Studi Pemenuhan Kualitas Layanan Kepada Pengguna Frekuensi Radio
Studi backbone telekomunikasi 2006
1. LAPORAN AKHIR
STUDI TENTANG KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM
PENGEMBANGAN JARINGAN TULANG-PUNGGUNG
(BACKBONE) TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERHUBUNGAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
POS DAN TELEKOMUNIKASI
2006
2. i
Kata Pengantar
Pada saat ini Indonesia harus mengejar ketertinggalannya dibandingkan
dengan negara-negara tetangganya dalam pengembangan jaringan
telekomunikasi serta teknologi informasi dan komunikasi (TIK), khususnya agar
masyarakat pemakai akhir maupun penyelenggara telekomunikasi / TIK dapat
memanfaatkan dengan tarif terjangkau, khususnya untuk sewa saluran serta pita
lebar.
Di samping itu dalam sidang ASEAN TELSOM ke-7 (Telecommunication
Senior Officers Meeting) telah disepakati untuk mengembangkan ASEAN-China
Superhighway yang akan dimulai dari bagian Selatan Cina hingga Indonesia. Dan
suatu jaringan tulang-punggung berkapasitas besar adalah yang paling tepat
untuk menjawab tantangan regional ini.
Oleh karena itu Pengkajian Mengenai Tulang-Punggung (Backbone) Jaringan
Telekomunikasi/TIK Nasional sangat tepat untuk digelar dan diselesaikan
secepatnya untuk persiapan menghadapi kebutuhan nasional yang mendesak
sekaligus untuk menjawab tantangan regional.
Jakarta, Desember 2006
Tim Pengkajian
3. ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR TABEL v
BAB 1. PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN 3
C. MAKSUD DAN TUJUAN 4
D. RUANG LINGKUP 4
BAB 2. PENDEKATAN DAN METODOLOGI STUDI 6
A. PENDEKATAN TEKNIS STUDI 6
B. PENDEKATAN MAKRO STUDI 7
C. METODOLOGI STUDI 7
D. DATA DAN SURVEY 10
E. POLA PIKIR DAN ALUR PIKIR 13
BAB 3. GAMBARAN UMUM 16
A. UMUM 16
B. REGULASI 17
C. INVENTARISASI KONDISI JARINGAN DI INDONESIA 29
BAB 4. KONDISI JARINGAN PEMBANDING DI NEGARA LAIN 47
A. CHINA 47
B. PHILIPINE 49
C. PAKISTAN 49
D. MALAYSIA 50
E. SRILANKA 52
BAB 5. ANALISA PERMASALAHAN DAN EVALUASI
PENGEMBANGAN JARINGAN BACKBONE 53
A. ANALISA PERMASALAHAN 53
B. PERENCANAAN JARINGAN PALAPA RING 55
C. SOLUSI PERMASALAHAN 59
D. EVALUASI PENGEMBANGAN DENGAN MODEL BALANCED SCORE
CARD 65
BAB 6. PENUTUP 70
A. KESIMPULAN 70
B. REKOMENDASI 71
4. iii
LAMPIRAN 1 72
KUESIONER 73
LAMPIRAN 2 85
KAJIAN JARINGAN TULANG-PUNGGUNG PITA LEBAR 86
UNTUK INDONESIA 86
LAMPIRAN 3 94
PETA JARINGAN TULANG-PUNGGUNG MENURUT RING PALAPA 94
LAMPIRAN 4 103
BUTIR-BUTIR KONSEP PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN
INFORMATIKA TENTANG PENGEMBANGAN JARINGAN TULANG-
PUNGGUNG (BACKBONE) TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA 104
BUTIR-BUTIR POKOK REGULASI/MATERI MUATAN 105
LAMPIRAN 5 111
INVENTARISASI REGULASI TERKAIT 112
A. UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG
TELEKOMUNIKASI 112
B. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG
PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI 132
C. KM 29 TAHUN 2004 PERUBAHAN ATAS KM PERHUBUNGAN NO 20
TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN
TELEKOMUNIKASI 135
D. PERATURAN PRESIDEN NOMOR 67 TAHUN 2005 TENTANG
KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DALAM
PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR 137
E. UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN
PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 139
F. RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KONTRIBUSI
PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI 142
DAFTAR PUSTAKA 145
5. iv
Daftar Gambar
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
Kegiatan Studi Kebijakan Pengembangan Jaringan Tulang-Punggung
(Backbone) Telekomunikasi
Diagram Pendekatan Balanced Score Card
Bagan Pola Pikir
Bagan Alur Pikir
Gambaran Umum Jaringan IP di Indonesia
Jaringan Backbone Operator di Indonesia
NGN dari Operator di Indonesia
Tahapan Malaysia super Corridor (MSC)
5
9
13
14
36
42
43
52
6. v
Daftar Tabel
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Pertumbuhan Palanggan Internet di Indonesia
Pertumbuhan Jumlah Domain Internet Di Indonesia
Tabel Balanced Score Card
37
38
68
7. 1
BAB 1. PENDAHULUAN
Studi tentang Kebijaksanaan Pemerintah dalam pengembangan Jaringan Tulang-
Punggung (Backbone) Telekomunikasi di Indonesia merupakan pekerjaan yang
membutuhkan pemahaman yang mendalam terhadap unsur-unsur penting dari
sistem telekomunikasi. Oleh karena itu dalam studi ini kami uraikan pemahaman
terhadap unsur-unsur tersebut yang meliputi pemahaman terhadap latar belakang
yang mendasari studi ini, permasalahan yang timbul, Maksud dan Tujuan, Ruang
lingkup pekerjaan serta metodologi studi yang akan dipakai agar maksud dan
tujuan dapat tercapai secara optimal.
A. LATAR BELAKANG
Bahwa peningkatan investasi sarana infokom khususnya STBS yang sejak tahun
2001 telah melampaui sarana sambungan telepon tetap (fixed) serta merebaknya
sarana internet yang telah mempengaruhi gaya hidup, dan selanjutnya
berpengaruh pada tingginya permintaan dan minat masyarakat terhadap layanan
infokom.
Minat dan permintaan masyarakat yang beragam dan cenderung menuntut jasa-
jasa pita lebar harus diantisipasi oleh penyedia jaringan dan jasa infokom dengan
memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penyediaan jaringan dan jasa infokom tersebut didukung dengan ketersediaan
jaringan tulang-punggung (backbone) yang menjangkau seluruh wilayah
nusantara, dan melalui jaringan aksesnya dapat mencapai semua warga sampai
ke pedesaan dan tempat terpencil.
Penyediaan dan pengoperasian jaringan tulang-punggung infokom membutuhkan
biaya yang cukup besar baik untuk investasi maupun biaya operasi dan
pemeliharaannya. Namun, perkembangan teknologi, biasanya menjanjikan biaya
8. 2
penggunaan lebih murah karena adanya efisiensi, dan khususnya perkembangan
teknologi serat optik karena kompensasi kapasitasnya yang amat besar.
Pengembangan dan pengaturan tentang infrastruktur telekomunikasi di Indonesia
telah ditetapkan pemerintah dalam Undang-Undang No.36 tahun 1999 tentang
telekomunikasi yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah No.52 tahun
2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah No.53
Tahun 2000 tentang penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang
lebih rinci lagi diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan maupun Keputusan
Menteri Komunikasi dan Informatika.
Pengaturan tersebut mengatur antara lain penyelenggara jaringan telekomunikasi
dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi termasuk kewajiban penyelenggara
jaringan menyediakan jasa interkoneksi bila dibutuhkan oleh penyelenggara
jaringan lainnya dan hak setiap penyelenggara jaringan untuk mendapatkan
interkoneksi dari penyelenggara jaringan lainnya.
Jaringan tulang-punggung yang telah ada milik para penyelenggara masih bersifat
terkotak-kotak, banyak tumpang tindih, karena belum merupakan jaringan terpadu
yang menjadi tumpuan semua penyelenggara dan pengguna jasa.
Saat ini beberapa penyelenggara telah membangun jaringan tulang-punggung
serat optik untuk mendukung layanan infokom yang diselenggarakannya.
PT. Telkom dalam menyelenggarakan layanan SLJJ dan Sambungan
Internasional telah menggelar Java Backbone (menghubungkan seluruh Pulau
Jawa) dan Sumatera Backbone serta jaringan serat optik yang membentang
sepanjang pulau Sumatera (high performance backbone/HPBB) dengan teknik
modulasi Dense Wavelength Divison Multiplexing (DVDM) menghubungkan Java
Backbone dan Sumatera Backbone serta sebagai transport utama untuk
Sambungan Internasional.
Disamping itu juga melanjutkan pembangunan jaringan tulang-punggung serat
optik di wilayah Barat (ring Medan-Pekanbaru-Padang-Sibolga-Medan dan ring
Jakarta-Palembang-Pekanbaru-Batam-Pontianak-Tanjung Pandan-Jakarta) dan
wilayah Timur (Surabaya-Banjarmasin-Ujung Pandang-Surabaya).
9. 3
Sementara itu PT. Indosat telah membangun jaringan backbone SMW 2 dan
SMW 3 yang meliputi Jakarta-Batam-Medan-ke India; Jakarta-Batam-ke Asia
Pasifik dan Jakarta-Perth.
PT. Excelcomindo Pratama telah membangun jaringan serat optik sepanjang
Pulau Sumatera - Pulau Jawa - Pulau Bali – NTB - Pulau Sulawesi (Ujung
Pandang sampai Gorontalo) dan Palu-Samarinda-Tarakan serta Palu-Samarinda-
Balikpapan-Banjarmasin.
Ditinjau dari aspek fisik penggelaran jaringan tulang-punggung (backbone)
telekomunikasi membutuhkan lokasi/lahan yang cukup panjang, penggelaran
jaringan oleh penyelenggara cenderung hanya di daerah yang memiliki potensi
komersial yang tinggi sehingga sulit menjangkau daerah terpencil.
Di masa depan penyelenggaraan jasa telekomunikasi jarak jauh (long distance
services) (SLJJ) dan SLI akan beralih ke sistem serat optik karena sistem serat
optik dalam skala besar lebih efisien dari sistem lain termasuk sistem satelit.
Kapasitas sistem serat optik yang besar itu merintis jalan menuju kepada next
generation network (NGN).
Dengan memperhatikan kondisi dan pengembangan jaringan serat optik oleh
masing-masing penyelenggara serta peluang penggunaan jaringan serat optik
sebagai jaringan infokom, perlu disusun kebijakan pola pengembangan jaringan
tulang-punggung (backbone network) infokom di Indonesia.
Dalam rangka penyusunan kebijakan tersebut perlu dilakukan kajian yang
diharapkan dapat memberikan gambaran pola pengembangan jaringan tulang-
punggung (backbone) yang dapat memberikan solusi permasalahan yang
dihadapi dalam pengembangan jaringan infokom baik dari aspek ekonomi,
hukum, teknis maupun aspek sosial.
B. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Dalam Kerangka Acuan, permasalahan yang ditekankan adalah bahwa
pengembangan jaringan tulang-punggung Infokom nasional (National broadband
10. 4
backbone network) di Indonesia ditemu-kenali beberapa permasalahan dari aspek
ekonomi, hukum, teknis dan sosial antara lain meliputi :
biaya investasi, pengoperasian dan pemeliharaan yang besar;
terdapat idle capacity jaringan yang telah dibangun penyelenggara;
belum semua penyelenggara jaringan menyediakan interkoneksi bagi
penyelenggara lainnya;
pengaturan interkoneksi belum dilaksanakan sepenuhnya dan
sebagian masyarakat di daerah terpencil atau daerah yang tidak
menguntungkan belum menikmati layanan telekomunikasi/infokom.
C. MAKSUD DAN TUJUAN
Tujuan studi ini adalah memberikan gambaran dan membuat konsep kebijakan
pengembangan jaringan tulang-punggung (backbone) infokom nasional di
Indonesia.
Sasaran studi adalah tersusunnya konsep kebijakan pengembangan jaringan
tulang-punggung (backbone) Infokom sebagai bahan masukan/rekomendasi
penetapan kebijakan pengembangan jaringan tulang-punggung infokom di
Indonesia.
D. RUANG LINGKUP
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut maka ruang lingkup studi meliputi:
a. Inventarisasi kebijakan maupun peraturan perundangan tentang
telekomunikasi;
b. Inventarisasi kondisi jaringan di Indonesia secara global;
c. Membuat bandingan kondisi aneksisting jaringan kapasitas besar
infokom di Indonesia dan Negara lain;
d. Inventarisasi rencana/program pengembangan jaringan tulang-
punggung (backbone) infokom di Indonesia;
e. Analisa permasalahan pengembangan jaringan tulang-punggung
infokom;
11. 5
f. Analisa dan evaluasi pengembangan jaringan telekomunikasi di
Indonesia.
Gambar 1 Kegiatan Studi Kebijakan Pengembangan Jaringan Tulang-
Punggung (Backbone)Telekomunikasi
Inventarisasi Kondisi
Jaringan Secara Global
Membuat Bandingan
Kondisi Kini Jaringan
Kapasitas Besar Infokom
di Indonesia dg Negara
Lain
Inventarisasi Rencana
/Program Pengembangan
Jaringan Tulang-punggng
Infokom di Indonesia
Analisa Permasalahan
Pengembangan Jaringan
Tulang-punggung Infokom
Metode
Pengukur
Keberhasilan
Dengan BSC
Inventarisasi Kebijakan
Maupun Peraturan
Perundangan Tentang
Telekomunikasi
Analisa dan Evaluasi
Pengembangan Jaringan
Telekomunikasi di
Indonesia
Konsep Kebijakan
Pengembangan
Jaringan Backbone
Nasional
12. 6
BAB 2. PENDEKATAN DAN
METODOLOGI STUDI
Dalam usaha mencapai tujuan studi ini, maka perlu dibuat metodologi yang
sistematis, dimana metodologi ini selanjutnya akan dijadikan dasar dalam
menentukan kegiatan yang dilakukan.
A. PENDEKATAN TEKNIS STUDI
Pendekatan dan metodologi “Studi tentang Kebijaksanaan Pemerintah dalam
Pengembangan Jaringan Tulang-Punggung (Backbone) Telekomunikasi di
Indonesia” dapat dikelompokan atas beberapa kegiatan yaitu sebagai berikut:
TAHAP PERSIAPAN
Tahap ini merupakan tahap yang paling penting sebelum suatu studi
dilakukan. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan
antara lain adalah identifikasi/merumuskan permasalahan, mempelajari
maksud dan tujuan kegiatan, mempelajari ruang lingkup kegiatan,
menetapkan jadwal pelaporan dan jadwal kegiatan, menyusun organisasi
pelaksanaan, keseluruhan kegiatan dilakukan secara seksama.
TAHAP PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Pengumpulan dan pengolahan data yang dilakukan dengan wawancara,
pengamatan langsung, kuesioner, data historis dan studi literatur.
Selanjutnya dilakukan pengolahan data melalui pendekatan statistik dan
pemodelan.
TAHAP ANALISIS DAN KAJIAN
Hasil pengumpulan dan pengolahan data selanjutnya dilakukan analisis
serta evaluasi dengan pendekatan Balance Score Card ditambah hasil
pertemuan-pertemuan dengan Tim pengarah dan Pendamping dalam
rangka mempertajam analisa dan kajian studi.
13. 7
TAHAP KELUARAN STUDI
Sesuai dengan tujuan dan sasaran Studi tentang Kebijaksanaan
Pemerintah dalam Pengembangan Jaringan Tulang-Punggung (Backbone)
Telekomunikasi di Indonesia, maka keluaran studi ini adalah gambaran
konsep kebijaksanaan pengembangan jaringan tulang-punggung Infokom
Nasional sebagai bahan masukan penetapan kebijaksanaan Pemerintah.
B. PENDEKATAN MAKRO STUDI
Pendekatan studi akan terdiri dari pendekatan makro dan pendekatan teknis.
Pendekatan makro meliputi aspek-aspek :
Kebijaksanaan Pemerintah mengenai Telekomunikasi
Asas manfaat jaringan telekomunikasi
Pola pengembangan pembanding Negara-negara lain
Keterpaduan perencanaan pengembangan jaringan para operator
Percepatan pertumbuhan sosial – ekonomi
Pendekatan teknis meliputi aspek-aspek :
Teknologi
Organisasi
Regulasi
Pertumbuhan trafik dan jaringan infrastruktur
C. METODOLOGI STUDI
Kerangka Acuan menentukan bahwa metodologi atau pendekatan studi dilakukan
secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan analisis balance
score card.
Metodologi BSC merupakan alat bantu (tool) untuk mengukur kinerja dengan
memperhatikan keseimbangan antara sisi keuangan dan non keuangan, antara
jangka pendek dan jangka panjang, serta melibatkan faktor internal dan eksternal.
Pada kajian ini digunakan BSC karena pengembangan jaringan tulang-punggung
telekomunikasi Indonesia harus memerlukan perencanaan yang matang, tidak
hanya berorientasi pada masa yang akan datang tetapi juga harus mengantisipasi
perubahan dalam jangka pendek dan menengah serta secara holistik. Oleh
14. 8
karena itu memahami langkah-langkah manajemen stratejik diperlukan untuk
dapat menciptakan perencanaan yang matang untuk masa depan jaringan tulang-
punggung telekomunikasi Indonesia.
Ada 4 (empat) perspektif yang harus diperhatikan dalam penggunaan BSC dalam
mengukur kinerja pengembangan jaringan tulang-punggung telekomunikasi
Indonesia, yaitu:
a) Perspektif Keuangan
Dalam pengembangan jaringan tulang-punggung telekomunikasi
Indonesia, perspektif keuangan dilihat/diamati dalam seberapa besar
manfaat secara ekonomi keberadaan jaringan tulang-punggung
telekomunikasi dalam penyelenggaraan telekomunikasi terhadap tarif
pada umumnya serta tarif interkoneksi pada khususnya. BSC
menggunakan perspektif keuangan sebagai perspektif yang merupakan
akibat dari perspektif yang lain seperti perspektif pelanggan, proses bisnis
internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.
b) Perspektif Pelanggan/Pengguna
Perspektif pelanggan mendorong pengembangan backbone jaringan
telekomunikasi di Indonesia yang akan berorientasi pada penggunaan
serat optik harus mampu memenuhi kebutuhan pelanggan/pengguna
akan kecepatan transmisi yang tinggi dan pita (bandwidth) yang lebar.
Makin besar kemampuan yang ditawarkan oleh jaringan tulang-punggung
telekomunikasi dalam menyediakan layanan transmisi akan membuat
pelanggan/pengguna bertahan untuk menggunakannya.
c) Perspektif Proses Bisnis Internal
Fokus dari perspektif ini adalah proses internal dari manajemen
perusahaan yang harus dilakukan dalam mempertahankan kualitas
layanan dari penggelaran tulang-punggung jaringan telekomunikasi bagi
pelanggan/pengguna. Bagi internal perusahaan persepktif proses bisnis
internal ini harus mampu meningkatkan perspektif keuangan dan
perspektif peningkatan kepuasan pelanggan.
15. 9
d) Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Perspektif pembelajaran serta pertumbuhan dari BSC diperlukan untuk
mengidentifikasi infrastruktur jaringan tulang-punggung yang harus
dibangun untuk mengantisipasi pertumbuhan trafik jangka panjang dan
peningkatannya.
Sehubungan dengan kajian kebijakan pemerintah dalam pengembangan jaringan
tulang-punggung telekomunikasi, maka perlu didefinisikan ukuran dari masing-
masing perspektif di atas sehingga bisa jelas kaitannya dengan visi dan strategi
organisasi. Gambar 2 memperlihatkan kaitan dari visi dan strategi.
Selanjutnya dengan ke-empat perpektif ini terkait visi dan strategi organisasi yang
dibangun sehingga bisa dibuat kebijakan pengembangan jaringan tulang-
punggung (backbone) infokom nasional di Indonesia.
Gambar 2 Diagram Pendekatan Balanced Score Card
16. 10
D. DATA DAN SURVEY
Data untuk keperluan analisa terdiri dari primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dengan melakukan kuesioner, sedangkan data sekunder diambil dari
beberapa sumber seperti web site, data dari BPS, hasil kajian sebelumnya.
Data yang diperlukan untuk menunjang analisa dengan metoda Balanced score
Card dilakukan survey dengan kuesioner sehingga bisa memenuhi kebutuhan
analisa. Kuesioner yang disusun adalah sebagai berikut:
1) Tujuan Kuesioner
Tujuan dilakukan pengambilan data adalah untuk mendukung analisa dan
evaluasi keberadaan jaringan tulang-punggung Telekomunikasi Nasional
dengan metoda Balanced Score Card.
Kuesioner akan diarahkan kepada empat perspektif dari metoda Balanced
Score Card, yaitu perspektif Finansial, perspektif Pelanggan/kastemer,
perspektif bisnis proses internal dan perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan (learning and growth).
2) Peserta Pengisi Kuesioner
Kuesioner akan disampaikan kepada pihak yang relevan dengan analisis
yang akan digunakan dengan metoda yang dipakai serta pihak user yaitu
kemungkinan yang akan menjadi user atau pemakai jaringan tulang-
punggung (backbone) nasional. Pihak yang akan mendapatkan atau diminta
berpartisipasi mengisi kuesioner adalah lembaga pemerintah atau
perusahaan, atau juga perumahan yang akan memerlukan jasa atau
layanan yang berbasis IP dengan pita lebar atau broadband.
Lembaga Pemerintah bisa berupa lembaga pelayanan publik seperti kantor
pemerintahan yang banyak mengeluarkan pelayanan perizinan, seperti izin
usaha, izin yang bisa digunakan layanan online.
Jenis perusahaan adalah perusahaan :
a. manufacturing,
b. keuangan,
c. trading,
17. 11
d. services seperti rumah sakit atau
e. Lembaga Pendidikan
f. Masyarakat umum /Rumah Tangga atau lainnya
3) Kota-kota / Lokasi
Kota-kota yang diambil data atau kuesioner diharapkan juga mewakili kota
yang representative dari pihak yang akan memerlukan layanan backbone
seperti lokasi kota besar atau minimal kota kabupaten/kota.
4) Isi Kuesioner:
Isi kuesioner yang berkaitan dengan perspektif yang digunakan pada
metoda Balanced Score Card yaitu perspektif Keuangan, Perspektif
Pelanggan, Perspektif bisnis proses internal, perspektif Pembelajaran dan
Pertumbuhan:
a) Perspektif Keuangan:
Isi kuesioner yang berkaitan dengan keuangan meliputi ukuran
keberhasilan dari strategi yang diterapkan dengan adanya jaringan tulang
punggung yaitu berkaitan dengan IRR (Internal Rate of Return), Nilai
investasi dari satuan fasilitas yang dikelola, biaya pemeliharaan untuk
fasilitas yang dikelola dan harga jual atau tarif fasilitas yang dikelola dan
dijual kepada pelanggan.
Sebagai contoh nilai untuk IRR pembangunan jaringan tulang-punggung
harus melebihi 25%.
b) Perspektif Pelanggan:
Isi kuesioner yang berkaitan dengan perspektif pelanggan meliputi ukuran
fasilitas layanan yang akan digunakan oleh pelanggan, seperti lebar pita,
jenis layanan yang akan menggunakan jaringan, kemampuan atau
anggaran dari sisi pelanggan untuk menyewa jaringan tulang-punggung.
Tarif yang bisa diterima oleh pelanggan untuk layanan broadband adalah
dipilih mana yang paling diminati seperti:
Tariff yang flat/Flat Rate
18. 12
Tariff yang berdasarkan zone wilayah.
Kapasitas lebar pita yang digunakan oleh pelanggan bisa dipilih mulai dari “
256 KBPS
512 KBPS
1 MBPS
2 MBPS
lebih besar dari 2 MBPS
Penggunaan jaringan tulang-punggung (backbone) yang diharapkan oleh
pelanggan akan berupa layanan:
Bandwith Internet luar negeri
Bandwith Internet Lokal / IIX
Video conference
VOIP
VPN data network untuk operasional.
Video/ IP TV/Music
c) Perspektif Bisnis Proses Internal
Isi kuesioner yang berkaitan dengan bisnis proses internal adalah ukuran
efisiensi proses dari pelayanan jaringan yang diharapkan untuk
mendukung misi dan visi keberadaan jaringan tulang-punggung. Secara
otomatis bila bisnis proses internal sudah efisien tentunya akan
mendukung sisi kebutuhan pelanggan dan kebutuhan sisi keuangan,
karena tentunya sesuai dengan kebutuhan. Bisnis proses internal bisa
berupa proses pelayanan yang diberikan seperti interkoneksi dengan
penyedia jaringan lain di luar jaringan tulang-punggung seperti penyedia
jaringan di daerah. Pertanyaan yang diajukan berupa :
Pelayanan interkoneksi
Pelayanan berlangganan atau ketersediaan jaringan
Jenis layanan
d) Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Isi kuesioner ini lebih ditekankan kepada pertumbuhan yang seperti apa
supaya jaringan tulang-punggung (backbone) bisa tetap survive dengan
perkembangan selanjutnya. Dari sisi pertumbuhan kapasitas mungkin
19. 13
harus diperhatikan bahwa permintaan layanan yang sekarang agak
berbeda dengan permintaan layanan sesudah jaringan tulang-punggung
tersedia dengan harga yang relative lebih murah sepersepuluhnya dari
yang sekarang. Selain itu juga akan diperhatikan aspek kompetisi apa yang
harus tersedia sehingga bisa melayani kebutuhan pertumbuhan tersebut
supaya jaringan tulang-punggung ini berhasil. Contoh pertanyaan bisa
diajukan kepada responden adalah :
Kompetensi yang diperlukan untuk kapasitas fasilitas jaringan tulang-
punggung dibandingkan saat ini :
Kebutuhan kapasitas pada 5 tahun mendatang bisa menjadi:
o 2 kali sekarang
o 3 kali sekarang
o 4 kali sekarang’
o lebih besar dari 5 kali sekarang
Format pertanyaan/kuesioner untuk survey dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil
survey jawaban kuesioner juga dapat diikuti pada lampiran 1. Sedangkan analisa
hasil survey selanjutnya digunakan untuk menyusun analisa balanced score card
dan kesimpulan serta rekomendasi.
E. POLA PIKIR DAN ALUR PIKIR
Gambaran pola dan alur pikir studi tentang Kebijaksanaan Pemerintah dalam
Pengembangan Jaringan Tulang-Punggung (Backbone) Telekomunikasi di
Indonesia dapat kami utarakan dalam Gambar 3 Bagan Pola Pikir dan Gambar 4
Bagan Alur Pikir
20. 14
INSTRUMENTAL INPUT
• Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
• PP 52/2000 Tentang ”Penyelenggaraan Telekomunikasi Indonesia”
• PerMen 16/2005 Tentang ” Penyediaan transmisi telekomunikasi internasional
melalui SKKL”
• Permen 8/2006 Tentang “Interkoneksi”
• Draft Peraturan Menteri ”Pengamanan Pemanfaatan Jaringan IP”
• KM 20/2001 ”Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi” diubah menjadi KM 29/2004
KONDISI SAAT INI
• Potensi Nasional
- Populasi Penduduk 220 Juta
- Jaringan SO beberapa operator
• Teknologi
• Regulasi
• Kondisi penyelenggaraan
PERMASALAHAN
• Belum adanya Undang-undang
yang mengatur penyediaan dan
penyelenggaraan jaringan
backbone
• Biaya investasi, operasional &
pemeliharaan yang besar
• Idle capacity jaringan yang telah
dibangun
• Tingginya tarif interkoneksi di
Indonesia
• Belum broadband
• Belum terintegrasinya jaringan
SO tiap operator
• Penyebaran jaringan SO
terkonsentrasi pada wilayah
tertentu
SUBYEK
• Pemerintah
(KomInfol)
• Penyedia Jaringan
• Masyarakat
OBYEK
• Regulasi
• Teknologi
• Pertumbuhan trafik
• Pertumbuhan jaringan
infrastruktur
METODE
• BSC
ENVIROMENTAL
INPUT
• Internasional
• Regional
• Nasional
• Perkembangan teknologi
Rekomendasi
Konsep Kebijakan
Pengembangan
Jaringan Backbone
Nasional
Infrastruktur
Telekomunikasi Yang
Menjangkau Seluruh
Wilayah Indonesia dan
Tarif Yang Terjangkau
Gambar 3. Bagan Pola Pikir
21. 15
INSTRUMEN INPUT
• Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
• PP 52/2000 Tentang ”Penyelenggaraan Telekomunikasi Indonesia”
• PerMen 16/2005 Tentang ” Penyediaan transmisi telekomunikasi internasional melalui
SKKL”
• Permen 8/2006 Tentang “Interkoneksi”
• Draft Peraturan Menteri ”Pengamanan Pemanfaatan Jaringan IP”
• KM 20/2001 ”Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi” diubah menjadi KM 29/2004.
ENVIROMENTAL
INPUT
• Internasional
• Perkembangan Teknologi
• Regional
• Nasional
Rekomendasi
Konsep Kebijakan
Pengembangan
Jaringan Backbone
Nasional
Infrastruktur
Telekomunikasi
Yang Menjangkau
Seluruh Wilayah
Indonesia dan
Tarif Terjangkau
KONDISI SAAT
INI
Potensi Nasional
P
E
R
M
A
S
A
L
A
H
A
N
Kebijakan:
• Regulasi pengembangan
jaringan backbone yang
terarah dan menyeluruh
• Strategi dan Upaya
• Analisa dan evaluasi
pengembangan jaringan
backbone di Indonesia
• Penelaahan regulasi
penyelenggaraan jaringan
backbone
• Studi kasus penyelenggaraan
jaringan backbone di negara
lain
• Evaluasi pengembangan
jaringan backbone
Teknologi
Regulasi
Kondisi
penyelenggaraan
KONDISI YANG
DIHARAPKAN
Adanya kebijakan
pengemb. jar backbone
Tarif yang terjangkau
Adanya backbone
nasional
Tersedianya jaringan
pita lebar
Pemerataan akses
informasi
Menumbuhkembangkan
jaringan dan oper. lokal
KEBIJAKAN &
STRATEGI
Gambar 4: Bagan Alur Pikir
22. 16
BAB 3. GAMBARAN UMUM
A. UMUM
Indonesia pada saat telah memiliki berbagai bentuk jaringan telekomunikasi
dengan berbagai teknologi seperti satelit, gelombang mikro (GM), VHF, kabel
koaksial, kabel tembaga, dan serat optik. Bahkan beberapa penyelenggara telah
memiliki jaringan Serat Optik (SO) berkapasitas cukup besar yang menjangkau
beberapa pulau, termasuk Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan sebagian
Nusa Tenggara Barat (NTB).
Namun demikian jaringan para penyelenggara tersebut tidak terpadu satu dengan
yang lain, yang antara lain disebabkan kurangnya koordinasi, namun juga oleh
karena semangat persaingan yang kurang ketat, sehingga antara lain
menyebabkan tarif-tarif telekomunikasi jarak jauh masih relatif mahal
dibandingkan negara-negara lain yang luas dan besar jumlah penduduknya.
Hal ini menghambat antara lain pembangunan prasarana telekomunikasi bagi
berbagai instansi pemerintah, usaha swasta dan perorangan yang semestinya
dapat memanfaatkan jaringan yang tersedia dengan biaya yang terjangkau.
Mahalnya tarif akses ke jaringan telekomunikasi umum akan meredam bagi
mereka yang membutuhkan. Selanjutnya akan meredam kebangkitan ekonomi
dan kesatuan Bangsa yang direncanakan dan telah lama didambakan.
Oleh karena itu sudah waktunya Indonesia memiliki suatu jaringan tulang-
punggung (backbone) telekomunikasi utama berkapasitas besar sekeliling
Nusantara yang terpadu, dengan jaringan serat optik (SO) berkapasitas besar
yang menjangkau sekeliling Nusantara, yang kemudian didukung oleh jaringan
tulang-punggung pendukung berpita lebar (jaringan lokal dan jaringan akses)
dengan kapasitas lebih kecil untuk menjangkau semua Kecamatan dan Desa.
Keterpaduan jaringan nasional akan dapat menyediakan cadangan bagi jaminan
kehandalan lebih besar dengan biaya lebih ekonomis dibandingkan dengan
23. 17
penyediaan cadangan yang dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing
penyelenggara. Bentuk jaringan lingkaran tertutup (cincin) menjamin
kelangsungan akses dengan mengalihkan trafik melalui sisi lingkaran yang lain,
bila terputus di satu sisi.
Berlimpahnya kapasitas akses tanpa pertambahan biaya yang terlalu besar, akan
dapat menurunkan biaya hubungan jarak jauh secara drastis, sehingga sebagai
tulang-punggung (backbone) telekomunikasi akan mendukung percepatan akses
pita lebar semua Kabupaten/Kota yang kemudian diteruskan ke Kecamatan dan
Desa.
RING PALAPA direncanakan menjadi tulang-pungung pengikat dari berbagai
jaringan penyelenggara, baik sistem jaringan tetap maupun sistem bergerak
(mobile), termasuk jaringan media baru seperti Wireless LAN (WLAN). Sebagai
jaringan tulang-punggung yang tidak tersambung langsung dengan pelanggan-
akhir (end-user), akan dapat lebih menjamin kompetisi yang sehat di antara para
penyelenggara. Dengan demikian akan mendukung peningkatan ekonomi
nasional, peningkatan taraf hidup rakyat, khususnya di daerah, serta
meningkatkan Ketahanan Nasional.
RING PALAPA dapat mendukung percepatan akses KPU (Kewajiban Pelayanan
Umum) atau USO ke pedesaan, dengan kualitas pita lebar yang jauh lebih
ekonomis dan terjangkau. Pembangunan jaringan tulang-punggung Ring Palapa
maupun jaringan tulang-punggung dari IKK ke Kecamatan dan Desa akan
merupakan jaringan tulang-punggung (backbone) Nasional.
B. REGULASI
Tujuan studi ini adalah memberikan gambaran dan membuat konsep kebijakan
pengembangan jaringan tulang-punggung (backbone) infokom nasional di
Indonesia.
Adapun sasaran studi adalah tersusunnya konsep kebijakan pengembangan
jaringan tulang-punggung (backbone) Infokom sebagai bahan masukan/
24. 18
rekomendasi penetapan kebijakan pengembangan jaringan tulang-punggung
infokom di Indonesia.
Tujuan dan sasaran studi ini sangat jelas dan sangat strategis dimana sampai
saat ini Pemerintah belum memiliki pedoman dalam pengembangan
pembangunan jaringan tulang-punggung telekomunikasi yang dapat mendukung
terselenggaranya sistem Infokom nasional yang tanggap terhadap perubahan
sosial ekonomi masyarakat yang tercermin dari meningkatnya kesejahteraan,
gaya hidup dan selanjutnya berpengaruh pada tingginya permintaan dan minat
masyarakat terhadap layanan infokom yang beragam.
Melalui studi ini, gambaran terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah
dapat lebih terpadu dengan tergelarnya jaringan nasional dengan kapasitas akses
lebih besar, murah dan mendukung percepatan akses KPU (Kewajiban
Pelayanan Umum) ke pedesaan. Infrastruktur infokom/TIK merupakan katalisator
kerjasama kegiatan pembangunan seluruh unsur pemerintahan dan masyarakat.
Dan mendukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009
Untuk mendukung pengembangan jaringan tulang-punggung (Back Bone)
Telekomunikasi di Indonesia ditelaah regulasi yang diperlukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik berupa Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Menteri.
Adapun landasan operasional serta beberapa butir pokok regulasi yang telah
ditelaah di dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Asas, tujuan telekomunikasi dan hak asasi.
2. Hal yang perlu diperhatikan di dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
3. Penyelenggara telekomunikasi
4. Otonomi daerah serta kewenangan Menteri Kominfo di bidang telekomunikasi.
5. Pembangunan jaringan melintasi tanah / bangunan negara atau milik
perseorangan.
6. Teknologi jaringan telekomunikasi.
7. Interkoneksi penyelenggaraan jaringan telekomunikasi.
8. Bentuk Peraturan untuk penyelenggaraan jaringan tulang-punggung
telekomunikasi.
25. 19
Hasil telaahan dari masing butir regulasi diatas adalah sebagai berikut
1. ASAS, TUJUAN TELEKOMUNIKASIi dan HAK ASASI
a. Asas dan tujuan telekomunikasi tercantum di dalam Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang Telekomunikasi.
Pasal 2 berbunyi : Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas
manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan
kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3 berbunyi : Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk
mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan
ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan
antarbangsa.
b. Di dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 72 Th 1999 (Cetak Biru
Kebijakan Pemerintah Tentang Telekomunikasi Indonesia) terdapat suatu
falsafah yang mendasar mengenai hak asasi manusia, yang berbunyi sebagai
berikut:
b.1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
b.2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia.
2. HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DI DALAM PENYELENGGARAAN
TELEKOMUNIKASI
Disamping asas, tujuan telekomunikasi serta hak asasi tersebut ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh perencana Jaringan tulang-punggung
telekomunikasi. Pasal 7 Peraturan Pemerintah tentang ”Penyelenggaraan
Telekomunikasi Indonesia” (PP No. 52 Th. 2000) serta Pasal 8 Keputusan Menteri
Perhubungan tentang ”Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi” (Kepmen No.
20 Th. 2001) menentukan bahwa penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib
menjamin terselenggaranya telekomunikasi melalui jaringan yang
diselenggarakannya.
26. 20
Kemudian Pasal 7 Keputusan Menteri tersebut menentukan kewajiban
penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagai berikut:
a. menyediakan segala fasilitas telekomunikasi untuk menjamin pelayanan
jaringan telekomunikasi sesuai standar kualitas pelayanan;
b. memberikan pelayanan yang sama kepada pemakai jaringan telekomunikasi;
c. membuat ketentuan dan syarat-syarat berlangganan jaringan telekomunikasi;
d. mengumumkan secara terbuka ketersediaan jaringan telekomunikasi yang
dimilikinya.
Berkaitan dengan butir d tersebut yaitu mengumumkan secara terbuka
ketersediaan jaringan telekomunikasi yang dimilikinya, di dalam pembangunan
Jaringan tulang-punggung perlu ditegaskan bahwa penyelenggara/operator wajib
menyampaikan segala data dan informasi yang berkaitan dengan pembangunan
jaringan tulang-punggung telekomunikasi kepada Menteri, misalnya mengenai
kapasitas jaringan, jangkauannnya, serta teknologi yang dipakainya. Laporan
kepada Menteri tersebut sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Telekomunikasi
(UU No. 36 Th 1999) yang menentukan posisi Menteri sebagai penanggungjawab
administrasi telekomunikasi Indonesia.
Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan adalah apa yang tercantum di dalam
Pasal 7 Ayat ( 2 ) serta Pasal 17 Undang-Undang Telekomunikasi.
Pasal 7 Ayat ( 2 ) berbunyi sebagai berikut:
Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan
prinsip:
a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua
pengguna;
b. peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi;
27. 21
c. pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan
prasarana.
3. PENYELENGGARA TELEKOMUNIKASI
Mengenai siapa penyelenggara telekomunikasi, Undang-Undang Telekomunikasi
(Undang-Undang No. 36 Th. 1999), Peraturan Pemerintah Tentang
”Penyelenggaraan Telekomunikasi”.(PP. No. 52 Th. 2000) serta Keputusan
Menteri No. KM. 20. Th. 2001 Tentang ”Penyelenggaraan Jaringan
Telekomunikasi” menetapkan bahwa penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
atau penyelenggara jasa telekomunikasi dapat dilakukan oleh Badan Hukum yang
didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, yaitu
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
c. Badan Usaha Swasta; atau
d. Koperasi
Kemudian ditetapkan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi dapat terlaksana
setelah penyelenggara mendapat izin dari Menteri. Berkaitan dengan rencana
pembangunan Jaringan tulang-punggung telekomunikasi, maka mengingat
keterbatasan kemampuan penyelenggara nasional baik di bidang finansial
maupun teknologi disarankan agar pembangunan Jaringan tulang-punggung
tersebut dilaksanakan secara sinergi, yaitu himpunan para pengusaha yang
mengadakan usaha bersama/usaha patungan (joint venture). Himpunan para
pengusaha tersebut misalnya terdiri atas pengusaha/penyelenggara Nasional dan
investor asing.
Usaha bersama tersebut dapat diperjanjikan antara mereka yang terhimpun, dan
bentuk serta isi perjanjian tergantung pada mereka yang terhimpun tersebut, asal
isi perjanjian tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, misalnya dengan Rencana Dasar Teknis (FTP) di dalam pembangunan
jaringan.
28. 22
Peluang kerjasama di dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang dituangkan di
dalam suatu perjanjian tertulis diberikan oleh Pasal 11 Peraturan Pemerintah No.
52 Th. 2000.
Pasal 11 tersebut berbunyi sebagai berikut:
(1). Penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam menyediakan jaringan
telekomunikasi dapat bekerjasama dengan penyelenggara jaringan
telekomunikasi luar negeri sesuai dengan izin penyelenggaraannya.
(2). Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dituangkan di dalam
suatu perjanjian tertulis.
Mengingat pembangunan Jaringan tulang-punggung telekomunikasi merupakan
pembangunan dengan cakupan Nasional (melingkar Nusantara), maka
disarankan agar untuk berlakunya perjanjian tertulis tersebut diperlukan
persetujuan tertulis dari Menteri, karena Menteri sesuai dengan Pasal 6 Undang-
Undang Telekomunikasi bertindak sebagai penanggungjawab administrasi
telekomunikasi Indonesia.
Kerjasama secara sinergi tersebut dapat dipandang sebagai bentuk yang
mencegah timbulnya kompetisi yang tidak sehat di antara para penyelenggara,
karena para penyelenggara berada di dalam satu wadah yang sama. Hak dan
kewajiban yang dimiliki oleh mereka adalah sama.
Kompetisi baru muncul pada saat pembangunan jaringan dari kabupaten/kota ke
kecamatan dan desa. Yang perlu diperhatikan ialah prinsip keadilan mengingat
kondisi geografis serta sosial ekonomi daerah yang satu berbeda dengan kondisi
geografis serta sosial ekonomi yang lain. Prinsip keadilan tersebut ialah kondisi
yang sama diperlakukan sama, kondisi yang tidak sama diperlakukan tidak sama.
Selanjutnya untuk menarik minat para investor/penyelenggara di dalam
pembangunan Jaringan tulang-punggung telekomunikasi , diperlukan kondisi
yang baik misalnya kepastian hukum di dalam perizinan/lisensi yang tidak
memerlukan waktu lama, diberikan insentif berupa pembebasan Biaya Hak
Penyelenggaraan (BHP) untuk waktu tertentu, pembebasan bea masuk bagi
perangkat telekomunikasi yang diimpor guna pembangunan Jaringan tulang-
punggung, insentif pajak untuk dana yang diperlukan membiayai penelitian dan
pengembangan, khususnya di bidang teknologi.
29. 23
4. OTDA DAN KEWENANGAN MENTERI KOMINFO DI BIDANG
TELEKOMUNIKASI
I. Pembagian Urusan Pemerintahan
Sehubungan dengan otonomi daerah, Undang-Undang Otonomi Daerah
(Undang-Undang No. 32 Tahun 2004), khususnya Pasal 10 menetapkan sebagai
berikut:
(1) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini
ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluasnya untuk mengatur dan mengurus urursan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana di
maksud pada ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiscal nasioanal;dan
f. agama
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah
atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada
pemerintahan daerah/atau pemerintahan desa.
(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah
dapat
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur
selaku wakil Pemerintah;atau
c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah
30. 24
dan.atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantu.
Di dalam penjelasan atas Pasal 10 Ayat (5) tersebut dikemukakan bahwa yang
dimaksud dengan “di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5)” dalam ketentuan ini adalah urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah di luar ayat (3) sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini.
Di dalam penjelasan mengenai pembagian urusan pemerintahan juga
dikemukakan bahwa bagian tertentu urusan Pemerintah lainnya yang berskala
Nasional tidak diserahkan kepada daerah. Di dalam penjelasan atas Pasal 4 Ayat
(2) Undang-Undang Telekomunikasi dikemukakan bahwa fungsi penetapan
kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian dilaksanakan oleh
Menteri. Demikian pula berdasarkan Undang-Undang tersebut Menteri bertindak
sebagai penanggungjawab administrasi telekomunikasi Indonesia.
II. Kawasan Khusus
Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonomi untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan
untuk kepentingan Nasional/berskala Nasional, misalnya dalam bentuk kawasan
cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan
teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali,
pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan
dan daerah perdagangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah eksploitasi,
konservasi bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan sumber daya
nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik. Pemerintah
wajib mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan kawasan khusus
tersebut.
5. PEMBANGUNAN JARINGAN MELINTASI TANAH DAN BANGUNAN
NEGARA ATAU PERSEORANGAN
Berkaitan pembanguan jaringan telekomunikasi yang melintasi tanah/banguan
negara atau milik perseorangan, Undang-Undang Telekomunikasi (Undang-
31. 25
Undang Nomor 36 Tahun 1999), khususnya Pasal 12 dan Pasal 13 menentukan
sebagai berikut:
Pasal 12: Ayat (1) Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau
pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat
memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau
dikuasai Pemerintah.
Ayat (2) Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku pula terhadap sungai, danau, atau
laut, baik permukaan maupun dasar.
Ayat (3) Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jarinngan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah
mendapat persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggungjawab dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 13: Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi
tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan,
pengoperasian atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat
persetujuan di antara para pihak.
6. TEKNOLOGI JARINGAN TELEKOMUNIKASI
Sehubungan dengan teknologi jaringan telekomunikasi, regulasi yang ada
menentukan bahwa setiap alat dan perangkat telekomunikasi yang dibuat, dirakit,
dimasukkan untuk diperdagangkan dan atau digunakan di wilayah negara
Republik Indonesia wajib memenuhi persyaratan teknis atau sesuai dengan
Rencana Dasar Teknis yang diatur dengan Keputusan Menteri.
Di samping mengantisipasi perkembangan teknologi, persyaratan teknis tersebut
sesuai dengan Pasal 72 Peraturan Pemerintah tentang ”Penyelenggaraan
Telekomunikasi Indonesia” (PP No. 52 Th. 2000) dimaksudkan untuk:
a) menjamin keterhubungan dalam jaringan telekomunikasi.
b) mencegah saling mengganggu antar alat dan perangkat
telekomunikasi.
32. 26
c) melindungi masyarakat dari kemungkinan kerugian yang ditimbulkan
akibat pemakaian alat dan perangkat telekomunikasi.
d) mmendorong berkembangnya industri, inovasi dan rekayasa teknologi
telekomunikasi nasional.
7. INTERKONEKSI PENYELENGGRAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI
Interkoneksi diatur di dalam Pasal 25 Undang-Undang Telekomunikasi (UU No 36
Th 1999), Peraturan Pemerintah No 52 Th 2000 (Pasal 20–25), serta Keputusan
Menteri Perhubungan No KM 20 Th 2001 (Pasal 12–14).
Pasal 25 Undang-Undang Telekomunikasi (Undang-Undang No. 36 Th. 1999)
berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan
interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(2) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan
interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi
lainnya.
(3) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip:
a. pemanfaatan Sumber Daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
8. BENTUK PERATURAN PENYELENGGARAAN TULANG-PUNGGUNG
TELEKOMUNIKASI
Menjawab pertanyaan mengenai bentuk peraturan apa yang sesuai untuk
penyelenggaraan ”Jaringan Tulang-Punggung”, apakah Peraturan Pemerintah,
Keputusan Menteri atau Keputusan Direktur Jenderal, maka terlebih dahulu harus
dijawab pertanyaan mengenai lembaga atau instansi mana yang berwenang
mengatur penyelenggaraan telekomunikasi. Mengenai kewenangan mengatur ini,
Undang-Undang No. 36 Th. 1999 khususnya Pasal 4 Ayat (1) serta Ayat (2)
berbunyi sebagai berikut:
33. 27
Ayat (1) : Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan
oleh Pemerintah.
Ayat (2): Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan
penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan,
pengaturan, pengawasan, dan pengendalian.
Di dalam penjelasan atas Pasal 4 Ayat (2) tersebut dikemukakan bahwa fungsi
penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian dilaksanakan
oleh Menteri. Sesuai dengan perkembangan keadaan, fungsi pengaturan,
pengawasan dan pengendalian penyelenggaran telekomunikasi dapat
dilimpahkan kepada suatu badan regulasi.
Berkaitan dengan pelimpaham kewenangan Menteri kepada suatu badan
regulasi, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 31 Th. 2003
tentang ”Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia:.
Pasal 5 Keputusan Menteri tersebut menetapkan bahwa Menteri melimpahkan
kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) fungsi pengaturan,
pengawasan dan pengendalian di bidang penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi.
Walaupun secara yuridis formal ada pelimpahan kewenangan Menteri kepada
BRTI di bidang penyelenggaraan telekomunikasi, dengan catatan hanya sebagian
kecil saja kewenangan Menteri yang dilimpahkan, namun pengaturan
penyelenggaraan Jaringan tulang-punggung seyogyanya dituangkan di dalam
bentuk Keputusan Menteri dengan 2 (dua) alasan.
Pertama, karena pembangunan Jaringan tulang-punggung telekomunikasi bersifat
Nasional, mencakup seluruh wilayah Nusantara, 33 (tigapuluh tiga) provinsi serta
kurang lebih 400 Kabupaten/Kota.
Ke dua, di dalam menghadapi Perda-Perda yang dikeluarkan Pemda yang
bersangkutan dan bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Pusat, Kepmen
mempunyai kedudukan lebih kuat daripada Perda berdasarkan hirarki Peraturan
Perundang-Undangan. Di sini berlaku asas hukum ”peraturan yang tinggi
mengalahkan peraturan yang rendah” (Lex Superior Derogat Legi inferiori). Oleh
karena itu disarankan agar Perda yang bertentangan dengan peraturan
34. 28
perundang-undangan di atasnya dicabut. Saran ini berdasarkan Undang-Undang
No. 10 Th. 2004 tentang ”Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”,
khususnya Pasal 7 Ayat (5), yang penjelasannya berbunyi sbb: dalam ketentuan
ini yang dimaksud dengan ”hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan
perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berkaitan dengan produk hukum Departemen yang berupa Keputusan Menteri,
perlu dipertimbangkan bentuk ”Peraturan Menteri”, karena bentuk ”Peraturan”
secara teoritis bersifat mengatur, sedangkan bentuk ”keputusan” tidak bersifat
mengatur.
Bentuk ”Peraturan Menteri” ini sudah mulai diperkenalkan dengan diterbitkan
Peraturan Menteri No. 11./P/M Kominfo/7/2005 tentang ”Pengurangan waktu
siaran Lembaga Penyiaran di seluruh Indonesia”. Bentuk ”Peraturan” sesuai
dengan Pasal 56 Undang-Undang No. 10 th. 2004, yang berbunyi sbb: Semua
keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan
Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 yang sifatnya mengatur yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini
berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang ini.
Di dalam pembuatan produk hukum departemen perlu diperhatikan sistematika
teknik penyusunan peraturan perundang-undangn yang diatur di dalam Undang-
Undang No. 10 Th 2004 tentang ”Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan”.
Berkaitan dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan Pasal 54
Undang-Undang No. 10 th. 2004 menentukan sbb: ”Teknik penyusunan dan/atau
bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua
Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala
Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan
Menteri, Keputusan Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat,
35. 29
Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Keputusan
Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang
setingkat harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang
diatur dalam undang-Undang ini.
Sedangkan mengenai materi muatan yang diatur di dalam Peraturan Menteri
pada prinsipnya sama dengan Keputusan Menteri Perhubungan tentang
”Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi” (Kepmen No. 20 Th. 2001), karena
pembangunan Jaringan tulang-punggung pada hakekatnya merupakan
pembangunan jaringan telekomunikasi.
Adapun butir-butir pokok regulasi (materi muatan) adalah sama dengan butir-butir
pokok materi seperti tersebut di atas, ditambah dengan materi muatan mengenai
perizinan, tarif serta kewajiban pelayanan universal.
Mengenai materi muatan yang akan diatur di dalam Peraturan Menteri, secara
singkat dapat dikatakan bahwa semua ketentuan mengenai penyelenggaraan
jaringan telekomunikasi yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku, berlaku juga bagi pembangunan jaringan tulang-punggung, kecuali
bila ada hal-hal khusus yang memerlukan perubahan atau ketentuan tambahan.
Misalnya di dalam pembangunan jaringan tulang-punggung telekomunikasi
nasional dengan kabel serat optik yang melintasi kepulauan Indonesia, perlu
diatur lokasi titik pendaratan kabel laut di daerah pantai, yang kemudian
tersambung/terhubung ke pusat akses infokom.
Butir-butir pokok regulasi/materi muatan Permen tersebut secara rinci terdapat
dalam LAMPIRAN 4
C. INVENTARISASI KONDISI JARINGAN DI INDONESIA
Menurut UU No. 36/1999, berdasarkan ijin penyelenggaraannya, jaringan
telekomunikasi nasional Indonesia terdiri atas jaringan tetap dan jaringan
bergerak.
36. 30
1. JARINGAN TETAP
Jaringan tetap dibedakan atas jaringan tetap lokal, jaringan tetap sambungan
langsung jarak jauh (jaringan SLJJ), jaringan tetap sambungan internasional, dan
sambungan tetap tertutup.
Jaringan tetap lokal adalah jaringan tetap yang diselenggarakan di suatu wilayah
tertentu, menggunakan jaringan kabel atau jaringan tanpa kabel. Wilayah yang
dimaksud adalah wilayah geografis yang didefinisikan sebagai wilayah
penomoran atau ”wilayah lokal”. Jaringan ini dibentuk oleh satu atau beberapa
sentral lokal dan sarana transmisi yang menghubungkan sentral-sentral tersebut.
Jaringan Tetap Sambungan Langsung Jarak Jauh (Jaringan SLJJ) adalah
jaringan tetap yang diselenggarakan untuk menghubungkan jaringan-jaringan,
terutama jaringan tetap lokal. Jaringan SLJJ dibentuk oleh satu atau beberapa
sentral trunk (sentral SLJJ) dan sarana transmisi yang menghubungkan sentral-
sentral tersebut. Jaringan SLJJ tidak mempunyai pelanggan dan berfungsi
semata-mata sebagai jaringan interkoneksi untuk tingkat nasional.
Jaringan Tetap Sambungan Langsung Internasional (Jaringan SLI) adalah
jaringan tetap yang diselenggarakan untuk menghubungkan jaringan domestik
dengan jaringan internasional. Jaringan SLI dibentuk oleh satu atau beberapa
sentral gerbang internasional (SGI) dan sarana transmisi yang menghubungkan
sentral-sentral tersebut.
Jaringan tetap tertutup adalah jaringan tetap yang diselenggarakan untuk
disewakan. Tergantung peruntukkannya, jaringan tetap tertutup akan berfungsi
sebagai jaringan tetap lokal, jaringan SLJJ, sirkit sewa (lease circuit) dan
sebagainya.
Jaringan telepon atau public switched telephone network (PSTN) meliputi salah
satu atau gabungan dari jaringan tetap lokal, jaringan SLJJ, dan jaringan SLI.
Jaringan PSTN memiliki karekteristik sebagai berikut:
a. Dibangun untuk layanan suara
b. Kecerdasan layanan terpusat pada sentral (central switch)
37. 31
c. Sirkuit terduduki penuh (Dedicated circuit) untuk setiap proses
pemanggilan)
d. Terminal pelanggan (CPE) sederhana dan murah
e. Sistem sangat handal
f. Lisensi dan regulasi sudah sangat jelas
g. Biasanya monopoli atau duopoli
h. Kebijakan atau kewajiban pelayanan yang sudah luas
i. Layanan panggilan darurat
Jaringan PSTN hingga kini masih sebagai tulang-punggung jaringan
telekomunikasi. Kondisi ini kurang menguntungkan karena PSTN eksisting
umumnya lebih menekankan pada layanan suara dan berpita sempit (narrow
band) sementara tuntutan kebutuhan layanan komunikasi tidak lagi hanya suara
akan tetapi juga sudah berkembang ke layanan data, gambar, video dan
kombinasinya atau komunikasi multimedia broadband.
Operator telekomunikasi mengalami kesulitan dalam meningkatkan kemampuan
PSTN untuk melayani layanan multimedia jika hanya mengandalkan upgrade
perangkat lunak dan hardware pada switching. Infrastruktur switching eksisting
kebanyakan merupakan proprietary atau teknologinya bersifat tertutup dan
dikuasai vendor tertentu saja. Hal ini jelas menimbulkan ketergantungan operator
telekomunikasi kepada pemasok perangkat tersebut. Selain itu, fungsi kontrol,
fungsi layanan, dan fungsi network yang melekat dalam circuit switch menjadikan
operator mengalami banyak kesulitan dalam melakukan inovasi dan diversifikasi
layanannya. Di sisi lain, biaya upgrade dan pengembangannya pun menjadi
mahal. Karena sifatnya yang tertutup pula, maka biaya operasi dan pemeliharaan
juga semakin besar.
Sejak tahun 2001, pemerintah telah membuka status monopoli penyelenggara
jaringan lokal menjadi duopoli dengan memperkenan PT Indosat untuk menggelar
jaringan lokalnya. Pada tahun 2003 telah pula diterminasi dini untuk SLJJ dan
38. 32
SLI, sehingga ada 2 (dua) operator SLJJ dan SLI yaitu PT Indosat dan PT
Telkom. Pada kenyataannya dengan duopoli kurang mampu mendorong
pertumbuhan jaringan lokal. Dengan alasan mahalnya biaya penggelaran jaringan
kabel dan untuk mengejar teledensitas maka implementasi penggelaran jaringan
lokal yang dilakukan oleh PT Telkom dan PT Indosat adalah dengan menggelar
fixed wireless access (FWA) dengan mobilitas yang terbatas. Supaya dianggap
sebagai lokal maka mobilitas dibatasi hanya berlaku pada suatu kode area
tertentu dan berlaku tarif lokal. Penggelaran FWA juga diberikan kepada PT
Ratelindo sebagai operator jaringan lokal yang telah ada. Implementasi jaringan
lokal FWA telah mampu meningkatkan penitrasi dan teledensitas, tetapi memiliki
keterbatasan dengan kecepatan transfer data yang masih rendah. Implementasi
jaringan lokal dengan menggunakan teknologi wireless memiliki kendala besar
dengan kondisi alam.
Gambaran umum jaringan PSTN di Indonesia kondisi Mei 2005 adalah sebagai
berikut:
a. 4 (empat) operator : Telkom, Indosat, Bakrie, Batam Bintan
d. Penetrasi 4,1%
1). 86 % are di Jawa dan Sumatra
2). Teledensitas: 35% di Jakarta; 11-25% pada daerah urban;
0.2% di pedesaan
c. Jumlah 9.988.718 sst
1). Kabel 8.559.350 sst (investasi per sst USD 600-700)
2). Nirkabel 1.429.368 sst (investasi per sst USD 150-200)
d. Flexi (Telkom, FWA) menjangkau 192 kota, BTS 1.139 unit, dengan
kapasitas 2,5 juta sst
e. Starone (Indosat, FWA) menjangkau 4 kota
f. Esia (Bakrie, FWA) menjangkau 15 kota di Jabar dan Banten
39. 33
2. JARINGAN BERGERAK
Jaringan bergerak dibedakan atas jaringan bergerak terestrial, jaringan bergerak
selular, dan jaringan bergerak satelit. Jaringan bergerak terestrial adalah jaringan
bergerak yang diselenggarakan untuk melayani pelanggan bergerak tertentu,
meliputi antara lain jasa radio trunking dan jasa radio panggil untuk umum. Radio
trunking semula hanya menyediakan jasa telekomunikasi tanpa kawat untuk
kelompok-kelompok tertutup (closed user groups), namun dalam perkembangan
selanjutnya timbul kebutuhan untuk dapat menghubungkan terminal pelanggan ke
jaringan nasional, jaringan telepon (PSTN) khususnya, baik untuk pelanggan ke
luar (outgoing) maupun ke dalam (incoming).
Jaringan bergerak selular adalah jaringan bergerak yang diselenggarakan untuk
melayani telekomunikasi bergerak dengan teknologi selular di permukaan bumi.
Jaringan bergerak selular terdiri atas satu atau beberapa mobile switching center
(MSC) beserta sejumlah base transmitter station (BTS) yang terkait dan saling
dihubungkan dengan sarana transmisi dan pensinyalan yang sesuai sehingga
membentuk suatu sistem telekomunikasi bergerak selular yang dapat melayani
terminal pelanggan.
Jaringan bergerak satelit yaitu jaringan bergerak yang diselenggarakan untuk
melayani telekomunikasi bergerak melalui satelit. Jaringan bergerak satelit terdiri
atas ruas angkasa dan ruas bumi yang membentuk satu sistem telekomunikasi
satelit yang dapat melayani terminal pelanggan.
Karakteristik jaringan bergerak adalah sebagai berikut:
a. Dibangun untuk layanan suara dan data
b. Kecerdasan layanan terpusat pada sentral (central switch)
c. Sirkuit terduduki penuh (dedicated circuit) untuk setiap proses
pemanggilan
d. Terminal pelanggan (customer premise equipment, CPE) sangat
kompleks
40. 34
e. Sistem terdiri dari BTS, mobile switching center (MSC), home
location register (HLR), visiting location register (VLR), SIM card
f. Kehandalan sedikit di bawah PSTN
g. Lisensi dan regulasi sudah sangat jelas
h. Banyak penyelenggara dan terjadi kompetisi
i. Layanan panggilan darurat
j. Dapat interkoneksi ke/dari jaringan bergerak dan PSTN
Gambaran jaringan bergerak di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. 8 (delapan) operator : Telkomsel, Indosat, XL, Mobile-8, CAC, Natrindo,
Mandara, Primasel
b. Penetrasi 13,6 %
c. Jumlah pelanggan mencapai ~ 46,9 juta
1. Telkomsel 28,8 juta
2. Indosat 13 juta
3. XL 5,1 juta
d. Jumlah BTS data Mei 2005.
1. Telkomsel : 6.936 unit
2. Indosat : 4.026 unit
3. XL : 2.976 unit
4. Mobile 8: 789 unit
e. Jangkauan layanan
1. Telkomsel mencapai 90% wilayah populasi (seluruh 440 kabupaten,
40% kecamatan)
41. 35
2. Indosat 383 kabupaten
3. XL Sumatera Jawa Bali NTB Kalimantan Sulawesi
Perkembangan penggelaran jaringan bergerak sangat pesat sekali yang tumbuh
di atas 10%, begitu pula dengan jumlah pengguna/pelanggannya, ini disebabkan
kemudahan dalam penggelaran dan harganya yang relatif lebih murah per satuan
sambungan (SS) dibanding dengan penggelaran jaringan tetap lokal.
Perkembangan teknologi bergerak (seluler) mengalami evoluasi yang sangat
cepat, saat ini di Indonesia tengah digelar teknologi seluler generasi ke 3 (tiga)
(3G) yang berbasis wideband code division multiple access (WCDMA) sebagai
evolusi dari global system for mobile communication (GSM) oleh 4 (empat)
operator yaitu PT Telkomsel, PT. Indosat, PT Excelcomindo, dan PT Cyber
Access Communication (CAC) yang telah mendapatkan ijin penyelenggara 3G
setelah lulus uji layak operasi (ULO) beberapa waktu yang lalu dari
pemerintah/regulator.
3. JARINGAN IP
Karakteristik jaringan IP adalah sebagai berikut:
a. Untuk menunjang layanan data
b. Informasi tidak langsung disambungkan melainkan dirutekan
melewati jalur mana pun yang tersedia
c. Efisien sampai di tujuan
d. Lebih baik dari PSTN atau jaringan bergerak tetapi kualitas layanan
tidak dijamin lebih baik
e. Kecerdasan pada host atau end-user, banyak variasi layanan yang
terhubung ke internet
f. Belum terlisensi dan teregulasi dengan jelas
g. Banyak penyelenggara terjadi kompetisi
42. 36
h. Pelayanan yang belum menyeluruh/luas dan tidak ada layanan
panggilan darurat
Untuk menghubungkan seluruh penyelenggara jaringan internet (internet service
provider, ISP) dengan jaringan internet global maka jaringan ISP dihubungkan
melalui Indonesia Internet eXchange (IIX). Gambar 5, menunjukkan gambaran
umum
Gambar 5. Gambaran umum jaringan IP di Indonesia
Data jaringan IP di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. terdapat sekitar 110 internet service provider (ISP)
b. terdapat 12.000.000 (duabelas juta) pelanggan dan pengguna internet
c. terdapat sekitar 5.000 (lima ribu) warung internet
Terlihat bahwa di Indonesia masih sangat rendah populasi pengguna internet.
Pengguna internet juga masih terpusat di kota-kota besar, di perguruan tinggi dan
di perusahaan-perusahaan. Perlu usaha yang lebih giat dari seluruh pihak agar
internet lebih memasyarakat.
43. 37
Tabel 1. menunjukkan pertumbuhan pelanggan dan pengguna internet di
Indonesia dari tahun ke tahun.
Tabel 1. Pertumbuhan Pelanggan dan Pengguna Internet di Indonesia
Tahun Pengguna Pelanggan
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005*
512,000
1,000,000
1,900,000
4,200,000
4,500,000
8,805,534
11,226,143
16,000,000
134,000
256,000
400,000
581,000
667,002
856,706
1,087,428
1,500,000
Sumber: APJII, 2005
Selain pelanggan dan pengguna internet individu, pelanggan internet juga dapat
berupa domain yang menunjukkan identitas dari pemiliknya seperti perusahaan
dan organisasi. Pertumbuhan jumlah domain di Indonesia ditunjukkan oleh Tabel
2.
Tabel 2 Pertumbuhan Jumlah Domain Internet di Indonesia
Tahun Domain Baru Total Domain
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
1,479
2,126
4,109
3,433
3,146
3,628
3,841
1,479
3,605
7,714
11,147
14,293
17,921
21,762
Sumber: www.idnic.net.id
44. 38
Implementasi jaringan internet di Indonesia oleh ISP dengan memanfaatkan
jaringan yang ada melalui leased line, VSAT, radio komunikasi (sistem wireless),
dan ADSL. Untuk layanan internet melalui jaringan fixed yang ada masih
didominasi oleh incumbent, dimana implementasi oleh incumbent saat ini disiasati
dengan menggelar ADSL yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi fixed yang
ada. Sangat tidak mungkin mengharapkan pengembangan internet melalui
jaringan fixed, dikarenakan tidak ada operator jaringan fixed yang saat ini
mengembangkan jaringannya.
Perkembangan teknologi telekomunikasi sangat pesat terjadi, demikian pula
perkembangan jasa telekomunikasi di Indonesia setelah diberlakukannya
peraturan dan kebijakan penghapusan monopoli penyelenggaraannya. Jaringan
telekomunikasi saat ini sedang mengalami kemajuan pesat dan mengarah pada
suatu jaringan global atau Next Generation Network (NGN). Pemetaan standar
arsitektur infrastruktur telekomunikasi menuju NGN sangat diperlukan sebagai
tulang-punggung pengembangan jasa-jasa telekomunikasi yang juga berkembang
pesat. Saat ini jenis infrastruktur telekomunikasi yang terinstal belum diketahui
secara pasti jumlah dan penggunanya, terlebih dengan terus bertambahnya
jumlah operator jaringan dan jasa telekomunikasi tentunya jumlah dan jenis
infrastruktur telekomunikasi terus bertambah pula. Untuk melindungi kepentingan
nasional dan masyarakat luas sebagai pengguna jasa telekomunikasi maka perlu
dilakukan pemetaan standar arsitektur infrastruktur telekomunikasi menuju NGN.
Teknologi informasi dan komunikasi (infokom) berkembang semakin pesat
didorong oleh Internet Protocol (IP), berbagai aplikasi baru dan beragam layanan
multimedia. Infrastruktur infokom terdiri dari Public Switched Data Network
(PSDN) dan Public Switced Telephone Network (PSTN) dan jaringan bergerak,
namun hingga kini tulang-punggung infokom masih banyak berpijak pada jaringan
PSTN. Kondisi ini kurang menguntungkan karena PSTN eksisting umumnya lebih
menekankan pada layanan suara dan berpita sempit (narrow band) sementara
tuntutan kebutuhan layanan komunikasi tidak lagi hanya suara akan tetapi juga
sudah berkembang ke layanan data, gambar, video dan kombinasinya.
Untuk mempercepat penyediaan layanan pita lebar (broadband) pada jaringan
eksisting tersebut maka PSTN dan PSDN harus segera "melebur" menjadi satu
45. 39
jaringan tunggal multilayanan yang disebut dengan jaringan telekomunikasi masa
depan atau next generation network (NGN) yang mampu menyediakan semua
jenis layanan infokom yakni suara, data dan multimedia secara efisien.
4. FAKTOR PENDORONG
Ada tiga faktor utama pendorong evolusi jaringan PSTN tradisional menuju NGN.
a. Pertama, keterbatasan arsitektur sentral PSTN eksisting. Operator
telekomunikasi akan kesulitan untuk meningkatkan kemampuan PSTN
untuk melayani layanan multimedia jika hanya mengandalkan upgrade
versi perangkat lunak dan hardware pada sentral eksisting. Infrastruktur
sentral eksisting kebanyakan merupakan proprietary, atau teknologinya
bersifat tertutup dan dikuasai vendor tertentu saja. Hal ini jelas
menimbulkan ketergantungan operator telekomunikasi kepada pemasok
perangkat tersebut. Operator juga sulit untuk berinovasi dan membuat fitur
baru. Selain itu, biaya upgrade dan pengembangannyapun menjadi mahal
dan membutuhkan waktu yang lama. Karena sifatnya yang tertutup pula
maka biaya operasi dan pemeliharaan juga makin besar.
b. Kedua, trend konvergensi jaringan dan layanan. Saat ini perbedaan teknik
antara jaringan telepon tradisional (PSTN) dan jaringan komunikasi data
(PSDN) menyebabkan terjadinya pemisahan antara kedua jaringan
tersebut. PSTN yang berbasis sirkit switch merupakan jaringan kompleks
dengan ukuran yang besar, tersentralisir, dan tertutup. Sedangkan, PSDN
berbasis paket switch, lebih sederhana dan terdistribusi. PSDN tumbuh
dengan pesat dengan adanya internet, extranet, Virtual Private Network
(VPN), serta teknologi berbasis paket lainnya. Banyak yang beranggapan
bahwa suatu saat nanti paket switch akan menggantikan sirkit switch.
Fenomena ini bisa dilihat dari semakin meningkatnya penggunaan Voice
over Internet Protocol (VoIP). Namun demikian hingga kini PSTN masih
menduduki posisi terdepan untuk menyalurkan data, terutama layanan dial
up analog modem. Investasi sentral PSTN eksisting yang sangat besar
juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Sehingga pilihannya adalah
konvergensi antara PSDN dan PSTN menjadi satu jaringan tunggal multi
46. 40
layanan, dengan melakukan evolusi secara bertahap pada jaringan PSTN
agar mampu mengakomodasi paket switch .
c. Ketiga, regulasi telekomunikasi telah memunculkan operator-operator
baru. Persaingan yang semakin ketat antar operator menyebabkan
pelanggan akan berpindah ke kompetitor jika operator tersebut tak mampu
memberikan layanan yang beragam, broadband, dan murah.
Ada sejumlah kendala yang menghadang migrasi NGN pada infrastruktur
telekomunikasi di Indonesia. Meskipun sejumlah vendor global dan nasional telah
berhasil mengembangkan teknologi ini namun kematangan softswitch – terutama
class 5 - masih dipertanyakan, mengingat teknologi ini belum secara luas
digunakan untuk kepentingan komersial oleh operator-operator telekomunikasi
dunia. Kondisi infrastruktur eksisting juga bisa menjadi penghambat laju menuju
NGN. Hampir seluruh sentral dan perangkat telekomunikasi di Indonesia masih
memakai spesifikasi teknis atau protokol lama yang bersifat tertutup (proprietary).
Di lain pihak softswitch memberikan persyaratan standar dan protokol yang paling
mutakhir dan terbuka sehingga hal ini dapat menyulitkan persyaratan kesesuaian
protokol, interoperability dan interworking antara perangkat eksisting dengan
perangkat NGN. Faktor lainnya adalah masalah biaya investasi perangkat NGN
dan penyediaan jaringan akses yang masih terasa mahal dan kurang kompetitif
jika dibandingkan dengan mengupgrade sentral eksisting.
Meskipun masih banyak kendala yang dihadapi operator telekomunikasi untuk
melakukan migrasi, roadmap menuju NGN harus segera dilaksanakan. Tanpa
melakukan migrasi menuju NGN, jaringan PSTN yang masih menjadi tulang-
punggung infrastruktur telekomunikasi lambat laun tak akan optimal lagi
mengakomodasi layanan infokom. NGN dirancang untuk memenuhi kebutuhan
infrastruktur infokom abad ke 21. Konsepnya lebih dari sekedar Internet yang
digabungkan dengan PSTN (dan ISDN).
NGN mampu mengelola dan membawa berbagai macam trafik sesuai kebutuhan
customer yang terus berkembang. Jaringan tidak lagi diharapkan bersifat TDM
seperti PSTN sekarang, melainkan sudah dalam bentuk paket-paket yang efisien,
namun dengan keandalan dan kualitas (QoS) terjaga. Jika PSTN meletakkan
47. 41
kecerdasan pada network, dan Internet meletakkannya pada host, maka NGN
menyebarkan kecerdasan pada network dan host. Feature layanan lintas media
menjadi dimungkinkan.
Migrasi dari jaringan yang ada menuju NGN akan mengalami migrasi secara
bertahap per jaringan. Oleh karena itu pendekatan migrasi NGN juga akan
menyangkut tahapan migrasi oleh PSTN, oleh jaringan bergerak, dan jaringan IP.
Migrasi jaringan PSTN ke NGN sebagai kuncinya adalah implementasi softswitch,
sedangkan pada jaringan bergerak diperkenalkan konsep IP Multimedia
Subsystem (IMS), dan pada jaringan IP perlu diantisipasi migrasi dari IP ver 4
(Ipv4) ke IP ver 6 (Ipv6). Kunci sukses migrasi dari jaringan existing ke NGN
adalah tersedianya jaringan IP pita lebar yang menjangkau seluruh Indonesia.
Sistem telekomunikasi berdasarkan media transmisinya dibedakan atas sistem
wireline dan sistem wireless. Pada sistem wireline infrastruktur telekomunikasi
terdiri atas sentral, jaringan telekomunikasi berupa kabel (dalam bentuk kabel
copper, fiber optik) dan perangkat pelanggan. Jaringan telekomunikasi dapat
berupa jaringan tulang-punggung (backbone) dengan lebar pita yang mungkin
cukup besar, sehingga dalam UU 36/1999 dikenal adanya operator jaringan tanpa
memiliki pelanggan.
Dari data para operator PT TELKOM, PT INDOSAT, PT Excelcomindo Pratama,
dan PT Indonesia Comnet Plus (ICONPLUS), kebanyakan para operator yang
telah mempunyai jaringan serat optik sebagai jaringan backbone yang
dikhususkan di daerah yang potensi revenue – nya bagi operator besar. Dalam
hal ini berlaku hukum Pareto; yaitu akan menunjukan suatu skala prioritas yang
dapat dibagi secara ekstrim, yaitu sebagian kecil pelanggan (katakanlah 20% dari
total pelanggan) akan memberikan suatu kontribusi pendapatan yang besar
(katakanlah 80% dari total pendapatan); pendapatan yang kecil tersebut berada di
Pulau Jawa. Analisis Pareto ini juga dikenal dengan analisis ABC, yang
merupakan skala prioritas. Prioritas tertinggi yaitu A berada pada pelanggan yang
memberikan pendapatan tertinggi, dalam hal ini berada di Jakarta pada
khususnya dan Jawa, Bali pada umumnya. Prioritas B terletak di pulau Sumatera.
Sedangkan prioritas C, ada di daerah lainnya. Secara umum, jaringan para
operator eksisting tersebut dapat digambarkan pada Gambar 6.
48. 42
о
о
о
оо
Banda Aceh
Sabang
Medan
Palemban
g
Jakarta
о
Cirebon
о
Semarang
о
Surabaya
оо
оKetapang
Gilimanuk
о
Karangasem
о
Mataram
о
Sumbawa
о о о
ReoMaumere
Larantuka
о
Kupang
о
о
Singkawang
о
oSampi
t Banjarmasin
о
о
о
о
Balikpapa
n
Samarind
a
Tarakan
оPal
u
о
о
о
о
о
о
о
Batam
о
Manado
Toli-toli
Gorontalo
Luwu
k
о
Kendari
о
Ujungpandang
o
Sibolga
о
о
Meulaboh
Tapaktuan
о
Natal
Padang
Bengkulu
Kalianda
оBelitung
o
Waingapu
Kalabahi
o
Merauke
o
o
o
o
Biak
Nabire
Ambon
o
o
Saumlaki
oDoboo
Tual
o
o o
Manokwari
Salawati
Tobelo
o
Palop
o
Pontianak
Atambua
to Perth,to Perth,
AustraliaAustralia
to Asia Pacificto Asia Pacific
to Indiato India
to Thailandto Thailand
Keterangan:
Gambar 6. Jaringan yang ada dari beberapa operator di Indonesia
Jangkauan dan distribusi jaringan (jaringan berkapasitas besar, seperti Serat
Optik, gelombang mikro, satelit, dan lain-lain) yang telah digelar berfokuskan di
pulau Jawa, dan kemudian di pulau Sumatera. Adapun secara Nasional, jaringan
yang sudah ada tersebut adalah jaringan dari PT TELKOM yang dapat
digambarkan pada Gambar 7.
Jaringan SMW-2/3
Jaringan PT. COMNET PLUS
Jaringan PT. EXCELCOMINDO
Jaringan PT. TELKOM
49. 43
Gambar 7. NGN dari operator di Indonesia
Jaringan SO yang telah digelar oleh beberapa operator seluler di Indonesia, dapat
dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7. Meskipun biaya sistem serat optik relatif
mahal dibandingkan sistem infokom lain, tetapi karena kompensasi kapasitasnya
yang amat besar, maka biaya sistem dalam hitungan tiap Mbps saluran dan tiap
km rentang menjadi relatif murah (dengan rentang faktor 5 sampai 10). Ciri sistem
serat optik lain yang menguntungkan adalah bahwa jaringan serat optik dapat
diawali dengan kapasitas relatif kecil, kemudian sesuai keperluan dapat
ditingkatkan, hanya dengan menambah peralatan elektroniknya, tanpa
menganggu kabel yang telah terpasang. Umur kabel serat optik diperhitungkan
dapat mencapai 30 sampai 40 tahun.
Terlihat dari Gambar 6. dan Gambar 7 bahwa operator jaringan yang ada
menggelar jaringan SO terdapat jaringan yang tumpang tindih, dikarenakan
berkonsentrasi pada wilayah yang sama, seperti Jawa dan Bali. Namun demikian,
masih banyak wilayah Indonesia tidak terdapat jaringan backbone dengan asumsi
kurang menguntungkan penyelenggara. Oleh karena itu, konsep Ring PALAPA
didesain untuk membangun jaringan backbone diseluruh wilayah Indonesia.
Jaringan backbone Ring PALAPA ini akan menghubungkan seluruh ibu kota
kabupaten (IKK) ke dalam jaringan backbone. Konsep Ring PALAPA akan
50. 44
memberikan manfaat dalam mendorong turunnya tarif telekomunikasi dan
menciptakan peluang bagi terbentuknya operator baru telekomunikasi di daerah.
1. Permasalahan Penggelaran Jaringan Tulang-Punggung
Jaringan tulang-punggung yang telah ada milik para penyelenggara masih bersifat
terkotak-kotak, banyak tumpang tindih, karena belum merupakan jaringan terpadu
yang menjadi tumpuan semua penyelenggara dan pengguna jasa.
Saat ini beberapa penyelenggara telah membangun jaringan tulang-punggung
serat optik untuk mendukung layanan infokom yang diselenggarakannya.
PT. Telkom dalam menyelenggarakan layanan SLJJ dan Sambungan
Internasional telah menggelar Java Backbone (menghubungkan seluruh Pulau
Jawa) dan Sumatera Backbone serta jaringan serat optik yang membentang
sepanjang pulau Sumatera (high performance backbone/HPBB) dengan teknik
modulasi Dense Wavelength Divison Multiplexing (DVDM) menghubungkan Java
Backbone dan Sumatera Backbone serta sebagai transport utama untuk
Sambungan Internasional.
Disamping itu juga melanjutkan pembangunan tulang-punggung jaringan serat
optik di wilayah Barat (ring Medan-Pekanbaru-Padang-Sibolga-Medan dan ring
Jakarta-Palembang-Pekanbaru-Batam-Pontianak-Tanjung Pandan-Jakarta) dan
wilayah Timur (Surabaya-Banjarmasin-Ujung Pandang-Surabaya).
Sementara itu PT. Indosat telah membangun jaringan tulang-punggung SMW2
dan SMW 3 yang meliputi Jakarta-Batam-Medan-ke India; Jakarta-Batam-ke Asia
Pasifik dan Jakarta-Perth.
PT. Excelcomindo Pratama telah membangun jaringan serat optik sepanjang
Pulau Sumatera-Pulau Jawa-Pulau Bali-NTB-Pulau Sulawesi (Ujung Pandang
sampai Gorontalo) dan Palu-Samarinda-Tarakan serta Palu-Samarinda-
Balikpapan-Banjarmasin.
Ditinjau dari aspek fisik penggelaran jaringan tulang-punggung telekomunikasi
membutuhkan lokasi/lahan yang cukup panjang, penggelaran jaringan oleh
51. 45
penyelenggara cenderung hanya di daerah yang memiliki potensi komersial yang
tinggi sehingga sulit menjangkau daerah terpencil.
Di masa depan penyelenggaraan jasa telekomunikasi jarak jauh (long distance
services) (SLJJ) dan SLI akan beralih ke sistem serat optik karena sistem serat
optik dalam skala besar lebih efisien dari sistem lain termasuk sistem satelit.
Kapasitas sistem serat optik yang besar itu merintis jalan menuju kepada next
generation network (NGN).
Dengan memperhatikan kondisi dan pengembangan jaringan serat optik oleh
masing-masing penyelenggara serta peluang penggunaan jaringan serat optik
sebagai jaringan infokom, perlu disusun kebijakan pola pengembangan jaringan
tulang-punggung (backbone network) infokom di Indonesia.
Dalam rangka penyusunan kebijakan tersebut perlu dilakukan kajian yang
diharapkan dapat memberikan gambaran pola pengembangan jaringan tulang-
punggung yang dapat memberikan solusi permasalahan yang dihadapi dalam
pengembangan jaringan infokom baik dari aspek ekonomi, hukum, teknis maupun
aspek sosial.
Permasalahan yang ditekankan adalah bahwa pengembangan jaringan tulang-
punggung Infokom (National broadband backbone network) di Indonesia ditemu-
kenali beberapa permasalahan dari aspek ekonomi, hukum, teknis dan sosial
antara lain meliputi :
biaya investasi, pengoperasian dan pemeliharaan yang besar;
terdapat idle capacity jaringan yang telah dibangun penyelenggara;
belum semua penyelenggara jaringan menyediakan interkoneksi bagi
penyelenggara lainnya;
pengaturan interkoneksi belum dilaksanakan sepenuhnya dan
sebagian masyarakat di daerah terpencil atau daerah yang tidak
menguntungkan belum menikmati layanan telekomunikasi/infokom.
52. 46
2. Implikasi Penggelaran Jaringan Tulang-Punggung Oleh Beberapa
Operator
Dari jaringan backbone yang telah dibangun oleh beberapa operator, ditemukenali
jaringan tulang-punggung yang ada milik para penyelenggara masih bersifat
terkotak-kotak, banyak tumpang tindih, terkonsentrasi pada wilayah yang secara
ekonomis menguntungkan, belum merupakan jaringan terpadu yang menjadi
tumpuan semua penyelenggara dan pengguna jasa. Akibat dari pembangunan
jaringan tulang-punggung infokom yang belum terpadu, memberikan implikasi
antara lain:
a. belum meratanya akses jaringan telekomunikasi,
b. mahalnya biaya sambungan
c. overlapping investasi jaringan tulang-punggung yang mahal
d. belum terjadinya interkoneksi yang baik antar operator dan mahalnya
biaya interkoneksi
53. 47
BAB 4. KONDISI JARINGAN
PEMBANDING DI NEGARA
LAIN
A. CHINA
1) Evolusi Jaringan Fiber Optik China
Sejak tahun 1990, kapasitas PSTN (Public switched Telecommuinication
Network) telah bertambah dari 12 juta hingga menjadi lebih dari 400 juta
sambungan pada tahun 2001. Penetrasi kepadatan telepon terhadap
jumlah penduduk sudah meningkat tajam dari 1,2% hingga mencapai 40 %
pada tahun 2001. Pada tahun 2001 kenaikan jumlah pelanggan telepon
kabel mencapai 37 juta yang merupakan setengahnya dari jumlah
pelanggan telepon dunia. Pada tahun 2001 juga China memiliki jumlah
pelanggan internet sebanyak 33,7 juta pelanggan. Sedangkan tahun 2005
sudah mencapai 94 juta pelanggan internet. Kenaikan jumlah pelanggan
yang begitu besar ini membutuhkan dukungan transport fiber optic.
2) Jaringan Sistem PDH VS SDH
Sejarah Fiber Optic di China belum terlalu lama, dimana dimulai dari satu
dekade sebelumnya. Pada akhir 80 an dan awal 90 an, keputusan strategis
telah diambil dengan memasang fiber optic sebagai tulang-punggung,
berupa Pleisosynchronous Digital Hierachy (PDH) system. Pertumbuhan
traffic begitu tinggi dari tahun ke tahun hingga mencapai 50%,
mengakibatkan tingginya tuntutan akan penambahan kapasitas transport.
Pada tahun 1994 telah diambil keputusan strategis berpindah dari sistem
PDH ke sistem Synchronous Digital Strategy (SDH). Sejak itu China
merupakan pemilik system SDH terbesar di Dunia. Jaringan tulang-
54. 48
punggung di china mendekati 500 ribu KM dari total fiber optic yang telah
dipasang sepanjang lebih dari 1.5 juta KM
3) Jaringan WDM sebagai TULANG-PUNGGUNG (BACKBONE) China
Kapasitas jaringan tulang-punggung selalu menjadi masalah transport,
karena kenaikan traffic yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Upgrade jaringan dengan 2.5 GB/s WDM system dari 8 channel ke 32
channel untuk jalur provinsi dan nasional. Bahkan telah digelar puluhan
ribu WDM untuk jaringan tulang-punggung nasional. Pada tahun 2000 telah
dipasang WDM system dengan kapasitas 1.6 TB/s dengan 40 channel
untuk jaringan tulang-punggung nasional. China Telekom telah menggelar
perangkat digital cross connect (DXC) untuk membuat jaringan tulang-
punggung yang responsive. Selain China Telekom yang merupakan
perusahaan telekomunikasi milik pemerintah telah diikuti perusahaan
telekomunikasi besar lain seperti China Unicomm dan China Railway
Telecommunications Company dengan menggelar WDM dengan kapasitas
10 GB/s WDM Mspring.
4) Visi Ke Depan
Pada tahun 2005 peningkatan traffic begitu cepat sehingga jumlah
pelanggan fixed telepon mencapai 260 juta sedangkan pelanggan seluller
mencapai 290 juta. Angka ini menunjukkan penetrasi pelanggan telepon di
China telah mencapai 40% penduduk. Dari pertumbuhan pelanggan ini
diperkirakan jumlah pelanggan data dan multimedia yang berbasis IP
sudah mencapai 200 juta. Angka ini akan memerlukan kapasitas transport
fiber optic yang besar. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka dipilih 3
(tiga) opsi yang bisa dilakukan yaitu :
i. Penggunaan Ultra longhaul transmision system yang
memungkinkan fiber optic tanpa regeneratif sepanjang lebih dari
3000 KM
ii. Upgrade WDM menjadi 40 GB/s untuk jaringan tulang-punggung.
iii. Transisi dari point to point WDM ke optical networking. Optical
Networking akan memerlukan automatic switched Optical
Network (ASON).
55. 49
B. PHILIPINE
Philipina telah membentuk konsorsium perusahan jaringan untuk mengelola
jaringan tulang-punggung nasional yang diberi nama NDTN (National Digital
Transmision Network). Jaringan fiber optic digelar dimulai dari Cuyapo, Isabela di
Philipina bagian Utara hingga ke Cagayan de Orro di Philipina bagian selatan.
Kapaistas jaringan sebesar 2.5 GB/s ini cukup besar untuk melayani hubungan
telepon sebanyak 180.000 sambungan dalam satu saat.
NDTN dimiliki oleh 7 (tujuh) perusahan operator telekomunikasi setempat yaitu
Bayan Telecommunications (Bayantel) adalah pemegang saham terbesar
Telicphil, dengan 65% saham. Anggota konsorsium lainnya adalah: Smart
Communications, Inc., Globe Telecommunications, Inc., Express
Telecommunications, Eastern Telecommunications, Philippine Telephone &
Telegraph Co. (PT&T), and Digital Telecommunications, Inc. (Digitel).
Tujuan utama dibentuknya jaringan ini adalah sebagai alternative jaringan tulang-
punggung yang menghubungkan utara Philipina dan selatan Philpina untuk
transmisi suara dan data dengan kapasitas yang besar dan kualitas yang bagus
serta harga yang terjangkau. Proyek ini didukung oleh departemen transportasi
dan komunikasi setempat . Perusahaan atau operator yang memiliki jaringan yang
sama bisa bekerjasama menggunakan jaringan ini sehingga diperoleh sinergi
yang positif bagi perkembangan telekomunikasi dan informasi di Philipina
khususnya perkembangan ekonomi nasional.
C. PAKISTAN
Perusahaan Nasional Pakistan telah menandatangani kontrak dengan Malaysia
Telekom International untuk membangun jaringan tulang-punggung nasional
sepanjang 4000 Km dengan kapasitas 10 GB/s dan melintas di 75 kota besar di
Pakistan. Jaringan ini diharapkan akan bermanfaat untuk fasilitas transmisi
operator telepon setempat, seperti celluler, Operator WLL, TV kabel setempat,
ISP, Kampus pendidikan, perusahaan utility, Call center, Perusahaan
pengembang software, lembaga keuangan baik lembaga bank ataupun non bank.
Selain itu juga jaringan tulang-punggung ini diharapkan sebagai pemacu
56. 50
perusahaan SME yang memerlukan faslitas transmisi. Tentu saja tujuan akhir dari
proyek ini adalah untuk meningkatkan daya saing negara sehingga akan memacu
pertumbuhan ekonomi nasional.
Nilai investasi yang ditanamkan untuk proyek jaringan ini melebihi dari 100 juta
USD untuk membiayai sepanjang 4000 KM jaringan kabel fiber optik.
D. MALAYSIA
Malaysia membangun jaringan tulang-punggung nasional sebagai bagian dari
rencana besar yang diintegrasikan dengan kebijakan-kebijakan pendukung yang
sangat kondusif bagi perkembangan teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Rencana Besar Malaysia ini diberi nama Multimedia Super Corridor atau disingkat
dengan MSC. Pembangunan jaringan tulang-punggung merupakan sarana
penunjang bagi suksesnya MSC. Konsep pengembangan dimulai sejak tahun
1996, kemudian tumbuh sehingga menjadi bagian pusat riset dan pengembangan
perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang multimedia, produk
telekomunikasi, solusi layanan telekomunikasi dan layanan nilai tambah.
MSC sangat sukses dalam menarik perusahaan multinasional bidang TIK untuk
menempatkan salah satu pusat pengembangannya sehingga bisa mendorong
perkembangan pertumbuhan perusahaan-perusahaan lokal bidang TIK menjadi
perusahaan kelas dunia. MSC sangat cocok dan ideal bagi perusahaan yang
mengembangkan produk TIK nya sebagai tempat implementasi awal sebelum
diimplementasikan ke wilayah regional.
MSC direncanakan dalam 3 (tiga) tahapan dimulai dari tahun 1996 hingga tahun
2020. Tahapan pertama dimulai dengan tahun 1996 hingga 2003 telah sukses
dilalui dengan beberapa faktor yang mempengaruhi kesuskesan diantaranya
adalah:
57. 51
Gambar 8. Tahapan Malaysia Super Corridor (MSC)
Paket kebijakan pemerintah yang menarik bagi investor
Kuatnya dasar-ekonomi dan sosial
Kuatnya komitmen dan dukungan pemerintah Malaysia
Percepatan dengan pelatihan sumber daya manusia
Biaya kompetitif untuk menyelenggarakan bisnis di Malaysia
Mudahnya akses ke pasar Asia dan Pacific
Penggunaan bahasa Inggris yang cukup luas di Malaysia
Kualitas hidup yang memadai sehingga mendukung perkembanagn TIK
Pada phase 2 (dua) dimulai tahun 2003 hinga tahun 2010, dimana kerangka kerja
cyberlaw akan dibuat, sehingga selanjutnya akan terbentuk 4 (empat) atau 5
(lima) kota intellegent city yang terhubungkan ke intelegent cities lain yang ada di
Dunia. Pada phase 3 (tiga) Malaysia akan terbentuk menjadi satu Multimedia
super corridor sehingga akan ada 12 (duabelas) intelegent city yang terhubung ke
global superhighway.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk perkembangan MSC adalah dibentuknya
smart school, Telehealth, e-business, smart card technology, electronic
government, dan technopreneurship. Suatu inisiatif yang cemerlang juga telah
dilakukan dengan Creative Multimedia cluster. Dengan cluster ini diharapkan akan
tumbuh layanan nilai tambah melalui industri content sehingga mendorong
tumbuhnya penggunaan broadband di masyarakat, serta industri ini bermitra
dengan industri kelas dunia sebagai outsources.
58. 52
jaringan tulang-punggung yang mendukung MSC ini memiliki karakteristik
standard internasional sehingga mendukung kebutuhan dalam hal kapasitas,
reliability dan harga yang terjangkau. Hal yang penting dari infrastruktur yang
mendukung tersebut adalah:
Jaringan fiber optic antar kota dan dalam kota yang memiliki kapasitas
besar antara 2.5 hingga 10 GB/s
Terhubung ke jaringan internasional dengan kapasitas yang besar
Open standar, kecepatan tinggi, high speed switching, and multiprotocol
ATM
Reliability yang tinggi dan
Harga yang terjangkau.
Terintegrasi dengan proyek transportasi nasional.
E. SRILANKA
Perusahaan lokal Srilanka Dialog Telekom telah merencanakan pembangunan
jaringan tulang-punggung nasional di Srilanka bekerjasama dengan telekom
Malaysia. Nilai investasi yang direncanakan sebesar 450 Juta USD dialokasikan
untuk membangun infrastruktur telekomunikasi nasional.
Nilai investasi yang direncanakan merupakan nilai terbesar sepanjang sejarah
telekomunikasi di Srilanka. Investasi akan diarahkan pada pembangunan jaringan
tulang-punggung fiber optic nasional sehingga akan meningkatkan penetrasi
internet di negara tersebut. Selanjutnya akan dimanfaatkan untuk pengembangan
jaringan broadband dengan teknologi wireless yang akan mengarahkan
penggunaan internet bagi masyarakat.
Nilai investasi ini diharapkan menjadikan Srilanka sebagai negara yang lebih maju
dan berkembang pada bidang teknologi informasi dan komunikasi. Dengan
perkembangan infrastruktur tersebut diharapkan menjadikan Srilanka sebagai
negara yang tertinggi pertumbuhan ekonominya di kawasan regional Asia.
59. 53
BAB 5. ANALISA
PERMASALAHAN DAN
EVALUASI PENGEMBANGAN
JARINGAN BACKBONE
A. ANALISA PERMASALAHAN
Seperti telah diketahui bahwa Indonesia telah memiliki berbagai bentuk jaringan
telekomunikasi dengan berbagai teknologi seperti satelit, gelombang mikro (GM),
VHF, kabel koaksial, kabel tembaga, dan serat optik yang digelar oleh beberapa
penyelenggara (operator). Beberapa penyelenggara telah memiliki jaringan Serat
Optik (SO) berkapasitas cukup besar yang menjangkau beberapa pulau,
termasuk Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan sebagian Nusa Tenggara
Barat (NTB). Tetapi jaringan tersebut tidak terpadu satu dengan yang lain, yang
antara lain disebabkan kurangnya koordinasi, namun juga oleh karena semangat
persaingan yang kurang ketat, menyebabkan tarif telekomunikasi jarak jauh masih
relatif mahal dibandingkan negara-negara lain.
Hal ini menghambat antara lain pembangunan prasarana telekomunikasi bagi
berbagai instansi pemerintah, usaha swasta dan perorangan yang membutuhkan
jaringan untuk meningkatkan efektifitas kerja masing-masing, namun terlalu mahal
untuk direalisasikan. Demikian juga mahalnya tarif akses ke jaringan
telekomunikasi, meredam penggunaan bagi mereka yang membutuhkan. Secara
keseluruhan hambatan ini akan meredam kebangkitan ekonomi dan kesatuan
bangsa yang direncanakan dan telah lama didambakan.
Oleh karena itu sudah waktunya Indonesia memiliki suatu jaringan tulang-
punggung (backbone) telekomunikasi utama berkapasitas besar yang terpadu,
dengan jaringan serat optik (SO) sekeliling Nusantara, yang didukung oleh
60. 54
jaringan tulang-punggung berpita lebar dengan kapasitas lebih kecil untuk
menjangkau semua Kecamatan dan Desa.
Keterpaduan jaringan nasional akan dapat menyediakan cadangan bagi jaminan
kehandalan lebih besar dengan biaya lebih ekonomis dibandingkan dengan
penyediaan cadangan yang dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing
penyelenggara. Bentuk jaringan lingkaran tertutup (cincin) menjamin
kelangsungan akses dengan mengalihkan trafik melalui sisi lingkaran yang lain,
bila terputus di satu sisi.
Berlimpahnya kapasitas akses tanpa pertambahan biaya yang terlalu besar, akan
dapat menurunkan biaya hubungan jarak jauh secara drastis, sehingga sebagai
tulang-punggung telekomunikasi akan mendukung percepatan akses pita lebar
semua Kabupaten/Kota yang kemudian diteruskan ke Kecamatan dan Desa.
RING PALAPA direncanakan menjadi tulang pungung pengikat dari berbagai
jaringan penyelenggara, baik sistem jaringan tetap maupun sistem bergerak
(mobile), termasuk jaringan media baru seperti Wireless LAN (WLAN). Sebagai
jaringan tulang-punggung yang tidak tersambung langsung dengan pelanggan-
akhir (end-user), akan dapat lebih menjamin kompetisi yang sehat di antara para
penyelenggara. Dengan demikian akan mendukung peningkatan ekonomi
nasional, peningkatan taraf hidup rakyat, khususnya di daerah, serta
meningkatkan Ketahanan Nasional
Dari segi fisik, Jaringan tulang-punggung kapasitas besar (pita lebar) Ring Palapa
dimaksudkan untuk mengintegrasikan semua jaringan infokom yang telah ada,
yang sedang maupun yang akan dibangun, sehingga merupakan jaringan
Nasional terpadu, dengan tiap segmen jaringan menjadi bagian dari jaringan
Nasional tersebut. Jaringan Nasional ini akan menjadi tumpuan bagi semua
penyelenggara dan pemakai jasa infokom di dalam negeri, baik pemerintah
maupun swasta, baik perorangan maupun kelompok-kelompok masyarakat.
Dengan jangkauannya sampai ke semua IKK (ibukota kabupaten kota) atau
sentra wilayah layanan itu, maka terbukalah peluang untuk pengembangan
jaringan lokal, di semua wilayah, bersama dengan pengembangan jasa-jasa baru
pita lebar, baik dengan lingkup terbatas di wilayah bersangkutan maupun lingkup
61. 55
Nasional, bahkan lingkup Internasional. Lingkup penggunaan jasa adalah untuk
umum (publik, berbayar), maupun jaringan jasa khusus seperti untuk keperluan
semua sektor pemerintahan, termasuk militer dan kepolisian, maupun dinas-dinas
khusus tertentu seperti penerbangan, pelayaran, meteorologi, penanggulangan
bencana alam, sampai jaringan-jaringan jasa tertutup untuk perusahaan
(corporate networks). Dengan demikian tiap pengguna jaringan Palapa Ring
dapat menjangkau seluruh dunia, sebaliknya masyarakat global juga dapat
mencapai semua pengguna di Indonesia.
B. PERENCANAAN JARINGAN RING PALAPA
1. PENDEKATAN PENYUSUNAN JARINGAN
Pendekatan menyusun jaringan tulang-punggung yang menjangkau seluruh
wilayah Nasional diawali dengan membuat ring utama (primary rings) yang
mengitari pulau atau wilayah kepulauan. Dengan pertimbangan kehandalan
sistem, maka tiap ring ke ring disebelahnya dihubungkan melalui lebih dari 1
(satu) jalur penghubung. Seperti telah diuraikan di atas, semuanya ada 7 (tujuh)
ring utama. Ring utama beserta jalur-jalur penghubungan antar ring ini (ring ke 8
dan merupakan virtual ring) akan membentuk jaringan tulang-punggung
(backbone), dengan catatan bahwa jaringan tulang-punggung ini akan bermuara
ke semua Ibukota Kabupaten (IKK) atau sentra wilayah layanan telekomunikasi
sesuai FTP 2000, dengan kode wilayahnya.
2. PEMBENTUKAN RING
Terdapat beberapa masalah dalam pembuatan ring atau cincin ini, pertama di
Kalimantan kita tidak dapat menggunakan wilayah perairan Malaysia (tanpa
prosedur seperlunya), sehingga dipilih separuh ring Kalimantan menggunakan
jalur ke bawah lewat pantai Timur Sumatera, perairan Laut Jawa dan pantai Barat
Sulawesi untuk melengkapi ring, sambil menggunakan jalur-jalur ring kepulauan
itu. Di Papua, masih perlu pemikiran bagaimana membuat ring Papua, sebab jalur
darat antara Jayapura sampai Merauke merupakan hutan belantara dengan
pegunungan setinggi 4000 m di tengahnya, dan hampir tidak berpenduduk sama
62. 56
sekali. Jalur satelit tidak mampu mencukupi kapasitasnya, meskipun masalah
latency (delay time) dapat diabaikan.
Pada tingkat jaringan antar IKK juga dapat dibuat ring, sehingga dengan
penambahan jalur-jalur relatif pendek dihasilkan ring antar kabupaten yang
meningkatkan kehandalan keterhubungannya.
3. DESAIN MAKRO RING PALAPA
Rencana atau desain makro jaringan tulang-punggung Nasional ini menjangkau
semua IKK, atau sentra layanan wilayah dengan primary exchanges beserta kode
wilayahnya sesuai dengan FTP 2000. Dari IKK itu, tidak semua IKK yang terletak
dipinggir pantai perlu menjadi titik pendaratan, melainkan dicari kompromi bahwa
jaringan kabel serat optik darat (landline) dapat membuat akses ke sejumlah IKK
yang berdekatan dengan titik pendaratan, sedang pendaratan itu dipilih dekat
dengan Ibukota Propinsi (IKP). Mengingat bahwa telah ada jalur-jalur yang
dibangun oleh para operator, maka pemikiran integrasi semua jaringan yang telah
ada maupun yang akan dibangun, perlu memperhatikan:
a. Apabila pada segmen tertentu sudah ada kabel serat optik di darat
(landline), maka sistem yang ada itulah yang menjadi saluran akses ke
IKK, atau menjadi bagian dari jalur tulang-punggung, apabila persyaratan
kapasitas dan persyaratan teknik (interkoneksi) lainnya terpenuhi.
b. Untuk akses kepada IKK atau kota atau ibukota propinsi yang ada di
pedalaman (bukan di pinggir pantai), opsi utama mencapai IKK adalah
menggunakan kabel darat serat optik, namun untuk daerah dengan
geografi yang tidak memungkinkan kabel darat, dicari opsi lain misalnya
dengan Wireless System.
c. Apabila kabel laut harus melingkari “tanjung” sehingga memerlukan jalur
kabel laut yang panjang, maka ada alternatif kabel darat menuju IKP, IKK
atau sentra wilayah tersebut.
d. Disamping ring-ring yang mengelilingi pulau atau kepulauan, maka
dirancang pula jalur-jalur penghubung antar ring, sedikitnya di dua jalur
sehingga secara keseluruhan terintegrasi dalam jaringan Nasional ini tujuh
63. 57
Ring utama dan jalur penghubung ini membentuk “virtual ring” ke delapan.
4. PEMILIHAN RUTE KABEL
Oleh karena kaidah-kaidah di atas, banyak perencana jaringan kabel laut memilih
memanfaatkan daerah laut dalam (deep sea) untuk rute kabelnya dalam
menemukan kompromi antara panjang kabel dan biaya penggelarannya (lewat
laut dalam panjang jalur kabel akan bertambah, tetapi dengan biaya penggelaran
lebih murah). Hanya untuk menuju titik pendaratan rutenya mendekati pantai. Di
perairan dangkal seperti di laut Jawa tidak ada pilihan kecuali menggunakan
kabel dengan proteksi seperlunya.
5. PEMILIHAN TITIK PENDARATAN DAN PENGGAMBARAN JALUR
JARINGAN KABEL LAUT
Disamping persyaratan teknik seperti telah diterangkan di atas, maka pilihan
lokasi titik pendaratan kabel memperhatikan kemudahan dan keamanan kabel
pada waktu pemasangan dan setelah kabel digelar, misalnya memperlhatikan
kondisi geologi dan geografi lokasi sekitarnya, mudah dicapai, dan kemudahan
menyambungkannya ke lokasi terminal pusat akses infokom (Point of Presence/
PoP) yang akan dibangun. Misalnya saja menghindari pantai dengan lereng
curam apalagi lereng gunung batu. Pusat akses infokom itu sendiri dirancang dan
dibangun untuk melayani masyarakat di tiap IKK atau sentra wilayah infokom
dengan kode wilayahnya.
Calon titik pendaratan (possible landing points) yang memuat 97 lokasi titik
pendaratan diseluruh Indonesia yang dekat dengan IKK atau sentra wilayah
layanan telekomunikasi. (lihat daftar pada halaman berikut). Tiga (3) angka di
belakang nama kota adalah kode wilayah untuk kota tersebut. Sedang tanda
bintang di belakang nama kota adalah tanda bahwa kota tersebut adalah ibukota
propinsi.
Dari ketentuan dalam FTP 2000 telah disediakan 655 nomor kode wilayah,
diantaranya telah digunakan sebanyak 352 nomor. Daerah-daerah baru yang
akan tersambung dalam jaringan dengan adanya jaringan tulang-punggung ini
akan menggunakan nomor-nomor yang tersisia, tetapi penggunaan ini ditentukan
64. 58
oleh pemerintah c.q. Ditjen Postel. Pertimbangan lain dalam hal memilih titik
pendaratan ini adalah tingkat kemajuan IKK yang bersangkutan.
6. DAFTAR USULAN PENDARATAN
Untuk mendapatkan titik pendaratan sesuai dengan apa yang telah dijelaskan di
atas perlu juga beberapa kriteria di bawah ini diperhatikan :
Pilihan lokasi titik pendaratan berdasarkan hirarki wilayah dalam
administrasi pemerintahan, misalnya ibukota Kabupaten (IKK), ibukota
Propinsi (IKP), dan mudah dicapai dari arah laut maupun darat
Ibukota Propinsi ditandai dengan bintang (*) di belakang nama kotanya.
Semuanya ada 27 IKP di dekat pantai, sehingga titik pendaratan kabel
laut dapat mencapainya. Enam (6) IKP lainnya ada di “pedalaman”
yang harus dicapai dengan kabel darat serat optik atau sarana lain,
yaitu Pekanbaru, Jambi, Palembang, Bandung, Yogyakarta dan
Palangkaraya.
Angka angka dibelakang nama IKK / IKP adalah nomor kode wilayah
layanan telekomunikasi (menurut FTP 2000)
Jumlah calon titik pendaratan ada 97 kota
7. IKK, SENTRA WILAYAH SAMBUNGAN DAN PUSAT AKSES INFOKOM
(PoP)
Dalam bab terdahulu dinyatakan bahwa jaringan Nasional pita lebar ini akan
bermuara kepada semua IKK (atau sentra wilayah dengan kode wilayahnya) dan
menjadikan IKK atau sentra wilayah itu sebagai pusat akses fasilitas jaringan
Infokom (PoP) dengan jangkauan Nasional dan dengan akses ke luar negeri.
Fungsi pusat akses ini biasanya dipilih lokasi di kota, sedang landing point atau
titik pendaratan merupakan pangkal saluran yang akan disambungkan kepada
Pusat Akses Infokom (PoP) tersebut. Kabel yang sudah tersambung dari titik
pendaratan sampai titik pendaratan berikutnya dapat pula tersambung dengan
bagian kabel darat sampai pada terminal pertama di darat, bukan di pinggir laut,
tetapi masih dapat beberapa puluh kilometer ke darat. Apabila IKK atau sentra