SlideShare a Scribd company logo
1 of 15
PUASA, SARANA PEMBINAAN AKHLAK
DAN SIKAP UMMAT
Oleh: Endar Sudarjat PS
Hari demi hari, selama bulan Ramadhan, kita berupaya membentuk kepribadian
kita agar menjadi insan berakhlak mulia melalui pembiasaan meneladani sifat-sifat
Allah, karena dalam pandangan Islam, bahkan agama-agama samawi, tolak ukur
keluhuran akhlak adalah sifat-sifat Allah swt. yang tecermin dalam al-Asmâ’ al-
Husnâ.
Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan peta-Nya, demikian termaktub dalam
Perjanjian Lama (Kejadian: 26-27). Sedang dalam bahasa hadits Nabi Muhammad
saw.:
‫إن‬ ‫هللا‬ ‫لق‬ ‫خ‬ ‫آدم‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ه‬ ‫صورت‬
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas peta-Nya.”
Keduanya berarti manusia dianugerahi Allah potensi, yang bila diasah dan diasuh
dengan baik, akan menjadikannya berhasil meneladani sifat-sifat Tuhan sesuai
dengan kedudukannya sebagai makhluk.
Cara yang paling ampuh guna pembentukan akhlak adalah pembiasaan. Dengan
berpuasa itu kita berusaha membiasakan diri melakukan kegiatan-kegiatan yang
dapat mengantar kita merealisasikan pesan Nabi saw.:
‫قوا‬ ‫ل‬ ‫خ‬ ‫ت‬ ‫الق‬ ‫أخ‬ ‫ب‬ ‫هللا‬
“Berakhlaklah dengan akhlak Allah.”
Itu kita lakukan bermula dengan pengendalian diri dalam pemenuhan
kebutuhan fa‘ali; tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan hubungan suami
istri pada waktu tertentu, bahkan memberi pangan; karena Allah tidak makan dan
tidak minum—tapi memberi pangan—dan tidak juga memiliki pasangan. Lalu,
upaya itu ditingkatkan dengan meneladani sifat-sifat-Nya yang lain melalui
pembiasaan hati dan pikiran menghindari segala sesuatu yang berdampak negatif,
seperti angkuh, iri hati, culas, dan marah bukan pada tempatnya, sekaligus
membiasakan diri melakukan hal-hal positif, hingga pada akhirnya pembiasaan-
pembiasaan tersebut melahirkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional,
kecerdasan spiritual, bahkan kecerdasan-kecerdasan lainnya, seperti kecerdasan
memahami diri, orang lain, dan lingkungan. Puncaknya adalah kecerdasan
memahami wujud dan keesaan Allah, lalu menemukan dan menaati serta
mengagumiNya. Demikian itu syariah puasa, yang bila dilakukan dengan baik dan
benar, dapat mewujudkan manusia utuh yang berpadu dalam dirinya sifat-sifat
terpuji sejalan dengan al-Asmâ’ al-Husnâ, yakni sifat-sifat Allah yang Mahaindah dan
Maha Terpuji.
Memang, akhlak terbentuk melalui pembiasaan. Ia dibangun oleh pengetahuan,
pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman itu. Kepribadian dan karakter
yang baik merupakan interaksi seluruh totalitas manusia. Karakter terpuji
merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang yang
ditandai oleh sikap dan perilaku positif. Karena itu, ia berkaitan sangat erat dengan
kalbu. Bisa saja seseorang memiliki pengetahuanyang dalam, tetapi tidak memiliki
karakter dan akhlak terpuji, sebaliknya bisa juga seseorang yang amat terbatas
pengetahuannya, namun karakternya amat terpuji.
‫إن‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫سد‬ ‫ج‬ ‫ال‬ ‫ضغة‬ ‫م‬ ‫إذا‬ ‫لحت‬ ‫ص‬ ‫ح‬‫ل‬ ‫ص‬ ‫سد‬ ‫ج‬ ‫ال‬ ‫ه‬‫ل‬ ‫ك‬ ‫و‬ ‫إذا‬ ‫سدت‬ ‫ف‬ ‫سد‬ ‫ف‬ ‫سد‬ ‫ج‬ ‫ال‬ ‫ه‬‫ل‬ ‫ك‬ ‫ال‬ ‫أ‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫ه‬ ‫لب‬ ‫ق‬ ‫ال‬
“Sesungguhnya dalam diri manusia ada suatu “gumpalan”, kalau ia baik, baiklah seluruh
(kegiatan) jasad, dan kalau buruk, buruk pula seluruh (kegiatan) jasad. Gumpalan itu adalah
hati.”
Memang, ilmu tidak mampu menciptakan akhlak atau iman, ia hanya mampu
mengukuhkannya. Karena itu, mengasuh kalbu sambil mengasah nalar akan
memperkukuh karakter seseorang, apalagi jika didukung oleh pembiasaan
sebagaimana pembiasaan berpuasa.
Kita diperintahkan untuk mengumandangkan takbir pada hari Raya Idul Fithri,
hari kelahiran kembali fithrah kita. Bukan saja karena keyakinan akan Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah fithrah manusia, tetapi juga karena keyakinan itu adalah
“Al-Mabda’ dan Al-Maad “, adalah pangkalan tempat bertolak dan pelabuhan tempat
bersauh. Para nabi – kesemuanya tanpa kecuali – membangkitkan kesadaran
manusia tentang asal usul dan tujuan mereka. Dari mana mereka datang dan
kemana kesudahan mereka.
‫وا‬ ‫ول‬ ‫ق‬ ‫ال‬ ‫ه‬ ‫إل‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ‫هللا‬ ‫لحوا‬ ‫ف‬ ‫ت‬
“Hayatilah Lailah Illah Allah kalian akan memeroleh keberuntungan.”
‫ل‬ ‫ك‬ ‫امر‬ ‫ذي‬ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫ال‬ ‫بدء‬ ‫ي‬ ‫ه‬‫ي‬ ‫ف‬ ‫سم‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫هللا‬ ‫هو‬ ‫ف‬ ‫طع‬ ‫أق‬
“Segala aktivitas yang tidak dimulai dengan Basmalah maka aktivitas itu puntung.”
Memang, ilmuwan pun berpesan, “Mulailah aktivitas Anda dengan menghadirkan dalam
benak tujuan akhir Anda.” Demikian antara lain Steven R. Covey menyebutkan dalam
tujuh kunci suksesnya.
Perhatian utama yang dihujamkan oleh para Nabi adalah tanggung jawab atas
seluruh wujud yang terjangkau oleh manusia. Tanggung jawab kemasyarakatan
hanyalah sebagian darinya. Agama pun memberi tolok ukur baik dan buruk.
Tolak ukur akhlak mulia adalah sifat-sifat Allah Yang Maha Esa itu, yang hendaknya
diteladani oleh manusia sesuai kemampuan dan kapasitasnya sebagai mahkluk.
Itu agaknya salah satu sebab mengapa kita diperintahkan untuk melepas
Ramadhan dan menyambut ‘Idul Fithri dengan bertakbir dan bertahmid, yakni
menghunjamkan dalam lubuk hati dan pikiran kita yang terdalam tentang Allah dan
sifat-sifat-Nya, seperti Maha Kasih, Maha Pemaaf, Maha Damai, Maha Adil, Maha
Mengetahui, yang ُ‫ل‬َّ ‫ي‬َ ْ‫م‬ٍ ‫ي‬ُ‫و‬َ َُُِّ‫ي‬َ ْ‫ن‬‫و‬ٍ“Setiapsaat dalam urusan melayani kepentinganpenghuni
semua langit dan bumi” (QS. ar-Rahmân [55]: 29).
Masyarakat yang pandanganhidupnya adalah KetuhananYang Maha Esa, tidak dapat
menjadikan kekuatan “si kuat” sebagai tolok ukur kebajikan dan akhlak mulia,
karena TuhanYang Maha Esa itu, bukan hanyaTuhan buat mereka yang kuat, tetapi
juga Tuhan mereka yang lemah. Memang, boleh jadi pembela pandangan ini akan
berkata bahwa kekuatan nurani harus dapat menghancurkan tirani, dan dari sini
kekuatan tetap menjadi tolok ukur akhlak mulia. Namun demikian, mereka lupa
bahwa membela orang sakit berbeda dengan membela penyakit, dan bahwa
memelihara yang sakit adalah sekaligus memelihara yang sehat, memelihara yang
lemah justru merupakan pembelaan bagi yang kuat. Di sisi lain, agama tidak
memuji kelicikan untuk meraih kekuatan atau kemenangan, bahkan agama menilai
yang kalah dalam persaingan dan menerimanya secara ksatria lebih terpuji
daripada yang menang dan meraih kekuatan dengan cara licik dan tidak sportif.
Nilai yang dikandung oleh kalimat takbir yang kita kumandangkan ini merupakan
satu prinsip lengkap menembus semua dimensi yang mengatur seluruh khazanah
fundamental keimanan dan aktivitas manusia. Dia adalah pusat yang beredar di
sekelilingnya sejumlah orbit unisentris. Ia serupa dengan matahari yang beredar di
sekelilingnya planet-planet tata surya. Di sekeliling Tauhid itu beredar kesatuan-
kesatuan yang tidak boleh berpisah atau memisahkan diri dari Tauhid,
sebagaimana halnya planet-planet tata surya itu.
Kenyataan membuktikan bahwa kesadaran akan kehadiran Allah selalu
berdampingan dengan keadilan, yakni penempatan segala sesuatu pada
tempatnya. Apabila keadilan telah terpenuhi, maka tidak ada lagi seseorang yang
lebih kuat daripada yang lain, karena semua telah menjadi kuat dengan dan
bersama Allah:
‫ي‬‫قو‬ ‫ال‬ ‫كم‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫يف‬ ‫ضع‬ ‫ى‬ ‫ت‬ ‫ح‬ ‫آخذ‬ ‫حق‬ ‫ال‬ ‫ه‬‫ن‬ ‫م‬ ‫يف‬ ‫ضع‬ ‫وال‬ ‫كم‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ي‬‫و‬ ‫ق‬ ‫ى‬ ‫ت‬ ‫ح‬ ‫أرد‬ ‫حق‬ ‫ال‬ ‫ه‬‫ي‬ ‫إل‬
“Yang kuat di antara kamu lemah, sampai aku merebut kembali hak pihak lain yang
dirampasnya dan yang lemah menjadi kuat sampai haknya yang dirampas kembali kepadanya.”
Demikian antara lain ucap Sayyidina Abubakar ash-Shiddiq ketika menerima
tanggung jawab menerima jabatan Khalifah .
Allah berpesan:
‫و‬
َ
‫ال‬َ‫و‬ ‫وا‬
‫ك‬
ُ‫و‬
‫ك‬
‫ك‬
َ
‫ت‬ ‫و‬َ‫يا‬ َّ‫ذ‬
ِ
‫ال‬
َ
‫ك‬ ‫وا‬ ‫ك‬‫س‬
َ
‫ا‬ ‫و‬
َ ِ
‫اه‬ ‫و‬َ‫م‬ ‫ك‬‫ان‬ َ‫س‬
َ
‫ا‬
َ
‫أ‬
َ
‫ف‬ ‫و‬َ‫م‬‫ك‬‫ه‬ َ‫س‬
‫ك‬
‫ف‬
َ
ُ
َ
‫أ‬ ‫و‬
َ
‫و‬ ََّ
َ
‫ول‬
‫ك‬
‫أ‬ ‫و‬‫ك‬‫م‬ ‫ك‬‫ن‬ ‫و‬
َ
‫ن‬‫و‬
‫ك‬
‫ق‬ َِّ‫ا‬
َ
‫ف‬
َ
‫ال‬
“Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah atau kelupaannya
menjadikan mereka lupa diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. al-
Hasyr [59]: 19).
Ini juga menjadi sebab mengapa dalam ‘Idul Fithri—“hari kembali kepada jati
diri”—kita diperintahkan untuk mengumandangkan kalimat takbir agar kita tidak
melupakan jati diri kita sebagai makhluk yang menyatu dalam dirinya debu tanah
dan ruh Ilahi.
Dengan menyatunya jiwa dan raga, menyatu pula ucapan dengan bisikan hati, kata
dengan perbuatan dan langkah menuju tujuan. Perpaduanruh dan jasad dalam diri
manusia mengantarnya menjadi manusia utuh sehingga tidak terjadi pemisahan
antara keimanan dan pengamalan agama, tidak juga antara perasaan dan perilaku,
perbuatan dengan moral, idealitas dengan realitas, dunia dengan akhirat. Akan
tetapi, masing-masing merupakan bagian yang tak terpisahkan dan saling
melengkapi. Jasad tidak mengalahkan ruh dan ruh pun tidak merintangi kebutuhan
jasad. Kecenderungan individu memperkukuh keutuhan kolektif dan kesatuan
kolektif mendukung kepentingan individu. Pandangan tidak hanya terpaku di bumi
dan tidak juga hanya mengawang-awang di angkasa.
Manusia yang ber-‘Idul Fithri, atau dengan kata lain, yang menyatu kepribadiannya
akan ditemukan teguh dalam keyakinan. Teguh tetapi bijaksana, senantiasa bersih
menarik walau miskin, selalu hemat dan sederhana walau kaya, murah hati dan
murah tangan, tidak menghina dan tidak mengejek, tidak berjalan menyebarkan
fitnah, tidak menghabiskan waktu dalam permainan, tidak menuntut yang bukan
haknya dan tidak menahan hak orang lain. Ucapannya melipur lara, membawa
manfaat. Diamnya pertanda tafakkur dan pandangannya alamat i’tibar. Bila
beruntung ia bersyukur, bila diuji ia bersabar, bila bersalah ia istighfar, kalau
ditegur ia menyesal, dan kalau dimaki ia berucap: “Bila makian Anda benar maka
semoga Allah mengampuniku, dan bila keliru maka kumohonTuhanmengampuni”.
Demikian menyatu seluruh tuntunan kebaikan menyatu dalam dirinya, lahir dan
batin!
Kesadaran akan Wujud dan Keesaan Allah itulah yang menghasilkan Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, dan yang menurut filosof dan ulama Islam kenamaan
Muthahary merupakan peringkat kedua ajaran Islam. Manusia bukanlah hewan
yang yang memertahankan hidupnya secara licik dan memusnahkan yang lain
dalam perjuangan hidup. Ia adalah makhluk yang tercipta dari ruh Ilahi
yang memiliki kesadaran tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa, sehingga walau ia
tercipta dari debu tanah, yang mengantarnya cenderung untuk berlezat-lezat
jasmani bahkan merusak atau berbuat kejahatan, tetapi dia dikarunia juga kesucian
yang sungguh bertentangan pertumpahan darah, kepalsuan , kekejian
dan kehinaan.
Kemanusian yang adil dan beradab itulah yang mendorong Persatuan,
menumbuhsuburkan Kerakyatan, dan membuahkan Keadilan Sosial. Kesadaran
tentang nilai-nilai tersebut, yang merupakan salah satu sebab mengapa dalam
rangkaian ‘Idul Fithri, setiap Muslim, kecil atau besar, kaya atau miskin,
berkewajiban menunaikan Zakat Fithrah yang merupakan simbol dan pertanda
kepedulian sosial dan lambang kesediaan memberi hidup bagi orang lain.
Saudara! Nilai-nilai agama dan moral memiliki aneka fungsi. Pertama, menjadi
pendorong bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kedua, ia merupakan
kekuatan penunjang bagi peningkatan partisipasi dan kreasi anggota masyarakat.
Dan Ketiga, menjadi isolator yang membendung dan/atau menyeleksi ide dan
paham yang dibawa masuk oleh era globalisasi. Ketiga hal ini kait-berkait. Kalau
diibaratkan dengan listrik, yang pertama adalah penambahan daya, yang kedua
adalah kesinambungan cahaya, sedang yang ketiga adalah pemeliharaannya.
Nilai-nilai moral dan kepercayaan itu juga yang mengundang kepercayaan pihak
lain, yangpada gilirannya membuahkan integritas pelaku, trust (kepercayaan) pihak
lain, bahkan reputasi masyarakat bangsa. Itulah yang kini populer dinamai modal
sosial.
Kalau dalam menetapkan kewajiban puasa -hari demi hari- al-Qur’an menyatakan
bahwa tujuannya adalah “La‘allakum Tattaqûn” ( ‫و‬َ‫م‬
‫ك‬
‫ك‬
ِ
‫ل‬َ‫ع‬
َ
‫ل‬ ‫و‬
َ
‫ن‬‫و‬
‫ك‬
‫ق‬
ِ
‫ن‬
َ
‫ت‬ ) dalam arti agar kita
menghindari segala yang berpotensi membawa bencana duniawi dan ukhrawi,
maka dalam konteks penyelesaian kewajiban puasa sebulan penuh dan hadirnya
Idul Fithri, dinyatakan-Nya: “Wa La‘allakum Tasykurûn” ( ‫و‬َ‫م‬
‫ك‬
‫ك‬
ِ
‫ل‬َ‫ع‬
َ
‫ل‬َ‫و‬ ‫و‬
َ
‫ون‬‫ك‬‫ر‬
‫ك‬
‫ك‬
َ
‫ن‬
َ
َ ), yakni “dengan
harapan kamu bersyukur” (QS. al-Baqarah [2]: 185).
Syukur pada mulanya digunakan oleh bahasa aslinya (baca: bahasa Arab) untuk
menunjuk tumbuhan yang hanya memperoleh sedikit air namun tumbuh subur
mempersembahkan yang banyak. Dari sini syukur dipahami dalam arti sikap batin
seseorang, yang bila menerima sesuatu dari siapa pun, kendati sedikit, namun ia
menganggapnya banyak, dan bila memberi sesuatu, kendati banyak, ia masih
menganggapnya sedikit. Sikap ini pada gilirannya menjadikannya beraktivitas
positif untuk memanfaatkan semua nikmat yang diperolehnya sesuai dengan
tujuan penganugerahan nikmat itu. Karena itu para pakar berkata: “Setiap jengkal
tanah yang terhampar di bumi, setiap embusan angin yang bertiup di udara, setiap
tetes hujan yang tercurah dari langit, semua harus disyukuri dan dimanfaatkan
sebisa mungkin, karena semua akan dipertanggungjawabkan kelak di Hari
Kemudian; “Tsumma Latus’alunna Yauma’idzin ‘anin Na‘îm” (‫و‬ِ‫م‬
‫ك‬
َّ ‫و‬ِ‫ا‬
‫ك‬
‫ل‬
َ
‫أ‬ َ‫س‬
‫ك‬
‫ن‬
َ
‫ل‬ ‫و‬َ‫ذ‬َََّ‫م‬َ‫و‬َ‫ي‬ ‫و‬َّ‫ا‬َ‫ع‬
‫و‬َّ‫ن‬ َّ‫يم‬َّ‫ع‬
ِ
‫الن‬ ) (Q.S.al-Takatsur [102]:8
Kalau kita pandai bersyukur, kita akan giat bekerja menanggulangi problema kita
sesuai dengan hakikat makna syukur sehingga kesejahateraan dapat merata dan
bertambah sesuai janji Allah yang diumumkan-Nya;
‫و‬
َ
‫ن‬َّ‫ن‬
َ
‫ل‬ ‫و‬َ‫م‬
‫ك‬
‫ت‬َ‫ر‬
َ
‫ك‬
َ
ْ ‫و‬َ‫م‬
‫ك‬
‫ك‬
ِ
ُ
َ
‫َّد‬َُّ
َ َ
ْ
“Jika kamu bersyukur pasti Kutambah nikmat-Ku” (QS. Ibrâhîm [14]: 7). Ini pada
gilirannya akan mengurangi keluhan yang kita dengar atau cetuskan.
Kalau kita pandai bersyukur, kita akan mengakui persembahan pihak lain, walau
persembahan itu sedikit, bukannya menafikannya dan menilainya nihil atau sedikit,
karena ‫ما‬ ‫ال‬ ‫كر‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫ناس‬ ‫ال‬ ‫ال‬ ‫كر‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫هللا‬ “Siapa yang tidak pandai bersyukur kepada
manusia, maka dia tidak dinilai bersykur kepada Allah.”
Itulah sebagian nilai-nilai yang digarisbawahi al-Qur’an dalam konteks puasa dan
‘Idul Fithri. Nilai-nilai yang bila diindahkan tidak hanya membuahkan budi pekerti
luhur tetapi juga kesejahteraan lahir dan batin.
Kemajuan ekonomi sangat penting, tetapi yang harus didahulukan serta selalu
berbarengan dengan upaya peningkatannya adalah nilai-nila agama dan moral.
Pandangan ini bukan hanya dicetuskan oleh sekian banyak ulama dan pakar
Muslim, tetapi juga telah diteriakkan oleh pakar-pakar filsafat Barat dan pemerhati
sosial.
Auguste Comte (1798-1798 M ), filosof Prancis, bersama sekian banyak pemikir
lainnya, ketika menyadari betapa materialisme dan kebebasan pribadi telah
sedemikian merasuk dalam masyarakat Prancis setelah revolusi, menyatakan
bahwa:
“Sekian banyak kekuatan, selain kekuatan ekonomi dan politik, yang harus mendapat
perhatian; bahkan, perbaikan di bidang ekonomi dan politik bergantung pada perbaikan di
bidang akhlak. Karena itu pula yang terlebih dahulu harus diperbaiki—sebelum yang lain—
adalah akhlak.”
Nilai-nilai akhlak dan moral melahirkan modal sosial yang akan mampu
memfungsikan ekonomi modern dan membentuk institusi politik yang bersih dan
benar. Sebaliknya, mengabaikannya merupakan benih kehancuran masyarakat:
‫ما‬ ُ‫إ‬ ‫م‬ ‫اْم‬ ‫الق‬ ‫اْخ‬ ‫ما‬ ‫يت‬ ‫ق‬ ‫ب‬ ‫إن‬ ‫ف‬ ‫مو‬‫ن‬ ‫بت‬ ‫ذن‬ ‫هم‬ ‫الق‬ ‫أخ‬ ‫بوا‬ ‫ذن‬
Maksudnya:
“Kelanjutan eksistensi satu masyarakat ditentukan oleh tegaknya moral anggota masyarakat
itu dan kepunahannya terjadi pada saat keruntuhan moralnya.”
Kalau nilai-nilai moral terabaikan, maka yang menonjol adalah ego masing-masing,
dan ketika itu bagi masyakarat tersebut akan terjadi apa yang diistilahkan oleh al-
Qur’an dengan “Habithat A‘mâluhum” (‫طت‬‫ب‬ ‫ح‬ ‫هم‬ ‫)أعمال‬ , yakni terjadi “pembengkakan”
pada sosok masyarakat, yang secara lahiriah diduga sebagai tanda
kesehatan/kemajuan, padahal pembengkakan itu adalah tumor ganas yang
mengantar kematiannya.
Persoalan yang kita hadapi bukannya ketiadaan nilai yang dapat mensejahateraan
kita, tetapi ketidak atau kekurang mampuan kita merekat nilai-nilai tersebut dalam
diri dan kehidupan bermasyarakat. Memang masyarakat bukan sekadar kumpulan
sekian banyak individu, tetapi masyarakat adalah kumpulan sekian banyak
individu yang terbentuk berdasar tujuan bersama. Ini karena setiap individu lahir
dalam keadaan hampa budaya, lalu masyarakatnya yang membentuk budayanya.
Budayanya itu lahir dari nilai-nilai yang mereka anut.
Nilai-nilai itulah yang membentuk kepribadian anggota masyarakat; semakin
matang dan dewasa masyarakat, semakin mantap pula pengejawantahannilai-nilai
tersebut. Masyarakat yang belum dewasa adalah yang belum berhasil dalam
pengejewantahan nilai-nilainya, sedang masyarakat yang sakit adalah yang
mengabaikan nilai-nilai tersebut.
Untuk menyukseskan misi Nation and Character Building, kita tidak harus memulai
dari sesuatu yang besar dan luas. Kita juga tidak harus memulai langkah kita
dengan merambah ke dan di dalam wilayah yang bukan wilayah kita. Kita dapat
memulainya dari diri kita masing-masing, lalu keluarga kita, serta apa yang berada
dalam wewenang dan tanggung jawab kita. Itu pun kita lakukan dengan
pembiasaan sehingga tanpa terasa ia menjadi kebiasaan dan ketika itu akan kalah
bisa oleh biasa.
Salah satu kekurangan—kalau enggan berkata kekeliruan—kita dewasa ini adalah
melakukan pemisahan antara dimensi jasadiah manusia dan dimensi ruhaniahnya,
sehingga lahir manusia-manusia yang terpecah kepribadiannya. Bahkan, tidak
jarang masyarakat kita melakukan pembiasaan-pembiasaan yang menciptakan
dorongan bagi lahirnya karakter yang tidak sejalan dengan jati diri kita sebagai
bangsa yang religius dan berfalsafah Pancasila.
Ada orang, bahkan ada masyarakat, yang sakit tetapi sadar bahwa mereka sakit.
Ada juga yang sakit, tetapi tidak menyadari penyakitnya. Yang lebih parah lagi
adalah mereka sakit, para dokter pun telah mendiagnosis dan memberinya obat
yang tepat, obatnya sudah di tangan mereka, tetapi mereka enggan menelannya.
Tetapi masyarakat yang amat sangat kronis penyakittnya adalah yang obatnya
dibuang atau dia lecehkan. Ini dikecam keras oleh Al-Quran. Umat Islam
diperintahkan menghindari mereka:
‫و‬َّ‫ر‬
َ
‫ذ‬َ‫و‬ ‫و‬َ‫يا‬ َّ‫ذ‬
ِ
‫ال‬ ‫وا‬
‫ك‬
‫ذ‬
َ
‫خ‬
ِ
‫ات‬ ‫و‬َ‫م‬‫ك‬ََُ‫ي‬ َّ‫د‬ ‫ا‬َ‫ب‬َّ‫ع‬
َ
‫ل‬ ‫ا‬َ‫و‬َ‫ه‬
َ
‫ل‬َ‫و‬ ‫و‬‫ك‬‫م‬‫ك‬َ
َ
‫ت‬ِ‫ر‬
َ
‫م‬َ‫و‬ ‫و‬
‫ك‬
ْ‫ا‬َ‫ي‬ َ‫ح‬
َ
‫ال‬ ‫ا‬َ‫ي‬
َ
ُ
ْ
‫الد‬
Tinggalkanlahorang-orang yang menjadikan agama /pandangan hidup mereka sebagai bahan
permainan dan senda-gurau, Mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. (Q.S. al-An’am
:[6]:70).
Semoga masyarakat kita tidak termasuk yang dimaksud oleh ayat ini. Namun
bagaimanapun keadaan satu masyarakat – kronis penyakitnya atau ringan– yang
pasti adalah kita harus yakin dan optimis bahwa kebenaran dan kebaikan adalah
poros sistem wujuddan masyarakat manusia, danbahwa kejahatan, kepalsuan dan
kemunkaran tidak memiliki kenyataan mendasar dan tidak memiliki topangan
internal. Tokoh-tokoh kemunafikan diibaratkan oleh Al-
Quran bagaikan “khusyubun musan-nnadah“ (‫نب‬ ‫خ‬ ْ‫ند‬ ‫س‬ ‫)م‬ – kayu yang tegak karena
ditopang oleh faktor eksternal. Ia adalah pohon tanpa akar, sehingga kalau ia
wujud, wujudnya kebetulan dan bersifat sementara. Ia diibaratkan oleh Al-Quran
sebagai buih yang menyertai arus.
‫ا‬ِ‫م‬
َ
‫أ‬
َ
‫ف‬ ‫و‬
‫ك‬
‫د‬َ‫ب‬ِ‫الد‬ ‫و‬‫ك‬‫ب‬ َ‫ن‬
َ
‫ذ‬َ‫ي‬
َ
‫ف‬ ‫و‬َ‫اء‬
َ
‫ف‬ ‫ك‬ً ‫ا‬ِ‫م‬
َ
‫أ‬َ‫و‬ ‫ا‬َ‫م‬ ‫و‬‫ك‬‫ع‬
َ
‫ف‬
َ
‫ن‬َ‫ي‬ ‫و‬َ‫اس‬
ِ
‫الن‬ ‫و‬
‫ك‬
‫ي‬
‫ك‬
‫ك‬َ‫م‬َ‫ي‬
َ
‫ف‬ ‫ي‬َّ‫ف‬ ‫و‬َّ‫أ‬َ‫ر‬
َ َ
ْ‫ا‬ ‫و‬
َ
‫و‬ َّ‫ل‬
َ
‫ذ‬
َ
َ ‫و‬‫ك‬‫ض‬َّ‫ر‬
َ
‫ض‬َ‫ي‬ ‫و‬
‫ك‬ ِ
‫اه‬ ‫و‬َ‫ال‬
َ
َْ‫م‬
َ َ
ْ‫ا‬
Adapun buih maka ia akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; sedangkan yang
memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan (Q.S. ar-Ra’ed [13]:17).
Karena itu kita semua, masyarakat luas lebih-lebih pemimpin formal dan
nonformal, harus dapat menanamkan optimisme dengan bekerja keras
menjelaskan nilai-nilai luhur yang kita anut, antara lain, melalui keteladanan serta
pembiasaan-pembiasaan positif. Dalam pandangan agama: “Tuhan memberi
kemampuan kepada Pemerintah meluruskan yang keliru serta mendorong kepada kebenaran
melebihi kemampuan tuntunan-tuntunan-Nya yang termaktub dalam kitab suci”.
‫إن‬ ‫هللا‬ ‫زع‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫طان‬‫ل‬ ‫س‬ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫ما‬ ‫ال‬ ‫دع‬ ‫ي‬ ‫آن‬‫ر‬‫ق‬ ‫ال‬ ‫ب‬
“Sesungguhnya Allah mencegah melalui penguasa apa yang tidak tercegah melalui al-
Qur’an.”
Yakni melalui kekuasaan yang bijaksana dan kekuatan yang yang berada dalam
wewenang mereka, sekian banyak hal dapat tercapai atau tertanggulangi. Karena
itu, kata orang-orang bijak:
‫و‬ ‫ل‬ ‫ت‬ ُ‫ا‬ ‫ك‬ ‫نا‬ ‫ل‬ ْ‫دعو‬ ‫ة‬ ‫نجاب‬ ‫س‬ ‫م‬ ‫ا‬ ُ‫دعو‬ ‫ل‬ ‫َا‬ ‫ب‬ ‫نا‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ْئ‬
“Seandainya kami tahu persis bahwa ada satu doa kami yang pasti dikabulkan Allah, maka itu
akan kami gunakan untuk mendoakan pemimpin-pemimpin-kami.”
Mari kita berdoa semoga para pemimpin kita selalu mendapat bimbingan dan
kekuatan dari Allah swt sehingga diperlihatkan kepada mereka kebenaran dan
diberi kemampuan untuk melaksanakannya dan diperlihatkan juga keburukan dan
diberi kemampuan untuk menghindari dan menghindarkan masyarakat darinya.
Nabi Muhammad saw. bersabda: ‫ا‬ ‫دي‬ ‫ال‬ ‫يحة‬ ‫ص‬ ‫ن‬ ‫ال‬ “Agama adalah ketulusan.” Ketika
Beliau ditanya: “Terhadap siapa tertuju ketulusan itu? Beliau menjawab: “Kepada
Allah, kepad Kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada pemimpin-pemimpin, dan kepada
masyarakat luas.”
Mari bersikap tulus kepada pemimpin-pemimpin kita sebagaimana kita mengharap
agar mereka pun tulus kepada kita, masyarakat luas. Mari kita dukung mereka
dengan tulus dalam kebenaran dan menegur mereka dengan halus bila mereka
keliru.
‫ى‬‫ق‬ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫ود‬ ‫ال‬ ‫ما‬ ‫ي‬‫ق‬ ‫ب‬ ‫ناض‬ ‫ع‬ ‫ال‬
“Keharmonisan hubungan akan tetap terjalinselama masih ada kritikmembangun yang sopan
dan halus.”
Mari kita jadikan bulan Ramadhan dan ‘Idul Fithri, sebagai momentum untuk
membina dan memperkukuh ikatan kesatuan dan persatuan kita, menyatu padukan
hubungan kasih sayang antara kita semua, sebangsa dan setanah air.
Hidup di dunia ini hanya sementara. Kita tak tahu kapan kita dipanggil Allah. Mari
kita mengukir nama baik kita dan nama baik bangsa kita agar langgeng sepanjang
masa, bahkan langeng dalam kehidupan di akhirat. Marilah dengan hati terbuka,
dengan dada yang lapang, dan dengan muka yang jernih, serta dengan tangan
terulurkan, kita saling maaf memaafkan, sambil mengibarkan bendera as-Salâm,
bendera kedamaian di tanah air tercinta, bahkan di seluruh penjuru dunia.
‫لهم‬ ‫ال‬ ‫ت‬ ‫أن‬ ‫الم‬‫س‬ ‫ال‬ ‫نك‬ ‫وم‬ ‫ال‬‫س‬ ‫ال‬ ‫م‬ ‫يك‬ ‫وإل‬ ‫الم‬‫س‬ ‫عودال‬ ‫ي‬ ‫نا‬ ‫ي‬ ‫ح‬ ‫ف‬ ‫نا‬ ‫رب‬ ‫الم‬‫س‬ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫نا‬ ‫ل‬ ‫وادخ‬ ‫نة‬ ‫ج‬ ‫ال‬ ‫دار‬ ‫ال‬‫س‬ ‫ال‬ ‫م‬
‫ت‬ ‫بارك‬ ‫ت‬ ‫نا‬ ‫رب‬ ‫و‬ ‫يت‬ ‫عال‬ ‫ت‬ ‫اذا‬ ‫ي‬ ‫الل‬‫ج‬ ‫ال‬ ‫رام‬ ‫واإلك‬
“Ya Allah, Engkaulah as-Salâm (kedamaian), dari-Mu bersumber as-Salâm, dan kepada-Mu
pula kembalinya, Hidupkanlah kami, Ya Allah, di dunia ini dengan as-Salâm, dengan aman
dan damai, dan masukkanlah kami kelak di negeri as-Salâm (surga) yang penuh kedamaian,
Mahasuci Engkau, Mahamulia Engkau, Yâ Dzal Jalâli wal Ikrâm”.
By: Endar Sudarjat, S.Pd.Kn
Pesan untuk peserta didik saat SANLAT 1435H
Di Kampus SMPN 5 Majalengka

More Related Content

What's hot

Power point pgpr pai kelas ix 2019 (1)
Power point pgpr pai kelas ix 2019 (1)Power point pgpr pai kelas ix 2019 (1)
Power point pgpr pai kelas ix 2019 (1)AbdulWafi38
 
Ppt akhlak & kepribadian seorang muslim
Ppt  akhlak & kepribadian seorang muslimPpt  akhlak & kepribadian seorang muslim
Ppt akhlak & kepribadian seorang muslimKalisthiana Yi Ku
 
power point akidah akhlak "berilmu"
power point akidah akhlak "berilmu"power point akidah akhlak "berilmu"
power point akidah akhlak "berilmu"avianinuravivah
 
Ppt asmaul husna
Ppt asmaul husnaPpt asmaul husna
Ppt asmaul husnamateriumat
 
Power point Iman kepada Allah
Power point Iman kepada AllahPower point Iman kepada Allah
Power point Iman kepada Allahrahmah eL
 
Ppt Zakat, Haji, Wakaf
Ppt Zakat, Haji, WakafPpt Zakat, Haji, Wakaf
Ppt Zakat, Haji, WakafIsna Tya
 
RPP Pendidikan Agama Islam & Budi Pekerti (PAI) Kelas X
RPP Pendidikan Agama Islam & Budi Pekerti (PAI) Kelas XRPP Pendidikan Agama Islam & Budi Pekerti (PAI) Kelas X
RPP Pendidikan Agama Islam & Budi Pekerti (PAI) Kelas XDiva Pendidikan
 
Materi akhlak tasawuf
Materi akhlak tasawufMateri akhlak tasawuf
Materi akhlak tasawufSukrinTaib
 
Mengasah Pribadi dengan Tata Krama, Santun, dan Malu,
Mengasah Pribadi dengan Tata Krama, Santun, dan Malu, Mengasah Pribadi dengan Tata Krama, Santun, dan Malu,
Mengasah Pribadi dengan Tata Krama, Santun, dan Malu, Faran Aiki
 
Ppt Macam macam sujud
Ppt Macam macam sujudPpt Macam macam sujud
Ppt Macam macam sujudadifalsafi
 
Ppt rendah hati, hemat, sederhana membuat hidup menjadi lebih mulia
Ppt rendah hati, hemat, sederhana membuat hidup menjadi lebih muliaPpt rendah hati, hemat, sederhana membuat hidup menjadi lebih mulia
Ppt rendah hati, hemat, sederhana membuat hidup menjadi lebih muliayukbelajar
 
Akhlak remaja dalam pergaulan slideshare
Akhlak remaja dalam pergaulan slideshareAkhlak remaja dalam pergaulan slideshare
Akhlak remaja dalam pergaulan slideshareBahiyah MaHiz
 
Rukun iman dan rukun islam
Rukun iman dan rukun islamRukun iman dan rukun islam
Rukun iman dan rukun islam12110068
 
Power point toleransi
Power point toleransiPower point toleransi
Power point toleransigalihlatiano
 
RPP MA Akidah akhlak kelas XI
RPP MA Akidah akhlak kelas XIRPP MA Akidah akhlak kelas XI
RPP MA Akidah akhlak kelas XIDiva Pendidikan
 
Macam-macam Tarekat dan pemahamannya di Indonesia
Macam-macam Tarekat dan pemahamannya di IndonesiaMacam-macam Tarekat dan pemahamannya di Indonesia
Macam-macam Tarekat dan pemahamannya di IndonesiaAlvie Mencarie Cahaya
 

What's hot (20)

Power point pgpr pai kelas ix 2019 (1)
Power point pgpr pai kelas ix 2019 (1)Power point pgpr pai kelas ix 2019 (1)
Power point pgpr pai kelas ix 2019 (1)
 
Ppt akhlak & kepribadian seorang muslim
Ppt  akhlak & kepribadian seorang muslimPpt  akhlak & kepribadian seorang muslim
Ppt akhlak & kepribadian seorang muslim
 
power point akidah akhlak "berilmu"
power point akidah akhlak "berilmu"power point akidah akhlak "berilmu"
power point akidah akhlak "berilmu"
 
Ppt asmaul husna
Ppt asmaul husnaPpt asmaul husna
Ppt asmaul husna
 
Power point Iman kepada Allah
Power point Iman kepada AllahPower point Iman kepada Allah
Power point Iman kepada Allah
 
Ppt Zakat, Haji, Wakaf
Ppt Zakat, Haji, WakafPpt Zakat, Haji, Wakaf
Ppt Zakat, Haji, Wakaf
 
Aqidah akhlak mi.sd
Aqidah akhlak mi.sdAqidah akhlak mi.sd
Aqidah akhlak mi.sd
 
RPP Pendidikan Agama Islam & Budi Pekerti (PAI) Kelas X
RPP Pendidikan Agama Islam & Budi Pekerti (PAI) Kelas XRPP Pendidikan Agama Islam & Budi Pekerti (PAI) Kelas X
RPP Pendidikan Agama Islam & Budi Pekerti (PAI) Kelas X
 
Materi akhlak tasawuf
Materi akhlak tasawufMateri akhlak tasawuf
Materi akhlak tasawuf
 
Mengasah Pribadi dengan Tata Krama, Santun, dan Malu,
Mengasah Pribadi dengan Tata Krama, Santun, dan Malu, Mengasah Pribadi dengan Tata Krama, Santun, dan Malu,
Mengasah Pribadi dengan Tata Krama, Santun, dan Malu,
 
Ppt Macam macam sujud
Ppt Macam macam sujudPpt Macam macam sujud
Ppt Macam macam sujud
 
Ppt rendah hati, hemat, sederhana membuat hidup menjadi lebih mulia
Ppt rendah hati, hemat, sederhana membuat hidup menjadi lebih muliaPpt rendah hati, hemat, sederhana membuat hidup menjadi lebih mulia
Ppt rendah hati, hemat, sederhana membuat hidup menjadi lebih mulia
 
PENGERTIAN RUKUN IMAN
PENGERTIAN RUKUN IMANPENGERTIAN RUKUN IMAN
PENGERTIAN RUKUN IMAN
 
Akhlak remaja dalam pergaulan slideshare
Akhlak remaja dalam pergaulan slideshareAkhlak remaja dalam pergaulan slideshare
Akhlak remaja dalam pergaulan slideshare
 
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas 8
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas 8Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas 8
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas 8
 
Rukun iman dan rukun islam
Rukun iman dan rukun islamRukun iman dan rukun islam
Rukun iman dan rukun islam
 
PPT puasa
PPT puasaPPT puasa
PPT puasa
 
Power point toleransi
Power point toleransiPower point toleransi
Power point toleransi
 
RPP MA Akidah akhlak kelas XI
RPP MA Akidah akhlak kelas XIRPP MA Akidah akhlak kelas XI
RPP MA Akidah akhlak kelas XI
 
Macam-macam Tarekat dan pemahamannya di Indonesia
Macam-macam Tarekat dan pemahamannya di IndonesiaMacam-macam Tarekat dan pemahamannya di Indonesia
Macam-macam Tarekat dan pemahamannya di Indonesia
 

Similar to Materi SANLAT 1435 H : Puasa pembinaa akhlak dan sikap umat

Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islamBagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islamchusnaqumillaila
 
Personal strength (ketangguhan pribadi)
Personal strength (ketangguhan pribadi)Personal strength (ketangguhan pribadi)
Personal strength (ketangguhan pribadi)hasril ariel
 
Pai poltek bab 4
Pai poltek bab 4Pai poltek bab 4
Pai poltek bab 4evayenida
 
ISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE.ppt
ISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE.pptISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE.ppt
ISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE.pptLim Salawat
 
Menjadi muslim, siapkah diri kita
Menjadi muslim, siapkah diri kitaMenjadi muslim, siapkah diri kita
Menjadi muslim, siapkah diri kitaMuhsin Hariyanto
 
Pend. Agama Islam
Pend. Agama IslamPend. Agama Islam
Pend. Agama Islamfahmilema
 
Makalah Akhlakul Karimah
Makalah Akhlakul KarimahMakalah Akhlakul Karimah
Makalah Akhlakul KarimahYusuf Prasetyo
 
1. Kerangka Dasar Islam.pdf
1. Kerangka Dasar Islam.pdf1. Kerangka Dasar Islam.pdf
1. Kerangka Dasar Islam.pdfsandihermawan12
 
Makalah etika moral dan akhlak
Makalah etika moral dan akhlakMakalah etika moral dan akhlak
Makalah etika moral dan akhlakSantos Tos
 
Pokok pokok ajaran islam
Pokok pokok ajaran islamPokok pokok ajaran islam
Pokok pokok ajaran islamHanaMZ
 
PP RATNA dalam tugas mata kuliah bimbingan dan konseling
PP RATNA dalam tugas mata kuliah bimbingan dan konselingPP RATNA dalam tugas mata kuliah bimbingan dan konseling
PP RATNA dalam tugas mata kuliah bimbingan dan konselingYasinMuhammad19
 
Kontekstualisasi Doktrin Iman Islam dalam Kehidupan Sehari-hari
Kontekstualisasi Doktrin Iman Islam dalam Kehidupan Sehari-hariKontekstualisasi Doktrin Iman Islam dalam Kehidupan Sehari-hari
Kontekstualisasi Doktrin Iman Islam dalam Kehidupan Sehari-hariKinantiMuthmadinta
 

Similar to Materi SANLAT 1435 H : Puasa pembinaa akhlak dan sikap umat (20)

Pribadi Manusia
Pribadi ManusiaPribadi Manusia
Pribadi Manusia
 
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islamBagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
 
Akhlak islami
Akhlak islamiAkhlak islami
Akhlak islami
 
Ppt 1 pribadi manusia
Ppt 1   pribadi manusiaPpt 1   pribadi manusia
Ppt 1 pribadi manusia
 
Personal strength (ketangguhan pribadi)
Personal strength (ketangguhan pribadi)Personal strength (ketangguhan pribadi)
Personal strength (ketangguhan pribadi)
 
Pai poltek bab 4
Pai poltek bab 4Pai poltek bab 4
Pai poltek bab 4
 
kerangka dasar agama islam
kerangka dasar agama islamkerangka dasar agama islam
kerangka dasar agama islam
 
ISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE.ppt
ISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE.pptISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE.ppt
ISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE.ppt
 
Menjadi muslim, siapkah diri kita
Menjadi muslim, siapkah diri kitaMenjadi muslim, siapkah diri kita
Menjadi muslim, siapkah diri kita
 
Pend. Agama Islam
Pend. Agama IslamPend. Agama Islam
Pend. Agama Islam
 
Makalah Akhlakul Karimah
Makalah Akhlakul KarimahMakalah Akhlakul Karimah
Makalah Akhlakul Karimah
 
1. Kerangka Dasar Islam.pdf
1. Kerangka Dasar Islam.pdf1. Kerangka Dasar Islam.pdf
1. Kerangka Dasar Islam.pdf
 
Makalah etika moral dan akhlak
Makalah etika moral dan akhlakMakalah etika moral dan akhlak
Makalah etika moral dan akhlak
 
Pokok pokok ajaran islam
Pokok pokok ajaran islamPokok pokok ajaran islam
Pokok pokok ajaran islam
 
PP RATNA dalam tugas mata kuliah bimbingan dan konseling
PP RATNA dalam tugas mata kuliah bimbingan dan konselingPP RATNA dalam tugas mata kuliah bimbingan dan konseling
PP RATNA dalam tugas mata kuliah bimbingan dan konseling
 
Kontekstualisasi Doktrin Iman Islam dalam Kehidupan Sehari-hari
Kontekstualisasi Doktrin Iman Islam dalam Kehidupan Sehari-hariKontekstualisasi Doktrin Iman Islam dalam Kehidupan Sehari-hari
Kontekstualisasi Doktrin Iman Islam dalam Kehidupan Sehari-hari
 
Tugas topik 6[1]
Tugas topik 6[1]Tugas topik 6[1]
Tugas topik 6[1]
 
Tugas topik 6
Tugas topik 6Tugas topik 6
Tugas topik 6
 
Tugas topik 6
Tugas topik 6Tugas topik 6
Tugas topik 6
 
Tugas topik 6
Tugas topik 6Tugas topik 6
Tugas topik 6
 

Recently uploaded

Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptxSosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptxMarto Marbun
 
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptxMateri akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptxWahyuSolehudin1
 
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHANKHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHANGilbertFibriyantAdan
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Adam Hiola
 
MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...
MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...
MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...RobertusLolok1
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4Adam Hiola
 

Recently uploaded (6)

Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptxSosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
 
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptxMateri akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
 
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHANKHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
 
MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...
MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...
MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
 

Materi SANLAT 1435 H : Puasa pembinaa akhlak dan sikap umat

  • 1. PUASA, SARANA PEMBINAAN AKHLAK DAN SIKAP UMMAT Oleh: Endar Sudarjat PS Hari demi hari, selama bulan Ramadhan, kita berupaya membentuk kepribadian kita agar menjadi insan berakhlak mulia melalui pembiasaan meneladani sifat-sifat Allah, karena dalam pandangan Islam, bahkan agama-agama samawi, tolak ukur keluhuran akhlak adalah sifat-sifat Allah swt. yang tecermin dalam al-Asmâ’ al- Husnâ. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan peta-Nya, demikian termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian: 26-27). Sedang dalam bahasa hadits Nabi Muhammad saw.: ‫إن‬ ‫هللا‬ ‫لق‬ ‫خ‬ ‫آدم‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ه‬ ‫صورت‬ “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas peta-Nya.” Keduanya berarti manusia dianugerahi Allah potensi, yang bila diasah dan diasuh dengan baik, akan menjadikannya berhasil meneladani sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk. Cara yang paling ampuh guna pembentukan akhlak adalah pembiasaan. Dengan berpuasa itu kita berusaha membiasakan diri melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengantar kita merealisasikan pesan Nabi saw.: ‫قوا‬ ‫ل‬ ‫خ‬ ‫ت‬ ‫الق‬ ‫أخ‬ ‫ب‬ ‫هللا‬
  • 2. “Berakhlaklah dengan akhlak Allah.” Itu kita lakukan bermula dengan pengendalian diri dalam pemenuhan kebutuhan fa‘ali; tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan hubungan suami istri pada waktu tertentu, bahkan memberi pangan; karena Allah tidak makan dan tidak minum—tapi memberi pangan—dan tidak juga memiliki pasangan. Lalu, upaya itu ditingkatkan dengan meneladani sifat-sifat-Nya yang lain melalui pembiasaan hati dan pikiran menghindari segala sesuatu yang berdampak negatif, seperti angkuh, iri hati, culas, dan marah bukan pada tempatnya, sekaligus membiasakan diri melakukan hal-hal positif, hingga pada akhirnya pembiasaan- pembiasaan tersebut melahirkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, bahkan kecerdasan-kecerdasan lainnya, seperti kecerdasan memahami diri, orang lain, dan lingkungan. Puncaknya adalah kecerdasan memahami wujud dan keesaan Allah, lalu menemukan dan menaati serta mengagumiNya. Demikian itu syariah puasa, yang bila dilakukan dengan baik dan benar, dapat mewujudkan manusia utuh yang berpadu dalam dirinya sifat-sifat terpuji sejalan dengan al-Asmâ’ al-Husnâ, yakni sifat-sifat Allah yang Mahaindah dan Maha Terpuji.
  • 3. Memang, akhlak terbentuk melalui pembiasaan. Ia dibangun oleh pengetahuan, pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman itu. Kepribadian dan karakter yang baik merupakan interaksi seluruh totalitas manusia. Karakter terpuji merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang yang ditandai oleh sikap dan perilaku positif. Karena itu, ia berkaitan sangat erat dengan kalbu. Bisa saja seseorang memiliki pengetahuanyang dalam, tetapi tidak memiliki karakter dan akhlak terpuji, sebaliknya bisa juga seseorang yang amat terbatas pengetahuannya, namun karakternya amat terpuji. ‫إن‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫سد‬ ‫ج‬ ‫ال‬ ‫ضغة‬ ‫م‬ ‫إذا‬ ‫لحت‬ ‫ص‬ ‫ح‬‫ل‬ ‫ص‬ ‫سد‬ ‫ج‬ ‫ال‬ ‫ه‬‫ل‬ ‫ك‬ ‫و‬ ‫إذا‬ ‫سدت‬ ‫ف‬ ‫سد‬ ‫ف‬ ‫سد‬ ‫ج‬ ‫ال‬ ‫ه‬‫ل‬ ‫ك‬ ‫ال‬ ‫أ‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫ه‬ ‫لب‬ ‫ق‬ ‫ال‬ “Sesungguhnya dalam diri manusia ada suatu “gumpalan”, kalau ia baik, baiklah seluruh (kegiatan) jasad, dan kalau buruk, buruk pula seluruh (kegiatan) jasad. Gumpalan itu adalah hati.” Memang, ilmu tidak mampu menciptakan akhlak atau iman, ia hanya mampu mengukuhkannya. Karena itu, mengasuh kalbu sambil mengasah nalar akan memperkukuh karakter seseorang, apalagi jika didukung oleh pembiasaan sebagaimana pembiasaan berpuasa.
  • 4. Kita diperintahkan untuk mengumandangkan takbir pada hari Raya Idul Fithri, hari kelahiran kembali fithrah kita. Bukan saja karena keyakinan akan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah fithrah manusia, tetapi juga karena keyakinan itu adalah “Al-Mabda’ dan Al-Maad “, adalah pangkalan tempat bertolak dan pelabuhan tempat bersauh. Para nabi – kesemuanya tanpa kecuali – membangkitkan kesadaran manusia tentang asal usul dan tujuan mereka. Dari mana mereka datang dan kemana kesudahan mereka. ‫وا‬ ‫ول‬ ‫ق‬ ‫ال‬ ‫ه‬ ‫إل‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ‫هللا‬ ‫لحوا‬ ‫ف‬ ‫ت‬ “Hayatilah Lailah Illah Allah kalian akan memeroleh keberuntungan.” ‫ل‬ ‫ك‬ ‫امر‬ ‫ذي‬ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫ال‬ ‫بدء‬ ‫ي‬ ‫ه‬‫ي‬ ‫ف‬ ‫سم‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫هللا‬ ‫هو‬ ‫ف‬ ‫طع‬ ‫أق‬ “Segala aktivitas yang tidak dimulai dengan Basmalah maka aktivitas itu puntung.”
  • 5. Memang, ilmuwan pun berpesan, “Mulailah aktivitas Anda dengan menghadirkan dalam benak tujuan akhir Anda.” Demikian antara lain Steven R. Covey menyebutkan dalam tujuh kunci suksesnya. Perhatian utama yang dihujamkan oleh para Nabi adalah tanggung jawab atas seluruh wujud yang terjangkau oleh manusia. Tanggung jawab kemasyarakatan hanyalah sebagian darinya. Agama pun memberi tolok ukur baik dan buruk. Tolak ukur akhlak mulia adalah sifat-sifat Allah Yang Maha Esa itu, yang hendaknya diteladani oleh manusia sesuai kemampuan dan kapasitasnya sebagai mahkluk. Itu agaknya salah satu sebab mengapa kita diperintahkan untuk melepas Ramadhan dan menyambut ‘Idul Fithri dengan bertakbir dan bertahmid, yakni menghunjamkan dalam lubuk hati dan pikiran kita yang terdalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, seperti Maha Kasih, Maha Pemaaf, Maha Damai, Maha Adil, Maha Mengetahui, yang ُ‫ل‬َّ ‫ي‬َ ْ‫م‬ٍ ‫ي‬ُ‫و‬َ َُُِّ‫ي‬َ ْ‫ن‬‫و‬ٍ“Setiapsaat dalam urusan melayani kepentinganpenghuni semua langit dan bumi” (QS. ar-Rahmân [55]: 29). Masyarakat yang pandanganhidupnya adalah KetuhananYang Maha Esa, tidak dapat menjadikan kekuatan “si kuat” sebagai tolok ukur kebajikan dan akhlak mulia, karena TuhanYang Maha Esa itu, bukan hanyaTuhan buat mereka yang kuat, tetapi juga Tuhan mereka yang lemah. Memang, boleh jadi pembela pandangan ini akan
  • 6. berkata bahwa kekuatan nurani harus dapat menghancurkan tirani, dan dari sini kekuatan tetap menjadi tolok ukur akhlak mulia. Namun demikian, mereka lupa bahwa membela orang sakit berbeda dengan membela penyakit, dan bahwa memelihara yang sakit adalah sekaligus memelihara yang sehat, memelihara yang lemah justru merupakan pembelaan bagi yang kuat. Di sisi lain, agama tidak memuji kelicikan untuk meraih kekuatan atau kemenangan, bahkan agama menilai yang kalah dalam persaingan dan menerimanya secara ksatria lebih terpuji daripada yang menang dan meraih kekuatan dengan cara licik dan tidak sportif. Nilai yang dikandung oleh kalimat takbir yang kita kumandangkan ini merupakan satu prinsip lengkap menembus semua dimensi yang mengatur seluruh khazanah fundamental keimanan dan aktivitas manusia. Dia adalah pusat yang beredar di sekelilingnya sejumlah orbit unisentris. Ia serupa dengan matahari yang beredar di sekelilingnya planet-planet tata surya. Di sekeliling Tauhid itu beredar kesatuan- kesatuan yang tidak boleh berpisah atau memisahkan diri dari Tauhid, sebagaimana halnya planet-planet tata surya itu. Kenyataan membuktikan bahwa kesadaran akan kehadiran Allah selalu berdampingan dengan keadilan, yakni penempatan segala sesuatu pada tempatnya. Apabila keadilan telah terpenuhi, maka tidak ada lagi seseorang yang lebih kuat daripada yang lain, karena semua telah menjadi kuat dengan dan bersama Allah: ‫ي‬‫قو‬ ‫ال‬ ‫كم‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫يف‬ ‫ضع‬ ‫ى‬ ‫ت‬ ‫ح‬ ‫آخذ‬ ‫حق‬ ‫ال‬ ‫ه‬‫ن‬ ‫م‬ ‫يف‬ ‫ضع‬ ‫وال‬ ‫كم‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ي‬‫و‬ ‫ق‬ ‫ى‬ ‫ت‬ ‫ح‬ ‫أرد‬ ‫حق‬ ‫ال‬ ‫ه‬‫ي‬ ‫إل‬ “Yang kuat di antara kamu lemah, sampai aku merebut kembali hak pihak lain yang dirampasnya dan yang lemah menjadi kuat sampai haknya yang dirampas kembali kepadanya.” Demikian antara lain ucap Sayyidina Abubakar ash-Shiddiq ketika menerima tanggung jawab menerima jabatan Khalifah .
  • 7. Allah berpesan: ‫و‬ َ ‫ال‬َ‫و‬ ‫وا‬ ‫ك‬ ُ‫و‬ ‫ك‬ ‫ك‬ َ ‫ت‬ ‫و‬َ‫يا‬ َّ‫ذ‬ ِ ‫ال‬ َ ‫ك‬ ‫وا‬ ‫ك‬‫س‬ َ ‫ا‬ ‫و‬ َ ِ ‫اه‬ ‫و‬َ‫م‬ ‫ك‬‫ان‬ َ‫س‬ َ ‫ا‬ َ ‫أ‬ َ ‫ف‬ ‫و‬َ‫م‬‫ك‬‫ه‬ َ‫س‬ ‫ك‬ ‫ف‬ َ ُ َ ‫أ‬ ‫و‬ َ ‫و‬ ََّ َ ‫ول‬ ‫ك‬ ‫أ‬ ‫و‬‫ك‬‫م‬ ‫ك‬‫ن‬ ‫و‬ َ ‫ن‬‫و‬ ‫ك‬ ‫ق‬ َِّ‫ا‬ َ ‫ف‬ َ ‫ال‬ “Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah atau kelupaannya menjadikan mereka lupa diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. al- Hasyr [59]: 19). Ini juga menjadi sebab mengapa dalam ‘Idul Fithri—“hari kembali kepada jati diri”—kita diperintahkan untuk mengumandangkan kalimat takbir agar kita tidak melupakan jati diri kita sebagai makhluk yang menyatu dalam dirinya debu tanah dan ruh Ilahi. Dengan menyatunya jiwa dan raga, menyatu pula ucapan dengan bisikan hati, kata dengan perbuatan dan langkah menuju tujuan. Perpaduanruh dan jasad dalam diri manusia mengantarnya menjadi manusia utuh sehingga tidak terjadi pemisahan antara keimanan dan pengamalan agama, tidak juga antara perasaan dan perilaku, perbuatan dengan moral, idealitas dengan realitas, dunia dengan akhirat. Akan tetapi, masing-masing merupakan bagian yang tak terpisahkan dan saling melengkapi. Jasad tidak mengalahkan ruh dan ruh pun tidak merintangi kebutuhan jasad. Kecenderungan individu memperkukuh keutuhan kolektif dan kesatuan kolektif mendukung kepentingan individu. Pandangan tidak hanya terpaku di bumi dan tidak juga hanya mengawang-awang di angkasa.
  • 8. Manusia yang ber-‘Idul Fithri, atau dengan kata lain, yang menyatu kepribadiannya akan ditemukan teguh dalam keyakinan. Teguh tetapi bijaksana, senantiasa bersih menarik walau miskin, selalu hemat dan sederhana walau kaya, murah hati dan murah tangan, tidak menghina dan tidak mengejek, tidak berjalan menyebarkan fitnah, tidak menghabiskan waktu dalam permainan, tidak menuntut yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain. Ucapannya melipur lara, membawa manfaat. Diamnya pertanda tafakkur dan pandangannya alamat i’tibar. Bila beruntung ia bersyukur, bila diuji ia bersabar, bila bersalah ia istighfar, kalau ditegur ia menyesal, dan kalau dimaki ia berucap: “Bila makian Anda benar maka semoga Allah mengampuniku, dan bila keliru maka kumohonTuhanmengampuni”. Demikian menyatu seluruh tuntunan kebaikan menyatu dalam dirinya, lahir dan batin! Kesadaran akan Wujud dan Keesaan Allah itulah yang menghasilkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan yang menurut filosof dan ulama Islam kenamaan Muthahary merupakan peringkat kedua ajaran Islam. Manusia bukanlah hewan yang yang memertahankan hidupnya secara licik dan memusnahkan yang lain dalam perjuangan hidup. Ia adalah makhluk yang tercipta dari ruh Ilahi yang memiliki kesadaran tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa, sehingga walau ia tercipta dari debu tanah, yang mengantarnya cenderung untuk berlezat-lezat jasmani bahkan merusak atau berbuat kejahatan, tetapi dia dikarunia juga kesucian yang sungguh bertentangan pertumpahan darah, kepalsuan , kekejian dan kehinaan.
  • 9. Kemanusian yang adil dan beradab itulah yang mendorong Persatuan, menumbuhsuburkan Kerakyatan, dan membuahkan Keadilan Sosial. Kesadaran tentang nilai-nilai tersebut, yang merupakan salah satu sebab mengapa dalam rangkaian ‘Idul Fithri, setiap Muslim, kecil atau besar, kaya atau miskin, berkewajiban menunaikan Zakat Fithrah yang merupakan simbol dan pertanda kepedulian sosial dan lambang kesediaan memberi hidup bagi orang lain. Saudara! Nilai-nilai agama dan moral memiliki aneka fungsi. Pertama, menjadi pendorong bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kedua, ia merupakan kekuatan penunjang bagi peningkatan partisipasi dan kreasi anggota masyarakat. Dan Ketiga, menjadi isolator yang membendung dan/atau menyeleksi ide dan paham yang dibawa masuk oleh era globalisasi. Ketiga hal ini kait-berkait. Kalau diibaratkan dengan listrik, yang pertama adalah penambahan daya, yang kedua adalah kesinambungan cahaya, sedang yang ketiga adalah pemeliharaannya. Nilai-nilai moral dan kepercayaan itu juga yang mengundang kepercayaan pihak lain, yangpada gilirannya membuahkan integritas pelaku, trust (kepercayaan) pihak lain, bahkan reputasi masyarakat bangsa. Itulah yang kini populer dinamai modal sosial. Kalau dalam menetapkan kewajiban puasa -hari demi hari- al-Qur’an menyatakan bahwa tujuannya adalah “La‘allakum Tattaqûn” ( ‫و‬َ‫م‬ ‫ك‬ ‫ك‬ ِ ‫ل‬َ‫ع‬ َ ‫ل‬ ‫و‬ َ ‫ن‬‫و‬ ‫ك‬ ‫ق‬ ِ ‫ن‬ َ ‫ت‬ ) dalam arti agar kita menghindari segala yang berpotensi membawa bencana duniawi dan ukhrawi, maka dalam konteks penyelesaian kewajiban puasa sebulan penuh dan hadirnya Idul Fithri, dinyatakan-Nya: “Wa La‘allakum Tasykurûn” ( ‫و‬َ‫م‬ ‫ك‬ ‫ك‬ ِ ‫ل‬َ‫ع‬ َ ‫ل‬َ‫و‬ ‫و‬ َ ‫ون‬‫ك‬‫ر‬ ‫ك‬ ‫ك‬ َ ‫ن‬ َ َ ), yakni “dengan harapan kamu bersyukur” (QS. al-Baqarah [2]: 185).
  • 10. Syukur pada mulanya digunakan oleh bahasa aslinya (baca: bahasa Arab) untuk menunjuk tumbuhan yang hanya memperoleh sedikit air namun tumbuh subur mempersembahkan yang banyak. Dari sini syukur dipahami dalam arti sikap batin seseorang, yang bila menerima sesuatu dari siapa pun, kendati sedikit, namun ia menganggapnya banyak, dan bila memberi sesuatu, kendati banyak, ia masih menganggapnya sedikit. Sikap ini pada gilirannya menjadikannya beraktivitas positif untuk memanfaatkan semua nikmat yang diperolehnya sesuai dengan tujuan penganugerahan nikmat itu. Karena itu para pakar berkata: “Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap embusan angin yang bertiup di udara, setiap tetes hujan yang tercurah dari langit, semua harus disyukuri dan dimanfaatkan sebisa mungkin, karena semua akan dipertanggungjawabkan kelak di Hari Kemudian; “Tsumma Latus’alunna Yauma’idzin ‘anin Na‘îm” (‫و‬ِ‫م‬ ‫ك‬ َّ ‫و‬ِ‫ا‬ ‫ك‬ ‫ل‬ َ ‫أ‬ َ‫س‬ ‫ك‬ ‫ن‬ َ ‫ل‬ ‫و‬َ‫ذ‬َََّ‫م‬َ‫و‬َ‫ي‬ ‫و‬َّ‫ا‬َ‫ع‬ ‫و‬َّ‫ن‬ َّ‫يم‬َّ‫ع‬ ِ ‫الن‬ ) (Q.S.al-Takatsur [102]:8 Kalau kita pandai bersyukur, kita akan giat bekerja menanggulangi problema kita sesuai dengan hakikat makna syukur sehingga kesejahateraan dapat merata dan bertambah sesuai janji Allah yang diumumkan-Nya; ‫و‬ َ ‫ن‬َّ‫ن‬ َ ‫ل‬ ‫و‬َ‫م‬ ‫ك‬ ‫ت‬َ‫ر‬ َ ‫ك‬ َ ْ ‫و‬َ‫م‬ ‫ك‬ ‫ك‬ ِ ُ َ ‫َّد‬َُّ َ َ ْ “Jika kamu bersyukur pasti Kutambah nikmat-Ku” (QS. Ibrâhîm [14]: 7). Ini pada gilirannya akan mengurangi keluhan yang kita dengar atau cetuskan. Kalau kita pandai bersyukur, kita akan mengakui persembahan pihak lain, walau persembahan itu sedikit, bukannya menafikannya dan menilainya nihil atau sedikit, karena ‫ما‬ ‫ال‬ ‫كر‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫ناس‬ ‫ال‬ ‫ال‬ ‫كر‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫هللا‬ “Siapa yang tidak pandai bersyukur kepada manusia, maka dia tidak dinilai bersykur kepada Allah.” Itulah sebagian nilai-nilai yang digarisbawahi al-Qur’an dalam konteks puasa dan ‘Idul Fithri. Nilai-nilai yang bila diindahkan tidak hanya membuahkan budi pekerti luhur tetapi juga kesejahteraan lahir dan batin.
  • 11. Kemajuan ekonomi sangat penting, tetapi yang harus didahulukan serta selalu berbarengan dengan upaya peningkatannya adalah nilai-nila agama dan moral. Pandangan ini bukan hanya dicetuskan oleh sekian banyak ulama dan pakar Muslim, tetapi juga telah diteriakkan oleh pakar-pakar filsafat Barat dan pemerhati sosial. Auguste Comte (1798-1798 M ), filosof Prancis, bersama sekian banyak pemikir lainnya, ketika menyadari betapa materialisme dan kebebasan pribadi telah sedemikian merasuk dalam masyarakat Prancis setelah revolusi, menyatakan bahwa: “Sekian banyak kekuatan, selain kekuatan ekonomi dan politik, yang harus mendapat perhatian; bahkan, perbaikan di bidang ekonomi dan politik bergantung pada perbaikan di bidang akhlak. Karena itu pula yang terlebih dahulu harus diperbaiki—sebelum yang lain— adalah akhlak.” Nilai-nilai akhlak dan moral melahirkan modal sosial yang akan mampu memfungsikan ekonomi modern dan membentuk institusi politik yang bersih dan benar. Sebaliknya, mengabaikannya merupakan benih kehancuran masyarakat: ‫ما‬ ُ‫إ‬ ‫م‬ ‫اْم‬ ‫الق‬ ‫اْخ‬ ‫ما‬ ‫يت‬ ‫ق‬ ‫ب‬ ‫إن‬ ‫ف‬ ‫مو‬‫ن‬ ‫بت‬ ‫ذن‬ ‫هم‬ ‫الق‬ ‫أخ‬ ‫بوا‬ ‫ذن‬ Maksudnya: “Kelanjutan eksistensi satu masyarakat ditentukan oleh tegaknya moral anggota masyarakat itu dan kepunahannya terjadi pada saat keruntuhan moralnya.”
  • 12. Kalau nilai-nilai moral terabaikan, maka yang menonjol adalah ego masing-masing, dan ketika itu bagi masyakarat tersebut akan terjadi apa yang diistilahkan oleh al- Qur’an dengan “Habithat A‘mâluhum” (‫طت‬‫ب‬ ‫ح‬ ‫هم‬ ‫)أعمال‬ , yakni terjadi “pembengkakan” pada sosok masyarakat, yang secara lahiriah diduga sebagai tanda kesehatan/kemajuan, padahal pembengkakan itu adalah tumor ganas yang mengantar kematiannya. Persoalan yang kita hadapi bukannya ketiadaan nilai yang dapat mensejahateraan kita, tetapi ketidak atau kekurang mampuan kita merekat nilai-nilai tersebut dalam diri dan kehidupan bermasyarakat. Memang masyarakat bukan sekadar kumpulan sekian banyak individu, tetapi masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu yang terbentuk berdasar tujuan bersama. Ini karena setiap individu lahir dalam keadaan hampa budaya, lalu masyarakatnya yang membentuk budayanya. Budayanya itu lahir dari nilai-nilai yang mereka anut. Nilai-nilai itulah yang membentuk kepribadian anggota masyarakat; semakin matang dan dewasa masyarakat, semakin mantap pula pengejawantahannilai-nilai tersebut. Masyarakat yang belum dewasa adalah yang belum berhasil dalam pengejewantahan nilai-nilainya, sedang masyarakat yang sakit adalah yang mengabaikan nilai-nilai tersebut. Untuk menyukseskan misi Nation and Character Building, kita tidak harus memulai dari sesuatu yang besar dan luas. Kita juga tidak harus memulai langkah kita dengan merambah ke dan di dalam wilayah yang bukan wilayah kita. Kita dapat memulainya dari diri kita masing-masing, lalu keluarga kita, serta apa yang berada dalam wewenang dan tanggung jawab kita. Itu pun kita lakukan dengan pembiasaan sehingga tanpa terasa ia menjadi kebiasaan dan ketika itu akan kalah bisa oleh biasa. Salah satu kekurangan—kalau enggan berkata kekeliruan—kita dewasa ini adalah melakukan pemisahan antara dimensi jasadiah manusia dan dimensi ruhaniahnya, sehingga lahir manusia-manusia yang terpecah kepribadiannya. Bahkan, tidak jarang masyarakat kita melakukan pembiasaan-pembiasaan yang menciptakan dorongan bagi lahirnya karakter yang tidak sejalan dengan jati diri kita sebagai bangsa yang religius dan berfalsafah Pancasila.
  • 13. Ada orang, bahkan ada masyarakat, yang sakit tetapi sadar bahwa mereka sakit. Ada juga yang sakit, tetapi tidak menyadari penyakitnya. Yang lebih parah lagi adalah mereka sakit, para dokter pun telah mendiagnosis dan memberinya obat yang tepat, obatnya sudah di tangan mereka, tetapi mereka enggan menelannya. Tetapi masyarakat yang amat sangat kronis penyakittnya adalah yang obatnya dibuang atau dia lecehkan. Ini dikecam keras oleh Al-Quran. Umat Islam diperintahkan menghindari mereka: ‫و‬َّ‫ر‬ َ ‫ذ‬َ‫و‬ ‫و‬َ‫يا‬ َّ‫ذ‬ ِ ‫ال‬ ‫وا‬ ‫ك‬ ‫ذ‬ َ ‫خ‬ ِ ‫ات‬ ‫و‬َ‫م‬‫ك‬ََُ‫ي‬ َّ‫د‬ ‫ا‬َ‫ب‬َّ‫ع‬ َ ‫ل‬ ‫ا‬َ‫و‬َ‫ه‬ َ ‫ل‬َ‫و‬ ‫و‬‫ك‬‫م‬‫ك‬َ َ ‫ت‬ِ‫ر‬ َ ‫م‬َ‫و‬ ‫و‬ ‫ك‬ ْ‫ا‬َ‫ي‬ َ‫ح‬ َ ‫ال‬ ‫ا‬َ‫ي‬ َ ُ ْ ‫الد‬ Tinggalkanlahorang-orang yang menjadikan agama /pandangan hidup mereka sebagai bahan permainan dan senda-gurau, Mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. (Q.S. al-An’am :[6]:70). Semoga masyarakat kita tidak termasuk yang dimaksud oleh ayat ini. Namun bagaimanapun keadaan satu masyarakat – kronis penyakitnya atau ringan– yang pasti adalah kita harus yakin dan optimis bahwa kebenaran dan kebaikan adalah poros sistem wujuddan masyarakat manusia, danbahwa kejahatan, kepalsuan dan kemunkaran tidak memiliki kenyataan mendasar dan tidak memiliki topangan internal. Tokoh-tokoh kemunafikan diibaratkan oleh Al- Quran bagaikan “khusyubun musan-nnadah“ (‫نب‬ ‫خ‬ ْ‫ند‬ ‫س‬ ‫)م‬ – kayu yang tegak karena ditopang oleh faktor eksternal. Ia adalah pohon tanpa akar, sehingga kalau ia wujud, wujudnya kebetulan dan bersifat sementara. Ia diibaratkan oleh Al-Quran sebagai buih yang menyertai arus. ‫ا‬ِ‫م‬ َ ‫أ‬ َ ‫ف‬ ‫و‬ ‫ك‬ ‫د‬َ‫ب‬ِ‫الد‬ ‫و‬‫ك‬‫ب‬ َ‫ن‬ َ ‫ذ‬َ‫ي‬ َ ‫ف‬ ‫و‬َ‫اء‬ َ ‫ف‬ ‫ك‬ً ‫ا‬ِ‫م‬ َ ‫أ‬َ‫و‬ ‫ا‬َ‫م‬ ‫و‬‫ك‬‫ع‬ َ ‫ف‬ َ ‫ن‬َ‫ي‬ ‫و‬َ‫اس‬ ِ ‫الن‬ ‫و‬ ‫ك‬ ‫ي‬ ‫ك‬ ‫ك‬َ‫م‬َ‫ي‬ َ ‫ف‬ ‫ي‬َّ‫ف‬ ‫و‬َّ‫أ‬َ‫ر‬ َ َ ْ‫ا‬ ‫و‬ َ ‫و‬ َّ‫ل‬ َ ‫ذ‬ َ َ ‫و‬‫ك‬‫ض‬َّ‫ر‬ َ ‫ض‬َ‫ي‬ ‫و‬ ‫ك‬ ِ ‫اه‬ ‫و‬َ‫ال‬ َ َْ‫م‬ َ َ ْ‫ا‬ Adapun buih maka ia akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; sedangkan yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (Q.S. ar-Ra’ed [13]:17).
  • 14. Karena itu kita semua, masyarakat luas lebih-lebih pemimpin formal dan nonformal, harus dapat menanamkan optimisme dengan bekerja keras menjelaskan nilai-nilai luhur yang kita anut, antara lain, melalui keteladanan serta pembiasaan-pembiasaan positif. Dalam pandangan agama: “Tuhan memberi kemampuan kepada Pemerintah meluruskan yang keliru serta mendorong kepada kebenaran melebihi kemampuan tuntunan-tuntunan-Nya yang termaktub dalam kitab suci”. ‫إن‬ ‫هللا‬ ‫زع‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫طان‬‫ل‬ ‫س‬ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫ما‬ ‫ال‬ ‫دع‬ ‫ي‬ ‫آن‬‫ر‬‫ق‬ ‫ال‬ ‫ب‬ “Sesungguhnya Allah mencegah melalui penguasa apa yang tidak tercegah melalui al- Qur’an.” Yakni melalui kekuasaan yang bijaksana dan kekuatan yang yang berada dalam wewenang mereka, sekian banyak hal dapat tercapai atau tertanggulangi. Karena itu, kata orang-orang bijak: ‫و‬ ‫ل‬ ‫ت‬ ُ‫ا‬ ‫ك‬ ‫نا‬ ‫ل‬ ْ‫دعو‬ ‫ة‬ ‫نجاب‬ ‫س‬ ‫م‬ ‫ا‬ ُ‫دعو‬ ‫ل‬ ‫َا‬ ‫ب‬ ‫نا‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ْئ‬ “Seandainya kami tahu persis bahwa ada satu doa kami yang pasti dikabulkan Allah, maka itu akan kami gunakan untuk mendoakan pemimpin-pemimpin-kami.” Mari kita berdoa semoga para pemimpin kita selalu mendapat bimbingan dan kekuatan dari Allah swt sehingga diperlihatkan kepada mereka kebenaran dan diberi kemampuan untuk melaksanakannya dan diperlihatkan juga keburukan dan diberi kemampuan untuk menghindari dan menghindarkan masyarakat darinya. Nabi Muhammad saw. bersabda: ‫ا‬ ‫دي‬ ‫ال‬ ‫يحة‬ ‫ص‬ ‫ن‬ ‫ال‬ “Agama adalah ketulusan.” Ketika Beliau ditanya: “Terhadap siapa tertuju ketulusan itu? Beliau menjawab: “Kepada Allah, kepad Kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada pemimpin-pemimpin, dan kepada masyarakat luas.” Mari bersikap tulus kepada pemimpin-pemimpin kita sebagaimana kita mengharap agar mereka pun tulus kepada kita, masyarakat luas. Mari kita dukung mereka dengan tulus dalam kebenaran dan menegur mereka dengan halus bila mereka keliru. ‫ى‬‫ق‬ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫ود‬ ‫ال‬ ‫ما‬ ‫ي‬‫ق‬ ‫ب‬ ‫ناض‬ ‫ع‬ ‫ال‬ “Keharmonisan hubungan akan tetap terjalinselama masih ada kritikmembangun yang sopan dan halus.”
  • 15. Mari kita jadikan bulan Ramadhan dan ‘Idul Fithri, sebagai momentum untuk membina dan memperkukuh ikatan kesatuan dan persatuan kita, menyatu padukan hubungan kasih sayang antara kita semua, sebangsa dan setanah air. Hidup di dunia ini hanya sementara. Kita tak tahu kapan kita dipanggil Allah. Mari kita mengukir nama baik kita dan nama baik bangsa kita agar langgeng sepanjang masa, bahkan langeng dalam kehidupan di akhirat. Marilah dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang, dan dengan muka yang jernih, serta dengan tangan terulurkan, kita saling maaf memaafkan, sambil mengibarkan bendera as-Salâm, bendera kedamaian di tanah air tercinta, bahkan di seluruh penjuru dunia. ‫لهم‬ ‫ال‬ ‫ت‬ ‫أن‬ ‫الم‬‫س‬ ‫ال‬ ‫نك‬ ‫وم‬ ‫ال‬‫س‬ ‫ال‬ ‫م‬ ‫يك‬ ‫وإل‬ ‫الم‬‫س‬ ‫عودال‬ ‫ي‬ ‫نا‬ ‫ي‬ ‫ح‬ ‫ف‬ ‫نا‬ ‫رب‬ ‫الم‬‫س‬ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫نا‬ ‫ل‬ ‫وادخ‬ ‫نة‬ ‫ج‬ ‫ال‬ ‫دار‬ ‫ال‬‫س‬ ‫ال‬ ‫م‬ ‫ت‬ ‫بارك‬ ‫ت‬ ‫نا‬ ‫رب‬ ‫و‬ ‫يت‬ ‫عال‬ ‫ت‬ ‫اذا‬ ‫ي‬ ‫الل‬‫ج‬ ‫ال‬ ‫رام‬ ‫واإلك‬ “Ya Allah, Engkaulah as-Salâm (kedamaian), dari-Mu bersumber as-Salâm, dan kepada-Mu pula kembalinya, Hidupkanlah kami, Ya Allah, di dunia ini dengan as-Salâm, dengan aman dan damai, dan masukkanlah kami kelak di negeri as-Salâm (surga) yang penuh kedamaian, Mahasuci Engkau, Mahamulia Engkau, Yâ Dzal Jalâli wal Ikrâm”. By: Endar Sudarjat, S.Pd.Kn Pesan untuk peserta didik saat SANLAT 1435H Di Kampus SMPN 5 Majalengka