SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  30
NOVELET : GADIS PEMANDU WISATA CHIANG MAI
EPISODE 1
Keretaapi dari Bangkok masuk stasiun Chiang Mai terlambat 20 menit. Angin sejuk bulan
Desember menndesir halus di leher, lumayan menghibur setelah semalam digoyang gerakan
kereta selama 12 jam lebih.
Aku menghampiri sopir tuk-tuk. ―Pi khap, pai thanon Santisuk. Jed har sib baht dai mai?‖ aku
langsung menawar 75 baht untuk tujuan Jalan Santisuk. Mungkin ogah tawar menawar, supir
tuk-tuk langsung mengiyakan.
―Sudah sering kesini rupanya?‖ sopir tuk-tuk mengajak bicara ketika menerima tawaran
sebatang rokok menthol mild yang kubawa dari Indonesia.
―Ini yang kelima,‖ kataku.
―Pantas tahu ongkos tuk-tuk,‖ kata si sopir.
Tuk-tuk mendaratkan aku di Mountain House Hotel di Jalan Santisuk. Surin, pemuda kurus
asal Phitsanulok di Thailand tengah itu, menjaga meja resepsi hotel masih mengenaliku.
―Kamar 204 seperti biasa, ya?‖ kata Surino.
―Chai. Khawp khun khap,‖ aku mengucapkan terimakasih.
―Kali ini, kamu datang ke Chiang Mai untuk apa?‖ tanya Surin yang sudah sangat akrab
denganku.
―Belajar masakan Thai dua hari, sisanya jalan-jalan,‖ kataku.
―Dan malam harinya?‖ Surin menggoda. Aku tahu maksudnya; pada setiap kunjunganku ke
Chiang Mai, dialah yang mengantar aku ke tempat-tempat untuk menikmati kedahsyatan
perempuan Thailand.
―Tidak kali ini, Surin. Aku sudah menikah!‖ kataku.
Surin cuma terkekeh. ―Chiang Mai itu tempat bujangan, sobat! Kalau sudah menikah,
harusnya kau bawa istri,‖ kata Surin.
―Istriku sedang tugas belajar ke Australia,‖ kataku. ―Kali ini aku cuma perlu informasi di mana
aku bisa dapatkan pemandu wisata,‖ kataku.
―Oke, besok kucarikan informasinya!‖ janji Surin.
***
Baru dua hari kemudian, pagi-pagi sekali, Surin memberiku sebuah alamat, tepat di hari aku
tak lagi harus pergi ke kursus memasak, dan siap menghabiskan waktu untuk jalan-jalan.
Alamat pemandu wisata yang dimaksud Surin berada di kawasan the Old City, tak jauh dari
candi Wat Phrasing. Jam 8 kurang sedikit aku sampai di alamat itu.
―Sawasdi khap….‖ Aku memberi salam di pintu sebuah rumah di dalam gang yang merupakan
salah satu soi jalan Ratchadamnoen. Ini rumah pemandu wisata yang direkomendasikan Surin.
―Sawadi kha….,‖ suara perempuan membalas sapa.
―Betul ini rumah Kanita Siripongvarakul , pemandu wisata?‖ kataku dalam bahasa Inggris ketika
perempuan muda itu muncul membuka pintu. Seorang perempuan biasa, bercelana jins selutut
dan kaos oblong warna pink. ―Saya dapat alamat Anda dari Surin,‖
―Ya, betul. Oh ini pasti khun Fajar, orang Indonesia yang menginap di hotel Mountain House.
Silakan duduk,‖ perempuan itu melambaikan tangan ke arah tempat duduk kayu di halaman
rumah bernaung pepohonan rindang.
―Bagaimana saya memanggil nama Anda,‖ tanyaku. Orang Thailand biasanya punya nama
panggilan singkat untuk memudahkan namanya yang rumit.
―Kanita!‖
―Dan saya, panggil saja Fajar, tak usah pakai khun,‖ kataku.
―Baik, Fajar! Anda perlu diantar kemana saja?‖ tanya Kanita.
―First of all, saya harus tahu tarif jasa pemanduanmu,‖ kataku.
―Oh ya, 150 baht per satu jam, atau 1.500 baht per 12 jam. Makan dan transport kamu yang
tanggung,‖ jelas Kanita.
―Oke,‖ kataku, ―mulai pagi ini jam 9. Aku ambil paket 12 jam,‖
―Jam 9 ya? Kalau begitu; kamu punya dua pilihan, duduk menunggu saya bersiap di sini, atau
mungkin cari sarapan dulu; di gang sebelah ada kedai kare masaman yang terkenal,‖ kata
Kanita.
―Ide bagus,‖ kataku, ―Aku mulai percaya kamu pemandu yang handal,‖ kataku berseloroh.
Kanita hanya tersenyum.
Menunggu kare masaman disajikan, aku melihat berkeliling; sejumlah mahasiswi cantik dalam
seragam blus atas putih ketat dan rok hitam ketat pendek tengah menikmati sarapan sembari
bercengkerama dengan suara-suara khas centil mereka. Wah, kenapa pemandu wisata pilihan
Surin untukku tidak semenarik gadis-gadis ini, pikirku? Tapi okelah, Surin pasti berpikir aku
benar-benar mencari pemandu wisata profesional, bukan mencari kesempatan untuk bertemu
perempuan Thailand cantik.
Aku kembali ke rumah Kanita sebelum pukul 9, langsung menuju ke tempat duduk di bawah
naungan pepohonan, menunggu. Aku menyalakan rokok menthol mild-ku.
―Harusnya tidak boleh merokok di situ!‖ tiba-tiba terdengar seutas suara perempuan. Aku
menoleh. Seorang gadis berkulit bersih, berambut lurus sebahu, luar biasa cantik dengan
hidung mancung dan bibir merah membara berdiri di ambang pintu terbuka.
―Oh, maaf!‖ kataku mematikan rokok dan mencari tempat yang cocok untuk membuang punting.
―Sudah selesai makannya?‖ tanya gadis itu.
―Saya? Oh, sudah?‖ kataku sedikit gugup. Siapa pula gadis ini dan kenapa pula ia tahu aku
baru saja tiba dari kedai makan.
―Sudah siap berangkat sekarang?‖ kata gadis itu.
―Berangkat? Hm, kamu siapa? Kanita mana?‖ bisa dibayangkan betapa ‗bego‘nya tampangku
kali itu.
―What do you mean Kanita mana? It‘s me, Kanita,‖ kata gadis itu.
―Oh, well, Kanita? Please jangan bercanda. Kanita yang saya temui sekitar satu jam yang lalu di
sini, bukan kamu,‖ kataku.
―Fajar, lihat saya baik-baik. Ini saya, Kanita. Kita ketemu sejam lalu di sini sebelum kusarankan
kau pergi makan dulu. Kamu menyewa aku untuk pemanduan wisata. Paket 12 jam. Sekarang
jam 9. Kita berangkat, silakan sebutkan kemana tujuanmu pertama,‖ kata gadis ini.
Aku masih berdiri mematung. Apa mungkin dalam waktu satu jam Kanita berubah penampilan
hampir 180 derajad? Kanita satu jam yang lalu berwajah bulat, hidung agak tertelan bidang
pipi, dan lebih pendek daripada Kanita detik ini, dan secera keseluruhan kurang menarik.
Kanita yang ini? Ah, habis kata-kataku untuk menggambarkannya.
Gadis itu meraih bingkai gerbang kayu di depan rumah dan mengisyaratkan aku agar segera
beranjak.
―Terus terang aku bingung, kamu berbeda sekali dari yang kulihat sejam lalu,‖ kataku tak bisa
menyembunyikan keheranan.
―Trust me. Ini aku dari sejam lalu, the same Kanita!‖ kata gadis ini, dan memimpin berjalan
meninggalkan gang.
―Alat transport terbaik adalah motor. Kita sewa motor dulu, ya?‖ kata Kanita. Aku mengangguk.
Kami berjalan menuju persewaan motor di gang lain. Petugas di persewaan motor menyapa
gadis itu dengan nama Kanita. Ini membuat aku perlahan-lahan percaya bahwa sekitar sejam
lalu aku kehilangan separuh berkonsentrasi dan tidak mampu merekam wajah Kanita dengan
baik dalam benakku. Atau justru pada detik inilah aku kehilangan konsentrasi dan melihat
Kanita bisa sejam lalu menjadi lebih cantik daripada dan lebih sexy daripada mahasiswi-
mahasiswi di kedai makan tadi?
―Oke, sebelum kita berangkat,‖ kataku. ―Ijinkan aku menatap kau baik-baik dan memastikan aku
tidak salah pemandu wisata,‖ kataku. Aku berputar ke hadapan gadis ini dan berolah
kesempatan beralasan untuk menatapnya dalam-dalam. Cantik istimewa! Pesona sempurna!
Gadis ini—baik, daripada bikin ruwet, kuakui saja ia Kanita—menggeleng-gelengkan kepala.
―Fajar, kuharap kamu tadi tidak salah makan! Baru kali ini aku melihat ada klien seaneh kamu,‖
ujar Kanita sembari menawarkan aku mau setir motor atau mau dibonceng. Karena tak punya
SIM internasional, aku pilih dibonceng.
―Pertama-tama, kita ke gunung Candi Doi Suthep, di gunung Doi Suthep, 15 kilometer dari sini.
Pakai helm kamu,‖ kata Kanita.
Aku menurut dan duduk di boncengan. Harum tubuh dan helai-helai rambut Kanita yang
menyisir tepian hidungku, lembut dan beraroma kenanga. Tak berani aku duduk terlalu rapat ke
tubuhnya.
Catatan :
Soi = gang
Sawasdi khap salam diucapkan oleh pria, sawasdi kha salam diucapkan oleh perempuan
Chai = ya
EPISODE 2
Kanita mengemudikan motor tak terlalu kencang, menembus pagi berudara dingin sedikit
menusuk kulit tubuh. Jalanan kota Chiang Mai, kota nomor dua terbesar di Thailand, yang
jumlah penduduknya tak sampai sepersepuluh Bangkok, sangat santai dan bebas macet. Dari
kawasan Old City, kami berboncengan melaju sepanjang jalan Huay Kaew, kemudian terus
menanjak ke arah gunung Doi Suthep. Sejenak kemudian bentangan kota Chiang Mai dalam
pagi redup tampak cantik di bawah sana yang bisa terlihat jelas dari sela-sela pepohonan di
pinggir jalan yang terus menanjak.
Candi Doi Suthep, seperti biasa, mulai ramai sejak pagi. Untuk menuju kawasan candi,
pengunjung harus menaiki 309 anak tangga beton yang pinggirannya berhias juluran tubuh
naga. Turis asing seperti aku harus bayar 30 baht, sementara Kanita, sebagai warga Thailand
bisa masuk gratis.
―Candi ini, Wat Phra Tat Doi Suthep,‖ ujar Kanita dengan nafas mengepulkan uap di udara
dingin, ―dibangun pertama kali pada tahun 1383 pada jaman kerajaan Lanna dan memiliki
sentuhan-sentuhan Buddhisme dan Hinduisme.
Kami melepas alas kami dan naik le lantai dua candi yang dipenuhi dengan berbagai chedi dan
patung Buddha dan Ganesha. Kanita mendemonstrasikan kepiawaiannya sebagai pemandu
wisata handal. Kuperhatikan ia sangat menguasai informasi dan bisa memilah belahan
informasi mana yang diperlukan dan yang tidak diperlukan kliennya. Aku bisa menilai ini dengan
baik karena sebenarnya aku tahu banyak tentang Candi ini dan tentang lokasi-lokasi wisata
lainnya di Thailand.
Saat tiba tengah hari, Kanita minta ijin sebentar untuk melakukan ritual dengan menggenggam
seunting bunga lotus yang masih kuncup, dan mengelilingi chedi utama 11 kali sambil
melantunkan doa-doa. Dan baru saat ini kusadari betapa eloknya gadis ini. Aku berdiri menanti
di salah satu sudut menghadap arakan kecil umat Buddhis yang sedang melakukan ritual kecil,
menantikan Kanita lewat. Setengah memejamkan mata ia mengikuti langkah-langkah kecil
arakan dengan masing-masing gagang bunga lotus di tangan.
Entah kenapa aku merasa demikian terhibur ketika Kanita dalam arakan kecil itu lewat dan
lewat lagi di hadapanku. Wajah cantiknya dalam terpaan sinar matahari musim dingin dengan
bibir indah berkomat-kamit mungil sangat mencegah aku untuk tidak memalingkan muka ketika
itu lewat dan lewat lagi sampai sebelas kali putaran. Beberapa jepretan foto juga kubuat khusus
mengabadikan wajahnya secara close-up.
***
Kami makan siang di kedai tak jauh dari candi.
―Agar tak salah makan, tolong kasih tahu enaknya aku makan apa,‖ kataku bercanda.
―Aku mau makan khao soy, itu sejenis kare ayam bumbu santan. Mau?‖
―Oke,‖ kataku, dan sekali lagi memotretnya dari jarak sangat dekat. Maklum, tak tahan aku untui
tidak menyimak rautnya terus.
―Kamu klien yang paling banyak memotret aku,‖ kata Kanita mengulas senyum.
―Untuk beberapa alasan, kenapa tidak?‖ kataku.
―Katakan padaku, Fajar. Apa kerjamu di Indonesia?‖
―Aku wiraswastawan, pingin buka gerai spa Thailand, pingin usaha kedai makanan cepat saji
Thailand, dan pingin menjadi pemandu wisata pelancong Indonesia ke Thailand,‖ kataku. Kanita
urung mengunyah makanan.
―Pemandu wisata?‖ Tanya Kanita.
―Betul‖
―Hm! Sudah berapa kali ke Thailand?‖
―Ini yang kelima. Yang kelima pula berkunjung ke Chiang Mai‖
―Lima kali ke sini? Kenapa kamu butuh pemandu?‖
―Itulah yang kubilang. Aku ingin menjadi pemandu untuk pelancong Indonesia di negerimu. Aku
harus banyak belajar dari pemandu lokal. Hari ini aku banyak belajar dari kamu,‖ kataku. ―selain
itu, aku juga harus memperdalam bahasa Thailand-ku‖ kataku dalam bahasa campuran
Thailand dan Inggris.
―Itukah sebabnya bahasa Thailand-mu lumayan bagus?‖ kata Kanita.
―Benar! Kalau kamu sendiri, sudah lama jadi pemandu wisata?‖
―Baru empat tahun‖
―Empat tahun. Kamu kayaknya masih muda sekali. Berapa umurmu, sorry nanya?‖
―Tebak!‖
―23?‖
―24! Kamu?‖
―27‖ kataku.
―Hebat! Umur 27, kelahiran 27 Juni, dan datang menemuiku pagi tadi, tanggal 27‖ desis Kanita.
―Bagaimana kau tahu tanggal lahirku?‖ aku kaget. Kanita hanya tersenyum manis.
―Mudah sekali……tapi tak perlulah kujawab sekarang bagaimana aku tahu tanggal lahirmu.
Yuk, kita jalan lagi, sekarang ke mana? Chiang Mai Zoo?‖
Aku mengangguk, masih terheran-heran. Adakah ia pernah buka-buka tasku dan melirik
pasporku? Ah rasanya tidak mungkin? Ataukah Surin yang memberitahunya? Bukankah Surin
punya salinan pasporku di database tamu di komputer resepsi hotel?
Dan percayalah, sepanjang sore itu, dua hal berseliweran di benakku; kecantikan Kanita yang
berbalut raga indah serta titik-titik misteri gadis ini.
Kami berkeliling Chiang Mai Zoo tak jauh dari pusat kota Chiang Mai sampai hari menjelang
sore, berlanjut ke Night Bazaar. Menjelang pukul 9 malam, Kanita bilang ia harus segera
pulang. Tadinya ia hendak mengantarku balik ke hotel. Tapi di tengah jalan ia berhenti, melihat
layar HP dan berkata., ―Sorry, Fajar. Aku harus sampai rumah jam Sembilan pas. Kalau aku
antar kamu ke hotel, pasti aku terlambat. Maaf, kamu turun di sini, silakan cegat Song Teuw
yang lewat. Kami pasti tahu caranya,‖ kata Kanita. Aku melirik arloji. Jam 8.45 malam.
Aku turun dan mengembalikan menyerahkan helm. ―Aku perlu kau lagi besok. Fee pemanduan
hari ini, kamu perlu sekarang?‖ kataku merogoh dompet.
―Tak usah. Besok saja. Kujemput kau di hotel jam 9 pas. Jangan terlambat!‖ kata Kanita,
menstart motor dan segera melaju sambil melirik layar HP yang masih menyembulkan jam.
***
Begitu sampai di depan hotel, aku mencari Surin. Ia tengah asyik main kartu dengan seorang
wisatawan bule di lobi.
―My friend, bagaimana hari ini. Pemandu itu, sip nggak?‖ songsong Surin dengan sapaannya.
―Sip! Terimakasih kau rekomendasikan pemandu cantik!‖ kataku.
―Cantik?‖ ulang Surin; lihatlah nadanya terdengar ragu.
―Ya, Kanita. Cantik sekali!‖ kataku, ―Memangnya kau tak pernah ketemu dia? Nih lihat fotonya,‖
aku menyalakan kamera digital dan membuka hasil jepretan di candi yang tadi sudah kulihat
memampangkan wajah-wajah Kanita yang sedap dipandang.
Surin melihat layar kamera, dan tersenyum. ―Terserahlah kau bilang apa, kawan. Tapi
menurutku Kanita biasa saja. Setelah menikah, standar penilaianmu tentang wanita jadi turun
rupanya,‖ ujar Surin.
―Kamu ini laki-laki Thailand aneh, Surin. Lihat ini,‖ aku meraih kamera dari Surin dan mencoba
mencari foto Kanita yang paling jelas wajahnya.
Astaga! Foto itu, foto –foto close-up Kanita di candi, bukan berwajah Kanita cantik, melainkan
Kanita pertama yang kutemui di rumah itu tadi pagi. Aku mengernyitkan dahi. Kulihat Surin
menatapku dengan perasaan seperti melihat orang tolol.
―Foto ini…..aku berani sumpah ini bukan wajah dia. Kanita yang kupotret, jauh lebih cantik
daripada ini…..‖ kataku.
―Sebentar, kawan. Kau bilang tadi namanya Kanita? Yang difoto ini namanya Kanit, bukan
Kanita. Itu Kanit, nggak pakai ‗a‘,‖ tambah Surin mempertegas.
Aku terduduk di kursi empuk dekat Surin, dan tercenung sesaat. Apa yang terjadi hari ini?
Surin menggoyang-goyangkan badanku. ―Are you okay, my friend?‖
―I’m fine. Poom sabai di,‖ kataku.
Di kamar, kutengok lagi sekitar 50-an hasil jepretan wajah Kanita. Jelas, wajah itu adalah wajah
biasa Kanita di pagi hari di rumah itu, bukan Kanita yang membuat hatiku berbunga-bunga
sepanjang perjalanan wisata sepanjang hari tadi.
Aku menunggu pagi dengan dada berdebar.
Catatan :
Chedi = bagian candi yang berbentuk stupa
Song Teuw = angkot
Poom sabadi di = aku baik-baik saja
EPISODE 3
Tak puas dengan menyimak foto-foto Kanita lewat layar kamera digital, aku mentransfer foto-
foto itu ke laptopku. Sama-saja, wajah yang terpampang adalah wajah Kanit, bukan Kanita. Aku
mengucek-ucek mata. Apakah aku terkena optical illusion yang membuat obyek-obyek yang
kulihat bisa menimbulkan persepsi berbeda? Ah, tapi apakah aku sebodoh itu? Kanit dan Kanita
sangat berbeda.
Dan aku terlelap dengan seribu misteri di benakku.
Aku bangun sekitar pukul tujuh pagi, dan kuperiksa kembali foto-foto di layar komputer dan
layar kamera digital. Masih foto Kanit.
Aku membawa laptop ke lantai bawah dan membuat sarapan gratis di dapur tamu di dekat lobi.
Surin sudah duduk di belakang meja resepsionis, masih dengan senyum geli yang dipakai sejak
semalam.
―Makin jelas ya kalau lewat layar laptop?‖ kata Surin begitu aku meletakkan laptop di meja.
―Ya, dan aku masih bertanya-tanya bagaimana wajah itu ganti rupa,‖ kataku. Surin cuma
menggeleng-gelengkan kepala ketika sekali lagi ikut-ikutan menghadap layar laptop dengan
aku.
―Jam Sembilan nanti Kanita akan menjemputku kemari. Nanti kau lihat baik-baik dia, dan
katakan padaku pendapatmu, lalu bandingkan Kanita dengan wajah Kanit di layar komputer ini.
Kau akan tahu bedanya dan, seperti yang kurasakan saat ini, kau akan mulai cari tahu seperti
aku kenapa wajah itu bisa berubah,‖ kataku pada Surin. Surin tetap tersenyum geli.
Kenyang makan dua belah roti dan secangkir kopi pahit, aku bergerak ke kamarku dan
mengambil tas. Laptop kutinggalkan di meja dekat resepsionis. Jam sudah menjelang pukul
sembilan. Saatnya Kanita tiba menjemput.
Ketika aku kembali ke meja laptop, darahku berdesir, foto-foto itu kembali berwajah cantik
Kanita. Aku mengucek mata. Benarkah yang kulihat itu? Wajah manis, mungil, ayu sang
pemandu wisata Kanita?
―Surin!‖ aku meneriaki Surin yang tengah sibuk dengan cucian di mesin cuci umum dekat
parkiran.
―Sini. Lihat ini. Wajah Kanita yang kumaksud!‖ aku membelokkan layar laptop ke pandangan
Surin. Kupilih foto close-up waktu Kanita mengucap doa di Chedi kemarin.
―LIhat! Ini Kanita! Bukan seperti yang kau lihat kemarin!‖ aku menunjuk. Surin memperhatikan
baik-baik. Tak ada reaksi mendadak dari tampangnya.
―Cantik, bukan? Kanita! Bukan Kanit!‖ kataku.
Surin menatapku sejenak. ―My friend, kamu yakin kamu baik-baik saja? Ini foto yang kemarin,
foto Kanit yang kau tunjukkan padaku lewat layar kamera digital,‖ kata Surin.
―Kamu jangan bergurau. Aku serius!‖ kataku.
―Serius aku, teman!. Ini Kanit! Kalau kamu mau aku bilang ia cantik, ya deh, aku bilang cantik!
Tapi menurutku Kanit biasa-biasa saja,‖ kata Surin.
―Astaga, Surin! Tidakkah kau bisa membedakan antara foto tampak kemarin dengan foto yang
tampak sekarang?‖ otoku.
Surin menarik nafas panjang. ―Bagaimana aku harus bilang. Ini foto yang kemarin kau
tunjukkan, kenapa kau bilang beda,‖ kelihatan Surin mulai jengkel dengan kelakuanku. Akupun
tak kalah mendongkol. Jelas-jelas di foto itu terpampang wajah yang bukan Kanit, kok Surin
ngotot itu Kanit. Jangan-jangan otak Surin yang nggak bener!
Ayolah kawan pembaca, bantu aku sebentar, lihat baik-baik foto di bawah ini. Apakah kalian
tahu bedanya. Jika semula wajah gadis di dalam foto yang kujepret adalah wajah Kanita,
kemudian semalam berubah menjadi Kanit, dan pagi ini berubah lagi menjadi Kanita, tidakkah
ini membuat kalian heran.
Ditambah lagi dengan Surin; jelas-jelas foto itu pagi ini berwajah Kanita, tetap saja Surin
melihatnya sebagai Kanit.
Surin kelihatannya ogah berdebat. Sayang di sekeliling tak ada orang yang bisa dimintai second
opinion. Yang kemudian ada malah derum sepeda motor Kanita.
Kanita! Dia sini, menjemputku ! Dan benar-benar Kanita pemandu wisata cantik yang seharian
kemarin mengantarku ke beberapa lokasi wisata.
―Sawadi kha….sabai di mai?” Kanita menangkupkan kedua tangan menyapaku dan Surin.
Cantik dan segar sekali ia pagi ini, dengan rambut yang semburat rapi, lepas dari cengkeraman
helm. Aku menoleh Surin sejenak. Tak ada perubahan air muka Surin. Sama sekali tidak
terkejut melihat kehadiran Kanita yang jelas-jelas bukan Kanit seperti yang ia sangka.
―Kemana hari ini, Kanit?‖ sapa Surin pada Kanita, sengaja menekan kata ‗Kanit‘.
Kanita mendekat ke arahku dan Surin, menolehku dengan senyum manis,‖belum tahu, harus
tanya Fajar dulu,‖ kata Kanita.
―Sebentar. Surin panggil kamu dengan nama Kanit. Namamu sebenarnya, Kanit atau Kanita?‖
tanyaku. Kanita mengerling, ―Kanit atau Kanita, sama saja, yang penting ini aku, pemandu
wisata Chiang Mai,‖ bibir itu membentuk sajian indah.
Tak puas dengan jawaban itu, aku menggamit Surin menjauh dari Kanita.
“Now, Surin. Jangan main-main. Katakan padaku siapa yang kaulihat itu. Aku melihat Kanita,
seorang gadis muda cantik, berkulit bersih, bertubuh seksi, berambut lurus panjang, berbibir
menawan dan kerling ayu. Kau melihat siapa?‖
Surin menggeleng mengusap dahinya, tanda kesal tak tersalurkan. Ia kemudian bicara:
―Itu Kanit, gadis yang fotonya ada di kamera dan laptopmu,‖ Surin bicara dengan sabar yang
dibuat-buat, ‖Kalau kau menggambarkan Kanit seperti yang barusan kau ucapkan, okelah
kawan, oke…..but trust me, ada yang nggak beres dengan dirimu. Ada yang salah dengan
matamu….‖ Surin berubah sangat serius.
Aku terdiam sesaat, dan memukul-mukul dahiku sendiri dengan pantat kepalan tangan. Kanita
berdiri menanti.
―Mau bengong di situ terus atau berangkat?‖ Kanita mengangsurkan helm padaku. Aku meraih
helm itu.
―Kita kemana pagi ini?‖ tanyaku.
―Wisata pasar tradisional, kita mulai dengan Pasar Warorot,‖ kata Kanita.
―Biar aku yang pegang setir motor sekarang. Aku perlu udara segar,‖ kataku. Kanita
menyerahkan kunci motor. Ia duduk di boncengan. Hembusan nafasnya yang sejuk bila harus
bicara di antara helm tanpa kaca kadang membuat hatiku berderak kecil.
***
Keramaian pasar tradisional Warorot dengan berbagai macam dagangan khas dan warna-
warni produk lokal tak terlalu membuat aku tertarik. Aku lebih tertarik menatap wajah Kanita dan
mencari tahu lebih banyak tentang gadis ini. Tapi tak banyak yang bisa kukorek. Ketika iseng
kutanya kartu tanda pengenal pemandu wisata, ia menunjukkan kartu yang masih berlaku,
pakai foto dan nama dirinya. Perlukah aku tanya lagi soal Kanita yang pertama kali kulihat di
rumah itu kemarin pagi? Perlukah kuceritakan padanya bahwa wajah Kanita cantik ini dalam
foto bisa gonta-ganti dengan wajah Kanita pertama alias Kanit menurut Surin? Tidak, sebaiknya
tidak.
Dan untuk sementara, aku tidak mau dibuat pusing oleh gonta-ganti wajah ini. Sebaiknya
kunikmati saja wajah cantik langka ini, dan membuat foto Kanita sebanyak-banyaknya; tak
perduli nanti dia bakal nyindir lagi soal klien yang paling suka motret.
Harus kuakui aku suka jalan dengan Kanita. Ia cerdas, bahasa Inggrisnya rapi, kesantunannya
oke, dan kecantikannya sungguh menetramkan. Tapi perjalanan lintas pasar hari ini
membuatku letih, dan demikian pula keletihan itu terpancar di wajah Kanita.
Aku memutuskan hari itu tak perlu acara pemanduan sampai jam 9 malam. Begitu matahari
redup, aku katakan pada Kanita kami masing-masing perlu istirahat setelah seharian keluar
masuk pasar.
―Sebetulnya, aku masih suka jalan, tapi kalau kamu capai, ya sudahlah, silakan,‖ kata Kanita.
Aku memberinya bayaran penuh dua hari plus ongkos sewa motor dan beli bensin.
―Besok masih mau jalan?‖ kata Kanita. Kali ini kutangkap matanya menyiratkan sinar penuh
harap.
―Kayaknya begitu. Jemput aku di hotel?‖ kataku. Kanita mengangguk manis, ―Lao je gan…”
***
Aku balik ke hotel jam 8 malam setelah makan sendiri di pujasera lantai bahwa mal Kad Suan
Kaew. Mengistirahatkan punggung di kasur aku menyalakan kamera. Puluhan foto Kanita di
pasar, dalam berbagai pose dan mimik muka dan malam banyak yang terkesan narsis,
menandakan ia mulai suka difoto. Tiba-tiba aku sangat berminat melihat jam. Sekarang jam
8.45 menit. Aku masih menggeser-geser layar untuk menatapi foto-foto Kanita dan berharap
tidak ada lagi kejadian aneh dengan foto-fotoku. Kalau wajah dalam foto bisa gonta-ganti, maka
istilah ‗diabadikan‘ harus didefinisikan ulang, karena gambar yang terekan pada foto, ternyata
tak bisa abadi.
Layar kamera itu tiba-tiba saja meredup dan gelap. Ah, ini biasa, power save mode on. Dan
kamera menyala lagi. Kucoba buka foto Kanita.
Huaaaaaaaaaaaaaaaaah!~*%$@#@*&%@#!! Kenapa wajah Kanit lagi! Semuanya. Semua
foto Kanita kemarin dan hari ini, semuanya berwajah Kanit, bertubuh Kanit!
Catatan :
Lao je gan na kha…= sampai jumpa.
EPISODE 4
Pagi itu, aku sengaja sarapan lebih awal, dan tak perlu menunggu Kanita datang menjemput.
Aku jalan kaki ke jalan raya dan melambaikan tangan pada Song Teeuw yang lewat. Jam 8.25
aku sampai di Jalan Ratchadamnoen dan tinggal mencari gang rumah Kanita.
Aku mampir sebentar di kios sabai Tour, yang baru saja dibuka Sashi, pemilik travel agent kecil
di jalan itu.
―Sawadi kha…khun, Eddy! You come again!‖ sapa Sashi.
―Sashi, aku bisa minta brosur wisata bersepeda?‖ kataku.
―Silakan ambil sendiri di rak,‖ kata Sashi.
Aku mengais beberapa lembar leaflet wisata.
―Sashi, kau kenal Kanita, pemandu wisata yang tinggal tak jauh dari sini?‖ tanyaku.
―Kanit, maksudmu? Itu yang rumahnya di gang ketiga dari sini!‖ kata Sashi. ―Kenapa?‖
―Itu bukan Kanita?‖
―Bukan, itu Kanit. Tuh saya punya fotonya dalam daftar pemandu wisata Chiang Mai,‖ Sashi
menghampiri map plastik yang tergolek di meja.
―Ini maksudmu?‖ Sashi menunjuk salah satu foto dari daftar rekanan pemandu wisata di map itu
Lagi-lagi foto Kanit yang ditunjukkan.
―Ia pemandu hebat dan pintar. Banyak pengalaman. Kau pakai dia?‖ tanya Sashi
―Ya,‖ kataku. ―Di rumahnya ia tinggal dengan siapa?‖
―Setahuku ia tinggal sendiri,‖ kata Sashi.
―Menurutmu, berapa umur Kanit?‖
―Well, entahlah, 29 atau 30 an mungkin,‖ kata Sashi, ――Kenapa, naksir ya? Dia tidak punya
pacar lo‖.
―Nggak, cuma tanya saja. Dia bukan tipeku. Ya sudah, khawp khun khap!‖ aku mengucapkan
terimakasih dan meninggalkan Sashi yang masih sibuk menata banner-banner info wisata di
depan kiosnya.
Aku mendapati rumah Kanita sepi, dengan pintu gerbang kayu tidak terkunci. Aku melirik arloji.
Pukul 8.40.
―Sawadi khap,‖ aku memberi salam.
―Sawadi kha….,‖ terdengar suara renyah beroma centil khas Kanita, dari arah samping rumah.
Aku melangkah ke samping rumah. Seorang perempuan berdiri di samping rumah, hendak
menjemur handuk. Rambutnya basah. Itu Kanit! Bukan Kanita!
Langkahku terhenti.
―Mm, eh, Kanita ada?‖ tanyaku.
―Ada. Persis di depanmu,‖ kata Kanit.
―Ha ha! Canda yang segar. Terimakasih ya, kamu beri saya Kanita sebagai pemandu. Kapan itu
kan kamu yang saya temui mula-mula,‖ kataku, tak tahu lagi aku harus bicara apa.
―Ih, ada-ada saja. Yang memandu kamu dua hari kemarin itu aku,‖ kata Kanit.
Aku tertawa kecil menghibur diri. Sungguh aku berharap Kanit sedang bergurau saja, dan
sebentar lagi akan memanggil Kanita yang asli.
―Oke, tunggu sepuluh menit, ya, aku akan siap‖ kata Kanit.
―Maksudmu, Kanita akan siap?‖
Kanit hanya tersenyum. Ia melewati aku dan mempersilakan aku duduk di ruang tamu di dalam
rumah. Ia sendiri kemudian masuk kamar tak jauh dari ruang tamu.
Sekitar 12 menit kemudian, seorang perempuan muncul dari balik pintu kamar, mengenakan
jaket putih dengan kaos dalam warna hitam dan celana jins pendek. Rambut terurai sedikit
basah, wajah cerah merona, dan bibir merah menyala dalam sungging senyum yang indah.
Kanita! Syukurlah!
Kini teka-teki sedikit terjawab, pikirku. Kanit tadi masuk kamar, memanggil Kanita.
―Kalian pintar sekali mengusili orang dengan main Kanit-Kanita,‖ kataku, mengamati Kanita
menyiapkan barang-barang bawaan dengan gerakan magis yang mempesona.
―Maksudmu?‖ tanya Kanita, sedikit melirikku.
―Yang tadi masuk kamar itu, siapa sih sebenarnya?‖ tanyaku.
―Aku!‖ jawab Kanita.
―Please, seriuslah,‖ kataku.
―Aku nggak bercanda. Itu aku. Coba kau lihat sendiri apakah ada orang lain di kamarku,‖ kata
Kanita membuka pintu kamar lebar-lebar.
Aku tak segera bergerak. Perlukah aku benar-benar memeriksa kamar?
―Ayo, silakan lihat!‖ Kanita menghampiriku dan menghela tanganku ke kamarnya. Sentuhan
tangannya yang meraih tanganku, terasa hangat.
Kamar itu, khas kamar perempuan, dengan wewangian bunga kenanga. Sebuah kamar kecil
tanpa sudut-sudut tersembunyi, dengan jendela berteralis besi yang tak mungkin bisa dilalui
manusia. Tak ada siapa-siapa di sana. Aku melihat berkeliling cukup lama. Di dinding agak ke
atas, ada foto keluarga Raja Bhumibol Adulyajey. Di bawahnya, ada satu poster bintang film
perempuan top Thailand, Pacharpa Chalcua, dan di sebelahnya ada sebuah foto ukuran 10R
menempel. Foto Kanit!
―Itu siapa?‖ tanyaku menunjuk foto Kanit.
―Itu aku!‖ kata Kanita tanpa nada canda.
Kalau tadi pusingku mulai sirna karena mengira teka-teki akan berakhir, kali ini aku makin
pening dengan jawaban Kanita. Ada apa sebenarnya dengan orang-orang ini?
Dan Kanita tahu ada sesuatu yang bergolak di benakku.
―Fajar, let me tell you something. Tidak ada siapa-siapa di rumah ini, Aku tinggal sendiri di sini.
Keluargaku tinggal di Uttaradit, seratus limapuluhan kilo dari sini,‖ Kanita berdiri dekat di
belakangku. Nafasnya yang harum menyapu kudukku.
―Okelah, Kanita,‖ aku menggeleng untuk diriku sendiri.
Pasrah sudah aku pada permainan ini. Sebaiknya kunikmati saja, apapun permainannya. Yang
penting, pemandunya adalah Kanita, yang senyum dan tatapan matanya padaku seringkali
lebih lama dan lebih membawa getar-getar tertentu. Tak sedetikpun aku enggan berdekatan
dengan gadis cantik Thailand ini.
***
―Hari ini aku mau wisata bersepeda ke lembah Mae Sa. Ini aku punya brosur wisata dari Sabai
Tour. Kita cari persewaan sepeda ya,‖ kataku.
―Pilihan yang tepat. Tadinya aku juga mau menyarankan begitu,‖ ujar Kanita.
Kami kemudian berjalan beberapa ratus meter ke tempat persewaan sepeda gunung dan
menyewa sepeda untuk sehari penuh.
―Siap-siap, ya. Perjalanan naik sepeda ke Mae Sa pulang pergi sekitar 70 kilometer, jalanan
menanjak terus,‖ kata Kanita.
―Mai pen rai, selama ada kamu, aku oke,‖ kataku.
Dan kami meluncur bersepeda meninggalkan Chiang Mai menuju ke timur laut kota. Sinar
matahari tak terlalu benderang dan angin sejuk bulan Desember membelai wajah. Di
sampingku, pemandu wisata cantik dengan sepasang kaki jenjang dan hanya menyisakan
celana jins pendek, dengan kulit putih cerah, memberikan hiburan tersendiri. Soal nama, mau
Kanit atau Kanita, aku tak perduli.
***
Terus terang aku lelah bersepeda tanpa henti mulai dari mennyusuri jalan raya sampai
terguncang-guncang di jalan bergeronjal sepanjang 3 jam belakangan tadi., melewati kota-
kota kecil Doi Saket dan Choeng Doi. Sekitar jam 12 aku dan Kanita berhenti di Mae Pong
untuk minum soft drink dan membeli bekal makanan untuk perjalanan di kawasan sepi Mae Sa
nanti. Hebatnya, Kanita tak terlihat letih. Ia tetap semangat meski kulihat cucuran keringat
melembabkan wajah, yang membuatnya makin tampak ayu alamiah.
Saat tengah hari, kami menggenjot sepeda lagi. Jalanan kali ini benar-benar tidak bersahabat,
dengan permukaan tanah dan bebatuan. Kanita memimpin di depan, ia yang tahu jalan.
Seringkali kami berhenti untuk menikmati suasana pedesaan dengan panorama alam hijau di
sela-sela rumah penduduk desa. Angin pedesaan berdesir membawa kesejukan.
Bekal makan siang kami santap di sebuah kawasan air terjun yang sepi dari keramaian. Kanita
duduk dengan manis pada sebongkah batu, melepas jaketnya, membiarkan kerampingan tubuh
dalam balutan kaos dalam tak berlengan dan sepasang kakinya yang mulus bebas kutatap.
Kami menikmati pad thai yang kami beli di Mae Pong tadi.
―Lihat air sungai dari air terjun itu, tampak bening dan sejuk. Mau renang?‖ kata Kanita seusai
makan.
―Ide bagus,‖ aku melepas kaos dan celana panjang, menyisakan boxer yang pas buat renang.
Kanita bersembunyi di balik pohon untuk penutup dada bagian dalam.
Aku menunggu Kanita berjalan di antara bebatuan licin menuju perairan tak jauh dari air terjun
Terus terang aku tak berani menatapnya terus dalam busana renang dadakan itu. Aku
mengkonsentrasikan diri pada air sejuk dengan kedalaman pas setinggi manusia normal. Ini
yang kucari, kesegaran setelah bersepeda.
Rasa segar menggerayangi tubuh. Aku bergerak berenang melintasi lebar perairan sekitar 10x
10 meter itu. Kanita langsung menceburkan diri ke air dengan gerakan selam. Ia rupanya
penyelam yang lihai. Ia menyusul aku ke ujung lain perairan itu.
―Asyik. Luar biasa asyik,‖ kataku, menatap Kanita yang baru menyembut dari air, menyibakkan
rambut. Tetes-tetes air di permukaan wajahnya menambah indah raut Kanita; dan kaos basah
yang menempel ketat di kulit dada itu, tanpa penutup dada lazimnya, sayang kalau dilewatkan.
―Jangan mulai punya ide motret cewek basah kuyup, ya!‖ ia mengingatkan aku dengan mimik
jenaka saat mendapati aku menatapnya nyaris tanpa kedip. Aku berjanji tidak akan
memotretnya dalam keadaan begitu. Bakal tak terlalu menarik nanti kalau yang terpampang
dalam foto nantu ternyata adalah adalah tubuh Kanit.
―Rasanya aku ogah pulang, pingin di sini terus,‖ kataku berendam di tepian, di bawah rindangan
sebuah pohon, ―sunyi, tenang, dan teduh‖
―Aku juga. Kalau saja bisa di sini terus!‖ kata Kanita berdiri di sebelahku, bermain kecipak air.
―Apakah kau selalu mengajak klienmu ke sini?‖ tanyaku.
―Baru kamu, baru kali ini pula aku pakai pakaian basah di depan laki-laki. Harusnya ini tidak
sopan,‖ jawab Kanita.
―Oh ya? Boleh tahu kenapa aku demikian spesial, kau bolehkan menatapmu dalam pakaian
basak begitu?‖
Kanita mengangkat kaki dan dari rendaman membersihkannya dengan air seolah kaki itu
memang perlu dibersihkan di permukaan air . Aku menahan nafas.
―Itu mungkin karena kamu yang duluan menganggap aku spesial,‖ katanya.
―Kamu memang spesial,‖ demikian kataku, tak ingin membuatnya terlalu lama menunggu
komentarku.
―Dan, apa boleh aku tahu kenapa kau pikir aku demikian spesial?‖ tanya Kanita, mengirim
tatapan kecil ke arahku..
―Karena alasan yang sangat simple; kamu cerdas, baik, jenaka, straight-talker, dan…..‖
―……dan apa?‖ sergah Kanita.
―….dan cantik. Pemandu wisata perempuan tercantik yang pernah kujumpai di Thailand,‖
kataku.
Kanita tertawa kecil. ―Tahu tidak, tadinya aku mengira kamu bakal pikir aku kathoey, alias banci.
Banci Thailand banyak yang lebih cantik dan seksi daripada perempuan Thailand,‖
―Aku tahu itu, dan aku tahu kamu bukan kathoey,‖ kataku.
Kanita mendongak sejenak membiarkan lehernya yang jenjang dan dagunya yang indah
kubiarkan kutatap. ―Tampaknya sudah sore,‖ kita naik yuk‖
―Sebentar. Kesejukan yang begini sulit didapat. Tolong beri kita waktu sebentar, ya,‖ aku
menoleh Kanita. ―Aku sangat menikmati saat-saat ini,‖ tak bisa aku menyembunyikan getar
romantik dalam suaraku. Dan agaknya Kanita menangkap getar itu pula.
―Benar kamu mau lebih lama di sini?‖ tanya Kanita.
Aku mengangguk.
―Sama kalau begitu,‖katanya. Kita berendam dan berenang di sini barang satu jam lagi,‖ kata
Kanita. ―Nikmati sejuknya alam, lupakan kesibukan kerja sehari-hari‖
―Nah, gitu dong!‖ ucapku.
Dan kami memang tak melewatkan sedikitpun kesejukan air jernih dari air terjun itu. Angin yang
sesekali berhembus, membuat penggalan sore ini makin melenakan.
Aku menghampiri Kanita yang bersandar di tepian sungai masih dalam rendaman air di bawah
rindang-rindang pohon itu lagi. Sunyi bergelayut, hanya suara cicit burung terdengar, dalam
tingkahan derasnya air terjun. Sore hari telah jatuh.
―Setelah dari sini, rasanya malas kalau harus bersepeda balik ke Chiang Mai,‖ kataku.
―Aku juga pikir begitu,‖ ujar Kanita. ―Aku aku punya ide lain. Itupun kalau kau mau‖
―Go ahead, kamu yang pimpin perjalanan ini, kamu yang tentukan,‖ kataku.
―Di desa Mae Sa tak jauh dari sini, ada penginapan kecil berdinding kayu seperti cottage dan
beratap ilalang dan mereka menyajikan makanan vegetarian. Kita menginap di situ dan pulang
besok saja. Gimana?‖
―Gagasan cantik, dari orang cantik,‖ kataku, menatapnya dalam-dalam.
Ia balas menatapku, merapatkan tubuh ke arahku.. Dan entah kenapa, tiba-tiba bibir merah
membara itu seperti mengundangku. Benar-benarkah undangan ini? Kudekatkan wajahku ke
arahnya. Ia menatapku lebih lekat beberapa saat dengan mata terpejam, menanti.
Tapi sepersekian detik sebelum terjadi pergesekan kulit bibir-bibir kami, tiba-tiba ia
memalingkan muka dan menjauh dariku.
―Ih, apa-apaan kita ini?. Tidak boleh begitu. Khor thot kha…..naik ke darat yuk!‖ kata Kanita.
Aku terpaku sesaat. Tapi tak urung mengikuti gadis ini dengan perasaan galau. Bibir itu, sudah
teramat dekat. Kenapa ia memalingkan muka? Apakah mungkin ini terlalu cepat baginya?
Aku mengikuti Kanita naik ke bebatuan. Cepat Kanita menyelinap ke balik pohon dengan tas
bawaan, seolah jadi takut kugerayangi tuuhnya dengan pandanganku, dan ganti pakaian basah
dengan setelah celana pendek dan kaos kering dari tas punggungnya..
Aku terduduk bersimbah air sungai di bebatuan. Aku baru saja melewatkan bagian terpenting
keindahan sore ini begitu saja. Sementara, sedikit dari kejauhan, aku melihat Kanita tersenyum
kecil—bernuansa menggoda-- yang susah kutebak maknanya.
Catatan :
khawp khun khap = terimakasih (diucapkan laki-laki)
khawp khun kha = terimakasih (diucapkan perempuan)
mai pen rai = tidak apa-apa
kathoey = banci
khor thot kha = maaf
EPISODE 5
Mae Sae Valley Tuptim Cottage itu sebenarnya bukan lodging yang mewah. Terdiri dari
gugusan bangunan berdinding kayu tanpa cat, beratap ilalang. Setiap gugus terdiri dari coupled
room yang berandanya dibatasi pagar kayu juga. Sederhana tapi asri, dengan lindungan
sejumlah pohon besar di sekelilingnya. Gemericik air terdengar di sekeliling. Sejumlah turis
tampak memadati restaurant yang juga berfungsi sebagai resepsionis.
―Silakan, dua kamar, nomor 05 dan 06,‖ resepsionis menyerahkan kunci kamar masing-masing
padaku dan pada Kanita. Aku kemudian memesan dua kopi dan khao nia ma muang alias ketan
mangga. Kami memilih meja menghadap hamparan lembah di bawah sana.
Dua pasangan bule duduk tak jauh dari aku. Lelaki bule ganteng dan perempuan bule cantik,
dengan rambut terikat ke belakang. Kedua turis asing ini juga sedang menunggu makanan. Si
bule perempuan, tertarik pada hamparan lembah, meraih papan persegi empat yang dilengkapi
dengan kertas sketsa, meraih pensil dan berdiri mencari sudut pandang yang pas dan mulai
membuat sketsa pemandanga dengan coretannya. Bosan menunggu, tertarik dengan kegiatan
artistik si cewek bule, Kanita pun menghampiri si bule perempuan dan mulai mengobrol.
Aku melihat Kanita dari kejauhan.
―Perempuan memang lebih dulu tertarik pada yang indah-indah,‖ tiba-tiba bule lelaki itu bicara
padaku.
―Excuse me?” aku memastikan ia bicara padaku.
―Look at them,‖ si bule menunjuk istrinya dan Kanita. ―Waktu untuk menunggupun dimanfaatkan
untuk menyimak yang indah-indah,‖ kata si bule lelaki.
―Oh ya, benar!‖ kataku. ―My name is Fajar,‖ aku menjulurkan tangan memperkenalkan diri. Si
bule pria menyambut tanganku.
―I’m Jake. Nice to meet you!‖
―Nice to meet you too!‖
―Are you Thai?‖ Jake tanya.
―No, Indonesian! And you?‖
―Canadian! She’s Canadian too,‖ Jake menunjuk bule perempuan.
―Your girlfriend?‖ kataku.
―Yeah!‖
―She’s beautiful,‖ pujiku.
―Thanks. Itu pacarmu?‖ Jake menanyakan Kanita.
―Bukan, ia pemandu wisata, perempuan Thai!‖
―She’s pretty!‖ ujar Jake.
Pujian Jake ini tentu saja meragukanku. Bule kan biasa pasang pujian, meski kadang tidak
jujur. Benar-benarkan Jake melihat Kanita sebagai perempuan cantik? Timbul niatku untuk
menguji pendapat Jake sekaligus menguji obyektifitas persepsiku atas penampilan Kanita.
Aku mendekatkan kursi ke dekat kursi Jake.
―Jake, aku tahu ini aneh. Tapi aku perlu pendapatmu yang sebenarnya. Tell me, apakah
perempuan Thai itu benar-benar cantik, maksudku physically attractive?‖
―Well, my friend, sepanjang pengamatanku, perempuan Thailand biasanya cantik-cantik dan
atraktif,‖ kata Jake tak segera menjawab pertanyaanku.
―Apakah pemandu wisataku itu termasuk dari itu?‖ desakku.
―Bisa kubilang ya!‖
Aku tak puas pada jawaban Jake. Aku menoleh berkeliling. Gadis resepsionis muda itu cantik
juga, sepantaran Kanita, tapi Kanita jauh lebih menarik.
―Sori kalau aku minta pendapatmu sebagai sesama pria , Jake. Menurutmu, siapa lebih menarik
gadis resepsionis itu atau pemandu wisataku?‖
Jake memutar badan untuk menyimak si gadis resepsionis yang tengah berdiri membenahi
sesuatu di meja pendek di depannya.
―Benar kamu minta pendapat obyektifku?‖ kata Jake.
―Benar‖
―SI gadis resepsionis lebih cantik, lebih menarik, dan lebih muda!‖ kata Jake.
Aku menghela nafas. Aku tahu Jake melihat sosok Kanit pada raga Kanita, persis seperti
pendapat orang lain ketika melihat Kanita.
―What’s wrong, buddy? Kau suka gadis itu? Tak usah membanding-bandingkan, kecantikan
bukan nomor satu,‖ kata Jake berseloroh.
Kecantikan bukan nomor satu! Berarti Kanita tidak cantik menurut pandangan Jake. Aku makin
yakin ia melihat Kanit, bukan Kanita.
***
Hari beranjak gelap ketika aku dan Kanita usai menikmati makanan kecil sore.
―Aku mau istirahat beberapa saat, kalau kau tidak keberatan‖ kata Kanita membuka pintu kamar
05, persis bersebelahan dengan kamarku.
―Oke,‖ kubangunkan kamu saat makan malam nanti,‖ kataku, ―Selamat beristirahat!‖
Aku tak berhasrat beristirahat. Terbelenggu oleh ucapan Jake dan kegalauanku tentang
persepsi orang yang berbeda akan fisik Kanita, kau merasa harus mencari penjelasan lewat
cara lain.
Aku bergerak ke resepsionis, dan bertanya, ―Ada saluran internet di sini?‖
―Ya, ada, di belakang, kiri,‖ jelas resepsionis, ―20 baht per 10 menit, pakai koin‖
Kudapakan saluran internet itu, dan mulai googling. Kumasukkan kata kunci ‗woman with two
faces‘ pada kolom search. Tak banyak fakta yang kudapat, kecuali ‗woman with two faces‘
kecuali makna kiasan yang artinya punya dua kepribadian, dan beberapa judul film. Satu film
tahun 1941 berjudul ‗Two-faced Woman‘ yang dibintangi Greta Garbo, dan satu lagi sebuah film
Prancis baru rilis berjudul ‗Ne Je Retourne Pas‘ atau ―Don‘t Look Back‘ dalam bahasa Inggris.
Film ini dibintang Sophie Marceau dan Monica Belucci.
Kubaca resensi film itu. Ini menarik. Dalam thriller di youtobe kulihat adegan perubahan wajah
dari peran Sophie Marceau ke wajah Monica Belucci yang sama-sama cantik dan seksi.
Perubahan wajah terjadi karena peristiwa kelam di masa lalu! Hm!
Dan satu lagi, tentang lahirnya bayi perempuan di India yang menghebohkan dunia. Bayi ini
lahir dari keluarga miskin pada tanggal 10 Maret 2008. Bayi itu punya dua wajah, empat mata,
dua mulut dan hanya dua telinga. Hm!
Kira-kira apa yang terjadi dengan Kanita? Kekacauan persepsiku? Keremangan ilusi? Teka-teki
belum terjawab tuntas.
***
Aku mengetuk pintu kamar Kanita sekitar jam tujuh malam. Ia telah siap, masih dengan celana
jins pendek dan jaket; rupanya ia tak bawa ganti baju yang cocok untuk udara yang beranjak
dingin.
Aku dan Kanita semeja dengan pasangan Jake dan Leslie, turis bule tadi sore. Leslie rupanya
pelukis berbakat. Ia menunjukkan banyak karya sketsa, mulai dari candi, panorama alam,
binatang dan manusia.
―Boleh kalian kulukis?‖ Leslie meminta ijin.
―Sure. Tapi kami tak bisa bayar,‖ kataku.
―Don’t be silly. Ini gratis, ujar Leslie dengan senyum cantiknya.
Aku dan Kanita membiarkan Leslie mulai bekerja dengan pensil dan kertas sketsa. Sesekali
Leslie menghapus beberapa goresan salah dan meminta kami diam memaku sejenak untuk
merekam detail gambar.
―Leslie pelukis sketsa yang berbakat,‖ puji Jake, ―ia bahkan bisa melukis sesuatu hanya dengan
mendengarkan gambaran lisan orang tanpa melihat obyeknya‖
20 menit kemudian, sketsa itu usai. Leslie membentangkannya di hadapanku. Ia benar-benar
seniman keren. Wajah lelaki di sketsa itu, aku kenal betul; wajahku. Dan wajah Kanita yang
disketsakan,…..wajah Kanit!
―Hebat! Sketsa yang sangat fotografik!‖ kata Jake, seratus persen akurat‖
―Bagaimana pendapatmu, Kanita?‖ tanyaku.
―Nice, I like it!‖ kata Kanita singkat.
―Ini buat kalian, hadiah! Kalau mau salinannya, silakan scan,‖ kata Leslie.
―Thanks, Leslie, aku perlu tandatanganmu di sketsa ini. Dan Leslie dengan senang hati
menggoreskan tandatangan itu.
Kanita tak berkomentar banyak tentang sketsa buatan Leslie, tidak punya perlu bertanya
apakah aku heran melihat wajah Kanit dalam sketsa itu. Yang jelas aku punya satu titik baru;
sketsa buatan tangan ternyata bisa merekam wajah asli Kanita.
***
Pukul 8.38 malam.
Aku mengantar Kanita ke depan pintu kamarnya. Ia membuka pintu dan berkata, ―Tiba
waktunya beristirahat. Sampai jumpa besok. Aku biasa bangun lambat. Kita ketemu jam 9‖
―Oke, Kanita. Tapi satu hal, aku mau minta maaf soal di air terjun tadi. Aku khilaf, terlalu
terpesona kecantikanmu,‖ kataku.
―It’s okay, Fajar. Believe me, aku suka momen tadi sore‖
―Benarkah?‖
―Ya!‖
―Oke!‖ kataku.
―Oke!‖ Kanita berhenti sebentar di pintu kamar, melangkah perlahan masuk,‖ baliklah ke
kamarmu, besok keliling dulu sebelum kembali ke Chiang Mai,‖ ia menatapku beberapa saat,
seakan kurang yakin dengan bagian kata ‗baliklah ke kamarmu‘.
―Baik, good night!‖
―Ratri sawad‖ Kanita membalas ucapan selamat malam dalam bahasa Thai.
Perlahan aku melangkah ke kamarku, dan menutup pintu. Ada yang aneh dalam dada dan
benakku ketika menyimak tatapan Kanita di depan pintu itu. Sungguh aku ragu apakah itu tadi
tatapan mengundang atau apa? Aku menghitung detak jam. Dalam beberapa menit, berharap
ada keajaiban.
Dan benar, tiga menit kemudian, pintu kamarku diketuk dari luar. Kanita berdiri di ambang pintu.
―Kanita?‖ kataku. Cantik nian ia dalam sinar temaram lampu kamarku. Dan tatapan itu,
sekarang mudah kutebak maknanya.
―Mau masuk?‖
Ia tidak menjawab, langsung melangkah masuk.
―Kenapa kau kemari?‖ tanyaku, berdiri tak jauh di hadapannya, menutup pintu.
Jam menunjukkan pukul 8.45.
―Mau minta maaf soal tadi,‖ ujar Kanita.
―Kita sudah saling memaafkan‖
―Kamu tidak perlu minta maaf!‖
―Kenapa?‖
―Karena sebenarnya aku menginginkannya. Bisakah kutarik kembali kata-kataku tadi sore soal
‗tidak boleh begitu‘?‖
―Maksudmu?‖
―Joop dichan …..‖ desisnya.
Dan aku tak menunggu lama. Kuberikan yang ia minta. Hangat, lama dan bergelora. Kanita
kemudian menyediakan segala keindahan raganya buatku, yang kuimbali dengan tatapan
penuh hasrat.
―Matikan lampu,‖ pintanya dalam pelukanku di ranjang itu. Aku menekan tombol off lampu
meja. Remang. Keindahan dalam remang.
Tapi, ketika titik gelora itu hampir mendekati puncak, tiba-tiba aku merasa ada yang salah
dengan tubuh Kanita. Ia menjadi lebih berat, dan dalam rabaanku, tubuh itu tidak seramping
Kanita yang kulihat selama beberapa hari ini. Aku meraba wajahnya. Pipi itu bukan pipi Kanita.
Something has gone wrong!
Kunyalakan lampu berbareng dengan teriakan Kanita yang melarang aku menyalakan lampu.
Tapi itu terlambat. Lampu meja membenderangi kamar.
―Kanit!‖ aku terpekik.
Catatan
Ratri sawad = selamat malam, joop dichan = cium aku
EPISODE 6
Kunyalakan lampu berbareng dengan teriakan Kanita yang melarang aku menyalakan lampu.
Tapi itu terlambat. Lampu meja membenderangi kamar.
―Kanit!‖ aku terpekik.
Kanit memungut kaos dari permukaan seprei kamar untuk menutup dadanya. Aku serta merta
berdiri.
―Katakan aku tak salah lihat. Kamu adalah Kanit!‖ nafasku tersengal, tak bisa aku langsung
memercayai pandangan di hadapanku.
―Kanit atau Kanita, apa bedanya?‖ kata Kanit, kalem, masih mendekat kaos di dada. Aku
meraih celana jeans Kanita yang tergolek di lantai dan melemparkan pelan ke dekat Kanit.
―Tapi perempuan yang kulihat, kupeluk dan kucium lima menit yang lalu berbeda sekali dari
kamu,‖ kataku.
―Lebih cantik? Lebih menggairahkan? Lebih muda?‖ kata Kanit.
―Hm…ya!‖ kataku tak sungkan-sungkan.
―Lalu apa salahnya dengan perempuan yang kurang menarik, tidak muda dan kurang
menggairahkan?‖
Sessat aku tidak bisa menjawab.
―Beda sekali. Perempuan yang bersamaku tiga hari belakangan ini bukan kamu. Itu beda
sekali!‖
―Itu aku! Yang tak henti-henti kau potret, yang selalu kau pandangi baik diam-diam atau terang-
terangan, yang kau telanjangi dengan sorot matamu yang nakal‖
―Oke!‖ aku menyeka keringat di dahi. ―Sekarang benar-benarlah stop bermain-main. Katakan
padaku ada apa di balik semua teka-teki ini. Aku sadar ada Kanit di pagi hari, dan ada Kanita di
siang hari. Wajah itupun sama misteriusnya dengan foto-foto yang kupunya. Siang hari tampak
seperti Kanita, malam hari jadi Kanit. Tell me, aku taf paham!‖
―Dari jam 08.51.13 sampai 08.51.13 malam aku adalah Kanita, sisanya aku adalah Kanita, dan
itu hanya berlaku dalam pandanganmu. Dalam pandangan orang lain, sepanjang waktu aku
adalah Kanit!‖ ujar Kanita polos, mengenakan kaos dan celana pendeknya. Aku terduduk di
kursi tak jauh dari ranjang.
―Aku masih tak mengerti, Kanit‖ ujarku.
―Coba kau jumlahkan angka 8.51.13. Hasilnya adalah 27. Itu tanggal kelahiranku, dan tanggal
kelahiranmu pula. Tiga hari lalu, saat kau pertama datang menemuiku di rumahku, itu adalah
tanggal 27,‖ ujar Kanit. Aku mendengarkan dengan dada berdebar.
―Kau pernah bertanya bagaimana aku tahu tanggal lahirmu. Itu bisa kujawab saat terjadi
keajaiban itu, yakni ketika pagi itu di rumah kamu tiba-tiba melihat Kanit sebagai orang lain,
yakni Kanita. Saat itulah aku baru tahu telah terjadi sesuatu padaku; aku berubah menjadi
orang lain pas jam 08.51.13 pagi, dak aku tahu aku akan kembali menjadi Kanit duabelas jam
kemudian, yakni pada jam 08.51.13 malam.
―Aku sungguh buta teka-teki ini, Kanit. Katakan padaku lebih banyak,‖ aku masih terduduk
dengan kaos yang kini sudah terpasang ke tubuhku.
―Jangan bosan mendengar ceritaku. Oke, pada tanggal 13 April 2008, aku dapat kesempatan
mengantar turis Thailand ke India ke sebuah desa agak di luar Delhi. Kebetulan desa itu
sedang heboh, ada sepasang suami istri miskin melahirkan bayi perempuan dengan dua wajah;
terdiri atas empat mata, dua hidung, masing-masing dua pasang pipi dan dagu, dan dua telinga.
Pas di bagian tengah kedua wajah, tumbuh daging seperti belalai pada citra Ganesha,‖
―Sebentar, aku tahu berita itu dari internet tadi sore. Bayi itu lahir 10 Maret 2008, ‗kan?‖ aku
memotong.
―Benar!‖
―Bayi itu oleh penduduk setempat, dipercaya sebagai titisan dewa dan dianggap suci. Pasangan
suami istri miskin itu menolak upaya operasi yang ditawarkan pemerintah India. Mereka
menganggal bayi itu karunia dari Yang Kuasa,‖ Kanit berhenti bicara.
―Gadis itu, Fajar, lahir dengan dua wajah! Di internet aku baca, bayi itu menderita kelainan yang
disebut diprosopus alias craniofacial duplication, yakni duplikasi wajah. Orangtuanya
memberinya nama Lali Singh. Di tengah kerumunan pengunjung yang tak pernah sepi, aku
berhasil membelai wajahnya dan berharap ia akan tumbuh menjadi perempuan yang cantik,
karena dalam kehidupan dunia ini, perempuan berparas cantik bak memiliki surga dan dunia
dalam satu kesempatan. Aku berharap ia akan senantiasa beroleh bagian surga dunia. Aku
membelai kedua belah wajah bayi itu pas jam 08.51.13 pada tanggal 13 April 2008. Aku ulang
ya, angka-angka pada jam itu bila dijumlah adalah 27, dan angka-angka pada tanggal 13 April
2008, bila kau jumlah 13 plus empat dan 2008 adalah 27!‖
Aku tak bisa menyembunyikan ketercenganganku! Kubiarkan Kanit terus berkisah.
―Manakala kuraba dan kuusap lembut wajah ganda itu, Lali Sing seperti berbisik padaku. Dalam
perasaanku, ia mengatakan aku akan menjadi secantik perempuan cantik yang pernah
kubayangkan. Dan saat itu akan datang ketika seorang lelaki bertanggal lahir sama dengan aku
datang padaku pada tanggal 27 pagi sebelum jam 08.51.13. Semula aku tak percaya itu. Tapi
lama-lama aku merasa punya hal untuk punya harapan, meski musykil sekalipun. Bolehlah
seorang tak cantik macam aku mendapatkan sedikit kesenangan dengan cara yang tak lazaim
kalau memang itu harus terjadi,‖ kanit berhenti bicara dan menghela nafas.
―Lama aku menunggu lelaki itu. Ketika kau datang pagi itu ke rumahku, aku tak tahu kaulah laki-
laki pemantik keajaiban itu. Dan seperti kubilang tadi, aku baru tahu aku berubah menjadi
perempuan muda, cantik bertubuh indah ketika kau mengira aku orang lain. Dan kau perlu tahu,
hanya kau yang bisa melihat wajahku yang satunya itu, yang kau kenal dengan nama Kanita‖
―Kamu tahu seperti apa wajahmu ketika sedang menjadi Kanita?‖ tanyaku.
Kanit menggeleng. ―Tidak pernah bisa. Setiap kali melihat cermin pada jam-jam di atas
08.51.13, aku tetap melihat Kanit, seperti pada jam-jam yang lain. Hanya kau yang melihatku
sebagai Kanita dalam kurun waktu duabelas jam itu‖
―Oke, kamu mau tahu kamu seperti apa sebagai Kanita?‖ aku mengambil kamera di tas, dan
menyalakan. Tapi, oops, gambar-gambar itu tetap saja Kanit, ini kan masih duabelas jam saat
Kanit berwajah Kanit.
―Ya, aku sangat ingin tahu. Bagaimana wajah dan sosokku sebagai Kanita,‖ kata Kanit.
―Baik, Kanit. Kau tunggu di sini sebentar. Jangan kemana-mana. Aku akan berusaha membantu
kau melihat wajah Kanita-mu. Stay here!”
Kanit mengangguk lemah, tapi penuh harap. Aku yakin ia tak tahu apa yang akan kulakukan.
***
Aku melesat ke resepsionis dan tanya nomor kamar pasangan Jake dan Leslie.
Jake yang membuka pintu kamar ketika aku mengetuknya.
―Jake, sorry, aku tahu waktunya tidak tepat. But saya perlu bantuan Leslie,‖ kataku pada Jake
yang keheranan melihatku berdiri di pintu kamarnya.
―Perlu Leslie untuk apa?‖ kata Jake.
―Menggambar sketsa!‖
Untung Leslie senang membantu. Ia membawa seluruh peralatan sketsanya, dan di bawah
penerangan dua lampu di kamar, ia siap membantuku dengan bakat artistiknya.
―Leslie, aku perlu kau membuat sketsa seorang perempuan yang akan kugambarkan dengan
kata-kata. Aku yakin kamu bisa,‖ kataku. Mata Leslie membundar.
―Wow! Tantangan besar. Ok, it will be great to do that!‖ kata Leslie. ―Kau duduk di situ,
pejamkan matamu, bayangkan dia sepenuh hati dan gambarkan semua detail wajahnya
padaku; mata, pipi, alis, dagu, hidung, rambut, kening everything‖
Aku menuruti kata-kata Leslie. Aku memejamkan mata, membayangkan wajah cantik Kanita
lengkap dengan semua bagian wajah yang membuatnya menjadi pemandangan sedap ditatap.
Bila aku salah menggambarkan, Leslie dengan sabar menghapus dan membantuku
merekonstruksi wajah Kanita dalam benakku.
Dan sekali lagi aku harus memuji Leslie. Dalam waktu 45 menit, sketas itu selesai.
―Is she what you see in your mind?‖ tanya Leslie menunjukkan kertas sketsa.
Aku terpesona melihat gambar itu goresan pensil hitam putih itu. Kanita seperti hidup di sketsa
itu.
―Exactly, Leslie. Hebat! Thanks. You’re a great artist!‖
―Ini benar-benar perempuan Thailand cantik,‖ ujar Jake ikut menimpali. Siapa dia?‖
―Nanti kukatakan belakangan, Jake. Thanks again. You two have a good night!‖ aku
meningalkan Jake dan Leslie dan langsung mencari Kanit di kamarku.
―Kanit! Ini Kanita!‖ kusodorkan kertas sketsa itu.
―Oh my God!‖ Kanit menutup mulut. ―Jadi dengan wajah inikah aku tampil di siang hari di
hadapanmu?‖
―Ya, Kanita! Wajah yang tak pernah bisa dilihat orang lain selama tiga hari ini, kecuali olehku
antara jam 08.51.13 pagi sampai 08.51.13 malam!‖
Kanit masih memandangi wajah dalam sketsa itu. Raut Kanit tiba-tiba berubah tegang.
―Ada apa? Kau hebat dalam wajah dan tubuh itu, percayalah padaku!‖ kataku.
―Bukan begitu. Wajah ini…..oh my God!‖
―Kenapa? Ia secantik yang kau bayangkan bukan?‖ tanyaku. ―Wajah siapa sebenarnya itu?‖
―Ini wajah Kanita. Kanita asli!‖ ujar Kanit masih mendekap mulut.
―Dan siapa itu Kanita?‖ tumbuh hebat rasa ingin tahu itu di dadaku.
―Selingkuhan mantan suamiku!‖
―Selingkuhan mantan suamimu?‖ ulangku, duduk mendampingi Kanit di ranjang.
―Ya. Kanita adalah pemandu wisata daerah Pattaya. Suamiku dan Kanita menjalin hubungan
gelap. Keduanya tewas tergulung ombak di tenggelam di dekat Phi Phi Island, Thailand
Selatan, tahun awal tahun 2008,‖ Kanita menatap sketsa itu dalam-dalam.
―Tapi benarkah wajah itu yang selalu kaubayangkan?‖ kataku.
―Tidak hanya kubayangkan. Kanita adalah pemandu wisata tercantik yang pernah kukenal. Ia
idolaku, bahkan tetap idolaku ketika aku tahu ia ada main dengan suamiku. Aku selalu bisa
membayangkan diriku menjadi Kanita agar suami tak pernah berpaling. Dan rupanya ini
terjawab melalui doaku di hadapan bayi berwajah dua di India itu,‖ kata Kanit.
Lama aku dan Kanit duduk dalam kebisuan. Kanit masih menatap sketsa itu.
―Jadi, itukah semua misteri selama ini‖ tanyaku tak tahan terus saling membisu.
―Ya….dan, karena kau terlanjur tahu semua dan karena aku sudah anggap kau sahabat dan
bagian dari misteri ini, aku akan sampaikan hal penting lain…..‖
―Apa itu?‖
―Soal duabelas jam menjadi Kanit dan 12 jam menjadi Kanita dalam sehari,‖ ujar Kanit.
―Aku belum paham,‖ kataku.
―Ingat waktu aku berdoa di chedi candi Doi Suthep, dan kemudian berdoa di depan patung
Ganesha?‖
―Aku tak tahu persis yang kau lakukan waktu itu?‖
―Aku mendengar suara si bayi India itu. Ia bilang dalam semediku, aku bisa menjadi secantik
yang kuinginkan selama 24 jam penuh sehari di hadapan lelaki itu, yakni kau?‖
―Good news. Bagaimana caranya,‖ aku ingin tahu.
Kanit tak langsung menjawab.
―Akan sangat tidak tahu diri bila aku menyampaikan ini padamu‖
―Katakan saja, bila aku bisa membantu, aku bisa!‖ aku meyakinkan Kanit.
―Kamu yakin bisa?‖
―Bisa dan mau!‖
―Cumbui aku sebagai Kanit! Make love to me!‖
Ini benar-benar mengejutkan aku. Aku berdiri dari dudukku. Lama aku tak memberi jawaban.
―Sudah kuduga kau tak akan bisa. Lelaki di mana-mana sama saja, ia mencari perempuan
tercantik yang mungkin didapatkan!‖ Kanit menunduk.
―Bukan begitu, Kanit!‖
―Stop! Aku tidak mau berdebat! Cukuplah aku bisa berwajah cantik selama 12 jam saja, itupun
hanya di hadapanmu‖
Entah kenapa aku tiba-tiba tak tahan menatap Kanit begitu. Aku kembali duduk di dekatnya.
―Kanit. Yang kulakukan terhadap Kanita tadi, menurut aku, karena rasa cinta. Aku mencintai
Kanita, dan aku rasa Kanita pun mencintaiku, menginginkan aku. Bukankah demikian, Kanit?‖
tanyaku, memastikan bahwa Kanit, sebagai Kanita tadi memang demikian perasaanya.
―Begitulah!‖ kata Kanit. ―Apakah itu artinya kini kau tidak bisa melakukannya untuk Kanit?‖
―Well, cinta itu masalah rasa. Bukan karena kamu tidak cantik, tidak menarik. Tapi, maaf ya,
aku tak ada rasa padamu sebaga Kanit!‖
―It’s okay!‖ kata Kanit, bangkit dari tempat duduk di ranjang. ―Sekarang aku kembali ke
kamarku. Terimakasih kau telah membantuku, memberiku kenikmatan tak tuntas sesaat. Besok
pagi-pagi kita kembali ke Chiang Mai. Please jangan bersikap mesra pada Kanita di pada
duabelas jam besok. Ingat, Kanita itu Kanit!‖
Dan Kanit hilang di balik pintu, kembali ke kamarnya.
Aku terduduk di beranda menjelang tengah malam itu dan menyalakan batang rokok terakhirku.
Wajah Kanita terbayang, senyum manisnya, kerlingnya, keelokan raganya. Lalu kubayangkan
pula Kanita, seorang perempuan sangat dewasa yang sedang mengalami pergolakan bathin
hebat. Kemudian kubayangkan pula diriku sebagai lelaki bersuami yang mencari kenikmatan
dalam keindahan berbalut misteri dan teka-teki. Siapa aku ini? Bukankah sama saja dengan
Kanit? Akupun memiliki dua wajah; wajah baik dan wajah brengsek. Tak bisakah aku
melakukan suatu kebaikan?
Dan rokokku habis, kuhisap tuntas, sampai api terasa panas di bawah hidung.
Aku melangkah ke kamar Kanit dan mengetuk pintu itu. Kanit berdiri di ambang pintu, masih
dengan kaos tipis dan celana pendek Jeans. Ia tetap Kanit, tapi kupaksa benakku menatapnya
sebagai Kanita.
Dan kami mewarnai malam dengan cara yang diminta Kanit; membahagiakannya lahir bathin,
dengan sentuhan-sentuhan mesra begelora dan penuh keikhlasan.
***
Aku terbangun dengan alarm HP yang dari kemarin-kemarin kusetel pukul 7 pagi. Kanit masih
dalam pelukanku, kepala tenggelam di dadaku. Aku membangunkannya perlahan dengan
menggoyang kepala. Ia mendongak, ―Sawadi kha….‖ ucapnya manis. Kanita! Kanita dalam
pelukanku. Dan ini masih jauh dari jam 08.51.13.
―Kanita?‖ kataku.
―Kanita? Aku benar-benar Kanita?‖ Kanita meraih HPku dan melihat jam.
―Khawp khun kha….khun Fajar….khawp khun kha….,‖ yang kubalas dengan mesra pula. Kanita
memberiku ciuman mesra.
Kami kemudian melangkah ke beranda mencari udara segar. Kanita memelukku dari belakang
sembari menatap hampatan lembah di bawah sana. Jake dan Leslie yang sedang berjalan jalan
setapak d I depan kamar dan memberi salam.
Kanita masuk ke kamar untuk menjawab HP yang berdering. Jake yang sampai di depan
beranda, ―wah, jatuh cinta pada pemandu wisata nih,‖ seloroh Jake. Aku tahu ia tadi melihat
kemesraan aku dan Kanita, yang Jake lihat sebagai aku dan Kanit.
―Seperti yang kubilang, jatuh cinta ya jatuh cinta saja, tidak perlu urus siapa dia,‖ kata Jake.
―Benar, Jake! Keindahan itu bisa tersembunyi, bisa sangat subyektif. Dan aku beruntung bisa
melihat keindahan tersembunyi itu,‖ kataku pada Jake.
Jake mengangkat jempolnya dan berkata, ―Eh, lalu perempuan cantik yang gambarnya kau
sketsa-kan tadi malam itu siapa?
Aku tersenyum, ―Sorry, Jake, kali ini aku nggak mau berbagi info dengan kamu. Have a nice
day!‖
Dan hari itu aku dan Kanita memutuskan tidak balik dulu Chiang Mai. Kami bersepeda lagi
kebeberapa tempat eksotis di sekitar lembah Mae Sa. Dan setiap ada kesempatan, kami tak
pernah lewatkan tanpa bermesraan dan bercumbu hebat.
Kawan, boleh aku katakana sesuatu : aku mendapatkan suatu kenikmatan tersendiri setiap kali
bersama dengan Kanita; tak pernah ada lelaki yang lirik-lirik atau tergoda pada Kanita, tak
pernah ada yang memelototi kakinya yang indah dan jenjang, karena yang mereka lihat
hanyalah Kanit. Kanita hanyalah ada untukku, tidak untuk orang lain.
Dan aku tak sadar sudah cukup lama berada berdua di kawasan wisata itu sampai ketika
pergantian tahun pada tanggal 31 Desember, yang sedang kami rayakan berdua di sebuah
kamar cottage romantis lain, tiba-tiba HP-ku berdering pas pukul 12 malam.
―Sayang, selamat tahun baru. Kamu di mana kok tak pernah sms atau kirim kabar!‖
Itu tadi telepon dari istriku di Australia.
TAMAT
NOVELET : Gadis pemandu wisata Chiang Mai

Contenu connexe

Tendances

Cintaku bukan drakula
Cintaku bukan drakulaCintaku bukan drakula
Cintaku bukan drakulaTeuku Asrul
 
2. Laporan Perjalanan Rekreasi Dan Ziarah Wali (Lembar Kerja)
2. Laporan Perjalanan Rekreasi Dan Ziarah Wali (Lembar Kerja)2. Laporan Perjalanan Rekreasi Dan Ziarah Wali (Lembar Kerja)
2. Laporan Perjalanan Rekreasi Dan Ziarah Wali (Lembar Kerja)Fajar Wahid
 
Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)
Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)
Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)dausinstitute
 
Menembus ramma' dengan harapan
Menembus ramma' dengan harapanMenembus ramma' dengan harapan
Menembus ramma' dengan harapanSuardi Hasjum
 
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)Arvinoor Siregar SH MH
 
Depok, i'm lost in love
Depok, i'm lost in loveDepok, i'm lost in love
Depok, i'm lost in loveIfa Gre'
 
Ketika cinta harus bersabar - TERE LIYE
Ketika cinta harus bersabar - TERE LIYEKetika cinta harus bersabar - TERE LIYE
Ketika cinta harus bersabar - TERE LIYEHesti Romadhoni
 
Siti nurbaya marah rusli
Siti nurbaya   marah rusliSiti nurbaya   marah rusli
Siti nurbaya marah ruslidika arfian
 

Tendances (16)

Biarkan Cinta Kami Bersemi
Biarkan Cinta Kami BersemiBiarkan Cinta Kami Bersemi
Biarkan Cinta Kami Bersemi
 
Cintaku bukan drakula
Cintaku bukan drakulaCintaku bukan drakula
Cintaku bukan drakula
 
Ceritaku
CeritakuCeritaku
Ceritaku
 
Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)
Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)
Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)
 
2. Laporan Perjalanan Rekreasi Dan Ziarah Wali (Lembar Kerja)
2. Laporan Perjalanan Rekreasi Dan Ziarah Wali (Lembar Kerja)2. Laporan Perjalanan Rekreasi Dan Ziarah Wali (Lembar Kerja)
2. Laporan Perjalanan Rekreasi Dan Ziarah Wali (Lembar Kerja)
 
Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)
Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)
Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)
 
Menembus ramma' dengan harapan
Menembus ramma' dengan harapanMenembus ramma' dengan harapan
Menembus ramma' dengan harapan
 
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)
 
Depok, i'm lost in love
Depok, i'm lost in loveDepok, i'm lost in love
Depok, i'm lost in love
 
Ketika cinta harus bersabar - TERE LIYE
Ketika cinta harus bersabar - TERE LIYEKetika cinta harus bersabar - TERE LIYE
Ketika cinta harus bersabar - TERE LIYE
 
Tentang aku
Tentang akuTentang aku
Tentang aku
 
Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)
 
bahasa arab
bahasa arabbahasa arab
bahasa arab
 
Siti nurbaya marah rusli
Siti nurbaya   marah rusliSiti nurbaya   marah rusli
Siti nurbaya marah rusli
 
SITI NURBAYA -- MARAH RUSLI
SITI NURBAYA -- MARAH RUSLISITI NURBAYA -- MARAH RUSLI
SITI NURBAYA -- MARAH RUSLI
 
Siti nurbayakasihtaksampai
Siti nurbayakasihtaksampaiSiti nurbayakasihtaksampai
Siti nurbayakasihtaksampai
 

Similaire à NOVELET : Gadis pemandu wisata Chiang Mai

CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA
CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIACERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA
CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIAYohanesHendyW
 
Cerpen Pengalaman Pribadi
Cerpen Pengalaman PribadiCerpen Pengalaman Pribadi
Cerpen Pengalaman PribadiDevi Putri
 
Pelangi yang Jatuh di Sidareja.docx
Pelangi yang Jatuh di Sidareja.docxPelangi yang Jatuh di Sidareja.docx
Pelangi yang Jatuh di Sidareja.docxSarif Hidayat
 
Menyambung cerita
Menyambung ceritaMenyambung cerita
Menyambung ceritasairee
 
Mayasari punya story
Mayasari punya storyMayasari punya story
Mayasari punya storymayasarims
 
CERPEN Aroma Rindu Yerussalem
CERPEN Aroma Rindu YerussalemCERPEN Aroma Rindu Yerussalem
CERPEN Aroma Rindu YerussalemMaghfur Amien
 

Similaire à NOVELET : Gadis pemandu wisata Chiang Mai (11)

CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA
CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIACERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA
CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA
 
Cerpen Pengalaman Pribadi
Cerpen Pengalaman PribadiCerpen Pengalaman Pribadi
Cerpen Pengalaman Pribadi
 
Pelangi yang Jatuh di Sidareja.docx
Pelangi yang Jatuh di Sidareja.docxPelangi yang Jatuh di Sidareja.docx
Pelangi yang Jatuh di Sidareja.docx
 
4 negara
4 negara4 negara
4 negara
 
Tuoring aceh
Tuoring acehTuoring aceh
Tuoring aceh
 
Menyambung cerita
Menyambung ceritaMenyambung cerita
Menyambung cerita
 
Dwi ariyanto
Dwi ariyantoDwi ariyanto
Dwi ariyanto
 
Mayasari punya story
Mayasari punya storyMayasari punya story
Mayasari punya story
 
Post 1
Post 1Post 1
Post 1
 
CERPEN Aroma Rindu Yerussalem
CERPEN Aroma Rindu YerussalemCERPEN Aroma Rindu Yerussalem
CERPEN Aroma Rindu Yerussalem
 
Siti nurbaya
Siti nurbayaSiti nurbaya
Siti nurbaya
 

NOVELET : Gadis pemandu wisata Chiang Mai

  • 1. NOVELET : GADIS PEMANDU WISATA CHIANG MAI EPISODE 1 Keretaapi dari Bangkok masuk stasiun Chiang Mai terlambat 20 menit. Angin sejuk bulan Desember menndesir halus di leher, lumayan menghibur setelah semalam digoyang gerakan kereta selama 12 jam lebih. Aku menghampiri sopir tuk-tuk. ―Pi khap, pai thanon Santisuk. Jed har sib baht dai mai?‖ aku langsung menawar 75 baht untuk tujuan Jalan Santisuk. Mungkin ogah tawar menawar, supir tuk-tuk langsung mengiyakan. ―Sudah sering kesini rupanya?‖ sopir tuk-tuk mengajak bicara ketika menerima tawaran sebatang rokok menthol mild yang kubawa dari Indonesia. ―Ini yang kelima,‖ kataku. ―Pantas tahu ongkos tuk-tuk,‖ kata si sopir. Tuk-tuk mendaratkan aku di Mountain House Hotel di Jalan Santisuk. Surin, pemuda kurus asal Phitsanulok di Thailand tengah itu, menjaga meja resepsi hotel masih mengenaliku. ―Kamar 204 seperti biasa, ya?‖ kata Surino. ―Chai. Khawp khun khap,‖ aku mengucapkan terimakasih. ―Kali ini, kamu datang ke Chiang Mai untuk apa?‖ tanya Surin yang sudah sangat akrab denganku. ―Belajar masakan Thai dua hari, sisanya jalan-jalan,‖ kataku. ―Dan malam harinya?‖ Surin menggoda. Aku tahu maksudnya; pada setiap kunjunganku ke Chiang Mai, dialah yang mengantar aku ke tempat-tempat untuk menikmati kedahsyatan perempuan Thailand. ―Tidak kali ini, Surin. Aku sudah menikah!‖ kataku. Surin cuma terkekeh. ―Chiang Mai itu tempat bujangan, sobat! Kalau sudah menikah, harusnya kau bawa istri,‖ kata Surin. ―Istriku sedang tugas belajar ke Australia,‖ kataku. ―Kali ini aku cuma perlu informasi di mana aku bisa dapatkan pemandu wisata,‖ kataku. ―Oke, besok kucarikan informasinya!‖ janji Surin. *** Baru dua hari kemudian, pagi-pagi sekali, Surin memberiku sebuah alamat, tepat di hari aku tak lagi harus pergi ke kursus memasak, dan siap menghabiskan waktu untuk jalan-jalan.
  • 2. Alamat pemandu wisata yang dimaksud Surin berada di kawasan the Old City, tak jauh dari candi Wat Phrasing. Jam 8 kurang sedikit aku sampai di alamat itu. ―Sawasdi khap….‖ Aku memberi salam di pintu sebuah rumah di dalam gang yang merupakan salah satu soi jalan Ratchadamnoen. Ini rumah pemandu wisata yang direkomendasikan Surin. ―Sawadi kha….,‖ suara perempuan membalas sapa. ―Betul ini rumah Kanita Siripongvarakul , pemandu wisata?‖ kataku dalam bahasa Inggris ketika perempuan muda itu muncul membuka pintu. Seorang perempuan biasa, bercelana jins selutut dan kaos oblong warna pink. ―Saya dapat alamat Anda dari Surin,‖ ―Ya, betul. Oh ini pasti khun Fajar, orang Indonesia yang menginap di hotel Mountain House. Silakan duduk,‖ perempuan itu melambaikan tangan ke arah tempat duduk kayu di halaman rumah bernaung pepohonan rindang. ―Bagaimana saya memanggil nama Anda,‖ tanyaku. Orang Thailand biasanya punya nama panggilan singkat untuk memudahkan namanya yang rumit. ―Kanita!‖ ―Dan saya, panggil saja Fajar, tak usah pakai khun,‖ kataku. ―Baik, Fajar! Anda perlu diantar kemana saja?‖ tanya Kanita. ―First of all, saya harus tahu tarif jasa pemanduanmu,‖ kataku. ―Oh ya, 150 baht per satu jam, atau 1.500 baht per 12 jam. Makan dan transport kamu yang tanggung,‖ jelas Kanita. ―Oke,‖ kataku, ―mulai pagi ini jam 9. Aku ambil paket 12 jam,‖ ―Jam 9 ya? Kalau begitu; kamu punya dua pilihan, duduk menunggu saya bersiap di sini, atau mungkin cari sarapan dulu; di gang sebelah ada kedai kare masaman yang terkenal,‖ kata Kanita. ―Ide bagus,‖ kataku, ―Aku mulai percaya kamu pemandu yang handal,‖ kataku berseloroh. Kanita hanya tersenyum. Menunggu kare masaman disajikan, aku melihat berkeliling; sejumlah mahasiswi cantik dalam seragam blus atas putih ketat dan rok hitam ketat pendek tengah menikmati sarapan sembari bercengkerama dengan suara-suara khas centil mereka. Wah, kenapa pemandu wisata pilihan Surin untukku tidak semenarik gadis-gadis ini, pikirku? Tapi okelah, Surin pasti berpikir aku benar-benar mencari pemandu wisata profesional, bukan mencari kesempatan untuk bertemu perempuan Thailand cantik. Aku kembali ke rumah Kanita sebelum pukul 9, langsung menuju ke tempat duduk di bawah naungan pepohonan, menunggu. Aku menyalakan rokok menthol mild-ku.
  • 3. ―Harusnya tidak boleh merokok di situ!‖ tiba-tiba terdengar seutas suara perempuan. Aku menoleh. Seorang gadis berkulit bersih, berambut lurus sebahu, luar biasa cantik dengan hidung mancung dan bibir merah membara berdiri di ambang pintu terbuka. ―Oh, maaf!‖ kataku mematikan rokok dan mencari tempat yang cocok untuk membuang punting. ―Sudah selesai makannya?‖ tanya gadis itu. ―Saya? Oh, sudah?‖ kataku sedikit gugup. Siapa pula gadis ini dan kenapa pula ia tahu aku baru saja tiba dari kedai makan. ―Sudah siap berangkat sekarang?‖ kata gadis itu. ―Berangkat? Hm, kamu siapa? Kanita mana?‖ bisa dibayangkan betapa ‗bego‘nya tampangku kali itu. ―What do you mean Kanita mana? It‘s me, Kanita,‖ kata gadis itu. ―Oh, well, Kanita? Please jangan bercanda. Kanita yang saya temui sekitar satu jam yang lalu di sini, bukan kamu,‖ kataku. ―Fajar, lihat saya baik-baik. Ini saya, Kanita. Kita ketemu sejam lalu di sini sebelum kusarankan kau pergi makan dulu. Kamu menyewa aku untuk pemanduan wisata. Paket 12 jam. Sekarang jam 9. Kita berangkat, silakan sebutkan kemana tujuanmu pertama,‖ kata gadis ini. Aku masih berdiri mematung. Apa mungkin dalam waktu satu jam Kanita berubah penampilan hampir 180 derajad? Kanita satu jam yang lalu berwajah bulat, hidung agak tertelan bidang pipi, dan lebih pendek daripada Kanita detik ini, dan secera keseluruhan kurang menarik. Kanita yang ini? Ah, habis kata-kataku untuk menggambarkannya. Gadis itu meraih bingkai gerbang kayu di depan rumah dan mengisyaratkan aku agar segera beranjak. ―Terus terang aku bingung, kamu berbeda sekali dari yang kulihat sejam lalu,‖ kataku tak bisa menyembunyikan keheranan. ―Trust me. Ini aku dari sejam lalu, the same Kanita!‖ kata gadis ini, dan memimpin berjalan meninggalkan gang. ―Alat transport terbaik adalah motor. Kita sewa motor dulu, ya?‖ kata Kanita. Aku mengangguk. Kami berjalan menuju persewaan motor di gang lain. Petugas di persewaan motor menyapa gadis itu dengan nama Kanita. Ini membuat aku perlahan-lahan percaya bahwa sekitar sejam lalu aku kehilangan separuh berkonsentrasi dan tidak mampu merekam wajah Kanita dengan baik dalam benakku. Atau justru pada detik inilah aku kehilangan konsentrasi dan melihat Kanita bisa sejam lalu menjadi lebih cantik daripada dan lebih sexy daripada mahasiswi- mahasiswi di kedai makan tadi?
  • 4. ―Oke, sebelum kita berangkat,‖ kataku. ―Ijinkan aku menatap kau baik-baik dan memastikan aku tidak salah pemandu wisata,‖ kataku. Aku berputar ke hadapan gadis ini dan berolah kesempatan beralasan untuk menatapnya dalam-dalam. Cantik istimewa! Pesona sempurna! Gadis ini—baik, daripada bikin ruwet, kuakui saja ia Kanita—menggeleng-gelengkan kepala. ―Fajar, kuharap kamu tadi tidak salah makan! Baru kali ini aku melihat ada klien seaneh kamu,‖ ujar Kanita sembari menawarkan aku mau setir motor atau mau dibonceng. Karena tak punya SIM internasional, aku pilih dibonceng. ―Pertama-tama, kita ke gunung Candi Doi Suthep, di gunung Doi Suthep, 15 kilometer dari sini. Pakai helm kamu,‖ kata Kanita. Aku menurut dan duduk di boncengan. Harum tubuh dan helai-helai rambut Kanita yang menyisir tepian hidungku, lembut dan beraroma kenanga. Tak berani aku duduk terlalu rapat ke tubuhnya. Catatan : Soi = gang Sawasdi khap salam diucapkan oleh pria, sawasdi kha salam diucapkan oleh perempuan Chai = ya EPISODE 2 Kanita mengemudikan motor tak terlalu kencang, menembus pagi berudara dingin sedikit menusuk kulit tubuh. Jalanan kota Chiang Mai, kota nomor dua terbesar di Thailand, yang jumlah penduduknya tak sampai sepersepuluh Bangkok, sangat santai dan bebas macet. Dari kawasan Old City, kami berboncengan melaju sepanjang jalan Huay Kaew, kemudian terus menanjak ke arah gunung Doi Suthep. Sejenak kemudian bentangan kota Chiang Mai dalam pagi redup tampak cantik di bawah sana yang bisa terlihat jelas dari sela-sela pepohonan di pinggir jalan yang terus menanjak. Candi Doi Suthep, seperti biasa, mulai ramai sejak pagi. Untuk menuju kawasan candi, pengunjung harus menaiki 309 anak tangga beton yang pinggirannya berhias juluran tubuh naga. Turis asing seperti aku harus bayar 30 baht, sementara Kanita, sebagai warga Thailand bisa masuk gratis. ―Candi ini, Wat Phra Tat Doi Suthep,‖ ujar Kanita dengan nafas mengepulkan uap di udara dingin, ―dibangun pertama kali pada tahun 1383 pada jaman kerajaan Lanna dan memiliki sentuhan-sentuhan Buddhisme dan Hinduisme.
  • 5. Kami melepas alas kami dan naik le lantai dua candi yang dipenuhi dengan berbagai chedi dan patung Buddha dan Ganesha. Kanita mendemonstrasikan kepiawaiannya sebagai pemandu wisata handal. Kuperhatikan ia sangat menguasai informasi dan bisa memilah belahan informasi mana yang diperlukan dan yang tidak diperlukan kliennya. Aku bisa menilai ini dengan baik karena sebenarnya aku tahu banyak tentang Candi ini dan tentang lokasi-lokasi wisata lainnya di Thailand. Saat tiba tengah hari, Kanita minta ijin sebentar untuk melakukan ritual dengan menggenggam seunting bunga lotus yang masih kuncup, dan mengelilingi chedi utama 11 kali sambil melantunkan doa-doa. Dan baru saat ini kusadari betapa eloknya gadis ini. Aku berdiri menanti di salah satu sudut menghadap arakan kecil umat Buddhis yang sedang melakukan ritual kecil, menantikan Kanita lewat. Setengah memejamkan mata ia mengikuti langkah-langkah kecil arakan dengan masing-masing gagang bunga lotus di tangan. Entah kenapa aku merasa demikian terhibur ketika Kanita dalam arakan kecil itu lewat dan lewat lagi di hadapanku. Wajah cantiknya dalam terpaan sinar matahari musim dingin dengan bibir indah berkomat-kamit mungil sangat mencegah aku untuk tidak memalingkan muka ketika itu lewat dan lewat lagi sampai sebelas kali putaran. Beberapa jepretan foto juga kubuat khusus mengabadikan wajahnya secara close-up. *** Kami makan siang di kedai tak jauh dari candi. ―Agar tak salah makan, tolong kasih tahu enaknya aku makan apa,‖ kataku bercanda. ―Aku mau makan khao soy, itu sejenis kare ayam bumbu santan. Mau?‖ ―Oke,‖ kataku, dan sekali lagi memotretnya dari jarak sangat dekat. Maklum, tak tahan aku untui tidak menyimak rautnya terus. ―Kamu klien yang paling banyak memotret aku,‖ kata Kanita mengulas senyum. ―Untuk beberapa alasan, kenapa tidak?‖ kataku. ―Katakan padaku, Fajar. Apa kerjamu di Indonesia?‖ ―Aku wiraswastawan, pingin buka gerai spa Thailand, pingin usaha kedai makanan cepat saji Thailand, dan pingin menjadi pemandu wisata pelancong Indonesia ke Thailand,‖ kataku. Kanita urung mengunyah makanan. ―Pemandu wisata?‖ Tanya Kanita. ―Betul‖ ―Hm! Sudah berapa kali ke Thailand?‖ ―Ini yang kelima. Yang kelima pula berkunjung ke Chiang Mai‖
  • 6. ―Lima kali ke sini? Kenapa kamu butuh pemandu?‖ ―Itulah yang kubilang. Aku ingin menjadi pemandu untuk pelancong Indonesia di negerimu. Aku harus banyak belajar dari pemandu lokal. Hari ini aku banyak belajar dari kamu,‖ kataku. ―selain itu, aku juga harus memperdalam bahasa Thailand-ku‖ kataku dalam bahasa campuran Thailand dan Inggris. ―Itukah sebabnya bahasa Thailand-mu lumayan bagus?‖ kata Kanita. ―Benar! Kalau kamu sendiri, sudah lama jadi pemandu wisata?‖ ―Baru empat tahun‖ ―Empat tahun. Kamu kayaknya masih muda sekali. Berapa umurmu, sorry nanya?‖ ―Tebak!‖ ―23?‖ ―24! Kamu?‖ ―27‖ kataku. ―Hebat! Umur 27, kelahiran 27 Juni, dan datang menemuiku pagi tadi, tanggal 27‖ desis Kanita. ―Bagaimana kau tahu tanggal lahirku?‖ aku kaget. Kanita hanya tersenyum manis. ―Mudah sekali……tapi tak perlulah kujawab sekarang bagaimana aku tahu tanggal lahirmu. Yuk, kita jalan lagi, sekarang ke mana? Chiang Mai Zoo?‖ Aku mengangguk, masih terheran-heran. Adakah ia pernah buka-buka tasku dan melirik pasporku? Ah rasanya tidak mungkin? Ataukah Surin yang memberitahunya? Bukankah Surin punya salinan pasporku di database tamu di komputer resepsi hotel? Dan percayalah, sepanjang sore itu, dua hal berseliweran di benakku; kecantikan Kanita yang berbalut raga indah serta titik-titik misteri gadis ini. Kami berkeliling Chiang Mai Zoo tak jauh dari pusat kota Chiang Mai sampai hari menjelang sore, berlanjut ke Night Bazaar. Menjelang pukul 9 malam, Kanita bilang ia harus segera pulang. Tadinya ia hendak mengantarku balik ke hotel. Tapi di tengah jalan ia berhenti, melihat layar HP dan berkata., ―Sorry, Fajar. Aku harus sampai rumah jam Sembilan pas. Kalau aku antar kamu ke hotel, pasti aku terlambat. Maaf, kamu turun di sini, silakan cegat Song Teuw yang lewat. Kami pasti tahu caranya,‖ kata Kanita. Aku melirik arloji. Jam 8.45 malam. Aku turun dan mengembalikan menyerahkan helm. ―Aku perlu kau lagi besok. Fee pemanduan hari ini, kamu perlu sekarang?‖ kataku merogoh dompet. ―Tak usah. Besok saja. Kujemput kau di hotel jam 9 pas. Jangan terlambat!‖ kata Kanita, menstart motor dan segera melaju sambil melirik layar HP yang masih menyembulkan jam.
  • 7. *** Begitu sampai di depan hotel, aku mencari Surin. Ia tengah asyik main kartu dengan seorang wisatawan bule di lobi. ―My friend, bagaimana hari ini. Pemandu itu, sip nggak?‖ songsong Surin dengan sapaannya. ―Sip! Terimakasih kau rekomendasikan pemandu cantik!‖ kataku. ―Cantik?‖ ulang Surin; lihatlah nadanya terdengar ragu. ―Ya, Kanita. Cantik sekali!‖ kataku, ―Memangnya kau tak pernah ketemu dia? Nih lihat fotonya,‖ aku menyalakan kamera digital dan membuka hasil jepretan di candi yang tadi sudah kulihat memampangkan wajah-wajah Kanita yang sedap dipandang. Surin melihat layar kamera, dan tersenyum. ―Terserahlah kau bilang apa, kawan. Tapi menurutku Kanita biasa saja. Setelah menikah, standar penilaianmu tentang wanita jadi turun rupanya,‖ ujar Surin. ―Kamu ini laki-laki Thailand aneh, Surin. Lihat ini,‖ aku meraih kamera dari Surin dan mencoba mencari foto Kanita yang paling jelas wajahnya. Astaga! Foto itu, foto –foto close-up Kanita di candi, bukan berwajah Kanita cantik, melainkan Kanita pertama yang kutemui di rumah itu tadi pagi. Aku mengernyitkan dahi. Kulihat Surin menatapku dengan perasaan seperti melihat orang tolol. ―Foto ini…..aku berani sumpah ini bukan wajah dia. Kanita yang kupotret, jauh lebih cantik daripada ini…..‖ kataku. ―Sebentar, kawan. Kau bilang tadi namanya Kanita? Yang difoto ini namanya Kanit, bukan Kanita. Itu Kanit, nggak pakai ‗a‘,‖ tambah Surin mempertegas. Aku terduduk di kursi empuk dekat Surin, dan tercenung sesaat. Apa yang terjadi hari ini? Surin menggoyang-goyangkan badanku. ―Are you okay, my friend?‖ ―I’m fine. Poom sabai di,‖ kataku. Di kamar, kutengok lagi sekitar 50-an hasil jepretan wajah Kanita. Jelas, wajah itu adalah wajah biasa Kanita di pagi hari di rumah itu, bukan Kanita yang membuat hatiku berbunga-bunga sepanjang perjalanan wisata sepanjang hari tadi. Aku menunggu pagi dengan dada berdebar. Catatan : Chedi = bagian candi yang berbentuk stupa Song Teuw = angkot
  • 8. Poom sabadi di = aku baik-baik saja EPISODE 3 Tak puas dengan menyimak foto-foto Kanita lewat layar kamera digital, aku mentransfer foto- foto itu ke laptopku. Sama-saja, wajah yang terpampang adalah wajah Kanit, bukan Kanita. Aku mengucek-ucek mata. Apakah aku terkena optical illusion yang membuat obyek-obyek yang kulihat bisa menimbulkan persepsi berbeda? Ah, tapi apakah aku sebodoh itu? Kanit dan Kanita sangat berbeda. Dan aku terlelap dengan seribu misteri di benakku. Aku bangun sekitar pukul tujuh pagi, dan kuperiksa kembali foto-foto di layar komputer dan layar kamera digital. Masih foto Kanit. Aku membawa laptop ke lantai bawah dan membuat sarapan gratis di dapur tamu di dekat lobi. Surin sudah duduk di belakang meja resepsionis, masih dengan senyum geli yang dipakai sejak semalam. ―Makin jelas ya kalau lewat layar laptop?‖ kata Surin begitu aku meletakkan laptop di meja. ―Ya, dan aku masih bertanya-tanya bagaimana wajah itu ganti rupa,‖ kataku. Surin cuma menggeleng-gelengkan kepala ketika sekali lagi ikut-ikutan menghadap layar laptop dengan aku. ―Jam Sembilan nanti Kanita akan menjemputku kemari. Nanti kau lihat baik-baik dia, dan katakan padaku pendapatmu, lalu bandingkan Kanita dengan wajah Kanit di layar komputer ini. Kau akan tahu bedanya dan, seperti yang kurasakan saat ini, kau akan mulai cari tahu seperti aku kenapa wajah itu bisa berubah,‖ kataku pada Surin. Surin tetap tersenyum geli. Kenyang makan dua belah roti dan secangkir kopi pahit, aku bergerak ke kamarku dan mengambil tas. Laptop kutinggalkan di meja dekat resepsionis. Jam sudah menjelang pukul sembilan. Saatnya Kanita tiba menjemput. Ketika aku kembali ke meja laptop, darahku berdesir, foto-foto itu kembali berwajah cantik Kanita. Aku mengucek mata. Benarkah yang kulihat itu? Wajah manis, mungil, ayu sang pemandu wisata Kanita? ―Surin!‖ aku meneriaki Surin yang tengah sibuk dengan cucian di mesin cuci umum dekat parkiran. ―Sini. Lihat ini. Wajah Kanita yang kumaksud!‖ aku membelokkan layar laptop ke pandangan Surin. Kupilih foto close-up waktu Kanita mengucap doa di Chedi kemarin.
  • 9. ―LIhat! Ini Kanita! Bukan seperti yang kau lihat kemarin!‖ aku menunjuk. Surin memperhatikan baik-baik. Tak ada reaksi mendadak dari tampangnya. ―Cantik, bukan? Kanita! Bukan Kanit!‖ kataku. Surin menatapku sejenak. ―My friend, kamu yakin kamu baik-baik saja? Ini foto yang kemarin, foto Kanit yang kau tunjukkan padaku lewat layar kamera digital,‖ kata Surin. ―Kamu jangan bergurau. Aku serius!‖ kataku. ―Serius aku, teman!. Ini Kanit! Kalau kamu mau aku bilang ia cantik, ya deh, aku bilang cantik! Tapi menurutku Kanit biasa-biasa saja,‖ kata Surin. ―Astaga, Surin! Tidakkah kau bisa membedakan antara foto tampak kemarin dengan foto yang tampak sekarang?‖ otoku. Surin menarik nafas panjang. ―Bagaimana aku harus bilang. Ini foto yang kemarin kau tunjukkan, kenapa kau bilang beda,‖ kelihatan Surin mulai jengkel dengan kelakuanku. Akupun tak kalah mendongkol. Jelas-jelas di foto itu terpampang wajah yang bukan Kanit, kok Surin ngotot itu Kanit. Jangan-jangan otak Surin yang nggak bener! Ayolah kawan pembaca, bantu aku sebentar, lihat baik-baik foto di bawah ini. Apakah kalian tahu bedanya. Jika semula wajah gadis di dalam foto yang kujepret adalah wajah Kanita, kemudian semalam berubah menjadi Kanit, dan pagi ini berubah lagi menjadi Kanita, tidakkah ini membuat kalian heran. Ditambah lagi dengan Surin; jelas-jelas foto itu pagi ini berwajah Kanita, tetap saja Surin melihatnya sebagai Kanit. Surin kelihatannya ogah berdebat. Sayang di sekeliling tak ada orang yang bisa dimintai second opinion. Yang kemudian ada malah derum sepeda motor Kanita. Kanita! Dia sini, menjemputku ! Dan benar-benar Kanita pemandu wisata cantik yang seharian kemarin mengantarku ke beberapa lokasi wisata. ―Sawadi kha….sabai di mai?” Kanita menangkupkan kedua tangan menyapaku dan Surin. Cantik dan segar sekali ia pagi ini, dengan rambut yang semburat rapi, lepas dari cengkeraman helm. Aku menoleh Surin sejenak. Tak ada perubahan air muka Surin. Sama sekali tidak terkejut melihat kehadiran Kanita yang jelas-jelas bukan Kanit seperti yang ia sangka. ―Kemana hari ini, Kanit?‖ sapa Surin pada Kanita, sengaja menekan kata ‗Kanit‘. Kanita mendekat ke arahku dan Surin, menolehku dengan senyum manis,‖belum tahu, harus tanya Fajar dulu,‖ kata Kanita. ―Sebentar. Surin panggil kamu dengan nama Kanit. Namamu sebenarnya, Kanit atau Kanita?‖ tanyaku. Kanita mengerling, ―Kanit atau Kanita, sama saja, yang penting ini aku, pemandu wisata Chiang Mai,‖ bibir itu membentuk sajian indah.
  • 10. Tak puas dengan jawaban itu, aku menggamit Surin menjauh dari Kanita. “Now, Surin. Jangan main-main. Katakan padaku siapa yang kaulihat itu. Aku melihat Kanita, seorang gadis muda cantik, berkulit bersih, bertubuh seksi, berambut lurus panjang, berbibir menawan dan kerling ayu. Kau melihat siapa?‖ Surin menggeleng mengusap dahinya, tanda kesal tak tersalurkan. Ia kemudian bicara: ―Itu Kanit, gadis yang fotonya ada di kamera dan laptopmu,‖ Surin bicara dengan sabar yang dibuat-buat, ‖Kalau kau menggambarkan Kanit seperti yang barusan kau ucapkan, okelah kawan, oke…..but trust me, ada yang nggak beres dengan dirimu. Ada yang salah dengan matamu….‖ Surin berubah sangat serius. Aku terdiam sesaat, dan memukul-mukul dahiku sendiri dengan pantat kepalan tangan. Kanita berdiri menanti. ―Mau bengong di situ terus atau berangkat?‖ Kanita mengangsurkan helm padaku. Aku meraih helm itu. ―Kita kemana pagi ini?‖ tanyaku. ―Wisata pasar tradisional, kita mulai dengan Pasar Warorot,‖ kata Kanita. ―Biar aku yang pegang setir motor sekarang. Aku perlu udara segar,‖ kataku. Kanita menyerahkan kunci motor. Ia duduk di boncengan. Hembusan nafasnya yang sejuk bila harus bicara di antara helm tanpa kaca kadang membuat hatiku berderak kecil. *** Keramaian pasar tradisional Warorot dengan berbagai macam dagangan khas dan warna- warni produk lokal tak terlalu membuat aku tertarik. Aku lebih tertarik menatap wajah Kanita dan mencari tahu lebih banyak tentang gadis ini. Tapi tak banyak yang bisa kukorek. Ketika iseng kutanya kartu tanda pengenal pemandu wisata, ia menunjukkan kartu yang masih berlaku, pakai foto dan nama dirinya. Perlukah aku tanya lagi soal Kanita yang pertama kali kulihat di rumah itu kemarin pagi? Perlukah kuceritakan padanya bahwa wajah Kanita cantik ini dalam foto bisa gonta-ganti dengan wajah Kanita pertama alias Kanit menurut Surin? Tidak, sebaiknya tidak. Dan untuk sementara, aku tidak mau dibuat pusing oleh gonta-ganti wajah ini. Sebaiknya kunikmati saja wajah cantik langka ini, dan membuat foto Kanita sebanyak-banyaknya; tak perduli nanti dia bakal nyindir lagi soal klien yang paling suka motret. Harus kuakui aku suka jalan dengan Kanita. Ia cerdas, bahasa Inggrisnya rapi, kesantunannya oke, dan kecantikannya sungguh menetramkan. Tapi perjalanan lintas pasar hari ini membuatku letih, dan demikian pula keletihan itu terpancar di wajah Kanita. Aku memutuskan hari itu tak perlu acara pemanduan sampai jam 9 malam. Begitu matahari redup, aku katakan pada Kanita kami masing-masing perlu istirahat setelah seharian keluar masuk pasar.
  • 11. ―Sebetulnya, aku masih suka jalan, tapi kalau kamu capai, ya sudahlah, silakan,‖ kata Kanita. Aku memberinya bayaran penuh dua hari plus ongkos sewa motor dan beli bensin. ―Besok masih mau jalan?‖ kata Kanita. Kali ini kutangkap matanya menyiratkan sinar penuh harap. ―Kayaknya begitu. Jemput aku di hotel?‖ kataku. Kanita mengangguk manis, ―Lao je gan…” *** Aku balik ke hotel jam 8 malam setelah makan sendiri di pujasera lantai bahwa mal Kad Suan Kaew. Mengistirahatkan punggung di kasur aku menyalakan kamera. Puluhan foto Kanita di pasar, dalam berbagai pose dan mimik muka dan malam banyak yang terkesan narsis, menandakan ia mulai suka difoto. Tiba-tiba aku sangat berminat melihat jam. Sekarang jam 8.45 menit. Aku masih menggeser-geser layar untuk menatapi foto-foto Kanita dan berharap tidak ada lagi kejadian aneh dengan foto-fotoku. Kalau wajah dalam foto bisa gonta-ganti, maka istilah ‗diabadikan‘ harus didefinisikan ulang, karena gambar yang terekan pada foto, ternyata tak bisa abadi. Layar kamera itu tiba-tiba saja meredup dan gelap. Ah, ini biasa, power save mode on. Dan kamera menyala lagi. Kucoba buka foto Kanita. Huaaaaaaaaaaaaaaaaah!~*%$@#@*&%@#!! Kenapa wajah Kanit lagi! Semuanya. Semua foto Kanita kemarin dan hari ini, semuanya berwajah Kanit, bertubuh Kanit! Catatan : Lao je gan na kha…= sampai jumpa. EPISODE 4 Pagi itu, aku sengaja sarapan lebih awal, dan tak perlu menunggu Kanita datang menjemput. Aku jalan kaki ke jalan raya dan melambaikan tangan pada Song Teeuw yang lewat. Jam 8.25 aku sampai di Jalan Ratchadamnoen dan tinggal mencari gang rumah Kanita. Aku mampir sebentar di kios sabai Tour, yang baru saja dibuka Sashi, pemilik travel agent kecil di jalan itu. ―Sawadi kha…khun, Eddy! You come again!‖ sapa Sashi. ―Sashi, aku bisa minta brosur wisata bersepeda?‖ kataku. ―Silakan ambil sendiri di rak,‖ kata Sashi. Aku mengais beberapa lembar leaflet wisata.
  • 12. ―Sashi, kau kenal Kanita, pemandu wisata yang tinggal tak jauh dari sini?‖ tanyaku. ―Kanit, maksudmu? Itu yang rumahnya di gang ketiga dari sini!‖ kata Sashi. ―Kenapa?‖ ―Itu bukan Kanita?‖ ―Bukan, itu Kanit. Tuh saya punya fotonya dalam daftar pemandu wisata Chiang Mai,‖ Sashi menghampiri map plastik yang tergolek di meja. ―Ini maksudmu?‖ Sashi menunjuk salah satu foto dari daftar rekanan pemandu wisata di map itu Lagi-lagi foto Kanit yang ditunjukkan. ―Ia pemandu hebat dan pintar. Banyak pengalaman. Kau pakai dia?‖ tanya Sashi ―Ya,‖ kataku. ―Di rumahnya ia tinggal dengan siapa?‖ ―Setahuku ia tinggal sendiri,‖ kata Sashi. ―Menurutmu, berapa umur Kanit?‖ ―Well, entahlah, 29 atau 30 an mungkin,‖ kata Sashi, ――Kenapa, naksir ya? Dia tidak punya pacar lo‖. ―Nggak, cuma tanya saja. Dia bukan tipeku. Ya sudah, khawp khun khap!‖ aku mengucapkan terimakasih dan meninggalkan Sashi yang masih sibuk menata banner-banner info wisata di depan kiosnya. Aku mendapati rumah Kanita sepi, dengan pintu gerbang kayu tidak terkunci. Aku melirik arloji. Pukul 8.40. ―Sawadi khap,‖ aku memberi salam. ―Sawadi kha….,‖ terdengar suara renyah beroma centil khas Kanita, dari arah samping rumah. Aku melangkah ke samping rumah. Seorang perempuan berdiri di samping rumah, hendak menjemur handuk. Rambutnya basah. Itu Kanit! Bukan Kanita! Langkahku terhenti. ―Mm, eh, Kanita ada?‖ tanyaku. ―Ada. Persis di depanmu,‖ kata Kanit. ―Ha ha! Canda yang segar. Terimakasih ya, kamu beri saya Kanita sebagai pemandu. Kapan itu kan kamu yang saya temui mula-mula,‖ kataku, tak tahu lagi aku harus bicara apa. ―Ih, ada-ada saja. Yang memandu kamu dua hari kemarin itu aku,‖ kata Kanit. Aku tertawa kecil menghibur diri. Sungguh aku berharap Kanit sedang bergurau saja, dan sebentar lagi akan memanggil Kanita yang asli.
  • 13. ―Oke, tunggu sepuluh menit, ya, aku akan siap‖ kata Kanit. ―Maksudmu, Kanita akan siap?‖ Kanit hanya tersenyum. Ia melewati aku dan mempersilakan aku duduk di ruang tamu di dalam rumah. Ia sendiri kemudian masuk kamar tak jauh dari ruang tamu. Sekitar 12 menit kemudian, seorang perempuan muncul dari balik pintu kamar, mengenakan jaket putih dengan kaos dalam warna hitam dan celana jins pendek. Rambut terurai sedikit basah, wajah cerah merona, dan bibir merah menyala dalam sungging senyum yang indah. Kanita! Syukurlah! Kini teka-teki sedikit terjawab, pikirku. Kanit tadi masuk kamar, memanggil Kanita. ―Kalian pintar sekali mengusili orang dengan main Kanit-Kanita,‖ kataku, mengamati Kanita menyiapkan barang-barang bawaan dengan gerakan magis yang mempesona. ―Maksudmu?‖ tanya Kanita, sedikit melirikku. ―Yang tadi masuk kamar itu, siapa sih sebenarnya?‖ tanyaku. ―Aku!‖ jawab Kanita. ―Please, seriuslah,‖ kataku. ―Aku nggak bercanda. Itu aku. Coba kau lihat sendiri apakah ada orang lain di kamarku,‖ kata Kanita membuka pintu kamar lebar-lebar. Aku tak segera bergerak. Perlukah aku benar-benar memeriksa kamar? ―Ayo, silakan lihat!‖ Kanita menghampiriku dan menghela tanganku ke kamarnya. Sentuhan tangannya yang meraih tanganku, terasa hangat. Kamar itu, khas kamar perempuan, dengan wewangian bunga kenanga. Sebuah kamar kecil tanpa sudut-sudut tersembunyi, dengan jendela berteralis besi yang tak mungkin bisa dilalui manusia. Tak ada siapa-siapa di sana. Aku melihat berkeliling cukup lama. Di dinding agak ke atas, ada foto keluarga Raja Bhumibol Adulyajey. Di bawahnya, ada satu poster bintang film perempuan top Thailand, Pacharpa Chalcua, dan di sebelahnya ada sebuah foto ukuran 10R menempel. Foto Kanit! ―Itu siapa?‖ tanyaku menunjuk foto Kanit. ―Itu aku!‖ kata Kanita tanpa nada canda. Kalau tadi pusingku mulai sirna karena mengira teka-teki akan berakhir, kali ini aku makin pening dengan jawaban Kanita. Ada apa sebenarnya dengan orang-orang ini? Dan Kanita tahu ada sesuatu yang bergolak di benakku.
  • 14. ―Fajar, let me tell you something. Tidak ada siapa-siapa di rumah ini, Aku tinggal sendiri di sini. Keluargaku tinggal di Uttaradit, seratus limapuluhan kilo dari sini,‖ Kanita berdiri dekat di belakangku. Nafasnya yang harum menyapu kudukku. ―Okelah, Kanita,‖ aku menggeleng untuk diriku sendiri. Pasrah sudah aku pada permainan ini. Sebaiknya kunikmati saja, apapun permainannya. Yang penting, pemandunya adalah Kanita, yang senyum dan tatapan matanya padaku seringkali lebih lama dan lebih membawa getar-getar tertentu. Tak sedetikpun aku enggan berdekatan dengan gadis cantik Thailand ini. *** ―Hari ini aku mau wisata bersepeda ke lembah Mae Sa. Ini aku punya brosur wisata dari Sabai Tour. Kita cari persewaan sepeda ya,‖ kataku. ―Pilihan yang tepat. Tadinya aku juga mau menyarankan begitu,‖ ujar Kanita. Kami kemudian berjalan beberapa ratus meter ke tempat persewaan sepeda gunung dan menyewa sepeda untuk sehari penuh. ―Siap-siap, ya. Perjalanan naik sepeda ke Mae Sa pulang pergi sekitar 70 kilometer, jalanan menanjak terus,‖ kata Kanita. ―Mai pen rai, selama ada kamu, aku oke,‖ kataku. Dan kami meluncur bersepeda meninggalkan Chiang Mai menuju ke timur laut kota. Sinar matahari tak terlalu benderang dan angin sejuk bulan Desember membelai wajah. Di sampingku, pemandu wisata cantik dengan sepasang kaki jenjang dan hanya menyisakan celana jins pendek, dengan kulit putih cerah, memberikan hiburan tersendiri. Soal nama, mau Kanit atau Kanita, aku tak perduli. *** Terus terang aku lelah bersepeda tanpa henti mulai dari mennyusuri jalan raya sampai terguncang-guncang di jalan bergeronjal sepanjang 3 jam belakangan tadi., melewati kota- kota kecil Doi Saket dan Choeng Doi. Sekitar jam 12 aku dan Kanita berhenti di Mae Pong untuk minum soft drink dan membeli bekal makanan untuk perjalanan di kawasan sepi Mae Sa nanti. Hebatnya, Kanita tak terlihat letih. Ia tetap semangat meski kulihat cucuran keringat melembabkan wajah, yang membuatnya makin tampak ayu alamiah. Saat tengah hari, kami menggenjot sepeda lagi. Jalanan kali ini benar-benar tidak bersahabat, dengan permukaan tanah dan bebatuan. Kanita memimpin di depan, ia yang tahu jalan. Seringkali kami berhenti untuk menikmati suasana pedesaan dengan panorama alam hijau di sela-sela rumah penduduk desa. Angin pedesaan berdesir membawa kesejukan. Bekal makan siang kami santap di sebuah kawasan air terjun yang sepi dari keramaian. Kanita duduk dengan manis pada sebongkah batu, melepas jaketnya, membiarkan kerampingan tubuh
  • 15. dalam balutan kaos dalam tak berlengan dan sepasang kakinya yang mulus bebas kutatap. Kami menikmati pad thai yang kami beli di Mae Pong tadi. ―Lihat air sungai dari air terjun itu, tampak bening dan sejuk. Mau renang?‖ kata Kanita seusai makan. ―Ide bagus,‖ aku melepas kaos dan celana panjang, menyisakan boxer yang pas buat renang. Kanita bersembunyi di balik pohon untuk penutup dada bagian dalam. Aku menunggu Kanita berjalan di antara bebatuan licin menuju perairan tak jauh dari air terjun Terus terang aku tak berani menatapnya terus dalam busana renang dadakan itu. Aku mengkonsentrasikan diri pada air sejuk dengan kedalaman pas setinggi manusia normal. Ini yang kucari, kesegaran setelah bersepeda. Rasa segar menggerayangi tubuh. Aku bergerak berenang melintasi lebar perairan sekitar 10x 10 meter itu. Kanita langsung menceburkan diri ke air dengan gerakan selam. Ia rupanya penyelam yang lihai. Ia menyusul aku ke ujung lain perairan itu. ―Asyik. Luar biasa asyik,‖ kataku, menatap Kanita yang baru menyembut dari air, menyibakkan rambut. Tetes-tetes air di permukaan wajahnya menambah indah raut Kanita; dan kaos basah yang menempel ketat di kulit dada itu, tanpa penutup dada lazimnya, sayang kalau dilewatkan. ―Jangan mulai punya ide motret cewek basah kuyup, ya!‖ ia mengingatkan aku dengan mimik jenaka saat mendapati aku menatapnya nyaris tanpa kedip. Aku berjanji tidak akan memotretnya dalam keadaan begitu. Bakal tak terlalu menarik nanti kalau yang terpampang dalam foto nantu ternyata adalah adalah tubuh Kanit. ―Rasanya aku ogah pulang, pingin di sini terus,‖ kataku berendam di tepian, di bawah rindangan sebuah pohon, ―sunyi, tenang, dan teduh‖ ―Aku juga. Kalau saja bisa di sini terus!‖ kata Kanita berdiri di sebelahku, bermain kecipak air. ―Apakah kau selalu mengajak klienmu ke sini?‖ tanyaku. ―Baru kamu, baru kali ini pula aku pakai pakaian basah di depan laki-laki. Harusnya ini tidak sopan,‖ jawab Kanita. ―Oh ya? Boleh tahu kenapa aku demikian spesial, kau bolehkan menatapmu dalam pakaian basak begitu?‖ Kanita mengangkat kaki dan dari rendaman membersihkannya dengan air seolah kaki itu memang perlu dibersihkan di permukaan air . Aku menahan nafas. ―Itu mungkin karena kamu yang duluan menganggap aku spesial,‖ katanya. ―Kamu memang spesial,‖ demikian kataku, tak ingin membuatnya terlalu lama menunggu komentarku.
  • 16. ―Dan, apa boleh aku tahu kenapa kau pikir aku demikian spesial?‖ tanya Kanita, mengirim tatapan kecil ke arahku.. ―Karena alasan yang sangat simple; kamu cerdas, baik, jenaka, straight-talker, dan…..‖ ―……dan apa?‖ sergah Kanita. ―….dan cantik. Pemandu wisata perempuan tercantik yang pernah kujumpai di Thailand,‖ kataku. Kanita tertawa kecil. ―Tahu tidak, tadinya aku mengira kamu bakal pikir aku kathoey, alias banci. Banci Thailand banyak yang lebih cantik dan seksi daripada perempuan Thailand,‖ ―Aku tahu itu, dan aku tahu kamu bukan kathoey,‖ kataku. Kanita mendongak sejenak membiarkan lehernya yang jenjang dan dagunya yang indah kubiarkan kutatap. ―Tampaknya sudah sore,‖ kita naik yuk‖ ―Sebentar. Kesejukan yang begini sulit didapat. Tolong beri kita waktu sebentar, ya,‖ aku menoleh Kanita. ―Aku sangat menikmati saat-saat ini,‖ tak bisa aku menyembunyikan getar romantik dalam suaraku. Dan agaknya Kanita menangkap getar itu pula. ―Benar kamu mau lebih lama di sini?‖ tanya Kanita. Aku mengangguk. ―Sama kalau begitu,‖katanya. Kita berendam dan berenang di sini barang satu jam lagi,‖ kata Kanita. ―Nikmati sejuknya alam, lupakan kesibukan kerja sehari-hari‖ ―Nah, gitu dong!‖ ucapku. Dan kami memang tak melewatkan sedikitpun kesejukan air jernih dari air terjun itu. Angin yang sesekali berhembus, membuat penggalan sore ini makin melenakan. Aku menghampiri Kanita yang bersandar di tepian sungai masih dalam rendaman air di bawah rindang-rindang pohon itu lagi. Sunyi bergelayut, hanya suara cicit burung terdengar, dalam tingkahan derasnya air terjun. Sore hari telah jatuh. ―Setelah dari sini, rasanya malas kalau harus bersepeda balik ke Chiang Mai,‖ kataku. ―Aku juga pikir begitu,‖ ujar Kanita. ―Aku aku punya ide lain. Itupun kalau kau mau‖ ―Go ahead, kamu yang pimpin perjalanan ini, kamu yang tentukan,‖ kataku. ―Di desa Mae Sa tak jauh dari sini, ada penginapan kecil berdinding kayu seperti cottage dan beratap ilalang dan mereka menyajikan makanan vegetarian. Kita menginap di situ dan pulang besok saja. Gimana?‖ ―Gagasan cantik, dari orang cantik,‖ kataku, menatapnya dalam-dalam.
  • 17. Ia balas menatapku, merapatkan tubuh ke arahku.. Dan entah kenapa, tiba-tiba bibir merah membara itu seperti mengundangku. Benar-benarkah undangan ini? Kudekatkan wajahku ke arahnya. Ia menatapku lebih lekat beberapa saat dengan mata terpejam, menanti. Tapi sepersekian detik sebelum terjadi pergesekan kulit bibir-bibir kami, tiba-tiba ia memalingkan muka dan menjauh dariku. ―Ih, apa-apaan kita ini?. Tidak boleh begitu. Khor thot kha…..naik ke darat yuk!‖ kata Kanita. Aku terpaku sesaat. Tapi tak urung mengikuti gadis ini dengan perasaan galau. Bibir itu, sudah teramat dekat. Kenapa ia memalingkan muka? Apakah mungkin ini terlalu cepat baginya? Aku mengikuti Kanita naik ke bebatuan. Cepat Kanita menyelinap ke balik pohon dengan tas bawaan, seolah jadi takut kugerayangi tuuhnya dengan pandanganku, dan ganti pakaian basah dengan setelah celana pendek dan kaos kering dari tas punggungnya.. Aku terduduk bersimbah air sungai di bebatuan. Aku baru saja melewatkan bagian terpenting keindahan sore ini begitu saja. Sementara, sedikit dari kejauhan, aku melihat Kanita tersenyum kecil—bernuansa menggoda-- yang susah kutebak maknanya. Catatan : khawp khun khap = terimakasih (diucapkan laki-laki) khawp khun kha = terimakasih (diucapkan perempuan) mai pen rai = tidak apa-apa kathoey = banci khor thot kha = maaf EPISODE 5 Mae Sae Valley Tuptim Cottage itu sebenarnya bukan lodging yang mewah. Terdiri dari gugusan bangunan berdinding kayu tanpa cat, beratap ilalang. Setiap gugus terdiri dari coupled room yang berandanya dibatasi pagar kayu juga. Sederhana tapi asri, dengan lindungan sejumlah pohon besar di sekelilingnya. Gemericik air terdengar di sekeliling. Sejumlah turis tampak memadati restaurant yang juga berfungsi sebagai resepsionis. ―Silakan, dua kamar, nomor 05 dan 06,‖ resepsionis menyerahkan kunci kamar masing-masing padaku dan pada Kanita. Aku kemudian memesan dua kopi dan khao nia ma muang alias ketan mangga. Kami memilih meja menghadap hamparan lembah di bawah sana. Dua pasangan bule duduk tak jauh dari aku. Lelaki bule ganteng dan perempuan bule cantik, dengan rambut terikat ke belakang. Kedua turis asing ini juga sedang menunggu makanan. Si bule perempuan, tertarik pada hamparan lembah, meraih papan persegi empat yang dilengkapi dengan kertas sketsa, meraih pensil dan berdiri mencari sudut pandang yang pas dan mulai membuat sketsa pemandanga dengan coretannya. Bosan menunggu, tertarik dengan kegiatan artistik si cewek bule, Kanita pun menghampiri si bule perempuan dan mulai mengobrol.
  • 18. Aku melihat Kanita dari kejauhan. ―Perempuan memang lebih dulu tertarik pada yang indah-indah,‖ tiba-tiba bule lelaki itu bicara padaku. ―Excuse me?” aku memastikan ia bicara padaku. ―Look at them,‖ si bule menunjuk istrinya dan Kanita. ―Waktu untuk menunggupun dimanfaatkan untuk menyimak yang indah-indah,‖ kata si bule lelaki. ―Oh ya, benar!‖ kataku. ―My name is Fajar,‖ aku menjulurkan tangan memperkenalkan diri. Si bule pria menyambut tanganku. ―I’m Jake. Nice to meet you!‖ ―Nice to meet you too!‖ ―Are you Thai?‖ Jake tanya. ―No, Indonesian! And you?‖ ―Canadian! She’s Canadian too,‖ Jake menunjuk bule perempuan. ―Your girlfriend?‖ kataku. ―Yeah!‖ ―She’s beautiful,‖ pujiku. ―Thanks. Itu pacarmu?‖ Jake menanyakan Kanita. ―Bukan, ia pemandu wisata, perempuan Thai!‖ ―She’s pretty!‖ ujar Jake. Pujian Jake ini tentu saja meragukanku. Bule kan biasa pasang pujian, meski kadang tidak jujur. Benar-benarkan Jake melihat Kanita sebagai perempuan cantik? Timbul niatku untuk menguji pendapat Jake sekaligus menguji obyektifitas persepsiku atas penampilan Kanita. Aku mendekatkan kursi ke dekat kursi Jake. ―Jake, aku tahu ini aneh. Tapi aku perlu pendapatmu yang sebenarnya. Tell me, apakah perempuan Thai itu benar-benar cantik, maksudku physically attractive?‖ ―Well, my friend, sepanjang pengamatanku, perempuan Thailand biasanya cantik-cantik dan atraktif,‖ kata Jake tak segera menjawab pertanyaanku. ―Apakah pemandu wisataku itu termasuk dari itu?‖ desakku. ―Bisa kubilang ya!‖
  • 19. Aku tak puas pada jawaban Jake. Aku menoleh berkeliling. Gadis resepsionis muda itu cantik juga, sepantaran Kanita, tapi Kanita jauh lebih menarik. ―Sori kalau aku minta pendapatmu sebagai sesama pria , Jake. Menurutmu, siapa lebih menarik gadis resepsionis itu atau pemandu wisataku?‖ Jake memutar badan untuk menyimak si gadis resepsionis yang tengah berdiri membenahi sesuatu di meja pendek di depannya. ―Benar kamu minta pendapat obyektifku?‖ kata Jake. ―Benar‖ ―SI gadis resepsionis lebih cantik, lebih menarik, dan lebih muda!‖ kata Jake. Aku menghela nafas. Aku tahu Jake melihat sosok Kanit pada raga Kanita, persis seperti pendapat orang lain ketika melihat Kanita. ―What’s wrong, buddy? Kau suka gadis itu? Tak usah membanding-bandingkan, kecantikan bukan nomor satu,‖ kata Jake berseloroh. Kecantikan bukan nomor satu! Berarti Kanita tidak cantik menurut pandangan Jake. Aku makin yakin ia melihat Kanit, bukan Kanita. *** Hari beranjak gelap ketika aku dan Kanita usai menikmati makanan kecil sore. ―Aku mau istirahat beberapa saat, kalau kau tidak keberatan‖ kata Kanita membuka pintu kamar 05, persis bersebelahan dengan kamarku. ―Oke,‖ kubangunkan kamu saat makan malam nanti,‖ kataku, ―Selamat beristirahat!‖ Aku tak berhasrat beristirahat. Terbelenggu oleh ucapan Jake dan kegalauanku tentang persepsi orang yang berbeda akan fisik Kanita, kau merasa harus mencari penjelasan lewat cara lain. Aku bergerak ke resepsionis, dan bertanya, ―Ada saluran internet di sini?‖ ―Ya, ada, di belakang, kiri,‖ jelas resepsionis, ―20 baht per 10 menit, pakai koin‖ Kudapakan saluran internet itu, dan mulai googling. Kumasukkan kata kunci ‗woman with two faces‘ pada kolom search. Tak banyak fakta yang kudapat, kecuali ‗woman with two faces‘ kecuali makna kiasan yang artinya punya dua kepribadian, dan beberapa judul film. Satu film tahun 1941 berjudul ‗Two-faced Woman‘ yang dibintangi Greta Garbo, dan satu lagi sebuah film Prancis baru rilis berjudul ‗Ne Je Retourne Pas‘ atau ―Don‘t Look Back‘ dalam bahasa Inggris. Film ini dibintang Sophie Marceau dan Monica Belucci.
  • 20. Kubaca resensi film itu. Ini menarik. Dalam thriller di youtobe kulihat adegan perubahan wajah dari peran Sophie Marceau ke wajah Monica Belucci yang sama-sama cantik dan seksi. Perubahan wajah terjadi karena peristiwa kelam di masa lalu! Hm! Dan satu lagi, tentang lahirnya bayi perempuan di India yang menghebohkan dunia. Bayi ini lahir dari keluarga miskin pada tanggal 10 Maret 2008. Bayi itu punya dua wajah, empat mata, dua mulut dan hanya dua telinga. Hm! Kira-kira apa yang terjadi dengan Kanita? Kekacauan persepsiku? Keremangan ilusi? Teka-teki belum terjawab tuntas. *** Aku mengetuk pintu kamar Kanita sekitar jam tujuh malam. Ia telah siap, masih dengan celana jins pendek dan jaket; rupanya ia tak bawa ganti baju yang cocok untuk udara yang beranjak dingin. Aku dan Kanita semeja dengan pasangan Jake dan Leslie, turis bule tadi sore. Leslie rupanya pelukis berbakat. Ia menunjukkan banyak karya sketsa, mulai dari candi, panorama alam, binatang dan manusia. ―Boleh kalian kulukis?‖ Leslie meminta ijin. ―Sure. Tapi kami tak bisa bayar,‖ kataku. ―Don’t be silly. Ini gratis, ujar Leslie dengan senyum cantiknya. Aku dan Kanita membiarkan Leslie mulai bekerja dengan pensil dan kertas sketsa. Sesekali Leslie menghapus beberapa goresan salah dan meminta kami diam memaku sejenak untuk merekam detail gambar. ―Leslie pelukis sketsa yang berbakat,‖ puji Jake, ―ia bahkan bisa melukis sesuatu hanya dengan mendengarkan gambaran lisan orang tanpa melihat obyeknya‖ 20 menit kemudian, sketsa itu usai. Leslie membentangkannya di hadapanku. Ia benar-benar seniman keren. Wajah lelaki di sketsa itu, aku kenal betul; wajahku. Dan wajah Kanita yang disketsakan,…..wajah Kanit! ―Hebat! Sketsa yang sangat fotografik!‖ kata Jake, seratus persen akurat‖ ―Bagaimana pendapatmu, Kanita?‖ tanyaku. ―Nice, I like it!‖ kata Kanita singkat. ―Ini buat kalian, hadiah! Kalau mau salinannya, silakan scan,‖ kata Leslie. ―Thanks, Leslie, aku perlu tandatanganmu di sketsa ini. Dan Leslie dengan senang hati menggoreskan tandatangan itu.
  • 21. Kanita tak berkomentar banyak tentang sketsa buatan Leslie, tidak punya perlu bertanya apakah aku heran melihat wajah Kanit dalam sketsa itu. Yang jelas aku punya satu titik baru; sketsa buatan tangan ternyata bisa merekam wajah asli Kanita. *** Pukul 8.38 malam. Aku mengantar Kanita ke depan pintu kamarnya. Ia membuka pintu dan berkata, ―Tiba waktunya beristirahat. Sampai jumpa besok. Aku biasa bangun lambat. Kita ketemu jam 9‖ ―Oke, Kanita. Tapi satu hal, aku mau minta maaf soal di air terjun tadi. Aku khilaf, terlalu terpesona kecantikanmu,‖ kataku. ―It’s okay, Fajar. Believe me, aku suka momen tadi sore‖ ―Benarkah?‖ ―Ya!‖ ―Oke!‖ kataku. ―Oke!‖ Kanita berhenti sebentar di pintu kamar, melangkah perlahan masuk,‖ baliklah ke kamarmu, besok keliling dulu sebelum kembali ke Chiang Mai,‖ ia menatapku beberapa saat, seakan kurang yakin dengan bagian kata ‗baliklah ke kamarmu‘. ―Baik, good night!‖ ―Ratri sawad‖ Kanita membalas ucapan selamat malam dalam bahasa Thai. Perlahan aku melangkah ke kamarku, dan menutup pintu. Ada yang aneh dalam dada dan benakku ketika menyimak tatapan Kanita di depan pintu itu. Sungguh aku ragu apakah itu tadi tatapan mengundang atau apa? Aku menghitung detak jam. Dalam beberapa menit, berharap ada keajaiban. Dan benar, tiga menit kemudian, pintu kamarku diketuk dari luar. Kanita berdiri di ambang pintu. ―Kanita?‖ kataku. Cantik nian ia dalam sinar temaram lampu kamarku. Dan tatapan itu, sekarang mudah kutebak maknanya. ―Mau masuk?‖ Ia tidak menjawab, langsung melangkah masuk. ―Kenapa kau kemari?‖ tanyaku, berdiri tak jauh di hadapannya, menutup pintu. Jam menunjukkan pukul 8.45. ―Mau minta maaf soal tadi,‖ ujar Kanita.
  • 22. ―Kita sudah saling memaafkan‖ ―Kamu tidak perlu minta maaf!‖ ―Kenapa?‖ ―Karena sebenarnya aku menginginkannya. Bisakah kutarik kembali kata-kataku tadi sore soal ‗tidak boleh begitu‘?‖ ―Maksudmu?‖ ―Joop dichan …..‖ desisnya. Dan aku tak menunggu lama. Kuberikan yang ia minta. Hangat, lama dan bergelora. Kanita kemudian menyediakan segala keindahan raganya buatku, yang kuimbali dengan tatapan penuh hasrat. ―Matikan lampu,‖ pintanya dalam pelukanku di ranjang itu. Aku menekan tombol off lampu meja. Remang. Keindahan dalam remang. Tapi, ketika titik gelora itu hampir mendekati puncak, tiba-tiba aku merasa ada yang salah dengan tubuh Kanita. Ia menjadi lebih berat, dan dalam rabaanku, tubuh itu tidak seramping Kanita yang kulihat selama beberapa hari ini. Aku meraba wajahnya. Pipi itu bukan pipi Kanita. Something has gone wrong! Kunyalakan lampu berbareng dengan teriakan Kanita yang melarang aku menyalakan lampu. Tapi itu terlambat. Lampu meja membenderangi kamar. ―Kanit!‖ aku terpekik. Catatan Ratri sawad = selamat malam, joop dichan = cium aku EPISODE 6 Kunyalakan lampu berbareng dengan teriakan Kanita yang melarang aku menyalakan lampu. Tapi itu terlambat. Lampu meja membenderangi kamar. ―Kanit!‖ aku terpekik. Kanit memungut kaos dari permukaan seprei kamar untuk menutup dadanya. Aku serta merta berdiri. ―Katakan aku tak salah lihat. Kamu adalah Kanit!‖ nafasku tersengal, tak bisa aku langsung memercayai pandangan di hadapanku.
  • 23. ―Kanit atau Kanita, apa bedanya?‖ kata Kanit, kalem, masih mendekat kaos di dada. Aku meraih celana jeans Kanita yang tergolek di lantai dan melemparkan pelan ke dekat Kanit. ―Tapi perempuan yang kulihat, kupeluk dan kucium lima menit yang lalu berbeda sekali dari kamu,‖ kataku. ―Lebih cantik? Lebih menggairahkan? Lebih muda?‖ kata Kanit. ―Hm…ya!‖ kataku tak sungkan-sungkan. ―Lalu apa salahnya dengan perempuan yang kurang menarik, tidak muda dan kurang menggairahkan?‖ Sessat aku tidak bisa menjawab. ―Beda sekali. Perempuan yang bersamaku tiga hari belakangan ini bukan kamu. Itu beda sekali!‖ ―Itu aku! Yang tak henti-henti kau potret, yang selalu kau pandangi baik diam-diam atau terang- terangan, yang kau telanjangi dengan sorot matamu yang nakal‖ ―Oke!‖ aku menyeka keringat di dahi. ―Sekarang benar-benarlah stop bermain-main. Katakan padaku ada apa di balik semua teka-teki ini. Aku sadar ada Kanit di pagi hari, dan ada Kanita di siang hari. Wajah itupun sama misteriusnya dengan foto-foto yang kupunya. Siang hari tampak seperti Kanita, malam hari jadi Kanit. Tell me, aku taf paham!‖ ―Dari jam 08.51.13 sampai 08.51.13 malam aku adalah Kanita, sisanya aku adalah Kanita, dan itu hanya berlaku dalam pandanganmu. Dalam pandangan orang lain, sepanjang waktu aku adalah Kanit!‖ ujar Kanita polos, mengenakan kaos dan celana pendeknya. Aku terduduk di kursi tak jauh dari ranjang. ―Aku masih tak mengerti, Kanit‖ ujarku. ―Coba kau jumlahkan angka 8.51.13. Hasilnya adalah 27. Itu tanggal kelahiranku, dan tanggal kelahiranmu pula. Tiga hari lalu, saat kau pertama datang menemuiku di rumahku, itu adalah tanggal 27,‖ ujar Kanit. Aku mendengarkan dengan dada berdebar. ―Kau pernah bertanya bagaimana aku tahu tanggal lahirmu. Itu bisa kujawab saat terjadi keajaiban itu, yakni ketika pagi itu di rumah kamu tiba-tiba melihat Kanit sebagai orang lain, yakni Kanita. Saat itulah aku baru tahu telah terjadi sesuatu padaku; aku berubah menjadi orang lain pas jam 08.51.13 pagi, dak aku tahu aku akan kembali menjadi Kanit duabelas jam kemudian, yakni pada jam 08.51.13 malam. ―Aku sungguh buta teka-teki ini, Kanit. Katakan padaku lebih banyak,‖ aku masih terduduk dengan kaos yang kini sudah terpasang ke tubuhku. ―Jangan bosan mendengar ceritaku. Oke, pada tanggal 13 April 2008, aku dapat kesempatan mengantar turis Thailand ke India ke sebuah desa agak di luar Delhi. Kebetulan desa itu sedang heboh, ada sepasang suami istri miskin melahirkan bayi perempuan dengan dua wajah;
  • 24. terdiri atas empat mata, dua hidung, masing-masing dua pasang pipi dan dagu, dan dua telinga. Pas di bagian tengah kedua wajah, tumbuh daging seperti belalai pada citra Ganesha,‖ ―Sebentar, aku tahu berita itu dari internet tadi sore. Bayi itu lahir 10 Maret 2008, ‗kan?‖ aku memotong. ―Benar!‖ ―Bayi itu oleh penduduk setempat, dipercaya sebagai titisan dewa dan dianggap suci. Pasangan suami istri miskin itu menolak upaya operasi yang ditawarkan pemerintah India. Mereka menganggal bayi itu karunia dari Yang Kuasa,‖ Kanit berhenti bicara. ―Gadis itu, Fajar, lahir dengan dua wajah! Di internet aku baca, bayi itu menderita kelainan yang disebut diprosopus alias craniofacial duplication, yakni duplikasi wajah. Orangtuanya memberinya nama Lali Singh. Di tengah kerumunan pengunjung yang tak pernah sepi, aku berhasil membelai wajahnya dan berharap ia akan tumbuh menjadi perempuan yang cantik, karena dalam kehidupan dunia ini, perempuan berparas cantik bak memiliki surga dan dunia dalam satu kesempatan. Aku berharap ia akan senantiasa beroleh bagian surga dunia. Aku membelai kedua belah wajah bayi itu pas jam 08.51.13 pada tanggal 13 April 2008. Aku ulang ya, angka-angka pada jam itu bila dijumlah adalah 27, dan angka-angka pada tanggal 13 April 2008, bila kau jumlah 13 plus empat dan 2008 adalah 27!‖ Aku tak bisa menyembunyikan ketercenganganku! Kubiarkan Kanit terus berkisah. ―Manakala kuraba dan kuusap lembut wajah ganda itu, Lali Sing seperti berbisik padaku. Dalam perasaanku, ia mengatakan aku akan menjadi secantik perempuan cantik yang pernah kubayangkan. Dan saat itu akan datang ketika seorang lelaki bertanggal lahir sama dengan aku datang padaku pada tanggal 27 pagi sebelum jam 08.51.13. Semula aku tak percaya itu. Tapi lama-lama aku merasa punya hal untuk punya harapan, meski musykil sekalipun. Bolehlah seorang tak cantik macam aku mendapatkan sedikit kesenangan dengan cara yang tak lazaim kalau memang itu harus terjadi,‖ kanit berhenti bicara dan menghela nafas. ―Lama aku menunggu lelaki itu. Ketika kau datang pagi itu ke rumahku, aku tak tahu kaulah laki- laki pemantik keajaiban itu. Dan seperti kubilang tadi, aku baru tahu aku berubah menjadi perempuan muda, cantik bertubuh indah ketika kau mengira aku orang lain. Dan kau perlu tahu, hanya kau yang bisa melihat wajahku yang satunya itu, yang kau kenal dengan nama Kanita‖ ―Kamu tahu seperti apa wajahmu ketika sedang menjadi Kanita?‖ tanyaku. Kanit menggeleng. ―Tidak pernah bisa. Setiap kali melihat cermin pada jam-jam di atas 08.51.13, aku tetap melihat Kanit, seperti pada jam-jam yang lain. Hanya kau yang melihatku sebagai Kanita dalam kurun waktu duabelas jam itu‖ ―Oke, kamu mau tahu kamu seperti apa sebagai Kanita?‖ aku mengambil kamera di tas, dan menyalakan. Tapi, oops, gambar-gambar itu tetap saja Kanit, ini kan masih duabelas jam saat Kanit berwajah Kanit. ―Ya, aku sangat ingin tahu. Bagaimana wajah dan sosokku sebagai Kanita,‖ kata Kanit.
  • 25. ―Baik, Kanit. Kau tunggu di sini sebentar. Jangan kemana-mana. Aku akan berusaha membantu kau melihat wajah Kanita-mu. Stay here!” Kanit mengangguk lemah, tapi penuh harap. Aku yakin ia tak tahu apa yang akan kulakukan. *** Aku melesat ke resepsionis dan tanya nomor kamar pasangan Jake dan Leslie. Jake yang membuka pintu kamar ketika aku mengetuknya. ―Jake, sorry, aku tahu waktunya tidak tepat. But saya perlu bantuan Leslie,‖ kataku pada Jake yang keheranan melihatku berdiri di pintu kamarnya. ―Perlu Leslie untuk apa?‖ kata Jake. ―Menggambar sketsa!‖ Untung Leslie senang membantu. Ia membawa seluruh peralatan sketsanya, dan di bawah penerangan dua lampu di kamar, ia siap membantuku dengan bakat artistiknya. ―Leslie, aku perlu kau membuat sketsa seorang perempuan yang akan kugambarkan dengan kata-kata. Aku yakin kamu bisa,‖ kataku. Mata Leslie membundar. ―Wow! Tantangan besar. Ok, it will be great to do that!‖ kata Leslie. ―Kau duduk di situ, pejamkan matamu, bayangkan dia sepenuh hati dan gambarkan semua detail wajahnya padaku; mata, pipi, alis, dagu, hidung, rambut, kening everything‖ Aku menuruti kata-kata Leslie. Aku memejamkan mata, membayangkan wajah cantik Kanita lengkap dengan semua bagian wajah yang membuatnya menjadi pemandangan sedap ditatap. Bila aku salah menggambarkan, Leslie dengan sabar menghapus dan membantuku merekonstruksi wajah Kanita dalam benakku. Dan sekali lagi aku harus memuji Leslie. Dalam waktu 45 menit, sketas itu selesai. ―Is she what you see in your mind?‖ tanya Leslie menunjukkan kertas sketsa. Aku terpesona melihat gambar itu goresan pensil hitam putih itu. Kanita seperti hidup di sketsa itu. ―Exactly, Leslie. Hebat! Thanks. You’re a great artist!‖ ―Ini benar-benar perempuan Thailand cantik,‖ ujar Jake ikut menimpali. Siapa dia?‖ ―Nanti kukatakan belakangan, Jake. Thanks again. You two have a good night!‖ aku meningalkan Jake dan Leslie dan langsung mencari Kanit di kamarku. ―Kanit! Ini Kanita!‖ kusodorkan kertas sketsa itu.
  • 26. ―Oh my God!‖ Kanit menutup mulut. ―Jadi dengan wajah inikah aku tampil di siang hari di hadapanmu?‖ ―Ya, Kanita! Wajah yang tak pernah bisa dilihat orang lain selama tiga hari ini, kecuali olehku antara jam 08.51.13 pagi sampai 08.51.13 malam!‖ Kanit masih memandangi wajah dalam sketsa itu. Raut Kanit tiba-tiba berubah tegang. ―Ada apa? Kau hebat dalam wajah dan tubuh itu, percayalah padaku!‖ kataku. ―Bukan begitu. Wajah ini…..oh my God!‖ ―Kenapa? Ia secantik yang kau bayangkan bukan?‖ tanyaku. ―Wajah siapa sebenarnya itu?‖ ―Ini wajah Kanita. Kanita asli!‖ ujar Kanit masih mendekap mulut. ―Dan siapa itu Kanita?‖ tumbuh hebat rasa ingin tahu itu di dadaku. ―Selingkuhan mantan suamiku!‖ ―Selingkuhan mantan suamimu?‖ ulangku, duduk mendampingi Kanit di ranjang. ―Ya. Kanita adalah pemandu wisata daerah Pattaya. Suamiku dan Kanita menjalin hubungan gelap. Keduanya tewas tergulung ombak di tenggelam di dekat Phi Phi Island, Thailand Selatan, tahun awal tahun 2008,‖ Kanita menatap sketsa itu dalam-dalam. ―Tapi benarkah wajah itu yang selalu kaubayangkan?‖ kataku. ―Tidak hanya kubayangkan. Kanita adalah pemandu wisata tercantik yang pernah kukenal. Ia idolaku, bahkan tetap idolaku ketika aku tahu ia ada main dengan suamiku. Aku selalu bisa membayangkan diriku menjadi Kanita agar suami tak pernah berpaling. Dan rupanya ini terjawab melalui doaku di hadapan bayi berwajah dua di India itu,‖ kata Kanit. Lama aku dan Kanit duduk dalam kebisuan. Kanit masih menatap sketsa itu. ―Jadi, itukah semua misteri selama ini‖ tanyaku tak tahan terus saling membisu. ―Ya….dan, karena kau terlanjur tahu semua dan karena aku sudah anggap kau sahabat dan bagian dari misteri ini, aku akan sampaikan hal penting lain…..‖ ―Apa itu?‖ ―Soal duabelas jam menjadi Kanit dan 12 jam menjadi Kanita dalam sehari,‖ ujar Kanit. ―Aku belum paham,‖ kataku. ―Ingat waktu aku berdoa di chedi candi Doi Suthep, dan kemudian berdoa di depan patung Ganesha?‖ ―Aku tak tahu persis yang kau lakukan waktu itu?‖
  • 27. ―Aku mendengar suara si bayi India itu. Ia bilang dalam semediku, aku bisa menjadi secantik yang kuinginkan selama 24 jam penuh sehari di hadapan lelaki itu, yakni kau?‖ ―Good news. Bagaimana caranya,‖ aku ingin tahu. Kanit tak langsung menjawab. ―Akan sangat tidak tahu diri bila aku menyampaikan ini padamu‖ ―Katakan saja, bila aku bisa membantu, aku bisa!‖ aku meyakinkan Kanit. ―Kamu yakin bisa?‖ ―Bisa dan mau!‖ ―Cumbui aku sebagai Kanit! Make love to me!‖ Ini benar-benar mengejutkan aku. Aku berdiri dari dudukku. Lama aku tak memberi jawaban. ―Sudah kuduga kau tak akan bisa. Lelaki di mana-mana sama saja, ia mencari perempuan tercantik yang mungkin didapatkan!‖ Kanit menunduk. ―Bukan begitu, Kanit!‖ ―Stop! Aku tidak mau berdebat! Cukuplah aku bisa berwajah cantik selama 12 jam saja, itupun hanya di hadapanmu‖ Entah kenapa aku tiba-tiba tak tahan menatap Kanit begitu. Aku kembali duduk di dekatnya. ―Kanit. Yang kulakukan terhadap Kanita tadi, menurut aku, karena rasa cinta. Aku mencintai Kanita, dan aku rasa Kanita pun mencintaiku, menginginkan aku. Bukankah demikian, Kanit?‖ tanyaku, memastikan bahwa Kanit, sebagai Kanita tadi memang demikian perasaanya. ―Begitulah!‖ kata Kanit. ―Apakah itu artinya kini kau tidak bisa melakukannya untuk Kanit?‖ ―Well, cinta itu masalah rasa. Bukan karena kamu tidak cantik, tidak menarik. Tapi, maaf ya, aku tak ada rasa padamu sebaga Kanit!‖ ―It’s okay!‖ kata Kanit, bangkit dari tempat duduk di ranjang. ―Sekarang aku kembali ke kamarku. Terimakasih kau telah membantuku, memberiku kenikmatan tak tuntas sesaat. Besok pagi-pagi kita kembali ke Chiang Mai. Please jangan bersikap mesra pada Kanita di pada duabelas jam besok. Ingat, Kanita itu Kanit!‖ Dan Kanit hilang di balik pintu, kembali ke kamarnya. Aku terduduk di beranda menjelang tengah malam itu dan menyalakan batang rokok terakhirku. Wajah Kanita terbayang, senyum manisnya, kerlingnya, keelokan raganya. Lalu kubayangkan pula Kanita, seorang perempuan sangat dewasa yang sedang mengalami pergolakan bathin hebat. Kemudian kubayangkan pula diriku sebagai lelaki bersuami yang mencari kenikmatan dalam keindahan berbalut misteri dan teka-teki. Siapa aku ini? Bukankah sama saja dengan
  • 28. Kanit? Akupun memiliki dua wajah; wajah baik dan wajah brengsek. Tak bisakah aku melakukan suatu kebaikan? Dan rokokku habis, kuhisap tuntas, sampai api terasa panas di bawah hidung. Aku melangkah ke kamar Kanit dan mengetuk pintu itu. Kanit berdiri di ambang pintu, masih dengan kaos tipis dan celana pendek Jeans. Ia tetap Kanit, tapi kupaksa benakku menatapnya sebagai Kanita. Dan kami mewarnai malam dengan cara yang diminta Kanit; membahagiakannya lahir bathin, dengan sentuhan-sentuhan mesra begelora dan penuh keikhlasan. *** Aku terbangun dengan alarm HP yang dari kemarin-kemarin kusetel pukul 7 pagi. Kanit masih dalam pelukanku, kepala tenggelam di dadaku. Aku membangunkannya perlahan dengan menggoyang kepala. Ia mendongak, ―Sawadi kha….‖ ucapnya manis. Kanita! Kanita dalam pelukanku. Dan ini masih jauh dari jam 08.51.13. ―Kanita?‖ kataku. ―Kanita? Aku benar-benar Kanita?‖ Kanita meraih HPku dan melihat jam. ―Khawp khun kha….khun Fajar….khawp khun kha….,‖ yang kubalas dengan mesra pula. Kanita memberiku ciuman mesra. Kami kemudian melangkah ke beranda mencari udara segar. Kanita memelukku dari belakang sembari menatap hampatan lembah di bawah sana. Jake dan Leslie yang sedang berjalan jalan setapak d I depan kamar dan memberi salam. Kanita masuk ke kamar untuk menjawab HP yang berdering. Jake yang sampai di depan beranda, ―wah, jatuh cinta pada pemandu wisata nih,‖ seloroh Jake. Aku tahu ia tadi melihat kemesraan aku dan Kanita, yang Jake lihat sebagai aku dan Kanit. ―Seperti yang kubilang, jatuh cinta ya jatuh cinta saja, tidak perlu urus siapa dia,‖ kata Jake. ―Benar, Jake! Keindahan itu bisa tersembunyi, bisa sangat subyektif. Dan aku beruntung bisa melihat keindahan tersembunyi itu,‖ kataku pada Jake. Jake mengangkat jempolnya dan berkata, ―Eh, lalu perempuan cantik yang gambarnya kau sketsa-kan tadi malam itu siapa? Aku tersenyum, ―Sorry, Jake, kali ini aku nggak mau berbagi info dengan kamu. Have a nice day!‖ Dan hari itu aku dan Kanita memutuskan tidak balik dulu Chiang Mai. Kami bersepeda lagi kebeberapa tempat eksotis di sekitar lembah Mae Sa. Dan setiap ada kesempatan, kami tak pernah lewatkan tanpa bermesraan dan bercumbu hebat.
  • 29. Kawan, boleh aku katakana sesuatu : aku mendapatkan suatu kenikmatan tersendiri setiap kali bersama dengan Kanita; tak pernah ada lelaki yang lirik-lirik atau tergoda pada Kanita, tak pernah ada yang memelototi kakinya yang indah dan jenjang, karena yang mereka lihat hanyalah Kanit. Kanita hanyalah ada untukku, tidak untuk orang lain. Dan aku tak sadar sudah cukup lama berada berdua di kawasan wisata itu sampai ketika pergantian tahun pada tanggal 31 Desember, yang sedang kami rayakan berdua di sebuah kamar cottage romantis lain, tiba-tiba HP-ku berdering pas pukul 12 malam. ―Sayang, selamat tahun baru. Kamu di mana kok tak pernah sms atau kirim kabar!‖ Itu tadi telepon dari istriku di Australia. TAMAT