2. KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan
perkenanNya maka Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi
Banten ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penyusun laporan adalah Tim yang dibentuk berdasarkan Keputusan Rektor Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa No. 287/H.43/LL/SK/2010 tanggal 3 Mei 2010 Tentang Tim Evaluasi
Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi Banten Tahun 2010 berdasarkan MoU yang
ditandatangani oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). Penandatanganan Mou pada tanggal 20 Mei 2010 di Jakarta.
Dalam menyusun laporan akhir ini, Tim Untirta Serang yang diberi tugas oleh
Bappenas untuk melakukan evaluasi kinerja pembangunan daerah Provinsi Banten, telah
menghadiri Seminar Awal EKPD Tahun 2010 yang diselenggarakan oleh Bappenas pada
tanggal 19-20 Mei 2010 di Jakarta, telah membuat master schedule dan pembagian tugas Tim.
Setelah itu, Tim melakukan rapat pembahasan dengan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda) Provinsi Banten di Kampus Untirta untuk membicarakan rencana kerja Tim
dalam rangka evaluasi RPJMN 2004-2009 dan evaluasi keterkaitan RPJMD Provinsi Banten
dengan RPJMN 2010-2014 yang antara lain meliputi penyempurnaan tabel pencapaian
indikator kinerja hasil. Dalam kesempatan tersebut, Bappeda Provinsi Banten menyampaikan
kepada Tim dokumen RPJMD Provinsi Banten 2007- 2012 (Perubahan), dokumen RPJP, dan
LAKIP 2009.
Pada tanggal 29 Juni 2010, Tim EKPD mengadakan pertemuan dengan Polda Banten,
kemudian pada tanggal 20 Juli 2010 dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi
Banten, pada tanggal 3 Agustus 2010 dengan Biro Perekonomian, pada tanggal 19 Agustus
dengan Dinas Pendidikan, DPKAD, dan Dinas Kesehatan, pada tanggal 2 September 2010
dengan Dinas Pertanian, BKKBN, dan BKPMD, kemudian juga dengan SKPD dan instansi-
instansi lain di Provinsi Banten.
Sistematika/Outline Laporan disesuaikan dengan petunjuk yang termuat dalam Buku
Panduan EKPD 2010 tanggal 17 Mei 2010 yang diterbitkan oleh Bappenas.
Laporan ini telah disesuaikan dengan saran-saran yang telah disampaikan oleh
Bappenas dan para peserta Seminar Akhir EKPD 2010 yang terdiri dari 33 Perguruan Tinggi
Negeri dan Bappeda seluruh Indonesia di Jakarta pada tanggal 9 s/d 11 November 2010.
Akhirnya Tim mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah memberikan data, penjelasan, saran , serta bantuannya dalam penyusunan laporan
dan semoga laporan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Serang, 8 Desember 2010
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Rektor,
Prof. Dr. Ir. Rahman Abdullah, M.Sc
NIP.19610522 198803 1 001
Tembusan disampaikan kepada yang terhormat :
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Banten di Serang
i
3. DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................................... i
Daftar Isi ........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................................. 2
B. Tujuan dan Sasaran……….…………………………………………………….. .... 2
C. Keluaran ……………………………………………………………………….. ........ 3
BAB II HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009
A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI............... 5
1. Indikator......................................................................................................... 5
2. Analisis Pencapaian Indikator........................................................................ 5
3. Rekomendasi Kebijakan ............................................................................... 9
B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS.... 10
1. Indikator ........................................................................................................ 10
2. Analisis Pencapaian Indikator ....................................................................... 11
3. Rekomendasi Kebijakan ............................................................................... 17
C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT ............................. 18
1. Indikator ........................................................................................................ 18
2. Analisis Pencapaian Indikator ....................................................................... 21
3. Rekomendasi Kebijakan ............................................................................... 51
D. KESIMPULAN ................................................................................................... 54
BAB III RELEVANSI RPJMN 2010-2014 DENGAN RPJMD PROVINSI BANTEN
1. Pengantar .......................................................................................................... 63
2. Tabel 2. Prioritas dan Program Aksi Pembangunan Nasional ........................... 63
3. Rekomendasi ..................................................................................................... 95
a. Rekomendasi Terhadap RPJMD Provinsi Banten 2007-2012 ....................... 95
b. Rekomendasi Terhadap RPJMN.................................................................... 97
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan ........................................................................................................ 100
2. Rekomendasi ..................................................................................................... 100
LAMPIRAN
Tabel 3 : Pencapaian Indikator Hasil (Output) Provinsi Banten secara Keseluruhan
ii
5. A Latar Belakang
Menurut Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah satu dari empat
tahapan perencanaan pembangunan yang meliputi penyusunan, penetapan, pengendalian
perencanaan serta evaluasi pelaksanaan perencanaan. Sebagai suatu tahapan perencanaan
pembangunan, evaluasi harus dilakukan secara sistematis dengan mengumpulkan dan
menganalisis data serta informasi untuk menilai sejauh mana pencapaian sasaran, tujuan
dan kinerja pembangunan tersebut dilaksanakan.
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 telah selesai dilaksanakan. Sesuai dengan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan, Pemerintah (Bappenas) berkewajiban untuk
melakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana pelaksanan RPJMN tersebut.
Saat ini telah ditetapkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010–2014. Siklus
pembangunan jangka menengah lima tahun secara nasional tidak selalu sama dengan siklus
pembangunan 5 tahun di daerah,. sehingga penetapan RPJMN 2010-2014 ini tidak
bersamaan waktunya dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) .
Hal ini menyebabkan prioritas-prioritas dalam RPJMD tidak selalu mengacu pada prioritas-
prioritas RPJMN 2010-2014. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi relevansi prioritas/program
antara RPJMN dengan RPJMD Provinsi Banten.
Di dalam pelaksanaan evaluasi ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang berkaitan dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pertama adalah evaluasi
atas pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dan kedua penilaian keterkaitan antara RPJMD
dengan RPJMN 2010-2014.
B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari pelaksanaan EKPD Provinsi Banten adalah :
1. Untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan RPJMN 2004-2009 serta
kontribusinya pada pembangunan di Provinsi Banten;
2
6. 2. Untuk memperoleh gambaran tentang keterkaitan prioritas/program (outcome)
RPJMN 2010-2014 dengan prioritas/program yang ada dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Banten.
Sasaran yang diharapkan dari kegiatan ini meliputi :
1. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di
Provinsi Banten
2. Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMN 2010-2014 dengan
RPJMD Provinsi Banten.
C. Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari pelaksanaan EKPD 2009 meliputi:
1. Tersedianya dokumen evaluasi pencapaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009
di Provinsi Banten;
2. Tersedianya dokumen evaluasi keterkaitan RPJMD Provinsi Banten 2007-2011
dengan RPJMN 2010-2014.
3
8. A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI
1. Indikator
Agenda Capaian Tahun
No pembangunan Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1 Mewujudkan Indeks Kriminalitas
Indonesia
61,5 61,9 57,4 65,2 67,3 61,5
yang Aman
dan Damai
Prosentase
Penyelesaian Kasus
59,3 57,3 56,2 61,3 62,6 61,1
Kejahatan
Konvensional (%)
Prosentase
Penyelesaian Kasus
100 100 100 100 100 99,3
Kejahatan Trans
Nasional (%)
2. Analisis Pencapaian Indikator
Indeks Kriminalitas
Dari grafik di atas terlihat pola Indeks Kriminalitas di Provinsi Banten dari tahun 2004 sampai
dengan 2009 relatif stabil, berada pada kisaran 60%. Angka terendah pada tahun 2006 yaitu
sebesar 57,4%. Beberapa penyebab yang dikemukakan oleh Polda Banten adalah
keterbatasan sumber daya manusia, pembiayaan dan peralatan apabila dibandingkan
5
9. dengan kasus yang terjadi. Sedangkan angka yang tertinggi sebesar 67,3% pada tahun
2008.
Data Polda Banten per 30 Desember 2009 juga mencatat, penyelesaian kasus kejahatan
tahun ini lebih rendah dibandingkan dengan kegiatan serupa pada tahun lalu. Tahun 2008,
terdapat 1.283 dari 1.905 tindak pidana yang berhasil diselesaikan dan tahun ini jumlahnya
menurun menjadi 1.191 dari 1.936 tindak pidana. Dalam data tersebut dijelaskan, tindak
pidana yang paling banyak terjadi tahun ini di wilayah Polda Banten ialah pencurian
kendaraan bermotor, yakni sebanyak 427 unit. Tahun lalu, jumlahnya hanya 410 unit.
Jumlah temuan kasus atensi tahun 2009, ialah premanisme dan kejahatan jalanan sebanyak
219 kasus, korupsi (9 kasus), penyimpangan bahan bakar minyak atau BBM (11 kasus),
illegal loging (8 kasus), illegal fishing (4 kasus), illegal mining (6 kasus), perdagangan wanita
dan anak (5 kasus), serta penyalahgunaan pupuk (3 kasus). Bila dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, maka jumlah tindak pidana itu di tahun ini masih lebih rendah. Pada kasus
atensi tahun ini, Polda Banten menemukan 471 tindak pidana. Artinya, jumlah itu lebih
rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 615 tindak pidana.Tahun ini,
kepolisian berhasil menyelesaikan 472 tindak pidana, termasuk sebuah kasus yang
menunggak sejak tahun lalu .
Hal menarik lainnya, ialah meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas. Jumlah kecelakaan
tahun 2009 mencapai 874 kecelakaan, sedangkan tahun lalu hanya 482 kecelakaan. Seiring
dengan itu, korban meninggal dunia akibat kecelakaan pun meningkat, dari 156 tahun 2008
menjadi 222 di tahun ini. Jumlah kerugian akibat kecelakaan tersebut mencapai Rp3,41
miliar. Penyebab kecelakaan tertinggi ialah kelalaian manusia yang mencapai 848 kasus.
Kemudian, faktor kendaraan sebanyak 22 kasus, faktor kondisi infrastruktur (3 kasus), dan
faktor alam (1 kasus).
6
10. Penyelesaian kasus Kejahatan Konvensional
Jumlah tindak pidana di wilayah hukum Kepolisian Daerah Banten tahun 2009 meningkat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini diimbangi dengan meningkatnya jumlah
penyelesaian tindak pidana pada periode yang sama. Tindak pidana di wilayah kerja Polda
Banten pada tahun ini berjumlah 1.933 kasus, sedangkan tahun sebelumnya hanya 1.794
kasus. Kasus tersebut meliputi tiga jenis kejahatan yakni, konvensional, transnasional, dan
kejahatan terhadap kekayaan negara. Wilayah kerja Polda Banten sendiri meliputi Kota
Serang, Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak.
Kejahatan konvensional adalah kejahatan yang dilakukan dengan motivasi dan modus
kejahatan umum. Yang termasuk kategori kejahatan konvensional adalah : kejahatan
terhadap manusia seperti pembunuhan, penganiayaan, kejahatan terhadap harta benda
seperti penipuan, penggelapan, pencurian dengan menggunakan alat berat (curat),
pencurian tanpa menggunakan alat berat (curing), sengketa rumah/tanah, pemalsuan otentik
, asuransi, pencurian kendaraan bermotor roda dua (curanmor R2), pencurian kendaraan
bermotor roda empat (curanmor R4), dan kejahatan terhadap masyarakat seperti judi,
pelacuran, ketertiban, pengrusakan.
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional di Provinsi Banten belum
mengalami kemajuan yang signifikan. Untuk kasus kejahatan konvensional, dalam hal ini
terdiri atas kurang lebih 45 jenis kejahatan, diantaranya Pencurian Berat, Pencurian
7
11. Kendaraan bermotor, Penipuan dan Penggelapan untuk tahun 2004 berkisar pada angka
61%, tahun 2005 sebesar 63%, tahun 2006 sebesar 61%, tahun 2007 sebesar 56%, tahun
2008 sebesar 58%, dan tahun 2009 sebesar 59%. Penyelesaian kasus yang cenderung
menurun pertahun berbanding terbalik dengan kenaikan jumlah laporan tindakan kriminal,
sebagai gambaran jumlah laporan tindakan kriminal yang terdata pada tahun 2004 sebanyak
1.391 kasus dan pada tahun 2007 terdata 1.636 kasus dan data terbaru tahun 2009
sebanyak 1.864 kasus. (sumber : Polda Banten, Juli 2010).
Arah kebijakan yang berkaitan dengan penegakan hukum di Provinsi Banten adalah
meningkatkan kapasitas lembaga pemerintahan dan koordinasi pembangunan,menyiapkan
kerangka regulasi untuk mendukung pelaksanaan agenda pembangunan, dengan program-
program yang lebih spesifik diantaranya ; pemeliharaan Kantrantibmas dan pencegahan
tindak kriminal.
Penyelesaian Kasus Kejahatan Trans Nasional
Kejahatan transnasional adalah kejahatan yang tidak hanya sifatnya lintas batas negara,
tetapi termasuk juga kejahatan yang dilakukan di suatu negara, tetapi berakibat fatal bagi
negara lain. Contoh kejahatan transnasional ini adalah human trafficking, penyelundupan
orang, narkotika, atau terorisme internasional.
8
12. Berhubung Provinsi Banten sebagai sebuah provinsi baru berbatasan langsung dengan ibu
kota negara, maka kejahatan transnasional merupakan ancaman yang nyata bagi Provinsi
ini. Selain penyelundupan obat-obat terlarang dari luar ke dalam, terorisme, pembalakan liar
dan tranportasi manusia (human trafficking) merupakan ancaman yang nyata. Oleh karena
itu, kerjasama antar wilayah yang berkelanjutan sangat diperlukan untuk mencegah
kejahatan ini.
Oleh karena itu pengadopsian Konvensi PBB melawan Kejahatan Transnasional yang
Terorganisasi (United Nations Convention against Transnational Organized Crime) sangat
penting bagi penyiapan sistem keamanan nasional yang komprehensif di Indonesia
khususnya di Provinsi Banten. Melalui konvensi ini, akan bisa dibentuk sebuah sistem
keamanan nasional yang melibatkan kerjasama dengan berbagai pihak, di dalam negeri
maupun di luar negeri, sehingga memungkinkan untuk saling membantu dan bertukar
strategi dalam menghadapi kejahatan transnasional sehingga peluang untuk membendung
dan memerangi kejahatan transnasional akan semakin besar.
Beberapa negara mengkategorikan kejahatan telematika juga sebagai kejahatan
transnasional, sehinggga perlu adanya suatu kerjasama internasional dalam menangani
kejahatan telematika tersebut. Akan tetapi banyak negara yang masih mengalami berbagai
kesulitan dalam melaksanakan usaha, baik pencegahan atau pun penanganan kejahatan
telematika tersebut, karena adanya ketidakseragaman dalam membuat regulasi dan aturan
internal dalam negeri.
Dalam hal ini, Kejahatan Transnasional, dibagi atas kasus narkotika dan penyelundupan
anak, dari tahun 2004 sampai 2009 berhasil dituntaskan hampir 100%, kecuali untuk tahun
2009 yaitu sebesar 99,3%. Perbedaan paling menonjol dalam penyelesaian tindak pidana
tahun ini ialah pada jenis kejahatan transnasional yang berhasil mengungkap sebuah kasus
penyelundupan manusia, yang pada tahun lalu hal ini belum bisa dilakukan.
3. Rekomendasi Kebijakan
Kaitannya dengan penyelesaian kasus kejahatan di Propinsi Banten, hendaknya dinas yang
terkait mulai melaksanakan sepenuhnya PERMENEGPAN No.15 Tahun 2008 yang
mengatur tentang Birokrasi POLRI yang berisi tentang aturan membentuk profil dan perilaku
9
13. aparatur POLRI yang berintegritas tinggi, berproduktivitas tinggi, bertanggungjawab, dan
mampu memberikan pelayanan prima. Selain itu, masyarakat selaku rekan Polisi dalam
membasmi kegiatan kriminalitas hendaknya berperan aktif berpartisipasi bersama
mewujudkan kondisi yang kondusif.
B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS
1. Indikator
Agenda Capaian Tahun
No pembangunan Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009
2 Mewujudkan Pelayanan Publik
Indonesia
yang Adil dan
Demokratis
Prosentase Jumlah kasus
korupsi yang tertangani
100 100 100 100 100 90
dibandingkan dengan
yang dilaporkan
Prosentase instansi
(SKPD) provinsi yang 80 80 80 80 80 80
memiliki pelaporan Wajar
Tanpa Pengecualian
(WTP) [%]
Prosentase jumlah
kabupaten/ kota yang
- - 50 67 67 83
memiliki peraturan daerah
pelayanan satu atap
Demokrasi
Gender Development
56,70 58,10 59,00 60,3 63,2 63,0
Index (GDI)
Gender Empowerment
Meassurement (GEM) 40,10 45,40 46,2 46,8 47,3 52,0
10
14. 2. Analisis Pencapaian Indikator
Jumlah Kasus Korupsi yang Tertangani Dibandingkan yang Dilaporkan
Persentase jumlah kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan,
menurut data yang didapat dari tahun 2004 sampai dengan 2008 mencapai angka 100%,
sedangkan untuk tahun 2009 mencapai angka sebesar 90%. Dalam hal ini, kasus korupsi
termasuk dalam kategori Kejahatan Kekayaan Negara, selain pelanggaran hak cipta, illegal
fishing dan illegal logging. Untuk jenis kejahatan ini, jumlahnya meningkat dari tahun ke
tahun. Tahun 2005 dijumpai 11 kasus, tahun 2006, 41 kasus terselesaikan semua, tahun
2007 dari 23 kasus diselesaikan 33 kasus (147%), tahun 2008 dari 139 kasus terselesaikan
125 kasus (90%), dan keadaan yang ekstrem terjadi pada tahun 2009, dari 70 kasus yang
dilaporkan, terselesaikan 140 kasus (200%), data ini menggambarkan pihak kepolisian
berhasil mengungkap dan menyelesaikan kasus yang bahkan tidak dilaporkan. (sumber:
Polda Banten, Juli 2010)
Berdasarkan data yang diperoleh , terjadi kenaikan dalam hal penanganan korupsi di
Provinsi Banten. Hal ini bisa terlihat dari jumlah kasus yang tertangani tiap tahunnya, dari
tahun 2004 sampai 2009 dengan perincian kasus yg tertangani adalah tahun 2004 : 11
kasus, 2005 : 36 kasus, 2006: 38 kasus, 2007 : 44 kasus, 2008 : 50 kasus, 2009 : 51 kasus (
Sumber: Kajati Banten). Tetapi hal tersebut belum bisa dikatakan berhasil karena
sebenarnya masih banyak kasus korupsi yang belum terungkap dengan jelas secara hukum.
11
15. Untuk itu, perlu adanya penegakan hukum yang konsisten dan tidak berpihak, terutama dari
dan untuk aparat penegak hukum dan masyarakat.
Dipaparkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Banten bahwa semua laporan masyarakat yang
masuk ke instansi mereka akan langsung diterima, kemudian ditelaah, selanjutnya dilakukan
pengumpulan data, Setelah itu, apabila laporan masyarakat itu benar, maka akan
ditindaklanjuti.
Trend jumlah kasus korupsi yang tertangani tiap tahunnya semakin meningkat, hal ini bisa
dikatakan bahwa penegak hukumnya sudah semakin menjunjung nilai-nilai hukum yang ada,
terutama dalam penanganan korupsi yang ada di Propinsi Banten. Walaupun demikian,
dilaporkan pula bahwa masih ada kasus korupsi besar yang ada di Propinsi Banten yang
pada saat ini sedang dalam penyidikan.
Beberapa strategi yang berusaha dijalankan di jajaran Polda Banten, diantaranya adalah
Reformasi Birokrasi POLRI. Hal ini berdasarkan PERMENEGPAN no. 15 tahun 2008.
Sasaran umum dalam reformasi ini adalah mengubah pola pikir, budaya kerja, dan sistem
manajemen dalam POLRI. Sasaran khususnya adalah reformasi dalam kelembagaan,
budaya organisasi, ketatalaksanaan, regulasi/deregulasi birokrasi, dan sumber daya
manusia.
Reformasi birokrasi POLRI Tahun 2010 di Polda Banten meliputi 6 program, yaitu :
1. Arahan Strategi
2. Manajemen Perubahan
3. Penataan Organisasi
4. Penataan Sistem SDM
5. Penguatan Unit Organisasi
6. Pengawasan Internal
Program tersebut diwujudkan dalam 13 kegiatan sebagai berikut :
1. Quick Wins
2. Sosialisasi
3. Restrukturisasi Organisasi
12
16. 4. Assesment Kompetensi
5. Sistem Penilaian Kerja
6. Sistem Penilaian Kinerja
7. Pola Diklat
8. Pola Rotasi Mutasi dan Promosi
9. Pola Karier
10. Database Pegawai
11. Perbaikan Sarana dan Prasarana
12. Menegakkan Disiplin Kerja
13. Menegakkan Kode Etik
Persentase instansi (SKPD) provinsi yang memiliki pelaporan Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) dapat dijelaskan sebagai berikut :
Ternyata opini/pendapat BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah diberikan
kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota bukan kepada SKPD. Selanjutnya dijelaskan oleh
Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Provinsi Banten bahwa opini untuk
Provinsi Banten tahun 2004 s/d 2009 adalah Wajar Dengan Pengecualian (WDP) yang oleh
Tim EKPD Banten diusulkan kepada Bappenas diberi nilai 80 (apabila WTP 100, Wajar
Dengan Pengecualian (WDP) 80, Tidak Wajar (TW) 60,dan Tidak Mengemukakan Pendapat
(TMP) /Disclaimer) 40.
Opini WDP yang diberikan oleh BPK kepada Provinsi Banten dinilai sudah baik karena dari
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) seluruh Indonesia tahun 2008 sebanyak 293,
yang memperoleh opini WDP hanya 8 daerah, yang untuk jelasnya adalah sebagai berikut :
1). WTP : 8 entitas
2). WDP : 217 entitas
3). TW : 21 entitas
4). TMP : 47 entitas
13
17. Sedangkan opini terhadap LKPD Provinsi Banten dan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
tahun 2008 adalah sebagai berikut :
a. Provinsi Banten : WDP
b. Kab. Lebak : WDP
c. Kab. Pandeglang : WDP
d. Kab. Serang : WDP
e. Kab. Tangerang : WTP
f. Kota Cilegon : WDP
g. Kota Tangerang : WTP
Kabupaten/Kota Yang Memiliki PERDA Satu Atap
Berdasarkan grafik di atas, maka sudah ada perda yang memuat mengenai pelayanan satu
atap di sebagiaan besar kabupaten/kota walaupun pada kenyataannya perda tersebut
belum terlaksana secara optimal karena belum semua pelayanan ditangani oleh satu dinas.
Selain itu masih ada kendala dalam perkembangan pelayanan satu atap, di antaranya belum
siap dalam hal SDM. Di Provinsi Banten sendiri, sudah ada dua wilayah yang termasuk
dalam kategori cukup bagus dalam pelayanan satu atapnya, yaitu di Kabupaten Lebak dan
Kota Tangerang. Pelayanan satu atap sendiri sangat dibutuhkan di era yang menuntut
kecepatan dan kecermatan dalam pelayanan. Dengan pelayanan yang cepat dan mudah
akan membuat konsumen/masyarakat menjadi puas akan layanan yang diberikan, tanpa
14
18. harus melewati birokrasi yang berbelit-belit. Salah satu contoh pelayanan satu atap di Kota
Tangerang untuk memudahkan masyarakat dalam pengurusan pajak kendaraan
bermotornya, Kantor Sistem Administrasi Manunggal Di Bawah Satu Atap (Samsat) Kota
Tangerang mengoperasikan mobil Samsat Keliling ke berbagai wilayah di kota itu.
Dari grafik di atas diperoleh informasi bahwa perda satu atap baru terlaksana pada tahun
2006. Terdapat 3 kabupaten dari total 6 kabupaten/kota yang telah menerapkan perda
tersebut (50%), kemudian tahun 2007 bertambah menjadi 4 wilayah (67%), tahun 2008 tetap
4 wilayah (67%), dan pada tahun 2009 bertambah menjadi 5 wilayah (83%).
Gender Development Index (GDI)
Gender Development Index (GDI)
64
62
60
58
56
54
52
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Dengan memperhatikan capaian di atas, maka capaian sasaran Indeks Pembangunan
Gender/Gender Development Index (GDI) termasuk klasifikasi baik dan mempunyai
kecenderungan meningkat dari tahun 2004 sampai tahun 2009. Keberadaan perempuan
yang dalam beberapa kesempatan pembangunan dulu sering terlupakan, kini mulai
mendapat porsi yang seimbang dan proporsional dalam pengambilan keputusan dan atau
penentuan kebijakan.
Dalam rangka meningkatan peran serta atau partisipasi perempuan dalam proses
pembangunan Provinsi Banten, pemerintah menyusun program Keserasian Kebijakan
Peningkatan Kualitas Anak dan Perempuan dengan kegiatan Koordinasi Pelaksanaan
Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan Dan Anak serta Program Peningkatan peran serta dan
15
19. kesetaraan Gender dalam Pembangunan dengan kegiatan Pembinaan Organisasi
Perempuan.
Kesadaran kaum wanita untuk terlibat aktif di bidang sosial kemasyarakatan di Provinsi
Banten sudah cukup baik bagi yang menjadi anggota PKK maupun sebagai anggota LSM.
Diharapkan dengan banyaknya wanita yang terjun di bidang sosial dilingkungannya maka
berbagai permasalahan sosial secepatnya dapat tertangani yang imbasnya tentu saja
mengakibatkan akselerasi pembangunan semakin mudah tercapai. ( Sumber : Laporan
Kinerja Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2009)
Gender Empowerment Meassurement (GEM)
Dari data di atas terlihat bahwa tren GEM cenderung naik dari tahun 2004 sampai 2009.
Pemerintahan era reformasi telah menunjukkan komitmennya secara kuat untuk mendorong
upaya pemberdayaan perempuan. GBHN 2000 - 2004 dan UU Nomer 25 Tahun 2000
tentang Propenas (2000- 2004) secara eksplisit menjelaskan tentang tujuan pembangunan
yang harus juga mengarah pada pencapaian Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Hal
ini berarti setiap kebijakan pembangunan harus dikembangkan secara responsif gender.
Strategi yang dikembangkan dalam setiap kebijakan adalah dengan Pengarusutamaan
Gender (PUG) dalam setiap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi seluruh
16
20. kebijakan serta program pembangunan. Agar kebijakan yang bersifat makro tersebut dapat
diimplementasikan di tingkat daerah, maka lahirlah Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres tersebut menyebutkan
bahwa seluruh departemen maupun lembaga pemerintah nondepartemen dan pemerintah
propinsi dan kabupaten/kota harus melakukan Pengarusutamaan Gender dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program
pembangunan.
Ukuran Gender Empowerment Measurement (GEM) terdiri dari komposisi perempuan dalam
parlemen, perempuan dalam tingkatan manajerial, dan kontrol pada penghasilan. Pada
prinsipnya, indikator GEM digunakan untuk melihat partisipasi perempuan dalam proses
pengambilan kebijakan publik. Beberapa jabatan strategis eksekutif di Provinsi Banten sudah
dipegang oleh perempuan. Bahkan provinsi Banten satu-satunya provinsi yang mempunyai
Perda Pengarusutamaan Gender No. 10 tahun 2005 sehingga seringkali menjadi rujukan
untuk daerah lain.
3. Rekomendasi Kebijakan
1. Dalam hal pelayanan satu atap, beberapa permasalahan yang kerap ditemui adalah
pelaksanaan yang belum optimal walaupun masing-masing kabupaten dan kota sudah
memiliki Perda tersebut. Hal ini disebabkan antara lain karena tidak semua ijin diberikan
pada kantor satu atap setingkat kabupaten atau kota, dan masih adanya pertentangan
aturan-aturan dari pusat terhadap daerah.Permasalahan tersebut agar segera dicari
pemecahannya.
2. Perlu adanya suatu program berupa penegakan hukum yang konsisten dan tidak
berpihak terhadap aparat penegak hukum maupun terhadap masyarakat.
3. Melakukan pembinaan, pelatihan, dan pemahaman pada pihak terkait terhadap
pemberlakuan Standar Akuntansi Pemerintahan
4. Agar dilakukan koordinasi dan sinergi yang baik terhadap pelaksanaan Program
Keserasian Kebijakan Peningkatan Kualitas Anak dan Perempuan, Koordinasi
Pelaksanaan Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan dan Anak, Program Peningkatan
Peran Serta dan Kesetaraan Gender dalam Pembangunan, serta kegiatan Pembinaan
Organisasi Perempuan.
17
21. C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
1. Indikator
Capaian Tahun
Agenda
No pembangunan Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009
3 Meningkatkan Indeks
Kesejahteraan Pembangunan 68.4 68.8 69.11 69.29 69.8 70.3
Rakyat Manusia
Pendidikan
Angka
Partisipasi Murni 94.12 93.24 94.83 91.74 93.41 97.5
(SD/MI)
Angka
Partisipasi 106.28 105.08 108.28 108.34 107.28 107.28
Kasar (SD/MI)
Rata-rata nilai
5.54 5.54 5.54 5.54 5.54 7.26
akhir SMP/MTs
Rata-rata nilai
akhir 5.79 5.9 6.08 6.47 6.65 7.52
SMA/SMK/MA
Angka Putus
2.09 1.47 1.84 1.35 0.42 0.15
Sekolah SD
Angka Putus
1.08 0.91 3.35 3.73 0.58 0.20
Sekolah SD
Angka Putus
Sekolah 1.52 3.23 4.52 2.21 0.66 0.25
Menengah
Angka melek
aksara 15 tahun 94 95.6 95.6 95.8 96.1 97.6
keatas
Persentase
jumlah guru
yang layak 62.8 67.57 84.25 83.97 67.04 73.8
mengajar
SMP/MTS
Persentase
jumlah guru
yang layak
83.31 83.49 80.02 76.45 77.81 81.44
mengajar
Sekolah
Menengah
Kesehatan
Umur Harapan
63,3 64 64,3 64,45 64,9 68
Hidup (UHH)
Angka Kematian
Bayi (AKB) - - 44 38 34 25
(Per 1000
18
22. kelahiran hidup)
Angka Kematian
Ibu (AKI)
310 306 306 292 254 203
(Per 100.000
kelahiran hidup)
Prevalensi Gizi
1,21 0,75 1,28 1,06 1,12 1,04
buruk (%)
Prevalensi Gizi
kurang/sedang 11,78 10,22 10,27 8,56 9,18 7,91
(%)
Persentase
tenaga
0,92 1,25 1,32 1,42 1,23 0,23
kesehatan per
penduduk
Keluarga
Berencana
Persentase
penduduk ber-
KB 11.14 11.41 11.04 11.45 11.7 12.09
(Contraceptive
prevalence rate)
Laju
pertumbuhan 3.18 2.83 2.20 2.19 2.15 2.19
penduduk
Total Fertility
63.9 65.14 63.35 63.06 63.98 65
Rate (TFR)
Ekonomi Makro
Laju
Pertumbuhan 5.63 5.88 5.57 6.04 5,82 5,89
ekonomi
Persentase
ekspor terhadap 4.68 6.78 4.74 4.63 9,91 6,50
PDRB
Persentase
output
50.16 49.75 49.7 47.83 45,25 43,80
Manufaktur
terhadap PDRB
Pendapatan per
kapita (dalam 8.07 9.37 10.61 11.4 12,76 11,30
juta rupiah)
Laju Inflasi 5,95 6,11 7,67 6,31 11,47 11,90
Investasi
Nilai Rencana
PMA yang
593.40 2,774.10 1,363.60 1,322.80
disetujui (US$
Juta)
Nilai Realisasi
Investasi PMA 14.417 781.394 3.815.200 707.9 477.895 1.467.536
(US$ Juta)
19
23. Nilai Rencana
PMDN yang 6,430.80 5,136.50 6,305.70 4,063.50
disetujui (Rp
Milyar)
Nilai Realisasi
Investasi PMDN 1.048.381 5.844.076 1.492.528 1.100.000 1.989.753 5.581.183
(Rp Milyar)
Realisasi
Penyerapan 11,430.00 13,213.00 27,302.00 36,733.00 36,465.00
tenaga kerja
PMA
Infrastruktur
Panjang jalan
nasional
berdasarkan
dalam kondisi:
Baik 294,73 286,42 286,42 350,07 281,59 110,92
Sedang 133,07 131,79 131,79 98,03 146,94 294,98
Buruk 62,50 72,19 72,20 42,30 61,87 84,50
Panjang jalan
provinsi dalam
kondisi :
Baik 212,39 206,40 368,05 273,45 539,76 327,42
Sedang 156,86 155,35 278,65 394,96 110,31 375,27
Buruk 3,00 10,50 242,30 220,60 238,94 186,32
Pertanian
Rata-rata nilai
tukar petani per - - - - 96.83 99.84
tahun
PDRB sektor
pertanian atas
dasar harga 4.930.266,80 5.061.650,42 5.030.011,59 5.242.350,48 5.408.861,73 8.201.130,00
konstan 2000
(Juta Rp)
Kehutanan
Persentase
Luas lahan
rehabilitasi
4,05 0,00 9,19 6,98 6,40 2,97
dalam hutan
terhadap lahan
kritis
Kelautan
Jumlah tindak
pidana 31 24 20 16 13 6
perikanan
20
24. Luas kawasan
konservasi laut 3,645.54 3,645.54 3,645.54 3,645.54 3,727.01 3,727.01
(juta Ha)
Kesejahteraan
Sosial
Persentase
penduduk 8.58 8.86 9.79 9.07 8.15 7.64
miskin
Tingkat
pengangguran 14.31 16.59 18.91 15.75 15.18 14.97
terbuka
2. Analisis Pencapaian Indikator
a. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM ) merupakan indikator keberhasilan upaya membangun
kualitas hidup manusia. Ukuran IPM diwakili oleh 3 (tiga) parameter yang terdiri atas: angka
harapan hidup, pencapaian pendidikan, dan paritas dayabeli. IPM di Provinsi Banten dari
tahun 2004 – 2009, dapat dilihat pada grafik berikut ini :
Jika melihat pola trend IPM Provinsi Banten dari tahun 2004 hingga tahun 2009 terjadi
peningkatan, namun peningkatan tersebut kurang signifikan. Rata-rata kenaikan dari tahun
2004 sampai tahun 2009 hanya 0,38% per tahun.
Kesehatan, pendidikan, dan ekonomi merupakan tiga pilar yang saling berinteraksi dan
berinter-relasi satu sama lain dalam membentuk kualitas penduduk (sumber daya manusia).
Tanpa kesehatan yang baik, pendidikan sulit untuk dapat berjalan dengan baik, dan bila
21
25. kesehatan dan pendidikan tidak baik maka mustahil ekonomi keluarga/masyarakat dapat
membaik.
Dibandingkan dengan pencapaian daerah-daerah lain, maka IPM Provinsi Banten dapat
dikatakan masih tertinggal. Oleh karena itu masih banyak hal yang perlu dilakukan agar
pencapaian pembangunan manusia di Provinsi Banten dapat setara dengan daerah lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi IPM adalah kesehatan yang diukur dengan angka
harapan hidup (Life Expectancy Rate). Angka Harapan Hidup yang tinggi menggambarkaan
bahwa manusia dalam keadaan sehat dan dapat berumur panjang. Angka harapan hidup di
Provinsi Banten adalah sebagai berikut :
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka harapan hidup 63,3 64 64,3 64,45 64,9 68
Angka harapan hidup ini mencerminkan pembangunan manusia di bidang kesehatan.
Masyarakat miskin menghadapi masalah keterbatasan akses layanan kesehatan dan
rendahnya status kesehatan yang berdampak pada rendahnya daya tahan mereka untuk
bekerja dan mencari nafkah, terbatasnya kemampuan anak dari keluarga untuk tumbuh dan
berkembang serta rendahnya derajat kesehatan ibu. Salah satu indikator terbatasnya akses
layanan kesehatan dasar adalah angka kematian bayi dan masih tingginya penyakit menular
(malaria, tuberculosis paru dan HIV/AIDS). Rendahnya tingkat kesehatan masyarakat miskin
juga disebabkan oleh perilaku hidup yang tidak sehat, jarak fasilitas layanan kesehatan yang
jauh dan biaya yang mahal, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar yang disebabkan
terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan dan sarana kesehatan.
Distribusi tenaga dokter di Banten juga tidak merata. Di wilayah perkotaan (Kabupaten
Tangerang dan Kota Tangerang) memiliki jumlah dokter masing-masing kurang lebih 700
orang sedangkan di wilayah perdesaan hanya memiliki jumlah dokter rata-rata sebanyak 80
orang. Hal ini tentu saja berdampak pada kualitas dan aksesibilitas pelayanan kesehatan
pada masyarakat di pedesaan yang umumnya adalah masyarakat miskin. Rendahnya
pemanfaatan dan penyerapan pangan memberikan gambaran status gizi seseorang
terutama pada anak-anak dan kesehatan masyarakat.
22
26. Salah satu cara untuk meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat adalah (1).
pemberian pelayanan kesehatan yang makin merata dan bermutu, (2). ketersediaan sarana
pelayanan kesehatan dasar . Walaupun seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten telah
memiliki Rumah Sakit, baik milik pemerintah maupun swasta, namun dalam kenyataannya
masih banyak golongan masyarakat terutama penduduk miskin belum sepenuhnya dapat
mengakses pelayanan kesehatan karena kendala biaya, jarak, dan transportasi. Untuk itu,
diperlukan peningkatan ketersediaan, pemerataan, dan mutu sarana pelayanan kesehatan
dasar, terutama melalui peningkatan keberadaan dan kualitas pelayanan Puskesmas dan
jaringannya.
Dalam hal ini Dinas Kesehatan Provinsi Banten meningkatkan pelayanan kesehatan bagi
seluruh masyarakat Banten. Guna mendukung sasaran ini, Dinas Kesehatan Provinsi Banten
melaksanakan program-program : (1).Program Obat dan Perbekalan Kesehatan dengan
kegiatan Penyediaan Obat Buffer Stock Provinsi dan perbekalan kesehatan dan kegiatan
Pengadaan Obat dan Alat Kesehatan Untuk Sarana Pelayanan Kesehatan. (2). Program
Pelayanan Kesehatan Penduduk Miskin dengan kegiatan Penyediaan Dana Pendamping
Jamkesmas yang bertujuan meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan rujukan terutama
untuk penduduk miskin. (3). Program Upaya Kesehatan Masyarakat dengan kegiatan
Peningkatan Pelayanan Kesehatan di Perbatasan yang diwujudkan dengan pembangunan
unit pelayanan kesehatan ( Puskesmas) di perbatasan Kecamatan. Pembangunan
Puskesmas dengan tempat perawatan di Perbatasan Kecamatan Kopo Kab. Serang
Dengan semakin mahalnya biaya pelayanan kesehatan sebagai akibat dari perubahan pola
penyakit serta perkembangan teknologi yang digunakan yang diikuti dengan makin majunya
informasi kesehatan dunia serta masih terbatas kualifikasinya SDM dan terbatasnya sarana
peralatan medik dan anggaran operasional, maka Dinas Kesehatan Provinsi Banten
berupaya mengadakan program Pengadaan Alat Kesehatan / Kedokteran.
A. Pendidikan
Pendidikan diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lamanya sekolah, Aspek ini
mengukur manusia yang cerdas , kreatif, terampil, terdidik, dan bertaqwa.
Angka melek huruf di Provinsi Banten dapat dilihat pada grafik di bawah ini :
23
27. Angka Melek Aksara 15 tahun Ke atas
Angka melek huruf di Provinsi Banten dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, kecuali dari
tahun 2005 ke 2006 yang angkanya sama. Hal ini disebabkan oleh upaya, pemerintah
Provinsi Banten yang telah melakukan program-program antara lain program keaksaraan
melalui kegiatan-kegiatan pembinaan mutu pendidikan masyarakat melalui Pendidikan Luar
Sekolah (PLS) , serta program pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan
melalui kegiatan pengembangan minat dan budaya baca melalui Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM) yang telah ada sebanyak 164 lembaga yang tersebar di kabupaten dan
kota, seperti terlihat pada Tabel berikut.
Tabel Jumlah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Provinsi Banten Tahun 2006/2007
No KABUPATEN / kOTA Jumlah
1 Kab. Serang 35 Lembaga
2 Kab. Pandeglang 33 Lembaga
3 Kab. Lebak 23 Lembaga
4 Kab. Tangerang 38 Lembaga
5 Kota Tangerang 20 Lembaga
6 Kota Cilegon 15 Lembaga
Jumlah 164 Lembaga
Sumber : Statistik Pendidikan 2007, Dinas Pendidikan Banten
24
28. Diharapkan dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Provinsi Banten di tahun 2010
melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), angka buta huruf penduduk Banten
makin menurun.Selanjutnya, rata-rata lama sekolah di Provinsi Banten mengalami kenaikan
dari tahun ke tahun. Tahun 2004 angka lama sekolah adalah 7, 7, untuk tahun 2005 sebesar
8,0 , tahun 2006 meningkat 8,1 dan tahun 2007 meningkat menjadi 8,3. Angka ini dapat
diartikan bahwa secara rata-rata penduduk dewasa telah menamatkan pendidikan dasar,
tepatnya setingkat kelas 2 SLTP. Provinsi Banten harus meningkatkan rata-rata lama
sekolah sehingga pendidikan dasar 9 tahun dapat tercapai.
Grafik Angka Partisipasi Murni untuk tingkat SD/MI adalah sebagai berikut:
Angka Partisipasi Murni (SD/MI)
Angka Partisipasi Murni (APM) merupakan perbandingan antara siswa dan penduduk usia
sekolah. APM SD merupakan perbandingan antara jumlah siswa SD dan setara yang
berumur 7-12 tahun dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun.Jika dilihat dari grafik di atas
APM SD/MI di Propinsi Banten dapat dikatakan naik, terutama pada tahun 2008 dan 2009.
Hal ini disebabkan oleh upaya pemerintah Propinsi Banten untuk menambah sarana dan
prasarana. Pada tahun 2008, jumlah SD mengalami peningkatan 143 unit dari 4.384 unit
menjadi 4.527 unit. Kenaikan terjadi pada SD Negeri yaitu dari 4.059 unit menjadi 4.152 unit
atau naik 2,29 persen. SD Swasta mengalami peningkatan 50 unit dari 325 unit menjadi 375
unit.
25
29. Selain APM, salah satu hal yang mempengaruhi ukuran kualitas sumber daya manusia
adalah nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) yaitu rasio jumlah siswa berapa pun usianya yang
sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk dengan kelompok
usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. APK SD/MI di Propinsi Banten
dapat dilihat pada grafik berikut :
Angka Partisipasi Kasar (SD/MI)
Jika dilihat dari grafik di atas, APK SD/MI di Propinsi Banten dapat dikatakan stabil rata-rata
107 %. Hal ini berarti bahwa ada peserta didik di SD yang usianya diluar usia 7 – 14 tahun.
Hal ini disebabkan oleh upaya kebijakan di Propinsi Banten yang menyelenggarakan WAJAR
DIKDAS Sembilan tahun untuk mewujudkan pemerataan pendidikan dasar yang bermutu di
seluruh wilayah Propinsi Banten.
Namun secara umum masih ada kendala-kendala yang dihadapi di Propinsi Banten, yaitu
tingginya biaya pendidikan, terbatasnya jumlah dan mutu prasarana dan sarana pendidikan,
terbatasnya jumlah guru bermutu di daerah dan komunitas miskin, terbatasnya jumlah
sekolah yang layak untuk proses belajar mengajar, terbatasnya jumlah SLTP dan SLTA di
daerah perdesaan, daerah terpencil dan kantong-kantong kemiskinan serta terbatasnya
26
30. jumlah sebaran dan mutu program kesetaraan pendidikan dasar melalui pendidikan non
formal, menyebabkan rendahnya akses masyarakat terhadap pendidikan.
Data lain juga menunjukkan bahwa biaya pendidikan merupakan salah satu pengeluaran
rumah tangga yang cukup besar. Bagi rumah tangga yang termasuk kelompok 20%
pengeluaran terendah, persentase biaya pendidikan per anak terhadap total pengeluaran
mencapai 10% untuk SD, 18,5% untuk SLTP dan 28,4% untuk SLTA. Berbagai masalah
dalam layanan pendidikan menyiratkan perlunya peninjauan kembali berbagai kebijakan
untuk memperluas akses dan meningkatkan layanan penidikan. Saat ini, perkembangan
jumlah tenaga kerja tidak diimbangi dengan pertumbuhan lapangan kerja sehingga tingkat
penyerapan tenaga kerja cenderung turun. Dengan bekal pendidikan yang memadai,
memudahkan masyarakat miskin untuk dapat masuk ke dunia kerja dengan posisi tawar
yang tinggi.
Pemerintah Provinsi Banten telah berupaya untuk meningkatan kualitas hidup sumber daya
manusia tersebut yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah, yaitu: 1. Meningkatnya Kualitas Layanan Pendidikan Pada Jenjang Prasekolah,
Dasar, dan Menengah; 2. Meningkatnya partisipasi masyarakat untuk melanjutkan ke
pendidikan tinggi (peningkatan nilai tambah sumberdaya manusia Banten); 3. Meningkatnya
Layanan Masyarakat Terhadap Jalur Pendidikan Berkebutuhan Khusus; 4. Meningkatnya
dan semakin berkembangnya Budaya Baca Masyarakat dan Terkelolanya dokumen / arsip
daerah; 5. Meningkatnya Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidik; 6. Meningkatnya akses orang
dewasa untuk mendapatkan pendidikan kecakapan hidup; 7. Meningkatnya Peran dan
Kewirausahaan Kepemudaan, Pengetahuan, Kemampuan Sumber Daya Pemuda serta
Pengembangan Sarana - Prasarana Olah Raga; 8. Meningkatnya Layanan Dasar Pendidikan
dan Kesehatan bagi masyarakat miskin.
Isu yang berkembang dalam pendidikan di Provinsi Banten berkaitan dengan Suku Baduy,
khususnya Baduy Dalam adalah karena yang diutamakan dalam pendidikan adalah
pemahaman terhadap aturan-aturan adat sedangkan keterampilan membaca,menulis, dan
menghitung hanya sebagai pelengkap hidup. Adat melarang warganya mengikuti sekolah
formal dan melarang pendidikan formal dibuka di tanah ulayat mereka karena didasari
pemikiran dan tujuan para leluhur mereka demi keselamatan dan eksistensi kesukuan
mereka. Tujuan utama adalah untuk menahan terlalu bebasnya masyarakat adat yang
27
31. mengadopsi gaya kehidupan modern karena komunitas mereka memiliki tugas hidup yang
spesifik, keyakinan yang kuat, dan hokum adat yang berbeda.(sumber : Kurnia dan
Sihabudin dalam bukunya “Saatnya Baduy Bicara” )
B. Kesehatan
Angka Kematian Bayi
Angka kematian bayi adalah indikator yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kesehatan
masyarakat secara umum yang sekaligus memperlihatkan keadaan dan sistim pelayanan
kesehatan di masyarakat, karena dapat dipandang sebagai output dari upaya peningkatan
kesehatan secara keseluruhan dan berpengaruh langsung terhadap besaran Angka Harapan
Hidup.
Berdasarkan grafik di atas, angka kematian bayi dari tahun ke tahun semakin menurun. Hal
ini disebabkan oleh upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi
Banten untuk menurunkan angka kematian bayi, dengan program :
1. Pengembangan Fasilitas dan Pemerataan Layanan Kesehatan yang diarahkan untuk :
a. Peningkatan jumlah, jaringan, dan kualitas prasarana dan sarana kesehatan daerah;
b. Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerah;
c. Pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar;
28
32. d. Peningkatan pelayanan kesehatan yang khusus diberikan kepada penduduk miskin,
daerah tertinggal dan daerah bencana, dengan memperhatikan kesetaraan gender.
2. Pengembangan Kesehatan Berbasis Masyarakat, yang diarahkan untuk :
a. Peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat;
b. Peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini;
c. Pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin;
d. Peningkatan upaya promotif dan preventif yang dipadukan secara seimbang dengan
upaya kuratif dan rehabilitatif
Kematian Bayi di Banten masih dominan disebabkan oleh Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
yang terkait erat dengan status gizi ibu hamil. Sedangkan penyebab utama kematian ibu
masih didominasi oleh pendarahan yang terkait erat dengan kualitas pelayanan persalinan
dan kondisi kesehatan ibu hamil. Solusi yang mungkin dapat diterapkan diantaranya adalah
persalinan yang ditolong oleh tenaga medis untuk menurunkan angka kematian bayi dan
kematian ibu, membuat payung hukum penurunan AKI berupa peraturan daerah, membuat
Standar Pelayanan Minimum Kesehatan serta peraturan tentang Penempatan Bidan Desa.
Pemerintah Propinsi Banten juga telah mengagendakan pembangunan kesehatan dengan
indikator berikut; 1) Meningkatnya Angka Harapan Hidup; 2) Menurunnya angka kematian
bayi ; 3) Menurunnya angka kematian ibu melahirkan; dan 4) Menurunnya prevelensi kurang
gizi pada anak dan balita.
Permasalahan yang dihadapi oleh Propinsi Banten pada bidang kesehatan adalah :
1. Jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh dan biaya yang mahal merupakan
penyebab utama rendahnya aksesibilitas masyarakat miskin terhadap layanan
kesehatan yang bermutu.
2. Kecenderungan penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata dan terpusat di
daerah perkotaan mengurangi akses terhadap pelayanan kesehatan bermutu.
3. Distribusi tenaga dokter di Banten juga tidak merata, di wilayah perkotaan (Tangerang
dan Kota Tangerang) memiliki jumlah dokter rata – rata 700 orang sedangkan di
wilayah perdesaan hanya memiliki jumlah dokter sebanyak 80 orang. Hal ini tentu
saja berdampak pada kualitas dan aksesibilitas pelayanan kesehatan pada
masyarakat di perdesaan yang umumnya masyarakat miskin.
29
33. C. Keluarga Berencana
Presentasi penduduk ber KB
Dilihat dari grafik di atas persentase penduduk ber Kb meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini
disebabkan oleh upaya Pemerintah Daerah Propinsi Banten untuk meningkatkan
keberdayaan masyarakat Banten, melaksanakan program Keluarga Berencana dengan
kegiatan Pembinaan Forum Kader Posyandu dan Keluarga Berencana (KB) serta
Pengembangan Model Posyandu Asuhan Dini Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak
(ADITUKA). Selain itu juga terdapat Pembangunan Program Keluarga Berencana dengan
kegiatan (1) Pelayanan Keluarga Berencana (KB) terutama bagi keluarga miskin (2)
Penguatan data mikro keluarga (3) Penguatan SDM dan Forum Kader Revitalisasi Posyandu
dan (4) Pengembangan Informasi Posyandu.
Jika kebutuhan akan pelayanan KB terpenuhi maka semua perempuan yang ingin
mengendalikan kesuburan mempunyai akses memadai terhadap kontrasepsi yang efektif
dan aman, sehingga Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia dapat diturunkan sampai 50
persen. Persentase penurunan yang cukup tinggi itu bisa terjadi apabila terakses pada
kontrasepsi yang memadai sehingga risiko kematian ibu karena kehamilan, persalinan, dan
aborsi dapat diturunkan.
30
34. Penurunan angka kelahiran di Indonesia erat kaitannya dengan keberhasilan program KB
dan meningkatnya prevalensi pemakaian kontrasepsi. Yang perlu mendapat perhatian
adalah bahwa penurunan fertilitas terbesar dalam lima tahun terakhir ini disebabkan masih
bertahannya penurunan fertilitas dari generasi muda atau pasangan muda usia 15-19 tahun.
Salah satu sebabnya bukan saja karena penggunaan kontrasepsi atau mengikuti KB secara
formal tetapi adalah karena kesadaran reproduksi yang makin tinggi. Mereka menunda usia
kawin atau menunda mempunyai anak yang pertama. Pasangan yang usianya sekarang 45-
49 tahun rata-rata menikah pada usia 17,9 tahun. Tetapi pasangan yang usianya 25-29
tahun rata-rata menikah pada usia 20,2 tahun. Bahkan mereka yang tidak pernah bersekolah
yang berusia 45-49 tahun rata-rata menikah pada usia 16,9 tahun, generasi muda usia 25-29
tahun menikah pada rata-rata usia 17,7 tahun.
Program KB juga ditunjang dengan sarana dan prasarana dasar kesehatan di Provinsi
Banten yang terus mengalami peningkatan dalam jumlah, mulai dari rumah sakit,
puskesmas, posyandu, apotik, poliklinik, dokter praktek, bidan praktek dan lain sebagainya.
Rata-rata setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Banten memiliki 4 Rumah Sakit. Angka ini
termasuk memadai jika dibandingkan dengan rata-rata daerah lain yang hanya memiliki 1-2
rumah sakit untuk satu kabupaten/kota.Begitu juga untuk Puskesmas/ Puskesmas
Pembantu/Puskesmas Keliling jika dibandingkan dengan jumlah keluarga yang harus
dilayaninya memiliki rasio 1 berbanding 3.648 artinya rata-rata satu puskesmas di Provinsi
Banten mampu melayani kurang lebih 3.648 Keluarga. Dan rasio bisa dikategorikan sedang,
sebab jumlah keluarga sebanyak tersebut diperkirakan jumlah keluarga ideal untuk satu
kecamatan. Artinya di Provinsi Banten diperkirakan rata-rata satu kecamatan memiliki satu
sampai dua puskesmas. Bahkan jika jumlah Puskesmas di atas ditambah dengan poliklinik
dan balai pengobatan yang ada, maka rasio rata-rata satu Puskesmas dan balai tersebut
memiliki kemampuan kapasitas layanan untuk 1.355 keluarga, angka ini bisa dikategorikan
memadai.
Rendahnya partisipasi laki-laki untuk melaksanakan program Keluarga Berencana (KB)
merupakan permasalahan tersendiri. Berdasarkan data, 62 persen dari sekitar 45 juta
pasangan usia subur yang ada, hanya 1,3 persen akseptor KB pria. Salah satu
penyebabnya adalah masih kentalnya budaya partriarki di masyarakat yang terwujud dalam
memposisikan perempuan (para istri) pada posisi subordinate (lebih rendah) dalam keluarga,
31
35. yang mengkondisikan masalah KB hanya merupakan urusan kaum perempuan saja. Oleh
sebab itu diperlukan upaya untuk meningkatkan partisipasi pria dalam ber KB
Laju Pertumbuhan penduduk
Dari data di atas terlihat bahwa laju pertumbuhan penduduk mengalami penurunan dari
tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah
Propinsi Banten dalam menurunkan angka kelahiran. Program utamanya adalah
meningkatkan partisipasi penduduk dalam melaksanakan kelurga berencana.
Penyebab jumlah penduduk di wilayah Provinsi Banten yang terus mengalami penambahan
adalah bersumber dari migrasi . Hal ini disebabkan karena sebagian wilayah daerah
kabupaten/kota adalah wilayah penyangga Ibu Kota Negara dan wilayah Industri yang
memiliki daya tarik bagi kaum urban. Kelompok usia angkatan kerja/produktif (15-64 tahun)
dalam tahun 2008 berjumlah 6.522.900 orang atau 65,75 % mendominasi kependudukan di
Provinsi Banten, oleh karenanya kelompok usia ini harus mendapatkan perhatian terkait
dengan kebutuhan penyediaan lapangan kerja.
32
36. Penambahan penduduk terbanyak terjadi di Kabupaten Tangerang sejumlah 100.777 jiwa
atau terjadi peningkatan 2,90 persen dari total penduduk Kabupaten Tangerang tahun 2007.
Penduduk Provinsi Banten mayoritas berada di Kabupaten Tangerang dan Serang dengan
persentase masing-masing 37,2 persen dan 19,0 persen. Sedangkan yang paling sedikit
berada di Kota Cilegon. Akan tetapi, jika dilihat dari tingkat kepadatan, Kota Tangerang
menempati urutan pertama dengan tingkat kepadatan penduduk 8.192 jiwa per km2.
Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon menempati urutan berikutnya dengan tingkat
kepadatan masing-masing 3.080 jiwa per km2 dan 1.958 jiwa per km2. Tingkat kepadatan
penduduk Provinsi Banten 1.065 jiwa per km2. Pada tahun 2008 di Banten terdapat
2.289.839 rumah tangga. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya terjadi peningkatan
40.841 rumah tangga. Secara rata-rata setiap rumah tangga mempunyai 4,2 orang anggota.
Kondisi ini sama dengan tahun sebelumnya.
E. Ekonomi Makro
Laju Pertumbuhan Ekonomi
Laju Pertumbuhan Ekonomi
6.1
6
5.9
5.8
5.7 Laju Pertumbuhan ekonomi
5.6
5.5
5.4
5.3
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) menggambarkan pertambahan volume barang dan jasa
yang diproduksi/dihasilkan di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. LPE dihitung dari
PDB/PDRB atas dasar harga konstan. LPE Banten dihitung berdasarkan angka PDRB
triwulanan sebesar 5,57 % persen pada tahun 2006 Angka ini lebih rendah dibandingkan
dengan pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2005 yang besarnya 5,88 persen.
33
37. LPE tersebut turun karena ada dua sektor yang memberikan kontribusi negatif terhadap LPE
yaitu sektor pertanian dan sektor listrik, gas dan air bersih. Kontribusi sektor pertanian
terhadap LPE Banten tahun 2006 sebesar -0,18 persen (tahun sebelumnya 0,24%) dan
sektor listrik, gas dan air bersih sebesar -0,13 persen (sebelumnya 0,27%).
Salah satu sasaran dan indikator kinerja agenda perekonomian tahun 2007-2012 adalah
meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi sampai tahun 2012 sebesar 6,2 % . Untuk dapat
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dibutuhkan laju investasi atau Pembentukan Modal
Tetap Bruto (PMTB) oleh dunia usaha dan pemerintah. Untuk mendukung pencapaian target
PMTB ini, maka pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Banten harus diupayakan seoptimal
mungkin.
Semenjak berdirinya Provinsi Banten sepuluh tahun yang lalu yang terpisah dari Provinsi
induknya Jawa Barat, tren pertumbuhan ekonomi menunjukkan angka yang terus berkisar
pada angka pertumbuhan rata-rata pada angka 5%, Laju pertumbuhan ekonomi Banten
sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal perekonomian Banten, hal ini terjadi karena sektor
industri yang menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi Banten didominasi oleh
sektor industri yang berbasis ekspor, hal ini bisa kita lihat dari tren laju pertumbuhan ekonomi
Provinsi Banten dari tahun 2004 pada angka 5,63% dan meningkat pada tahun 5,88% pada
tahun 2005, sedangkan pada tahun 2006 mengalami perlambatan sebanyak 0,23%, baru
pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Banten menyentuh angka 6,04% sedangkan pada
tahun 2007, 2008 dan 2009 mengalami perlambatan dibandingkan tahun 2006, perlambatan
ini membuktikan bahwa faktor eksternal sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
Banten, karena pada tahun tersebut terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia karena
Amerika dan Eropa mengalami krisis keuangan global yang berimbas pada krisis ekonomi
global, yang menyebabkan perlemahan permintaan barang dari negara-negara seperti
Indonesia, khususnya Banten di mana industrinya di dominasi oleh industri berbasis ekspor.
34
38. Pendapatan Per Kapita (Juta Rupiah)
Pendapatan Per Kapita (Dalam Juta Rupiah)
14
12
10
8 Pendapatan per kapita
6 (dalam juta rupiah)
4
2
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Melihat data diatas, tren pendapatan perkapita Banten mengalami peningkatan yang
progresif setiap tahunnya, hal ini berbeda dengan laju pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif,
hal ini menunjukkan bahwa secara nominal laju pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan
yang positif, sehingga ketika dibagi dengan jumlah penduduk yang pada tahun 2004 sampai
dengan 2009 jumlahnya tetap, maka diperoleh data tren pendapatan per kapita Banten yang
terus menunjukkan tren yang meningkat. Data peningkatan jumlah per kapita ini
menunjukkan bahwa secara makro memang terjadi perbaikan kinerja ekonomi Banten, dan
terjadi perbaikan kemakmuran perekonomian Banten, namun pendapatan perkapita Banten
yang menunjukkan tren terus meningkat tersebut, secara teoritik dan fakta empirik tidak
mampu menunjukkan dan menggambarkan adanya perbaikan kesejahteraan masyarakat
Banten.
Oleh sebab itu, data pendapatan per kapita tidak dapat dijadikan indikator tunggal untuk
memotret kesejahteraan masyarakat dalam satu perekonomian, karena pendapatan per
kapita tidak mampu menggambarkan keadilan distribusi ekonomi dalam perekonomian, tren
peningkatan pendapatan per kapita Banten tersebut menunjukkan adanya perbaikan kinerja
perekonomian Banten, tapi tidak menggambarkan adanya kesejahteraan yang terdistribusi
secara merata, karena pendapatan per kapita dihitung dari total PDRB dibagi dengan Jumlah
Penduduk di Banten.
35
39. Laju Inflasi
Laju Inflasi
14
12
10
8
Laju Inflasi
6
4
2
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Inflasi menggambarkan tingkat perubahan harga secara agregat dari suatu paket komoditi
yang dikonsumsi oleh penduduk. Inflasi dihitung secara rutin setiap bulan dengan berbasis
data survei harga-harga yang dilaksanakan mingguan, dua mingguan, dan bulanan oleh
BPS.
Tren inflasi di Banten menunjukkan angka yang terus meningkat setiap tahunnya. Inflasi
tahun 2005 sebesar 5,95% terus menunjukkan tren yang meningkat setiap tahunnya sampai
pada tahun 2009 yang mencapai angka inflasi tertinggi 11,9%. Pada tahun 2008 angka
inflasi sebesar 11,47 %, kenaikan terbesar terjadi pada kelompok kacang-kacangan sebesar
100 % lebih, sayur-sayuran 38%, minuman tidak beralkohol, barang pribadi sandang lainnya
18%.
Angka inflasi yang terus meningkat ini tidak sehat bagi pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat Banten. Inflasi yang tidak terkontrol dan cenderung terus
meningkat berisiko tinggi untuk memperlambat pertumbuhan ekonomi. Inflasi yang terus
meningkat dan tinggi di Banten mengancam daya beli masyarakat, penurunan daya beli
masyarakat dalam jangka panjang akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan akan
mengganggu pendapatan daerah dalam jangka pendek dan panjang. Oleh sebab itu
kebijakan untuk mengendalikan inflasi menjadi kebijakan penting bagi pemerintah daerah
36
40. melalui kebijakan fiskal di daerah untuk menghambat laju inflasi yang tinggi bekerjasama
dengan Bank Indonesia Banten.
Apabila mencermati karakter inflasi di Banten, inflasi justru lebih tinggi dialami daerah-daerah
perdesaan Banten terutama daerah Selatan Banten seperti Lebak dan Pandeglang
sedangkan inflasi di daerah utara Banten tidak setinggi laju inflasi daerah selatan Banten
tersebut, inflasi yang tinggi di wilayah selatan Banten didorong oleh buruknya infrastruktur di
Selatan Banten, yang menghambat distribusi, sehingga harga-harga barang di Selatan
Banten menjadi lebih mahal dibanding dengan utara Banten.
F.Investasi
Nilai Realisasi Investasi PMDN ( Rp Milyar)
Realisasi Investasi PMDN (Rp Milyar)
7,000,000
6,000,000
5,000,000
4,000,000
3,000,000
2,000,000
1,000,000
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Provinsi Banten menduduki peringkat 5 besar dari tahun 2001-2010 dalam investasi, Hal ini
dikarenakan Provinsi Banten memiliki berbagai keunggulan komparatif seperti letak yang
strategis, berada dilintasan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa, Infrastruktur yang lebih
lengkap dibandingkan dengan provinsi lain. Namun keunggulan comparatif ini harus
disinergikan dengan keunggulan kompetitif. Kendala yang dihadapi adalah infrastruktur jalan
yang belum memadai . Jalan nasional relatif lebih bagus, namun ketika masuk jalan provinsi
di kabupaten maupun kota banyak kerusakan. Begitu juga Pelabuhan Bojonegara belum
terwujud selama 4 periode presiden.
37
41. Di sisi lain walaupun perkembangan industri sangat pesat namun kebutuhan air bersih untuk
industri belum terpenuhi dan walau ada rencana pembangunan Waduk Karian dan
Sidagelan. Banten juga memiliki potensi luar biasa untuk energi dan Provinsi Banten
memiliki pusat tenaga uap . Terminal gas juga sudah tersambung dari Sumatera, Jawa
Barat dan dan Banten terutama daerah Bojonegara.
Regulasi yaitu Peraturan Presiden no 27 tahun 2009 tentang pelayanan terpadu atau satu
pintu sudah direspon oleh kabupaten kota agar mempercepat dan memperjelas tarif dan
kejelasan hukum dengan standar internasional. Namun dalam pelaksanaannya regulasi ini
sering terkendala otonomi daerah karena biasanya Perda berupaya meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang selalu kontradiktif dengan regulasi investasi. Jadi
selama ini regulasi hanya bersifat jargon belum dapat diimplementasikan. Kendala lain yang
dihadapi investor misalnya masalah pembebasan tanah yang tadinya sudah di plot oleh
Perda namun harga menjadi mahal dan selalu menimbulkan sengketa yang sangat
menghambat pembangunan karena tanah sudah beralih tangan.
Untuk Upah Minimum regional, Provinsi Banten merupakan provinsi yang memiliki UMR
tinggi yang menyebabkan banyak perusahaan teutama yang padat karya mengalami
kesulitan dalam mengalokasikan upah pekerja. Banyak terjadi ketidaksepahaman antara
pekerja dan pihak manajemen perusahaan. Hal ini biasanya berujung pada terjadinya demo
karyawan terhadap kebijakan pengupahan perusahaan yang akhirnya mengakibatkan
perusahaan tutup dan mengalihkan investasinya ke Negara lain. Dalam tahun 2009 sudah
ada beberapa perusahaan yang pasti masuk ke Provinsi Banten seperti POSCO dan Mittal
untuk membuka pabrik baja.
Realisasi Investasi PMDN di Banten tahun 2004 mengalami peningkatan yang signifikan dari
nilai Rp. 1.048.381 Milyar pada tahun 2004, meningkat lebih dari 500% pada tahun 2005
yakni sebesar Rp. 5.844.076 Milyar, peningkatan ini terjadi karena ekspektasi yang tinggi
dunia usaha paska pemilu parlemen dan pemilu presiden secara langsung yang berhasil
berlangsung secara demokratis dan relatif sangat aman, sehingga dunia usaha berasumsi
kondisi Indonesia akan stabil pasca pemilu dengan harapan pemerintahan yang baru mampu
mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi khususnya sektor riil. Kondisi tersebut sangat
38
42. mempengaruhi ekonomi regional Banten yang memiliki terkaitan sangat erat dan dekat
sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi dan tempat investasi pilihan bagi penanam
modal dalam negeri. Namun, sayangnya ekspektasi yang tinggi tersebut kemudian berangsur
menurun pada tahun 2006, 2007 dan 2008.
Pada tahun 2007 realisasi penanaman modal dalam negeri mengalami penurunan yang
sangat drastis, dari angka Rp. 3.815, 20 Milyar menjadi Rp. 707.900 Milyar, begitu juga pada
tahun 2008 turun drastis menjadi Rp. 477.895 Milyar. Penurunan angka realisasi PMDN ini
selain terdapat faktor eksternal yakni lesunya perekonomian ekonomi global sehingga
mendorong pengusaha nasional untuk menangguhkan realisasi investasinya di Banten selain
itu, faktor internal yakni kondisi iklim investasi Banten sangat mempengaruhi kondisi realisasi
investasi PMDN di Banten. pada tahun, 2009 realisasi PMDN mengalami peningkatan
realisasi yang relatif lebih tinggi dibanding pada tahun-tahun sebelumnya, yakni
Rp. 5.581.183 Milyar. Tingginya realisasi investasi dari dalam negeri ini, berkaitan dengan
ekspansi dunia usaha di Banten dan nasional akan memulihnya perekonomian global,
dimana sebagian besar modal yang ditanamkan di Banten, terutama pada industri yang
berbasis ekspor.
Isu strategis di provinsi Banten mengenai investasi adalah Rencana Pembangunan
Jembatan Selat Sunda (JSS). Direncanakan panjang Jembatan Selat Sunda 31 KM yang
akan menghubungkan Provinsi Banten dengan Prov. Lampung dan pembangunannnya mulai
tahun 2014. Proyek Jembatan Selat Sunda merupakan salah satu proyek yang akan
dikerjakan dengan konsep public private partnership (PPP) yaitu kerjasama pemerintah dan
swasta. Peminat pembangunan JSS semula masih terbatas di Indonesia, yaitu Artha Graha.
Presiden telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur pembangunan
Jembatan Selat Sunda. Pembangunan jembatan diperkirakan membutuhkan biaya investasi
antara Rp 100 s/d 117 Triliun, yang dikerjakan selama 10 tahun. Bahkan menurut informasi
terakhir biayanya membengkak menjadi Rp 170 Triliun. Saat ini sudah ada lima investor
asing telah menyatakan berminat dengan proyek ini, yaitu dari Cina, Jepang, Timur Tengah,
Korea, dan Perancis. Jika sudah beroperasi nanti, pemerintah optimis kegiatan ekonomi
masyarakat di kedua provinsi itu akan lebih bergairah karena jembatan ini menghubungkan
80% produk domestik regional bruto (PDRB) Indonesia. Dimana 60% berasal dari Pulau
Jawa dan 20% Pulau Sumatera. (sumber : Kompas-Kontan-www.jembatanselatsunda.com)
39
43. Nilai Realisasi Investasi PMA (US $ Juta)
Realisasi Investasi PM (U
A S$ Juta)
4500000
4000000
3500000
3000000
2500000
2000000
1500000
1000000
500000
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Realisasi Investasi PMA, menjadi determinan penting untuk mengakselerasi perekonomian
lokal Banten. Keterbatasan modal investor domestik, membuat investasi asing sangat
penting bagi perekonomian regional Banten. Realisasi Investasi PMA pada tahun 2004
hanya sebesar US$ 14,417 juta , terus meningkat pada tahun 2005, sebesar US$ 781,394
juta, paling tinggi pada tahun 2006 sebesar US$ 3,815,200 juta , sedangkan pada tahun
2007 dan 2008 menurun menjadi US$ 707,900 juta dan US$ 477,895 yang disebabkan
adanya krisis keuangan global.
Peningkatan investasi asing sejak tahun 2004 sampai tahun 2007, menunjukkan fenomena
yang pararel dengan realisasi PMDN yakni munculnya ekspektasi positif pasca pemilu,
sehingga terjadi realisasi peningkatan investasi asing di Banten, sebagai daerah yang sangat
strategis maka Banten menjadi tujuan investasi asinng utama di Indonesia bersama daerah-
daerah lain di Jawa. Sedangkan pada tahun 2008, penurunan realisasi investasi asing terjadi
sangat drastis yakni menjadi US$ 477,895 juta, terjadi diminishing terhadap ekspektasi pada
tahun 2008 ini, sehingga terjadi penurunan realisasi investasi, iklim usaha menjadi faktor lain
penurunan realisasi investasi pada tahun 2008 tersebut, selain itu, faktor utama penurunan
realisasi investasi asing pada tahun 2008 adalah krisis global yang dialami oleh banyak
negara investor di dunia, sehingga membuat para investor menangguhkan realisasi
investasinya di Banten. Sedangkan pada tahun 2009, terjadi peningkatan realisasi yang
signifikan yakni US$ 1.467,536 juta.
40
44. G.Infrastruktur
Panjang jalan nasional berdasarkan baik, sedang, dan buruk
500
450
400
350
300
Sedang
250
Baik
200
150
100
50
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
90
80
70
60
50
Buruk
40
30
20
10
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Provinsi Banten dapat dikatakan sebagai provinsi yang memiliki matra transportasi yang
lengkap seperti transportasi darat, laut dan udara. Adanya matra darat ditandai dengan
adanya jalur jaringan kereta api yang menghubungkan Jakarta-Serpong-Rangkas Bitung-
Merak. Matra laut ditandai adanya Pelabuhan Merak yang berperan ganda yang selain
sebagai penunjang kegiatan sektor industri, juga sebagai penyeberangan dari pulau Jawa
41
45. menuju Sumatera. Begitu juga Pelabuhan Ciwandan yang dikelola PT Pelindo II dan 19 buah
pelabuhan lain yang terdiri dari pelabuhan khusus, pelabuhan penyeberangan dan
pelabuhan perikanan, termasuk dermaga khusus di daerah Anyer sebanyak 5 buah.
Banten juga memiliki matra udara sebagai penunjang sistem transportasinya yaitu Bandara
Soekarno-Hatta yang merupakan bandara internasional terbesar dan tersibuk di Indonesia
yang telah menjadikan Banten sebagai pintu gerbang dunia untuk setiap kegiatan usaha.
Namun dalam perkembangannya, matra yang paling banyak digunakan dalam menunjang
transpportasi dari dan ke Provinsi Banten yang menjadi penghubung antar daerah di Provinsi
Banten hanyalah transportasi darat karena merupakan matra yang paling mudah dan dapat
digunakan oleh semua kalangan dengan berbagai keperluan dan kebutuhan. Oleh karena itu
tingkat pelayanan prasarana jalan menjadi sangat vital kedudukannya karena menjadi salah
satu barometer yang menentukan keberhasilan pertumbuhan dan pembangunan di Provinsi
Banten. Sebagai sarana transportasi, jalan merupakan unsur penting dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan.
Untuk melayani pergerakan barang dan penumpang secara umum sistem jaringan jalan
Provinsi Banten menggunakan pola cincin yang melingkar dari wilayah Utara sampai ke
wilayah Selatan yang dihubungkan secara radial dengan jaringan jalan vertikal Utara-Selatan
dan secara horizontal Timur-Barat. Konsep jaringan “ring-radial” dimaksudkan agar
pergerakan penumpang dan barang dari pesisir menuju ke pusat kegiatan nasional, wilayah
maupun lokal yang ada pada bagian tengah wilayah dapat dicapai dengan mudah.
Pada saat ini jaringan jalan cincin bagian Barat dan Selatan sudah ditingkatkan statusnya
menjadi jalan nasional. Sementara pada bagian Utara masih berstatus sebagai jalan provinsi.
Jalan horizontal Timur-Barat dilayani oleh jalan Nasional serta jalan Tol dengan panjang lebih
dari 90 Km, sedangkan jalan vertikal Utara-Selatan dilayani dengan jalan provinsi. Jalan
kabupaten melayani akses ketiga jalan itu.
Panjang jalan nasional di Provinsi Banten 490,40 Km. Panjang ini tidak mengalami
perubahan dari tahun 2004 sampai tahun 2009. Tren kondisi jalan yang dalam keadaan
baik paling tinggi pada tahun 2007 sepanjang 350,07 Km dan palng rendah pada tahun 2009
42
46. sepanjang 110,92 Km. Untuk jalan dalam kondisi sedang pada tahun 2004 sampai tahun
2006 cenderung stabil, paling rendah pada tahun 2007 sepanjang 98,03 Km dan paling tinggi
pada tahun 2009 sepanjang 294,98 Km. Sedangkan untuk jalan nasional dalam kondisi
buruk trennya terlihat semakin meningkat kecuali pada tahun 2007 jalan nasional yang dalam
kondisi buruk hanya sepanjang 42,3 Km. Paling buruk pada tahun 2009 sepanjang 84,5 Km.
H. Pertanian
Nilai Tukar Petani (NTP)
Nilai Tukar Petani (NTP) diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani
terhadap indeks harga yang dibayar petani (dalam persentase), merupakan salah satu
indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan petani. NTP juga menunjukkan daya tukar
(term of trade) dari produk pertanian yang dihasilkan petani dengan barang dan jasa
yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif
semakin kuat pula tingkat kemampuan daya beli petani. Nilai Tukar Petani (NTP)
merupakan gabungan dari Nilai Tukar Petani pada sektor Tanaman Pangan, Hortikultura,
Tanaman Perkebunan Rakyat, Peternakan dan Perikanan.
Indeks Harga yang diterima Petani menunjukkan fluktuasi harga beragam komoditas
pertanian yang dihasilkan petani. Sedangkan indeks harga yang dibayar petani dapat
dilihat pada fluktuasi harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat perdesaan,
khususnya petani yang merupakan bagian terbesar, serta fluktuasi harga barang dan jasa
yang diperlukan untuk memproduksi hasil pertanian.
43
47. Berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian Provinsi Banten, NTP di Propinsi Banten
secara resmi dipublikasikan tahun 2008. Sebelum tahun 2008 di Provinsi Banten belum
ada data NTP secara resmi. Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa NTP dari tahun
2008 ke 2009 mengalami kenaikan 3,01. Hal ini berkat upaya Provinsi Banten untuk
meningkatkan produksi sektor pertanian dengan upaya mempertahankan sawah
beririgasi teknis untuk sub sektor tanaman pangan. Selain itu juga memberdayakan
petani dengan meningkatkan kualitas penyuluhan. Untuk sub sektor holtikultura upaya
yang dilakukan adalah meningkatkan gerakan pertanian terpadu. Untuk wilayah Cilegon
produk yang dikembangkan adalah melon dan di wilayah Serang adalah durian. Buah-
buahan hasil produksi petani ini dipasarkan juga untuk mendukung pariwisata.
Program lain yang dikembangkan adalah meningkatkan produksi pangan pengganti (non
padi), seperti jagung dan palawija lainnya. Selain itu digalakkan tanaman pendamping di
suatu lahan untuk memenuhi kebutuhan petani sehari-hari. Pemerintah juga membuat
terminal Agribisnis dan membuat sentral-sentral tanaman unggulan, seperti durian, melon
dan tanaman hias. Propinsi Banten juga mengembangkan kawasan pertanian terpadu
(Pertandu) di kecamatan Curug sebagai pilot proyek.
Permasalahan pendidikan yang rendah mengakibatkan sulitnya petani untuk beralih dari
petani padi tadah hujan ke pertanian holtikultura maupun tanaman hias.
44
48. PDRB Pertanian
Struktur perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari kontribusi masing-masing sektor
ekonomi terhadap PDRB. Selain memperlihatkan sektor-sektor yang dominan dalam
perekonomian, melalui struktur ini juga dapat dilihat ke arah mana perubahan ekonomi yang
terjadi di suatu daerah.
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa PDRB sektor pertanian mengalami kenaikan dari tahun
ke tahun. Namun sektor ini hanya menyumbang 7,77 persen dalam tahun 2006, sebesar
7,93 persen dalam tahun 2007, sebesar dan 8,39 persen dalam tahun 2008, dan sebesar
8,84 persen dalam tahun 2009 dari PDRB Propinsi Banten. Peningkatan peranan ini salah
satunya sebagai dampak dari membaiknya pertumbuhan sub sektor tanaman akibat
meningkatnya produksi padi Banten. Berdasarkan Angka Ramalan (Aram) I/2009 yang
dikeluarkan BPS, produksi padi Banten pada tahun 2009 diperkirakan meningkat 1,61 persen
menjadi 1,845 juta ton Gabah Kering Giling (GKG).
Dalam rangka pencapaian target pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten selama periode
2007-2012, pembangunan ekonomi diorientasikan melalui pengembangan ekonomi lokal.
Melalui pengembangan ekonomi lokal, kegiatan-kegiatan usaha yang akan diberdayakan
dan dikembangkan setidaknya memenuhi ketentuan, yaitu : (1) dukungan ketersediaan
sumberdaya alam lokal dan produk unggulan daerah yang dapat dimanfaatkan atau diolah;
45
49. (2) penyerapan tenaga kerja lokal , khususnya masyarakat perdesaan dan masyarakat
kurang mampu; serta (3) dukungan prasarana dan sarana dalam rangka pengelolaan dan
pengembangan usaha.
Kebijakan diarahkan kepada penguatan struktur ekonomi berbasis agribisnis, prioritas
pembangunan diarahkan pada : (1) pengembangan ekonomi lokal berbasis pertanian
(tanaman pangan), perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, kelautan, kebudayaan,
dan pariwisata; (2) penataan ulang struktur industri yang berdaya saing dengan prioritas
penggunaan bahan baku lokal unggulan; (3) pengembangan kapasitas kelembagaan sosial-
ekonomi berbasis masyarakat.
Untuk meningkatkan PDRB sektor pertanian telah dilaksanakan kebijakan-kebijakan yang
berkaitan dengan permasalahan pembangunan pertanian yaitu (1) Penerapan teknologi
pertanian, penyuluhan pertanian, peningkatan akses petani terhadap modal, serta perluasan
lahan pertanian (ekstensifikasi) (2) Pengembangan agribisnis dengan berorientasi pada nilai
tambah (3) Pengembangan produk unggulan (4) Perbaikan kelembagaan dan sistem
tataniaga, serta peningkatan prasarana dan sarana transportasi sebagai jalan untuk
usahatani (farm road) (5) Pengembangan investasi swasta di bidang perkebunan serta
peningkatan produktivitas dan produksi perkebunan rakyat , serta didukung dengan
perbaikan kelembagaan dan sistem tataniaga. (6) Pengembangan dan peningkatan
produksi ternak.
46
50. I. Kehutanan
Persentase Luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis
Luas lahan kritis di wilayah Provinsi Banten masih terbilang sangat besar, tetapi
penanganannya tampak belum signifikan. Berdasarkan data Balai Pemeliharaan Daerah
Aliran Sungai (DAS) Ciliwung-Citarum, pada tahun 2004, luas lahan kritis di Banten adalah
114.667,4 hektar, terbagi dalam luas lahan kritis dalam kawasan hutan 557,10 ha dan di luar
kawasan hutan 114.004,30 ha. Pada tahun 2007, luas lahan kritis bertambah menjadi
131.300 ha. Data terakhir di Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Provinsi Banten,
luas lahan kritis di Provinsi Banten mencapai sekitar 122.421 ha. Lahan kritis itu tersebar di
Kabupaten Lebak seluas 73.311 ha, Kabupaten Pandeglang 27.951 ha, Kabupaten Serang
18.768 ha, Kabupaten Tangerang 161 ha, Kota Cilegon 2.228 ha. Data ini tidak berubah
secara signifikan dengan data tahun 2004 yang dimiliki Balai Pemeliharaan DAS Citarum-
Ciliwung.
Luas lahan kritis untuk kawasan dalam hutan di Kabupaten Serang 1.910,20 ha, Kabupaten
Pandeglang 3.218 ha, dan Kabupaten Lebak 37.428,90 ha. Sedangkan luas lahan kritis di
luar kawasan hutan tercatat Kabupaten Tangerang 7.010,40 ha, Kabupaten Serang
10.828,40 ha, Kabupaten Pandeglang 18.209,60 ha, Kabupaten Lebak 73.536 ha, Kota
47
51. Tangerang 1.804,90 ha, dan Kota Cilegon 2.615 ha. Wilayah Pandeglang merupakan salah
satu daerah yang lahan kritisnya luas.
Berdasarkan grafik di atas, presentasi luas lahan rehabilitasi di dalam hutan terdahap lahan
kritis dapat dikatakan masih sedikit, bahkan di tahun 2005 tidak terdapat lahan rehabilitasi.
Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kegiatan dalam penanganan lahan kritis oleh
Pemerintah Provinsi.
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Banten mulai tahun 2006 untuk menangani
masalah lahan kritis dengan menanami bermacam pohon dalam program Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Selain itu Dinas Pertanian dan Perkebunan
bekerjasama dengan PT Krakatau Tirta Industri (KTI) Cilegon memberikan kompensasi uang
kepada warga dengan syarat warga tidak menebang pohon. Program lainnya adalah dengan
memberikan bibit tanaman secara cuma-cuma. Untuk mengembalikan lahan kritis menjadi
lahan hijau, Pemerintah Provinsi Banten memerlukan 1.000 pohon/hektar hutan lindung, dan
400 pohon/hektar untuk hutan rakyat.
Pada tahun 2008, Pemerintah Provinsi Banten mendapat bantuan pohon dari Pemerintah
Pusat, dalam rangka pencanangan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam
Nasional. Program pencanangan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam
Nasional, merupakan upaya pemerintah melakukan rehabilitasi lahan kritis, mengantisipasi
pemanasan global, dan upaya mempertahankan ketahanan pangan.
Penanganan lahan kirtis ini sebenarnya sejalan dengan sasaran yang ingin dicapai dalam
Pembangunan Kehutanan yaitu: (1) Tegaknya hukum khususnya dalam pemberantasan
pembalakan liar (ilegal loging) dan penyelundupan kayu, (2) Penetapan kawasan hutan
dalam tataruang seluruh propinsi, minimal 30% dari luas hutan yang telah ditata batas, (3)
Penyelesaian penetapan kesatuan pengelolaan hutan , (4) Optimalisasi nilai tambah dan
manfaat hasil hutan kayu, (5) Meningkatnnya hasil hutan non kayu sebesar 30 % dari
produksi tahun 2004 (6)Bertambahnya hutan tanaman industri (HTI) minimal 5 juta hektar
(7)Konservasi hutan dan rehabilitasi lahan di 282 DAS untuk ketersediaan pasokan air (8)
Desentralisasi kehutanan melalui pembagian wewenang dan tanggung jawab yang
disepakati pusat dan daerah (9) Berkembangnya kemitraan antar pemerintah , pengusaha
48
52. dan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari, dan (10) Penerapan IPTEK yang inovatif
pada sektor kehutanan.
J. Kesejahteraan Sosial
Persentase Penduduk Miskin
Tren persentase penduduk miskin di Provinsi Banten mengalami penurunan sejak tahun
2006 dan rata-rata masih di bawah angka nasional. Jumlah penduduk miskin (penduduk
yang berada di bawah garis kemiskinan) di Provinsi Banten pada periode 2004 sampai 2007
menunjukkan kenaikan sebagai berikut :
Tabel 2 Jumlah penduduk miskin periode 2004 s/d 2007
Tahun Jumlah Penduduk Miskin (orang) Jumlah Penduduk Miskin (%)
Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa
2004 279.900 499.300 779.200 5,69 11,99 8,58
2005 370.200 460.300 830.000 6,56 12,34 8,86
2006 417.100 487.300 904.300 7,47 13,34 9,79
2007 399.400 486.800 886.000 6,79 12,52 9,07
Sumber : BPS Provinsi Banten, 2008
Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin sebesar 779.200 orang (8,58%) kemudian terjadi
kenaikan sedikit pada tahun 2005 menjadi 830.000 orang (8,86%). Ini diduga terjadi akibat
49
53. kenaikan harga BBM (tahap 1) pada bulan Maret 2005. Pada tahun 2006 terjadi kembali
kenaikan penduduk miskin yang sangat besar yaitu sebesar 904.300 orang (9,79%),
mengingat pada periode perhitungan tersebut (Juli 2005-Maret 2006), pemerintah menaikkan
kembali harga BBM (tahap 2) pada bulan Oktober 2005. Akibatnya penduduk yang tergolong
tidak miskin namun penghasilannya berada di sekitar garis kemiskinan banyak yang
bergeser posisinya menjadi miskin.
Pada tahun 2007, kondisi perekonomian sedikit pulih yang ditandai besaran angka inflasi
tidak menembus angka dua digit. Program–program Pemerintah Pusat seperti Bantuan
Langsung Tunai (BLT) mempunyai peranan dalam menurunkan angka ini, di samping upaya-
upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah seperti : Program Pelayanan Rehabilitasi
Kesejahteraan Sosial , Program Peningkatan Kualitas Hidup, Program Pengembangan
Lembaga Ekonomi pedesaan, Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Korban
Bencana Alam, Program Keluarga Berencana, dan sebagainya.
Tingkat Pengangguran Terbuka
Tren tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Banten mengalami penurunan sejak tahun
2006. Tren ini sebanding atau linear dengan tren persentase penduduk miskin yang ada di
Provinsi Banten. Program-program pemerintah pusat seperti PNPM (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat) dan KUR (Kredit Usaha Rakyat) mempunyai peranan dalam
menurunkan tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Banten. Selain itu upaya-upaya
50
54. kebijakan yang telah dilakukan pemerintah daerah , diantaranya : menciptakan kesempatan
kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD),
dan sebagainya.
Tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Banten lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
pengangguran terbuka secara nasional. Ini kontradiktif dengan kenyataan bahwa Provinsi
Banten merupakan daerah industri tetapi tingkat pengangguran tinggi. Ini disebabkan oleh
sebagian besar industri di Provinsi Banten bersifat padat modal dan bukan padat karya
sehingga tidak banyak menyerap tenaga kerja. Di samping itu juga karena lowongan
pekerjaan di sektor industri banyak diisi oleh tenaga kerja dari luar Banten berhubung
keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja dari luar Banten lebih sesuai dengan yang
dibutuhkan oleh perusahaan industri di Banten. Pengembangan kegiatan industri di Banten
tidak memberikan kontribusi yang sebanding terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi
Banten, karena tren positif pembangunan ekonomi tidak pararel dengan pengurangan jumlah
pengangguran di Banten, artinya pembangunan ekonomi Banten yang berbasis industri
masih mengabaikan usaha pengurangan pengangguran di Propinsi Banten.
Tingkat pengangguran yang tinggi di Provinsi Banten dipengaruhi oleh tingginya arus
urbanisasi ke Provinsi Banten sehingga menambah jumlah pengangguran. Di samping itu,
penduduk Banten banyak yang tidak dapat bekerja pada industri di Banten karena
kepandaian dan keterampilannya kurang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh
industri . Juga disebabkan adanya Perda yustisi di Jakarta yang mengurangi tingkat
urbanisasi ke DKI Jakarta ikut menambah tingginya arus urbanisasi ke Provinsi Banten.
3. Rekomendasi Kebijakan
Beberapa rekomendasi kebijakan diantaranya :
1. Pembangunan kesehatan di Banten diarahkan untuk Pengembangan Fasilitas dan
Pemerataan Layanan Kesehatan, serta Pengembangan Kesehatan Berbasis Masyarakat
2. Meningkatkan Aksesibilitas Masyarakat terhadap Pelayanan Pendidikan dan menata
sistem pembiayaan pendidikan yang berprinsip adil, efesien, efektif, transparan, dan
akuntabel serta meningkatkan anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen dari
APBD guna melanjutkan usaha-usaha pemerataan dan peyediaan layanan pendidikan
yang berkualitas.
51
55. 3. Pemerintah Daerah wajib mempertahankan dan bahkan meningkatkan komitmennya
pada program keluarga berencana. Melemahnya komitmen terhadap program KB akan
berdampak pada lebih tingginya jumlah penduduk dari angka yang telah diperkirakan
4. Diperlukan antisipasi kebijakan dan perencanaan jangka panjang, menengah dan
tahunan dari berbagai instansi termasuk BKKBN, agar lebih segmentatif sesuai
kebutuhan kondisi masing-masing wilayah. Komitmen dan dukungan yang tinggi dari
berbagai sektor untuk melaksanakan secara sungguh-sungguh kebijakan kependudukan
dan KB menjadi prasyarat agar asumsi dan proyeksi yang telah disepakati dapat
terwujud, sehingga dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan sebagai akibat dari
melesetnya asumsi dan proyeksi penduduk dapat terhindarkan. Meningkatnya
pembangunan kependudukan dengan terkendalinya pertumbuhan penduduk dan
meningkatnya keluarga kecil berkualitas, serta menciptakan lapangan kerja
5. Akselerasi laju pertumbuhan ekonomi Banten bisa saja dilakukan apabila Pemerintah
Propinsi Banten dapat lebih fokus pada pembenahan iklim investasi di Banten dengan
mengedepankan maksimalisasi potensi lokal Banten, seperti SDA dan Pariwisata yang
selama ini tidak mendapat perhatian maksimal dari pemerintah, selain itu Pemerintah
Propinsi Banten perlu melakukan harmonisasi kebijakan ekonomi melalui kebijakan
sinkronisasi peraturan-peraturan daerah yakni kabupaten/kota agar lebih ramah terhadap
investor,serta berorientasi pada kebijakan pembenahan infrstruktur terutama jalan raya,
pelabuhan dan infrastruktur lainnya. pembenahan birokrasi menjadi determinan utama
lain yang harus dilakukan untuk mengakselerasikan laju pertumbuhan ekonomi.
6. Data pendapatan per kapita Propinsi Banten yang menunjukkan tren terus meningkat
perlu dikaji secara intensif, agar tidak menjadi indikator yang dianggap merupakan
keberhasilan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Banten, Pemerintah
Daerah Propinsi Banten perlu memperhatikan indikator lain, terutama indikator sosial
ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, IPM dan indikator sosial lain. Indikator
pendapatan per kapita menunjukkan adanya perbaikan kinerja ekonomi secara makro,
dan dapat menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Propinsi Banten untuk merancang
kebijakan peningkatan kesejahteraan secara menyeluruh.
7. Tren Inflasi yang menunjukkan angka yang terus meningkat di Banten dari tahun ke
tahun mengancam daya beli masyarakat yang akhirnya akan memperlambat
pertumbuhan ekonomi Banten. Oleh sebab itu, pemerintah daerah harus serius
merancang kebijakan untuk mengendalikan inflasi yang terus meningkat ini melalui
52