1. Edisi Maret - 2014 |1
KOMUNIKASI
Sedikitnya 90 negara, termasuk
Indonesia, kini telah memiliki
undang-undang yang mengizinkan
rakyatnya memperoleh dokumen-
dokumen pemerintah dan informasi
penting lainnya dari badan-badan
publik. Meski begitu, akses kepada
informasi masih menjadi persoalan.
Dalam praktiknya, undang-undang
kebebasan informasi ternyata tidak
menjamin akses yang mulus.
Apakah artinya memiliki ‘hak untuk
memperoleh informasi’? Mengapa
ini penting? Apakah dampaknya?
Hak atas informasi, termasuk hak
untuk mengakses informasi yang
diselenggarakan oleh badan-badan
publik, penting bagi demokrasi,
pemerintahan yang bersih dan baik
dan transparansi. Hak atas
informasi telah dianggap sebagai
hak manusia yang asasi, yang
dilindungi oleh hukum internasional
dan di banyak negara dijamin oleh
hukum konstitusional. Secara
juridis, Indonesia menjamin hak
untuk memperoleh informasi
terutama dalam UU Kebebasan
Informasi Publik (UU KIP), UU
Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE), dan UU Kearsipan. Dalam
penjelasan tentang UU Kebebasan
Informasi Publik (UU 14/2008),
Depkominfo RI mengatakan,
“Transparansi atas setiap informasi
publik membuat masyarakat dapat
ikut berpartisipasi aktif dalam
mengontrol setiap langkah dan
kebijakan yang diambil oleh
pemerintah. Sehingga penyeleng-
garaan kekuasaan dalam negara
demokrasi dapat dipertanggung-
jawabkan kembali kepada rakyat.
Akuntabilitas membawa ke tata
pemerintahan yang baik, yang
bermuara pada jaminan hak asasi
manusia.”
Dengan demikian, pemerintah RI
mengakui hak untuk memperoleh
informasi sebagai bagian dari hak
asasi manusia. Hak ini penting bagi
demokrasi, partisipasi publik dalam
pemilu dan proses pengambilan
keputusan, pertanggungjawaban
publik, dan pengawasan terhadap
korupsi serta penyalahgunaan
kekuasaan. Menolak hak rakyat
untuk memperoleh informasi dan
menghalangi transparansi badan-
badan publik merupakan tindakan
yang tidak demokratis. Dalam
penjelasan Depkominfo tentang UU
KIP dikatakan, “Regulasi keter-
bukaan informasi publik merupakan
fondasi dalam pembangun tata
pemerintahan yang baik (good
governance). Pemerintahan yang
transparan, terbuka dan partisi-
patoris dalam seluruh proses
pengelolaan kenegaraan, termasuk
seluruh proses pengelolaan sumber
daya publik sejak dari proses
pengambilan keputusan, pelaksa-
naan serta evaluasinya……. UU
Keterbukaan Informasi Publik
adalah salah satu wujud kontrit dari
proses demokratisasi di Indonesia.”
Hak kebebasan memperoleh
informasi bersumber dari kebe-
basan berekspresi, yang mencakup
hak untuk mencari, menerima dan
menyebarluaskan informasi serta
gagasan-gagasan (pasal 28F UUD
45). Karena itu, hak untuk mempe-
roleh informasi pada dasarnya tak
dapat dilepaskan dari kebebasan
pers. Secara umum ini juga
berarti bahwa demokrasi dan
perlindungan HAM takkan berfungsi
tanpa kebebasan informasi.
Sebaliknya, kebebasan informasi
hanya bisa berjalan efektif jika
dijamin oleh hukum, dan jika cara-
cara menjalankannya dipaparkan
dengan jelas dalam legislasi dan
mengikat rumusan-rumusan
kebijakan.
Dampak Positif
Era teknologi digital membuat
segenap pelosok dunia sebagai
ruang terbuka yang dapat diakses
oleh siapa pun. Dunia kini merupa-
kan sebuah galaksi yang saling
terhubung bagi proses arus
informasi dan komunikasi.
Pemerintah mengakui bahwa
keterbukaan informasi berdampak
positif tak hanya bagi proses
demokratisasi dan pemerintahan
yang baik, tetapi juga pemberan-
tasan korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan. Dikatakan, selain
penting bagi terciptanya pemerin-
tahan yang baik serta transparansi
dan akuntabilitas, dampak positif
UU KIP antara lain percepatan
pemberantasan KKN, optimalisasi
hak-hak masyarakat terhadap
pelayanan publik, dan percepatan
demokratisasi. Dalam UU KIP,
informasi publik digolongkan ke
dalam 5 (lima) klasifikasi:
(1)Informasi yang wajib
disediakan dan diumumkan
secara berkala; (2)Informasi
yang wajib diumumkan secara
serta merta; (3)Informasi
yang tersedia setiap saat;
(4)Informasi yang dikecua-
likan; (5)Informasi yang di-
peroleh berdasarkan permin-
taan. Nah, rakyat Indonesia kini
bisa meminta informasi kepada
badan-badan publik, misalnya
pajak, sebagai upaya pemantauan
(watch dog), pemberantasan
korupsi dan transparansi. Peran
media massa, pun media
komunitas, adalah sebagai “watch
dog”, serta ikut memperluas arus
informasi bebas bagi publik.
HAK ATAS INFORMASI
oleh: Rainy MP Hutabarat
Undang-undang Kebebasan
InformasiPublik
(dari berbagai sumber)
2. 2 | Edisi Maret - 2014
KOMUNIKASI
Menurut Daniel Hallin keberadaan
informasi media massa ditempat-
kan pada tiga bidang atau peta
ideologi. Pertama, bidang penyim-
pangan (sphere of deviance);
kedua, bidang kontroversi (sphere
of legitimate controversy), dan
ketiga, bidang konsensus. Dengan
kata lain, jika berbicara media
maka tidak lepas dari mereka yang
bekerja di balik dapur media, yakni
jurnalis, penjaga news room dan
pemilik media – mereka yang akan
membingkai suatu peristiwa,
perilaku atau gagasan, sesuai
dengan wilayah atau peta ideologi
yang diyakininya, yakni penyim-
pangan kontroversi atau konsenus.
Pertanyaannya adalah, bagaimana
media membingkai peristiwa,
perilaku atau gagasan yang
mengandung unsur SARA?
Seiring dengan semakin terbu-
kanya ruang kebebasan bereks-
presi, tahun-tahun belakangan ini
mulai berkecambah jurnalisme
intoleransi yang dipraktikkan oleh
beberapa media arus utama,
terlebih media daring dan media
sosial baru. Tentu saja ini bukan
kabar baik, melainkan kabar buruk,
terlebih bagi para pewarta kabar
baik yang harus bekerja ekstra
keras “membasuh dan membilas”
virus-virus intoleransi tersebut.
Beberapa contoh jurnalisme
intoleransi yang terjadi di Sumatra
Utara: Pada Juli 2006, saat isteri
Gubernur Sumatra Utara, Ny. Vera
Rudolf Pardede member paket
bantuan peralatan ke sekolah-
sekolah Islam, terjadi demonstrasi.
Beberapa surat kabar mengkons-
truksi peristiwa itu sebagai bentuk
“permurtadan berkedok bantuan
sosial”, “tindakan Yahudi dan
Kristenisasi”, “penyusupan ke
sekolah Islam”, “menyakiti umat
Islam”, “memojokkan Islam”,
“menghina Islam”, dan “menodai
umat Islam”.
Dengan kata lain, pemberian
bantuan dianggap upaya
kristenisasi dan mencederai umat
Islam.
Contoh kutipan teks sebuah berita:
“Komponen Islam mengklaim
tindakan Yahudi dan Kristenisasi
harus disikapi dan dipertanggung-
jawabkan secara hukum dan minta
maaf dalam tempo 7 x 24 jam. Bila
hal ini tidak dilakukan maka jangan
salahkan umat Islam melakukan
upaya tindakan jihad fisabillah
meraih hak menghancurkan
kebatilan. Dengan kata lain Sumut
akan berdarah.”
Ketika terjadi demonstrasi massa
pendukung pembentukan Provinsi
Tapanuli tahun 2009 yang
mengakibatkan meninggalnya
Ketua DPRD Sumut, pemberitaan
beberapa suratkabar dengan
stigmatisasi dan pengerasan fakta
(disfemisme). Ada surat kabar yang
menyebut peristiwa itu sebagai
“tindakan biadab ala komunis gaya
baru”, “teroris lokal yang
mengobok-obok demokrasi”, atau
memberi stigma kepada para
demonstran sebagai “bandit-bandit
Protap”. Sebuah harian menuliskan,
“Pembunuhan itu dilakukan oleh
bandit-bandit panitia Protap dan
perilaku mereka mirip PKI,
membunuh putra Muslim sebagai
putra terbaik Sumut.” “Tindakan
massa Protap sangat tidak
manusiawi, lebih hina dari perilaku
binatang.”
Pada Pilkada Medan, Juni 010,
Sofyan Tan oleh sejumlah media
cetak, distigma sebagai “bukan
pribumi”, “keturunan asing yang
mau menjajah dan menjual kota
Medan”, “hendak adakan
Chinatown Medan”, “kafir”, “calon
yang tidak seiman/seakidah dengan
mayoritas warga Medan”, dan
stigma rasial lainnya.
Pada Mei 2011, terjadi kasus
perubuhan masjid Al-Ikhlas di Jalan
Timor oleh sekelompok orang.
Perubuhan itu menuai protes dari
umat Islam di Medan. Sebuah
suratkabar menggambarkan
peristiwa itu sebagai “penzaliman
terhadap umat Islam oleh pihak
Kodam I/BB”. Sedangkan
suratkabar yang lebih netral
menggambarkan kasus tersebut
sebagai “pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Kodam I/BB dan
Pengembang.”
Contoh-contoh di atas banyak
ditemukan di media arus utama.
Di media sosial lebih hebat lagi,
lebih parah. Pekerja gereja seperti
diakones, pendeta, penatua atau
yang lain, harus mengetahui
bagaimana melakukan pewartaan
yang damai.
JurnalismeBerperspektifDamai
Penting
Ketika anda sedang bertugas
meliput, tinggalkan agama anda di
rumah. Inilah dalil bagi wartawan.
Wartawan tidak boleh memihak
atau mengungkapkan dukungan
maupun prasangka mereka kepada
salah satu pihak. Lebih dari itu
wartawan harus menerapkan
jurnalisme damai. Tak seperti
disalahpahami banyak orang,
menerapkan jurnalisme damai tak
berarti fakta konflik diabaikan, atau
tidak diberitakan. Konflik tetap
diberitakan. Tapi wartawan atau
media tak bisa mengenakan
kacamata kuda. Mereka tak boleh
berpikir hitam putih, seolah
penyelesaian konflik hanya kalah-
menang. Orientasi utama liputan
berperspektif damai diarahkan
kepada penyelesaian konflik.
Tuntutan seperti ini membuat
wartawan harus berhati-hati ketika
merekonstruksi pernyataan
narasumber. Terutama pada tahap
penulisan berita. Pernyataan
ekstrim, bernuansa prasangka,
kebencian, rasis, SARA, sebaiknya
dihindari. Campur tangan
wartawan harus mendukung
terciptanya perdamaian.
Mewaspadai Kabar-kabar Kebencian
Oleh J. Anto
3. Edisi Maret - 2014 |3
KOMUNIKASI
MENGENAL RADIO
Sumber:
Dompet Dhuafa, Radio Based Disaster
Risk Reduction, Jakarta, Dompet
Dhuafa, Agustus 2013.
Metode pengiriman sinyal radio
dikenal dengan sebutan AM
(modulasi amplitudo) dan modulasi
frekuensi (FM). Karena itu kita
mengenal sebutan radio AM dan
radio FM. Keduanya merupakan
sinyal radio analog. Seiring
perkembangan teknologi, kini
dikenal wahana komunikasi
berbasis digital yang mendorong
kepada digitalisasi media, radio
digital seperti internet yang
mengubah secara drastic cara
pengiriman sinyal radio (transmisi
yang menjangkau publik
pendengarnya jauh lebih luas dan
efekltif.
Gelombang radio adalah satu
bentuk radiasi elektromagnetik,
tertbentuik ketika obyek bermuatan
listrik dimodulasi (dinaikkan
frekuensinya) pada frekuensi yang
terdapat dalam frekuensi
gelombang radio (RF) dalam suatu
spektrum elektromagnetik.
UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran menyatakan, frekuensi
radio merupakan gelombang
elektromagnetik yang dipergunakan
untuk penyiaran dan merambat di
udara serta ruang angkasa anpa
sarana penghantar buatan,
merupakan ranah publik dan
sumber daya alam terbatas.
Seperrti spectrum elektromagnetik
yang lain, gelombang radio
merambat dengan kecepatan
300.000 kilometer per detik. Perlu
diperhatikan, gelombang radio
berbeda dengan gelombang audio.
Gelombang radio merambat pada
frekuensi 100.000 Hz -
100.000.000.000 Hz sementara
gelombang audio merambat pada
frekuensi 20 Hz – 20.000 Hz.
Radio AM
Bekerja dengan prinsip
memodulasi gelombang radio dan
gelombang audio. Kedua
kelombang ini sama-sama memiliki
amplitude yang konstan. Keter-
batasan teknologi AM, khususnya
menyangkut kualitas suara yang
dihasilkan, membuat radio AM
kurang populer.
RadioFM
Bekerja dengan prinsip serupa
dengan AM, yaitu dengan
memodulasikan gelombang radio
(pengantar) dengan gelombang
audio. Proses modulasi ini
menyebabkan perubahan pada
frekuensi.
Radio Internet
Radio internet (dikenal dengan web
radio, radio streaming, dan e-
radio) bekerja dengan cara
mentransmisikan gelombang suara
lewat internet. Prinsip kerjanya
hampir sama dengan radio
konvensional yang mempekerjakan
gelombang pendek (shot wave),
yaitu dengan menggunakan
medium streaming berupa
gelombang kontinyu. Sistem kerja
ini memungkinkan siaran radio
terdengar ke seluruh dunia asalkan
pendengar memiliki perangkat yang
mampu terhubung ke jejaring
internet. Di Indonesia umumnya
radio internet tetap dikolaborasikan
dengan sistem radio analog oleh
stasiun radio teresterial untuk
memperluas jangkauan siarannya.
Radio Satelit
Radio satelit mentransmisikan
gelombang audio dengan
menggunakan sinyal digital.
Berbeda dengan sinyal analog yang
menggunakan gelombang kontinyu,
gelombang suara ditransmisikan
melalui sinyal digital yang terdiri
atas kode 0 dan 1. Sinyal ini
ditransmisikan ke daerah jang-
kauan yang jauh lebih luas karena
menggunakan satelit. Siaran radio
dapat diterima oleh perangkat
khusus yang bisa menerjemahkan
sinyal terinskripsi. Siaran radio
satelit juga hanya bisa diterima di
tempat terbuka di mana antenna
pada pesawat radio memiliki garis
pandang dengan satelit pemancar.
Radio satelitn hanya bisa bekerja
di lokasi yang tak memiliki
penghalang besar terkirimnya sinyal
seperti pada terowongan atau
gedung.
Radio Digital Berdefinisi Tinggi
(Radio HD)
Radio digital ini bekerja dengan
menggabungkan sistem analog dan
digital sekaliogus, sehingga
memungkinkan dua stasiun digital
dan analog berbagi frekuensi sama.
Efisiensi ini membuat banyak konten
bisa disiarkan pada posisi yang
sama. Kualitas suara yang
dihasilkan radio HD sama jernihnya
dengan radio satelit.
4. 4 | Edisi Maret - 2014
KOMUNIKASI
Peliputan Video Dokumenter di Dairi
Mewariskan Mata air Kehidupan
Pada 10-12 Desember 2013,
YAKOMA PGI meliput video
dokumenter bersama PDPK
(Persekutuan Diakonia Pelangi
Kasih) - Parongil. Isu utama
.peliputan adalah kerisauan
sebagian warga masyarakat di Kab.
Dairi, khususnya Parongil dan
sekitarnya, sejak hadirnya PT. Dairi
Prima Mineral (PT DPM),
perusahaan yang akan menjalan-
kan industri pertambangan.
Menurut catatan, PT. DPM sampai
saat ini telah memiliki Izin Pinjam
Pakai Kawasan Hutan Lindung di
Kab. Dairi seluas 53,11 ha. untuk
kegiatan penambangan bawah
tanah dan pembangunan sarana
penunjangnya. Izin tersebut
dikeluarkan melalui SK Menteri
Kehutanan No. 387/Menhut II/2012.
Sejumlah kelompok masyarakat
risau karena kehadiran tambang
dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan, terutama tanah dan
sumber air. Selain risiko pence-
maran, juga muncul kekhawatiran
bahwa industri tambang akan
menguras air dalam jumlah besar
sehingga kebutuhan penduduk sulit
terpenuhi di kemudian hari. Dalam
sebuah wawancara video,
kekhawatiran ini terekam dari
pernyataan Penatua (Pnt.) Saudur
br. Sitorus, bahwa mereka ingin
mewariskan mata air kehidupan
kepada generasi penerus, bukan air
mata.
Sikap lain yang terekam dalam
peliputan video ini adalah,
pernyataan Pnt. Saut Sitorus
tentang kegigihan masyarakat
untuk mempertahankan tanah serta
lahan mereka dengan tidak
melepaskannya kepada perusahaan
tambang, berapapun harga yang
ditawarkan. Ini didasarkan
kesadaran bahwa budaya secara
turun-temurun telah menempatkan
tanah sebagai “ibu kandung”,
bahkan sesuatu yang kudus sebab
tanah dan lahan telah memberi
kehidupan bagi penduduk.
Kesadaran tersebut berkembang ke
kesadaran berikutnya: dengan
mengelola tanah, kehidupan dapat
terus berkelanjutan sampai ke
generasi penerus. Bila tanah dijual,
besar risiko uang hasil penjualan
akan lenyap tak bersisa, tanpa ada
yang dapat diwariskan kepada
anak-cucu. Kesadaran ini terba-
ngun berdasarkan kenyataan yang
sudah terjadi pada beberapa
penduduk desa, yang awalnya
menjual tanah kepada perusahaan
tambang, namun akhirnya tidak
memiliki apa pun saat uang hasil
penjualan habis dikonsumsi.
Dalam budaya dan tradisinya,
kehidupan masyarakat selama ini
berbasis pada sistem agraris, di
mana seluruh sikap, pengetahuan,
keterampilan dan budaya dicurah-
kan untuk pengelolaan tanah dan
lahan. Akan menjadi masalah besar
bila mereka tiba-tiba melepaskan
tanahnya, walaupun diganti dengan
sejumlah uang. Persoalan besar
muncul sebab tanpa sikap,
pengetahuan, keterampilan serta
budaya pengelolaan uang, hasil
penjualan tanah tersebut berapa
pun jumlahnya akan habis tak
bersisa. Akibatnya adalah proses
pemiskinan penduduk karena: tidak
memiliki alat produksi lagi.
Salah satu argumen perusahaan
tambang untuk membenarkan
kehadiran mereka adalah,
kehadiran industri tambang akan
menyediakan lapangan kerja bagi
penduduk desa. Ada ironi dalam
argumen ini, ketika staf dari PT.
DPM, Osdiman Siagian, mengakui
bahwa mayoritas penduduk di
sekitar pertambangan hanya
bekerja sebagai buruh kasar atau
buruh rendah karena pendidikan
dan keterampilan mereka minim.
Staf PDPK Parongil, Debby Manalu,
selaku pendamping masyarakat
dalam menghadapi isu ini,
menyayangkan pernyataan terse-
but. Klaim menyediakan lapangan
kerja seolah identik anggapan
bahwa menjadi petani yang
mengelola lahan dengan tekun
bukanlah pekerjaan. Padahal
profesi petani hakikatnya adalah
pekerjaan yang mulia karena
berperan dalam memelihara
keberlangsungan hidup di bumi.
Pemberian lapangan kerja sebagai
buruh kasar pertambangan pun
dapat membuka celah kemiskinan
baru, yaitu ketika masyarakat
sebagai buruh rendah dan buruh
kasar menerima upah murah dan
harus mencukupkan seluruh
kebutuhan hidupnya dengan hanya
bergantung pada upah tersebut,
karena kebutuhan-kebutuhan yang
selama ini tercukupi dari
pengelolaan tanah dan lahan tidak
dapat lagi terpenuhi sejak
masyarakat beralih profesi.
Pdt. Gomar Gultom, Sekum PGI,
menyatakan gereja harus terus
memberikan perhatian terhadap
isu-isu lingkungan. Untuk ini dua
indikator utama yang dapat
menjadi dasar Gereja untuk
menolak aktivitas pembangunan
adalah: a) aktivitas tersebut hanya
menguntungkan sekelompok orang,
bukan masyarakat keseluruhan; b)
bila pembangunan tidak mem-
perhatikan kepentingan jangka
panjang dengan tindakan yang
merusak alam. Terkait imbauan ini,
Sarah Naibaho, staf PDPK Parongil,
mengungkapkan bahwa di sebuah
desa dekat lokasi pertambangan,
ada HKBP Sopokomil yang akan
melakukan kesepakatan tukar-
guling dengan PT. DPM, agar lokasi
gereja tersebut dapat digunakan
sebagai lahan pembuangan limbah
tambang (tailing). Sebagai gan-
tinya, perusahaan akan menye-
diakan lahan baru dengan berbagai
fasilitas bagi pihak gereja. PDPK
Parongil terus coba membangun
kesadaran di masyarakat bahwa
ini bukanlah permasalahan tukar-
guling, ganti rugi atau pemberian
lahan dan fasilitas bagi gereja,
melainkan prinsip bahwa bila
gereja mau berkompromi dan
menyerahkan dirinya kepada
perusahaan yang berpotensi
merusak lingkungan, itu artinya
gereja gagal menjalankan tugasnya
untuk menjaga keutuhan ciptaan
Tuhan.
Di akhir liputan, disadari bersama
bahwa pembangunan ekonomi
memang dibutuhkan, namun setiap
proses dan keputusan pemba-
ngunan harus selalu berdasarkan
konteks masyarakat saat ini.
Konteks saat ini adalah,
masyarakat serta daerah Parongil
merupakan entitas kehidupan
berbasis pertanian, perkebunan
dan peternakan, sebagai “mata air”
kehidupan mereka. Seluruh basis
kehidupan tersebut sangat
bergantung pada kelestarian alam
dan daya dukung lingkungan.
(Prana Sunaryo)