Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder untuk Penanggulangan Kemiskinan
1. Mempromosikan dan Mendukung
Keberlanjutan Proses Partisipasi Para Pemangku Kepentingan
Agar Pemerintahan Lokal Berhasil Menanggulangi Kemiskinan
Di Daerah Tertinggal
Studi Kasus Nusa Tenggara Barat1
Dr. Astia Dendi2
Abstract
Setelah dilanda krisis finansial pada tahun 1997, Indonesia mulai mengimplementasikan
“kebijakan desentralisasi secara besar-besaran” yang memberikan fungsi dan tanggung
jawab yang besar kepada pemerintah daerah. Beberapa kajian sebelumnya menyatakan
bahwa penerapan desentralisasi memberikan dampak yang beragam terhadap
pembangunan daerah. Berbeda dengan beberapa penelitian baru-baru ini yang mengkaji
perspektif Pemerintah Pusat, penelitian ini menguji perspektif dan proses di daerah dalam
rangka membentuk Pemerintah Daerah yang dinamis sebagai usaha mempromosikan
pembangunan yang pro-masyarakat miskin dan berkelanjutan. Kami menganalisis bukti-
bukti empiris dari Provinsi Nusa Tenggara Barat yang menekankan pada konsep dan
prospek Forum Pemangku Kepentingan sebagai instrumen pemerintahan daerah untuk
mencapai kebijakan dan program pro-masyarakat miskin dan pengembangan ekonomi
lokal/regional. Kami mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana
konsep forum para pemangku kepentingan berkembang di daerah ini?; Bagaimana forum
ini mendefinisikan prioritas untuk aksi-aksi bersama dan mengalokasikan pembagian
tanggung jawab? Peran apa yang dimiliki oleh forum untuk membuat Pemerintah Daerah
dan pasar bekerja dalam usaha pengentasan kemiskinan?; dan faktor-faktor penting apa
yang dibutuhkan untuk memelihara kesinambungan forum tersebut? Penelitian ini
menemukan bahwa forum para pemangku kepentingan, yang dikembangkan di Nusa
Tenggara Barat, adalah sebuah model yang prospektif untuk meraih tujuan
pengembangan ekonomilokal/ regional yang pro-masyarakat miskin. Selain itu, kajian ini
mengidentifikasi faktor-faktor yang sangat dibutuhkan serta rekomendasi untuk
melanjutkan proses para pemangku kepentingan dari perspektif politik ekonomi.
1
Makalah ini diterima untuk disajikan dalam Konferensi International dengan tema Politik
Ekonomi Pembangunan Daerah (Political Economy of Regional Development), yang
diselenggarakan oleh Indonesian Regional Science Association (IRSA) dan IPB, Bogor, 21-23 Juli,
2009. www.irsa.or.id
2
Koresponden: Dr. Astia Dendi, GTZ Senior Advisor for Regional Development, Good Local
Governance/ Decentralization Programme di Nusa Tenggara Barat. Email dendi@gtz.or.id. Fax:
+62370626049. Internet www.gtz-decentralization.or.id. Penulis menyampaikan terimakasih
kepada Team Leader GTZ Good Local Governance, Dr. Manfred Poppe, semua responden atau
narasumber serta rekan kami Dr. Ahmad Zaini dari Pusat Penelitian Kependudukan dan
Pembangunan Universitas Mataram (P2KP) dan H. Rifai Saleh Haryono atas semua informasi,
masukan dan komentar yang diberikan kepada Penulis dalam menyiapkan makalah ini.
Page | 1
2. Kata kunci: Pengembangan ekonomi lokal, pemerintahan daerah, proses para
pemangku kepentingan, ekonomi politik, pembangunan daerah.
Tinjauan Issu Kontekstual dan Regional
Krisis finansial Asia tidak hanya membawa kemajuan yang pantas dicatat, namun
juga hal-hal yang tidak diinginkan. Selama lebih dari dua dekade, fokus kebijakan
pembangunan yang kuat dan tangguh untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi telah mengakibatkan kemajuan besar dalam bidang kualitas hidup seiring
dengan bertambahnya pendapatan per kapita, pengentasan kemiskinan, dan
pengurangan angka pengangguran. Sebaliknya, kapasitas pemerintah daerah dan
organisasi swasta maupun masyarakat hanya mendapat sedikit sekali perhatian di
masa lalu. Akibatnya, terjadilah alokasi sumber daya yang tidak efektif dan efisien,
sektor swasta yang tidak kompetitif, dan degradasi SDA. Para ahli dan politisi percaya
bahwa hal-hal tersebut merupakan beberapa faktor penyebab krisis finansial yang
melanda negara-negara di Asia termasuk Indonesia.
Semenjak krisis finansial yang dialami pada tahun 1997, Indonesia mulai
mengembangkan “kebijakan desentralisasi secara besar-besaran” yang memberikan
fungsi dan tanggung jawab yang besar kepada pemerintah daerah. Kebijakan
desentralisasi, yang dimulai pada tahun 2001, telah menyebabkan terjadinya pengalihan
kewenangan kepada pemerintah daerah. Demikianlah, secara teoretis pemerintah
daerah ini mempunyai kesempatan dan tanggung jawab untuk mengembangkan
daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi daerah dengan bekerjasama dengan
organisasi masyarakat sipil. Dalam bingkai desentralisasi, pemerintah Indonesia telah
mengimplementasikan berbagai usaha untuk mewujudkan pelayanan yang lebih baik,
pertumbuhan yang berkelanjutan, dan pengentasan kemiskinan. Pemerintah daerah yang
berada di garis depan dalam hal pelayanan publik adalah pendukung proses demokrasi
dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses pemerintahan lokal. Memang,
pendekatan di berbagai tingkat (multi-level approach) dan kerjasama antar perwakilan
pemerintah, sektor swasta, dan mayarakat sipil sangat diperlukan. Namun, penerapan
desentralisasi dan kebijakan pemerintahan tidak selalu berjalan mulus karena berbagai
hambatan yang ada. Beberapa observasi sebelumnya, (KPPOD dan the Asia Foundation
2007; Kerstan dkk., 2004; Dendi dan Zaini, 2007) menemukan bahwa dampak
desentralisasi pada pemerintahan dan pembangunan daerah berbeda antara satu daerah
dengan daerah lain.
Page | 2
3. Untuk mengatasi hambatan-hambatan di atas, jangkauan dan kualitas pelayanan
publik tertentu, terutama bidang kesehatan, pendidikan, dan pengembangan ekonomi
daerah, harus ditingkatkan. Hal ini membutuhkan pengembangan institusi dan kapasitas
di semua level namun yang lebih mendesak adalah di tingkat lokal dan regional.
Kepulauan Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan titik pertemuan flora dan fauna
wilayah Indonesia barat dan timur. Dua pulau terbesar di provinsi ini, Lombok dan
Sumbawa, memberikan ciri khas daerah utara yang bergunung-gunung dan dinaungi oleh
pepohonan. Sebaliknya wilayah selatan dan timur adalah kawasan yang tandus dan
tertutup padang rumput.
Provinsi NTB adalah tempat tinggal bagi 4,2 juta warganya. Mayoritas penduduk
beragama Islam dan berasal dari suku Sasak yang sebahagian besarnya tinggal di Pulau
Lombok. Suku Bima dan Sumbawa adalah kelompok etnis terbesar di pulau Sumbawa.
Kemajemukan sosial budaya terlihat jelas dalam hal bahasa. Sasak, Mbojo, Samawa,
Bali, Bugis dan Jawa adalah bahasa-bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-
hari. Masyarakat yang majemuk dianggap sebagai aset yang tak ternilai sekaligus
tantangan bagi pembangunan daerah.
Kinerja sektor ekonomi Nusa Tenggara Barat terbilang lemah jika dibandingkan
dengan provinsi-provinsi lain yang berdekatan. Meskipun iklim wilayahnya tergolong
kering, pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama yang menjadi tulang
punggung pembangunan ekonomi daerah. Sektor ini menyumbang hampir 1/3 produk
domestik regional bruto (PDRB). Dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi NTB terus naik
secara perlahan dengan kisaran pertumbuhan 5% (BPS, 2007).
Namun persentase populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan masih tinggi, yaitu
sekitar 27,17% pada tahun 2006. Laporan resmi terbaru (BPS dan BAPPEDA, 2008)
menemukan kecenderungan penurunan angka kemiskinan yang cukup tinggi menjadi
24,99 % pada tahun 2007 dan 23,81 pada tahun 2008. Selain itu angka pengangguran
masih cukup tinggi meskipun agak mengalami penurunan. Selanjutnya, meskipun indeks
pembangunan manusia (IPM) NTB telah menunjukkan sedikit kenaikan dalam beberapa
tahun terakhir, angkanya tetap termasuk kategori yang terendah di Indonesia. Tingginya
tingkat kemiskinan, pengangguran, dan ketidaksetaraan sosial bertepatan dengan
tingginya jumlah anak-anak putus sekolah dan buta huruf (16% pria dan 29% wanita).
Angka-angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata di tingkat nasional.
Page | 3
4. Lebih dari 2/3 masyarakat buta huruf tinggal di pedesaan. Seiring dengan tingkat
kemiskinan, malnutrisi dan tingkat kematian bayi bertambah.
Desentralisasi secara teoretis menawarkan banyak pilihan untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan tersebut. Namun, dalam rangka menstimulasi
pembangunan lokal dan regional serta pengentasan kemiskinan, strategi yang terpadu
dan operasional bagi pemerintah daerah dan sektor swasta masih tetap diperlukan. Untuk
meraih tujuan-tujuan tersebut, proyek Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Good Local
Governance) yang didukung oleh GTZ (German Technical Cooperation) dan mitranya di
tingkat nasional maupun regional mengembangkan banyak instrumen-instrumen
pemerintahan, misalnya Forum Tata Kelola Pengembangan Ekonomi Lokal (LEG- Local
Economic Governance Forum). Tujuan dan batasan masalah yang lebih spesifik akan
dipaparkan di bagian selanjutnya.
Tujuan dan Batasan Masalah
Penelitian ini mengekplorasi pengalaman-pengalaman empiris yang menggambarkan
inisiatif pemangku kepentingan dari provinsi NTB dalam mendesain dan menerapkan
pendekatan pengembangan ekonomi lokal/regional yang pro-masyarakat miskin (LRED).
Kajian ini bertujuan memahami konsep dan prospek forum pemangku kepentingan
sebagai sebuah instrumen pemerintahan lokal untuk menerapkan strategi pro-masyarakat
miskin (LRED) dan pelayanan pemerintahan. Dengan fokus yang demikian, penelitian ini
berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Bagaimana konsep forum para
pemangku kepentingan berkembang di daerah ini?; Bagaimana forum tersebut
mendefinisikan prioritas untuk aksi-aksi bersama dan mengalokasikan pembagian
tanggung jawab? Peran apa yang dimiliki oleh forum tersebut untuk membuat pemerintah
daerah dan pasar bekerja dalam usaha pengentasan kemiskinan?; dan Faktor-faktor
penting apa yang dibutuhkan untuk memelihara Forum PEL? Atau berdasarkan sudut
pandang yang lebih luas, pelajaran apa yang bisa diambil untuk mempromosikan
pendekatan yang sama ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai karakter serupa?
Page | 4
5. Perkembangan Perspektif dalam Bidang Pemerintahan yang Baik (Good
Governance)
Dalam kerangka desentralisasi, konsep Good Governance terus-menerus
diperdebatkan. Namun, para ahli dan pembuat kebijakan semakin sadar bahwa Good
Governance merupakan instrumen penting untuk mewujudkan tujuan-tujuan
desentralisasi. Banyak pencetus pendekatan pengembangan ekonomi lokal/regional pro-
masyarakat miskin yang juga menganut pendapat tersebut. Akan tetapi baru-baru ini
terdapat semakin banyak literatur yang mengadopsi atau mempromosikan ide-ide
pemerintahan dan kriteria-kriteria Good Governance menurut United Nations
Development Programme (UNDP). UNDP (1997) menggambarkan pemerintahan
sebagai penggunaan kekuasaan ekonomi, politik, dan administrasi untuk mengatur
persoalan-persoalan negara di semua tingkat. Pemerintahan terdiri dari mekanisme,
proses dan institusi yang digunakan oleh masyarakat dan kelompok-kelompok untuk
menyuarakan keinginan, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban, dan mengatasi
perbedaan. Dengan demikian, pemerintahan mempunyai tiga kaki (UNDP, 1997) yaitu
ekonomi, politik, dan administrasi. Pemerintahan di bidang ekonomi mencakup
proses-proses pembuatan kebijakan yang berdampak pada aktivitas-aktivitas
ekonomi negara dan hubungannya dengan ekonomi negara-negara lain.
Pemerintahan di bidang ekonomi secara luas akan berpengaruh pada kesetaraan,
kemiskinan, dan kualitas hidup. Pemerintahan di bidang politik terdapat pada proses-
proses pengambilan keputusan untuk membuat kebijakan. Pemerintahan administratif
merupakan implementasi kebijakan yang ada. Lebih lanjut UNDP menyatakan bahwa
pemerintahan tidak hanya mengurusi negara tetapi juga sektor-sektor swasta dan
organisasi masyarakat.3
Dalam bingkai konsep governance (pemerintahan), UNDP (1997) menekankan
bahwa prinsip utama good governance adalah partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Selain itu good governance harus bersifat efektif, adil, dan mempromosikan penegakan
hukum. Good governance juga harus menjamin prioritas aktivitas politik, sosial, dan
ekonomi berdasarkan konsensus di masyarakat dan mendengarkan aspirasi masyarakat
3
UNDP (1997) mendefinisikan bahwa negara mencakup institusi-institusi politis dan publik. Lebih
lanjut, menurut UNDP definisi ini bersifat konsisten dengan tujuan utamanya yaitu seberapa
efektif negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Selanjutnya UNDP juga menjelaskan
bahwa sektor swasta meliputi perusahaan-perusahaan swasta (manufakturing, perdagangan,
koperasi, dan sebagainya) serta sektor informal di pasar-pasar. Masyarakat terdiri dari individu-
individu dan golongan-golongan (terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi dalam bidang
sosial, politik, dan ekonomi yang berpatokan pada peraturan formal, informasi, dan hukum.
Page | 5
6. yang paling miskin dan rentan sekalipun dalam pengambilan keputusan sehubungan
dengan alokasi sumber daya pembangunan.
Kerangka Teori dan Konsep untuk Memahami Forum Tata Kelola Pengembangan
Ekonomi Lokal (Local Economic Governance)
Pengembangan Ekonomi Lokal (LED) dan Sudut Pandang Pemerintahan
LED seharusnya tidak dinilai sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi sebagai
bagian pembangunan regional. Berikut adalah arah dan kriteria Pengembangan Ekonomi
Lokal (LED) menurut GTZ (Rücker and Trah, 2006):
- Merangsang pertumbuhan ekonomi lokal dan menciptakan pasar kerja baru,
- Menggunakan sumber daya lokal yang tersedia sebaik mungkin,
- Menciptakan lapangan dan kesempatan untuk menyeimbangkan penawaran dan
permintaan, dan
- Mengembangkan kesempatan bisnis baru.
Pemikiran yang lebih baru oleh sekelompok ahli yang bekerja untuk GTZ (Grossmann,
dan Ellwein dkk., 2006:1) mendefinisikan pengembangan ekonomi lokal/regional sebagai:
“…proses memobilisasi para pemangku kepentingan dari sektor publik dan
swasta serta masyarakat sipil untuk menjadi mitra dalam usaha bersama
demi meningkatkan ekonomi wilayah tertentu dalam suatu negara
sehingga dapat meningkatkan daya saingnya”.
Pemikiran GTZ mengenai Pengembangan Ekonomi Lokal/Regional (LRED) jelas
sekali berbeda dengan intervensi secara konvensional terhadap pembangunan sektor
swasta yang berdiri sendiri. Sebaliknya, mereka memilih proses yang melibatkan para
pemangku kepentingan. Artinya, ahli-ahli tersebut berpendapat bahwa cara kita
melakukan sesuatu lah yang membuat LRED berbeda dengan intervensi konvensional
dan terencana.
Page | 6
7. Sementara itu, UN-Habitat (2005:8) mendefinisikan pengembangan ekonomi lokal (LED)
sebagai,
“…proses partisipasi masyarakat lokal dari berbagai sektor yang bekerja
bersama untuk meningkatkan aktivitas komersial untuk meraih ekonomi
yang tangguh dan berkelanjutan. Hal ini adalah cara menciptakan
pekerjaan yang layak dan meningkatkan kualitas hidup manusia termasuk
masyarakat miskin dan termarginalkan.”
Terdapat benang merah antara pemikiran UN-Habitat mengenai pengembangan
ekonomi lokal (LED) dengan perspektif pro-masyarakat miskin yang diperkenalkan oleh
GTZ di wilayah Nusa Tenggara (Kerstan, dan Dendi dkk., 2004). Ahli-ahli tersebut
menegaskan bahwa pengembangan ekonomi lokal (LED) seharusnya memfokuskan diri
untuk meraih tiga tujuan yang saling berhubungan: (i) penciptaan pertumbuhan ekonomi
dan lapangan kerja; (ii) pengurangan angka kemiskinan, dan selanjutnya (iii) pencapaian
kehidupan yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, upaya
pengembangan ekonomi lokal disarankan untuk mencurahkan perhatian atau fokus pada
tiga pilar strategic, yakni pengembangan daya tarik, daya tahan dan daya saing
perekonomian daerh. Tiga pilar strategik ini tidak berdiri sendiri tetapi membentuk rantai
yang saling berhubungan. Jadi, semua faktor yang membuat perekonomian menarik dan
berdaya tahan merupakan jalan menuju penciptaan daya saing yang tinggi.
Pemikiran-pemikiran baru dan kerangka strategis mengenai pengembangan ekonomi
lokal/regional yang telah dipaparkan, mengantarkan kita pada tiga elemen pokok LRED,
yaitu: (i) proses partisipasi; (ii) peningkatan kapasitas di semua level; dan (iii) penggunaan
potensi lokal (sumber daya) yang berkelanjutan. Selain itu, pendekatan pengembangan
ekonomi lokal/regional (LRED) menekankan pada kontrol dan kepemilikan lokal. Jadi,
kemitraan dalam pengembangan ekonomi lokal/regional menyatukan usaha memacu
pelaku, organisasi, dan sumber daya sambil mengembangkan institusi-institusi baru
melalui dialog dan aktivitas-aktivitas strategis.
Pengembangan Ekonomi Lokal dan Good Governance
Dalam kerangka pengembangan ekonomi lokal, United Nations Human Settlements
Programme (UN-Habitat, 2005: 19) menjelaskan pemerintahan sebagai:
“…kumpulan berbagai cara individu dan institusi, publik dan swasta, dalam
merencanakan dan mengatur permasalahan mendasar di suatu kota atau
daerah. Pemerintahan merupakan proses berkelanjutan yang
mengakomodasi konflik atau perbedaan kepentingan dan mengambil
Page | 7
8. langkah-langkah yang kooperatif untuk menyelesaikannya. Pemerintahan
meliputi institusi-institusi formal dan kelompok-kelompok informal serta
modal sosial masyarakat (sosial capital of citizens)”.
Konsep UN-Habitat mengenai pemerintahan bertumpu pada proses. Artinya, ia
memfokuskan diri pada bagaimana pelaku-pelaku dengan prioritas yang berbeda dan
dalam hubungan yang kompleks mengambil keputusan. Pemahaman yang baik mengenai
proses pengambilan keputusan secara formal maupun informal di tingkat lokal/regional
sangat penting untuk mendorong inisiatif para pemangku kepentingan demi meraih
tujuan-tujuan pengembangan ekonomi lokal/regional yang pro-masyarakat miskin. UN-
Habitat (2005) berargumentasi bahwa hubungan penting antara konsep good governance
dan pengembangan ekonomi lokal dibutuhkan dalam rangka menciptakan lingkungan
yang ramah terhadap dunia usaha.
Selanjutnya, UN-Habitat berpendapat bahwa sistem demokrasi diperlukan tetapi tidak
selalu menjamin kesuksesan pengembangan ekonomi lokal. Landasan sebuah
kesuksesan adalah institusi yang handal di tingkat lokal. Masih dalam argumentasi yang
sama, UN-Habitat (2005: halaman 20-21) menyarankan agar institusi yang kuat dan tepat
dibentuk dengan disertai dukungan untuk institusi tersebut dan strategi-strategi yang
menggabungkan pemerintahan dan budaya. Disamping itu, untuk meraih keberhasilan
pengembangan ekonomi lokal dibutuhkan peraturan dan prosedur yang jelas seperti
peraturan bisnis yang efektif, zona penggunaan lahan yang menerapkan rencana
berkelanjutan, dan tidak berdasarkan keputusan yang bersifat jangka pendek dan politis
tanpa memperhatikan baik atau buruknya. Lebih lanjut, UN-Habitat (2005) menyarankan
bahwa lingkungan politik haruslah aman. Kebijakan ekonomi yang miskin dan korup, serta
sistem pemerintahan yang lemah dapat berdampak buruk bagi pengembangan ekonomi
lokal karena menaikkan resiko dan meningkatkan biaya produksi. Tanpa lingkungan
investasi yang aman, modal manusia (human capital) dan modal finansial di daerah akan
berpindah. Hal ini akan mengakibatkan kesulitan bagi daerah tersebut untuk menarik
investor dari luar. Lebih lanjut, suasana yang kondusif ditandai dengan adanya
kemudahan bagi masuknya bisnis dan penegakan peraturan secara efisien (UN-Habitat,
2005).
Page | 8
9. Pilihan Publik dan Ekonomi Institusional Baru
Sejak era ekonomi politik klasik, para ekonom telah tertarik dengan tema pilihan
individu pelaku-pelaku kegiatan tertentu (individual choice of actors) dalam lingkungan
institusional tertentu yaitu keputusan dalam pengalokasian sumber-sumber daya di pasar
(Kirchner, 2007). Tema-tema lingkungan institusional telah disentuh, namun belum
pernah dianalisis secara mendalam sebelumnya (Kirchner, 2007). Dapat dimengerti
bahwa hak milik pribadi, kebebasan mengadakan kontrak, dan mata uang yang stabil
merupakan prasyarat bagi berfungsinya pasar (Kirchner, 2007). Jadi aliran ekonomi ini
berfokus pada pengambilan keputusan oleh pelaku pasar sebagai topik utama ilmu
ekonomi. Oleh karena itu, ilmu ekonomi dapat diartikan sebagai sebuah cabang teori
umum mengenai pilihan individu (General Theory of Individual Choice) (Kirchner, 2007).
Selanjutnya tema individualisme didukung oleh dua asumsi mendasar yakni kelangkaan
sumber daya dan perilaku rasional untuk kepentingan pribadi (self-interested rational
behavior) (Kirchner, 2007). Individualisme dengan metode tertentu yang dipadukan
dengan asumsi di atas membentuk paradigma ilmu ekonomi.
Konsep pilihan publik (public choice) memperluas aplikasi paradigma ekonomi di
institusi-institusi non-pasar, misalnya negara dengan mekanisme pengambilan suara
terbanyak dan sistem birokrasinya (Kirchner, 2007). Dengan demikian, pendekatan public
choice dalam analisis politik dan negara menganggap pemilih, pembuat keputusan politis,
birokrat, dan wakil rakyat sebagai pembuat keputusan rasional berdasar kepentingan
pribadi (self-interested rational decision makers).
Gambar 1 menampilkan kerangka konseptual untuk mengeksplorasi dan memahami
interaksi antar pemangku kepentingan dalam rangka promosi pengembangan ekonomi
lokal/regional yang pro-masyarakat miskin (LRED) dan yang dipandu oleh tiga prinsip
dasar good governance, yakni partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Kerangka
tersebut mempunyai hipotesis bahwa self-interested rational actors secara sukarela
melibatkan diri mereka dalam platform para pemangku kepentingan untuk belajar,
mengambil keputusan bersama, dan membagi tanggung jawab demi meraih tujuan
bersama yaitu tujuan-tujuan pengembangan ekonomi local/ regional yang pro-
masyarakat miskin. Belum ada kesepakatan ahli tentang pengertian strategi yang pro-
masyarakat miskin. Tetapi dalam laporan ini, konsep pro-masyarakat miskin berpedoman
pada beberapa prinsip pokok (Kerstan, dan Dendi dkk., 2004): (i) investasi dalam
peningkatan modal manusia dan modal sosial masyarakat miskin; (ii) kebijakan dan
pelayanan yang menghasilkan ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat secara luas
Page | 9
10. dan berkelanjutan (akses terhadap makanan, air bersih, permukiman, kesehatan dan
pendidikan); (iii) kebijakan dan pelayanan yang mengurangi biaya transaksi sehingga
memberikan lebih banyak kesempatan bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan
pekerjaan dan/atau nilai tambah dari bidang-bidang usaha mereka; (iv) meningkatkan
akses masyarakat miskin terhadap sumber-sumber ekonomi (modal, peralatan produksi,
info pasar dsb.); dan (v) pembangunan ramah lingkungan yang melestarikan atau
meningkatkan fungsi ekologi dan kapasitas SDA untuk berproduksi atau menghasilkan.
Istilah “platform” yang saya gunakan dalam konteks ini mewakili dan menggabungkan
dua konsep dasar, yaitu institusi dan organisasi. Menurut North (1990:3) institusi adalah
aturan main (rules of the game) dalam masyarakat, atau secara formal, institusi adalah
batasan-batasan yang dirancang oleh manusia yang membentuk interaksi manusia. North
(1990) berargumentasi bahwa institusi menciptakan insentif interaksi manusia baik
secara politik, sosial maupun ekonomi. Perubahan institusi membentuk cara manusia
berkembang seiring dengan waktu, karena itu menjadi kunci dalam memahami
perubahan sejarah. Institusi meliputi berbagai bentuk batasan (constraints) yang
dirancang manusia untuk membentuk interaksi-interaksi manusia. Batasan-batasan
tersebut dapat bersifat formal misalnya peraturan, sedangkan batasan-batasan informal
misalnya konvensi dan tata krama (North, 1990). Di sisi lain, organisasi meliputi badan
yang bersifat ekonomi (firma, serikat dagang, firma keluarga, koperasi), politik (parpol,
senat, DPRD, badan-badan yang sifatnya mengatur), sosial (gereja, klub, persatuan
atletik), dan pendidikan (sekolah, universitas, lembaga pelatihan). Dengan mengacu pada
pendapat di atas, Forum Tata Kelola Ekonomi Lokal dapat dipahami bukan hanya sebagai
sebuah proses (pertemuan yang diisi dengan dialog antar pemangku kepentingan seperti
yang diketahui banyak orang) tetapi merupakan organisasi sistematis untuk meraih
tujuan-tujuan pengembangan ekonomi lokal/regional tertentu melalui dialog dan aksi
bersama di tingkat lokal dan regional.
Page | 10
11. Gambar 1: Kerangka konseptual menggambarkan elemen penting
perspektif tatakelola ekonomi lokal yang baik
Dimensi daya tarik dan daya saing suatu daerah (perekonomian) dibentuk oleh
banyak faktor, misal struktur ekonomi dan lingkungan ekonomi yang kondusif
sebagaimana dibahas di bagian sebelumnya yang sejalan dengan pendapat UN-Habitat
(2005). Sementara itu konsep ketahanan (resilience) diadopsi dari sebuah teori yang
yang dipelopori oleh ahli ekologi yang menilai perekonomian sebagai sebuah ekosistem
(istilah ekologi) yang berjuang untuk memaksimalkan nilai sumber daya lingkungan yang
terbatas dengan mengembangkan sistem-sistem biologis yang saling ketergantungan
(Kerstan dkk, 2004). Dengan kata lain, keanekaragaman dan ketergantungan makhluk
hidup dengan lingkungannya merupakan faktor kunci dalam membangun produktivitas
dan ketahanan sistem jangka panjang. Ketahanan adalah konsep yang dinamis. Sebut
saja, ketahanan ekonomi sebagai kemampuan perekonomian untuk beradaptasi,
memulihkan diri dan bangkit dari tekanan ekonomi dan non-ekonomi. Dalam lingkungan
yang terus berubah, kesempatan dan resiko dapat hadir setiap saat. Jadi, tiap unit
ekonomi baik rumah tangga, perusahaan, maupun daerah harus siap. Untuk memperkuat
ketahanan ekonomi, dibutuhkan peningkatan kesalingtergantungan yang kompak
(cohesive interdependency) dan aksi bersama pemangku kepentingan, pengembangan
kapasitas para pemangku kepentingan di semua tingkat, promosi manajemen dan
Page | 11
12. pemanfaatan SDA yang bijaksana, pengembangan keanekaragaman baik produk
maupun pasar dan pembuatan kebijakan yang mendorong terciptanya pemerataan
(equity).
Forum Tata Kelola Ekonomi Lokal: Perkembangan konsep dan beberapa bukti di
NTB
Institusi masyarakat yang bersifat tradisional banyak ditemukan di daerah. Namun,
pembentukan perkumpulan institusi di tingkat masyarakat, lokal, dan regional untuk
mengejar cita-cita bersama dalam meningkatkan tata kelola dan penyediaan pelayanan
publik yang terkait dengan pengembangan ekonomi terbilang penemuan yang inovatif
di Indonesia Timur. Implementasi kebijakan di masa lalu tidak hanya berakibat pada
peningkatan yang signifikan dalam bidang matapencaharian masyarakat tapi juga
beberapa masalah serius seperti ketidaksetaraan sosial dan kerusakan lingkungan.
Juga kelompok masyarakat lemah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan yang
gagal memperoleh akses penuh dalam bidang pelayanan publik, yang tidak mendapat
keuntungan di masa lalu, dan aktivitas pembangunan yang sedang berjalan. Meskipun
desentralisasi mempunyai peluang untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut,
strategi yang terpadu dan dapat diterapkan kembali untuk pemerintah lokal dan
organisasi pembangunan perlu dibentuk. Oleh karena itu, instrumen dan wadah untuk
mendorong dialog para pemangku kepentingan, pembelajaran bersama, dan penyusunan
kebijakan dan program yang tepat yang dapat mengurangi ketidakberdayaan dan
kemiskinan sangat dibutuhkan. Hal-hal inilah yang mendorong beberapa organisasi
pembangunan internasional, khususnya the German Agency for Technical Cooperation
(GTZ GmbH), serta ahli-ahli lokal dan tokoh-tokoh masyarakat sipil untuk
mempromosikan forum pemangku kepentingan sebagai sarana untuk mengatasi
masalah.
Sejalan dengan pendapat tentang peran forum para pemangku kepentingan yang
digambarkan di bagian awal laporan ini, pemangku kepentingan lokal di beberapa
daaerah mendirikan Forum PEL di tingkat kabupaten. Forum ini terdiri dari individu
dengan kemauan yang kuat dalam mendukung pengembangan ekonomi lokal yang pro-
masyarakat miskin, yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM), staf Pemda, anggota
asosiasi produsen, dan organisasi bisnis lokal.
Page | 12
13. K elom pok
Pengusaha
M ikro & K ecil
M enengah
(UM KM )
Lem b aga Lem b aga
Pen elitian Peran tara
(Un iversitas) (Swasta &
M asyarakat
Sipil)
Fo rum
PEL
A n ggo ta Pem erin tah
Legislatif Daerah
(D PRD) (B A PPED A /
SKPD terkait)
Gambar 2: Keanggotaan Forum Tata Kelola Pengembangan Ekonomi Lokal
(Forum PEL)
Secara teoretis, Forum PEL merupakan alat yang digunakan pemerintah lokal,
pengusaha mikro dan kecil-menengah, dan organisasi masyarakat sipil untuk
memperbaiki struktur dan proses pelayanan publik. Iklim bisnis yang lebih baik
merupakan hasil yang paling cepat dilihat berkat usaha yang dipersiapkan dengan baik ini
yang dalam gilirannya akan mengentaskan kemiskinan. Organisasi penghubung yang
berkualitas dan konsultan pembangunan ekonomi yang memenuhi syarat dilibatkan untuk
memberikan saran kepada pemerintah sub-nasional, wakil rakyat, dan pemangku
kepentingan lainnya. Dapat diprediksi bahwa hal inilah yang akan berakibat pada
terbentuknya forum pemangku kepentingan PEL yang lebih baik serta dialog dan jaringan
pengembangan ekononomi lokal/ regional yang lebih berkualitas.
Dalam prakteknya, Forum PEL didirikan melalui proses partisipasi. Hal itu diawali
dengan pendekatan para perintis (pionir) dalam membuka wawasan dan visi para
pemangku kepentingan lokal tentang perlunya Forum PEL dan keuntungan yang
mungkin dicapai. Para pionir tersebut menggunakan pendekatan pembelajaran
bersama (peer-to-peer learning) dan pendekatan komunikasi informal. Hal ini
merupakan fase tergenting dalam pendirian forum dimaksud. Namun, begitu
Page | 13
14. masyarakat lokal atau anggota masyarakat mempunyai visi yang sama, langkah
berikutnya akan mudah diterapkan. Pendirian Forum PEL bukanlah proses linier
ataupun pendekatan baku terencana (blue-print). Proses tersebut membutuhkan proses
partisipasi semua pemangku kepentingan dalam analisis situasi untuk memahami
tantangan dan kesempatan, mendefinisikan tema-tema umum untuk dibahas (misi dan
tujuan), serta menyetujui rencana kerja bersama yang realistis untuk diimplementasikan
demi meraih tujuan dan dampak yang diharapkan. Diagram 3 mengilustrasikan proses
pendirian Forum PEL yang unik yang terjadi di kabupaten Bima dan Dompu (Dendi dkk.,
2007).
Gambar 3: Proses pendirian dan pengembangan Forum PEL untuk dialog dan
aksi bersama
Saya membatasi diri untuk tidak menjelaskan lebih rinci tentang proses-proses Forum
PEL, dan akan memulai dengan deskripsi pengalaman empiris di Forum PEL di wilayah
NTB.
Di kabupaten Dompu (Provinsi NTB), pemangku kepentingan lokal mendirikan
Forum PEL pada tahun 2003 dengan dukungan masyarakat. Gerakan ini disponsori
oleh Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammernabeit (GTZ) GmbH-
Organisasi Kerjasama Teknik Jerman. GTZ berperan sebagai pengembang konsep
Forum PEL, memfasilitasi proses para pemangku kepentingan dalam mendirikan
Forum PEL, dan pengembangan kapasitas manajemen dan teknis anggota forum.
Page | 14
15. Sejak saat itu, Forum PEL aktif bergerak dalam proses-proses pengembangan
ekonomi lokal di kabupaten Dompu. Tugas Forum diantaranya melaksanakan analisis
situasi, membangun kesadaran pemegang kepentingan lokal, menyelenggarakan
dialog atau debat kebijakan pemangku kepentingan, dan aktif dalam perencanaan PEL
di tingkat kabupaten. Disamping sikap Forum yang konsisten terhadap pembangunan
pro-masyarakat miskin, saya juga mendapatkan bukti-bukti peran dan kontribusi forum
PEL yang begitu signifikan di kabupaten Dompu dalam menggerakkan sumber daya
lokal dan meningkatkan akses unit usaha mikro dan kecil kepada pelayanan Forum dan
pasar regional yang menjanjikan. Salah satu hasil kerja Forum PEL di Dompu yang
sukses adalah membantu pendirian unit koperasi yang diberi nama Koperasi Permata
Bahari. Koperasi ini didirikan bagi petani rumput laut yang tidak mampu yang tinggal
pulau terpencil, yakni pulau Bajo, yang secara administaratif termasuk desa Kwangko di
kabupaten Dompu. Forum membantu menghubungkan koperasi dengan perusahaan
(eksportir rumput laut) di provinsi tetangga (khususnya provinsi Bali). Akses ke pasar
regional seperti ini memungkinkan produsen rumput laut dan pedagang kecil lokal
menikmati nilai tambah yang lebih tinggi dan menjadi lebih mandiri. Interview penulis
baru-baru ini dengan Ketua Pengurus Koperasi Permata Bahari yang bernama
Syarifudin4, menemukan bahwa semua anggota koperasi dan pedagang dapat meraup
keuntungan dengan menjual produknya langsung ke Bali dan dapat menikmati nilai
tambah akibat kenaikan harga di pasar international. Pada awal tahun 2006, koperasi
Permata Bahari hanya dapat menyediakan 10 ton rumput laut dari 300 ton yang diminta
eksportir di Bali (PT Indonuda Algaemas Prima) dengan kisaran harga antara Rp.
5000,00 hingga Rp. 6000,00 per kilogram tergantung pada kualitas dan harga di pasar
internasional. Baru-baru ini, harga rumput laut normal di Bali bervariasi antara Rp.
7.500,00 hingga Rp. 9.000,00 per kilogram. koperasi Permata Bahari menginformasikan
kepada Penulis bahwa selama semester ke-2 tahun 2008, koperasi menikmati harga di
luar kebiasaan yakni antara Rp. 15.000,00 hingga Rp. 19.000,00 per kilogram, dimana
kemaikan harga tersebut dipicu oleh defisit persediaan di pasar internasional akibat
gagal panen di beberapa negara eksportir lain seperti Kamboja dan Filipina.
Dua tahun sejak didirikan, kapasitas koperasi untuk mensuplai kebutuhan
perusahaan pembeli di Bali sudah meningkat dua kali lipat yaitu sekitar 25 ton per bulan.
4
Interview dengan Syarifudin dilaksanakan di Hotel Grand Legi, Mataram pada tanggal 25 April
2007. Data yang lebih baru tentang kisah sukses diperoleh dari hasil korespondensi dengan
Syarifudin (6 November 2008) dan observasi serta interview dengan beberapa tokoh kunci di
Forum PEL di Dompu dan beberapa pegawai di kabupaten Dompu.
Page | 15
16. Bahkan pada tahun 2008, Permata Bahari mampu meningkatkan suplainya hingga 30
ton, yang mana 60-70%nya dihasilkan oleh anggota koperasi. Selain itu jumlah rumah
tangga produsen rumput laut yang bergabung dengan koperasi Permata Bahari
meningkat tajam dari 20 rumahtangga di tahun 2004 menjadi 45 rumahtangga pada
tahun 2008 dari total 200 rumah tangga produsen rumput laut di wilayah pulau Bajo
tersebut. Hampir semua produsen tersebut telah menjadi nasabah koperasi Permata
Bahari. Dalam beberapa tahun mendatang, kemampuan koperasi dalam memenuhi
permintaan perusahaan di Bali diperkirakan akan meningkat secara signifikan karena
meningkatnya ketertarikan pedagang di kabupaten Dompu dan luar Dompu, misalnya
kabupaten Bima dan kotamadya Bima untuk menjual rumput lautnya ke koperasi
Permata Bahari.
Memang benar bahwa budidaya rumput laut di pulau Bajo, yang secara administratif
masuk wilayah desa Kwangko, kabupaten Dompu, yang dimulai sejak pertengahan 1990
dirintis oleh beberapa nelayan yang menemukan rumput laut dan menanamnya di desa
mereka. Sekitar 50% penduduk desa Kwangko tinggal di pulau Bajo. Dua tahun setelah
penanaman rumput laut pertama di pulau Bajo, hampir 200 rumah tangga yang tinggal di
pulau kecil ini melibatkan diri dalam usaha budidaya rumput laut. Sejak saat itulah,
rumput laut menjadi sumber penghasilan utama rumah tangga tersebut. Namun
kurangnya pengetahuan dan modal serta lemahnya organisasi masyarakat dan sulitnya
akses menuju wilayah ini membatasi mereka untuk menciptakan produksi rumput laut
yang sukses dan menguntungkan secara ekonomis. Beberapa pedagang memelopori
pendirian rantai penjualan ke daerah lain terutama provinsi Bali. Tetapi mereka gagal
mempertahankan kualitas dan suplai rumput laut yang cukup untuk pembeli di Bali.
Di akhir tahun 1990an, sebelum konsep Forum PEL dikembangkan, GTZ
mengidentifikasi Kwangko sebagai desa miskin dan memasukkannya ke dalam area
percontohan bagi usaha pengentasan kemiskinan dengan mengadopsi pendekatan
ekonomi lokal. Akhir tahun 1990an menandai fase intervensi pertama GTZ di Kwangko.
GTZ merekrut seorang sarjana dan menugaskannya untuk bekerja sebagai motivator
desa atau fasilitator perubahan. Tahap berikutnya, GTZ dan pemerintah kabupaten
Dompu bersama-sama memperkuat usaha komersial masyarakat dengan mendorong
aksi bersama untuk membangun kelompok yang berguna bagi anggotanya. Selanjutnya
GTZ dan pemerintah kabupaten Dompu menyediakan pelatihan teknis yang relevan
serta pelatihan manajerial untuk warga desa Kwangko. Gambar 4 menerangkan secara
ringkas peran pelaku-pelaku kunci dan Forum PEL yang berjuang meraih tujuan-tujaun
PEL yang pro-masyarakat miskin sejak tahun 1990an.
Page | 16
17. Gambar 4: Contoh pembagian peran dalam proses pencapaian tujuan PEL
yang pro-masyarakat miskin.
Kisah sukses di desa Kwangko adalah salah satu yang mendorong Forum PEL dan
pembuat kebijakan lokal mengembangkan dan meluncurkan program produksi rumput
laut masal dan pelayanan pemerintahan yang diberi nama Gerakan Darul Muttakin.
Program ini diluncurkan tahun 2007. Dalam fase I (2007-2008), pemerintah lokal
bersama dengan DPRD menyetujui anggaran yang cukup besar (± Rp1,5 M) untuk
pelatihan budidaya rumput laut dan penyediaan input misal bibit unggul, infrastruktur
pasca panen (antara lain lantai jemur dan gudang), dukungan untuk promosi ke pasar
dsb. Gerakan Darul Muttakin menargetkan 1000 rumah tangga untuk ikut serta
menghasilkan rumput laut di akhir 2009. Menjelang akhir tahun 2009, total peningkatan
produksi melalui gerakan Darul Muttakin ditargetkan mencapai setidaknya 24.000 ton
dengan berasumsi pada rata-rata produksi sebesar 32 ton per hektar per tahun. Untuk
Page | 17
18. meraih tujuan-tujuan ini, kabupaten Dompu menargetkan untuk memperluas budidaya
rumput laut menjadi 250 dan 500 hektar masing-masing untuk tahun 2008 dan 2009.
Sementara itu, Forum PEL di kabupaten Bima (provinsi NTB) yang didirikan tahun
2003 telah menunjukkan peran-peran dan kontribusi yang menjanjikan untuk mengejar
tujuan-tujuan PEL yang pro-masyarakat miskin melalui perencanaan strategis. Dengan
menggunakan teori Jefris dan Mahman (2006) berikut hasil interview dengan tokoh-tokoh
kunci, kami menemukan pola peran Forum PEL di Bima sebagaimana yang bisa dilihat
pada Gambar 5.
Gambar 5: Pembentukan dan siklus peran Forum PEL di kabupaten Bima
Lebih jauh lagi, penelitian ini juga mengidentifikasi bahwa para pemangku
kepentingan PEL di kabupaten Bima mengembangkan forum tematik untuk usaha
kerajinan kecil dan pengusaha-pengusaha industri rumah tangga, yang diberi nama
FORMAT─Forum Bima Kreatif. Forum ini merupakan pendukung Forum PEL yang
jangkauannya luas. Organisasi-organisasi penghubung lokal yaitu CeDES (Center for
Development Studies) dan Dewan Kerajinan Daerah berperan aktif dalam pembentukan
forum dimaksud. FORMAT membantu produsen-produsen lokal untuk mengeksplorasi
dan memperoleh akses ke pasar-pasar baru, terutama kerajinan ibu rumah tangga dan
budidaya rumput laut. Contoh dukungan konseptual dan peran fasilitatif Forum PEL
Page | 18
19. (FORMAT) adalah pada saat pelaksanaan INACRAFT ke-11 di Jakarta tanggal 22-26
April 2009. Forum ini mempromosikan produk-produk industri kecil ibu-ibu rumah tangga
misal tenun, perhiasan, dan madu alami. Acara ini lebih sukses dibandingkan event
serupa tahun lalu dengan jumlah pendapatan lebih dari Rp1M yang diperoleh dari
transaksi langsung selama pameran. Selain itu, kelompok-kelompok produsen yang
berpartisipasi dalam pameran INACRAFT juga membantu membangun jaringan
pemasaran dan bahkan kontrak transaksi awal antara produsen-produsen dengan
beberapa perusahaan5. Forum-Forum PEL termasuk FORMAT telah berperan aktif dan
memberikan kontribusi yang besar dalam membangun rencana pembangunan jangka
menengah serta rencana kerja tahunan dalam rangka mengembangkan perekonomian
lokal dan mengentaskan kemiskinan. Disamping itu, Forum Bima Kreatif bersama dengan
CeDES di Bima mengkonsep dan menyelenggarakan dialog para pemangku kepentingan
dalam usaha membangun kerjasama kabupaten/kotamadya yaitu antara Kotamadya
Bima, serta kabupaten Bima dan Dompu. Sebagaimana yang diprediksi oleh Forum dan
CeDES, kerjasama di atas pertama-tama harus difokuskan pada usaha menciptakan iklim
bisnis lokal/regional yang kondusif. Oleh karena itu, dialog pemangku kepentingan yang
pertama dan kedua meletakkan prioritas pada pengembangan pemahaman yang sama
mengenai kerangka peraturan yang ada dan dampaknya terhadap daya saing lokal dan
regional. Dialog-dialog berikutnya dimaksudkan untuk melaksanakan workshop regional
guna mempresentasikan hasil diskusi sebelumnya dan mengeksplorasi solusi yang tepat
untuk menciptakan iklim bisnis yang kondusif dan mewujudkan hasil PEL yang pro-
masyarakat miskin. Sementara itu, pemerintah daerah Mataram telah menyetujui
pendirian Forum PEL di tingkat kota (bernama Tim PEL) dengan dukungan konsep dari
GTZ (melalui program Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah yang Baik) dan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Forum ini berperan aktif dalam
menyelenggarakan dialog-dialog untuk meningkatkan pembelajaran bersama dan alokasi
sumber daya untuk aksi bersama demi mendukung inisiatif pengembangan ekonomi lokal
yang pro-masyarakat miskin. Terinspirasi dari Forum PEL, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Mataram bersama sebuah yayasan pembangunan
daerah (STIGMA) dan Dewan Kerajinan Daerah (DEKRANASDA) mendukung gerakan
bersama dalam mendirikan sebuah Forum Pengusaha Wanita (Forum Putri
5
Hasil interview penulis dengan Arief Rachman (Executive Director the Centre of Development
Studies-Bima) dan H. Nurdin (Ketua Forum Industri Kecil, Forum Bima Kreatif) pada tanggal 27
April di Mataram dalam perjalanan pulang ke Bima setelah berpartisipasi dalam INACRAFT ke-11
di Jakarta. Lihat juga www.kabarindonesia.com dengan artikel yang diunduh di website-nya
tanggal 30 April 2009 yang berjudul ‘Produk Kerajinan Bima Diminati”.
Page | 19
20. Sangkareang). Selanjutnya, Forum Putri Sangkareang berhasil mendirikan sebuah
organisasi anggota koperasi wanita yang melibatkan seluruh anggota forum sebagai
Dewan Pendiri Koperasi. Penulis menemukan bahwa selama tahun 2008 dan awal 2009
inisiatif ini telah berhasil memperkuat visibilitas dan partisipasi kelompok-kelompok yang
termarginalkan dalam dialog mengenai kebijakan dan akses terhadap pelayanan
pemerintah daerah yang berkaitan dengan bidang ekonomi termasuk kursus manajemen
dan teknis, informasi mengenai pasar dan penguasaan peralatan teknis, serta modal awal
untuk pengusaha kecil dan menengah yang memenuhi syarat6. Pada awal tahun 2009,
setidaknya terdapat 115 orang wanita yang menjalankan industri mikro dan kecil yang
telah menyelesaikan kursus perencanaan bisnis dan manajemen koperasi selama tiga
hari. Setengah dari total peserta berasal dari kota Mataram. Visibilitas dan partisipasi
kelompok-kelompok ini dalam dialog tentang perencanaan pembangunan dan kebijakan
nantinya berpotensi memperluas kesempatan masyarakat miskin untuk meraih
keuntungan (nilai tambah) dari partisipasinya dalam gerakan PEL.
Lebih lanjut, beberapa dialog para pemangku kepentingan yang diselenggarakan oleh
Forum PEL dan organisasi-organisasi perantara misalnya P2KP (Pusat Penelitian
Kependudukan dan Pembangunan dari Universitas Mataram) dan yayasan STIGMA telah
mendorong terbentuknya Klinik Desain (Design Clinic). Klinik Disain ini dibentuk sebagai
sebuah institusi untuk pengembangan kapasitas dan promosi rantai nilai industri berbasis
mutiara (industtri mutiara, emas dan perak). Klinik Disain menyatukan pelaku-pelaku dari
berbagai latar belakang (guru-guru yang kompeten dari sekolah kejuruan terkait,
pengusaha lokal, desainer, peneliti, organisasi penghubung, dan organisasi pemerintah).
Sebagai penyedia layanan non-profit, Klinik Disain digabungkan dengan sekolah kejuruan
negeri (SMKN 5) di kota Mataram. Hal ini dilakukan diantaranya dengan memerhatikan
kompetensi (SDM, fasilitas pelatihan, dll.) dan komitmen. Kelembagaan yang demikian
merupakan pola yang unik yang akan memudahkan organisasi pemerintah dan non-
pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya dan membagi tanggung jawab untuk
memperkuat pengembangan SDM dan membangun rantai nilai yang pro-masyarakat
miskin dalam industri berbasis mutiara (produk-produk yang mengkombinasikan mutiara,
emas, dan perak).
6
Komunikasi personal dengan Drs. H. M. Ainul Asikin, Msi. (Kepala BAPPEDA, Drs. Jana Hamdi
(Kepala Komite Eksekutif Forum pengembangan ekonomi lokal Kota Mataram) dan Dr. Zainuri
(Direktur Yayasan Stigma) selama diskusi di SMKN 5 Mataram tanggal 10 Februari 2009.
Page | 20
21. Inisiatif di Tingkat Regional
Inisiatif pengembangan ekonomi lokal/regional yang pro-masyarakat miskin (LRED)
berkembang tidak hanya di tingkat lokal tapi juga regional. Pengalaman empiris yang
melibatkan para pemangku kepentingan di kabupaten Dompu dan Bima memberikan
inspirasi bagi pendirian forum regional, yang diberi nama FORMULA-Forum Tata Kelola
Rumput Laut Pulau Sumbawa, untuk menciptakan rantai nilai rumput laut yang lebih
produktif, skala ekonomi yang lebih besar, lebih kompetitif, dan berkeadilan. Forum
tersebut memiliki prospek baik untuk memperbaiki tatakelola (governance) rantai nilai
rumput laut dan meningkatkan perolehan nilai tambah bagi produsen lokal, pelaku bisnis
dalam rantai nilai, dan daerah. Dialog yang baru-baru ini diselenggarakan di kabupaten
Dompu mendorong terbentuknya Komite Eksekutif FORMULA yang mendapatkan
persetujuan Gubernur Nusa Tenggara Barat. Dialog di Dompu menghasilkan Agenda
Prioritas 2009-2013. Gerakan ini mendorong Badan Pengembangan Kawasan Ekonomi
Terpadu regional Bima (KAPET Bima) untuk mendirikan sekretariat gabungan yang
melibatkan FORMULA dalam rangka meningkatkan rantai nilai rumput laut yang pro-
masyarakat miskin (mulai dari produksi hingga pemasaran). Sekretariat tersebut ternyata
didirikan pada awal Maret 20097. Selanjutnya sesuai dengan agenda prioritas 2009-2013,
Komite Eksekutif FORMULA mengeksplorasi kemitraan dengan beberapa perusahaan
swasta serta BUMN dalam bingkai Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan) yang berada di Nusa Tenggara Barat. Proses dinamis untuk
membangun kemitraan antara FORMULA dan perusahaan tambang Amerika yang
beroperasi di daerah ini (PT Newmont Nusa Tenggara Ltd.) sedang berjalan.
Tantangan, Pelajaran yang Dapat Diambil, dan Beberapa Rencana ke Depan
Meskipun usaha pembangunan di Indonesia sebelum krisis finansial Asia tahun 1997
telah menghasilkan pembangunan ekonomi dan perubahan sosial yang signifikan, ia juga
mengakibatkan kesenjangan antar daerah, serta dampak lingkungan dan sosial yang
tidak diinginkan. Saat ini, 10 tahun setelah krisis finansial tersebut, kemiskinan dan
ketidakberdayaan masih menjadi tema pelik di Indonesia, terutama di daerah-daerah
timur negara ini. Masalah-masalah yang kompleks juga ditemui di bidang ekonomi,
pengetahuan, budaya, dan pemerintahan. Meskipun permasalahan-permasalahan
tersebut membutuhkan pendekatan yang menyeluruh, penelitian ini menitikberatkan pada
7
Interview penulis dengan Dr. Syahruddin (Direktur Eksekutif Seaweed Forum) tanggal 25 Maret
2009 di Mataram.
Page | 21
22. peran Forum PEL sebagai wadah bagi para pemangku kepentingan dan instrumen untuk
meningkatkan transparansi, pembelajaran, dan dialog dinamis serta berbagi tanggung
jawab dalam usaha mengurangi ketakberdayaan dan mengentaskan kemiskinan di
tingkat lokal maupun regional.
Konsep Forum PEL sejalan dengan kerangka tujuan desentralisasi dan konsep good
governance; dimana Forum melibatkan berbagai pihak─ yakni orangorang yang rasional
dan memiliki kepentingan─ dalam wadah bersama pengembangan ekonomi local/
regional. Pengalaman empiris di beberapa kabupaten di NTB, telah menunjukkan
kontribusi Forum PEL dalam mempercepat proses dan memperluas jangkauan pelayanan
bagi masyarakat miskin dan rentan. Keterlibatan Forum PEL di kabupaten Dompu dan
Bima bahkan telah mendorong terbentuknya rantai nilai rumput laut yang tidak hanya
semakin pendek tapi juga lebih aman, dan lebih menguntungkan. Hal ini memungkinkan
kelompok lemah UMKM untuk menikmati nilai tambah yang jauh dari jangkauan mereka
di masa lalu. Kemudian, banyak pemerintah lokal di Nusa Tenggara Barat yang
menunjukkan ketertarikan untuk mengadopsi dan mengalokasikan sumber daya dalam
rangka mendukung proses para pemangku kepentingan seperti ini demi meningkatkan
inisiatif pengembangan ekonomi lokal/regional yang pro-masyarakat miskin. Forum PEL,
dengan demikian, mempunyai prospek baik untuk ditumbuhkembangkan atau
disebarluaskan ke daerah lain.
Namun, peralihan dari pardigma pemerintah ke paradigma pemerintahan
menghadirkan tantangan tidak hanya bagi pemerintah lokal tapi juga seluruh pemangku
kepentingan di tingkat regional dan lokal yaitu dalam hal menyesuaikan dan mempelajari
lingkungan institusional dan pedoman yang baru. Beberapa pembuat kebijakan dan
pelaku bisnis bersikap abai terhadap usaha pendirian Forum PEL atau enggan
mengalokasikan sumber daya untuk mendukung Forum dimaksud diantaranya karena
pengalaman buruk mereka dengan LSM yang tidak bekerja dengan baik pada masa lalu.
Selain itu, tuntutan politik yang kuat terhadap badan-badan pelaksana di tingkat regional
dan lokal untuk menyelesaikan programnya atau menunjukkan perubahan (hasil) dengan
cepat, sering menjadi ancaman bagi tujuan yang lebih luas dalam membangun ekonomi
lokal yang tangguh dan berkelanjutan. Kasus baru-baru ini di desa Kwangko, Kabupaten
Dompu, misalnya, menunjukkan sikap terburu-buru dalam mengentaskan kemiskinan
melalui pembagian bantuan (modal finansial) kepada masyarakat miskin atau kelompok
ekonomi lemah di pedesaan mengancam aktivitas-aktivitas penguatan keswadayaan dan
kesinambungan siklus dana bergulir yang sedang dikelola koperasi Permata Bahari.
Berbeda dengan konsep dana bergulir sudah biasa bagi masyarakat pedesaan, para
Page | 22
23. penerima bantuan program penanggulangan kemiskinan baru-baru ini justru tidak perlu
mengembalikan uang untuk dikumpulkan sebagai dana bersama di tingkat kelompok atau
desa. Hal ini dinilai sebagai “perlakuan diskriminatif” oleh sebahagian besar masyarakat
desa, sehingga mereka menunda “pembayaran hutang” (pengembalian dana bergulir)
yang yang masih tersisa kepada koperasi Permata Bahari. Sikap tersebut
membahayakan kelangsungan siklus perguliran dana dan akan bersifat kontra produktif
terhadap aktivitas pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di pedesaan.
Kasus seperti di kabupaten Dompu ini bukan satu-satunya, karena cukup banyak kasus
serupa terjadi di daerah-daerah lain termasuk di perkotaan yang tidak terungkap melalui
penelitian.
Penelitian ini memaparkan beberapa bukti bahwa dalam konteks regional yang relatif
tertinggal, kelompok masyarakat sipil tertentu (forum pemangku kepentingan) dapat
menjadi alat efektif yang membantu menciptakan ‘energi sosial’ dalam bentuk proses
belajar dan aksi bersama untuk mengejar cita-cita pengembangan ekonomi lokal dan
regional yang pro-masyarakat miskin. Berdasar kisah sukses dan hambatan yang
dihadapi Forum PEL, berikut adalah beberapa faktor mendasar dalam membentuk dan
memelihara kesinambungan Forum PEL:
• Pengalaman di Nusa Tenggara Barat menggambarkan bahwa program PEL yang
pro-masyarakat miskin yang fokus pada strategi pemanfaatan peluag (opportunity-
based solutions) dapat mencapai keluaran (output) atau pun hasil-hasil (outcomes)
yang pro-masyarakat miskin. Pandangan demikian tidak berarti bahwa strategi yang
fokus pada pemecahan masalah (problema-based solution) tidak menjadi penting;
dalam hal ini para perencana dan pengambil kebijakan perlu memilih paket strategi
yang akan memberikan manfaat luas melalui pemanfaatan secara optimum potensi
dari dalam (strengths) dan peluang dari luar (Opportunities);
• Pelopor atau perintis lokal, misalnya tokoh masyarakat yang berkomitmen tinggi dari
organisasi perantara atau pemerintah daerah, sangat diperlukan untuk mendorong
pendirian Forum PEL;
• Visi dan kepentingan bersama yang pro-masyarakat miskin merupakan dorongan yang
sangat penting bagi forum pemangku kepentingan demi mewujudkan pengembangan
ekonomi lokal dan regional;
• Proses belajar yang berkualitas diantara anggota forum merupakan dorongan yang
baik bagi usaha penyelenggaraan dialog dan aksi bersama; Kegiatan ini
membutuhkan pendekatan belajar secara interaktif. Pengalaman di Nusa Tenggara
Page | 23
24. membuktikan bahwa seorang dosen, yang ahli dalam pendekatan partisipatif di
bidang pembangunan dan memahami nilai budaya lokal atau staf organisasi
perantara yang kompeten, sangat dibutuhkan untuk meraih tujuan ini;
• Integrasi kearifan lokal (nilai-nilai budaya) dan prinsip good governance
memperkuat dinamika pengambilan keputusan dan alokasi tanggung jawab antar
pemangku kepentingan pembangunan ekonomi daerah;
• Di daerah yang relatif tertinggal, diperlukan komitmen yang terus-menerus dalam
bentuk dukungan anggaran dari pemerintah lokal atau organisasi yang memenuhi
syarat lainnya untuk memperkuat strategi pemerintah dalam menjangkau
masyarakat miskin dan kelompok-kelompok yang termarginalkan dari kalangan
usaha mikro dan kecil (dalam perekonomian informal).
Di masa yang akan datang, pemerintah provinsi perlu lebih berperan aktif dan
diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk memperkokoh proses para pemangku
kepentingan dalam pengembangan ekonomi local/ regional. Dibutuhkan komitmen
politik untuk mendirikan dan mempromosikan kebijakan anggaran yang pro-masyarakat
miskin. Selanjutnya, pemerintah provinsi harus mengambil peran yang lebih besar dalam
membentuk jaringan horizontal dan vertikal untuk gerakan pengembangan ekonomi
local/ regional (LRED), misalnya dalam rangka mempromosikan kerjasama antar daerah.
Pemerintah lokal dan provinsi Nusa Tenggara Barat harus membantu Forum PEL
mengeksplorasi dan memfasilitasi pendirian kemitraan PEL yang pro-masyarakat miskin
yaitu antara Forum PEL, BUMN, dan perusahaan asing yang beroperasi di daerah
melalui mekanisme tangung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).
Kesimpulannya, Forum PEL seperti yang diterapkan di Nusa Tenggara Barat, telah
menggambarkan hasil yang pantas dicatat yang memberikan manfaat bagi masyarakat
miskin dan kelompok-kelompok lemah. Terdapat cukup banyak bukti untuk mengatakan
bahwa Forum PEL telah membantu mengurangi kemiskinan dan ketakberdayaan serta
meningkatkan ketahanan masyarakat miskin dan pengusaha skala mikro dan kecil dalam
rantai nilai atau pasar. Beberapa kelompok produsen dan pedagang kecil telah menikmati
nilai tambah yang besar yang tercipta dari akses yang lebih luas ke pasar. Namun, forum-
forum ini akan membutuhkan periode yang lebih panjang untuk menunjukkan kontribusi
mereka terhadap skala ekonomi yang lebih besar dan tujuan pembangunan yang lebih
tinggi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kehidupan yang lebih baik, dan
kesetaraan. Dengan kata lain, saat ini masih terlalu awal dan terlalu ambisius untuk
Page | 24
25. mengukur dampak yang dicapai Forum PEL terhadap pertumbuhan ekonomi lokal/
regional dan tingkat kesejahteraan sosial.
Referensi
Ahmed, A.K. (2006),’ Concepts and Practices of Resilience: A Compilation from Various
Secondary Resources’, The International Resource Group-Tetra Tech Joint
Venture’s working paper prepared for Coastal Community Resilience Program
(CCR), Prepared for U.S. Agency for International Development. Bangkok,
Thailand. 36 pp.
Alston, L.J. (1996), Empirical Studies in Institutional Change, Cambridge University Press.
360 pp.
Baake, P., R. Borck (Eds) (2007). Public Economics and Public Choice: Contributions in
Honor of Charles B. Blankart, Springer, Berlin. 280 pp.
BPS, and BAPPEDA (2008), Buku Saku Indikator Pembangunan NTB Tahun 2008,
Badan Pusat Statistik Provini NTB dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Provinsi NTB. 52 pp.
Dendi, A., A. Zaini ( 2007) ‘Role of Multi-stakeholder Forum in Reducing Vulnerability and
Poverty: Perspective and Lessons from Nusa Tenggara, Indonesia’, Asian Rural
Sociology Vol. III, August 2007: 631-641.
Dendi, A., R.S. Haryono, Mahman, A. Zaini, A. Rachman (2007) Forum Pengembangan
Ekonomi Lokal: Konsep, Strategi dan Metode, Deutsche Gesellschaft für
Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH and the Ministry of Home Affairs of
Republic of Indonesia. Mataram. 104 pp. 117 pp.
Dendi, A., I Dewa Agung Gede Lidartawan, A. Zaini, R.S. Haryono (2007) Analisis Rantai
Nilai: Instrumen Mengkaji, Menggagas, dan Menggerakkan Pengembangan
Ekonomi Lokal untuk Pengurangan Kemiskinan, Deutsche Gesellschaft für
Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH and the Ministry of Home Affairs of
Republic of Indonesia. Mataram.
Groosmann, H., and H. Ellwein et al. (eds) (2006) Local and regional economic
development (LRED): Experiences from Asia, Deutsche Gesellschaft für Technische
Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Eschborn. 21 pp.
Jefris, and Mahman (2006), ‘Peluang dan Tantangan Peningkatan Dinamisme dan
Efektifitas Partisipasi Stakeholders dalam Proses Pengembangan Ekonomi Lokal:
Pengalaman Kabupaten Bima’, dalam Realita, Tantangan dan Inovasi Daerah
Mengurangi Kemiskinan Melalui Pengembangan Ekonomi Lokal, eds. A. Dendi and
Markum, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH and
the Ministry of Home Affairs of Republic of Indonesia. Mataram. pp 81-90.
Kammeier, H.D., H. Demaine (eds) (2000) ‘Decentralization, local governance and rural
development’, International Workshop on Decentralized Planning and Financing of
Rural Development in Asia, January 2009. Asian Institute of Technology,
Bangkok, Thailand. 406 pp.
Kerstan, B., A. Dendi, H.J. Heile, Mahman, R. Hilaliyah, R.S. Haryono (2004)
Alleviating Poverty through Local Economic Development: Perspective and
Lessons from Nusa Tenggara, Deutsche Gesellschaft für Technische
Page | 25
26. Zusammenarbeit (GTZ) GmbH (PROMIS-NT) and the Ministry of Home Affair of
Republic of Indonesia. Jakarta. 42 pp.
KPPOD, and the Asia Foundation (2007) Local Economic Governance in Indonesia: A
Survey of Business in 243 Regencies/ Cities in Indonesia, Regional Autonomy
Watch (KPPOD), the Asia Foundation, and USAID. Jakarta. 114 pp.
Zaini, A. 2006. Pengembangan forum good local governance: Kajian pengalaman Nusa
Tenggara Barat, Laporan konsultan kepada GTZ-Good Local Governance. 38 pp.
Lin, J. Yifu (1989) An Economic Theory of Institutional Change: Induced and Imposed
Change. Cato Journal Vol. 9 No.1: pp 1-33 Cato Institute. Washington.
http://www.cato.org/pubs/journal/cj9n1/cj9n1-1.pdf
North, D.C. (1990) Institutions, Institutional Change and Economic Performance.
Cambridge University Press. 26th Printing, 2008. 152 pp.
Olson, M. (1965) The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups.
Harvard Economic Studies Volume CXXIV. Harvard University Press, Cambridge.
186 pp.
Rücker, A., G. Trah (2006) Local and Regional Economic Development (LRED): Towards
a Common Framework for GTZ’s LRED Interventions in South Africa. Deutsche
Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Eschborn. 80 pp.
Sharma, S.D. (2007) ‘Democracy, Good Governance, and Economic Development’,
Taiwan Journal of Democracy, Vol. 3 No. 1: pp 29-62.
UNDP. 1997. Good Governance and Sustainable Human Development.
<http://mirror.undp.org./magnet/policy/>
UN-Habitat (2005) Promoting Local Economic Development through Strategic Planning,
Volume 2: Manual. United Nations Human Settlements Programme, Nairobi, Kenya
and EcoPlan International Inc., Vancouver, Canada. 205 pp.
Zaini, A. (2006) Pengembangan Forum Good Local Governance: Kajian Pengalaman
Nusa Tenggara Barat, Laporan Konsultan kepada GTZ-Good Local Governance. 38
pp. Unpublished.
Page | 26