2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan,
memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak
Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
2
4. Daftar Isi
Air Mata Kurip
Emak Pulang
Kampung Halamanku
Koh Ahong Dan Toko Kelontong
Nyanyian Sendu Sang Daradasih
Layang-layang Putus
Lika-liku Hati
Mbah Giman
Mbah Pon
Merjan-Merjan Air Mata
Namaku Sarimin
4
5. Celotehku
P
epatah lama mengatakan : dalamnya laut bisa
ditebak dalamnya hati siapa tahu. Itulah yang
ingin saya ceritakan dalam buku kumpulan
cerpen ini. Di sini bisa anda jumpai hati manusia, satu
ranah yang hanya dapat diketahui oleh sang “pemilik
hati”. Maka dari itulah saya memberi judul buku ini
lika-liku hati seperti salah satu judul cerita pendek yang
ada dalam buku ini.
Dalam buku ini ada 10 buah cerita pendek.
Hampir semua cerpen tersebut adalah cerita realis
tentang kehidupan sehari-hari. Di sana ada suka, duka,
licik, bijak, pokoknya sesuai dengan sifat dasar manusia.
Semuanya bersumber dar hasil renungan saya akan
kondisi sekitar. Meskipun demikian jika ada cerita yang
seakan nyata ditampilkan di kumpulan ini, perlu saya
tegaskan lagi itu hanyalah sebuah cerpen. Semuanya
sudah dibalut menjadi cerita fiksi. Jadi jika ada
kesamaan tempat atau nama itu mungkin terjadi secara
5
6. kebetulan saja. Tak ada maksud bagi penulis untuk
menyerang pribadi tertentu.
Terakhir penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah mendukung hadirnya
buku kumpulan cerpen ini baik secara langsung
ataupun tidak. Mereka diantaranya istriku Hartini,
rekan-rekan komunitas canting, dan kompasianers. Tak
lupa saya berikan penghargaan kepada Hana Sisworini
kompasioner yang pernah berkolaborasi dalam
penulisan cerpen lika-liku hati. Cerita pendek yang
sekaligus saya pakai sebagai judul buku kumpulan
cerpen ini.
Karanggede, Agustus 2011
Fathoni Arief
6
7. Air Mata Kurip
L
angit makin gelap. Hawa dingin sudah terasa
di kulit tubuhku, ketika sepeda motor
bebekku meninggalkan Sekolah tempatku
mengajar. Suasana mirip saat jelang petang, padahal
masuk waktu Ashar saja belum. Tak ingin terjebak
hujan di tengah jalan motor tua ini terus kupacu,
perjalanan menuju rumahku masih 10 kilometer lagi.
Rupanya alam memang tak pernah bisa diajak
kompromi, baru sepuluh menit motor melaju dari langit
jatuh titik-titik air, dan dengan cepatnya intensitasnya
makin tinggi.
Seminggu terakhir, setiap sore, biasanya cuaca
relatif cerah, makanya jas hujan yang biasanya selalu ada
di jok motor tertinggal di rumah. Tak ingin basah
kuyup, aku segera menepi, tepat di samping warung
mie ayam langgananku, Warung Pak Bejo. Kebetulan
sekali, perutku sudah berbunyi. Selain aku nampaknya
ada juga beberapa pengendara yang turut berteduh.
7
8. Seorang bapak tua bersepeda, dua orang pelajar SMA,
dan seorang karyawati. Mereka menepi di emperan
toko plastik, di samping warung mie ayam.
Warung mie ayam ini jika dilihat sekilas kurang
menarik. Bangunanya sudah tak enak dipandang,
beratap seng yang sudah berkarat dan sudah berlubang
di sana-sini. Lantainya dari plesteran semen yang mulai
hancur di sana-sini. Namun, memang benar seperti kata
pepatah, jangan menilai sesuatu hanya dari tampilanya
saja, menurutku inilah warung mie ayam terenak yang
pernah kurasakan. Meskipun pernah ada gosip miring,
entah darimana kabar tersebut berasal ada yang bilang
Pak Bejo pakai ilmu hitam, pakai ilmu pengasihan.
Konon kelezatan mie ayam pak Bejo karena benda
bertuah yang berada di dalam bejana untuk memasak
mie. Tapi gosip tinggalah gosip, tetap saja warung pak
Bejo laris manis, bahkan makin lama makin banyak
pembelinya dan kebanyakan anak-anak sekolah.
Nampaknya Pak Bejo sudah lama melihat
kedatanganku. Selepas meracik beberapa mangkok
pesanan lelaki itu menyapaku.
8
9. “Seperti biasa pak guru?” tanya pak Bejo dengan nada
datar,
“Seperti biasa pak, sambalnya jangan banyak-
banyak,”jawabku sambil tersenyum,
Seperti biasanya, pak Bejo selalu hemat kata-
kata. Hanya berkata satu dua patah kata kepada
pengunjung warungnya. Selanjutnya perhatianya tertuju
pada kuali berisi air panas tempat dimana mie
berwarwarna kuning direbus sambil menyiapkan
mangkuk beling. Momen seperti inilah yang selalu
menarik kulihat ketika aku masih duduk di bangku SD.
Aku belum genap berusia 8 tahun. Dulu setiap hari aku
bermain bersama Kurip, sahabat karib mulai dari SD
sampai SMA. Sebenarnya temanku itu bernama urip,
entah dulu bagaimana awal mulanya hingga teman-
teman di sekolah memanggilnya dengan Kurip.
Hujan nampaknya masih enggan berhenti dan
mengguyur dengan derasnya. Titik-titik air yang jatuh
ke atap seng membuat suara gaduh yang mengganggu
telinga. Sebuah mobil berhenti, seorang ibu dengan
9
10. anak kecil berlari kecil menghindari guyuran air masuk
dan langsung memesan mie ayam. Sambil memesan mie
tangan ibu-ibu muda itu memegang putra kecilnya yang
menarik-narik ingin bermain air hujan. Aku masih
menunggu mie pesananku, tak apalah menunggu
apalagi nampaknya belum ada tanda-tanda bakal segera
reda.
“Pak, Mie ayam 3, dibungkus ya!” pesan ibu muda
tersebut dengan suara keras mencoba mengimbangi
benturan air hujan di atap seng,
“Sebentar bu, silahkan duduk dulu!” Pak Bejo masih
meracik mie pesananku. Uap air mengepul ketika tutup
bejana dibuka. Dengan cekatan lelaki tersebut
menyajikan mie ayam dan semangkuk mie ayam panas
telah siap kunikmati.
“Terima kasih pak,” ucapku dan segera saja kuraih saus
dalam botol dan menggoyang-goyangkan hingga isinya
yang berwarna merah menyala keluar dan jatuh di
tengah-tengah mangkuk mie. Itu belum cukup segera
beberapa sendok sambal dan kecap jatuh diatas mie
10
11. yang mengeluarkan uap panas tersebut. Setelah
semuanya kutuangkan kedalam mangkok,
menggunakan sendok dan garpu mie tersebut kuaduk-
aduk hingga campuranya merata dan tanpa dikomando
tangan kanan dengan sendok langsung terhujam masuk
kedalam mie dan menuju sasaran mulutku yang sudah
menganga. Namun belum sempat sendok tersebut
masuk kedalam mulutku nada panggilan terdengar dari
ponselku.
“Halo...”
“Halo..,”jawabku. Aku hanya mendengar suara dalam
telfon tersebut samar-samar. Mungkin karena gangguan
sinyal yang kerap terjadi di sekitar sini. Tetapi rasanya
aku sangat mengenal suara itu. Rasanya sudah lama
sekali aku tak mendengar suara itu. Kurip, benar itu
suara Arianto, kali ini nampaknya ada sesuatu yang
berbeda. Tak seperti waktu itu terakhir kali kami
bertemu di tempat ini.
“Akhirnya, cacing-cacing dalam perutku ini sudah
keroncongan,” kata Kurip, saat Pak Bejo membawa dua
11
12. mangkok mie ayam pesanan kami. Seperti orang yang
belum makan berhari-hari dengan cepat Kurip
menuang sambal, tak hanya satu sendok tapi sampai
sendok. Itu saja nampaknya belum cukup, tanganya
langsung meraih botol saus yang warnanya merah
menyala. Dengan dua tangan ia mencoba menggerak-
gerakkan botol yang isinya masih penuh itu. Setelah
bersusah payah keluarlah cairan merah kental tak hanya
sekali namun beberapa kali cairan itu keluar hingga
menggumpal di atas tumpukan mie yang ditaburi
daging ayam cincang. Bila sudah seperti ini Kurip
seperti tak mau peduli dengan sekitarnya. Setelah
mengaduk-aduk mie dengan sumpit hingga warna
merah menjadi rata, mie tersebut segera menjejali
mulutnya. Mie tersebut seperti hanya disedot oleh
Kurip tanpa dikunyah terlebih dahulu.
“Bagaimana rencanamu selepas ini?” tanya Kurip
sambil terus mengunyah mie dan mendesis-desiskan
mulutnya menahan rasa pedas.
“Seperti rencana semula. Aku mau jadi guru maka tentu
saja, bakal kuliah di IKIP,”jawabku sambil
12
13. menghabiskan satu sendok mie dan menyeruput kuah
yang masih tersisa di mangkok. “Lalu bagaimana
rencanamu?” aku balik bertanya pada Kurip.
Sebenarnya Kurip sudah beberapakali cerita soal cita-
citanya selepas lulus SMA dan selalu saja berubah tiap
kali kami membahas itu. Pernah ia cerita ingin menjadi
TkI ke Arab Saudi, hingga memutuskan menetap di
desa saja dan membantu kang Marto mencari Pasir di
sungai.
“Aku mau kekota saja. Ada tetanggaku yang sudah
tinggal di Jakarta. Dia katanya sudah sukses jadi
pengusaha,”jawabnya. Benar dugaanku rencanya
berubah lagi. Tapi nampaknya kali ini ia benar-benar
serius. Kurip begitu bersemangat, matanya berbinar-
binar, intonasi suaranya mantap, keinginan dan
tekadnya untuk pergi ke Jakarta sudah tak bisa
dibendung lagi. Di kota kecil ini kebanyakan
pemudanya hidup di perantauan. Apalagi di sini
lapangan kerja sangatlah minim.Banyak diantara mereka
selepas lulus SMA mengadu nasib menjadi TKI atau
bekerja di kota. Mereka pulang dengan membawa kisah
13
14. sukses, mampu membeli motor baru dan merenovasi
rumah atau membeli hewan ternak menjadi satu tolak
ukur berhasil tidaknya perantauan mereka.
“Apa kamu tidak takut hidup di Jakarta? Bakal jadi
gembel, tinggal di kolong-kolong jembatan?”
“Ah tidaklah kawan. Seperti itu hanyalah mereka yang
tak mau bekerja lebih keras. Mereka yang malas
berusaha. Apalagi nanti selama di Jakarta aku tinggal di
rumah mas Yono,” upayaku mencoba merubah jalan
fikiran Kurip tak berhasil.
“Memangnya kamu sudah pernah lihat rumah mas
Yono?”
“Belum sih, tapi aku percaya saja. Setiap kali mas Yono
pulang kampung selalu membawa berbagai macam
oleh-oleh dari kota. Tak jarang ia mampir kerumah
memberiku berbagai barang mahal.
“Lalu Simbok dan adikmu bagaimana?”
“Mereka sudah setuju. Apalagi Yuni tahun depan bakal
masuk SMP pasti bakal butuh biaya banyak,”
14
15. “Apapun rencanamu, selama itu baik pasti aku dukung
dan doakan teman,” tak bisa kupngkiri, dalam hati aku
sedih karena bakal kehilangan seorang sahabat. Kurip
sebenarnya cukup cerdas. Sedari SD hingga SMA selalu
naik kelas dan tak pernah berada diluar peringkat 10
besar. Harusnya ia melanjutkan ke bangku kuliah
menjadi Sarjana sesuai cita-citanya dulu sewaktu SD
saat Pak Minto, bapaknya, masih hidup.
“Hehehe terima kasih teman. Baiklah kali ini aku yang
traktir, buat temenku yang mantap menjadi guru. Pak
Bejo, tambah dua mangkok lagi, seperti biasanya!”
Sore itu, hari terakhir aku bersama Kurip.
Meskipun aku menyesal tak bisa mengantar kepergian
sahabatku ini ke Jakarta, karena di hari yang sama aku
harus mengikuti tes masuk Universitas. Setelah itu
Kurip sama sekali tak pernah terdengar kabarnya.
Bahkan orang tua dan adiknya juga tak mengetahui
dimana Kurip tinggal dan bekerja. Setahu mereka,
Kurip, selalu kirim uang lewat wesel, namun tak pernah
menceritakan kabar dirinya.
15
16. Ada apa dengan Kurip? Kenapa tiba-tiba saja dia
menghubungiku. Apakah ada sesuatu yang menimpa
sahabatku itu? Belum habis rasa penasaranku, hpku
berbunyi, sebuah pesan singkat masuk.
“Ini Aku, Urip. Aku minta bantuanmu, tolong besok
datang ke stasiun kota pagi hari. Aku sekarang dalam
perjalanan menuju kampung halaman,”
Penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi
langsung saja kutelpon nomor itu. Sempat
sambunganku masuk namun tak pernah diangkat
bahkan selanjutnya nomor tersebut sudah tidak aktif.
****
Matahari belum tampakkan dirinya dengan
sempurna. Udara dingin pagi hari masih terasa. Titik-
titik embun juga masih terlihat di dedaunan. Di stasiun
kereta kesibukan sudah terlihat mulai dari lalu-lalang
calon penumpang hingga para pedagang asongan
dengan berbagai barang dagangan, ada pula mereka
yang menanti kedatangan kereta.
16
17. Aku duduk di pojok peron stasiun di bangku
paling pinggir, di sebelah tukang koran yang
menghitung hasil daganganya, sementara di samping
koran-koranya masih menumpuk siap dijual. Sudah
hampir setengah jam aku di sini namun kereta yang
dinanti masih belum datang juga. Menghilangkan rasa
bosan aku berjalan-jalan melihat suasana stasiun.
Sambil berjalan telingaku mendengar berbagai tema
pembicaraan dari orang-orang yang ada disana. Ada-ada
saja yang mereka perbincangkan mulai dari gagal panen,
pemerkosaan, angin puting beliung hingga soal sepak
bola.
Untung saja belum habis kesabaranku menanti,
petugas stasiun mengumumkan kedatangan kereta dari
Jakarta. Mendengar pengumunan tersebut calon
penumpang berlarian mendekat dan pedagang asongan
langsung mengemasi daganganya bersiap memasuki
gerbong.
Ular besi panjang itupun makin mendekat dan
perlahan berhenti ketika terdengar bunyi rem yang
memekikan telinga. Namun rupanya hanya puluhan
17
18. orang saja yang berhenti di stasiun ini tak sebanding
dengan mereka yang naik. Satu persatu kuamati wajah-
wajah penumpang tersebut. Ternyata tak bisa kutemui
keberadaan Kurip.
Tak lama kereta itu berhenti. Tak sampai seperempat
jam kereta kembali diberangkatkan namun aku belum
menemukan sahabatku, Kurip. Lalu dimanakah Kurip?
Setelah Kereta itu kembali melanjutkan
perjalanan, suasana stasiun mulai lengang. Hanya ada
beberapa orang pedagang asongan dan penumpang
yang menunggu jemputan. Aku kembali menyisir
melihat satu-persatu penumpang tersebut kalau-kalau
itu adalah Kurip.
Baru saja kembali melangkah, aku dikagetkan
dengan seseorang dari arah belakang yang menapuk
pundakku.
“Her...,” seseorang memanggil namaku,
Aku langsung membalikkan badanku. Kulihat seorang
berjaket kulit hitam, beberapa bagian sudah sobek.
Lelaki itu kurus, memakai topi dan kacamata hitam.
18
19. “Astaga, Kurip?” langsung saja aku memeluk erat lelaki
itu. Sesaat saja aku mendekat tercium bau tidak sedap
dari tubuh Kurip.
Kurip yang sekarang kulihat sudah jauh berbeda
dibandingkan dengan yang dulu kukenal. Tak ada lagi
senyuman ceria yang nampak hanya wajah pucat kurus
kering dan muram.
“Aku tak punya waktu banyak teman. Aku minta
tolong, sampaikan sekedar uang hasil tabunganku ini
untuk Simbok dan Yuni,” tanganya gemetar
mengeluarkan amplop warna putih tipis dan coklat,
isinya cukup tebal. Kedua amplop itupun diserahkan
Kurip kepadaku.
“Amplop coklat ini berisi uang hasil tabunganku,
tolong sampaikan kepada Simbok. Sedangkan amplop
putih untukmu. Tapi jangan dibuka sekarang,”
“Apa yang sebenarnya terjadi kawan?”
“Maaf, aku tak bisa bercerita banyak. Tolong bantu jaga
Yuni dan Simbok selama aku tak ada,” Kurip,
19
20. memegang erat tanganku, dan bisa kulihat butir-butir
air mata jatuh dari kedua pelupuk mata.
Sebenarnya aku masih ingin bercerita banyak
hal, namun Kurip langsung memotong pembicaraan
dan segera meninggalkan stasiun tersebut. Dari
tempatku berada, aku melihat sahabat lamaku, Arianto
melangkah gontai, dan naik sebuah bus antar kota yang
lewat di depan jalan stasiun. Entah kemana ia akan
pergi.
****
Hujan kembali turun membasahi kota kecil ini.
Kondisi yang membuat suasana jalan kampungku
semakin lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan
pukul setengah sepuluh malam hanya satu dua saja
kendaraan yang lalu lalang. Aku duduk di ruang kerjaku,
menanti mata yang belum juga bisa terkantuk.
Sementara istriku sudah terlelap dengan putri kecilku.
Dari saku jaket kuambil sebuah amplop berwarna
putih. Kubaca surat dari kurip buatku.
20
21. Untuk Sobatku Herianto
Terima Kasih sudah bersedia datang ke stasiun. Butuh
keberanian besar bagiku untuk menceritakan kisahku, meskipun
kepada sahabat karibku sendiri. Sebenarnya sudah lama aku ingin
pulang kampung berjumpa dengan Simbok, Yuni, tentu saja kamu.
Namun rupanya aku tak sanggung menanggung malu, tak mampu
menutupi masa-masa kelamku. Tapi setelah perjalanan demi
perjalanan yang kualami kuputuskan untuk memulai hidup baru. Aku
hanya ingin menyendiri mencoba memperbaiki kehidupanku.
Ternyata memang benar kata-katamu dulu, di warung pak
Bejo, Jakarta memang keras. Bekal nekad saja tidak cuku, siapa
yang kuat dialah bakal bertahan di ibukota. Kota ini telah merubahku
menjadi sosok yang aku sendiri tak mengenal lagi diriku yang dulu.
Saat pertemuan terakhir kita di warung pak Bejo
sebenarnya hatiku bimbang. Simbok tidak setuju dengan rencanaku
mengadu nasib ke Jakarta. Namun kau sudah tahulah seperti apa
diriku. Jika sudah punya keinginan susah untuk dihentikan. Maka
sore itu tanpa pamit Simbok dan Yuni aku nekad pergi ke Jakarta.
21
22. Berbekal tabungan seadanya dan beberapa lembar pakaian aku
bersiap memulai kehidupan baru.
Pertama kali tiba, Jakarta memang langsung membuatku
terpesona. Meskipun waktu itu aku belum tahu akan berbuat apa di
kota sebesar itu. Aku berbohong soal Mas Yono. Di sana aku tak
punya tujuan hingga akhirnya aku berkenalan dengan seseorang
kawan yang berjanji mencarikan aku pekerjaan dan tempat tinggal.
Inilah bukti betapa bodohnya aku, terlalu gampang percaya. Kenalan
itu menipuku dan membawa lari seluruh uang tabunganku.
Terkatung-katung tanpa tujuan membuatku nekad. Awalnya
aku hanya mencoba mengutil barang dagangan sekedar mengisi
perutku yang lapar namun lama-kelamaan yang kuambil tak hanya
makanan namun dompet, handphone dan barang berharga lain. Inilah
awal mula aku kehilangan jati diriku dan gerbang menuju pergaulan
bebas bersama pelacur-pelacur kelas teri. Hingga suatu saat aku
divonis terjangkit HIV.
Aku menyesal, mulai mencari duit dengan cara halal
berdagang koran dan jadi kuli di pasar. Namun nasi sudah menjadi
bubur virus itu terus menggerogotiku hingga aku merasa hidupku
22
23. sudah tak lama lagi. Di akhir hidupku aku tak mau menyusahkan dan
membuat aib bagi keluarga dan orang-orang terdekatku. Biar saja
noda ini hanya aku Tuhan dan dirimu yang tahu.Tolong, jaga adik dan
Simbokku.
Terima Kasih Sobat
Aku tertegun, merasa bersalah, tak bisa
menghalangi niat Kurip dulu ketika akan ke Jakarta.
Namun begitulah manusia selalu punya keinginan dan
pilihan yang orang lain tak bisa untuk mencampurinya.
Meskipun sayangnya pilihan Kurip salah.
Yogyakarta, 19 Februari 2011
23
24. Emak Pulang
B
esok Emak pulang. Rasanya aku sudah tak
sabar lagi, melihat langsung seperti apa wajah
wanita yang melahirkanku itu. Apakah benar
seperti yang selama ini kubayangkan atau
diceritakan Kakek dan nenek setiap kali
menjelang tidur.Malam semakin larut. Eyang
Kakung dan Uti sudah tertidur lelap. Namun
mataku rasanya tetap susah dipejamkan.
Aku ingin waktu berjalan dengan begitu cepat. Sudah
lama aku menginginkan saat-saat seperti ini. Aku ingin
memeluk emak. Aku ingin bisa pergi kemana-mana
bersama emak seperti teman-temanku yang lain.
Sungguh, tak bisa kugambarkan kebahagiaan yang kini
kurasakan. Setelah sekian lama akhirnya aku bakal
berjumpa sosok yang selalu kurindukan setiap
mimpiku. Sosok yang selalu kuucapkan dalam doa-
doaku. Aku rindu emak.
24
25. Hingga sekarang ini, saat usiaku menginjak
duabelas tahun, aku belum pernah berjumpa dengan
emak. Selama ini aku mengenali emak melalui telepon
atau melihat foto-fotonya yang dikirim lewat pos.
Itupun hanya sesekali saja. Emak bilang tak ingin
menghambur-hamburkan duit. Lebih baik duit
ditabung buat biaya sekolahku nanti.
Emak ingin aku jadi anak pintar dan bisa
menjadi dokter seperti Pak Doni, menantu pak lurah. Ia
tak mau aku jadi orang bodoh seperti dirinya. Maka dari
itulah meski jarang menelpon, ia selalu mengingatkan
aku selalu belajar dan jangan jadi anak bandel.
Setiap bulan emak selalu kirim duit buat biaya
sekolahku. Meski begitu Emak tak pernah cerita soal
pekerjaanya selama ini. Aku hanya tahu dari cerita
Eyang, delapan tahun lalu saat umurku belum genap
tiga tahun Emak pergi ke Saudi Arabia menjadi TKW,
atas ajakan teman semasa di SMPnya. Semua beban
harus emak tanggung setelah cerai dengan Bapak. Dari
omongan tetangga aku pernah dengar Bapak kawin lagi
dengan orang seberang setelah setahun jadi TKI di
25
26. Malaysia. Karena itulah emak selalu marap setiap kali
aku bertanya soal Bapak. “ Bapakmu sudah mati. Tak
usah dicari-cari lagi,” begitu kata Emak dengan nada
kesal.
Sebenarnya, sudah beberapa kali Emak pernah
bilang akan pulang kampung. Tapi selalu saja ia tak
pernah menepati ucapanya. Aku masih ingat terakhir
kali ia janji pulang tiga tahun lalu saat aku ulang tahun.
Rasanya masih tergambar jelas bagaimana senangnya
perasaanku waktu itu.
Malam itu persis seperti malam ini, aku juga tak
bisa tidur. Meski badanku sudah capek karena seharian
selepas pulang sekolah mencari hadiah istimewa buat
Emak. Sengaja aku mencari aneka macam daun kering
dan kubuat menjadi sebuah album foto kecil. Seperti
yang sudah diajarkan ibu guru di sekolah. Aku ingin
pamer pada emak, aku sudah pandai membuat banyak
hal salah satunya figura dari karton berhias daun-daun
kering. Rencananya, di figura itu bakal kupasang fotoku
saat juara lomba baca puisi tingkat kecamatan. Pada
26
27. lomba yang diselenggarakan dalam rangka
memperingati hari ibu itu, aku menjadi juara kedua.
Semalaman jantungku berdebar-debar. Aku
ingin memeluk Emak. Meski sebenarnya bukan itu
satu-satunya alasanku bertemu dia. Aku ingin menagih
janjinya bakal membelikanku tas dan sepetu baru jika
nilai raporku berhasil masuk rangking tiga besar. Aku
ingin sepatu baru seperti teman-temanku lain, model
terbaru. Tak seperti sepatu pemberian Eyang, sudah
hampir rusak. Sebelumnya aku beberapa kali merengek
minta sepatu baru pada Eyang tapi duitnya memang tak
ada.
Pagi hari sekali, sebelum adzan Subuh aku
sudah bangun. Bahkan lebih dulu dari Eyang dan Uti.
Aku langsung mandi dan sholat Subuh. Aku ingin
terlihat lebih dewasa di depan emak, meski usiaku baru
delapan tahun.
Aku menunggu Emak pulang. Satu jam
kemudian Emak tak jua datang. Dua jam kemudian
juga belum datang. Hingga siang hari ada pak pos
27
28. datang membawa sebuah kardus besar. Eyang yang
menerima kiriman itu. Setelah dibuka isinya aneka
macam hadiah ada tas, sepatu, baju baru buatku.
“ Ini kiriman dari Emakmu. Selamat ulang tahun ya
sayang,” kata Eyang sambil memelukku. Namun, aku
hanya diam saja, cemberut, dan bertanya : “Emak
mana? Emak katanya pulang?”
“Emak belum bisa pulang sayang. Ia masih sibuk cari
duit buatmu. Bukankah emak sudah mengiirim banyak
hadiah,” kata Eyang terus mencoba menghiburku.
Semenjak peristiwa itu aku kecewa dengan
Emak. Ia tak menepati janji. Selama beberapa hari aku
menangis dan ngambek tak mau pergi ke sekolah.
Eyang dan Uti sempat kewalahan mencoba
menghiburku bahkan suatu hari ketika Emak
menelpon, aku tak mau bicara dengannya. “Aku benci
emak. Emak tukang bohong. Aku tak punya emak,”
kataku sambil teriak setiap emak memaksa bicara
denganku lewat telepon.
28
29. Mungkin emak merasa bersalah padaku.
Sampai-sampai untuk menebus kesalahan setiap bulan
ada saja hadiah dari emak. Awalnya aku tak mau
menerima. Semua barang itu tersimpan begitu saja di
sudut kamar. Namun lambat laun aku kasihan juga
dengan emak. Ada perasaan bersalah padanya sehingga
suatu hari ketika emak menelpon aku bersedia bicara
denganya sambil menangis. “ Emak janji, jangan
bohong lagi ya,” kataku pada emak.
Sekarang tentunya Emak sudah sadar. Aku
bukanlah anak kecil lagi yang gampang dibohongi. Aku
sudah lulus bangku sekolah dasar dan duduk di kelas
satu SMP. Aku juga sudah lebih dewasa. Semoga saja
kali ini emak benar-benar memenuhi janjinya. Mataku
pun sudah terasa berat. Bayangan Emak terasa makin
dekat. Sambil mendekap guling aku terlelap.
Pagi buta, kami terbangun oleh kedatangan pak
lurah. Aku masih mengantuk sehingga tak jelas
mendengar apa yang sedang dibicarakan dengan Eyang
dan Uti. Tak lama Pak Lurah bertamu dan sepertinya
ada sesuatu yang terjadi.
29
30. “Indah, cepat bangun. Segera mandi, Sholat Subuh.
Nanti ikut Eyang dan Uti ke rumah sakit,”
“Baik Eyang,”
Segera saja aku bangun. Aku masih menyimpan
satu tanda tanya apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa
harus ikut Eyang dan Uti. Bukankah hari ini rencananya
Emak pulang. Jika semua keluar siapa yang akan
membukakan pintu. Kasihan Emak sudah datang jauh-
jauh dari Saudi Arabia.
Selepas Sholat aku pun bersiap. Aku memakai
celana kain, kaos lengan panjang dan kerudung warna
merah marun. Sebenarnya aku ingin memakai kerudung
ini di depan emak tapi ya sudahlah sama saja daripada
harus gonta-ganti baju.
Ternyata Eyang dan Uti sudah menungguku di
teras rumah. Tak hanya mereka berdua saja tapi ada
juga pak Lurah dengan membawa mobil vannya. “Aku
sudah siap Eyang,”
Kamipun segera berangkat. Aku masih
bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi. Kami mau
30
31. pergi kemana. Pasti ada sesuatu yang sedang terjadi.
Satu demi satu kuamati wajah Eyang, Uti dan pak
Lurah. Semuanya seperti sedang menyimpan sesuatu.
Bahkan sempat air mata menetes dari mata Uti namun
secepat kilat Eyang memberi sapu tangan meminta Uti
mengusapnya.
Setelah mengitari jalanan kota aku baru sadar
akan kemana tujuan mobil ini. Tak salah lagi, kami
menuju Rumah Sakit daerah. Sebulan lalu Eyang dan
Uti pernah mengajakku ke tempat itu membesuk Mbah
Warni, adik kandung Eyang. ”Lalu siapa yang sekarang
sakit?” pertanyaan itu masih mengusikku.
Sesampainya di rumah sakit daerah kami
langsung menuju ruang rawat inap. Kami bertiga
mengikuti langkah pak Lurah. Di depan sebuah kamar
pak lurah berhenti dan mengucapkan sesuatu pada
Eyang dan Uti. Ia menunggu di depan sementara
Eyang, Uti dan aku masuk.
Di dalam aku langsung ketakutan. Seseorang
tergolek dengan lemas di ranjang. Kondisinya sungguh
31
32. mengenaskan. Tanganya penuh dengan luka, begitu
pula dengan wajahnya. Selang infus tertancap di tangan
dan selang oksigen ada di hidungnya. Seorang perawat
mencatat sesuatu dan seorang lagi mungkin saja dokter
yang bertugas berbicara pada Eyang. Setelah berbisik
sesuatu keduanya lalu meninggalkan ruangan.
“Indah, kemari nak!” Uti memanggilku,
Dengan ragu-ragu aku mendekat. Begitu mendekat Uti
langsung memelukku.
“Yang sabar ya nak,” kata Uti sambil terisak dan
meneteskan air mata,
Aku masih belum mengerti apa maksud Uti berkata
demikian.
“Kau lihat siapa yang tengah dirawat itu?”
“Tidak Uti,”
“Itu Emakmu nak,”
Kata-kata Uti sontak mengagetkanku. Seperti petir yang
menyambar-nyambar.
32
33. “Tidak mungkin Uti. Itu bukan Emak. Itu bukan
Emak,’
Aku masih belum percaya semua yang dikatakan Uti.
Aku meronta-ronta dan tiba-tiba saja tubuhku lemas.
Seketika itu juga aku tak sadarkan diri.
Rupanya cukup lama aku tak sadarkan diri. Saat siuman
sayup-sayup kudengar lantunan ayat-ayat suci di rumah
Eyang. Di dekatku ada bu lurah. Melihatku sadar ia
langsung memelukku.
“Sabar ya, nak,”
“Emak bohong lagi,” kataku sambil terisak sementara
bu Lurah terus mengusap-usap rambutku.
Karanggede, 29 Juli 2011
33
34. Kampung Halamanku
"Nak bagaimana kabarmu? Sehat kan. Simbok, Mas dan
Mbakyumu semua sehat. Alhamdulillah jika tak ada
kendala, sebentar lagi sawah milik Simbok sudah siap
dipanen. Oiya sapi dan kambing kangmasmu sudah
beranak pinak. Masmu sudah bernadzar Insya Allah
beberapa bulan lagi bisa disembelih buat syukuran
lulusanmu nanti ".
SMS terakhir dari Simbok melalui Mbak Sri dua bulan
masih tersimpan di ponselku.
Setiap kangen rumah, membaca pesan singkat
dari keluargaku mampu jadi pengobat rindu dan
penyemangatku menyelesaikan studiku. Meskipun tak
bisa kupungkiri, sebenarnya aku sudah begitu rindu
dengan mereka, ingin pulang, atau setidaknya
menghubungi simbok dan saudara-saudaraku lewat
telfon. Namun simbok selalu melarang. Kata Simbok
jadi lelaki harus kuat, tidak cengeng, selain itu tak ingin
34
35. konsentrasiku terpecah sehingga mengganggu saat-saat
menentukan di akhir studiku. Aku harus kuat sebulan
lagi tugasku selesai.
Kerinduan membawa keping-keping kenangan
akan kampung halamanku. Semuanya mirip pecahan
kaca warna-warni dan menyatu menjadi sebuah mozaik
yang indah.” Aku rindu kampung halamanku,”. Kini,
Ingatanku kembali pada peristiwa malam itu, di sebuah
rumah gebyok, berdinding bata, warna putih kusam
dengan halaman seluas lapangan voli, tempat anak-anak
kecil setiap sore bermain kelereng. Di rumah itulah, aku
dilahirkan dan dibesarkan.
Ba’da Isya para tamu undangan telah
berdatangan. Simbok menunaikan nadzarnya, jika aku
lolos beasiswa keluar negeri seperti cita-citaku, beliau
bakal menyembelih seekor lembu jantan dan
mengundang warga untuk syukuran. Simbok memang
bukan orang kaya raya, tapi untuk urusan berbagi aku
begitu salut pada beliau.
35
36. Di depan rumah Mas Anto sibuk menerima
tamu undangan. Di sampingnya berdiri Pak Lurah yang
sudah seperti orang tuaku sendiri. Pak Lurah
merupakan sahabat karib Bapak semasa kecil hingga
meninggalkanku sepuluh tahun yang lalu.
Ternyata Pak Lurah melihat keberadaanku.
Lelaki yang rambutnya sudah dipenuhi uban tersebut
langsung menghampiriku. Segera aku menyongsong
dan menyalaminya. Ia langsung menepuk pundakku
dengan senyuman khasnya.
"Selamat ya le! Akhirnya ada juga putra asli daerah sini
yang bisa kuliah sampai negeri landa,".
“Suwun Pak Lurah, atas doa dan dukungan selama
ini,”jawabku,
“Aku bangga le. To adikmu ragil ini memang
hebat,”kata orang nomor satu di desa ini sambil melirik
Mas Anto yang hanya tersenyum kecil.
36
37. Di kampungku memang belum ada pemuda
yang kuliah hingga keluar negeri, apalagi lolos melalui
beasiswa. Kalau lulusan sarjana sudah cukup banyak.
Teman-teman sepermainanku juga ada beberapa yang
sekolah hingga jadi guru SMK dan SMP. Ada juga yang
kembali ke kampung selepas lulus memilih jadi petani.
Jadi keberhasilanku kuliah ke Belanda menjadi
kebanggaan tak hanya keluargaku tapi juga orang
sekampungku.
Waktu terus berjalan, tamu undangan telah
memenuhi ruang tamu dan teras depan. Mereka duduk
bersila di atas tikar plastik. Mereka menanti acara
dimulai sambil berbincang, ada saja tema yang dibahas
mulai dari sepak bola, pemilihan kepala daerah hingga
masalah hewan ternak. Riuh rendah suara mereka
hilang ketika seseorang berbaju koko warna putih,
berpeci putih dengan sorban melingkar di leher
menyela pembicaraan mereka. Lelaki tua itu, Kiai
Ahmad, tokoh agama di kampung ini mulai memimpin
acara membaca surat Yasin. Setelah itu yang terdengar
37
38. di rumah ini hanya lantunan ayat suci yang menyebar
melalui pengeras suara milik Lek Yadi.
***
Dua bulan berlalu, setelah bekerja keras, fokus
dan berdoa, selesai juga studiku di Belanda. Aku
berhasil lulus cepat, dengan nilai yang cukup
memuaskan. Aku memang tidak menjadi yang terbaik
namun dengan nilai diatas rata-rata aku sudah bisa
berjalan dengan tegak.
Orang pertama yang ingin kuberi kabar
membahagiakan ini adalah Simbok. Aku sudah
membayangkan betapa bahagianya Simbok, Mbak Sri,
dan Mas Anto. Aku juga sudah menebak hal lain yang
bakal mereka tanyakan selepas kabar lulusku. Satu
pertanyaan yang pasti “ Wes ana calon durung Le?”.
Diantara putra-putri Simbok, memang tinggal
aku sendiri yang belum berumah tangga. Mbak Sri
sudah menikah dengan Mas Rusdi, seorang guru SD
teman kuliahnya duabelas tahun lalu. Dari hasil
38
39. pernikahanya mereka punya dua orang momongan,
yang tertua sudah kelas 5 SD, sedangkan yang kecil
masih duduk di bangku TK.
Mas Anto bahkan sudah menikah dua tahun
sebelum Mbak Sri. Maklumlah kakak keduaku ini hanya
lulusan SMP dan enggan melanjutkan sekolah. Ia
memilih beternak dan mengurus sawah. Dalam jangka
waktu beberapa tahun ternak Mas Anto sudah beranak
pinak, mulai dari kambing, sapi hingga terakhir ia mulai
memelihara sapi perah. Merasa sudah cukup mampu
secara ekonomi, ia melamar mbak Jum tetangga desa
kenalanya. Meskipun sudah menikah namun Mas
Antolah yang banyak membantu biaya sekolahku.
Sebuah pesan pendek segera kukirim ke HP
Mbak Sri. Karena rumah Mbak Sri yang terdekat
dengan rumah Simbok. Pesan singkat itu tak jua
terkirim, masih pending. Pesan yang sama juga kukirim
ke Mas Anto namun ternyata sama juga.
39
40. Awalnya aku menganggap itu hanya gangguan biasa
atau mereka semua sudah tidur semua. Namun
fikiranku mulai was-was ketika setelah lima jam pesan
itu tak jua terkirim. Aku bertanya-tanya, apa sebenarnya
yang terjadi. Berkali-kali aku mencoba menghubungi
nomor mbak namun jawaban yang kudengar sama
“jaringan sedang sibuk”. Pesan singkatpun juga terus
menerus gagal.
Badanku letih, akupun berusaha merebahkan
badan dan sejenak memejamkan mata.
****
Malam telah berganti pagi. Akupun sudah
memulai aktifitas hari ini. Seperti biasa duduk di depan
netbook pemberian Mas Anto, yang menemaniku hingga
lulus S2. Rasa penasaran masih menghinggapiku. Apa
yang sebenarnya terjadi dengan keluargaku. Satu demi
satu mulai muncul dugaan demi dugaanku.
“Apakah penyakit simbok kumat lagi? Atau jangan-
jangan simbok?”
40
41. “Lalu apa yang terjadi dengan Mbak Sri, begitupula Mas
Anto?”
Ternyata apa yang menjadi kekhawatiranku
terjadi. Tanpa sengaja aku membuka sebuah situs
berita. Gunung Merapi meletus lagi dan jauh lebih
dahsyat dibanding empat tahun lalu. Ribuan orang
mengungsi, ratusan orang meninggal. Diantara
Kecamatan yang terkena dampak erupsi termasuk
tempatku. “Apakah itu termasuk kampungku? Apakah
termasuk rumahku? Bagaimana dengan kondisi
Simbok, Mbak Sri, Mas Anto?”
Aku mencari informasi lewat internet dan berita
yang ditampilkan di jaringan TV berbayar. Bukanya
membuatku lebih tenang ternyata justru membuat rasa
was-was dalam hatiku makin bertambah. Apalagi mulai
banyak email dari rekan-rekan yang menanyakan
kondisi keluargaku. Sumber yang bisa kuandalkan
adalah berita dari Tv kabel dan internet. Sekali lagi
kucoba menghubungi HP Mbak Sri, Mas Anto dan
41
42. orang-orang desaku yang kukenal. Namun aku belum
berhasil mencari informasi kondisi keluargaku.
"Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun, Ya Tuhan benarkah
berita ini!" aku terperanjat dalam hati saat membaca
berita dan foto-foto yang ditampilkan. Desaku porak-
poranda, luluh lantak. “Apakah sedahsyat ini bencana
itu? Bukankah desaku berjarak lebih dari 14 km dari
puncak gunung,”
Daerah yang dulunya hijau ditumbuhi banyak
pohon, kini tertutup oleh hamparan pasir dan batu-batu
besar. Nampak pula rumah yang roboh dan hanya
menyisakan puing-puing saja. Semakin lama membaca
berita justru membuat jantungku berdetak makin
kencang, aku makin panik. “Bagaimana kondisi
keluargaku? Rumahku?”
Satu demi satu bayangan wajah-wajah orang yang
kukenal muncul dalam ingatanku. Pak Lurah, Mas Jito,
Lek Yadi, Budhe Jum, dan tak sadar air mata menetes
menjatuhi keyboard netbook.
42
43. ***
Pesawat yang membawaku dari bandara
Soekarno Hatta sudah mendarat di bandara Adisucipto.
Bandara ini baru saja dibuka dan melayani rute
penerbangan, setelah lebih dari seminggu ditutup
karena abu erupsi gunung Merapi. Aku melangkah
menuju pintu keluar, beberapa sopir taksi dan tukang
ojek langsung menyerbuku. Aku tak memperdulikan
mereka, menolak dengan sopan dan terus melangkah.
Ternyata Eko, adik ipar mas Anto, sudah
menjemputku. Lewat dia aku dapat informasi, seluruh
keluargaku selamat. Mereka hanya mengalami luka
ringan akibat awan panas dan gangguan pernafasan.
Mereka kini tinggal di balai desa 20 km utara Gunung
Merapi. Namun Simbok mewanti-wantiku tak perlu
terburu-buru pulang, sebelum semua urusanku selesai
di kampus.
"Gimana kabarnya mas, sehat-sehat saja kan?" tanya
Eko
43
44. "Ya Dik. Wah, piye kabare keluargamu?",
"Alhamdulillah selamat semua mas. Meski rumahku
habis diterjang awan panas. Ga ada yang tersisa,”
“Sing sabar ya Dik!"
"Terima kasih mas,”
Melihat ketabahan Eko diam-diam aku kagum.
Tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya berada dalam
suasana mencekam seperti itu. Fikiranku masih tertuju
pada simbok, Mas Anto, Mbak Sri dan rumah ketika
Eko mengajaku menuju tempat parkir motor.
Motor bebek Eko akhirnya melaju
meninggalkan Bandara, menuju balai desa tempat
Simbok, Mas dan Mbakyu mengungsi. Sepanjang
perjalanan masih nampak warna abu-abu di dahan-
dahan pohon dan pengendara memakai masker.
Akhirnya sepeda motor Eko sampai di sebuah
Balai desa yang dijejali banyak orang. Lalu lalang
relawan dan petugas kesehatan juga nampak diantara
44
45. mereka. Akupun melangkah dan kulihat seorang ibu-
ibu tua tersenyum melihatku, dialah Simbok. Segera aku
memeluk simbok dan bersujud di hadapanya.
“Le piye kabarmu? “
“Baik Mbok,”
“Rumah kita habis Le,”
“Sudahlah Mbok, nanti kita mulai lagi dari nol,”
Simbok tersenyum kecil lalu mengusap-usap
kepalaku. Dari belakang Simbok muncul Mbak Sri dan
Mas Anto, keduanya memeluku erat. Air mata menetes
di pipi mereka, namun aku tak tahu apakah ini sebuah
kebahagiaan atau air mata kesedihan.
Kedatanganku rupanya telah dinanti-nanti oleh
para pengungsi yang sebagian besar adalah warga
kampung asalku. Mereka satu demi satu bersalaman
dan hanya ingin mendengar ceritaku tentang Eropa,
apakah seperti yang mereka lihat di film-film.
45
46. ***
Malam kedua aku tinggal di pengungsian
bersama Simbok dan keluargaku. Seperti janji yang
sudah diucapkan Mas Anto menyembelih seekor
kambing miliknya. Dari 10 keor kambing miliknya 6
ekor mat terkena awan panas. Namun nadzar tetaplah
nadzar, Mas Anto tak ingin mengingkari janjinya.
Di balai desa ini semua orang telah berkumpul.
Mereka duduk melingkar. Di sana ada pak Lurah, Kiai
Achmad dan tetangga-tetangga dekatku. Suasana yang
sama seperti ketika aku menjelang berangkat sekolah
keluar negeri. Ada orang-orang terdekat, doa-doa dan
sebuah harapan tak hanya harapanku tapi harapan kami
semua untuk bangkit dan memulai lagi kehidupan kami
yang sempat porak-poranda oleh bencana.
Yogyakarta, 15 Januari 2011
46
47. Koh Ahong Dan Toko
Kelontong
S
udah seminggu ini aku menghabiskan malam-
malamku di rumah sakit. Semua karena
kecelakaan yang menimpa Emak. Awalnya aku
kaget mendengarnya. Tengah malam seseorang
yang tak kukenal menelponku katanya Emak
tertabrak motor sepulang dari masjid. Lelaki itu
tak mengatakan jati dirinya, hanya berpesan aku
harus segera pulang mengurus Emak. Tak perlu
menunggu lama, malam itu juga aku bersiap. Pagi-pagi
sekali aku naik kereta paling pagi menuju kotaku.
“Aku benci orang Cina,” kata-kata itu berkobar-
kobar muncul di benakku, setelah mendengar cerita
perawat rumah sakit yang menerima emak malam itu.
Katanya malam itu emak tiba kerumah sakit bersama
lelaki cina. Ia mengaku sebagai saudara Emak.
“Tak mungkin,” aku terus membantah ucapan perawat
itu. Aku tak punya saudara Cina. Aku pribumi tulen.
47
48. Akupun mulai curiga, jangan-jangan lelaki itulah yang
menabrak Emakku lalu pura-pura berbuat baik
membawa ke rumah sakit selanjutnya kabur begitu saja.
Pasti seperti itu yang terjadi. Benar, pemikiran seperti
itu muncul begitu di diriku.
“Apakah jangan-jangan lelaki itu justru yang
menolong Emak,” pemikiran itu muncul saat sisi lain
dariku mengatakan ketidakpercayaan pada lelaki itu.
“Ah, aku yakin tak mungkin,” terus saja aku mencari
pembenaran terhadap diriku. Bukankah selama ini aku
begitu meyakini dan dalam sistem otakku, seperti sudah
terprogram definisi orang Cina itu meski kaya tapi pelit,
licik. Pokoknya yang ada di fikiran mereka hanyalah
duit dan duit.
****
Di Kampung tempat aku berasal, di sana jauh
dari ramainya metropolitan, terdiri dari 5 RT dan dihuni
hampir 500 orang ini dihuni oleh beragam etnis.
Kebanyakan sih semuanya orang Jawa tulen seperti aku,
bapak ibuku, hingga kakek neneku. Ada pula orang
48
49. Sunda, Arab dan hanya ada lima keluarga Cina. Karena
hanya terdiri dari 5 keluarga tak heran orang-orang di
kampungku kenal mereka semua. Apalagi semua
terkenal sebagai keluarga berada.
Diantara lima keluarga Cina ini ada satu yang
paling kutakuti dan kubenci. Namanya Koh Ahong,
lelaki tua yang hidup sebatang kara. Sebenarnya dulu
lelaki itu hidup bersama anak dan istrinya. Tapi istri dan
anaknya sudah lebih dulu meninggal. Ada yang bilang
terkena penyakit berbahaya dan menular ke anaknya.
Ada pula yang bilang keduanya menjadi tumbal sebagai
imbalan kekayaan dari lelaki itu. Mana yang benar
sampai sekarang tak ada yang berani memastikan semua
serba simpang siur. Mengenai asal-usul Koh Ahong, tak
ada warga yang tahu pasti. Satu yang pasti lelaki itu
sudah lama menetap di rumah tokonya. Begitu pula
dengan leluhur-leluhurnya.
Toko Koh Ahong begitu luas. Ukuranya
hampir satu setengah kali lapangan bulutangkis. Namun
di dalamnya penuh sesak dipenuhi dengan aneka ragam
barang dagangan. Semua barang tersebut setiap sore
49
50. dibersihkan oleh sang pemilik toko maka tak heran jika
dalam memoriku ternyata masih sama seperti yang dulu
tak ada yang berubah. Aku masih hafal barang-barang
apa saja yang terpajang di etalasenya. Mulai dari wajan,
lampu, hingga mainan kuda-kudaan dari kayu. Ada pula
raket using model lama.
Aku paling benci pada lelaki yang kini usianya
hampir mendekati satu abad tersebut. Maka setiap
membayangkan orang Cina yang terlintas adalah sosok
lelaki tua itu. Lelaki pelit, rewel, suka marah dan tak
pernah kuanggap bersosialisasi dengan warga sekitar.
Kebencianku pada Koh Ahong bukan tanpa
sebab. Semua berawal dari peristiwa dua puluh lima
tahun lalu saat aku baru berumur lima tahun. Waktu itu
aku bersama dua teman kecilku kebetulan lewat jalan di
depan toko lelaki Cina tersebut. Di depan toko tiba-tiba
saja kami menghentikan langkah. Kami terheran-heran
melihat kuda-kudaan dari kayu. Ini berbeda dengan
yang pernah kami lihat. Bentuknya lebih bagus, catnya
mengkilap, dan terlihat kokoh tak seperti punya Edi,
anak pak lurah, yang lebih kecil dan tak begitu menarik.
50
51. Saking terheran-heranya kami bertiga masuk,
mencoba menyentuh dan menggerak-gerakkanya.
Karena keasyikan kami tak sadar di belakang sudah
berdiri lelaki yang kepalanya nyaris tak memiliki
rambut, kecuali puluhan helai yang dibiarkan
memanjang. Kami begitu kaget ketika tangan
keriputnya menjewer telinga kananku.
“Oe, dasar anak nakal. Itu barang sudah dibeli orang.
Harganya mahal. Kalau sampai rusak orang tua kalian
ga bakal mampu beri ganti rugi,” dengan nada tinggi
lelaki tua itu membentak kami. Kontan saja kami
bertiga langsung lari. Kami ketakutan apalagi
membayangkan wajah keriput dengan bercak-bercak
coklat kehitaman. Saking takutnya selama berbulan-
bulan kami tak lagi berani lewat jalan di depan toko itu.
Semenjak kejadian itu lelaki tua itu makin
dibenci warga. Jika selama ini orang hanya
menganggapnya sebagai orang aneh dan suka
menyendiri kini menjadi musuh bersama warga. Semua
tak lain berasal dari cerita-cerita kami tiga anak kecil
yang lari ketakutan. Hingga dua puluh lima tahun,
51
52. setelah kejadian itu, pendapat orang tak berubah
tentang lelaki itu. Bahkan ceritanya pun sudah
bervariasi. Bahkan entah darimana asal muasalnya ada
cerita lain dari warga yang mengatakan lelaki itu punya
ilmu hitam sehingga pantas saja meski usianya kini
hampir menginjak satu abad tapi jarang sakit-sakitan.
Padahal dia hanya tinggal sendiri.
Meskipun benci, dalam hati kecil sebenarnya
ada juga sedikit rasa iba terhadap lelaki itu. Hingga,
terkadang aku penasaran seperti apa orang itu sekarang.
Tapi sedikit iba itu selalu tertutup dengan benci apalagi
sudah lama lelaki itu tak pernah menampakkan diri.
Meskipun tokonya yang tak pernah berkurang barang
daganganya masih selalu buka.
Suatu hari, saat berkunjung ke kampung
halaman, entah apa yang ada dalam benakku. Tiba-tiba
saja terlintas niat lewat jalan di depan Koh Ahong.
Walaupun tak memiliki alasan pasti tetap saja sepeda
motor ini melintas melewati toko besar yang dari dulu
hingga sekarang selalu dicat warna hijau. Tepat di
depan toko itu aku menoleh, tapi rupanya toko itu
52
53. tertutup rapat. Di depan toko nampak sampah plastik
dan botol air mineral berserakan. Nampaknya sudah
lama tutup. Menurut tetangga dekatnya, toko tersebut
sudah jarang sekali buka. Meskipun terkadang ada
seseorang yang membersihkan toko. Dalam hati
akupun bertanya “Kemana keberadaan lelaki tua itu,”.
*****
Setelah menjalani perawatan medis akhirnya
sehari lagi Emak diperbolehkan pulang. Bukanya
gembira, bahagia, justru aku mulai gelisah. Aku teringat
uang tabunganku hanya tersisa sepuluh juta saja.
Padahal aku sudah punya rencana menjadikan uang itu
sebagai modal usaha membuka toko kecil-kecilan.
Namun mungkin rencana itu tak akan terwujud dalam
waktu dekat. Dengan fasilitas dan terapi yang diterima
Emak selama pengobatan aku perkirakan setidaknya
butuh uang dua puluh juta rupiah. Lalu aku harus cari
uang dari siapa?
Pagi hari aku harus membawa Emak pulang.
Sebelumnya aku harus menyelesaikan semua
53
54. tanggungan yang harus dibayar. Rencananya aku akan
membayar separuh dan sisanya kubayar seminggu
kemudian setelah mendapat pinjaman. Meskipun aku
sendiri tak tahu apakah pihak rumah sakit
mengabulkannya atau tidak. Tapi setidaknya aku akan
mencobanya.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya
namaku dipanggil. Jantungkupun berdebar-debar,
harap-harap cemas akan pengajuanku. Tetapi sesaat
kemudian semua perasaan itu hilang berganti dengan
satu tanda tanya.
“Semua biaya sudah dibaya oleh saudara bapak kemarin
sore,” kata petugas rumah sakit,
“Maaf apakah saya tidak salah dengar?”
“Benar, saudara bapak yang dulu mengantar ibu
kerumah sakit,” katanya sekali lagi.
Ternyata aku memang tidak salah dengar. Petugas itu
memberi aku tanda terima bukti pelunasan.
Sebulan sudah sejak emak keluar dari rumah
sakit, namun aku masih penasaran dengan sosok lelaki
54
55. yang menolong emak. Selama inipun aku tak pernah
memberi tahu emak siapa yang telah melunasi semua
biaya pengobatanya. Hingga teka-teki itupun terjawab
sendiri setelah kesehatan dan ingatan emak pulih. Suatu
sore saat duduk santai di depan rumah emak bercerita
malam hari sebelum kecelakaan menimpanya ia melihat
lelaki tua pemilik toko kelontong melambai-lambaikan
tangan dan berteriak seperti ingin memberi tahu
sesuatu. “Tahu-tahu dari arah belakang sepeda motor
menabrak emak dan tak sadarkan diri,” kata emak
sambil menyeruput secangkir teh hangat.
Karanggede, 28 Juli 2011
55
56. Nyanyian Sendu Sang
Daradasih
M
alam semakin larut. Sugiman, lelaki tua
penjaga makam dan penyebar berita
kematian, tak jua terpejam. Sesepuh desa
itu hanya berbaring di atas kursi lincak di serambi
rumah. Mata senjanya menerawang menembus
kegelapan malam, diantara rerimbunan pepohonan di
depan gubuknya. Di sanalah kicauan burung daradasih
berasal.
Mbah Man, begitu orang kampung biasa
memanggil, bangkit, mondar-mandir lalu kembali
duduk bersandar di dinding gedhek rumahnya, dengan
berselimut sarung. Matanya tertuju ke tempat asal
muasal sayup-sayup suara burung daradasih. Beberapa
puluh meter dari pohon itu memang sebuah kompleks
pemakaman. Malam ini ada sesuatu yang mengusik
hatinya. Satu kegelisahan atau mungkin ketakutan.
56
57. Hampir empatpuluh tahun, separuh usia Mbah
Man, dihabiskan sebagai penjaga makam. Tepatnya
setahun setelah kematian bapaknya, juga seorang
penjaga makam. Rentang waktu cukup panjang
membuatnya memahami isyarat yang diberikan oleh
hewan atau alam. Meski pada mulanya, ia hanya
menganggap hal itu sebagai satu kebetulan belaka,
namun lambat laun akhirnya ia meyakini semuanya
adalah sebagai pertaanda. Termasuk munculnya suara
kicauan burung daradasih di malam hari.
Malam ini suasana kampung memang begitu
sepi, tak seperti biasanya. Tak ada satupun warga tas
ataupun pedagang bakso atau sate yang biasanya masih
terlihat lalu-lalang di jalan desa. Hampir semua pintu
rumah warga sudah ditutup, kecuali rumah Mbah Man.
Padahal biasanya masih terdengar suara keras artis
pengisi acara televisi atau wayang semalam suntuh di
radio transistor.
Namun Mbah Man seperti tak menghiraukan
itu. Ia tetap menikmati istirahat malamnya di teras
rumah, diatas kursi lincaknya. Batuk pun mulai
57
58. menyerangnya. Bukannya masuk kedalam gubuk, justru
ia mengambil sebatang rokok kretek dari jaket
kumalnya. Tak lama kemudian rokok itupun menyala
dan asap keluar berirama dengan suara batuknya.
Batuk Mbah Man makin menjadi. Seakan tak
peduli, batang demi batang rokok lainya pun tinggal
menyisakan puntungnya. Padahal setahun lalu dokter
sudah melarangnya menghisap tembakau dan
menghirup udara malam setelah ia divonis menderita
kangker paru-paru.
““tii..tut..twiiit, ..twiit, ..twiit, ..twit, ..twit, ..wit, ..wit, ..wit-wit-
wit-wit-wit-wit,” kicauan burung daradasih, terus
terdengar. Bahkan suaranya makin keras, menyebarkan
suasana mencekam yang membuat bulu kudu berdiri.
Mbah Man makin yakin, ini satu pertanda. Ia
mulai mengingat-ingat satu persatu penduduk desa.
Tapi ia tak mendapatkan satu namapun orang yang
tengah sakit keras di desa ini. Tak berhenti hingga disitu
saja. Ia kini menelusuri penduduk desa yang usianya
seangkatan denganya, mencoba menduga-duga siapa
58
59. dari mereka yang habis masa hidupnya. Mbah Atmo,
Mbah Supo, Mbah Joyo, Mbah Kromo nama-nama
yang teringiang. Hingga angannya tertuju pada satu
nama, Daradasih.
Daradasih, nama sinden pujaan hati mbah Man,
sewaktu muda. Sugiman muda masih ingat betapa
merdunya suara Asih, namun menyimpan satu misteri,
seperti suara burung Daradasih. Pandangan Mbah Man
menerawang jauh, menembus gelap. Terbayang jelas
sosok sinden cantik jelita tengah melantunkan tembang
sambil tersenyum padanya.
“Kang Sugiman!” sapa wanita itu,
“Dik Asih,” Sugiman membalas sapa wanita itu.
Namun tiba-tiba saja bayangan itu menghilang.
“Astagfirullah,” gumam Mbah Man,
Mbah Man kembali ke alam sadarnya. Asih
sudah meninggal puluhan tahun lalu. Sakit misterius
merenggut nyawanya. Peristiwa tiba-tiba yang membuat
Sugiman memilih menjadi penjaga makam dan
penyebar berita lelayu. Suara daradasih membuatnya
59
60. merasa dekat dengan Asih sang daradasih, sinden
pujaanya.
Malam mulai berganti pagi, namun Mbah Man
masih tak bergeming dari kursi lincaknya. Sudah
sepuluh batang rokok kretek ia habiskan namun
kepulan asap masih terlihat diantara jari-jarinya.
Sementara itu kicauan burung Daradasih masih
terdengar meskipun suaranya mulai tertutup hujan
deras yang mengguyur desa kecil itu.
****
Sang Surya perlahan naik ke singgasananya.
Kampung, yang hampir semalaman diguyur hujan lebat
mulai terasa hangat. Satu persatu warga desa nampak
keluar dari rumah memulai aktifitasnya masing-masing.
Namun suasana pagi ini tak biasa bagi warga.
Satu tanda besar tersimpan dalam benak mereka.
Rupanya suara kicauan burung Daradasih juga
mengganggu istirahat malam mereka. “Suaranya
terdengar hingga rumah saya,” kata Prawiro, sang
kepala Dusun dengan raut muka tegang.
60
61. “Saya juga mendengar pak, ngeri sekali,” Amin seorang
guru TK tetangga Prawiro ternyata juga merasakan hal
yang sama.
Prawiro merasakan hal yang aneh. Suara itu
muncul tapi hingga pagi tak ada satupun warga yang
melaporkan adanya berita lelayu. Biasanya jika ada
laporan warga, berita tersebut langsung disebarluaskan.
Mbah Sugiman dengan becaknya berkeliling kampung
membunyikan bende mewartakan kabar duka.
Tanda tanya besar ada dalam benak warga.
Suara bende dan berita kematian yang ditunggu-tunggu
tak jua datang. Hingga ketakutan yang berlebih, akan
datangnya kematian yang merenggut nyawa mereka,
muncul. Semuanya dirasakan warga yang percaya,
setidaknya hingga senja menjelang.
Namun menjelang Maghrib jawaban itu muncul
setelah seorang warga tergopoh-gopoh datang ke
rumah kepala dusun. Tak butuh waktu lama, warga
berduyun-duyun mendatangi rumah Mbah Man.
61
62. “Sudah meninggal Pak,” kata seorang dokter yang
bertugas di Puskemas dekat balai desa.
Lelaki tua itu ditemukan terbujur kaku di depan gubuk
tuanya. Noda darah terlihat di kain sarungnya. Mbah
Man telah berpulang. Usia tua dan TBC merenggut
nyawanya.
Yogyakarta, 7 Maret 2011
Fathoni Arief
Lincak : bangku panjang, biasanya terbuat dari bambu
untuk santai
Gedhek : anyaman bambu digunakan sebagai pembatas
ruang atau dinding
Lelayu : kematian
Bende : alat mirip kenong untuk dipukul sebagai
pertanda tertentu
Daradasih : Nama lain dari Cacomantis merulinus.
Burung yang kerap ditemui di lingkungan pedesaan ini
dikenal dengan banyak nama. Mulai dari
62
63. daradasih (nama umum, Jw.), kedasi, sirit uncuing,
atau manuk uncuing (Sd.)
Lincak : bangku panjang, biasanya terbuat dari bambu
untuk santai
Gedhek : anyaman bambu digunakan sebagai pembatas
ruang atau dinding
Lelayu : kematian
Bende : alat mirip kenong untuk dipukul sebagai
pertanda tertentu
Daradasih : Nama lain dari Cacomantis merulinus.
Burung yang kerap ditemui di lingkungan pedesaan ini
dikenal dengan banyak nama. Mulai
daridaradasih atau daradasih (nama umum, Jw.), kedasi,
sit uncuing, sirit uncuing, atau manuk uncuing (Sd.)
63
64. Layang Layang Putus
utarji duduk termenung. Dengan wajah muram,
S ia menatap foto besar diantara deretan foto di
dinding ruang tamu. Di foto itu seorang
pemuda berbadan tegap nampah gagah dengan
seragam pilot. “Bud, makan sayur yang banyak.
Biar kamu lekas besar dan bisa sekolah. Lalu
menjadi pilot, bisa berkeliling Indonesia bahkan
dunia gratis,” kata-kata itu masih terngiang dalam
ingatan Sutarji, Tigapuluhlima tahun lalu ketika Budi
putra semata wayangnya belum genap berumur 4 tahun.
Budi memang putra kebanggan Sutarji.
Bayangkan saja, ia orang pertama di kampungnya yang
berprofesi sebagai pilot. Bandingkan saja dengan
profesi yang dijalani sebagian besar keluarganya, mereka
sebagian besar terdiri dari guru dan Pegawai rendahan.
Satu hal yang sungguh berbeda, seperti pepatah
bagaikan bumi dengan langit, jika mengingat-ingat lagi
perilaku putranya sedari kecil hingga remaja. Dalam
64
65. ingatan Sutarji masih tergambar jelas, bagaimana polah
anaknya sewaktu masih ingusan. Tak ada satupun
tetangga di sekitar rumahnya yang tak mengenalnya.
Semuanya karena Budi memang terlalu sering membuat
ulah, mulai dari mencuri mangga tetangga,
memecahkan kaca rumah akibat melempar bola terlalu
tinggi hingga berkelahi dengan teman sepermainan.
Bahkan tak jarang Sutarji harus memohon wali kelas
dan kepala sekolah agar anaknya tak kena skorsing.
Meskipun bertingkah badung, Budi sejak kecil
memiliki otak yang encer. Walaupun jarang belajar nilai
pelajaranya selalu di atas rata-rata. Ia juga gampang
sekali menguasai satu hal baru, meskipun terkadang hal-
hal yang membahayakan bagi seorang anak kecil. Sejak
kecil ia suka meniru, mulai dari adegan lompat hingga
berguling layaknya bintang film laga. Untung saja
semua itu dilakukan Budi di atas kasur walaupun tak
jarang Yayuk istri Sutarji cemberut karena tanah yang
membuat kotor sprei.
Perihal cita-cita Budi menjadi seorang Pilot juga sudah
dari kecil. Waktu itu Budi menonton tayangan film
65
66. Holliwood. “Aku ingin menjadi seorang pilot,” katanya
spontan selepas film usai.
Sutarji mulanya tak pernah menganggap kata-
kata itu namun rupanya itu bukanlah sekedar omongan
anak kecil saja. Selepas lulus dari bangku SMA, Budi
mengungkapkan keinginanya, ingin melanjutkan
sekolah di Sekolah Pilot. “Pak Aku ga mau kuliah. Mau
jadi pilot saja,” katanya.
Awalnya Sutarji tak menyetujui, maklum ia
ingin anaknya masuk Fakultas Kedokteran saja. Kuliah
di FK lebih dekat maklum kampusnya hanya berjarak 2
jam perjalanan dari rumah beda dengan akademi pilot
haru naik kereta setengah hari perjalanan atau artinya
bakal berjauhan dari mereka. Selain itu mencari biaya
untuk masuk sekolah pilot juga tidaklah gampang bagi
pegawai rendahan seperti Sutarji.
Akhirnya Sutarji luluh juga. Ia mengijinkan
putranya mengikuti tes masuk Akademi Pilot. Ternyata,
Budi lolos seleksi. Pantas saja, putra semata wayang
Sutarji ini memang memiliki tubuh yang kekar, tinggi
66
67. dan atletis. Meskipun itu sebenarnya berat bagi
keuangannya apalagi Akademi tersebut milik swasta.
Untuk mewujudkan cita-cita Budi ia harus hutang sana-
sini dan mencari kerjaan tambahan. Hampir empat
tahun Budi menjalani pendidikan sebagai calon Pilot.
Selama itu juga ia hidup di asrama jauh dari kedua
orang tuanya. Budi hanya pulang setiap libur panjang.
Biasanya ia sebelumnya menelepon Sutarji atau istrinya
minta dibuatkan makanan favoritnya. Sutarji dan Yayuk
selalu menanti di teras depan mengobati rindu dengan
putra kebanggaanya.
Mungkin karena kedekatan emosional antara
orang tua dengan anaknya walaupun baru seratus meter
dari pintu gerbang mereka seperti sudah mendengar
bunyi langkah kaki Budi dan senyum kegembiraan
selalu menyambut sosok pemuda tegap berseragam
berambut cepak.
“Ini lo bu, Budi, calon pilot anakmu” begitu kata Sutarji
kepada Yayuk. Keduanya selalu tersenyum bangga
melihat putra semata wayangnya. Aktifitas seperti itu
67
68. berlangsung setiap Budi pulang hingga ia lulus dan
menjadi pilot.
Jerih payah Sutarji tak sia-sia. Budi mampu lulus
menjadi yang terbaik dan langsung mendapat pekerjaan
di sebuah maskapai penerbangan ternama. Ini juga
berimbas pada kehidupan Sutarji dan istrinya. Mereka
kini tak perlu bersusah payah mencari duit lagi.
Semuanya sudah disediakan oleh putra semata
wayangnya. Mulai dari perabot, kendaraan hingga
perbaikan rumah ditanggung Budi.
Kebahagiaan Sutarji dan Yayuk sebagai orang
tua akhirnya lengkap setelah Budi menikah dengan
Santi. Uniknya lagi Santi adalah seorang dokter
tercapailah cita-cita Sutarji memiliki anak seorang
dokter, meskipun anak menantu.
Budi dan Santi, dikaruniai seorang anak lelaki,
namanya Andi dan anak perempuan bernama Sita.
Anak pertama Budi benar-benar seperti duplikat
ayahnya. Rupanya benar kata pepatah, buah memang
jatuh tak jauh dari pohonya. Cucu Sutarji ini tingkah
68
69. lakunya persis seperti Budi ketika masih kecil, nakal,
bandel, suka main layang-layang namun cerdas.
Sedangkan Sita baru lahir belum genap seminggu.
Karir Budi pun makin moncer. Karena prestasi
kerjanya bagus, ia sempat mengenyam pendidikan
lanjutan di Inggris. Selesai tugas belajar bahkan
rencananya Budi mengajak Sutarji, Yayuk dan Santi
berangkat naik haji bersama Budi dan istrinya tahun ini.
Hampir sempurnalah cita-cita Sutarji.
“Pak, Budi sebentar lagi tiba,” Yayuk membuyarkan
lamunan Sutarji. Lelaki itu lalu menarik nafas panjang
sebelum keduanya keluar rumah duduk di kursi teras
depan menanti putra kesayangan mereka. Namun kini
mereka tak sendiri, ada tetangga dan kerabat lain turut
menanti.
Namun Sutarji seperti tak peduli dengan
keberadaan orang di sekelilingnya. Matanya menatap
jauh ke lapangan depan rumahnya. Seorang bapak
dengan anak kecil bermain layang-layang. Mereka
mencoba menaikan layang-layang menanti angin
69
70. berhembus cukup besar. Setelah mencoba berkali-kali
akhirnya layang-layang bergambar pesawat itu terbang
melayang-layang di angkasa. Namun rupanya mungkin
karena angin berhembus terlalu kuat atau benang yang
terlalu lemah layang-layang itu putus terbang terbawa
angin.
Yayuk dan Sutarji menunggu Budi. Namun kali
ini berbeda. Jika dulu mereka menanti Budi yang datang
dengan baju seragam dan senyumnya, tapi kini adalah
tubuh terbalut kain di dalam sebuah mobil jenazah. Tak
ada lagi yang ada wajah lesu, kusut dan mata sembab.
Begitu pula tawa saat Budi masuk rumah yang ada
tumpahnya air saat tubuh kaku digotong beramai-ramai.
Seminggu lalu Sutarji dan Yayuk tersenyum
bahagia. Cucu kedua mereka lahir dengan selamat.
Namun rupanya kebahagiaan itu tak berlangsung lama
setelah sore kemarin Budi menghembuskan nafas
terakhirnya. Tubuh tegapnya ternyata tak mampu
melawan kangker hati yang menyerangnya. Budi kini
benar-benar terbang tinggi keangkasa namun untuk
selama-lamanya.
70
71. Apa yang dialami Sutarji rupanya tak jauh beda dengan
layang-layang. Perjalanan hidup manusia terkadang
mirip layang-layang. Butuh upaya keras untuk bisa
membuatnya terbang tinggi. Namun apalah daya jika
ternyata setelah terbang tinggi angin kencang membuat
layang-layang putus dan pergi mengikuti angin.
Yogyakarta, 9 Maret 2011
71
72. Lika-Liku Hati
ku berjalan dengan langkah gontai. Rasanya
A kaki ini menjadi makin rapuh seiring
bertambahnya usiaku. Kulitku yang keriput
seakan bosan melindungi tubuhku yang
sekarang tak berguna, sehingga panas yang
menyengat terasa menembus langsung ke
tulangku. Dengan hati-hati aku berjalan
menuju sekumpulan motor dan mobil di perhentian
lampu merah. Tanganku terjulur di hadapan mereka
sambil bergetar karena lelah, wajah yang memelas
menjadi penyempurna pekerjaanku.
Sejenak langkahku terhenti, ketika seorang
lelaki, tengah berlari kencang, menabrakku. Tubuh
lelaki itu langsung tersungkur menabrak tiang rambu
lalu lintas, seperti tak merasakan sakit, ia segera bangkit
dan tergesa-gesa berlari menjauh. Sesuatu terjatuh dari
balik bajunya. Ternyata sebuah dompet kulit. Langsung
72
73. saja aku mengambil dompet itu dan memanggilnya
namun ia sudah terlalu jauh.
"Copeeeeetttt!" entah darimana asal suara
tersebut, tiba-tiba saja sekelompok massa sudah
berkerumun dan mengepungku.
Tanpa basa basi dompet kulit di tanganku
direbut oleh salah satu dari mereka. Yang lainnya
memakiku dan mengarahkan kepalan tangan ke
perutku. Pertama mereka memukuliku sampai aku
meringkuk. Lalu kaki-kaki mereka mulai menendangku
dengan ritme cepat. Aku memohon ampun. Tapi
suaraku yang parau tidak mampu menantang teriakan
dan makian mereka.
"Sudah hentikan!" teriak seseorang dengan lantang.
Pandanganku buram. Seluruh tubuhku sakit.
Hingga aku tidak dapat menangkap sosok yang
menembus kerumunan itu. Seketika aku pasrah.
Membiarkan semuanya menjadi gelap. Dan suara itu
masih tertangkap oleh pendengaranku yang mulai
terganggu. Suara seorang wanita.
73
74. ****
Rupanya cukup lama aku tidak sadarkan diri.
Ketika aku membuka mata, hari sudah menjelang
petang. Namun, aku tak tahu dimana diriku berada.
Kini aku berada di atas ranjang empuk di dalam sebuah
kamar yang terlalu luas untuk ukuranku. Bahkan lebih
luas dari rumah gubuk yang hampir sepuluh tahun aku
huni.
Perlahan aku bangkit, mencari tahu dimana aku
sekarang berada. Perhatianku kini tertuju pada deretan
foto yang terpajang di dinding kamar. Kulihat satu
persatu wajah-wajah dalam foto tersebut. Mataku
terhenti pada salah satu foto.
"Dok dok dok," tiba-tiba saja pintu diketuk lalu
seorang wanita paruh baya masuk kedalam ruangan,
sambil membawa pakaian dan makanan. "Kata
Nyonyah, bapak silahkan mandi dan ganti pakaian lalu
makan seadanya. Bapak jangan pergi dulu. Sebentar lagi
Nyonyah pulang," kata wanita itu.
74
75. Aku masih belum bisa merangkai kejadiannya
yang terlewati. Setelah aku dipukuli. Bagaimana bisa aku
berada disini? Dan Nyonyah? Siapa yang dia maksud
dengan Nyonyah?
Sudah sepuluh tahun aku berada di kota besar
ini. Tanpa sanak saudara atau pun teman. Aku
berangkat dari desa di kaki bukit menuju tempat
dimana aku berharap dapat mengumpulkan uang
sebanyak-banyaknya untuk anakku. Tapi aku tersesat.
Atau lebih tepatnya menyesatkan diri karena malu.
"Bapak belum makan?"
Aku tersentak. Kaget melihat seorang wanita
yang tiba-tiba hadir di hadapanku. Wanita yang elegan,
cantik, ramah, dan berusia sekitar 20-an. Suaranya
sangat aku kenal. Tapi tidak mungkin! Suara itu baru
aku dengar tadi siang. Dia yang menolongku dan
membawaku kesini.
"Pak.." sekali lagi wanita itu memanggilku. Aku
hanya mengangguk, sebagai satu jawaban. Sedari
kemarin malam aku belum makan sesuap nasipun.
75
76. Perutku hanya terisi segelas teh hangat pemberian kuli
bangunan di lokasi proyek dekat gubugku.
"Tunggu sebentar ya Pak. Makanan sedang
disiapkan Bibi. Silahkan istirahat dulu kalau masih
sakit"
Wanita itu lalu keluar dari kamar ini. Mataku mengikuti
langkah demi langkah wanita itu. Aku mencoba
mengingat-ingat, menelusuri masa laluku. Barangkali
saja aku pernah mengenalnya. Tapi rupanya aku tak
menemukan jawabnya meskipun kata hatiku
mengatakan wanita ini seperti sudah lama kukenal.
Aku kembali berdiri meraih pakaian bagus yang
sudah disiapkan di dekat ranjangku. Aku melangkah
menuju kamar mandi yang terletak di sudut kamar.
Kamar mandi yang begitu mewah bahkan lebih bagus
dari kamar mandi milik pak lurah di kampungku dulu.
Lantainya dari batu alam tapi tidak licin seperti
rumahku di kampung dan ada cermin besar di salah
satu dindingnya. Akupun mendekati cermin besar itu
memandangi diriku dan baru kusadari hampir sepuluh
76
77. tahun aku tak pernah memandang cermin. Kupandangi
wajah kusut, kurus, berkumis dan berjenggot tebal.
"Apakah ini benar-benar diriku?" aku masih tak percaya
dengan bayanganku sendiri.
Usia bayanganku di dalam cermin jauh lebih tua dariku.
Belum lagi dihiasi lebam-lebam dan darah kering di
ujung bibirku. Bola mataku sama sekali tidak bercahaya
seperti dulu. Air mukaku sangat keruh. Tidak
memancarkan sinar bahagia seperti dulu. Tidak seperti
saat aku bermain bersama anakku. Dan merangkai
mimpi-mimpi indah yang aku yakin akan terwujud di
kota ini.
"Aku merindukanmu nak..." rintihku hingga
sesuatu mengalir di pipiku. Basah. Dan rasanya semakin
sesak. Tubuhku bergetar dan aku benar-benar
menangis.
Kekayaan. Hanya itu yang aku inginkan untuk
anakku. Aku ingin membuatnya bahagia dengan
membelikan semua yang dia pinta. Dan istriku, dia
tidak perlu lagi berjualan di pasar. Dia tidak akan lagi
77
78. digoda bahkan diancam oleh preman-preman pasar.
Aku... sangat ingin menempatkan mereka di istana.
Bukan di rumah mungil di sisi sawah.
Sejenak aku tersadar. Aku sedang berada di
rumah mewah. Rumah seseorang yang kaya dan juga
sangat baik. "Apakah aku bisa membawakan semua ini
pada anakku?"
*****
"Mari langsung dimakan saja pak !" kata wanita
cantik yang kuduga sebagai pemilik rumah ini.
"Terima kasih mbak," jawabku sambil
menundukkan kepala. Ada beragam menu makanan
yang sudah disajikan di hadapanku. Semuanya nampak
lezat. Ada ayam goreng, sup, sambal, tahu, tempe dan
makanan asing yang belum pernah kumakan. Ingin
rasanya mencoba satu demi satu makanan tersebut.
Menu pertama yang kuraih adalah ayam goreng.
Aku mengambil satu potongan ayam besar, bagian
paha. Perlahan-lahan potongan paha tersebut sudah
sampai di mulutku dan ada diantara gigiku. Rasa
78
79. dagingnya benar-benar empuk dan gurih. Namun tiba-
tiba saja aku kembali teringat anak semata wayangku.
Masih jelas tergambar dalam ingatanku, saat ia
hanya bisa memandang seorang anak yang tengah
menikmati ayam goreng di warung dekat kantor
kecamatan. Betapa hatiku rasanya seperti teriris-iris,
saat melihat anak itu dengan gampangnya membuang
satu potongan ayam, yang baru dimakan sedikit, dan
diam-diam aku memulung potongan tersebut.
Potongan itupun kubersihkan dan kubawa pulang buat
anakku. Waktu itu aku sangat terharu melihat anakku
melahap potongan ayam tersebut tanpa tahu itu
sebenarnya sisa orang.
Sambil melahap makanan, aku memperhatikan
suasana di rumah ini. Hingga saat ini, aku hanya melihat
wanita cantik dan seorang pembantunya. Kuamati
berbagai perkakas dan barang yang ada di sekitar ruang
makan. Niat burukku muncul lagi.
Aku mengenyahkan rencana-rencana jahat di
kepalaku. Aku tidak mungkin melakukannya! Wanita ini
79
80. sudah sangat baik. Meskipun kami baru bertemu sekali
dan tidak saling mengenal, tanpa prasangka dia
membawaku kesini. Membiarkanku menikmati
kemewahannya.
Daging ayam yang ku makan tersangkut di
tenggorokan. Aku tersedak. Dengan panik wanita itu
datang menyodorkan segelas air dan menepuk-nepuk
punggungku.
"Makannya jangan terburu-buru pa," katanya lembut.
Suaranya... lagi-lagi suara itu mengingatkanku pada
sesuatu yang terlupa.
"Nama mba siapa?" tanyaku memberanikan
diri.
Wanita itu tersenyum ramah. Dia kembali duduk di
depanku. "Oiaa.. saya lupa mengenalkan diri! Nama
saya Sarah Amalia," jawabnya sambil mengalihkan
pandangan ke makanannya.
80
81. Sarah Amalia. Sarah Amalia... Nama yang
benar-benar asing. "Pak... besok saya akan pergi ke luar
kota. Bapak boleh tinggal di sini dulu."
"Tapi mbak,... bukannya kita baru kenal?"
Lagi-lagi dia tersenyum dan menjelaskan, "Saya tahu
bapak. Saya sering melihat bapak di perempatan. Dan
bapak tinggal di dekat lokasi proyek Ayah saya. "
"Ayah anda tinggal disini?"
Dia terdiam. Matanya menatap nasi yang dipermainkan
dengan sendoknya. Ekspresinya seketika berubah. Dia
sedih.
“Apakah ayah anda lelaki dalam foto di kamar tadi?”
tanyaku ingin tahu.
Dia tak bersuara. Hanya mengangguk mengiyakan.
“Astaga,” apakah lelaki misterius yang sering membawa
makanan ke gubugku adalah orang dalam foto itu.
Lelaki yang seminggu terakhir tak pernah muncul lagi.
“Heri,” tiba-tiba saja keluar nama itu dari mulutku.
“Benar, itu nama ayah saya,”
81
82. ****
Setahun lalu aku bertemu seorang lelaki usianya
mungkin seumuran denganku di sebuah stasiun KRL di
tengah kota. Waktu itu ia nampang bingung, mondar-
mandir dan hampir saja mengakhiri nyawanya di rel
kereta api. Untung saja aku melihat lelaki itu dan
mampu membujuk di urungkan niatnya.
“Percuma saja saya hidup. Sebentar lagi virus ini
bakal mengakhiri hidup saya. Perkiraan dokter usia saya
tinggal sebulan lagi,” kata lelaki itu sambil terisak. Ia
begitu putus asa, tak kuat menghadapi cobaan
hidupnya.
Sejak perjumpaan yang kebetulan itu lelaki yang
akhirnya kuketahui bernama Heri itu sering mampir ke
gubugku. Biasanya dua hari sekali atau terkadang setiap
sore sambil membawa sebungkus nasi padang dan
gorengan. Lewat pertemuan demi pertemuan itulah
kami akhirnya berkarib meskipun aku tak tahu asal usul
dan dimana dia tinggal. Lagi pula dia selalu menghindar
jika aku bertanya soal rumah dan keluarganya.
82
83. Seminggu lalu, itulah terakhir kali aku bertemu
Heri. Ia sempat berpamitan, katanya bakal pergi ke
suatu tempat yang jauh. Sejak saat itu ia tak pernah
datang lagi.
****
Aku sedang berbaring di kasur empuk, tapi
kenapa rasanya jadi sangat tidak nyaman. Aku tidak bisa
menutup mataku. Aku terus mencari posisi yang tepat
untuk terlelap. Tapi tetap saja rasanya seperti tidur
diatas duri.
Aku benar-benar tidak menyangka kalau Heri
telah tiada. Dan kini aku berada satu atap dengan
anaknya. Dua orang yang sangat baik. Bahkan terlalu
baik untuk menjadi bagian dalam hidupku. Aku tidak
akan bisa sebaik Heri. Aku tidak bisa menggantikan
posisi Heri!
Aku bangkit. Melihat kesekeliling. Terlintas
dipikiranku untuk meminjam sesuatu di rumah ini
hanya untuk ongkos pulang ke kampung. Aku berjanji
akan mengembalikannya, setelah mengumpulkan uang
83
84. dari hasil kerja menjadi petani dan membantu
mengurus ternak tetangga. Aku sangat ingin pulang...
Aku ingin kembali bersama keluarga kecilku yang
semoga saja mereka masih mencintaiku seperti dulu.
Aku menuju lemari kayu jati yang berukir antik
di kamar ini. Aku membukanya perlahan. Ragu karena
perasaan bersalah kalah oleh hasratku untuk meminjam
barang mereka. Tapi apa ini bisa disebut mencuri?
Benarkah itu yang akan aku lakukan? Selama ini aku
berusaha mempertahankan prinsipku untuk berlaku
jujur dan tidak pernah berhutang, sekali pun dalam
keadaan terdesak. Tapi saat ini entah kenapa... aku
berpikir jika aku meminjam beberapa barang mereka itu
tidak akan berpengaruh banyak. Mereka tidak akan
langsung jatuh miskin kan?
Baju-baju bermerek dengan warna natural
tertata dengan sangat rapih. Baju-baju ini mungkin
punya Sarah. Dan ada kotak besar berwarna coklat di
dalam lemari baju itu! Mungkinkah isinya perhiasan?
Dengan tangan gemetar aku membuka perlahan. Ada
figura foto. Foto orang yang dulu sangat dekat
84
85. denganku. Orang yang sangat aku cinta. Tapi benarkah
ini? Sekarang aku tahu kenapa suara Sarah sangat akrab
di telingaku. Dia mirip sekali dengannya. Istriku.
Lalu bagaimana dengan anakku?! Dia
kemanakan anakku?! Ah ini semua hanya perasaanku
saja. Dia tetaplah Sarah bukan Saraswati istriku. Jika
memang dia istriku tak mungkin penampilanya masih
seperti itu. Dia lebih mirip wanita di usia 20 tahunan
sedangkan istriku hanya selisih 5 tahun dari aku.
****
Ah ini semua hanya perasaanku saja. Dia
tetaplah Sarah bukan Saraswati istriku. Jika memang dia
istriku tak mungkin penampilanya masih seperti itu. Dia
lebih mirip wanita di usia 20 tahunan sedangkan istriku
hanya selisih 5 tahun dari aku.
****
Bus antarprovinsi mengantar perjalanan
pulangku ke kampung halaman. Sepuluh tahun sudah
aku meninggalkan semuanya, rumahku, istriku, anakku.
Ah seperti apa mereka sekarang. Setidaknya kini aku
85
86. pulang tidak dengan tangan hampa ada banyak oleh-
oleh buat anakku dan sedikit kejutan buat istriku. Aku
akan memulai hidup baru di kampung, membuka
warung kecil-kecilan untuk mencukupi semua
kebutuhan keluargaku.
Ratusan kilometer meninggalkan ibukota, tetapi
aku tak bisa lepas dari bayangan wanita itu. Dengan
cara seperti inikah aku membalas kebaikan wanita itu?
Dengan mencuri jam tangan dan cincin emas
peninggalan Ayah wanita itu, Heri, orang yang selama
ini terlalu baik buatku.
Ah peduli apa dengan wanita itu, dia sudah
memiliki semuanya tentunya dia tak peduli jika hanya
jam tangan dan cincin yang laku kujual seharga satu
setengah juta di pasar. Aku hanya meminjam, ini semua
terpaksa, sudah lama aku meninggalkan keluargaku.
Aku janji nanti jika usahaku lancar bakal meminta maaf
mengembalikan semuanya. Aku bukanlah pencuri dan
orang yang tak tahu diri.
****
86
87. Akhirnya sampai juga aku di jalan kampungku.
Aku menelusuri jalan menuju rumahku. Rupanya ada
banyak kemajuan di sini, jalan yang dulu berupa batu-
batu yang ditata kini sudah diaspal bagus. Aku terus
melangkah. Tapi entah kenapa aku tak dapat
menemukan rumahku padahal meski sudah sepuluh
tahun aku masih hafal dan tak mungkin salah jalan. Di
lokasi itu justru aku hanya menjumpai sebuah
bangunan besar yang sekelilingnya diberi pagar tinggi.
Di pintu depan ada seorang security yang menjaga,
disana berdiri pabrik kulit.
Ketika tengah berjalan mondar-mandir seorang
karyawan pabrik itu memanggilku. "Mas Adi..," teriak
lelaki itu.
Ternyata dia Yanto, tetanggaku dulu.
Yanto merangkulku, mengajaku duduk di sebuah
warung kecil dekat pabrik. Sambil menikmati kopi dan
gorengan kami berbincang-boncang dan tentunya aku
bertanya keberadaan istri dan anakku.
87
88. "Dimana mereka saat ini Yan?"
Yanto tiba-tiba terdiam. Sambil menyeruput kopi
panas, ia menarik nafas panjang. " Sudah meninggal
lima tahun lalu kena banjir bandang,"
"Apa," kakiku tiba-tiba saja lemas, mataku berkaca-
kaca, sambil memandang barang-barang hasil menjual
jam dan cincin suami Sarah.
Jogja-Solo, Maret 2011
Fathoni Arief dan Hana Sisworini
88
89. Mbah Giman
S
ang Surya mulai tampakkan bentuknya. Bulatan
cahaya kekuningan, semula kecil, perlahan mulai
membesar, dan menyebarkan radiasi yang
mampu memberi kehangatan suasana pagi.
Apalagi dengan iringan suara burung yang
berkicauan dan sesekali terdengar suara kokok
ayam. Sekarang ini, cuaca memang tengah cerah, tak
seperti kemarin hingga seminggu terakhir. Setiap pagi
cahaya keemasanya tak pernah bisa mewarnai semesta,
karena selalu tertutup awan tebal. Belum lagi udara
dingin dan tak jarang gerimis sudah mulai membasahi
bumi.
Semangat pagi ini pula rupanya telah
mengilhami penduduk desa Karangjati, desa kecil
dimana sebagian besar penduduk bermata pencaharian
sebagai petani. Di masing-masing rumah, penduduk
tampak asap dari dapur yang mengepul dan ibu-ibu
yang sibuk menyapu dedauan jatuh dengan sapu lidi.
Makin riuhlah suasana pagi di desa pelosok tersebut.
89
90. Di salah satu rumah, di sudut desa, Mbah Giman
termenung, sambil menatap hamparan padi di
persawahan samping gubuknya. Benih yang sejak
beberapa bulan lalu ditanam,diairi,dipupuk, kini sudah
menjadi bentangan tanaman padi yang sudah
menguning. Beberapa hari lagi suasana persawahan
bakal makin meriah. Petani memanen padi dan sebagai
isyarat gudang logistik mereka akan dipenuhi gabah dan
persedian beras untuk beberapa waktu kedepan dijamin
aman. Mereka lebih memilih menimbun padi dan tak
menjual semua karena turunya harga gabah.
Seperti turut merasakan kebahagiaan para
petani, yang ia amati dari kejauhan, Lelaki kurus,
dengan rambut sudah memutih, itupun tersenyum tipis.
Nampak tatapan matanya berbinar-binar. Sesekali
tangan kanannya memegangi dagu sambil mengangguk-
angguk. Sementara di sela-sela jari kirinya terselip
sebatang rokok tingwe dan gelas blirik berisi kopi tubruk
ada di samping tempat ia duduk, serta beberapa pisang
goreng.
90
91. “Permisi mbah,” seorang lelaki berbadan tegap berkulit
legam menyapa Mbah Giman. Ia salah seorang kuli
yang bekerja di proyek bendung Karangjati. Sosok
lelaki tua itu memang cukup disegani di desa ini.
Tak jauh dari lokasi persawahan, nampak
sekumpulan kuli bangunan, tukang dan para mandor
sudah bersiap dengan pekerjaan hari ini. Sekarang
memang tengah berlangsung pembangunan bendung
Karangjati II, prasarana irigasi baru, sebagai
pengembangan dari bangunan sebelumnya yang
dianggap sudah sangat uzur. Bangunan lama itu bahkan
usianya hampir sama dengan Mbah Giman.
Sudah hampir 5 tahun ini Mbah Giman hidup
sendiri. Selepas Mbah Lastri meninggal dan Parto
kuliah di Jogja Praktis lelaki tua ini tinggal sebatang kara
menikmati masa senja. Dulu sewaktu istrinya masih ada
setiap hari tak lupa membuat minuman kesukaanya,
kopi tubruk. Selalu tersedia gelas blirik berisi kopi
dengan racikan selalu tepat setiap pagi dan sore hari.
Sajian yang menemani aktifitas sehari-harinya di sawah
91
92. miliknya. Untung saja semenjak sebulan lalu Parto balik
ke kampung halaman.
Sejak masih muda, sawah, rumah, dan langgar
adalah 3 tempat dimana mbak Giman menghabiskan
hari-harinya. Jika ada hal yang membuat Mbah Giman
bahagia sawah, kopi tubruk dan keberadaan sosok
Parto, satu-satunya cucu lelaki yang dimilikinya. Parto,
anak laki-laki Sami’un yang kebetulan juga putra semata
wayangnya. Sami’un sendiri kini tak diketahui dimana
kabarnya. Samiun tiba-tiba saja menghilang saat istri
tercintanya meninggal waktu melahirkan Parto.
Sebenarnya banyak kabar simpang siur muncul
tentang keberadaanya. Ada yang bilang Samiun pergi ke
Jakarta menjadi salah satu korban penembakan
misterius di awal tahun 80an. Ada pula kabar Samiun
gila dan hilang entah kemana. Yang jelas Parto seakan
jadi anak yatim piatu. Mbah Giman dengan segala kasih
sayang membesarkan Parto. setia sempat membantu
dosen penelitian keliling Indonesia namun baru setahun
ia balik ke kampung halaman. Ia memutuskan
membuka kios kecil di pasar menjadi agen beras.
92
93. “Ada apa mbah, kok sedari tadi hanya termenung saja
di teras?” Parto tiba-tiba saja muncul dari samping
rumah sambil membawa koran lokal dan sebungkus
krupuk bawang kesukaan siMbahnya.
“Ngga ada apa-apa le,” jawab Mbah Giman sambil
menarik nafas dan mengatur posisi duduk di kursi
lincak.
“Ini Mbah krupuk pesananya tadi,”
Parto meletakkan sebungkus krupuk bawang
tersebut di kursi lincak. Mbah Giman hanya
mengangguk lalu tangannya merogoh saku baju,
mengeluarkan kertas rokok dan plastik berisi
tembakau,kertas serta kemenyan. Sesaat kemudian lelaki
tua itu dengan cekatan melinting rokok. Rokok tingwe
itu kini sudah ada di antara bibir tuanya. Rokokpun
menyala dan bau tembakau bercampur kemenyan
menyebar kemana-mana.
93
94. Parto duduk disamping sang kakek. Ia mengeluarkan
sebungkus rokok, keluaran pabrik rokok dari sebuah
kota di daerah Jawa Timur. Tak lama terdengar sesuatu
yang terbakar dan rokokpun menyala. Pelan-pelan ia
hisap tembakau campur cengkeh yang dibungkus kertas
tersebut.
“Bagaimana dagangan berasmu le?” tanya Mbah Giman
sambil mengeluarkan asap dari kedua lubang
hidungnya.
“Lumayan mbah, lagi banyak orang punya gawe,” jawab
Parto
Mbah Giman kembali terdiam, begitupula
dengan Parto. Lalu lelaki tua itu meraih bungkusan
krupuk bawang dan membukanya. Jari-jarinya menjebit
beberapa krupuk dan terdengar bunyi sesuatu yang
tengah dikunyah.
“Kamu sudah dewasa le. Sudah bisa cari duit sendiri.
Lalu kapan kowe rabi le?” Mbah Giman mendesah,
94
95. “Oalah mbah mbah pertanyaane kok aneh-aneh wae,”
jawab Parto,
“Cepet rabi le. Bagaimana dengan Sri anak pak dukuh
apakah masih kurang cantik ?”
“Hehehe mbah mbah...,” Parto hanya tertawa,
“Mbahmu ini sudah sangat tua le. Dunia ini rasanya
sudah tidak cocok bagi mbah. Dulu mbah hafal kapan
bakal terjadi hujan, kapan kemarau. Sekarang coba
perhatikan, sudah lebih dari tengah tahun masih sering
hujan,”
“Jangan berfikir yang aneh-aneh mbah. Mbah mungkin
terlalu capek. Istirahat yang cukup,” ujar Parto.
Mbah Giman menghisap rokok tingwe yang
hampir habis. Dihisapnya rokok tersebut dalam-dalam,
lalu dari mulutnya keluar asap menggumpal-gumpal
membumbung tinggi terbawa angin. Rokok itupun
akhirnya tinggal tersisa beberapa senti. Mbah Giman
lalu mematikan puntungnya dengan cara ditekan ke
kursi lincak selanjutnya dilempar begitu saja ke
95
96. halaman. Pisang goreng yang tersisa satu diraih dan
pelan-pelan ia mengunyahnya, dan tangan kirinya
meraih gelas blirik berisi kopi tubruk, yang sudah
dingin.
Sementara Parto hanya terdiam. Ia mulai
menduga-duga sesuatu tengah menjadi fikiran
simbahnya,ini tak sekedar memikirkan mendiang mbah
putri, atau pernikahan Parto. Memang sejak beberapa
bulan ini sikap dan perilaku simbahnya jadi sedikit
aneh. Sang Kakek jadi sering uring-uringan sendiri
bahkan seringkali dipicu oleh permasalahan sepele.
Parto masih ingat kejadian terakhir selepas pembagian
kompor gas konversi. Kompor yang menggantikan
kompor minyak butut di dapur. Mbah Giman selalu
marah tiap kali Parto berusaha menyingkirkan kompor
tuanya. Memang meskipun bobrok, kompor tersebut
menyimpan banyak cerita. Kompor yang sudah
puluhan tahun berada di dapur dan dipakai simbah
putrinya. Namun akhirnya Mbah Giman nurut-nurut
saja.
96
97. “Parto,” Mbah Giman mengerutkan dahinya
memanggil cucu satu-satunya,
“Apa Mbah?” jawab Parto
“Tolong ambilkan kertas bekas, pena dan kacamata
simbah!”
Parto menuruti perintah kakeknya, meskipun ia
sendiri masih belum tahu apa yang akan dikerjakan sang
kakek. Mbah Giman menanti Parto, sambil mulutnya
komat-kamit seperti tengah menghitung sesuatu dan
jarinya bergerak-gerak sebul mulutnya terdiam ketika
rokok tingwe terselip di bibirnya. Ini adalah rokok
tingwe terakhir yang tersisa.
“Ini Mbah kertas, pena dan kaca matanya,” Parto keluar
dari dalam rumah membawa kertas lusuh berwarna
coklat bekas bungkus gorengan dan kaca mata tebal.
97
98. Mbah Giman meraih kertas, pena dan kacamata
yang dibawa Parto. Semuanya langsung ditaruh di
sebelhnya, bagian kosong lincak bambu tempat ia
duduk. Lalu ia melanjutkan menghisap rokok hingga
menyisakan seperempat bagian dan langsung ia tusukan
ke lincak sampai mati apinya. Bagian pinggir dari lincak
itupun menyisakan bulatan-bulatan hitam bekas rokok.
“Coba tolong bantu Simbah menghitung,”
“Menghitung apa mbah?” tanya Parto,
“Sudah tulis saja dulu,”
“Baik mbah,” Parto masih belum mengerti apa maksud
dari siMbahnya,
“Sekarang harga gabah kering berapa?”
“Ya antara 200 sampai 250 rupiah perkilonya Mbah,”
jawab Parto
“Kalau satu bahu menghasilkan 3 ton dikali itu hasilnya
berapa?”
98
99. Parto terus mencatat dan menghitung apa yang Mbah
Giman ucapkan. Hingga akhirnya muncul angka-angka
yang tidak ia ketahui untuk apa kegunaanya.
“Sudah selesai ngitungnya?” tanya Mbah Giman,
“Sudah mbah,” jawab Parto,
“Nanti tolong setelah panen usai dan gabah sudah
terjual tugasmu ngurusi itu. Itu bagian pertama
kasihkan ke langgar Pak Nyoto, lalu ke jandanya Mbah
Wiro yang buta itu, jangan lupa juga nanti belikan
kompor baru buat Mbah putrimu”
“Baik mbah,” Jawab Parto lalu ia terdiam. Kini ia baru
menyadari, rupanya simbahnya sudah mulai pikun.
Sawah Mbah Giman sudah kena gusur proyek
pelebaran jalan 5 tahun lalu tak lama setelah Mbah
Lastri meninggal dan nama-nama yang disebut
simbahnya sudah tiada semua.
Parto tersenyum melihat simbahnya. Ia baru
tahu kenapa sedari tadi simbahnya termenung. Banyak
hal sudah dilupakan oleh Mbah Giman kecuali
ingatanya akan keinginan selalu berbagi setiap
99
100. mendapat rejeki. Sementara Mbah Giman kini
bersandar di dinding, tersenyum menatap hamparan
padi yang sebentar lagi panen.
Yogyakarta, 22 Februari 2011
Langgar : surau, mushola kecil
Tingwe : singkatan dari nglinting dewe (bahasa Jawa)
atau melinting sendiri
100
101. Mbah Pon
T
ak seperti hari-hari sebelumnya, pagi ini hujan
turun begitu deras. Guyuran air dari langit
sekejap saja sudah mampu menyulap jalan-
jalan berlubang di kampung Bandung menjadi
hamparan genangan air di sepanjang jalan.
Banyak pemakai jalan menyebutnya mirip
kubangan kerbau. Kondisi ini membuat
mereka yang lewat begitu hati-hati tak seperti biasanya.
Pengendara sepeda motor berjalan dengan kecepatan
begitu pelan melewati sela-sela jalan yang luput dari
genangan. Tapi tetap saja, ada juga orang yang
terpeleset, untung saja mereka hanya mengalami sedikit
lecet.
“Jalan baru harus segera dibangun. Kalau tidak korban
bakal lebih banyak lagi,” kata seorang berbaju PNS
yang harus berhenti di sebuah bengkel kecil setelah
terjatuh.
101
102. “Iya mas. Saya sih kepinginya juga seperti itu. Tapi kira-
kira kapan bakal terealisasi,” sambut pemilik bengkel
sambil memutar roda belakang motor mencari sesuatu
yang tak beres.
Sudah begitu lama penduduk desa menanti
pembangunan jalan baru. Proposal anggaran pun
disusun dan rencana perbaikanpun sudah lama dibuat
namun berkali-kali usaha mereka mentah. Meski
sebenarnya setiap kali ada kunjungan kampanye baik
pilkada maupun pemiliu selalu saja muncul janji-janji
guyuran bermilyar-milyar rupiah menyulap jalan
tersebut kembali mulus. Kini warga bisa tersenyum
lega, setelah menanti bertahun-tahun doa mereka
akhirnya bakal terkabulkan. Tak lama lagi jalan yang
melintasi desa mereka bakal diperbaiki. Keberadaan
material berupa pasir, kerikil dan batu pecah di
sepanjang jalan membuat warga semakin yakin jalan
baru sudah di depan mata.
Di pinggiran desa, tak jauh dari hutan jati,
Mbah Poniran masih asyik duduk di kursi lincak
menikmati rokok tingwe. Di samping kursinya empat
102
103. tundun pisang sudah siap ia bawa ke pasar Prapat.
Biasanya sepulang dari pasar hasilnya dua lembar uang
dua puluh ribuan bakal terselip di lipatan sarungnya.
Uang yang hanya cukup untuk membeli sedikit
tembakau dan beras. Meskipun hanya untuk dua atau
tiga hari dan selanjutnya seperti biasa hanya
mengkonsumsi singkong rebus. Kecuali sakit, sejak
masih bujang hingga sekarang lelaki tua itu jarang sekali
luput dari kegiatan pasaran. Hingga orang-orang di sana
pun begitu hafal dengannya.
Pasar, memang tak bisa dipisahkan dari
kehidupan Mbah Poniran. Mulai dari nama lahirnya saja
adalah Poniran mengambil dari salah satu nama hari
dalam sistem kalender Jawa yaitu Pon. Di hari itu pula
ia muncul untuk pertama kali di dunia.
Dalam sistem kalender Jawa, hari ini memang
bertepatan Pon. Seperti biasanya, setiap hari tersebut,
Prapat, pertigaan yang menghubungkan beberapa desa
itu tumpah ruah dengan manusia. Mereka mencari
rupiah membawa berbagai macam hasil bumi atau
hanya sekedar membeli barang-barang kebutuhan
103
104. sehari-hari. Inilah hari besar mereka bahkan jika
bersamaan dengan pasaran sekolah dasar di dekat pasar
selalu pulang lebih awal. Warga yang datang ke pasar
Prapat tak hanya berasal dari kampung Garangan saja,
namun juga dari desa-desa di sekitar bahkan di daerah
lain kecamatan. Mereka berjalan kaki berkilo-kilometer
menyusuri jalanan menanjak dan berlubang.
“huk huk huk,” Mbah Poniran terbatuk-batuk.
Sebenarnya, lelaki tua yang hidup sebatang kara setelah
ditinggal mati istrinya dan anaknya merantau ke Jakarta
tersebut sudah divonis menderita TBC. Tapi tetap saja
meskipun berkali-kali keluar masuk rawat inap
Puskesmas tetap saja ia tak mau berhenti merokok.
“Oalah mbah-mbah, mbok ya ga usah ngudud lagi,” kata
salah seorang perawat di Puskesmas sebulan lalu. Mbah
Poniran hanya bilang “ Inggih mas,”.
Matahari mulai tampakkan diri dan hujanpun
sudah reda. Lalu lalang orangpun terlihat, termasuk
tetangga mbah Poniran. “Mboten tindak peken mbah?”
104
105. tanya Sumini, wanita belasan tahun beranak satu,
tetangganya.
“Iyo nduk, sebentar lagi,”jawab Mbah Poniran sambil
menghisap rokoknya.
Mbah Poniran tak jua beranjak dari kursi
lincaknya. Matanya mengikuti langkah kaki Sumini dan
fikiranya menerawang ke satu ruang waktu,
mengingatkan lagi kenanganya akan Sri anaknya. Anak
semata wayangnya sudah lama merantau ke Jakarta
menjadi pembantu rumah tangga. Biasanya, setahun
sekali, setiap lebaran, ia selalu pulang kampung, namun
dua tahun terakhir ini ia tak bisa pulang. Ia hanya bisa
berkirim kabar dan titip sedikit uang dan oleh-oleh
lewat Prapto, sepupunya, yang juga merantau di
ibukota. Sudah dua tahun ini, Sri harus banting tulang
mengais rupiah buat keluarganya. Maklum, sejak
suaminya,seorang buruh pabrik sepatu olahraga milik
orang Amerika, kena PHK karena penutupan pabrik,
hanya dialah penopang perekonomian bagi keluarganya.
105
106. Penderitaan Sri makin menjadi saja semenjak
suaminya divonis menderita lepra. Usaha wartegnya
makin sepi saja. Para pelangganya buruh-buruh pabrik
di sekitar warungnya beralih ke lain tempat, takut
tertular penyakit yang diidap suaminya.
“Oalah Sri…hidupmu kok makin sengsara saja,”
keluhnya dalam hati.
Penyesalan, hanya itu yang kini bisa dilakukan Mbah
Poniran. Ia sadar semua adalah kesalahanya. Jika saja
dulu ia tak mengijinkan putri semata wayangnya
merantau ke ibukota pasti tak akan begini ceritanya.
Tapi waktu itu bahkan sekarang keadaan di sini
memang serba susah. Tinggal di tempat ini berarti
harus berjuang melawan kerasnya alam, susah mencari
kerjaan. Padahal Sri terkenal akan watak kerasnya dan
tak mau merepotkan orang tuanya.
“Belum berangkat mbah?” Mardi, penjual bakso
keliling menyapa lelaki tua itu.
“Ya le,” lelaki itu tersadar dari lamunannya.
106
107. “Huk huk,” sambil terbatuk batuk lelaki tua itu bangkit
tangan kanannya meraih baju safari lusuh yang
tergantung di tiang teras. Sisa rokok yang hanya tinggal
beberapa kali hisapan ia lempar ke kubangan kecil di
depan teras.
lelaki tua mengangkat 4 tundun pisang dengan
sebatang bambu. Pelan-pelan ia berjalan dengan nafas
terengah-engah dan titik-titik keringat yang mulai
muncul di sekujur tubuhnya. Sebenarnya jarak antara
pasar dengan rumah Mbah Poniran hanya dua
kilometer saja. Namun kondisi jalan berbukit-bukit dan
rusak parah cukup berat jika harus dilawan dengan
tenaga tua. Biasanya ia butuh waktu kurang lebih sejam
menuju pasar.
Mbah Poniran terus melangkah dan keringat
makin deras mengucur dari tubuhnya. Langkahnya
semakin cepat meskipun masih kalah cepat dengan laju
sepeda motor yang beberapa kali menyalipnya.
Sudah hampir setengah jam lelaki tua itu
berjalan. Pasar tinggal beberapa ratus meter lagi tapi
107
108. langkahnya mulai tertahan. Usia memang tak pernah
bisa dibohongi. Iapun berhenti, duduk di bawah pohon
besar di depan sebuah sekolah dasar. Ia merasa lelah
dan bunyi dari perutnya mulai terdengar.
“Huk huk huk,” kembali batuk menyerang lelaki itu.
Ia bersandar lalu meneguk air putih dari bekas
botol air mineral. Rupanya ia memang benar-benar
lelah. Dulu ketika Sulastri, istrinya, masih hidup, di sini
pula mereka sambil istirahat, menikmati bekal dari
rumah. Tak jarang kemesraan dua manusia paruh baya
itu membuat iri pasangan muda di desanya. Kini, di
masa senjanya semua harus ia lakukan sendirian.
Hembusan angin sepoi-sepoi hampir saja membuat
lelaki itu terlelap. Lelaki itu termenung, teringat cerita
anak tetangganya Tarji yang kini tinggal di daerah lain.
“Di sana jalanya kini sudah bagus mbah. Orang tak
perlu bersusah payah berjalan naik turun gunung.
Cukup bayar seribu rupiah sudah bisa naik angkot
menuju pasar,” kata Tarji.
108