Universitas Pendidikan Indonesia,
Sekolah Pasca Sarjana,
Program Studi Administrasi Pendidikan
Tugas Makalah:
“Proposal Kebijakan
E-learning Perguruan Tinggi
dalam Strategi Manajemen Pendidikan”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901)
Dosen: Prof.Dr.H. Nanang Fattah, M.PD.
Mahasiswa: Djadja Sardjana - 0907904
1. Universitas Pendidikan Indonesia
Sekolah Pasca Sarjana
Program Studi Administrasi Pendidikan
Tugas Makalah:
“Proposal Kebijakan
E-learning Perguruan Tinggi
dalam Strategi Manajemen Pendidikan”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901)
Dosen: Prof.Dr.H. Nanang Fattah, M.PD.
Mahasiswa: Djadja Sardjana - 0907904
04 Desember 2009
2. Proposal Kebijakan
E-learning Perguruan Tinggi
dalam Strategi Manajemen Pendidikan
A. Pendahuluan
E-learning atau electronic learning kini semakin dikenal sebagai salah satu cara untuk
mengatasi masalah pendidikan, baik di negara-negara maju maupun di negara yang sedang
berkembang. Banyak orang menggunakan istilah yang berbeda-beda dengan e-learning, namun
pada prinsipnya e-learning adalah pembelajaran yang menggunakan jasa elektronika sebagai
alat bantunya.
E-learning memang merupakan suatu teknologi pembelajaran yang yang relatif baru di
Indonesia. Untuk menyederhanakan istilah, maka electronic learning disingkat menjadi e-
learning. Kata ini terdiri dari dua bagian, yaitu ‘e’ yang merupakan singkatan dari ‘electronica’
dan ‘learning’ yang berarti ‘pembelajaran’. Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan
menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika. Jadi dalam pelaksanaannya e-learning
menggunakan jasa audio, video atau perangkat komputer atau kombinasi dari ketiganya.
Dalam berbagai literatur, e-learning didefinisikan sebagai berikut:
“e-learning is a generic term for all technologically supported learning using an array of
teaching and learning tools as phone bridging, audio and videotapes, teleconferencing, satellite
transmissions, and the more recognized web-based training or computer aided instruction also
commonly referred to as online courses” (Soekartawi, Haryono dan Librero, 2002). Dengan
demikian maka e-learning adalah pembelajaran yang pelaksanaannya didukung oleh jasa
teknologi seperti telepon, audio, vidiotape, transmisi satellite atau komputer.
Indonesia yang terletak diantara 6º LU sampai 11º LS dan 95º BT sampai 141º BT adalah
negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak diantara dua benua, Asia dan Australia
dengan jumlah kepulauan 17.000 lebih yang membentang sepanjang kurang lebih 3.200 mil
dari Timur ke Barat serta 1.100 mil dari Utara ke Selatan. Kondisi geografi ini sedikit banyaknya
menjadi kendala dalam penyebarluasan layanan pendidikan dan pelatihan yang menggunakan
metode konvensional (tatap muka) kepada seluruh warga negara.
Wahana utama dalam pengembangan sumber daya manusia adalah pendidikan dan
pelatihan. Namun bila memperhatikan keadaan geografi, sosial-ekonomi dan beragamnya
kebudayaan Indonesia, maka jelaslah bahwa sudah tidak memadai lagi (tidak praktis) apabila
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 2
3. hanya mengandalkan cara-cara pemecahan tradisional semata. Karena itu, berbagai strategi
alternatif yang berkaitan dengan permasalahan perlu dijajagi, dikaji dan diterapkan.
Dalam era global seperti sekarang ini, setuju atau tidak, mau atau tidak mau, harus
berhubungan dengan teknologi khususnya teknologi informasi. Hal ini disebabkan karena
teknologi tersebut telah mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu, kita
sebaiknya tidak ‘gagap’ teknologi. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa siapa yang
terlambat menguasai informasi, maka terlambat pulalah memperoleh kesempatan-kesempatan
untuk maju.
Informasi sudah merupakan ‘komoditi’ sebagai layaknya barang ekonomi yang lain.
Peran informasi menjadi kian besar dan nyata dalam dunia modern seperti sekarang ini. Hal ini
bisa dimengerti karena masyarakat sekarang menuju pada era masyarakat informasi
(information age) atau masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society). Oleh karena itu
tidak mengherankan kalau ada perguruan tinggi yang menawarkan jurusan informasi atau
teknologi informasi, maka perguruan tinggi tersebut berkembang menjadi pesat.
Kecepatan yang diiringi dengan tuntutan kebutuhan dapat memberikan sumbangan potensial
pada sektor pendidikan dan pelatihan. Potensi positif yang dimiliki teknologi tidak saja
meningkatkan efesiensi dan efektifitas serta keluwesan proses pembelajaran, tetapi juga
berdampak pada pengembangan materi, pergeseran peran guru/pelatih dan semakin
berkembangnya otonomi peserta didik.
Tujuan penulisan makalah adalah untuk mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan
pembelajaran berbasis e-learning yang meliputi: (1) Model Pembelajaran Berbasis e-learning
dalam Pendidikan, (2) Peranan E-Learning Pada Strategi Manajemen Pendidikan, (3) Kebijakan
E-learning Perguruan Tinggi dalam Strategi Manajemen Pendidikan, dan (4) Kesimpulan.
B. Model Pembelajaran Berbasis e-learning dalam Pendidikan
Dunia pendidikan terimbas pula oleh pesatnya perkembangan jagat maya. Sekolah
lewat internet menjadi sesuatu hal yang memungkinkan. e-learning, sebuah alternatif media
pendidikan yang tidak mengenal ruang dan waktu. Model sekolah lewat internet seharusnya
ideal buat negeri kita.
Pemanfaatan e-learning tidak terlepas dari jasa internet. Karena teknik pembelajaran
yang tersedia di internet begitu lengkap, maka hal ini akan berpengaruhi terhadap tugas guru
dalam proses pembelajaran. Dahulu, proses belajar mengajar didominasi oleh peran guru
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 3
4. disebut “the era of teacher”, sementara siswa hanya mendengar penjelasan guru.
Kemudian, proses belajar dan mengajar didominasi oleh peran guru dan buku (the era of
teacher and book) dan pada saat ini proses belajar dan mengajar didominasi oleh peran guru,
buku dan teknologi (the era of teacher, book and technology).
Teknologi internet pada hakekatnya merupakan perkembangan dari teknologi
komunikasi generasi sebelumnya. Media seperti radio, televisi, video, multi media, dan media
lainnya telah digunakan dan dapat membantu meningkatkan mutu pendidikan. Apalagi media
internet yang memiliki sifat interaktif, bisa sebagai media massa dan interpersonal, dan sumber
informasi dari berbagai penjuru dunia, sangat dimungkinkan menjadi media pendidikan lebih
unggul dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu Khoe Yao Tung (2000) mengatakan bahwa
setelah kehadiran guru dalam arti sebenarnya, internet akan menjadi suplemen dan
komplemen dalam menjadikan wakil guru yang mewakili sumber belajar yang penting di dunia.
Dengan fasilitas yang dimilikinya, internet menurut Onno W. Purbo (1998) paling tidak,
ada tiga hal dampak positif penggunaan internet dalam pendidikan yaitu:
a) Peserta didik dapat dengan mudah mengambil mata kuliah dimanapun di seluruh dunia
tanpa batas institusi atau batas negara.
b) Peserta didik dapat dengan mudah berguru pada para ahli di bidang yang diminatinya.
c) Kuliah/belajar dapat dengan mudah diambil di berbagai penjuru dunia tanpa
bergantung pada universitas/sekolah tempat si mahasiswa belajar. Di samping itu saat
ini hadir pula perpustakan internet yang lebih dinamis dan bisa digunakan di seluruh
jagat raya.
Pendapat ini hampir senada dengan Budi Rahardjo (2002). Menurutnya, manfaat
internet bagi pendidikan adalah dapat menjadi akses kepada sumber informasi, akses kepada
nara sumber, dan sebagai media kerjasama. Akses kepada sumber informasi yaitu sebagai
perpustakaan on-line, sumber literatur, akses hasil-hasil penelitian, dan akses kepada materi
kuliah. Akses kepada nara sumber bisa dilakukan komunikasi tanpa harus bertemu secara fisik.
Sedangkan sebagai media kerjasama internet bisa menjadi media untuk melakukan penelitian
bersama atau membuat semacam makalah bersama.
Penelitian di Amerika Serikat tentang pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi
untuk keperluan pendidikan diketahui memberikan dampak positif (Pavlik, 1963). Studi lainya
dilakukan oleh Center for Applied Special Technology (CAST), “bahwa pemanfaatan internet
sebagai media pendidikan menunjukan positif terhadap hasil belajar peserta didik4)”.
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 4
5. Walaupun masih banyak kendalanya, terlebih di Indonesia, kesenjangan mutu
pendidikan antar-daerah seperti itu setidaknya bisa dijembatani dengan model sekolah lewat
internet, e-learning. Syaratnya, mengubah paradigma teaching menjadi learning. Pembelajaran
(learning) berbeda dengan pengajaran (teaching). Banyak definisi, redefinisi, atau kutipan
mengenai learning. Intinya, belajar itu menyangkut perubahan terhadap diri-sendiri, mengubah
perilaku, melakukan discovery (menguak apa yang semula tertutup). Pendeknya, belajar
mengubah seseorang menjadi cerdas, bukan sekadar pintar. "Pintar" dan "cerdas" berbeda
yang digambarkan dengan: “Smart people know from repetition of others. Intelligent people
can figure it out by themselves”.
Profil peserta e-Learning adalah seseorang yang (1) mempunyai motivasi belajar
mandiri yang tinggi dan memiliki komitmen untuk belajar secara sungguh-sungguh karena
tanggung jawab belajar sepenuhnya berada pada diri peserta belajar itu sendiri (Loftus, 2001),
(2) senang belajar dan melakukan kajian-kajian, gemar membaca demi pengembangan diri
secara terus-menerus, dan yang menyenangi kebebasan, (3) mengalami kegagalan dalam mata
pelajaran tertentu di sekolah konvensional dan membutuhkan penggantinya, atau yang
membutuhkan materi pelajaran tertentu yang tidak disajikan oleh sekolah konvensional
setempat maupun yang ingin mempercepat kelulusannya sehingga mengambil beberapa mata
pelajaran lainnya melalui e-Learning, serta yang terpaksa tidak dapat meninggalkan rumah
karena berbagai pertimbangan (Tucker, 2000).
Sedangkan dalam pengajaran guru atau instruktur memberikan waktu, energi, dan
usaha untuk menyiapkan murid atau anak didik sesuai dengan tujuan instruksional. Guru
memberi, murid menerima. Namun, orang yang diajar oleh guru atau melalui komputer belum
tentu belajar, karena hasil belajar mensyaratkan adanya perubahan terhadap diri-sendiri.
Pengembangan pembelajaran berbasis e-learning perlu dirancang secara cermat sesuai
tujuan yang diinginkan. Jika kita setuju bahwa e-learning di dalamnya juga termasuk
pembelajaran berbasis internet, maka pendapat Haughey (1998) perlu dipertimbangkan dalam
pengembangan e-learning. Menurutnya ada tiga kemungkinan dalam pengembangan sistem
pembelajaran berbasis internet, yaitu “web course, web centric course, dan web enhanced
course”.
“Web course” adalah penggunaan internet untuk keperluan pendidikan, yang mana
peserta didik dan pengajar sepenuhnya terpisah dan tidak diperlukan adanya tatap muka.
Seluruh bahan ajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan, ujian, dan kegiatan pembelajaran
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 5
6. lainnya sepenuhnya disampaikan melalui internet. Dengan kata lain model ini menggunakan
sistem jarak jauh.
“Web centric course” adalah penggunaan internet yang memadukan antara belajar
tanpa tatap muka (jarak jauh) dan tatap muka (konvensional). Sebagian materi disampaikan
melalui internet, dan sebagian lagi melalui tatap muka. Fungsinya saling melengkapi. Dalam
model ini pengajar bisa memberikan petunjuk pada siswa untuk mempelajari materi pelajaran
melalui web yang telah dibuatnya. Siswa juga diberikan arahan untuk mencari sumber lain dari
situs-situs yang relevan. Dalam tatap muka, peserta didik dan pengajar lebih banyak diskusi
tentang temuan materi yang telah dipelajari melalui internet tersebut.
Hasil penelitian yang menguji penggunaan teknologi pembelajaran bagi siswa (dengan
mengakses website yang merujuk pada tampilan powerpoint untuk catatan dan persiapan
ujian) dan metode belajar yang relatif lebih tradisional (membaca buku teks dan mencatat di
kelas dari buku), serta pengaruh strategi belajar terhadap nilai ujian mereka dan kehadiran di
kelas, menunjukkan siswa yang digolongkan tinggi pada penggunaan teknologi dan metode
belajar tradisional menunjukkan prestasi dan kehadiran yang lebih tinggi daripada siswa yang
digolongkan rendah dalam penggunaan kedua metode belajar yang menggunakan teknologi
dan metode belajar tradisional. (Kathleen Debevec, 2006).
Model “web enhanced course” adalah pemanfaatan internet untuk menunjang
peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan di kelas. Fungsi internet adalah untuk
memberikan pengayaan dan komunikasi antara peserta didik dengan pengajar, sesama peserta
didik, anggota kelompok, atau peserta didik dengan nara sumber lain. Oleh karena itu peran
pengajar dalam hal ini dituntut untuk menguasai teknik mencari informasi di internet,
membimbing mahasiswa mencari dan menemukan situs-situs yang relevan dengan bahan
pembelajaran, menyajikan materi melalui web yang menarik dan diminati, melayani bimbingan
dan komunikasi melalui internet, dan kecakapan lain yang diperlukan.
Pengembangan e-learning tidak semata-mata hanya menyajikan materi pelajaran secara
on-line saja, namun harus komunikatif dan menarik. Materi pelajaran didesain seolah peserta
didik belajar dihadapan pengajar melalui layar komputer yang dihubungkan melalui jaringan
internet. Untuk dapat menghasilkan e-learning yang menarik dan diminati, Onno W. Purbo
(2002) mensyaratkan tiga hal yang wajib dipenuhi dalam merancang e-learning, yaitu
“sederhana, personal, dan cepat”. Sistem yang sederhana akan memudahkan peserta didik
dalam memanfaatkan teknologi dan menu yang ada , dengan kemudahan pada panel yang
disediakan, akan mengurangi pengenalan sistem e-learning itu sendiri, sehingga waktu belajar
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 6
7. peserta dapat diefisienkan untuk proses belajar itu sendiri dan bukan pada belajar
menggunakan sistem e-learning-nya.
Syarat personal berarti pengajar dapat berinteraksi dengan baik seperti layaknya
seorang guru yang berkomunikasi dengan murid di depan kelas. Dengan pendekatan dan
interaksi yang lebih personal, peserta didik diperhatikan kemajuannya, serta dibantu segala
persoalan yang dihadapinya. Hal ini akan membuat peserta didik betah berlama-lama di depan
layar komputernya.
Kemudian layanan ini ditunjang dengan kecepatan, respon yang cepat terhadap keluhan dan
kebutuhan peserta didik lainnya. Dengan demikian perbaikan pembelajaran dapat dilakukan
secepat mungkin oleh pengajar atau pengelola.
Secara ringkas, e-learning perlu diciptakan seolah-olah peserta didik belajar secara
konvensional, hanya saja dipindahkan ke dalam sistem digital melalui internet. Oleh karena itu
e-learning perlu mengadaptasi unsur-unsur yang biasa dilakukan dalam sistem pembelajaran
konvensional. Misalnya dimulai dari perumusan tujuan yang operasional dan dapat diukur, ada
persepsi atau pre test, membangkitkan motivasi, menggunakan bahasa yang komunikatif,
uraian materi yang jelas, contoh-contoh kongkrit, problem solving, tanya jawab, diskusi, post
test, sampai penugasan dan kegiatan tindak lanjutnya. Oleh karena itu merancang e-learning
perlu melibatkan pihak terkait, antara lain: pengajar, ahli materi, ahli komunikasi, programmer,
seniman, dan sebagainya.
C. Peranan E-Learning Pada Strategi Manajemen Pendidikan
Observasi para ahli sebagaimana telah dikemukakan di atas mengisyaratkan bahwa
pendidikan di masa depan cenderung menjadi multidisipliner, jaringan yang terpadu, terkait
pada produktivitas tepat waktu, pluralistik, lebih dialogis/sinkronis,lebih terbuka dan mudah
diakses serta lebih bersaing secara alami. Pada tahun 1989, Bishop G. telah meramalkan bahwa
pendidikan di masa depan cenderung menjadi luwes, terbuka, beraneka ragam, terjangkau oleh
siapapun yang ingin belajar tanpa mengenal usia, jenis kelamin, pengalaman belajar
sebelumnya, dan sebagainya.
Dengan kemajuan teknologi komunikasi yang baru, model penyampaian melalui banyak
jalur berbasis multimedia terus berkembang sebagai suatu alat yang sangat handal.
Kemampuan untuk menggabungkan teks, diagram, dan gambar dengan video dan suara sangat
menunjang kemampuan mentransmisikan informasi yang bermakna dan pembangunan
teknologi yang bersifat maya (virtual), dapat meningkatkan efektivitas pendekatan tersebut,
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 7
8. bahkan lebih dari itu. Banyak siswa, bahkan sekalipun mereka belum mengerti betul komputer
berharap memperoleh kemudahan dengan materi tersebut.
Internet memiliki potensi luar biasa sepanjang infrastruktur sistem telepon yang ada
dapat diandalkan disertai peralatan yang telah tersedia, yang telah mendorong orang untuk
menyadarinya dan telah dilatih untuk penggunaannya. Bila hal ini dilihat sebagai suatu jawaban
yang menyeluruh terhadap masalah-masalah pendidikan massa, maka kenyataan yang ada
seperti ini sering diabaikan. Namun akan menjadi sangat bermakna jika dipandang sebagai
sistem yang diterpkan secara bertahap dan kumulatif, di mana infrastruktur yang telah tersedia
digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan yang jelas dan khusus.
Rosenberg (2001) menekankan bahwa e-learning merujuk pada penggunaan teknologi
internet untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan. Bahkan Onno W. Purbo (2002) menjelaskan bahwa istilah “e” atau singkatan dari
elektronik dalam e-learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan
untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet.
Secara lebih rinci Rosenberg (2001) mengkategorikan tiga kriteria dasar yang ada dalam e-
learning, yaitu:
a) E-learning bersifat jaringan, yang membuatnya mampu memperbaiki secara cepat,
menyimpan atau memunculkan kembali, mendistribusikan, dan sharing pembelajaran
dan informasi. Persyaratan ini sangatlah penting dalam e-learning, sehingga Rosenberg
menyebutnya sebagai persyaratan absolut.
b) E-learning dikirimkan kepada pengguna melalui komputer dengan menggunakan
standar teknologi internet. CD ROM, Web TV, Web Cell Phones, pagers, dan alat bantu
digital personal lainnya walaupun bisa menyiapkan pesan pembelajaran tetapi tidak
bisa digolongkan sebagai e-learning.
c) E-learning terfokus pada pandangan pembelajaran yang paling luas, solusi pembelajaran
yang menggungguli paradigma tradisional dalam pelatihan.
Uraian di atas menunjukan bahwa sebagai dasar dari e-learning adalah pemanfaatan
teknologi internet. e-learning merupakan bentuk pembelajaran konvensional yang dituangkan
dalam format digital melalui teknologi internet. Oleh karena itu e-learning dapat digunakan
dalam sistem pendidikan jarak jauh dan juga sistem pendidikan konvensional. Dalam
pendidikan konvensional fungsi e-learning bukan untuk mengganti, melainkan memperkuat
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 8
9. model pembelajaran konvensional. Dalam hal ini Cisco (2001) menjelaskan filosofis e-learning
sebagai berikut:
a) E-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan
secara on-line.
b) E-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara
konvensional (model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks, CD-ROM, dan
pelatihan berbasis komputer) sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan
globalisasi.
c) E-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi
memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan pengembangan
teknologi pendidikan.
Kapasitas siswa amat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara penyampaiannya.
Makin baik keselarasan antar conten dan alat penyampai dengan gaya belajar, maka akan lebih
baik kapasitas siswa yang pada gilirannya akan memberi hasil yang lebih baik.
Guru atau instruktur dapat menugaskan peserta didik untuk bekerja dalam beberapa
kelompok untuk mengembangkan dan mempresentasikan tugas yang diberikan. Peserta didik
yang menggarap tugas kelompok ini dapat bekerjasama melalui fasilitas homepage atau web.
Selain itu, peserta didik sendiri dapat saling berkontribusi secara individual atau melalui diskusi
kelompok dengan menggunakan e-mail (Website kudos, 2002).
Concord Consortium (2002) (http://www.govhs.org/) mengemukakan bahwa
pengalaman belajar melalui media elektronik semakin diperkaya ketika peserta didik dapat
merasakan bahwa mereka masing-masing adalah bagian dari suatu masyarakat peserta didik,
yang berada dalam suatu lingkungan bersama. Dengan mengembangkan suatu komunitas dan
hidup di dalamnya, peserta didik menjadi tidak lagi merasakan terisolasi di dalam media
elektronik. Bahkan, mereka bekerja saling bahu-membahu untuk mendukung satu sama lain
demi keberhasilan kelompok.
Lebih jauh dikemukakan bahwa di dalam kegiatan e-Learning, para guru dan peserta
belajar mengungkapkan bahwa mereka justru lebih banyak mengenal satu sama lainnya. Para
peserta belajar sendiri mengakui bahwa mereka lebih mengenal para gurunya yang membina
mereka belajar melalui kegiatan e-Learning. Di samping itu, para guru e-Learning ini juga aktif
melakukan pembicaraan (komunikasi) dengan orangtua peserta didik melalui telepon dan email
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 9
10. karena para orangtua ini merupakan mitra kerja dalam kegiatan e-Learning. Demikian juga
halnya dengan komunikasi antara sesama para peserta e-Learning.
Pada dasarnya cara penyampaian atau cara pemberian (delivery system) dari e-learning,
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1. One way communication (komunikasi satu arah); dan
2. Two way communication (komunikasi dua arah).
Komunikasi atau interaksi antara guru dan murid memang sebaiknya melalui sistem dua arah.
Dalam e-learning, sistem dua arah ini juga bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Dilaksanakan melalui cara langsung (synchronous). Artinya pada saat instruktur
memberikan pelajaran, murid dapat langsung mendengarkan; dan
2. Dilaksanakan melalaui cara tidak langsung (a-synchronous). Misalnya pesan dari
instruktur direkam dahulu sebelum digunakan.
Paradigma masa depan di dalam kecenderungan yang menyeluruh (Roll, R. 1997) adalah
sebuah dorongan pasar multimedia. Dampak kuat dari lahirnya globalisasi akan menghasilkan
perubahan dalam Strategi Manajemen pendidikan dan pelatihan. Untuk itulah diperlukan ilmu
pendidikan dan metode-metode pembelajaran yang baru. Struktur ketrampilan kejuruan dan
pengetahuan mengalami perubahan guna mendukung kegiatan belajar seumur hidup dan
belajar berkelanjutan yang berfungsi untuk mempersiapkan para pekerja memenuhi tuntutan
atau kepentingan industri.
Yang perlu digaris bawahi dari pernyataan Roll adalah “Teknologi tinggi hendaknya
untuk menjangkau yang tidak terjangkau, dan ketepatan teknologi tinggi adalah apabila
infrastrukturnya digunakan secara bijak. Dengan keadaan yang demikianlah, belajar jarak jauh
dan pendidikan terbuka/jarak jauh akan menjadi pelopor memasuki dekade baru”.
D. Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi dalam Strategi Manajemen Pendidikan
1. Proses Pembuatan Kebijakan Publik
Menurut Hoogerwerf (1988, 66) pada hakekatnya pengertian kebijakan adalah
semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan,
mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan
yang terarah. James E. Anderson (1978, 33), memberikan rumusan kebijakan sebagai
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 10
11. perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian
aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
Dari beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh para
ilmuwan tersebut, kiranya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi
tentang policy (kebijakan) mencakup pertanyaan : what, why, who, where, dan how.
Semua pertanyaan itu menyangkut tentang masalah yang dihadapi lembaga-lembaga
yang mengambil keputusan yang menyangkut; isi, cara atau prosedur yang ditentukan,
strategi, waktu keputusan itu diambil dan dilaksanakan. Disamping kesimpulan tentang
pengertian kebijakan dimaksud, pada dewasa ini istilah kebijakan lebih sering dan
secara luas dipergunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan pemerintah serta
perilaku negara pada umumnya (Charles O. Jones,1991, 166)
Dari definisi ini, maka kebijakan publik meliputi segala sesuatu yang dinyatakan
dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Disamping itu kebijakan publik
adalah juga kebijakan-kebijakan yang dikembangkan/dibuat oleh badan-badan dan
pejabat-pejabat pemerintah (James E. Anderson, 1979:3). Implikasi pengertian dari
pandangan ini adalah bahwa kebijakan publik :
a. Lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku
atau tindakan yang kebetulan;
b. Pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling terkait;
c. Bersangkutan dengan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah dalam
bidang tertentu atau bahkan merupakan apa yang pemerintah maksud atau
melakukan sesuatu atau menyatakan melakukan sesuatu;
d. Bisa bersifat positif yang berarti merupakan beberapa bentuk tindakan (langkah)
pemerintah mengenai masalah tertentu, dan bersifat negatip yang berarti
merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;
e. Kebijakan publik setidak-tidaknya dalam arti positip didasarkan atau selalu
dilandaskan pada peraturan/undang-undang yang bersifat memaksa (otoratif).
Dalam studi kebijakan publik, perlu dilakukan implementasi kebijakan yang
bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam
prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, masalah konflik, keputusan,
dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidaklah terlalu
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 11
12. salah jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat
penting dalam keseluruhan proses kebijakan.
Pengertian yang sangat sederhana tentang implementasi kebijakan adalah
sebagaimana yang diungkapkan oleh Charles O. Jones (1991), dimana implementasi
diartikan sebagai "getting the job done" dan "doing it". Tetapi di balik kesederhanaan
rumusan yang demikian berarti bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses
kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah. Namun pelaksanaannya, menurut
Jones, menuntut adanya syarat yang antara lain: adanya orang atau pelaksana, uang
dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan resources, Lebih lanjut
Jones merumuskan batasan implementasi sebagai proses penerimaan sumber daya
tambahan, sehingga dapat mempertimbangkan apa yang harus dilakukan.
Hal ini dikemukakan berdasarkan pada kenyataan bahwa proses implementasi
ini akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu. Dalam artian bahwa
implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif
sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan, terutama dari mereka yang
mengoperasikan program di lapangan, relatif tinggi. Dari uraian diatas, dapat dipahami
bahwa keberhasilan impelementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh bernagai variabel
atau faktor yang pada gilrannya akan mempengaruhi keberhasilan implementasi
kebijakan itu sendiri.
Untuk itulah dibutuhkan Analisis Kebijakan E-learning pada Perguruan Tinggi
sehingga perlu dilakukan suatu kajian untuk mereview terhadap kebijakan tersebut.
Mengetahui seberapa baik kebijakan yang dipilih dapat membantu tercapainya tujuan
dan untuk mengetahui apakah terdapat dampak-dampak lainnya yang mungkin
ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Dan juga untuk mengetahui masalah apa yang
ingin diselesaikan oleh pemerintah, seberapa jauh tingkat keberhasilan kebijakan
tersebut dalam memecahkan masalah (mencapai sasaran), serta apakah kebijakan
tersebut mengakibatkan dampak lain yang tidak diinginkan, tidak diperhitungkan
sebelumnya, atau yang merupakan ancaman risiko bagi pemerintah.
William N. Dunn (2008) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu
disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan
argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan
kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan
masalah-masalah kebijakan. Weimer and Vining, (1998:1): “The product of policy
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 12
13. analysis is advice. Specifically, it is advice that inform some public policy decision”. Jadi
analisis kebijakan publik lebih merupakan nasehat atau bahan pertimbangan pembuat
kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang dihadapi, tugas yang mesti dilakukan
oleh organisasi publik berkaitan dengan masalah tersebut, dan juga berbagai alternatif
kebijakan yang mungkin bisa diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan
kebijakan.
Setelah masalah kebijakan diformulasikan, maka kini saatnya masalah tersebut
dicarikan solusi berupa kebijakan publik apa yang akan diambil. Dalam proses desain
kebijakan tersebut terdapat tujuh tahap sebagai berikut:
1) Tahap pengkajian persoalan. Tahap ini bertujuan untuk menemukan dan memahami
hakikat permasalahan yang berhasil diidentifikasi yang dihadapi oleh organisasi;
merumuskan masalah yang dihadapi organisasi ; serta menunjukkan hubungan
kausal dari permasalahan yang berhasil diidentifikasi.
2) Penetapan tujuan dan sasaran kebijakan. Penetapan tujuan dan sasaran kebijakan
diperlukan sebagai dasar pijakan dalam merumuskan alternatif intervensi yang
diperlukan serta menjadi pijakan standar penilaian apakah langkah intervensi
tersebut bisa disebut “gagal” atau “berhasil”.
3) Penyusunan model. Beberapa alternatif kebijakan intervensi dituangkan dalam
bentuk hubungan kausalitas antar masalah yang dihadapi organisasi dan
dirumuskan secara sederhana. Hubungan kausalitas ini disebut sebagai model.
Model tersebut bisa berupa diagram alur (flow chart) maupun diagram panah
(arrow chart). Tujuan penyusunan model tersebut dimaksudkan untuk memudahkan
analisis sekaligus memilih alternatif kebijakan intervensi mana yang harus dipilih.
4) Perumusan alternatif kebijakan. Alternatif kebijakan merupakan sejumlah alat dan
cara yang dipakai untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan baik
secara langsung atau tidak. Rumusan alternatif tersebut diawali dengan penjelasan
kerangka logika yang terkait dengan berbagai kemungkinan yang muncul dalam
kerangka intervensi masalah. Kemungkinan tersebut berdampak baik positif
maupun negatif. Setelah alternatif diidentifikasi, maka tiba saatnya untuk memilih
alternatif yang paling berpeluang untuk mencapai tujuan dan sasaran yang
ditetapkan sebelumnya.
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 13
14. 5) Penentuan kriteria pemilihan alternatif kebijakan. Kriteria dan parameter yang bisa
dimanfaatkan untuk memilih alternatif kebijakan antara lain adalah a) technical
feasibility, yang menekankan pada aspek efektifitas langkah intervensi dalam
mencapai tujuan dan sasaran; b) economic and financial feasibility, yang
menekankan aspek efisiensi yakni biaya dan keuntungan yang diperoleh dengan
menggunakan teknik cost and benefit analysis; c) political viability, yang melihat
dampak politik yang ditimbulkan berupa tingkat aksebilitas (acceptability),
kecocokan dengan nilai masyarakat (appropriateness), responsifitas
(responsiveness), kesesuaian dengan perundangan (legal suitability), serta
pemerataan (equity); d) administrative operability yang melihat dari dimensi
otoritas instansi pelaksana, komitmen kelembagaan, kapabilitas staf dan dana serta
dukungan organisasi.
6) Penilaian alternatif kebijakan. Melalui penilaian ini akan ditemukan alternatif
intervensi yang paling efektif, efisien, dan visibel dalam memecahkan masalah yang
dihadapi. Oleh karena itu alternatif intervensi yang dipilih paling tidak harus yang
efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran, yang paling efisien dalam sisi biaya dan
keuntungan, yang paling bisa diterima oleh stakeholder, dan secara kelembagaan
dapat dilaksanakan serta memenuhi syarat administratif. Selain itu perlu
dipertimbangkan aspek etika dan filsafat sehingga alternatif tersebut tidak
melanggar nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.
7) Perumusan rekomendasi kebijakan. Rekomendasi kebijakan dibuat berdasar
perolehan skor beberapa alternatif intervensi, dimana alternatif ini dinilai visibel
untuk mencapai tujuan dan sasaran, memakan biaya yang optimal dengan
keuntungan maksimal, diterima oleh seluruh pemangku kepentingan serta sesuai
dengan etika dan nilai yang berlaku dalam masyarakat dan peraturan perundangan,
dan secara kelembagaan bisa dilaksanakan. Selian itu, alternatif intervensi tersebut
juga dipertimbangkan secara lebih komprehensif, holistik, integratif serta prospektif
sebelum dipilih. Setelah itu, alternatif intervensi yang direkomendasikan ditetapkan
dan disahkan sehingga memiliki kekuatan hukum.
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 14
15. 2. Kebijakan E-learning pada Perguruan Tinggi Saat Ini
Kebijakan perihal e-learning pada Rencana Strategis Pendidikan dari
Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) 2009-2014 sebagai bagian Peningkatan
Mutu, Relevansi, dan Daya Saing disebutkan sebagai berikut: “Dengan
mempertimbangkan pesatnya perkembangan pemanfaatan ICT dalam berbagai sektor
kehidupan, pemerintah akan terus mengembangkan pemanfaatan ICT untuk sistem
informasi persekolahan dan pembelajaran termasuk pengembangan pembelajaran
secara elektronik (e-learning). Hingga tahun 2009, langkah-langkah yang akan dilakukan
adalah (a) merancang sistem jaringan yang mencakup jaringan internet, yang
menghubungkan sekolah-sekolah dengan pusat data dan aplikasi, serta jaringan
intranet sebagai sarana dan media komunikasi, dan informasi intern sekolah; (b)
merancang dan membuat aplikasi database, yang menyimpan dan mengolah data dan
informasi persekolahan, manajemen persekolahan, konten-konten pembelajaran; (c)
merancang dan membuat aplikasi pembelajaran berbasis portal, web, multimedia
interaktif, yang terdiri atas aplikasi tutorial dan learning tool; (d) mengoptimalkan
pemanfaatan TV edukasi sebagai materi pengayaan dalam rangka menunjang
peningkatan mutu pendidikan; dan (e) mengimplementasikan pemanfaatan TIK secara
bertahap untuk memudahkan manajemen pendidikan pada SMP dan sekaligus untuk
mendukung proses pembelajaran di seluruh wilayah Indonesia”. Pada bagian lain
disebutkan pula usaha-usaha yang yang telah dilakukan sebagai berikut: “Dengan
mempertimbangkan pesatnya perkembangan pemanfaatan TIK dalam berbagai sektor
kehidupan, pemerintah akan terus mengembangkan pemanfaatan TIK untuk sistem
informasi persekolahan dan pembelajaran termasuk pengembangan e-Learning. Hingga
tahun 2009, langkah-langkah yang akan dilakukan adalah (a) merancang dan membuat
aplikasi database, yang menyimpan dan mengolah data dan informasi persekolahan,
manajemen persekolahan, muatan (content) pembelajaran; (b) merancang dan
membuat aplikasi pembelajaran berbasis portal, web, multimedia interaktif, yang terdiri
atas aplikasi tutorial dan learning tool; (c) mengoptimalkan pemanfaatan TV edukasi
sebagai materi pengayaan dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan; dan
(d) mengimplementasikan pemanfaatan TIK secara bertahap untuk memudahkan
manajemen pendidikan pada SMA dan SMK dan sekaligus untuk mendukung proses
pembelajaran di seluruh wilayah Indonesia.”
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 15
16. Khusus untuk perguruan tinggi, kebijakan e-learning sesuai Rencana Strategis
Pendidikan dari Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) 2009-2014 adalah:
“Pengembangan pembelajaran jarak jauh (distance learning) di perguruan tinggi,
dengan proyek percontohan pada beberapa perguruan tinggi dan pusat pelatihan
hingga tahun 2009, yaitu ITB, ITS, UGM, IPB, UI, UNRI, UNDANA, UNHAS, PENS, dan
POLMAL. Diseminasi proyek ini akan dikembangkan pada UNLAM, UM, UNY, UNP,
UNHALU, UNCEN dan PT-PT lainnya.” Sedangkan target yang ditetapkan adalah: “ICT
literacy (kemampuan akses, memanfaatkan dan menggunakan radio, televisi, komputer
dan internet) 80% untuk kalangan mahasiswa dan dosen” dengan Penguatan Tata
Kelola, Akuntabilitas, dan Citra Publik di bidang: “Peningkatan kapasitas satuan
perguruan tinggi dilakukan melalui berbagai program hibah kompetisi yang
diselenggarakan oleh pemerintah, seperti program hibah kompetisi, program
kemitraan, hibah penelitian, pusat pengembangan pendidikan dan aktivitas
instruksional (P3AI). Peningkatan kapasitas pengelolaan juga akan ditunjang dengan
penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), seperti pengembangan sistem
informasi pendidikan tinggi”.
Adapun secara operasional kebijakan e-learning dituangkan pada dokumen
akreditasi (BUKU IIIB) point 6.4.1 (Sistem Informasi) sebagai berikut: “Jelaskan sistem
informasi manajemen dan fasilitas ICT (Information and Communication Technology)
yang digunakan Fakultas/Sekolah Tinggi untuk proses penyelenggaraan akademik dan
administrasi (misalkan SIAKAD, SIMKEU, SIMAWA, SIMFA, SIMPEG dan sejenisnya),
termasuk distance/e-learning. Jelaskan pemanfaatannya dalam proses pengambilan
keputusan dalam pengembangan institusi.” Pada BUKU VI-MATRIKS PENILAIAN
INSTRUMEN AKREDITASI PROGRAM STUDI SARJANA juga secara mendetail dijelaskan
kebijakan “Akses dan pendayagunaan sistem informasi dalam pengelolaan data dan
informasi tentang penyelenggaraan program akademik di program studi”, termasuk
juga e-learning, yang bisa dilihat pada tabel berikut ini:
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 16
17. 3. Proposal Kebijakan E-learning pada Perguruan Tinggi Masa Datang
Pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau e-learning juga tidak terlepas dari
berbagai kekurangan. Berbagai kritik (Bullen, 2001, Beam, 1997), antara lain dapat
disebutkan sbb:
a) Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri.
Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses
belajar dan mengajar;
b) Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya
mendorong tumbuhnya aspek bisnis/komersial;
c) Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan daripada pendidikan;
d) Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran
konvensional, kini juga dituntut mengetahui teknik pembelajaran yang
menggunakan ICT;
e) Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal;
f) Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (mungkin hal ini berkaitan dengan
masalah tersedianya listrik, telepon ataupun komputer);
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 17
18. g) Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki ketrampilan soal-soal internet;
dan
h) Kurangnya penguasaan bahasa komputer.
Dari hal di atas penyusun menyarankan Proposal Kebijakan E-learning pada
Perguruan Tinggi Masa Datang memakai kerangka kerja (framework) dari Gellman-Danley
and Fetzner (1998) sebagai beikut:
Policy Area Key Issues
Academic Calendar, Course integrity, Transferability, Transcripts,
Student/Course evaluation, Admission standards,
Curriculum/Course approval, Accreditation, Class
cancellations , Course/Program/Degree availability,
Recruiting/Marketing
Governance/Administration/ Tuition rate, Technology fee, FTE’s, Administration cost,
State fiscal regulations, Tuition disbursement, Space, Single
Fiscal versus multiple board oversight, Staffing
Faculty Compensation and workload, Development incentives,
Faculty training, Congruence with existing union contracts,
Class monitoring, Faculty support, Faculty evaluation
Legal Intellectual property, Faculty, Student and institutional
liability
Student Support Services Advisement, Counseling, Library access, Materials delivery,
Student training, Test proctoring, Videotaping, Computer
accounts, Registration, Financial aid, Labs
Technical Systems reliability, Connectivity/access, Hardware/software,
Setup concerns, Infrastructure, Technical support (staffing),
Scheduling, Costs
Cultural Adoption of innovations, Acceptance of on-line/distance
teaching, Understanding of distance education (what works
at a distance), Organizational values
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 18
19. Sedangkan “Policy Analysis Framework” untuk hirarki kebijakannya dapat
menggunakan model sebagai berikut:
Policy Area Description
Faculty (including Continuing Education and Rewards (e.g., stipends, promotion and
Cooperative Extension) tenure, merit increases, etc.); Support (e.g.,
student help, technical assistance, training,
etc.); Opportunities to learn about
technology and new applications (e.g.,
release time, training, etc.); Intellectual
property (e.g. ownership of materials,
copyright, etc.)
Students/Participants Support (e.g., access to technology, library
resources, registration, advising, financial aid,
etc.); Requirements and records (e.g.,
residency requirements, acceptance of
courses from other places, transfer of credit,
continuing education, etc.)
Management and Organization Tuition and fee structure; Funding formula;
Collaboration (e.g., with other Departments,
units, institutions, consortia, intra-and inter-
institutional, service areas, etc.); Resources
(e.g., financial resources to support distance
education, equipment, new technologies,
etc.); Curricula/individual courses (e.g.,
delivery modes, course/program selection,
plans to develop, individual sequences,
course development, entire program
delivery, interactivity requirements, test
requirements, contact hour definitions, etc.)
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 19
20. E. Kesimpulan
E-Learning akan dimanfaatkan atau tidak sangat tergantung Kebijakan Pemerintah di
bidang pendidikan dan bagaimana pengguna memandang atau menilai e-learning tersebut.
Namun umumnya digunakannya teknologi tersebut tergantung dari: (1). Apakah teknologi itu
memang sudah merupakan kebutuhan (2). Apakah fasilitas pendukungnya yang memadai, (3).
Apakah didukung oleh dana yang memadai dan (4). Apakah ada dukungan dari pembuat
kebijakan.
Banyak kalangan sering mencoba memulai e-learning ini tanpa pertimbangan yang
matang serta menggunakannya agar kelihatan bergengsi tanpa Kebijakan dan Strategi
Manajemen Pendidikan yang jelas. Oleh karena itu satu hal yang perlu diperhatikan sebelum
memanfaatkan internet untuk pembelajaran, yaitu melakukan analisis kebijakan untuk
menjawab apakah memang memerlukan e-learning. Dalam analisis ini tentunya sudah
termasuk apakah secara teknis dan non-teknis e-learning bisa dilaksanakan Analisis ini
menyangkut tersedianya hard-ware khususnya komputer (dengan network-nya), listrik, telepon
dan perangkat lunaknya; khususnya tersedianya tenaga, bahan ajar yang siap di-online-kan dan
“management course tools” yang akan dipakai. Juga apakah secara ekonomis penggunaan
internet ini menguntungkan (economically profitable). Analisis ekonomi seperti Benefit per
Cost (B/C) ratio, Internal Rate of Return (IRR), Net Present Value (NPV) atau Return on
Investment (ROI) bisa dipakai sebagai alat ukur. Selanjutnya apakah secara sosial, penggunaan
e-learning itu diterima oleh masyarakat (socially acceptable). Sebab kadang-kadang walaupun
pengunaan e-learning untuk pembelajaran telah disiapkan secara baik dan kualitas
penyelenggaraannya juga baik, masyarakat belum bisa menerimanya karena mereka
menganggap cara-cara pendidikan konvensional dianggap lebih baik. Untuk itu harap
diperhatikan masalah akuntabilitas dalam menggunakan teknologi informasi tersebut.
Satu hal yang perlu ditekankan dan dipahami adalah bahwa e-Learning tidak dapat
sepenuhnya menggantikan kegiatan pembelajaran konvensional di kelas. Tetapi, e-Learning
dapat menjadi partner atau saling melengkapi dengan pembelajaran konvensional di kelas. e-
Learning, Belajar mandiri merupakan “basic thrust” kegiatan pembelajaran elektronik, namun
jenis kegiatan pembelajaran ini masih membutuhkan interaksi yang memadai sebagai upaya
untuk mempertahankan kualitasnya.
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 20
21. DAFTAR PUSTAKA
Cisco, (2001). e-Learning: Combines Communication, Education, Information, and Training.
http://ww.cisco.com/warp/public/10/wwtraining/elearning.
Cuban, L. (1996). Techno-reformers and classroom teachers, Educational Week on the Web.
http://www.edweek.org/ew/vol-16/o6cuban (Nopember 2000).
Hartanto, A.A. dan Purbo, O.W. (2002), Teknologi e-Learning Berbasis PHP dan MySQL, Elex
Media Komputindo, Jakarta.
Jatmiko, R. (1997), Enhancing Learning Experiences through the Use of Internet. Paper
presented at the International Symposium on Distance Education and Open Learning organized
by MONE Indonesia, IDLN, SEAMOLEC, ICDE, UNDP and UNESCO, Tuban, Bali, Indonesia, 17-20
November 1997.
Koran, Jaya Kumar C. (2002), Aplikasi E-Learning dalam Pengajaran dan pembelajaran di
Sekolah Malasyia. (8 November 2002).
www.moe.edu.my/smartshool/neweb/Seminar/kkerja8.htm.
Lawanto, Oemardi. (2000). Pembelajaran Berbasis Web sebagai Metoda Komplemen Kegiatan
pendidikan dan Pelatihan. Makalah Video Conference; Bandung-Suarabaya: Depdiknas.
Mason Robin. 1994 Using Communications Media in Open and Fleksible Learning. London:
Kogan PageLtd.
Mukhopadhyay, M. (1995) “Shifting Paradigms in Open ang distance Education (Paper
Presented before the IDLN Fisrt International Symposium in Yogyakarta). Jakarta IDLN-
Pustekkom.
Purbo, Onno W. dan Antonius AH. (2002). Teknologi e-Learning Berbasis PHP dan MySQL:
Merencanakan dan Mengimplementasikan Sistem e-Learning. Jakarta: Gramedia.
Purbo, Onno W. (2001) Masyarakat Pengguna Internet di Indonesia. Available,
http://www.geocities.com/inrecent/project.html. (4 November 2002).
Pavlik, John V. (1996). New Media Technology. Cultur and Commercial Perspectives. Singapore:
Allyn and Bacon.
Rahardjo, Budi. (2001). Pergolakan Informasi di Indonesia akan Sia-sia?. Artikel Majalah Tempo.
Jakarta: November 2001.
Romiszowski, Alexander J. and Robin Mason. (1996) Computer Mediated Communication in
Handbook of Research for Educational Communications Technology. New York: AECT,
Macmillan Library Reference USA.
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 21
22. Roll Reider (1997) SEAMOLEC_IDLN Regional Symposium on Future Vision: Distance Education
and Open Learnin. Bali Pustekkom.
Robinson, ET. (2001). Knowlarge as Commodity: How do e-commerce a e-learning Relate.
Available, http://www.elearningmag.co
Rosenberg, Marc J. (2001), e-Learning; Strategies for Delivering Knowledge in the Digital. New
York: McGraw Hill.
Tung, Khoe Yao. (2000). Pendidikan dan Riset di Internet. Jakarta: Dinastindo.
Soekartawi (2002b), e-Learning: Konsep dan Aplikasinya. Bahan-Ceramah/Makalah
disampaikan pada Seminar yang diselenggarakan oleh Balitbang Depdiknas, Jakarta, 18
Desember 2002.
Soekartawi (2002c), The Role of Regional Organization for Mass Education. Invited paper
presented at the International Conference on Lifelong Learning organized by Asian European
Institute, Kuala Lumpur, 13-15 May 2002.
Soekartawi (2003). Prinsip Dasar e-Learning: Teori dan Aplikasinya di Indosnesia. Jurnal
Teknodik Edisi 12.
Beam, P. (1997), Breaking the Sprinter’s Wrist: Achieving Cost-Effectiveness in Online Learning.
Paper presented at the International Symposium on Distance Education and Open Learning,
organized by MONE Indonesia, IDLN, SEAMOLEC, ICDE, UNDP and UNESCO Tuban, Bali,
Indonesia.
Bullen, M. (2001), e-learning and the Internationalization Education, Malaysian Journal of
Educational Technology 1(1), 37-46.
Elangovan, T. (1997), Internet Based On-line Teaching Application with Learning Space. Paper
presented at the International Symposium on Distance Education and Open Learning organized
by MONE Indonesia, IDLN, SEAMOLEC, ICDE, UNDP and UNESCO, Tuban, Bali, Indonesia, 17-20
November 1997.
Hartanto, A.A. dan Purbo, O.W. (2002), Teknologi e-learning Berbasis PHP dan MySQL, Elex
Media Komputindo, Jakarta.
Hashim, Y. and Razmah. Bt. Man (2001), An Overview of Instructional Design and Development
Models for Electronic Instruction and Learning, Malaysian Journal of Educational Technology
1(1), 1-7.
Ishaq, A. (2001), On the Global Digital Divide, Finance and Development, September 2001, 44-
7.
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 22
23. Mulvihill, R.P. (1997), Technology Application to Distance Education. Paper presented at the
International Symposium on Distance Education and Open Learning organized by MONE
Indonesia, IDLN, SEAMOLEC, ICDE, UNDP and UNESCO, Tuban, Bali, Indonesia, 17-20 November
1997.
Munaf, D.R. (2001), Cultural Threats on Development of ICT as a Tool for Open and Distance
Learning. Speech delivered at the 7th International Symposium on Distance Education and
Open Learning at Yogyakarta, November 2001.
Soekartawi (1995), Monitoring dan Evaluasi Proyek Pendidikan, PT Rajawali Press, Jakarta.
Soekartawi (2002a). Prospek Pembelajaran Melalui Internet. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional ‘Teknologi Kependidikan’ yang diselenggarakan oleh UT-Pustekkom dan
IPTPI, Jakarta, 18-19 Juli 2002.
Soekartawi (2002b), e-learning: Konsep dan Aplikasinya. Bahan-Ceramah/Makalah disampaikan
pada Seminar yang diselenggarakan oleh Balitbang Depdiknas, Jakarta, 18 Desember 2002.
Soekartawi (2002c), The Role of Regional Organization for Mass Education. Invited paper
presented at the International Conference on Lifelong Learning organized by Asian European
Institute, Kuala Lumpur, 13-15 May 2002.
Soekartawi (2003). Prospects and Challenges e-learning: A Review. Makalah disampaikan di
seminar internasional di UPSI, Tanjong Malim, 24-25 September 2003.
Soekartawi, A. Haryono dan F. Librero (2002), Greater Learning Opportunities Through Distance
Education: Experiences in Indonesia and the Philippines. Southeast Journal of Education
(December 2002)
Soekartawi, Suhardjono, T. Hartono dan A. Ansjarullah (1999), Rancangan Instruksional, PT
Rajawali Press, Jakarta.
Soekartawi (2003). E-learning di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang. Makalah
disampaikan di seminar nasional di Universitas Petra, Surabaya, 3 Februari 2003.
Williams, B. (1999). The Internet for Teachers. IDG Books Worldwide.Inc., New York.
Departemen Pendidikan Nasional (2008). Rencana Strategis Pendidikan Departemen
Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) 2009-2014
BADAN AKREDITASI NASIONAL PERGURUAN TINGGI, (2008). BUKU IIIB-BORANG INSTITUSI
YANG DIISI OLEH FAKULTAS/SEKOLAH TINGGI.
BADAN AKREDITASI NASIONAL PERGURUAN TINGGI, (2008). BUKU VI-MATRIKS PENILAIAN
INSTRUMEN AKREDITASI PROGRAM STUDI SARJANA.
Bates, A.W. 2000. Managing Technological Change. San Francisco: Jossey-Bass.
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 23
24. Berge, Z.L. 1998. Barriers to Online Teaching in Post-Secondary Institutions: Can Policy Changes
Fix It? Online Journal of Distance Learning Administration. 1(2).(2/24/99)
Davenport, T.H. 1997. Information Ecology. New York: Oxford.
Epper, R.M. 1999. Excerpts from State Policies for Distance Education; A Survey of the States.
State Higher Education Executive Officers (SHEEO). (http://www.sheeo.org/sheeo/pubs-
excerpts-from-technology-survey.html). (3/31/99)
Frantz. G. and King, J.W. 2000. The Distance Education Learning systems Model (DEL).
Educational Technology. 40(3): 33-40.
Freeman, R. 1997. Managing Open Systems. London: Kogan.
Gellman-Danley, B. and Fetzner, M.J. 1998. Asking the Really Tough Questions: Policy Issues for
Distance Learning. Online Journal of Distance Learning Administration. 1(1). ( (2/24/99)
Gustafson, K.L. and Branch, R. M. 1997. Survey of Instructional Development Models. Syracuse
Univ., Syracuse, NY: Clearinghouse on Information and Technology.
Iansiti, M. and MacCormack, A. 1997 (Sept.-Oct.). Developing Products on Internet Time.
Harvard Business Review.108-117.
King, J.W., Lacy,D., McMillian, J., Bartels, K. and Freddolino, M. 1998. The Policy Perspective in
Distance Education: A Futures Landscape/Panorama. Invited paper presented at the 1998
Nebraska Distance Education Conference. Lincoln, NE (September 28-29, 1998) ( (2/24/99)
King, J.W., Nugent, G.C., Russell, E. B., and Lacy, D. 1999. Distance Education Policy in Post-
Secondary Education: Nebraska as a Case Study. In Proceedings: 15th Annual Conference on
Distance Teaching and Learning. University of Wisconsin, Madision. 275-281.
McLendon, E. and Cronk, P. 1999. Rethinking Academic Management Practices: A case of
meeting new challenges in online delivery. Online Journal of Distance Learning Administration.
2(1). ( http:www.westga.edu/~distance/mclendon21.html) (5/25/99)
Nardi, B.A. and O’Day, V.L. 1999. Information Ecologies. Cambridge, MA: MIT.
Rocheleau, B. 1996 (Fall). Structures, Plans, and Policies: Do they make a difference? An initial
assessment. CAUSE/EFFECT. 35-39.
Strauss, R. 1997. Managing Multimedia Projects. Boston: Focal.
Tugas Makalah: “Proposal Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi”
Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan (AP901) Hal 24