Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)
1. NUGROHO ANANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
RANCANG BANGUN MODEL KELEMBAGAAN
INTEGRASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
PETERNAKAN
(STUDI KASUS SWASEMBADA DAGING SAPI)
2.
3. ABSTRACT
NUGROHO ANANTO. Institutional Integration Model for Livestock Development
Planning, Case Study on Beef Self-Sufficiency. Supervised by ERIYATNO, MARIMIN,
and ARIEF DARYANTO.
Beef self-sufficiency is part of national food security priorities stated in Presidential
Regulation No.5/2010 on National Medium Term Development Plan 2010-2014, while for
long-term development period based on Presidential Regulation No. 32/2011. The Ministry
of Agriculture has issued General Guidelines for Beef Self-Sufficiency in 2010 which set a
target of 90% fulfillment from domestic supply. Technically problems faced in achieving
self-sufficiency are disparity between production and consumption, vulnerability of local
cattle market to global markets influences, and low productivity of local cattle. This gap is
observed from increasing amount of beef imports from 11.8 thousand tons in 2004 increased
to 64.1 thousand tons in 2009. In addition, other challenge is implementation of self-
sufficiency policy that involves various stakeholders with their roles and functions, in
interacting systems as component of process, interrelation in running process, and
interconnections within the system framework running dynamically according to the
changing time and environmental conditions. These conditions have implications for the
importance of alignment between planning and implementation in focused and consistent
way through the coordination and synergy among development actors such are ministries,
agencies, local governments, and businesses involved. This study aims to develop integrative
model of institutional policies wich facilitate relationship across stakeholders in achieving
self-sufficiency goals. Synthesis of policy model development requires multi-disciplinary
skills, therefore the systems thinking approach was used with knowledge of experts as the
thinking of respondents. This research are using several method of analysis network process
(ANP), strategic assumption surfacing and testing (SAST), and interpretive structural
modeling (ISM) which is the soft system methodology (SSM). The study produces model
with a viable system approach, emphasizing the importance of the role of relational capital in
institutional relationships, as well as monitoring and evaluation. It is suggested that self-
sufficiency policies and implementation programs should be carried out on small and
medium-scale farms. In particular, the activities undertaken by individual farmers and
production cooperatives at village level should be concentrated on Bali and Nusa Tenggara
Corridor as proposed in the Master Plan for Acceleration and Expansion of Indonesian
Economic Development 2011-2025.
Keywords: Beef self-sufficiency, system thinking, thinking respondent, ANP, SAST, ISM,
soft system methodology, viable system model, relational capital
4. RINGKASAN
NUGROHO ANANTO. Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan
Pembangunan Peternakan, Studi Kasus Swasembada Daging Sapi. Dibawah Bimbingan
ERIYATNO, MARIMIN, dan ARIEF DARYANTO.
Swasembada daging sapi merupakan bagian dari prioritas ketahanan pangan nasional
yang dinyatakan pada Peraturan Presiden No.5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2010-2014, sedangkan untuk periode pembangunan jangka
panjang telah ditetapkan pula Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011, tentang Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Kementerian
Pertanian telah menerbitkan Pedoman Umum Swasembada Daging Sapi Tahun 2010 yang
menetapkan sasaran swasembada dengan pemenuhan 90% kebutuhan nasional berasal dari
sumber sapi lokal Indonesia.
Secara teknis permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian swasembada adalah
kesenjangan produksi daging domestik dengan konsumsi, pasar sapi lokal rentan pengaruh
pasar global, dan produktivitas sapi lokal yang masih rendah. Kesenjangan ini dapat dilihat
dari peningkatan jumlah impor daging sapi sebesar 11,8 ribu ton pada tahun 2004 bertahap
naik menjadi 64,1 ribu ton pada tahun 2009. Selain hal tersebut tantangan lainnya adalah
pelaksanaan swasembada yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dengan peran
dan fungsi, terkait dalam sistem yang saling berinteraksi sebagai komponen sebuah proses,
interrelasi dalam menjalankan proses, dan interkoneksi dalam kerangka sistem yang berjalan
dinamis sesuai perubahan waktu dan kondisi lingkungannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model kebijakan kelembagaan
integratif dan dapat memfasilitasi hubungan lintas pelaku pembangunan dalam pencapaian
tujuan swasembada. Sintesis dalam pengembangan model kebijakan ini diperlukan keahlian
multi disiplin, sehingga digunakan pendekatan system thinking dengan basis pengetahuan
dari para pakar sebagai thinking respondents. Pengolahan hasil menggunakan metoda
analysis network process (ANP), strategic assumption surfacing and testing (SAST), dan
interpretative structural modeling (ISM) yang merupakan perangkat soft system
methodology (SSM).
Dengan menggunakan teknik ANP disimpulkan bahwa keberhasilan swasembada
daging sapi nasional memerlukan prasyarat utama, yaitu integrasi perencanaan pembangunan
sektor pertanian dalam swasembada daging sapi, penataan peran kelembagaan dan
koordinasi pelaksanaan program, serta pengembangan kapasitas dan peningkatan sarana
prasarana yang menjadi fokus utama pemerintah. Melalui teknik SAST, ditemukenali asumsi
pencapaian swasembada daging sapi nasional memerlukan kebijakan tataniaga yang
kondusif, keseimbangan supply -demand, dan koordinasi tingkat kebijakan juga merupakan
hal yang penting dan besar pengaruhnya.
Penggunaan teknik ISM untuk sembilan elemen sistem, disimpulkan pada tahap
perencanaan program swasembada daging sapi nasional, Kementerian PPN/Bappenas
bersama Kementerian Keuangan memiliki daya dorong paling tinggi, sedangkan pelaku
usaha dan masyarakat peternak adalah pemangku kepentingan yang paling terpengaruh.
Kondisi yang menjadi prasyarat dicapainya perencanaan swasembada daging sapi secara
terintegrasi, yaitu tataniaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah industri peternakan,
kejelasan kebijakan program sektoral peternakan rakyat, dan ketersediaan anggaran bagi
5. penyelenggaraan pembibitan, pemulia-biakan serta pengembangan wilayah peternakan
rakyat. Sedangkan pada tahap pelaksanaan, lembaga yang paling besar peran dan
pengaruhnya adalah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, bersama Kementerian
Pertanian dan Kementerian Perdagangan.
Penelitian menghasilkan model dengan pendekatan viable system, menekankan
pentingnya peran relational capital dalam hubungan kelembagaan, serta monitoring dan
evaluasi. Selain hal tersebut juga menyarankan agar kebijakan dan pelaksanaan program
swasembada dilaksanakan dengan memperhatikan keberpihakan pada peternakan skala kecil
dan menengah, khususnya kegiatan yang diusahakan oleh peternak perorangan maupun
koperasi produksi pada tingkat desa difokuskan pada Koridor Bali dan Nusatenggara
sebagaimana ditetapkan dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia Tahun 2011 - 2025.
Kata kunci: swasembada daging sapi, system thinking, thinking responden, ANP, SAST,
ISM, soft system methodology, viable system model, relational capital.
6. Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dalam pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
7. RANCANG BANGUN MODEL KELEMBAGAAN
INTEGRASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
PETERNAKAN
(STUDI KASUS SWASEMBADA DAGING SAPI)
NUGROHO ANANTO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Manajemen Bisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
8. Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA
2. Dr. Ir. Machfud, MS
Tanggal Ujian Tertutup : 10 Januari 2012
Penguji pada Ujian Terbuka :
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya Noorachmat, M.Eng.
2. Dr. Ir. Herry Suhermanto, MCP
Tanggal Ujian Terbuka : 27 Januari 2012
9.
10. KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya
sehingga disertasi dengan judul; “Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi
Perencanaan Pembangunan Peternakan - Studi Kasus Swasembada Daging Sapi” ini dapat
diselesaikan. Disertasi ini disusun dengan melakukan penelitian di Kementerian
PPN/Bappenas dengan pendekatan sistem lukan menggunakan teknik ANP, SAST, dan ISM.
Dengan pendekatan dan teknik ini dapat disusun suatu sistem perencanaan pembangunan
yang terintegrasi dengan yang melibatkan para pemangku kepentingan dalam melaksanakan
peran dan fungsi yang saling terkait.
Penulis sadar bahwa proses penelitian ini memerlukan waktu yang lama, namun pada
sisi lain mendapatkan hikmah yang sangat berharga, karena mendapatkan bimbingan yang
sangat intens. Dalam proses ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir.
Eriyatno, MSAE dalam pembelajaran ilmu sistem dan riset kebijakan yang menjadi basis
dalam penelitian ini dan sekaligus telah memperkuat cara pandang dan cara berpikir penulis
dengan basis kesisteman. Demikian pula kepada Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc sebagai anggota
Komisi pembimbing yang secara periodik memberikan bimbingan, dan kepada Dr.Ir. Arief
Daryanto, MEc, ditengah kesibukannya sebagai Ketua Program Studi Manajemen Bisnis
masih memberikan perhatian dan bimbingan selama proses disertasi ini.
Penghargaan disampaikan juga kepada Dr. Ir. Dida H. Salya, MA yang mendorong
dan membuka kesempatan hingga proses pembelajaran dan penelitian ini dapat difasilitasi
oleh Kementerian PPN/Bappenas. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para pakar
atas kontribusi dalam panel pakar, indepth interview yang berperan sebagai thinking
respondents dalam penelitian ini. Penghargaan juga disampaikan kepada Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Riset dan Teknologi, serta Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi atas dukungan dan fasilitasi hingga terlaksananya
seminar, FGD, dan diskusi yang sangat mendukung penelitian ini.
Jakarta, Februari 2012
11.
12. i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH .................................................... ix
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Tantangan yang Dihadapi .................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 5
1.5 Kebaruan Penelitian ............................................................................. 5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Sektor Pertanian .......................................................... 7
2.2 Perencanaan Pembangunan Nasional .................................................. 17
2.3 Kajian Penelitian Sebelumnya ............................................................. 24
2.4 Perancangan Kebijakan ........................................................................ 33
2.5 Pendekatan Sistem ............................................................................... 38
2.6 Teori Validasi Model ........................................................................... 55
3 METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 59
3.2 Sasaran, Waktu dan Ruang Lingkup Penelitian .................................... 60
3.3 Disain dan Tahapan Penelitian ............................................................. 62
3.4 Teknik Pengumpulan Data dan Informasi ........................................... 64
3.5 Metode Analisis Data .......................................................................... 66
3.6 Pilihan Validasi Model ....................................................................... 75
13. ii
4 ANALISIS SITUASIONAL
4.1 Swasembada Daging Sapi Nasional ..................................................... 77
4.2 Perencanaan Pembangunan Nasional Sektor Pertanian ....................... 87
4.3 Koordinasi dan Sinergi Program Lintas Kementerian dan Lembaga... 96
4.4 Keselarasan Peraturan Perundangan .................................................... 99
4.5 Kinerja Proses Penyusunan Kebijakan ................................................ 102
4.6 Perumusan Permasalahan .................................................................... 106
5 ANALISIS KEBIJAKAN
5.1 Pendekatan Pengembangan Kebijakan ................................................ 111
5.2 Pendekatan Sistem Klaster dalam Swasembada Daging Sapi ............. 114
5.3 Analisis dan Sintesis Hasil ANP .......................................................... 120
5.4 Asumsi Model Kebijakan Hasil SAST ................................................ 133
5.5 Struktur Sistem Elemen Model Integrasi Perencanaan Hasil ISM ...... 139
6 MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN
6.1 Perencanaan Pembangunan Sub Sektor Peternakan ............................ 169
6.2 Model Integrasi Perencanaan dan Implementasi Swasembada Daging
Sapi ............. ........................................................................................ 173
6.3 Model Kelembangaan dalam Program Swasembada Daging Sapi ...... 183
6.4 Kemitraan Strategis Dalam Swasembada Daging Sapi ……………… 190
6.5 Pengukuran Kinerja Pencapaian Program Swasembada Daging Sapi .. 195
6.6 Penguatan Kelembagaan Perencanaan Pembangunan Nasional ......... 197
6.7 Implikasi Dalam Pola Perorganisasian ................................................ 199
7 SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan .......................................................................................... 207
7.2 Saran ..................................................................................................... 209
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 211
LAMPIRAN ......................................................................................................... 219
14. iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perbedaan Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan ............................. 8
2. Sejarah Kebijakan Pangan Indonesia ............................................................ 9
3. Perencanaan dalam Keragaman Teori Politik ............................................... 21
4. Besar Biaya Logistik terhadap Total Biaya yang Dikeluarkan ..................... 39
5. Porsi Biaya Logistik terhadap PDB .............................................................. 39
6. Taksonomi Mode Kordinasi dalam Rantai Pasok ......................................... 41
7. Matriks Klasifikasi Sistem ............................................................................ 44
8. Teknologi Manajemen pada Sistem Pengambilan Keputusan ...................... 45
9. Penggunaan pendekatan SSM dalam penelitian di Indonesia ....................... 49
10. Penggunaan pendekatan SSM dalam penelitian di Negara lain .................... 50
11. Disain dan Tahapan Penelitian ..................................................................... 63
12. Jenis Data dan Sumber Data Primer ............................................................. 64
13. Jenis dan Sumber Data Sekunder .................................................................. 65
14. Hubungan Kontekstual Antar Sub Elemen pada Teknik ISM ...................... 71
15. Metodologi PPA 74
16. Pemenuhan Permintaan Daging .................................................................... 77
17. Kondisi Impor Daging Sapi dan Jeroan ........................................................ 78
18. Evaluasi dan Perbaikan Pelaksanaan Program Swasembada Daging Sapi ... 80
19. Kegiatan Operasional dalam Swasembada Daging Sapi .............................. 80
20. Skenario Produksi Domestik dan Impor dalam Swasembada Daging Sapi .. 81
21. Skenario Proyeksi Perkembangan Populasi, Produksi, dan Konsumsi ........ 81
22. Ringkasan Anggaran Pembiayaan Swasembada Daging Sapi ..................... 82
23. Hasil Sensus PSPK 2011 : Populasi Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau
Menurut Propinsi ......................................................................................... 84
24. Perkembangan Populasi Sapi Menurut Pulau 2003 – 2011 ........................... 85
25. Substansi Inti dan Kegiatan Prioritas Terkait Swasembada Daging Sapi
dalam Prioritas Ketahanan Pangan (Buku I: RPJMN 2010-2014) ............... 90
26. Peran Kementerian dan Lembaga dalam Pelaksanaan Swasembada Daging
Sapi (Buku II: RPJMN 2010-2014) .............................................................. 93
27. Sinergi Antara Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan Swasembada Daging
Sapi (Buku III: RPJMN 2010-2014) ............................................................. 94
28. Fokus Pengembangan Wilayah dalam Pelaksanaan Swasembada Daging
Sapi (Buku III: RPJMN 2010-2014) ............................................................. 95
15. iv
29. Identifikasi Inisiatif Kementerian dan Lembaga Terkait Pelaksanaan
Swasembada Daging Sapi ............................................................................. 97
30. Peraturan Perundangan Terkait Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi ..... 100
31. Kebijakan Menteri Keuangan Terkait Pelaksanaan Swasembada Daging
Sapi ............................................................................................................... 101
32. Kebijakan Menteri Pertanian Terkait Pelaksanaan Swasembada Daging
Sapi ...............................................................................................................
101
33. Kebijakan Kementerian dan Lembaga lain Terkait Pelaksanaan
Swasembada Daging Sapi .............................................................................
102
34. Proyeksi Pengembangan Sapi di Indonesia .................................................. 115
35. Rekapitulasi Koefisien Kendall’s ................................................................ 120
36. Urutan Prioritas Faktor Hasil ANP .............................................................. 121
37. Faktor Prioritas Utama bagi Pencapaian Swasembada Daging Sapi ........... 123
38. Pengelompokan Prioritas Utama Dalam Klaster Strategi ............................ 124
39. Asumsi Strategis Faktor Kondisi................................................................... 134
40. Asumsi Strategis Kondisi Permintaan............................................................ 134
41. Asumsi Strategis Kondisi Industri Pendukung ............................................. 135
42. Asumsi Strategis Kondisi Persaingan Struktur Strategi ............................... 135
43. Asumsi Strategis Kondisi Pemerintah ......................................................... 135
44. Asumsi Strategis Kondisi Kesempatan ......................................................... 136
45. Matrik Gabungan Hasil Analisis Menggunakan Teknik ANP, SAST, dan
ISM ............................................................................................................... 171
46. Matrik Hasil Sintesis dalam Rancang Bangun Model Kebijakan Integrasi
Perencanaan Pembangunan Peternakan ........................................................ 172
47. Peran Kelembagaan pada Sistem 1 – Implementasi .................................... 176
48. Peran Kelembagaan pada Sistem 2 – Koordinasi ......................................... 177
49. Peran Kelembagaan pada Sistem 3 – Kontrol Operasional .......................... 178
50. Peran Kelembagaan pada Sistem 3* – Audit Kinerja ................................... 180
51. Peran Kelembagaan pada Sistem 4 – Pengembangan .................................. 180
52. Peran Kelembagaan pada Sistem 5 – Kebijakan .......................................... 182
53. Mekanisme Koordinasi Kelembagaan Tingkat Direktif ................................ 185
54. Mekanisme Kooordinasi Kelembagaan Tingkat Strategig-Taktikal.............. 186
55. Mekanisme Koordinasi Kelembagaan Tingkat Operasional ......................... 187
56. Mekanisme Pelaksanaan Aktivitas Pada Praktek Nyata................................ 189
57. Peran Para pelaku Dalam Kemitraan Swasembada Daging Sapi 192
58. Pengukuran Kinerja Kelembagaan................................................................. 197
16. v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pikir PSDS 2014 .......................................................................... 16
2. Kegiatan Pokok dan Kegiatan Operasional PSDS 2014 ............................... 17
3. Interaksi Faktor Pemicu dalam Integrasi Sistem Agrikultur ........................ 26
4. Kerangka Analisis Kebijakan Publik ............................................................ 34
5. Pemetaan Tipologi Pemangku Kepentingan ................................................. 36
6. Integrasi Strategis dalam Penciptaan Nilai Tambah ..................................... 38
7. Model Referensi Proses Bisnis SCOR ......................................................... 42
8. Rantai Pasik Daging Sapi di Indonesia ......................................................... 43
9. Kerangka Kerja dari Intelektual Organisasi .................................................. 46
10. Model Pengukuran Kinerja Kelembagaan..................................................... 47
11. Siklus Pembelajaran Soft Systems Methodology ........................................... 49
12. Rekayasa Variasi .......................................................................................... 51
13. Viable System Model .................................................................................... 52
14. Penyederhanaan Proses Pemodelan .............................................................. 56
15. Peta Lingkungan Swasembada Dagung Sapi Nasional ................................ 59
16. Diagram Input-Output Swasembada Daging Sapi ....................................... 60
17. Disain dan Tahapan Penelitian ..................................................................... 62
18. Jaringan Umpan Balik dalam ANP ............................................................... 66
19. Pemeringkatan Asumsi Strategis dalam SAST ............................................. 69
20. Kerangka Analisis Menggunakan Berlian Porter ......................................... 70
21. Kerangka Analisis Menggunakan Pendekatan ISM ..................................... 72
22. Prinsip Utama dalam Metode PPA ............................................................... 74
23. Struktur Pemikiran dalam RPJMN 2010-2014 ............................................. 88
24. Alur Pengembangan Bidang SDA dan LH ................................................... 92
25. Kinerja Koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ......... 103
26. Kinerja Koordinasi antar Pemerintah Daerah ............................................... 104
27. Kinerja Koordinasi antar Lembaga ............................................................... 104
28. Faktor yang Mempengaruhi Koordinasi antar Lembaga/Instansi ................. 105
29. Kebutuhan Perbaikan Proses Penyusunan Kebijakan Lintas Sektor ............ 105
30. Analisis Proses Kebijakan dalam Swasembada Daging Sapi ....................... 113
31. Jumlah Penduduk dan Permintaan Daging Sapi ........................................... 116
32. Kerangka Kebijakan Swasembada Daging pada Program ANP.................... 117
33. Hasil Pairwised Comparations Kerangka ANP ........................................... 119
17. vi
34. Urutan Prioritas Faktor Hasil ANP ............................................................... 122
35. Hasil Analisis Klaster Input Lingkungan ...................................................... 125
36. Hasil Analisis Klaster Pasokan ..................................................................... 127
37. Hasil Ananlisis Klaster Kebutuhan ............................................................... 128
38. Hasil Analisis Klaster Langkah Solusi ......................................................... 129
39. Hasil Analisis Klaster Strategi ...................................................................... 131
40. Pemeringkatan Asumsi Strategis dengan Teknik SAST ............................... 132
41. Matrik Reachability Pemangku Kepentingan yang Terpengaruh ................. 141
42. Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Pemangku
Kepentingan yang Terpengaruh ...................................................................
142
43. Struktur Sistem Elemen Kelompok Pemangku Kepentingan yang
Terpengaruh .................................................................................................. 143
44. Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Kebutuhan
Program ......................................................................................................... 145
45. Struktur Sistem Elemen kebutuhan Program ................................................ 146
46. Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Kendala
Program ......................................................................................................... 148
47. Struktur Sistem Elemen Kendala Program ................................................... 149
48. Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Perubahan
yang Dimungkinkan ...................................................................................... 151
49. Struktur Sistem Elemen Perubahan yang Dimungkinkan ............................. 153
50. Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Tujuan
Program ......................................................................................................... 154
51. Struktur Sistem Elemen Tujuan Program ..................................................... 155
52. Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Tolok Ukur
Pencapaian Tujuan ........................................................................................ 157
53. Struktur Sistem Elemen Tolok Ukur Pencapaian Tujuan .............................. 159
54. Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Aktivitas
yang Dibutuhkan untuk Implementasi Perubahan ........................................ 161
55. Struktur Sistem Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan untuk Implementasi
Perubahan ...................................................................................................... 162
56. Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Ukuran
Penilaian Hasil Pelaksanaan Aktivitas .......................................................... 164
57. Struktur Sistem Elemen Ukuran Penilaian Hasil Pelaksanaan Aktivitas ..... 165
58. Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Kelompok
yang Terlibat dalam Pelaksanaan Program ................................................... 167
59. Struktur Sistem Elemen Kelompok yang Terlibat dalam Pelaksanaan
Program ......................................................................................................... 168
18. vii
60. Model Implementasi VSM pada Swasembada Daging Sapi Nasional ......... 175
61. Model Kelembagaan dalam Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi ........... 184
62. Pola Pikir Kemitraan Strategis dalam Swasembada Daging Sapi ................. 194
63. Pengukuran Kinerja Dalam Pencapaian Swasembada Daging Sapi ............. 196
64. Integrasi Optimum dari Tiga Fokus Pembangunan Nasional ........................ 199
65. Pengorganisasian Intra- Organisasi Pada Kementerian PPN/BAPPENAS .. 201
66. Hubungan Inter - Organisasi dalam Swasembada Daging Sapi ................... 203
67. Intelektualitas Organisasi Kementerian/ Lembaga Dalam Program
Swasembada Daging Sapi.............................................................................. 205
19. viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Contoh Kuesioner ANP ……………………………………………………. 221
2. Prosedur Kerja Pengolahan Data Menggunakan ANP dengan Piranti Lunak
Super Decisions…………………………………………………………….. 223
3. Contoh Kuesioner SAST .............................................................................. 231
4. Contoh Kuesioner ISM................................................................................. 232
5. Hasil Pengolahan ISM dengan software ISM …………………………….. 234
6. Hasil-hasil ISM , SSIM Final yang telah memenuhi aturan transivitas ...... 254
7. Gambaran Umum Responden Stakeholder Poll : Persepsi dan Kebutuhan
Masyarakat terhadap Proses Penyusunan Kebijakan dan Perencanaan di
Indonesia ...................................................................................................... 258
8. Data Responden Pakar untuk penetapan prioritas menggunakan ANP ...... 262
9. Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Kebijakan dan Strategi
dalam Percepatan Swasembada Daging 2014”, diselenggarakan oleh
Kementerian PPN/Bappenas ......................................................................... 264
10. Data Responden Pakar dalam SAST Swasembada Daging Sapi…………… 268
11. Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Kebijakan Pengembangan
Peternakan Berbasis Ternak Lokal Mendukung Pencapaian Swasembada
Daging 2014” oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ......... 269
12. Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Rancang Bangun Model
Kebijakan Integrasi Perencanaan Pembangunan Swasembada Daging
Sapi” oleh Kementerian Riset dan Teknologi ............................................... 272
13. Data Responden Pakar dalam ISM .............................................................. 274
14. Data Responden Indepth Interview Swasembada Daging Sapi .................... 275
15. Tatakelola Penelitian dan Langkah Penyelerasan Penggunaan 3 Metoda
Penelitian ...................................................................................................... 276
20. ix
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
1. ANP : Analitycal Network Process
Merupakan generalisasi dari AHP. Kelebihan ANP dari
metodologi yang lain adalah kemampuannya untuk
membantu dalam melakukan pengukuran dan sintesis
sejumlah faktor-faktor dalam hierarki atau jaringan
2. ASUH : Aman Sehat Utuh Halal
Adalah sistem jaminan keamanan dan mutu pangan asal
hewan dengan kondisi:
- Aman, tidak mengandung bahaya-bahaya biologis,
kimiawi dan fisik atau bahan-bahan yang dapat
mengganggu kesehatan manusia;
- Sehat, Mengandung bahan-bahan yang dapat
menyehatkan manusia (baik untuk kesehatan);
- Utuh, tidak dikurangi atau dicampur dengan bahan lain;
- Halal, sesuai dengan syariat agama Islam;
3. CATWOE : Customer, Actor, Transformation Process, World View,
Owner, Environment
CATWOE adalah singkatan untuk mengkategorikan berbagai
pemangku kepentingan:
- Customer, penerima manfaat dari proses bisnis tingkat
tertinggi dan bagaimana hal ini mempengaruhi mereka?
- Actor , yang terlibat dalam situasi ini, yang akan terlibat
dalam pelaksanaan solusi dan apa yang akan
mempengaruhi keberhasilan mereka?
- Transformation Process, proses atau sistem yang
terpengaruh oleh isu tersebut?
- World View, gambaran besar dan apa dampak yang lebih
luas dari masalah?
- Owner, pemilik proses atau situasi yang sedang
diselidiki dan peran apa yang akan mereka mainkan
dalam larutan?
- Environment, kendala dan keterbatasan yang akan
berdampak solusi dan keberhasilan?
21. x
4. FGD : Focus Group Discussion
Adalah diskusi terfokus dari suatu group untuk membahas
suatu masalah tertentu, dalam suasana informal dan santai.
Jumlah pesertanya bervariasi antara 8-12 orang, dilaksanakan
dengan panduan seorang moderator.
5. ISM : Interpretative Structural Modeling
Metode yang digunakan untuk menganalisis sistem yang
kompleks dengan bantuan komputer yang memungkinkan
untuk dapat melihat peta hubungan antara elemen-elemen
yang terlibat.
6. K/L : Kementerian/Lembaga
7. K/L/D : Kementerian/Lembaga/Daerah
8. Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional
Forum antar pelaku dalam rangka menyusun perencanaan
pembangunan
9. MP3EI : Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia
Merupakan perencanaan pembangunan dalam periode 2011 –
2025, bagi 6 koridor ekonomi (sumatera, jawa, kalimantan,
sulawesi, bali-nusatenggara, papua dan kep maluku) masing-
masing dengan fokus kegiatan utama.
10. OIQ : Organizational Intelligence Quotient
Tingkat Kecerdasan Organisasi
11. OIt : Decision/Reaction Time
Waktu respon dalam pengambilan keputusan
12. OIs : Processing Speed
Kecepatan penyelesaian tugas, dan tetap menjaga kolaborasi
13. OIq : Quantitative Knowledge
Kemampuan analisis, sintesis, sesuai dengan kaidah ilmu
pengetahuan untuk menyelesaikan masalah
22. xi
14. OIrwr : Reading/Writing/Recording Ability
Kemampuan melakukan pertukaran informasi intra dan inter-
organisasi dalam format terpadu
15. OIv : Visual Processing
Kemampuan mengolah, menyajikan data/informasi dalam
bentuk gambar pola, grafis, animasi/bentuk visual lainnya
16. OImr : Working Memory and Retrieval
Kemampuan menyimpan dan mengolah data, serta
menyajikan dalam laporan
17. PSDS : Program Swasembada Daging Sapi Nasional
18. PPN : Perencanaan Pembangunan Nasional
19. Rakorbangpus : Rapat Koordinasi Pembangunan Nasional
Merupakan bagian dari proses perencanaan pembangunan
nasional dalam rangka penyusunan Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) yang dilaksanakan dalam setiap tahun.
20. RENSTRA : Rencana Strategis
Perencanaan Program dan Anggaran Kementerian/Lembaga
untuk jangka waktu 5 tahunan
21. RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Perencanaan Program dan Anggaran Propinsi/Kabupaten/
Kota untuk jangka waktu 5 tahunan
22. RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Perencanaan Program dan Anggaran Negara Republik
Indonesia untuk jangka waktu 5 tahunan
23. RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Perencanaan Program dan Anggaran Negara Republik
Indonesia untuk jangka waktu 25 tahunan
24. SAST : Strategic Assumption Surfacing and Testing
Merupakan teknik untuk menganalisis asumsi strategis dari
para pakar yang dikelompokan dalam tingkat kepentingan
dan tingkat kepastian
23. xii
25. SCOR : Supply Chain Operation Reference
Merupakan suatu referensi model yang digunakan untuk
mengukur kinerja dari rantai pasok.
26. SSM : Soft System Methodology
Metodologi sistem lunak merupakan kerangka kerja
pemecahan masalah yang dirancang secara khusus untuk
situasi atau masalah yang sulit untuk didefinisikan, dengan
membangun model sistem melalui pemahaman dan
pemaknaan secara mendalam atas situasi atau masalah sesuai
fenomena yang dihadapi
27. UU SPPN : Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Suatu kesatuan tatacara yang mengatur perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan perencanaan
pembangunan dalam jangka panjang, menengah dan tahunan
yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggaraan negara dan
masyarakat pada tingkat pusat maupun daerah
28. VSM : Viable Systems Model
Model sistem yang layak merupakan representasi dari sistem
yang diatur sedemikian rupa untuk dapat beradaptasi dan
memenuhi tuntutan lingkungan yang berubah. Sistem ini
terdiri dari lima sub sistem yang berinteraksi dan dapat
dipetakan dalam struktur organisasi.
24. 1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Perencanaan Pembangunan
Perencanaan pembangunan sebagai ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk
mengidentifikasi kondisi dan permasalahan riil yang dihadapi, mengantisipasi
perkembangan lingkungan strategik, mengembangkan berbagai skenario mengenai
berbagai kemungkinan yang terjadi, mendapatkan solusi atas masalah-masalah yang
dihadapi bangsa dan berbagai alternatif kebijakan untuk mewujudkan cita-cita dan
tujuan bernegara, maka keberadaan dan perannya sangat diperlukan dalam
penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa.
Kathleen (2001) menekankan pentingnya kerangka kerja strategis dan
koordinasi dalam proses perencanaan yang harus dilaksanakan oleh lembaga
perencana, sebagai berikut:
1. Melaksanakan koordinasi dalam pengembangan dan pemeliharaan kebijakan
kerangka kerja strategis bagi organisasi, terkait dengan proses perencanaan
anggaran yang secara sistematis merefleksikan, perilaku dan pendekatan
lintas sektor;
2. Bekerjasama lintas fungsi dalam organisasi untuk mengembangkan
kebijakan yang dapat mengatasi hambatan lintas-fungsi (misal:
tanggungjawab bersama dan penyederhanaan proses);
3. Meninjau ulang fokus riset dan aktivitas evaluasi lintas-organisasi untuk
lebih menyelaraskan mereka dengan kebijakan kerangka kerja strategis;
4. Memastikan fokus strategis yang kuat dalam proses pengajuan anggaran
melalui proposal yang dihasilkan dari diskusi, pengembangan mekanisme
yang lebih baik melalui pemantauan penggunaan anggaran dalam
pelaksanaan program;
5. Menyediakan keahlian dan diseminasi pengetahuan dalam kebijakan sosial
dalam arti yang luas yang relevan dengan kegiatan organisasi;
6. Membangun hubungan kemitraan yang erat, baik dengan pemangku
kepentingan internal dan eksternal untuk membangun kesepahaman atas
kebijakan kerangka kerja strategis dan dalam pencapaian tujuan organisasi.
25. 2
Selaras dengan pendapat tersebut melalui Undang-Undang No. 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) dalam Bab II,
pasal 2 ayat (4) menjelaskan bahwa : Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
bertujuan untuk: (a) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; (b)
menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antarDaerah,
antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
(c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan; (d) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan (e)
menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan,
dan berkelanjutan.
1.1.2 Swasembada Daging Sapi Nasional sebagai Program Nasional
Swasembada daging sapi merupakan program pembangunan untuk sub
sektor peternakan yang tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan
nasional. Keberhasilan PSDS 2014 diharapkan tidak hanya dapat memberikan
kontribusi terhadap ketahanan pangan nasional, tetapi juga peningkatan pendapatan
dan kesejahteraan peternak serta pertumbuhan ekonomi secara nasional. Beberapa
landasan hukum pelaksanaan swasembada daging sapi sebagai sebuah program
pembangunan nasional antara lain adalah:
1. Bagian dari prioritas pembangungan ketahanan pangan nasional sesuai
Peraturan Presiden No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2010-2014 (RPJMN 2010-2014);
2. Pengarahan Bapak Presiden RI kepada para Menteri dan Gubernur se-
Indonesia dalam Rapat Kerja Program Percepatan dan Peningkatan Ekonomi
Nasional, yang dilaksanakan tanggal 19-21 April 2010;
3. Peraturan Presiden No. 32 tahun 2011, tentang Master Plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI 2011-2025)
telah ditetapkan bahwa kegiatan ekonomi utama bidang peternakan
difokuskan pada Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara;
4. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014 (PSDS 2014) yang
diterbitkan berdasarkan Permentan No. 19/Permentan/OT.140/2/2010,
tentang Pedoman Umum Swasembada Daging Sapi 2014;
26. 3
Dalam hubungan itu semua, tantangan mendasar yang timbul dalam
perencanaan pembangunan adalah bagaimana menjaga konsistensi antara dasar
negara sebagai falsafah bangsa dalam bernegara yang merupakan ‘pemersatu jiwa
dan pikiran bangsa’ dengan pilihan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan, dan antar keduanya dengan strategi, kebijakan, program,
kegiatan-kegiatan, dan kinerja pembangunan (Bappenas, 2009).
Berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas dipandang perlu untuk dilakukan
penelitian, khususnya berkaitan pola pengorganisasian perencanaan pembangunan
nasional yang terintegrasi dengan menggunakan studi kasus program swasembada
daging sapi nasional, agar dapat mendukung tercapainya amanat dalam UU SPPN
khususnya pada Bab II, pasal 2, ayat (4), bagian (b) menjamin terciptanya integrasi,
sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi
pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah.
1.2 Tantangan yang Dihadapi
Pelaksanaan swasembada daging sapi nasional akan melibatkan berbagai
pemangku kepentingan dengan masing-masing peran dan fungsi, saling terkait
sebagai sebuah sistem yang (1) saling berinteraksi sebagai komponen sebagai
sebuah proses; (2) interrelasi dalam menjalankan proses sebagai sebuah sistem; dan
(3) interkoneksi diantara sistem yang berjalan dinamis sesuai perubahan waktu dan
kondisi lingkungannya.
Sebagai sebuah sistem yang harus berjalan berbasis pada multi pemangku
kepentingan dan multi disiplin telah diantisipasi dalam RPJMN 2010-2014 maupun
Blue Print PSDS 2014, dalam RPJMN 2010-2014 dinyatakan bahwa pelaksanaan
program “Peningkatan ketahanan pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk
mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian,
peningkatan pendapatan petani serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam”
merupakan tanggungjawab Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam
pelaksanaan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga pemerintah, antara lain
adalah : (1) Menteri Pertanian; (2) Menteri Pekerjaan Umum; (3) Menteri
Komunikasi dan Informatika; (4) Menteri Perhubungan; (5) Menteri Perindustrian;
(6) Menteri Keuangan; (7) Menteri Negara Riset dan Teknologi; (8) Menteri
27. 4
Kesehatan; (9) Menteri Negara Lingkungan Hidup; (10) Kepala Badan Penerapan &
Pengkajian Teknologi; (11) Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Keterkaitan dalam lintas kementerian, lembaga maupun antara pusat dan
daerah juga dinyatakan dalam Blue Print PSDS 2014. Keberhasilan pencapaian
swaaembada daging sapi nasional memerlukan dukungan dan partisipasi dari
berbagai pemangku kepentingan, antara lain: (1) Kementerian Pertanian; (2)
Kementerian Keuangan; (3) Kementerian Perdagangan; (4) Kementerian
Perindustrian; (5) Kementerian Dalam Negeri; (6) Kementerian Koperasi dan UKM;
(7) Kementerian Daerah Tertinggal; (8) Kementerian BUMN; (9) Kementerian Riset
dan Teknologi; (10) Kementerian Pendidikan; (11) BATAN; (12) LIPI; (13)
Perbankan; dan (14) 33 Propinsi yang terdiri dari 20 prpinsi sebagai lokasi prioritas
serta 13 propinsi sebagai lokasi pendukung.
Menjadi jelas bahwa dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan
program swasembada daging sapi nasional merupakan gambaran dari sebuah sistem
yang kompleks dan dinamis yang harus dikelola dengan baik, agar dapat dicapai
pola koordinasi lintas pemangku kepentingan menuju sinergi program dan anggaran
untukfokus dalam mencapai sasaran swasembada daging sapi nasional.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian rancang bangun model kelembagaan integrasi perencanaan
pembangunan peternakan ini adalah:
1. Melakukan analisis situasional berkaitan dengan kondisi lingkungan
pembangunan peternakan, khususnya berkaitan dengan pencapaian
swasembada daging sapi;
2. Melakukan analisis kebijakan untuk menemukenali kesenjangan yang terjadi
dalam implementasi kebijakan yang berpengaruh terhadap pelaksanaan
upaya swasembada daging sapi;
3. Membangun model kelembagaan yang integratif dalam perencanaan
pembangunan peternakan khususnya terkait dengan upaya pencapaian
swasembada daging sapi, meliputi pola pengorganisasian, penataan peran,
dan pengukuran kinerja kelembagaan.
28. 5
1.4 Manfaat Penelitian
Model kelembagaan yang integratif dalam perencanaan pembangunan sektor
pertanian, khususnya terkait dengan upaya pencapaian swasembada daging sapi
yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
berbagai pemangku kepentingan antara lain:
1. Bagi Kementerian PPN/Bappenas:
a. Diperoleh metode yang efektif dalam pola pengorganisasian proses
perencanaan pembangunan nasional;
b. Diperoleh kerangka pikir dan alur proses perencanaan pembangunan dan
disertai dengan peran dan fungsi yang harus dilakukan dalam konteks
intra-organization maupun inter-organization;
2. Bagi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah:
a. Diperoleh kerangka pikir dan alur proses perencanaan pembangunan
dengan peran, fungsi dan pengaruh terhadap tercapainya efektivitas
proses perencanaan pembangunan;
b. Teridentifikasinya faktor-faktor dominan yang mempengaruhi
efektivitas proses perencanaan pembangunan, dan inisiatif strategis yang
dapat dilakukan untuk mengatasinya ;
3. Bagi kalangan Perguruan Tinggi dan masyarakat ilmiah:
a. Adanya referensi yang dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat
(causal-link) secara sistematis untuk meningkatkan efektivitas proses
perencanaan pembangunan nasional;
b. Adanya referensi baru berupa penilitian kebijakan dengan metode,
sistem pakar dan soft system methodology, khusunya dalam bidang
penelitian proses perencanaan pembangunan nasional;
1.5 Kebaruan Penelitian
Penelitian ini akan dapat memberikan kontribusi kebaruan dalam bentuk,
antara lain:
1. Rumusan atau desain model kelembagaan integrasi perencanaan pembangunan
nasional yang efektif, meningkatkan integrasi pembangunan antara pusat dan
daerah, maupun sinkronisasi antarsektor pembangunan;
29. 6
2. Teridentifikasinya faktor dominan yang melibatkan peran dan fungsi
pemangku kepentingan yang mempengaruhi efektivitas proses perencanaan;
3. Model kelembagaan terintegrasi dalam pengorganisasian perencanaan
pembangunan swasembada daging sapi, dengan penjabaran kerangka kerja
pada tingkat kelembagaan (strategik) dan taktikal-operasional.
30. 7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Sektor Pertanian
2.1.1 Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan
Sen (1981) berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang
kerap beragumentasi bahwa ketidak-tahanan pangan dan kelaparan (famine) adalah
soal produksi dan ketersediaan semata. Sedangkan dengan mengangkat berbagai
kasus di India dan Afrika, Sen mampu menunjukkan bahwa ketidak-tahanan pangan
dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan (entitlements
failures) bahkan ketika produksi pangan berlimpah, ibarat “tikus mati di lumbung
padi”.
Ketahanan pangan nasional tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada
produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara
bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi
tinggi dan barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar
internasional. Sebaliknya, negara yang melakukan swasembada produksi pangan
pada level nasional, namun dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan karena ada
hambatan akses dan distribusi pangan (Stevens, 2000).
Cowan dalam Lassa (2006) mencatat perubahan kebijakan dan pendefinisian
formal ketahanan pangan dalam kaitannya dengan globalisasi perdagangan yang
terjadi di beberapa negara. Contohnya, Malaysia mendefinisikan ulang ketahanan
pangannya sebagai swasembada 60% pangan nasional. Sisanya 40% didapatkan dari
impor pangan. Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang kokoh.
Swasembada pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan
pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakan
akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan
produktif. Hanani (2009a) menjelaskan perbedaan antara swasembada pangan dan
ketahanan pangan seperti dijelaskan dalam Tabel 1.
31. 8
Tabel 1. Perbedaan swasembada pangan dan ketahanan pangan
Indikator Swasembada Pangan Ketahanan Pangan
(1) (2) (3)
Lingkup Nasional Rumah tangga dan individu
Sasaran Komoditas pangan Manusia
Strategi Subsitusi impor Peningkatan ketersediaan pangan, akses
pangan, dan penyerapan pangan
Output Peningkatan produktivitas
pangan
Status gizi (penurunan: kelaparan, gizi
kurang dan gizi buruk)
Outcome Kecukupan pangan oleh
domestik
Manusia sehat dan produktif (angka
harapan hidup tinggi)
Sumber : Hanani (2009)
Lassa (2006) dan Hanani (2009a) telah melakukan studi pustaka atas 200
definisi dan 450 indikator yang terkait dengan ketahanan pangan. Berikut disajikan
beberapa definisi ketahanan pangan yang sering menjadi acuan sebagai berikut:
1. 1st World Food Conference 1974, UN 1975: ketahanan pangan adalah
“ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu ... - untuk
menjaga keberlanjutan konsumsi pangan - ... dan menyeimbangkan fluktuasi
produksi dan harga.”
2. FAO 1992: Ketahanan pangan adalah “situasi dimana semua orang dalam
segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman (safe) dan
bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif.
3. World Bank 1996: Ketahanan pangan adalah: “akses oleh semua orang pada
segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.”
4. Oxfam 2001: Ketahanan pangan adalah kondisi etika: “setiap orang dalam
segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang cukup dan
kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. Dua kandungan makna
tercantum di sini, yakni: ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan
akses (hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).
5. FIVIMS 2005: Ketahanan pangan adalah: kondisi ketika ”semua orang pada
segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada pangan
yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary
needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan
sehat.
6. Indonesia – UU No. 7/1996: Ketahanan pangan adalah: “Kondisi dimana
terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari
32. 9
ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan
atas keamanan (safety), distribusi yang merata dan kemampuan membeli.
7. Mercy Corps (2007): keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai
akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi
untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat.
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan
pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi (Hanani, 2009a) adalah: (1)
Berorientasi pada rumah tangga dan individu; (2) Dimensi waktu setiap saat pangan
tersedia dan dapat diakses; (3) Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan
individu, baik fisik, ekonomi dan sosial; (4) Berorientasi pada pemenuhan gizi; (5)
Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif.
2.1.2 Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan di Indonesia
Lassa (2006) menyatakan bahwa Indonesia bergumul dengan upaya mencapai
swasembada pangan sejak 1952 hingga hari ini. Pencapaian swasembada pangan
1984 tidak mampu dijaga secara berkelanjutan. Susilo Bambang Yudhoyono gencar
mempromosikan “revitalisasi pertanian”, dengan upaya mencapai swasembada beras
maupun non-beras. Melalui pengarus-utamaan pangan alternatif seperti jagung,
singkong, di samping beras. Karena itu, di atas kertas, ada peningkatan kualitas
kebijakan dibandingkan rezim kepresidenan sebelumnya. Revitalisasi pertanian
termasuk di dalamnya juga pembangunan sektor agribisnis demi terciptanya nilai
tambah komoditas agribisnis demi pendapatan dan akses atas pangan yang lebih
baik. Sejarah kebijakan pangan di Indonesia sejak tahun 1950 sampai dengan tahun
2005 (Lassa, 2006) dapat dikemukakan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Sejarah Kebijakan Pangan Indonesia
Orde
Rezim
Pemerintahan
Kebijakan
Pangan
Catatan
(1) (2) (3) (4)
Orde lama
(pasca
kemerdekaan)
Soekarno
1952-1956
Swasembada
beras melalui
program
kesejahteraan
Kasimo
- 1950-1952: BAMA (Yayasan Bahan
Makanan)
- 1953-1956: YUBM (Yayasan Urusan
Bahan Makanan)
Soekarno
1956-1964
Swasembada
beras melalui
program
sentra padi
- 1956:YBPP (Yayasan Badan Pembelian
Padi)
- 1963: Subsitution Jagung
- 1964: PP No. 3-Food Material Board
- 1964: Bimas dan “Panca Usaha” Tani
33. 10
Tabel 2 (lanjutan)
Orde
Rezim
Pemerintahan
Kebijakan
Pangan
Catatan
(1) (2) (3) (4)
Pemerintahan Transisi 1965-
1967
- 1996: Komando Logistik Nasional
(KOLOGNAS)
- 1967: dibubarkannya KOLOGNAS
- 1967:14/05, Badan Urusan Logistik
(BULOG) didirikan dan berfungsi
sebagai pembeli beras tunggal
Orde baru
(orde
pembangunan)
Soeharto
Repelita 1 &2:
1969-1979
Swasembada
beras
- 1969: Tambahan tugas Bulog:
Manajemen Stok Penyangga Pangan
Nasional – dan penggunaan neraca
pangan nasional sebagai standar
ketahanan pangan.
- 1971: Tambahan tugas Bulog sebagai
pengimpor gula dan gandum
- 1973: Lahirnya Serikat Petani Indonesia
- 1974: Tambahan tugas Bulog:
Pengadaan daging untuk DKI Jakarta
- 1974: Penggunaan Revolusi Hijau untuk
mencapai swasembada beras
- 1977: Tambahan Tugas Bulog: Kontrol
impor kacang kedelai
- 1978: Penetapan harga dasar jagung,
kedelai, kacang tanah dan kacang hijau
Soeharto
Repelita 3&4:
1979-1989
Swasembada
beras
- 1978:Kepres 39/1978, pengembalian
tugas Bulog sebagai kontrol harga untuk
gabah, beras, tepung gandum, gula pasir
dll.
- 1984: Medali dari FAO atas tercapainya
swasembada pangan.
Soeharto
Repelita 5,6,7:
1989-1998
Swasembada
beras
- 1995: Penganugerahan pegawai Bulog
sebagai PNS
- 1997: Perubahan fungsi Bulog untuk
mengontrol hanya untuk harga beras dan
gula pasir
- 1998: Penetapan harga dasar jagung,
kedelai, kacang tanah dan kacang hijau
Reformasi
(Transisi)
Habibie
1998/1999
Swasembada
beras
1998/1999: Penjualan pesawat IPTN yang
ditukar dengan beras Thailand
A. Wahid
1999/2000
Swasembada
beras
2000: Penugasan tugas Bulog untuk
management logistic beras (penyediaan,
distribusi dan kontrol harga)
Reformasi
(setelah 2000)
Megawati
2000/2004
Swasembada
beras
- 2003: Privatisasi Bulog
- 2004: No-Option Strategy kecuali
swasembada beras
S. Bambang
Yudhoyono
(SBY) (2004-
2009)
“Revitalisasi
Pertanian”
2005: “revitalisasi pertanian”- komitmen
(janji) untuk peningkatan pendapatan
pertanian untuk GDP, pembangunan
agribisnis yang mampu menyerap tenaga
kerja dan swasembada beras, jagung serta
palawija
Sumber : Lassa (2006), dikelola sendiri dari Mears 1984, Mears dan Moeljono 1981 dan berbagai sumber.
34. 11
2.1.3 Pembangunan Sub Sektor Peternakan
Ketahanan pangan nasional merupakan salah satu pondasi utama
pembangunan nasional lima tahun ke depan. Dalam RPJMN 2010-2014 program
aksi bidang pangan merupakan prioritas ke 5 dari pembangunan nasional, dengan
tema : “Peningkatan ketahanan pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk
mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian,
peningkatan pendapatan petani serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam.
Peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 3,7% per tahun dan Indeks
Nilai Tukar Petani sebesar 115-120 pada tahun 2014”. Pelaksanaan program aksi ini
merupakan tanggungjawab Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Masih dalam kerangka program aksi tersebut, untuk program kerja bidang
pangan dapat diidentifikasikan beberapa substansi inti/kegiatan prioritas yang terkait
langsung dengan sub sektor peternakan adalah sebagai berikut:
1. Koordinasi bidang pengembangan urusan perikanan dan peternakan, dengan
sasaran meningkatnya koordinasi kebijakan, serta indikator jumlah
rekomendasi pembangunan peternakan dan veteriner, diseminasi, promosi dan
publikasi;
2. Penelitian dan pengembangan peternakan dan veteriner, dengan sasaran
meningkatnya inovasi teknologi peternakan veteriner mendukung program
percepatan produksi swasembada; serta dengan indikator : (1) jumlah SDG
peternakan, TPT dan veteriner yang dikonservasi dan dikarakterisasi; (2)
jumlah galur baru ternak dan TPT yang dihasilkan; (3) jumlah inovasi
peternakan, TPT dan veteriner yang dihasilkan dan dialihkan/ didesiminasikan
kepada pengguna;
3. Peningkatan kuantitas dan kualitas benih dan bibit dengan mengoptimalkan
sumber daya lokal, dengan sasaran dan indikator sebagai berikut :
a. Sasaran peningkatan kualitas dan kuantitas benih dan bibit ternak, dengan
indikator peningkatan kuantitas semen (dosis);
b. Sasaran penguatan kelembagaan pembibitan dengan good breeding
practices, dengan indikator peningkatan produksi embrio;
c. Sasaran penerapan standar mutu benih dan bibit ternak, dengan indikator
peningkatan kuantitas bibit sapi;
35. 12
d. Sasaran penerapan teknologi pembibitan, dengan indikator peningkatan
kuantitas bibit unggas lokal;
e. Sasaran pengembangan usaha dan investasi pembibitan, dengan indikator
peningkatan kuantitas bibit kambing dan domba;
4. Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendayagunaan sumber daya
lokal, dengan sasaran meningkatnya populasi dan produksi ternak ruminansia,
serta dengan indikator : (1) pengembangan ternak potong (ekor); (2)
pengembangan sapi perah (ekor); (3) pengembangan integrasi tanaman ternak
(unit); (4) pengembangan ternak ruminansia;
5. Peningkatan produksi ternak non ruminansia dengan pendayagunaan sumber
daya lokal, dengan sasaran meningkatnya pendayagunaan sumber daya lokal
ternak non ruminansia, serta dengan indikator : (1) pengembangan kelompok
non unggas; (2) pengembangan pakan ternak; (3) pengembangan alsin ternak;
2.1.4 Tantangan Pembangunan Sub Sektor Peternakan
Pada negara-negara berkembang, meningkatnya jumlah penduduk, urbanisasi
dan peningkatan pendapat per kapita akan memicu peningkatan konsumsi daging
dan produk ternak lain, hal ini memberikan peluang mendorong peningkatan
produksi untuk produk produk peternakan. Kondisi ini memerlukan upaya
intensifikasi yang akan melibatkan cara-cara baru dalam sistem produksi, teknologi,
serta pemasaran.
Selain membawa peluang, hal tersebut juga juga menimbulkan berbagai
kendala. Pengembangan usaha peternakan komersil dan terintegrasi secara besar-
besaran akan mematikan usaha peternakan rakyat, sehingga dapat memperburuk
kemiskinan di wilayah pedesaan. Usaha peternakan yang dikelola dengan baik,
secara dinamis akan dapat menjadi katalisator dalam merangsang pertumbuhan
ekonomi pedesaan. Untuk itu diperlukan peran pemerintah melalui kebijakan yang
pro aktif, baik untuk sektor swasta maupun publik. Steinfeld (2003) mengemukakan
beberapa hal yang dapat menjadi perhatian dalam upaya fasilitasi oleh pemerintah,
antara lain:
1. Meninjau ulang kebijakan yang tidak selaras dengan upaya peningkatan
produsen dalam ekonomi skala kecil;
36. 13
2. Membangun kapasitas institusional dan infrastruktur yang akan
memungkinkan produsen berskala kecil di pedesaan untuk meningkatkan
kemampuan bersaing, serta mengembangkan usaha peternakan secara
terintegrasi;
3. Memfasilitasi terciptanya lingkungan yang kondusif, melalui investasi sektor
publik yang dapat mendorong peningkatan produksi melalui perbaikan tingkat
efisiensi dan produktivitas, dan
4. Secara efektif mengurangi ancaman lingkungan, hewan dan risiko kesehatan
manusia bagi manusia.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan peningkatan
pendapatan telah meningkatkan permintaan produk-produk peternakan, hal ini
mendorong dinamika sektor peternakan di negara-negara berkembang. Sementara
itu bagi negara maju sektor peternakan relatif mengalami stagnasi, disisi lain mereka
memiliki sistem produksi yang terus meningkat efisiensinya dan lebih ramah
lingkungan. Persaingan bisnis peternakan masa depan akan bertumpu pada
ketersediaan sumber daya alam terutama lahan dan air. Produksi ternak akan
semakin terpengaruh oleh pembatasan karbon dan perundangan yang mengatur
kesejahteraan lingkungan dan hewan. Permintaan produk peternakan di masa depan
bisa dikontrol oleh faktor-faktor sosio-ekonomi seperti masalah kesehatan manusia
dan perubahan nilai-nilai sosial-budaya (Thornton, 2010).
2.1.5 Permasalahan Pembangunan Sub Sektor Peternakan
Daryanto (2009) menyatakan empat permasalahan mendasar yang
memerlukan perhatian khusus dalam pembangunan peternakan, adalah:
1. Keterpaduan yang sinergis dari kebijakan lintas sektoral untuk menwujudkan
kesejahteraan masyarakat peternak belum optimal. Fenomena sektor sentris
(egosektoral) masih mewarnai penyelenggaraan pembangunan peternakan.
Pada masa mendatang, perlu dibangun kerjasama lintas sektoral terkait
pertanian, peternakan (interlinkages), baik yang berada di hulu maupun di
hilir. Perlu komitmen nasional atau adanya konvergensi nasional diantara
komponen bangsa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), bahwa sektor pertanian
termasuk peternakan merupakan landasan kokoh bagi pembangunan nasional.
37. 14
2. Kebijakan makro ekonomi baik di bidang moneter, fiskal, perdagangan dan
investasi belum sepenuhnya berpihak kepada peternakan dan lebih bias kepada
sektor industri jasa. Pemerintah seharusnya mampu menciptakan iklim usaha
yang kondusif, sehingga mampu merangsang investor baik domestik maupun
asing;
3. Kebijakan dari sektor-sektor non-peternakan yang secara konsisten
memfasilitasi dan mendukung pembangunan peternakan antara lain dukungan
agroindustri, dukungan permodalan, dan lainnya. Keterbatasan dukungan
sektor non-peternakan tersebut akan mengurangi efisiensi yang pada akhirnya
akan menurunkan daya saing sektor peternakan;
4. Inkonsistensi antar kebijakan dan peraturan yang dapat berpengaruh langsung
terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan peternak.
Masih pada kesempatan yang disampaikan pula lima fenomena yang terjadi
pada kebijakan pemerintah yang kurang kondusif bagi pengembangan sektor
peternakan. Fenomena ini diidentifikasikan sebagai penyebab terjadinya
agripesimisme, yaitu: (1) kebijakan pemerintah yang bersifat “double squeeze”; (2)
kebijakan pemerintah yang bersifat “price scissors”; (3) salah mengartikan proses
perubahan struktural dalam perekonomian; (4) belanja publik yang belum memadai;
dan (5) adanya penurunan bantuan donor bagi sektor pertanian-peternakan dan
pembangunan perdesaan.
2.1.7 Swasembada Daging Sapi Nasional
Penetapan sebagai Program Nasional
Penetapan swasembada daging sapi sebagai sasaran pencapaian dari program
pembangunan nasional untuk sub sektor peternakan dinyatakan dalam beberapa
kebijakan pemerintah baik yang tertuang dalam dokumen perencanaan maupun
dalam pengarahan Bapak Presiden RI dalam berbagai kesempatan.
Dalam Rapat Kerja Program Percepatan dan Peningkatan Ekonomi Nasional,
yang dilaksanakan tanggal 19-21 April 2010, Bapak Presiden RI memberikan
pengarahan kepada para Menteri dan Gubernur se-Indonesia bahwa sasaran
pencapaian ketahanan pangan dan air (direktif ke 7) adalah: (1) revitalisasi pangan
gelombang 2 selesai pada 2014, dengan target (a) memantapkan swasembada beras,
(b) swasembada jagung, gula, dan daging sapi; (2) hilirisasi industri pangan; (3)
38. 15
memantapkan Indonesia sebagai pemasok pangan dunia (fee the world), serta (4)
komoditas strategis makin cukup (Bappenas, 2010).
Hal tersebut diatas selaras dengan target pencapaian pada prioritas
pembangunan ke-5 dalam ketahanan pangan nasional yang dinyatakan pada
Peraturan Presiden No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2010-2014 (RPJMN 2010-2014). Kondisi ketahanan pangan nasional yang
akan dicapai adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup, bergizi seimbang,
dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Pencapaian ketahanan pangan nasional
memerlukan dukungan penuh dari revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Dengan memperhatikan kondisi dan permasalahan yang ada, untuk prioritas bidang
Peningkatan Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan telah ditetapkan 5 (lima) fokus prioritas, yaitu : (1) Peningkatan Produksi
dan Produktivitas untuk Menjamin Ketersediaan Pangan dan Bahan Baku Industri
dari Dalam Negeri; (2) Peningkatan Efisiensi Sistem Distribusi dan Stabilisasi Harga
Pangan; (3) Peningkatan Pemenuhan Kebutuhan Konsumsi Pangan; (4) Peningkatan
Nilai Tambah, Daya Saing, dan Pemasaran Produk Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan; serta (5) Peningkatan Kapasitas Masyarakat Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan. Secara lebih spesifik dinyatakan bahwa sasaran utama pembangunan
nasional, ditetapkan sasaran pembangunan kesejahteraan rakyat, secara spesifik
untuk bidang pangan, telah ditetapkan target yang harus dicapai adalah sebagai
berikut (Bappenas, 2010):
1. Produksi padi : tumbuh 3,22 persen per tahun
2. Produksi jagung : tumbuh 10,2 persen per tahun
3. Produksi kedelai : tumbuh 20,05 persen per tahun
4. Produksi gula : tumbuh 12,55 persen per tahun
5. Produksi daging sapi : tumbuh 7,30 persen per tahun
Untuk merealisasikan sasaran pencapaian swasembada daging sapi sebagai
program nasional, Kementerian Pertanian telah menerbitkan Permentan No.
19/Permentan/OT.140/2/2010, tentang Pedoman Umum Swasembada Daging Sapi
2014, dilengkapi dengan Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014
(PSDS 2014) dengan beberapa kali penyempurnaan. PSDS 2014 ini merupakan
tindak lanjut program swasembada daging yang pernah dicanangkan pada tahun
2005 dan tahun 2010. Gambar 1 menjelaskan bahwa keberhasilan PSDS 2014 tidak
39. 16
terlepas dari kontribusi kementerian/lembaga yang melakukan peran dalam
mendukung swasemabada, pencapaian swasembada diharapkan tidak hanya dapat
memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan nasional, tetapi juga peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan peternak serta pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Sumber : Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014
Gambar 1. Kerangka pikir PSDS 2014
Selaras dengan visi pembangunan nasional yang tertuang dalam UU No. 17
tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025,
melalui Peraturan Presiden No. 32 tahun 2011, tentang Master Plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI 2011-2025) telah
ditetapkan bahwa kegiatan ekonomi utama bidang peternakan difokuskan pada
Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara. Pengembangan kegiatan ekonomi utama
peternakan pada koridor ini akan difokuskan pada pengembangan kawasan
agribisnis dengan industri utama pengolahan daging sapi (food animal industry) dan
industri pendukung yaitu industri tepung tulang, kulit, pupuk organik dan biogas
(non food animal industry). Produk peternakan tidak hanya dikonsumsi secara lokal,
namun didistribusikan ke konsumen wilayah lain.
40. 17
Pengertian Swasembada Daging Sapi Nasional
Sesuai dengan pernyataan dalam Blue Print PSDS 2014 bahwa untuk skenario
most likely bahwa:
- swasembada daging sapi nasional dapat memenuhi 90% kebutuhan
dalam negeri secara konsisten dan berkelanjutan -
Pada skenario ini, diperlukan upaya khusus yang bersifat terobosan dalam rangka
meningkatkan produksi dan produktivitas ternak, menerbitkan regulasi yang
kondusif dan menerapkan sistem perkarantinaan yang kuat. Gambar 2 menjelaskan
langkah yang dilakukan untuk mencapai swasembada daging adalah dengan
melaksanakan 5 kegiatan pokok dan 13 kegiatan operasional.
Sumber : Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014
Gambar 2. Kegiatan pokok dan kegiatan operasional PSDS 2014
2.2 Perencanaan Pembangunan Nasional
2.2.1 Pengertian Perencanaan Pembangunan
Perencanaan pembangunan merupakan fungsi manajemen pemerintahan yang
dilaksanakan oleh lembaga negara untuk mengemban tugas perjuangan mencapai
tujuan bernegara yang secara jelas tercantum dalam konstitusi negara.
Pendapat para ahli di bidang perencanaan pembangunan, dapat kita jumpai
beberapa rumusan mengenai makna perencanaan pembangunan dan lingkup
kegiatan pekerjaan perencanaan pembangunan, sebagai berikut:
41. 18
1. Myrdal (1957) menyatakan bahwa rencana merupakan suatu pemrograman
dari suatu strategi pemerintahan dalam pembangunan nasional dengan
menggunakan sistem intervensi dan mekanisme pasar.
2. Nitisastro (1963) berpandangan bahwa “Perencanaan pada asasnya berkisar
pada dua hal. Pertama adalah penentuan secara sadar mengenai tujuan-
tujuan konkrit yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar
nilai-nilai yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan; dan yang kedua
adalah di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai
tujuan-tujuan tersebut. Baik untuk penentuan tujuan yang meliputi jangka
waktu tertentu maupun bagi pemilihan cara-cara tersebut diperlukan ukuran
atau kriteria-kriteria tertentu yang terlebih dahulu harus dipilih”.
3. Seiring dengan itu, Lewis menyatakan bahwa perencanaan pembangunan
disusun berdasar kerangka pemikiran filosofi mengenai bagaimana
pembangunan berlangsung; dan hanya sebagian merupakan aplikasi
ekonomi, bagian lainnya merupakan kompromi politik (Lewis, 1951).
4. Besarnya pengaruh faktor non-ekonomi terhadap aktivitas ekonomi, dan
menekankan pencapaian tujuan ekonomi seperti pertumbuhan harus disertai
upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial seperti peningkatan
kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan; juga menekankan perlunya
kepedulian terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup,
dan sistem kelembagaan (Salim, 1976).
5. Tjokroamidjojo (1995) dari pengalamannya yang panjang di bidang
perencanaan dan birokrasi pemerintahan menulis kesimpulan bahwa dalam
perencanaan pembangunan perlu diketahui lima hal pokok berikut: (1)
Permasalahan-permasalahan pembangunan yang dikaitkan dengan sumber-
sumber pembangunan ekonomi dan non ekonomi yang dapat diusahakan; (2)
Tujuan dan sasaran rencana yang ingin dicapai; (3) Kebijakan dan cara untuk
mencapai tujuan dan sasaran rencana dengan melihat penggunaan sumber-
sumbernya dan pemilihan alternatif-alternatifnya yang terbaik; (4)
Penerjemahan kedalam program-program atau kegiatan-kegiatan yang
konkrit; dan (5) Jangka waktu pencapaian sasaran dan tujuan.
42. 19
2.2.2 Konsep Perencanaan Strategis
Djunaedi (2000) menyatakan bahwa keragaman corak perencanaan (planning
styles) dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: keragaman corak perencanaan
yang umum ditemui dalam praktek dan corak perencanaan dengan keragaman teori
politik.
Secara umum, keragaman perencanaan pembangunan yang ada dalam praktek
saat ini, yaitu: perencanaan komprehensif (comprehensive planning); perencanaan
induk (master planning); perencanaan strategis (strategic planning); perencanaan
ekuiti (equity planning); perencanaan advokasi (advocacy planning); dan
perencanaan inkrimental (incremental planning).
1. Perencanaan komprehensif, proses perencanaan dilakukan secara sekuensial,
Hasil perencanaan bersifat rinci, jelas, dan berupa rancangan pengembangan
fisik atau tata ruang. Setelah rencana selesai, maka dilakukan proses
pengesahan oleh pihak legislatif, dan kemudian dilakukan implementasi
rencana (aksi/tindakan);
2. Perencanaan induk, umumnya dilakukan secara satu disiplin, yaitu
arsitektur. Perencanaan induk dan perencanaan komprehensif, mempunyai
kesamaan dalam sifat produk akhir rencana yang jelas, rinci, end-state, tidak
fleksibel-seakan masa depan sangat pasti;
3. Perencanaan strategis, memfokuskan secara efisien pada tujuan yang
spesifik, dengan meniru pendekatan perusahaan swasta yang diterapkan pada
gaya perencanaan publik. Perencanaan strategis tidak mengenal standar
baku, dan prosesnya mempunyai variasi yang tidak terbatas;
4. Perencanaan ekuiti, mengikuti pendapat perencanaan advokasi bahwa akar-
akar ketidakadilan sosio-ekonomis perkotaan perlu diatasi, tapi tidak
sependapat bahwa perencana mempunyai tanggung-jawab eksplisit untuk
membantu pihak-pihak yang tidak beruntung. Hasil perencanaan ekuiti dapat
sama atau mendekati dengan hasil perencanaan komprehensif atau
perencanaan strategis bila partisipasi -kelompok minoritas- telah terwadahi
dengan memuaskan;
5. Perencanaan advokasi, memiliki faham bahwa perencanaan haruslah dapat
mendorong pluralisme yang berimbang dengan cara mengadvokasi
(“memberi hak bersuara”) pihak-pihak yang tidak mampu menyalurkan
43. 20
aspirasinya. Dengan demikian, terdapat beragam rencana yang mewadahi
kepentingan yang plural di masyarakat;
6. Perencanaan inkrimental, perencanaan dilakukan secara inkrimental
(sepotong demi sepotong) menggunakan “perbandingan terbatas dari hasil-
hasil berurutan” untuk mencapai tujuan jangka pendek yang realistis.
Pendekatan inkrimental meningkatkan orientasi ke analisis marginal dari
kebijakan ekonomi dan politik pragmatis.
Sedangkan untuk corak dengan keragaman politik, memiliki empat macam
tipologi, yaitu: perencanaan tradisional, perencanaan demokratis, perencanaan
ekuiti, dan perencanaan inkremental.
1. Perencanaan tradisional merupakan produk dari teori politik teknokratik
(Fainstein dan Fainstein, 1996:273), beranggapan bahwa dengan
menerapkan pendekatan ilmiah lewat teknologi akan dapat diatasi masalah
yang dihadapi;
2. Perencanaan demokratis, menekankan pada partisipasi. Pendapat dari
mayoritas merupakan pendapat yang paling benar. Dalam perencanaan
demokratis, maka tujuan dan cara harus berdasarkan pada kepentingan atau
pendapat mayoritas tersebut; (Fainstein dan Fainstein, 1996: 275).
3. Perencanaan ekuiti, menekankan pada program-program substantif. Fokus
ini bergeser dari “siapa yang berwenang (menetapkan tujuan dan cara)“
menjadi “siapa mendapat apa”. Dalam hal ini, perencana ekuiti berupaya
memberikan pilihan yang lebih luas bagi sekelompok warga masyarakat.
Perencanaan ekuiti tidak selalu demokratis, dalam arti tidak selalu
mempunyai pendukung mayoritas dalam masyarakat, tapi mereka membela
keadilan bagi kelompok masyarakat tertentu (tertinggal, minoritas, tertindas);
4. Perencanaan inkrimental (meskipun beberapa pihak menganggap
pendekatan inkrimental bukan termasuk perencanaan). Melakukan
perencanaan dalam jangka pendek, sepotong demi sepotong bersambung,
bukan dipikirkan secara jangka panjang. Pelaku perencanaannya juga bukan
hanya satu instansi atau lembaga tapi seluruh unsur atau kelompok-kelompok
masyarakat. Terdapat dua macam perencanaan inkrimental, yaitu: (a)
44. 21
disjointed incremental tanpa memikirkan kesinambungan, dan (b) jointed
incremental memikirkan kesinambungan (jointed) antar potongan-potongan.
Dari pembahasan tipologi perencanaan, dan dikaitkan dengan keragaman
corak perencanaan dalam praktek dan teori politik dapat ditarik kesesuaian seperti
pada Tabel 3.
Tabel 3. Perencanaan dalam keragaman teori politik (Djunaedi, 2000)
Keragaman Praktek
Perencanaan
Pembangunan
Perencanaan dalam Keragaman Teori Politik
Teknokratik
berdasarkan
pemikiranrasional
Demokratik
didukungmayoritas
penduduk
Sosialis
mewadahi
pluralism&
konfliksoisal
Liberal
pluralism&tidak
terikatmasa
lalu/masadepan
Perencanaan Induk
Perencanaan Komprehensif
Perencanaan Strategis
Perencanaan Ekuiti
Perencanaan Advokasi
Perencanaan Inkrimental
Sumber: Djunaedi (2000)
2.2.3 Peran Lembaga Perencana Pembangunan
Lembaga perencana dalam suatu negara harus dapat melaksanakan fungsi
dasar sebagai berikut: (1) mengumpulkan data dan informasi yang dilakukan melalui
riset berkaitan dengan potensi dan permasalahan negara, untuk menyiapkan
perencanaan jangka panjang yang akan diajukan dan disetujui oleh pemerintah.
Perencanaan jangka panjang tersebut harus mencakup program dan aktivitas dari
berbagai lembaga pemerintah untuk menghindarkan terjadinya duplikasi yang
menimbulkan in efisiensi; (2) membantu pemerintah untuk menyiapkan peraturan
perundangan, khususnya hal yang bersifat teknis; (3) berperan sebagai “clearing
house of information” dari berbagai lembaga pemerintah, antar pemerintah daerah,
dan antara pusat dan daerah; (4) memberikan bimbingan teknis dan nasehat untuk
membantu pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah perencanaan dan
penyusunan program (William, 1952).
Lembaga perencana sebaiknya tidak dibebani tugas dalam fungsi administratif,
hal ini membuat lembaga tersebut menjadi ikut bertanggungjawab atas pelaksanaan
setiap rencana atau program. Bila lembaga perencana dibebani pula dengan fungsi
45. 22
administratif atau pengawasan, maka fungsi perencanaan itu sendiri akan menjadi
tidak optimal (Millett, 1946). Bagi lembaga perencana melaksanakan kegiatan
perencanaan adalah tugas utama dalam sepanjang waktu yang membutuhkan
konsentrasi penuh.
Perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat global, nasional dan lokal
memberikan persoalan yang begitu kompleks dan sulit diprediksi. Globalisasi
memberikan dampak terhadap kebebasan aliran informasi dan keleluasaan aliran
barang dan jasa. Selain itu globalisasi juga memberikan dampak terhadap
munculnya isu-isu lintas bidang (cross-cutting issues) seperti: lingkungan, HAM,
korupsi, good governance, demokrasi, kemiskinan dan lain-lain. Sehingga persoalan
yang semula merupakan isu domestik dapat berubah menjadi isu internasional.
Untuk menghadapi situasi seperti itu diperlukan suatu upaya sistematis untuk
mempertahankan kepentingan bangsa dan negara. Bappenas (2004) telah melakukan
penelitian tentang tingkat efektivitas kinerja lembaga ini dalam melaksanakan peran
dan fungsinya sebagai lembaga perencanaan, yang meliputi: yang meliputi: (1)
Menyiapkan rancangan rencana pembangunan; (2) Melakukan koordinasi
perencanaan; (3) Menyusun APBN/APBD; (4) Menyusun kebijakan pinjaman dan
bantuan LN; (5) Melakukan penilaian rencana pembangunan; (6) Melakukan
penelitian kebijakan dan penilaian kinerja pembangunan; (7) Meningkatkan
kapasitas institusi perencanaan.
Penelitian tersebut dilakukan dengan melakukan jajak pendapat para
pemangku kepentingan dalam penyusunan kebijakan maupun pelaksanaan
kebijakan, dengan sampling unit adalah orang atau individu yang dianggap mewakili
kelompok-kelompok pemangku kepentingan (stakeholder) dalam perencanaan
pembangunan yang meliputi wakil-wakil dari: (1) Masyarakat Madani (Civil
Society), (2) Wakil-wakil Rakyat Terpilih (Elected Representatives), (3) Masyarakat
Profesional Sektor Publik (Public Sector Professional Community), (4) Masyarakat
Internasional (International Community) and (5) Pegawai Pemerintah (Government
Officials).
2.2.4 Bauran Kebijakan dalam Pembangunan Sektor Pertanian
Vietor (2007) menyatakan bahwa negara bersaing untuk membangun. Ini
adalah salah satu hasil (konsekuensi) dari globalisasi. Mereka (negara-negara)
46. 23
bersaing untuk memperebutkan pasar, untuk teknologi, untuk keahlian (skills) dan
investasi. Mereka bersaing untuk tumbuh dan meningkatkan standar hidup
masyarakatnya. Ditekankan bahwa pemerintah tidak hanya bertanggungjawab atas
kebijakan keuangan dan kebijakan fiskal semata, tetapi harus juga menciptakan dan
membantu perkembangan seluruh institusi yang penting dan kritikal yang dapat
memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Optimalisasi pertumbuhan ekonomi dapat
dicapai bila diterapkan bauran kebijakan (policy mix) yang terkoordinasi antara satu
kebijakan dengan kebijakan lainnya (Vietor, 2007).
Bauran kebijakan merupakan koordinasi antar kebijakan-kebijakan
pembangunan regional dan sektoral yang terkait dengan kebijakan fiskal,
perdagangan, perindustrian, pertambangan, tenaga kerja, pertanian, dan kebijakan
lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketidakselarasan dalam
bauran kebijakan pembangunan regional dan pembangunan sektoral merupakan hal
yang menghambat peningkatan kinerja pembangunan atau peningkatan daya saing
nasional.
Dalam pembangunan sektor pertanian bauran kebijakan sebagaimana
dikemukakan oleh Arifin (2007) menekankan bahwa para analis dan perumus
kebijakan harus memahami bahwa agribisnis sebagai satu rangkaian kesatuan
sistem. Selanjutnya juga dikemukakan rekomendasi 5 (lima) strategi kebijakan agar
dapat dilaksanakan dengan seksama dan sistematis (Arifin, 2007).
1. Sektor pertanian wajib terintegrasi dengan agro-industri, bahkan pada skema
kebijakan makro ekonomi karena seluruh elemen moneter dan fiskal amat
terkait dengan pembangunan pertanian;
2. Sektor pertanian harus memperoleh tingkat bunga yang layak dan terjangkau
bagi sebagian besar petani dan pelaku usaha agribisnis;
3. Sektor pertanian memerlukan pengelolaan dan target laju inflasi yang cukup
untuk menurunkan tingkat keragaman suku bunga yang dihadapi komoditas
pertanian. Dalam bahasa yang berbeda, pertumbuhan sektor pertanian
seharusnya tertolong oleh laju inflasi yang rendah;
4. Sektor pertanian jelas memerlukan dana publik, yang dapat diterjemahkan
menjadi langkah pemihakan pemerintah untuk menggulirkan aktivitas
ekonomi, memberikan subsidi tepat sasaran dalam pembangunan pertanian.
Sektor pertanian sangat tergantung pada investasi infrastruktur publik;
47. 24
5. Sektor pertanian mensyaratkan land-policy reform yang tepat dan terukur,
yang mampu mengkombinasikan peningkatan aset lahan yang dikuasai petani
dan perbaikan akses dan pemberdayaan kapasitas petani itu sendiri;
Hanafie (2010) mengemukakan bahwa tujuan umum politik pertanian di
Indonesia adalah untuk memajukan sektor pertanian yang dalam pengertian lebih
lanjut meliputi : (1) peningkatan produktivitas dan efisiensi sektor pertanian; (2)
peningkatan produksi pertanian; dan (3) peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan
petani, serta pemerataan tingkat pendapatan. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas,
maka ruang lingkup politik pertanian meliputi: (1) Kebijakan produksi; (2)
Kebijakan subsidi; (3) Kebijakan investasi; (4) Kebijakan harga; (5) Kebijakan
pemasaran; (6) Kebijakan konsumsi;
2.3 Kajian Penelitian Sebelumnya
2.3.1 Pengembangan Peternakan Berwawasan Agribisnis
Saputra (2009) menyatakan beberapa alternatif strategi yang dapat digunakan
dalam pengembangan ternak sapi potong berwawasan agribisnis, antara lain:
1. Strategi pengembangan usaha ternak sapi potong melalui penerapan kawasan
peternakan terpadu (klaster) yang ditunjang oleh tersedianya subsistem-
subsistem dalam agribisnis peternakan sapi potong dari subsistem hulu
hingga hilir serta jasa penunjang;
2. Strategi peningkatan koordinasi dengan semua pihak yang terkait
(stakeholder) dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA),
perkembangan teknologi dan informasi dan jumlah rumah tangga yang
banyak untuk meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi potong.
3. Strategi peningkatan sumber daya manusia (SDM) peternak, penyuluh,
inseminator, paramedis) melalui pola pembinaan kelompok peternak,
pelatihan-pelatihan, magang dan sudi banding dalam upaya meningkatkan
motivasi, kemampuan penguasaan teknologi tepat guna dan manajerial dari
SDM peternakan.
4. Strategi penerapan pola kemitraan usaha peternakan sapi potong yang
berkesinambungan yang dikontrol dengan baik oleh Dinas Kesehatan Hewan
dan Peternakan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
48. 25
Sedangkan untuk penerapan strategi tersebut diberikan saran agar
pengembangan kawasan terpadu peternakan sapi potong dilakukan secara bertahap
dan berkesinambungan, sehingga mengarah pada wilayah yang berkembang,
mandiri dan memiliki nilai ekonomis. Selain hal tersebut pengidentifikasian daerah
pembibitan maupun penggemukan sapi potong dilaksanakan dengan memperhatikan
ketersediaan sapi ptotong (Saputra, 2009).
2.3.2 Investasi Sektor Pertanian dan Disparitas Ekonomi Antar Wilayah
Purnamadewi (2010) melakukan kajian dampak perubahan produktivitas
sektoral berbasis investasi terhadap disparitas ekonomi antar wilayah dan kondisi
makroekonomi di Indonesia diperoleh kesimpulan antara lain:
1. Prioritas alokasi investasi ke kelompok sektor pertanian dan industri berbasis
pertanian yang didukung pembangunan infrastruktur atau melalui penerapan
strategi Agricultural Development Led-Industrialisation (ADLI) yang
didukung dengan pembangunan infrastruktur dapat menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sekaligus dapat menurunkan
disparitas ekonomi antar wilayah;
2. Pada kondisi tingkat disparitas ekonomi antar wilayah yang tinggi, peran
pemerintah pusat sangat diperlukan untuk secara konsisten memprioritaskan
alokasi dana pembangunan ke kelompok sektor pertanian, industri berbasis
pertanian dan infrastruktur dengan prioritas ke wilayah-wilayah dengan
pendapatan perkapita atau wilayah-wilayah dengan sumber PDRB utama
dari sektor pertanian;
3. Untuk pemerintah daerah yang masih memiliki pendapatan perkapita relatif
rendah harus lebih intensif dan sunggunh-sungguh untuk menciptakan iklim
investasi yang kondusif, dan perlu memfokuskan kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan produktivitas yang besar agar sektor pertanian
semakin kuat dan dapat mendorong ekspor.
2.3.3 Peranan Investasi Infrastruktur pada Perekonomian Indonesia
Permana (2010) telah melakukan analisis peranan dan dampak investasi
infrastruktur terhadap perekonomian Indonesia, menyimpulkan bahwa infrastruktur
memiliki keterkaitan ke belakang yang lebih tinggi daripada keterkaitan kedepannya
49. 26
yang berarti bahwa infrastruktur lebih berperan dalam meningkatkan output sektor
lain untuk digunakan sebagai input dibandingkan dengan kemampuannya dalam
meningkatkan output sektor lain yang menggunakan input dari infrastruktur, dan
Semua sektor kategori infrastruktur memberikan dampak multiplier yang positif
terhadap sektor perekonomian lainnya. Kajian tersebut menyarankan bahwa apabila
tujuan utama pembangunan infrastruktur adalah untuk meningkatkan total
penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian maka prioritas investasi sebaiknya
ditujukan pada pengembangan infrastruktur jalan, jembatan dan pelabuhan
(Permana, 2010).
2.3.4 Interaksi dalam Integrasi Sistem Agrikultur
Pertanian di Amerika mengalami perubahan yang dramatis pada abad ke-20,
yang semula hampir independen dari kebijakan pemerintah, struktur pertanian telah
terjadi perubahan substansial yang dipengaruhi berbagai kondisi. Hal ini dapat
disebabkan berbagai faktor, seperti kebijakan pemerintah, mekanisasi
pertanian, biaya bahan bakar berbasis fosil, peningkatan konsolidasi dan integrasi
vertikal pasar dan peningkatan kesadaran sosial berkaitan dengan lingkungan hidup
dalam praktek pertanian. Interaksi faktor pemicu dalam integrasi Sistem Agrikultur
yang terjadi dapat diilustrasikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Interaksi faktor pemicu dalam integrasi sistem agrikultur
50. 27
Sistem pertanian dipengaruhi pemicu (driver) eksternal yaitu sosial, politik,
ekonomi, lingkungan, dan teknologi. Pemicu ini dapat menimbulkan pengaruh
positif maupun negatif terhadap kondisi sistem pertanian dalam menghadapi
tantangan masa depan. Untuk kesejahteraan petani, sistem pertanian harus
dikembangkan untuk dapat menghadapi tantangan masa depan (Hendrickson,
2008).
2.3.5 Penetapan Kebijakan dalam Kompleksitas Kondisi Ekonomi
Dalam menghadapi kondisi ekonomi dalam sistem yang komplek para
pembuat kebijakan harus benar-benar mempertimbangkan beberapa hal yang
penting, yaitu: (1) saling ketergantungan dari berbagai aktor pelaku ekonomi secara
konsisten telah menimbulkan berbagai agregat perilaku, hal ini dapat mengakibatkan
lingkungan ekonomi yang terjebak dalam stagnansi yang tidak diinginkan mencakup
tingkat patologi-sosial, maupun pemilihan teknologi rendah; (2) konsekuensi dari
sebuah kebijakan secara kritikal akan saling terkait dengan kebijakan yang lain dan
menimbulkan efek secara nonlinier, sehingga cukup sulit untuk dilakukan evaluasi
efektivitas dari kebijakan tersebut (Durlauf, 1998).
Alappatt (2005) menjelaskan bahwa dalam bidang ekonomi, pemikiran
mensejahterakan masyarakat yang dikembangakan Gandhi dari prinsip swadeshi,
secara tidak langsung telah membangun kembali tatanan ekonomi India yang
sebelumnya telah hancur oleh sistem kolonialisme. Pembangunan ekonomi yang
menekankan pada sistem desentralisasi dan penataan kembali industri kecil di
pedesaan India ini, dinilai telah mampu memberikan kontribusi yang cukup penting
bagi perbaikan kondisi ekonomi rakyat India. karakteristik utama dari swadeshi
yang dikembangakan Gandhi mencakup beberapa hal, diantaranya:
1. Gerakan swadeshi secara tidak langsung mensyaratkan adanya boikot
terhadap barang-barang produksi luar negeri. Hal ini dilakukan bukan hanya
semata-mata karena barang tersebut berasal dari negeri asing, tetapi karena
hingga saat ini keberadaan produksi asing itu dinilai telah membahayakan
kepentingan nasional bangsa India.
2. Swadeshi juga bermakna produksi dan menghasilkan secara mandiri, karena
boikot tidak dapat terus berlangsung dalam melindungi kepentingan
51. 28
nasional, tanpa adanya produksi barang-barang dari dalam negeri yang
dibutuhkan oleh rakyat India.
3. Swadeshi juga berarti bahwa mendukung industri dalam negeri merupakan
kewajiban utama bagi setiap warga India. Hal ini harus terus berlangsung
meskipun India telah meraih kemerdekaannya, karena hanya dengan cara
inilah industri pedesaan di India dapat terlindungi. Dimana keberadaan
industri pedesaan ini merupakan hal yang sangat vital bagi eksistensi dan
kebebasan dalam menyediakan lapangan kerja bagi jutaan rakyat India yang
tinggal di pedesaan.
4. Semangat swadeshi memiliki implikasi bahwa setiap individu harus siap
membatasi dirinya sendiri untuk hanya memakai barang dan jasa yang
dihasilkan oleh lingkungan terdekatnya.
2.3.6 Membangun Kemandirian Ekonomi dalam Kehidupan Masyarakat
Penelitian yang dilakukan oleh Isenberg (2010) menemukenali sembilan
faktor kunci untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan revolusi entrepreneur
barbasis pada komunitas masyarakat, sebagai berikut:
1. Berhentilah meniru Silicon Valley. Membangun ekosistem inovasi di
wilayah-wilayah harus seuai dengan kondisi sumber daya fisik dan nonfisik
yang ada dalam suatu wilayah. Negara bekerja sama dengan sektor swasta
harus menciptakan ekosistem ini dengan terencana dan desain secara
sistemik organik, serta memperhitungkan empat elemen utama: (1)
kepemimpinan inovatif, (2) budaya inovatif, (3) sumber permodalan yang
kondusif, dan (4) pelanggan yang terbuka (termasuk keterbukaan mereka
dalam melibatkan dan dilibatkan pada dalam proses inovasi);
2. Ekosistem kewirausahaan inovatif harus sesuai dengan kondisi lokal
(kontekstual). Membangun kemampuan inovasi dengan memperhatikan
konteks potensi perwilayahan (lokal), termasuk pendapat calon
pelanggan/konsumen/pengguna dan para pemangku kepentingan lainnya;
3. Melibatkan dunia usaha merupakan prinsip keberhasilan revolusi
entrepreneurial. Pendekatan top-down yang dilakukan pemerintah secara
sendirian tidak dapat membangun ekosistem inovasi dan kewirausahaan.
Keterlibatan dunia usaha dalam proses inovasi nasional sedini mungkin,
52. 29
dimulai dari persiapan formulasi atau formasi strategi sistem (ekosistem)
inovasi nasional, implementasi, pengendalian dan/atau perubahannya.
4. Memberikan dukungan pada potensi yang tinggi dalam penciptaan nilai
tambah. Dalam menghadapi kondisi keterbatasan sumberdaya perwilayahan,
maka kewirausahaan harus ditekankan pada potensi penciptaan nilai tambah
yang tinggi. Pengembangan dapat diakaitkan dengan paradigma
pembangunan kewirausahaan berbasis discovery dan creation. Kriteria
kelayakan usaha tidak terbatas hanya untuk menilai tinggi rendahnya potensi
kewirausahaan inovatif. Para pengambil keputusan pendanaan/pemodalan
ventura baru harus berdasarkan tinggi rendahnya potensi keberhasilan
penciptaan nilai sosial dan ekonomi. Hal ini sejalan dengan membedakan
antara sustaining innovation dan disruptive innovation (Christensen, 2006).
5. Promosi keberhasilan (walaupun sedikit) dapat menumbuhkan inspirasi
dan membangun ekosistem inovasi dan kewirausahaan yang kondusif.
Sukses-sukses awal kewirausahaan akan mengurangi persepsi bahwa
berwirausaha itu sulit dan penuh risiko. Dukungan pemerintah dan media
harus besar untuk mengangkat kesuksesan-kesuksesan wirausaha. Perlu
dilakukan kampanye keberhasilan secara luas, mengadakan lomba inovasi
dan kewirausahaan secara sistematis. Umumkan pemenangnya di mana-
mana untuk membangun suasana dan persepsi kondusif. Situasi itu dapat
mengubah lingkungan yang tadinya kaku tanpa penghargaan menjadi
kondusif mengapresiasi aktivitas berwirausaha. Peran media tidak hanya
dalam mengumumkan pemenang tetapi juga dalam mengubah perilaku.
6. Pemerintah harus memperhitungkan faktor-faktor lokal seperti budaya
lokal, iklim, dan selera lokal. Pemerintah memakai pendekatan antropologi
dan etnografi untuk memahami kondisi dan konteks lokal.
7. Pola pendanaan yang ketat. Adalah pandangan yang salah bahwa jika
pemerintah atau pihak manapun memberi kemudahan secara berlebihan
kepada wirausaha-wirausaha potensial dengan uang berlimpah yang mudah
diperoleh, secara dini mereka harus dipaparkan dengan tantangan pasar.
Ekosistem inovasi dan kewirausahaan harus dibangun dalam situasi
kelangkaan untuk melatih kekuatan, efektivitas, dan daya tahan pengelolaan
usaha.
53. 30
8. Jangan merekayasa kluster secara berlebihan. Biarkan kluster tumbuh
secara organik. Kluster secara organik terbentuk karena lingkungan yang
ada mendukung secara sosial dan fisik. Pembentukan kluster secara sepihak
tanpa memperhatikan isi dan konteks lokal atau wilayah setempat akan
menghasilkan hampa bahkan kerugian. Pemerintah sebaiknya melihat arah
kecenderungan (potensi) kewirausahaan wilayah-wilayah tertentu. Berbasis
pemetaan itu, pemerintah membantu mengoptimalkan kerja sama berbagai
pihak dalam membangun ekosistem inovasi dan kewirausahaan yang
kondusif dalam lingkup dukungan kepemimpinan, budaya, sumber
permodalan, dan masyarakat yang terbuka.
9. Melaksanakan reformasi hukum, birokrasi, dan kerangka regulasi.
Kunci kesembilan ini menjadi puncak pembangunan ekosistem inovasi dan
kewirausahaan perwilayahan atau bahkan suatu negara. Peter Drucker
(1985) mengingatkan pentingnya inovasi sosial untuk membangun sosietas
entrepreneurial. Pertama penciptaan lapangan pekerjaan harus menjadi
prioritas. Reformasi dan penataan kebijakan harus mendukung aktivitas
entrepreneurial yang menciptakan lapangan pekerjaan sebesar mungkin
sehingga dapat membangun kedaulatan ekonomi dan kemandirian
komunitas. Kedua, pemerintah berani memperbaiki atau bahkan menghapus
kebijakan dan peraturan yang sudah tidak relevan dan tidak menunjang era
inovasi dan kewirausahaan.
2.3.6.1 Strategi Nasional dalam Pengembangan Kewirausahaan di Kanada
Upaya percepatan dalam menumbuhkan kewirausahaan adalam masalah
yang bersifat multi dimensi dan komplek, tidak ada satu alat analisispun yang dapat
menangkap secara pasti dapat menjelaskan faktor-faktor yang secara tepat dapat
mendorong pertumbuhan dan pengembangan kewirausahaan. Berdasarkan sintesis
yang dikembangkan dari hasil penelitan dan analisis yang telah dilakukan, telah
dapat ditemukenali kondisi kunci yang diperlukan untuk membangun lingkungan
yang kondusif bagi pertumbuhan kewirausahaan.
54. 31
1. Pengembangan jejaring dan peningkatan kapasitas SDM, meliputi:
a. Mengembangkan akses menuju pasar dan pelanggan, serta kesediaan
untuk memberikan masukan bagi produk maupun jasa yang
dihasilkan agar dapat dilakukan perbaikan atau peningkatan kualitas,
maupun memenuhi ekspektasi pasar dan pelanggan;
b. Membangun kapasitas dan kemampuan manajerial, penguatan
kemampuan manajerial dan pengambangan sistem akan sangat
dibutuhkan pada saat kegiatan usaha mulai berkembang;
c. Menetapkan klaster untuk fokus pada kegiatan yang berpotensi dan
pertumbuhan yang tinggi. Hal ini dapat difasilitasi perguruan tinggi,
litbang, maupun pelaku usaha untuk menjadikan sebagai pusat
unggulan (center of excellence);
d. Mengawali dengan inkubator dan bekerjasama dengan industri
merupakan faktor kunci untuk menguatkan hubungan antara industri,
penyandang dana, wirausaha yang dapat memfasilitasi tercapainya
praktek terbaik;
2. Dukungan permodalan, meliputi:
a. Ketersediaan sumber permodalan yang dapat mendukung dalam
setiap tahap pengembangan;
b. Ketertarikan penyandang dana yang dipicu oleh potensi ekspor dari
produk yang dihasilkan;
c. Sumber pandanaan yang lain yang dapat diperoleh dari lembaga
keuangan maupun dari kebijakan insentif yang kondusif (pajak,
asuransi, kolateral, bentuk program pemerintah lainnya)
3. Kerangka kebijakan publik, meliputi:
a. Kebijakan perpajakan untuk memberikan insentif bagi para investor
dan pelaku usaha yang berpartisipasi dalam pengembangan
kewirausahaan;
b. Kebijakan publik untuk mendukung penelitian dan pengembangan
melalui kebijakan perpajakan dan bentuk insentif lain untuk dapat
mendukung dicapainya inovasi yang mendorong pengembangan
kewirausahaan;
55. 32
c. Pengadaan barang dan jasa bagi pemerintah, penggunaan
(pengadaan) produk dan jasa dari usaha kewirausahaan oleh
pemerintah sebagai pelanggan awal (early customer) akan sangat
membantu pengembangan usaha kewirausahaan;
d. Kebijakan yang berpihak pada pengembangan kewirausahaan, hal ini
dapat dilakukan dalam lingkup sistem hukum, hak kekayaan
intelektual, serta kebijakan lain yang mendukung iklim kondusif bagi
pengembangan kewirausahaan;
4. Tatanilai sosial-budaya, meliputi:
a. Budaya kewirausahaan, mempromosikan karir kewirausahaan dan
memberikan toleransi pada kesalahan, serta penghargaan atas
“kegagalan” pada risiko yang dialami oleh pelaku kewirausahaan
akan mendorong pertumbuhan wirausaha baru dan potensi kegiatan
usaha lainnya;
b. Kepemimpinan politik yang mengedepandan keberpihakan pada
pengembangan kewirausahaan sangat penting bagi penciptaan
regulasi yang kondusif;
c. Mempromosikan keberhasilan yang telah dicapai oleh para wirausaha
yang sukses dapat menginspirasi dan memicu semangat wirausaha
lainnya maupun pertumbuhan wirausaha baru;
2.3.6.2 Penciptaan Generasi Masa Depan Usaha Inovasi Teknologi di Malaysia
Para wirausaha merasakan bahwa pemerintah memegang peran yang penting
dalam inovasi dan kewirausahaan. Pada saat ini pemerintah telah memiliki kebijakan
insetif bagi pengembangan teknologi dan kreativitas. Bahkan di Amerika pada saat
ni pemerintah masih memberikan dukungan kepada wirausahawan dalam bentuk
iniistif-inisiatif, termasuk dukungan pendanaan bagi wirausahawan pemula. Bahkan
dinegara manapun pemerintah harus tetap mendukung pengembangan iklim
kondusif bagi pengembangan wirausahawan baru, khususnya dalam penyediaan
modal.
Beberapa praktek kebijakan di Malaysia yang dilaksaksanakan untuk
memberikan dukungan pertumbuhan usaha inovasi teknologi, antara lain:
56. 33
1. Jenis dukungan yang tepat – berbasis pada sistem prestasi, dukungan
diberikan kepada para wirausahawan, inovator, perusahaan, lembaga
berdasarkan prestasi yang dicapai dan kelayakan dalam memberikan nilai
tambah bagi bangsa;
2. Kebijakan harus “membuka jalan rintisan”, kebijakan harus dapat
memfasilitasi para inovator dan wirausahawan untuk dapat maju pada semua
sektor kegiatan usaha;
3. Kebijakan yang terintegrasi, pembuatan kebijakan dengan melibatkan para
pelaku usaha yang terkait langsung dengan memperhatikan kepentingan
dalam penciptaan nilai tambah;
4. Inovasi adalah proses multi disiplin – bukan aktivitas dalam silo, berbagai
lembaga harus berkolaborasi dan bekerjasama dengan baik untuk
memastikan bahwa mereka telah memberikan yang terbaik bagi para
wirausahawan dan pelaku usaha untuk dapat mencapai hasil yang terbaik;
5. Indikator kinerja lembaga dan organisasi harus berorientasi pada
pertumbuhan kewirausahaan, ini adalah saat yang tepat bagi semua
lembaga dan orgaisasi pemerintah yang terlibat dalam inovasi kewirausahaan
untuk berkolaborasi dan berjuang untuk mencapai tujuan yang lebih
bermakna yang terukur dalam indikator kinerja yang terintegrasi;
6. Kurangi monopoli dan promosikan inovasi, monopoli tidak baik bagi
negara karena akan “membunuh” inovasi, menghambat kewirausahaan,
meningkatkan harga, serta menumbuhkan korupsi. Bagi sebuah negara bila
benar-benar menginginkan inovasi sebagai masa depan suatu bangsa, maka
harus menghapuskan praktek monopoli sebagai agenda nasional;
2.4 Perancangan Kebijakan
2.4.1 Analisis Kebijakan Publik
Beberapa tujuan dalam analisa proses kebijakan adalah sebagai berikut:
1. Memahami proses kebijakan yang telah dikembangkan dan
diimplemetasikan.
2. Memahami tujuan dan motif di balik kebijakan, dan sejauh mana kebijakan
itu berkaitan dengan livelihood dan/atau kemiskinan.