu. Dimana
keduanya berjalan secara berkesinambungan dalam tubuh manusia. Terdapat dua faktor utama
yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu
faktor genetik dan faktor lingkungan.
Pengertian temper tantrum adalah perilaku marah pada anak-anak prasekolah. Mereka
mengekspresikan kemarahan mereka dengan berbaring di lantai, menendang, berteriak,
dan kadang-kadang menahan napas mereka. Tantrum yang alami, terjadi pada anak-anak
yang belum mampu menggunakan kata-kata untuk mengekspresikan rasa frustrasi
mereka, karena tidak terpenuhinya keinginan mereka.
Dikutip dari Children’s Hospital of Philadelphia, berikut ini adalah petunjuk yang paling tepat
dan bermanfaat tentang cara mengatasi temper tantrum:
Tetap tenang.
Terus lakukan kegiatan anda. Abaikan anak sampai dia lebih tenang dan tunjukkan aturan
yang sudah disepakati bersama.
Jangan memukul anak Anda. Lebih baik mendekapnya dalam pelukan sampai ia tenang.
Cobalah untuk menemukan alasan kemarahan anak Anda.
Jangan menyerah pada kemarahan anak. Ketika orang tua menyerah, anak-anak belajar untuk
menggunakan perilaku yang sama ketika mereka menginginkan sesuatu.
Jangan membujuk anak Anda dengan imbalan yang lain untuk menghentikan kemarahannya.
Anak akan belajar untuk mendapatkan imbalan.
Arahkan perhatian anak pada sesuatu yang lain.
Singkirkan benda-benda yang berpotensi berbahaya dari anak Anda.
Berikan pujian dan penghargaan perilaku bila tantrum telah selesai.
Tetap jaga komunikasi terbuka dengan anak Anda.
Pengertian Sibling Rivalry
1. Kamus kedokteran Dorland (Suherni, 2008): sibling (anglo-saxon sib dan ling bentuk
kecil) anak-anakdari orang tua yang sama, seorang saudara laki-laki atu perempuan. Disebut juga
sib. Rivalry keadaan kompetisi atau antagonisme. Sibling rivalry adalah kompetisi antara saudara
kandung untuk mendapatkan cinta kasih, afeksi dan perhatian dari satu kedua orang tuanya, atau
untuk mendapatkan pengakuan atau suatu yang lebih.
2. 2. Sibling rivalry adalah kecemburuan, persaingan dan pertengkaran antara saudara laki-laki dan
saudara perempuan. Hal ini terjadi pada semua orang tua yang mempunyai dua anak atau lebih.
Sibling rivalry atau perselisihan yang terjadi pada anak-anak tersebut adalah hal yang biasa
bagi anak-anakusia antara 5-11 tahun. Bahkan kurang dari 5 tahun pun sudah
sangat mudah terjadi sibling rivalry itu. Istilah ahli psikologi hubungan antar anak-anak seusia
seperti itu bersifat ambivalent dengan love hate relationship.
Mengatasi Sibling Rivalry
Beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua untuk mengatasi sibling rivalry,
sehingga anak dapat bergaul dengan baik, antara lain:
1. Tidak membandingkan antara anak satu sama lain.
2. Membiarkan
3. anak menjadi diri pribadi mereka sendiri.
4. Menyukai bakat dan keberhasilan anak-anak Anda.
5. Membuat anak-anak mampu bekerja sama daripada bersaing antara satu sama lain.
6. Memberikan perhatian setiap waktu atau pola lain ketika konflik biasa terjadi.
7. Mengajarkan anak-anak Anda cara-cara positif untuk mendapatkan perhatian dari satu sama lain.
8. Bersikap adil sangat penting, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan anak. Sehingga adil
bagi anak satu dengan yang lain berbeda.
9. Merencanakan kegiatan keluarga yang menyenangkan bagi semua orang.
10. Meyakinkan setiap anak mendapatkan waktu yang cukup dan kebebasan mereka sendiri.
11. Orang tua tidak perlu langsung campur tangan kecuali saat tanda-tanda akan kekerasan fisik.
12. Orang tua harus dapat berperan memberikan otoritas kepada anak-anak, bukan untuk anak-anak.
13. Orang tua dalam memisahkan anak-anak dari konflik tidak menyalahkan satu sama lain.
14. Jangan memberi tuduhan tertentu tentang negatifnya sifat anak.
15. Kesabaran dan keuletan serta contoh-contoh yang baik dari perilaku orang tua sehari-hari adalah
carapendidikan anak-anak untuk menghindari sibling rivalry yang paling bagus.
Ketakutan, menurut dr. Ika Widyawati, SpKJ dari Bagian Psikiatri FKUI- RSUPN Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, merupakan suatu keadaan alamiah yang membantu individu
melindungi dirinya dari suatu bahaya sekaligus memberi pengalaman baru. Pada sejumlah batita,
rasa takutnya masih sebatas pada hal-hal spesifik seperti takut pada anjing, gelap, atau bertemu
orang asing.
Yang kerap terjadi, jelas psikiater ini, ketakutan anak justru muncul karena “ditularkan” orang tuanya. Karena
takut pada sesuatu atau kondisi tertentu, “Tanpa sadar orang tua akan melarang anak dengan cara menakut-
nakutinya.” Misalnya, “Awas ada kucing, nanti kamu dicakar!” Akibatnya, anak merasa terancam alias tidak
aman setiap kali melihat kucing. Padahal, umumnya kucing hanya akan marah dan mencakar jika diganggu.
3. Bentuk ekspresi ketakutan itu sendiri bisa macam-macam. Biasanya lewat tangisan, jeritan, bersembunyi atau
tak mau lepas dari orang tuanya. Untungnya, seperti dijelaskan Ika, rasa takut ini akan hilang dengan
sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. “Saat anak merasa aman dengan dirinya sendiri maupun
lingkungannya, hilanglah rasa takut tadi. Tentu saja perlu dukungan orang tua.”
Yang jadi masalah adalah bila rasa takut mengendap dan tak teratasi sehingga berpengaruh pada aktivitas
sehari-hari anak. “Bahkan bisa mengarah jadi ketakutan yang bersifat patologis. Malah bisa fobia alias
ketakutan berlebih karena pernah mengalami kejadian tertentu.
Berikut 9 jenis rasa takut yang kerap dialami batita dan tips mengatasi yang diberikan Ika.
1. TAKUT BERPISAH (SEPARATION ANXIETY)
Anak cemas harus berpisah dengan orang terdekatnya. Terutama ibunya, yang selama 3 tahun pertama
menjadi figur paling dekat. Figur ibu, tak selalu harus berarti ibu kandung, melainkan pengasuh, kakek-nenek,
ayah, atau siapa saja yang memang dekat dengan anak.
Kelekatan anak dengan sosok ibu yang semula terasa amat kental, biasanya akan berkurang di tahun-tahun
berikutnya. Bahkan di usia 2 tahunan, kala sudah bereksplorasi, anak akan melepaskan diri dari keterikatan
dengan ibunya. Justru akan jadi masalah bila si ibu kelewat melindungi/overprotektif atau hobi mengatur
segala hal, hingga tak bisa mempercayakan anaknya pada orang lain.
Perlakuan semacam itu justru akan membuat kelekatan ibu-anak terus bertahan danakhirnya menimbulkan
kelekatan patologis sampai si anak besar. Akibatnya, anak tak mau sekolah, gampang nangis, dan sulit
dibujuk saat ditinggal ibunya. Bahkan si ibu beranjak ke dapur atau ke kamar mandi pun, diikuti si anak terus.
Repot, kan? Belum lagi ia jadi susah makan dan sulit tidur jika bukan dengan ibunya.
Cara Mengatasi:
Jelaskan pada si kecil, mengapa ibu harus pergi/bekerja. Begitu juga penjelasan tentang waktu meski anak usia
ini belum sepenuhnya mengerti alias belum tahu persis kapan pagi, siang, sore, dan malam serta pengertian
mengenai berapa lama masing-masing tenggang waktu tersebut. Akan sangat memudahkan bila orang
tuamenggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Semisal, “Nanti, waktu kamu makan sore, Ibu sudah
pulang.” Jika tak bisa pulang sesuai waktu yang dijanjikan, beri tahu anak lewat telepon. Sebab, anak akan
terus menunggu dan ini justru bisa menambah rasa takut anak. Ia akan terus cemas bertanya-tanya, kenapa
sang ibu belum dating
2. TAKUT MASUK “SEKOLAH”
Bukan soal mudah melepas anak usia batita masuk playgroup. Sebab, ia harus beradaptasi dengan lingkungan
barunya. Padahal, tak semua anak bisa gampang beradaptasi. Dari pihak orang tua, tidak sedikit pula yang
justru tak rela melepas anaknya “sekolah” karena khawatir anaknya terjatuh kala bermain atau didorong
temannya.
Cara Mengatasi:
Orang tua tetap perlu mengantar anak ke “sekolah” karena ini menyangkut soal pembiasaan. Kalaupun di hari-
hari berikutnya ada sekolah-sekolah yang bersikap tegas hanya membolehkan orang tua menunggu di luar,
sampaikan informasi ini pada anak.Guru pun harus bisa menarik perhatian anak agar tidak terfokus pada
ketiadaan pendampingan orang tuanya dengan bermain. Di saat asyik bermain dengan teman-temannya niscaya
ia akan lupa.
4. 3. TAKUT PADA ORANG ASING
Di usia-usia awal, anak memang mau digendong/dekat dengan siapa saja. Namun diusia 8-9 bulan biasanya
mulai muncul ketakutan atau sikap menjaga jarak pada orang yang belum begitu dikenalnya. Ini normal karena
anak sudah mengerti/mengenali orang. Ia mulai sadar, mana orang tuanya dan mana orang lain yang jarang
dilihatnya.
Cara Mengatasi:
Di usia batita seharusnya rasa takut pada orang asing sudah mulai berangsur hilangkarena, toh, ia sudah
bereksplorasi. Semestinya anak sudah memperoleh cukup pengetahuan untuk menyadari bahwa tak semua
orang asing/yang belum begitu dikenalnya merupakan ancaman baginya.
Biasanya, justru karena orang tua kerap menakut-nakuti, sehingga anak bersikap seperti itu. “Awas, jangan
deket-deket sama orang yang belum kamu kenal. Nanti diculik, lo!” Memang boleh-boleh saja orang tua
menasehati anak untuk berhati-hati/bersikap waspada pada orang asing, tapi sewajarnya saja dan bukan dengan
cara menakut-nakutinya.
4. TAKUT PADA DOKTER
Mungkin pernah mengalami hal tak mengenakkan seperti disuntik, anak jadi takut pada sosok tertentu. Belum
lagi kalau orang tua rajin “mengancam” setiap kali anak dianggap nakal. “Nanti disuntik Bu Dokter, lo, kalau
makannya enggak habis!” atau “Nanti Mama bilangin Pak Satpam, ya!”
Cara Mengatasi:
Izinkan anak membawa benda atau mainan kesayangannya saat datang ke dokter sehingga ia merasa aman dan
nyaman. Di rumah, orang tua bisa membantunya denganmenyediakan mainan berupa perangkat dokter-
dokteran. Biarkan anak menjalani peran dokter dengan boneka sebagai pasiennya. Secara berkala ajak anak ke
dokter gigi untuk menjaga kesehatan giginya. Tak ada salahnya juga mengajak dia saat orang tua atau
kakak/adiknya berobat gigi. Dengan begitu anak memperoleh infomasi bagaimana dan ke mana ia harus pergi
untuk menjaga kesehatan giginya. Lambat laun ketakutannya pada sosok dokter justru berganti menjadi
kekaguman.
5. TAKUT HANTU
“Hi, di situ ada hantunya. Ayo, jangan main di situ!” Gara-gara sering diancam dan ditakuti seperti itu, batita
yang sebetulnya belum mengerti sama sekali tentang hantu,jadi tahu dan takut. Bisa juga karena ia menonton
film horor di televisi.
Cara Mengatasi:
Jauhkan anak dari tontonan tentang hantu. Orang tua pun seyogyanya jangan pernah menakut-nakuti
anak hanya demi kepentingannya. Bisa pula dengan membelikan buku-buku cerita atau tontonan anak
mengenai karakter hantu atau penyihir yang baik hati.
6. TAKUT GELAP
Biasanya juga gara-gara orang tua. “Mama takut, ah. Lihat, deh, gelap, kan?” Takut pada gelap bisa juga
karena anak pernah dihukum dengan dikurung di ruang gelap. Bila pengalaman pahit itu begitu membekas,
bukan tidak mungkin rasa takutnya akan menetap sampai usia dewasa. Semisal keluar keringat dingin atau
malah jadi sesak napas setiap kali berada di ruang gelap atau menjerit-jerit kala listrik mendadak padam.
Cara Mengatasi:
5. Saat tidur malam, jangan biarkan kamarnya dalam keadaan gelap gulita. Paling tidak,biarkan lampu tidur
yang redup tetap menyala. Cara lain, biarkan boneka atau benda kesayangannya tetap menemaninya, seolah
bertindak sebagai penjaganya hingga anak tak perlu takut.
7. TAKUT BERENANG
Sangat jarang anak usia batita takut air. Kecuali kalau dia pernah mengalami hal tak
mengenakkan semisal tersedak atau malah nyaris tenggelam saat berenang hingga hidungnya banyak
kemasukan air.
Cara Mengatasi:
Lakukan pembiasaan secara bertahap. Semisal, awalnya biarkan anak sekadar merendam kakinya atau
menciprat-cipratkan air di kolam mainan sambil tetap mengenakan pakaian renang. Bisa juga
dengan memasukkan anak ke klub renang yang ditangani ahlinya. Atau dengan sering mengajaknya
berenang bersama dengan saudara/teman-teman seusianya. Tentu saja sambil terus didampingi dan dibangun
keyakinan dirinya bahwa berenang sungguh menyenangkan, hingga tak perlu takut. Kalaupun anak tetap
takut, jangan pernah memaksa apalagi memarahi atau melecehkan rasa takutnya. Semisal, “Payah, ah!
Berenang, kok, takut!”
8. TAKUT SERANGGA
Tak sedikit anak yang takut pada jangkrik, kecoa atau serangga terbang lainnya. Sebetulnya ini wajar,
hingga orang tua jangan tambah menakut-nakutinya, “Awas, nanti ada kecoa, lo.” Hendaknya justru bisa
memahami karena anak usia ini mungkin saja menemukan banyak hal yang dapat membuatnya takut.
Cara Mengatasi:
Boleh saja orang tua memberi pengenalan tentang alam binatang pada anak. Tak perlu kelewat detail seperti
halnya profesor memberi kuliah. Tugas orang tua sebatasmemahami ketakutan anak sekaligus membantunya
merasa aman. Boleh saja katakan, “Ayah tahu kamu takut jangkrik.” Cukup segitu dan jangan paksa anak
berada terus-menerus dalam pembicaraan mengenai rasa takutnya.
Jangan pula memaksa anak bersikap sok berani menghadapi ketakutannya. “Belum saatnya mencobakan anak
melihat atau malah menyentuhkan serangga yang ditakutinya. Ini hanya akan membuat anak semakin
takut.” Bila dipaksakan terus, anak malah bisa fobia pada serangga. Biarkan anak tertarik dengan sendirinya
dan biasanya ini terjadi setelah anak berusia 2 tahunan. Jika anak memang takut kala ada serangga yang
terbang di dekatnya, bantulah untuk mengusirnya bersama
9. TAKUT ANJING
Wajar anak batita takut anjing mengingat penampilan binatang ini memang terkesan galak dengan
gonggongan dan tampang yang garang. Belum lagi kebiasaannya suka melompat, menjilat atau malah
mengejar. Tugas orang tualah untuk memahami sekaligus membantu anak mengatasi ketakutannya.
Cara Mengatasi:
Tak harus memaksa anak memelihara anjing atau mendorong anak menghadapi rasa takutnya dengan terus-
menerus memberi „ceramah‟, semisal “Ngapain, sih, takut sama anjing. Anjingnya, kan, baik.” Menihilkan
ketakutan anak justru akan membuat anak semakin takut dan bukan tidak mungkin akhirnya malah
berkembang jadi fobia yang sulit diatasi.
Bila anak memang takut dan ketika berjalan bertemu anjing, pegangi tangannya untuk meyakinkannya ia bisa
aman melewati binatang yang ditakutinya bersama orang tuanya. Jangan lupa untuk tetap menjaga jarak aman
dari temperamen binatang yang relatif sulit diduga. Bisa juga dengan menunjukkan keakraban antara anjing
6. sebagai hewan peliharaan dengan majikannya lewat cerita/dongeng. Atau kenalkan pada anjing tetangga dan
tak ada salahnya meminta si pemilik memperlihatkan bagaimana menjalin keakraban dengan anjingnya tanpa
harus merasa takut.