KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh bendaharawan
1. 1
KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP TIMBULNYA KERUGIAN
KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH
BENDAHARAWAN
( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Keuangan Negara)
Oleh :
FREINGKY A. NDAUMANU, S.H.
NIM : 11/322217/PHK/06731
PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
MAGISTER HUKUM
2012
2. 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan konsep “Negara hukum” sekarang ini telah menghasilkan
Negara hukum kesejahteraan (social service staat; welvaarstat). Konsekuensinya,
dalam suatu Negara yang demikian ini, tugas Negara sebagai servis publik adalah
menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial (yang oleh
Lemaire disebutnya dengan : bestuurzog) bagi masyarakatnya.1 Untuk dapat
menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial, Negara
sangatlah memerlukan sarana yang mutlak demi menunjang terlaksananya roda
pemerintahan. Sarana mutlak yang dimaksudkan salah satunya ialah berbentuk
modal (keuangan). Namun, tidak serta merta Negara menjadi pemilik dari benda
tersebut, oleh karena itu sarana yang berbentuk benda itu kemudian memerlukan
pengaturan lebih lanjut agar tidak menimbulkan kekuasaan yang absolut dari
Negara terhadap benda itu. Pengaturan yang dimaksud pada akhirnya
menciptakan ilmu hukum baru, yaitu hukum keuangan Negara ( public finance
law (Inggris) atau fiscal recht (Belanda) ).
Terkait dengan kewajiban tersebut, dalam pengelolaan keuangan Negara
pemerintah selalu berusaha menghindarkan terjadinya kekurangan kekayaan
karena alasan apapun yang disebabkan kesalahan dalam pengelolaan oleh
1
Panjaitan Saut P., “Makna Dan Peranan Freies Ermessen Dalam Hukum Administrasi Negara”
dalam SF Marbun dkk (penyunting), Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,
ctk. kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm.104
3. 3
pejabatnya, agar pemerintah tetap dapat menyediakan layanan kepada masyarakat
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Beranjak dari konsep dasar seperti
tersebut, dalam setiap kejadian kekurangan kekayaan Negara, baik dalam bentuk
uang maupun barang, yang kemudian dikenal dengan istilah kerugian Negara,
pemerintah hanya mewajibkan langkah-langkah pemulihan kemampuan keuangan
Negara, agar pemerintah tetap dapat memenuhi kewajibannya untuk menyediakan
layanan kepada masyarakat.2 Selanjutnya, Pejabat yang dimaksud dalam
pengelolaan keuangan Negara dikenal pula bendahara sebagai pengelola keuangan
Negara. Bandahara adalah setiap orang atau Badan yang diberi tugas untuk dan
atas nama Negara menerima, menyimpan dan membayar/menyerahkan uang atau
surat berharga atau barang. Bendahara ini bukan merupakan bendahara umum
keuangan Negara, melainkan bendahara pada kantor/satuan kerja di lingkungan
kementerian Negara/lembaga non kementerian, dan lembaga Negara.3
Ketika Negara mengalami kerugian akibat pengelolaan keuangan Negara
yang tidak benar, Negara wajib mengenakan tuntutan ganti kerugian kepada pihak
yang melakukannya. Pengenaan tuntutan ganti kerugian bertujuan untuk
memulihkan keuangan Negara yang mengalami kekurangan dan dikembalikan
pada keadaan semula sehingga dapat digunakan kembali dalam mencapai tujuan
Negara.4
2
Suyanto Siswo., “Pembuktian Unsur Kerugian Negara Dan Perhitungannya Dalam Tindak
Pidana Korupsi”, disampaikan dalam workshop yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Desember 2007 di Jakarta, Ketua Tim Kerja Penyusunan RUU
Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, dan Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab
Keuangan Negara, http://www.kppngarut.org/component/content/article/41-keuangan/110-
korupsi.html, diakses pada tanggal 30 Mei 2012
3
Saidi Muhammad Djafar., Hukum Keuangan Negara, Edisi Pertama Rajawali Pers, Jakarta,
2008, hlm. 46-47
4
Ibid, hlm.73
4. 4
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan
dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Konsekuensi Yuridis Terhadap
Timbulnya Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Oleh
Bendaharawan?”
5. 5
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI
Pada hakekatnya kejahatan korupsi juga termasuk ke dalam kejahatan
ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai
berikut:5
(1) Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan
(disguise of purpose or intent);
(2) Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si
korban (reliance upon the ingenuity or carelesne of the victim);
(3) Penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation).
Korupsi bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Gejalanya
telah sejak lama dirasakan dan menjadi bahan diskusi di berbagai belahan dunia.
Bahkan sebuah ungkapan dari Lord Acton yang berbunyi : “power tends to
corrupt, absolutely power corrupt absolutely”, seolah menjadi sebuah idiom yang
berlaku seumur hidup. Berbagai pengajaran baik dalam ruang lingkup hukum
maupun politik menggunakan ungkapan dari Lord Acton ini sebagai logika awal.
Dalam Norma umum di masyarakat maupun norma khusus semisal
perundangan, istilah korupsi bisa saja dimaknai beragam. Perbedaaan pengertian
5
Arief Barda Nawawi & Muladi., Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm.56
6. 6
ini menyebabkan implikasi hukum dan sosial yang berbeda pula di mata
masyarakat. Sebuah tindakan korupsi yang merugikan keuangan Negara boleh
jadi secara norma sosial dianggap sebagai tindakan wajar dan tidak melanggar. Ini
karena pandangan dan pemahaman suatu masyarakat terhadap perbuatan korupsi
berbeda dengan masyarakat lainnya.
Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa
Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam
bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti
harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur
yang disangkutpautkan dengan keuangan.6 Menurut M. Dawam Rahardjo,7
korupsi merupakan perbuatan melanggar hukum yang berakibat rusaknya tatanan
yang sudah disepakati. Tatanan itu bisa berwujud pemerintahan, administrasi, atau
manajemen. Sedangkan, menurut Transparansi Internasional, korupsi adalah
“perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak
wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.”8
Salah satu unsur yang mendasar dalam tindak pidana korupsi adalah adanya
kerugian keuangan Negara. Sebelum menentukan adanya kerugian keuangan Negara,
maka perlu ada kejelasan definisi secara yuridis pengertian keuangan Negara.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum ada kesamaan
6
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hlm.115
7
Jeddawi Murtir. H., Mengefektifkan Peran Birokrasi Untuk Memangkas Perilaku Korupsi,
Cetakan Pertama, Total Media (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 2009, hlm 61-62
8
Rais Mohammad Amien., Agenda-Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia!, ctk.Ekstra, PPSK
Press, Yogyakarta, 2008, hlm.177
7. 7
tentang pengertian keuangan Negara. Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara mendefinisikan keuangan Negara adalah
semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara
berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.9 Sedangkan secara teoritis,
pengertian keuangan Negara dapat dilihat dari beberapa pandangan para ahli,
sebagaimana dikutip oleh W.Riawan Tjandra,10 yakni :
Menurut M.Ichwan
Keuangan Negara adalah rencana kegiatan secara
kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam
jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang,
lazimnya 1 (satu) tahun mendatang.
Menurut Geodhart
Keuangan Negara merupakan keseluruhan undang-undang
yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan
pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode
tetrtentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk
menutup pengeluaran tersebut.
Menurut Van der Kemp11
Keuangan Negara adalah semua hak yang dapat dinilai
dengan uang demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang
9
Atmadja Arifin P. Soeria., Keuangan Publik Dalam Persfektif Hukum Teori, Praktik Dan Kritik,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.4
10
Tjandra W.Riawan., Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kelima, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2008, hlm.176
11
Ibid, hlm.178
8. 8
ataupun barang) yang dapat dijadikan milik Negara berhubungan
dengan hak-hak tersebut.
Untuk mengetahui karakteristik tindak pidana korupsi di Indonesia dapat
dilihat di dalam UUTPK (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi) dalam arti materil sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3
UUPTPK diuraikan berikut ini;
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999;
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suau korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”
Bunyi Pasal ini mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak
pidana yaitu:
(1) Setiap orang;
(2) Secara melawan hukum;
(3) Perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau korporasi;
(4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Dalam hukum pidana istilah “sifat melawan hukum” adalah 1 (satu) frase
yang memiliki 4 (empat) makna. Keempat makna tersebut adalah sifat melawan
hukum umum, sifat melawan hukum khusus, sifat melawan hukum formal dan
sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai
syarat umum dapat di pidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan
pidana oleh Ch. J. Enschede sebagai “een menseijk gedraging die val binnen de
9. 9
grenzen van delictsomschrijving, wederrechtelijk is en aan schuld te wijten”
(perbuatan pidana adalah suatu perbuatan manusia yang termasuk dalam rumusan
delik, melawan hukum dan kesalahan yang dapat dicelakan padanya).
Sifat melawan hukum khusus, biasanya kata “melawan hukum”
dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian sifat melawan hukum
merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Sebenarnya
penyebutan kata “melawan hukum” secara eksplisit dalam rumusan delik merujuk
pada ilmu hukum Jerman yang diajarkan sejumlah pakar antara lain, Zevenbergen
dan pengikutnya di Belanda, Simon. Menurut padangan ini, melawan hukum
hanya merupakan unsur delik sepanjang disebutkan dengan tegas dalam peraturan
perundang-undangan.
Berbeda dengan pandangan sebagian besar ilmuan hukum pidana
Belanda12 yang berangkat dari anggapan bahwa siapa yang melakukan suatu
perbuatan perundang-undangan pidana berarti ia melakukan tindak pidana dan
dengan demikian bertindak secara melawan hukum. Dengan kata lain, kendatipun
kata “melawan hukum” tidak disebutkan dalam rumusan delik, maka secara diam-
diam sifat melawan hukum tersebut telah ada dalam suatu delik. Lebih tegasnya
lagi dinyatakan oleh Hazewinkel Suringa, “De wederrechtelijkheid is slects daar,
waar de wet haar noemt, element en verder allen maar het kenmerk van ieder
delict” (melawan hukum merupakan unsur mutlak jika disebutkan dengan tegas
12
Eddy.O.S. Hiariej., “Telaah Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Dan Dampaknya Terhadap
Pemberantasan Korupsi”, Jurnal Berkala Fakultas Hukum UGM-Mimbar Hukum, Volume 18,
Nomor 3, Oktober, 2006, hlm.295
10. 10
dalam undang-undang, jika tidak maka sifat melawan hukum adalah sebagai ciri
suatu peristiwa pidana).
Sifat melawan hukum formal mengandung arti semua bagian (unsur-
unsur) dari rumusan delik telah dipenuhi. Sebaliknya, sifat melawan hukum
material terdapat 2 (dua) pandangan. Pertama, sifat melawan hukum material
dilihat dari sudut perbuatannya. Hal ini mengandung arti perbuatan yang
melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungai oleh
pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Kedua, sifat melawan
hukum material dilihat dari sudut sumber hukumnya. Hal ini mengandung makna
bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam
masyarakat, asas-asas kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial
dalam masyarakat. Perkembangan selanjutnya,13 sifat melawan hukum material
ini masih dibagi lagi menjadi sifat melawan hukum material dalam fungsinya
yang negatif dan sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang positif.
Sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang negatif berarti
meskipun perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa
keadilan masyarakat, maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Sebaliknya, sifat
melawan hukum material dalam fungsinya yang positif, mengandung arti bahwa
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
13
Ibid, hlm.296
11. 11
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.
Apabila dikaji Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberatasan Tindak
Pidana Korupsi berikut penjelasannya, maka secara jelas terlihat bahwa sifat
melawan hukum dalam undang-undang tersebut mengandung ke-4 (keempat)
makna sebagaimana telah diuraikan diatas. Sifat melawan hukum umum dan sifat
melawan hukum formal telah melekat dengan sendirinya, mengingat korupsi
adalah perbuatan pidana. Sementara sifat melawan hukum khusus tergambar dari
kata-kata “melawan hukum” yang ada dalam rumusan delik. Sedangkan sifat
melawan hukum material secara eksplisit dicantumkan dalam Penjelasan.14
Kerugian Negara berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-
undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang menyebutkan bahwa salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam
mengungkapkan terjadinya tindak pidana korupsi adalah dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara. Menurut Nieuwenhuis,15 kerugian
adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu disebabkan oleh perbuatan
(melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.
14
Ibid, hlm.297
15
Miru Ahmadi., Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hlm.81
12. 12
Unsur “dapat merugikan keuangan Negara” memang merupakan delik
formil,16 artinya tidak perlu telah terjadi kerugian keuangan atau perkeonomian
Negara. Kendati begitu, menurut Andi Hamzah, tetap harus dibuktikan “dapatnya
Negara rugi”. Jadi, harus dipanggil ahli akuntan untuk menilai menurut
perhitungannya, dapatkah Negara rugi. Andi Hamzah menilai berlebihan terhadap
penafsiran yang mengatakan “dapat merugikan keuangan Negara” adalah
“potensial” merugikan keuangan Negara. Alasannya, kata “potensial” itu luas
sekali artinya. Misalnya, semua orang potensial melakukan kejahatan, sedangkan
yang melakukan kejahatan hanya minoritas dari rakyat. Jadi, menurut Andi
Hamzah, terlampau luas jika kata”dapat” diartikan “potensial”. Mestinya tetap
ada perhitungan oleh akuntan mengenai “dapatnya Negara rugi”.17
Unsur kerugian Negara sering menjadi polemik karena memiliki
pengertian yang dapat dilihat dari beberapa perspektif hukum, yaitu berdasarkan
perspektif hukum administrasi negarra, hukum perdata dan hukum pidana, yang
lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut :18
16
lihat; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang
meniadakan berlakunya penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999,
sehingga perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yaitu perbuatan yang dianggap
tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial masyarakat,
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, karena pengertian melawan
hukum secara materiil dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
17
Andi Samsan Nganro., “Tindak Pidana Korupsi Dalam Perundang-undangan Di Indonesia”, Al
Manãhij, Volume 2, Nomor I, 1 januari-Juni 2008, hlm.123
18
Setyo Utomo., Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Pada Jasa Konsultan; Materi disampaikan
dalam Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Ikatan
Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) tentang “Permasalahan Hukum Pada Pelaksanaan
Kontrak Jasa Konsultasi dan Pencegahan Korupsi di Lingkungan Instansi Pemerintah”, yang
diselenggarakan di Balai Sidang Djokosoetono Gedung F Lantai 2 FH-UI Depok, Selasa 22 Juni
2010, hlm.9-10
13. 13
(1) Pengertian kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum
administrasi Negara, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 22
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan
pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai. Rumusan pengertian kerugian Negara dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
ini sama dengan rumusan pengertian kerugian Negara sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Pengertian kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum perdata
terkait dengan pengertian keuangan Negara yang dikelola oleh
perusahaan Negara/perusahaan daerah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara. Jadi kerugian Negara disini adalah berkurangnya Kekayaan
Negara/Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga atau saham, piutang, barang, serta hak-
hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah yang
disebabkan oleh perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang
telah ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam Undang-
14. 14
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoan Terbatas dan Undang-
Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
(3) Pengertian kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum pidana
adalah suatu perbuatan yang menyimpang terhadap penggunaan dan
pengelolaan keuangan Negara sehingga dapat dikualifikasikan
sebagai perbuatan merugikan Negara atau dapat merugikan Negara
sebagai tindak pidana korupsi, dengan pemenuhan unsur-unsur :
pertama, perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum,
baik dalam pengertian formil maupun materil atau penyalahgunaan
wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya, dan kedua,
para pihak ada yang diperkaya dan diuntungkan, baik si pelaku
sendiri, orang lain atau korporasi (Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun
2001).
Jika mengacu pada pengertian kerugian Negara berdasarkan perspektif
hukum administrasi Negara maka pengertiannya disini adalah pengertian kerugian
Negara yang memaknai pengertian keuanan Negara, sehingga berbeda dengan
kerugian Negara yang terdapat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang merupakan pengertian yang spesifik dan merupakan lex specialias
derogat legi generalis sistematis, yaitu meskipun sama-sama bersifat khusus,
tetapi yang mendominasi adalah lingkup kepentingannya dalam hal ini adalah
pidana. Tegasnya penerapannya harus melihat kepada lingkup permasalahannya,
15. 15
jika menyangkut masalah pidana maka yang diberlakukan adalah hukum pidana,
sehingga mengesampingkan hukum perdata dan hukum administrasi Negara.
Sebagai contoh dalam praktek selama ini dalam hal penerapan pengertian Pegawai
Negeri, walaupun diatur di dalam Undang-Undang Kepegawaian Nomor 8 Tahun
1974 jo. UU No. 43 Tahun 1999, tetapi yang digunakan dalam tindak pidana
korupsi adalah pengertian pegawai negeri di dalam Undang-Undang No.31 Tahun
1999 jo. Undang-Undang jo. No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tinak
Pidana Korupsi, bahkan pengertian sesama hukum pidana termuat dalam KUHP
juga diabaikan.
Dengan memperhatikan rumusan keuangan Negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999, maka kerugian keuangan Negara
tersebut dapat berbentuk :19
1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan Negara/daerah (dapat berupa
uang, barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan.
2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan Negara/daerah lebih besar dari
yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku.
3. Hilangnya sumber/kekayaan Negara/daerah yang seharusnya
diterima (termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu,
barang fiktif).
19
Soepardi Eddy Mulyadi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur
Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan pada ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas
Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009, hlm.3
16. 16
4. Penerimaan sumber/kekayaan Negara/daerah lebih kecil/rendah
dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak,
kualitas tidak sesuai).
5. Timbulnya suatu kewajiban Negara/daerah yang seharusnya tidak
ada.
6. Timbulnya suatu kewajiban Negara/daerah yang lebih besar dari
yang seharusnya.
7. Hilangnya suatu hak Negara/daerah yang seharusnya
dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku.
8. Hak Negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya
diterima.
B. SUMBER KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
Dalam kasus kerugian Negara, ada empat akun besar yang bisa menjadi
sumber dari kerugian Negara, sebagaimana dikemukakan oleh Theodorus M.
Tuanakotta20 dalam bukunya Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam
Tindak Pidana Korupsi menggambarkannya dalam pohon kerugian keuangan
Negara yang dijelaskan seperti di bawah ini. Pohon kerugian keuangan Negara
mempunyai empat (4) cabang, dalam hal ini yaitu akun. Masing-masing akun
20
“Pohon Kerugian Keuangan Negara”, http://shartika2009.wordpress.com/2011/04/24/pohon-
kerugian-keuangan-Negara/, diakses pada tanggal 17 Mei 2012
17. 17
mempunyai cabang yang menunjukkan kaitan antara perbuatan melawan hukum
dengan akun-akun tersebut. Keempat akun tersebut adalah :
(1) Aset (Asset)
(2) Kewajiban (Liability)
(3) Penerimaan (Revenue)
(4) Pengeluaran (Expenditure)
Dengan menggunakan istilah bahasa Inggris diatas, pohon kerugian
keuangan Negara ini sering disebut dengan R.E.A.L tree.
18. 18
a) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Aset
Terdapat 5 sumber kerugian keuangan Negara terkait dengan aset.
Seperti yang dijelaskan pada bagian di bawah ini.
1. Pengadaan Barang dan Jasa
Bentuk kerugian keuangan Negara dari pengadaan barang dan jasa adalah
pembayaran yang melebihi jumlah seharusnya. Bentuk kerugian ini dapat
berupa:
a) Markup untuk barang yang spesifikasinya sudah sesuai dengan
dokumen tender dan kuantitasnya sesuai dengan pesanan, tetapi
harganya lebih mahal.
b) Harga secara total sesuai dengan kontrak, tetapi kualitas dan/atau
kuantitas barang lebih rendah dari yang disyaratkan.
c) Syarat penyerahan barang lebih istimewa sedangkan syarat
pembayaran tetap, sehingga menimbulkan kerugian bunga.
d) Syarat pembayaran lebih baik, tetapi syarat lainnya seperti kualitas
dan kuantitas tetap, sehingga menimbulkan kerugian bunga.
e) Kombinasi dari beberapa kerugian di atas.
2. Pelepasan Aset
Bentuk dan kerugian yang dapat ditimbulkan:
a) Penjualan aset yang dilakukan berdasarkan nilai buku sebagai patokan
dimana panitia penjualan menyetujui harga jual di atas harga buku.
Sehingga, para pelaku bisa berkelit bahwa penjualan aset telah
19. 19
menguntungkan Negara. Padahal pada kenyataannya, penjualan
tersebut bisa dilakukan dengan atau tanpa tender. Praktik tender yang
curang serupa dengan proses tender pada pengadaan barang dan jasa
seperti yang telah dijelaskan di atas.
b) Penjualan tanah dan bangunan “diatur” melalui NJOP hasil kolusi
dengan pejabat terkait. NJOP di sini berperan sebagai nilai buku
seperti pada poin “a” di atas.
c) Tukar guling (ruilslag) tanah dan bangunan milik Negara dengan
tanah, bangunan, atau aset lain. Dengan demikian aset ditukar dengan
aset sehingga nilai pertukarannya sulit ditentukan. Masalah lainnya
adalah surat kepemilikan, penguasaan atas tanah, peruntukan tanah
yang diterima dalam tukar guling. Aset Negara yang bernilai tinggi di-
ruilslag dengan tanah bodong (substance disamarkan melalui form).
d) Pelepasan hak Negara untuk menagih. Para makelar perkara (biasa
disebut juga dengan makelar kasus atau markus) memberikan
perangsang kepada penguasa untuk menghilangkan hak tagih. Atau
sebaliknya, penegak hukum melihat peluang untuk berkooptasi dengan
para markus. Besarnya kerugiannya bukan semata-mata hilangnya
jumlah pokok, tetapi juga kerugian bunga sejak hak tagih hilang
sampai terpidana membayar kembali berdasakan putusan majelis
hakim.
20. 20
3. Pemanfaatan Aset
Hal ini dilakukan ketika lembaga-lembaga Negara mempunyai aset yang
belum dimanfaatkan secara penuh, “salah beli”, atau “salah urus” dan pihak
ketiga meihat peluang untuk memanfaatkan kekayaan Negara ini, tetapi
bukan melalui transaksi jual beli, seperti sewa, kerja sama operasional, atau
kemitraan strategis.
Bentuk kerugian keuangan Negara dari pemanfaatan aset antara lain:
(1) Negara tidak memperoleh imbalan yang layak jika
dibandingkan dengan harga pasar.
(2) Negara ikut menanggung kerugian dalam kerja sama
operasional yang melibatkan aset Negara yang “dikaryakan”
kepada mitra usaha.
(3) Negara kehilangan aset yang dijadikan jaminan kepada pihak
ketiga. Misalnya aset tersebut dijadikan sebagai inbreng.
Potensi terjadinya kerugian menjadi lebih besar ketika asetnya
tidak bertuan. Contohnya adalah aset yang dibangun Pemerintah Pusat
dengan dana APBN, tetapi tidak tercatat sebagai aset baik di Pemerintah
Pusat maupun Pemda.
4. Penempatan Aset
Penempatan aset merupakan penanaman atau investasi dari dana-
dana milik Negara. Kerugian keuangan Negara terjadi ketika adanya unsur
kesengajaan menempatkan dana-dana tersebut pada investasi yang tidak
21. 21
seimbang antara risk dan reward-nya. Apabila mereka memiliki kelebihan
dana, mereka sering tergoda untuk melakukan penempatan aset dengan
resiko yang relatif tinggi dibandingkan dengan imbalannya. Ciri yang
sering menonjol adalah tidak sejalannya usaha baru dengan bisnis inti.
Ketika usaha barunya gagal, mereka sering berdalih bahwa ini bukanlah
kerugian keuangan Negara, melainkan sekadar business loss yang sangat
lazim di dunia bisnis. Apabila penempatan aset memberikan hasil atau
keuntungan, para pejabat dapat menerima keuntungan. Sebaliknya, ketika
penempatan aset menimbulkan kerugian, mereka “lepas tangan”.
Penempatan aset merupakan kiat para pelaku kejahatan berkerah
putih dimana seluruh transaksi didukung dengan dokumen hukum yang sah
dan lengkap. Bentuk luarnya sempurna, tapi substansinya bodong.
Bentuk-bentuk kerugian Negara dari penempatan aset antara lain:
1) Imbalan yang tidak sesuai dengan risiko.
Besarnya kerugian sebesar selisih bunga ditambah premi untuk
faktor tambahan risiko dengan imbalan yang diterima selama
periode sejak dilakukannya penempatan aset sampai dengan
pengembaliannya.
2) Jumlah pokok yang ditanamkan dan yang hilang. Besarnya
kerugian sebesar jumlah pokok dan bunga.
22. 22
3) Jika ada dana-dana pihak ketiga yang ikut hilang dan ditalang oleh
Negara, maka kerugiannya adalah sebesar jumlah pokok dari dana
talangan beserta bunganya.
5. Kredit Macet
Kredit diberikan dengan melanggar rambu-rambu perkreditan, baik
yang ditetapkan oleh BI maupun oleh Bank BUMN itu sendiri dimana
sebenarnya kredit ini sudah diperkirakan akan macet. Bankir yang menjadi
koruptor tersebut akan menggunakan alasan bahwa kredit macet merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari risiko perbankan. Pemberian kredit
dengan cara ini merupakan kejahatan kerah putih, dilakukan dalam bentuk
kolusi antara pejabat bank dan sarat dengan benturan kepentingan.
Oleh karena proses pemberian kredit dilakukan dengan cara
melawan hukum, bentuk kerugian Negara berupa jumlah pokok dan bunga
tanpa dikurangi hair cut.
b) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Kewajiban
Terdapat 3 jenis kerugian Negara berkaitan dengan kewajiban di
antaranya perikatan yang menimbulkan kewajiban nyata, kewajiban bersyarat
yang menjadi nyata, dan kewajiban tersembunyi.
1. Perikatan yang Menimbulkan Kewajiban Nyata
Dokumentasinya terlihat sah, tetapi isinya sebenarnya bodong,
dimana transaksi istimewa diselipkan diantara transaksi normal karena
mengetahui bahwa transaksi ini akan bermasalah. Sifat fraud-nya
23. 23
adalah penjarahan kekayaan Negara melalui penciptaan transaksi fiktif
yang menyerupai transaksi normal. Bentuk kerugiannya adalah jumlah
pokok kewajiban dan bunga selama periode sejak timbulnya kewajiban
nyata sampai dengan pengembalian dana oleh terpidana.
2. Kewajiban yang berasal dari kewajiban bersyarat
Pejabat lembaga Negara, BUMN, dan lain-lain mengadakan
perikatan dengan pihak ketiga yang pada awalnya merupakan
contingent liability. Laporan keuangan lembaga tersebut tidak
menunjukkan adanya kewajiban karena masih merupakan kewajiban
bersyarat. Pada akhirnya, pihak ketiga tidak mampu memenuhi
kewajibannya sehingga lembaga Negara yang menjadi penjaminnya
memiliki kewajiban nyata yang sebelumnya adalah kewajiban
bersyarat.
Bentuk kerugian keuangan Negara adalah sebesar jumlah
pokok kewajiban dan bunga selama periode sejak kewajiban bersyarat
berubah menjadi kewajiban nyata sampai saat pengembalian dana
tersebut oleh terpidana.
3. Kewajiban Tersembunyi
Kewajiban tersembunyi mencuat dalam kasus aliran dana suatu
lembaga besar yang diduga untuk membantu mantan pejabatnya
mengatasi masalah hukum. Dalam praktiknya, kantor-kantor akuntan
yang termasuk dalam Big Four senantiasa memfokuskan suatu audit
pada pengeluaran untuk masalah hukum karena legal expenses
24. 24
merupakan tempat persembunyian segala macam biaya yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini mengakibatkan adanya kecenderungan dari pihak
pimpinan lembaga untuk membersihkan pembukuan ketika auditor
menemukan penyimpangan ini, yaitu dengan dua cara:
a) Menciptakan aset bodong untuk menghindari
pengeluaran fiktif.
b) Aset bodong tersebut dihilangkan melalui kewajiban
kepada pihak yang masih terafiliasi.
Bentuk kerugian Negara adalah sebesar jumlah pokok
kewajiban dan bunga sejak periode dana diterima oleh pelaku
kejahatan sampai saat pengembaliannya.
Dari ketiga jenis ranting kewajiban di atas, pola penghitungan
kerugian keuangan Negara cukup sederhana.
c) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan Penerimaan
Penerimaan Negara umumnya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya:
(1) Penerimaan yang bersumber dari perpajakan atau bea dan cukai,
(2) Penerimaan pemerintah yang merupakan bagian pemerintah atas
pengelolaan minyak dan gas bumi, batu bara, serta mineral lainnya.
(3) Penerimaan Negara bukan pajak (PNBP). PNBP ini dapat
ditemukan di hampir semua lembaga namun pertanggungan
25. 25
jawabnya tidak selalu ada atau terbuka untuk diperiksa oleh BPK,
sehingga penerimaan ini rawan korupsi. Contohnya di Perguruan
Tinggi, Rektor, Dekan, dan pejabat struktural lainnya mempunyai
kewenangan atas PNBP.
Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara dapat kita lihat ada tiga sumber
kerugian keuangan Negara sebagai berikut.
1. Wajib Bayar Tidak Menyetor Kewajibannya
Inisiator: pihak ketiga yang menjadi wajib pungut.
Contoh: Dalam beberapa Undang-Undang wajib bayar menghitung dana
menyetorkan kewajibannya ke kas Negara. Kelalaian para
wajib bayak akan menimbulkan kerugian keuangan Negara.
Negara bukan saja tidak menerima jumlah yang menjadi
kewajiban wajb bayar, tetapi juga kehilangan bunga atas
penerimaan tersebut karena adanya unsur waktu (keterlambatan
menyetor).
(1) Penerimaan Negara Tidak Disetor Penuh oleh Pejabat yang
Bertanggung Jawab
Inisiator: Lembaga Negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun
pejabat yang berwenang tidak meminta dilakukannya setoran
penuh.
Contoh: Selisih antara ”tarif tinggi” dan ”tarif rendah” dalam
pengurusan dokumen keimigrasian di Kedutaan Besar RI di
Malaysia.
26. 26
(2) Penyimpangan dalam Melaksanakan Diskresi Berupa Pengurangan
Pendapatan Negara
Inisiator: Lembaga Negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun
ada kewenangan untuk melakukan pemotongan penerimaan
Negara.
Secara substansi ketiga ranting di atas merupakan penerimaan Negara
yang tidak disetorkan sebagian atau seluruhnya, atau tidak disetorkan tepat
waktu. Dengan demikian perhitungannya yakni, Jumlah kerugian Negara =
sebesar jumlah penerimaan Negara yang tidak disetorkan ditambah bunga
untuk periode sejak saat penerimaan Negara seharusnya disetorkan sampai saat
terpidana mengembalikan penerimaan Negara tersebut. Secara umum pola
perhitungannya sama dengan pola perhitungan kewajiban, yaitu pokok
ditambah bunga.
c) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan Pengeluaran
Kerugian keuangan Negara terjadi karena pengeluaran Negara
dilakukan lebih dari seharusnya, atau pengeluaran Negara seharusnya tidak
dilakukan, dan/atau pengeluaran Negara dilakukan lebih cepat.
Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara, kerugian keuangan Negara
berkenaan dengan transaksi pengeluaran dapat terjadi karena hal-hal berikut.
1. Kegiatan Fiktif/Pengeluaran Fiktif
27. 27
Tidak dilaksanakannya kegiatan yang dicantumkan dalam anggaran
(APBN, APBD, anggaran BUMN, dan seterusnya) tetapi dilaporkan
seolah-olah sudah dilaksanakan.
Contoh: Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk
mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai
dengan peruntukannya, kemudian mempertanggungjawabkan
pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-
bukti yang tidak benar atau fiktif.
2. Pengeluaran Berdasarkan Ketentuan Perundang-Undangan yang Sudah
Tidak Berlaku Lagi
Contoh: pengeluaran Pemda, pejabat Pemda menerbitkan peraturan daerah
dengan merujuk peraturan perundang-udangan yang tidak berlaku.
Kepala daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar
pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak
berlaku lagi.
3. Pengeluaran Bersifat Resmi, Tetapi Dilakukan Lebih Cepat
Contoh: dalam kasus pembayaran kepada pemasok atau kontraktor,
pembayaran kepada mereka dilakukan sebelum kemajuan kerja
yang disepakati tercapai.
Jadi penghitungannya yakni, Jumlah kerugian Negara = sebesar
uang yang dibelanjakan untuk kegiatan fiktif, ditambah dengan bunga
28. 28
selama periode sejak dikeluarkannya uang tersebut sampai uang
dikembalikan terpidana.
3. KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP TIMBULNYA KERUGIAN
KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH
BENDAHARAWAN
Seseorang baru dapat dikenakan tindak pidana korupsi menurut Undang-
Undang bila seseorang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga
dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum yang disimpannya
karena jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh
orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak memberikan rumusan yang jelas dan
tegas mengenai apa yang disebut dengan kerugian keuangan Negara. Dalam
Penjelasan Pasal 32 hanya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian
keuangan Negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya
berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang
ditunjuk.
29. 29
Adapun siapa instansi yang berwenang dimaksud, tidak dijelaskan lebih
lanjut. Namun demikian, mengacu pada beberapa ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka sekurang-kurangnya tiga instansi yang berwenang,
yaitu BPK, BPKP dan Inspektorat baik di tingkat pusat dan daerah.
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP
mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan
keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kewenangan BPKP tidak hanya sampai disitu saja, BPKP
juga dapat melakukan pemeriksaan khusus atau audit investigasi untuk
membongkar kasus-kasus yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang yang
mengakibatkan kerugian Negara atau menguntungkan sebagian orang. Bila ada
indikasi terjadinya tindak pidana korupsi maka acuan yang digunakan BPKP
dalam melakukan audit investigasnya adalah Undang-undang No. 31 Tahun 1999
jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Berdasarkan fungsi dan wewenangnya, disini terlihat bahwa peran BPKP
dalam upaya pemberantasan korupsi dapat dijadikan modal dasar yang kuat dalam
memerangi kejahatan korupsi.
BPK memperoleh kewenangan berdasarkan Pasal 23 E Undang-Undang
Dasar 1945, sebagai lembaga pemeriksa keuangan yang memperolah kewenangan
berdasarkan atributif melalui undang-undang. Pemeriksa menurut Undang-undang
No. 15 Tahun 2004 adalah orang yang melakukan tugas pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan Negara untuk dan atas nama BPK yang dapat
30. 30
melakukan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian
Negara/daerah dan atau unsur tindak pidana korupsi.
Berbeda dengan BPKP yang memperoleh kewenangan melakukan audit
investigatif berdasarkan PP No. 60 Tahun 2008 yang hanya merupakan bagian
dari sistem pengendalian intern pemerintah dalam kaitannya dengan pengawasan
intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah yang bersifat
preventif. Artinya BPKP tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam melakukan
pemeriksaan investigatif berkaitan dengan unsur tindak pidana korupsi. Sehingga
ketika ditemukan adanya kerugian Negara yang mengandung unsur pidana, maka
kewenangan tindak lanjut atas temuan tersebut sampai pada proses hukumnya
adalah menjadi kewenangan BPK.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan bahwa BPK menilai
dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara,
pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan keuangan Negara. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Peraturan
BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian
Negara Terhadap Bendahara menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan
dapat membentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan dalam rangka memproses
penyelesaian kerugian Negara terhadap bendahara. Berdasarkan ketentuan
tersebut, Majelis Tuntutan Perbendaharaan merupakan suatu lembaga ad hock
yang dibentuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan kewenangan
31. 31
BPK dalam menilai dan/ atau menetapkan kerugian Negara/daerah terhadap
bendahara serta menerbitkan Keputusan-Keputusan BPK berkaitan dengan
penetapan kerugian Negara/daerah. Majelis Tuntutan Perbendaharaan diketuai
oleh Wakil Ketua BPK dan beranggotakan Anggota BPK.
Secara tertulis, hal-hal mengenai Majelis Tuntutan Perbendaharaan tidak
secara jelas ditulis dalam Undang-Undang mulai dari ICW dan IAR sampai
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan, kecuali dalam ketentuan Pasal Pasal 41 Peraturan BPK Nomor 3
Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap
Bendahara yang menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan dapat
membentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan dalam rangka memproses
penyelesaian kerugian Negara terhadap bendahara meskipun pengaturan
mengenai hal tersebut sudah dimuat sejak jaman ICW, yaitu dalam ketentuan
Pasal 55a sampai dengan Pasal 58 ICW. Kewenangan melakukan Tuntutan
Perbendaharaan dahulu bersumber pada ICW Pasal 58 yang menyatakan bahwa
Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan, dimana ditetapkan suatu jumlah uang,
yang dalam hal menyangkut pengurusan Bendaharawan, harus diganti kepada
Negara, atau dimana dikenakan suatu denda bagi seorang Bendaharawan,
dikeluarkan atas nama keadilan. Salinan keputusan itu berkepala : "Atas nama
keadilan" yang ditandatangani oleh Ketua BPK, mempunyai kekuatan yang sama
dan dilaksanakan dengan cara yang sama, sebagai keputusan hakim (vonis) yang
mempunyai kekuatan yang tetap dalam perkara perdata ". Dalam paket Undang-
Undang Tentang Keuangan Negara, ketentuan yang mengatur tentang TP
32. 32
(tuntutan perbendaharaan) dan TGR (tuntutan ganti rugi) dimuat dalam Pasal 35
ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 59 UU No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang mengatur tentang
pertanggungjawaban dan Tuntutan Ganti Rugi (TGR) bagi ordonatur dan pegawai
negeri lainnya, karena perbuatan-perbuatan melanggar hukum atau kelalaian.
Majelis mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan verifikasi dan
pemeriksaan atas dokumen kasus kerugian Negara terhadap bendahara yang
disampaikan kepada BPK, menilai dan /atau menetapkan jumlah kerugian Negara
yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang
dilakukan oleh bendahara dan menilai dan memutuskan keberatan yang diajukan
bendahara berkenaan dengan penerbitan Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu
(SKPBW).
Keputusan-keputusan BPK yang diterbitkan oleh Majelis dalam rangka
penyelesaian kerugian Negara/daerah meliputi :
1. SK Pembebasan dalam hal tidak terpenuhinya unsur-unsur kerugian
Negara atau diterimanya keberatan Bendahara;
2. Surat kepada instansi tentang penyelesaian ganti kerugian
Negara/daerah menggunakan SKTJM21 dalam hal terpenuhinya unsur-
unsur kerugian Negara;
21
“Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disebut SKTJM adalah surat
keterangan yang menyatakan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa yang
bersangkutan bertanggung jawab atas kerugian Negara yang terjadi dan bersedia
mengganti kerugian Negara dimaksud.”
33. 33
3. SK-PBW22 dalam hal Bendahara tidak bersedia melaksanakan ganti
rugi menggunakan SKTJM, Instansi tidak menyampaikan dokumen
Laporan Verifikasi Hasil Penelitian Terjadinya Kerugian Negara;
4. Surat Keputusan Pembebanan dalam hal tidak terdapat keberatan dari
Bendahara dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah
penerbitan SK-PBW, telah terlampauinya jangka waktu 40 (empat
puluh) hari sejak ditandatangani SKTJM namun kerugian Negara
belum diganti sepenuhnya dan keberatan Bendahara ditolak atau
diterima sebagian.23
Terkait dengan pandangan diatas, UU Keuangan Negara maupun UU
Perbendaharaan Negara hanya menuntut agar semua kekayaan yang berkurang
sebagai akibat kesalahan pengelolaan dipulihkan kembali. Namun demikian,
dalam masalah kerugian Negara tersebut harus dibedakan antara kerugian Negara
sebagai akibat kesalahan dalam pengelolaan, dan kerugian Negara sebagai akibat
tindakan kecurangan/penyalahgunaan kewenangan pejabat pengelola keuangan
(financial fraud). Dalam hal yang terakhir ini, pemulihan terhadap kekayaan
Negara saja dirasakan tidak cukup adil. Tindakan kecurangan yang dapat
menimbulkan kerugian Negara dimaksud telah menghambat pemerintah untuk
dapat melaksanakan kewajibannya. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai
22
“Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu yang selanjutnya disebut SK-PBW adalah surat
keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan tentang pemberian
kesempatan kepada bendahara untuk mengajukan keberatan atau pembelaan diri atas
tuntutan penggantian kerugian Negara.”
23
“Majelis Tuntutan Perbendaharaan”, http://sikad.bpk.go.id/or_mtp.php, diakses pada tanggal 30
Mei 2012
34. 34
tindakan yang merugikan kepentingan umum ataupun bersifat melawan hukum.
Atas dasar hal tersebut, tindakan curang yang merugikan keuangan Negara
disamping diwajibkan memulihkan kerugian yang terjadi masih pula dikenakan
sanksi lain dalam bentuk sanksi24 administratif, perdata, ataupun pidana.25
Selanjutnya, hal-hal yang dapat merugikan keuangan Negara dapat
ditinjau dari beberapa aspek, antara lain aspek pelaku, sebab, waktu dan cara
penyelesaiannya, disebutkan Eddy Mulyadi Soepardi, yaitu :26
1. Ditinjau Dari Aspek Pelaku
a. Perbuatan Bendaharawan yang dapat menimbulkan kekurangan
perbendaharaan, disebabkan oleh antara lain adanya pembayaran,
pemberian atau pengeluaran kepada pihak yang tidak berhak,
pertangungjawaban/laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan,
penggelapan, tindak pidana korupsi dan kecurian karena kelalaian.
b. Pegawai negeri non bendaharawan, dapat merugikan keuangan Negara
dengan cara antara lain pencurian atau penggelapan, penipuan, tindak
pidana korupsi, dan menaikkan harga atau merubah mutu barang.
c. Pihak ketiga dapat mengakibatkan kerugian keuangan Negara dengan
cara antara lain menaikkan harga atas dasar kerjasama dengan pejabat
yang berwenang, dan tidak menepati perjanjian (wanprestasi).
2. Ditinjau Dari Aspek Sebab27
24
Pasal 38 Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian
Negara Terhadap Bendahara
25
Suyanto Siswo., Pembuktian Unsur Kerugian…, Op.cit.
26
Soepardi Eddy Mulyadi., Memahami Kerugian Keuangan..., Op.cit. hlm.4
27
Ibid, hlm.5
35. 35
Jika ditinjau dari faktor penyebabnya, maka perbuatan yang bisa
menyebabkan kerugian keuangan Negara adalah sebagai berikut:
a. Perbuatan manusia, yakni perbuatan yang sengaja seperti diuraikan pada
point sebelumnya, perbuatan yang tidak disengaja, karena kelalaian,
kealpaan, kesalahan atau ketidakmampuan, serta pengawasan terhadap
penggunaan keuangan Negara yang tidak memadai.
b. Kejadian alam, seperti bencana alam (antara lain, gempa bumi, tanah
longsor, banjir dan kebakaran) dan proses alamiah (antara lain, membusuk,
menguap, mencair, menyusut dan mengurai).
c. Peraturan perundang-undangan dan atau situasi moneter/perekonomian,
yakni kerugian keuangan Negara karena adanya pengguntingan uang
(sanering), gejolak moneter yang mengakibatkan turunnya nilai uang
sehingga menaikkan jumlah kewajiban Negara dan sebagainya.
3. Ditinjau dari aspek waktu
Tinjauan dari aspek waktu disini dimaksudkan untuk memastikan apakah
suatu kerugian keuangan Negara masih dapat dilakukan penuntutannya atau
tidak, baik terhadap bendaharawan, pegawai negeri non bendaharawan, atau
pihak ketiga.
1) Dalam Pasal 66 Undang-undang No. 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara disebutkan :
a. Dalam hal bendahara, pengawai negeri bukan bendahara, atau
pejabat lain yang dikenai tuntutan ganti kerugian Negara/daerah
berada dalam pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia,
36. 36
penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada
pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris,28 terbatas kepada
kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang berasal dari
bendahara, pengawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain yang
bersangkutan.
b. Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk
membayar ganti kerugian Negara/daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak
keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada
bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang
bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia,
pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh
pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian Negara/daerah.
2) Dalam hal tuntutan ganti rugi perlu diperhatikan ketentuan kadaluarsa,
sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UU Perbendaharaan Negara, yang
ditentukan bahwa, ”kewajiban bendahara, pegawai negeri bukan bendahara,
atau pejabat lain yang membayar ganti rugi, menjadi kadaluarsa jika dalam
waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8
(delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti
rugi terhadap yang bersangkutan.
28
Pasal 38C Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang
nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi disebutkan bahwa
apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui
masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal
dari Tindak Pidana Korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka Negara dapat melakukan
gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
37. 37
4. Ditinjau dari aspek cara penyelesaiannya
(1) Tuntutan Pidana/Pidana Khusus (Korupsi).
(2) Tuntutan Perdata
(3) Tuntutan Perbendaharaan (TP)
(4) Tuntutan Ganti Rugi (TGR)
Apabila dalam proses tuntutan kepada bendaharawan sebagai akibat
adanya kerugian keuangan Negara yang dilakukan terhadap secara administrasi
yaitu melalui peraturan BPK No.3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian
Ganti Kerugian Terhadap Bendahara, ditemukan adanya unsur-unsur dari tindak
pidana korupsi dari perbuatan bendahara yang merugikan keuangan Negara, maka
bendaharawan tersebut dapat dituntut berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 jo UU
No 20 Tahun 2001 karena telah melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam pengertian yuridis,29 pengertian korupsi tidak hanya terbatas
kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang
memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan.
Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
(1) Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara.
29
Hendarman Supandji, “Model Penegakan Hukum Di Daerah, Persoalan Dan Implementasinya”,
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Makalah disampaikan pada RAKERNAS APPSI tanggal 9
Juli 2007 di Pontianak, Kalimantan Barat, http://www.pn-
pandeglang.go.id/attachments/125_makalah%20jaksa%20agung.pdf, diakses pada tanggal 11 Juni
2012, hlm.2-3
38. 38
(2) Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun
pasif (yang disuap).
(3) Kelompok delik pengelapan.
(4) Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion).
(5) Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir
dan rekanan.
Sementara itu, jika ada aparat hukum yang berpendapat bahwa kesalahan
seorang pegawai negeri yang termasuk dalam lingkup hukum administrasi yang
berakibat merugikan keuangan Negara bukan termasuk tindak pidana korupsi
namun merupakan kesalahan administrasi (kesalahan prosedur) yang seharusnya
diselesaikan melalui jalur administrasi dengan menerapkan sanksi administrasi
berupa pembayaran ganti rugi. Padahal, unsur melawan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001
bukan hanya sifat melawan hukum dalam arti pidana, namun juga mencakup
melawan hukum administrasi. Dengan demikian, kesalahan atau pelanggaran
terhadap hukum administrasi dapat diadopsi ke dalam sifat melawan hukum
sebagaimana dimaksud dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila
dari kesalahan administrasi tersebut telah menimbulkan kerugian keuangan
Negara atau perekonomian Negara.
Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara, disana dikatakan “Bendahara, Pegawai Negeri bukan
bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian
Negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana”
39. 39
(Ketentuan ini diatur pula dalam Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang
Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Terhadap Bendahara, Pasal 38 ayat (1)).
Dari hal tersebut jelas terlihat bahwa walaupun telah dilakukan pengembalian
kerugian keuangan Negara maka masih dimungkinkan untuk diproses melalui
pidana. Dengan demikian secara aspek pidana setiap hasil audit BPK harus
dilaporkan kepada instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI) terlepas apakah
kerugian keuangan Negara sudah dikembalikan atau tidak, karena untuk melihat
apakah terjadinya kerugian Negara tersebut diakibatkan adanya perbuatan
melawan hukum atau tidak merupakan wewenang Penyidik, yang mana secara
“dominis litis” eks Pasal 139 KUHAP Jaksa yang menentukan dapat tidaknya
perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan.30
Selain itu, terkait pengembalian kerugian keuangan Negara dalam tindak
pidana korupsi, UU No.31 Tahun 1999 merumuskan secara tegas sebagai tindak
pidana formil. Dengan rumusan formil berarti bahwa meskipun hasil korupsi telah
dikembalikan kepada Negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke
Pengadilan dan tetap dipidana sesuai Pasal 4 UU No.31 Tahun 1999 yang
berbunyi sebagai berikut :
“Pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian
Negara tidak menghapuskan dipidanannya pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”
Penjelasan Pasal diatas adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi
melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur Pasal dimaksud, dimana
pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara yang telah
30
Ibid, hlm.9-11
40. 40
dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut.
Pengembalian kerugian Negara atau perekonomian Negara tersebut hanya
merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.
Untuk itu, dalam rangka mencapai tujuan yang efektif untuk mencegah
dan memberantas tindak pidana korupsi, UU No.31 Tahun 1999 memuat
ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-Undang yang mengatur masalah
korupsi yang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana tambahan, hal ini
seperti yang diatur dalam Pasal 17 jo Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa selain dapat dijatuhi pidana pokok terdakwa dalam perkara
korupsi dapat dijatuhi pidana tambahan, salah satu bentuknya adalah pembayaran
uang pengganti. Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari
akibat tindak pidana korupsi yang “dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara”, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut
diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti.31
Menurut penjelasan Pasal 31 KUHP, terpidana yang tidak membayar
pidana uang pengganti dapat dikenakan pidana pengganti berupa pidana
kurungan. Sehingga konsekuensinya jika pidana pengganti tersebut telah dijalani
oleh terpidana maka dengan sendirinya uang pengganti yang tidak dibayar
tersebut menjadi hapus. Selain itu, apabila pidana pembayaran uang pengganti
tidak dipenuhi oleh terdakwa (baca: terpidana), menurut UU No. 20 Tahun 2001
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12,
berlaku pula ketentuan hukuman denda dan/atau pidana penjara, akan tetapi tidak
31
Guse Prayudi., “Pidana Pembayaran Uang Pengganti”, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun
Ke XXII, IKAHI, Nomor 259, Juni, 2007, hlm.49
41. 41
berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) serta dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, ketentuan tentang pidana tambahan sebagai usaha untuk
pengembalian kerugian Negara telah diatur, terutama pada Pasal 18 yaitu:
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk
atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu yang
paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang
telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutup uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi
untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b, maka di pidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan
ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut
sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Ketentuan pada Pasal 18 angka (1) huruf b tersebut merupakan konsekuensi
dari akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yang dapat merugikan
42. 42
keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga untuk mengembalikan
kerugian keuangan tersebut diperlukan adanya pembayaran uang pengganti.
Sementara dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20
Tahun 2001 termuat aturan jika terpidana tidak membayar uang pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu)
bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti tersebut. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU No. 20 Tahun 2001
juga mengatur mengenai teknis eksekusi/pembayaran uang pengganti oleh
Terpidana, dimana teknisnya dengan menggunakan sistem pembayaran secara
berjenjang dan berlapis.
Ketentuan diatas secara formal telah mendukung usaha pengembalian
kerugian yang diderita Negara sebagai akibat tindak pidana korupsi sebagaimana
yang telah diamanatkan Pasal 278 KUHP. Undang-Undang korupsi yaitu UU No.
31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 menyediakan dua instrumen untuk
memulihkan kerugian Negara akibat perbuatan korupsi, yaitu instrumen pidana
dan perdata. Proses atau tata cara instrumen pidana secara khusus dimuat dalam
kedua undang-undang itu, sedang untuk instrumen perdata menggunakan
ketentuan biasa atau umum yang berlaku yaitu Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dan acaranya. Kekhususan bagi instrumen pidana tersebut antara lain,
bahwa dalam sidang pengadilan:
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh hartanya,
harta istrinya (suaminya, harta anaknya, dan harta pihak lain yang
43. 43
diduga mempunyai hubungan dengan perbuatan korupsi yang
didakwakan kepadanya).
(2) Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa hartanya (yang
tidak seimbang dengan penghasilannya) bukan berasal dari
korupsi, maka hartanya dianggap diperoleh dari perbuatan korupsi
(illicit enrichment) dan hakim berwenang merampasnya.
(3) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum vonis hakim
dijatuhkan dan terdapat bukti kuat bahwa terdakwa melakukan
perbuatan korupsi, maka harta terdakwa dapat dirampas oleh
hakim. 32
32
Soepomo., “Pemahaman Keuangan Negara”, http://sikad.bpk.go.id/nw_detail.php?n_id=31,
diakses pada tanggal 27 Mei 2012
44. 44
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan antara lain :
Bahwa berdasarkan peraturan-peraturan sebelumnya mulai dari ICW dan
IAR telah mengatur tentang tuntutan terhadap bendaharawan sebagai akibat
timbulnya kerugian keuangan Negara, yaitu dalam ketentuan Pasal 55a sampai
dengan Pasal 58 ICW. Pada Pasal 58 ICW menyatakan bahwa “Keputusan Badan
Pemeriksa Keuangan, dimana ditetapkan suatu jumlah uang, yang dalam hal
menyangkut pengurusan Bendaharawan, harus diganti kepada Negara, atau
dimana dikenakan suatu denda bagi seorang Bendaharawan”, namun setelah
lahirnya Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian
Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara, maka semua peraturan pelaksanaan
dari Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) mengenai
tata cara penyelesaian ganti kerugian Negara terhadap bendahara dinyatakan tidak
berlaku. Sealnjutnya, terhadap proses penuntutan kepada bendaharawan sebagai
akibat adanya kerugian keuangan Negara, dilakukan secara administrasi yaitu
melalui peraturan BPK No.3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti
Kerugian Terhadap Bendahara, apabila ditemukan adanya unsur-unsur dari tindak
pidana korupsi dari perbuatan bendaharawan yang merugikan keuangan Negara,
45. 45
maka bendaharawan tersebut dapat dituntut berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 jo
UU No 20 Tahun 2001 karena telah melakukan tindak pidana korupsi.
Bahwa pengertian adanya unsur-unsur dari tindak pidana korupsi yang
menimbulkan kerugian keuangan Negara, dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1)
Undang- UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001, yaitu :
(1) Setiap orang;
(2) Secara melawan hukum;
(3) Perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau korporasi;
(4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Bahwa apabila dalam pemeriksaan oleh BPK terhadap bendaharawan,
menilai dan/atau menetapkan adanya unsur-unsur dari suatu tindak pidana korupsi
yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan Negara, baik sengaja maupun
lalai, secara melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain atau korporasi dan
merugikan perekonomian Negara yang dilakukan oleh bendaharawan, maupun
pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan keuangan Negara kerugian Negara sebagai akibat kesalahan dalam
pengelolaan, serta tindakan kecurangan/penyalahgunaan kewenangan pejabat
pengelola keuangan, maka konsekuensi yuridis yang timbul bagi Bendaharawan
tersebut adalah pembayaran uang pengganti. Sementara itu, dalam Pasal 18 ayat
(2) UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 termuat aturan jika
terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
46. 46
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh
Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Ketentuan Pasal 18
ayat (2) dan (3) UU No. 20 Tahun 2001 juga mengatur mengenai teknis
eksekusi/pembayaran uang pengganti oleh Terpidana, dimana teknisnya dengan
menggunakan sistem pembayaran secara berjenjang dan berlapis. Selain itu,
menurut penjelasan Pasal 31 KUHP, terpidana yang tidak membayar pidana uang
pengganti dapat dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan. Sehingga
konsekuensinya jika pidana pengganti tersebut telah dijalani oleh terpidana maka
dengan sendirinya uang pengganti yang tidak dibayar tersebut menjadi hapus.
Selain itu, apabila pidana pembayaran uang pengganti tidak dipenuhi oleh
terdakwa (baca: terpidana), menurut UU No. 20 Tahun 2001 dalam Pasal 5, Pasal
6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, berlaku pula
ketentuan hukuman denda dan/atau pidana penjara, akan tetapi tidak berlaku bagi
tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) serta dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
47. 47
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU :
Arief Barda Nawawi & Muladi., Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,
Bandung, 1992
Atmadja Arifin P. Soeria., Keuangan Publik Dalam Persfektif Hukum
Teori, Praktik Dan Kritik, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 2005
Jeddawi Murtir. H., Mengefektifkan Peran Birokrasi Untuk Memangkas
Perilaku Korupsi, Cetakan Pertama, Total Media (Anggota
IKAPI), Yogyakarta, 2009
Miru Ahmadi., Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, 2010
Panjaitan Saut P., “Makna Dan Peranan Freies Ermessen Dalam Hukum
Administrasi Negara” dalam SF Marbun dkk (penyunting),
Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, ctk.
kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2001
Rais Mohammad Amien., Agenda-Mendesak Bangsa : Selamatkan
Indonesia!, ctk.Ekstra, PPSK Press, Yogyakarta, 2008
Tjandra W.Riawan.,Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kelima,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008
Saidi Muhammad Djafar., Hukum Keuangan Negara, Edisi Pertama
Rajawali Pers, Jakarta, 2008
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan
Keempat, 1996
48. 48
B. JURNAL :
Andi Samsan Nganro., “Tindak Pidana Korupsi Dalam Perundang-
undangan Di Indonesia”, Al Manãhij, Volume 2, Nomor I, 1
januari-Juni 2008
Eddy.O.S. Hiariej., “Telaah Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Dan
Dampaknya Terhadap Pemberantasan Korupsi”, Jurnal Berkala
Fakultas Hukum UGM-Mimbar Hukum, Volume 18, Nomor 3,
Oktober, 2006
Guse Prayudi., “Pidana Pembayaran Uang Pengganti”, Majalah Hukum
Varia Peradilan Tahun Ke XXII, IKAHI, Nomor 259, Juni, 2007
C. INTERNET :
Hendarman Supandji, “Model Penegakan Hukum Di Daerah, Persoalan
Dan Implementasinya”, Kejaksaan Agung Republik Indonesia,
Makalah disampaikan pada RAKERNAS APPSI tanggal 9 Juli
2007 di Pontianak, Kalimantan Barat, http://www.pn-
pandeglang.go.id/attachments/125_makalah%20jaksa%20agung
.pdf, diakses pada tanggal 11 Juni 2012
“Pohon Kerugian Keuangan Negara”,
http://shartika2009.wordpress.com/2011/04/24/pohon-kerugian-
keuangan-Negara/, diakses pada tanggal 17 Mei 2012
Suyanto Siswo., “Pembuktian Unsur Kerugian Negara Dan
Perhitungannya Dalam Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan
dalam workshop yang diselenggarakan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Desember 2007
di Jakarta, Ketua Tim Kerja Penyusunan RUU Keuangan Negara,
Perbendaharaan Negara, dan Pemeriksaan Pengelolaan dan
49. 49
Tanggungjawab Keuangan Negara,
http://www.kppngarut.org/component/content/article/41-
keuangan/110-korupsi.html, diakses pada tanggal 30 Mei 2012
Soepomo., “Pemahaman Keuangan Negara”,
http://sikad.bpk.go.id/nw_detail.php?n_id=31, diakses pada
tanggal 27 Mei 2012
“Majelis Tuntutan Perbendaharaan”, http://sikad.bpk.go.id/or_mtp.php,
diakses pada tanggal 30 Mei 2012
D. PERATURAN :
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa
Keuangan
Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian
Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara
E. LAIN-LAIN :
“Setyo Utomo., Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Pada Jasa
Konsultan; Materi disampaikan dalam Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan
Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) tentang
50. 50
“Permasalahan Hukum Pada Pelaksanaan Kontrak Jasa
Konsultasi dan Pencegahan Korupsi di Lingkungan Instansi
Pemerintah”, yang diselenggarakan di Balai Sidang
Djokosoetono Gedung F Lantai 2 FH-UI Depok, Selasa 22 Juni
2010
Soepardi Eddy Mulyadi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara
sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan
pada ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan
Bogor, tanggal 24 Januari 2009