SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  14
SERTIFIKASI, PROFESIONALISME GURU
                            Oleh: Dr. H. Endang Komara, M.Si.


        Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) disahkan
pada Desember 2005, sertifikasi menjadi istilah yang sangat populer dan menjadi topik
pembicaraan yang hangat pada setiap pertemuan, baik di kalangan akademisi, guru
maupun masyarakat. Dengan diberlakukan UUGD minimal memiliki tiga fungsi.
Pertama sebagai landasan yuridis bagi guru dari perbuatan semena-mena dari siswa,
orang tua dan masyarakat. Kedua untuk meningkatkan profesionalisme guru. Ketiga
untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Baik yang berstatus sebagai pegawai negeri
(PNS) ataupun non PNS.
        UUGD seakan menjadi ‘angin surga’ bagi guru di seluruh wilayah Indonesia
yang notabene termasuk kelompok yang masih perlu peningkatan dari sisi finansial dan
penghargaan profesinya. Namun, persepsi seperti itu cenderung berpotensi menyesatkan
arah perhelatan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di negeri tercinta ini.
Mengapa demikian? Sebab hal ikhwal yang terkait dengan sertifikasi dan upaya
peningkatan kesejahteraan guru harus diletakkan dalam kerangka peningkatan mutu
pendidikan, baik dari sisi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan. Kerangka
pikir dan landasan peningkatan mutu pendidikan sebagaimana termaktub dalam Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
        Guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia diwajibkan memenuhi tiga
persyaratan seperti dijelaskan oleh Muchlas Samani (2006:7), yaitu kualifikasi
pendidikan minimum, kompetensi, dan sertifikasi pendidik. Ketiga persyaratan untuk
menjadi guru sesuai dengan Pasal 1 butir (12) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikat
pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan
dosen sebagai tenaga profesional. Sementara itu, pada Pasal 11 ayat (1) juga disebutkan
bahwa sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.
Untuk itu, guru dapat memperoleh sertifikat pendidik jika telah memenuhi dua syarat,
yaitu kualifikasi pendidikan minimum yang ditentukan (diploma-D4/sarjana S1) dan
terbukti telah menguasai kompetensi tertentu. Untuk itu, sebenarnya syarat untuk menjadi
guru bila dicermati lebih dalam hanya ada dua, yaitu kualifikasi akademik minimum
(ijazah D4/S1) dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru yang dibuktikan
dengan sertifikat pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat di atas, yaitu
kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru.
        Guru memiliki peran yang strategis dalam bidang pendidikan, bahkan sumberdaya
pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti apabila tidak disertai dengan
kualitas guru yang memadai. Begitu juga yang terjadi sebaliknya, apabila guru
berkualitas kurang ditunjang oleh sumberdaya pendukung yang lain yang memadai, juga
dapat menyebabkan kurang optimal kinerjanya. Dengan kata lain, guru merupakan ujung
tombak dalam upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan. Dalam berbagai
kasus, kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru
(Beeby, 1969). Untuk itu, peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan melalui upaya
peningkatan kualitas guru. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kualitas guru di
Indonesia masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak
terpenuhinya kualitas pendidikan minimal. Data dari Direktorat Tenaga Kependidikan
Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat 991.243 (45,96%) guru
SD, SMP dan SMA yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal.
        Sebagai gambaran rinci keadaan kualifikasi pendidikan minimal guru di Indonesia
sebagai berikut: Guru TK yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar
119.470 (78,1%) dengan sebagian besar 32.510 orang berijazah SLTA. Di tingkat SD,
guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 391.507 (34%) yang
meliputi sebanyak 378.740 orang berijazah SMA dan sebanyak 12.767 orang berijazah
D1. Di tingkat SMP, jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal
sebesar 317.112 (71,2%) yang terdiri atas 130.753 orang berijazah D1 dan 82.788 orang
berijazah D2. Begitu juga di tingkat SMA, terdapat 87.133 (46,6%) guru yang belum
memiliki kualifikasi pendidikan minimal, yakni sebanyak 164 orang berijazah D1, 15.589
orang berijazah D2, dan 71.380 orang berijazah D3.
             Gambaran jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal
tersebut akan semakin besar persentasenya bila dilihat dari persyaratan kualifikasi
pendidikan minimal guru yang dituntut oleh PP No. 19/2005 tentang SNP. Di samping
itu, pada Pasal 28 PP tersebut, juga mempersyaratkan seorang guru harus memenuhi
kompetensi minimal sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan anak usia dini,
dasar, dan menengah. Kompetensi sebagai agen pembelajaran ini meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
        Isi Pasal 1 butir (11) UUGD menyebutkan bahwa sertifikasi adalah proses
pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen. Tentu saja dengan logika bahwa
yang bersangkutan terbukti telah menguasai kedua hal yang dipersyaratkan di atas
(kualifikasi pendidikan minimum dan penguasaan kompetensi guru). Untuk kualifikasi
pendidikan minimum, buktinya dapat diperoleh melalui ijazah (D4/S1). Namun sertifikat
pendidik sebagai bukti penguasaan kompetensi minimal sebagai guru harus dilakukan
melalui suatu evaluasi yang cermat dan komprehensif dari aspek-aspek pembentuk sosok
guru yang kompeten dan profesional. Tuntutan evaluasi yang cermat dan komprehensif
ini berlandaskan pada isi Pasal 11 ayat (3) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikasi
pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Jadi sertifikasi guru
dari sisi proses akan berbentuk uji kompetensi yang cermat dan komprehensif. Jika
seorang guru/calon guru dinyatakan lulus dalam uji kompetensi ini, maka dia berhak
memperoleh sertifikat pendidik.
        Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan tingkat kelayakan seorang guru
dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus
memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji
sertifikasi. Adapun manfaat uji sertifikasi sebagai berikut. Pertama, melindungi profesi
guru dari praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra
profesi guru itu sendiri. Keduai, melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang
tidak berkualitas dan profesional yang akan menghambat upaya peningkatan kualitas
pendidikan dan penyiapan sumberdaya manusia di negeri ini. Ketiga, menjadi wahana
penjamin mutu bagi LPTK yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi
sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan. Keempat, menjaga lembaga
penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang potensial dapat
menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
        Bentuk uji kompetensi dalam pelaksanaan sertifikasi guru. Wacana yang
berkembang dalam penyusunan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Guru, uji
kompetensi tersebut terdiri atas dua bagian, yaitu: (1) ujian tertulis dan (2) ujian kinerja.
Untuk melengkapi kedua jenis tersebut, peserta sertifikasi juga akan diminta untuk
menyusun self appraisal dan portofolio.
          Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi. Untuk meyakinkan bahwa guru sebagai pekerjaan profesional maka
syarat pokok pekerjaan profesional menurut Wina Sanjaya (2005:142-143): (1) pekerjaan
profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin
didapatkan dari lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada
keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah; (2) suatu
profesi menekankan kepada suatu keahlian dalm bidang tertentu yang spesifik sesuai
dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat
dipisahkan secara tegas; (3) tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan
kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat,
sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya,
semakin tinggi pula tingkat keahliannya dengan demikian semakin tinggi pula tingkat
penghargaan yang diterimanya; (4) suatu profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga
memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki
kepekaan yang sangat tinggi terhadap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan profesinya.
Sebagai suatu profesi, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu
kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan.
        Melalui sertifikasi diharapkan dapat dipilah mana guru yang profesional mana
yang tidak sehingga yang berhak menerima tunjangan profesi adalah guru profesional
yang bercirikan berilmu pengetahuan, berlaku adil, berwibawa dan menguasai bidang
yang ditekuninya. Semoga.
                                         REFERENSI



Direktorat P2TK dan KPT, Ditjen Dikti, Depdiknas R.I. 2004. Standar Kompetensi Guru
         Pemula PGSMK. Jakarta.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Samani, Muchlas, dkk. 2006. Mengenai Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: SIC.
Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis
         Kompetensi. Jakarta: Prenada Media.
Tim Sertifikasi Guru dan Lulusan. 2006. Bahan Sosialisasi Sertifikasi Guru. Jakarta:
         Direktorat Ketenagaan, Ditjen Pendidikan Tinggi.
Upaya Meningkatkan Profesionalisme
 Guru
Oleh Dede Mohamad Riva, S.Pd.

Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis,
kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru
juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik.

Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-
prinsip profesional. Mereka harus (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan
idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai
dengan bidang tugasnya, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang
tugasnya.

Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode etik profesi, (5) memiliki hak dan
kewajiban dalam melaksanakan tugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan
sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan
profesinya secara berkelanjutan, (8) memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas profesionalnya, dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan
hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).

Bila kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia
pendidikan di Indonesia masih memiliki titik lemah pada hal-hal berikut. (1) Kualifikasi
dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Di lapangan banyak di
antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan
dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya.

(2) Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional
seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif,
personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga
memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. (3)
Penghasilan tidak ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.

Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan
yang sama. Memang benar sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program
tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru. Sertifikasi hanya dapat diikuti
oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif.

(4) Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak
guru yang terjebak pada rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah
pengembangan kompetensi diri ataupun karier. Hal itu terindikasi dengan minimnya
kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan
guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru
haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami
peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan.
Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru
menjadi teladan atau role model.

Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan
penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Hal-hal yang dapat dilakukan
di antaranya (1) penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme adalah kompetensi.
Sementara itu, pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan. Caranya, tiada
lain dengan pelatihan.

(2) Pembinaan perilaku kerja. Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad
ke-20 dan penelitian-penelitian manajemen dua puluh tahun belakangan bermuara pada
satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai wilayah kehidupan ternyata
ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja.

(3) Penciptaan waktu luang. Waktu luang (leisure time) sudah lama menjadi sebuah
bagian proses pembudayaan. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi)
adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat", dalam arti semakin
memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian
(personal).

(4) Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun"
manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang
cukup.

Penulis, guru SMP Negeri 3 Kota Bogor, pemenang II lomba penulisan yang
diselenggarakan AGP-PGRI Jawa Barat 2007/2008.

Penulis:
Back

Profesionalisme Guru Menuju Sertifikasi

Oleh Ade Sofyandi, S.Pd.

SALAH satu alternatif yang paling strategis dalam memecahkan masalah pendidikan
bangsa adalah membangun landasan pendidikan yang kokoh dan terkontrol, yaitu
pembangunan profesionalisme pendidik (Suherdi, 2007).

Pembangunan profesionalisme pendidik telah menjadi perhatian pemerintah, di antaranya
dengan diterbitkannya Undang-Undang RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Undang-Undang RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan
Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan
bahwa guru adalah pendidik profesional.
Salah satu syarat guru sebagai pendidik profesional adalah memiliki kualifikasi akademik
dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Hal tersebut erat kaitannya
dengan sertifikasi guru sebagai salah satu upaya peningkatan mutu guru dan dibarengi
dengan peningkatan kesejahteraan guru sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu
pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Untuk mencapai kualifikasi akademik yang dipersyaratkan di dalam sertifikasi, para guru
termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S-1 di sela-sela kesibukannya
mengajar meskipun dengan biaya sendiri.

Ketika keran sertifikasi guru dibuka, mulailah para guru mengumpulkan dan melengkapi
beberapa persyaratan administratif untuk portofolio. Sambil menyusun portofolio, dalam
benak terbayang, gaji yang sangat besar dan pemanfaatannya sudah terperinci. Bahkan,
ada salah seorang guru akan membuat "kamar khusus" dan brankas untuk menyimpan
gaji dari sertifikasi guru yang tidak akan diganggu dalam beberapa tahun sebagai dana
abadi. Itulah kira-kira yang dilakukan para guru ketika sertifikasi guru dibuka.

Pada saat pengumpulan bukti fisik, kendala mulai terasa karena tidak semua kegiatan
memiliki surat keterangan atau piagam dan tanda penghargaan. Selain itu, dokumen yang
sudah ada pun tidak lengkap karena kurang baik dalam hal pendokumentasian dan
kearsipan sehingga ketika harus melengkapi persyaratan menjadi kelabakan. Akhirnya
surat-surat keterangan "serbadadakan".

Kendala yang paling besar yaitu karya tulis ilmiah. Kemampuan untuk pengembangan
profesi seperti pembuatan karya ilmiah dan sejenisnya menjadi hambatan terbesar dan
merupakan masalah tersendiri. Hal tersebut dialami juga pada sistem penetapan angka
kredit. Salah satu buktinya adalah menumpuknya golongan IV/a yang akan naik ke IV/b.

Meskipun ada berbagai kendala, tetapi portofolio berhasil dikumpulkan. Hasilnya pun
seperti telah diperkirakan sebelumnya, ternyata yang lolos sertifikasi tidak terlalu banyak.
Yang lolos tersebut tentunya adalah guru-guru yang memiliki produktivitas serta
profesionalisme yang tinggi sehingga bagi mereka tidak akan sulit untuk memperoleh
skor minimal 850, bahkan lebih.

Tentunya para guru yang lolos sertifikasi tersebut tidak lepas dari jasa-jasa dan
perjuangan para guru yang sebentar lagi akan menghadapi pensiun dan kebetulan belum
memiliki kualifikasi akademik yang dipersyaratkan. Oleh karena itu, diharapkan ada
kebijakan lain, tetapi tetap menunjung aspek profesionalisme.

Sementara bagi guru-guru yang masih relatif muda, didorong untuk dapat
mengembangkan profesionalisme dan meningkatkan produktivitasnya. Selain itu, perlu
diberi kesempatan yang sama kepada setiap guru untuk mengembangkan karier dan
keahliannya.

Dengan demikian, sertifikasi profesi guru bukanlah menjadi sesuatu yang mustahil diraih,
tetapi sesuatu yang mesti diraih. Sertifikasi adalah bukan hak yang mesti setiap orang
dapat menerima dan meraihnya, tetapi merupakan penghargaan bagi para guru yang telah
mengabdi bagi dunia pendidikan dengan penuh tanggung jawab sebagai seorang
profesional.***

Penulis, guru SDN Karamatwangi II, Kec. Cisurupan Kabupaten Garut, pemenang IV
lomba menulis yang diselenggarakan AGP-PGRI Jawa Barat 2007/2008.

Penulis:


SIKAP DAN PERILAKU GURU YANG PROFESIONAL

               Judul: SIKAP DAN PERILAKU GURU YANG PROFESIONAL
   Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
                        Nama & E-mail (Penulis): Rustantiningsih
                       Saya Guru di SDN Anjasmoro 02 Semarang
                                Topik: Pendidikan Sikap
                     Tanggal: 3 Agustus 2007 BAB IPENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap
keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan
peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Ketika orang tua mendaftarkan
anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat
berkembang secara optimal (Mulyasa, 2005:10).
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal
tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual.
Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing, dan
membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia
(SDM).
Ironisnya kekawatiran di dunia pendidikan kini menyeruak ketika menyaksikan tawuran antar
pelajar yang bergejolak dimana-mana. Ada kegalauan muncul kala menjumpai realitas bahwa
guru di sekolah lebih banyak menghukum daripada memberi reward siswanya. Ada kegundahan
yang membuncah ketika sosok guru berbuat asusila terhadap siswanya.
Dunia pendidikan yang harusnya penuh dengan kasih sayang, tempat untuk belajar tentang
moral, budi pekerti justru sekarang ini dekat dengan tindak kekarasan dan asusila. Dunia yang
seharusnya mencerminkan sikap-sikap intelektual, budi pekerti, dan menjunjung tinggi nilai
moral, justru telah dicoreng oleh segelintir oknum pendidik (guru) yang tidak bertanggung jawab.
Realitas ini mengandung pesan bahwa dunia guru harus segera melakukan evaluasi ke dalam.
Sepertinya, sudah waktunya untuk melakukan pelurusan kembali atas pemahaman dalam
memposisikan profesi guru.
Kesalahan guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru
secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-sama
membawa kepentingan dan salng membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling
membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh dari
suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak
didalamnya mudah frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang
tidak benar.
Untuk itulah makalah ini saya susun sebagai bahan kajian bagi guru atau pendidik agar dapat
berperilaku dan bersikap profesional dalam menjalankan tugas mulia ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka permasalahan yang hendak dikaji adalah:
1. Bagaimana sikap dan perilaku guru yang profesional itu?
2. Mengapa sikap dan perilaku guru bisa menyimpang?
C. Manfaat dan Tujuan
1. Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:
a. Mendeskripsikan penyebab sikap dan perilaku guru bisa menyimpang.
b. Mendeskripsikan sikap dan perilaku guru yang profesional.
2. Manfaat penyusunan makalah ini secara:
a. Teoretis, untuk mengkaji sikap dan perilaku guru yang profesional.
b. Praktis, bermanfaat bagi: (1) para pendidik agar pendidik dapat bersikap dan berperilaku
profesional, (2) para kepala sekolah, untuk memberikan pembinaan kepada para pendidik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Sikap dan Perilaku
Thursthoen dalam Walgito (1990: 108) menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran kepribadian
seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan
atau suatu objek. Berkowitz, dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada suatu
objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan
untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu
senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari
sesuatu.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan,
pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak
sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi
suatu objek.
Struktur sikap siswa terhadap konselor terdiri dari tiga komponen yang terdiri atas:
1. Komponen kognitif
Komponen ini berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan tentang objek. Hal
tersebut berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap.
2. Komponen afektif
Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap sikap. Perasaan
tersebut dapat berupa rasa senang atau tidak senang terhadap objek, rasa tidak senang
merupakan hal yang negatif.. komponen ini menunjukkan ke arah sikap yaitu positif dan negatif.
Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek
sikap (Azwar, 2000:26), secara umum komponen afektif disamakan dengan perasaan yang
dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda
perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.
3. Komponen konatif
Komponen ini merupakan kecenderungan seseorang untuk bereaksi, bertindak terhadap objek
sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan
bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Komponen-komponen tersebut di
atas merupakan komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen tersebut saling
berhubungan dan tergantung satu sama lain. Saling ketergantungan tersebut apabila seseorang
menghadapi suatu objek tertentu, maka melalui komponen kognitifnya akan terjadi persepsi
pemahaman terhadap objek sikap. Hasil pemahaman sikap individu mengakui dapat
menimbulkan keyakinan-keyakinan tertentu terhadap suatu objek yang dapat berarti atau tidak
berarti. Dalam setiap individu akan berkembang komponen afektif yang kemudian akan
memberikan emosinya yang mungkin positif dan mungkin negatif. Bila penilaiannya positif akan
menimbulkan rasa senang, sedangkan penilaian negatif akan menimbulkan perasaan tidak
senang. Akhirnya berdasarkan penilaian tersebut akan mempengaruhi konasinya, melalui inilah
akan mendapat diketahui apakah individu ada kecenderungan bertindak dalam bertingkah laku,
baik hanya secara lisan maupun bertingkah laku secara nyata.
Katz (dalam Walgito, 1990:110) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai empat fungsi, yaitu:
1. Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian, atau fungsi manfaat.
Fungsi ini berkaitan dengan sarana tujuan. Di sini sikap merupakan sarana untuk mencapai
tujuan. Orang memandang sampai sejauh mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana
dalam mencapai tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya,
maka orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Demikian sebaliknya bila objek
sikap menghambat dalam pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap objek
sikap tersebut. Fungsi ini juga disebut fungsi manfaat, yang artinya sampai sejauh mana manfaat
objek sikap dalam mencapai tujuan. Fungsi ini juga disebut sebagai fungsi penyesuaian, artinya
sikap yang diambil seseorang akan dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap sekitarnya.
2. Fungsi pertahanan ego
Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi untuk mempertahankan ego atau akunya.
Sikap diambil seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam dalam keadaan dirinya
atau egonya, maka dalam keadaan terdesak sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan ego.
3. Fungsi ekspresi nilai
Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai
yang ada dalam dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan
dan dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan mengambil nilai sikap tertentu, akan dapat
menggambarkan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan.
4. Fungsi pengetahuan
Fungsi ini mempunyai arti bahwa setiap individu mempunyai dorongan untuk ingin tahu. Dengan
pengalamannya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun
kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila seseorang
mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang
tersebut objek sikap yang bersangkutan.
Proses timbulnya atau terbentuknya sikap dapat dilihat pada bagan sikap berikut ini:
Faktor                                                                                      Internal
-                                                                                         Fisiologis
- PsikologisObjek Sikap
Sikap
Faktor                                                                                     Eksternal
-                                                                                      Pengalaman
-                                                                                            Situasi
-                                                                                     Norma-norma
-                                                                                        Hambatan
- Pendorong
Reaksi
Bagan 1 : Bagan Proses Timbulnya Sikap
Dari bagan di atas tersebut dapat dikembangkan bahwa sikap yang ada pada diri seseorang
akan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis serta faktor eksternal.
Faktor eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, norma-norma yang ada
dalam masyarakat, hambatan-hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam
masyarakat. Semuanya ini akan berpengaruh terhadap sikap yang ada pada diri seseorang.
Sementara itu reaksi yang diberikan individu terhadap objek sikap dapat bersifat positif, tetapi
juga dapat bersifat negatif. Sikap yang diambil pada diri individu dapat diikuti dalam bagan berikut
ini:
     • Keyakinan
     • Proses Belajar
     • Cakrawala
     • Pengalaman
     • Pengetahuan
     • Objek Sikap
     • Persepsi
     • Faktor- Faktor lingkungan yang berpengaruh
     • Kepribadian
     • Kognisi
     • Afeksi
•   Konasi
   •   Sikap
Bagan 2 : Bagan Perseps dikutip dari Mar’at (1982:23) dengan perubahan.
Dilihat dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa sikap akan dipersepsi oleh
individu dan hasil persepsi akan dicerminkan dalam sikap yang diambil oleh
individu yang bersangkutan. Dalam persepsi objek sikap individu akan
dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, keyakinan, proses belajar, dan
hasil proses persepsi ini akan merupakan pendapat atau keyakinan individu
mengenai objek sikap dan ini berkaitan dengan segi kognisi. Afeksi akan
mengiringi hasil kognisi terhadap objek sikap sebagai aspek evaluatif, yang
dapat bersifat positif atau negatif. Hasil evaluasi aspek afeksi akan mengait segi
konasi, yaitu merupakan kesiapan untuk memberikan respon terhadap objek
sikap, kesiapan untuk bertindak dan untuk berperilaku. Keadaan lingkungan
akan memberikan pengaruh terhadap objek sikap maupun pada individu yang
bersangkutan.
Bringham dalam Azwar (2000:138) menjelaskan tipe ukuran sikap yang paling
sering dipakai adalah questioner self-report yang disebut skala sikap dan
biasanya meliputi respon setuju atau tidak dalam beberapa kelompok-kelompok.
Ukuran self-report mudah digunakan namun ukuran itu dapat memiliki sifat
kemenduaan (ambiguity) atau adanya ukuran lain. Sikap dari skala sikap ini
adalah isi pernyataan yang berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan
ukuran atau pernyataan tidak langsung yang kurang jelas untuk tujuan
ukurannya bagi responden.
Mengukur sikap bukan suatu hal yang mudah sebab sikap adalah
kecenderungan, pandangan pendapat, atau pendirian seseorang untuk meneliti
suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya, dengan
menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek. Dalam
penelitian sikap, tergantung pada kepekaan dan kecermatan pengukurannya.
Perlu diperhatikan metode yang berhubungan dengan pengukuran sikap,
bagaimana instrumen itu dapat dikembangkan dan digunakan untuk mengukur
sikap. Azwar (2000:90) menjelaskan bahwa, metode yang bisa digunakan untuk
pengungkapan sikap yaitu:
1. Observasi perilaku
Kalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten (terulang) misalnya
tidak pernah mau diajak nonton film Indonesia, bukanlah dapat disimpulkan
bahwa ia tidak menyukai film Indonesia. Orang lain yang selalu memakai baju
warna putih, bukankah dia memperlihatkan sikapnya terhadap warna putih.
Perilaku tertentu bahkan kadang-kadang sengaja ditampakkan untuk
menyembunyikan sikap yang sebenarnya. Dengan demikian, perilaku yang
diamati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dalam kontek situasional
tertentu, tetapi interpretasi sikap warna sangat berhati-hati apabila hanya
didasarkan dari pengamatan terhadap perilaku yang ditampakkan oleh
seseorang.
2. Pertanyaan langsung
Asumsi yang mendasari metode pertanyaan langsung guna pengungkapan
sikap, pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu
mengenai dirinya sendiri, dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa
manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya.
3. Pengungkapan langsung
Suatu metode pertanyaan langsung adalah pengungkapan langsung (direct
assessment) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan item
tunggal maupun dengan menggunakan item ganda. Prosedur pengungkapan
langsung dengan item ganda sangat sederhana. Responden diminta untuk
menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda
setuju atau tidak setuju. Penyajian dan pemberian respondennya yang dilakukan
secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan sikap secara lebih
jujur. Pengukuran sikap yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pengungkapan langsung yaitu dengan menggunakan skala
psikologis yang diberikan pada objek.
B. Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional
Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru,
antara lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui
pendidikan formal bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih
tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak
penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang yang
menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi.
Latar belakang pendidikan ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas
pendidikan, bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun
dalam kenyataannya banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan.
Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh guru dalam
pembelajaran ada tujuh kesalahan. Kesalahan-kesalahan itu antara lain:
    1. mengambil jalan pintas dalam pembelajaran,
    2. menunggu peserta didik berperilaku negatif,
    3. menggunakan destruktif discipline,
    4. mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta
        didik,
    5. merasa diri paling pandai di kelasnya,
    6. tidak adil (diskriminatif), serta
    7. memaksakan hak peserta didik (Mulyasa, 2005:20).
Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang
profesional harus memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang
dalam Undang-Undang Dosen dan Guru, yakni:
    1. kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran
        peserta didik,
    2. kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap,
        berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik,
    3. kompetensi profesional adalah kamampuan penguasaan materi pelajaran
        luas mendalam,
    4. kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
        berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
        orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif. Respon hanya akan timbul,
apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki adanya
reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan
sebagai sikap itu timbul didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang
memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik buruk, positif
negati, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal
sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2000: 15).
Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat
dari adanya aksi respon dan reaksi. Menurut Mann dalam Azwar (2000) sikap
merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu
bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini
dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata namun
juga ditentukan faktor eksternal lainnya.
Menurut penuturan R.Tantiningsih dalam Wawasan 14 Mei 2005, ada beberapa
upaya yang dapat dilakukan agar beberapa sikap dan perilaku menyimpang
dalam dunia pendidikan dapat hindari, diantaranya: Pertama, menyiapakan
tenaga pendidik yang benar-benar profesional yang dapat menghormati siswa
secara utuh. Kedua, guru merupakan key succes factor dalam keberhasilan budi
pekerti. Dari guru siswa mendapatkan action exercise dari pembelajaran yang
diberikan. Guru sebagai panutan hendaknya menjaga image dalam bersikap dan
berperilaku. Ketiga, Budi pekerti dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah.
Kempat, adanya kerjasama dan interaksi yang erat antara siswa, guru (sekolah),
dan orang tua.
Terkait dengan hal di atas, Hasil temuan dari universitas Harvard bahwa 85 %
dari sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain-
lain adalah karena sikap-sikap seseorang. Hanya 15 % disebabkan oleh keahlian
atau kompetensi teknis yang dimiliki (Ronnie, 2005:62).
Namun sayangnya justru kemampuan yang bersifat teknis ini yang menjadi
primadona dalam istisusi pendidikan yang dianggap modern sekarang ini.
Bahkan kompetensi teknis ini dijadikan basis utama dari proses belajar
mengajar. Jelas hal ini bukan solusi, bahkan akan membuat permasalahan
semakin menjadi. Semakin menggelembung dan semakin sulit untuk diatasi.
Menurut Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar
dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku
pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar
pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain:
    1. kasih sayang,
    2. penghargaan,
    3. pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
    4. kepercayaan,
    5. kerjasama,
    6. saling berbagi,
    7. saling memotivasi,
    8. saling mendengarkan,
    9. saling berinteraksi secara positif,
    10. saling menanamkan nilai-nilai moral,
11. saling mengingatkan dengan ketulusan hati,
    12. saling menularkan antusiasme,
    13. saling menggali potensi diri,
    14. saling mengajari dengan kerendahan hati,
    15. saling menginsiprasi,
    16. saling menghormati perbedaan.
Jika para pendidik menyadari dan memiliki menerapkan 16 pilar pembangunan
karakter tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada
masyarakat dan negaranya.
C. Faktor Penyebab Sikap dan Perilaku Guru Menyimpang
Pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Berbagai
upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilaksanakan
walapun belum menunjukkan hasil yang optimal. Pendidikan tidak bisa lepas dari
siswa atau peserta didik. Siswa merupakan subjek didik yang harus diakui
keberadaannya. Berbagai karakter siswa dan potensi dalam dirinya tidak boleh
diabaikan begitu saja. Tugas utama guru mendidik dan mengembangkan
berbagai potensi itu.
Jika ada pendidik (guru) yang sikap dan perilakunya menyimpang karena
dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, adanya malpraktik (meminjam istilah Prof
Mungin) yaitu melakukan praktik yang salah, miskonsep. Guru salah dalam
menerapkan hukuman pada siswa. Apapun alasannya tindakan kekerasan
maupun pencabulan guru terhadap siswa merupakan suatu pelanggaran.
Kedua, kurang siapnya guru maupun siswa secara fisik, mental, maupun
emosional. Kesiapan fisik, mental, dan emosional guru maupun siswa sangat
diperlukan. Jika kedua belah pihak siap secara fisik, mental, dan emosional,
proses belajar mengajar akan lancar, interaksi siswa dan guru pun akan terjalin
harmonis layaknya orang tua dengan anaknya.
Ketiga, kurangnya penanaman budi pekerti di sekolah. Pelajaran budi pekerti
sekarang ini sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada sifatnya hanya sebagai
pelengkap, lantaran diintegrasikan dengan berbagai mata pelajaran yang ada.
Namun realitas di lapangan pelajaran yang didapat siswa kabanyakan hanya
dijejali berbagai materi. Sehingga nilai-nilai budi pekerti yang harus diajarkan
justru dilupakan.
Selain dari ketiga faktor di atas, juga dipengaruhi oleh tipe-tipe kejiwaan seperti
yang diungkapkan Plato dalam “Tipologo Plato”, bahwa fungsi jiwa ada tiga,
yaitu: fikiran, kemauan, dan perasaan. Pikiran berkedudukan di kepala, kemauan
berkedudukan dalam dada, dan perasaan berkedudukan dalam tubuh bagian
bawah. Atas perbedaan tersebut Plato juga membedakan bahwa pikiran itu
sumber kebijakasanaan, kemauan sumber keberanian, dan perasaan sumber
kekuatan menahan hawa nafsu.
Jika pikiran, kemauan, perasaan tidak sinkron akan menimbulkan permasalahan.
Perasaan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, akibatnya kemauan tidak
terkendali dan pikiran tidak dapat berpikir bijak. Agar pendidikan di Indonesia
berhasil, paling tidak pendidik memahami faktor-faktor tersebut. Kemudian
mampu mengantisipasinya dengan baik. Sehingga kesalahan-kesalahan guru
dalam sikap dan perilaku dapat dihindari.
Bagaimanapun juga kualitas pendidikan di Indonesia harus mampu bersaing di
dunia internasional. Sikap dan perilaku profesional seorang pendidik akan
mampu membawa dunia pendidikan lebih berkualitas. Dengan demikian
diharapkan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu
membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku guru yang
profesional adalah mampu menjadi teladan bagi para peserta didik, mampu
mengembangkan kompetensi dalam dirinya, dan mampu mengembangkan
potensi para peserta didik. Sikap dan perilaku guru yang profesional mencakup
enam belas pilar dalam pembangun karakter. Keenam belas pilar tersebut, yakni
kasih sayang, penghargaan, pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
kepercayaan, kerjasama, saling berbagi, saling memotivasi, saling
mendengarkan, saling berinteraksi secara positif, saling menanamkan nilai-nilai
moral, saling mengingatkan dengan ketulusan hati, saling menularkan
antusiasme, saling menggali potensi diri, saling mengajari dengan kerendahan
hati, saling menginsiprasi, saling menghormati perbedaan.
Sikap dan perilaku guru dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang
mempengaruhinya berupa faktor eksternal dan internal. Oleh karena itu pendidik
harus mampu mengatasi apabila kedua faktor tersebut menimbulkan hal-hal
yang negatif.
B. Saran
Para pendidik, calon pendidik, dan pihak-pihak yang terkait hendaknya mulai
memahami, menerapkan, dan mengembangkan sikap-sikap serta perilaku dalam
dunia pendidikan melalui teladan baik dalam pikiran, ucapan, dan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar Saifuddin, 2000. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mar’at, 1981. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Mulyasa, 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ronnie M. Dani, 2005. Seni Mengajar dengan Hati. Jakarta: Alex Media
Komputindo.
R. Tantiningsih, 2005. Guru Cengkiling dan Amoral. Koran Harian Sore
Wawasan. 14 Mei 2005.
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: BP.
Media Pustaka Mandiri.
Walgito, Bimo 1990. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Yayasan
Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.

Contenu connexe

Tendances

Profesional guru dalam peningkatan mutu kependidikan
Profesional guru dalam peningkatan mutu kependidikanProfesional guru dalam peningkatan mutu kependidikan
Profesional guru dalam peningkatan mutu kependidikanNoldy Lasmana
 
Makalah profesi kependidikan (syarat, kewajiban dan hak guru)
Makalah profesi kependidikan (syarat, kewajiban dan hak guru)Makalah profesi kependidikan (syarat, kewajiban dan hak guru)
Makalah profesi kependidikan (syarat, kewajiban dan hak guru)R Nadhir
 
Pengertian profesi pendidikan
Pengertian profesi pendidikanPengertian profesi pendidikan
Pengertian profesi pendidikanronald valther
 
Upaya Meningkatkan Profesionalitas Guru
Upaya Meningkatkan Profesionalitas GuruUpaya Meningkatkan Profesionalitas Guru
Upaya Meningkatkan Profesionalitas GuruEliza Isandhyta
 
Membangun profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu pendidikan
Membangun profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu pendidikanMembangun profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu pendidikan
Membangun profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu pendidikanAmalinaAzizah
 
Kriteria kurikulum (program) pendidikan profesi keguruan
Kriteria kurikulum (program) pendidikan profesi keguruanKriteria kurikulum (program) pendidikan profesi keguruan
Kriteria kurikulum (program) pendidikan profesi keguruanAnis Ilahi
 
Makalah Profesi Kependidikan
Makalah Profesi KependidikanMakalah Profesi Kependidikan
Makalah Profesi Kependidikanwahyusrisayekti
 
Makalah profesi kependidikan di indonesia SMA 1 RAHA KABUPATEN MUNA
Makalah profesi kependidikan di indonesia SMA 1 RAHA KABUPATEN MUNA Makalah profesi kependidikan di indonesia SMA 1 RAHA KABUPATEN MUNA
Makalah profesi kependidikan di indonesia SMA 1 RAHA KABUPATEN MUNA Operator Warnet Vast Raha
 
27 article text-94-1-10-20191015
27 article text-94-1-10-2019101527 article text-94-1-10-20191015
27 article text-94-1-10-20191015Alfat6
 
KISI - KISI U. T. S PK
KISI - KISI U. T. S PK KISI - KISI U. T. S PK
KISI - KISI U. T. S PK Shiltima Wiska
 
PROFESI PENDIDIKAN
PROFESI PENDIDIKANPROFESI PENDIDIKAN
PROFESI PENDIDIKANharjunode
 
Profesi kependidikan
Profesi kependidikanProfesi kependidikan
Profesi kependidikanLeo Da Mees
 
Pp ke pgri-an (guru dan sertifikasi)
Pp ke pgri-an (guru dan sertifikasi)Pp ke pgri-an (guru dan sertifikasi)
Pp ke pgri-an (guru dan sertifikasi)WaQhyoe Arryee
 
Hakekat profesi keguruan dan perundang undangan
Hakekat profesi keguruan dan perundang undanganHakekat profesi keguruan dan perundang undangan
Hakekat profesi keguruan dan perundang undanganRhea Xtris
 
Hakikat Profesi Kependidikan
Hakikat Profesi KependidikanHakikat Profesi Kependidikan
Hakikat Profesi KependidikanMichelle Rumawir
 

Tendances (19)

Profesional guru dalam peningkatan mutu kependidikan
Profesional guru dalam peningkatan mutu kependidikanProfesional guru dalam peningkatan mutu kependidikan
Profesional guru dalam peningkatan mutu kependidikan
 
Makalah profesi kependidikan (syarat, kewajiban dan hak guru)
Makalah profesi kependidikan (syarat, kewajiban dan hak guru)Makalah profesi kependidikan (syarat, kewajiban dan hak guru)
Makalah profesi kependidikan (syarat, kewajiban dan hak guru)
 
Pengertian profesi pendidikan
Pengertian profesi pendidikanPengertian profesi pendidikan
Pengertian profesi pendidikan
 
Upaya Meningkatkan Profesionalitas Guru
Upaya Meningkatkan Profesionalitas GuruUpaya Meningkatkan Profesionalitas Guru
Upaya Meningkatkan Profesionalitas Guru
 
Membangun profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu pendidikan
Membangun profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu pendidikanMembangun profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu pendidikan
Membangun profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu pendidikan
 
Kriteria kurikulum (program) pendidikan profesi keguruan
Kriteria kurikulum (program) pendidikan profesi keguruanKriteria kurikulum (program) pendidikan profesi keguruan
Kriteria kurikulum (program) pendidikan profesi keguruan
 
Makalah Profesi Kependidikan
Makalah Profesi KependidikanMakalah Profesi Kependidikan
Makalah Profesi Kependidikan
 
Profesi Kependidikan
Profesi KependidikanProfesi Kependidikan
Profesi Kependidikan
 
Makalah profesi kependidikan di indonesia SMA 1 RAHA KABUPATEN MUNA
Makalah profesi kependidikan di indonesia SMA 1 RAHA KABUPATEN MUNA Makalah profesi kependidikan di indonesia SMA 1 RAHA KABUPATEN MUNA
Makalah profesi kependidikan di indonesia SMA 1 RAHA KABUPATEN MUNA
 
27 article text-94-1-10-20191015
27 article text-94-1-10-2019101527 article text-94-1-10-20191015
27 article text-94-1-10-20191015
 
Kompetensi guru
Kompetensi  guruKompetensi  guru
Kompetensi guru
 
KISI - KISI U. T. S PK
KISI - KISI U. T. S PK KISI - KISI U. T. S PK
KISI - KISI U. T. S PK
 
PROFESI PENDIDIKAN
PROFESI PENDIDIKANPROFESI PENDIDIKAN
PROFESI PENDIDIKAN
 
Profesi kependidikan
Profesi kependidikanProfesi kependidikan
Profesi kependidikan
 
Makalah profesi keguruan
Makalah profesi keguruanMakalah profesi keguruan
Makalah profesi keguruan
 
Pp ke pgri-an (guru dan sertifikasi)
Pp ke pgri-an (guru dan sertifikasi)Pp ke pgri-an (guru dan sertifikasi)
Pp ke pgri-an (guru dan sertifikasi)
 
Hakekat profesi keguruan dan perundang undangan
Hakekat profesi keguruan dan perundang undanganHakekat profesi keguruan dan perundang undangan
Hakekat profesi keguruan dan perundang undangan
 
Hakikat profesi
Hakikat profesiHakikat profesi
Hakikat profesi
 
Hakikat Profesi Kependidikan
Hakikat Profesi KependidikanHakikat Profesi Kependidikan
Hakikat Profesi Kependidikan
 

Similaire à Profesionalisme guru

Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan
Kebijakan pemerintah di bidang pendidikanKebijakan pemerintah di bidang pendidikan
Kebijakan pemerintah di bidang pendidikanRiRi Riyanti
 
Ejournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyah
Ejournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyahEjournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyah
Ejournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyahAGUS SETIYONO
 
Ejournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyah
Ejournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyahEjournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyah
Ejournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyahMbakyu Sarah
 
Makalah materi 7 (anasis,via,muti)
Makalah materi 7 (anasis,via,muti)Makalah materi 7 (anasis,via,muti)
Makalah materi 7 (anasis,via,muti)AnasisDerati_
 
Laporan mini riset kelompok serdos
Laporan mini riset kelompok serdosLaporan mini riset kelompok serdos
Laporan mini riset kelompok serdosLilifahrina
 
Tugas 1. isu2 lama dalam pendidikan
Tugas 1. isu2 lama dalam pendidikanTugas 1. isu2 lama dalam pendidikan
Tugas 1. isu2 lama dalam pendidikanJanawir Mrr
 
standar Pendidik.pdf
standar Pendidik.pdfstandar Pendidik.pdf
standar Pendidik.pdfssuser7b48f01
 
standar Pendidik.pdf
standar Pendidik.pdfstandar Pendidik.pdf
standar Pendidik.pdfssuser7b48f01
 
Profesionalisasi Guru
Profesionalisasi GuruProfesionalisasi Guru
Profesionalisasi GuruCartoon Dyqta
 
Power point filsafat
Power point filsafatPower point filsafat
Power point filsafatABDimas
 
PROGRAM SERTIFIKASI GURU DAN MANFAATNYA BAGI PENGEMBANGAN KEPROFESIONALAN GUR...
PROGRAM SERTIFIKASI GURU DAN MANFAATNYA BAGI PENGEMBANGAN KEPROFESIONALAN GUR...PROGRAM SERTIFIKASI GURU DAN MANFAATNYA BAGI PENGEMBANGAN KEPROFESIONALAN GUR...
PROGRAM SERTIFIKASI GURU DAN MANFAATNYA BAGI PENGEMBANGAN KEPROFESIONALAN GUR...universitas negeri jember
 
PPT PERSPEKTIF Kel. 4 Modul 7 & 8 - Copy.pptx
PPT PERSPEKTIF Kel. 4 Modul 7 & 8 - Copy.pptxPPT PERSPEKTIF Kel. 4 Modul 7 & 8 - Copy.pptx
PPT PERSPEKTIF Kel. 4 Modul 7 & 8 - Copy.pptxElviraApriani1
 
Kelayakan Guru
Kelayakan GuruKelayakan Guru
Kelayakan Gurumiezy1989
 

Similaire à Profesionalisme guru (20)

Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan
Kebijakan pemerintah di bidang pendidikanKebijakan pemerintah di bidang pendidikan
Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan
 
Masalah Pendidikan
Masalah PendidikanMasalah Pendidikan
Masalah Pendidikan
 
Makalah daspen
Makalah daspenMakalah daspen
Makalah daspen
 
Ejournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyah
Ejournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyahEjournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyah
Ejournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyah
 
Ejournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyah
Ejournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyahEjournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyah
Ejournal 2 peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan_jemmi ardiansyah
 
Makalah materi 7 (anasis,via,muti)
Makalah materi 7 (anasis,via,muti)Makalah materi 7 (anasis,via,muti)
Makalah materi 7 (anasis,via,muti)
 
Etika Profesi_9 sertifikasi guru
Etika Profesi_9 sertifikasi guruEtika Profesi_9 sertifikasi guru
Etika Profesi_9 sertifikasi guru
 
Laporan mini riset kelompok serdos
Laporan mini riset kelompok serdosLaporan mini riset kelompok serdos
Laporan mini riset kelompok serdos
 
Tugas 1. isu2 lama dalam pendidikan
Tugas 1. isu2 lama dalam pendidikanTugas 1. isu2 lama dalam pendidikan
Tugas 1. isu2 lama dalam pendidikan
 
standar Pendidik.pdf
standar Pendidik.pdfstandar Pendidik.pdf
standar Pendidik.pdf
 
standar Pendidik.pdf
standar Pendidik.pdfstandar Pendidik.pdf
standar Pendidik.pdf
 
Dosen dikti
Dosen diktiDosen dikti
Dosen dikti
 
Artikel tesis
Artikel tesisArtikel tesis
Artikel tesis
 
Profesionalisasi Guru
Profesionalisasi GuruProfesionalisasi Guru
Profesionalisasi Guru
 
kualifikasi dan kompetensi guru.docx
kualifikasi dan kompetensi guru.docxkualifikasi dan kompetensi guru.docx
kualifikasi dan kompetensi guru.docx
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Power point filsafat
Power point filsafatPower point filsafat
Power point filsafat
 
PROGRAM SERTIFIKASI GURU DAN MANFAATNYA BAGI PENGEMBANGAN KEPROFESIONALAN GUR...
PROGRAM SERTIFIKASI GURU DAN MANFAATNYA BAGI PENGEMBANGAN KEPROFESIONALAN GUR...PROGRAM SERTIFIKASI GURU DAN MANFAATNYA BAGI PENGEMBANGAN KEPROFESIONALAN GUR...
PROGRAM SERTIFIKASI GURU DAN MANFAATNYA BAGI PENGEMBANGAN KEPROFESIONALAN GUR...
 
PPT PERSPEKTIF Kel. 4 Modul 7 & 8 - Copy.pptx
PPT PERSPEKTIF Kel. 4 Modul 7 & 8 - Copy.pptxPPT PERSPEKTIF Kel. 4 Modul 7 & 8 - Copy.pptx
PPT PERSPEKTIF Kel. 4 Modul 7 & 8 - Copy.pptx
 
Kelayakan Guru
Kelayakan GuruKelayakan Guru
Kelayakan Guru
 

Profesionalisme guru

  • 1. SERTIFIKASI, PROFESIONALISME GURU Oleh: Dr. H. Endang Komara, M.Si. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) disahkan pada Desember 2005, sertifikasi menjadi istilah yang sangat populer dan menjadi topik pembicaraan yang hangat pada setiap pertemuan, baik di kalangan akademisi, guru maupun masyarakat. Dengan diberlakukan UUGD minimal memiliki tiga fungsi. Pertama sebagai landasan yuridis bagi guru dari perbuatan semena-mena dari siswa, orang tua dan masyarakat. Kedua untuk meningkatkan profesionalisme guru. Ketiga untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Baik yang berstatus sebagai pegawai negeri (PNS) ataupun non PNS. UUGD seakan menjadi ‘angin surga’ bagi guru di seluruh wilayah Indonesia yang notabene termasuk kelompok yang masih perlu peningkatan dari sisi finansial dan penghargaan profesinya. Namun, persepsi seperti itu cenderung berpotensi menyesatkan arah perhelatan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di negeri tercinta ini. Mengapa demikian? Sebab hal ikhwal yang terkait dengan sertifikasi dan upaya peningkatan kesejahteraan guru harus diletakkan dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan, baik dari sisi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan. Kerangka pikir dan landasan peningkatan mutu pendidikan sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia diwajibkan memenuhi tiga persyaratan seperti dijelaskan oleh Muchlas Samani (2006:7), yaitu kualifikasi pendidikan minimum, kompetensi, dan sertifikasi pendidik. Ketiga persyaratan untuk menjadi guru sesuai dengan Pasal 1 butir (12) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikat pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Sementara itu, pada Pasal 11 ayat (1) juga disebutkan bahwa sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Untuk itu, guru dapat memperoleh sertifikat pendidik jika telah memenuhi dua syarat, yaitu kualifikasi pendidikan minimum yang ditentukan (diploma-D4/sarjana S1) dan terbukti telah menguasai kompetensi tertentu. Untuk itu, sebenarnya syarat untuk menjadi guru bila dicermati lebih dalam hanya ada dua, yaitu kualifikasi akademik minimum (ijazah D4/S1) dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat di atas, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru. Guru memiliki peran yang strategis dalam bidang pendidikan, bahkan sumberdaya pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti apabila tidak disertai dengan kualitas guru yang memadai. Begitu juga yang terjadi sebaliknya, apabila guru berkualitas kurang ditunjang oleh sumberdaya pendukung yang lain yang memadai, juga dapat menyebabkan kurang optimal kinerjanya. Dengan kata lain, guru merupakan ujung tombak dalam upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan. Dalam berbagai kasus, kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru (Beeby, 1969). Untuk itu, peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas guru. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualitas pendidikan minimal. Data dari Direktorat Tenaga Kependidikan
  • 2. Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat 991.243 (45,96%) guru SD, SMP dan SMA yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal. Sebagai gambaran rinci keadaan kualifikasi pendidikan minimal guru di Indonesia sebagai berikut: Guru TK yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 119.470 (78,1%) dengan sebagian besar 32.510 orang berijazah SLTA. Di tingkat SD, guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 391.507 (34%) yang meliputi sebanyak 378.740 orang berijazah SMA dan sebanyak 12.767 orang berijazah D1. Di tingkat SMP, jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 317.112 (71,2%) yang terdiri atas 130.753 orang berijazah D1 dan 82.788 orang berijazah D2. Begitu juga di tingkat SMA, terdapat 87.133 (46,6%) guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal, yakni sebanyak 164 orang berijazah D1, 15.589 orang berijazah D2, dan 71.380 orang berijazah D3. Gambaran jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal tersebut akan semakin besar persentasenya bila dilihat dari persyaratan kualifikasi pendidikan minimal guru yang dituntut oleh PP No. 19/2005 tentang SNP. Di samping itu, pada Pasal 28 PP tersebut, juga mempersyaratkan seorang guru harus memenuhi kompetensi minimal sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah. Kompetensi sebagai agen pembelajaran ini meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Isi Pasal 1 butir (11) UUGD menyebutkan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen. Tentu saja dengan logika bahwa yang bersangkutan terbukti telah menguasai kedua hal yang dipersyaratkan di atas (kualifikasi pendidikan minimum dan penguasaan kompetensi guru). Untuk kualifikasi pendidikan minimum, buktinya dapat diperoleh melalui ijazah (D4/S1). Namun sertifikat pendidik sebagai bukti penguasaan kompetensi minimal sebagai guru harus dilakukan melalui suatu evaluasi yang cermat dan komprehensif dari aspek-aspek pembentuk sosok guru yang kompeten dan profesional. Tuntutan evaluasi yang cermat dan komprehensif ini berlandaskan pada isi Pasal 11 ayat (3) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Jadi sertifikasi guru dari sisi proses akan berbentuk uji kompetensi yang cermat dan komprehensif. Jika seorang guru/calon guru dinyatakan lulus dalam uji kompetensi ini, maka dia berhak memperoleh sertifikat pendidik. Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan tingkat kelayakan seorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji sertifikasi. Adapun manfaat uji sertifikasi sebagai berikut. Pertama, melindungi profesi guru dari praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri. Keduai, melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional yang akan menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumberdaya manusia di negeri ini. Ketiga, menjadi wahana penjamin mutu bagi LPTK yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan. Keempat, menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Bentuk uji kompetensi dalam pelaksanaan sertifikasi guru. Wacana yang berkembang dalam penyusunan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Guru, uji
  • 3. kompetensi tersebut terdiri atas dua bagian, yaitu: (1) ujian tertulis dan (2) ujian kinerja. Untuk melengkapi kedua jenis tersebut, peserta sertifikasi juga akan diminta untuk menyusun self appraisal dan portofolio. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Untuk meyakinkan bahwa guru sebagai pekerjaan profesional maka syarat pokok pekerjaan profesional menurut Wina Sanjaya (2005:142-143): (1) pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah; (2) suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalm bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas; (3) tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya, semakin tinggi pula tingkat keahliannya dengan demikian semakin tinggi pula tingkat penghargaan yang diterimanya; (4) suatu profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan profesinya. Sebagai suatu profesi, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan. Melalui sertifikasi diharapkan dapat dipilah mana guru yang profesional mana yang tidak sehingga yang berhak menerima tunjangan profesi adalah guru profesional yang bercirikan berilmu pengetahuan, berlaku adil, berwibawa dan menguasai bidang yang ditekuninya. Semoga. REFERENSI Direktorat P2TK dan KPT, Ditjen Dikti, Depdiknas R.I. 2004. Standar Kompetensi Guru Pemula PGSMK. Jakarta. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Samani, Muchlas, dkk. 2006. Mengenai Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: SIC. Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media. Tim Sertifikasi Guru dan Lulusan. 2006. Bahan Sosialisasi Sertifikasi Guru. Jakarta: Direktorat Ketenagaan, Ditjen Pendidikan Tinggi.
  • 4. Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru Oleh Dede Mohamad Riva, S.Pd. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip- prinsip profesional. Mereka harus (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode etik profesi, (5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen). Bila kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki titik lemah pada hal-hal berikut. (1) Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. (2) Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. (3) Penghasilan tidak ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru. Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif. (4) Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri ataupun karier. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.
  • 5. Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model. Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Hal-hal yang dapat dilakukan di antaranya (1) penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme adalah kompetensi. Sementara itu, pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan. Caranya, tiada lain dengan pelatihan. (2) Pembinaan perilaku kerja. Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penelitian-penelitian manajemen dua puluh tahun belakangan bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. (3) Penciptaan waktu luang. Waktu luang (leisure time) sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudayaan. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat", dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal). (4) Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup. Penulis, guru SMP Negeri 3 Kota Bogor, pemenang II lomba penulisan yang diselenggarakan AGP-PGRI Jawa Barat 2007/2008. Penulis: Back Profesionalisme Guru Menuju Sertifikasi Oleh Ade Sofyandi, S.Pd. SALAH satu alternatif yang paling strategis dalam memecahkan masalah pendidikan bangsa adalah membangun landasan pendidikan yang kokoh dan terkontrol, yaitu pembangunan profesionalisme pendidik (Suherdi, 2007). Pembangunan profesionalisme pendidik telah menjadi perhatian pemerintah, di antaranya dengan diterbitkannya Undang-Undang RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional.
  • 6. Salah satu syarat guru sebagai pendidik profesional adalah memiliki kualifikasi akademik dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Hal tersebut erat kaitannya dengan sertifikasi guru sebagai salah satu upaya peningkatan mutu guru dan dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara menyeluruh dan berkelanjutan. Untuk mencapai kualifikasi akademik yang dipersyaratkan di dalam sertifikasi, para guru termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S-1 di sela-sela kesibukannya mengajar meskipun dengan biaya sendiri. Ketika keran sertifikasi guru dibuka, mulailah para guru mengumpulkan dan melengkapi beberapa persyaratan administratif untuk portofolio. Sambil menyusun portofolio, dalam benak terbayang, gaji yang sangat besar dan pemanfaatannya sudah terperinci. Bahkan, ada salah seorang guru akan membuat "kamar khusus" dan brankas untuk menyimpan gaji dari sertifikasi guru yang tidak akan diganggu dalam beberapa tahun sebagai dana abadi. Itulah kira-kira yang dilakukan para guru ketika sertifikasi guru dibuka. Pada saat pengumpulan bukti fisik, kendala mulai terasa karena tidak semua kegiatan memiliki surat keterangan atau piagam dan tanda penghargaan. Selain itu, dokumen yang sudah ada pun tidak lengkap karena kurang baik dalam hal pendokumentasian dan kearsipan sehingga ketika harus melengkapi persyaratan menjadi kelabakan. Akhirnya surat-surat keterangan "serbadadakan". Kendala yang paling besar yaitu karya tulis ilmiah. Kemampuan untuk pengembangan profesi seperti pembuatan karya ilmiah dan sejenisnya menjadi hambatan terbesar dan merupakan masalah tersendiri. Hal tersebut dialami juga pada sistem penetapan angka kredit. Salah satu buktinya adalah menumpuknya golongan IV/a yang akan naik ke IV/b. Meskipun ada berbagai kendala, tetapi portofolio berhasil dikumpulkan. Hasilnya pun seperti telah diperkirakan sebelumnya, ternyata yang lolos sertifikasi tidak terlalu banyak. Yang lolos tersebut tentunya adalah guru-guru yang memiliki produktivitas serta profesionalisme yang tinggi sehingga bagi mereka tidak akan sulit untuk memperoleh skor minimal 850, bahkan lebih. Tentunya para guru yang lolos sertifikasi tersebut tidak lepas dari jasa-jasa dan perjuangan para guru yang sebentar lagi akan menghadapi pensiun dan kebetulan belum memiliki kualifikasi akademik yang dipersyaratkan. Oleh karena itu, diharapkan ada kebijakan lain, tetapi tetap menunjung aspek profesionalisme. Sementara bagi guru-guru yang masih relatif muda, didorong untuk dapat mengembangkan profesionalisme dan meningkatkan produktivitasnya. Selain itu, perlu diberi kesempatan yang sama kepada setiap guru untuk mengembangkan karier dan keahliannya. Dengan demikian, sertifikasi profesi guru bukanlah menjadi sesuatu yang mustahil diraih, tetapi sesuatu yang mesti diraih. Sertifikasi adalah bukan hak yang mesti setiap orang
  • 7. dapat menerima dan meraihnya, tetapi merupakan penghargaan bagi para guru yang telah mengabdi bagi dunia pendidikan dengan penuh tanggung jawab sebagai seorang profesional.*** Penulis, guru SDN Karamatwangi II, Kec. Cisurupan Kabupaten Garut, pemenang IV lomba menulis yang diselenggarakan AGP-PGRI Jawa Barat 2007/2008. Penulis: SIKAP DAN PERILAKU GURU YANG PROFESIONAL Judul: SIKAP DAN PERILAKU GURU YANG PROFESIONAL Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION. Nama & E-mail (Penulis): Rustantiningsih Saya Guru di SDN Anjasmoro 02 Semarang Topik: Pendidikan Sikap Tanggal: 3 Agustus 2007 BAB IPENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal (Mulyasa, 2005:10). Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing, dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM). Ironisnya kekawatiran di dunia pendidikan kini menyeruak ketika menyaksikan tawuran antar pelajar yang bergejolak dimana-mana. Ada kegalauan muncul kala menjumpai realitas bahwa guru di sekolah lebih banyak menghukum daripada memberi reward siswanya. Ada kegundahan yang membuncah ketika sosok guru berbuat asusila terhadap siswanya. Dunia pendidikan yang harusnya penuh dengan kasih sayang, tempat untuk belajar tentang moral, budi pekerti justru sekarang ini dekat dengan tindak kekarasan dan asusila. Dunia yang seharusnya mencerminkan sikap-sikap intelektual, budi pekerti, dan menjunjung tinggi nilai moral, justru telah dicoreng oleh segelintir oknum pendidik (guru) yang tidak bertanggung jawab. Realitas ini mengandung pesan bahwa dunia guru harus segera melakukan evaluasi ke dalam. Sepertinya, sudah waktunya untuk melakukan pelurusan kembali atas pemahaman dalam memposisikan profesi guru. Kesalahan guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-sama membawa kepentingan dan salng membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak benar. Untuk itulah makalah ini saya susun sebagai bahan kajian bagi guru atau pendidik agar dapat berperilaku dan bersikap profesional dalam menjalankan tugas mulia ini. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka permasalahan yang hendak dikaji adalah:
  • 8. 1. Bagaimana sikap dan perilaku guru yang profesional itu? 2. Mengapa sikap dan perilaku guru bisa menyimpang? C. Manfaat dan Tujuan 1. Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk: a. Mendeskripsikan penyebab sikap dan perilaku guru bisa menyimpang. b. Mendeskripsikan sikap dan perilaku guru yang profesional. 2. Manfaat penyusunan makalah ini secara: a. Teoretis, untuk mengkaji sikap dan perilaku guru yang profesional. b. Praktis, bermanfaat bagi: (1) para pendidik agar pendidik dapat bersikap dan berperilaku profesional, (2) para kepala sekolah, untuk memberikan pembinaan kepada para pendidik. BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Dasar Sikap dan Perilaku Thursthoen dalam Walgito (1990: 108) menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Berkowitz, dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek. Struktur sikap siswa terhadap konselor terdiri dari tiga komponen yang terdiri atas: 1. Komponen kognitif Komponen ini berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan tentang objek. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap. 2. Komponen afektif Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap sikap. Perasaan tersebut dapat berupa rasa senang atau tidak senang terhadap objek, rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.. komponen ini menunjukkan ke arah sikap yaitu positif dan negatif. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap (Azwar, 2000:26), secara umum komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap. 3. Komponen konatif Komponen ini merupakan kecenderungan seseorang untuk bereaksi, bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Komponen-komponen tersebut di atas merupakan komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen tersebut saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. Saling ketergantungan tersebut apabila seseorang menghadapi suatu objek tertentu, maka melalui komponen kognitifnya akan terjadi persepsi pemahaman terhadap objek sikap. Hasil pemahaman sikap individu mengakui dapat menimbulkan keyakinan-keyakinan tertentu terhadap suatu objek yang dapat berarti atau tidak berarti. Dalam setiap individu akan berkembang komponen afektif yang kemudian akan memberikan emosinya yang mungkin positif dan mungkin negatif. Bila penilaiannya positif akan menimbulkan rasa senang, sedangkan penilaian negatif akan menimbulkan perasaan tidak senang. Akhirnya berdasarkan penilaian tersebut akan mempengaruhi konasinya, melalui inilah akan mendapat diketahui apakah individu ada kecenderungan bertindak dalam bertingkah laku, baik hanya secara lisan maupun bertingkah laku secara nyata. Katz (dalam Walgito, 1990:110) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai empat fungsi, yaitu: 1. Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian, atau fungsi manfaat. Fungsi ini berkaitan dengan sarana tujuan. Di sini sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Orang memandang sampai sejauh mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana dalam mencapai tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya,
  • 9. maka orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Demikian sebaliknya bila objek sikap menghambat dalam pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap objek sikap tersebut. Fungsi ini juga disebut fungsi manfaat, yang artinya sampai sejauh mana manfaat objek sikap dalam mencapai tujuan. Fungsi ini juga disebut sebagai fungsi penyesuaian, artinya sikap yang diambil seseorang akan dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap sekitarnya. 2. Fungsi pertahanan ego Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi untuk mempertahankan ego atau akunya. Sikap diambil seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam dalam keadaan dirinya atau egonya, maka dalam keadaan terdesak sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego. 3. Fungsi ekspresi nilai Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dan dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan mengambil nilai sikap tertentu, akan dapat menggambarkan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan. 4. Fungsi pengetahuan Fungsi ini mempunyai arti bahwa setiap individu mempunyai dorongan untuk ingin tahu. Dengan pengalamannya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang tersebut objek sikap yang bersangkutan. Proses timbulnya atau terbentuknya sikap dapat dilihat pada bagan sikap berikut ini: Faktor Internal - Fisiologis - PsikologisObjek Sikap Sikap Faktor Eksternal - Pengalaman - Situasi - Norma-norma - Hambatan - Pendorong Reaksi Bagan 1 : Bagan Proses Timbulnya Sikap Dari bagan di atas tersebut dapat dikembangkan bahwa sikap yang ada pada diri seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis serta faktor eksternal. Faktor eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, norma-norma yang ada dalam masyarakat, hambatan-hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam masyarakat. Semuanya ini akan berpengaruh terhadap sikap yang ada pada diri seseorang. Sementara itu reaksi yang diberikan individu terhadap objek sikap dapat bersifat positif, tetapi juga dapat bersifat negatif. Sikap yang diambil pada diri individu dapat diikuti dalam bagan berikut ini: • Keyakinan • Proses Belajar • Cakrawala • Pengalaman • Pengetahuan • Objek Sikap • Persepsi • Faktor- Faktor lingkungan yang berpengaruh • Kepribadian • Kognisi • Afeksi
  • 10. Konasi • Sikap Bagan 2 : Bagan Perseps dikutip dari Mar’at (1982:23) dengan perubahan. Dilihat dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa sikap akan dipersepsi oleh individu dan hasil persepsi akan dicerminkan dalam sikap yang diambil oleh individu yang bersangkutan. Dalam persepsi objek sikap individu akan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, keyakinan, proses belajar, dan hasil proses persepsi ini akan merupakan pendapat atau keyakinan individu mengenai objek sikap dan ini berkaitan dengan segi kognisi. Afeksi akan mengiringi hasil kognisi terhadap objek sikap sebagai aspek evaluatif, yang dapat bersifat positif atau negatif. Hasil evaluasi aspek afeksi akan mengait segi konasi, yaitu merupakan kesiapan untuk memberikan respon terhadap objek sikap, kesiapan untuk bertindak dan untuk berperilaku. Keadaan lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap objek sikap maupun pada individu yang bersangkutan. Bringham dalam Azwar (2000:138) menjelaskan tipe ukuran sikap yang paling sering dipakai adalah questioner self-report yang disebut skala sikap dan biasanya meliputi respon setuju atau tidak dalam beberapa kelompok-kelompok. Ukuran self-report mudah digunakan namun ukuran itu dapat memiliki sifat kemenduaan (ambiguity) atau adanya ukuran lain. Sikap dari skala sikap ini adalah isi pernyataan yang berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukuran atau pernyataan tidak langsung yang kurang jelas untuk tujuan ukurannya bagi responden. Mengukur sikap bukan suatu hal yang mudah sebab sikap adalah kecenderungan, pandangan pendapat, atau pendirian seseorang untuk meneliti suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya, dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek. Dalam penelitian sikap, tergantung pada kepekaan dan kecermatan pengukurannya. Perlu diperhatikan metode yang berhubungan dengan pengukuran sikap, bagaimana instrumen itu dapat dikembangkan dan digunakan untuk mengukur sikap. Azwar (2000:90) menjelaskan bahwa, metode yang bisa digunakan untuk pengungkapan sikap yaitu: 1. Observasi perilaku Kalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten (terulang) misalnya tidak pernah mau diajak nonton film Indonesia, bukanlah dapat disimpulkan bahwa ia tidak menyukai film Indonesia. Orang lain yang selalu memakai baju warna putih, bukankah dia memperlihatkan sikapnya terhadap warna putih. Perilaku tertentu bahkan kadang-kadang sengaja ditampakkan untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya. Dengan demikian, perilaku yang diamati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dalam kontek situasional tertentu, tetapi interpretasi sikap warna sangat berhati-hati apabila hanya didasarkan dari pengamatan terhadap perilaku yang ditampakkan oleh seseorang. 2. Pertanyaan langsung Asumsi yang mendasari metode pertanyaan langsung guna pengungkapan sikap, pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu
  • 11. mengenai dirinya sendiri, dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya. 3. Pengungkapan langsung Suatu metode pertanyaan langsung adalah pengungkapan langsung (direct assessment) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan item tunggal maupun dengan menggunakan item ganda. Prosedur pengungkapan langsung dengan item ganda sangat sederhana. Responden diminta untuk menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju. Penyajian dan pemberian respondennya yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan sikap secara lebih jujur. Pengukuran sikap yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pengungkapan langsung yaitu dengan menggunakan skala psikologis yang diberikan pada objek. B. Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui pendidikan formal bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang yang menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi. Latar belakang pendidikan ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan, bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun dalam kenyataannya banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh guru dalam pembelajaran ada tujuh kesalahan. Kesalahan-kesalahan itu antara lain: 1. mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, 2. menunggu peserta didik berperilaku negatif, 3. menggunakan destruktif discipline, 4. mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik, 5. merasa diri paling pandai di kelasnya, 6. tidak adil (diskriminatif), serta 7. memaksakan hak peserta didik (Mulyasa, 2005:20). Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang profesional harus memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dosen dan Guru, yakni: 1. kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, 2. kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik, 3. kompetensi profesional adalah kamampuan penguasaan materi pelajaran luas mendalam, 4. kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
  • 12. Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif. Respon hanya akan timbul, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik buruk, positif negati, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2000: 15). Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari adanya aksi respon dan reaksi. Menurut Mann dalam Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan faktor eksternal lainnya. Menurut penuturan R.Tantiningsih dalam Wawasan 14 Mei 2005, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan agar beberapa sikap dan perilaku menyimpang dalam dunia pendidikan dapat hindari, diantaranya: Pertama, menyiapakan tenaga pendidik yang benar-benar profesional yang dapat menghormati siswa secara utuh. Kedua, guru merupakan key succes factor dalam keberhasilan budi pekerti. Dari guru siswa mendapatkan action exercise dari pembelajaran yang diberikan. Guru sebagai panutan hendaknya menjaga image dalam bersikap dan berperilaku. Ketiga, Budi pekerti dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah. Kempat, adanya kerjasama dan interaksi yang erat antara siswa, guru (sekolah), dan orang tua. Terkait dengan hal di atas, Hasil temuan dari universitas Harvard bahwa 85 % dari sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain- lain adalah karena sikap-sikap seseorang. Hanya 15 % disebabkan oleh keahlian atau kompetensi teknis yang dimiliki (Ronnie, 2005:62). Namun sayangnya justru kemampuan yang bersifat teknis ini yang menjadi primadona dalam istisusi pendidikan yang dianggap modern sekarang ini. Bahkan kompetensi teknis ini dijadikan basis utama dari proses belajar mengajar. Jelas hal ini bukan solusi, bahkan akan membuat permasalahan semakin menjadi. Semakin menggelembung dan semakin sulit untuk diatasi. Menurut Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain: 1. kasih sayang, 2. penghargaan, 3. pemberian ruang untuk mengembangkan diri, 4. kepercayaan, 5. kerjasama, 6. saling berbagi, 7. saling memotivasi, 8. saling mendengarkan, 9. saling berinteraksi secara positif, 10. saling menanamkan nilai-nilai moral,
  • 13. 11. saling mengingatkan dengan ketulusan hati, 12. saling menularkan antusiasme, 13. saling menggali potensi diri, 14. saling mengajari dengan kerendahan hati, 15. saling menginsiprasi, 16. saling menghormati perbedaan. Jika para pendidik menyadari dan memiliki menerapkan 16 pilar pembangunan karakter tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada masyarakat dan negaranya. C. Faktor Penyebab Sikap dan Perilaku Guru Menyimpang Pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilaksanakan walapun belum menunjukkan hasil yang optimal. Pendidikan tidak bisa lepas dari siswa atau peserta didik. Siswa merupakan subjek didik yang harus diakui keberadaannya. Berbagai karakter siswa dan potensi dalam dirinya tidak boleh diabaikan begitu saja. Tugas utama guru mendidik dan mengembangkan berbagai potensi itu. Jika ada pendidik (guru) yang sikap dan perilakunya menyimpang karena dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, adanya malpraktik (meminjam istilah Prof Mungin) yaitu melakukan praktik yang salah, miskonsep. Guru salah dalam menerapkan hukuman pada siswa. Apapun alasannya tindakan kekerasan maupun pencabulan guru terhadap siswa merupakan suatu pelanggaran. Kedua, kurang siapnya guru maupun siswa secara fisik, mental, maupun emosional. Kesiapan fisik, mental, dan emosional guru maupun siswa sangat diperlukan. Jika kedua belah pihak siap secara fisik, mental, dan emosional, proses belajar mengajar akan lancar, interaksi siswa dan guru pun akan terjalin harmonis layaknya orang tua dengan anaknya. Ketiga, kurangnya penanaman budi pekerti di sekolah. Pelajaran budi pekerti sekarang ini sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada sifatnya hanya sebagai pelengkap, lantaran diintegrasikan dengan berbagai mata pelajaran yang ada. Namun realitas di lapangan pelajaran yang didapat siswa kabanyakan hanya dijejali berbagai materi. Sehingga nilai-nilai budi pekerti yang harus diajarkan justru dilupakan. Selain dari ketiga faktor di atas, juga dipengaruhi oleh tipe-tipe kejiwaan seperti yang diungkapkan Plato dalam “Tipologo Plato”, bahwa fungsi jiwa ada tiga, yaitu: fikiran, kemauan, dan perasaan. Pikiran berkedudukan di kepala, kemauan berkedudukan dalam dada, dan perasaan berkedudukan dalam tubuh bagian bawah. Atas perbedaan tersebut Plato juga membedakan bahwa pikiran itu sumber kebijakasanaan, kemauan sumber keberanian, dan perasaan sumber kekuatan menahan hawa nafsu. Jika pikiran, kemauan, perasaan tidak sinkron akan menimbulkan permasalahan. Perasaan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, akibatnya kemauan tidak terkendali dan pikiran tidak dapat berpikir bijak. Agar pendidikan di Indonesia berhasil, paling tidak pendidik memahami faktor-faktor tersebut. Kemudian mampu mengantisipasinya dengan baik. Sehingga kesalahan-kesalahan guru dalam sikap dan perilaku dapat dihindari.
  • 14. Bagaimanapun juga kualitas pendidikan di Indonesia harus mampu bersaing di dunia internasional. Sikap dan perilaku profesional seorang pendidik akan mampu membawa dunia pendidikan lebih berkualitas. Dengan demikian diharapkan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku guru yang profesional adalah mampu menjadi teladan bagi para peserta didik, mampu mengembangkan kompetensi dalam dirinya, dan mampu mengembangkan potensi para peserta didik. Sikap dan perilaku guru yang profesional mencakup enam belas pilar dalam pembangun karakter. Keenam belas pilar tersebut, yakni kasih sayang, penghargaan, pemberian ruang untuk mengembangkan diri, kepercayaan, kerjasama, saling berbagi, saling memotivasi, saling mendengarkan, saling berinteraksi secara positif, saling menanamkan nilai-nilai moral, saling mengingatkan dengan ketulusan hati, saling menularkan antusiasme, saling menggali potensi diri, saling mengajari dengan kerendahan hati, saling menginsiprasi, saling menghormati perbedaan. Sikap dan perilaku guru dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhinya berupa faktor eksternal dan internal. Oleh karena itu pendidik harus mampu mengatasi apabila kedua faktor tersebut menimbulkan hal-hal yang negatif. B. Saran Para pendidik, calon pendidik, dan pihak-pihak yang terkait hendaknya mulai memahami, menerapkan, dan mengembangkan sikap-sikap serta perilaku dalam dunia pendidikan melalui teladan baik dalam pikiran, ucapan, dan tindakan. DAFTAR PUSTAKA Azwar Saifuddin, 2000. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mar’at, 1981. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Mulyasa, 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ronnie M. Dani, 2005. Seni Mengajar dengan Hati. Jakarta: Alex Media Komputindo. R. Tantiningsih, 2005. Guru Cengkiling dan Amoral. Koran Harian Sore Wawasan. 14 Mei 2005. Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: BP. Media Pustaka Mandiri. Walgito, Bimo 1990. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.