Evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan menunjukkan tingkat kriminalitas meningkat pada 2004-2007 namun menurun 2008-2009. Persentase penyelesaian kasus kejahatan konvensional menurun 2004-2006 tetapi naik 2007-2008 meskipun masih di bawah target."
2. KATA PENGANTAR
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) 2010 Provinsi Sulawesi Selatan
memiliki makna penting dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia. Pertama, EKPD
ini memuat hasil evaluasi pencapaian dari penyelenggaraan RPJMN 2004-2009 di Provinsi
Sulawesi Selatan, sehingga kinerja dari satu periode RPJMN terpresentasikan secara utuh.
Kedua, EKPD ini memuat analisis relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD Provinsi
Sulawesi Selatan, sehingga bisa memberi arahan bagi EKPD 2011 dan seterusnya.
Laporan EKPD 2010 Provinsi Sulawesi Selatan telah diselesaikan dengan baik.
Substansi isi dan metode evaluasi sepenuhnya mengacu kepada Panduan EKPD 2010 yang
disusun Bappenas, sementara analisis dan eksplanasi atas sejumlah fakta dilakukan sesuai
kompetensi akademis dari masing-masing evaluator.
Terima kasih disampaikan kepada Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan atas
dukungannya selama EKPD ini berlangsung, terutama dalam penyelenggaraan focus group
discussion yang melibatkan seluruh Kepala Bidang di Bappeda, khususnya Kepala Bidang
Monitoring dan Evaluasi Pembangunan, serta dukungan data dan informasi yang diberikan.
Terima kasih juga disampaikan kepada pihak Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah
Sulawesi Selatan-Sulawesi Barat serta seluruh SKPD Provinsi Sulawesi Selatan yang telah
memberikan data yang diperlukan bagi EKPD ini serta terlibat dalam diskusi-diskusi dengan
evaluator.
Akhirnya, terima kasih disampaikan kepada pihak Bappenas atas kepercayaannya
kepada Universitas Hasanuddin dalam penyelenggaraan EKPD 2010 ini. Semoga kerjasama
ini memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa dan negara.
Makassar, 9 Desember 2010
Rektor Universitas Hasanuddin,
u.b. Pembantu Rektor
Bidang Kerjasama dan Perencanaan
Prof. Dr. Dwia Aries Tina NK., MSc.
NIP:
3. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah satu dari empat
tahapan perencanaan pembangunan, yang meliputi penyusunan, penetapan, pengendalian
perencanaan serta evaluasi pelaksanaan perencanaan. Sebagai suatu tahapan
perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan secara sistematis dengan
mengumpulkan dan menganalisis data serta informasi untuk menilai sejauh mana
pencapaian sasaran dan tujuan atau kinerja pembangunan secara keseluruhan.
Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 telah selesai dilaksanakan. Sesuai dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, pemerintah (BAPPENAS) berkewajiban
untuk melihat sejauh mana pelaksanaan RPJMN tersebut.
Saat ini Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014
telah ditetapkan. Siklus pembangunan jangka menengah ilma tahun secara nasional tidak
selalu sama dengan siklus pembangunan jangka menengah lima tahun di daerah, sehingga
penetapan RPJMN 2010-2014 tidak bersamaan waktunya dengan RPJMD Provinsi. Hal ini
menyebabkan prioritas-prioritas dalam RPJMD Provinsi tidak selalu mengacu pada prioritas-
prioritas RPJMN 2010-2014. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi relevansi prioritas/program
antara RPJMN dengan RPJMD provinsi.
Di dalam pelaksanaan evaluasi ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang berkaitan
dengan RPJMN. Pertama, evaluasi atas pelaksanaan RPJMN 2004-2009; kedua, penilaian
keterkaitan antara RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2012 dengan RPJMN 2010-2014.
Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah evaluasi ex-
post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu pada
tiga agenda RPJMN 2004-2009 yaitu agenda Aman dan Damai, Adil dan Demokratis, serta
Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai
pemerintahan atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis
indikator pencapaian.
4. 2
Metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD
Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2012 adalah dengan membandingkan keterkaitan 11
prioritas nasional dan tiga prioritas lainnya dengan prioritas daerah Provinsi Sulawesi
Selatan. Selain itu, juga dengan mengindentifikasi potensi lokal dan prioritas daerah yang
tidak ada dalam RPJMN 2010-2014. Adapun prioritas nasional dalam RPJMN 2010-1014
adalah: 1. Refomasi Birokrasi dan Tata Kelola, 2. Pendidikan, 3. Kesehatan, 4.
Penanggulangan Kemiskinan, 5. Ketahanan Pangan, 6. Infrastruktur, 7. Iklim Investasi dan
Iklim Usaha, 8. Energi, 9. Lingkungan Hidup dan Pengelolahan Bencana, 10. Kebudayaan,
Kreativitas dan Inovasi Teknologi, dan tiga prioritas lainnya yaitu 1. Kesejahteraan Rakyat
Lainnya, 2. Politik, Hukum dan Keamanan lainnya, 3. Perekonomian Lainnya.
Hasil dari EKPD 2010 diharapkan dapat memberikan umpan balik pada perencanaan
di daerah. Selain itu, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah dalam
mengambil kebijakan pembangunan daerah.
Pelaksanaan EKPD ini dilakukan melalui kerjasama antara Bappenas cq. Deputi
Evaluasi Kinerja Pembangunan dengan Universitas Hasanuddin selaku evaluator eksternal
dan dibantu oleh stakeholders daerah. Pelaksanaan EKPD 2010 mengacu pada Panduan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah 2010 yang disusun oleh Deputi Bidang Evaluasi
Kinerja Pembangunan, Bappenas.
2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari EKPD Provinsi Sulawesi Selatan adalah:
1. Untuk melihat sejauhmana pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dapat
memberikan kontribusi pada pembangunan daerah Sulawesi Selatan;
2. Untuk mengetahui sejauhmana keterkaitan prioritas/program dalam RPJMN
2010-2014 dengan prioritas/program yang ada dalam RPJMD Provinsi
Sulawesi Selatan 2008-2013.
Sasaran dari EKPD Provinsi Sulawesi Selatan adalah:
1. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di
Provinsi Sulawesi Selatan;
2. Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMN 2010-2014
dengan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013.
5. 3
3. Keluaran
Luaran dari kegiatan ini adalah:
1. Tersedianya dokumen evaluasi pencapaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009
di daerah Provinsi Sulawesi Selatan;
2. Tersedianya dokumen evaluasi keterkaitan RPJMN 2010-2014 dengan
RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013.
6. 4
BAB II
HASIL EVALUASI
PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009
A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI
1. Indikator
Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai pada RPJMN 2004-2009
mencakup beberapa program yang pencapaiannya dapat diukur pada tiga indikator utama
yakni indeks kriminalitas, persentase penyelesaian kasus kejahatan konvensional, dan
persentase penyelesaian kasus kejahatan transnasional. Dalam EKPD Sulawesi Selatan
2004-2009, data indeks kriminalitas tidak dapat ditemukan sehingga data yang digunakan
adalah tingkat kriminalitas, berupa perbandingan antara kasus kriminalitas yang terjadi
dengan total penduduk Sulawesi Selatan, dinyatakan dalam satuan jumlah tindakan kriminal
perseribu penduduk dalam setahun. Data tentang persentase penyelesaian kasus kejahatan
transnasional juga tidak ditemukan sehingga hanya diberikan evaluasi kualitatif-deskriptif.
Adapun nilai pencapaian indikator untuk agenda Pembangunan Indonesia Yang
Aman dan Damai dapat digambarkan pada Tabel-1.
Tabel-1: Nilai Pencapaian Indikator Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman
dan Damai RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan.
Nilai Indikator
No.
Indikator Sumber Data
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Kriminalitas (Tingkat
1. 1,5027 1,5492 1,7530 2,0263 1,7240 1,6636 Polda Sulselbar,
Kriminalitas)
2005-2010
Persentase Penyelesaian Kasus Polda Sulselbar,
2. 59,81 54,96 54,38 55,97 48,92 44,16
Kejahatan Konvensional 2005-2010
Persentase Penyelesaian Kasus
3.
Kejahatan Transnasional - - - - - - -
2. Analisis Pencapaian Indikator
(1) Keamanan dan Kedamaian
1. Tingkat Kriminalitas
Tingkat kriminalitas di Sulawesi Selatan, yakni jumlah kejadian kriminal perseribu
penduduk dalam satu tahun, menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat pada
7. 5
periode 2004-2007, puncak peningkatan pada tahun 2007, lalu menurun pada periode 2008-
2009 (Grafik-1), sementara gambaran kuantitatif jenis dan tingkat kriminalitas tersebut dapat
dilihat pada Tabel-2. Pada tahun 2007, angka kriminalitas di Sulawesi Selatan mencapai 2,02
kejadian perseribu penduduk, bertambah 0,27 poin dari tahun 2006, dimana angka ini
menurun 0,30 menjadi 1,72 pada tahun 2008. Pada tahun 2007, jumlah tindak pidana di
Sulawesi Selatan mencapai 15.554 kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana
selama 33 menit delapan detik. Pada tahun 2006 jumlah tindak pidana mencapai 13.374
kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana selama 39 menit, pada tahun 2008
sebanyak 13.456 kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana selama 39 menit
enam detik. Pada tahun 2007 tersebut, persentase penyelesaian kasus pidana sebanyak
60,34%, pada tahun 2006 lebih rendah yakni 60,25% dan pada tahun 2008 lebih tinggi yakni
64,71%.
Grafik-1: Tingka Kriminalitas di Sulawesi Selatan 2004-2009.
Tingginya angka kriminalitas pada tahun 2007, sebagaimana terlihat pada Grafik-1,
diduga banyak dipengaruhi oleh panasnya suhu politik di Sulawesi Selatan menjelang dan
pasca pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan pada tahun tersebut. Konflik antar pendukung
calon gubernur yang terjadi di sejumlah kabupaten/kota selain punya andil langsung terhadap
tingginya tingkat kriminalitas, juga situasi dan kondisi yang relatif tidak stabil ketika itu
banyak dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk melaksanakan aksi-aksi
8. 6
kejahatannya. Sementara itu, perhatian aparat keamanan, baik menjelang pemilihan maupun
sesudah pemilihan, juga lebih banyak tercurah pada pengamanan pemilihan, dimana situasi
ini diduga dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan tindakan kriminal.
Tabel-2: Keadaan Umum Tindak Pidana serta Tingkat Kriminalitas di Sulawesi
Selatan Tahun 2004-2009.
T a h u n
Uraian
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah Tindak Pidana 11.089 11.611 13.374 15.554 13.456 13.730
Penyelesaian 6.042 6.341 8.058 9.385 8.707 8.729
% Penyelesaian 54,49% 54,61% 60,25% 60,34% 64,71 63,58
Selang Waktu terjadinya 47’39” 45’ 39’ 33’8” 39,06 38,28
Tindak Pidana
Jumlah Penduduk 7.379.370 7.494.701 7.629.138 7.675.893 7.805.024 8.253.387
Tingkat kriminalitas 1,5027 1,5492 1,7530 2,0263 1,7240 1,6636
Sumber: Kepolisian Negara RI Daerah Sulawesi Selatan , 2004-2009 dan BPS 2006-2009 (Diolah kembali)
Pada tahun 2007, kondisi perekonomian Sulawesi Selatan juga kurang baik
kinerjanya. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 sangat rendah, ini mempunyai akibat
sangat besar bagi sebagian besar rumah tangga miskin dimana salah satu akibatnya adalah
tingginya angka pencurian. Pada tahun 2004 hingga 2007 angka pengangguran juga tinggi,
pada tahun 2006 sebanyak 18,64% dan meskipun pada tahun 2007 sudah menurun menjadi
12,78 % tetapi efeknya pada tekanan ekonomi penduduk masih signifikan dalam mendorong
terjadinya kriminalitas. Jumlah rumah tangga miskin juga tinggi pada periode 2004-2007,
yakni diatas 14%. Kesemua ini memberi indikasi adanya korelasi antara kondisi
perekonomian yang kurang baik dengan tingginya angka kriminalitas.
Pada tahun 2008-2009, terjadi perbaikan ketertiban dan keamanan yang signfikan,
ditandai dengan angka kriminalitas yang terus menurun. Ini terkait dengan kondisi politik
yang kembali normal pasca pemilihan gubernur, meskipun dalam pemilihan kepala daerah
tahun 2010 terjadi ekses cukup tajam, tetapi efeknya pada kriminalitas akan terlihat pada
data tahun tersebut dan tahun berikutnya. Perbaikan kondisi ketertiban dan keamanan juga
9. 7
didukung oleh kondisi perekonomian yang membaik pada tahun 2008-2009 yakni angka
kemiskinan dan pengangguran yang terus berkurang dan pertumbuhan ekonomi yang relatif
terpelihara.
2. Penyelesaian Kejahatan Konvensional
Ditinjau dari seluruh kejahatan konvensional yang terjadi di Sulawesi Selatan, telah
terjadi peningkatan persentase penyelesaian kasus selama periode 2004-2009. Pada tahun
2005 penyelesaian kasus hanya 54,49%, meningkat hingga 64,71% pada tahun 2008, dan
sedikit menurun pada tahun 2009 yakni 63,58% (Grafik-2). Ini menujukkan peningkatan
kinerja aparat keamanan, khususnya jajaran kepolisian, dalam penyelesaian tindak pidana
kejahatan konvensional. Namun demikian, ditinjau dari segi penyelesaian jenis kejahatan
yang menonjol di Sulawesi Selatan, sebagaimana juga terlihat pada Grafik-2, terdapat
penurunan tingkat penyelesaian kejahatan. Persentase penyelesaian tertinggi adalah pada
tahun 2004 (59,81%), kemudian pada tahun 2005 dan tahun 2006 menurun menjadi sekitar
54%, dan sedikit meningkat pada tahun 2007. Selanjutnya pada tahun 2008 dan 2009
persentase penyelesaiannya menurun menjadi 48,92 % dan 44,16%. Secara keseluruhan
persentase penyelesaian kasus tindak pidana mengalami peningkatan, tetapi untuk kasus
kejahatan yang menonjol persentase penyelesaiannya justru menurun.
Grafik-2: Penyelesaian keseluruhan tindak pidana kejahatan konvensional dan
Tindak pidana kejahatan menonjol di Sulawesi Selatan 2004-2009.
10. 8
Hasil wawancara dengan pihak kepolisian menunjukkan bahwa tidak tertutup
kemungkinan perbedaan persentase penyelesaian ini disebabkan oleh keterbatasan jumlah
dan kualitas aparat kepolisian yang menangani jenis kejahatan yang menonjol, keterbatasan
sarana prasarana penunjang pelaksanaan tugas aparat, serta modus operandi penjahat yang
semakin beragam dengan jumlah dan kualitas yang juga semakin meningkat. Dengan
kondisi demikian, maka peluang menumpuknya penyelesaian kasus tertentu yang menonjol
di kepolisian menjadi sangat besar, yang pada gilirannya bisa mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga penegak hukum, khususnya kepolisian.
Pada kejahatan konvensional, hal yang juga perlu dicermati adalah kecenderungan
meningkatnya jumlah absolut jenis kejahatan tertentu yang menonjol pada periode 2004-
2009 (Lihat data penunjang pada Tabel-3). Kalau pada tahun 2004 jumlahnya hanya 3.926
kasus, pada tahun 2007 bertambah menjadi 5.346 kasus, pada tahun 2009 jumlahnya terus
meningkat dan mencapai angka 5.562 kasus.
Tabel-3: Kasus Kejahatan Konvensional Menurut Jenis Kejahatan Yang Menonjol di
Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009
T a h u n
Jenis
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Kejahatan
Yang Menonjol
L S L S L S L S L S L S
Perkelahian 17 13 3 4 3 1 9 - - - - -
Kelompok
Pengeroyokan 168 111 239 157 232 180 463 374 513 400 660 469
Pemerasan & 67 36 75 31 96 66 84 59 295 164 504 229
Ancaman
Penghancuran/
Perusakan 421 202 399 208 516 317 585 332 469 336 201 121
Barang
Pembakaran 29 20 10 9 32 14 31 17 14 10 17 13
CD Porno 1 - 2 3 15 9 10 2 60 40 2 -
Perzinahan+ 166 112 203 119 249 201 233 192 180 97 332 236
Cabul
Perkosaan 105 76 97 70 112 70 142 115 135 105 109 112
11. 9
Miras 68 60 86 85 82 73 84 99 390 224 131 113
Narkotika/ 275 309 269 370 261 260 274 244 392 371 409 356
Psikotropika
Pembunuhan
143 125 121 117 127 133 109 99 139 106 89 68
Aniya Berat
814 268 1.047 603 1.000 736 970 673 531 403 412 312
Empat Jenis
1.65 1.016 1.852 644 2.255 648 2.352 786 2.209 350 2.69 427
Pencurian 2 6
Jumlah 3.92 2.348 4.403 2.420 4.980 2.708 5.346 2.992 5.327 2.60 5.56 2.456
6 6 2
% Penyelesaian
- 59,81 - 54,96 - 54,38 - 55,97 - 48,9 - 44,16
2
Sumber: Kepolisian Negara RI Daerah Sulawesi Selatan, 2004-2009 (diolah kembali)
Keterangan : L = Lapor; S = Selesai
Dari sejumlah jenis kejahatan konvensional tersebut, yang sangat menonjol dan
mengalami peningkatan selama periode 2004-2009 adalah pencurian yakni pencurian berat,
pencurian dengan kekerasan, pencurian hewan dan pencurian kendaraan bermotor.
Perkelahian kelompok yang pada tahun 2005 dan 2006 menunjukkan penurunan, pada
tahun 2007 kembali mengalami peningkatan. Data tentang perkelahian kelompok ini belum
mencakup perkelahian antara anggota POLRI dengan anggota TNI yang cukup
menghebohkan di Bantaeng pada tanggal 22 September 2007. Meskipun jumlah kasus
perkelahian antar kelompok pada tahun 2007 lebih rendah dibanding perkelahian antar
kelompok pada tahun 2004, yang memprihatinkan dari perkelahian tahun 2007 adalah
banyaknya generasi muda dari kalangan mahasiswa yang terlibat, padahal faktor pemicunya
hanyalah masalah-masalah sepele yang seyogyanya tidak berkembang dalam skala besar.
Hal lain yang mungkin ikut berpengaruh antara lain adalah karakteristik masyarakat Sulawesi
Selatan yang “agak keras”, euforia reformasi dan kekurangtegasan aparat dalam
penanganan berbagai kasus tersebut. Selanjutnya, menyangkut kasus pengeroyokan,
pemerasan dan ancaman, penghancuran/perusakan barang, serta pembakaran, trennya juga
agak mengkuatirkan. Hal ini merupakan sinyal berkurangnya rasa saling percaya dan
keharmonisan hubungan antar kelompok masyarakat yang justeru merupakan salah satu
prioritas RPJMN 2004-2009.
12. 10
Pada wilayah-wilayah perkotaan di Sulawesi Selatan nilai-nilai materialisme telah
semakin menguat, berbarengan dengan cenderung memudarnya solidaritas sosial, nilai-nilai
kekeluargaan, dan keramahtamahan sosial. Identitas nasional kemudian terlemahkan oleh
cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, serta keterbatasan dalam mengadopsi
budaya global yang lebih relevan bagi upaya pembangunan karakter bangsa. Gambaran
cepatnya penyerapan budaya global yang negatif di Sulawesi Selatan, antara lain dapat
dilihat dari peningkatan jumlah kasus narkotika/psikotropika, CD porno, perzinahan,
perkosaan dan pencabulan (Lihat Tabel-3). Tingginya pertambahan kasus
narkotika/psikotropika juga semakin mengkuatirkan. Pada tahun 2004 hanya 275 kasus dan
pada tahun 2009 sudah mencapai 409 kasus. Beberapa kalangan mengemukakan bahwa
peningkatan jumlah penyalahgunaan narkotika/psikotropika sekaligus berpotensi semakin
meningkatnya pula jumlah penderita HIV/AIDS. Data yang diperoleh melalui media terungkap
bahwa kasus penyalahgunaan narkotika/psikotropika nampaknya berkorelasi positif dengan
peningkatan penderita HIV/AIDS. Data pada Harian Fajar (Senin, 10 Nopember 2008)
mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar jumlah
penderita HIV/AIDS yang ditemukan dan terdeteksi khusus di Kota Makassar terhitung
Januari hingga April 2008 adalah 1.782 orang, padahal di penghujung 2007 baru 1.599
orang. Artinya hanya dalam waktu empat bulan, penderita penyakit mematikan ini bertambah
183 orang. Dari sumber yang sama juga dikemukakan bahwa untuk Sulawesi Selatan, jika
tahun 2007 hanya 1.844 orang, maka pada April 2008 sudah mencapai angka 2.059 orang
atau mengalami peningkatan 215 orang. Walaupun Pemerintah dan pemerhati HIV/AIDS
tidak tinggal diam (di Makassar sudah disiapkan tujuh lokasi Voluntary Counseling Testing
(VCT) untuk membantu pendeteksian virus HIV. Hanya saja, data dari Dinas Kesehatan Kota
Makassar ini akurasinya diragukan oleh sejumlah LSM, karena berdasarkan pemantauan
mereka, disinyalir yang belum ditemukan dan terdeteksi jumlahnya bisa mencapai angka 10
kali lipat dari pada yang terdeteksi. Dalam konteks ini, dari berbagai sumber termasuk dari
kepolisian, dikemukakan bahwa maraknya kasus HIV/AIDS di Sulawesi Selatan dan
Makassar tidak terlepas dari sindikat peredaran narkoba di wilayah ini. Data hasil tangkapan
Polwiltabel Makassar menunjukkan bahwa dari Januari hingga 9 Nopember 2008 kasus
narkoba yang tertangkap adalah 66 kasus dengan tersangka 82 orang.
Demikian pula kasus perkosaan, dari 105 kasus pada tahun 2004, meningkat menjadi
142 kasus pada tahun 2007. Kecenderungan peningkatan kasus-kasus tersebut
menunjukkan tanda yang semakin mengkuatirkan. Meskipun kasus CD porno,
13. 11
perzinahan/perbuatan cabul dan kasus miras sedikit menurun, penyerapan nilai-nilai budaya
global yang negatif, yang berimbas terhadap etika pergaulan sosial, merupakan peringatan
yang harus ditangani secara sungguh-sungguh oleh semua pihak. Bahkan beberapa aksi
erotis versi lokal yang populer dengan nama “candoleng-doleng” (pertunjukan musik elekton
pada acara pesta yang disertai tarian erotis) hingga saat ini masih menjadi agenda
mendesak pemerintah di beberapa kabupaten untuk menghentikannya. Demikian pula kasus
rekaman adegan porno/mesum yang melibatkan warga setempat sudah ditemukan di
beberapa daerah seperti di Kabupaten Bone, Soppeng dan Kota Pare-Pare. Fenomena ini
memberikan gambaran betapa cepatnya penyerapan nilai-nilai budaya global yang negatif,
yang berimbas terhadap etika pergaulan masyarakat.
Pada sisi lain toleransi antar etnis dan antar umat beragama meskipun datanya
secara pasti tidak diperoleh oleh tim evaluasi, namun dilihat dari keterlibatan berbagai etnis di
Sulawesi Selatan (empat etnis besar yakni Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar), termasuk
etnis Tionghoa, dalam kesuksesan berbagai event keagamaan yang dilaksanakan di
Sulawesi Selatan, dapat dikatakan bahwa pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi
Selatan dari aspek toleransi dan kerukunan antar etnis dan umat beragama, walaupun masih
perlu lebih ditingkatkan, namun sudah berada pada jalur yang benar.
Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai instansi terkait, secara umum agenda
mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai di Sulawesi Selatan pada periode 2004-2009
walaupun dapat dikatakan cukup berhasil, namun beberapa faktor seperti kenaikan harga
BBM, cukup panasnya suhu politik dalam proses dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah
baik pada level Provinisi maupun Kabupaten/Kota, memiliki pengaruh (timbal baik) yang
cukup besar terhadap upaya mewujudkan agenda tersebut. Selain itu, persaingan para calon
anggota legislatif [DPR, DPRD dan DPD), juga merupakan faktor yang mempengaruhi
kondisi aman dan damai.
Selain itu, terdapat faktor lain yang berpengaruh yakni perubahan peran TNI dalam
pemeliharaan ketertiban dan keamanan, serta belum sempurnanya kesiapan Polri untuk
sepenuhnya berperan sebagai ujung tombak pemelihara keamanan dan ketertiban,
menyebabkan aktivitas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat belum mampu
dilaksanakan secara efektif. Demikian pula, apabila ditinjau dari jumlah dan kualitas personil
aparat keamanan dalam memelihara keamanan di sebagian besar wilayah yang belum
memadai ditengah keragaman masyarakat (etnis, budaya dan agama), serta perubahan spirit
14. 12
zaman yang antara lain ditandai oleh semakin menguatnya tuntutan arus bawah, tuntutan
penegakan HAM, demokratisasi serta kemajuan teknologi dan informasi.
3. Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional
Secara umum, kasus kejahatan transnasional belum signifikan terjadi di Sulawesi
Selatan. Pada kasus perdagangan manusia misalnya, meskipun pengiriman TKI cukup besar
jumlahnya di Sulawesi Selatan, tetapi dibaliknya kejahatan demikian tidak teridentifikasi.
Begitu pula dalam kasus narkoba, meskipun intensitasnya cukup tinggi, tetapi indikasi
keterlibatan jaringan transnasional belum signifikan.
3. Rekomendasi Kebijakan
(1) Menyangkut menurunnya persentase penyelesaian jenis kejahatan tertentu yang
menonjol, direkomendasikan agar pemerintah menunjukkan perhatian yang lebih serius
terhadap peningkatan jumlah dan kualitas aparat kepolisian, serta sarana prasarana
penunjang dalam pelaksanaan tugas mereka. Dalam konteks ini tentu saja ketegasan
pimpinan dalam penegakan peraturan perundang-undangan tidak boleh lagi ditunda-
tunda, termasuk dalam pemberian sangsi dan reward terhadap aparat kepolisian yang
aktif sesuai capaian pelaksanaan tugas masing-masing.
(2) Dalam upaya menumbuhkembangkan rasa saling percaya dan harmoni antarkelompok
dan golongan masyarakat yang merupakan faktor penting untuk menciptakan rasa
aman dan damai, dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik dan
penyelesaian persoalan sosial kemasyarakatan, partisipasi masyarakat seyogyanya
lebih ditingkatkan. Bahkan diharapkan rasa saling percaya tersebut juga terwujudkan
antar seluruh pemangku kepentingan, antar lembaga pemerintah (dalam arti luas),
serta antara pemerintah, swasta dan masyarakat sipil, termasuk pemantapan forum
dialog lintas agama.
(3) Lunturnya nilai-nilai budaya luhur dan menurunnya nilai-nilai moral serta krisis jati diri,
identitas dan kepribadian daerah, seharusnya dapat menyadarkan para pihak akan
pentingnya menjadikan sistem dan nilai budaya lokal sebagai identitas dan jatidiri
masyarakat. Dalam konteks ini, keteladanan dari para pemimpin di Sulawesi Selatan,
termasuk eksekutif dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, serta aparat hukum harus
lebih ditingkatkan. Demikian pula perlunya meningkatkan frekuensi dialog antarbudaya
15. 13
yang lebih terbuka dan demokratis, peningkatan penegakan hukum, serta aktualisasi
nilai moral dan agama dalam keseharian, utamanya dari para pemimpin.
(4) Masalah penyalahgunaan narkotika/psikotropika dan penanggulangan HIV/AIDS di
Sulawesi Selatan yang semakin meningkat dan mengkuatirkan, membutuhkan
kesungguhan serta dukungan multipihak, oleh sebab itu semua pihak utamanya
pemerintah harus mengambil langkah nyata dan progressif, tanpa pandang bulu
menindaki secara tegas siapapun yang terlibat. Tentu saja dalam penanganannya tidak
semata mengharapkan dari pemerintah, tetapi harus dilakukan secara bersama seluruh
pemangku kepentingan, tanpa dukungan tersebut apa yang dilakukan oleh pemerintah
sulit mencapai hasil yang optimal.
(5) Hal lain yang juga penting dicermati adalah bagaimana meminimalisir terjadinya
perkelahian (baca: tawuran) antar mahasiswa di Sulawesi Selatan, khususnya di Kota
Makassar, termasuk demonstrasi yang banyak berujung pada aksi anarkis. Pentingnya
perhatian khusus dan betul-betul serius terhadap masalah ini agar pandangan negatif
(suka tawuran dan anarkis) yang dilekatkan terhadap warga dan mahasiswa yang
cenderung merugikan masyarakat di kota Makassar bisa terkikis habis. Dalam konteks
ini diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh semua pemangku kepentingan,
utamanya pemerintah, aparat hukum, kalangan kampus, pers dan tokoh masyarakat
untuk duduk bersama dengan pikiran yang jernih membicarakan langkah-langkah
pencegahan, serta ketegasan dalam penindakan mereka yang tertangkap tangan dan
terbukti bersalah. Dalam konteks ini diharapkan media massa (baik tulis maupun
elektronik) dengan segenap jajaran wartawannya berperan secara aktif ikut mencegah
terjadinya tawuran, paling tidak memberi informasi kepada aparat keamanan dan tidak
justeru memberitakannya berulang-ulang dan menjadikannya sebagai berita
sensasional. Pemerintah sendiri diharapkan dapat memainkan perannya sebagai
fasilitator dan atau mediator yang kredibel dan adil.
B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS
1. Indikator
Pencapaian pembangunan menyangkut Agenda Indonesia yang Adil dan Demokratis
mencakup dua kelompok indikator yakni kebijakan publik dan demokrasi. Pencapaian bidang
kebijakan publik diukur dengan indikator persentase kasus korupsi yang tertangani
dibandingkan dengan yang dilaporkan, persentase Kabupaten/Kota yang memiliki Perda
16. 14
Pelayanan Satu Atap, dan Persentase instansi/SKPD Provinsi (dalam laporan ini data yang
bisa diperoleh adalah pemerintah Kabupaten dan pemerintah Provinsi) yang memiliki
pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian. Sedangkan pencapaian bidang demokrasi diukur
dengan indikator Gender-related Development Index (GDI) dan Gender Empowerment
Measure (GEM). Nilai pencapaian dari setiap indikator tersebut ditampilkan pada Tabel-4.
Tabel-4: Nilai Pencapaian Indikator Agenda Pembangunan Indonesia Yang Adil dan
Demokratis pada RPJMN 2004-2009.
Nilai Indikator
Sumber Data
No Indikator
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Kejaksaan Tinggi
Sulselbar, 2010 dan
dan Polda Sulselbar,
Persentase kasus korupsi yang Data Data 2010; Data 2004 dan
1. tertangani dibandingkan dengan yang tdk ter- tdk ter- 67,65 87,18 74,60 75,00 2005 hanya yang
dilaporkan sedia sedia bersumber dari Polda,
data 2006-2009 dari
Polda dan Kejaksaan
Tinggi.
Persentase Kabupaten/Kota yang
2. 8,70 13,04 17,39 21,74 52,17 52,17 Pemprov Sulawesi
memiliki Perda Pelayanan Satu Atap
Selatan, 2010
Persentase entitas (Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota) yang BPK Sulawesi Sela-tan,
3. - 15 0 0 0 -
memiliki pelaporan Wajar Tanpa 2005-2010.
Pengecualian
Pembangunan Manu-
sia Berbasis Gender
2005-2006, BPS-Ke-
menteri-an PP dan PA;
Pembangunan
4. Gender Development Index 56,90 57,40 59,00 60,40 61,04 62,07
Berbasis Gen-der
2006-2008, BPS-Ke-
menterian PP dan PA;
Tahun 2009 data
proyeksi.
Pembangunan Manu-
sia Berbasis Gender
2005-2006, BPS-Ke-
menteri-an PP dan PA;
Pembangunan
5. Gender Empowermen Index 49,20 50,00 51,80 52,60 52,90 53,82
Berbasis Gender 2006-
2008, BPS-Ke-
menterian PP dan PA;
Tahun 2009 data
proyeksi.
17. 15
2. Analisis Pencapaian Indikator
(1) Pelayanan Publik
1. Penyelesaian Kasus Korupsi
Definisi yang digunakan dari konsep kasus korupsi yang “tertangani” dalam EKPD di
Sulawesi Selatan adalah kasus korupsi yang buktinya sudah dianggap cukup oleh kejaksaan
dan sedang diproses ditambah dengan kasus korupsi yang diterima pelimpahannya oleh
kejaksaan dari kepolisian. Dengan kata lain konsep tertangani disini adalah kasus korupsi
yang telah masuk ke tahap penuntutan, sedangkan definisi yang digunakan dari konsep
kasus korupsi yang “dilaporkan” adalah seluruh kasus korupsi yang laporannya diterima
secara langsung oleh Kejaksaan dari masyarakat atau sumber lain ditambah kasus korupsi
yang pelimpahannya diterima oleh Kejaksaan dari Kepolisian. Data yang dianalisis pada
EKPD 2010 mencakup tahun 2006 hingga 2009, sementara data tahun 2004-2005 tidak
dapat ditampilkan secara valid.
Berdasarkan pengertian tersebut, gambaran persentase kasus korupsi yang ditangani
dibandingkan dengan yang dilaporkan dapat dilihat pada Grafik-3. Pada Grafik-3 ditunjukkan
perkembangan kinerja penyelesaian kasus korupsi secara total yang ditangani Kejaksaan
Tinggi (Tingkat Provinsi) dan yang ditangani Kejaksaan Negeri (Tingkat Kabupaten dan
Kota). Selain itu juga ditunjukkan perkembangan penyelesaian kasus korupsi pada masing-
masing Tingkat Kejaksaan Tinggi dan Tingkat Kejaksaan Negeri.
Pada Grafik-3 terlihat bahwa fenomena menonjol terjadi pada tahun 2007, ketika
persentase kasus korupsi yang tertangani meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya,
dan tahun 2008 ketika persentase kasus korupsi yang tertangani tersebut menurun secara
signifikan pula. Ada beberapa faktor dapat dijelaskan terkait fenomena tersebut.
Pertama, bahwa tingginya kinerja penyelesaian kasus korupsi pada tahun itu
dikontribusi dominan oleh Kejaksaan Negeri (Kabupaten/Kota), yakni sebanyak 37 kasus
terlaporkan dan yang ditangani sebanyak 33 kasus (89,10%); sementara Kejaksaan Tinggi
pada tahun itu hanya menerima laporan dua kasus dan yang tertangani satu kasus (50%). Ini
berbeda signifikan dengan kinerja tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2006 kinerja lebih
tinggi dikontribusi oleh Kejaksaan Tinggi yakni terlaporkan delapan kasus dan ditangani tujuh
diantaranya (87,5%), sementara Kejaksaan Negeri hanya menerima 27 laporan dan
tertangani 16. Salah satu faktor yang mempengaruhi fenomena ini adalah semakin besarnya
perhatian masyarakat di Kabupaten dan Kota dalam melaporkan kasus-kasus korupsi
18. 16
Grafik-3: Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani dibanding yang Terlaporkan di
Kejaksaan Negeri dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan
dengan kelengkapan data dan informasi yang memungkinkan pihak kejaksaan melakukan
tindak lanjut, selain itu kasus yang dilimpahkan polisi ke kejaksaan juga meningkat. Peranan
media massa juga besar dalam peningkatan ini, selain Surat Kabar yang terbit di Makassar,
pada beberapa daerah juga telah terbit koran lokal yakni di Kota Pare-pare dengan sumber
berita pada Kota Pare-pare dan Kabupaten sekitarnya, di Kota Palopo dengan sumber berita
pada Kota Palopo dan Kabupaten sekitarnya. Peranan LSM, baik LSM yang berkiprah di
Kota Makassar maupun LSM yang berkiprah di Kabupaten, juga signifikan. LSM di
Kabupaten Bulukumba sangat gencar mempersoalkan dugaan penyelewengan dan
bekerjasama dengan media massa memberitakannya, begitu pula LSM di Kota Pare-pare,
Kota Palopo dan Kabupaten Bone.
Kedua, pada tahun 2008, persentase antara yang ditangani dengan yang dilaporkan
terlihat adanya penurunan dibanding tahun 2007, tetapi secara kuantitatif sebenarnya terjadi
peningkatan signifikan. Pada tingkat Kejaksaan Tinggi, tahun itu terlaporkan 21 kasus dan
yang tertangani 13 kasus (Lihat Tabel-5). Sementara itu, pada tingkat Kejaksaan Negeri,
terlaporkan 42 kasus dan tertangani 34 kasus. Bahkan pada tahun berikutnya, secara
kuantitatif kinerja ini lebih meningkat lagi, meskipun secara persentase agak stagnan. Pada
19. 17
tahun 2009, pada tingkat Kejaksaan Tinggi (Provinsi), terlaporkan 31 kasus dan tertangani 19
kasus; pada tingkat Kejaksaan Negeri terlaporkan 41 kasus dan tertangani 35 diantaranya.
Artinya, yang terlihat sebagai penurunan persentase penanganan kasus harus dipahami
bahwa dibaliknya terjadi peningkatan kuantitas dari kasus yang terlaporkan, dan sebenarnya
terjadi pula peningkatan kuantitas atas kasus yang tertangani. Keterbatasan jumlah aparat
kejaksaan dan kompleksitas dari kasus yang terlaporkan menjadikan persentase yang
tertangani terlihat sedikit menurun. Secara umum dapat dikatakan bahwa kinerja
penanganan kasus korupsi di Sulawesi Selatan, baik pada tingkat Kejaksaan Tinggi maupun
tingkat Kejaksaan Negeri, telah meningkat signifikan selama periode 2005-2009.
Tabel-5: Persentase Jumlah Kasus Korupsi yang Tertangani (Tahap Penuntutan)
Dibandingkan Dengan yang Dilaporkan Tahun 2004-2009
Wilayah 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Kab/Kota se-SulSel
Dilaporkan
Tertangani Data tdk Data tdk 26 37 42 41
% tersedia tersedia 16 33 34 35
61,54 89,19 80,95 85,37
Kejati SulSel
Dilaporkan 8 2 21 31
Tertangani Data tdk Data tdk 7 1 13 19
% tersedia tersedia 87,50 50,00 61,90 61,29
Total Dilaporkan
Tertangani Data tdk Data tdk 34 39 63 72
% tersedia tersedia 23 34 47 54
67,65 87,18 74,60 75,00
Sumber: Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, 2010.
Untuk pengembangan analisis lebih jauh, pada Grafik-4 ditunjukkan kinerja
penanganan kasus korupsi oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, dan
ditampilkan bersama kinerja Kejaksaan (Kejaksaan Tinggi ditambah Kejaksaan Negeri)
Sulawesi Selatan. Terlihat bahwa kinerja Kepolisian tinggi pada tahun 2008, dimana saat itu
kinerja Kejaksaan sedikit menurun; sementara pada tahun 2007 ketika kinerja Kejaksaan
tinggi, kinerja kepolisian justeru menurun dibanding tahun sebelumnya. Jumlah kasus yang
terlaporkan di kepolisian pada tahun 2008 sebanyak 28 dan 26 diantaranya tertangani
(92,86%). Pada tahun 2007, terlaporkan 29 kasus dan yang tertangani 19 kasus. Pencapaian
ini agak menurun pada tahun 2009, dimana kasus terlaporkan di kepolisian hanya 17 dan
tertangani 11 kasus diantaranya.
20. 18
Grafik-4: Persentase kasus korupsi tertangani dan terlaporkan pada Kepolisian
Dibandingkan dengan Kejaksaan di Sulawesi Selatan, 2006-2009.
(2) Pelayanan Satu Atap
Salah satu indikator pelayanan publik adalah persentase kabupaten/kota yang
memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap. Namun demikian, karena indikator yang
digunakan adalah peraturan daerah, maka meskipun terdapat beberapa kabupaten yang
telah melaksanakan pelayanan satu atap tetapi payung hukum yang digunakan baru sebatas
SK Bupati, maka dalam evaluasi ini tidak dimasukkan sebagai kabupaten/kota yang telah
memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap.
Upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik adalah
dengan perwujudan pelayanan satu atap yang kemudian dikembangkan menjadi pelayanan
satu pintu. Sepintas kedua konsep ini sama, namun apabila dicermati ternyata dalam
implementasinya berbeda. Dalam implementasi konsep pelayanan satu atap, kecenderungan
yang terlihat adalah sejumlah unit kerja ditempatkan dalam satu atap di lokasi tertentu, tetapi
dalam memberikan pelayanan setiap unit kerja tersebut bekerja sendiri-sendiri atau
menerbitkan izin sendiri. Sedangkan dalam konsep pelayanan satu pintu, keterpaduan
pemberian pelayanan lebih ditonjolkan, jadi berbagai jenis perizinan yang diurus oleh
masyarakat, pintu masuk dan keluarnya sama dan dikerjakan oleh aparat yang ditempatkan
pada kantor pelayanan (perizinan) terpadu tersebut.
Pada Grafik-5 terlihat bahwa peningkatan jumlah kabupaten/kota yang telah memiliki
peraturan daerah pelayanan satu atap/pintu sangat menonjol pada tahun 2008. Ini juga
21. 19
banyak dipengaruhi oleh terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.41 tahun
2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dimana sejumlah daerah memberikan respons
yang positif dan melakukan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan PP tersebut.
Pada Grafik-5 terlihat bahwa pada tahun 2008 persentase Kabupaten/Kota yang
memiliki Perda Perizinan Satu Atap meningkat sebanyak 30,47% dari tahun 2007, dimana
saat itu sebanyak 12 (52,17%) Kabupaten/Kota telah memiliki Perda Perizinan Satu Atap.
Peningkatan pada tahun 2007 tersebut erat kaitannya dengan kesadaran yang makin tinggi
Grafik-5: Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki Perda Satu Atap
Di Sulawesi Selatan.
pada pemerintah daerah tentang pentingnya investasi sehingga pelayanan satu atap
dilengkapi dengan standar prosedur pelayanan yang jelas menjadi upaya untuk mendorong
daya saing daerah bagi investasi. Khusus untuk pelayanan umum bagi masyarakat,
pemerintah daerah juga makin menyadari pentingnya pelayanan prima kepada masyarakat,
sehingga ketepatan waktu, keramahan layanan dan biaya murah dianggap penting untuk
diberikan dan wadah yang tepat adalah Kantor Pelayanan Satu Atap yang memiliki kekuatan
hukum dalam bentuk Perda. Ini yang menjadikan peningkatan Perda Pelayanan Satu Atap
dari hanya dua Kabupaten/Kota pada tahun 2004, menjadi tiga pada tahun 2005, empat
pada tahun 2006 dan lima pada tahun 2007 lalu meningkatan drastis menjadi 12 tahun 2008
dan bertahan hingga 2009.
22. 20
Peranan bantuan teknis yang diberikan sejumlah lembaga internasional juga cukup
besar dalam pelayanan satu atap yang dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota. Di Kota Pare-
pare misalnya, inisiatif menyelenggarakan pelayanan satu atap dan upaya peningkatan
kualitasnya secara berkelanjutan, amat dikontribusi oleh bantuan teknis dan pendampingan
sebuah lembaga internasional dan bersamaan dengan itu unit pelayanan ini dipimpin oleh
seorang pejabat yang memiliki visi jelas tentang pelayanan dan kapasitas SDM yang terus
ditingkatkan. Pencapaian Kota Pare-pare dalam pelayanan satu atap, dengan jumlah urusan
yang tertangani yang terus meningkat, telah menjadi inspirasi sejumlah daerah lainnya untuk
mengakselerasi pelayanan satu atap.
(3) Pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian
Berhubung data tentang opini laporan keuangan berdasarkan SKPD Provinsi tidak
tersedia, maka pada bagian ini evaluasi dilakukan terhadap data opini laporan keuangan unit
daerah yang menjadi sasaran evaluasi BPK-Sulawesi Selatan yakni Provinsi Sulawesi
Selatan sebagai satu unit dan masing-masing Kabupaten/Kota sebagai satu unit pula.
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang diperiksa oleh BPK Sulawesi Selatan
selama 2004-2009 jumlahnya bervariasi tiap tahun, karena itu perhitungan persentase LPKD
dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian dihitung berdasarkan jumlah unit LKPD yang
diperiksa BPK-Sulawesi Selatan pada tahun tersebut. Data yang bisa dianalisis mencakup
LKPD 2005-2008, hasil pemeriksaan 2004 dan 2009 tidak dapat ditampilkan datanya dalam
evaluasi ini. Gambaran tentang persentase LKPD yang mendapatkan opini Wajar Tanpa
Pengecualian, Wajar Dengan Pengecualian dan Disclaimer dapat dilihat pada Grafik-6.
Pada Grafik-6 terlihat bahwa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya tercapai
pada tahun 2005 oleh tiga dari 20 (15%) pemerintah Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa
pada tahun tersebut, setelah itu tidak ada lagi LKPD yang mendapatkan opini WTP hingga
2008.Opini yang terbanyak dicapai adalah Wajar dengan Pengecualian, paling banyak pada
tahun 2007 yakni 11 dari 14 Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa (87,5%) dan pada tahun
2008 yakni 100% dari sembilan Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa. Opini disclaimer
juga ditemukan, paling banyak pada tahun 2008 yakni empat diantara 13 (30,77%)
Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa tahun tersebut.
23. 21
Grafik-6: Persentase Hasil Pemeriksaan BPK dan Tingkatan Opini
Pada Grafik-6 terlihat bahwa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya tercapai
pada tahun 2005 oleh tiga dari 20 (15%) pemerintah Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa
pada tahun tersebut. Setelah itu tidak ada lagi LKPD yang mendapatkan opini WTP hingga
2008.Opini yang terbanyak dicapai adalah Wajar dengan Pengecualian, paling banyak pada
tahun 2007 yakni 11 dari 14 Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa (87,5%) dan pada tahun
2008 yakni 100% dari sembilan Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa. Opini disclaimer
juga ditemukan, paling banyak pada tahun 2008 yakni empat diantara 13 (30,77%)
Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa tahun tersebut.
Rendahnya persentase LKPD yang mendapatkan penilaian WTP terkait dengan
sejumlah faktor tetapi yang utama adalah soal SDM. SDM pemerintah daerah yang terkait
dengan perencanaan program/kegiatan, perencanaan keuangan, pelaksanaan kegiatan
hingga pelaporan keuangan; kompetensi dan kapasitasnya belum sepenuhnya sesuai
dengan kebutuhan pengetahuan, perilaku dan keterampilan yang dibutuhkan dalam
terciptanya konsistensi antara perencanaan program/kegiatan dengan perencanaan
keuangan; pencapaian efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program/kegiatan; pengelolaan
administrasi program/kegiatan yang sinergis dengan administrasi keuangan; ketepatan serta
ketajaman analisis laporan keuangan; dan kordinasi pelaporan diantara berbagai pelaksana
kegiatan dalam berbagai SKPD pada tiap daerah. Keterbatasan kapasitas dan kemampuan
SDM ini erat kaitannya dengan pelatihan dan pengembangan serta proses learning-
24. 22
organization yang belum optimal berlangsung dalam konteks dan substansi pelaporan
keuangan pada berbagai unit pemerintahan daerah. Selain itu, kesesuaian latar pengetahuan
ilmiah atas pegawai yang terkait dengan siklus perencanaan program kegiatan, perencanaan
keuangan, evaluasi program/kegiatan, serta pelaporan keuangan ikut berkontribusi
mengingat mekanisme perekrutan dan siklus mutasi yang pada beberapa kasus belum
sepenuhnya mempertimbangkan ketajaman kapasitas dan kompetensi tertentu termasuk
analisis dan pelaporan keuangan. Fenomena terkait keterbatasan jumlah dan kualitas SDM
ini mewarnai rendahnya penilaian WTP pada LKPD di Sulawesi Selatan selama 2005-2008.
(2) Demokrasi
1. Gender-related Development Indeks
Gender-related Development Indeks (GDI) sebagai indikator yang menunjukkan
kesetaraan dalam relasi gender pada berbagai aspek kehidupan, menunjukkan bahwa
pencapaian Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan pada periode 2004-2009.
Peningkatan tertinggi dicapai pada tahun 2006 (1,6 poin) dan 2007 (1,4 poin), sementara
pada tahun 2005 peningkatan hanya 0,5 poin, tahun 2008 sebesar 1,00 poin dan tahun 2009
sebesar 1,03 poin (Lihat Grafik-7). Periode ini juga ditandai dengan angka GID yang berhasil
menembus level nilai 60 sejak tahun 2007, berbeda dengan nilai GEM Sulawesi Selatan
yang pada 2004-2009 nilainya tertahan dibawah level 60 (Lihat Uraian tentang GEM). Dari
segi peringkat, pada tahun 2004 GDI Sulawesi Selatan berada pada peringkat 24, tahun
2005 peringkat 25, tahun 2006 peringkat 26, tahun 2007 dan 2008 peringkat 29, dan tahun
2009 kemungkinan bertahan pada peringkat 29. Dari segi peringkat nasional, pencapaian
GDI Sulawesi Selatan lebih rendah dari pencapaian GEMnya, meskipun dari segi nilai
pencapaian GDI lebih tinggi dari pencapaian GEM.
Pada periode 2004-2009, pencapaian tahun 2006-2009 menunjukkan fenomena
krusial, selain karena pada tahun itu tercapai peningkatan GDI tertinggi, juga pada tahun itu
nilai GDI menembus dan bertahan diatas nilai 60. Ada beberapa faktor terkait hal tersebut.
Pertama, secara sosial-budaya, pola pikir dan acuan nilai masyarakat Sulawesi Selatan
tentang relasi perempuan dan laki-laki memang telah semakin bergeser dari orientasi
patriarkat kearah yang semakin membuka ruang bagi keterlibatan perempuan pada berbagai
aktivitas di sektor publik. Ini ditandai dengan terbukanya peluang yang sama antara
perempuan dan laki-laki dalam mengakses pendidikan, yang dalam dekade terakhir porsi
murid perempuan relatif berimbang dengan murid laki-laki pada tingkat SD, SLTP hingga
25. 23
Grafik-7: Gender-related Development Index Provinsi Sulawesi Selatan 2004-2009
SLTA. Bahkan pada Perguruan Tinggi, terdapat kecenderungan mahasiswi lebih besar
porsinya dari mahasiswa. Ini seiring pula dengan tidak adanya lagi nilai dan norma yang
mengikat secara ketat untuk menempatkan perempuan hanya beraktivitas di sektor
domestik-dalam rumah tangga sementara hanya laki-laki yang memasuki sektor publik-luar
rumah tangga. Perubahan konstruksi sosial-budaya ini merupakan buah dari kemajuan
pendidikan, perkembangan interaksi sosial dan dinamika keterbukaan informasi yang
berlangsung secara gradual seiring proses pembangunan dan perkembangan.
Kedua, peningkatan nilai GDI juga merupakan dampak dari implementasi kebijakan
pemerintah. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan setiap tahun mengimplementasikan
Program Peningkatan Peran Serta Perempuan dan Kesetaraan Gender dengan kegiatan
utama pembinaan organisasi perempuan untuk kesetaraan gender dan peningkatan
keterampilan dan manajemen usaha bagi perempuan; Program Peningkatan Peran
Perempuan di Perdesaan dalam bentuk pembinaan dan penilaian lomba P2WKSS, BKB dan
GSI; selain itu juga melakukan penguatan bagi Pemenuhaan Hak-Hak Perempuan dan Anak,
Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan serta Peningkatan Peran
Perempuan dalam Pengambilan Keputusan. Intervensi sejenis juga diperankan sejumlah
Donor, LSM dan Perguruan Tinggi dalam berbagai kegiatan yang manfaat dan dampaknya
diharapkan berkontribusi pada pemberdayaan perempuan dan kesataraan gender (LAKIP,
2009).
26. 24
Ketiga, sebagaimana terlihat pada Grafik-8, peningkatan GDI Sulawesi Selatan
berjalan seiring dengan peningkatan IPM. Di sini tertunjukkan bahwa perbaikan kualitas
manusia dalam hal pengetahuan, kesehatan dan daya beli ternyata ada korelasinya dengan
semakin membaiknya kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan dalam proses interaksi
sosial, struktur kemasyarakatan dan pola-pola kekuasaan. Tentu saja ini dengan asumsi
bahwa pendidikan telah mengubah tata nilai dan norma masyarakat yang sebelumnya
patriarkat menjadi menerima prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki serta membuka
ruang bagi realisasi prinsip tersebut.
2. Gender Empowerment Measure
Pencapaian Gender Empowerment Measure (GEM) Provinsi Sulawesi Selatan selama
2004-2009 menunjukkan kecenderungan terus meningkat dengan pertambahan angka GEM
yang tidak terlalu berbeda dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005, GEM Sulawesi Selatan
meningkat 0,8 poin dari tahun 2004, dari tahun 2005 ke tahun 2006 meningkat 1,8 poin, dari
tahun 2006 ke tahun 2007 meningkat 0,8 poin, dari tahun 2007 ke tahun 2008 meningkat 0,3
poin dan dari tahun 2008 ke tahun 2009 meningkat 0,92 poin. Ini berarti bahwa peningkatan
terbesar tercapai pada tahun 2006 (1,8 poin) dan tahun 2009, sementara peningkatan
terendah pada tahun 2008 (0,3 poin) (Lihat Grafik-8). Dari segi peringkat nasional, peringkat
GEM Sulawesi Selatan cenderung menurun pada periode 2004-2009. Pada tahun 2005
peringkat GEM Sulawesi Selatan adalah 23, tahun 2006 dan 2007 turun ke posisi 25, tahun
2008 turun lagi ke posisi 26, dan tahun 2009 kemungkinan tetap pada peringkat 26. Artinya,
meskipun nilai GEM Sulawesi Selatan meningkat terus pada periode 2004-2009, tetapi
peningkatan nilai GEM Provinsi lain lebih tinggi, sehingga peringkat GEM Sulawesi Selatan
cenderung turun.
Sebagaimana diketahui, GEM ditentukan oleh tiga indikator utama yakni (1)
persentase perempuan di parlemen, (2) persentase perempuan yang bekerja sebagai
administrator dibanding perempuan yang bekerja sebagai manajer, (3) persentase
perempuan yang bekerja sebagai profesional dibanding yang bekerja sebagai pekerja teknis.
Mengacu pada tiga indikator ini, beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan GEM
Sulawesi Selatan dapat diuraikan sebagai berikut.
Faktor paling pokok dibalik peningkatan GEM pada 2006 dan 2009 dapat dilihat pada
persentase perempuan di DPRD Sulawesi Selatan. Indikator ini sangat penting, karena
DPRD adalah tempat dimana kebijakan/regulasi disusun, karena itu upaya mendorong
27. 25
keberdayaan gender amat strategis pada lembaga ini. Pada tahun 2006, persentase
perempuan di DPRD Provinsi mencapai 8% (enam orang dari total 75 anggota) sebagai hasil
Grafik-8: Pencapaian GEM Provinsi Sulawesi Selatan, 2004-2009
pemilu 2004, suatu peningkatan dari periode sebelumnya yang hanya dua orang dari total 50
anggota (4%). Pada tahun 2009, persentase perempuan di DPRD Sulawesi Selatan
meningkat menjadi 16% (12 orang dari total 75 anggota). Dengan demikian, peningkatan
GEM di Sulawesi Selatan sebagian besar dikontribusi oleh hasil pilihan rakyat atas legislator
perempuan yang porsinya makin besar. Namun demikian, kuota 30% perempuan di DRPD
tampaknya masih jauh.
Selain itu, organisasi birokrasi maupun dunia usaha juga semakin terbuka untuk
memberi ruang kepada perempuan dalam mengakses posisi tinggi. Pada tahun 2009,
pejabat perempuan untuk eselon II-a (Kepala Dinas dan Kepala Badan) pada Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 6,2% (dua diantara 32 orang), eselon II-b (Kepala Kantor
dan Kepala Biro) sebesar 3,4% (satu dari 29 orang), eselon III-a (Kasubdin/Kabid/Kabag)
sebesar 18% (47 dari 225 orang), eselon III-b (Kabag pada Kantor) sebesar 32% (delapan
dari 25 orang), eselon IV-a sebesar 34% (87 dari 294 orang) dan eselon IV-b sebesar 96%
(49 dari 51 orang).
Dengan demikian, pemilu yang semakin banyak menghasilkan anggota legislatif
perempuan, serta peningkatan kemampuan perempuan untuk bisa menempati level atas
pada organisasi dimana ia bekerja, merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
perbaikan nilai GEM Sulawesi Selatan.
28. 26
Berbagai program pembangunan terkait upaya pemberdayaan gender juga telah
berjalan signifikan di Sulawesi Selatan, baik yang dijalankan oleh Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten; maupun yang dijalankan oleh Lembaga Donor,
Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Kemasyarakatan dan Perguruan Tinggi. Pada
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten selama 2004-2009 telah
difokuskan upaya-upaya untuk memperkuat organisasi dan kelembagaan perempuan dalam
bentuk peningkatan kemampuan SDM dan pemberian bantuan teknis dan manajerial seiring
dengan upaya-upaya untuk mengarusutamakan berbagai aspek terkait gender dalam
perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan. Pendampingan dan advokasi untuk
mendorong kebijakan yang pro-gender juga telah didorong oleh sejumlah donor, LSM dan
perguruan tinggi selama periode tersebut.
Faktor terakhir yang patut diperhatikan adalah kaitan GEM dengan IPM.
Bagaimanapun, secara teroretis-filosofis, GEM adalah bagian dari upaya meningkatkan
kualitas manusia, dalam arti bagaimana manusia semakin terbuka pilihan-pilihan dalam
kehidupannya (choices) dan semakin mampu menyuarakan pilihan-pilihannya (voioces).
Pada Grafik-9 terlihat bahwa peningkatan GEM di Sulawesi Selatan cenderung seiring
dengan peningkatan IPM. Ketika nilai GEM mengalami peningkatan yang tinggi pada tahun
2006, saat itu IPM juga mengalami peningkatan yang tinggi, sementara terpeliharanya
peningkatan GEM dari 2006 hingga 2009 juga terkait dengan peningkatan IPM tertinggi pada
tahun 2007 yang terpelihara hingga 2009. Artinya, upaya pemberdayaan atau pencapaian
kesetaraan gender pada organisasi/kelembagaan pemerintah maupun non pemerintah
memiliki korelasi dengan tingkat pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat secara
umum.
Pada akhirnya harus tersadari bahwa meskipun berbagai faktor yang telah diuraikan ini
telah mempengaruhi atau berkorelasi dengan peningkatan nilai GEM Sulawesi Selatan pada
2004-2009, dilihat dari posisi relatif peningkatan tersebut dibanding peningkatan yang dicapai
Provinsi lain akselerasi peningkatan Sulawesi Selatan masih lebih rendah, sehingga
peringkat GEM nasional cenderung menurun. Faktor-faktor yang telah mendorong
peningkatan GEM selama ini perlu lebih signifikan lagi pengaruhnya atau diperlukan
bekerjanya faktor pendorong lain yang bisa lebih mendorong akselerasi.
29. 27
3. Rekomendasi Kebijakan
(1) Agar persentase kasus korupsi yang tertangani dibanding yang terlaporkan dapat lebih
besar, diperlukan peningkatan kapasitas pada lembaga kejaksaan terkait kecukupan
staf yang melayani kebutuhan data dan administratif seorang jaksa, kecukupan jumlah
jaksa dalam menangani kasus terlaporkan yang semakin besar jumlahnya, kecukupan
biaya operasional penanganan kasus, dan kecukupan sarana/fasilitas dalam
penanganan perkara. Dalam perspektif jangka panjang, masalah korupsi idealnya
didekati dengan upaya-upaya pencegahan terkait perbaikan sistem pelaporan dan
pengawasan, serta perbaikan remunerasi.
(2) Agar penyelenggaraan pembangunan berjalan lebih memenuhi norma transparansi dan
akuntabilitas, sehingga pelaporan keuangan SKPD atau pemerintah daerah
memperoleh penilaian wajar tanpa pengecualian, upaya perbaikan dapat didorong
dalam bentuk: (1) peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat pemerintah daerah
dalam formulasi rencana dan implementasi rencana yang memenuhi kriteria efektivitas
dan efisiensi yang baik; (2) peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat pemerintah
daerah dalam pelaporan pelaksanaan kegiatan yang menunjukkan konsistensi antara
perencanaan (RPJPD, RPJMD, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD) dengan
pelaksanaan kegiatan (APBD dan LAKIP); (3) dorongan keterbukaan data dan
informasi pembangunan sehingga terbuka akses bagi masyarakat, LSM dan media
dalam mengakses informasi pembangunan; (4) kordinasi intensif antar lembaga yang
terlibat dalam pengawasan pembangunan.
3. Pengarusutamaan gender dalam penyelenggaraan pembangunan perlu semakin
didorong bukan hanya dalam perspektif untuk mewujudkan kesetaraan laki-laki dan
perempuan dari segi jumlah/proporsi pada berbagai aspek dan tahapan pembangunan;
tetapi lebih substantif dari itu adalah bagaimana menyeimbangkan sifat-sifat
maskulinitas dan feminitas dalam pengelolaan pembangunan sehingga dengan itu
humanisasi dan keberlanjutan pembangunan lebih substantif dihubungkan dengan
perspektif gender.
C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
1. Indikator
Indikator yang menjadi basis evaluasi agenda peningkatan kesejahteraan rakyat
adalah: (1) Indeks Pembangunan Manusia, (2) Pendidikan mencakup Angka Partisipasi
Murni (SD/MI), Angka Partisipasi Kasar (SD/MI), Rata-rata nilai akhir SMP/MTs., Rata-rata
30. 28
nilai akhir SMA/SMK/MA., Angka Putus Sekolah SD., Angka Putus Sekolah SMP/MTs.,
Angka Putus Sekolah Sekolah Menengah., Angka melek aksara 15 tahun keatas.,
Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMP/MTs., Persentase jumlah guru yang layak
mengajar Sekolah Menengah, (3) Kesehatan mencakup Umur Harapan Hidup (UHH), Angka
Kematian Bayi (AKB), Prevalensi Gizi buruk (%), Prevalensi Gizi kurang (%), Persentase
tenaga kesehatan per penduduk, Keluarga Berencana, Persentase penduduk ber-KB
(contraceptive prevalence rate), Laju pertumbuhan penduduk, Total Fertility Rate (TFR), (4)
Ekonomi Makro mencakup Laju pertumbuhan ekonomi, Persentase ekspor terhadap PDRB,
Persentase output manufaktur terhadap PDRB, Pendapatan per kapita (dalam juta rupiah),
Laju inflasi, (5) Investasi mencakup Nilai Rencana PMA yang disetujui, Nilai Realisasi
Investasi PMA (US$ Juta), Nilai Rencana PMDN yang disetujui, Nilai Realisasi Investasi
PMDN (Rp Milyar), Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA, (6) Infrastruktur mencakup %
panjang jalan nasional dalam kondisi baik, sedang, dan buruk, % panjang jalan provinsi
dalam kondisi baik, sedang, dan buruk, (7) Pertanian mencakup Rata-rata nilai tukar petani
per tahun, PDRB sektor pertanian, (8) Kehutanan mencakup Persentase luas lahan
rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis, (9) Kelautan mencakup Jumlah tindak pidana
perikanan dan Luas kawasan konservasi laut (juta Ha), 10. Kesejahteraan Sosial mencakup
Persentase penduduk miskin dan Tingkat pengangguran terbuka.
Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan atas indikator-indikator tersebut
dapat dilihat pada Tabel-6 berikut.
Tabel-6: Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan atas indikator-indikator
Meningkatkan Kesejahteraan Sosial.
Nilai Indikator Sumber Data
No Indikator
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks BPS, 2009; *Angka
70,82*)
1. Pembangunan 67,80 68,06 68,81 69,62 70,22 proyeksi
Manusia
BPS, 2009; Ke-
Angka Partisipasi mendiknas, 2010;
2. 90,64 88,13 91,08 92,06 92,15 92,55*) Disdiknas Sulsel,
Murni SD/MI
2010;*Angka
proyeksi
BPS, 2009; Ke-
Angka Partisipasi *) mendiknas, 2010;
3. 103,28 101,43 107,70 108,56 109,25 110,83 Disdiknas Sulsel,
Kasar SD/MI
2010;*Angka
Proyeksi
33. 31
Persentase panjang
jalan nasional dalam
kondisi: LAKIP Pemprov
30. 57,92 72,21 71,60 11,25 64,94 46,91%
Sulsel, 2010.
Baik
Sedang 30,83 25,38 21,15 84,37 28,29 35,30
Buruk 11,24 2,41 7,25 4,38 6,77 17,79
Persentase jalan
provinsi dalam
kondisi:
31.
Baik 54,00 37,76 20,19 42,61 56,24 56,50 LAKIP Provinsi
Sedang 22,93 35,80 22,75 39,85 23,78 24,00 Sulsel, 2009.
Buruk 23,07 26,44 57,06 17,54 20,00 19,50
Nilai Tukar Petani
32. (rata-rata/tahun) 106,1 94,9 97,4 115,1 100,2 100,55 BPS Sulsel
PDRB Sektor Per-
BPS Provinsi
tanian (nilai M. dan 20.900,36 25.071,81 27.080,00
33. 14.124,24 16.188.36 18.513.26
(30,12) (29,40) (27,90)
Sulsel, 2007-
%) (31,90) (31,26) (30,40) 2009.
Persentase luas
lahan rehabilitasi Dishut Sullsel,
34. 2,36 2,76 2,54 2,54 2,54 5,16 2006, 2010
dalam hutan ter-
hadap lahan kritis
Jumlah tindak pidana
35. perikanan 9 10 11 2 20 10 Dinas Perikanan
Sulsel, 2010
Luas kawasan kon- Dinas Perikanan
36. 580.765 580.765 580.765 580.765 762.022 762.022
Sulsel, 2010
servasi laut (Ha)
Persentase pen-
37. 14,90 14,98 14,57 14,11 13,34 12,31 BPS, 2010.
duduk miskin
Tingkat penganggur-
38. 15,93 18,64 12,76 11,25 9,04 8,74 BPS, 2010.
an terbuka
2. Analisis Pencapaian Indikator
(1) Indeks Pembangunan Manusia
Pencapaian IPM Sulawesi Selatan mengalami peningkatan berarti dalam periode
2004-2009. Pada tahun 2009 IPM Provinsi ini sudah berada pada nilai diatas 70, artinya
kategori menengah-atas, sementara pada tahun 2004 masih berada pada kategori
menengah bawah yakni 67,8. Dari segi peringkat nasional, pada tahun 2004 Provinsi ini
34. 32
berada pada peringkat 21 tetapi pada tahun 2005 dan 2006 turun menjadi peringkat 23, dan
pada tahun 2007-2008 pada peringkat 21 dan pada 2009 peringkat 20. Artinya, baik dari segi
nilai maupun dari peringkat Sulawesi Selatan mencapai peningkatan signifikan dalam tiga
tahun terakhir.
Pada Grafik-9 terlihat bahwa peningkatan signifikan tercapai pada tahun 2007,
dimana IPM Sulawesi Selatan naik 0,81 poin dari tahun 2007, nilainya menembus angka 70
atau level IPM menengah-atas, peringkat nasional menduduki posisi 21 (Grafik-10). Setelah
itu, pada tahun 2008 IPM Sulawesi Selatan naik 0,6 poin, begitu pula pada tahun 2009 naik
0,6 poin, dan peringkat nasionalnya bertahan pada posisi 20.
Grafik-9: Perkembangan IPM dan Tingkat Kemiskinan di
Sulawesi Selatan, 2004-2009.
Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada peningkatan di tahun 2007 dan berhasil
bertahan hingga tahun 2009. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi meskipun
berfluktuasi dalam lima tahun terakhir, sementara inflasi cukup terkendali, sehingga daya beli
masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi ini terutama didorong oleh perkembangan
infrastruktur dan fasilitas yakni berfungsinya jalan tol yang menghubungkan pelabuhan
dengan bandara, berfungsinya bandara baru Sultan Hasanuddin, berkembangnya pusat
belanja dan hiburan, serta pelebaran jalan antara Kota Makassar dan Pare-pare yang
keseluruhannya mendorong aktivitas perekonomian. Sementara itu, pada sektor pertanian
khususnya tanaman pangan, yang penyerapan tenaga kerjanya cukup besar, peningkatan
35. 33
produksi dan produktivitas terus berjalan seiring dengan program Revitalisasi Pertanian
secara nasional dan Gerbang Emas (Gerakan Pengembangan Ekonomi Masyarakat) pada
periode 2004-2008, dilanjutkan dengan program pencapaian surplus beras dua juta ton dan
surplus jagung 1,5 juta ton. Pada produk unggulan lain, kakao yang produksinya menurun
hingga tahun 2008, setelah itu mengalami pembenahan dalam bentuk penanaman kembali
dan perlakuan sambung samping. Produk unggulan rumput laut yang menyerap tenaga kerja
cukup banyak pada hampir seluruh daerah pesisir di Sulawesi Selatan, juga cukup
berkembang dalam lima tahun terakhir. Keseluruhan unsur perekonomian rakyat ini telah
berkontribusi pada terpeliharanya daya beli sebagaian besar masyarakat Sulawesi Selatan.
Fenomena ini juga seiring dengan persentase penduduk miskin yang terus menurun
dari tahun 2004 hingga 2009. Sebagaimana diperlihatkan pada Grafik-11, mulai tahun 2006-
2007 persentase penduduk miskin Sulawesi Selatan mengalami penurunan secara moderat,
dan pada tahun 2008-2009 menurun lebih signifikan. Penurunan jumlah penduduk miskin
menunjukkan perbaikan pada daya beli masyarakat, dimana daya beli adalah salah satu
indikator pokok IPM.
Kedua, perbaikan pencapaian pada kondisi pendidikan. Pada periode 2007-2009,
angka melek huruf dan angka rata-rata lama sekolah penduduk Sulawesi Selatan cukup
meningkat. Selain merupakan dampak dari program wajib belajar sembilan tahun yang telah
berjalan sebelumnya, pencapaian ini juga dikontribusi oleh perhatian pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan bersama seluruh pemerintah Kabupaten pada pembangunan pendidikan,
dimana pada tahun 2008 hingga 2010 pendidikan gratis hingga SLTA menjadi prioritas
utama pemerintah. Selain itu, pemerintah Provinsi juga memberi beasiswa pendidikan S3 ke
luar negeri bagi pegawai negeri sipil dalam jumlah yang cukup besar, yang kalau mereka
sudah tamat menjadi faktor yang memperbesar angka rata-rata lama sekolah di Sulawesi
Selatan.
Ketiga, dalam hal angka harapan hidup, kinerja pembangunan kesehatan Sulawesi
Selatan memang telah menunjukkan pencapaian cukup baik selama ini. Pada periode 2008-
2010, dengan dicanangkannya Program Kesehatan Gratis oleh Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan disertai pembangunan rumah sakit untuk pasien kelas III yang digratiskan,
sementara pelayanan Jamkesmas oleh pemerintah pusat juga semakin baik, maka
diekspektasi bahwa pencapaian indikator angka kematian bayi, angka kematian ibu
melahirkan, serta angka harapan hidup sendiri, mengalami peningkatan.
36. 34
Dihubungkan dengan visi RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan yang mencanangkan
Sulawesi Selatan sebagai Provinsi 10 Terbaik dalam Pelayanan Hak Dasar di Indonesia,
pencapaian IPM di peringkat 20 pada tahun 2009 masih memerlukan akselerasi tinggi untuk
bisa mendekati posisi 10 besar. Peningkatan memang telah dicapai signifikan, tetapi
akselerasinya belum cukup untuk memenuhi target. Waktu tiga tahun yang tersisa, yakni
2010-2013, merupakan kesempatan bagi Provinsi ini untuk mengejar pencapaian visinya.
(2) Pendidikan.
Terdapat sepuluh indikator yang akan dikemukakan dalam menganalisis kinerja
pendidikan di Sulawesi Selatan, yang di dalamnya tercakup pendidikan dasar dan
menengah. Secara umum dari kesepuluh indikator tersebut, tujuh di antaranya menunjukkan
kecenderungan membaik, yaitu Angka Partisipasi Murni Tingkat SD, Angka Partisipasi Kasar
Tingkat SD, rata-rata nilai akhir tingkat SMP, rata-rata nilai akhir tingkat sekolah menengah,
Angka Melek Huruf (%), persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya tingkat
SMP, dan persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya tingkat sekolah
menengah. Kecenderungan memburuk yang diperlihatkan oleh angka-angkanya yang
meningkat adalah Angka Putus Sekolah Tingkat SMP (%) dan Angka Putus Sekolah Tingkat
Sekolah Menengah (%). Sementara Angka Putus Sekolah Tingkat SD (%) menunjukkan
ketidakstabilan yang ditunjukkan oleh nilainya yang fluktuatif dari tahun ke tahun.
1. Angka Partisipasi Murni (SD/MI)
Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat SD/MI, pada tahun 2005 mengalami
penurunan yang cukup besar dari 90,64 pada tahun 2004 menjadi 88,13 (Grafik-12). Setahun
kemudian, angka tersebut bisa dinaikkan kembali melampaui angka tertinggi yang dicapai
setahun sebelumnya menjadi 91,08, sebelum naik secara perlahan rata-rata di bawah satu
digit sampai tahun 2009.
Menurunnya APM tingkat SD/MI pada tahun 2005 tidak terlepas dari kenyataan
kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga miskin untuk bisa menyekolahkan anaknya
(Grafik-13). Pada saat itu Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi rendah,
sementara laju inflasi mencapai tingkat tertingginya. Di Makassar misalnya, laju inflasi saat
itu mencapai 15,20, jauh melambung dari tahun sebelumnya yang sebesar 6,47. Keadaan ini
jelas mengurangi daya beli masyarakat sehingga banyak diantara mereka yang hanya
berada sedikit di atas garis kemiskinan kembali terjatuh miskin.
Berdasarkan Grafik-10 tampaknya pendidikan anak-anak adalah salah satu aspek
yang terpaksa dikorbankan oleh kelompok keluarga miskin untuk bisa bertahan dalam
37. 35
kesulitan ekonomi seperti itu. Meskipun pada saat itu mulai diperkenalkan kebijakan inklusif
di bidang pendidikan, seperti adanya dana BOS, tetapi sosialisasi dan pelaksanaannya
belum sepenuhnya efektif dan menyentuh secara tepat semua kelompok miskin yang sangat
berkepentingan.
Angka Partisipasi Murni Tingkat SD/MI dan Persentase
Penduduk Miskin
90,00
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
2004
1 2005
2 2006
3 2007
4 2008
5 2009
6
Partisipasi murni tingkat SD/MI % penduduk miskin
Grafik-10: Perkembangan APM dan Kemiskinan di Sulawesi Selatan
(Sumber: BPS, 2010; Kementerian Diknas, 2010)
Untungnya penurunan APM tingkat SD/MI ini tidak berlangsung lama. Sejak tahun
2006 keadaan itu secara cepat bisa tertanggulangi dan terus mengalami pertumbuhan pada
tahun-tahun sesudahnya. Grafik juga menunjukkan bahwa sejak tahun 2006 kondisi
kemiskinan di Sulawesi Selatan juga perlahan bisa dikurangi, sehingga jumlah keluarga yang
tidak bisa membiayai pendidikan anggotanya juga bisa diperbesar.
2. Angka Partisipasi Kasar
Menurunnya angka partisipasi sekolah pada tahun 2005, juga terlihat pada Angka
Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI (Grafik-11). Pada tahun 2004, APK tingkat SD/MI
sebesar 103,28 dan turun menjadi 101,43 pada tahun 2005. Penyebab penurunan ini diduga
juga sama dengan yang mempengaruhi APM, yaitu faktor yang terkait dengan ekonomi
khususnya kemiskinan keluarga peserta didik.
38. 36
Hal yang membuat lonjakan APK pada tahun 2006 menarik adalah karena
peningkatannya yang jauh melebihi APM. Pada tahun 2006, APK telah menjadi 107,70, jauh
meninggalkan APM yang baru mencapai 91,08. Diduga kuat penyebabnya adalah
meningkatnya peserta didik baru pada jenjang SD/MI yang berasal dari mereka yang setahun
lalu terpaksa menunda niat mengikuti pendidikan dasar. Besaran APK yang semakin timpang
dengan APM, serta semakin tingginya APK di atas angka 100 menunjukkan membengkaknya
jumlah peserta didik pada jenjang sekolah dasar yang berusia tidak sesuai dengan jenjang
pendidikannya. Jika benar dugaan bahwa kesulitan ekonomilah yang menyebabkan keluarga
menunda memasukkan anggota keluarganya ke lembaga pendidikan, maka hal itu
mengindikasikan masih adanya kecenderungan keterlambatan mengikuti pendidikan dasar
pada sebagian anak-anak.
Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD/MI
112,00
110,00
108,00
106,00
104,00
102,00
100,00
98,00
96,00
2004
1 2005
2 2006
3 2007
4 2008
5 2009
6
Partisipasi kasar tkt SD/MI
Grafik-11: Perkembangan APK SD/MI (Sumber: Kementerian Diknas, 2010).
Berdasarkan data tahun 2008 dan data proyeksi tahun 2009, baik APM maupun APK
mulai menunjukkan peningkatan yang stabil. Jika APM berubah menjadi 92,55 pada tahun
2009 dari 92,15 tahun sebelumnya, maka APK naik perlahan dari 109,25 pada tahun 2008
menjadi 110,83 pada tahun 2009. Kondisi stabil ini terutama dipicu stabilitas ekonomi
masyarakat, serta dukungan kebijakan inklusif di bidang pendidikan dasar yang semakin
terjangkau dan merata.
39. 37
3. Rata-rata Nilai Akhir SMP/MTs
Rata-rata nilai akhir siswa SMP/MTs yang diukur melalui nilai ujian nasional pada
berbagai mata pelajaran, menunjukkan bahwa pencapaian siswa di Sulawesi Selatan terus
menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2004, rata-rata nilai akhir ujian nasional siswa
SMP/MTs adalah 4,83, lalu meningkat menjadi 5,95 dan bertahan selama tahun 2005 hingga
2007. Pada tahun 2008, nilai ujian akhir tersebut meningkat menjadi 6,44 dan pada tahun
2009 meningkat lagi menjadi 7,21. Dibalik peningkatan nilai tersebut, jumlah dan proporsi
siswa yang lulus ujian nasional juga terus meningkat dari tahun ketahun. Prestasi rendah
umumnya ditunjukkan oleh sekolah-sekolah swasta yang manajemen pembelajarannya
kurang baik, sementara pada sekolahh negeri prestasi rendah hanya ditunjukkan pada
kabupaten tertentu.
Ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas proses belajar-mengajar serta kualitas
dari berbagai unsur lainnya seperti guru dan sarana dan prasarana sehingga prestasi belajar
siswa terus meningkat. Salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan ini adalah adanya
peningkatan upaya yang nyata pada tingkat sekolah, terutama dalam memberikan tambahan
jam belajar kepada siswa pada tahun penyelenggaraan ujian nasional. Upaya-upaya ini
diduga terkait pula dengan adanya persaingan positif antar sekolah dan daerah karena hasil
ujian nasional selalu diberitakan luas setiap tahun; sekolah yang bagus prestasinya
mendapatkan pujian sementara sekolah yang prestasi ujian nasionalnya rendah
mendapatkan kritikan dari masyarakat.
Selain itu, pencanangan Gubernur Sulawesi Selatan atas Pendidikan Gratis, diikuti
dengan komitmen Bupati dan Walikota untuk mendukungnya, memang kemudian menuntut
konsekuensi bahwa dibalik penggratisan tersebut jangan sampai kualitas terkorbankan. Hal
ini direspons dengan perhatian yang tinggi pada kalangan Dinas Pendidikan Provinsi dan
Kabupaten/Kota dalam bentuk mendorong persiapan siswa sebaik-baiknya dalam
menghadapi ujian nasional.
4. Rata-rata Nilai Akhir SLTA/MA
Rata-rata nilai akhir siswa SLTP/MA juga mengalami peningkatan pada periode 2004-
2009. Pada tahun 2004, rata-rata nilai akhir siswa SLTA/MA adalah 5,58, angka ini terus
meningkat menjadi 6,05 tahun 2005, 6,25 tahun tahun 2006, turun menjadi 6,24 tahun 2007,
naik lagi menjadi 6,28 tahun 2008 dan pada tahun 2009 mencapai nilai 7,19. Beberapa
daerah seperti Kota Makassar, Kota Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan
Kabupaten Luwu Timur menunjukkan prestasi yang cukup konsisten.