Teks ini membahas beberapa isu terkait implementasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah, termasuk perlunya peraturan turunan dari presiden, penggunaan unsur bahasa lokal dalam media, serta upaya penyatuan pelafalan dan penulisan bahasa Indonesia yang benar.
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Seminar UU Bahasa: T.D. Asmadi: Menunggu Titik Dari Presiden
1. Menunggu Titik dari Presiden
Oleh T.D. Asmadi
Ketua Umum Forum Bahasa Media Massa (FBMM)
Barangkali ketika DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 dan kemudian Presiden menandatanginya menjadi
Undang-Undang pada tanggal 9 Juli 2009, sebagian pencetus gagasan, penyusun, dan
penggerak untuk terciptanya undang-undang tersebut berlega hati. Akhirnya,
perjuangan untuk adanya undang-undang tentang bahasa gol juga. Begitu mungkin
yang ada di hati mereka. Indonesia memang akhirnya memiliki undang-undang
bahasa, sama dengan beberapa negara lain seperti Prancis, ......
Terus terang, sebagai orang yang sejak 39 lalu—ketika pertama kali menjadi
wartawan—berkutat dengan bahasa, saya pun lega: akhirnya ada satu pegangan
berkaitan dengan bahasa. Wartawan memang sewajarnya gembira karena kini ada
naungan undang-undang untuk bidang yang mereka geluti tiap hari. Wartawan adalah
profesional yang paling banyak bergulat dengan bahasa Indonesia—tiap hari mereka
menyusun kata-kata menjadi informasi untuk khalayak—sehingga wajar jika
bergembira dengan ‘ketetapan’ tentang bahasa ini.
Namun, di samping kegembiraan itu, muncul juga butir-butir kekecewaan.
Misalnya, mengapa undang-undang tentang bahasa disatukan dengan tentang bendera
dan lagu kebangsaan? Bahasa adalah masalah yang lebih menyentuh karakter dan
budaya bangsa sehingga sepatutnya ada dalam undang-undang tersendiri. Bahasa
adalah ‘makhluk’: yang terus berkembang, yang terus diperbincangkan orang, dan
tentu saja karenanya tidak sama dengan bendera Merah Putih kita atau Lagu
Kebangsaan kita. Bukankah kedua ‘mitra’ di UU No. 24 Tahun 2009 itu sejak
Kemerdekaan kita tetap yang itu saja (dan ini menunjukkan betapa ‘saktinya’ kedua
hal itu) sedangkan bahasa terus berubah?
Meskipun demikian, betapapun Undang-Undang tentang bahasa sudah ada.
Jadi kita pun pantas menghargainya.
Belum Titik
Sebagaimana undang-undang yang lain, Undang-Undang No 24 Tahun 1929
masih memerlukan banyak hal untuk menjadi satu aturan yang bisa dilaksanakan.
Ibarat kalimat, ia masih pada tanda baca ‘koma’. Perlu tindakan-tindakan lain agar
menjadi kalimat sempurna yang diakhiri dengan titik. Salah satunya diamanatkan oleh
undang-undang itu sendiri, yaitu pada pasal 40. ”Ketentuan lebih lanjut mengenai
penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimakssud dalam Pasal 26 sampai dengan
Pasal 39 diatur dalam Peraturan Presiden.”
Jadi, meskipun pada pasal-pasal itu Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
banyak hal—pidato resmi pejabat negara, pengantar dunia pendidikan, pelayanan
adminsitrasi publik, perjanjian dengan negara lain yang melibatkan lembaga negara
dan swasta, forum nasional dan internaional di Indonesia, komunikasi resmi di
lingkungan pemerintah dan swasta, laporan perseorangan kepada lembaga negara,
penulisan dan karya ilmiah di Indonesia, nama geografi Indonesia, informasi tentang
produk barang dan jasa yang beredar di Indonesia, rambu, penunjuk jalan, fasilitas
umum, spanduk, dan informasi di media massa—tetap saja perlu ada peraturan lain
untuk ‘menguatkan’ atau ‘menerjemahkannya’ dalam kehidupan sehari-hari.
1
2. Ambil contoh kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia dalam ‘forum
nasional dan internasional di Indonesia’ (Pasal 32). Berkaitan dengan itu, tepatkah
penamaan ‘National Summit’ untuk pertemuan kalangan pemerintah dan swasta pada
tanggal 29 Oktober tahun lalu—hanya satu hari setelah peringatan 81 tahun Sumpah
Pemuda? Apakah penggunaan istilah asing itu dibenarkan, karena, sesuai dengan
amanat pasal 40 belum dilaksanakan, Presiden belum mengeluarkan peraturan untuk
hal itu ?
Ambil juga soal nama tempat yang dalam UU tersebut diatur pada pasal 36.
Untuk soal ini pun kita—maksudnya media—masih terus bergulat dengan berbagai
ketentuan yang ada. Ambil contoh yang paling gampang, nama-nama tempat di
Jakarta. Bagaimana menulis nama tempat yang menjadi lokasi kita sedang berbincang
ini: Palmerah, Paalmerah, atau Paal Merah? Lihatlah petunjuk di Jalan Cileduk Raya,
di sekitar Seskoal. Dua dari tiga nama itu ada pada petunjuk yang dibuat oleh
Pemerintah (daerah). Media harus mengikuti yang mana?
Atau, bagaimana menulis nama daerah istimewa di Jawa: Yogyakarta seperti
selama ini dikenal ini, atau Jogjakarta, yang dikenalkan tahun-tahun terakhir ini dan
juga dipakai pada masa kolonial Belanda? Konon, perubahan menjadi ‘Jogjakarta’
untuk tujuan pariwisata, agar enak diucapkan oleh wisatawan asing. Manakah di
antara keduanya ‘yang Indonesia’, yang harus diikuti media?
Lalu juga bagaimana menulis nama kota yang berada dalam jalur selatan Jawa
tengah: Purbalingga atau Purbolinggo? Kutaarja (atau bahkan Kutaardja) atau
Kutoarjo?
Di luar Jawa tentu saja lebih banyak lagi masalah agar sebuah tempat (kota
atau kabupaten) bisa disebut ‘berbahasa Indonesia’? Apa nama Indonesianya untuk
sebuah ‘kota’ oleh penduduknya ‘Sungailandih’: Sungailendir? Tentu konotasi nama
yang ‘Indonesia’ itu akan sangat lain jika diucapkan di luar tempat aslinya atau
bahkan di Sumatera barat sendiri, tempat daerah itu berada.
Inti dari persoalan itu adalah: pemerintah perlu menetapkan nama-nama resmi
semua daerah di Indonesia, entah itu kabupaten, kota, kecamatan, desa, keluarahan,
dan juga pulau-pulau. Media massa dengan demikian tinggal menuruti ketetapan
pemerintah itu.
Lalu, tentang nama bangunan atau gedung, jalan, permukiman dan lain-lain
sebagaimana diatur dalam Pasal 36. Dulu dengan senang hati kami menulis Balai
Sidang Jakarta. Kini, panitia setiap acara apa pun menyebut tempat itu Jakarta
Covention Centre dan orang pun semua beralih ke situ. Tentu masih banyak lagi nama
yang bisa disebut untuk hal itu. Salah satunya kalau kita ke Serpong. Sampai sekarang
orang menyebut singkatannya BSD untuk Bumi Serpong Damai. Namun, papan besar
masuk ke kawasan itu berbunyi ”BSD City”.
Bagaimana media menulis nama itu?
Unsur lokal
Bahasa Indonesia dari sudut nasional sudah selesai. Ia sudah menjadi bahasa
negara seperti ditetapkan UUD dan dipergunakan oleh rakyat kita dari Sabang sampai
Merauke. Bahasa kita ini lebih baik dibandingkan dengan bahasa nasional di India,
Ukraina, Aljazair, bahkan di Amerika Serikat. Di sini kita akan dapat berhubungan
dengan siapa pun di pelosok Tanah Air dengan Bahasa Indonesia.
Hanya saja, ada hal lain yang menarik: unsur lokal, baik penulisan maupun
pelafalan, sangat memberi warna pada bahasa kita ini. Unsur lokal ini dapat muncul
2
3. pada media apa pun, baik media dalam ruang maupun luar ruang—berupa spanduk,
baliho, pamflet, dan lain-lain—atau lebih-lebih media massa.
Sebuah surat kabar di Medan menulis dengan judul “Jalan Tol Cipularang
Amblas” ketika tanah pada beberapa ruas jalan tol yang menghubungkan Jakarta –
Bandung itu, turun. Media lain di luar Medan—mungkin juga luar Sumatera—
menulis dengan ‘ambles’. Kedua kata, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(edisi terakhir 2008) berasal dari bahasa Jawa itu, memang berdekatan sekali
pengucapan dan penulisannya. Meskipun artinya sangat berbeda.
Jarangnya, atau tiadanya, kata dengan suku kata akhir berbunyi ‘e..’ di Medan,
dapat menjadi sebab kesalahan pengertian itu. Sama dengan olok-olok bahwa orang-
orang Jawa selamanya tidak dapat masuk ITB atau IPB, karena para calon mahasiswa
akan selalu menyebut Institut Teknologi Mbandung yang singkatannya ITM. Atau,
orang-orang Sunda yang menuduh orang lain ‘mempitnah’ mereka seakan-akan tidak
bisa mengucapkan secara tepat kata yang ada huruf ‘f’ atau ‘v’. Untungnya, baik
orang Jawa dan maupun orang Sunda tetap menulis sesuai dengan kata aslinya.
Unsur lokal ini tampak di berbagai kota Indonesia, mulai Jayapura, Ambon,
Yogyakarta, Pekanbaru, sampai Bandaaceh. Sebuah papan informasi di tempat buang
air di bandara Jayapura berbunyi “Mari JANG TUNDA lagi, jaga diri deng orang
yang tong sayangi”. Lalu kalimat berikutnya berbunyi “Tong sayangi tong pu
pasangan atau keluarga? Hindari HIV dan AIDS, berganti-ganti pasangan bawa risiko
celaka di tong pu hidup”.
Di Maluku juga ada kata-kata lokal pada ‘papan reklame’. Jika keluar dari
Bandara Pattimura dan menuju Kota Ambon, akan tampak sebuah peringatan yang
dipasang di sebelah kiri jalan. Bunyinya “Basudara, Jang Ngebut Nanti Cilaka”. Jelas
ini bahasa Indonesia versi lokal Maluku.
Di Pekanbaru, papan nama dinas provinsi bertuliskan huruf Arab di bawah
yang bertuliskan huruf Latin. Di Yogyakarta, papan nama jalan bertuliskan huruf
Jawa di bawahnya. Di Bandung, beberapa papan nama jalan bertuliskan juga huruf
Sunda.
Di antara ‘bahasa-bahasa Indonesia ’ di luar ruang itu mana yang bahasa
Indonesia? Atau, hal itu menunjukkan bahwa bahasa Indonesia memang didukung
bahasa daerah? Atau, itu merupakan salah satu penjabaran pasal 42 yang mewajibkan
pemerintah daerah untuk mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa daerah?
Masuknya unsur lokal dalam Bahasa Indonesia ini sangat kentara dalam media
massa. Selain contoh di Medan, banyak contoh lain muncul. Di Yogya, kata ‘geruduk’
selalu dipakai jika menggambarkan orang banyak mendatangi seseorang yang
dianggap berbuat sesuatu yang tidak sejalan dengan orang banyak. Sebuah koran,
bahkan bingung menulis ‘geruduk’ atau ‘gruduk’. Dalam bahasa Jawa, kata itu berarti
‘mengejar beramai-ramai’ yang tentu berbeda dengan ‘geruduk’ atau ‘gruduk’ yang
ditulis di koran.
Kata-kata itu ternyata belum masuk KBBI, meski sudah sering muncul di
media massa, baik yang di daerah Jawa maupun yang nasional.
Di Cirebon, koran setempat memunculkan kata ‘oncog’ yang mungkin artinya
‘mendatangi dengan rasa marah yang tinggi’ (ini makna dari saya, lho).
Di Bandung ada ‘cileuncang’ yang artinya banjir (air menggenang dengan
besar) karena selokan atau drainase tertutup. Sama dengan ‘rob’ yang artinya banjir
karena pasang naik air laut. Dulu ‘rob’ hanya dikenal di Semarang tetapi kini sudah
juga beredar di Kompas karena ada ‘rob’ di pantai utara Jakarta.
Di Aceh ada kata ‘gacok’ sebagai ganti ‘joki’ (yang ikut ujian untuk orang
lain).
3
4. Setelah koma
Begitulah memang banyak sekali yang harus dilakukan agar Undang-Undang
No. 29 Tahun 2009 ini, terutama tentang Bahasa, dapat dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya. Peraturan Presiden perlu diterbitkan agar jelas soal kewajiban menggunakan
bahasa Indonesia ini. Peraturan Pemerintah juga perlu dikeluarkan untuk
melaksanakan pasal-pasal tertentu.
Undang-undang itu masih belum titik, baru sampai koma. Setelah koma masih
banyak yaang harus dilakukan oleh siapa saja. Media massa perlu terus bersama-sama
‘menyatukan pelafalan dan penulisan’ Bahasa Indonesia yang tepat, agar masyarakat
tidak bingung. ‘Penyatuan’ ini merupakan salah satu tujuan berdirinya Forum Bahasa
Media Massa (FBMM). Usaha ‘menyatukan’ ini di samping perlu selalu diingat oleh
media massa sendiri, juga menghendaki dukungan lembaga bahasa dan pakar bahasa.
Tanpa ‘penyatuan’ barangkali suatu saat, orang Aceh harus membawa kamus
bahasa Jawa – Indonesia, jika berkunjung ke Yogyakarta atau Jawa Tengah. Dan
orang Makassar harus pula membeli kamus Bahasa Sunda – Indonesia jika
berkunjung ke Bandung lalu membeli koran Pikiran Rakyat.
Tentu akan lebih baik jika di seluruh Indonesia, mobilitas orang tidak
terganggu oleh bahasa karena perbedaan bahasa Indonesia yang ada di tiap daerah.
Presiden dapat memulai langkah itu dengan melirik undang-undang ini dan
menerbitkan peraturan yang sesuai dengan tugasnya. Sebenarnya, Presiden juga perlu
langsung membawahkan lembaga bahasa (dan bukan menteri seperti yang
dicantumkan dalam undang-undang itu), sehingga perkembangan bahasa Indonesia
langsung maju ke pusat pemerintahan.
Jangan lupa banyak harapan dan komentar dari orang luar bahwa bahasa
Indonesia dapat menjadi bahasa internasional karena berbagai karakteristik yang ada
pada bahasa kita itu. Tentu saja, bagian dalam diri kita sendiri dulu yang perlu
diperbaiki untuk melangkah ke arah itu.
Jakartam 26 Maret 2010
Disampaikan pada seminar “Menyikapi Undang-Undang Bahasa” tanggal 27
Maret 2010 di Gedung Kompas-Gramedia Jakarta.
4